Upload
truongthuan
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TANTANGAN PEREMPUAN KEPALA RUMAH TANGGA SEBAGAI TENAGA KERJA DI SEKTOR PERIKANAN
Ir. Hj. KHODIJAH, M.Si Dosen FIKP UMRAH Tanjungpinang
ABSTRAK
Kemiskinan itu dimulai dari rumah tangga. Kemiskinan rumah tangga yang dikepalai perempuan membangun sebuah streotipe populer yaitu “yang termiskin dari yang miskin” atau dengan istilah “ poorest of the poor “ karena diasumsikan perempuan dan anak dalam rumah tangga ini menderita kemiskinan lebih besar daripada yang hidup dalam rumah tangga yang dianggap ideal dibawah pimpinan laki-laki. Kemiskinan tidak hanya berdampak pada kesejahteraan anak-anak tapi juga emosional, psikologi, dan pada akhirnya mudah terpengaruh secara sosial. Untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga tersebut, perempuan harus melakukan berbagai pekerjaan dengan “bekerja” meski beresiko tinggi dan memiliki tantangan besar seperti sektor perikanan karena secara fisik perempuan memiliki keterbatasan. Berdasarkan laporan BPS ( 2007; 2011) terjadi peningkatan keberadaan jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan di Indonesia yaitu 12,9% tahun 2007 menjadi 13,91% tahun 2011 dengan usia rata-rata 49,06 tahun. Trend peningkatan tersebut bukanlah sesuatu yang positif apabila berada dalam “lingkaran setan” kemiskinan. Karena itu intervensi sosial ekonomi dari pemerintah sangat dibutuhkan oleh perempuan kepala keluarga untuk melangsungkan kehidupannya dan masa depan keluarganya. Tulisan ini akan memaparkan permasalahan tersebut. PENDAHULUAN
Fenomena kemiskinan perempuan telah terjadi di berbagai negara
terutama yang hidup di pedesaan dan kawasan pesisir (Horrell dan Krishnan,
2006). Namun ide tentang peningkatan pendapatan perempuan selama ini
tidak sebanding dengan tingginya tingkat kemiskinan kaum perempuan, dari
60-70% yang miskin di dunia adalah perempuan, tendensi meningkatnya
kemiskinan perempuan sedang didalami (UNDP, 1995:4; UN, 1996:6;
UNIFEM, 1995:4 dikutip Marcoux, 1997; ADB, 2000; Nelson; 1986 dalam
Akatiga; 1999).
Kemiskinan rumah tangga di kawasan pesisir terlihat pada struktur
sosial ekonominya berada berskala kecil dengan orientasi subsisten atau
subsistence oriented (Betke. F, 1985; Zein, 2000) dengan 16,42 juta jiwa
(32,14%) hidup dibawah garis kemiskinan (Muflikhati, 2010). Yang paling
terbebani dan bertanggung jawab untuk mengatasi dan menjaga
kelangsungan hidup rumah tangga adalah kaum perempuan (Kusnadi, 2003)
terutama saat suami tidak melaut (Thompson, 1985). Diperparah lagi dengan
rendahnya pengetahuan, pendidikan dan keterampilan yang dimiliki
(Suwanrangsi, 2001) dan sulit mendapatkan kredit usaha (Bakele, 2005).
Modernisasi alat tangkap memang mempengaruhi struktur ekonomi rumah
tangga nelayan (Betke. F, 1985; Zein, 2000), namun tidak menggeser
kemiskinan perempuan dalam rumah tangga miskin bahkan memperkecil
peluang perempuan (Boserup, 1970).
Dalam dunia ketiga terjadi trend peningkatan jumlah perempuan
kepala rumah tangga (Licette and Jaramillo, 1984). Demikian juga di
Indonesia, jumlah perempuan kepala keluarga mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Pada 1985, terdapat 7,54% keluarga yang dikepalai
perempuan, pada 1993 angka tersebut meningkat menjadi 9,5% (Zalminarni,
2009 dalam Akhmadi dkk, 2011), tahun 2007 meningkat dari 12,9% tahun
2007 menjadi 13,91% tahun 2011 dengan usia rata-rata 49,06 tahun (BPS &
KKP, 2007; 2011). Sedangkan propinsi dengan angka persentase tertinggi
memiliki kepala keluarga tunggal adalah Propinsi Kepulauan Riau yaitu
20,49% dengan jumlah perempuan kepala rumah tangganya 13,7% (BKKBN,
2012).
