28
Abstract Symbolic Interaction Theory is a powerful theoretical framework for picturing how we assign meanings, which are a product of social nteractions, to symbols. The meanings that we assign are influenced by our society, including our family members, close friends, work colleages. This happens because the society builds our self and mind, which we use to interpret the meaning of symbols. This concept is based of The Mind, Self, and Society Concept from George Herbert Mead, as the basic concept of Symbolic Interaction Theory. Teori Interaksi Simbolik adalah sebuah kerangka berpikir yang sangat kuat untuk menggambarkan bagaimana kita memaknai sebuah simbol. Makna yang kita terapkan tersebut dipengaruhi oleh society kita, termasuk di dalamnya adalah keluarga, teman dekat, dan juga lingkungan sekitar kita. Karena society inilah yang akan membentuk self dan mind kita yang akan kita gunakan untuk membentuk sebuah makna. Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam konsep Mind, Self, dan Society dari George Herbert Mead, yang menjadi acuan dasar pembentukan teori ini.

Symbolic Interaction Theory

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Symbolic Interaction Theory

Abstract

Symbolic Interaction Theory is a powerful theoretical framework for picturing how

we assign meanings, which are a product of social nteractions, to symbols. The meanings

that we assign are influenced by our society, including our family members, close friends,

work colleages. This happens because the society builds our self and mind, which we use to

interpret the meaning of symbols. This concept is based of The Mind, Self, and Society

Concept from George Herbert Mead, as the basic concept of Symbolic Interaction Theory.

Teori Interaksi Simbolik adalah sebuah kerangka berpikir yang sangat kuat

untuk menggambarkan bagaimana kita memaknai sebuah simbol. Makna yang kita

terapkan tersebut dipengaruhi oleh society kita, termasuk di dalamnya adalah

keluarga, teman dekat, dan juga lingkungan sekitar kita. Karena society inilah yang

akan membentuk self dan mind kita yang akan kita gunakan untuk membentuk sebuah

makna. Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam konsep Mind, Self, dan Society dari

George Herbert Mead, yang menjadi acuan dasar pembentukan teori ini.

1. Pendahuluan

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak dapat terlepas dari keberadaan sebuah

symbol. Benarkah hal ini? Untuk itu marilah kita mencari pengertian dari symbol ini terlebih

dahulu. Dari Wikipedia kita dapat melihat bahwa artian dari sebuah symbol adalah,”…

something such as an object, picture, written word, sound, or particular mark that represents

something else by association, resemblance, or convention.”(www.wikipedia.org). Dengan

Page 2: Symbolic Interaction Theory

kata lain, bahwa segala sesuatu yang mewakili hal yang lain merupakan sebuah symbol,

termasuk di dalamnya adalah benda tertentu, gambar, suara, atau bahkan kata-kata tertulis.

2. Teori Interaksi Simbolik

Dari pendahuluan di atas, kita dapat mengetahui bahwa dalam kehidupan ini, kita

tidak akan dapat lepas dari keberadaaan symbol-simbol disekeliling kita. Masing-masing dari

symbol ini sendiri memerlukan sebuah pemaknaan tersendiri. Maka itu, beberapa kaum

intelek yang telah menyadari hal ini, berusaha untuk merumuskannya dalam sebuah teori,

yang kemudian disebut dengan Teori Interaksi Simbolik.

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai teori ini, ada baiknya kita melihat terlebih

dahulu, bagaimana sejarah dari perkembangan teori ini.

2.1 Sejarah

Penelitian yang mengarah Symbolic Interaction Theory atau Teori Interaksi Simbolik

bermula dari 2 unversitas yang berbeda (West, Turner: 2003:85): The University of Iowa dan

the University of Chicago.

Pada penelitian Iowa, Manford Kuhn dan salah satu muridnya adalah yang menjadi

pelopor dalam pencetusan konsep dari Interaksi Simbolik, serta lalu mengkontribusikannya

pada sebuah teori. Selain itu, para peneliti dari Iowa menemukan cara lain dalam

merefleksikan diri, namun pendekatan mereka ini dinilai terlalu eksentrik.

Di lain pihak, tokoh penting dari penelitian mengenai Interaksi Simbolik berasal dari

Universitas Chicago. George Herbert Mead dan temannya John Dewey, pada saat itu sedang

menempuh pendidikan di Universitas Chicago ini (walaupun pada akhirnya Mead tidak

pernah berhasil menyelesaikan pendidikan doktoralnya). Di sini, Mead mempelajari filosofi-

filosofi serta ilmu-ilmu sosial, dia juga mengajar mengenai beberapa ide-ide dasar yang

Page 3: Symbolic Interaction Theory

nantinya menjadi cikal-bakal ilmu Interaksi Simbolik. Sebagai guru, Mead sangat popular

dan dihormati, dia juga memegang peranan penting dalam mencetuskan perspektif dari

Chicago School ini, yang berfokus pada pendekatan teori sosial yang mengarah kepada

pentingnya komunikasi dalam kehidupan dan lingkup sosial.

