24
8 BAB II PENATALAYANAN DAN KEMANDIRIAN GEREJA Bab ini berisikan kerangka pemikiran teoritis dalam studi mengenai penatalayanan dan kemandirian gereja. Pada bab ini penulis akan menguraikan pemahaman dan pemikiran dari beberapa ahli untuk memberikan penjelaskan mengenai penatalayanan dan kemandirian gereja. Pada bab ini akan diawali dengan penjabaran pemahaman gereja, dilanjutkan dengan penatalayanan dan kemandirian, kemudian penulis akan membahas hubungan antara penatalayanan dan kemandirian gereja, dan diakhiri dengan kesimpulan dari penulis. 2.1. Gereja Kata gereja berasal dari kata Portugis igreya, yang merupakan terjemahan dari kata Yunani kyriake, yang berarti milik Tuhan. Kata kyriake sebagai sebutan bagi persekutuan yang menjadi milik Tuhan. Kyriake belum terdapat dalam PB, istilah ini baru dipakai pada sesudah zaman para rasul, yakni sebagai sebutan gereja sebagai suatu lembaga dengan segala peraturannya. Adapun yang dimaksud dengan milik Tuhan adalah orang – orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya. Jadi, gereja adalah persekutuan para orang beriman. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, kata yang dipakai untuk menyebutkan persekutuan para orang beriman adalah ekklesia, yang berarti rapat atau perkumpulan yang terdiri dari orang – orang yang dipanggil untuk berkumpul. Mereka berkumpul karena dipanggil dan dikumpulkan. 1 Weinata Sairin dalam buku Teologi Perjumpaan, memberikan sebuah rumusan mengenai gereja, yakni gereja bukan dari dunia ini, namun ia diutus ke dalam dunia. Pengkalimatan yang mengungkap identitas gereja ini, menjelaskan bahwa gereja bukanlah suatu lembaga yang berasal dari dunia ini, seperti lembaga – lembaga lainnya. Gereja dimengerti sebagai persekutuan yang didirikan oleh Allah sendiri, namun serentak dengan itu 1 Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta BPK: Gunung Mulia, 2007), 362-363.

T1 712008038 BAB II - repository.uksw.edu€¦ · Mardiatmajda, kata ini digunakan oleh Paulus sebagai peristiwa pemenuhan panggilan Allah, yang bertolak dari pewartaan Injil yang

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

8

BAB II

PENATALAYANAN DAN KEMANDIRIAN GEREJA

Bab ini berisikan kerangka pemikiran teoritis dalam studi mengenai penatalayanan

dan kemandirian gereja. Pada bab ini penulis akan menguraikan pemahaman dan pemikiran

dari beberapa ahli untuk memberikan penjelaskan mengenai penatalayanan dan kemandirian

gereja. Pada bab ini akan diawali dengan penjabaran pemahaman gereja, dilanjutkan dengan

penatalayanan dan kemandirian, kemudian penulis akan membahas hubungan antara

penatalayanan dan kemandirian gereja, dan diakhiri dengan kesimpulan dari penulis.

2.1. Gereja

Kata gereja berasal dari kata Portugis igreya, yang merupakan terjemahan dari kata

Yunani kyriake, yang berarti milik Tuhan. Kata kyriake sebagai sebutan bagi persekutuan

yang menjadi milik Tuhan. Kyriake belum terdapat dalam PB, istilah ini baru dipakai pada

sesudah zaman para rasul, yakni sebagai sebutan gereja sebagai suatu lembaga dengan segala

peraturannya. Adapun yang dimaksud dengan milik Tuhan adalah orang – orang yang

percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juruselamatnya. Jadi, gereja adalah persekutuan para

orang beriman. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru, kata yang dipakai untuk menyebutkan

persekutuan para orang beriman adalah ekklesia, yang berarti rapat atau perkumpulan yang

terdiri dari orang – orang yang dipanggil untuk berkumpul. Mereka berkumpul karena

dipanggil dan dikumpulkan.1

Weinata Sairin dalam buku Teologi Perjumpaan, memberikan sebuah rumusan

mengenai gereja, yakni gereja bukan dari dunia ini, namun ia diutus ke dalam dunia.

Pengkalimatan yang mengungkap identitas gereja ini, menjelaskan bahwa gereja bukanlah

suatu lembaga yang berasal dari dunia ini, seperti lembaga – lembaga lainnya. Gereja

dimengerti sebagai persekutuan yang didirikan oleh Allah sendiri, namun serentak dengan itu

1 Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta BPK: Gunung Mulia, 2007), 362-363.

9

gereja diutus untuk berkarya di tengah dunia ini, untuk mendemonstrasikan shalom atau

damai sejahtera Allah. Sosok gereja sebagai persekutuan milik Allah mengandung dimensi

penugasan. Dengan kata lain gereja adalah persekutuan yang sedang diutus, persekutuan yang

sedang berada di tengah jalan, persekutuan yang belum tiba di tempat tujuan akhir, sehingga

gereja tidak boleh terjebak dalam sikap yang statis, melainkan harus jeli melihat lingkungan

serta konteks yang menyekitarinya.2

Dalam kondisi yang dinamis, maka gereja menjalankan misinya di semua tempat dan

di sepanjang zaman. Misi gereja tidak pernah berubah, namun bentuk dan pendekatan dalam

pelaksanaan misi itu dapat berbeda – beda sesuai dengan konteks ruang dan waktu, agar misi

gereja dapat dilaksanakan secara tepat. Misi gereja tersebut mengharuskan gereja hidup

berpadanan dengan Injil dan berdiri teguh dalam satu Roh dan mengharuskan gereja – gereja

sebagai satu tubuh, sehati, sepikir, berjuang untuk iman yang ditimbulkan oleh berita Injil dan

mengharuskan mereka saling memahami, memperhatikan dan melayani demi kepentingan

bersama.3

John Stott dalam A. Naftallino memahami missio dei dengan menjadi saksi akan

kehadiran Allah yang nyata di tengah – tengah kehidupan. Kehadiran Allah juga menyatakan

belaskasih-Nya kepada manusia yang telah jatuh dalam dosa. Dengan begitu gereja dituntut

untuk menampilkan citra diri Kristus dan dengan konsisten hidup dalam kebenaran, berani

menyatakan kebenaran, dan memberi kesaksian akan kebenaran. Gereja bukanlah lembaga/

organisasi manusia yang secara sadar menyebarkan ajaran dan kepercayaannya. Gereja

adalah persekutuan orang percaya yang diikat oleh kasih, hidup dalam kuasa Roh dan

dibangun oleh Kristus.4

Panggilan gereja mengharuskan gereja untuk memerangi setiap penyakit,

ketidakberdayaan dan ketidakadilan yang terjadi baik didalam lingkungannya maupun 2 Badan Litbang PGI, Teologi Perjumpaan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 96. 3 Iwan Stephane Akardy, Sumber Pembiayaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1976), 97 4 A. Naftallino, Misi di Abad Postmodernisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 166.

