Upload
others
View
37
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TANGGUNG JAWAB HUKUM TENAGA KEBIDANAN TERHADAP
KEGAGALAN DALAM PEMASANGAN ALAT KONTRASEPSI DALAM
RAHIM (IUD)
(Skripsi)
Oleh
Bobi Kurniawan
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
TANGGUNG JAWAB HUKUM TENAGA KEBIDANAN TERHADAP
KEGAGALAN DALAM PEMASANGAN ALAT KONTRASEPSI DALAM
RAHIM (IUD)
Oleh
Bobi Kurniawan
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia, pemerintah dalam hal
mengendalikan tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat membentuk suatu
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) guna mengatur lajunya
peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang dalam hal ini di bantu oleh seorang
tenaga kesehatan yaitu seorang Bidan yang ditempatkan di daerah-daerah
perdesaan. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai fungsi dan peran
tenaga kebidanan dalam praktik pelayanan kebidanan, sanksi yang diberikan ketika
bidan gagal melakukan pemasangan IUD pada pasien, tanggung jawab hukum
bidan dalam melakukan tindakan memasang alat kontrasepsi dalam Rahim.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris dengan tipe penelitian
adalah penelitian hukum deskriptif, pendekatan masalah yang digunakan adalah
pendekatan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder, pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan,
pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, penandaan data,
penyususnan dan analisis data.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa fungsi dan peran bidan dalam praktik
pelayanan kebidanan sangat penting karena terdapat beberapa peran penting dalam
masyarakat seeperti memberi asuhan kepada ibu dan anak serta memberikan
penyuluhan tentang menjaga jarak kehamilan pada ibu-ibu melalui program
keluarga berencana (KB), dalam menjalankan program KB tersebut terdapat pula
sebagian tenaga kebidanan yang melakukan kesalahan atau kelalaian yang dapat
diberikan sanksi baik dari segi Hukum ataupun Administratif, dan bagi bidan yang
melakukan kesalahan tersebut bertanggung jawab pada pasien kerena telah
merugikan diri pasien, tanggung jawab yang diberikan oleh tenaga bidan dalam hal
ini hanya bentuk ganti rugi saja.
Kata Kunci: Tanggung Jawab Bidan, Alat Kontrasepsi.
RESPONSIBILITY OF LIABILITY LAW ON FAILURE IN INSTALLATION
OF IUD CONTRACEPTION EQUIPMENT
ABSTRACT
Health is a human right and one of the elements of welfare that must be realized
according to the aspirations of the Indonesian nation, the government in
controlling the level of health and welfare of the community to form a National
Family Planning Coordinating Board (BKKBN) to regulate the increase in the
number of Indonesians assisted by a health worker, namely a midwife placed in
rural areas. The problem in this study is about the function and role of midwifery
staff in the practice of midwifery services, sanctions given when the midwife fails
to do an IUD installation in the patient, the legal responsibility of the midwife in
carrying out the act of installing contraception in the womb.
This research is normative-empirical legal research with the type of research is
descriptive legal research, the problem approach used is the empirical juridical
approach, the data used are primary data and secondary data, data collection is
done by literature study and field studies, data processing is done by means of
data checking, data tagging, data analysis and analysis.
The results showed that the function and role of midwives in the practice of
midwifery services was very important because there were several important roles
in the community such as giving care to mothers and children and providing
information on maintaining the distance of pregnancy to mothers through family
planning programs in running programs. There are also some midwives who
make mistakes or negligence that can be given sanctions both in terms of legal or
administrative, and for midwives who make mistakes responsible for the patient
because they have harmed the patient, the responsibility given by the midwife in
this case only in the form of compensation.
Keywords: Responsibilities of Midwives, Contraception Devices.
TANGGUNG JAWAB HUKUM TENAGA KEBIDANAN TERHADAP
KEGAGALAN DALAM PEMASANGAN ALAT KONTRASEPSI DALAM
RAHIM (IUD)
Oleh:
Bobi Kurniawan
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Judul Skripsi : TANGGUNG JAWAB HUKUM TENAGA
KEBIDANAN TERHADAP KEGAGALAN
DALAM PEMASANGAN ALAT
KONTRASEPSI DALAM RAHIM
(IUD)
Nama Mahasiswa : Bobi Kurniawan
Nomor Pokok Mahasiswa : 1512011047
Fakultas : Hukum
Bagian : Hukum Keperdataan
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. M. Fakih, S.H., M.S Yulia Kusuma Wardani, S.H., LL.M. NIP.19641218 198803 1 002 NIP.19690712 199512 2 001
2. Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum.
NIP. 19601228 198903 1 001
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. M. Fakih, S.H., M.S. ……………………
Sekretaris/anggota : Yulia Kusuma Wardani, S.H., LL.M. ………….
Penguji
Bukan Pembimbing : Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum. ……………………
2. Dekan Fakultas Hukum
Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum.
NIP 19600310 198703 1 002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 17 Juli 2019
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Bobi Kurniawan
NPM : 1512011047
Fakultas/Prodi : Hukum/Ilmu Hukum
Bagian : Hukum Keperdataan
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Tanggung Jawab
Hukum Tenaga Kebidanan Terhadap Kegagalan Dalam Pemasangan Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim (IUD)” benar-benar hasil karya bukan plagiat
sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 Peraturaan Akademik Universitas
Lampung dengan Keputusan Rektor Nomor 3187/H26/DT/2010.
Bandar Lampung, 17 Juli 2019
Bobi Kurniawan
NPM. 1512011047
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Suban Kecamatan Merbau
Mataram Lampung Selatan, Pada 11 Mei 1997 dan merupakan
anak ketiga dari tiga bersaudara. Penulis merupakan putra
dari pasangan Bapak Zulkifli dan Ibu Zulaiha.
Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak Wiratama 45 Triharjo pada tahun
2002 sampai tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 1
Merbau Mataram hingga tahun 2009, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2
Merbau Mataram hingga tahun 2012, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Tanjung Bintang hingga tahun 2015.
Pada tahun 2015 penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN), dan mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 31
hari di Desa Srimenganten, Kecamatan Pulau Panggung, Kabupaten Tanggamus
pada tahun 2018.
MOTO
“Jangan tuntut Tuhanmu karena tertundanya keinginanmu, tapi tuntut dirimu
karena menunda adabmu kepada Allah.”
(Ibnu Atha’illah As-Sakandari)
“Aegroti Salus Lex Suprema
(Keselamatan Pasien adalah Hukum yang Tertinggi).”
(Asas Hukum Kesehatan)
“Belajar tidak akan berarti apa-apa tanpa dibarengi budi pekerti.”
(Penulis)
PERSEMBAHAN
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati kupersembahkan
skripsiku ini kepada:
Kedua orang tuaku,
Ayahanda Zulkifli dan Ibunda Zulaiha, yang selama ini memberikan cinta, kasih
sayang, kebahagiaan, mendidik dengan baik, dan selalu memotivasi secara materil
dan immateril, serta berkorban apapun selama ini untuk keberhasilanku.
Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi setiap langkah kalian.
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil‘alamin, segala puji dan syukur saya panjatkan atas kehadirat
Allah SWT. Tanpa izin-Nya, saya tidak akan mampu menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Tanggung Jawab Hukum Tenaga Kebidanan Terhadap Kegagalan
Dalam Pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (IUD)” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan saran dari
berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Bapak Prof. Dr. I Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I
Bagian Akademik Fakultas Hukum Universitas lampung;
3. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
4. Ibu Rohaini, S.H., Ph.D., selaku Sekretaris Bagian Keperdataan Fakultas
Hukum Universitas Lampung;
5. Bapak Dr. M. Fakih, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan saran, masukan dan
bantuan yang sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Ibu Yulia Kusuma Wardani, S.H., LL.M., selaku Dosen Pembimbing II yang
telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan saran, masukan
dan bantuan yang sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan kritik yang membangun, saran dan pengarahan selama proses
penulisan skripsi ini;
8. Bapak Wendy Trijaya, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan kritik yang membangun, saran dan pengarahan selama proses
penulisan skripsi ini;
9. Ibu Dr. Nunung Rodliyah, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah memberikan bimbingan dan arahan selama saya menempuh pendidikan
di Fakultas Hukum Universitas Lampung;
10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya dosen
bagian Keperdataan yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang
bermanfaat bagi penulis selama menyelesaikan pendidikannya;
11. Seluruh Karyawan/Karyawati Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
selama ini telah memberikan memberikan bantuan secara teknis maupun
administratif yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan
pendidikannya;
