Upload
annisafildzahashfi
View
18
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tbr
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanoa provokasi. Yang dimaksud
dengan bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik yang disebabkan
oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron.
Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku
yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sendorik,
otonom, ataupun psikis. Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik
yang unik untuk suatu epilepsi, hal ini mencakup lebih dari sekedar tipe bangkitan tetapi
juga mencakup etiologi, anatomi, faktor presipitasi, usia awitan, berat dan kronisitas.1
B. Epidemiologi
1. Frekuensi
Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara
berkembang mencapai 100/100,000. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus
baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20%
lainnya ditemukan pada usia lanjut. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih
tinggi di negara-negara berkembang. Dalam bukunya Epilepsi, Prof. Dr. dr. S.M.
Lumbantobing, seorang pakar saraf negeri ini menyebutkan, prevalensi epilepsi di
seluruh dunia mencapai 5-20 orang per 1000 penduduk. Sayangnya belum ada
penelitian tentang berapa tepatnya prevalensi epilepsi di Indonesia. Namun
diperkirakan berkisar antara 0,5-1,2%. 2
2. Jenis Kelamin
Ditinjau dari jenis kelamin, pria sedikit lebih beresiko terkena
epilepsi dibandingkan wanita. Disamping itu tampak pula perbedaan
distribusi jenis kelamin pada beberapa jenis epilepsi yang berbeda.
Hasil penelitian Jacob Kristensen dkk memperlihatkan bahwa
epilepsi fokal simptomatik banyak diderita oleh pria. Sedangkan
epilepsi fokal kriptogenik dan epilepsi umum terutama idiopatik
banyak diderita oleh wanita. 3
3. Umur
Distribusi penyakit epilepsi berbeda pada usia-usia tertentu. Hal ini
terbukti dari berbagai penelitian. Penelitian EF Sperber dkk
menunjukan adanya perubahan maturitas fungsi substansia nigra
tikus dalam penghambatan kejang yang muncul pada
usia tertentu. Selain itu terdapat penelitian Fogarasi A dkk pada 155
pasien yang juga menunjukan adanya peran maturitas otak
terhadap pembentukan kejang lobus temporal. Kedua penelitian ini
menunjukan bahwa ada kerentanan usia tertentu terhadap kejang.
Kajian Rizaldi Pinzon terhadap penelitian terdahulu menunjukan
insidensi epilepsi pada anak-anak adalah tinggi dan memang
merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia
tersebut. Bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi
epilepsi pada anak-anak cenderung meningkat. Secara statistik jenis
epilepsi yang terjadi pada masa anak-anak bervariasi namun jenis
epilepsi yang secara umum lebih sering terjadi adalah epilepsi
umum. Pada usia dewasa kejadian epilepsi menurun. Epilepsi pada
kelompok usia ini biasanya dikarenakan cedera otak akut (kejang
akut simptomatik). Tipe kejang yang sering terjadi pada awal masa
usia dewasa adalah kejang umum idiopatik, terutama myoklonik dan
tonik-klonik. Setelah itu kejang parsial lebih banyak ditemukan.
Kajian retrospektif Tishio Hiyoshi dan Kazuichi Yagi pada 190 pasien
kelompok usia orang tua menunjukan bahwa resiko terkena dan
mengalami kembali epilepsi pada kelompok usia ini tinggi. Resiko
tersebut meningkat seiring bertambahnya usia. Dari penelitian
mereka didapatkan hasil 76 persen pasien terdiagnosa epilepsi
parsial. 3
C. Etiologi
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :
1. Epilepsi idiopatik :
Didefinisikan sebagai epilepsi yang didominasi genetik atau dugaan berasal dari
genetik dan yang tidak ada kelainan neuroanatomi atau neuropatologis. Termasuk di
sini adalah epilepsi yang diduga multigenik atau keturunan yang kompleks, tapi untuk
saat ini dasar genetik belum dijelaskan. 4
Berikut ini adalah gen yang terkait dengan epilepsi umum 5
c6orf33: chromosome 6 open reading frame 33.
LMPB1: lyrosomal membrane protein in brain-1.
a: gen yang baru ditemukan bermutasi pada pasien dengan epilepsi mioklonik remaja,
dan akan dilaporkan segera.