PEMBAHASAN
1. Ruang Lingkup Perempuan Kepala Rumah Tangga
Status sosial perempuan kepala keluarga dapat dijelaskan secara de
jure, maupun secara de fakto. Secara de jure perempuan digambarkan sebagai
kepala rumah tangga karena memang hidup berumah tangga sendiri dalam
arti tidak menikah atau karena bercerai, cerai hidup atau cerai mati (BPS,
2010; PEKKA, 2010; Chant, 2003). Secara de fakto wanita digambarkan
sebagai kepala rumahtangga karena wanita merantau tanpa suami atau wanita
itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri. Pada
status sosial tersebut dalam masyarakatnya wanita menjadi pencari nafkah
utama dan menjadi penanggung jawab untuk rumahtangga. Hal ini berlaku
pula untuk rumahtangga dengan kehadiran suami tetapi suami tidak mampu
secara fisik dan mental untuk mengelola rumahtangganya.
Menjadi kepala keluarga dalam rumah tangga miskin merupakan
pukulan terberat bagi perempuan. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Todaro dan Smith (2004). Yaitu mayoritas penduduk
miskin dunia adalah perempuan, selain itu juga mengalami kekurangan gizi
dan yang paling sedikit menerima pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi
dan berbagai bentuk jasa sosial lainnya. Dan dari kelompok perempuan yang
miskin tersebut, yang paling miskin adalah perempuan yang menjadi kepala
rumah tangga. Dalam laporan UNDP (2006) diketahui mengenai tingginya
kesenjangan gender di Indonesia yaitu persentase HDI Indonesia berada
pada tingkat ke 81 dari 136 negara dengan GDI 0,99%.
Persoalan streotip yang berkembang di masyarakat yang dilekatkan
pada perbedaan gender serta pola pendidikan yang berorientasi pada dogma-
dogma patriarkis, membuat perempuan semakin sulit bersaing dalam
memperoleh kesempatan kerja.
Trend kemiskinan masyarakat yang hidup di pedesaan dan pesisir di
dunia dapat dilihat pada grafik berikut.
Grafik 1. Rural poverty trends by region, 1988-20081
2. Tenaga Kerja Perempuan di Sektor Perikanan
Strategi yang ditempuh oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dan konsep yang sering digunakan untuk memenuhi kebutuhan itu
adalah “bekerja” yaitu berbagai macam pekerjaan yang dilakukan oleh
manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (Sumintarsih, 2008).
Ada beberapa faktor penentu perempuan bekerja menurut Laksmi
Lingam (2005) yaitu tipe dan komposisi rumah tangga, siklus kehidupan (life
cycle), umur, status perkawinan dan struktur dukungan (support structures).
Kemiskinan dan pentingnya bertahan dalam konteks ekonomi yang kurang
baik menjadi pertimbangan keikutsertaan perempuan dalam pekerjaan.
1 Rural poverty Report, 2011. New realities, new challenges, new opportunities, for tomorrow’s generation.
This report is a product of staff of the International Fund for Agricultural Development (IFAD)
Penyebab lain menurut Elson (1998) dalam Lingam (2005) adalah
ketidakkokohan pekerjaan laki-laki menjadi salah satu penyebab masuknya
perempuan dalam dunia kerja. Hal tersebut dihubungkan kepada faktor siklus
(jalan) kehidupan seperti apakah perempuan itu dinikahi, perempuan kepala
rumah tangga, perempuan yang diceraikan atau ditinggalkan, mempunyai
anak-anak bagian tenaga kerja keluarga untuk melengkapi pendapatan dan
lain-lain. Selain itu juga status sosial ekonomi dan tempat kediaman juga
mempengaruhi partisipasi dan jenis pekerjaan perempuan.