12. Keluarga besar Fakultas Hukum Unila angkatan 2015;
13. Kakak kandung penulis, Eko Apriadi. S.Kom., dan, Budi Setiawan .
Terimakasih atas cinta dan kasih sayang yang tiada henti, semoga kita
menjadi anak yang soleh dan solehah yang selalu menjaga nama baik
keluarga dan membanggakan kedua orang tua;
14. Teman-teman seperbimbingan, Christian Tarihoran, Delia Puspitasari, Arfita
Bella, Widya Saputri, Dempo;
15. Teman-teman perkuliahan yang telah memberi dukungan bagi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, Adi Kurniawan, Dodi Dwijaya, Hendri Wahyu,
Bahrudin, Ridho Wijaya, Marta Wardana, Rifqi Saputra, Trisna, Harvinaz,
Sukma Ari, Thio Haikal, Mashuril Anwar, Dina Danata, Dewi Nurhalimah,
Fitri;
16. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Perdata (HIMA Perdata) angkatan
2015;
Semoga Allah SWT membalas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Bandar Lampung,17 juli 2019
Penulis
Bobi Kurniawan
i
DAFTAR ISI
ABSTRAK
SAMPUL DEPAN
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN
RIWAYAT HIDUP
MOTO
HALAMAN PERSEMBAHAN
SANWACANA
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ........................................... 6
1. Permasalahan....................................................................................... 6
2. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 7
1. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7
2. Kegunaan Penelitian............................................................................ 8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim ........................ 9
1. Pengertian AKDR ............................................................................... 9
2. Jenis-jenis AKDR ............................................................................... 9
3. Cara Pemasangan AKDR .................................................................... 10
B. Tinjauan Umum tentang Kegagalan dalam Pemasangan AKDR ............. 12
1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengguna AKDR ........................ 12
2. Faktor-faktor yang Timbul Akibat Pemasangan AKDR ..................... 15
3. Faktor-faktor Penyebab Kegagalan dalam Pemasangan AKDR ......... 17
C. Tinjauan Umum tentang Tenaga Kebidanan............................................. 18
1. Pengertian Bidan ................................................................................. 18
2. Dasar Pengaturan Tenaga Kebidanan ................................................. 19
3. Pelayanan Kebidanan ..........................................................................
................................................................... 23
5. Kewenangan Tenaga Kebidanan ......................................................... 25
D. Tinjauan Umum tentang Pasien ................................................................ 26
1. Pengertian Pasien ................................................................................ 26
2. Hak Pasien ........................................................................................... 27
E. Hubungan Hukum Antara Bidan dan Pasien ............................................ 28
20
4. Fungsi Tenaga Kebidanan
ii
F. Tanggung Jawab Hukum...........................................................................
A. Jenis Penelitian .......................................................................................... 37
B. Tipe Penelitian .......................................................................................... 38
C. Pendekatan Masalah .................................................................................. 38
D. Sumber dan Jenis Data .............................................................................. 39
E. Penentuan Nara Sumber ............................................................................ 41
F. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data.............................................
A. Fungsi dan Peran Tenaga Kebidanan Dalam Melakukan Pelayanan
Kesehatan ..................................................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................................... 72
B. Saran ..........................................................................................................
31
1. Teori Pertanggungjawaban ................................................................... 31
2. Tanggung Jawab Hukum ......................................................................
35
III. METODE PENELITIAN
32
3. Sanksi Hukum ...................................................................................... 33
G. Kerangka Pikir ..........................................................................................
41
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
44 B. Sanksi Yang diberikan ketika seorang tenaga kebidanan gagal
melakukan pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim pada pasien.........
56
V. PENUTUP
51
C. Tanggung Jawab Tenaga Kebidanan Dalam Melakukan Tindakan
memasang alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR)....................................
73
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan sendiri merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pasal 28H Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi; Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Oleh karena
itu, setiap kegiatan dan upaya dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, perlindungan dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi
pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya
saing bangsa, serta pembangunan nasional.1
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada
mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur
1 Titik Kurniawati. Kependudukan dan Pelayanan KB. Jakarta: EGC. 2013, hlm 32.
2
berkembang kearah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat
dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan
berkesinambungan. Untuk itu sudah saatnya kita melihat persolan kesehatan
sebagai suatu faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanannya didasarkan
pada sebuah paradigma sehat, yakni paradigma kesehatan yang mengutamakan
upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif. Dalam
rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah undang-undang
yang mengatur tentang kesehatan. Oleh sebab itu untuk menjamin kesehatan
masyarakat Indonesia diterbitkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.2 Negara Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan
jumlah peningkatan penduduk yang tinggi. Hasil sensus menurut publikasi Badan
Pusat Statistik (BPS) pada bulan Agustus 2018 antara lain jumlah penduduk
Indonesia adalah 237.556.363 jiwa, terdiri atas 119.507.600 laki‐laki dan
118.048.783 perempuan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 persen
pertahun. Dari pertumbuhan jumlah penduduk ini tentu saja akan berimplikasi
secara signifikan terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan Negara.3
Pemerintah Indonesia dalam menghadapi permasalahan peningkatan jumlah
penduduk yang tinggi tersebut berupaya membuat berbagai program yang
2 Wiku Adisasmito. Sistem Kesehatan. Jakarta; PT RajaGrafindo. 2007. hlm 7.
3 Ari Sulistyawati. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: Salemba Medika. 2011, hlm vii.
3
berkaitan dan berperan tepat. Salah satunya melalui Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1970 didirikanlah sebuah badan otonom yang secara
khusus bertugas mengendalikan lajunya peningkatan jumlah penduduk di
Indonesia yaitu Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
BKKBN melibatkan berbagai pihak untuk berperan aktif menekan laju
peningkatan kuantitas penduduk, dalam menajalankan kegiatan promotif hingga
pelayanan kontrasepsi. BKKBN senantiasa bekerja sama dengan Kementerian
Kesehatan maka dari itu program pelayanan kontrasepsi juga menjadi salah satu
tugas pokok tenaga kesehatan4, maka dibutuhkanlah fasilitas pendidikan kesehatan
yang lebih banyak dan memadai di seluruh Indonesia agar dapat mengembangkan
kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan di Indonesia.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga
Kesehatan) Pasal 1 angka 1 yang berbunyi; tenaga kesehatan adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Undang-Undang Tenaga Kesehatan mengelompokkan tenaga kesehatan menjadi:
tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan
lingkungan, dan sebagainya. Tenaga medis telah dicabut dari undang-undang
tenaga kesehatan sejak dilakukannya uji materil oleh MK dengan dikeluarkannya
putusan dengan nomor 82/PUU-XIII/2015. Setiap tenaga kesehatan yang melayani
di berbagai sarana atau fasilitas kesehatan harus bertindak sesuai dengan etika
4 J. Heffer Linda & Danny. At a Glance Sistem Reproduksi. Jakarta: Erlangga. 2006, hlm 35.
4
profesi. Acuan bertindak atau etika profesi atau “kode etik profesi” sebagai
standar profesi kesehatan ini harus dirumuskan oleh masing masing organisasi
atau perkumpulan profesi tenaga kesehatan tersebut.5
Tenaga kebidanan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan
untuk menyelenggarakan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan keahlian
yang dimiliki diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2019 tentang
Kebidanan. Kompetensi bidan ditentukan dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 369 tahun 2007 Tentang Standar Profesi bidan, serta ketentuan mengenai
registrasi Bidan sebagai tolok ukur untuk menilai pencapaian dan penguasaan
standar kompetensi yang telah ditentukan tersebut, selain itu Bidan sebagai profesi
yang memiliki organisasi profesi Ikatan Bidan Indonesia (IBI), mempunyai
kedudukan mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan, tenaga kebidanan dalam menjalankan tugasnya,
harus memiliki Surat Tanda Registrasi Bidan (STRB) dan Surat Izin Praktik Bidan
(SIPB). Surat Tanda Registrasi Bidan adalah bukti tertulis yang diberikan oleh
Pemerintah kepada bidan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, sementara Surat Izin Praktik Bidan
adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
5 Naomy Merie Tando. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan. Jakarta: In Media.
2013, hlm 40.