10

masyarakat. Gereja wajib mengusahakan dan memelihara secara bertanggung jawab segala

sumber yang dimilikinya. Misi gereja yang terkandung dalam tri tugas panggilan gereja

(koinonia, marturia dan diakonia), harus dijalankan dengan sebaik – baiknya dengan cara

yang tepat sesuai dengan konteksnya. Dalam rangka itu maka gereja terpanggil terus menerus

untuk memahami konteks serta melihat perubahan zaman

2.1.1. Gereja dalam Perjanjian Lama

Dalam bahasa Ibrani kata gereja diartikan melalui kata qahal. Kata qahal awalnya

memiliki arti sebagai suatu perkumpulan orang – orang yang memanggul senjata untuk

berperang. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, qahal menunjuk pada pertemuan

orang – orang yang mengadakan perjanjian Sinai (Ulangan 9: 10, 10: 4). Jadi qahal telah

dihubungkan secara khusus dengan Yahweh (Ulangan 29: 2), yang pada akhirnya kata qahal

diartikan sebagai bangsa yang dihimpun oleh Yahweh, yang dipadukan oleh aturan – aturan

dari Yahweh dan yang mengambil bagian dalam perjanjian Yahweh. Sehingga qahal memiliki

arti sebagai perkumpulan atau persekutuan, yang hanya digunakan pada peristiwa religius.

Dengan begitu qahal mengalami perubahan makna, karena telah mengandung unsur

keagamaan.

Kata qahal, dalam Septuaginta disebutkan dengan kata ekklesia (Yunani). Menurut

Poltak Halomoan Sitorus penggunaan ekklesia dalam Septuaginta, kelihatannya untuk

mengatakan kepada komunitas Kristen tentang rencana Allah. Bagi umat Kristen munculnya

kata tersebut di dalam PL memperlihatkan adanya kontinuitas umat Allah yang

mengherankan dalam tiga hal, yang menolong mereka mengambil jarak dari orang – orang

Yahudi, yakni:5

a. Dalam tradisi Deutronomis, ekklesia dianggap merupakan komunitas yang

meliputi masa dulu, nanti dan juga kini. Ekklesia berjanji taat kepada Allah dalam

5 Poltak Halomoan Sitorus, Tesis: Ekklesiologi di dalam konteks (Salatiga: UKSW, 2002), 31-32.

11

seluruh hidupnya. Ekklesia mengenal kasih dan murka Allah, selain itu ekklesia

bergantung pada kasih setia Allah. Karena dipanggil ke luar dari bangsa – bangsa,

ekklesia harus menolak segala penyembahan berhala dan hal – hal yang tidak

bermoral. Di dalam ekklesia kepemimpinan didasarkan pada panggilan Allah.

b. Dalam Septuaginta, ekklesia adalah komunitas yang beribadah yang berpusat di

Bait Suci. Disana Tuhan hadir dan bertindak untuk memberi jaminan

pemeliharaan, penerimaan dan kasih setia ilahi terus menerus kepada umat. Umat

yang beribadah menceritakan tindakan penyelamatan Allah di masa lalu,

memperbaharui janji, mempersembahkan korban demi dosa dan mengantisipasi

masa depan.

c. Menurut kitab Ezra dan Nehemia, dalam ekklesia terkandung disiplin dan aturan.

Ezra memperluas ekklesia meliputi 42.360 orang Yahudi yang kembali dari

pembuangan. Ia membersihkan umat itu dari unsur – unsur non – Yahudi

berdasarkan amanat Musa sebelumnya, menata Bait Suci, membacakan Taurat

dihadapan seluruh umat. Para pemimpin seperti Ezra, Nehemia, para imam dan

hakim – hakim mendisiplinkan umat agar menjadi imamat yang kudus dan

menggunakan otoritas yang sifatnya korektif di dalam ekklesia. Hal ini dilakukan

untuk memelihara perjanjian antara Allah dengan umatNya (bangsa Israel).

Penggunaan ekklesia di dalam Septuaginta menunjukkan bahwa ekklesia adalah umat

yang dipanggil keluar dan berjanji untuk bertindak sebagai persekutuan yang membebaskan

dan yang memperingatkan atau mendukung tindakan para pemimpinnya. Secara internal

ekklesia adalah persekutuan yang tertata oleh Hukum Taurat. Secara eksternal ekklesia

bertujuan untuk menunjukkan kepada bangsa – bangsa lain akan kuasa dan keadilan Allah.

12

Ekklesia melakukan pertobatan atas dosa – dosanya lewat korban persembahan dan doa

permohonan melalui para pemimpinnya yang ditujukan kepada Allah6

2.1.2. Gereja dalam Perjanjian Baru

Para penulis PB menyebutkan persekutuan umat Kristen dengan menggunakan kata

ekklesia, yang berarti suatu persekutuan atau paguyuban orang – orang yang dipanggil keluar.

Ekklesia terdiri dari sekumpulan orang yang dipanggil dari dunia oleh Roh Kudus untuk

hidup bersama dalam rangka menerima sakramen dan mendengarkan Injil. Ekklesia

merupakan terjemahan bahasa Yunani dari kata qahal yang terdapat dalam Septuaginta

seperti yang tertulis dalam Matius 16: 18 dan 18: 17. Dalam kitab Kisah Para Rasul dan surat

– surat Paulus, penggunaan kata ekklesia digunakan sebanyak 46 kali. Menurut

Mardiatmajda, kata ini digunakan oleh Paulus sebagai peristiwa pemenuhan panggilan Allah,

yang bertolak dari pewartaan Injil yang disampaikan oleh Yesus Kristus (Roma 8: 29).

Dengan begitu kata ekklesia juga dapat diartikan sebagai orang – orang yang dipilih dalam

Allah (I Timotius 1: 1; II Korintus 1: 1).7

Hadiwijono mengartikan kata ekklesia sebagai persekutuan orang beriman yang

terdiri dari orang – orang yang dipanggil untuk berkumpul. Dalam teks – teks Alkitab,

keselamatan yang dikaruniakan oleh Tuhan Allah dengan perantara karya Tuhan Yesus

Kristus bukan hanya ditujukan kepada perorangan, melainkan kepada umat Allah sebagai

keseluruhan, atau kepada umat Allah yang mewujudkan suatu kesatuan. Secara teologi kata

ekklesia diartikan sebagai kumpulan orang – orang yang dipanggil keluar dari dunia untuk

menjadi milik Tuhan.

2.1.3. Tri Tugas Panggilan Gereja

Gereja merupakan persekutuan yang bersaksi dan melayani. Gereja merupakan alat

atau media untuk melaksanakan karya penyelamatan Allah di tengah – tengah dunia dengan

6 Sitorus, Tesis: Ekklesiologi, 33. 7 B.S. Mardiatmadja, Eklesiologi (Yogyakarta: Kanisius, 1986), 56-57.

13

melakukan tri tugas panggilan gereja yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan yakni:

koinonia (bersekutu), marturia (bersaksi) dan diakonia (melayani). Berikut merupakan

penjelasan dari tri tugas panggilan gereja.

