Upload
ir-zakaria-mm
View
677
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam aktivitas perekonomian suatu negara, konsumsi mempunyai peran
penting di dalamnya serta mempuyai pengaruh yang sangat besar terhadap
stabilitas perekonomian. Semakin tinggi tingkat konsumsi, semakin tinggi tingkat
perubahan kegiatan ekonomi dan perubahan dalam pendapatan nasional suatu
negara. Konsumsi keluarga merupakan salah satu kegiatan ekonomi keluarga
untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Dari komoditi yang
dikonsusmi itulah akan mempunyai kepuasan tersendiri. Oleh karena itu,
konsumsi seringkali dijadikan salah satu indikator kesejahteraan keluarga.
Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan dan cita-cita suatu negara. (Mizkat,2005)
Tingkat kesejahteraan suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk
mengetahui keberhasilan pembangunan di negara tersebut dan konsumsi adalah
salah satu penunjangnya. Makin besar pengeluaran untuk konsumsi barang dan
jasa, maka makin tinggi tahap kesejahteraan keluarga tersebut. Konsumsi rumah
tangga berbeda-beda antara satu dengan lainya dikarenakan pendapatan dan
kebutuhan yang berbeda-beda pula.
Setiap orang atau keluarga mempunyai skala kebutuhan yang dipengaruhi
oleh pendapatan. Kondisi pendapatan seseorang akan mempengaruhi tingkat
konsumsinya. Makin tinggi pendapatan makin banyak jumlah barang yang
1
dikonsumsi. Bila konsumsi ingin ditingkatkan sedangkan pendapatan tetap maka
terpaksa tabungan yang digunakan maka tabungan akan berkurang.
Secara umum dapat dikatakan bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat
adalah bersumber dari jumlah kebutuhan yang tidak terbatas. Biasanya manusia
merasa tidak pernah merasa puas dengan benda yang mereka peroleh dan prestasi
yang mereka capai. Apabila keinginan dan kebutuhan masa lalu sudah dipenuhi
maka keinginan yang baru akan muncul. Di negara miskin hal seperti itu memang
lumrah. Konsumsi makanan yang masih rendah dan perumahan yang kurang
memadai telah mendorong masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih
tinggi. Di negara kaya sekalipun, seperti Jepang dan Amerika serikat masyarakat
masih mempunyai keinginan untuk mencapai kemakmuran yang lebih tinggi dari
yang telah mereka capai sekarang ini (Sukirno 2008:6)
Pola konsumsi sering digunakan sebagai salah satu indikator untuk
mengukur tingkat kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dapat
pula dikatakan membaik apabila pendapatan meningkat dan sebagian pendapatan
tersebut digunakan untuk mengkonsumsi non makanan, begitupun sebaliknya.
Pergeseran pola pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dari makanan ke non
makanan dapat dijadikan indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan
anggapan bahwa setelah kebutuhan makanan telah terpenuhi, kelebihan
pendapatan akan digunakan untuk konsumsi bukan makanan. Oleh karena itu
motif konsumsi atau pola konsumsi suatu kelompok masyarakat sangat ditentukan
pada pendapatan. Atau secara umum dapat dikatakan tingkat pendapatan yang
2
berbeda-beda menyebabkan keanekaragaman taraf konsumsi suatu masyarakat
atau individu.
Namun, bila dilihat lebih jauh peningkatan pendapatan tersebut tentu
mengubah pola konsumsi anggota masyarakat luas karena tingkat pendapatan
yang bervariasi antar rumah tangga sesuai dengan tingkat kebutuhan dan
kemampuan mengelolanya. Dengan perkataan lain bahwa peningkatan
pendapatan suatu komunitas selalu diikuti bertambahnya tingkat konsumsi
semakin tinggi pendapatan masyarakat secara keseluruhan maka makin tinggi pula
tingkat konsumsi. (Sayuti, 1989:46-47).
Kemudian hubungan konsumsi dengan pendapatan dijelaskan dalam teori
Keynes yang menjelaskan bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh
pendapatan disposible saat ini. Dimana pendapatan disposible adalah pendapatn
yang tersisa setelah pembayaran pajak. Jika pendapatn disposible tinggi maka
konsumsi juga naik. Hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar
peningkatan pendapatan disposibel. Selanjutnya menurut Keynes ada batas
konsumsi minimal, tidak tergantung pada tingkat pendapatan yang disebut
konsumsi otonom. Artinya tingkat konsumsi tersebut harus dipenuhi walaupun
tingkat pendapatan = nol, dan hal ini ditentukan oleh faktor di luar pendapatan,
seperti ekspektasi ekonomi dari konsumen, ketersediaan dan syarat-syarat kredit,
standar hidup yang diharapkan, distribusi umur, lokasi geografis (Nanga,2001).
Kebutuhan hidup manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan
zaman, tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhaan hayatinya saja akan tetapi
menyangkut kebutuhan lainya seperti kebutuhan pakaian, rumah, pendidikan,
3
kesehatan, dan lain sebagainya. Adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai
dengan proses pemerataan akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan antar
keluarga. Di satu pihak rumah tangga dengan pendapatan yang lebih dari cukup
cenderung mengkonsumsi secara berlebih di lain pihak rumah tangga miskin tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
Kota Makassar sebagai kota metropolitan menurut data yang bersumber
dari BPS sudah dapat kita lihat bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga di Kota
Makassar selama tahun 2002-2006 meningkat dengan cukup berarti. Pada tahun
2002 rata-rata pengeluaran rumah tangga di Kota Makassar mencapai
Rp.1.068.429, kemudian meningkat menjadi Rp.1.976.959 pada tahun 2007.
Disamping peningkatan rata-rata pengeluaran, indikasi meningkatnya
kesejahteraan masyarakat ditunjukkan dengan terjadinya pergeseran pola
konsumsi. Pengeluaran konsumsi makanan di tahun 2002 mencapai 54,83 persen
menjadi 51,74 persen untuk konsumsi makanan dan 48,26 persen untuk konsumsi
bukan makanan (BPS,2007). Berikut adalah tabel yang memperlihatkan rata-rata
pengeluaran rumah tangga tahun 2002-2007
Tabel 1.1 Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga Sebulan Menurut Jenis Pengeluaran Kota Makassar,2002-2007.
Jenis pengeluaran2002 2007
Rata-rata Rata-rata(Rp) (%) (Rp) (%)
Pengeluaran Makanan
585.818 54,83% 1.022.956 51,74%
Pengeluaran Bukan Makanan
482.611 45,17% 954.003 48,26%
Pengeluaran Rumah Tangga
1.068.429 100,00% 1.976.959 100,00%
Sumber : BPS Kota Makassar,Susenas 2002-2007
4
Namun masih ada juga penduduk yang kurang sejahtera dalam hal ini
adalah rumah tangga miskin. Akan tetapi, pola konsumsi masyarakat makassar
tergolong konsumtif. Konsumsi rumah tangga yang tinggi namun dapat
diseimbangkan dengan pendapatan yang tinggi merupakan suatu kondisi yang
wajar, namun apabila konsumsi yang tinggi dengan pendapatan yang rendah oleh
karena ada demonstration effect bisa mengakibatkan masalah perekonomian yang
dapat mengurangi tingkat kesejahteraan di suatu negara.
Hal tersebut di atas, yang menjadi dasar ketertarikan penulis mengadakan
penelitian dengan objek rumah tangga dalam hal ini rumah tangga miskin dan
kaya yang dalam kenyataanya mempunyai pendapatan yang jumlahnya berbeda-
beda dan pola konsumsinya dapat dikatakan cukup bervariasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian
yang berjudul “ “Studi Perbandingan Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan
Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini hanya memasukkan unsur
pendapatan sebagai variabel yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat Kota
Makassar. Maka dapat dikemukakan masalah pokok penelitian ini adalah
terjadinya perbedaan pola konsumsi rumah tangga kaya dan miskin di Kota
Makassar . Oleh karena itu pertanyaan penelitian ini adalah
1. Adakah perbedaan pola konsumsi rumah tangga kaya dan miskin di Kota
Makassar terhadap konsumsi pangan dan non pangan?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin penulis capai pada penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbedaan pola konsumsi rumah tangga kaya dan miskin untuk
konsumsi pangan dan non pangan di Kota Makassar.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini secara umum diharapkan dapat berguna sebagai :
a. Bagi peneliti sendiri diharapkan akan dapat mengetahui berbagai macam
pola konsumsi dari berbagai lapisan masyarakat.
b. Bagi responden diharapkan dapat memberikan bantuan berupa informasi
tentang pola konsusmi masing-masing responden sehingga nantinya
responden diharapkan dapat mengatur pola konsumsinya.
c. Bahan masukan bagi pemerintah terutama dalam rangka mengevaluasi
kebijaksanan dan menyusun perencanaan dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
d. Sebagai aplikasi ilmiah untuk mengetahui dan membuktikan teori-teori
yang berkenaan dengan penulisan ini.
e. Sebagai salah satu studi yang diharapkan dapat dijadikan bahan referensi
bagi yang ingin melakukan penelitian yang relevan dengan materi dari
skripsi ini.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Pengertian Konsumsi
Dalam makro ekonomi, “Konsumsi adalah jumlah seluruh pengeluaran
perorangan atau negara untuk barang-barang konsumsi selama satu periode
tertentu”. Tegasnya konsumsi menyangkut barang-barang yang digunakan habis,
dinikmati atau di makan selama periode bersangkutan. Dalam prakteknya banyak
barang-barang konsumsi tersebut umumnya mungkin melebihi periode waktu
tersebut seperti baju, tas, baju atau mobil.
Menurut Mankiw (2000) “ Konsumsi adalah barang atau jasa yang dibeli
oleh rumah tangga, konsumsi terdiri dari barang tidak tahan lama (Non Durable
Goods) adalah barang yang habis dipakai dalam waktu pendek, seperti makanan
dan pakaian. Kedua adalah barang tahan lama (Durable Goods) adalah barang
yang memiliki usia panjang seperti mobil, televisi, alat-alat elektronik, ponsel dan
lainya. Ketiga, jasa (services) meliputi pekerjaan yang dilakukan untuk konsumen
oleh individu dan perusahaan seperti porong rambut dan berobat ke dokter”. Yang
dibelanjakan untuk pembelian barang-barang dan jasa guna mendapatkan
kepuasan dan memenuhi kebutuhan.”
7
2.1.2 Pengeluaran Konsumsi rumah Tangga
Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah nilai belanja yang dilakukan oleh
rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhanya dalam satu tahun
tertentu. Pendapatan yang diterima rumah tangga akan digunakan untuk membeli
makanan, membiayai jasa angkutan, membayar pendidikan anak, membayar sewa
rumah dan membeli kendaraan. Barang-barang tersebut dibeli rumah tangga untuk
memenuhi kebutuhanya, dan pembelanjaan tersebut dinamakan konsumsi.
(Sukirno,1994:38).
Tidak semua transaksi yang dilakukan oleh rumah tangga digolongkan
sebagai konsumsi (rumah tangga). Kegiatan rumah tangga untuk membeli rumah
digolongkan investasi. Seterusnya sebagai pengeluaran mereka, seperti membayar
asuransi dan mengirim uang kepada orang tua (atau anak yang sedang bersekolah)
tidak digolongkan sebagai konsumsi karena ia tidak merupakan pembelanjaan
terhadap barang atau jasa yang dihasilkan dalam perekonomian ( Sukirno 2004).
Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga dalam
perekonomian tergantung kepada pendapatan yang diterima oleh mereka. Makin
besar pendapatan mereka, makin besar pula pengeluaran konsumsi mereka. Sifat
penting lainya dari konsumsi rumah tangga adalah hanya sebagian saja dari
pendapatan yang mereka terima yang akan digunakan untuk pengeluaran
konsumsi (Sukirno,1981:104).
Untuk memahami pengeluaran konsumsi, ada baiknya terlebih dahulu
memahami beberapa teori tentang pengeluaran konsumsi yang dikemukakan oleh
8
para ahli ekonomi. J.M Keynes dalam tulisan Kamaluddin, 2009 menyatakan
bahwa
Konsumsi seseorang akan tergantung pada tingkat pendapatan yang telah
diterima ( pendapatan aktual atau absolut ) oleh seseorang atau masyarakat.
Di dalam teori tersebut Keynes (1969) menjelaskan bahwa jika terjadi
kenaikan pendapatan aktual maka kenaikan konsumsi seseorang lebih kecil dari
kenaikan pendapatan aktual yang diterima. Hal ini dikarenakan seseorang pasti
menyisihkan sebagian pendapatan yang diterimanya untuk tujuan lain yaitu
menabung dan membayar hutang.
Teori yang dikemukakan oleh Keynes tersebut serupa dengan yang
diungkapkan oleh Ando, Modigliani dan Brunberg.
Menurut mereka, pengeluaran konsumsi akan tergantung dari siklus hidup
seseorang pada saat seseorang belum, bekerja, maka untuk membiayai
pengeluaran konsumsinya ia akan disubsidi oleh oleh orang tuannya atau hutang.
pada saat sudah bekerja ia akan menyisihkan sebagian pendapatannya guna
ditabung untuk membayar utang sebelum ia bekerja dan membiayai konsumsi
setelah pensiun, seperti telah disebutkan, ia akan memakai tabungannya untuk
membiayai konsumsinya. (Kamaluddin,2009).
Sedangkan menurut Milton Friedman ( 1957 ) menyatakan bahwa,
9
konsumsi seseorang tergantung pada pendapatan permanennya ( pendapatan
yang rutin ia terima setiap periode tertentu ) dan bukan pada pendapatan
transiteori (pendapatan yang tak terduga)
Jika ahli ekonomi diatas menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi sangat
dipengaruhi oleh pendapatan absolut atau pendapatan permanennya, maka sedikit
berbeda dengan teori James Dussenberry ( 1949 ) yang menyatakan bahwa,
Pengeluaran konsumsi seseorang bukan tergantung dari pendapatan absolute
aktualnya tetapi tergantung dari pendapatan relatifnya. (Kamaluddin,2009)
Maksud dari teori James Dussenberry tersebut adalah konsumsi seseorang
tergantung dari tingkat pendapatannya disbanding atau relatif terhadap pendapatan
orang lain. Orang yang pendapatannya lebih rendah akan meniru pola konsumsi
orang yang pendapatannya lebih tinggi di sekelilingnya. Karakteristik lain dari
pengeluaran konsumsi adalah sekali pengeluaran konsumsi seseorang meningkat,
maka tidak mungkin pengeluaran konsumsi tersebut menurun sekalipun
pendapatannya menurun.
Dari beberapa teori tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengeluaran
konsumsi merupakan keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang
untuk memenuhi kebutuhannya di mana pengeluaran tersebut tidak hanya
dipengaruhi oleh pendapatannya tetapi juga lingkungan atau masyarakat sekitar ia
tinggal.
10
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar
Bantuan Luar Negeri memang berhasil meningkatkan ekonomi negara yang
sedang berkembang tapi jurang kemiskinan antar penduduk tetap melebar dengan
kata lain strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
belum mampu mengadakan pemerataan pendapatan,mengurangi kemiskinan,dan
juga belum dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang luas guna mengatasi
pengangguran. Kegagalan strategi inilah yang menyebabkan dicarinya strategi
baru dan dipilihnya model kebutuhan dasar sebagai dasar upaya pengganti.