Kedua sekolah ini memiliki perbedaan mendasar pada metodologi yang digunakan.

Mead dan muridnya, Herberd Blumer, meyakinkan bahwa studi tentang kehidupan manusia

tidak dapat dilakukan dengan metode yang sama dengan metode yang digunakan dalam studi

mengenai bidang yang lainnya. Sebaliknya, mereka mengusulkan menggunakan studi kasus

dan sejarah, serta wawancara terbuka.

Di lain pihak, Universitas Iowa menggunakan pendekatan kuantitatif dalam

penelitiannya. Kuhn memiliki keyakinan bahwa konsep dari interaksi simbolik akan dapat di

operasionalkan, di kuantitatifkan, dan juga dapat di ujikan.

Selain dari kedua universitas ini, masih ada beberapa pihak lain yang mengemukakan

teori yang melihat pada aspek kehidupan manusia yang berbeda, namun tetap mengacu pada

konsep utama dari Interaksi Simbolik, namun melihat pada aspek kehidupan manusia yang

lainnya, misalnya saja: Social Construction, Role Theory, dan Self-Theory. Di tengah

maraknya perbedaan-perbedaan ide ini, konsep utama yang dikemukakan oleh Mead relative

tetap konstan dalam berbagai interpretasi dari Interaksi Simbolik.

Setelah Mead meninggal, murid-muridnya mengkolaborasikan ajaran-ajarannya ke

dalam sebuah buku yang berjudul, “mind, self, and society” (1934), di mana terkandung inti

dari teori Interaksi Simbolik. Berdasarkan hal inilah, Blumer kemudian mencetuskan Teori

Interaksi Simbolik (Symbolic Interaction Theory) dengan ditandai oleh penerbitan artikelnya

tentang Interaksi Simbolik pada tahun 1969. Dengan kata lain, tokoh yang mencetuskan

istilah “Symbolic Interaction” bukanlah Mead, melainkan Blumer, muridnya. Walaupun

Page 4: Symbolic Interaction Theory

demikian, teori interaksi simbolik tetap berdasar pada hasil kerja dari Mead, yang merupakan

pelopor dari teori ini.

2.2 Mind, Self, and Society

Seperti apa yang telah dituliskan di atas bahwa Teori Interaksi Simbolik berdasar pada

ajaran-ajaran Mead semasa karirnya dalam bidang akademik, yang kemudian dikolaborasikan

dalam sebuah buku yang berjudul Mind, Self, and Society. Maka itu, untuk dapat lebih

mengerti mengenai Teori Interaksi Simbolik, ada baiknya kita memahami apa yang menjadi

arti dari Mind, Self, dan Society itu terlebih dahulu.

2.2.1. Mind

Mead mendefinisikan Mind sebagai kemampuan kita untuk menggunakan symbol-

simbol yang memiliki makna sosial tertentu. Selain itu, Mead juga memiliki keyakinan

bahwa manusia perlu untuk terus mengembangkan hal ini melalui interaksi dengan

sesamanya.

Seseorang tidak akan dapat berinteraksi dengan baik kepada sesamanya, sebelum

mereka mempelajari sebuah bahasa baik verbal maupun non-verbal yang dapat

mengekspresikan pikiran maupun perasaan mereka. Richard West dan Lynn H.Turner dalam

bukunya yang berjudul “Introducing Communication Theory Analysis and Application”

menganalogikan konsep yang diutarakan oleh Mead ini seperti halnya ketika para orang tua

sedang menggendong dan berbicara kepada anak bayi mereka. Para orang tua ini akan

mendapatkan respond tertentu dari anak mereka, tetapi anak tersebut tidak mengerti apa yang

dimaksudkan oleh orang tuanya. Sejalan dari anak tersebut semakin menguasai sebuah

bahasa, kemampuan untuk bertukar informasi akan meningkat, serta dapat mengantisipasi

respon dari lawan bicaranya terhadap symbol-simbol yang telah digunakannya (West, Turner:

Page 5: Symbolic Interaction Theory

2003:92). Dengan kata lain, “mind” dapat kita kembangkan melalui penggunaan bahasa dan

interaksi dengan pihak lain.

