53
TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanoa provokasi. Yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sendorik, otonom, ataupun psikis. Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu epilepsi, hal ini mencakup lebih dari sekedar tipe bangkitan tetapi juga mencakup etiologi, anatomi, faktor presipitasi, usia awitan, berat dan kronisitas. 1 B. Epidemiologi 1. Frekuensi Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara berkembang. Dalam bukunya Epilepsi, Prof. Dr. dr. S.M. Lumbantobing, seorang pakar saraf negeri ini menyebutkan, prevalensi epilepsi di seluruh

TBR

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tbr

Citation preview

Page 1: TBR

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi

berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanoa provokasi. Yang dimaksud

dengan bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan

oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron.

Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku

yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sendorik,

otonom, ataupun psikis. Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik

yang unik untuk suatu epilepsi, hal ini mencakup lebih dari sekedar tipe bangkitan tetapi

juga mencakup etiologi, anatomi, faktor presipitasi, usia awitan, berat dan kronisitas.1

B. Epidemiologi

1. Frekuensi

Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara

berkembang mencapai 100/100,000. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus

baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20%

lainnya ditemukan pada usia lanjut. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih

tinggi di negara-negara berkembang. Dalam bukunya Epilepsi, Prof. Dr. dr. S.M.

Lumbantobing, seorang pakar saraf negeri ini menyebutkan, prevalensi epilepsi di

seluruh dunia mencapai 5-20 orang per 1000 penduduk. Sayangnya belum ada

penelitian tentang berapa tepatnya prevalensi epilepsi di Indonesia. Namun

diperkirakan berkisar antara 0,5-1,2%. 2

2. Jenis Kelamin

Ditinjau dari jenis kelamin, pria sedikit lebih beresiko terkena

epilepsi dibandingkan wanita. Disamping itu tampak pula perbedaan

distribusi jenis kelamin pada beberapa jenis epilepsi yang berbeda.

Hasil penelitian Jacob Kristensen dkk memperlihatkan bahwa

epilepsi fokal simptomatik banyak diderita oleh pria. Sedangkan

epilepsi fokal kriptogenik dan epilepsi umum terutama idiopatik

banyak diderita oleh wanita. 3

3. Umur

Page 2: TBR

Distribusi penyakit epilepsi berbeda pada usia-usia tertentu. Hal ini

terbukti dari berbagai penelitian. Penelitian EF Sperber dkk

menunjukan adanya perubahan maturitas fungsi substansia nigra

tikus dalam penghambatan kejang yang muncul pada

usia tertentu. Selain itu terdapat penelitian Fogarasi A dkk pada 155

pasien yang juga menunjukan adanya peran maturitas otak

terhadap pembentukan kejang lobus temporal. Kedua penelitian ini

menunjukan bahwa ada kerentanan usia tertentu terhadap kejang.

Kajian Rizaldi Pinzon terhadap penelitian terdahulu menunjukan

insidensi epilepsi pada anak-anak adalah tinggi dan memang

merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia

tersebut. Bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi

epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat. Secara statistik jenis

epilepsi yang terjadi pada masa anak-anak bervariasi namun jenis

epilepsi yang secara umum lebih sering terjadi adalah epilepsi

umum. Pada usia dewasa kejadian epilepsi menurun. Epilepsi pada

kelompok usia ini biasanya dikarenakan cedera otak akut (kejang

akut simptomatik). Tipe kejang yang sering terjadi pada awal masa

usia dewasa adalah kejang umum idiopatik, terutama myoklonik dan

tonik-klonik. Setelah itu kejang parsial lebih banyak ditemukan.

Kajian retrospektif Tishio Hiyoshi dan Kazuichi Yagi pada 190 pasien

kelompok usia orang tua menunjukan bahwa resiko terkena dan

mengalami kembali epilepsi pada kelompok usia ini tinggi. Resiko

tersebut meningkat seiring bertambahnya usia. Dari penelitian

mereka didapatkan hasil 76 persen pasien terdiagnosa epilepsi

parsial. 3

C. Etiologi

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

1. Epilepsi idiopatik :

Didefinisikan sebagai epilepsi yang didominasi genetik atau dugaan berasal dari

genetik dan yang tidak ada kelainan neuroanatomi atau neuropatologis. Termasuk di

sini adalah epilepsi yang diduga multigenik atau keturunan yang kompleks, tapi untuk

saat ini dasar genetik belum dijelaskan. 4

Page 3: TBR

Berikut ini adalah gen yang terkait dengan epilepsi umum 5

c6orf33: chromosome 6 open reading frame 33.

LMPB1: lyrosomal membrane protein in brain-1.

a: gen yang baru ditemukan bermutasi pada pasien dengan epilepsi mioklonik remaja,

dan akan dilaporkan segera.

Berikut ini adalah gen yang terkaita dengan sindrom spesifik 5

Berikut ini adalah gen yang terkait dengan kejang demam dan SMEI (Severe

Myoclonic Epilepsy of Infancy) 5

Page 4: TBR

2. Epilepsi terprovokasi:

Didefinisikan sebagai epilepsi yang penyebab predominan kejangnya adalah faktor

sistemik spesifik atau lingkungan dan di mana tidak terdapat penyebab neuroanatomi

atau perubahan neuropatologis. Beberapa '' epilepsi terprovokasi '' memiliki dasar

genetik dan lainnya memiliki dasar dapatan. Epilepsi refleks termasuk dalam kategori

ini ( yang biasanya genetik ) juga epilepsi dengan presipitan kejang yang ditandai.4

3. Epilepsi simptomatik:

Didefinisikan sebagai epilepsi yang didapat atau genetik, terkait dengan kelainan

anatomi berat atau patologis, dan / atau gambaran klinis, indikasi dari penyakit yang

mendasari. Termasuk dalam kategori ini adalah gangguan perkembangan dan

kongenital di mana hal ini berhubungan dengan perubahan patologis otak, apakah

genetik atau diperoleh ( atau memang kriptogenik). Juga termasuk adalah tunggal gen

dan kelainan genetik lainnya yang epilepsi adalah hanya satu fitur fenotipe yang lebih

luas dengan otak lainnya atau efek sistemik . 4

Page 5: TBR

4. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,

termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi

mioklonik. 4

D. Klasifikasi

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) terdiri

dari dua jenis, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk

sindrom epilepsi.1

1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi 1,9

a. Bangkitan parsial/fokal

i. Bangkitan parsial sederhana

a) Dengan gejala motorik saja

1) Terbatas pada satu bagian tubuh

2) Dimulai dari satu bagian tubuh kemudian menjalar ke daerah lain

3) Disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh

4) Disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu

5) Disertai arus bicara yang terhenti atau penderita mengeluarkan bunyi

tertentu, kejang dengan fonasi, fonatorik

b) Dengan gejala somato sensorik

Kejang ini disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca

indera dan bangkitan yang disertai vertigo

1) Kulit : timbul rasa kesemutan atau ditusuk jarum

2) Visual : terlihat cahaya

3) Auditoris : terdengar sesuatu

4) Olfaktorius : terhidu sesuatu

5) Gustatorius : terkecap sesuatu

6) Disertasi vertigo

c) Dengan gejala otonom

Dapat terlihat muka menjadi pucat, berkeringat, muntah muka menjadi

merah, kencing dan buang air.

d) Dengan gejala psikis dan gangguan fungsi luhur

1) Disertai gangguan di bidang bicara, disfasi, misalnya mengulang-

ulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat

2) Dismnesia, yaitu gangguan di bidang proses ingatan, merasa seperti

sudah mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu.

Page 6: TBR

3) Gangguan kognitif orientasi waktu, merasa diri berubah

4) Gejala afektif, merasa sangat senang, susah, marah, takut

5) Ilusi, perubahan presepsi, benda yang dilihat tampak lebih besar,

kecil, distorsi pencernaan

6) Halusinasi kompleks, misalnya mendengar ada yang bicara, musik,

melihat fenomena tertentu. Jenis bangkitan ini jarang dijumpai,

karena biasanya disertai gangguan kesadaran, hingga masuk kejang

parsial kompleks

ii. Bangkitan parsial kompleks

a) Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran

Terdiri dari dua jenis :

1) Gejala seperti pada golongan kejang parsial 1,2,3,4 diikuti dengan

penurunan kesadaran

2) Disertai automatisme, yaitu gerakan, perilaku yang timbul dengan

sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah, menelan-nelan

b) Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal

bangkitan

Terdiri dari dua jenis :

1) Hanya dengan kesadaran menurun

2) Disertai automatisme

iii. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

a) Parsial sederhana yang menjadi umum

b) Parsial kompleks menjadi umum

c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum

b. Bangkitan umum: adalah kejang yang terjadi secara serentak bilateral, dan

kelainan pada EEG pun bilateral, kejang umum terbagi menjadi enam golongan :

i. Lena (absence): Terutama dijumpai pada anak. Ditandai dengan tiba-tiba

yang sedang dikerjakan berhenti, tampak bengong, bola mata berputar ke

atas, tidak ada reaksi jika diajak bicara. Biasanya berlangsung ¼-1/2 menit.

