15

TANTANGAN PEREMPUAN KEPALA RUMAH TANGGAkhodijahismail.com/wp-content/uploads/2015/07/2012_Khodijah_PuanRi.pdf · Status sosial perempuan kepala keluarga dapat dijelaskan secara de

Embed Size (px)

Citation preview

TANTANGAN PEREMPUAN KEPALA RUMAH TANGGA SEBAGAI TENAGA KERJA DI SEKTOR PERIKANAN

Ir. Hj. KHODIJAH, M.Si Dosen FIKP UMRAH Tanjungpinang

[email protected]

ABSTRAK

Kemiskinan itu dimulai dari rumah tangga. Kemiskinan rumah tangga yang dikepalai perempuan membangun sebuah streotipe populer yaitu “yang termiskin dari yang miskin” atau dengan istilah “ poorest of the poor “ karena diasumsikan perempuan dan anak dalam rumah tangga ini menderita kemiskinan lebih besar daripada yang hidup dalam rumah tangga yang dianggap ideal dibawah pimpinan laki-laki. Kemiskinan tidak hanya berdampak pada kesejahteraan anak-anak tapi juga emosional, psikologi, dan pada akhirnya mudah terpengaruh secara sosial. Untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga tersebut, perempuan harus melakukan berbagai pekerjaan dengan “bekerja” meski beresiko tinggi dan memiliki tantangan besar seperti sektor perikanan karena secara fisik perempuan memiliki keterbatasan. Berdasarkan laporan BPS ( 2007; 2011) terjadi peningkatan keberadaan jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan di Indonesia yaitu 12,9% tahun 2007 menjadi 13,91% tahun 2011 dengan usia rata-rata 49,06 tahun. Trend peningkatan tersebut bukanlah sesuatu yang positif apabila berada dalam “lingkaran setan” kemiskinan. Karena itu intervensi sosial ekonomi dari pemerintah sangat dibutuhkan oleh perempuan kepala keluarga untuk melangsungkan kehidupannya dan masa depan keluarganya. Tulisan ini akan memaparkan permasalahan tersebut. PENDAHULUAN

Fenomena kemiskinan perempuan telah terjadi di berbagai negara

terutama yang hidup di pedesaan dan kawasan pesisir (Horrell dan Krishnan,

2006). Namun ide tentang peningkatan pendapatan perempuan selama ini

tidak sebanding dengan tingginya tingkat kemiskinan kaum perempuan, dari

60-70% yang miskin di dunia adalah perempuan, tendensi meningkatnya

kemiskinan perempuan sedang didalami (UNDP, 1995:4; UN, 1996:6;

UNIFEM, 1995:4 dikutip Marcoux, 1997; ADB, 2000; Nelson; 1986 dalam

Akatiga; 1999).

Kemiskinan rumah tangga di kawasan pesisir terlihat pada struktur

sosial ekonominya berada berskala kecil dengan orientasi subsisten atau

subsistence oriented (Betke. F, 1985; Zein, 2000) dengan 16,42 juta jiwa

(32,14%) hidup dibawah garis kemiskinan (Muflikhati, 2010). Yang paling

terbebani dan bertanggung jawab untuk mengatasi dan menjaga

kelangsungan hidup rumah tangga adalah kaum perempuan (Kusnadi, 2003)

terutama saat suami tidak melaut (Thompson, 1985). Diperparah lagi dengan

rendahnya pengetahuan, pendidikan dan keterampilan yang dimiliki

(Suwanrangsi, 2001) dan sulit mendapatkan kredit usaha (Bakele, 2005).

Modernisasi alat tangkap memang mempengaruhi struktur ekonomi rumah

tangga nelayan (Betke. F, 1985; Zein, 2000), namun tidak menggeser

kemiskinan perempuan dalam rumah tangga miskin bahkan memperkecil

peluang perempuan (Boserup, 1970).