5
kepada bidan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik
kebidanan.6
BKKBN dalam menjalankan program penurunan jumlah penduduk yang dikenal
dengan program KB tersebut, berkerjasama dengan tenaga kebidanan, bentuk
kerjasama yang dilakukan oleh BKKBN adalah sebagai koordinator bagi tenaga
kebidan dalam program KB tersebut, sedangkan bidanlah pelaksana program KB
tersebut, karena bidan berada ditengah-tengah masyarakat sebagai pemberi
informasi atau penyampaian kepada calon pasien efektifitas Alat Kontrasepsi
Dalam Rahim (AKDR) bahwa pentingnya agar masyarakat Indonesia mengikuti
program pemerintah dalam menekan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia,
guna menstabilkan perekonomian Negara.
Pemasangan AKDR yang dilakukan oleh bidan tidak menutup kemungkinan
terjadinya kegagalan baik akibat kelalaian pihak bidan atau kesalahan dari pasien
itu sendiri, maka dari itu konseling sangat diperlukan sebelum dilakukannya
pemasangan AKDR.7 Lebih lagi bagi pasien dengan kaategori (4T) terlalu muda,
terlalu sering, terlalu dekat, dan terlalu tua kehamilan dan pasien yang memiliki
penyakit kronis pasien dengan kategori ini memiliki risiko tinggi kegagalan dalam
pemasangan AKDR bisa berakibat pada kehamilan, persalinan, nifas, mortalitas
dan morbilitas. Kehamilan yang tidak diinginkan pada akhirnya pasien tersebut
untuk melakukan ansave abortion (keguguran), hal ini dapat menjadikan tenaga
kebidanan mengalami tuntutan dari pihak pasien.
6 Asmawani. Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Makassar: Pustaka Refleksi. 2011, hlm 12-
13. 7 Niluh Nita Silfia & Sumiaty. Konsep Kebidanan. Jakarta: In Media. 2009, hlm 02.
6
Kemungkinan kegagalan pada penggunaan AKDR seperti pada kasus di atas
memang sudah banyak terjadi. Persoalannya kegagalan penggunaan AKDR tidak
selalu disebabkan oleh kesalahan pasien itu sendiri. Adapula kesalahan yang
disebabkan oleh bidan dalam melakukan pemasangan AKDR kepada pasien
tersebut. Dengan demikian sudah sepatutnya pasien berhak menuntut ganti rugi
terhadap seorang tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam memberikan
pelayanan kesehatan yang diterimanya.8 Berdasarkan latar belakang itulah penulis
tertarik untuk melakukan penilitian tentang “Tanggung Jawab Hukum Tenaga
Kebidanan Terhadap Kegagalan Dalam Pemasangan Alat Kontrasepsi
Dalam Rahim (IUD)”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:
a. Bagaimana fungsi dan peran tenaga kebidanan dalam menjalankan praktik
pelayanan kebidanan?
b. Bagaimana sanksi yang diberikan ketika seorang tenaga kebidanan gagal
melakukan pemasangan alat kontrasepsi dalam Rahim pada pasien?
c. Bagaimana tanggung jawab hukum tenaga kebidanan dalam melakukan
tindakan memasang alat kontrasepsi dalam Rahim (AKDR)?
8 Zahir Rusyad. Hukum Perlindungan Pasien. Malang: Setara Press. 2018, hlm 03.
7
2. Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi
ruang lingkup penelitian ini meliputi:
a. Pengaturan fungsi dan peran tenaga kebidanan dalam menjalankan praktik
pelayanan kebidanan.
b. Penentuan sanksi yang diberikan ketika seorang tenaga kebidanan gagal
melakukan pemasangan alat kontrasepsi dalam Rahim pada pasien.
c. Pengaturan tanggung jawab tenaga kebidanan dalam melakukan tindakan
memasang alat kontrasepsi dalam Rahim (AKDR).
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini yaitu:
a. Mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana pengaturan fungsi dan peran
tenaga kebidanan dalam menjalankan praktik pelayanan kebidanan.
b. Mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana penentuan sanksi yang
diberikan ketika seorang tenaga kebidanan gagal melakukan pemasangan
alat kotrasepsi dalam Rahim.
c. Mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana pengaturan tanggung jawab
tenaga kebidanan dalam melakukan tindakan memasang alat kontrasepsi
dalam Rahim (AKDR).
8
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dilaksanakanya penelitian ini sebagai berikut:
a. kegunaan teoritis, diharapkan berguna sebagai sumbangsih pemikiran
penulis dalam rangka menambah wawasaan ilmu tentang tanggung jawab
tenaga kebidanan, terutama yang mempunyai relevansi dengan skripsi ini.
b. kegunaan praktis, diharapkan dapat menambah wawasan pengalaman
dengan menerapkan dan membandingkan antara teori dan praktik dalam
lingkup hukum kesehatan dan sebagai sumbangan pnelitian atau informasi
bagi pihak yang memerlukan, khususnya bagi para penulis sendiri dan
mahasiswa hukum pada umumnya.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
Definisi Kontrasepsi merupakan suatu metode yang bertujuan untuk mencegah
pembuahan sehingga tidak terjadi kehamilan. Dalam hal ini pemerintah Indonesia
menyelenggarakan program Keluarga Berencana melalui pengaturan kelahiran
yang berkerjasama dengan tenaga kebidanan dalam menjalankan pengaturan
persetase kelahiran yang terjadi di Indonesia.9
1. Pengertian AKDR
AKDR adalah alat kontrasepsi yang dimasukkan ke dalam Rahim yang
bentuknya bermacam-macam, terdiri dari plastic (polyethylene). Ada yang
dililit tembaga (Cu), ada pula yang tidak, adapula yang dililit tembaga
bercampur perak (Ag). Selain itu ada pula yang dibatanganya berisi hormon
progesterone.10
2. Jenis jenis AKDR yang beredar:
a. IUD generasi pertama: disebut lippersloop, berbentuk spiral atau huruf S
ganda, terbuat dari plastic (poyethyline).
b. IUD generasi kedua:
9 OpCit. Niluh Nita Silvia&Sumiaty. hlm 14.
10 Renata Komalasari. Buku Saku Kebidanan. Jakarta; EGC. 2010. hlm 63.
10
1) Cu T 200 B; berbentuk T yang batangnya dililit tembaga (Cu) dengan
kandungan tembaga.
2) Cu 7; berbentuk angka 7 yang batangnya dililit tembaga.
3) ML Cu 250; berebntuk 3/3 lingkaran elips yang bergerigi yang
batangnya dililit tembaga.
c. IUD generasi ketiga:
1) Cu T. 380 A: berebntuk huruf T dengan lilitan tembaga yang lebih
banyak dan perak.
2) MI Cu 375; batangnya dililit tembaga berlapis tembaga.
3) Nova T. Cu 200 A; batang dan lengannya dililit tembaga.
d. IUD genearasi keempat:
Genefix, merupakan AKDR tanpa rangka, terdiri dari benang polipropilen
monofilament dengan enam butir tembaga.
3. Cara Pemasangan AKDR
Dalam pemasangan AKDR ini ada beberapa tahapan yaitu:
a. Persiapan sebelum pemasangan IUD, tahap ini merupakan tahap persiapan
Pada awalnya, Bidan lalu memberikan pasien obat pereda nyeri seperti
ibuprofen satu jam sebelum IUD dimasukkan. Gunanya untuk membantu
mengurangi rasa nyeri dan tidak nyaman selama proses pemasangan alat
tersebut ke dalam rahim. Sembari menunggu jadwal pemasangannya,
Bidan menjelaskan lebih dulu mengenai langkah-langkah prosedurnya
serta menjawab setiap pertanyaan yang mungkin Pasien miliki tentang
prosesnya. Selanjutnya, bidan melakukan pemeriksaan bimanual. Caranya
dengan memasukkan dua jari ke dalam vagina dan menempatkan tangan
11
satunya di atas perut Pasien untuk mengetahui posisi, ukuran, dan
pergerakan rahim.
b. Proses mengukur dan menstabilkan ukuran saluran Rahim, tahapan ini
merupakan tahapan Bidan menggunakan spekulum (alat menyerupai paruh
bebek) untuk membuka vagina anda. Vagina kemudian dibersihkan dengan
larutan antiseptik untuk mencegah infeksi. Proses dilanjutkan dengan
penyuntikkan anestesi lokal ke leher rahim (serviks) supaya rasa nyeri
berkurang sementara tenaculum (alat penstabil serviks) dipasang.