2.1.3.1. Koinonia (Bersekutu)

Koinonia adalah tugas menyatakan persekutuan (persatuan) sebagai umat di dalam

Yesus Kristus. Koinonia merupakan persekutuan orang – orang yang beriman kepada Allah,

meliputi bersekutu dengan saudara seiman, bersekutu dengan umat beriman, bersekutu

dengan semua orang dalam masyarakat, dan bersekutu dengan alam.8 Dalam persekutuan

terdapat sikap saling melayani, membantu dan bertolong – tolongan. Persekutuan itu adalah

tindakan menghadirkan kasih Kristus dalam kehidupan lewat ibadah dan kegiatan lainnya.

Tujuannya agar dalam persekutuan terwujud kualitas kehidupan.

2.1.3.2. Marturia (Bersaksi)

Marturia adalah pemberitaan Firman Tuhan dalam bentuk hukum dan Injil. Kesaksian

itu berpuncak pada pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia. Marturia

meliputi kegiatan peribadatan, penggembalaan, kelas pembinaan terstruktur, pembinaan

keluarga, pembinaan dan pendampingan generasi muda, pembinaan yang bersifat

meningkatkan mutu hidup anggota jemaat dalam masyarakat, pembinaan tentang

pengkomunikasian iman.9

Dalam rangka ketaatan dan kesetiaan pada tugas menjalankan misi Allah yang

menyelamatkan manusia, maka gereja dalam perjalanan sejarahnya dipenuhi dengan usaha

yang terus – menerus menyampaikan Injil bagi seluruh isi dunia. Kesaksian disampaikan

melalui pemberitaan Firman, teladan hidup setiap hari pada orang beriman. Semua usaha

dilakukan agar manusia dapat mengenal, menerima anugerah keselamatan di dalam Yesus

Kristus sehingga manusia dapat menerima damai sejahtera Allah. 8 Rijnardus A Van Kooij., et.al., Menguak Fakta, Menata Karya Nyata, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 40. 9 Van Kooij, et.al., Menguak Fakta, 40.

14

2.1.3.3. Diakonia (Melayani)

Diakonia memiliki cakupan arti yang luas yakni seluruh pekerjaan yang dilakukan

dalam pelayanan bagi Kristus di jemaat, untuk membangun dan memperluas jemaat, oleh

mereka yang dipanggil sebagai pejabat dan oleh anggota jemaat. Diakonia berarti pelayanan

kasih. Melayani mempunyai arti yang luas dalam pelayanan jemaat Kristus. Melayani

meliputi pelayanan Firman untuk membangun jemaat maupun masyarakat dengan

menggunakan berbagai karunia atau potensi yang dimiliki oleh gereja. Pelayanan diakonia

tidak melulu terkait aspek rohani, tetapi juga meliputi aspek sosial maupun ekonomi.

Diakonia merupakan usaha untuk menolong orang yang menderita, baik anggota

jemaat ataupun yang bukan anggota jemaat, atas dorongan kasih Kristus. Pusat perhatian

dalam usaha diakonia bukanlah pada barang atau uang, melainkan pelibatan diri pada

penderitaan orang dan di dalam pelibatan diri tersebut diperlukan pengorbanan.Dengan

pemahaman diakonia semacam ini, maka yang menjadi tujuan dari diakonia bukanlah

kepuasan karena telah menolong orang, namun justru berupaya mencari akar permasalahan

penderitaan orang itu dan berusaha mencari perbaikan sarana hidup. 10

2.2. Penatalayanan

Pengertian penatalayanan seringkali disalah mengerti dan disamakan dengan istilah

manajemen. Kata manajemen berasal dari kata management (Inggris) yang asal katanya

adalah to manage yang artinya mengelola. Manajemen dirumuskan sebagai suatu rangkaian

langkah – langkah dari banyak orang secara terpadu, disertai dengan penggunaan berbagai

sarana dan sumber daya yang relevan, dengan maksud dan tujuan untuk mencapai sasaran

yang sudah ditetapkan. Berikut ini merupakan pengertian manajemen yang dituliskan oleh

Wiryoputro, yakni: manajemen adalah ilmu dan seni dari suatu proses usaha perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengendalian kegiatan penggunaan

10 Titus G. Hendriyanto, Tesis: Praksis Diakonia, (Salatiga: PPs MSA UKSW, 1995), 17.

15

sumber daya manusia serta benda dalam suatu organisasi agar tercapainya tujuan organisasi

secara efektif dan efisien.11

Awal penciptaan, Allah memanggil manusia untuk bertanggung jawab atas bumi dan

segala isinya. Tanggung jawab ini merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah, semuanya

diberikan secara gratis. Allah memberikan tanggung jawab yang besar kepada manusia.

Peranan manusia, bukanlah sebagai pemilik maupun penguasa atas bumi dan segala isinya,

melainkan sebagai seorang hamba/ pekerja yang diberikan tanggung jawab untuk mengatur

dan mengelolah pemberian dari tuannya.

Pandangan gereja Katolik di Amerika, penatalayanan Kristen mengakui bahwa

Allah adalah sebagai asal mula dari kehidupan, pemberi kebebasan dan pencipta atas

segalanya. Penerimaan terhadap tawaran Allah untuk melakukan penatalayanan, merupakan

tanda dari pemuridan kita semua yang dipanggil. Bukan hanya pendeta atau majelis gereja

yang tugasnya memastikan bahwa karunia Allah telah digunakan untuk mendukung misi

Kristus, melainkan seluruh umat.12

Menurut Cooper White, penatalayanan tidak semata – mata terkait atau terutama

dengan uang maupun barang. Pelaksanaan penatalayanan diikuti oleh spiritualitas, dalam

artian bahwa pelaksanaan penatalayanan disertai dengan memikul salib Tuhan.13

Pelaksanaan penatalayanan yang berlangsung seringkali keluar dari identitas kita sebagai

murid Tuhan. Hidup dalam jalan yang seperti ini adalah sebuah proses yang dengan sengaja

akan membawa kita memilih untuk melawan setiap tantangan . Maka dari itu Cooper White

mengatakan bahwa penatalayanan harus didasari dengan spiritualitas.

11 Sugiyanto Wiryoputro, Dasar – dasar Manajemen Kristiani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 2. 12 Pam Coster, “Stewardship: Invitation, Investment, Inspiration”, Liturgy 26 (2011) 45-46, diakses Mei 25, 2012, doi: 10.1080/0458063X.2010.519633. 13 Michael L. Cooper White, “Christian Stewardship In The Light Of A Theology Of The Cross”, Dialog : A Journal of Theology 48 (2009) : 203, diakses Mei 25 2012.