Golongan ini terdiri atas dua kelompok :

a) Tipikal lena

Terdiri atas tujuh jenis :

(1) Dengan penurunan kesadaran

(2) Disertai gerakan klonis ringan

Page 7: TBR

(3) Dengan komponen atonik, otot leher, lengan, tangan tubuh

mendadak melemas sehingga tampak lunglai

(4) Disertai komponen tonik, otot ekstremitsa, leher atau punggung

mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke

belakang

(5) Disertai automatisme, gerakan atau perilaku yang terjadi dengan

sendirinya

(6) Dengan komponen fungsi saraf otonom

(7) b-f dapat timbul dengan kombinasi

b) Atipikal lena

Ada dua jenis :

(1) Perubahan dalam tonus otot lebih jelas

(2) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak

ii. Mioklonik

Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau

lemah sebagian otot atau semua otot-otot, sekali atau berulang-ulang. Sering

terjadi waktu akan tidur atau waktu bangun tidur, atau waktu akan melakukan

suatu gerakan. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.

iii. Klonik

Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot.

Dijumpai terutama sekali pada anak

iv. Tonik

Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku,

juga terdapat pada anak

v. Tonik-klonik

Kejang inilah yang paling sering dijumpai pada usia di atas balita terkenal

dengan nama epilepsi grandmal. Serangan dapat didahului oleh aura, yaitu

tanda-tanda yang mendahului suatu kejang.

Mendadak penderita jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan menjadi kaku.

Kejang kaku otot-otot pernapasan menyebabkan penderita tidak bernapas

sehingga menjadi sianotik. Kejang tonik ini berlangsung kurang lebih ¼ - ½

menit diikuti kejang kelojot di seluruh badan. Bangkitan ini biasanya dapat

berhenti sendiri. Bila produksi saliva ketika kejang meningkat, mulut

menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula penderita kencing

Page 8: TBR

ketika mendapatkan serangan. Setelah kejang berhenti biasanya penderita

tertidur beberapa lama, atau bangun dengan kesadaran yang masih rendah

ataupun langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah dan

nyeri kepala.

vi. Atonik/astatik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga

penderita terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Kejang

ini terutama sering terjadi pada anak-anak.

c. Bangkitan tak tergolongkan

Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata

yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan sepeti berenang, mengigil atau

pernapasan yang mendadak berhenti sementara.

2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi 1

a. Fokal/ partial (localized related)

i. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

a) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentro-temporal

(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)

b) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital

c) Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)

ii. Simtomatik

a) Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak-anak

(Kojenikow’s Syndrome)

b) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan

(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,

stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)

c) Epilepsi lobus temporal

d) Epilepsi lobus frontal

e) Epilepsi lobus parietal

f) Epilepsi lobus oksipital

iii. Kriptogenik

b. Epilepsi umum

i. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)

a) Kejang neonatus familial benigna

b) Kejang neonatus benigna

Page 9: TBR

c) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

d) Epilepsi lena pada anak

e) Epilepsi lena pada remaja

f) Epilepsi mioklonik pada remaja

g) Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga

h) Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas

i) Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik

ii. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)

a) Sindrom West (spasme infantil dan spasme salam)

b) Sindrom Lennox-Gastaut

c) Epilepsi mioklonik astatik

d) Epilepsi mioklonik lena

iii. Simtomatik

a) Etiologi non spesifik

1) Ensefalopati mioklonik dini

2) Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supresi

3) Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas

b) Sindrom spesifik

c) Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

c. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

i. Bangkitan umum dan fokal

a) Bangkitan neonatal

b) Epilepsi mioklonik berat pada bayi

c) Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam

d) Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)

e) Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas

ii. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

d. Sindrom khusus

Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu

i. Kejang demam

ii. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)

iii. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut, atau

toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik

iv. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

Page 10: TBR

E. Patofisiologi

1. Perubahan pada keseimbangan normal inhibisi dan eksitasi

Hipersinkronus yang terjadi selama kejang dapat dimulai dari daerah yang sangat

diskrit pada korteks dan kemudian menyebar ke daerah di sekitarnya. Inisiasi kejang

ditandai dengan dua peristiwa bersamaan:

a. Ledakan potensial aksi frekuensi tinggi, dan

b. Hipersinkronisasi dari populasi saraf.

Impuls disinkronisasi dari sejumlah neuron yang cukup menghasilkan lonjakan pada

EEG. Pada tingkat neuron tunggal, aktivitas epileptiform terdiri dari depolarisasi

saraf berkelanjutan menghasilkan ledakan potensial aksi, depolarisasi seperti dataran

tinggi dihubungkan dengan ledakan potensial aksi yang telah komplit, dan kemudian

repolarisasi cepat diikuti oleh hiperpolarisasi. Urutan ini disebut pergeseran

depolarisasi paroksismal. Ledakan akibat depolarisasi yang relatif berkepanjangan

pada membran saraf disebabkan masuknya Ca++ ekstraseluler, yang menyebabkan

membukanya saluran Na+, influk Na+, dan generasi potensial aksi yang berulang.

Selanjutnya hiperpolarisasi setelah potensial dimediasi oleh reseptor GABA dan

influks Cl-, atau dengan efluk K+, tergantung pada jenis sel.

Propagasi kejang, proses dimana kejang parsial menyebar dalam otak, terjadi ketika

ada aktivasi yang cukup untuk merekrut neuron sekitarnya. Hal ini menyebabkan

hilangnya penghambatan dan penyebaran aktivitas kejang ke daerah yang berbatasan

melalui koneksi kortikal lokal, dan untuk daerah yang lebih jauh melalui hubungan

jalur panjang seperti corpus callosum.

Penyebaran ini biasanya dicegah dengan hiperpolarisasi komplit dan inhibisi daerah

sekitarnya yang diciptakan oleh neuron inhibisi. Dengan aktivasi cukup ada

perekrutan

sekitar neuron melalui sejumlah mekanisme . Pembuangan berulang menyebabkan :

a. Peningkatan K+ ekstraseluler, yang menumpulkan tingkat arus hiperpolarisasi

K+, menimbulkan depolarisasi neuron di sekitarnya.

b. Akumulasi Ca++ di terminal presinaptik, menyebabkan peningkatan pelepasan

neurotransmiter, dan

c. Aktivasi yang diinduksi depolarisasi dari subtipe NMDA reseptor asam amino

eksitatori, yang menyebabkan lebih banyak influks Ca++ dan aktivasi neuron.

Namun kurang dipahami dengan baik bagaimana kejang biasanya berakhir ,

biasanya setelah beberapa detik atau menit, dan apa yang mendasari kegagalan

Page 11: TBR

penghentian kejang spontan ini dalam kondisi yang mengancam jiwa dikenal

sebagai status epileptikus. 6

2. Teori terkini tentang bagaimana inhibisi dan eksitasi dapat diubah di tingkat

jaringan.

Pemahaman kami terhadap abnormalitas susunan saraf pusat yang menyebabkan

pasien mengalami kejang berulang sampai saat ini masih terbatas. Hal ini penting

untuk dipahami bahwa kejang dan epilepsy dapat disebabkan oleh proses patologik

yang berbeda yang mengacaukan keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi.

Epilepsy dapat dihasilkan oleh proses gangguan hemostasis ion ekstraseluler,

perubahan metabolism, perubahan fungsi reseptor, atau gangguan pada

neurotransmitter. Walaupun banyak perbedaan pada etiologi, hipersinkronisasi pada

neuron kortikal mungkin akan menunjukkan fenotip yang hamper sama. Fenotip

pada kejang mungkin dapat diketahui dari lokasi dan fungsi dari jaringan neuron

yang mengalami hipersinkronisasi daripada dari pemahaman patofisiologinya. 6

Sistem limbik saat ini mulai diteliti secara intensif pada penelitian eksperimen

epilepsy. Penelitian ini mengarah kepada 2 teori baru bahwa jaringan seluler berubah

menjadi hipereksitabilitas. Teori yang pertama adalah adanya penurunan interneuron

yang selektif pada inhibisi di sel granula dentate. Teori lain berpendapat bahwa

diduga ada reorganisasi sinaps yang mengikuti cedera dan selanjutnya akan

menciptakan koneksi eksitatorik yang rekuren. Sampai saat ini, hal ini lebih

dipercaya daripada pengaruh neuron inhibitorik GABA yang secara normal

menstimulasi inhibisi interneuron dan menghambat sel granula dentata. Mekanisme

hipereksitabilitas pada jaringan neuron tidak hanya terjadi karena hal tersebut saja,

namun juga dapat bersinergi dan dapat pula bersamaan dengan epileptic otak. 6

Kejang mungkin dapat muncul dari korteks area yang luas dan secara simultan.