Kemudian, sebuah alat steril yang disebut uterine sound atau aspirator
endometrium juga dimasukan untuk mengukur kedalaman rahim. Proses
ini dilakukan untuk memastikan IUD bisa dimasukkan hingga kedalaman
6-9 cm. Jika kedalaman rahim kurang dari 6 cm, maka IUD tidak boleh
dimasukkan.
c. Proses pemasangan IUD, tahapan ini merupakan tahap akhir Setelah
kedalaman rahim diketahui, uterine sound lalu dikeluarkan. Bidan
menyiapkan IUD yang dibengkokkan bagian lengannya. Kemudian, IUD
dimasukkan pada inserter khusus berupa tabung yang dimasukkan lewat
vagina. Setelah sampai di kedalaman rahim yang tepat, IUD didorong
keluar dari tabung. Bagian lengan IUD yang bengkok lalu kembali ke arah
semula membentuk huruf T. Setelah itu, inserter, tenakulum, dan spekulum
dikeluarkan dari vagina.
12
B. Tinjauan Umum tentang Kegagalan dalam Pemasangan AKDR
Kata kegagalan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan kata benda
yang berdasar dari kata gagal arti kata gagal berarti ketidakberhasilan. Dalam
pemasangan AKDR terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya
anatara lain yaitu:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna AKDR
a. Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior), sebab dari pengalaman dan
hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan contohnya adalah mendapatkan informasi tentang KB, pengertian
KB, manfaat KB, dan dimana memperoleh pelayanan KB.11
b. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku sesorang
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan, pendidikan suami-istri yang rendah akan
menyulitkan proses pengajaran dan pemberian informasi, sehingga
pengetahuan tentang metode kointrasepsi jangka panjang juga terbatas.
Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi seseorang untuk bertindak dan
mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya. Orang yang berpendidikan
11
Depkes RI. Buku Panutan Petugas Klinik Keluarga Berencana. Jakarta; Pusat Bahasa.
2000. hlm 42.
13
tinggi biasanya bertindak lebih rasional. Oleh karena itu orang yang
berpendidikan tentu lebih mudah menerima gagasan baru.
c. Dukungan Suami
Dukungan adalah suatu uapaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril
maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan
kegiatan. Faktor-faktor yang memengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah
kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat
pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga
kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada,
sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau
hotokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai
tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua
dengan kelas sosial bawah.12
Bentuk partisipasi laki-laki KB bisa dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung.13
Partisipasi secara langsung sebagai akseptor KB dan partisipasi
secara tidak langsung adalah mendukung isteri dalam berKB, motivator,
merencanakan jumlah anak dalam keluarga dan mengambil keputusan
bersama. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan peran suami dalam
penggunaan alat kontrasepsi antara lain:14
1) sebagai motivator
Peran pria dalam program KB tidak hanya sebagai peserta. Mereka juga
harus bisa sebagai motivator wanita dalam ber KB, ikut merencanakan usia
12
Ahmadi. Perempuan Siklus PDCA Pelayanan Pemeriksaan Kehamilan. Jakarta; 2006. hlm
56. 13
Hartanto. H. Keluarga Berencana Dan Kontrasepsi. Jakarta; Pusat Harapan. 2008. hlm 26-
27. 14
Op.cit, Hartanto. hlm 38.
14
kehamilan, jumlah anak dan jarak kelahiran. Strategi utama yang
dilakukan adalah dengan mendorong keikutsertaan pria dalam
memutuskan menggunakan alat KB yang akan dipakai, aktif dalam
mendukung pelaksanaan KB di masyarakat, dan ikut sebagai peserta KB.
Upaya peningkatan partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB dan
kesehatan reproduksi akan dilaksanakan dengan benar-benar
memperhatikan kesamaan hak dan kewajiban reproduksi suami istri untuk
mewujudkan keadilan dan kesetaraan. Apabila istri disepakati untuk ikut
program KB, peranan suami adalah mendukung dan memberikan
kebebasan kepada istri untuk menggunakan kontrasepsi atau car/metode
KB. Adapun dukungannya meliputi:
a) Memilih kontrasepsi yang sesuai dengan keinginan dan kondisi
istrinya.
b) Membantu istrinya dalam menggunakan kontrasepsi secara benar,
seperti mengingatkan saat suntikan KB dan mengingatkan istri untuk
control.
c) Membantu mencari pertolongan apabila terjadi efek samping maupun
komplikasi dari pemakaian alat kontrasepsi.
d) Mengantar istri ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk control.
e) Mencari alternatif lain apabila kontrasepsi yang digunakan saat ini
tidak sesuai.
f) Menghitung membantu waktu subur, apabila menggunakan metode
pantang berkala.
g) Menggunakan kontrasepsi apabila keadaan istri tidak memungkinkan.
15
2) Pengambil Keputusan
Peran suami dalam keluarga sangat dominan dan memegang kekuasaan
dalam pengambilan keputusan apakah istri akan menggunakan kontrasepsi
atau tidak, karena suami dipandang sebagai pelindung, pencari nafkah dan
pembuat keputusan. Beberapa pria mungkin tidak menyetujui pasangan
untuk akseptor KB karena mereka belum mengetahui dengan jelas cara
kerja berbagai alat kontrasepsi yang ditawarkan dan suami khawatir
tentang kesehatan istrinya. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa suami
mempunyai pengaruh besar dalam penggunaan alat kontrasepsi. Dalam hal
ini, suami sangat besar pengaruhnya dalam pemakaian alat kontrasepsi,
terutama dalam pemilihan jenis kontrasepsi dan menjadi peserta KB.15
a. Spoting
Keluarnya bercak-bercak darah diantara siklus menstruasi, spoting akan
muncul jika capek dan stress. Perempuan yang aktif sering mengalami spotting
jika menggunakan kontrasepsi AKDR.
b. Perubahan Siklus Menstruasi
Setelah pemasangan AKDR siklus menstruasi menjadi lebih pendek. Siklus
menstruasi yang muncul lebih cepat dari siklus normal rata-rata yaitu 28 hari
dengan lama haid 3 – 7 hari, biasanya siklus haid berubah menjadi 21 hari.
c. Amenore
Tidak didapat tanda haid selama 3 bulan atau lebih. Penanganan efek samping
amenore adalah memeriksa apakah sedang hamil, apabila tidak, AKDR tidak
15
Nursallam dan effendi. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta; Salemba Medika. 2008.
hlm 42.
2. Faktor-faktor yang timbul akibat pemasangan AKDR
16
dilepas, memberi konseling dan menyelidiki penyebab amenorea apabila
dikehendaki. Apabila hamil, dijelaskan dan disarankan untuk melepas AKDR
apabila talinya terlihat dan kehamilan kurang dari 13 minggu. Apabila benang
tidak terlihat, atau kehamilan lebih dari 13 minggu, AKDR tidak dilepas.
Apabila klien sedang hamil dan ingin mempertahankan kehamilan tanpa
melepas AKDR maka dijelaskan adanya resiko kemungkinan terjadinya
kegagalan kehamilan dan infeksi serta perkembangan kehamilan harus lebih
diamati dan diperhatikan.
d. Dismenorhea
Munculnya rasa sakit menstruasi tanpa penyebab organik. Untuk penanganan
dismenorhe adalah memastikan dan menegaskan adanya penyakit radang
panggul (PRP) dan penyebab lain dari kekejangan. Menaggulangi
penyebabnya apabila ditemukan. Apabila tidak ditemukan penyebabnya diberi
analgesik untuk sedikit meringankan. Apabila klien mengalami kejang yang
berat, AKDR dilepas dan membantu klien menentukan metode kontrasepsi
yang lain.
e. Menorrhagea
Perdarahan berat secara eksesif selama masa haid atau menstruasi.
Memastikan dan menegaskan adanya infeksi pelvik dan kehamilan ektopik.
