Upload
pelita-caroline
View
778
Download
93
Embed Size (px)
DESCRIPTION
asdfgghhjjkk
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tifoid ditemukan di masyarakat Indonesia, yang tinggal di kota maupun desa.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas perilaku hidup bersih dan sehat,
sanitasi dan lingkungan yang kurang baik. Selain masalah diatas ada beberapa
masalah lain yang turut menambah besaran masalah penyakit tifoid di Indonesia
diantaranya adalah angka kemiskinan di kota dan desa Indonesia yang mencapai
11,66 % (Susenas 2012) yaitu sekitar 28.594.060 orang.
Pada orang yang miskin bila sakit tidak berobat ke sarana kesehatan, hal ini
dikarenakan masalah biaya, sehingga bila mereka menjadi penjamah makanan maka
mereka akan menjadi sumber penularan penyakit kepada masyarakat yang menjadi
pembeli jajanan tersebut. Resiko penularan melalui penjamah makanan yang
kebersihannya buruk memperbanyak jumlah kasus tifoid.
Di Indoneesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah
Kesehatan Masyarakat . Data Riskesdas 2007 menunjukkan angka prevalensi tifoid
yang di diagnosa oleh tenaga kesehatan adalah 0,79%. Angka kelahiran tifoid di
Indonesia yang tercatat di bulletin WHO 2008 sebesar 81,7 per 100.000 dibagi
menurut golongan umur 0-1 thn (0,0/100.000), 2-4 tahun (148,7/100.000), 5-15 tahun
(180,3/100.000), >16 tahun 51,2/100.000/tahun. Angka ini menunjukkan bahwa
penderita terbanyak pada usia 2-15 tahun. 20-40% kasus tifoid harus menjalani
perawatan di Rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan Negara karena sakit Tifoid
diperkirakan mencapai 60.000.000 dolar Amerika pertahun. Penderita tifoid
mempunyai potensi untuk menjadi carrier atau pembawa menahun.
Era sebelum antibiotika digunakan , diperkirakan sedikitnya 5% penderita
tifoid menjadi pembawa menahun. Pada saat ini terjadi bencana alam, yang
menyebabkan terjadinya pengungsian penduduk harus diwaspadai terjadinya
2
Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit tifoid karna masalah kebersihan diri, sanitasi
dan kebersihan lingkungan. Selama ini terjadi over diagnosis tifoid yang berdampak
tingginya penggunaan antibiotika yang tidak tepat, hal ini memicu terjadinya
resistensi obat.
Interpretasi hasil pemeriksaan penunjang tifoid tidak mudah.
Permasalahannya sebagai Negara endemis kita masih memiliki angka morbiditas
dan mortalitas tinggi. Penemuan kasus belum optimal karena adanya kendala pada
penunjang diagnosis, adanya variasi gejala klinis, pemeriksaan penunjang standar
baku yang sulit dilaksanakan sampai ke lini terdepan.
Salah satu factor yang memberatkan penyakit demam tifoid apabila terjadi
komplikasi seperti perforasi, yang mungkin disebabkan resistensi antibiotika (0,08%).
Berdasarkan alas an diatas, maka penyakit tifoid harus mendapat perhatian yang
serius, dan terpadu dalam pengendaliannya di masyarakat.
3
2.1 TUJUAN
1. Tujuan Umum
Sebagai acuan bagi penentu kebijakan dan petugas kesehatan pada semua lini
pelayanan untuk menurunkan kesakitan dan kematian.
2. Tujuan Khusus
a. Tersedianya panduan bagi penentu kebijakan dalam pelaksanaan dan
pengembangan program pengendalian tifoid di Indonesia.
b. Tersedianya panduan untuk meningkatkan pengetahuan petugas dalam
tatalaksana standar di semua jenjang pelayanan.
c. Tersedianya pelaksanaan surveilans epidemiologi dan upaya
pengendaliannya.
d. Tersedianya kegiatan monitoring dan evaluasi.
e. Tersedianya kegiatan perencanaan logistik program.
f. Tersusunnya beberapa panduan untuk pengendalian factor risiko tifoid.
g. Tersusunnya langkah kemitraan dalam pencegahan dan pengendalian
tifoid denga melibatkan masyarakat, penentu kebijakan dan petugas
kesehatan.
4
BAB II
ISI
2.1 Defenisi TIFUS(TIFOID)
Demam tifoid dikenal juga sebagai penyakit tifus, Penyakit tifus adalah suatu
penyakit infeksi pada usus yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi.
Penyakit Tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau Salmonella para typhi.
Penularan ke manusia melalui makanan dan atau minuman yang tercemar kuman
tersebut. Setelah melewati lambung, kuman mencapai usus halus dan invasi ke
jaringan limfoid yang merupakan tempat predileksi untuk berkembang biak.
Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan kompleks
lipopolisakarida dang dianggap berperan penting pada pathogenesis tifoid.
Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi peradangan dimana kuman
Salmonella berkembang biak. Oleh karena basil salmonella bersifat intraselluler,
maka hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang – kadang pada jaringan
yang terinvasi dapat timbul fokal infeksi.
Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus, terutama di ileum bagian
distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada plak peyer terjadi hyperplasia yang
akhirnya terbentuk ulkus. Ulkus menimbulkan pendarahan dan perforasi yang
merupakan komplikasi berbahaya, Hati membesar karena ilfiltrasi sel-sel limfosit dan
sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Kelainan patologis yang sama juga
dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan
selaput otak. Pemeriksaan klinis juga sering ditemukan proses radang pada banyak
organ, sehingga dapat ditemukan bronchitis, arthritis septic, pielonefritis, meningitis
dll. Kandung empedu merupakan tempat yang disenangi basil salmonella, dan bila
penyembuhan tidak sempurna, basil tetap tahan dikandung empedu ini, mengalir
kedalam usus, sehingga menjadi karier intestinal.
5
2.2 Gambaran Klinis
Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala ringan sekali( sehingga tidak
terdiagnosis), dan dengan gejala yang khas(sindrom tifoid) sampai dengan gejala
klinis yang berat yang disertai komplikasi, makin kecil anak gambaran kinis
makin tak khas dan kebanyakan perjalanan penyakit berlangsung dalam waktu
pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.
1. Gejala Klinis Tifoid
Kumpulan gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom tifoid. Dan beberapa
gejala klinis yang sering terjadi pada tifoid diantaranya adalah :
a. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama tifoid. Pada awal sakit,
demamnya kebanyakan samar- samar saja, selanjutnya suhu tubuh
sering turun naik, pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam hari
lebih tinggi ( demam intermitten). Dan hari ke hari intensitas demam
makin tinggi yang disertai banyak gejala lain seperti sakit
kepala(pusing – pusing) yang sering dirasakan di area frontal, nyeri
otot, pegal – pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Dan pada
minggu ke dua intensitas demam lebih tinggi. Dan pada anak ,
khususnya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.
b. Gangguan Saluran Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang
lama. Bibir kering dan kadang pecah – pecah. Lidah kelihatan kotor
dan dilapisi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan
tremor(coated tongue atau lidah kotor).
Pada penderita anak jarang ditemukan dan pada umumnya penderita
sering mengeluh nyeri perut terutama di region epigastrik(nyeri ulu
hati). Disertai nausea, mual dan muntah dan minggu selanjutnya
kadang timbul diare.
6
c. Gangguan Kesadaran
Pada kondisi penyakit yang berat dapat menyebabkan penurunan
kesadaran yaitu apatis dan kesadaran berkabut. Bila klinis lebih berat ,
tak jarang penderita sampai somnolen, delirium dan koma atau dengan
gejala – gejala psychosis ( Organic brain syndro) dan disebut tifoid
toksik.
d. Hepatosplenomegali
Hati dan atau limpa, sering ditemukan membesar dan hati teraba
kenyal dan nyeri tekan.
e. Bradikardia relative dan gejala lain
Bradikardia relative jarang ditemukan. Bradikardia relative adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi
nadi.
2.3 Komplikasi Tifoid
Pada sekitar minggu ke 2, sering timbul komplikasi tifoid mulai yang ringan
sampai yang berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi
diantaranya :
a. Tifoid toksik (Tifoid Ensefalopati)
Didapatkan gangguan penurunan kesadaran akut dengan gejala
delirium sampai koma yang disertai atau tanpa kelainan neurologis
lainnya. Analisa cairan otak biasanya dalam batas – batas normal.
b. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik timbul sebagai akibat dari pendarahan intra
abdominal. Keadaan ini memicu kegagalan multi organ. Gejala ini
ditandai dengan penurunan tensi, nadi cepat dan halus, berkeringat
serta akral dingin.
7
c. Pendarahan dan Perforasi Intestinal
Perdarahan dan pervorasi terjadi pada minggu ke 2 demam atau
setelah itu. Perdarahan dengan gejala berak berdarah (hematokezia)
atau dideteksi dengan tes pendarahan tersembunyi
Pervorasi ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang dan nyeri tekan
yang paling nyata dikuadran kanan bawah abdomen.