16

Stephane Akardy, mengemukakan beberapa penjelasan yang berhubungan mengenai

seputar etika penatalayan:14

a. Penatalayan tidak memiliki apapun secara mutlak pada dan bagi dirinya. Semua

yang ada ditangannya adalah milik tuannya, sedangkan ia hanyalah penatalaksana

saja.

b. Penatalayan diberi tugas dan tanggungjawab untuk melaksanakan penatalayanan

demi dan untuk kepentingan tuannya, serta seisi rumah tangga tuannya itu.

c. Penatalayan adalah jabatan yang diberikan, demikian juga wewenangnya. Sebab

itu ia harus bertanggungjawab kepada tuannya yang memberikan jabatan itu atas

segala pekerjaannya.

d. Penatalayan adalah jabatan dalam jangka waktu tertentu. Maka penatalayanan

hanya dapat dilakukan selama jabatan itu masih dimiliki.

Penatalayan dipanggil untuk mengurus tugas yang diberikan secara bertanggung

jawab. Penatalayanan mencakup suatu penolakan dari mentalitas pemilikan. Pandangan

Alkitab terhadap penatalayanan dalam tugas kepengurusan yang dimandatkan oleh Allah,

pada masa kini berada dalam ketegangan dengan nilai – nilai yang dihargai dalam kehidupan

masyarakat luas seperti kesuksesan, kemajuan materiil, mencapai tujuan yang diinginkan

maupun prestasi. Padahal di satu sisi, penatalayanan membawa kita pada pemahaman untuk

mencari bentuk maupun pola penatalayanan yang bertanggung jawab sesuai dengan

pengertian penatalayanan yang telah dijabarkan.

2.2.1. Penatalayanan dalam Perjanjian Lama

Penggunaan istilah penatalayanan dalam Perjanjian Lama artinya kepala rumah

tangga (Ibrani: ha ish asher al) dalam Kejadian 43: 19 atau kepala dalam Kejadian 44: 4

(Ibrani: asher al bayith) yang artinya orang yang kepadanya dipercayakan tanggung jawab

14 Akardy, Sumber Pembiayaan, 36

17

dan tugas untuk mengepalai serta mengurus harta serta segala kegiatan di dalam rumah

tangga. Istilah lain yang ada hubungan arti dengan ini ialah hamba yang lahir di dalam rumah

tuannya, yang diterima dan memperoleh hak sebagai pewaris yang terdapat dalam Kejadian

15: 3 – 4 (Ibrani: ben mesheq). Disamping itu, terdapat juga istilah sar (Ibrani) yang artinya

orang yang melayani dalam I Tawarikh 28 : 1, dalam kedudukan sebagai pangeran, atau

kepala atau kapten (kepala pasukan). Melalui pengertian dari kata – kata di atas, dapat

dijabarkan bahwa penatalayan adalah orang yang dipercayai dan diberi hak serta tanggung

jawab untuk mengepalai, mengatur dan mengerjakan segala sesuatu yang dipercayakan

kepadanya. Penatalayan memiliki status sebagai pelaksana yang memiliki hak serta

kewajiban, yang didalamnya terdapat tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan

kepadanya, yang bertujuan untuk menjalankan pengabdiannya kepada pemimpinnya atau

tuannya atau pemilik.15

Panggilan penatalayanan Israel sebagai umat Allah adalah perwujudan pelaksanaan

penatalayanan pekerjaan Allah oleh umat Allah sebagai suatu kelompok (bangsa). Panggilan

penatalayanan tersebut diberikan Allah kepada Israel, yang merupakan anugerah kedaulatan

Allah untuk menggenapkan janji penyelamatan-Nya kepada Abraham (Kejadian 12: 1- 3; 15:

13 – 21). Penatalayanan Israel diberikan oleh Allah melalui janjinya kepada Abraham untuk

melaksanakan mandat pelayanan yang diberikan Allah. Pemandatan Israel sebagai

penatalayan Allah sangat berhubungan erat dengan keselamatan yang diberikan oleh Allah.

Dengan melaksanakan tugas penatalayanan tersebut, Allah telah berjanji untuk

memberkati Israel. Tugas tersebut didukung oleh karunia yang datang dari Allah. Maka dari

itu, penatalayanan akan ditandai oleh karunia – karunia yang dicurahkan oleh Allah. Dalam

melaksanakan tugasnya selaku penatalayanan, bangsa Israel dituntut untuk menunjukkan

kesetiannya kepada Allah. Melalui ketaatan bangsa Israel dalam melaksanakan tugasnya,

15 Y. Tomatala, Penatalayanan Gereja yang efektif di dunia modern, ( Malang: Gandum Mas, 1987 ), 11.

18

maka akan membuktikan keterlibatan bangsa Israel dalam misi penatalayanan yang telah

dipercayakan kepadanya.16

Salah satu prinsip teologis yang paling pokok dari seluruh PL adalah Allah sebagai

pencipta yang memiliki kuasa atas segala ciptaan-Nya dan memerintah atas seluruh ciptaan.

Bangsa Israel memiliki keyakinan bahwa, Tuhanlah pemilik bumi serta segala isinya dan

manusia adalah mahluk utama yang diberikan mandat untuk memelihara, menaklukan dan

memerintah segala ciptaan.

Allah memberikan tanggung jawab selaku penatalayan kepada manusia memiliki dua

pengertian yakni: pertama, tanggung jawab ini harus dilaksanakan dengan menaklukan diri

kepada Allah. Dalam melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah, penaklukan

diri kepada Allah menjadi penting. Hal ini dimaksudkan agar manusia hanya melakukan

kehendak Allah yang menjadi pegangan hidupnya sehingga tanggung jawab yang diemban

tidak keluar dari maksud Allah. Kedua, tanggung jawab yang Allah berikan kepada manusia

bukanlah sebagai pemilik melainkan penatalayan, yang mengelolah, mengatur dan

memberdayakan segala milik Allah yang dipercayakan kepadanya.

2.2.2. Penatalayanan dalam Perjanjian Baru

Dalam tradisi perjanjian baru, padanan kata penatalayanan adalah kata stewardship

yang berasal dari kata oikonomia (Yunani), yang berasal dari dua kata yakni oikos yang

artinya rumah dan nemein yang artinya mengurus. Dalam dunia Yunani kuno oikonomia

memiliki banyak makna, tetapi mengarah kepada administrasi atau manajemen rumah tangga.