Apabila tidak ada kelainan patologis, perdarahan bekelanjutan serta
perdarahan hebat, melakukan konseling dan pemantauan. Memberi Ibuprofen
(800mg, 3 x sehari selama 1 minggu) untuk mengurangi perdarahan dan
memberikan tablet besi (1 tablet setiap hari selama 1-3 bulan). AKDR
memungkinkan dilepas apabila klien menghendaki. Apabila klien telah
17
memakai AKDR selama lebh dari 3 bulan dan diketahui menderita anemi (Hb
<7g) dianjurkan untuk melepas AKDR dan membantu memilih metode lain
yang sesuai.
f. Fluor Albus
Penggunaan AKDR, memicu rekurensi vaginosis bacterial yaitu keadaan
abnormal pada ekosistem vagina yang disebabkan bertambahnya pertumbuhan
flora vagina bakteri anaerob menggantikan Lactobacillus yang mempunyai
konsentrasi tinggi sebagai flora normal vagina.
g. Pendarahan Post Seksual
Pendarahan post seksual ini disebabkan karena posisi benang AKDR yang
menggesek mulut rahim atau dinding vagina sehingga menimbulkan
pendarahan, akan tetapi pendarahan yang muncul ini jumlahnya hanya sedikit,
pada beberapa kasus efek samping ini menjadi pembenar bagi akseptor untuk
melakukan drop out, terutama disebabkan dorongan yang salah dari suami.
Metode KB intra uterine device (IUD) atau biasa dikenal KB spiral diakui
efektivitasnya dalam pencegahan kehamilan jangka panjang. Selain risiko
kegagalan yang rendah, IUD juga lebih praktis karena sekali dipasang bisa
bertahan sampai 5 tahun.
Namun, penggunaan metode KB ini masih enggan digunakan karena berbagai
alasan seperti takut dengan proses pemasangannya hingga risiko kehamilan
yang masih tetap ada.16
Sebenarnya faktor yang menyebabkan terjadinya
peristiwa pendarahan hingga kehamilan bukan karena IUD, melainkan
16
Indra Bastian dan suryono. Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Jakarta; Salemba Medika.
2011. hlm 5.
3. Faktor-faktor penyebab kegagalan dalam pemasangan AKDR:
18
rutinitas kontrol pasca pemasangan. Idealnya alat tersebut tidak bergerak pada
posisi tersebut. Namun, rahim berkontraksi setiap saat.
C. Tinjauan Umum tentang Tenaga Kebidanan
1. Pengertian Bidan
Menurut pasal 1 angka 1 peraturan menteri kesehatan nomor 28 tahun 2017
berbunyi Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang
diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia
serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau
secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.
Bidan adalah tenaga professional yang bertanggung-jawab dan akuntabel, yang
bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan
nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas, memfasilitasidan
memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada
bayi baru lahir, dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi
persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan akses bantuan medis
atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawat-daruratan.17
Bidan mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan, tidak
hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan
ini mencakup pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat
meluas pada kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi
dan asuhan anak.
17
Prof.Dr. Ida Bagus gede Manuaba. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta; EGC. 1998. hlm 02.
19
Bidan dapat praktik diberbagai tatanan pelayanan: termasuk di rumah, masyarakat,
Rumah Sakit, klinik atau unit kesehatan lainnya.
2. Dasar Pengaturan Tenaga Kebidanan
a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Menjelaskan tentang kesehatan bahwa kesehatan merupakan hak asasi
manusia dan merupakan salah satu unsur keejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia maka dari itu
dibuatlah undang-undang tersebut diatas untuk menjamin kesehatan rakyat
Indonesia.
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Menjelaskan bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada
masyarakat agar masyarakat mampu untuk meningkatkan hidup sehat
sehingga dapat terwujud derajat kesehatan yang setinnggi-tingginya, maka
dibuatlah undang-undang tersebut diatas guna mengatur hak dan kewajiban
yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.
Menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya
perempuan, bayi, dan anak-anak yang dilaksanakan oleh bidan secara
bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan berkesinambunga,
masih dihadapkan kepada kendala profesionalitass, kompetensi dan
kewenangan, maka untuk mengatur semua hal terebut diatas, dibuatlah
undang-undang tentang kebidanan guna memberi landasan hukum bagi
20
tenaga kebidanan dalam melakukan praktik di rumah sakit atau praktik
mandiri.
d. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
Menjelaskan bahwa pembangunan nasional mencakup semua dimensi dan
aspek kehidupan termasuk perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, maka dibentuklah undang-undang
tentang perkembangan kependudukan dan perkembangan keluar.
e. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana,
dan Sistem Informasi Keluarga.
Menjelaskan bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2), Pasal
22 ayat (3), dan Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga perlu
ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana, dan Sistem Informasi
Keluarga.
3. Pelayanan Kebidanan
Pelaksanaan pelayanan kesehatan seringkali dijumpai konflik antara tenaga
kesehatan dan pasien, kesehatan yang paling banyak mendapat konflik dalam hal
ini adalah dokter, perawat, dan bidan yang terkadang tidak dapat dipecahkan oleh
21
kaidah-kaidah etika. Keadaan seperti itulah maka kaidah hukum dapat
diberlakukan, sehingga pembicaraan tidak dapat dilepaskan dari masalah hak dan
kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan tersebut, hal ini
disebabkan karena pada akhirnya penyelesainnya harus dikembalikan pada segi
hak dan kewenangan yang sebanding dengan kewajiban dan tanggung jawab para
pihak baik pasien dan tenaga kesehatan (dokter,perawat,bidan).
Pelayanan kebidanan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang
difokuskan pada pelayanan kesehatan wanita dalam siklus reproduksi, bayi baru
lahir, dan balita untuk mewujudkan kesehatan keluarga sehingga tersedia sumber
daya manusia yang berkualitas dimasa depan. Pelayanan kebidanan primer atau
mandiri merupakan asuhan kebidanan yang diberikan kepada pasien dan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab bidan.18
Asuhan kebidanan mandiri adalah
pelayanan yang dilakukan oleh seorang bidan tanpa intervensi dari pihak lain
dalam menjalankan asuhan kebidanan kewenangan bidan Sesuai Permenkes
Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 28 tahun 2017
tentang Izin dan PenyelenggaranPraktik Bidan, kewenangan yang dimiliki bidan
meliputi Kewenangan normal:
Pelayanan kesehatan ibu, Pelayanan kesehatan anak, Pelayanan kesehatan
reproduksi perempuan dan keluarga berencana, Kewenangan dalam menjalankan
program Pemerintah, Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang
tidak memiliki dokter.
18
Farellya Gitta & Nurrobikha. Etikolegal dalam Pelayanan Kebidanan. Yogyakarta; CV
Budi Utama. 2018. hlm 38.
22
a. Tugas pelayanan Mandiri/ Primer
Tugas mandiri bidan yaitu tugas yang menjadi tanggung jawab bidan
sesuai kewenangannya, meliputi:
1) Menetapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan yang
diberikan.
2) Memberi pelayanan dasar pra nikah pada remaja dengan melibatkan
mereka sebagai klien.
3) Memberi asuhan kebidanan kepada klien selama kehamilan normal.
4) Memberikan asuhan kebidanan kepada klien dalam masa persalinan
dengan melibatkan klien / keluarga.
5) Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir.
6) Memberikan asuhan kebidanan kepada klien dalam masa nifas dengan
melibatkan klien /keluarga.
7) Memberikan asuhan kebidanan pada wanita usia subur yang
membutuhkan pelayanan KB.
8) Memberikan asuhan kebidanan pada wanita dengan gangguan sistem
reproduksi dan wanita dalam masa klimakterium dan nifas.
b. Contoh pelayanan kebidanan mandiri:
Apabila seorang pasien hendak melahirkan dirumah bersalin bidan praktik
mandiri. Maka bidan tersebut bertanggung jawab sepenuhnya atas pasien
tersebut dengan keadaan sehat baik ibu maupun bayinya. Bidan melayani
KB, misalnya: suntik, pil, IUD, AKDR, dll. Mengkaji status keadaan
pasien saat hamil. Mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan kepada
23
pasien. Melaksanakan asuhan kebidanan yang telah direncanakan bersama
pasien
4. Fungsi Tenaga Kebidanan
Fungsi adalah kegunaan suatu hal, daya guna, jabatan (pekerjaan) yang dilakukan,
kerja bagian tubuh maka fungsi bidan sebagai berikut:
a. Fungsi Pelaksana
Fungsi bidan pelaksana mencakup:
1) Melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada individu, keluarga, serta
masyarakat (khususnya kaum remaja) pada masa praperkawinan.