Semakin berkembangnya “mind” kita, maka kita akan semakin dapat menciptakan

sebuah gambaran serta citra tertentu akan masyarakat yang ada di sekitar kita. Namun Mead

juga mengatakan bahwa antara Mind dan Society memiliki hubungan yang saling timbal

balik. Sejalan dengan manusia mempelajari bahasa, mereka belajar norma-norma sosial dan

budaya-budaya. Tapi tak hanya itu, mereka juga belajar cara untuk dapat membentuk dan

mengubah dunia sosial melalui interaksi di antara mereka. Misalnya saja, para remaja

diajarkan untuk mengatakan “permisi” ketika ingin menginterupsi pembicaraan orang dan

juga mengatakan “maaf” ketika mereka melakukan kesalahan kepada seseorang. Kata-kata

ini mereka katakan untuk menunjukkan nilai kesopanan yang berlaku. Namun, mereka juga

menciptakan istilah-istilah tertentu yang memiliki arti yang sama untuk digunakan pada

hubungan-hubungan tertentu. Misalnya kata “misi” atau kata “Sorry brur” untuk

menggantikan kata “permisi” dan “maaf” yang akan mereka katakan kepada teman-teman

sebaya mereka. Bahasa ini sering disebut dengan “bahasa gaul”.

Konsep yang mendekati konsep “mind” ini adalah pola pikir kita atau paradigma,

yang kita ciptakan melalui proses komunikasi intrapersonal. Mead mengatakan bahwa salah

satu hal utama yang dapat kita lakukan melalui pola pikir atau paradigm adalah kemampuan

kita untuk dapat menempatkan diri kita pada posisi atau perspektif pihak lain, atau apa yang

diistilahkan oleh Mead sebagai Role Taking. Pengertian Role Taking di sini juga dapat kita

terapkan ketika kita berpikir untuk meniru kebiasaan-kebiasaan dari orang lain. Kemampuan

manusia untuk melakukan Role taking dapat membantu kita untuk melakukan klarifikasi

terhadap diri kita, juga untuk melatih rasa empathy kita kepada pihak lain.

2.2.2. Self

Page 6: Symbolic Interaction Theory

Mead mendefinisikan “self” sebagai sebuah kemampuan yang ada pada diri kita untuk

memandang diri kita sebagaimana orang lain memandang kita. Mead berkeyakinan bahwa

self tidaklah berasal dari pola pikir kita sendiri yang kita dapatkan dengan melakukan

introspeksi saja, melainkan melalui sebuah Role Taking seperti apa yang telah dijabarkan

diatas. Kemampuan untuk melihat diri kita sebagaimana orang lain melihat diri kita ini

diistilahkan oleh Mead sebagai “Looking-glass self “. Sebagai contoh, teman dari anak saya

pernah akan menghadapi ujian piano tingkat“Master Class”. Pada saat itu, dia merasa sangat

tidak mampu, serta tidak siap. Bahkan satu minggu sebelumnya dia sempat berkata kepada

anak saya bahwa dia ingin mengundurkan diri dari ujian ini karena merasa tidak mampu,

padahal pada kenyataannya orang-orang sekitarnya melihat bahwa kemampuannya dalam

memainkan piano sangatlah hebat. Maka itu, anak saya mengatakan apa yang anak saya

rasakan kepadanya mengenai permainan pianonya, bahwa dia sangat berbakat. Tak hanya itu,

pada saat dia sedang berlatih, ada seorang yang merupakan guru piano yang kebetulan

mendengar permainannya. Setelah dia selesai berlatih, orang tersebut mendekatinya dan

memberikan pujian kepadanya. Berkat pujian-pujian tersebut, teman anak saya ini

memperoleh kekuatan dan mempunyai paradigm yang postif bahwa dia memiliki permainan

piano yang sangat baik. Alhasil, dia tidak jadi mengundurkan diri dari ujian tersebut,

sebaliknya dia memperoleh hasil yang sangat baik.

Dari contoh diatas, kita dapat melihat

bagaimana kita belajar mengetahui diri kita melalui

apa yang orang lain pikirkan, lihat, dan pandang dari

diri kita. Hal ini berkaitan dengan konsep dari “Johari

Window” yang mengatakan bahwa kita memiliki area

yang disebut dengan Blind Area (Blind Spot), di mana

orang lain dapat melihat, namun kita sendiri tidak mengetahui hal tersebut.