Kebutuhan dasar merupakan kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan
hidup manusia,baik yang terdiri dari kebutuhan atau konsumsi individu maupun
kebutuhan pelayanan sosial.
Manusia mempunyai kecendrungan untuk tetap hidup serta
mempertahankan bakat dan kehidupan sosialnya. Sebagai konsekuensinya mereka
harus memenuhi kebutuhan hidupnya baik itu primer maupun sekunder agar hidup
layak sesuai dengan harkatnya sebagai anggota masyarakat (Sumardi dan
Evers,1989:129).
Adapun kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat adanya. Pada tingkat
pertama primary needs atau kebutuhan primer orang membutuhkan sandang,
pangan, papan. Apabila kebutuhan primer ini sudah terpenuhi, maka muncullah
dalam pikiran manusia untuk memenuhi secondary needs (kebutuhan tingkat
kedua) yang merupakan kebutuhan akan barang-barang perlu, yang antara lain
berupa kebutuhan akan sepatu, pendidikan dan sebagainya. Jika keadaan
memungkinkan (bertambah kaya ) muncul keinginan untuk memenuhi kebutuhan
11
tingkat ketiga yang berisi kebutuhan akan barang mewah, kebutuhan tingkat
keempat (quartiary needs) yang berisi akan kebutuhan barang-barang yang benar-
benar mubadzir (yang sebenarnya tidak diperlukan sama sekali) dan seterusnya.
Orang atau masyarakat akan sampai pada tingkat kebutuhan tertentu hanya
sesudah tingkat kebutuhan sebelumnya terpenuhi. Bagi masyarakat kaya, uang
tersedia dengan relatif muda. Bagi masyarakat seperti itu, kebutuhan tersier dan
kebutuhan quarter sudah mereka penuhi. Akan tetapi uang masih ada, lalu buat
apa? Maka muncullah kebutuhan yang macam-macam seperti kebutuhan untuk
berbuat maksiat (Rosyidi 2006:50)
2.3 Konsep dan Urutan Jenis Pengeluaran Konsumsi Masyarakat
Asumsi dasar tentang pola konsumsi rumah tangga atau individu adalah
bahwa setiap rumah tangga atau individu tersebut akan memaksimumkan
kepuasanya, kesejahteraanya, kemakmuranya, atau kegunaanya.
Pola konsumsi itu sendiri adalah jumlah persentase dari distribusi
pendapatan terhadap masing-masing pengeluaran pangan, sandang , jasa-jasa serta
rekreasi dan hiburan. BPS menyatakan kategori adalah pengeluaran makanan,
perumahan, pakaian, barang, jasa, dan pengeluaran non konsumsi seperti untuk
usaha dan lain-lain pembayaran. Secara terperinci pengeluaran konsumsi adalah
semua pengeluaran untuk makanan, minuman, pakaian, pesta atau upacara,
barang-barang lama ,dan lain-lain. Yang dilakukan oleh setiap anggota rumah
tangga baik itu di dalam maupun di luar rumah, baik keperluan pribadi maupun
keperluan rumah tangga (BPS,2007:10)
12
Kebutuhan pokok sebagai kebutuhan esensial sedapat mugkin harus
dipenuhi oleh suatu rumah tangga supaya mereka dapat hidup wajar. Kebutuhan
Esensial ini antara lain: makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan
partisipasi, transportasi, perawatan pribadi, rekreasi. Alokasi pengeluaran
konsumsi masyarakat secara garis besar dapat digolongkan dalam dua kelompok
penggunaan, yaitu pengeluaran untuk makanan, dan pengeluaran untuk bukan
makanan. Berikut ini disajikan daftar alokasi pengeluaran masyarakat:
Sumber: BPS Pengeluaran Konsumsi Untuk Penduduk Indonesia Per
Provinsi 200
13
A. MAKANAN B. BUKAN MAKANAN
1.Sayur-sayuran 1. Perumahan dan Bahan Bakar
2.Kacang-kacangan 2. Aneka Barang dan Jasa a. Barang Perawatan badanb. Bacaan c. Komunikasid. Kendaraan bermotore. Transportasif. Pembantu Rumah Tangga dan
Sopir
3.Buah-buahan
4.Minyak dan Lemak
5.Bahan minuman
6.Bumbu-Bumbuan
7.Bahan Pangan
8.Makanan Jadi 3. Biaya Pendidikan
9.Minuman Beralkohol 4. Kesehatan
10.Tembakau dan Sirih 5. Pakaian,Alas Kaki Tutup Kepala
11.Padi-Padian 6. Barang-barang Tahan Lama
12.Umbi-Umbian 7. Pajak Dan Premi Asuransi
13.Ikan 8. Keperluan Pesta dan upacara
14.Daging
15.Telur dan Susu
2.4 Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh
manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu
sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek
kehidupan manusia walaupun seringkali tidak disadari kehadirannya bagi manusia
yang bersangkutan. Kemiskinan menurut Rais (1995: 9) adalah kondisi depresiasi
terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, sedangkan kesenjangan
adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber ekonomis yang dimiliki.
Substansi kemiskinan (Sudibyo dalam Rais 1995: 11) adalah kondisi
depresiasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa
sandang, pangan, papan, dan pendidikan dasar. Sedangkan substansi kesenjangan
adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomis. Masalah
kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial.
Kemiskinan (Friedmann dalam Suyanto, 1995: 207) adalah ketidaksamaan
kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Kemiskinan
memang merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor
ekonomi tetapi juga faktor sosial dan faktor budaya. Menurut Suparlan (1993: 9)
kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah
yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan
orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak
pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa
harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
14
Dalam ilmu sosial pemahaman mengenai pengertian kemiskinan dilakukan
dengan menggunakan tolak ukur tertentu. Menurut Suparlan (1993: 10) tolak ukur
yang pertama adalah tingkat pendapatan per waktu kerja, dengan adanya tolak
ukur ini maka jumlah dan siapa-siapa saja yang tergolong sebagai orang miskin
dapat diketahui, untuk dijadikan sebagai kelompok sasaran yang diperangi
kemiskinannya. Tolak ukur yang kedua adalah tolak ukur kebutuhan relatif
perkeluarga yang batasannya dibuat berdasarkan kebutuhan minimal yang harus
dipenuhi sebuah keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara
sederhana tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Tercakup dalam
tolak ukur kebutuhan relatif per keluarga ini adalah: kebutuhan-kebutuhan yang
berkenan dengan biaya sewa rumah, biaya-biaya untuk memelihara kesehatan dan
untuk pengobatan, biaya-biaya untuk menyekolahkan anak-anak, dan biaya untuk
sandang yang sewajarnya dan pangan yang sederhana tetapi mencukupi dan
memadai.
2.4.1 Karakteristik Golongan Miskin
Menurut Zelinsky (1996: 88) karakteristik penduduk dapat dikategorikan
dalam beberapa klasifikasi berdasarkan rumah tempat tinggal, tingkat pendidikan,
jenis pekerjaan, penggunaan lahan, dan kecukupan gizi serta perawatan kesehatan
bisa menjadi indikator peningkatan kehidupan sosial masyarakat. Karakteristik
golongan miskin menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:13) adalah:
1. Karakteristik demografi dari penduduk miskin.
Secara umum, rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin di Indonesia
15
adalah 5,8 orang sedangkan yang bukan miskin adalah 4,5 orang. Banyaknya
jumlah anggota rumah tangga adalah indikasi yang dominan dalam menentukan
miskin atau ketidak-miskinan suatu rumah tangga. Bertambah besarnya jumlah
anggota rumah tangga maka bertambah besar pula kecenderungan menjadi
miskin. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Keluarga Berencana (KB)
memiliki tujuan untuk membatasi jumlah anggota rumah tangga adalah relevan
dengan upaya-upaya pengentasan kemiskinan.
2. Karakteristik ekonomi dari penduduk miskin
Karakteristik dari ekonomi rumah tangga mencakup informasi atas
pekerjaan kepala rumah tangga apakah sebagai karyawan atau sebagai pengusaha
atau bahkan sebagai keduanya. Pekerjaan kepala rumah tangga mempengaruhi
jumlah pendapatan keluarga. Pola pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan
indikator kemiskinan. Jumlah pengeluaran rumah tangga untuk pangan sangat
besar perbandingannya dengan pengeluaran bukan pangan adalah salah satu
karakteristik ekonomi penduduk miskin.
3. Karakteristik dilihat dari pekerjaan kepala rumah tangga.
Pekerjaan kepala rumah tangga terbagi menjadi dua jenis yaitu:
karyawan/buruh dan pengusaha/majikan. Pekerjaan dengan status karyawan/buruh
dalam istilah ini merupakan kepala rumah tangga yang memperoleh upah atau gaji
sebagai imbalan atau balas jasa dari pekerjaannya sebagai contoh pegawai negeri,
karyawan perusahaan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pengemudi dengan
sistem upah atau gaji. Kepala keluarga yang mempunyai pekerjaan sebagai
pengusaha misalnya sebagai pemilik tanah, nelayan yang mempunyai atau
16
menyewa kapal dan lain-lain. Di perkotaan dan pedesaan seperti di Jawa dan Bali,
di bagian timur Indonesia, maupun di bagian barat Indonesia lebih banyak kepala
rumah tangga miskin yang menjadi pengusaha ketimbang yang menjadi buruh.
4. Karakteristik dari pola konsumsi rumah tangga miskin.
Gambaran tentang pola konsumsi makanan dan bukan makanan dari
kelompok komunitas (miskin dan bukan miskin), menunjukkan bahwa secara
umum porsi konsumsi makanan dari rumah tangga miskin sampai sebesar 70%
dibandingkan dengan porsi konsumsi bukan makanan yang hanya 29, 31%.
dibandingkan dengan kondisi perkotaan porsi konsumsi makanan rumah tangga
miskin lebih besar dibandingkan di pedesaan. Hal ini agak kurang dapat dipercaya
mengingat rumah tangga miskin di pedesaan harus mengambil makanan dari
tanah mereka. Penjelasan yang paling memungkinkan untuk kondisi ini adalah
kemiskinan di pedesaan sudah sedemikian buruknya dimana keluarga miskin
harus mengkonsumsi porsi yang besar dari pendapatannya hanya untuk makan.
5. Karakteristik sosial budaya
Rata-rata orang miskin di perkotaan berpendidikan lebih tinggi daripada di
pedesaan. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh tingkat pendapatan warga yang
tinggal di perkotaan memiliki pendapatan yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pendapatan di pedesaan. Selain itu di perkotaan fasilitas pendidikan lebih
lengkap dan lebih memadai jika dibandingkan dengan pedesaan.
17
2.4.2 Kemiskinan Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS)
Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam
memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun
nonmakanan yang bersifat mendasar. Pengukurannya dilakukan dengan
menghitung pengeluaran kebutuhan makanan dan kebutuhan non makanan per
kapita per bulan. Singkatnya penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran (makanan dan non makanan) per kapita perbulan dibawah
Garis Kemiskinan.
Komponen Garis Kemiskinan adalah Garis Kemiskinan makanan dan
Garis Kemiskinan Non makanan. Garis Kemiskinan makanan adalah batas
minimal kebutuhan dasar makanan yang setara dengan pemenuhan kebutuhan
kalori 2.100 kalori per kapita perhari dimana paket komoditi kebutuhan dasar
makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan,
daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, lemak dan
lain-lain. Garis Kemiskinan Non makanan adalah batas minimal kebutuhan dasar
bukan makanan berupa kebutuhan minimum akan perumahan, sandang,
pendidikan dan kesehatan dimana paket komoditi kebutuhan dasar bukan
makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di
pedesaan.
18
2.4.3 Kemiskinan Berdasarkan BKKBN
BKKBN menerapkan ukuran kemiskinan dengan pendekatan
kesejahteraan. Keluarga dapat dibagi dalam beberapa kategori: prasejahtera,
sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III, dan sejahtera III plus.
Keluarga dimasukkan dalam kategori prasejahtera apabila tidak dapat
memenuhi satu dari lima syarat berikut: melaksanakan ibadah menurut agamanya,
makan dua kali sehari atau lebih, pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan,
lantai rumah bukan dari tanah, dan bila anggota keluarga sakit dibawa ke sarana
kesehatan. Miskin menurut BKKBN adalah mereka yang termasuk dalam kategori
prasejahtera dan sejahtera I. Sedangkan keluarga sejahtera II adalah keluarga yang
tidak dapat memenuhi kebutuhan akan tabungan, makan bersama sambil
berkomunikasi, rekreasi bersama 6 bulan sekali, menggunakan sarana transportasi.
Keluarga sejahtera III sudah dapat memenuhi kebutuhan berupa tabungan
keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, rekreasi selama 6 bulan sekali,
menggunakan sarana transportasi dan tidak aktif memberikan sumbangan materil
secara teratur. Keluarga sejahtera III plus adalah keluarga yang sudah mampu
memberikan sumbangan materil secara aktif dan teratur serta aktif sebagai
pengurus organisasi kemasyarakatan.
2.4.4 Indikator Kemiskinan
Terdapat beberapa indikator kemiskinan yang biasa digunakan, yaitu indikator:
1) Kemiskinan relatif seseorang dikatakan berada dalam kelompok
kemiskinan relatif, pertama jika pendapatannya berada di bawah pendapatan
19
di sekitarnya, atau dalam kelompok masyarakat tersebut, ia berada di lapisan
paling bawah. Kedua, Bisa jadi meskipun pendapatannya cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokok, namun karena dibanding masyarakat di
sekitarnya, pendapatannya dinilai rendah, ia termasuk miskin. Ketiga,
Amerika Serikat menggunakan indikator kemiskinan semacam ini. 2)
Kemiskinan absolut. Kemiskinan jenis ini dicirikan sebagai berikut: Pertama,
dilihat dari kemampuan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok
(sandang, pangan, pemukiman, pendidikan dan kesehatan). Kedua, Jika
pendapatan seseorang di bawah pendapatan minimal untuk memenuhi
kebutuhan pokok, maka ia disebut miskin. Ketiga, Indonesia menggunakan
indikator kemiskinan jenis ini. 3) Kemiskinan kultural dikaitkan dengan
budaya masyarakat yang “menerima” kemiskinan yang terjadi pada dirinya,
bahkan tidak merespons usaha-usaha pihak lain yang membantunya keluar
dari kemiskinan tersebut. 4) Kemiskinan struktural dimana kemiskinan yang
disebabkan struktur dan sistem ekonomi yang timpang dan tidak berpihak
pada si miskin, sehingga memunculkan masalah-masalah struktural ekonomi
yang makin meminggirkan peranan orang miskin.