Gejala klinis yang ditemukan adalah suhu tubuh tiba-tiba menurun
dengan peningkatan frekuensi nadi dan berakhir syok hipovolemik.
d. Peritonitis
Ditemukan gejala – gejala abdomen akut yakni nyeri perut hebat,
kembung serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas khas untuk
peritonitis.
e. Hepatitis Tifosa
Tifoid yang disertai gejala – gejala ikterus, hepatomegali dan kelainan
test fungsi hati dimana didapatkan peningkatan SGPT, SGOT dan
bilirubin darah.
f. Pankreatitis Tifosa
Penderita nyeri perut hebat yang disertai mual dan mutah warna
kehijauan, meteorismus dan bising usus menurun.
g. Pneumonia dan Pneumonia Tifosa
Dapat disebabkan oleh basil salmonella ( Pneumonitis Tifosa) atau
koinfeksi (Pneumonia) dengan mikroba lain.
h. Komplikasi lain
Basil salmonella bersifat intramakrofag, maka dapat mengenai banyak
organ tubuh yang menimbulkan infeksi yang bersifat fokal
diantaranya: Osteomielitis, arthritis, Miokarditis, perikarditis,
endokarditis,pielonefritis, orkhitis serta peradangan ditempat lain.
8
Gambaran Laboratorium Tifoid
a) Pemeriksaan Bakteriologis
Jenis pembiakan menurut spesimen : Biakan Darah, Biakan bekuan darah,
Biakan Tinja, Biakan Cairan Empedu, Biakan Air Kemih
b) Biakan Salmonella Typhi
Spesimen biakan dapat diambil dari darah, sumsusm tulang, feses, urin.
Spesimen darah diambil pada 1 minggu sakit demam tinggi, Spesimen
urin dan tinja diambil pada minggu ke 2 dan minggu - mingu selanjutnya.
c) Serologis Widal
Pemeriksaan Serologis Widal antara reaksi anatar antigen (suspense
Salmonella yang telah dimatikan) dengan agglutinin yang merupakan
antibody spesifik terhadap komponen basil salmonella didalam darah
manusia.
Prinsip pemeriksaan adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan
agglutinin yang dideteksi.
d) Pemeriksaan lain
PCR(Polymerase Chain Reaction), Typhi Dot EIA, Tes Resistensi Kuman,
Enzim Transaminase, Lipase dan Amilase.
9
2.4 Tatalaksana Klinis
Tatalaksana klinis adalah semua kegiatan dalam rangka mengobati dan merawat
penderita (tatalaksana kasus). Dua kegiatan utama yang terpenting adalah :
1. Tatalaksana Diagnosis
a. Diagnosis Klinis
Diagnosis Klinis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan sindrom klinis tifoid. Diagnosis klinis adalah : Diagnosis
kerja untuk mulai pengelolahan sesuai dengan manajemen tifoid.
Gejala klinis yang sering ditemukan pada tifoid adalah : Demam, Sakit
kepala, Kelemahan, Nausea, Nyeri Abdomen, Anoreksia, Muntah,
Gangguan gastro intestinal, Insomnia, Hepatomegali, Splenomegali,
Penurunan kesadaran, Bradikardi relative, Kesadaran berkabut, Feses
berdarah.
b. Diagnosis Banding (Diagnosis Diferensial)
Pada tahap diagnosis klinis ini, beberapa penyakit dapat menjadi diagnosis
banding tifoid, diantaranya:
Pneumonia, Influenza, Gastroenteritis, Hepatittis akut,
dengue,Tuberkulosis, Malaria, Shigellosis,Brucellosis, Tularemia,
Leuimia, Limfoma dan Leptospirosis.
c. Diagnosis Etiologik
Ada 3 cara untuk Diagnostik Etiologik yaitu: Pembiakan Salmonella
typhi, Pemeriksaan pelacak DNA Salmonella typhi dengan
PCR(Polimerase Chain Reaction) dan pemeriksaan Widal.
d. Diagnosis Komplikasi
Diagnosis komplikasi tifoid berdasarkan klinis, dibantu oleh pemeriksaan
penunjang laboratorium dan radiologi
10
2.5 Upaya Pencegahan
Untuk mencegah agar seseorang terhindar dari penyakit ini kini sudah ada Vaksin
Tipes atau Tifoid yang disuntikkan atau secara minum obat dan dapat melindungi
seseorang dalam waktu 3 tahun atau dapat dengan cara :
1. Usaha terhadap lingkungan hidup :
Penyediaan air minum yang memenuhi
Pembuangan kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene
Pemberantasan lalat.
Pengawasan terhadap rumah-rumah dan penjual makanan.
2. Usaha Terhadap Manusia
Imunisasi.
Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi dan personal
hygiene.
11
2.6 Tatalaksana Pengobatan dan Perawatan
1. penggunaan obat :
a) Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada
pasien demam tifoid.Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg
perhari oral atau intravena,sampai 7 hari bebas demam.Penyuntikan
kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianurkan karena hidrolisis
ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.Dengan
kloramfenikol,demam pada demam tifoid dapat turun rata 5 hari.
b) Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama
dengan kloramfenikol.Komplikasi hematologis pada penggunaan
tiamfenikol lebih jarang daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan
tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari.
c) Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) :
Efektivitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol,Dosis
untuk orang dewasa,2 kali 2 tablet sehari,digunakan sampai 7 hari bebas
demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg
sulfametoksazol).dengan ko-trimoksazol demam rata-rata turun d setelah
5-6 hari.
d) Ampicillin dan Amoxicillin : Dalam hal kemampuan menurunkan
demam, efektivitas ampicillin dan amoxicillin lebih kecil dibandingkan
dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien
demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara
75-150 mg/kgBB sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan
Amoxicillin dan Ampicillin, demam rata-rata turun 7-9 hari.