Oikonomos, kemudian diterjemahkan sebagai stewardship dalam bahasa Inggris, yang

mempunyai arti tanggung jawab yang dipercayakan untuk mengurus segala urusan rumah

tangga. Kata stewardship sering diartikan sebagai, seorang hamba yang diberikan tanggung

jawab atas uang, harta, barang – barang maupun sumber daya manusia. Jadi kata ini

16 Tomatala, Penatalayanan Gereja, 16.

19

membawa ide, bahwa seorang pemilik/ tuan yang memberikan kepercayaan serta tanggung

jawab kepada seseorang/ hamba untuk mengurus suatu kepemilikannya.17

Surat – surat para rasul menggunakan istilah oikonomos untuk menyebut para pelayan

Kristus. Dalam I Korintus 4: 1, 2, rasul Paulus menyebut dirinya dan teman – teman

sekerjanya sebagai penatalayanan rahasia Allah. Kemudian dalam Titus 1: 7, Paulus

menyebut penilik jemaat sebagai penatalayan Allah. Rasul Petrus dalam I Petrus 4: 10

menganggap dirinya dan orang – orang Kristen sebagai penatalayan kasih karunia Allah.18

Selain kata oikonomos, dalam perjanjian baru juga terdapat kata lainnya yakni

epitropos (Matius 20: 8, Lukas 8: 3, Galatia 4: 2) yang dipakai untuk menggambarkan

seseorang yang berfungsi dalam penatalayanan. Epitropos menjelaskan tentang seorang yang

mendapatkan kehormatan dan kepercayaan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu. Dalam

terjemahan baru LAI, kata tersebut diartikan dengan mandor, bendahara dan wali. Epitropos

dimaksudkan untuk menjelaskan tentang seseorang yang dipercayakan atau diamanatkan

sebuah tanggung jawab. Yesus secara tegas menggambarkan penatalayanan sebagai bagian

utuh dari tujuan kedatanganNya dengan mengatakan, “Anak Manusia yang datang bukan

untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi

tebusan bagi banyak orang (Markus 10: 45)”. Yesus menyampaikan bahwa tugas pelayanan

yang sedang dilaksanakan adalah tugas yang diterima dari Bapa (Yohanes 7: 16 – 18, 6: 37 –

40, 12:49 – 50). Tugas itu merupakan suatu tanggung jawab dan kepercayaan Bapa

kepadaNya, yang harus dilaksanakan secara menyeluruh dan penuh tanggung jawab. 19

Menurut Bornkamn, seperti yang dikutip Akardy bahwa Yesus melihat masa kini

sebagai masa ujian dan persiapan untuk kehidupan yang akan datang. Masa kini adalah saat

mengambil keputusan dalam terang akan Allah. Menerima masa kini sebagai kekinian Allah

berarti juga menerima keselamatan Allah adalah penghukuman bagi orang yang tidak 17 Richard B. Cunningham, Creative Stewardship, (Nashville: Abingdon Press, 1989), 17. 18 M.S. Anwari, Peranan Penatalayanan Dalam Pengembangan Jemaat, (Malang: Gandum Mas, 2002), 7. 19 Tomatala, Penatalayanan Gereja, 12 – 16.

20

menerima kekinian Allah. Sehingga dengan demikian, keseluruhan hidup dan kehidupan

manusia pada masa kini akan menentukan kehidupannya pada masa yang akan datang.20

Berdasarkan penjelasan diatas, penatalayan dalam perjanjian baru berarti seseorang

yang mendapat kehormatan dan kepercayaan, berdasarkan pada pendelegasian tugas dan

wewenang yang penuh untuk melaksanakan suatu pekerjaan khusus yang dipercayakan

kepadanya. Bila orang Kristen disebut penatalayan Kristus, maka itu berarti bahwa setiap

orang Kristen mendapat kehormatan/ kepercayaan penuh untuk melaksanakan tugas yang

telah didelegasikan secara penuh kepadanya. Maka dari itu tanggung jawab menjadi penting

dalam melaksanakan mandat yang telah diberikan Allah kepada gereja.

2.2.3. Penatalayanan Gereja

Rustiyati dalam buku Kemandirian Gereja DGI, menuliskan istilah penatalayanan

mula – mula dipakai oleh gereja – gereja di Amerika yang membahas mengenai persoalan

pengurusan dan pembiayaan gereja menjadi tanggung jawab seluruh warga jemaat. Masing –

masing wajib memberi sesuai dengan kemampuannya, baik uang, hasil panen, ternak, tenaga

dan lain – lain. Penatalayanan menjadi tugas yang diberikan Allahh kepada manusia untuk

mengelola secara bertanggung jawab segala sumber daya yang dimilikinya.21

Gereja adalah jawaban kesetiaan umat di hadapan Allah untuk panggilannya sendiri

dan bagaimana menggunakan sumber dayanya untuk melayani tujuan Allah dalam dunia dan

penyelamatan. Ukuran besaran tanggungjawab penatalayanan, akan terlihat melalui seberapa

baik gereja mewujudkannya dalam praktek teologinya dan misi gereja. Penatalayanan Gereja

mengandung makna bahwa gereja melalui para warga jemaatnya, diberikan kepercayaan dan

mendapat kehormatan untuk mengepalai dan mengatur serta mengerjakan tugas pelayanan

Kristus yang telah dimandatkan secara penuh. Dalam pelaksanaan penatalayanan juga

20 Akardy, Sumber Pembiayaan, 42 21 DGI, Penatalayanan Dana Gereja Dalam DGI, Kemandirian Gereja : Laporan Lokakarya dan Konsultasi Keuangan Gereja, (Jakarta: DGI, 1985), 30 – 31.

21

berhubungan dengan tugas dan aturan – aturan yang dibuat untuk mendukung pelaksanaan

tugas tersebut. Aturan – aturan ini terkandung dalam tata gereja dan peraturan lainnya.

Penatalayanan ketika dipahami secara benar, maka akan menyediakan sebuah model

yang unik untuk hidup kreatif. Penatalayanan adalah kunci untuk menafsirkan dan

mengintegrasikan berbagai dimensi kehidupan individu dan kehidupan gereja dalam

pelayanan. Penatalayanan adalah tanggung jawab manusia dihadapan Allah untuk hidup

dalam setiap kehidupan dalam kehendak Allah sebagaimana yang terungkap dalam diri

Yesus. Gereja merupakan sebuah komunitas penatalayanan dalam tujuan utama Allah dalam

sejarah manusia. Gereja mewakili permulaan dari manusia baru yang dipanggil oleh Allah.

Gereja adalah gambaran keluarga Allah yang menyediakan titik awal yang konstruktif untuk

memahami penatalayanan gereja terhadap: sumber daya manusia, spiritual dan materi dalam

pelayanan Tuhan. Seluruh penatalayanan dalam gereja mengenai sumber dayanya harus

berkontribusi pada peneguhan dan menyatukan gereja, sebagai persiapan bagi pelayanan dan

misi di dunia.22

Yesus berbicara banyak mengenai penatalayanan dan Ia memperkenalkan prinsip –

prinsip penatalayanan dengan jelas. Sejalan dengan itu, penatalayanan menunjukkan

tanggungjawab manusia atas segala sesuatu yang Allah berikan di dunia ini. Akan tetapi

dipihak lain, Allah sebagai pemilik mutlak itu memberikan kepada manusia wewenang penuh

untuk membangun, mengusahakan dan menyelenggarakan apa yang telah Ia sediakan.

Dengan kata lain, Allah tidak hanya memanggil manusia untuk melakukan penatalayanan,

tetapi serentak dengan itu Ia juga memanggil manusia untuk bekerjasama dengan Dia.

Melalui hal ini, gereja dipanggil untuk menjalankan tanggungjawabnya sebagai penatalayan

dengan memberdayakan, memanfaatkan, mengelola, dan memperbanyak setiap sumber daya

yang dimiliki, untuk pelaksanaan pelayanan dan kesaksiannya di dalam dunia ini.