2) Melakukan asuhan kebidanan untuk proses kehamilan normal,
kehamilan dengan kasus patologis tertentu, dan kehamilan dengan
risiko tinggi.
3) Menolong persalinan normal dan kasus persalinan patologis tertentu.
4) Merawat bayi segera setelah lahir normal dan bayi dengan risiko
tinggi.
5) Melakukan asuhan kebidanan pada ibu nifas.
6) Memelihara kesehatan ibu dalam masa menyusui.
7) Melakukan pelayanan kesehatan pada anak balita dan sekolah.
8) Memberi pelayanan keluarga berencanasesuai dengan wewenangnya.
9) Memberi bimbingan dan pelayanan kesehatan untuk kasus gangguan
sistem reproduksi, termasuk wanita pada masa klimakterium internal
dan menopause sesuai dengan wewenangnya.
24
b. Fungsi Pengelola
Fungsi bidan sebagai pengelola mencakup:
1) Mengembangkan konsep kegiatan pelayanan kebidanan bagi individu,
keluarga, kelompok masyarakat, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat setempat yang didukung oleh partisipasi masyarakat.
2) Menyusun rencana pelaksanaan pelayanan kebidanan di lingkungan
unit kerjanya.
3) Memimpin koordinasi kegiatan pelayanan kebidanan.
4) Melakukan kerja sama serta komunikasi inter dan antarsektor yang
terkait dengan pelayanan kebidanan.
5) Memimpin evaluasi hasil kegiatan tim atau unit pelayanan kebidanan.
c. Fungsi Pendidik
Fungsi bidan sebagai pendidik mencakup:
1) Memberi penyuluhan kepada individu, keluarga, dan kelompok
masyarakat terkait dengan pelayanan kebidanan dalam lingkup
kesehatan serta KB.
2) Membimbing dan melatih dukun bayi serta kader kesehatan sesuai
dengan tanggung jawab bidan.
3) Memberi bimbingan kepada para peserta didik bidan dalam kegiatan
praktik di klinik dan di masyarakat.
4) Mendidik peserta didik bidan atau tenaga kesehatan lainnya sesuai
dengan bidang keahliannya.
d. Fungsi Peneliti
Fungsi bidan sebagai peneliti mencakup:
25
1) Melakukan evaluasi, pengkajian, survei, dan penelitian yang dilakukan
sendiri atau berkelompok dalam lingkup pelayanan kebidanan.
2) Melakukan penelitian kesehatan keluarga dan KB.
3) Kewenangan Tenaga Kebidanan
5. Kewenagan tenaga kebidanan
Wewenang bidan diatur dalam Pasal 49-51 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2019 tentang Bidan, yaitu:
Dalam penyelenggaraan praktik kebidanan, bidan memiliki kewenangan untuk
memberikan:
a. Pelayanan kesehatan ibu;
b. Pelayanan kesehatan anak; dan
c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.
Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) meliputi
pelayanan:
a. Konseling pada masa sebelum hamil;
b. Antenatal pada kehamilan normal;
c. Persalinan normal;
d. Ibu nifas normal;
e. Ibu menyusui; dan
f. Konseling pada masa antara dua kehamilan.
Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) diberikan
pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak prasekolah. Dalam
memberikan pelayanan kesehatan anak bidan berwenang melakukan:
a. Pelayanan neonatal esensial;
26
b. Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
c. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah; dan
d. Konseling dan penyuluhan.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana sebagaimana dimaksud dalam huruf (c), bidan berwenang
memberikan:
a. Penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana; dan
b. Pelayanan kontrasepsi oral, kondom, dan suntikan.
D. Tinjauan Umum tentang Pasien
1. Pengertian Pasien
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran menyatakan bahwa Pasien adalah setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 1 angka 1
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 tentang keselamatan pasien,
Keselamatan Pasien adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman,
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Pengaturan
27
Keselamatan Pasien bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan fasilitas
pelayanan kesehatan melalui penerapan manajemen risiko dalam seluruh aspek
pelayanan yang disediakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan.19
2. Hak Pasien:
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
Rumah Sakit.
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.
c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, tanpa diskrimasi.
d. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai standar profesi dan
standar operasional prosedur.
e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi.
f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan kesehatan yang
didapatkan.
g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit.
h. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain
yang mempunyai Surat Ijin Praktik (SIP) baik didalam maupun diluar
Rumah Sakit.
i. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya.
j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis, tata cara tindakan medis.
Alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
19
Susan.dkk. Standart Perawatan Pasien. Jakarta; EGC. 1999. hlm 5.
28
prognosis yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.
k. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.
l. Meminta didampingi oleh keluarga saat dalam keadaan kritis.
m. Menjalankan ibadah sesuai dengan dengan keyakinan dan kepercayaan
yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lain.
n. Menggugat atau menuntut Rumah Sakit apabila diduga memberikan
pelayanan tidak sesuai dengan standar baik secara perdata maupun secara
pidana.
o. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
E. Hubungan Hukum Antara Bidan dan Pasien
Hubungan hukum antara Bidan dan Pasien dapat dilihat dari berbagai pandangan
antara lain yaitu:
Hubungan hukum antara bidan dengan pasien telah terjadi sejak pasien datang
untuk melakukan pengobatan. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat
pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap bidan. Hubungan
hukum antara bidan dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal
paternalistik seperti antara ibu dengan anak yang bertolak dari prinsip “mother
knows best” yang melahirkan hubungan yang bersifat maternalistik. Hubungan
29
hukum timbul bila pasien menghubungi bidan karena ia merasa ada sesuatu yang
dirasakannya membahayakan kesehatan atau kandungannya. Keadaan
psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan dalam hal ini
bidanlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan
pertolongan.20
Jadi, kedudukan bidan dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih
penting daripada pasien. Hubungan hukum bidan-pasien akan menempatkan bidan
dan pasien berada pada kesejajaran, sehingga setiap apa yang dilakukan oleh bidan
terhadap pasien tersebut harus melibatkan pasien dalam menentukan apakah
sesuatu tersebut dapat atau tidak dapat dilakukan atas dirinya. Salah satu bentuk
kesejajaran dalam hubugan hukum bidan-pasien adalah melalui informed consent
atau persetujuan tindakan tertentu. Pasien berhak memutuskan apakah menerima
atau menolak sebagian atau seluruhnya rencana tindakan dan pengobatan yang
akan dilakukan oleh bidan terhadap dirinya. Pasal 60-61 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2019 tentang Bidan, khusunya mengatur tentang Hak dan Kewajiban
bidan, bidan mempunyai hak dan kewajiban yaitu:
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan kompetensi, kewenangan, dan mematuhi kode etik, standar profesi,
standar pelayanan profesi, dan standar prosedur oprasional;
2. Memperoleh informasi yang benar, jelas, jujur, dan lengkap dari pasien
dan/atau keluarganyan;
20
Eman suparman. Tanggung Jawab Hukum dan Etika Profesi Tenaga Kesehatan. Malang:
setara Press. 2005. Hal. 24
30
3. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan kode etik, standar
profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
4. Menerima imbalan jasa atas pelayanan kebidanan yang telah diberikan;
5. Memperoleh fasilitas kerja sesuai dengan standar; dan
6. Mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesi.
Bidan dalam menjalankan prakteknya berkewajiban yaitu:
1. Memberikan pelayanan kebidanan sesuai dengan stadar profesi, kewenangan,
dan mematuhi kode etik;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan lengkap mengenai tindakan
kebidanan kepada pasien dan keluarganya;
3. Memperoleh persetujuan dari pasien dan keluarganya atas tindakan yang
diberikan.
Hubungan hukum bidan dan pasien mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata yang
mengatur syarat-syarat sahnya sebuah perjajiajan atau perikatan hukum syarat-
syarat tersebut yaitu antara lain:
1. Pelaku perjanjian harus dapat bertindak sebagai subjek hukum,
2. Perjanjian antara subjek hukum tersebut harus atas dasar sukarela dan tanpa
paksaan,
3. Perjanjian tersebut memperjanjikan sesuatu di bidang pelayanan kesehatan,
4. Perjanjian tersebut harus atas sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan
hukum.