Dalam dunia ketiga terjadi trend peningkatan jumlah perempuan

kepala rumah tangga (Licette and Jaramillo, 1984). Demikian juga di

Indonesia, jumlah perempuan kepala keluarga mengalami peningkatan dari

tahun ke tahun. Pada 1985, terdapat 7,54% keluarga yang dikepalai

perempuan, pada 1993 angka tersebut meningkat menjadi 9,5% (Zalminarni,

2009 dalam Akhmadi dkk, 2011), tahun 2007 meningkat dari 12,9% tahun

2007 menjadi 13,91% tahun 2011 dengan usia rata-rata 49,06 tahun (BPS &

KKP, 2007; 2011). Sedangkan propinsi dengan angka persentase tertinggi

memiliki kepala keluarga tunggal adalah Propinsi Kepulauan Riau yaitu

20,49% dengan jumlah perempuan kepala rumah tangganya 13,7% (BKKBN,

2012).

PEMBAHASAN

1. Ruang Lingkup Perempuan Kepala Rumah Tangga

Status sosial perempuan kepala keluarga dapat dijelaskan secara de

jure, maupun secara de fakto. Secara de jure perempuan digambarkan sebagai

kepala rumah tangga karena memang hidup berumah tangga sendiri dalam

arti tidak menikah atau karena bercerai, cerai hidup atau cerai mati (BPS,

2010; PEKKA, 2010; Chant, 2003). Secara de fakto wanita digambarkan

sebagai kepala rumahtangga karena wanita merantau tanpa suami atau wanita

itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri. Pada

status sosial tersebut dalam masyarakatnya wanita menjadi pencari nafkah

utama dan menjadi penanggung jawab untuk rumahtangga. Hal ini berlaku

pula untuk rumahtangga dengan kehadiran suami tetapi suami tidak mampu

secara fisik dan mental untuk mengelola rumahtangganya.

Menjadi kepala keluarga dalam rumah tangga miskin merupakan

pukulan terberat bagi perempuan. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang

dikemukakan oleh Todaro dan Smith (2004). Yaitu mayoritas penduduk

miskin dunia adalah perempuan, selain itu juga mengalami kekurangan gizi

dan yang paling sedikit menerima pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi

dan berbagai bentuk jasa sosial lainnya. Dan dari kelompok perempuan yang

miskin tersebut, yang paling miskin adalah perempuan yang menjadi kepala

rumah tangga. Dalam laporan UNDP (2006) diketahui mengenai tingginya

kesenjangan gender di Indonesia yaitu persentase HDI Indonesia berada

pada tingkat ke 81 dari 136 negara dengan GDI 0,99%.

Persoalan streotip yang berkembang di masyarakat yang dilekatkan

pada perbedaan gender serta pola pendidikan yang berorientasi pada dogma-

dogma patriarkis, membuat perempuan semakin sulit bersaing dalam

memperoleh kesempatan kerja.

Trend kemiskinan masyarakat yang hidup di pedesaan dan pesisir di

dunia dapat dilihat pada grafik berikut.

Grafik 1. Rural poverty trends by region, 1988-20081

2. Tenaga Kerja Perempuan di Sektor Perikanan

Strategi yang ditempuh oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

dasarnya dan konsep yang sering digunakan untuk memenuhi kebutuhan itu

adalah “bekerja” yaitu berbagai macam pekerjaan yang dilakukan oleh

manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (Sumintarsih, 2008).

Ada beberapa faktor penentu perempuan bekerja menurut Laksmi

Lingam (2005) yaitu tipe dan komposisi rumah tangga, siklus kehidupan (life

cycle), umur, status perkawinan dan struktur dukungan (support structures).

Kemiskinan dan pentingnya bertahan dalam konteks ekonomi yang kurang

baik menjadi pertimbangan keikutsertaan perempuan dalam pekerjaan.

1 Rural poverty Report, 2011. New realities, new challenges, new opportunities, for tomorrow’s generation.

This report is a product of staff of the International Fund for Agricultural Development (IFAD)

Penyebab lain menurut Elson (1998) dalam Lingam (2005) adalah

ketidakkokohan pekerjaan laki-laki menjadi salah satu penyebab masuknya

perempuan dalam dunia kerja. Hal tersebut dihubungkan kepada faktor siklus

(jalan) kehidupan seperti apakah perempuan itu dinikahi, perempuan kepala

rumah tangga, perempuan yang diceraikan atau ditinggalkan, mempunyai

anak-anak bagian tenaga kerja keluarga untuk melengkapi pendapatan dan

lain-lain. Selain itu juga status sosial ekonomi dan tempat kediaman juga

mempengaruhi partisipasi dan jenis pekerjaan perempuan.