Mekanisme pemahaman kejang umum masih belum dipahami sepenuhnya. Satu tipe

kejang umum yaitu petit mal adalah kejang umum yang secara klinis ditandai

dengan adanya kompleks gelombang tajam pada EEG. Adanya gelombang tajam

pada petit mal mungkin hasil dari penyimpangan ritme osilatory yang normalnya

diproduksi saat tidur. Osilasi ini termasuk interaksi antara GABA, reseptor kanal

Cad an kanal K yang berlokasi di thalamus. Modulasi farmakologi pada reseptor ini

dank anal dapat menginduksi terjadinya petit mal, dan oleh karena itu spekulasi

genetik yang menyebabkan petit mal mungkin berhubungan dengan mutasi pada

komponen ini. 6

Page 12: TBR

3. Epileptogenesis: perubahan dari jaringan normal menjadi jaringan hipereksitabilitas.

Pengamatan secara klinis menduga bahwa epilepsi disebabkan oleh kejadian

tertentu. Sebagai contohnya adalah sekitar 50% pasien yang menderita cedera kepala

berat akan berkembang kearah gangguan kejang. Bagaimanapun juga, jumlah yang

signifikan tersebut tidak akan muncul secara klinis yang jelas pada beberapa bulan

atau tahun kemudian. Pada periode setelah cedera ini, beberapa kasus mengalami

proses epileptogenic yang termasuk di dalamnya adalah peubahan bertingkat dari

jaringan neuron selama beberapa waktu. Perubahan terus terjadi pada periode ini

sehingga dapat menyebabkan nekrosis dari interneuron inhibitasi atau pada axon

kolateral yang menggema atau pada jaringan yang akan memperkuat diri sendiri. Di

kemudian hari, pasien yang berisiko mengalami epilepsy karena lesi dapatan akan

memberikan keuntungan pada terapi dengan antiepileptogenik yang dapat

menghambat perubahan jaringan saraf. 6

Model eksperimen penting tentang epileptogenic dilakukan oleh goddard et al. pada

tahun 1960. Saat ini, stimulasi subkonvulsif secara elektrik maupun kimiawi pada

beberapa region otak seperti hipokampus atau amigdala akan menyebabkan induksi

stimulasi yang secara klinis menyebabkan kejang dan bahkan pada kasus tertentu

menyebabkan kejang spontan. Perubahan eksitabilitas ini permanen dan diduga

berhubungan dengan reaksi biokimia atau perubahan struktur dari susunan saraf

pusat. Berbagai perubahan diukur dengan beberapa macam cara, antara lain adalah

perubahan pada kanal glutamat, hilangnya neuron yang selektif dan reorganisasi

axinal. Bagaimanapun juga, mekanisme yang tepat dan dapat diaplikasikan pada

manusia sampai saat ini masih belum jelas. 6

4. Patofisiologi epilepsi umum

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap

adalah epilepsi tipe absens. Absens adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai

usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong”

dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke

normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai

absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan

berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans

diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri.

Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya

mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana

Page 13: TBR

secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.

Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi

genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion. 7

5. Patofisiologi status epileptikus

Pada tingkat neurokimia, kejang didasarkan akibat eksitasi yang berlebihan dan

inhibisi yang berkurang. Glutamat adalah neurotransmitter eksitatori yang paling

umum. Gamma-aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmitter inhibisi.

Kegagalan keseimbangan dari sistem ini dianggap sebagai mekanisme utama yang

mengarah ke status epileptikus. 8

Sebagian besar kejang dapat berakhir secara spontan. Proses yang terlibat dalam

penghentian kejang dan bagaimana proses ini gagal dalam SE masih dalam

penyelidikan. 8

Pada SE, terdapat perubahan fisiologis yang signifikan. Banyak dari respon sistemik

(misalnya takikardi, aritmia jantung, hiperglikemi) diperkirakan akibat dari lonjakan

katekolamin yang terjadi akibat kejang. Tahap awal dari SE, elevasi yang menonjol

pada tekanan arteri sistemik dapat terlihat. Rata-rata tekanan sistolik meningkat

85mmHg dan diastolik meningkat 42mmHg. Jika SE tetap berlanjut, tekanan darah

dapat turun hingga di bawah batas biasanya. 8

Suhu tubuh dapat meningkat pada pasien akibat dari aktivitas otot yang kuat dan

aktivitas pusat simpatik yang disebabkan oleh kejang SE. Asidosis biasanya dapat

terjadi dan tidak perlu diperlakukan secara khusus karena tidak berkorelasi dengan

tingkat cedera saraf, dan asidosis memiliki efek antikonvulsan. Asidosis ini sembuh

setelah kejang berhenti. Kebutuhan metabolik otak meningkat pesat dengan

terjadinya SE. 8

Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa kejang dengan durasi lebih dari 30

menit akan mengakibatkan perubahan patologis, setelah 60 menit sel neuron mulai

mati. Hipokampus adalah struktur yang rentan terhadap kerusakan karena adanya

mekanisme ini. Penelitian klinis pada manusia, durasi terjadinya SE berhubungan

langsung dengan angka morbiditas dan mortalitas. Semakin lama SE berlangsung,

semakin besar kemungkinan neuron akan cedera akibat proses eksitasi

neurotransmiter. Aktivitas kejang yang terus-menerus juga semakin mengurangi

inhibisi yang dilakukan oleh GABA. Pada tingkat reseptor, mekanisme GABAergik

gagal dan kejang menjadi farmakoresisten. 8

Page 14: TBR

Kematian neuron kemungkinan disebabkan dari ketidakmampuan menampung

peningkatan kalsium intraseluler yang diakibatkan pajanan yang lama terhadap

neurotransmitter eksitatorik 8

F. Gejala Klinis

1. Sawan parsial simplek 9

Sawan parsial atau fokal berasal dari fokus epilepsi di daerah

korteks serebri yang menyebabkan timbulnya fenomena motorik,

sensorik, autonom atau psikis. Kejang fokal motorik lebih sering

dijumpai pada anak laki-laki dan dapat terjadi pada semua umur.

Karena tangan dan mulut meliputi daerah yang relatif lebih luas,

maka sebagian besar kejang fokal dimulai di daerah ini.

Penyebaran rangsangan ke daerah korteks sekitarnya

menyebabkan meluasnya kejang ke bagian badan lain (bangkitan

Jackson), dapat pula menjalar ke sisi lain. Penyebaran ke daerah

subkortikal menyebabkan timbulnya kejang umum. Setelah kejang

fokal sering timbul kelumpuhan bagian tubuh tersebut yang

bersifat sementara (paralisis Todd). Sering kejang fokal ini dapat

dihentikan penderita dengan mencubit anggota gerak proksimal

dari bagian yang sedang kejang. Kadang-kadang timbul status

epilepsi fokal yang disebut epilepsi parsial kontinu yang dapat

berlangsung berjam-jam atau berhari-hari dengan periode istirahat

yang singkat. Keadaan ini dapat terjadi pada tumor atau

ensefalitis.

Pada bangkitan versif fokus terdapat di daerah frontal area 8.

Manifestasi bangkitannya berupa melihatnya kepala dan mata ke

sisi bertentangan dengan letak fokus. Bila lesi itu destruktif maka

kepala dan mata melihat ke sisi yang sakit. Putaran kepala dapat

disertai putaran badan.

Epilepsi fokal benigna pada anak mempunyai fokus di daerah

sentrotemporal pada satu atau kedua belah sisi dan dijumpai pada

usia 5-10 tahun. Manifestasi klinisnya berupa kejang fokal di

daerah muka, mulut, yang sering meluas menjadi kejang umum

atau langsung berupa kejang umum. Biasanya serangan terjadi

Page 15: TBR

waktu tidur. Prognosisnya baik, sawan menghilang pada usia

remaja.

Sawan parsial dengan gejala somatosensoris dan sensoris khusus,

demikian pula dengan gejala psikis, jarang diungkapkan pada anak

di bawah usia 8 tahun.