2.4.5 Penggolongan Rumah Tangga Berdasarkan Daya Listrik
Menurut Nengah Subadra dalam tulisanya (2008) orang kaya yang
umumnya tinggal di rumah-rumah mewah biasanya menggunakan daya listrik
yang tinggi (paling sedikit 1.200 watt) untuk keperluan sehari-hari karena semua
fasilitas rumahnya seperti lampu, setrika, televisi, kulkas, mesin cuci dan
20
pendingin ruangan menggunakan energi listrik yang sangat banyak. Sedangkan
orang miskin hanya menggunakan daya listrik dengan kapasitas 450-900 watt saja
karena mereka tidak memiliki alat-alat rumah tangga yang lengkap. Umumnya
mereka hanya menggunakan energi listrik untuk penerangan karena mereka
memiliki daya bayar yang sangat rendah.
Studi Empris memperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari, pada
umumnya rumah tangga kaya adalah rumah tangga yang memiliki daya listrik
yang terpasang >900 watt. Alat listrik yang digunakan adalah AC, kulkas,
dispenser, ricecooker, dan alat-alat elektronik lainya. Sementara untuk rumah
tangga miskin adalah rumah tangga yang memiliki daya terpasang kurang atau
sama dengan 900 watt.
2.5 Perbandingan Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga
Kaya dan Miskin
Pola konsumsi atau pola pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan
indikator sosial ekonomi rumah tangga sehingga semakin tinggi pengeluaran
makanan dari porsi pendapatan maka rumahtangga tersebut dapat dikategorikan
miskin. Begitu pula sebaliknya bila porsi pengeluaran untuk bukan makanan
tinggi dari pada makanan maka rumah tangga tersebut dikategorikan tidak miskin.
Tingkat pendapatan rumah tangga yang semakin tinggi pada umumnya
menyebabkan pengeluaran konsumsi untuk bukan makanan akan cenderung
semakin besar, karena seluruh kebutuhan untuk konsumsi makanan sudah
terpenuhi, demikian pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel yang
21
menyatakan bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk
makanan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Selanjutnya Firman
(1990) menambahkan bahwa semakin besar pengeluaran rumah tangga terutama
proporsi bukan makanan maka kondisi ekonomi rumah tangga semakin baik.
2.6 Teori Konsumsi
2.6.1 Teori Konsumsi John Maynard Keynes
John Maynard keynes (1969) dalam General Theory nya membuat fungsi
konsumsi sebagai pusat fluktuasi ekonominya dan teori itu telah memainkan peran
penting dalam analisis makro ekonomi sampai saat ini. Keynes membuat dugaan
tentang fungsi ekonomi berdasarkan intropeksi dan observasi kasual.
Dugaan pertama keynes adalah bahwa kecendrungan mengkonsumsi
marginal adalah antara nol dan satu. Ia menulis bahwa “hukum psikologis
fundamental, dengan apa kita dinisbikan untuk tergantung pada keyakinan yang
besar adalah bahwa manusia diatur, sebagai peraturan atau berdasarkan rata-rata,
untuk meningkatkan konsumsi ketika pendapatan mereka naik, tetapi tidak
sebanyak kenaikan dalam pendapatan mereka”.
Dugaan kedua, keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap
pendapatan yang disebut kecendrungan mengkonsumsi rata-rata turun ketika
pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan sehingga ia
berharap orang kaya menabung proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka
ketimbang si miskin.
22
Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan
yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting. Keynes mengatakan
bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori.
2.6.2 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative Income Hipothesis)
Teori konsumsi yang dikemukakan oleh James S. Duesenberry (1949),
yang dikenal sebagai teori pendapatan relatif tentang konsumsi atau hipotesis
pendapatan relatif, lebih menekankan pada pendapatan relatif (relative income)
dari pada pendapatan absolute sebagaimana dikemukakan Keynes. Selain itu,
teori ini mengatakan bahwa pengeluaran konsumsi dari individu atau rumah
tangga tidak bergantung pada pendapatan sekarang dari individu, tetapi pada
tingkat pendapatan tertinggi yang pernah dicapai seseorang sebelumnya.
Menurut Duesenberry (Nanga,2001) pengeluaran konsumsi seseorang atau
rumah tangga bukanlah fungsi dari pendapatan absolute, tetapi fungsi dari posisi
relatif seseorang di dalam pembagian pendapatan di dalam masyarakat. Artinya
pengeluaran konsumsi individu tersebut tergantung pada pendapatanya relatif
terhadap pendapatan individu lainya di dalam masyarakat. Dalam kaitan ini,
Duesenberry menyebutkan bahwa ada dua karakteristik penting dari perilaku
konsumsi rumah tangga yaitu adanya sifat saling ketergantungan (interpendent)
diantara rumah tangga, dan tidak dapat dirubah (irreversibility) sepanjang waktu.
Saling ketergantungan disini menjelaskan mengapa rumah tangga yang
berpendapatan rendah cenderung memiliki APC yang lebih tinggi daripada rumah
23
tangga yang berpendapatan tinggi. Hal ini terjadi karena rumah tangga yang
berpendapatan rendah telah terkena apa yang oleh Duesenberry disebutnya
sebagai efek demonstrasi (demonstration effect), dimana masyarakat
berpendapatan rendah cenderung meniru atau mengkopi pola konsumsi dari
masyarakat sekelilinya yang cenderung menaikkan pengeluaran konsumsinya.
Adanya sifat irreversibility dari perilaku konsumsi tersebut telah
menyebabkan short-run ratchet effect dari perubahan di dalam pendapatan,dimana
seseorang atau rumah tangga lebih mudah untuk meningkatkan pengeluaran
konsumsinya kalau terjadi kenaikan pendapatan, tetapi sebaliknya lebih sulit
untuk mengurangi pengeluaran konsumsinya. Kalau terjadi kenaikan pendapatan,
tetapi sebaliknya lebih sulit untuk mengurangi pengeluaran konsumsinya kalau
terjadi penurunan pendapatan. Dengan kata lain, seseorang atau rumah tangga
menurut Duesenberry akan berusaha sedemikian rupa untuk mempertahankan
standar hidup atau pola konsumsi mereka, dan itu dilakuakn dengan cara
mengurangi tabungan. Rumah tangga akan memulai hidup dengan tabungan
negatif (dissaving). Hal ini berarti penurunan yang terjadi di dalam pengeluaran
konsumsi rumah tangga hanyalah satu penurunan yang bersifat parsial.
Pengeluaran konumsi sebagaimana telah dikemukakan adalah bersifat irreversible
sepanjag waktu, yang berarti bahwa dengan suatu penurunan di dalam
pendapatan, maka pengeluaran konsumsi juga akan mengalami penurunan, namun
dalam jumlah yang lebih kecil. Secara singkat adanya sifat irreversibility dari
pengeluaran konsumsi rumah tangga itu mempunyai makna bahwa sekali fungsi
24
konsumsi jangka pendek itu bergeser ke atas, maka akan sangat sulit untuk
bergeser kembali ke bawah apalagi terjadi penurunan di dalam pendapatan.
2.6.3 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Permanent Income hypothesis)
Dalam bukunya yang berjudul A Theory of the Consumption Function
(1957) Miton Friedman menawarkan hipotesis pendapatan permanen untuk
menjelaskan perilaku konsumsi. Hipotesis pendapatan permanen mengemukakan
bahwa pengeluaran konsumsi sekarang bergantung pada pendapatan sekarang dan
pendapatan yang diperkirakan di masa yang akan datang. Hipotesis juga
menekankan bahwa manusia mengalami perubahan acak dan temporer dalam
pendapatan mereka dari tahun ke tahun. Friedman beralasan bahwa konsusmi
seharusnya terutama bergantung pada pendapatan permanen, kerena konsumen
menggunakan tabungan dan pinjaman untuk melancarkan konsumsi dalam
menanggapi perubahan transistoris dalam pendapatan.
2.6.4 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Siklus Hidup (Life Cycle Hipothesis)
Teori dengan hipotesis ini dikemukakan oleh Albert Ando,Richard
Brumberg dan Franco Modigliani. Dalam teori ini membagi pola konsumsi
seseorang menjadi tiga bagian, yaitu 1) Usia nol sampai usia kerja, maka
konsumsinya dalam kondisi “Dissaving”yaitu konsumsi masih tergantung pada
orang lain. 2) Dimulai dari usia kerja (sudah kerja) sampai dengan usia dimana
25
orang tersebut sudah menjelang usia tua (kurang produktif) atau bisa disebut
mandiri. 3) Tahap ini seseorang kembali berada dalam kondisi “Dissaving”.
Hipoesis siklus hidup memberikan sumbangan penting di dalam memahami
Tingkah laku konsumsi masyarakat. Hipotesis ini menunjukkan bahwa konsumsi
tidak hanya ditentukan pendapatan masa kini tetapi juga oleh pendapatan yang
diramalkan akan diterima di masa depan. Seterusnya ia menunjukkan pula
peranan kekayaan dalam mempengaruhi konsumsi.
Hipotesis ini juga menerangkan motivasi masyarakat untuk menabung.
Ketika muda mereka cenderung untuk menabung hingga masa pensiunanya.
Tujuan penting dari penabungan ini adalah untuk membiayai konsumsi di hari tua.
Sedangkan dalam karangan Reksoprayitno (1997), ABM (Ando-
Brumberg-Modigliani) menggunakan asumsi bahwa konsumen bersikap rasional.
Ini berarti bahwa konsumen berusaha untuk memaksimumkan kepuasan dari
aliran pendapatan yang ia perkirakan berlaku untuknya. Mengenai sumber
pendapatan, ABM membedakan dua sumber pendapatan yaitu tenaga kerja
sebagai sumber labour income dan kekayaan sebagai sumber property income.
2.7 Teori Engel
Menurut Meiler dan meineres (1997) dalam tesis Farida Milias Tuty ,
sebagai pelopor dalam penelitian tentang pengeluaran rumah tangga. Penelitian
Engel melahirkan empat butir kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan hukum
Engel. Ke empat butir kesimpulanya yang dirumuskan tersebut adalah :
26
a. Jika Pendapatan meningkat, maka persentasi pengeluaran untuk konsumsi
pangan semakin kecil.
b. Persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak
tergantung pada tingkat pendapatan.
c. Persentase pengeluaran konsumsi untuk pengeluaran rumah relatif tetap
dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan.
d. Jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk
pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah, dan tabungan semakin
meningkat.
Menurut Prathama Rahardja dan Mandala Manurung (2000:115) untuk
mengetahui suatu barang sebagai kebutuhan pokok atau barang mewah
dilakukan dengan menggunakan kurva Engel. Kurva ini mencoba melihat
hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat konsumsi sebagai
berikut :
a. Barang kebutuhan pokok, seperti makanan pokok. Perubahan pendapatan
nominal tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan permintaan.
Bahkan jika pendapatan terus meningkat,permintan terhadap barang
tersebut perubahanya makin kecil dibandingkan dengan perubahan
pendapatan. Jika dikaitkan dengan konsep elastisitas, maka elastisitas
pendapatan dari kebutuhan pokok makin kecil bila tingkat nominal
pendapatan makin tinggi.
b. Barang mewah. Kenaikan pendapatan terhadap barang tersebut lebih
besar dibandingkan dengan kenaikan tingkat pendapatan. Atau dapat
27
dikatakan bahwa permintaan terhadap barang mewah mempunyai elatisitas
yang besar.(Farida Milias)
Berikut adalah kuva yang menunjukkan hubungan pendapatan dengan
konsumsi Kelompok Pangan
2.7.1 Hubungan Pendapatan Dengan Konsumsi Barang Pokok Untuk
Kelompok Pangan
Dari kurva diatas memperlihatkan hubungan pendapatan dengan barang
yang dalam hal ini adalah beras yang masuk dalam kelompok konsumsi makanan.
Apabila terjadi peningkatan income dari Y ke Y1 maka penambahan income akan
digunakan atau akan dialokasikan untuk membeli beras pada titik P2. Jadi, Untuk
golongan rumah tangga miskin menganggap bahwa beras adalah barang superior
karena peningkatan pendapatan mengakibatkan bertambahnya proporsi alokasi
28
Y1 Y2
P2
P1
Px.Qx(B eras)
INCOME
P0KAYA(INFERIOR)
MISKIN(SUPERIOR)
Y30
untuk kebutuhan beras dalam hal ini beras adalah kelompok konsumsi makanan.
Dan justru sebaliknya untuk keluarga kaya. Apabila terjadi peningkatan income
dari Y1 ke Y3 maka permintaan beras akan berada pada posisi P0. Artinya jika
terjadi peningkatan pendapatan untuk rumah tangga kaya, maka proporsi alokasi
untuk beras reletive sedikit dibandingkan rumah tangga miskin. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar pendapatannya dialokasikan untuk keperluan
non pangan dan untuk ditabung.
Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika terjadi peningkatan
pendapatan maka juga akan terjadi peningkatan konsumsi. Namun, peningkatan
pengeluaran konsumsi untuk rumah tangga kaya dan miskin berbeda, pada rumah
tangga kaya akan mengakibatkan kenaikan konsumsi pangan namun tidak sebesar
proporsi konsumsi pangan pada rumah tangga miskin.
Kelompok pengeluaran untuk Konsumsi Pangan dan Non Pangan dapat
dilihat pada rumus berikut:
Konsumsi Pangan :Ʃ Pi x Qi = (Pa.Qa+ Pb.Qb+ Pc.Qc+ Pd.Qd+ Pe.Qe+ Pf.Qf+
Pg.Qg+..........................)
Konsumsi Non Pangan: Ʃ Px x Qx = (Pa.Qa+ Pb.Qb+ Pc.Qc+ Pd.Qd+ Pe.Qe+
Pf.Qf +Pg.Qg+...............................)
2.8 Pendapatan
Menurut Sumitro (1957): Pendapatan merupakan jumlah barang dan jasa
yang memenuhi tingkat hidup masyarakat, dimana dengan adanya pendapatan
yang dimiliki oleh masyarkat dapat memenuhi kebutuhan dan pendapatan rata-rata
29
yang dimiliki oleh setiap jiwa disebut juga dengan pendapatan perkapita yang
menjadi tolak ukur kemajuan atau perkembangan ekonomi. Defenisi pendapatan
adalah uang yang diterima oleh perorangan, perusahaan dan organisasi-organisasi
lain dalam bentuk upah, gaji, sewa, bunga, komisi,ongkos, dan laba, bantuan,
tunjangan pengangguran, pensiun, dan lain sebagainya. Pendapatan adalah total
penerimaan uang dan bukan uang seseorang atau rumah tangga selama periode
tertentu.
Menurut Eugene A. Diulio Ph. D (1993) mengatakan pendapatan sekarang
terdiri atas pendapatan permanen dan pendapatan sementara. Pendapatan
permanen adalah pendapatan yang diharapkan akan diterima oleh rumah tangga
selama beberapa tahun mendatang, sedangkan pendapatan sementara terdiri dari
tiap tambahan atau pengeluaran yang tidak terduga terhadap pendapatan
permanen.
Selanjutnya pendapatan perorangan (personal income) merupakan
pendapatan agregat (yang berasal dari berbagi sumber) yang secara actual
diterima oleh seseorang atau rumah tangga (Nanga,2001).
Menurut Mankiw (2000) pendapatan perorangan adalah jumlah pendapatan
yang diterima rumah tangga dan bisnis nonkorporat. Sedangkan menurut Sukirno
(2004), pendapatan pribadi dapat diartikan sebagai semua jenis pendapatan,
termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apa pun,
yang diterima oleh penduduk suatu negara.