Page 7: Symbolic Interaction Theory

Mead lebih lanjut juga menyatakan bahwa melalui bahasa, manusia memiliki

kemampuan untuk menjadi subjek, maupun menjadi objek. Dia menerangkan bahwa sebagai

subjek, kita melakukan sesuatu, tapi sebagai objek, kita memeriksa apakah hal yang kita

lakukan tersebut benar atau salah. Misalnya saja, sebagai subjek, “I”, kita ingin bermalas-

malasan dengan pergi berekreasi tanpa melihat waktu, namun sebagai objek, “me”, kita

memeriksa apakah sebaiknya kita masuk kerja serta melakukan hal yang berguna lainnya

daripada hanya sekedar berekreasi dan bermalas-malasan saja tanpa melihat waktu. Mead

memandang bahwa self sebagai sebuah proses yang menyatukan I dan me pada diri kita.

2.2.3. Society

Kita semua saat ini berada dalam lingkungan tertentu, di Negara tertentu, di wilayah

pemukiman tertentu, yang memiliki nilai, adat istiadat, aturan, dan juga budaya tertentu.

Misalnya, ada dari antara kita yang berada pada lingkungan yang memiliki budaya

paternalistic atau ada juga yang berada pada lingkungan yang memegang budaya

maternalistik. Ada juga dari saudara-saudara kita yang memang hidup di daerah yang rawan

kejahatan, ada juga yang hidup pada masyarakat yang memegang tinggi nilai keagamaan.

Lingkungan, daerah, masyarakat tersebut, disebut dengan juga dengan istilah society.

Hal ini sejalan dengan apa yang telah didefinisikan oleh Mead tentang society, di mana

society adalah jaringan hubungan sosial tertentu yang diciptakan oleh manusia. Mead

mengatakan adanya 2 bagian spesifik dari sebuah society yang dapat mempengaruhi mind

dan self dari sebuah individu.

Bagian yang pertama adalah “Particular Others”, yaitu mereka yang berada dalam

lingkup society kita yang memiliki kedekatan dengan kita, dan dapat memberikan pengaruh

yang besar terhadap kita, diantaranya adalah keluarga (suami, istri, orang tua, anak, saudara),

teman-teman, sahabat, rekan kerja, atau pacar. Dari particular others ini, kita ingin

Page 8: Symbolic Interaction Theory

mendapatkan rasa diterima dan juga citra diri kita. Misalnya saja, pada saat kita bertanya apa

pendapat sahabat kita tentang diri kita, pada saat itulah kita sedang mencari citra diri kita dari

mereka yang termasuk dalam particular others ini. Namun, setiap pihak memiliki kepentingan

yang berbeda-beda pula. Misalnya pada saat pekerjaan kita menuntut untuk tetap bekerja

pada waktu liburan, sedangkan keluarga kita menginginkan waktu untuk berlibur bersama.

Hal ini dapat menciptakan konflik internal pada diri kita.

Selain particular others, Mead juga menyatakan adanya “Generalized Other” dalam

society, yang dapat kita gunakan untuk menengahi konflik internal yang disebabkan oleh

perbedaan kepentingan dari particular others di atas. Generalized other disini adalah sudut

pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya tertentu secara keseluruhan, yang

diberikan kepada kita secara otomatis dari society di mana kita berada. Mead juga

mengatakan bahwa “the attitude of the generalized other is the attitude of the whole

community” (Mead, 1934, p. 154). Melalui generalized other, kita dapat memperoleh

informasi mengenai peran, aturan-aturan, dan juga sopan santun yang berlaku pada

lingkungan kita. Lebih lanjut Mead juga menyatakan bahwa generalized other juga memberi

kita kepekaan bagaimana orang lain merespon kita juga bagaimana harapan-harapan

lingkungan sosial kepada kita.

2.3. Tema dan Asumsi

Seperti apa yang telah kita penjelasan di atas bahwa Teori Interaksi Simbolik

mengacu pada konsep mind, self, and society dari George Herbert Mead. Dengan kata lain,

Teori Interaksi Simbolik menerangkan hubungan antara “the self” yang telah dipengaruhi

oleh “mind”, dengan “society”nya.

Page 9: Symbolic Interaction Theory

Ralph LaRossa and Donald C. Reitzes (1993) telah mencoba mempelajari tentang

teori ini kemudian merumuskan adanya 7 buah asumsi utama dalam teori ini yang dapat

dikelompokkan dalam 3 buah tema utama adalah:

1. The Importance of Meanings for Human Behavior

2. The Importance of the Self Concept

3. The Relationship between the individual and society.

2.3.1 The Importance of Meanings for Human Behavior

Dalam teori Interaksi Simbolik, terdapat penjabaran bahwa bagaimana seseorang

memaknai sebuah symbol sangat tergantung pada bagaimana keseluruhan proses komunikasi

itu sendiri. Karena sebuah symbol itu sendiri tidak memiliki artian yang intrinsic dan pasti.