Menurut Todaro dan Smith (2004) dalam dunia kerja terjadi

perbedaan upah (walaupun porsi dan beban kerjanya sama) antara laki-laki

dan perempuan, tidak adanya pelayanan sosial yang disediakan pemerintah

dan sangat sedikitnya perempuan kepala rumah tangga yang bisa melanjutkan

sekolah. Lebih lanjut kemiskinan perempuan juga terjadi karena rendahnya

kesempatan dan kapasitas perempuan dalam memiliki pendapatan sendiri

serta terbatasnya kontrol perempuan terhadap penghasilan suami. Kontrol

perempuan terhadap pendapatan keluarga juga sangat terbatas karena

sebahagian besar pekerjaan yang dilakukan perempuan tidak menghasilkan

uang. Akses perempuan juga sangat terbatas untuk memperoleh kesempatan

menikmati pendidikan, pekerjaan yang layak disektor formal, berbagai

tunjangan sosial dan program-program penciptaan lapangan kerja yang

dibuat pemerintah.

Karena itu perhatian terhadap kesejahteraan perempuan menjadi

sangat penting antara lain karena salah satu aktor yang senantiasa ada dalam

kantong kemiskinan dan jumlahnya selalu bertambah menurut Nelson (1986)

dalam Akatiga (1999) adalah perempuan. Belitan kemiskinan menyebabkan

perempuan menanggung beban yang lebih berat dibanding laki-laki

sementara penguasaan asset perempuan di satu sisi sangat terbatas. Sehingga

pendapatan anggota perempuan dalam rumah tangga nelayan merupakan

suplemen bagi penghasilan penghasilan keluarga untuk menjaga keluarga

mereka pada tingkat subsistensi.

Sehingga upaya membantu keluarga nelayan yang memiliki

kemampuan sosial dan ekonomi yang sangat terbatas ini adalah melalui

peranan kaum wanita nelayan. Bahkan menurut WordFish Centre (2003)

40% tenaga kerja dalam usaha budidaya perikanan di India dan Bangladesh

adalah wanita. Sajogyo (1987) mengatakan bahwa kontribusi kaum wanita

dalam sektor perikanan sangat signifikan baik dalam proses produksi panen

maupun pasca panen. Peran tersebut mampu memberi sumbangan besar bagi

penghasilan keluarga nelayan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Zein

(2000) bahwa pada kelompok nelayan tradisional, peranan istri nelayan

dituntut semakin lebih besar dalam mencari alternatif pendapatan untuk

mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Semakin kecil pendapatan

rumah tangga yang dihasilkan oleh suami, menuntut semakin besarnya

peranan (porsi) istri dalam menyumbangkan pendapatan guna mencukupi

kebutuhan rumah tangga.

Namun kemampuan produktifitas perempuan tersebut dalam

meningkatkan pendapatan keluarga nelayan belum sepenuhnya diakui dalam

masyarakat (dianggap bekerja) melainkan peran perempuan dilihat dari

karena kemampuan reproduksinya saja2 ini terlihat dari keterbatasan akses

dan kontrol yang dimiliki perempuan (Abdullah, 2001). Beberapa hasil

penelitian menunjukkan; di Amerika Latin hanya 26,4 % saja perempuan

2 André Magalhães et al, 2006. The role of women in the mangrove crab (Ucides cordatus, Ocypodidae)

production process in North Brazil (Amazon region, Pará). Article. www.elsevier.com/locate/ecolecon.

mempunyai akses pasar (Lucia Fort, 2007), wanita nelayan sangat terbatas

dalam mendapatkan akses terhadap sumberdaya sehingga mereka terbatas

pada peran reproduksi saja (Prakash, 2003) .