Pendapatan (income) adalah total penerimaan (uang dan bukan uang)
seseorang atau suatu rumah tangga selama periode tertentu. Ada tiga sumber
30
penerimaan rumah tangga yaitu: 1)Pendapatan dari gaji dan upah.Gaji dan upah
adalah balas jasa terhadap kesediaan menjadi tenaga kerja. Besar gaji atau upah
seseorang secara teoritis sangat tergantung dari prodiktivitasnya. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi produktivitas yaitu :a) Keaahlian (Skill) adalah
kemampuan teknis yang dimiliki seseorang untuk mampu menengani pekerjaan
yang dipercayakan. Makin tinggi jabatan seseorang, keahlian yang dibutuhkan
semakin tinggi, karena itu gaji atau upahnya juga semakin tinggi, b) mutu modal
manusia (human capital) adalah kapasitas pengetahuan, keahlian dan kemampuan
yang dimiliki seseorang., baik karena bakat bawaan maupun hasil pendidikan dan
penelitian, c) Kondisi kerja (Working conditions) adalah lingkungan dimana
seseorang bekerja. Bila risiko kegagalan atau kecelakaan makin tinggi, walaupun
tingkat keahlian yang dibutuhkan tidak jauh berbeda. 2) Pendapatan dari asset
produktif. Asset produktif adalah asset yang memberikan pemasukan atas batas
jasa penggunaanya. Ada dua kelompok asset produktif. Pertama, asset financial
seperti deposito yang menghasilkan pendapatan bunga, saham, yang
menghasilkan deviden dan keuntungan atas modal bila diperjualbelikan. Kedua,
asset bukan financial seperti rumah yang memberikan penghasilan sewa. 3)
Pendapatan dari pemerintah. Pendapatan dari pemerintah atau penerimaan transfer
adalah pendapatan yag diterima bukan sebagai balas jasa input yang diberikan.
Atau pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah misalnya pembayaran untuk
jaminan sosial yang diambil dari pajak yang tidak menyebabkan pertambahan
dalam output.
31
2.9 Pengaruh Pendapatan Terhadap Pola Konsumsi Rumah Tangga
Masliah (1991) dalam penelitianya “Hubungan antara konsumsi dan
pendapatan nasional sendiri saling berhubungan. Hal ini didasarkan kondisi yang
terjadi bahwa konsumsi tergantung pada persepsi masyarakat terhadap pendapatan
permanen (pendapatan masyarakat dalam hidupnya) dari pada pendapatan yang
dibelanjakan yang mereka peroleh pada saat ini dalam kondisi ekonomi
mengalami kemajuan, konsumsi akan cenderung tertinggal oleh naiknya tingkat
pendapatan sementara pada masa ekonomi mengalami kemunduran, tingkat
konsumsi tidak akan turun secepat tingkat pertumbuhan pendapatan”.
Teori Engel’s yang menyatakan bahwa : “ Semakin tinggi tingkat
pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi
makanan “ (Sumarwan ,1993). Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa
dikatakan lebih sejahtera bila persentasi pengeluaran untuk makanan jauh lebih
kecil dari persentasi pengeluaran untuk bukan makanan. Artinya proporsi alokasi
pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan
keluarga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada
kebutuhan non pangan.
Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat
pendapatan. Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan
makanan dapat terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama
dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya
pendapatan rumah tangga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta
tingkat pendidikannya (Soekirman, 1991).
32
Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari
pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk
makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan
untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin
dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 1991).
Penelitian Crotty, dkk (1989) menunjukkan bahwa pada rumah tangga
dengan tingkat pendapatan rendah di Australia mengalokasikan uangnya dalam
jumlah yang sedikit untuk bahan makanan seperti gandum, produk susu, buah dan
sayuran.Pengeluaran rumah tangga sebagai proksi dari pendapatan mempengaruhi
tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin besar pengeluaran total mengakibatkan
konsumsi energi rumah tangga juga bertambah dengan kata lain apabila
pengeluaran total rumah tangga bertambah maka pertambahan tersebut digunakan
untuk memenuhi kekurangan konsumsi energi (Arifin danSudaryanto,1991).
Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan
daya beli rumah tangga. Rumah tangga dengan pendapatan terbatas, kurang
mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya
keanekaragaman bahan makan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang
terbatas tidak akan banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh
tidak terpenuhi (Apriadji, 1986)
2.10 Tinjauan Empiris
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rahmatia (2004) mengamati
pola konsumsi wanita pekerja Sulsel pada umumnya dan Kota Makassar pada
33
khususnya memperoleh hasil bahwa pola konsumsi wanita pekerja SULSEL pada
umumnya adalah barang kebutuhan pokok baik barang kebutuhan sehari-hari
maupun barang tahan lama yang seharusnya barang Lux.
Herni winarti (2007) mengamati tingkat konsumsi pangan rumah tangga
nelayan di kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar adalah
bahwa proporsi alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan berbanding lurus
dengan besarnya pendapatan total keluarga, artinya semakin besar pendapatan
total keluarga maka proporsi alokasi untuk konsumsi pangan semakin besar.
Selain itu besarnya tanggungan berbanding lurus dengan konsumsi pangan artinya
terdapat hubungan yang positif antara besarnya tanggungan dengan tingkat
konsumsi pangan walaupun dengan tingkat konsumsi pangan walaupun dengan
tingkat konsumsi pangan, dan dengan tingkat koefisien yang kecil.
Miskat (2005) dalam skripsinya menemukan bahwa pola pengeluaran
konsumsi masyarakat Makassar di Kecamatan Tamalanrea rata-rata dialokasikan
untuk kebutuhan Non pangan dibandingkan dengan kebutuhan pangan,dan jenis
pekerjaan kepala rumah tangga dan jumlah anggota keluarga berpengaruh
terhadap pola pengeluaran konsumsi masyarakat.
Elwin (2001) dalam skripsinya Analisis Pola Konsumsi Rumah Tangga
Miskin Pasca Kenaikan Harga BBM Di Kota Makassar menemukan bahwa
pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin pasca kenaikan harga BBM relatif
menurun, hal ini disebabkan karena harga barang naik, sedangkan kemampuan
konsumsi tidak mampu lagi untuk menjangkaunya.
34
2.11 Kerangka Konseptual
Pola Konsumsi sering digunakan sebagai salah satu indikator untuk
mengukur tingkat kesejahteraan. Konsumsi seseorang sangat dipengaruhi oleh
pendapatan yang diterimanya. Berdasarkan kurva Engel yaitu tingkat
kesejahteraan suatu masyarakat dapat pula dikatakan membaik apabila pendapatan
meningkat dan sebagian pendapatan tersebut digunakan untuk mengkonsumsi non
makanan, begitupun sebaliknya. Mereka mengalokasikan kelebihan pendapatan
mereka pada pengeluaran non makanan dan selebihnya mereka tabung. Namun
hal ini begitu berbeda dengan seseorang/rumah tangga yang berpendapatan rendah
dalam hal ini adalah rumah tangga miskin dimana penghasilanya pas-pasan,
mereka lebih cenderung untuk memprioritaskan pengeluaran mereka untuk
konsumsi makanan dan berbagai macam kebutuhan lainya dan terkadang
pendapatan mereka tidak tersisa lagi untuk ditabung. Hal ini membuktikan bahwa
konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatan.
Dari gambar 2.11 di bawah ini, dapat dilihat bahwa pola konsumsi dalam
penelitian ini diduga dipengaruhi pendapatan.
Berdasarkan batasan teoritik serta rumusan masalah yang telah
dikemukakan sebelumnya maka kerangka konseptual dari penelitian ini yaitu
35
36
Gambar 2.11 Keranggka Konseptual
Rumah Tangga
Miskin Kaya
Pendapatan dan pengeluaran
Pola konsumsi
Konsumsi Pangan
Konsumsi Non Pangan
2.12 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah seperti yang telah diuraikan dalam bab.I
serta dengan berpedoman kepada kerangka konseptual seperti di atas, maka
hipotesis yang dapat dibentuk adalah sebagai berikut :
Diduga pola konsumsi rumah tangga kaya adalah lebih banyak porsinya
untuk memenuhi kebutuhan non makanan dari pada untuk konsumsi makanan
dan sebaliknya pola konsumsi rumah tangga miskin adalah lebih banyak porsinya
untuk memenuhi kebutuhan makanan dari pada untuk konsumsi non makanan
37
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Suatu hal yang sangat penting dalam penelitian adalah menentukan waktu
dan lokasi penelitian. Pengumpulan data pada penelitian ini berlangsung selama
tiga bulan dari bulan maret sampai dengan mei 2011.
Kota Makassar saat ini meliputi 14 kecamatan dan 143 Kelurahan. Lokasi
penelitian yang dianggap mewakili Kota Makassar berdasarkan penelitian adalah
pada sebelah barat kota Makassar diambil adalah Kecamatan Tallo, sebelah utara
Kota Makassar adalah Kecamatan Biringkanaya, sebelah Timur Kota makassar
adalah Kecamatan Manggala, sebelah Selatan adalah kecamatan Tamalate dimana
lokasi itu yang dianggap mewakili dengan pertimbangan pada lokasi tersebut
terdapat orang kaya dan miskin yang tersebar merata dan memiliki jumlah rumah
tangga paling banyak.
3. 2 Populasi dan Sampel
Menurut Anto Dajan (1996) populasi merupakan keseluruhan unsur–unsur
yang memiliki satu atau beberapa ciri atau karakteristik yang sama. Populasi
dalam penelitian ini adalah semua rumah tangga yang ada di Kota Makassar yang
terdiri dari 102551 KK yang tersebar di 4 kecamatan (Tamalate, Tallo, Manggala,
Biringkanaya). Adapun sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih
dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili
populasinya (Sugianto,dkk, 1998).
38
Teknik sampling yang digunakan dalam pemilihan lokasi adalah teknik
purposive sampling. Teknik purposive sampling menurut Narbuko dan Achmadi
(2001: 116) merupakan suatu teknik yang berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-
sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau
sifat-sifat yang spesifik yang dilihat dalam populasi. Sedangkan menurut Sutopo
(2002: 36). Pemilihan sampel berdasarkan teknik ini adalah diarahkan pada
sumber data yang dipandang memiliki data yang penting yang berkaitan dengan
permasalahan yang sedang diteliti.
Ciri-ciri purposive sampling menurut Moleong (2004: 224) adalah sampel
tidak dapat ditarik terlebih dahulu, pemilihan sampel secara berurutan,
penyesuaian berkelanjutan dari sampel, dan pemilihan sampel berakhir jika sudah
terjadi pengulangan. Sesuai dengan pengertian dan ciri-ciri purposive sampling
diatas maka sampel dalam penelitian adalah rumah tangga kaya dan miskin yang
tersebar pada 4 kecamatan. Kemudian pada tingkat kecamatan dipilih lagi
kelurahan yang mewakili dan akhirnya sampai pada unit terkecil yaitu pada
tingkat RT.
Penentuan jumlah sampel berdasarkan pada rumus slovin sebagai berikut:
n= N/1+Ne2
Dimana:
1= konstanta
n = ukuran sampel
N = Ukuran Populasi
39
e2= kelonggaran atau ketidaktelitian karena kesalahan pengubah sampel yang
dapat ditolerir yakni 1% dengan tingkat kepercayaan 99% .
Tabel 3.2 Jumlah Rumah Tangga Menurut Kecamatan Di Kota Makassar
Kecamatn Rumah tanggaMariso 13.401Mamajang 16.294Tamalate 32.904Rappocini 28.444Makassar 15.949Ujungpandang 7.177Wajo 11.347Bontoala 14.140Ujung tanah 11.331Tallo 35.618Panakukang 26.969Manggala 24.658Biringkanya 35.684Tamalanrea 22.498Jumlah 296.374
Jumlah Sampel (n)= n= N/1+Ne2
=128.864/1+128.864.0,01
=99,96
=100 sampel
Pengambilan sampel adalah dilakukan secara acak sederhana (Simple
Random Sampling) di tingkat Rumah Tangga ( RT ) pada setiap kecamatan
sebanyak 100 sampel. Dalam metode ini pengambilan sampel dilakukan secara
random,artinya semua populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih
sebagai sampel,berdasarkan karakteristik yang dimaksud, siapapun, dimana dan
kapan saja dapat ditemui yang selanjutnya dijadikan responden.
40
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada
responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kousioner) mengenai
karakteristik responden.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait yakni
dari Badan Pusat Statistik (BPS) meliputi berbagai data sosial ekonomi
penduduk, dan data yang diperoleh dari buku-buku acuan dan berbagai artikel.
3. 4 Model Analisis
3.4.1 Model Analisis Deskriptif Komparatif
Untuk membuktikan hipotesis yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya, maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan metode analisis deskriptif untuk mengungkapkan atau
menggambarkan mengenai keadaan atau fakta yang akurat dari obyek yang
diamati,yaitu rumah tangga kaya dan miskin yang disesuaikan dengan teori atau
dalil yang berlaku dan diakui. Baik yang menyangkut data primer dan data
sekunder akan dilakukan untuk memperoleh informasi.
3.5 Batasan variabel
Untuk lebih mengarahkan dalam pembahasan ini, maka penulis memberikan
batasan variabel yang meliputi:
41
1) Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami
sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama dan makan
dari satu dapur. (BPS,2009)
2) Pola konsumsi rumah tangga adalah jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh
rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhanya dalam satu bulan
yang diukur dengan satuan rupiah. Pendapatan yang diterima rumah tangga
akan digunakan untuk konsumsi pangan dan non pangan. Untuk analisis
deskriptif, pola konsumsi dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Rendah adalah alokasi pola konsumsi pangan sebanyak kurang 50 %
dari total pengeluaran
b. Sedang adalah alokasi pola konsumsi pangan sebanyak 50 - 60 %
daritotal pengeluaran.
c. Tinggi adalah alokasi pola konsumsi pangan lebih besar 60 % dari total
pengeluaran.
3) Konsumsi pangan adalah jumlah pengeluaran konsumsi rumah tangga yang
dikeluarkan setiap bulan untuk kebutuhan bahan makanan, yaitu makanan
pokok, protein hewani, sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan, dan kelompok
kebutuhan lain-lain (teh, kopi, gula, minyak goreng, bumbu-bumbu dapur dan
lain-lain) yang diukur dalam rupiah.
4) Konsumsi Non Pangan adalah jumlah pengeluaran konsusmi rumah tangga
yang dikeluarkan setiap bulan untuk kebutuhan di luar bahan makanan yaitu
berupa sandang, papan, penddikan, kesehatan, transportasi, elektronika,
42
hiburan, minyak tanah, gas, rekening (listrik, telepon, air) dan lain-lain yang
diukur dalam rupiah.