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa tujuan utama dari komunikasi adalah agar sang

komunikan mengerti apa yang maksud dari pesan yang diungkapkan oleh sang komunikator,

dengan kata lain pada saat tersebut, terjadilah kesepahaman antara komunikator dan

komunikan terhadap arti dari symbol atau pesan yang diungkapkan oleh komunikator

tersebut. Kesepahaman antara komunikator dengan komunikan mengenai makna dari symbol

atau pesan yang diungkapkan oleh komunikator tersebut sangatlah penting, karena apabila

kita tidak ada kesepahaman, maka proses komunikasi akan berlangsung dengan sangat sulit,

bahkan dapat menjadi mustahil. Contohnya, seorang intelek ditugaskan oleh negara untuk

memberikan penyuluhan kepada para petani miskin di sebuah desa. Para petani ini tidak

pernah mengenyam bangku pendidikan dan juga tidak mengerti sama sekali mengenai

bahasa-bahasa dan istilah-istilah ilmiah. Dengan kondisi seperti ini, apabila sang intelek ini

datang dan memberikan penyuluhan dengan menggunakan bahasa-bahasa dan istilah-istilah

ilmiah yang tergolong “bahasa tingkat tinggi” bagi para petani tersebut, maka para petani

Page 10: Symbolic Interaction Theory

tersebut tidak akan mengerti apa yang ingin diungkapkan oleh sang intelek. Hal ini

mengakibatkan tidak adanya kesepahaman antara sang intelek dengan para petani yang

kemudian menyebabkan penyuluhan tersebut akan berakhir sia-sia belaka.

Menyangkut penjabaran di atas mengenai tema ini, LaRossa dan Reitzes

mengemukakan 3 asumsi tentang Interaksi Simbolik:

Manusia berperilaku satu sama lain berdasarkan pada makna yang dimiliki orang

tersebut kepadanya.

Makna tercipta dalam interaksi antar individu.

Makna dimodifikasi melalui proses yang interpretif.

2.3.1.1 Manusia berperilaku satu sama lain berdasarkan pada makna yang dimiliki

orang tersebut kepadanya.

Sebuah makna yang dikaitkan terhadap sebuah symbol tertentu adalah sebuah hasil

dari interaksi sosial dan merepresentasikan kesepakatan bersama untuk menerapkan artian

tersebut pada symbol tertentu. Sebagai

contoh mari kita perhatikan gambar (1)

berikut ini.

Pada gambar tersebut dapat kita lihat

adanya tangan seseorang yang sedang

membentuk sebuah symbol tertentu dengan

menyatukan jari telunjuk dengan jari

jempolnya, sementara ketiga jari lainnya,

tengah, manis , dan kelingking, dibiarkan

terangkat tinggi. Makna dari symbol yang

Gambar 1

Page 11: Symbolic Interaction Theory

ditunjukkan orang ini melalui gambar tersebut sangatlah baragam. Bagi sekelompok orang,

simbol tersebut dapat diartikan sebagai symbol dari kata”oke”, maka setiap kali kelompok

orang ini melihat lawan bicaranya memberikan symbol ini kepadanya, mereka akan

menganggapnya sebagai kesetujuan atau kesepahaman dari lawan bicaranya. Sedangkan bagi

sekelompok orang yang lain, symbol tersebut berarti “nol” atau “kosong”. Tak hanya itu,

dalam komunitas tertentu, symbol ini merupakan symbol dari sebuah “hosti”, namun dapat

juga menjadi representasi lambang yang ada pada gereja “abba love”.

Pada intinya, penulis ingin menyatakan bahwa gambar (1) tidaklah memiliki sebuah

makna yang pasti. Makna tersebut tercipta seiring interaksi antar individu yang kemudian

menerapkannya pada symbol tersebut sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

2.3.1.2 Makna Tercipta dalam interaksi interpersonal.

Menurut Mead, sebuah makna dapat tercipta hanya ketika para individu memiliki

sebuah interpretasi bersama terhadap sebuah symbol tertentu yang mereka peroleh dari proses

interaksi di antara mereka. Blumer menyatakan bahwa ada 3 cara untuk mendapatkan makna

asli dari suatu hal.

2.3.1.2.1 Mengakui makna yang ada sebagaimana makna umum yang telah melekat

pada hal tersebut.

Blumer memiliki maksud di sini adalah apabila kita melihat

sebuah benda tertentu, kita tidak perlu untuk mencari makna lainnya,

melainkan makna tersebut telah ada sebagaimana nama dari benda itu

sendiri. Misalnya, kita melihat sebuah kacamata, makna dari kacamata itu

adalah kacamata itu sendiri, kita tidak perlu untuk mencari-cari dan

membayangkan apa arti yang mungkin terkandung di dalamnya.