Disisi lain perempuan sudah menunjukkan potensi dan kontribusinya

dalam keluarga. Data BPS (2000) menyebutkan dari 2.002.335 unit usaha

kecil dan 194, 564 unit usaha mikro, terdapat pelaku perempuan sektor

pengolahan sebesar 896.047 orang (40,79%), dan angka tersebut diyakini

lebih besar lagi mengingat bahwa data tersebut dibuat berdasarkan

kepemilikan formal, bukan pelaku (riil) usaha. Keyakinan ini berdasarkan

pada realitas adanya hambatan mobilitas perempuan dalam usaha, bahkan

beberapa pengalaman menunjukkan bahwa usaha yang semula dirintis oleh

perempuan, setelah usaha tersebut berkembang pengelolaan dan kepemilikan

formalnya bergeser pada laki-laki, karena membutuhkan mobilitas tinggi.

Di sektor perikanan beberapa hasil penelitian menunjukkan potensi

dan kontrbusi perempuan seperti; kurang lebih 27% wanita nelayan yang

mempunyai ekonomi produktif untuk membantu ekonomi rumah tangga,

dengan sumbangan pendapatan sebesar 7, 23% dari total pendapatan rumah

tangga, dan alokasi waktu untuk kegiatan produktif rata-rata 5,7 jam perhari

(Zein, 2000).

Profil pekerjaan wanita nelayan disimpulkan oleh Abdul Rakhman

(2000); l] Beberapa jenis pekerjaan wanita nelayan dibidang perikanan antara

lain: usaha pengolahan ikan kering, kerupuk ikan, pembuatan terasi,

pengasapan ikan, bakul ikan, perajutan jaring dan buruh pengolahan, yang

dilakukan secara tradisional, 2] Variasi rata-rata kegiatan produksi pada pasar

tenaga kerja dalam sehari antara 4 - 7 jam, produksi rumah tangga 4 jam,

sisanya untuk kegiatan santai, 3] Kontribusi pendapatan wanita nelayan

sebagai pengolah ikan kering dan kerupuk ikan diatas 50%, sedangkan

pembuat pindang, terasi, ikan asap, dan bakul ikan diatas 40%, dan pekerjaan

merajut jaring sebesar 20,73%, 4] Curahan kerja wanita nelayan secara

bersama-sama dipengaruhi oleh upah/pendapatan, banyaknya anak, umur,

pendidikan dan status pekerjaan wanita nelayan, 5] Wanita nelayan pengolah

ikan kering memiliki produktivitas yang paling tinggi jika dibandingkan

dengan jenis usaha lainnya, karena ditunjang bahan baku yang beragam

jenisnya yang dapat digunakan untuk ikan kering.

Persentase jenis pekerjaan antara perempuan dan laki serta

partisipasinya dalam sektor perikanan di Indonesia3 dapat dilihat dari tabel

berikut.

Tantangan Perempuan Kepala Rumah Tangga Dalam Bekerja

Dapat disimpulkan beberapa tantangan yang dihadapi perempuan

dalam bekerja yaitu:

a) Streotype dan norma gender

Hubungan patriarki membatasi kesempatan perempuan untuk

mengamankan lapangan kerja dan satu mata pencaharaian baik jangka

pendek maupun jangka panjang dan akan menciptakan satu lingkaran setan

3 The proceedings Global Symposium on Women in Fisheries. Chiangmai. 2002. ICLARM and AFS published

(a vicious circle). Ada hal yang bertolak belakang dalam kaitan kesempatan

individu anak laki-laki dan perempuan dalam kapasitas mencari dan

mengakses sumberdaya, seperti keluarga lebih suka investasi pendidikan

kepada anak laki-laki dari anak perempuan (Masika dan Joekes, 1996).

b) Kondisi Sosial Ekonomi

1. Dimensi ekonomi

Dimensi ekonomi merupakan pusat pencapai persamaan gender

secara keseluruhan. Tanpa kesamaan ekonomi perempuan akan selalu

mempunyai insentif untuk masuk dalam penawaran patriarki

“'patriarchal bargain'. Sepanjang perempuan pada posisi dirugikan

secara ekonomi maka akan terus menjadi bawahan partner laki-laki yang

berpenghasilan lebih dan memiliki banyak sumberdaya dalam kehidupan

rumah tangga. Sebagai hasilnya perempuan selalu sebagai anggota

sekunder dalam rumah tangga dengan konsekuensi lebih luas terhadap

kekuatan penawaran dalam kehidupan bernegara dan konteks resmi.