5) Menurut Suyastiri pendapatan total keluarga diukur dengan banyaknya
akumulasi pendapatan semua anggota keluarga, setelah dikonpersi menjadi per
bulan, jadi satuannya adalah rupiah per bulan (Rp/bulan). Pendapatan rumah
tangga dibagi menjadi dua macam yaitu pendapatan total rumah tangga kaya
dan pendapatan total rumah tangga miskin. Dalam penelitian ini pendapatan
total rumah tangga miskin dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pendapatan
rendah, sedang, tinggi. Rata-rata pendapatan rumah tangga miskin (X) adalah
sebesar Rp.1.504.000,00 standar deviasi pendapatan (Sd) adalah sebesar
Rp.630.341,66. Sehingga tingkat pendapatan dibagi menjadi:
1. Pendapatan rendah X ≤Rp.873.658,34
2. Pendapatan sedang Rp.873.658,34<X<Rp.2.134.341,66
3. Pendapatan tinggi X ≥ Rp.2.134.341,66
Sedangkan pendapatan total rumah tangga kaya dibagi menjadi 3 kelompok
yaitu pendapatan rendah, sedang, tinggi. Rata-rata pendapatan rumah tangga
miskin (X) adalah sebesar Rp.7.292.000,00 standar deviasi pendapatan (Sd)
adalah sebesar Rp.2.766.718,38 sehingga tingkat pendapatan dibagi menjadi:
1. Pendapatan rendah X ≤ Rp.4.525.281,62
2. Pendapatan sedang Rp.4.525.281,62<X<Rp.10.058.718,38
3. Pendapatan tinggi X ≥Rp.10.058.718,38
6) Rumah tangga miskin adalah rumah tangga yang dirumahnya terpasang listrik
yang memiliki daya kurang dari 900 watt sedangkan rumah tangga kaya adalah
43
rumah tangga yang dirumahnya terpasang listrik yang memiliki daya lebih dari
900 watt.
44
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian
4.1. 1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk
Kota Makassar secara geografis terletak pada posisi 119 024’17’38” Bujur
Timur -508’6’19”Lintang selatan. Luas wilayahnya sekitar 175,77 km 2 atau kira-
kira 0,28 % dari luas propinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayah Kota Makassar
tercatat 175,77 km persegi yang memiliki 14 kecamatan. Posisi Kota Makassar
terletak di bagian barat propinsi Sulawesi Selatan dengan batas-batas administrasi
sebagai berikut:
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Maros
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Gowa
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Maros
Sebelah barat : berbatasan dengan Selat Makassar
Kecamatan yang memiliki wilayah paling luas adalah kecamatan
Biringkanaya dengan luas area adalah 48,22 km2 atau 27,43 persen dari luas kota
Makassar. Berikutnya adalah kecamatan Tamalanrea dengan luas wilayah sebesar
31,84 km2 atau 18,11 persen dari luas Kota Makassar dan yang menempati urutan
ketiga adalah Kecamatan Manggala 24,14 km2 atau 13,73 persen dari luas kota
Makassar. Sedangkan kecamatan yang memiliki luas wilayah paling kecil adalah
Kecamatan Mariso dengan luas wilayah sebesar 1.82 km2 atau 1,04 persen dari
luas Kota Makassar. Disusul dengan Kecamatan Wajo sebesar 1,99 km2 atau 1,13
45
persen dari luas Kota Makassar yang menempati urutan luas wilayah terkecil
kedua dan Kecamatan Bontoala terkecil ketiga dengan luas wilayah sebesar 2,10
km2 atau 1,19 persen dari luas Kota Makassar. Untuk memperjelas penjelasan
diatas berikut adalah tabel 4.1.1. berikut
Tabel 4.1.1 Luas Wilayah dan Persentase Terhadap Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Makassar (km2)
Kode Wil
Kecamatan Luas Area
(Km2)
Persentase Terhadap Luas Kota Makassar
(%)
010 Mariso 1,82 1,04
020 Mamajang 2,25 1,28
030 Tamalate 20,21 11,50
031 Rappocini 9,23 5,25
040 Makassar 2,52 1,43
050 Ujung Pandang 2,63 1,50
060 Wajo 1,99 1,14
070 Bontoala 2,10 1,19
080 Ujung Tanah 5,94 3,38
090 Tallo 5,83 3,32
100 Panakkukang 17,05 9,70
101 Manggala 24,14 13,73
110 Biringkanaya 48,22 27,43
111 Tamalanrea 31,84 18,11
7371 Makassar 175,77 100
Sumber : Kantor Badan Pertahanan Nasional
Penduduk kota Makassar tahun 2009 adalah sebesar 1.272.349 jiwa yang
terdiri dari 610.270 jiwa laki-laki dan 662.079 jiwa perempuan. Jumlah rumah
tangga di kota Makassar tahun 2009 mencapai 296.374 rumah tangga. Dengan
kecamatan Tamalate memiliki posisi nomor satu untuk jumlah penduduk terbesar
di Kota Makassar yakni sebanyak 154.464 jiwa pada tahun 2009. Sementara
kecamatan Rappocini menempati posisi kedua dengan jumlah penduduk sebesar
145.090 jiwa pada tahun 2009, disusul oleh kecamatan Tallo dengan jumlah
46
penduduk sebesar 137.333 rumah tangga. Kecamatan yang memiliki jumlah
rumah tangga terbesar di kota Makassar adalah kecamatan Biringkanaya dengan
jumlah rumah tangga sebesar 35.684 rumah tangga. disusul dengan kecamatan
Tallo dengan jumlah rumah tangga sebesar 35.618 rumah tangga dan kecamatan
Tamalate terbesar ketiga dengan jumlah rumah tangga sebesar 32.904 rumah
tangga. sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil dan jumlah rumah
tangga terkecil adalah kecamatan Ujung Pandang dengan jumlah penduduk adalah
sebesar 29.064 jiwa dan jumlah rumah tangganya adalah sebesar 7.177 rumah
tangga.
Laju pertumbuhan penduduk di kota Makassar yang paling tinggi untuk
periode 2000-2009 adalah kecamatan Biringkanaya dengan laju pertumbuhan
penduduk sebesar 3,57 persen per tahun. Sedang kecamatan yang memiliki laju
pertumbuhan penduduk terkecil adalah kecamatan Wajo dan kecamatan
Mamajang yakni sebesar 0,45 persen per tahun. Berikut adalah tabel yang
menunjukkan jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga di kota Makassar
Tabel 4.1.2 Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Rumah Tangga dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga Tahun 2009.
47
Kode Wil
Kecamatan Penduduk
Laju Pertumbuhan
Penduduk Rumah Tangga
Rata-rata Anggota Rumah Tangga2008 2009 2000-2009
010 Mariso 54.616 55.431 0,93 13.401 4,14020 Mamajang 60.395 61.294 0,45 16.294 3,76030 Tamalate 152.197 154.464 2,08 32.904 4,69031 Rappocini 142.958 145.090 1,62 28.444 5,10040 Makassar 82.907 84.143 0,54 15.949 5,28050 Ujung Pandang 28.637 29.064 0,51 7.177 4,05060 Wajo 35.011 35.533 0,45 11.347 3,13070 Bontoala 61.809 62.731 1,09 14.140 4,44080 Ujung Tanah 48.382 49.103 1,21 11.331 4,33090 Tallo 135.315 137.333 1,94 35.618 3,86100 Panakkukang 134.548 136.555 1,09 26.929 5,07101 Manggala 99.008 100.484 2,98 24.658 4,08110 Biringkanaya 128.731 130.651 3,57 35.684 3,66111 Tamalanrea 89.143 90.473 1,15 22.498 4,02
Sumber : Makassar dalam angka 2010
Persebaran penduduk antar kecamatan relatif tidak merata. Hal ini nampak
dari tabel 4.1.3 dimana kecamatan Tamalate yang memiliki jumlah penduduk
terbesar di kota Makassar atau 12,14 persen dari total penduduk namun luas
wilayahnya hanya meliputi sekitar 11,50 persen dari total luas wilayah Makassar.
Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk, nampak pada Tabel 4.1.3. bahwa kecamatan
Makassar yang memiliki kepadatan penduduk yang tertinggi yaitu 33.390 jiwa per km2
sedangkan kecamatan Biringkanaya memiliki kepadatan penduduk terendah yaitu
2.709 jiwa per km2.
Tabel 4.1.3 Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Makassar 2009
48
Kecamatan Luas Area (Km2)
%Jumlah
Penduduk
%Jumlah Rumah Tangga
Kepadatan Penduduk (Org/Km2)
Mariso 1.82 1,04 55.431 4.36 13.401 30.457Mamajang 2.25 1,28 61.294 4.82 16.294 27.242Tamalate 20.21 11,50 154.464 12.14 32.904 7.643Rappocini 9.23 5,25 145.090 11.40 28.444 15.719Makassar 2.52 1,43 84.143 6.61 15.949 33.390Ujung Pandang 2.63 1,50 29.064 2.28 7.177 11.051Wajo 1.99 1,14 35.533 2.79 11.347 17.856Bontoala 2.1 1,19 62.731 4.93 14.140 29.872Ujung Tanah 5.94 3,38 49.103 3.86 11.331 8.266Tallo 5.83 3,32 137.333 10.79 35.618 23.556Panakkukang 17.05 9,70 136.555 10.73 26.929 8.009Manggala 24.14 13,73 100.484 7.90 24.658 4.163Biringkanaya 48.22 27,43 130.651 10.27 35.684 2.709Tamalanrea 31.84 18,11 90.473 7.11 22.498 2.841Total 175.77 100 1.272.349 100 296.374 7.239Sumber : Makassar Dalam Angka 2010
Sedangkan untuk jumlah keluarga dirinci menurut kecamatan dan
Tahapan keluarga sejahtera di Kota Makassar dapat dilihat pada tabel 4.1.4
berikut:Dari tabel diatas menggambarkan jumlah keluarga dirinci menurut
kecamatan dan tahapan keluarga sejahtera di Kota Makassar. Pra Keluarga
sejahtera dan Keluarga Sejahtera I adalah tergolong rumah tangga kaya,
sedangkan keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, keluarga sejahtera III Plus
adalah tergolong rumah tangga kaya. Kecamatan Tamalate adalah salah satu
kecamatan yang terletak di sebelah selatan Kota Makassar, memiliki jumlah
rumah tangga 8.624 dan persebaran rumaha tangga kaya dan miskin merata.
Kecamatan manggala adalah salah satu kecamatan yang terletak di sebelah timur
kota makassar yang memiliki jumlah rumah tangga 3.670. Begitu pula Kecamatan
Tallo terletak di sebelah barat Kota Makassar yang memiliki jumlah rumah tangga
49
sebanyak 6.698 rumah tangga dan Kecamatan Biringkanaya terletak disebelah
utara Kota Makassar yang memiliki jumalah rumah tangga sebanyak 9.842 rumah
tangga dan memiliki persebaran rumah tangga kaya dan miskin merata.
Tabel 4.1.4 Jumlah Keluarga Dirinci Menurut Kecamatan dan Tahapan Keluarga Sejahtera di Kota Makassar
KecamatanJumlah
Kepala Keluarga
Tahapan KeluargaSejahtera
PRA KELUARGASEJAHTERA
KELUARGASEJAHTERA I
MARISO 11.523 3.951 2.528MAMAJANG 12.200 2.796 3.121TAMALATE 31.642 10.031 4.185RAPPOCINI 28.708 6.500 4.954MAKASSAR 17.353 6.088 4.020UJUNG PANDANG 5.881 872 1.055WAJO 7.088 902 1.365BONTOALA 10.844 2.946 2.739UJUNG TANAH 10.614 4.019 2.716TALLO 26.888 8.181 8.611PANAKUKKANG 25.766 6.590 3.657MANGGALA 20.317 4.135 4.141BIRINGKANAYA 29.609 5.475 5.896TAMALANREA 16.435 1.478 3.712
Kecamatan
Tahapan KeluargaSejahtera
KELUARGA SEJAHTERA II
KELUARGASEJAHTERA III
KELUARGA SEJAHTERA III PLUS
MARISO 2.863 1.737 444
MAMAJANG 3.473 2.134 676TAMALATE 8.624 5.685 3.117RAPPOCINI 7.639 6.637 2.978MAKASSAR 4.203 1.925 1.117UJUNG PANDANG 1.980 1.555 419WAJO 2.074 2.151 596BONTOALA 2.966 1.555 638UJUNG TANAH 2.693 1.075 111TALLO 6.698 2.727 671
50
PANAKUKKANG 6.464 6.064 2.991MANGGALA 3.670 3.741 4.630BIRINGKANAYA 9.842 6.686 1.710TAMALANREA 5.839 4.261 1.145Sumber : Makassar Dalam Angka 2010
4.2 Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Sebagai pusat pelayanan pendidikan kota Makassar cukup banyak
memiliki sarana dan prasarana pendidikan, mulai dari tingkat Taman
Kanak-kanak sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Menurut data Statistik, pada
tahun 2010, di kota Makassar terdapat sebanyak 333 sekolah Taman Kanak-
Kanak. Demikian juga jumlah sekolah SD adalah sebanyak 459 sekolah.
Prasarana pendidikan SLTP ada sebanyak 171 buah sekolah dan 112 sekolah
SLTA. Sedangkan Perguruan tinggi terdiri dari 3 Universitas Negeri dan 1 Institut
Negeri, untuk Perguruan Tinggi Swasta terdiri dari 14 Universitas, 26 Sekolah
Tinggi, dan 16 Akademi.
Tabel 4.2 Jumlah Murid TK, SD, SMP dan SMA di Makassar Tahun Ajar 2009/2010
Pendidikan Jumlah Murid
TK 13.934
SD 145.749
SMP 59.101
SMA 65.277 Sumber : Makassar Dalam Angka 2010
51
Pada Tabel 4.2. nampak bahwa jumlah murid TK (usia 4-5 tahun) di Kota
Makassar pada tahun ajar 2009/2010 adalah 13.934 murid. Jumlah murid SD (usia
6-12 tahun) pada tahun ajar 2009/2010 adalah 145.749 murid. Sedangkan murid
SMP (usia 13-15 tahun) di Kota Makassar adalah sebanyak 59.101 murid.
Terakhir untuk jumlah murid SMA(usia 16-18 tahun) di kota Makassar adalah
sebesar 65.277 murid.
4.3 Karakteristik Responden
4.3.1 Tingkat Pendidikan Formal
Kualitas sumber daya manusia sangat penting perananya dalam proses
pembangunan. Salah satu ukuran kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan
formal yang pernah diikuti atau ditamatkan. Tingkat pendidikan seseorang yang
semakin baik akan memberikan dukungan baik secara sosial maupun ekonomi
untuk melakukan aktivitas dalam kelangsungan hidupnya. Tingkat pendidikan
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lamanya pendidikan yang pernah
ditempuh oleh kepala keluarga.
