Upload
wahyu-tri-cahyono
View
217
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tafsir Kontemporer Wawasan Quran Tentang Takdir
Citation preview
WAWASAN ALQURAN TENTANG TAKDIR
MAKALAH (Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Kontemporer)
Dosen Pengampu :Helmi Yusuf, M.A
Disusun Oleh:Ali Muhammad FauziWahyu Tri Cahyono
PRODI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAHFAKULTAS SYARIAH
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU ALQURANJAKARTA
2013
A. PENDAHULUAN
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. karena atas rahmat serta
karunia-Nya sehingga tugas makalah yang kami susun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Tafsir Kontemporer dengan judul “Wawasan Alquran Tentang
Takdir” bisa terselesaikan dengan baik serta tepat waktu.
Adapun isi makalah ini adalah mengupas secara ringkas beberapa ayat-
ayat Alquran yang memuat wawasan mengenai takdir, atau dengan kata lain
bagaimana pengertian takdir menurut Alquran berdasarkan penafsiran dari ayat-
ayat tersebut.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari
segi isi, atau tatatulisnya. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
dan ikut membantu dalam penyusunan makalah ini, dan kami berharap makalah
ini bisa memberikan manfaat kepada para pembaca. Semoga Allah swt. senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.
Masalah takdir merupakan bahasan yang sering menjadi bahan perdebatan
diantara sekte-sekte kalam, sehingga pengertian takdir menurut salah satu sekte
belum tentu sama menurut sekte lainnya. Beberapa pokok bahasan dalam makalah
ini adalah ulasan secara ringkas mengenai pengertian takdir menurut beberapa
ayat Alquran berdasarkan rujukan literatur yang banyak dipakai oleh mayoritas
umat Islam, khususnya di Indonesia, yaitu karya ulama-ulama Ahlussunnah,
meskipun permasalahan takdir dalam Islam pertama kali dikemukakan oleh
Ma’bad Juhni, seorang tokoh sekte Qadariyah (free will), yaitu satu sekte kalam
yang tidak mengakui adanya takdir. 1
B. PEMBAHASAN
1 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, “Syifa'ul 'Alil Fii Masaailil Qadha' wal Qadar wal Hikmah wat Ta'lil” - Edisi Indonesia Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2000), Cetakan Pertama, Pendahuluan xiv
1
1. Definisi
Kata takdir diderivasi dari bahasa Arab qaddara yuqaddiru taqdîran, yang
berarti menaksir atau mengira. Jika syiddah-nya dihilangkan maka menjadi
qadara, yang berarti mampu. Dari sini dikenal salah satu sifat Tuhan yakni
qudrah (Mahakuasa). Dalam akidah Islam biasanya kata taqdir disandingkan
dengan kata qadâ` dan lebih sering disebut qadâ` dan qadar 2. Menurut Quraish
Shihab3, kata takdir terambil dan kata qaddara berasal dari akar kata qadara
yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika
Anda berkata, “Allah telah menakdirkan demikian,” maka itu berarti, “Allah
telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan
maksimal makhluk-Nya.”
Arifin Jami’an4 melihat ada tiga pengertian takdir dari segi etimologi:
pertama, takdir merupakan ilmu yang amat luas meliputi segala apa yang akan
terjadi dan semua yang berhubungan dengan itu. Semua hal yang akan terjadi
pasti telah diketahui dan ditentukan sejak semula. Kedua, berarti sesuatu yang
sudah dipastikan. Kepastian itu lahir dari penciptanya di mana eksistensinya
sesuai dengan apa yang telah diketahui sebelumnya. Ketiga, takdir berarti
menerbitkan, mengatur, dan menentukan sesuatu menurut batas-batasnya di mana
akan sampai sesuatu kepadanya, sebagaimana tercermin dalam Alquran surat
Fushshilat ayat 10:
“Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-
orang yang bertanya”.
2 Djaya Cahyadi, “Takdir Dalam Pandangan Fakhr Al-Din Al-Razi”, (Jakarta:Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah, 2011), Skripsi, 36
3 M. Quraish Shihab, “Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat”, (Bandung: Mizan, 1996), 59
4 Arifin Jami‟an, “Memahami Takdir”, (Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986), 32-33
2
Secara terminologis pengertian takdir masih menjadi perdebatan. Secara
umum pandangan terhadap takdir terpecah kepada dua kutub besar di mana satu
sisi berarti ketetapan perbuatan manusia telah ditentukan sejak zaman azali,
sebelum ia lahir ke dunia. Di sisi lain manusia mempunyai kebebasan dalam
menentukan kemauan dan perbuatan yang hendak dilakukannya, walaupun tetap
ada keterbatasan sesuai kodratnya sebagai manusia. Dalam istilah Barat, problem
ini dikenal dengan istilah Free Will and Predestination.5 Sedangkan pengertian
takdir yang berkembang dalam masyarakat setidaknya ada 2 pengertian :
Pertama: Takdir sebagai suatu ketentuan yang tidak mengalami perubahan dan
telah berlaku sejak dahulu. Dalam pemahaman ini, tentunya bekerja aksi-reaksi,
hukum-hukum alam atau hukum fisika yang diberlakukan sejak penciptaan
pertama terhadap hukum-hukum alam semesta. Kedua: Takdir sebagai prosesi
kejadian - yang terjadi pada manusia. Ketika manusia berada pada posisi
beruntung, entah mendapat jodoh atau diterima untuk bekerja, maka yang
bersangkutan mencapai suatu posisi dari pilihan takdirnya6.