Menurut Todaro dan Smith (2004) dalam dunia kerja terjadi
perbedaan upah (walaupun porsi dan beban kerjanya sama) antara laki-laki
dan perempuan, tidak adanya pelayanan sosial yang disediakan pemerintah
dan sangat sedikitnya perempuan kepala rumah tangga yang bisa melanjutkan
sekolah. Lebih lanjut kemiskinan perempuan juga terjadi karena rendahnya
kesempatan dan kapasitas perempuan dalam memiliki pendapatan sendiri
serta terbatasnya kontrol perempuan terhadap penghasilan suami. Kontrol
perempuan terhadap pendapatan keluarga juga sangat terbatas karena
sebahagian besar pekerjaan yang dilakukan perempuan tidak menghasilkan
uang. Akses perempuan juga sangat terbatas untuk memperoleh kesempatan
menikmati pendidikan, pekerjaan yang layak disektor formal, berbagai
tunjangan sosial dan program-program penciptaan lapangan kerja yang
dibuat pemerintah.
Karena itu perhatian terhadap kesejahteraan perempuan menjadi
sangat penting antara lain karena salah satu aktor yang senantiasa ada dalam
kantong kemiskinan dan jumlahnya selalu bertambah menurut Nelson (1986)
dalam Akatiga (1999) adalah perempuan. Belitan kemiskinan menyebabkan
perempuan menanggung beban yang lebih berat dibanding laki-laki
sementara penguasaan asset perempuan di satu sisi sangat terbatas. Sehingga
pendapatan anggota perempuan dalam rumah tangga nelayan merupakan
suplemen bagi penghasilan penghasilan keluarga untuk menjaga keluarga
mereka pada tingkat subsistensi.
Sehingga upaya membantu keluarga nelayan yang memiliki
kemampuan sosial dan ekonomi yang sangat terbatas ini adalah melalui
peranan kaum wanita nelayan. Bahkan menurut WordFish Centre (2003)
40% tenaga kerja dalam usaha budidaya perikanan di India dan Bangladesh
adalah wanita. Sajogyo (1987) mengatakan bahwa kontribusi kaum wanita
dalam sektor perikanan sangat signifikan baik dalam proses produksi panen
maupun pasca panen. Peran tersebut mampu memberi sumbangan besar bagi
penghasilan keluarga nelayan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Zein
(2000) bahwa pada kelompok nelayan tradisional, peranan istri nelayan
dituntut semakin lebih besar dalam mencari alternatif pendapatan untuk
mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Semakin kecil pendapatan
rumah tangga yang dihasilkan oleh suami, menuntut semakin besarnya
peranan (porsi) istri dalam menyumbangkan pendapatan guna mencukupi
kebutuhan rumah tangga.
Namun kemampuan produktifitas perempuan tersebut dalam
meningkatkan pendapatan keluarga nelayan belum sepenuhnya diakui dalam
masyarakat (dianggap bekerja) melainkan peran perempuan dilihat dari
karena kemampuan reproduksinya saja2 ini terlihat dari keterbatasan akses
dan kontrol yang dimiliki perempuan (Abdullah, 2001). Beberapa hasil
penelitian menunjukkan; di Amerika Latin hanya 26,4 % saja perempuan
2 André Magalhães et al, 2006. The role of women in the mangrove crab (Ucides cordatus, Ocypodidae)
production process in North Brazil (Amazon region, Pará). Article. www.elsevier.com/locate/ecolecon.
mempunyai akses pasar (Lucia Fort, 2007), wanita nelayan sangat terbatas
dalam mendapatkan akses terhadap sumberdaya sehingga mereka terbatas
pada peran reproduksi saja (Prakash, 2003) .
Disisi lain perempuan sudah menunjukkan potensi dan kontribusinya
dalam keluarga. Data BPS (2000) menyebutkan dari 2.002.335 unit usaha
kecil dan 194, 564 unit usaha mikro, terdapat pelaku perempuan sektor
pengolahan sebesar 896.047 orang (40,79%), dan angka tersebut diyakini
lebih besar lagi mengingat bahwa data tersebut dibuat berdasarkan
kepemilikan formal, bukan pelaku (riil) usaha. Keyakinan ini berdasarkan
pada realitas adanya hambatan mobilitas perempuan dalam usaha, bahkan
beberapa pengalaman menunjukkan bahwa usaha yang semula dirintis oleh
perempuan, setelah usaha tersebut berkembang pengelolaan dan kepemilikan
formalnya bergeser pada laki-laki, karena membutuhkan mobilitas tinggi.