31
1. Teori Pertanggungjawaban
Konsep tanggung jawab hukum berkaitan erat dengan konsep hak dan kewajiban.
Konsep hak merupakan suatu konsep yang menekankan pada pengertian hak yang
berpasangan dengan pengertian kewajiban. Pendapat yang umum mengatakan
bahwa hak pada seseorang senantiasa berkorelasi dengan kewajiban pada orang
lain. Sebuah konsep yang berkaitan dengan konsep kewajiban hukum adalah
konsep tanggung jawab (pertanggung jawaban) hukum. Bahwa seseorang
bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul
tanggung jawab hukum, artinya dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila
perbuatannya bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan
bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu
atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subjek berarti bahwa dia
bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan.
Teori tradisional dibedakan dua jenis tanggung jawab (pertanggung jawaban)
yaitu: tanggung jawab yang didasarkan atas unsur kesalahan, dan tanggung jawab
mutlak. Situasi tertentu, seseorang dapat dibebani tanggung jawab untuk
kesalahan perdata yang dilakukan orang lain, walaupun perbuatan melawan
hukum itu bukanlah kesalahannya. Hal semacam ini dikenal dengan sebagai
tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.
Tanggung jawab menurut hukum adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan
seseorang tentang perbuantanya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam
F. Tanggung Jawab Hukum
32
melakukan suatu perbuatan.21
Pertanggungjawaban harus memiliki dasar, yaitu hal
yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain
sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi
pertanggungjawabannya.22
Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability) Prinsip tanggung jawab mutlak
sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut. Ada yang mengatakan
tanggung jawab mutlak adalah prinsip yang menetapkan kesalahan tidak sebagai
faktor yang menentukan. Sebaliknya tanggung jawab absolut adalah tanggung
jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.
Asas tanggung jawab mutlak merupakan salah satu jenis pertanggungjawaban
Perdata (Civil Liability). Tanggung jawab perdata merupakan suatu instrumen
hukum perdata dalam konteks penegakan hukum untuk mendapatkan ganti
kerugian pada kasus tersebut.
2. Tanggung jawab hukum
21
Soekidjo Notoatmojo dalam Merli Yunita Sari, Skripsi: “Tanggung Jawab Rumah Sakit
Dalam Transaksi Terapetik”. Universitas Lampung; Bandar Lampung. 2013. hlm 8. 22
Titik Triwulan dan Shinta Febrian. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta; Prestasi
Pustaka. 2010. hlm 48.
33
Sebagai tenaga professional, tenaga kesehatan memikul tanggung jawab dalam
melaksanakan tugasnya. Seorang tenaga kesehatan harus dapat mempertahankan
tanggung jawabnya bila terjadi gugatan terhadap tindakan yang dilakukannya.23
a. Tanggung Jawab terhadap Peraturan Perundang-Undangan:
Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan
peraturan pemerintah. Tugas dan kewenangan tenaga kesehatan serta
ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur didalam
peraturan atau kepuasan menteri kesehatan.
b. Tanggung jawab terhadap pengembangan kompetensi:
Setiap tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan
profesionalnya. Oleh karena itu tenaga kesehatan harus selalu meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya dengan mengikuti pelatihan, pendidikan
berkelanjutan, seminar, serta pertemuan ilmiah lainnya.
3. Sanksi hukum
Macam-macam sanksi etik yaitu:
a. Sanksi teguran
1) Teguran secara lisan:
Dengan suatu pendekatan, bidan diberi penjelasan dan motivasi
2) Teguran secara tertulis, dibagi menjadi 3 :
a) Ringan
Hanya diberitahukan saja tentang penyimpangan yang telah
dilakukan
b) Sedang
23
Muahammad Sadi. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta; kencana. 2017. hlm 34.
34
Diberitahu tentang penyimpangan yang telah dilakukan Diberi
sanksi, antara lain:
Diberi tambahan tugas-tugas tertentu, tidak boleh praktek selama
beberapa saat, dipindahkan kerja / diturunkan kedudukannya
c) Berat
Diberitahukan tentang penyimpanan yang telah dilakukan Dicabut
izin praktek dari pekerjaan
b. Sanksi moral
sanksi yang berasal dari lingkungan kerja ataupun dari masyarakat,
misalnya :
1) Dikucilkan dari teman seprofesinya.
2) Dikucilkan dari masyarakat atau lingkungan.
3) Tidak diterima di profesinya.
4) Tidak diterima di masyarakat
35
G. Kerangka Pikir
Gambar 1 Kerangka Pikir.
Pasien Bidan
Pemasangan AKDR
Tanggung jawab
Tenaga Kebidanan
Peran Bidan
dalam
Pemasangan
AKDR
Sanksi yang
diberikan kepada
Tenaga Kebidanan
36
Catatan: Pasien yang melakukan pemasangan IUD tidak selalu berjalan mulus
sesuai keinginannya dalam pemasangan IUD tersebut juga terdapat kemungkinan
terjadinya kegagalan, kegagalan setelah pemasangan IUD dapat terjadi
dikarenakan bergesernya posisi IUD dari Rahim. Hal ini bisa disebabkan oleh
kelalaian tenaga kebidanan dalam melakukan pemasangan IUD tersebut dan
setelah dilakukan pemasangan tidak dilakukan pengecekan secara rutin untuk
mengetahui posisi IUD.24
Saat IUD bergerak dan secara tidak sengaja tertanam, atau menembus Rahim
maka proses pengangkatan alat harus cepat dilakukan karena bisa menyebabkan
infeksi berat pada ibu, keguguran, dan dapat menyebabkan hilangnya nyawa.
Maka dari itu fungsi dan peran bidan sangatlah penting dalam pemasangan IUD
ini dan apabila terjadi kegagalan dalam pemasangan IUD tersebut tentulah bidan
yang akan bertanggung jawab penuh terhadap kegagalan pemasangan IUD pada
pasien dan bidan akan mendapatkan sanksi hukum baik dari organisasi kebidanan
maupun pemerintah dan dapat pula mendapatkan sanksi pencabutan izin
prakteknya apabila melakukan kesalahan yang sangat berbahaya bagi keselamatan
hidup pasiennya.
24
Abdul Bari Saifuddin, dkk, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo, 2006, hlm 76.
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini dilakukan dalam usaha memperoleh data yang akurat serta
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Penelitian hukum merupakan
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistematika, dan pemikiran tertentu,
dengan jalan menganalisisnya. Selain itu juga diadakan pemeriksaan mendalam
terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan pemecahan atas
permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.25
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif-empiris (Applied law research) yaitu mengkaji pelaksanaan atau
implementasi ketentuan hukum positif (perundang-undangan) dan kontrak secara
faktual pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini.
B. Tipe Penelitian
25
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti,
2004. hlm 32.
38
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian hukum
deskriptif. Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk
memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku
di tempat tertentu dan pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat.
Berdasarkan tipe deskriptif maka penelitian ini menguraikan secara jelas, rinci,
dan sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
C. Pendekatan Masalah
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,
yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara
menganalisisnya.26
Penelitian jenis normatif-empiris ini menggunakan pendekatan
yuridis empiris. Yuridis empiris adalah pendekatan kepustakaan yang berpedoman
pada peraturan-peraturan, buku-buku atau literature-literatur hukum serta bahan-
bahan yang mempunyai hubungan permasalahan dan pembahasan dalam penulisan
skripsi ini dan pengambilan data langsung pada objek penelitian.27
Yang berkaitan
dengan Tanggung Jawab Hukum Tenaga Kebidanan terhadap Kegagalan dalam
Pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).
D. Sumber dan Jenis Data
26
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2004. hlm 1. 27
Ronny Harnitijo Soemitro. Metodologi Penelitian hukum dan Julimetri. Jakarta; Ghalia
Indonesia. 2001 hlm 10.
39
Menurut Soerjono Soekanto, data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan
dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber.
Berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan.28
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa:
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lokasi
penelitian yakni praktik bidan mandiri yang berada di Kecamatan Merbau
Mataram Kabupaten Lampung Selatan, yang terkait dengan Tanggung Jawab
Hukum Tenaga Kebidanan Terhadap Kegagalan Dalam Pemasangan Alat
Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR).
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari peraturan
perundang-undangan, buku-buku hukum dan dokumen yang berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas. Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo
Perkasa, 2004, hlm 15.