Sawan parsial dengan gejala gangguan fungsi saraf autonom tanpa

penurunan kesadaran dapat terjadi pada anak antara usia 4-12

tahun, insiden terbanyak pada usia 9 tahun. Sawan ini juga disebut

epilepsi autonom, epilepsi viseral diensefalik, epliepsi abdominal.

Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, mulas, nausea, muntah,

menjadi pucat, atau muka menjadi merah. Pada anak-anak ini

sering didapatkan gangguan perilaku, kesukaran belajar, gangguan

emosional. Pola EEGnya sering menyerupai EEG penderita migren

atau bangkitan psikomotor.

2. Sawan parsial (psikomotor) kompleks 9

Pada golongan bangkitan ini kesadaran dapat menurun sejak

permulaan atau kemudian. Termasuk golongan ini ialah epilepsi

dengan fokus yang terletak di dalam lobus temporalis atau

struktur-struktur yang berhubungan erat dengannya, daerah orbita

lobus frontal dan insula. Di dalam lobus temporalis terdapat

pertemuan antara bagian otak yang tertua secara filogenetis,

rinensefalon dan alokorteks limbik dengan bagian yang paling

muda, neokorteks lobus temporalis. Rinensefalon berhubungan

erat dengan diensefalon yang menjadi pusat susunan saraf

autonom. Lobus temporalis terutama berfungsi mengurus memori.

Bagian lobus temporalis yang merupakan bagian sistem limbik

merupakan substrat anatomis emosi. Demikianlah epilepsi yang

berfokus dalam lobus temporalis menunjukkan gejala-gejala yang

mempunyai komponen motorik, sensoris, autonom, afektis dan

gangguan memori.

Suatu bangkitan yang khas dapat dibagi dalam empat bagian. Aura

yang memulai suatu bangkitan terdiri atas berbagai bentuk

fenomena subjektif dan sering berupa kegelisahan yang disertai

Page 16: TBR

sensasi viseral. Halusinasi olfaktorius berupa terhidu bau tidak

enak (bangkitan unkus) sering dijumpai pada tumor lobus

temporalis. Aura dapat pula berupa perasaan seperti sudah

mengenal sekitarnya yang disebut dalam bahasa Perancis “de

javu”. Setelah aura, penderita terdiam, tampak melamun dan

menjadi pucat. Bagian ketiga ialah timbul gerakan minor motorik

berupa mengunyah-ngunyah, mengecap-ngecap, meggerak-

gerakkan tangan tanpa tujuan dan sebagainya yang disebut

automatisme. Dapat pula ia melakukan gerakan yang lebih

kompleks misalnya membuka baju, mengucapkan kata-kata yang

tidak berarti, meneruskan pekerjaan yang sedang dilakukannya

tanpa menyadarinya. Automatisme ini biasanya berlangsung tidak

lebih lama dari beberapa detik hingga 10 menit. Setelah sawan

berakhir biasanya kesadaran masih rendah dan tampak

mengantuk. Setelah sadar penderita biasanya tidak ingat apa yang

ia lakukan selama bangkitan tersebut.

Kadang-kadang epilepsi lobus temporalis berbentuk penurunan

kesadaran saja yang menyerupai serangan petit mal.

Gejala-gejala lain yang dapat dijumpai pada bangkitan lobus

temporalis ialah perubahan sikap ekstrimitas atau tubuh, bengong,

merasa sesuatu di ulu hati yang bergerak ke atas mengelai,

berjalan, mengembara, mengusap-usap, meraba-raba, bicara yang

tidak bermakna atau inkoheren, ketakutan, marah. Badan,

ekstrimitas menjadi kaku, jatuh, emunjukkan perilaku agresif,

kesadaran merendah seperti bermimpi, pikiran tidak dapat

berhenti atau sebaliknya pikiran terhambat, mencari-cari, mulas,

mengompol, mengalami gangguan persepsi.

Sawan parsial dengan gejala kompleks maupun sederhana dapat

berkembang menjadi sawan umum

3. Sindroma epilepsi

Dewasa

a. Epilepsi generalisata primer

Page 17: TBR

Tipe kejang paling sering adalah tonik-klonik. Sebelum serangan, pasien

merasakan gejala pusing atau mudah teriritasi. Kejang dimulai dengan tangisan

epileptik. Pasien kehilangan kesadaran dan jatuh. Pada fase awal, yaitu fase

tonik terjadi spasme otot generalisata yang berlangsung beberapa detik. Fase

selanjutnya adalah fase klonik, yaitu terjadi sentakan otot tajam yang berulang.

Dapat terjadi lidah tergigit, inkontinensia urin dan salivasi. Ketika sentakan otot

berhenti, pasien tetap tidak sadar hingga sekitar 30 menit dan kemudian merasa

bingung dan mengantuk untuk beberapa jam. Saat perbaikan biasanya timbul

nyeri kepala dan kekakuan atau cedera akibat jatuh. Epilepsi jenis ini biasanya

dapat terkontrol dengan satu obat. 10

b. Epilepsi parsial

1.) Epilepsi lobus temporal

Pada kejang ini, aura dapat terdiri dari gejala psikis (rasa takut, deja vu),

halusinasi (olfaktorius, gustatorius atau bayangan visual) atau hanya sensasi

tidak enak di epigastrium. Pasien menjadi gelisah dan bingung serta

menunjukkan gerakan yang teratur dan stereotipik (automatisme). Gerakan

ini, yaitu gerakan mengunyah dan mengecapkan bibir, tetapi juga dapat

berupa gerakan yang lebih kompleks, kadang agresif dan kasar. 10

2.) Epilepsi Jacksonian

Serangan motorik fokal dimulai pada sudut mulut, ibu jari dan jari telunjuk

tangan, atau ibu jari kaki. Gerakan menyebar secara cepat ke arah wajah

atau ke arah anggota gerak (Jacksonian march). Epilepsi Jacksonian

umumnya diakibatkan oleh penyakit otak organik, seperti tumor pada

korteks motorik. Setelah serangan, anggota gerak akan mengalami

kelemahan sementara. Epilepsi parsialis kontinua merupakan bentuk yang

jarang dari epilepsi Jacksonian di mana serangan menjadi persisten selama

beberapa hari, minggu, bahkan bulanan. 10

Masa kanak-kanak dan Remaja

a. Kejang demam

Kejang yang berhubungan dengan demam 10:

1.) Terjadi pada 3% anak normal berusia 3 bulan-5 tahun.

2.) Umumnya singkat (kurang dari 15 menit) dan generalisata, walaupun

beberapa kasus menunjukkan serangan fokal dan lama, kadang dengan

tanda neurologis sisa.

Page 18: TBR

3.) Terjadi sebagai serangan tersendiri tanpa rekuren pada 70% kasus

4.) Risiko terjadinya epilepsi pada 2-5% kasus

5.) Umumnya tidak memerlukan terapi profilaksis dengan obat anti konvulsan

b. Spasme infantil (Sindrom West)

Trias sindrom ini adalah 10:

1.) Spasme singkat yang dimulai pada usia beberapa bulan, yang khas adalah

fleksi lengan, kepala dan leher yang mendadak dan lutut yang terangkat

naik (serangan salaam)

2.) Kesulitan belajar progresif

3.) Kelainan elektroensefalografi yang khas (hipsaritmia)

Kondisi ini masih idiopatik pada sebagian kecil pasien, tetapi biasanya dapat

diidentifikasi penyebabnya, misalnya sfiksia perinatal, ensefalitis, gangguan

metabolik dan malformasi serebri. Kebanyakan obat antikonvulsan

konvensional tidak efektif. Terapi pilihannya seringkali kortikosteroid. 10

c. Epilepsi absens ('petit mal')

Kondisi ini dimulai pada masa anak-anak, masa puncak usia 4-8 tahun, dan

terjadi lebih sering pada anak perempuan. Serangan terjadi tanpa peringatan.

Anak secara tiba-tiba menunjukkan pandangan kosong dan berhenti bicara.

Mata dapat bergetar atau berputar ke atas. Perbaikan terjadi dalam hitungan

detik dan dapat terjadi beberapa kali serangan dalam satu hari. Absans

dihubungkan dengan kelainan EEG : 3-Hz generalisata, kompleks spike-wave

simetris. Epilepsi jenis ini diterapi menggunakan natrium valproat, etosuksimid

atau kombinasi keduanya. Epilepsi absans pada anak dapat berkembang menjadi

tipe kejang lain saat dewasa sekitar 10%. 10

Termasuk golongan ini ialah epilepsi yang disebut petit mal.