Page 12: Symbolic Interaction Theory

2.3.1.2.2 Membawa hal tersebut kepada orang yang kepadanya makna dari hal ini

ditunjukan

Perspektif ini juga mendukung pernyataan yang mengatakan

bahwa sebuah makna berasal dari masing-masing individu, bukan dari

dalam hal itu sendiri.

2.3.1.2.3 Melihatnya sebagai sesuatu yang muncul dari adanya interaksi

antarindividu.

Blumer mengatakan bahwa makna adalah sebuah “produk

sosial”, yang artinya, dengan melakukan interaksi dengan individu lainnya,

kita akan mendapatkan kesepahaman dengan individu yang lainnya,

sehingga kita dapat memperoleh sebuah makna dari sebuah symbol tertentu.

2.3.1.3 Sebuah Makna Berubah Seiring dengan proses penafsiran

Menurut Blumer, proses penafsiran ini melalui 2 buah tahap: (1) Seseorang

menentukan sebuah hal yang memiliki suatu makna. (2) Orang tersebut kemudian melakukan

proses seleksi, pemeriksaan, kemudian menerapkan makna yang merupakan hasil temuan

mereka sendiri.

2.3.2 The Importance of the Self-Concept

Pada tema umum kedua mengenai Teori Interaksi Simbolik ini, kita dapat melihat

pentingnya konsep diri serta bagaimana persepsi individu terhadap dirinya sendiri. Konsep

diri ini sangatlah penting dalam teori Interaksi Simbolik. LaRossa dan Reitzes (1993)

kemudian mengatakan ada 2 buah asumsi Interaksi Simbolik yang termasuk dalam tema ini:

Page 13: Symbolic Interaction Theory

Seseorang mengembangkan konsep dirinya berdasarkan pengalamannya

berinteraksi dengan sesamanya.

Konsep diri merupakan motif utama bagi seseorang dalam bertingkah laku.

2.3.2.1 Seseorang mengembangkan konsep dirinya berdasarkan pengalamannya

berinteraksi dengan sesamanya.

Edward memiliki otak yang sangat cerdas, namun tubuhnya yang gendut dan besar

membuatnya sulit untuk bergerak cepat, apalagi berolahraga. Karena kekurangannya itu, dia

selalu menjadi bahan ejekan teman-teman sebayanya, mulai dari dia masih duduk di bangku

SD, sampai saat ini dia telah mencapai tingkat SMA. Teman-temannya itu selalu mengatakan

bahwa dia adalah seorang yang gendut, jelek, dan tidak bisa apa-apa. Ejekan yang

berlangsung terus itu menimbulkan sebuah konsep diri yang salah dari Edward. Ketika dia

diejek terus menerus bahwa di gendut, jelek dan tidak bisa apa-apa, hal itu lah yang

kemudian tertanam didalam hati dan benak Edward, bahwa dirinya memang gendut, jelek,

dan tidak bisa apa-apa. Konsep diri yang salah ini kemudian berdampak sangat buruk

terhadap Edward. Edward kemudian tidak pernah berani untuk mendekati gadis manapun

karena dia merasa bahwa dirinya jelek, dan dia merasa yakin bahwa gadis itu akan

menolaknya. Konsep diri bahwa dia adalah orang yang tidak bisa apa-apa juga memberikan

dampak yang sangat buruk terhadap Edward, karena sejak saat itu, dia merasa bahwa dia

tidak dapat belajar dengan baik, kemudian nilai-nilainya semakin menurun dari waktu ke

waktu, hingga akhirnya dia sempat tinggal kelas, padahal seperti yang dapat kita lihat di atas,

bahwa Edward sebenarnya adalah orang yang memiliki otak yang cerdas.

Contoh di atas menunjukkan kepada kita bahwa konsep diri merupakan hasil dari

interaksi kita dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam Teori

Interaksi Simbolik tentang konsep diri, bahwa sebuah konsep diri ini bukanlah sesuatu yang

Page 14: Symbolic Interaction Theory

sudah ada di dalam diri kita sejak ktia di lahirkan, melainkan kita memperolehnya dari hasil

interaksi kita dengan sesama kita. Konsep diri ini kemudian akan menentukan bagaimana kita

bereaksi terhadap hal-hal disekeliling kita.