22 Cunningham, Creative Stewardship, 111 – 112.

22

Semua penatalayanan Kristen haruslah dilakukan dengan kesadaran bahwa

penatalayanan gereja adalah kepercayaan dari Allah yang diberikan kepada gereja untuk

menatalayani rumah tangganya. Dalam pelaksanaanya, penatalayanan gereja berpedoman

pada penatalayanan yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Penatalayanan gereja bertujuan untuk

membangun tubuh Kristus dan mewujudkan missio dei.

2.3. Kemandirian

Gereja – gereja di Indonesia sebenarnya berada di dalam suatu kondisi dimana alam

Indonesia merupakan suatu potensi dan kekayaan yang dikaruniakan Allah bagi pelayanan

dan kesaksian. Potensi – potensi itu dapat dimanfaatkan dalam konteks kehidupan sosial,

ekonomi dan politik. Namun pada pihak lain realitas yang dialami oleh sebagian gereja –

gereja di Indonesia adalah bahwa pelayanan dan kesaksian kurang berjalan secara efektif oleh

karena gereja – gereja yang bersangkutan tidak dapat mengelola sumber daya yang telah

tersedia.23 Dalam gagasan mengenai kemandirian gereja dari segi pengembangan dan

pemanfaatan dana, maka gereja perlu mendayagunakan segala potensi yang ada secara

menyeluruh agar gereja dapat menggunakannya untuk mencapai kemandirian dana guna

menjalankan pelayanan dan kesaksiannya.

2.3.1. Pengertian Kemandirian

Istilah kemandirian berasal dari kata mandiri, yang berarti berdiri sendiri. Kata ini

bukanlah kata yang lazim digunakan dalam istilah – istilah Alkitab, melainkan kata ini

muncul dari konteks kemanusiaan di bidang sosial, ekonomi dan politik. Istilah kemandirian

merupakan suatu upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan (dependecy) pada otoritas

dan dominasi yang lain, serta berusaha untuk berdiri sendiri di atas kaki sendiri tanpa adanya

paksaan atau tekanan dari luar.

23 Dewan Gereja Indonesia, Kemandirian Gereja, Laporan lokakarya dan konsultasi keuangan gereja, ( Jakarta : Dewan Gereja Indonesia, 1981), 190.

23

Kemandirian berasal dari kata mandiri, yang artinya keadaan dapat berdiri sendiri,

tidak tergantung pada orang lain. Kemandirian itu sendiri merupakan suatu keadaan dapat

berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain.24 Maka dari itu kemandirian merupakan suatu

keadaan yang bergantung dan dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Isitilah kemandirian lahir

dari konteks sosial, ekonomi, politik. Dengan demikian kemandirian merupakan istilah umum

yang pengertiannya tergantung pada objek atau sasaran yang hendak diungkapkan.

Menurut Sitio dan Tamba, dalam kemandirian terkadung pengertian, kebebasan yang

bertanggung jawab, otonomi, swadaya dan keberanian mempertanggung-jawabkan segala

tindakan dalam mengelolah usaha atau organisasi. Menurut Parker, kemandirian adalah suatu

kondisi dimana seseorang tidak tergantung pada otoritas dan tidak membutuhkan arahan.

Kemampuan juga mencakup kemampuan untuk mengurus diri sendiri dan menyelesaikan

masalahnya sendiri. Dalam kamus psikologi Chaplin, pengertian kemandirian yang berasal

dari kata independent yang diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak tergantung

pada orang lain dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri. Masrun,

kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak bebas

melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri dan untuk kebutuhan sendiri tanpa bantuan dari

orang lain, maupun berpikir dan bertindak originil (kreatif) dan penuh inisiatif, mampu

mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa kepercayaan diri dan memperoleh kepuasan atas

usahanya. Chris Hartono yang dikutip oleh Salomon Umbu, kata mandiri berasal dari bahasa

jawa, yang memiliki arti suatu keadaan mampu hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam

kalangan politik, sering dikenal kata berdikari yang artinya dapat berdiri dikaki sendiri yaitu

suatu kehidupan yang mampu menentukan langkah, sikap, keputusan pribadi dan tidak

bergantung pada orang lain.25

24 Depdiknas, Kamus besar bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia 2008). 25 Salomon Umbu, Skripsi: Kemandirian Gereja (Salatiga: Fak Teologi UKSW, 2010), 10–11.

24

Melalui pengertian dari para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kemandirian

merupakan suatu keadaan yang tidak lagi tergantung oleh pihak luar dan dapat

mempertanggung-jawabkan segala keputusan dan tindakan yang diambil. Sehingga

kemandirian berkaitan dengan kehendak bebas yang disertai dengan tanggung jawab.

2.3.2. Kemandirian Gereja

Menurut Makmur Halim yang dikutip Salomon Umbu, istilah kemandirian gereja

dicetuskan oleh Henry Venn dan Rufus Anderson pada tahun 1629 melalui teologi

kemandirian dalam three self formula, yakni: self-propagating (memberitakan sendiri), self-

financing (membiayai sendiri) dan self-goverming (memerintah sendiri). Tujuan dari

kemandirian ini adalah agar gereja – gereja yang dirintis di dunia ketiga oleh para misionaris

barat tidak lagi bergantung dengan badan – badan misi barat melainkan anggota jemaat lokal

dapat memimpin gereja sendiri, melayani sendiri dan membiayai diri sendiri.26

Kemandirian gereja adalah suatu upaya bersama yang dilakukan secara terus menerus

memperkembangkan segala kemampuan atau potensi yang dimilikinya dan dipergunakan

secara bebas dan bertanggung jawab bagi persekutuan, pelayanan dan kesaksian.

Kemandirian gereja dipahami dengan memiliki kepribadian yang bergantung kepada Kristus

sebagai sumber segalanya. Ketergantungan kepada Kristus ini membawa setiap orang

percaya kepada kesatuan iman untuk saling membantu dalam menciptakan kemandirian, baik

antara seorang dengan yang lain, satu gereja dengan gereja lainnya maupun dalam

hubungannya dengan lembaga lainnya.27

Kemandirian gereja menurut LDKG (lima dokumen keesaan gereja) yang

dirumuskan oleh PGI, dipahami sebagai suatu sikap yang menjadi salah satu ciri kedewasaan.

Sikap tersebut bersumber pada pengenalan dan kesadaran akan hakikat dan tujuan hidup

Kristiani, sikap ini juga didasari pada rasa percaya diri yang kuat dan sikap ini menyatakan

26 Umbu, Kemandirian, 13. 27 PGI, Lima Dokumen 85.

25

diri dalam perilaku yang ditandai dengan tekad dan kemauan untuk menjawab persoalan –

persoalan dan tantangan – tantangan hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain

dengan jalan mengelola segala kemampuan, potensi dan sumber daya yang dimilikinya

dengan sebaik – baiknya.