Petit mal jarang ditemukan pada anak usia kurang dari 5 tahun

atau setelah 12 tahun dan lebih banyak dijumpai pada anak

perempuan. Penderita tiba-tiba tidak sadar, kegiatannya

terhenti dan kadang-kadang menjatuhkan benda yang sedang

dipegangnya, tetapi ia sendiri tidak jatuh. Mungkin mata

berkedip-kedip atau birbi mengecap-ngecap selama 5-20 detik. 9

Page 19: TBR

Sawal lena dapat pula disertai komponen-komponen klonik,

tonik, atonik, autonom, automatisme ringan. Dari gambaran

klinis saja sawan lena, terutama yang tidak khas, dapat sulit

dibedakan dari suatu bangkitan epilepsi psikomotor atau lobus

temporal. Dalam halini yang dapat menentukan ialah rekaman

EEG sebaiknya direkam pada waktu sadar dan tidur karena

pada beberapa anak serangan hanya terlihat pada waktu tidur.

Lepas muatan yang berasal dari bagian sentresefal (formasi

retikular, talamus, ganglion basal) menyebar ke korteks yang

menyebabkan terganggunya kesadaran. Cepat pulihnya

kesadaran menyatakan bahwa lepas muatan itu pendek dan

terbatas. Serangan yang pendek ini sering tidak disadari

penderita maupun orang di sekitarnya. 9

Pada umumnya penderita petit mal tidak terdapat gangguan

dalam pelajaran atau penyesuaian sosial, kecuali bila frekuensi

serangan tinggi sekali. Serangan petit mal dapat timbul

berturut-turut tanpa ada masa pulih diantaranya. Keadaan ini

disebut status petit mal. Pada keadaan ini kesadaran agak

menurun, tidak hilang seluruhnya. Penderita tampak melamun,

bereaksi lambat dan sering salah sehingga disangka menderita

gangguan jiwa. 9

d. Epilepsi mioklonik juvenilis (sindrom Janz)

Sindrom ini dikenali sebagai bentuk umum epilepsi generalisata primer, dan

onset biasanya terjadi pada usia remaja. Trias pada sindroma ini adalah 10:

1.) Kejang generalisata yang jarang, sering terjadi pada saat bangun

2.) Absans di siang hari

3.) Gerakan menyentak involunter mendadak dan cepat (mioklonus), biasanya

terjadi pada pagi hari sehingga pasien dapat menumpahkan sarapannya atau

melempar piring sarapannya tanpa dijelaskan penyebabnya ('epilepsi

Kellogg').

Pada gambaran EEG ditemukan cetusan polyspike-wave dan

fotosensitivitas. Terapi dengan menggunakan natrium valproat umumnya

menunjukkan hasil yang baik, tetapi sering berulang jika obat dihentikan.

Page 20: TBR

4. Sawan tonik klonik (epilepsi grand mal).

Sawan tonik klonik dikenal dengan nama grand mal pada anak

jarang menunjukkan bentuk serangan yang khas. Episode tonik

sering kali hanya tampak pada kekakuan ekstrimitas sebentar

disertai mata yang terputar ke atas dan kepala dalam sikap

ekstensi, langsung disusul kejang klonik disertai apnea, sianosis,

salivasi dan gerakan pada mulut. Setelah bangkitan berakhir anak

sering kali sadar kembali dalam waktu beberapa menit.

G. Diagnosis

1. Pedoman umum

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang

(minimal 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adannya gambaran epileptiform

pada EEG. Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:1

a. Langkah pertama: ditempuh melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus,

diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang

diperoleh dari anamnesis yang mencakup auto dan allo anamnesis dari orang tua

atau saksi mata.

i. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan:

a) Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/ berbaring/ tidur/

berkemih

b) Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech arrest)

Page 21: TBR

c) Apa yang tampak selama bangkitan (pola/ bentuk bangkitan): gerakan

tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,

pucat, berkeringat, deviasi mata

d) Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,

gaduh, gelisah, Todd’s paresis

e) Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal

f) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat

perubahan pola bangkitan

ii. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat

penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit

sistemik yang mungkin menjadi penyebab

iii. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjamg antar

bangkitan

iv. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,

kadar OAE, kombinasi terapi)

v. Riwayat penyakit epilepsi pada keluarga

vi. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lainn, penyakit psikiatrik

atau sistemik

vii. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan bayi/

anak

viii. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam

ix. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dan lain-lain

b. Langkah kedua: untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan

memperhatikan klasifikasi ILAE 1981

c. Langkah ketiga: untuk menentukan etiologi, sindrom epilepsi atau penyakit

epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dilakukan dengan memperhatikan

klasifikasi ILAE 1989. Langkah ini penting untuk menentukan prognosis dan

respons terhadap OAE.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pada bayi

Pada pemeriksaan diselidiki apakah ada kelainan bawaan, asimetri pada badan,

ekstrimitas, dicatat besarnya dan betuk kepala, diukur kelilingnya, keadaan

fontanel harus diperiksa pula. Kepala perlu diauskultasi dan ditransluminasi.

Kelainan yang mungkin ditemukan ialah makrosefali, mikrosefali, hidrosefalus.

Page 22: TBR

Fontanel akan menonjol bila tekanan dalam rongga kepala meningkat. Pada

pemeriksaan neurologis harus diperiksa refleks Moro, refleks hisap, refleks

pegang dan refleks tonik leher di samping pemeriksaan lainnya.9

b. Pada anak dan orang dewasa

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasanya. Pada kulit dicari

adanya tanda-tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-

bercak putih dan adenoma sebaseum pada muka pada sklerosis tuberosa.

Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Struge-Weber.

Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio

retinitis.

Jangan dilupakan mencatat adanya kelainan bawaan, asimetri pada kepala,

muka, tubuh, ekstremitas. 9

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai kebutuhan atas dasar anamnesis dan

pemeriksaan klinis, ditunjukan untuk menyingkirkan adanya penyebab kejang

ekstrakranial. Pemeriksaan yang dilakukan dapat meliputi:1

i. Pemeriksaan hematologik

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit,

apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar

gula, fungsi hati, ureum, kreatinin. Pemeriksaan ini dilakukan pada awal

pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul gejala klinik,

dan rutin setiap tahun sekali.1

ii. Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai

steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.

Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan timbul kembali, atau bila

terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau

saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat perubahan fisiologi

pada tubuh penyandang (kehamilan, luka bakar, gangguan fungsi ginjal).1

b. Pemeriksaan elektrosefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan yang paling

berguna pada dugaan suatu bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu

menunjang diagnosis dan membantu penentuan jenis bangkitan maupun

sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat membantu menentukan prognosis

dan penentuan perlu/tidaknya pengobatan dengan AED. 1

Page 23: TBR

c. Pemeriksaan CT Scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam

mendeteksi lesi

H. Diagnosis Banding

Setiap penyakit yang mengakibatkan kesadaran menurun mendadak atau disertai gejala-

gejala yang datang dengan tiba-tiba perlu dibedakan dari epilepsi. 9

1. Sinkope

Sinkope ialah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan aliran darah

ke dalam otak dan anoksia. Sebabnya adalah tensi darah yang menurun

mendadak,biasanya ketika penderita sedang berdiri. Pada fase permulaan, penderita

menjadigelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan mengelam.

Kesadaranmenurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan darah rendah. Dengan

dibaringkanhorizontal penderita segera membaik.

2. Gangguan jantung

Gangguan fungsi dan irama jantung dapat timbul dalam serangan-serangan

yangmungkin timbul dalam serangan-serangan yang mungkin pula mengakibatkan

pingsan.Keadaan ini biasanya terjadi pada penderita-penderita jantung.

3. Gangguan sepintas peredaran darah otak

Gangguan sepintas peredaran darah dalam batang otak dengan macam-macamsebab

dapat mengakibatkan timbulnya serangan pingsan. Pada keadaan ini

dijumpaikelainan-kelainan neurologis seperti diplopia, disartria, ataksia dan lain-

lain.

4. Hipoglikemia

Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut

kering.Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.

5. Keracunan

Keracunan alkohol, obat tidur, penenang, menyebabkan kesadaran menurun.Pada

keadaan ini penurunan kesadaran berlangsung lama yang mungkin pula didapatipada

epilepsi.