Tabel 4.3.1 Kelompok Responden Menurut Tingkat Pendidikan Formal
Kota Makassar Tahun 2011
Tingkat PendidikanKaya Miskin
Frekuensi % Frekuensi %SD 0 0 22 44
SLTP 3 6 13 26SLTA 10 20 15 30Sarjana 37 74 0 0Jumlah 50 100 50 100
Sumber : Hasil Olahan Data Primer,2011
52
Berdasarkan tabel 4.3.1 dapat dilihat pola distribusi tingkat pendidikan
formal responden. Dari 100 kepala keluarga rumah tangga yang menjadi
responden terdapat berbagai jenis pendidikan formal diantaranya Sekolah Dasar,
SLTP, SLTA, sarjana. Pada rumah tangga kaya, tidak ada responden yang
mengecap pendidikan formal SD sedangkan pada rumah tangga miskin ada 22
responden atau 44 persen yang memilki pendidikan SD, untuk pendidikan SLTP
keluarga kaya terdapat 3 responden atau 6 persen sedangkan keluarga miskin
terdapat 13 responden atau 26 persen, sedangkan untuk pendidikan SLTA rumah
tangga kaya sebanyak 10 responden atau 20 persen sedangkan rumah tangga
miskin sebanyak 15 responden atau 30 persen. Kemudian pada rumah tangga kaya
lebih banyak mengecap pendidikan pada tingkat sarjana yaitu sebanyak 37
responden atau 74 persen sedangkan pada keluarga miskin tidak terdapat
responden yang mengecap pendidikan sarjana.
Rata-rata lama bersekolah keluarga miskin adalah 9 tahun. Artinya
keluarga miskin rata-rata menyelesaikan studinya pada tingkat SLTP. Sedangkan
keluarga kaya rata-rata bersekolah selama 16 tahun. Artinya bahwa rata-rata lama
sekolah keluarga kaya adalah telah menyelesaikan studinya pada tingkat sarjana.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan suatu rumah
tangga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala keluarga. Hal ini ditunjukkan
pada tabel di atas bahwa rumah tangga kaya pada umumnya tingkat pendidikanya
adalah sarjana. Sedangkan rumah tangga miskin tingkat pendidikanya adalah
tamatan SLTP.
53
4.3.2 Pekerjaan
Lapangan pekerjaan dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk
melihat perbedaan karakteristik pekerjaan penduduk perkotaan dan pedesaan.
Pekerjaan kepala keluarga di lokasi penelitian mencerminkan karakteristik
penduduk perkotaan dimana sebagian besar responden PNS, pegawai swasta,
wiraswasta, buruh, dan lain-lain.
Tabel 4.3.2 Kelompok Pekerjaan Kepala Rumah Tangga di Kota Makassar Tahun 2011
Pekerjaan Kepala Keluarga
Kaya MiskinFrekuensi % Frekuensi %
PNS/Pensiunan 19 38 3 6Pegawai swasta 13 26 2 4Wiraswasta 18 36 4 8Buruh 0 0 13 26Lain 0 0 28 56Jumlah 50 100 50 100Sumber : Hasil Olahan Data Primer,2011
Berdasarkan tabel 4.3.2 dapat dilihat pola distribusi responden rumah
tangga miskin dan kaya menurut pekerjaanya. Pada rumah tangga miskin, lebih
banyak menggeluti kelompok pekerjaan lain-lain yang terdiri dari tukang becak,
sopir angkot, tukang bersih-bersih, tukang bengkel, tukang tambal ban, penjual
buah-buahan sebanyak 28 responden atau 28 persen. Sedangkan pada rumah
tangga kaya tidak ada responden yang bekerja pada kelompok pekerjaan lain-lain.
Justru orang kaya lebih banyak bekerja sebagai PNS dan wiraswasta yaitu
masing-masing sebanyak 19 dan 18 responden, dan ada juga yang bekerja sebagai
kontraktor sebanyak 5 responden.
54
4.3.3 Tingkat Pendapatan
Perubahan kondisi ekonomi mempengaruhi perilaku masyarakat dalam
menentukan pola konsumsi. Pendapatan rumah tangga yang terdiri dari
pendapatan kepala keluarga dan anggoa keluarga akan mempengaruhi alokasi
untuk setiap kebutuhan keluarga. Kebutuhan tersebut terdiri dari kebutuhan untuk
konsumsi pangan dan non pangan. Alokasi pola pengeluaran keluarga setidaknya
ditentukan oleh prioritas atau pilihan menurut tingkat pemenuhan kebutuhan baik
kebutuhan pangan maupun non pangan.
4.3.3.1 Kelompok Pendapatan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
Berikut adalah tabel yang memperlihatkan pendapatan kepala rumah
tangga di Kota Makassar
Tabel 4.3.3.1 Kelompok Pendapatan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
Pendapatan Kepala Keluarga (Rp/Bulan)
Kaya MiskinFrekuensi % Frekuensi %
500.000-1.000.000 0 0 27 541.000.100-1.500.000 0 0 14 281.500.100-2.000.000 0 0 7 142.000.100-2.500.000 0 0 2 42.500.100-3.000.000 0 0 0 03.000.100-3.500.000 1 2 0 03.500.100-4.000.000 3 6 0 04.000.100-4.500.000 1 2 0 04.500.100-5.000.000 4 8 0 05.000.000 + 41 82 0 0Jumlah 50 100 50 100Sumber : Hasil Olahan Data Primer,2011
55
Berdasarkan Tabel 4.3.3.1 dapat dilihat pola distribusi responden rumah
tangga kaya dan miskin menurut tingkat pendapaan kepala keluarga. Pada rumah
tangga kaya kelompok tingkat pendapatan, ternyata paling banyak pada kelompok
pendapatan lebih dari Rp. 5.000.000 perbulan yakni sebanyak 41 responden atau
41 persen, kemudian menyusul pada kelompok pendapatan Rp.4.500.100-
5.000.000 sebanyak 4 responden sedangkan untuk rumah tangga miskin kelompok
pendapatan kepala keluarga terbanyak adalah Rp.500.000-1.000.000 yaitu
sebanyak 27 responden atau 27 persen kemudian menyusul kelompok pendaptan
Rp.1.000.100-1 .500.000 sebanyak 17 responden.
Dari data diatas menggambarkan bahwa terjadinya perbedaan tingkat
pendapatan yang nantinya akan mempengaruhi pola konsumsi. Rumah tangga
yang memiliki pendapatan tinggi akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk
memperbaiki dan meningkatkan mutu, jumlah dan ragam, baik barang maupun
jasa yang akan dibeli rumah tangga. Untuk rumah tangga yang memilki
pendapatan rendah, sebagian pendapatanya akan dialokasikan untuk membeli
barang kebutuhan primer dan hanya sebagian kecil untuk untuk membeli barang
kebutuhan sekunder.
4.3.3.2 Kelompok Pendapatan Anggota Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
Berikut adalah tabel data pendapatan anggota rumah tangga di Kota
Makassar berdasarkan rumah tangga kaya dan miskin di Kota Makassar adalah:
56
Tabel 4.3.3.2 Kelompok Pendapatan Anggota Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
Pendapatan Anggota Keluarga (Rp/Bulan)
Kaya MiskinFrekuesni % Frekuensi %
Tidak Bekerja 26 52 27 54<500.000 3 6 5 10500.100-1.000.000 1 2 10 201.000.100-1.500.000 2 4 3 61.500.100-2.000.000 5 1 5 102.000.100-2.500.000 4 8 0 02.500.100-3.000.000 3 6 0 03.000.100-3.500.000 3 6 0 03.500.100-4.000.000 3 6 0 0Jumlah 50 100 50 100Sumber: Hasil Olahan Data primer,2011
Berdasarkan Tabel 4.3.3.2 dapat dilihat pola distribusi responden menurut
pendapatan anggota rumah tangga berdasarkan kategori rumah tangga. Baik
rumah tangga kaya dan miskin, anggota rumah tangga yang tidak memiliki
pendaptan atau yang tidak bekerja menempati urutan pertama. Artinya bahwa
tumpuan satu-satunya keluarga hanya pada kepala keluarga dan masih tergantung
pada orang tua. Untuk responden yang mempunyai anggota keluarga dengan
pendapatan rendah umumnya mereka bekerja sebagai tukang cuci, tukang becak,
tukang bentor ,sopir angkot, tukang tambal ban, tukang bersih-bersih, dan buruh
bangunan. Sedangkan untuk anggota rumah tangga kaya, umumnya mereka
bekerja sebagai wiraswasta dan PNS, pegawai swasta.
57
4.3.3.3 Kelompok Pendapatan Total Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
Berikut adalah tabel kelompok pendapatan total rumah tangga berdasarkan
rumah tangga kaya dan miskin di Kota Makassar Tahun 2011 adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.3.3.3 Kelompok Pendapatan Total Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
Pendapatan Total keluarga (Rp/Bulan)
Kaya MiskinFrekuensi % Frekuensi %
<1.000.000 0 0 6 121.000.100-1.500.000 0 0 29 581.500.100-2.000.000 0 0 6 122.000.100-2.500.000 0 0 4 82.500.100-3.000.000 0 0 3 63.000.100-3.500.000 1 2 2 43.500.100-4.000.000 1 2 0 04.000.100-4.500.000 9 18 0 04.500.100-5.000.000 4 8 0 05.000.100-5.500.000 2 4 0 05.500.100-6.000.000 2 4 0 06.000.100 + 31 62 0 0Jumlah 50 100 50 100Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2011
Berdasarkan tabel 4.3.3.3 dapat dilihat pola distribusi responden menurut
pendapatan total rumah tangga. Pada rumah tangga kaya ada sebanyak 31
responden atau 31 persen yang masuk kelompok pendapatan lebih dari
Rp.6.000.100 perbulan. Sedangkan pada keluarga miskin ada 29 respondonden
yang masuk kelompok pendapatan Rp.1.000.100-1.500.000 perbulan.
Rata-rata pendapatan total dari rumah tangga miskin sebesar Rp 1.504.000
perbulan dengan pendapatan total keluarga terendah sebesar Rp.700.000 serta
pendapatan tertinggi sebesar Rp.3.200.000. Sedangkan rata-rata pendapatan total
dari rumah tangga kaya adalah sebesar Rp.7.286.000 pendapatan tertinggi sebesar
58
Rp.15.000.000, sedangkan pendapatan terendah sebesar Rp.3.800.000. Dari data
tersebut menggambarkan bahwa rata-rata pendapatan total rumah tangga sudah
berada di atas Upah Minimum Propinsi (UMP) tahun 2010 sebesar Rp. 1.000.100,
namun masih ada keluarga yang mempunyai pendapatan di bawah UMP sebanyak
14 responden.
4.3.4 Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah Tanggungan Keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang
terdiri dari; istri, dan anak, serta orang lain yang turut serta dalam keluarga berada
atau hidup dalam satu rumah dan makan bersama yang menjadi tanggungan
kepala keluarga. Informasi banyaknya anggota keluarga dalam setiap rumah
tangga dapat dilihat sebagai berikut.
Tabel 4.3.4 Kelompok Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Di Kota Makassar Tahun 2011
Jumlah Tanggungan
Keluarga
KayaMiskin Jumlah
AnakKaya Miskin
Frek % Frek % Frek % Frek %2 10 20 1 2 1 10 12 0 03 12 24 6 14 2 17 34 8 164 10 20 10 16 3 12 24 8 165 10 20 7 14 4 6 12 17 346 5 10 15 30 5 4 8 10 207 3 6 11 16 6 1 2 7 14
Jumlah 50 100 50 100 jumlah 40 100 50 100Sumber: Hasil Olahan Data Primer,2011
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa jumlah tanggungan keluarga
yang paling banyak pada rumah tangga kaya berada pada kelompok sama dengan
3 orang per rumah tangga yaitu sebanyak 12 responden atau 24 persen , kemudian
jumlah tanggungan keluarga yang paling sedikit berada pada kelompok sama
59
dengan 7 orang per rumah tangga yaitu sebanyak 3 responden atau 6 persen.
Sedangkan pada rumah tangga miskin, jumlah tanggungan keluarga yang paling
banyak berada pada kelompok sama dengan 6 orang per rumah tangga yaitu
sebanyak 15 responden atau 30 persen, kemudian jumlah tanggungan keluarga
yang paling sedikit berada pada kelompok sama dengan 2 orang per rumah tangga
yaitu sebanyak 1 responden atau 2 persen. Rata-rata jumlah tanggungan rumah
tangga miskin adalah 5,2. Artinya setiap kepala keluarga harus menanggung 5
anggota rumah tangga. Sedangkan rata-rata jumlah tanggungan rumah tangga
kaya adalah 3. Artinya setiap kepala keluarga harus menanggung 3 anggota
keluarga. Semakin banyak anggota rumah tangga maka semakin besar
pengeluaran untuk konsumsi pangan pokok
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anak yang paling
banyak pada rumah tangga kaya yaitu 2 dan 3 orang anak yang dijumpai pada
masing-masing rumah tangga yaitu 17 responden (34%) dan 12 responden (24%).
Sedangkan jumlah anak yang paling banyak pada rumah tangga miskin yaitu 4
dan 5 orang anak yang dijumpai pada masing-masing rumah tangga yaitu 17
responden (34%) dan 10 responden (20%).
Dari data diatas menjelaskan bahwa umumnya rumah tangga kaya
memiliki jumlah tanggungan keluarga lebih sedikit dibandingkan rumah tangga
miskin dengan kata lain orang miskin memiliki banyak anak dibandingkan orang
kaya. Hal ini karena anak bagi masyarakat miskin dipandang sebagai suatu
investasi ekonomi yang nantinya diharapkan akan mendatangkan suatu hasil baik
dalam bentuk tambahan tenaga kerja maupun sebagai sumber finansial orang tua
60
di usia lanjut. Sedangkan pada umumnya orang kaya, menggangap bahwa jika
memiliki anak sedikit ( 2 atau 3 orang) maka mereka bisa disekolahkan sampai
setinggi,dibina sebaik mungkin sehingga diharapkan anak-anak mereka akan lebih
baik dari orang tuanya. Sehingga nantinya mereka bisa mendapatkan pekerjaan
yang layak dan penghasilan yang tinggi juga.
4.4 Pola Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
Akibat adanya kendala keterbatasan pendapatan serta keinginan untuk
mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak-sebanyaknya agar diperoleh kepuasan
yang maksimal, maka rumah tangga akan berusaha untuk mengalokasikan
pendapatanya sesuai dengan daya guna dari barang dan jasa yang diinginkan.
Berikut adalah beberapa pembagian yang memperlihatkan Pola pengeluaran
pangan masyarakat.
4.4.1 Kelompok Alokasi Pengeluaran untuk Kebutuhan Pangan Menurut Kategori Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
Berikut adalah tabel yang memperlihatkan alokasi pengeluarn untuk
kebutuhan pangan menurut kategori rumah tangga kaya dan miskin.
61
Tabel 4.4.1 Kelompok Alokasi Pengeluaran untuk Kebutuhan Pangan Menurut Kategori Rumah Tangga Kaya dan Miskin Di Kota Makassar Tahun 2011
Pengeluaran Pangan(Rp/bulan)
Miskin Kaya
Frekuensi % Frekuensi %
≤500.000 17 34 0 0500.100-1.000.000 30 60 16 321.000.100-1.500.000 3 6 23 461.500.100 + 0 0 11 22Jumlah 50 100 50 100Sumber ; Hasil Olahan Data Primer,2011
Alokasi pola pengeluaran menurut kategori rumah tangga untuk konsumsi
pangan dapat dilihat pada tabel 4.4.1 terlihat secara jelas perbandingan alokasi
pola pengeluaran menurut kategori rumah tangga yaitu kaya dan miskin. Untuk
pengeluaran pangan sebesar Rp 5.00.000 perbulan kebawah pada keluarga miskin
sebanyak 17 responden atau 34 persen sedangkan pada rumah tangga kaya tidak
ada responden yang masuk kategori tersebut. Kemudian untuk pengeluaran
pangan sebesar Rp.500.100-1.000.000 perbulan, pada rumah tangga miskin
sebanyak 30 responden atau 60 persen sedangkan pada keluarga kaya sebanyak
16 responden atau 32 persen. Pengeluaran pangan di atas Rp.1.500.100 perbulan,
tidak ada responden pada rumah tangga miskin sedangkan pada rumah tangga
kaya sebanyak 11 responden atau 22 persen.