Pada beberapa negara ditemukan bahwa rata-rata perempuan kepala

rumah tangga lebih miskin dari yang lain (Belghazi, 1996; BRIDGE, 1995

dalam Masika dan Joekes, 1996).

2. Dimensi Sosial

Dalam jaringan sosial perempuan kepala rumah tangga kurang

mampu berpartisipasi dengan baik karena terbatasnya sumberdaya

materi. Ada beberapa bukti antara lain terjadinya peningkatan

perpecahan jaringan sosial dari perempuan kepala rumah tangga di India

(Lingham, 1994 dikutip oleh Davis, 1996 dalam Masika dan Joekes, 1996).

Dalam aspek pendidikan dan pelatihan perempuan masih rendah

sehingga kontribusi penghasilan juga menjadi rendah. Pendidikan

perempuan yang rendah juga membatasi akses perempuan memperoleh

informasi lapangan kerja, dan mengurangi kesempatan mengikuti

pelatihan (Baden and Milward,1995 dalam Masika dan Joekes, 1996)

serta rendahnya akses finansial (Lycette, M dan Jaramilo C, 1984), selain

itu perempuan terbebani dengan waktu lebih panjang yang digunakan

untuk pekerjaan domestik rumah tangga (kegiatan reproduktif) dan juga

harus bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga atau kegiatan

produktif (Khodijah, 2010).

Dapat disimpulkan dari perspektif gendr bahwa perempuan berdiri

di persimpangan antara produksi dan reproduksi, antara kegiatan

ekonomi dan penjagaan manusia, antara pertumbuhan ekonomi dan

pembangunan manusia, perempuan adalah para pekerja di (dalam)

lapisan kedua-duanya – mereka yang paling bertanggung jawab dan oleh

karena itu mereka menjadi taruhan, mereka yang paling menderita ketika

lapisan keduanya bertemu pada “cross-purposes”,dan mereka yang paling

sensitif membutuhkan pengintegrasian yang lebih baik antara keduanya4

Intervensi Yang Diperlukan

Intervensi dari berbagai pihak terhadap tenaga kerja perempuan di

sektor perikanan ini sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup rumah

tangga yang dipimpinnya. Intervensi yang dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Mengurangi biaya pendidikan. Penanaman investasi pada pendidikan

perempuan melalui kemajuan kualitas pendidikan, semuanya itu dapat

mengatasi hambatan sosial dan ekonomi di bidang pendidikan anak

4 Gender Mainstreaming in Poverty Eradication and the Millennium Development Goals: a handbook for policy

makers and other stakeholders by Naila Kabeer New Gender Mainstreaming Series on Development Issues.

Commonwealth secretariat publications. www.thecommonwealth.org

perempuan. Bahkan, pada masyarakat yang masih sangat patriarkis

sekalipun. Susan Coleman (2001) mengatakan bahwa untuk meningkatkan

akses dan pengembangan usaha maka faktor pendidikan berpengaruh

secara signifikan. Namun dalam hal ini bukan tingkat pendidikan saja tapi

yang lebih penting menurutnya adalah jenis pengetahuan dan pendidikan

yang dimiliki.

b. Merancang institusi keuangan. Seperti menggantikan bentuk-bentuk

agunan tradisional, dengan menyederhanakan prosedur perbankan,

ataupun dengan menyediakan jasa pelayanan keuangan yang lebih dekat

ke rumah, pasar, dan tempat kerja-dapat meningkatkan akses perempuan

pada proses perbankan seperti tabungan dan kredit.

c. Reformasi kepemilikan lahan. Kepemilikan yang otonom terhadap lahan

(tanah) bagi perempuan dapat memantapkan akses perempuan.