6. Serangan hetang atau somoran (breath holding spells)

Serangan hetang atau somoran ada dua bentuk yaitu bentuk sianotik dan bentuk

palida. Bentuk sianotik disebabkan oleh henti sementara pernapasan dan bentuk

palida oleh henti sementara denyut jantung.

a. Serangan hetang sianotik

Page 24: TBR

Serangan ini lebih sering terjadi. Setelah mengalami gangguan emosi (marah,

frustasi dan lain lain) anak menangis sebentar lalu menahan nafas biasanya pada

saat akhir ekspirasi, sehingga ia menjadi biru, kesadaran menurun, menjadi

lemas, kemudian dapat timbul opistotonus dan klonus, kesadaran cepat pulih

kembali. Keadaan ini dapat terjadi pada neonatus, tetapi insiden terbanyak

adalah pada usia 7 bulan sampai 3 tahun dan jarang sesudah 6 tahun.

b. Serangan hetang palida

Serangan ini terjadi akibat kegagalan sirkulasi pada masa asistole karena

serangan refleks vagus. Kepekaan nervus vagus ini dapat dinyatakan dengan uji

kompresi bola mata samil dimonitor EEG dan EKGnya. Uji ini dinilai positif

bila timbul asistole lebih lama dari 2 detik.

Dibandingkan dengan golongan sianotik, hetang palida tidak begitu banyak.

Hilangnya kesadaran hanya sebentar saja dengan tangisan yang minimal, tetapi

sering disusul oleh kejang. Sebagai faktor presipitasi didapatkan ketakutan

mendadak dan trauma ringan terutama trauma pada penderita. Prognosis hetang

sianotik atau palida baik tidak akan menjadi epilepsi atau terjadi retardasi mental.

7. Histeria

Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita 7-15 tahun.

Seranganbiasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik

perhatian.Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol, atau perubahan pasca

serangan sepertiterdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak

menyerupai kejang tonik klonik, tetapi bias menyerupai sindroma hiperventilasi.

Timbulnya serangan sering berhubungan dengan stres.

8. Narkolepsi

Pada narkolepsi terjadi serangan-serangan perasaan mengantuk yang tidak dapat

dikendalikan. Proses tidur pada anak normal biasanya dimulai oleh tidur “non rapid

eye movement” (NREM) dan beralih ke tidur REM setelah kira-kira 140 menit pada

anak usia 19-45 bulan. Pada penderita narkolepsi langsung terlihat tidur REM. Pada

orang dewasa normal tidur NREM dan REM bergantian sepanjang tidur. Lamanya

tidur NREM juga kurang lebih 150 menit. Tidur REM berlangsung 5-50 menit.

Narkolepsi sering terdapat antara usia 15-25 tahun tetapi dapat terjadi pada anak usia

3 tahun. Penderita tidur sebentar dan mudah dibangunkan karena tidurnya dangkal.

Ia dapat mengalami episode tidur mikro terutama bila dilarang tidur siang. Pada

episode ini ia menunjukkan automatisme disertai amnesia. Keadaan ini menyerupai

Page 25: TBR

amnesia global sepintas. Tingkah laku penderita sukar dibedakan dari bangkitan

parsial kompleks.

Katapleksi yaitu keadaan kehilangan tonus otot yang mendadak dan menyeluruh

menyertai narkolepsi pada 68% penderita. Serangan ini timbul bila penderita

ketakutan, terkejut, marah atau tertawa. Lama berlangsungnya singkat yaitu 1 menit

atau lebih. Setelah mendapat serangan, keadaan penderita narkolepsi normal seperti

sebelumnya.

Narkolepsi terdapat familial dan diturunkan secara non mendel. Keadaan ini dapat

berkurang menjelang dewasa. Pada EEG tampak pola tidur mengantuk. Pada

terapinya penderita dianjurkan sering tidur sebentar. Bila perlu diberikan amfetamin

atau metil phenidate.

9. Pavor nokturnus, lindur, kekau

Pavor noktornus merupakan gangguan tidur yang paroksismal, yang terjadi

bilaterbangun pada tidur tingkat empat. Anak marah-marah, menangis, ketakutan,

dankadang-kadang disertai halusinasi visual atau auditoris yang berlangsung cepat

disertai meningkatnya frekeuensi jantung dan pernafasan. Setelah itu ia tidur lagi

dan keesokan harinya ia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi semalam. EEG

biasanya normal. 

10. Paralisis tidur. 

Paralisis tidur biasanya terjadi menjelang tiduratau bangun dan sering didahului

halusinasi visual danauditoris. Serangan ini sering menakutkan penderita karena ia

dapat bernafas, menggerakan mata, namun tidak dapat bergerak. Sentuhan ringan

atau rangsangan auditoris dapat mengakhiri paralisi tersebut yang biasanya

berlangsung hanya beberapa detik.

11. Migren

Pada migren gejala-gejala juga timbul mendadak dalam serangan-serangan. Pada

fasevasokontriksi dapat timbul nausea, muntah, mulas, gangguan penglihatan, atau

gejala-gejala neurologis sesisi. Biasanya gejala-gejala ini reversible, tetapi pada anak

pulihnya agak lambat

I. Tatalaksana

1. Tatalaksana farmakologi epilepsi

Prinsip untuk terapi OAE adalah11:

a. Memutuskan saat dimulainya pengobatan

b. Memutuskan lama pengobatan

Page 26: TBR

c. Menggunakan monoterapi sebisa mungkin

d. Menggunakan regimen sederhana

e. Mendorong kepatuhan pasien

f. Memilih obat yang terbaik sesuai tipe kejang

Tidak ada formula untuk memilih obat kejang mana yang harus digunakan untuk

masing-masing pasien. Dokter dan pasien memilih OAE setelah mempertimbangkan

efek samping yang harus dihindari untuk berbagai kasus, kepatuhan pengobatan,

keuangan dan pengalaman dokter. Yang harus diketahui adalah OAE mana yang

bekerja untuk jenis kejang. OAE dengan spektrum sempit sebagian besar bekerja

untuk tipe kejang yang spesifik. OAE spektrum luas mempunyai keunggulan efektif

untuk berbagai tipe kejang secara luas. OAE spektrum sempit adalah Fenitoin,

fenobarbital, Karbamazepin, Oxkarbamazepin, Gabapentin, Pregabalin, Lacosamide,

Vigabatrin. Jenis OAE spektrum luas diantaranya Asam valproat, Lamotrigin,

Topiramat, zonisamid, levetiracetam, klonazepam, rufinamid. 11

Pengobatan utama untuk epilepsi adalah obat anti epilepsi (OAE) yang diminum

setiap hari untuk mencegah rekurensi dari kejang epileptik. Strategi pengobatan dan

kecocokan OAE dibuat oleh kolaborasi antara pembuat resep dengan penderita

epilepsi sebelum terapi obat diberikan. Faktor yang menentukan kecocokan antara

lain : tipe kejang, potensi membesarkan anak, adanya komorbid, pilihan individu,

adanya kontraindikasi pada obat, potensi interaksi dengan obat yang lain, potensi

efek samping dan indikasi dari obat. 12

Sasaran terapi pada epilepsi adalah untuk mengontrol agar tidak terjadi kejang dan

meminimalisasi efek samping obat. Obat-obatan berguna untuk mencegah atau

menurunkan lepasnya muatan listrik saraf yang berlebihan melalui perubahan pada

kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmitter sehingga mencegah

timbulnya letupan depolarisasi. 12

Direkomendasikan pada pasien epilepsi untuk diterapi dengan OAE tunggal

(monoterapi) kapanpun jika mungkin. Strategi dengan monoterapi dapat mengurangi

potensi terjadinya efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien. Jika

pengobatan awal tidak berhasil, maka monoterapi dengan obat yang lain harus

dicoba. Jika OAE gagal akibat efek samping atau kejang yang masih berkelanjutan,

obat pilihan kedua harus dimulai dan ditingkatkan hingga adekuat atau dapat

ditolerir maksimal, kemudian obat yang pertama harus dikurangi sedikit demi

Page 27: TBR

sedikit. Jika obat yang kedua tidak berhasil, nilai efektifitas, efek samping dan

seberapa baik obat ditoleransi oleh pasien sebelum mencoba obat yang lain. 12

Terapi kombinasi hanya diberikan ketika monoterapi menggunakan obat-obatan

OAE tidak menghasilkan bebas kejang. Jika percobaan terapi kombinasi tidak

memberikan hasil yang memuaskan, pengobatan yang diberikan diambil pada

regimen (monoterapi atau terapi kombinasi) yang pada pasien dapat menghasilkan

keseimbangan paling baik antara efektifitas untuk mengurangi frekuensi kejang dan

efek samping yang dapat ditolerir. 12

Pengobatan menggunakan OAE secara umum direkomendasikan setelah terjadi

kejang epileptik yang kedua. Terapi OAE langsung dimulai pada kejang yang tidak

terprovokasi jika12:

a. Terdapat defisit neurologis

b. Pada EEG menunjukkan gelombang aktivitas epileptik

c. Berisiko terjadinya kejang yang tidak dapat ditoleransi

d. Gambaran otak menunjukkan adanya abnormalitas struktur

Penghentian OAE harus dilakukan setelah adanya diskusi antara dokter spesialis,

pasien dan keluarga yang telah bebas kejang paling sedikit 2 tahun. Penghentian

pengobatan, harus dikurangi pelan-pelan, setidaknya 2-3 bulan dan satu obat harus

dihentikan setiap waktu. Pada pengobatan menggunakan benzodiazepin dan

barbiturat harus lebih diawasi karena kemungkinan terjadinya efek "bouncing" dan

atau kejang rekuren. Selalu lakukan monitoring dari kadar obat dalam darah. 12

Golongan obat anti epilepsi terdiri dari 13:

a. Hydantoins : fenitoin, mefenitoin, etotoin

Salah satu jenis dari hidantoin adalah fenitoin. Fenitoin efektif mengurangi

frekuensi dan keparahan kejang, tanpa menyebabkan depresi SSP.