12
e) Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa
sefalosporin generasi ketiga antara lain cefoperazon, ceftriaxon, dan
cefotaxime efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian
yang optimal belum diketahui dengan pasti.
f) Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan
lama pemberian belum diketahui dengan pasti.
2. Perawatan
a) Penderita dirawat dengan tujuan untuk isolasi, observasi, dan pengobatan.
Klien harus tetap berbaring sampai minimal 7 hari bebas demam atau 14
hari untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi
usus.
b) Pada klien dengan kesadaran menurun, diperlukan perubahan-perubahan
posisi berbaring untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus.
3. Diet
a) Pada mulanya klien diberikan bubur saring kemudian bubur kasar untuk
menghindari komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus.
b) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat secara
dini yaitu nasi, lauk pauk yang rendah sellulosa (pantang sayuran dengan
serat kasar) dapat diberikan dengan aman kepada klien.
13
2.7 Pencatatan dan Pelaporan
Ada tiga cara pengumpulan data penyakit tifoid, yaitu melalui laporan rutin, laporan
KLB, dan pengumpulan data melalui studi kasus.
1. Laporan Rutin
Dilakukan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit melalui SP2TP(LB), SPRS (RL),
STP, dan Rekapitulasi penyakit Tifoid. Oleh karna penyakit tifoid tidak
termasuk penyakit yang dapat menimbulkan KLB, maka perlu dibuat laporan
mingguan (W2).
Untuk dapat membuat laporan rutin perlu pencatatan setiap hari(register)
penderita penyakit tifoid yang dating di fasilitas pelayana kesehatan,
posyandu atau kader. Data register harian dapat mendeteksi adanya
peningkatan jumlah kasus dan tanda – tanda akan terjadinya KLB sehingga
dapat segera dilakukan tindakan penanggulangan secepatnya. Laporan rutin
ini di kompilasi oleh petugas pencatatan dan pelaporan penyakit tifoid di
puskesmas kemudian dilaporkan ke kabupaten/kota melalui lapran bulanan
(LB) dan STP setiap bulan.
Petugas/ pengelola Program Pengendalian tifoid Kabupaten/ Kota membuat
rekapitulasi dari masing – masing puskesmas dan secara rutin(bulanan)
dikirim ke provinsi dengan memnggunakan format rekapitulasi laporan
penyakit tifoid. Dari Provinsi di rekapitulasi berdasarkan kabupaten / kota
secara rutin (bulanan) dan dikirim ke pusat (Direktorat Jendeal PP dan PL cq.
Sub Direktorat Pengendalian Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan ) dengan
menggunakan format laporam bulanan.
14
2. Laporan KLB/ Wabah
Setiap terjadi KLB / Wabah harus dilaporkan dalam periode 24 jam dengan
Format Laporan W1 dan dilanjutkan dengan laporan khusus yang meliputi :
a. Kronologi terjadinya KLB
b. Cara penyebaran serta faktor – faktor yang mempengaruhinya.
c. Keadaan umum penderita
d. Hasil penyelidikan Epidemiologi yang telah dilakukan
e. Hasil Penanggulangan KLB dan rencana tindak lanjut.
3. Pengumpulan data melalui studi kasus
Pengumpulan data ini dapat dilakukan dengan satu tahun sekali, misalnya
pada pertengahan tahun atau akhir tahun. Tujuannya untuk mengetahui data
dasar sebelum atau setelah program dilaksanakan dan hasil penilaian tersebut
dapat digunakan untuk perencanaan di tahun yang akan dating.
4. Pengolahan, Analisis, dan Interpretasi
Data yang telah dikumpulkan, diolah, dan ditampilkan dalam bentuk table
atau grafik, kemudia dianalisis dan diinterpretasi. Analisis ini sebaiknya
dilakukan berjenjang dari Puskesmas hingga pusat sehingga apabila terdapat
permasalahan segera dapat diketahui dan diambil tindakan pemecahannya.
5. Penyebarluasan Hasil Interpretasi
Hasil analisis dan interpretasi data yang telah dikumpulkan, diumpanbalikkan
kepada pihak yang berkepentingan, yaitu kepada pmpinan di daerah
( kecamatan hingga dinas kesehatan provinsi) untuk mendapatkan tanggapan
dan dukungan.