d. Program-program penyediaan lapangan kerja dapat meningkatkan akses

perempuan ke pekerjaan

e. Pelayanan kesehatan

f. Penanaman investasi pada penyediaan air, bahan bakar, transportasi, dan

prasarana penghemat-waktu lainnya dapat mempercepat pengurangan

beban kerja domestik perempuan dan anak perempuan

g. Menyediakan program perlindungan sosial, seperti Program-program

jaminan hari tua sehingga tidak membiarkan perempuan janda menjadi

rawan kemiskinan di usia tuanya

Penutup

Banyak hasil penelitian memperlihatkan tingginya kontribusi

perempuan dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Ini menunjukkan

perempuan memiliki potensi baik secara sosial maupun ekonomi. Namun

untuk menghadapi pukulan berat akibat kemiskinan dan tantangan lainnya

dari luar, perempuan kepala rumah tangga sangat memerlukan intervensi

dari pemerintah dan pihak terkait yang memihak kepada mereka sesuai

dengan kebutuhan perempuan kepala rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I. (2001). Masalah Peranan Kaum Perempuan dalam Pembangunan

Nasional. Dalam Faturochman & Dwiyanto, A. (eds.). Reorientasi Kebijakan Kependudukan. Aditya Media, Yogyakarta.

Abdul Rakhman, 2000. Curahan waktu dan produktivitas kerja wanita nelayan di Pedesaan Pantai Kabupaten Pasuruan. Brawijaya University – Malang. http://www.digilib.brawijaya.ac.id/oai

Akatiga, (1999). Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Vol. 6,No. 1, Februari 2001. Bina Desa. Journal. 30 Desember 2009.

Akhmadi, dkk, 2011. Akses Terhadap Keadilan: Pemberdayaan Perempuan Kepala

Keluarga di Indonesia. Studi Kasus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Laoran Penelitian SMERU. www.smeru.or.id.

BKKBN, 2009. Data Gakin menurut propinsi di Indonesia. BPS dan KKP, 2011. Keadaan Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan. http:

//statistik.kkp.go.id Chant, S.1997. The International Handbook of Gender And Poverty.

Concept,research, Policy. UK

Chant, S. 2003. Female Household Headship and the Feminisation of Poverty:

Facts, Fictions and Forward Strategies. Gender Institue. London School of

Economics

Coleman, S. 2001. Access to Debt Capital for Small-Women and Minority-Owned Companies: Is Having an Impact Level of Education? Hartford University.

Khodijah, 2010. Analisis Gender Pembagian Kerja Dalam Rumah Tangga Nelayan di

Kampung Madong Tanjungpinang. FIKP Umrah Tanjungpinang (Tidak dipublikasikan)

KKP dan BPS. 2011. Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan.

Kementerian Kelautan Perikanan. Jakarta. Di download dari http://statistik.kkp.go.id

Licette, A Margaret and Jaramillo,Cecilia. 1984. Low Income Housing : A Women’a

Perspective. International Center for Research on Women. Washington, D.C. Lingam, Lakshmi. 2005. Structural Adjustment, Gender and Household Survival

Strategies: Review of Evidences and Concerns. Center for the Education of Women The University of Michigan . http://www.cew.umich.edu.

Lucia Fort, 2007. Collecting Gender Data on Access to and Ownership of Economic Assets. The World Bank

Masika Rachel and Joekes Susan, 1996. Employment and sustainable livelihoods: A gender perspective. Report prepared at the request of the Gender Office of the Swedish International Development Cooperation Agency (Sida). BRIDGE (development - gender). Institute of Development Studies, Brighton. Report No 37. September 1996

Prakash, Darman, 2003. Rural Women. Food Security and agriculture

Cooperative.Rural Development and Management centre ‘The Saryu’ . J.102 Kalkaji, New Delhi. 1 10019. India. Februari 2003. New Delhi.

Reijntjes, 1999. Pertanian Masa Depan : Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan.

Kanisius. Jakarta Schultz, T.P. 1999. Women’s Role In The Agricultural Household: Bargaining And

Human Capital; Economic Growth Center. Yale University. Sumintarsih. 2008. Strategi Bertahan Hidup Penduduk di Daerah Rawan Ekologi.

Jantra Vol. III, No. 5, Juni 2008. Yogyakarta. Todaro dan Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga UNDP. 2008. Empowered and equal. Gender Equality Strategy (GES) 2008 - 2011.

NewYork Zein, A. 2000. The Influence of tecnological Change on Income and Sosial Structure

in Artisanal Fisheries in Padang, Indonesia. Universitas Bung Hatta Press. Padang. Indonesia.