Di sektor perikanan beberapa hasil penelitian menunjukkan potensi
dan kontrbusi perempuan seperti; kurang lebih 27% wanita nelayan yang
mempunyai ekonomi produktif untuk membantu ekonomi rumah tangga,
dengan sumbangan pendapatan sebesar 7, 23% dari total pendapatan rumah
tangga, dan alokasi waktu untuk kegiatan produktif rata-rata 5,7 jam perhari
(Zein, 2000).
Profil pekerjaan wanita nelayan disimpulkan oleh Abdul Rakhman
(2000); l] Beberapa jenis pekerjaan wanita nelayan dibidang perikanan antara
lain: usaha pengolahan ikan kering, kerupuk ikan, pembuatan terasi,
pengasapan ikan, bakul ikan, perajutan jaring dan buruh pengolahan, yang
dilakukan secara tradisional, 2] Variasi rata-rata kegiatan produksi pada pasar
tenaga kerja dalam sehari antara 4 - 7 jam, produksi rumah tangga 4 jam,
sisanya untuk kegiatan santai, 3] Kontribusi pendapatan wanita nelayan
sebagai pengolah ikan kering dan kerupuk ikan diatas 50%, sedangkan
pembuat pindang, terasi, ikan asap, dan bakul ikan diatas 40%, dan pekerjaan
merajut jaring sebesar 20,73%, 4] Curahan kerja wanita nelayan secara
bersama-sama dipengaruhi oleh upah/pendapatan, banyaknya anak, umur,
pendidikan dan status pekerjaan wanita nelayan, 5] Wanita nelayan pengolah
ikan kering memiliki produktivitas yang paling tinggi jika dibandingkan
dengan jenis usaha lainnya, karena ditunjang bahan baku yang beragam
jenisnya yang dapat digunakan untuk ikan kering.
Persentase jenis pekerjaan antara perempuan dan laki serta
partisipasinya dalam sektor perikanan di Indonesia3 dapat dilihat dari tabel
berikut.
Tantangan Perempuan Kepala Rumah Tangga Dalam Bekerja
Dapat disimpulkan beberapa tantangan yang dihadapi perempuan
dalam bekerja yaitu:
a) Streotype dan norma gender
Hubungan patriarki membatasi kesempatan perempuan untuk
mengamankan lapangan kerja dan satu mata pencaharaian baik jangka
pendek maupun jangka panjang dan akan menciptakan satu lingkaran setan
3 The proceedings Global Symposium on Women in Fisheries. Chiangmai. 2002. ICLARM and AFS published
(a vicious circle). Ada hal yang bertolak belakang dalam kaitan kesempatan
individu anak laki-laki dan perempuan dalam kapasitas mencari dan
mengakses sumberdaya, seperti keluarga lebih suka investasi pendidikan
kepada anak laki-laki dari anak perempuan (Masika dan Joekes, 1996).
b) Kondisi Sosial Ekonomi
1. Dimensi ekonomi
Dimensi ekonomi merupakan pusat pencapai persamaan gender
secara keseluruhan. Tanpa kesamaan ekonomi perempuan akan selalu
mempunyai insentif untuk masuk dalam penawaran patriarki
“'patriarchal bargain'. Sepanjang perempuan pada posisi dirugikan
secara ekonomi maka akan terus menjadi bawahan partner laki-laki yang
berpenghasilan lebih dan memiliki banyak sumberdaya dalam kehidupan
rumah tangga. Sebagai hasilnya perempuan selalu sebagai anggota
sekunder dalam rumah tangga dengan konsekuensi lebih luas terhadap
kekuatan penawaran dalam kehidupan bernegara dan konteks resmi.