Dosis : Dosis awal 3-4 mg/kg/hari atau 150-300 mg/hari, dosis tunggal atau

terbagi 2 kali sehari. Dapat dinaikkan bertahap. Dosis lazim : 300 - 400 mg/hari,

maksimal 600 mg/hari. ANAK : 5 - 8 mg/kg/hari, dosis tunggal/terbagi 2 kali

sehari. Status epileptikus : i.v. lambat atau infus, 15 mg/kg, kecepatan maksimal

50 mg/menit (loading dose). Dosis pemeliharaan sekitar 100 mg diberikan

sesudahnya, interval 6-8 jam. Monitor kadar plasma. Pengurangan dosis

berdasar berat badan.

ESO : Gangguan saluran cerna, pusing, nyeri kepala, tremor, insomnia,

neuropati perifer, hipertrofi gingiva, ataksia, bicara tak jelas, nistagmus,

Page 28: TBR

penglihatan kabur, ruam, akne, hirsutisme, demam, hepatitis, lupus

eritematosus, eritema multiform, efek hematologik (leukopenia,

trombositopenia, agranulositosis).

Fenitoin adalah OAE yang paling sering digunakan oleh dokter. Fenitoin

mempengaruhi kanal natrium pada sel otak yang berefek membatasi lonjakan

impuls. Harganya pun murah. Efek samping obat yang sering terjadi adalah

penurunan konsentrasi dan gangguan kognitif sedang. Terdapat permasalahan

jangka panjang pada kosmetik dan permasalahan tulang. Dosis dewasa 300-

400mg per hari, biasanya dengan pil 100mg. Fenitoin dapat digunakan secara

cepat dalam keadaan emergensi dengan intravena atau dosis besar dalam kapsul

jika efek segera diperlukan. 11

b. Barbiturates : phenobarbital, primidon

Fenobarbital merupakan Anti kejang terkuat, harga murah, sehingga cukup

efektif. Dosis efektif relatif rendah dengan margin of safety luas. Dosis untuk

kejang (dewasa) status epileptikus: Loading dose IV: 10-20 mg/kg; dapat

diulang dalam 20 menit jika perlu (maksimal dosis total : 30 mg/kg). dosis

pemeliharaan : Oral atau IV (dosis pemeliharaan biasanya dimulai 12 jam

setelah loading dose) : 1 - 3 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis terbagi. Anak :

loading dose IV : 15-20mg/kg (maksimal 1000mg/dosis), dapat diulang dalam 1

menit jika perlu (maksimal dosis total : 40mg/kg). dosis pemeliharaan : bayi : 5-

6 mg/kg/hari, Anak 1-5 tahun : 6-8mg/kg/hari, anak 5-12 tahun 4-6kg/hari, 12

tahun ke atas : 1-3mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis terbagi. Indikasi : Grand

mal, epilepsi partial dan fokal. Fenobarbital meningkatkan efek dari GABA.

Waspada terhadap efek sedasi, gangguan memori dan depresi. Fenobarbital

dapat menyebabkan gangguan tulang jangka panjang. Fenobarbital mempunyai

efek adiktif ringan dan memerlukan pengurangan secara lambat. Pada

kehamilan, terdapat angka cacat lahir yang cukup signifikan. Dosis dewasa

sekitar 100mg per hari. Dapat dimulai dari 30mg 2 atau 3 sebelum tidur. 11

c. Oxazolidinediones : trimethadione, Karbamazepin

Karbamazepin mempunyai efek samping yang sedikit dan tidak banyak

mempengaruhi fungsi kognitif dan perilaku, sehingga menjadi obat pilihan

pertama. Dosis Penanganan kejang : Dosis untuk dewasa dan anak di atas 12

tahun adalah 200 mg 2 kali sehari atau 100 mg ), 4 kali sehari. Dosis dinaikkan

sampai 200 mg, 3-4 kali sehari. Dosis untuk anak 6-12 tahun adalah 100 mg, 2

Page 29: TBR

kali sehari atau 50 mg, 4 kali sehari. Dosis untuk anak di bawah 6 tahun adalah

10-20 mg/kg berat badan dalam 2-3 dosis terbagi.

Karbamazepin dalah OAE parsial yang digemari di negara berkembang.

Karbamazepin mempengaruhi kanal Na, dan menghambat pelepasan impuls

secara cepat dari sel otak. ESO yang paling potensial adalah gangguan

gastrointestinal, kenaikan berat badan, pandangan kabur, anemia, hiponatremi.

Karbamazepin menyebabkan reaksi alergi dengan persentasi rendah, namun

terkadang dapat menyebabkan reaksi alergi yang berbahaya seperti Stevens-

Johnson syndrome. Dosis pada dewasa 400mg, dapat dimulai dari 200mg dan

setiap minggu meningkat hingga 400mg 3 kali/hari. 11

Okskarbazepin sedikit berbeda dari karbamazepin, obat ini lebih efektif dan

mempunyai efek samping lebih sedikit, kecuali risiko tinggi terjadinya

hiponatremi. Dosis dewasa 600mg 2 kali per hari. Dosis dapat dimulai dari

150mg 2 kali per hari dan ditingkatkan 150mg per hari setiap minggu.

Pergantian yang cepat dari karbamazepin ke okskabarzepin dosis penuh dapat

dilakukan pada beberapa kasus. 11

d. Succinimides : ethosuximide

e. Acetylureas : phenacemide

f. Benzodiazepin : Diazepam, Nitrazepam, Klonazepam

Benzodiazepin bekerja dengan cara mengikat reseptor GABA yang

mempertahankan pembukaan kanal Cl sehingga akan meningkatkan kerja

GABA. Efek depresi SSP Benzodiazepin meliputi : ansiolitik, relaksan otot,

antiamnesia, antikonvulsan, dan sedatif. Hati-hati penggunaan pada diazepam

karena dapat menimbulkan depresi napas hingga henti napsa, hipotensi, henti

jantung dan kantuk.

Diazepam : dosis antikonvulsan : PO (dewasa) 2-10 mg 2-4 kali sehari atau 15-

30 mg bentuk lepas lambat sekali sehari. PO (anak-anak > 6 bulan) : 1-2,5 mg

3-4 kali sehari. IM, IV (Dewasa) : 2-10 mg, dapat diulang dalam 3-4 jam bila

perlu.

Klonazepam : Dosis : dewasa : 1,5 mg/hari dalam dosis terbagi. Anak : 0,01-

0,03 mg/kgBB/hari. Klonazepam adalah salah satu golongan obat

benzodiazepin, selain diazepam, lorazepam, klorazepate, alprazolam. Golongan

benzodiazepin digunakan untuk obat anti kejang, sedatif, dan relaksan otot.

Benzodiazepin meningkatkan keefektifan GABA yang merupakan

Page 30: TBR

neurotransmitter inhibitor utama di otak. Klonazepim bekerja lebih lama

dibanding diazepam ataupun lorazepam. Efek sampingnya adalah sedasi,

gangguan memori, perubahan mood, dan dapat ketagihan. Dosis orang dewasa

0,5-1,0mg 3 kali sehari. Dapat dimulai dari 0,5 saat malam dan jika tidak

mengantuk esok paginya, dapat dinaikkan 0,5mg 2 kali per hari. Jika dalam 1

minggu masih kejang, dapat ditingkatkan 0,5mg 3 kali per hari. 11

Lorazepam mirip dengan klonazepam dalam dosis dan cara kerja, namun tidak

bekerja lama. Biasanya digunakan untuk pasien yang sering mendapat serangan.

Bekerja secara cepat ketika diminum per oral dan efek anti kejangnya

berlangsung selama 2-6 jam. Dosis dewasa adalah 0,5-2,0 mg per oral atau

sesuai kebutuhan. Konsentrasi lorazepam 2mg/ml, dapat digunakan 1ml cairan

sublingual untuk situasi darurat. 11

g. Asam Valproat

Bekerja terhadap kanal Na (memblok kanal Na) dan peningkatan kadar GABA.