40
Bahan-bahan yang memiliki kekuatan hukum mengikat, misalnya peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam penelitian ini yang digunakan
yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
2) Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga,
3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan,
4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan,
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014
tentang Kesehatan Reproduksi,
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga
Berencana, dan Sistem Informasi Keluarga.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum
primer. Berupa peraturan pelaksana dan peraturan pelaksana teknis yang
berkaitan dengan pokok bahasan.
41
Bahan-bahan penunjang lainya yang ada relevansinya dengan pokok
permasalahan, memberikan informasi, petunjuk dan penejelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, bukan merupakan bahan hukum, namun
secara signifikan dapat dijadikan bahan analisis terhadap penerapan
kebijakan hukum dilapangan.
E. Penentuan Nara Sumber
Narasumber adalah pihak-pihak yang dijadikan sumber informasi didalam suatu
penelitian dan memiliki pengetahuan serta informasi yang dibutuhkan sesuai
dengan permasalahan yang dibahas, dengan demikian maka dalam penelitian ini
diperlukan narasumber berdasarkan kriteria tertentu yang telah ditetapkan sebagai
responden dalam penelitian ini, yaitu peranan terkait Tanggung Jawab Hukum
Tenaga Kebidanan Terhadap Kegagalan Pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam
Rahim (AKDR), yaitu:
1. Ketua Ikatan Bidan Indonesia provinsi Lampung.
2. Bidan praktek mandiri di Kecamatan Merbau Mataram Kabupaten Lampung
Selatan.
3. Pasien yang memasang AKDR 5 orang.
F. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yakni berupa penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan, yaitu
c. Bahan Hukum Tersier
42
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian Kepustakaan adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan
mempelajari, menelaah, studi kasus dan mencatat serta mengutip
berbagai literatur, dokumen-dokumen dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang berhubungan dengan Tanggung Jawab Hukum
Tenaga Kebidanan Terhadap Kegagalan Pemasangan Alat Kontrasepsi
Dalam Rahim (AKDR).
b. Penelitian Lapangan
Penelitian ini dilakukan pada lokasi penelitian dengan menggunakan
alat-alat pengumpulan data berupa wawancara yang bersumber langsung
dari informasi dengan menggunakan daftar pertanyaan yang berisi
pokok-pokok saja kemudian dikembangkan pada saat wawancara
berlangsung. Adapun para narasumber yang akan diwawancarai adalah:
Ketua Ikatan Bidan provinsi lampung, Bidan Praktek Mandiri di
kecamatan Merbau Mataram kab. Lampung selatan serta Pasien ibu-ibu
yang memasang alat kontrasepsi.
2. Metode Pengolahan Data
Hasil penelitian, baik data primer maupun data sekunder maka data tersebut
dikelola melalui tahapan yaitu:
a. Pemeriksaan Data (Editing)
Semua data yang diperoleh kemudian disesuaikan dengan permasalahan
yang ada dalam penulisan ini, editing dilakukan pada data yang sudah
terkumpul diseleksi dan diambil data yang diperlukan.
43
b. Penandaan Data
Memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data
(buku literatur, perundang-undangan, dan atau dokumen) secara
sistematis sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini.
c. Penyusunan Data
Data yang telah diklasifikasi kemudian disusun dan ditetapkan pada
setiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan untuk
dianalisis lebih lanjut.
d. Analisis Data
Data yang telah disusun selanjutnya dianalisis secara kualitatif adalah
tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang
dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan dan prilaku yang
nyata. Sedangkan secara yang dimaksud dengan analisis kualitatif yaitu
menguraikan secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, logis
dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil
analisis untuk menjawab permasalahan yang ada.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis sampaikan di atas dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Fungsi dan peran tenaga bidan diatur secara jelas oleh Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, yang intinya bidan adalah pemberi
pelayanan bagi kesehatan ibu, kesehatan anak dan sebagai penyuluh dan
koselor namun dalam prakteknya bidan tidak selalu malakukan penyuluhan
dan tidak menjadi konselor yang baik, karenanya penulis menemukan kasus
tentang kegagalan dalam pemasangan AKDR.
2. Sanksi bagi bidan dalam hal terjadi kegagalan dalam pemasangan AKDR
sudah secara eksplisit diatur oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019
tentang Kebidanan yaitu: sanksi pidana, sanksi perdata, sanksi administratif,
dan sanksi etik dari organisasi bidannya, namun dalam prakteknya penulis
73
menemukan bidan yang telah melakukan kelalaian yang menimbulkan
kerugian bagi pasiennya, dan tidak mendapatkan sanksi apapun seperti yang
diatur oleh undang-undang tersebut di atas.
3. Bentuk tanggung jawab yang di berikan oleh bidan kepada pasien yang
dirugikan ialah hanya sebatas ganti kerugian biaya berobat sampai pasien
sembuh dan pulih kembali dan tidak ada bentuk tanggung jawab lainnya
karena pasien merasa pertanggung jawaban yang dilakukan oleh bidan lebih
dari cukup.
B. Saran
1. Bagi Bidan, hasil penelitian ini merupakan masukan bagi pemberi pelayanan
kesehatan untuk lebih meningkatkan pelayanan terutama bagi bidan agar terus
memberi informasi yang lebih banyak mengenai manfaat AKDR, agar aseptor
makin menyesuaikan jenis kontrasepsi dengan faktor-faktor yang ada dalam
dirinya.
2. Bagi Responden, sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pengetahuan
tentang keluarga berencana (KB) lebih khusus, jenis kontrasepsi AKDR agar di
kemudian hari tidak terjadi kembali kasus tentang kegagalan dalam pemasangan
AKDR.
Daftar Pustaka
Buku
Abdul Bari Saifuddin, dkk, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi,
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006.
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004.
Ahmadi. Perempuan Siklus PDCA Pelayanan Pemeriksaan Kehamilan. Jakarta;
2006.
Ari Sulistyawati. Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: Salemba Medika.
2011.
Asmawani. Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Makassar: Pustaka Refleksi.
2011.
Depkes RI. Buku Panutan Petugas Klinik Keluarga Berencana. Jakarta; Pusat
Bahasa. 2000.
Eman suparman. Tanggung Jawab Hukum dan Etika Profesi Tenaga Kesehatan.
Malang: setara Press. 2005.
Farellya Gitta & Nurrobikha. Etikolegal dalam Pelayanan Kebidanan.
Yogyakarta; CV Budi Utama. 2018.
Hartanto. H. Keluarga Berencana Dan Kontrasepsi. Jakarta; Pusat Harapan. 2008.
Ida Bagus gde Manuaba. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta; EGC. 1998.
75
Indra Bastian dan suryono. Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Jakarta; Salemba
Medika. 2011.
J. Heffer Linda & Danny. At a Glance Sistem Reproduksi. Jakarta: Erlangga.
2006.
Muhammad Sadi. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta; kencana. 2017.
Naomy Merie Tando. Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan. Jakarta:
In Media. 2013.
Niluh Nita Silfia & Sumiaty. Konsep Kebidanan. Jakarta: In Media. 2009.
Nursallam dan effendi. Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta; Salemba
Medika. 2008.
Renata Komalasari. Buku Saku Kebidanan. Jakarta; EGC. 2010.
Ronny Harnitijo Soemitro. Metodologi Penelitian hukum dan Julimetri. Jakarta;
Ghalia Indonesia. 2001.
Renata Komalasari. Buku Saku Kebidanan. Jakarta; EGC. 2010.
Soekidjo Notoatmojo dalam Merli Yunita Sari, Skripsi: “Tanggung Jawab Rumah
Sakit Dalam Transaksi Terapetik”. Universitas Lampung; Bandar Lampung.
2013.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja
Grafindo Perkasa, 2004.
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Susan.dkk. Standart Perawatan Pasien. Jakarta; EGC. 1999.
Titik Kurniawati. Kependudukan dan pelayanan KB. Jakarta: EGC. 2013.
Titik Triwulan dan Shinta Febrian. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta;
Prestasi Pustaka. 2010.
Wiku Adisasmito. Sistem Kesehatan. Jakarta; PT RajaGrafindo. 2007.
Zahir Rusyad. Hukum Perlindungan Pasien. Malang: Setara Press. 2018.
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2019 Tentang Kebidanan