Pada beberapa negara ditemukan bahwa rata-rata perempuan kepala
rumah tangga lebih miskin dari yang lain (Belghazi, 1996; BRIDGE, 1995
dalam Masika dan Joekes, 1996).
2. Dimensi Sosial
Dalam jaringan sosial perempuan kepala rumah tangga kurang
mampu berpartisipasi dengan baik karena terbatasnya sumberdaya
materi. Ada beberapa bukti antara lain terjadinya peningkatan
perpecahan jaringan sosial dari perempuan kepala rumah tangga di India
(Lingham, 1994 dikutip oleh Davis, 1996 dalam Masika dan Joekes, 1996).
Dalam aspek pendidikan dan pelatihan perempuan masih rendah
sehingga kontribusi penghasilan juga menjadi rendah. Pendidikan
perempuan yang rendah juga membatasi akses perempuan memperoleh
informasi lapangan kerja, dan mengurangi kesempatan mengikuti
pelatihan (Baden and Milward,1995 dalam Masika dan Joekes, 1996)
serta rendahnya akses finansial (Lycette, M dan Jaramilo C, 1984), selain
itu perempuan terbebani dengan waktu lebih panjang yang digunakan
untuk pekerjaan domestik rumah tangga (kegiatan reproduktif) dan juga
harus bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga atau kegiatan
produktif (Khodijah, 2010).
Dapat disimpulkan dari perspektif gendr bahwa perempuan berdiri
di persimpangan antara produksi dan reproduksi, antara kegiatan
ekonomi dan penjagaan manusia, antara pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan manusia, perempuan adalah para pekerja di (dalam)
lapisan kedua-duanya – mereka yang paling bertanggung jawab dan oleh
karena itu mereka menjadi taruhan, mereka yang paling menderita ketika
lapisan keduanya bertemu pada “cross-purposes”,dan mereka yang paling
sensitif membutuhkan pengintegrasian yang lebih baik antara keduanya4
Intervensi Yang Diperlukan
Intervensi dari berbagai pihak terhadap tenaga kerja perempuan di
sektor perikanan ini sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup rumah
tangga yang dipimpinnya. Intervensi yang dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Mengurangi biaya pendidikan. Penanaman investasi pada pendidikan
perempuan melalui kemajuan kualitas pendidikan, semuanya itu dapat
mengatasi hambatan sosial dan ekonomi di bidang pendidikan anak
4 Gender Mainstreaming in Poverty Eradication and the Millennium Development Goals: a handbook for policy
makers and other stakeholders by Naila Kabeer New Gender Mainstreaming Series on Development Issues.
Commonwealth secretariat publications. www.thecommonwealth.org
perempuan. Bahkan, pada masyarakat yang masih sangat patriarkis
sekalipun. Susan Coleman (2001) mengatakan bahwa untuk meningkatkan
akses dan pengembangan usaha maka faktor pendidikan berpengaruh
secara signifikan. Namun dalam hal ini bukan tingkat pendidikan saja tapi
yang lebih penting menurutnya adalah jenis pengetahuan dan pendidikan
yang dimiliki.
b. Merancang institusi keuangan. Seperti menggantikan bentuk-bentuk
agunan tradisional, dengan menyederhanakan prosedur perbankan,
ataupun dengan menyediakan jasa pelayanan keuangan yang lebih dekat
ke rumah, pasar, dan tempat kerja-dapat meningkatkan akses perempuan
pada proses perbankan seperti tabungan dan kredit.
c. Reformasi kepemilikan lahan. Kepemilikan yang otonom terhadap lahan
(tanah) bagi perempuan dapat memantapkan akses perempuan.