2.3.2.2 Konsep diri merupakan motif utama bagi seseorang dalam bertingkah laku.

Seperti apa yang telah kita lihat pada contoh di atas, bahwa bagaimana sebuah konsep

diri dapat mempengaruhi bagaimana kita bertingkah laku, berpikir, juga bereaksi terhadap

keadaan sekeliling kita. Konsep diri ini berhubungan erat dengan “the self” yang

dikemukakan oleh Mead. Apabila seseorang telah memiliki gambaran yang baik tentang

“self” yang ada dalam dirinya, maka dia akan memacu dirinya untuk mengatur dan

menyelaraskan setiap tindakan serta reaksinya. Dengan kata lain, seseorang yang telah

memiliki gambaran tentang self yang baik di dalam dirinya, maka dia tidak akan langsung

begitu saja mengekspresikan segala sesuatunya.

Saya pernah mendengar seseorang bercerita kepada saya mengenai bagaimana

seseorang yang sangat bodoh dalam pelajaran sekolahnya, bahkan telah banyak guru les yang

menyatakan menyerah, tidak mampu untuk mengajarinya. Namun ketika dia mendapatkan

guru les yang terakhir, guru les ini berkata kepadanya bahwa dia harus memiliki konsep diri

yang baik, untuk itu, dia harus berkata kepada dirinya sendiri di depan cermin selama paling

sedikit 3 menit setiap harinya selama 6 bulan berturut-turut. Sang guru ini juga terus menerus

memacunya dengan terus memberinya semangat dan mengatakan bahwa dia adalah murid

yang pandai, guru ini juga meminta bantuan dari orang tua dan lingkungan sekitar anak ini

untuk juga menanamkan hal yang sama. Seiring dengan waktu, nilai-nilai pelajaran anak

inipun semakin meningkat, hingga pada akhirnya dia berhasil lulus dengan nlai yang baik.

Setelah ditanyakan kepadanya, mengapa dia bisa berubah demikian, dia mengatakan bahwa

ketika setiap dia akan mulai belajar dan mengerjakan soal-soal, dia terbayang akan kata-kata

Page 15: Symbolic Interaction Theory

yang selalu diucapkannya setiap hari bahwa dia mampu dan pandai, serta semangat dan

kepercayaan yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Karena itulah, dia dapat belajar dan

mengerjakan soal-soal dengan sangat baik.

Dari contoh di atas kita dapat melihat bagaimana sebuah konsep diri dapat

membentuk paradigm dan prediksi seseorang yang membuatnya dapat memacu dirinya untuk

bertingkah laku sedemikian rupa seolah-olah prediksi dan paradigmanya itu adalah sebuah

kenyataan. Proses ini sering disebut juga dengan self-fufilling prophecy.

2.3.3 The Relationship Between the Individual and Society

Pada tema umum terakhir ini, dinyatakan adanya hubungan antarar kebebasan

individu dan ikatan sosial. Mead dan Blumer berusaha untuk menempatkan diri mereka pada

posisi tengah dalam masalah ini. Mereka berusaha untuk melihat dengan seimbang dan

memperhitungkan baik aturan-aturan maupun perubahan yang ada dalam sebuah proses

sosial. Ada 2 asumsi tentang Interaksi Simbolik yang berkaitan dengan tema ini:

Manusia dan Kelompoknya dipengaruhi oleh budaya dan proses sosial.

Struktur sosial dapat berubah melalui interaksi sosial.

2.3.3.1 Manusia dan Kelompoknya dipengaruhi oleh budaya dan proses sosial.

Dalam asumsi ini, kita dapat melihat bagaimana norma-norma sosial dapat

mempengaruhi dan mengatur bagaimana seorang individu bertingkah laku. Misalnya saja,

Gary adalah seseorang yang sangat suka bepergian keluar rumah dengan menggunakan kaos

dan celana jeansnya. Namun ketika dia akan menghadiri sebuah undangan pernikahan

disebuah hotel berbintang, dia akan menggunakan jas dan kemeja, karena dia merasa lebih

cocok secara sosial dengan konteks yang berlaku pada saat itu (undangan di hotel

berbintang).

Page 16: Symbolic Interaction Theory

Sebuah budaya yang berlaku juga akan sangat mempengaruhi bagaimana kita

bertingkah laku. Contohnya, ada seorang manager yang baru diangkat bekerja pada

perusahaan yang bertempat di sebuah negara tertentu yang terdapat sebuah budaya yang

mengharuskan kita untuk membuka pintu ruangan kerja kita sebagai tanda bahwa kita sedang

tidak sibuk dan mempersilahkan orang yang ingin menemui kita untuk masuk. Manager ini

berasal dari negara lain yang tidak menganut budaya demikian, maka setiap kali dia

memasuki ruangan kerjanya, dia langsung menutup pintu ruangannya. Selama itupula,

ruangannya tidak pernah disinggahi oleh siapapun kecuali dirinya. Setelah dia menyadari

adanya perbedaan tersebut, maka dia langsung membuka pintu ruangannya setiap dia tidak

sibuk, mulai saat itulah, ruangannya mulai untuk dikunjungi orang yang ingin bertemu

denngannya.