2. Ayat-Ayat Tentang Takdir
Dari sekian banyak ayat Alquran dipahami bahwa semua makhluk
telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas
ketetapan itu, dan Allah swt. Menuntun dan menunjukkan mereka arah yang
seharusnya mereka tuju. Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan
Surat Al-A'la (Sabihisma),
1. sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tingi,
2. yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya),
3. dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (QS Al-
A'la [87]: 1-3).
5 Yusran Asmuni, “Ilmu Tauhid”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), cetakan ketiga, 169.
6 Apriadi Rachmat Daud, “Mampukah Manusia Mengubah Takdir ?”,
http://www.kabarislam.com/hukum-fiqih/bisakah-manusia-mengubah-takdir, ditelusur tanggal 18 Maret 2013.
3
Karena itu ditegaskannya bahwa: "Dan matahari beredar di tempat
peredarannya Demikian itulah takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang
Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38).
Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat di atas: "Dan
telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga
(setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk
tandan yang tua" (QS Ya Sin [36]: 39)
Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhan atasnya, "Dia
(Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya
qadar (ketetapan) dengan sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]:
2).
"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah khazanah
(sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu"
(QS Al-Hijr [15]: 21).
Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir. Lanjutan
ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebut contoh, yakni rerumputan.
"Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, lalu dijadikannya
rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS Sabihisma [87]: 4-53)
Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia layu dan
kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya, kesemuanya telah
ditetapkan oleh Allah swt., melalui hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam
raya ini. Ini berarti jika ingin melihat rumput subur menghijau, maka siramilah
ia, dan bila dibiarkan tanpa pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik,
maka pasti ia akan mati kering kehitam-hitaman atau ghutsan bahwa seperti
bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau seluruh makhluk-Nya.
Walhasil, "Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya" (QS Al-
Thalaq [65]: 3)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya,
dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan itulah
yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk
4
manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan
Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam
istilah sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut "hukum-hukum
alam." 7
Menurut Quraish Shihab, sunnatullah tidak sepenuhnya sama dengan
takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh Alquran adalah untuk hukum-
hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedang takdir mencakup
hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Alquran
"sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina" sekali, "sunnatul
awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum
Tuhan yang berlaku pada masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33): 38,
62 atau Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain. 8
Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan oleh Allah
takdirnya yang tidak bisa mereka tawar, "Datanglah (hai langit dan bumi)
menurut perintah-Ku, suka atau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami
datang dengn penuh ketaatan."
Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan "keniscayaan
takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."
Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia? Tampaknya tidak
sepenuhnya sama.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang
diberikan oleh Allah kepadanya. Manusia tidak dapat terbang. Ini merupakan
salah satu ukuran atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya.
Ia tidak mampu melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya untuk
menciptakan satu alat, namun akalnya pun, mempunyai ukuran yang tidak
mampu dilampaui. Di sisi lain, manusia berada di bawah hukum-hukum Allah
sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang
telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu. Hanya saja karena hukum-hukum
tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih -tidak sebagaimana
7 Shihab, “Wawasan Al-Quran : Tafsir ….”, 638 Shihab, “Wawasan Al-Quran : Tafsir ….”, 64
5
matahari dan bulan misalnya- maka kita dapat memilih yang mana di antara
takdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih. Api ditetapkan
Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan kesejukan atau dingin;
itu takdir Tuhan -manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang
sejuk. Di sinilah pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjuk
Ilahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah: "Wahai Allah, jangan
engkau biarkan aku sendiri (dengan pertimbangan nafsu akalku saja), walau
sekejap."
Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar
ibn Al-Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana
membatalkan rencana beliau, dan ketika itu tampil seorang bertanya: "Apakah
Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?" Umar ra. menjawab, "Saya
lari/menghindar dan takdir Tuhan kepada takdir-Nya yang lain."
Demikian juga ketika Imam Ali ra. sedang duduk bersandar di satu tembok
yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain. Beberapa orang di
sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas. Jawaban Ali ibn Thalib, sama
intinya dengan jawaban Khalifah Umar ra. Rubuhnya tembok,
berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-
Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat
yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput
dari marabahaya maka itu pun takdir.