Dosis awal : 200 mg/hari terbagi dalam 3 dosis, setelah 3 hari dapat, dinaikkan

400 mg/hari dalam 3 dosis terbagi, maksimum: 2,5 g/hari, dalam dosis terbagi.

Dosis Pemeliharaan biasanya : 0,8-1,4 g/hari. Anak : sampai 20 kg (sekitar 4

th): dosis awal 20 mg/kg/hari, dalam dosis terbagi. Dapat bertahap dinaikkan

sampai 40 mg/kg/hari. Lebih dari 20 kg: dosis: awal 400 mg/hari biasanya 20-

30 mg/hari, maksimal 35 mg/kg/hari. Indikasi : bangkitan lena, tonik klonik,

epilepsi partial. Asam valproat adalah OAE standar dan tidak ada OAE yang

lebih efektif untuk tipe kejang umum. Asam valproat mempunyai efek pada

GABA dan neurotransmitter untuk menghambat kejang dan juga kemungkinan

pada kanal kalsium. Asam valproat mempunyai efek samping yang signifikan,

yaitu pertambahan berat badan, tremor, rambut rontok, gangguan

gastrointestinal, anemia, kerusakan hepar dan ginjal, ospteoporosis. Efek pada

ibu hamil cacat lahir mencapai 10%. Dosis dewasa 250-500 mg tiga kali per

hari. 11

h. Penghambat Karbonat Anhidrase : asetazolamid

i. Lainnya : vigabatrin, gabapentin, lamotrigin

Gabapentin mempunyai reputasi sebagai OAE yang aman, namun tidak terlalu

kuat. Ketidak efektifan dapat disebabkan peresepan yang terlalu rendah dosis.

Cara kerja obat dengan mempengaruhi transportasi GABA dan mempengaruhi

kanal kalsium. Tidak ada interaksi obat, tidak dimetabolisme di hati dan tidak

Page 31: TBR

berikatan dnegan protein darah. Efek sampingnya adalah menurunnya

konsentrasi, kenaikan berat badan, lemah, pusing. Dosis dewasa 300-00mg 3

kali/hari, dapat dinaikkan hingga 1200mg 3kali per hari. Dapat dimulai dari

dosis 300mg perhari, dan meningkat setelah 1 bulan atau 2 bulan dosis penuh. 11

Lamotrigin adalah obat spektrum luas alternatif untuk asam valproat, dengan

efek samping lebih baik. Lamotrigin tidak terlalu efektif untuk kejang

mioklonik. Lamotrigin bekerja dengan beberapa mekanisme termasuk

menghambat pelepasan glutamat. Efek samping yang biasa terjadi adalah pusing

dan lelah, biasanya terjadi gangguan kognitif sedang. Efek samping obat yang

parah jarang terjadi. Reaksi alergi terjadi pada 5-10% pada orang yang

mengonsumsi, terutama bila peningkatan dosis terlalu cepat. Dosis optimum

dapat dicapai dalam waktu 2 bulan, dengan dosis 200mg 2 kali sehari. Dosis

awal dapat dimulai dari 25mg 2 kali sehari setiap minggu dinaikkan hingga

100mg 2 kali per hari. Jika tidak terdapat reaksi alergi dapat ditingkatkan

menjadi 200mg 2 kali perhari untuk minggu selanjutnya. 11

Obat anti epilepsi bekerja dengan cara 11:

a. Meningkatkan inaktivasi kanal Na

Obat-obatan jenis ini bekerja dengan menginaktivasi kanal Na sehingga

menurunkan kemampuan sel saraf untuk menghantarkan muatan listrik.

Contoh : fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat.

b. Meningkatkan transmisi inhibitorik GABAergik

i. Agonis reseptor GABA

Cara kerja : Peningkatan transmisi inhibitorik dengan mengaktifkan kerja

reseptor GABA. Contoh : gol benzodiazepin, barbiturat

ii. Menghambat GABA transaminase

Cara kerja : Peningkatan konsentrasi GABA. Contoh : vigabatrin

iii. Menghambat GABA transporter

Cara kerja : adanya hambatan pada transporter GABA dapat

memperpanjang aksi GABA. Contoh : tiagabin.

iv. Meningkatkan konsentrasi GABA pada LCS

Cara kerja : Stimulasi pelepasan GABA dari non-vesikuler pool. Contoh :

gabapentin

Page 32: TBR

Pemilihan obat tergantung pada jenis epilepsi 13:

Kejang parsial

Kejang umum

Tonik klonik AbsencseMioklonik,

atonik

Drug of

choice

Karbamazepin

Fenitoin

Valproat

Valproat

Karbamazepin

Fenitoin

Etosuksimid

ValproatValproat

Alternatif

Lamotrigin

Gabapentin

Topiramat

Tiagabin

Primidon

Fenobarbital

Lamotrigin

Topiramat

Primidon

Fenobarbital

Klonazepam

Lamotrigin

Klonazepam

Lamotrigin

Topiramat

Felbamat

Pemakaian obat antiepilepsi pada wanita diperlukan pertimbangan lebih, karena

estrogen dan progesteron mempunyai peranan penting pada metabolismenya. Pada

obat anti epilepsi golongan enzym-inducer (contoh : topiramat) dapat menyebabkan

Page 33: TBR

kegagalan kontrasepsi oral pada wanita. Valproat, benzodiazepin dan obat-obatan

yang non-enzym inducer tidak mempunyai efek tersebut. 12

2. Terapi non farmakologis

a. Diet

Diet yang digunakan adalah diet ketogenik, yaitu diet tinggi lemak, rendah

karbohidrat dan protein. Diet ini meniru respon biokimia dari keadaan lapar

tubuh ketika badan keton menjadi bahan utama untuk kebutuhan energi otak.

Diet ini sudah dipergunakan untuk epilepsi refraktori pada anak, meskipun

mekanismenya masih belum diketahui. Diet awal digunakan dengan rasio lemak

: karbohidrat 3 atau 4 : 1. 12

b. Vagal nerve stimulation (NVS)

Stimulasi nervus vagus diindikasikan untuk terapi adjuvan dalam mengurangi

frekuensi kejang pada pasien yang refraktori terhadap obat antiepileptik tetapi

tidak dapat menjalani operasi. 12

c. Pembedahan

d. Hindari faktor pemicu

i

Page 34: TBR

DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSSI. 2012. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 4. FKUI: Jakarta.

2. Mustika A P. 2009. Prevalensi Epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP Fatmawati Jakarta

Pada Tahun 2004 – 2008. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

3. Husam. 2008. Perbedaan Usia dan Jenis Kelamin Pada Jenis Epilepsi di RSUP dr.

Kariadi. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.

4. Shorvon S D. 2011.The etiologic classification of epilepsy. UCL Institute of Neurology,

University College London, Queen Square, London, United Kingdom. Epilepsia,

52(6):1052–1057

5. Sunao K et al,. 2002. Genetics of Epilepsy: Current Status and Perspectives.

Neuroscience Research 44 (2002) 11_/30. Elsevier Science Ireland Ltd and the Japan

Neuroscience Society.

6. American Epilepsy Society. 2004. Basic Mechanisms Underlying Seizures and Epilepsy.

Washington DC: AES.

7. Engelborghs S., R. D’hooge, P. P. De Deyn. 2000. Pathophysiology of epilepsy.

Department of Neurology, A.Z. Middelheim, Antwerp, and Department of Neurology,

Laboratory of Neurochemistry and Behavior, Born-Bunge Foundation, University of

Antwerp, Antwerp, Belgium. Acta neurol. Belg, 100:201-213

8. Roth, Julie. 2013. Status Epilepticus. Medscape Reference. Diakses pada tanggal 21

November 2013. dari http://emedicine.medscape.com/article/1164462-

overview#aw2aab6b2b2aa

9. Markam S. 2012. Penuntun Neurologi. Jakarta: Binarupa Aksara

10. Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi edisi kedelapan. Blackwell Publishing

Ltd. Page 80-83.

11. Fisher, Robert. 2010. Overview of Epilepsy. Stanford Neurology Comprehensive

Epilepsy Center : Stanford.

12. National Institue for Healh and Clinical Excellence. 2012. The Epilepsies : The diagnosis

and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care.

London, 130-586

13. Utama, Hendra & Vincent H.S. Gan. 2007. Antiepilepsi dan antikonvulsi dalam :

Farmakologi dan Terapi edisi 5. FKUI : Jakarta

Page 35: TBR