Dari data tersebut menggambarkan bahwa rumah tangga miskin
mengalokasikan pengeluaran untuk pangan relative lebih sedikit dibanding rumah
tanga yang kaya, hal itu terjadi karena keterbatasan angggaran atau biaya yang
dimiliki. Perbedaan tingkat pendapatan akan menimbulkan perbedaan pola
konsumsi.Rumah tangga kaya yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi akan
memiliki kesempatan lebih besar untuk meningkatkan mutu,jumlah dan ragam
62
baik barang maupun jasa yang dibeli oleh rumah tangga.Untuk rumah tangga
miskin, sebagian pendapatanya akan dialokasikan untuk membeli barang
kebutuhan pokok dan hanya sebagian kecil untuk membeli barang kebutuhan
sekunder.
4.4.2 Kelompok Alokasi Pengeluaran untuk Kebutuhan Non Pangan Menurut Kategori Rumah Tangga Miskin dan Kaya Di Kota Makassar Tahun 2011
Berikut adalah alokasi pengeluaran untuk kebutuhan non pangan menurut
kategori rumah tangga miskin dan kaya di Kota Makassar
Tabel 4.4.2 Kelompok Alokasi Pengeluaran untuk Kebutuhan Non Pangan Menurut Kategori Rumah Tangga Miskin dan Kaya di Kota Makassar Tahun 2011.
Pengeluaran Non Pangan
(Rp/bulan)
Miskin Kaya
Frekuensi % Frekuensi %
≤350.000 12 24 0 0350.100-500.000 11 22 0 0500.100-1.000.000 25 50 2 41.000.100-1.500.000 2 4 9 181.500.100 + 0 0 39 78Jumlah 50 100 50 100Sumber : Hasil Olahan data Primer,2011
Berdasarkan tabel 4.4.2 dapat dilihat kelompok responden menurut pola
alokasi pengeluaran untuk konsumsi non pangan pada rumah tangga miskin dan
kaya. Dimana responden kaya terdiri dari 50 responden dan rumah tangga miskin
terdiri dari 50 responden. Untuk pengeluaran non pangan sebesar Rp.350.000
perbulan ke bawah, pada rumah tangga miskin sebanyak 12 responden atau 24 %,
sedangkan pada rumah tangga kaya kaya tidak ada responden yang masuk kriteria
tersebut. Pada pengeluaran non pangan sebesar Rp. 350.100-500.000 perbulan ,
63
rumah tangga miskin sebanyak 11 responden atau 22 persen sedangkan rumah
tangga kaya tidak ada responden yang masuk kriteria tersebut. Sedangkan untuk
pengeluaran non pangan Rp.1.00.100-1.500.000 perbulan, pada rumah tangga
miskin sebanyak 2 responden atau 4 persen sedangkan pada rumah tangga kaya
sebesar 9 responden atau 18 persen. Pada pengeluaran non pangan diatas
Rp.1.500.100 perbulan pada rumah tangga miskin tidak ada responden, sedangkan
pada rumah tangga kaya lebih besar pengeluaranya yaitu sebanyak 39 responden
atau 78 persen .
Rata-rata alokasi pengeluaran pangan untuk rumah tangga miskin sebesar
Rp.641.620 perbulan, sedangkan untuk rumah tangga kaya sebesar Rp.1.080.320
perbulan, yang terdistribusi ke dalam ; makanan pokok, protein hewani, potein
nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan dan kelompok kebutuhan lain-lain
(teh, kopi, gula, minyak goreng, bumbu dapur, dll). Persentasi dan tingkatanya
dapat dilihat pada tabel berikut
4.4.3 Persentasi Rata-rata Pengeluaran Untuk Kebutuhan Pangan Menurut Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
Berikut adalah data rata-rata pengeluran untuk kebutuhan pangan menurut
kategori rumah tangga kota makassar tahun 2011 adalah sebagai berikut:
64
Tabel 4.4.3 Persentasi Rata-rata Pengeluaran Untuk Kebutuhan Pangan Menurut Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011
PanganMiskin Kaya
% Urutan % UrutanMakanan Pokok 22,85 1 13,27 5Protein Hewani 17,39 2 18,12 1Protein nabati 14,70 3 13,94 4Sayur-sayuran 13,78 4 12,07 6Buah-buahan 8,91 7 10,65 7Jajanan 10,72 6 14,3 3Lain-lain 11,64 5 17,71 2Jumlah 100 100Sumber: Hasil olahan data primer,2011
Berdasarkan tabel di atas ,dapat dilihat perbedaan alokasi dan prioritas
pengeluaran untuk kebutuhan pangan pada rumah tangga miskin dan kaya. Pada
rumah tangga miskin yang menduduki urutan pertama adalah kebutuhan makanan
pokok berupa beras, yaitu sebesar 22,85 persen atau rata-rata sebesar
Rp.140.500,00 perbulan. Sedangkan untuk rumah tangga kaya beras menduduki
urutan kelima yaitu sebesar 13,27 persen atau rata-rata alokasi anggaranya sebesar
Rp.183.400 perbulan.
Sementara jenis konsumsi makanan yang relatif kecil pada rumah tangga
kaya adalah pada sub kelompok konsumsi buah, sayur, dan beras . Sebagai barang
inferior rata-rata keluarga kaya mengkonsumsi buah-buahan Rp.147.200 per
keluarga per bulan. Untuk konsumsi sayur juga relatif kecil yang hanya
Rp.165.980,dan beras Rp.183.400. Beras bagi rumah tangga miskin merupakan
barang superior yang paling banyak diminta oleh rumah tangga miskin. Hal ini
karena pendapatanya yang rendah dan banyaknya jumlah tanggungan keluarga
sehingga sebagian besar dari pada pendapatan digunakan untuk membeli beras.
65
Alokasi pengeluaran untuk kebutuhan protein hewani yang terdiri dari
daging ,susu, telur, dan ikan pada keluarga miskin menempati urutan kedua yaitu
sebesar 17,39 persen atau rata-rata sebesar Rp.113.100 perbulan, sedangkan
untuk keluarga kaya menempati prioritas utama yaitu sebesar 18,12 persen atau
rata-rata sebesar Rp.250.400,00 perbulan.
Alokasi pengeluaran untuk kelompok kebutuhan lain-lain yang terdiri dari
teh, kopi ,gula, bumbu dapur ,minyak goreng, dan lain-lain pada rumah tangga
miskin menduduki uruan kelima sebesar 11,6,4 persen atau rata-rata sebesar
Rp.78.980 perbulan, sedang pada rumah tangga kaya menduduki urutan yang
kedua sebesar 17,71 persen atau rata-rata sebesar Rp.244.800 perbulan.
Karena keterbatasanya anggaran yang dimilki rumah tangga miskin untuk
memenuhi kebutuhan panganya maka ia akan berusaha memenuhi kebutuhanya
dengan jalan memilih jenis pangan yang relatif murah. Salah satunya adalah beras.
Sedangkan pada rumah tangga yang kaya makanan pokok atau beras hanya
menduduki prioritas keempat, yang menjadi prioritas utama adalah protein hewani
yang terdiri dari daging, susu, ikan dan telur. Hal in terjadi karena mereka
memiliki anggaran yang cukup untuk alokasi kebuuhan panganya. Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Sediaoetama (1985) bahwa, semakin rendah
tingkat ekonomi suatu masyarakat, semakin tinggi persentasi energi yang
digunakan berasal dari karbohidrat atau beras, karena energi dari karbohidrat
termasuk yang paling murah harganya. Lebih lanjut dikatakan bahwa, masyarakat
yang mengalami kemajuan pada sektor ekonomi menunjukkan pergeseran sumber
energi dari karbohidrat kearah protein atau lemak.
66
4.4.4 Persentasi Rata-rata Pengeluaran Untuk Kebutuhan Non Pangan Menurut Rumah Tangga Kaya dan Miskin Di Kota Makassar Tahun 2011Berikut adalah tabel yang memperlihatkan rata-rata pengeluaran untuk
kebutuhan Non Pangan di Kota Makassar.
Tabel 4.4.4 Persentasi Rata-rata Pengeluaran Untuk kebutuhan Non Pangan Menurut Rumah Tangga Kaya dan Miskin Di Kota Makassar Tahun 2011
Non PanganMiskin Kaya
% Urutan % UrutanSandang 6,09 7 10,22 3Papan 1,11 11 0,79 11Pendidikan 8,99 5 25,51 1Kesehatan 1,27 10 3,61 10Transportasi 17,51 3 10,19 4Perabotan rumah tangga 4,72 8 8,47 6Hiburan 6,68 6 9,21 5Tabungan 1,48 9 11,09 2Minyak tanah,gas 18,46 1 4,33 9Rekening(listrik,air,tlp,koran) 15,99 4 8,33 7Lain-lain 17,71 2 8,21 8Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2011
Pada tabel 4.4.4 alokasi pengeluaran untuk kebutuhahn non pangan pada
rumah tangga miskin yang menduduki urutan pertama yaitu kelompok
pengeluaran minyak tanah, gas yaitu sebanyak 18,46 persen atau rata-rata sebesar
Rp.115.940,00. Ini menunjukkan bahwa kebtuhan untuk minyak tanah bagi
keluarga yang menjadi responden sangat penting karena mereka memasak banyak
menggunakan minyak tanah karena rata-rata rumah tangga masih banyak yang
menggunakan kompor. Sedangkan pada rumah tangga kaya yang menduduki
urutan pertama yaitu biaya pendidikan rata-rata sebesar Rp.965.000 per keluarga
per bulan. Menyusul adalah tabungan rata-rata sebesar Rp.419.400 per keluarga
per bulan. Sebagian dari pendapatan mereka alokasikan untuk tabungan, alasan
67
melakukan saving adalah untuk membiayai keperluan/konsumsi di masa
mendatang terutama untuk membiayai pendidikan.
Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada rumah tangga kaya adalah
sebesar Rp 12.419.730,00 perbulan. Sedangkan untuk keluarga miskin hanya
sebesar Rp 628.000,00 perbulan
4.5 Perbandingan Pola Konsumsi Rumah Tangga Kaya dan Miskin Terhadap Pangan dan Non Pangan di Kota Makassar Tahun 2011
Untuk melihat informasi mengenai perbandingan pola konsumsi rumah
tangga kaya dan rumah tangga miskin di Kota Makassar,dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 4.5 Perbandingan Pola Konsumsi Rumah Tangga Kaya dan Miskin terhadap Pangan dan Non Pangan di Kota Makassar Tahun 2011
Kategori Rumah Tangga
Alokasi Pangan(Jumlah)
%Rendah(%)
Sedang(%)
Tinggi(%)
Miskin 32% 44% 22% 100 (50)Kaya 88% 8% 4% 100 (50)
Jumlah 61 (61) (26) (13) 100 (100)Sumber: Hasil Olahan Data primer,2011
Grafik 1: Perbandingan Pola Konsumsi Rumah Tangga Kaya dan Miskin Terhadap Pangan dan Non Pangan di Kota Makassar Tahun 2011
68
Berdasarkan Tabel 4.5 dan grafik diatas, dapat dilihat perbandingan pola
konsumsi menurut kategori rumah tangga. Alokasi konsumsi Pangan pada rumah
tangga miskin kurang 50 % dari total pengeluaran rumah tangga sebesar
32%,untuk kategori sedang atau 50-60% alokasi pangan dari total pengeluaran
adalah sebesar 44%, untuk kategori alokasi pangan tinggi adalah sebesar 22%.
sedangkan pada rumah tangga kaya, alokasi pangan kurang dari 50% dari total
pengeluaran rumah tangga adalah sebesar 88 persen, untuk kategori sedang atau
50-60% alokasi pangan dari total pengeluaran adalah sebesar 8 persen, untuk
kategori alokasi pangan tinggi yaitu lebih dari 60%, adalah sebesar 4 persen.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang jelas antara
alokasi untuk konsumsi pangan pada rumah tangga miskin dan kaya. Makin
rendah tingkat kesejahteraan rumah tangga atau makin miskin suatu rumah tangga
maka makin condong untuk lebih banyak mengalokasikan pengeluaranya pada
kebutuhan pangan dibanding dengan non pangan. Sebaliknya makin tinggi
kesejahteraan rumah tangga maka makin cenderung untuk lebih banyak
mengalokasikan pengeluaranya pada kebutuhan non pangan. Alokasi pangan
untuk rumah tangga miskin berada pada alokasi pangan sedang karena rumah
tangga miskin sudah terkena yang dinamakan demonstration effect. Artinya
rumah tangga miskin mengikuti pola konsumsi di sekelilingnya sehingga sebagian
pendapatanya juga digunakan untuk membeli kebutuhan non pangan.
69
4.5.1 Hubungan Antara Tingkat pendapatan Total Rumah Tangga Miskin Terhadap Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan di Kota Makasar Tahun 2011
Tinggi rendahnya pendapatan akan mempengaruhi pola konsumsi rumah
tangga. Semakin tinggi tingkat pendapatan umumnya konsumsi akan semakin
meningkat akan tetapi besarnya tingkat pendapatan tidak selalu sama besar
dengan peningkatan konsumsi. Dalam penelitian ini pendapatan rumah tangga
miskin dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pendapatan sedang, sedang, tinggi. Rata-
rata pendapatan rumah tangga miskin ( X) adalah sebesar Rp.1.504.000,00 standar
deviasi pendapatan (Sd) adalah sebesar Rp.630.341,66. Sehingga tingkat
pendapatan dibagi menjadi:
1. Pendapatan rendah X ≤Rp.873.658,34
2. Pendapatan sedang Rp.873.658,34<X<Rp.2.134.341,66
3. Pendapatan tinggi X ≥ Rp.2.134.341,66
Untuk melihat informasi mengenai hubungan tingkat pendapatan total
rumah tangga dengan alokasi pola konsumsi rumah tangga miskin di Kota
Makassar, dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 4.5.1 Hubungan Antara Tingkat pendapatan Total Rumah Tangga Miskin Terhadap Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan di Kota Makasar Tahun 2011
Tingkat Pendapatan Total Rumah Tangga (Rp)
Alokasi panganJumlah
(%)Rendah (%)
Sedang(%)
Tinggi(%)
X≤ Rp.873.658,34 25% 13% 62% 100 (8)Rp.873.658,34<X<Rp.2.134.341,66 13% 40% 45% 100 (37)X ≥ Rp.2.134.341,66 16% 33% 50% 100 (6)Jumlah 18 19 11 100 (50) Sumber: Hasil Olahan Data primer,2011
70
Grafik 2: Hubungan Antara Tingkat pendapatan Total Rumah Tangga Miskin terhadap Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan di Kota Makasar Tahun 2011
Berdasarkan tabel 4.5.1 dan grafik di atas dapat dilihat hubungan antara
tingkat pendapatan total rumah tangga miskin dengan pola konsumsi pangan dan
non pangan. Alokasi konsumsi pangan pada kategori tinggi artinya alokasi untuk
konsumsi pangan lebih dari 60% dari total pengeluaran rumah tangga, pada rumah
tangga miskin , kelompok pendapatan lebih kecil atau sama dengan
Rp.873.658,34 perbulan alokasi panganya tinggi yaitu sebesar 62% . Kelompok
rumah tangga miskin yang berpendapatan Rp.873.658,34<X<Rp.2.134.341,66
perbulan juga masuk kedalam kategori alokasi pangan tinggi yaitu sebesar 45
persen, pada keluarga yang berpendapatan lebih besar atau sama dengan
Rp.2.134.341,66 perbulan memiliki alokasi pangan tinggi yaitu sebesar 50
persen.