Kemampuan ini pun antara lain merupakan ketetapan atau takdir yang
dianugerahkan-Nya. Jika demikian, manusia tidak dapat luput dari takdir, yang
baik maupun buruk. Tidak bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang
disebut takdir, karena yang positif pun takdir. Yang demikian merupakan
sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangan dengan petunjuk Nabi saw.,'
"... dan kamu harus percaya kepada takdir-Nya yang baik maupun yang
buruk." Dengan demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak
menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil
memohon bantuan Ilahi.9
9 Shihab, “Wawasan Al-Quran : Tafsir ….”, 64-65
6
3. Bisakah Manusia Mengubah Takdir?
Banyak orang malas yang menjadikan takdir sebagai dalih atas
kemalasannya. Padahal, takdir itu bisa diubah. Memang, tidak semua takdir bisa
diubah. Misalnya, jika seseorang ditakdirkan sebagai laki-laki, tidak bisa diubah
menjadi seorang perempuan. Lalu bagaimana cara mengubah takdir.? Cara yang
benar dan tepat, tentu saja harus bersumber dari Pembuat takdir yang tiada lain
Allah swt. melalui Alquran dan Hadits Nabi saw10.
Hadits dari Imam Turmudzi dan Hakim, diriwayatkan dari Abdullah bin
Umar, bahwa Nabi SAW Bersabda : “Barangsiapa hatinya terbuka untuk berdoa,
maka pintu-pintu rahmat akan dibukakan untuknya. Tidak ada permohonan yang
lebih disenangi oleh Allah daripada permohonan orang yang meminta
keselamatan. Sesungguhnya doa bermanfaat bagi sesuatu yang sedang terjadi
dan yang belum terjadi. Dan tidak ada yang bisa menolak taqdir kecuali doa,
maka berpeganglah wahai hamba Allah pada doa”. (HR Turmudzi dan Hakim).
Firman Allah swt, "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu
kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubah apa-apa yang ada pada diri
mereka" QS Ar-Ra’d (13):11
Maksud yang terkandung dari ayat diatas adalah agar manusia mau
berupaya dan berusaha untuk merubah takdir dan memperbaiki nasib hidup yang
sudah menjadi ketentuan Allah bagi setiap manusia. Allah telah menetapkan
takdir dan nasib hidup dari masing-masing manusia berupa rezeki, hidup, mati
dan jodoh. Dan tentunya Allah juga mampu mengubah apa-apa yang telah
ditetapkannya tersebut, namun manusia ditakdirkan untuk tidak mampu
mengamati perubahan dari takdir itu sendiri, sebagaimana firman Allah swt.
“Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-
kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu”. QS (48) Al-Fath 23.
10 Daud, “Mampukah Manusia Mengubah….”. ditelusur tanggal 18 Maret 2013
7
C. KESIMPULAN
Ada dua pengertian takdir yaitu : pertama: Takdir sebagai suatu
ketentuan yang tidak mengalami perubahan dan telah berlaku sejak dahulu. Dalam
pemahaman ini, tentunya bekerja aksi-reaksi, hukum-hukum alam atau hukum
fisika yang diberlakukan sejak penciptaan pertama terhadap hukum-hukum alam
semesta. Kedua: Takdir sebagai prosesi kejadian - yang terjadi pada manusia.
Ketika manusia berada pada posisi beruntung, entah mendapat jodoh atau diterima
untuk bekerja, maka yang bersangkutan mencapai suatu posisi dari pilihan
takdirnya. Adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan
masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi atau dengan kata lain
takdir manusia bisa diubah dengan cara berdoa. Namun, manusia ditakdirkan
untuk tidak dapat mengetahui perubahan takdir yang Allah buat terhadap hamba-
Nya.
D. DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. “Syifa'ul 'Alil Fii Masaailil Qadha' wal Qadar wal Hikmah wat Ta'lil” - Edisi Indonesia Qadha dan Qadar: Ulasan Tuntas Masalah Takdir. Jakarta: Pustaka Azzam. 2000. Cetakan Pertama.
Asmuni, Yusran. “Ilmu Tauhid”. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1995. Cetakan Ketiga
Cahyadi, Djaya. “Takdir Dalam Pandangan Fakhr Al-Din Al-Razi”. Jakarta:Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah. 2011. Skripsi
Daud, Apriadi Rachmat. “Mampukah Manusia Mengubah Takdir?”. http://www.kabarislam.com/hukum-fiqih/bisakah-manusia-mengubah-takdir
Jami’an, Arifin. “Memahami Takdir”. Gresik: CV Bintang Pelajar. 1986
8
Shihab, M. Quraish. “Wawasan Al-Quran : Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat”. Bandung: Mizan. 1996
9