d. Program-program penyediaan lapangan kerja dapat meningkatkan akses
perempuan ke pekerjaan
e. Pelayanan kesehatan
f. Penanaman investasi pada penyediaan air, bahan bakar, transportasi, dan
prasarana penghemat-waktu lainnya dapat mempercepat pengurangan
beban kerja domestik perempuan dan anak perempuan
g. Menyediakan program perlindungan sosial, seperti Program-program
jaminan hari tua sehingga tidak membiarkan perempuan janda menjadi
rawan kemiskinan di usia tuanya
Penutup
Banyak hasil penelitian memperlihatkan tingginya kontribusi
perempuan dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Ini menunjukkan
perempuan memiliki potensi baik secara sosial maupun ekonomi. Namun
untuk menghadapi pukulan berat akibat kemiskinan dan tantangan lainnya
dari luar, perempuan kepala rumah tangga sangat memerlukan intervensi
dari pemerintah dan pihak terkait yang memihak kepada mereka sesuai
dengan kebutuhan perempuan kepala rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I. (2001). Masalah Peranan Kaum Perempuan dalam Pembangunan
Nasional. Dalam Faturochman & Dwiyanto, A. (eds.). Reorientasi Kebijakan Kependudukan. Aditya Media, Yogyakarta.
Abdul Rakhman, 2000. Curahan waktu dan produktivitas kerja wanita nelayan di Pedesaan Pantai Kabupaten Pasuruan. Brawijaya University – Malang. http://www.digilib.brawijaya.ac.id/oai
Akatiga, (1999). Jurnal Analisis Sosial Akatiga, Vol. 6,No. 1, Februari 2001. Bina Desa. Journal. 30 Desember 2009.
Akhmadi, dkk, 2011. Akses Terhadap Keadilan: Pemberdayaan Perempuan Kepala
Keluarga di Indonesia. Studi Kasus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Laoran Penelitian SMERU. www.smeru.or.id.
BKKBN, 2009. Data Gakin menurut propinsi di Indonesia. BPS dan KKP, 2011. Keadaan Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan. http:
//statistik.kkp.go.id Chant, S.1997. The International Handbook of Gender And Poverty.
Concept,research, Policy. UK
Chant, S. 2003. Female Household Headship and the Feminisation of Poverty:
Facts, Fictions and Forward Strategies. Gender Institue. London School of
Economics
Coleman, S. 2001. Access to Debt Capital for Small-Women and Minority-Owned Companies: Is Having an Impact Level of Education? Hartford University.
Khodijah, 2010. Analisis Gender Pembagian Kerja Dalam Rumah Tangga Nelayan di
Kampung Madong Tanjungpinang. FIKP Umrah Tanjungpinang (Tidak dipublikasikan)
KKP dan BPS. 2011. Kondisi Sosial Ekonomi Rumah Tangga Sektor Perikanan.
Kementerian Kelautan Perikanan. Jakarta. Di download dari http://statistik.kkp.go.id
Licette, A Margaret and Jaramillo,Cecilia. 1984. Low Income Housing : A Women’a
Perspective. International Center for Research on Women. Washington, D.C. Lingam, Lakshmi. 2005. Structural Adjustment, Gender and Household Survival
Strategies: Review of Evidences and Concerns. Center for the Education of Women The University of Michigan . http://www.cew.umich.edu.
Lucia Fort, 2007. Collecting Gender Data on Access to and Ownership of Economic Assets. The World Bank
Masika Rachel and Joekes Susan, 1996. Employment and sustainable livelihoods: A gender perspective. Report prepared at the request of the Gender Office of the Swedish International Development Cooperation Agency (Sida). BRIDGE (development - gender). Institute of Development Studies, Brighton. Report No 37. September 1996
Prakash, Darman, 2003. Rural Women. Food Security and agriculture
Cooperative.Rural Development and Management centre ‘The Saryu’ . J.102 Kalkaji, New Delhi. 1 10019. India. Februari 2003. New Delhi.
Reijntjes, 1999. Pertanian Masa Depan : Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan.
Kanisius. Jakarta Schultz, T.P. 1999. Women’s Role In The Agricultural Household: Bargaining And
Human Capital; Economic Growth Center. Yale University. Sumintarsih. 2008. Strategi Bertahan Hidup Penduduk di Daerah Rawan Ekologi.
Jantra Vol. III, No. 5, Juni 2008. Yogyakarta. Todaro dan Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga UNDP. 2008. Empowered and equal. Gender Equality Strategy (GES) 2008 - 2011.
NewYork Zein, A. 2000. The Influence of tecnological Change on Income and Sosial Structure
in Artisanal Fisheries in Padang, Indonesia. Universitas Bung Hatta Press. Padang. Indonesia.