Berdasarkan dari data tersebut terlihat bahwa secara umum porsi konsumsi
makanan dari rumah tangga miskin dapat dikatakan tinggi yaitu rata-rata lebih
71
dari 60 persen atau sampai sebesar 70 persen dari total pengeluaran dibandingkan
dengan porsi/alokasi konsumsi bukan makanan yang hanya rata-rata sebesar 29,
31 persen. Dari data diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan
total rumah tangga miskin maka pola konsumsi pangan akan semakin bertambah
atau pola konsumsi pangan berbanding lurus dengan besar pendapatan total
rumah tangga. Sedangkan pola konsumsi non pangan dapat dilihat bahwa semakin
tinggi pendapatan total rumah tangga maka akan semakin berkurang alokasi
konsumsi non pangan atau dengan kata lain pola konsumsi non pangan
berbanding terbalik dengan pertambahan pendapatan.
4.5.2 Hubungan Antara Tingkat pendapatan Total Rumah Tangga Kaya Terhadap Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan di Kota Makasar Tahun 2011
Dalam penelitian ini pendapatan rumah tangga kaya dibagi menjadi 3
kelompok yaitu pendapatan sedang, sedang, tinggi. Rata-rata pendapatan rumah
tangga miskin ( X) adalah sebesar Rp.7.292.000,00 standar deviasi pendapatan
(Sd) adalah sebesar Rp.2.766.718,38 Sehingga tingkat pendapatan dibagi menjadi:
1. Pendapatan rendah X ≤ Rp.4.525.281,62
2. Pendapatan sedang Rp.4.525.281,62<X<Rp.10.058.718,38
3. Pendapatan tinggi X ≥Rp.10.058.718,38
Untuk melihat informasi mengenai hubungan tingkat pendapatan total
rumah tangga kaya dengan alokasi pola konsumsi rumah tangga miskin di Kota
Makassar,dapat dilihat pada tabel di bawah ini
72
Tabel 4.5.2 Hubungan Antara Tingkat pendapatan Total Rumah Tangga Kaya Terhadap Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan di Kota Makasar Tahun 2011
Tingkat Pendapatan Total Rumah Tangga (Rp)
Alokasi PanganJumlah
(%)Rendah
(%)Sedang
(%)Tinggi
(%)X ≤ Rp. 4.525.281,62 81% 19% 0 100 (16)Rp.4.525.281,62 < X < Rp.10.058.718,38 90% 10% 0 100(11)X ≥ Rp.10.058.718,38 95% 5% 0 100 (23)Jumlah 45 5 0 100 (50) Sumber: Hasil Olahan Data primer,2011
Grafik 3 : Hubungan Antara Tingkat pendapatan Total Rumah Tangga Kaya terhadap Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan di Kota Makasar Tahun 2011
Berdasarkan tabel 4.5.2 dan grafik dapat dilihat hubungan antara tingkat
pendapatan total rumah tangga kaya dengan pola konsumsi pangan dan non
pangan. Alokasi konsumsi pangan pada kategori rendah artinya alokasi untuk
konsumsi pangan kurang dari 50% dari total pengeluaran rumah tangga,
sedangkan alokasi pangan pada kategori sedang adalah alokasi pangan antara
50%-60% dari total pengeluaran. Pada rumah tangga kaya, kelompok
pendapatan . kurang dari atau sama dengan Rp. 4.525.281,62 perbulan alokasi
73
panganya rendah yaitu sebesar 81 persen . Kelompok rumah tangga kaya yang
berpendapatan antara Rp. 4.525.281,62 -Rp.10.058.718,38 perbulan juga masuk
kedalam kategori alokasi pangan rendah yaitu sebesar 90 persen, pada keluarga
yang berpendapatan lebih besar atau sama dengan Rp.10.058.718,38 perbulan
memiliki alokasi pangan rendah yaitu sebesar 95 persen. Sedangkan alokasi
pangan tinggi,tidak ada responden rumah tangga kaya yang tergolong dalam
kelompok tersebut.
Dari data diatas dapat dilihat bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan
total rumah tangga kaya maka pola konsumsi pangan akan semakin berkurang
atau rendah . Sedangkan pola konsumsi non pangan dapat dilihat bahwa semakin
tinggi pendapatan total rumah tangga kaya maka akan semakin bertambah alokasi
konsumsi non pangan atau dengan kata lain pola konsumsi non pangan berbandig
lurus dengan pertambahan pendapatan artinya jika terjadi kenaikan pendapatan
pada rumah tangga kaya maka proporsi alokasi non pangan akan bertambah juga
dengan asumsi kebutuhan pangan telah terpenuhi.
74
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Adapun kesimpulan dan saran pada penelitian ini adalah:
5.1 Kesimpulan:
1) Secara umum porsi konsumsi makanan dari rumah tangga miskin dapat
dikatakan tinggi yaitu rata-rata lebih dari 60% atau sampai sebesar 70%
dari total pendapatan dibandingkan dengan porsi/alokasi konsumsi bukan
makanan yang hanya rata-rata sebesar 29, 31%.
2) Semakin tinggi tingkat pendapatan total rumah tangga miskin maka pola
konsumsi pangan akan semakin bertambah atau pola konsumsi pangan
berbanding lurus dengan besar pendapatan total rumah tangga.
3) Semakin tinggi tingkat pendapatan total rumah tangga kaya maka pola
konsumsi pangan akan semakin berkurang atau rendah. Sedangkan
semakin tinggi pendapatan total rumah tangga kaya maka akan semakin
bertambah alokasi konsumsi non pangan atau dengan kata lain pola
konsumsi non pangan berbanding lurus dengan pertambahan pendapatan
artinya jika terjadi kenaikan pendapatan pada rumah tangga kaya maka
proporsi alokasi non pangan akan bertambah juga dengan asumsi
kebutuhan pangan telah terpenuhi.
4) Rata-rata pendapatan total dari rumah tangga miskin sebesar Rp 1.504.000
perbulan dengan pendapatan total keluarga terendah sebesar Rp.700.000
75
serta pendapatan tertinggi sebesar Rp.3.200.000. Sedangkan rata-rata
pendapatan total dari rumah tangga kaya adalah sebesar Rp.7.286.000
pendapatan tertinggi sebesar Rp.15.000.000, sedangkan pendapatan
terendah sebesar Rp.3.800.000. Dari data tersebut menggambarkan bahwa
rata-rata pendapatan total rumah tangga sudah berada di atas Upah
Minimum Propinsi (UMP) tahun 2010 sebesar Rp. 1.000.100, namun
masih ada keluarga yang mempunyai pendapatan di bawah UMP.
5) Semakin rendah tingkat kesejahteraan rumah tangga atau makin miskin
suatu rumah tangga maka makin condong untuk lebih banyak
mengalokasikan pengeluaranya pada kebutuhan pangan dibanding non
pangan. Sebaliknya makin tinggi kesejahteraan rumah tangga atau makin
kaya suatu rumah tangga makin cenderung untuk lebih banyak
mengalokasikan pengeluaranya pada kebutuhan non pangan dibandingkan
dengan kebutuhan pangan.
5.2 Saran:
1) Diperlukan dukungan dan penelitian yang lebih besar dari berbagai pihak
terhadap pemberdayaan rumah tangga miskin agar dapat memenuhi
kebutuhan pokok/sehari-hari.
2) Pemkot Makassar harus bekerja lebih keras lagi dalam menurunkan
tingkat kemiskinan di Makassar. Seluruh dinas terkait kemiskinan harus
menciptakan terobosan program pengentasan kemiskinan yang baru, untuk
mendampingi program pengentasan kemiskinan yang sudah ada.
76
Pemerintah seharusnya membuat kebijakan yang dapat
memperbaiki/meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin agar bisa
hidup sejahtera dan paling tidak bisa memenuhi kebutuhan dasarnya.
3) Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai pola konsumi terutama
melihat variabel-variabel lain yang lebih spesifik yang bisa mempengaruhi
pola konsumsi rumah tangga seperti jenis pekerjaan, jumlah tanggungan
keluarga,dan pendidikan.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abustam, M. Idrus. 1989. Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial.UI-Press. Jakarta.
Anggraini dan Retno.2005.Pendapatan dan Pola Konsumsi Rumah Tangga Tani di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman. Jurnal ekonomi Pertanian,Agros Vol.6: Yogyakarta
Anwar,Khairil.2011.Analisis Pola Konsumsi Masyarkat Pedesaan di kabupaten Bireuen-Aceh.Jurnal ekonomi.
Ariningsih,Ening.2004.Analisis Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati Pada Masa krisis Ekonomi Di Jawa.Jurnal sosial ekonomi pertanian.
Atmarita & Fallah, YS 2004, Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan. WNPG VIII, LIPI. Jakarta, pp.147.
Arifin, M & Sudaryanto, T 1991, Pola Konsumsi Makanan Pokok, Konsumsi Energi dan Protein di Pedesaan Jawa Tengah, Berita Pergizi Pangan, vol. 8, pp. 10-16.
Akmal.2003.Analisis Pola Konsumsi Keluarga di Kecamatan Tallo Kota Makassar.Skripsi Universitas Hasanuddin:Makassar
Adi,Satrio.2010.Pengaruh Umur,Pendidikan,Pendapatan,pengalaman kerjaDan Jenis Kelamin Terhadap Lama Mencari Kerja Bagi Tenaga kerja Terdidik Di Kota Magelang.Skripsi.Universitas Diponegoro:Semarang
Dyah Ajeng Ratri. 2006. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Tingkat Pendapatan terhadap Peranan Wanita dalam Menciptakan Kelestarian Lingkungan Hidup di Desa Mojopuro Kecamatan Sumberlawang Kabupaten Sragen. Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 75 h.
BPS.2010.”Makassar Dalam Angka”.Makassar
BPS.2010.”Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Makassar”. Makassar
Deliarnov.1995.Pengantar ekonomi Makro. Cetakan Pertama. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
78
Diulio, Ph. D, Eugene A. 1993. Teori Makro Ekonomi. Cetakan Keempat. Jakarta: Erlangga
Erlina.2007.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Tenaga Perawat Kesehatan di Kota Makassar. Skripsi UNHAS, Tidak dipublikasikan.
Effendi, T. Noer. 1995. Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Edisi II. Tiara Wacana. Yogyakarta.
Hidayat,Asep.2011.Kontribusi Pendidikan Terhadap Pertumbuha Ekonomi.Jurnal Pendidikan dan Budaya
Koblinsky, M, Timyan, Y & Jill G, 1997, Kesehatan Wanita Sebuah Perspektif Global, Utarini A (Alih Bahasa), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Milias,Tuty.2009. Analisis Permintaan Ekspor Biji Kakao.Tesis. Universitas Diponegoro Semarang
Mankiw,Gregory N.1999. Teori Makroekonomi. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga
Marzuki,Miskat.2005.Pola Pengeluaran Konsumsi Masyarakat Makassar di Kecamatan Tamalanrea. Skripsi Unhas, tidak dipublikasikan.
Nanga, Muana.2001. Makro Ekonomi Teori Masalah dan Kebijakan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Pakaya, Elwin. 2001. Analisis Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin Pasca Kenaikan Harga BBM Di Kota Makassar.Skripsi Unhas, tidak dipublikasikan.
Rahmatia.2004. Kajian Teoritis dan Empiris Terhadap Pola dan Efisiensi Konsumsi. Fakultas Ekonomi UNHAS
Rahmatia. (2004). Pola dan Efisiensi Konsumsi Wanita Pekerja Perkotaan SULSEL, Suatu aplikasi Model Ekonomi Rumah Tangga Untuk Efek Human Capital dan Sosial Capital. Pasca Sarjana Unhas.
Samuelson, Paul A, william D. Nordhaus.1996. Makro Ekonomi. Edisi Keempat belas. Cetakan Ketiga. Jakarta: Erlangga
Sediaoetama. A.D.1985. Ilmu Gizi Untuk Profesi dan Mahasiswa. Jilid II. Dian Rakyat.Jakarta
Sumarwan.1993. Keluarga Masa Depan dan Perubahan Pola Konsumsi. Warta Demografi. Jakarta:LD.FEUI
79
Suyastriri.2005.Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul.Jurnal Ekonomi Pembangunan hal 51-60. Fakultas Pertanian UPN: Yogyakarta
Sili,Nuh.Pengaruh pendapatan,pendidikan dan remitan terhadap pengeluaran konsumsi pekerja migran dan non permanen di kabupaten Badung (studi kasus pada dua kecamatan di kabupaten Badung).Jurnal ekonomi: Universitas Udayana
Sastra,Dian.2007. Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pendapatan Tenaga Kerja Informal Diatas Upah Minimum Propinsi Di Sumatera Barat.Tesis Pasca Sarjana Universitas Andalas Padang
Sugioarto .(2008) Analisis Pendapatan,Pola Konsumsi dan Kesejahteraan Petani Padi Pada Basis Agroekosistem Lahan Sawah Irigasi di Pedesaan.Pusat Analisis Sosial Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian
Sjirat,Muchlis.2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Rumahtangga Miskin Perkotaan di Sumatera Barat.Skripsi:Padang
Sukirno, Sadono. Pengantar Teori Mikroekonomi. PT. Raja grafindo Persada, Jakarta:2000
Soekirman 1991, Dampak Pembangunan terhadap Keadaan Gizi Masyarakat. Majalah Gizi Indonesia, vol.16, pp. 64-98
Suhardjo, 1989, Sosial Budaya Gizi. IPB, Bogor.
Todaro.M.P.1999. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Terjemahan oleh Munandar H.dkk. Edisi keenam/jilid I.Jakarta:Erlangga
Taufiq.M.2007.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Masyarakat di Kabupaten Tuban.Jurnal manajemen,akuntansi dan bisnis volume 5,nomor 3:Jawa Timur Surabaya
Wahida.2006. Hubungan Faktor-Faktor Sosial Budaya dengan Konsumsi Makanan Pokok rumah tangga Pada Masyarakat Di Wamena,Kabupaten Jayawijaya,Tahun 2005.Tesis Universitas Diponegoro
Winarti, H. 2007. Analisis Tingkat Konsumsi Pangan Rumah Tangga Nelayan di Kelurahan Barombong kecamatan Tamalate Kota Makassar. Skripsi Unhas,tidak dipublikasikan.
80
81