Panggilan gereja yang dirumuskan oleh PGI dalam LDKG untuk mandiri

diungkapkan dengan berbagai cara oleh Alkitab, antara lain tentang: besarnya kemampuan

umat Tuhan, kemampuan mengembangkan diri dalam segala keadaan dan melipatgandakan

talenta, harga diri warga gereja, serta kemandirian dalam hal kepercayaan. Rasa percaya diri

yang mendasari kemandirian gereja bersumber pada iman, pengetahuan dan kepastian bahwa

Tuhan menganugerahkan kekuatan dan berkat.

LDKG yang disusun oleh PGI, kemandirian gereja mencakup tiga aspek yakni:

kemandirian teologi, kemandirian daya dan kemandirian dana yang merupakan satu mata

rantai yang saling berkaitan erat dimana yang satu dapat menghambat yang lain bila tidak

diperhatikan, tetapi akan sangat mendorong bilamana dikaitkan dengan yang lainnya. Namun

dalam pelaksanaannya, kemandirian daya merupakan unsur yang sangat strategis dalam

rangka mengembangkan kemandirian secara keseluruhan untuk membaharui, membangun

dan mempersatukan demi pelaksanaan panggilan bersama.

2.3.2.1. Kemandirian gereja dalam bidang teologi

Kemandirian dalam bidang teologi hakikatnya adalah kemampuan gereja untuk

menetapkan pandangan dan sikap serta keterlibatan positif, kreatif, kritis dan realistis, dalam

menjawab persoalan – persoalan dan tantangan – tantangan kehidupan pribadi, keluarga,

masyarakat, gereja dan negara yang berpedoman pada petunjuk dan motivasi yang diperoleh

dari pemahaman akan Firman Tuhan.28

28 PGI, Lima Dokumen, 93

26

Berteologi sendiri berarti tidak hanya bergantung pada teologi gereja lain tetapi harus

menyatakan teologi yang otentik yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan

pemikiran – pemikiran teologi sebagai jawaban terhadap Firman dan perbuatan Allah yang

disaksikan dalam Alkitab. Hal ini berarti gereja dapat berusaha untuk merumuskan iman dan

keyakinan sendiri, bentuk dan cara pengungkapannya.

2.3.2.2. Kemandirian gereja dalam bidang daya

Kemandirian gereja dalam bidang daya diartikan sebagai usaha untuk melengkapi

meningkatkan mutu dan memanfaatkan setiap warga gereja, lembaga – lembaga dan badan –

badan Kristen lainnya untuk menjalankan tugas dan kesaksian dan pelayanannya dengan

terarah, tepat dan kontekstual. Faktor pokok dalam kemandirian gereja di bidang daya

terletak pada kedewasaan iman, mental, pengetahuan dan keterampilan. Hal ini akan

menegaskan tentang pemahaman visi dan misi gereja. Maka dari itu diperlukan konsistensi

dalam mengelola sumber daya manusia yang dimiliki oleh gereja.29

Perubahan – perubahan yang terjadi dengan cepat dalam masyarakat menuntut gereja

untuk mengadakan perencanaan ketenagaan secara tepat. Perubahan – perubahan ini akan

mengarahkan gereja untuk terus membaharui dan mengembangkan struktur pelayanannya.

Gereja adalah persekutuan yang hidupnya terarah ke masa depan. Maka dari itu kemandirian

gereja di bidang daya pun adalah kemandirian yang terarah ke depan, demi kepentingan

pelaksanaan misi gereja kini dan di masa depan.

2.3.2.3. Kemandirian gereja dalam bidang dana

Kemandirian dalam bidang dana harus dipahami sebagai kemampuan gereja untuk

menggali sumber – sumber kekayaan dan untuk melipatgandakan, mengamankan dan

menggunakan secara tepat guna harta benda yang diberikan Tuhan untuk pelaksanaan misi

gereja. Dengan demikian, program kemandirian di bidang dana harus ditujukan pada

29 PGI, Lima Dokumen, 94-95.

27

peningkatan kemampuan gereja dan warganya untuk mengelola dengan sebaik – baiknya

berkat – berkat pemberian Tuhan untuk, pertama mengembangkan atau melipatgandakan

sumber – sumber dana yang dimilikinya, kedua menggunakan dana secara tepat guna, terbuka

dan bertanggung jawab dalam rangka pelaksanaan misi gereja, ketiga menghindarkan

penyalahgunaan dana – dana yang dimiliki, keempat menanamkan nilai – nilai kewirausahaan

sedini mungkin dalam jemaat, dan kelima menjemaatkan aksi saling berbagi.30

Program kemandirian gereja dalam bidang dana merupakan perwujudan kedewasaan

iman dan mental, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Program kemandirian

gereja dalam bidang dana memerlukan penelitian – penelitian mengenai keuangan dan

penatalayanan gereja. Kemandirian gereja merupakan salah satu faktor penting yang dapat

memungkinkan gereja untuk melaksanakan tugas panggilannya secara bertanggung jawab.

Kemandirian gereja menjadi prasyarat untuk memperjelas identitas gereja sebagai Tubuh

Kristus, sebagai hamba Tuhan yang sanggup menyerahkan hidupnya demi keikutsertaannya

dalam misi penyelamatan Allah di dunia.

2.4. Hubungan Penatalayanan dan Kemandirian Dana

Misi gereja tidak pernah berubah, namun bentuk dan pendekatan dalam pelaksanaan

misi itu dapat berbeda – beda sesuai dengan konteks ruang dan waktu, hal ini terjadi agar

misi gereja dapat dilaksanakan secara tepat. Dengan begitu gereja harus hidup dalam

konteksnya. Tanggung jawab untuk melaksanakan misi gereja menimbulkan berbagai

kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan, salah satunya adalah kebutuhan terhadap dana atau

uang. Dana harus dimengerti sebagai salah satu alat yang dipergunakan oleh gereja guna

melaksanakan tugas dan panggilannya.

Penatalayanan gereja tidak hanya berhubungan dengan tanggung jawab mengatur atau

menggunakan potensi dan sumber daya, melainkan berkenaan juga dengan tanggung jawab

30 PGI, Lima Dokumen, 96.

28

untuk mengelolah. Dalam artian gereja tidak dimaksudkan hanya sebagai pengguna, tetapi

gereja juga turut mengambil bagian untuk menghasilkan atau memperoleh dana tersebut.

Gereja tidak semata – mata menerima dana yang diberikan oleh jemaat maupun pihak lain,

tetapi juga mengusahakannya. Maka gereja dituntut untuk bekerja dan berusaha dengan

mempergunakan segala kemampuan, potensi dan sumber daya yang dimilikinya untuk

memperoleh kemakmuran yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Dengan begitu melalui

penatalayanannya gereja juga dituntut untuk melakukan usaha yang berguna untuk

menghasilkan sumber pemasukan yang baru bagi gereja.