Dari contoh di atas dapat kita lihat bahwa budaya sekitar kita akan menantukan

bagaimana kita bertingkah laku dan bertindak. Karena jika tidak, maka kita akan diasingkan

atau dianggap aneh oleh lingkungan sekitar kita.

2.3.3.2 Struktur sosial dapat berubah melalui interaksi sosial.

Sebuah struktur sosial dapat berubah melalui adanya proses interaksi sosial. Hal ini

sesuai dengan pandangan yang terdapat pada Teori Interaksi Simbolik. Pandangan ini sangat

bertentangan sekali dengan adanya pandangan yang mengatakan bahwa apa yang telah ada

dalam lingkup sosial, tidak dapat kita rubah. Namun para peneliti Teori Interaksi Simbolik

tetap yakin, karena setiap manusia memiliki sebuah kebebasan untuk memilih dan bertindak

sesuai dengan apa yang diinginkannya. Misalnya saja pada apa yang dilakukan oleh para

pegawai dari sebuah departemen pada salah satu stasiun TV swasta di Indonesia. Mereka

membuat aturan sendiri sebagai dress code mereka. Mungkin saja minggu ini mereka akan

menggunakan pakaian “army looked” kemudian minggu depannya “all in black”. Hal ini

Page 17: Symbolic Interaction Theory

sangat berbeda dengan aturan yang ada pada perkantoran biasanya, yang selalu

mengharuskan pekerjanya untuk menggunakan pakaian serba kemeja dan celana bahan untuk

ke kantor.

Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih dan bertindak sesuai dengan apa

yang menjadi pilihannya tersebut. Misalnya saja, apabila kita melihat didepan kita, ada

seseorang yang jatuh terpeleset, maka kita mempunyai kebebasan untuk memilih, apakah kita

akan menolongnya, atau kita akan menertawakannya. Kita berhak untuk menentukan apa

yang akan kita pilih, tanpa adanya campur tangan dari pihak luar, termasuk juga budaya atau

lingkungan sosial yang ada di sekeliling kita.

Kondisi ini juga berlaku pada contoh sebelumnya mengenai seorang manager yang

baru diangkat bekerja pada perusahaan yang bertempat di sebuah negara tertentu yang

terdapat sebuah budaya yang mengharuskan kita untuk membuka pintu ruangan kerja kita

sebagai tanda bahwa kita sedang tidak sibuk dan mempersilahkan orang yang ingin menemui

kita untuk masuk. Manager ini memiliki kebebasan untuk terus menutup pintunya walaupun

budaya sekitarnya tidak sesuai dengan kebiasaannya itu, atau dia akan keluar dari

pekerjaannya, atau juga dia akan mengikuti budaya tesebut. Ternyata pada akhirnya, dia

memutuskan untuk menyesuaikan diri dengan budaya sekitarnya. Keputusan ini diambilnya

berdasarkan pertimbangannya, serta adanya kehendak bebas dalam dirinya untuk memilih

tindakan apa yang akan diambilnya.

Page 18: Symbolic Interaction Theory

DAFTAR PUSTAKA

Blumer, Herbert. Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Berkeley: University of California Press. 1969.

Corbis,“CB005360.jpg,”http://pro.corbis.com/images/CB005360.jpg?size=572&uid={d4ba22dc-8fe1-4067-aacf-1c3ffb687a9c}, 12/28/08.

George Herbert Mead, Mind Self and Society: from the Standpoint of a Social Behaviorist (Edited by Charles W. Morris). Chicago: University of Chicago. 1934.

LaRossa, Ralph & Donald C. Reitzes. Sourcebook of Family Theories and Methods. US: Springer. 1993

Mbalib, “The Johari Window,” http://wiki.mbalib.com/w/images/0/0f/Johari-window.jpg, 12/28/08.

West, Richard & Lynn. H. Turner. Communication Theory: Analsis and Application. New York: Mc Graw Hill. 2003.

Wikipedia,”Johari Window,” http://en.wikipedia.org/wiki/Johari_window, 12/28/08.

Wikipedia,”Symbol,”en.wikipedia.org/wiki/ Symbol , 12/28/08.

Wikipedia,“Symbolic interactionism,” h ttp://en.wikipedia.org/wiki/Symbolic_interactionism . 12/17/08.