Gereja seringkali memandang uang sebagai sesuatu yang jahat. Sedangkan menurut

Edgar Walz, uang tidak baik atau buruk; uang bersifat netral. Apa yang dilakukan orang

dengan uang dapat baik atau buruk. Sama halnya, cara pandang dan perlakukan terhadap

uang oleh gereja dapat bersifat baik ataupun buruk. Apa yang dilakukan gereja dengan uang

akan membuat hal itu berbeda. Gereja yang memahami misinya dengan jelas memandang

uang sebagai alat untuk digunakan dalam pelaksanaan misi gereja, dan bukan sebagai tujuan.

Gereja tidak dimaksudkan menjadi perusahaan yang mencari keuntungan ataupun laba.

Tetapi surplus keuangan yang diperoleh oleh gereja dapat dipahami sebagai suatu stimulus

bagi gereja untuk mendorong gereja melakukan tugas – tugas pelayanannya yang lebih baik

lagi. Hal ini akan menjadi tantangan bagi gereja untuk mencari tugas – tugas baru yang lebih

besar untuk pelayanan. 31

Sumber pemasukan dana yang diperoleh gereja pada umumnya berasal dari warga

jemaat. Beberapa gereja memiliki sumber pemasukan dari yang lainnya disamping

persembahan dari jemaatnya, tetapi tetap saja sumber pemasukan dari yang lainnya

ditempatkan pada posisi kedua. Dalam artian bahwa sumber pembiayaan gereja yang tetap,

masih digantungkan kepada pemberian dari tangan – tangan jemaat. Maka dari itu gereja

31 Edgar Walz, Mengelola Gereja Anda, 105 – 106.

29

harus melakukan penatalayanan terhadap pemberian dana melalui jemaatnya dengan sebaik

– baiknya untuk pelayanan.

Menurut Otto Pipper yang dikutip oleh Akardy, dalam penatalayanan gereja uang

diikutsertakan dalam pengabdian kepada Tuhan. Uang tidak lagi diutamakan fungsi

materinya, melainkan fungsi rohaninya. Dalam hal ini penatalayanan Kristen dapat belajar

dari jemaat Perjanjian Lama, bahwa awalnya materi ditujukan untuk melayani maksud –

maksud yang rohani. Maka dari itu, melalui uang, gereja juga dipanggil untuk melayani

maksud dan kehendak Allah. Sehingga uang dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan

kasih dan pelayanan serta menjadi alat untuk memuliakan Allah.32

Perlu untuk disadari bahwa pelayanan gereja bukanlah suatu pelayanan yang bersifat

statis, melainkan pelayanan yang dilakukan oleh gereja merupakan pelayanan yang bersifat

dinamis sesuai konteks serta tingkat kebutuhan dan perkembangan. Sehingga dapat dipahami

kemandirian gereja dalam bidang dana sebagai suatu kemampuan gereja dalam membiayai

pelayanannya yang semakin luas dan meningkat. Pelayanan yang dinamis ini akan

mendorong gereja untuk membuat dan melaksanakan berbagai program dan kegiatan, yang

pada akhirnya akan membutuhkan dana sebagai salah satu alatnya. Program dan kegiatan

yang semakin berkembang dan meningkat, akan berimplikasi pada kebutuhan gereja yang

semakin meningkat terhadap dana.

2.5. Kesimpulan

Gereja diutus untuk berkarya di tengah dunia, untuk mendemonstrasikan shalom atau

damai sejahtera Allah. Kehadiran gereja di tengah dunia mengakibatkan gereja untuk tidak

bersikap statis, melainkan dinamis sehingga gereja dituntut untuk jeli untuk melihat konteks

gereja berada. Hal ini berimplikasi pada bentuk dan pendekatan pelaksanaan misi gereja,

32 Iwan Stephane Akardy, Sumber Pembiayaan, 87

30

sehingga misi tersebut dilaksanakan secara tepat. Misi terkandung dalam tri tugas panggilan

gereja yakni koinonia, marturia dan diakonia.

Dalam Perjanjian Lama bahasa Ibrani, kata gereja disebut dengan qahal yang berarti

persekutuan dalam peristiwa religius. Septuaginta yang dituliskan dalam bahasa Yunani,

menyebutkan qahal dengan kata ekklesia yang artinya umat yang dipanggil keluar. Ekklesia

tertata oleh hukum taurat. Sedangkan dalam Perjanjian Baru kata ekklesia diartikan sebagai

kumpulan orang – orang yang dipanggil keluar dari dunia untuk menjadi milik Tuhan.

Manusia memiliki peranan sebagai hamba/ pekerja yang diberi tanggung jawab untuk

mengatur dan mengelola pemberian tuannya. Penatalayanan Kristen berkaitan dengan

tanggung jawab terhadap seluruh hasil ciptaan Allah yang diemban oleh manusia untuk

mengatur dan mengelolahnya. Dengan begitu manusia bukan pemilik tetapi pekerja yang

diberikan mandat oleh Allah. penatalayanan gereja merupakan tanggung jawab gereja melalui

warga jemaatnya untuk mengepalai, mengatur dan mengelola seluruh sumber daya maupun

potensi yang diberikan oleh Allah serta mengerjakan tugas pelayanan Kristus yang

dimandatkan kepadanya.

Pengertian kemandirian adalah suatu keadaan untuk dapat mengurusi diri sendiri,

tanpa mendapatkan bantuan dari pihak luar dan dapat mempertanggung-jawabkan segala

keputusan dan tindakan yang diambil. Kemandirian gereja lahir pada tahun 1692 oleh Rufus

Anderson dan Henry Venn. Kemandirian gereja berarti suatu upaya yang terus – menerus

dilakukan untuk mengembangkan segala kemampuan, potensi dan sumber daya yang dimiliki

yang dipergunakan secara bebas dan bertanggung jawab bagi persekutuan, pelayanan dan

kesaksian. LDKG menuliskan kemandirian gereja merupakan wujud dari kedewasaan gereja

dan siap untuk ambil bagian dalam missio dei.

Misi gereja tetap, tetapi bentuk dan pendekatannya berbeda berdasarkan konteks

gereja. Bentuk dan pendekatan misi ini tertuang dalam program dan kegiatan gereja. Dengan

31

semakin meningkat dan berkembangnya pelayanan gereja maka akan berimplikasi pada

kebutuhan gereja terhadap dana akan meningkat pula. Otto Pipper mengatakan bahwa uang

memiliki fungsi rohani, uang dipakai sebagai alat untuk mengungkapkan kasih dan pelayanan

serta menjadi alat untuk memuliakan Allah.

Sumber pemasukan dana gereja pada umumnya berasal dari warga jemaatnya.

Penatalayanan bukan hanya berbicara mengenai pengaturan, tetapi juga pengelolahan setiap

sumber daya, potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Dalam konteks kemandirian dalam

bidang dana, melalui peranan penatalayanannya gereja dituntut untuk dapat berusaha atau

mengusahakan setiap kemampuan, potensi dan sumber daya yang ada, guna mendatangkan

sumber pemasukan dana atas hasil usahanya.