Berikut ini adalah gen yang terkaita dengan sindrom spesifik 5
Berikut ini adalah gen yang terkait dengan kejang demam dan SMEI (Severe
Myoclonic Epilepsy of Infancy) 5
2. Epilepsi terprovokasi:
Didefinisikan sebagai epilepsi yang penyebab predominan kejangnya adalah faktor
sistemik spesifik atau lingkungan dan di mana tidak terdapat penyebab neuroanatomi
atau perubahan neuropatologis. Beberapa '' epilepsi terprovokasi '' memiliki dasar
genetik dan lainnya memiliki dasar dapatan. Epilepsi refleks termasuk dalam kategori
ini ( yang biasanya genetik ) juga epilepsi dengan presipitan kejang yang ditandai.4
3. Epilepsi simptomatik:
Didefinisikan sebagai epilepsi yang didapat atau genetik, terkait dengan kelainan
anatomi berat atau patologis, dan / atau gambaran klinis, indikasi dari penyakit yang
mendasari. Termasuk dalam kategori ini adalah gangguan perkembangan dan
kongenital di mana hal ini berhubungan dengan perubahan patologis otak, apakah
genetik atau diperoleh ( atau memang kriptogenik). Juga termasuk adalah tunggal gen
dan kelainan genetik lainnya yang epilepsi adalah hanya satu fitur fenotipe yang lebih
luas dengan otak lainnya atau efek sistemik . 4
4. Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi
mioklonik. 4
D. Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy (ILAE) terdiri
dari dua jenis, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk
sindrom epilepsi.1
1. Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi 1,9
a. Bangkitan parsial/fokal
i. Bangkitan parsial sederhana
a) Dengan gejala motorik saja
1) Terbatas pada satu bagian tubuh
2) Dimulai dari satu bagian tubuh kemudian menjalar ke daerah lain
3) Disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
4) Disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
5) Disertai arus bicara yang terhenti atau penderita mengeluarkan bunyi
tertentu, kejang dengan fonasi, fonatorik
b) Dengan gejala somato sensorik
Kejang ini disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima panca
indera dan bangkitan yang disertai vertigo
1) Kulit : timbul rasa kesemutan atau ditusuk jarum
2) Visual : terlihat cahaya
3) Auditoris : terdengar sesuatu
4) Olfaktorius : terhidu sesuatu
5) Gustatorius : terkecap sesuatu
6) Disertasi vertigo
c) Dengan gejala otonom
Dapat terlihat muka menjadi pucat, berkeringat, muntah muka menjadi
merah, kencing dan buang air.
d) Dengan gejala psikis dan gangguan fungsi luhur
1) Disertai gangguan di bidang bicara, disfasi, misalnya mengulang-
ulang suatu suku kata, kata atau bagian kalimat
2) Dismnesia, yaitu gangguan di bidang proses ingatan, merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu.
3) Gangguan kognitif orientasi waktu, merasa diri berubah
4) Gejala afektif, merasa sangat senang, susah, marah, takut
5) Ilusi, perubahan presepsi, benda yang dilihat tampak lebih besar,
kecil, distorsi pencernaan
6) Halusinasi kompleks, misalnya mendengar ada yang bicara, musik,
melihat fenomena tertentu. Jenis bangkitan ini jarang dijumpai,
karena biasanya disertai gangguan kesadaran, hingga masuk kejang
parsial kompleks
ii. Bangkitan parsial kompleks
a) Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
Terdiri dari dua jenis :
1) Gejala seperti pada golongan kejang parsial 1,2,3,4 diikuti dengan
penurunan kesadaran
2) Disertai automatisme, yaitu gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah, menelan-nelan
b) Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran sejak awal
bangkitan
Terdiri dari dua jenis :
1) Hanya dengan kesadaran menurun
2) Disertai automatisme
iii. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
a) Parsial sederhana yang menjadi umum
b) Parsial kompleks menjadi umum
c) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
b. Bangkitan umum: adalah kejang yang terjadi secara serentak bilateral, dan
kelainan pada EEG pun bilateral, kejang umum terbagi menjadi enam golongan :
i. Lena (absence): Terutama dijumpai pada anak. Ditandai dengan tiba-tiba
yang sedang dikerjakan berhenti, tampak bengong, bola mata berputar ke
atas, tidak ada reaksi jika diajak bicara. Biasanya berlangsung ¼-1/2 menit.
Golongan ini terdiri atas dua kelompok :
a) Tipikal lena
Terdiri atas tujuh jenis :
(1) Dengan penurunan kesadaran
(2) Disertai gerakan klonis ringan
(3) Dengan komponen atonik, otot leher, lengan, tangan tubuh
mendadak melemas sehingga tampak lunglai
(4) Disertai komponen tonik, otot ekstremitsa, leher atau punggung
mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke
belakang
(5) Disertai automatisme, gerakan atau perilaku yang terjadi dengan
sendirinya
(6) Dengan komponen fungsi saraf otonom
(7) b-f dapat timbul dengan kombinasi
b) Atipikal lena
Ada dua jenis :
(1) Perubahan dalam tonus otot lebih jelas
(2) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak
ii. Mioklonik
Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau
lemah sebagian otot atau semua otot-otot, sekali atau berulang-ulang. Sering
terjadi waktu akan tidur atau waktu bangun tidur, atau waktu akan melakukan
suatu gerakan. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
iii. Klonik
Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot.
Dijumpai terutama sekali pada anak
iv. Tonik
Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku,
juga terdapat pada anak
v. Tonik-klonik
Kejang inilah yang paling sering dijumpai pada usia di atas balita terkenal
dengan nama epilepsi grandmal. Serangan dapat didahului oleh aura, yaitu
tanda-tanda yang mendahului suatu kejang.
Mendadak penderita jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan menjadi kaku.
Kejang kaku otot-otot pernapasan menyebabkan penderita tidak bernapas
sehingga menjadi sianotik. Kejang tonik ini berlangsung kurang lebih ¼ - ½
menit diikuti kejang kelojot di seluruh badan. Bangkitan ini biasanya dapat
berhenti sendiri. Bila produksi saliva ketika kejang meningkat, mulut
menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula penderita kencing
ketika mendapatkan serangan. Setelah kejang berhenti biasanya penderita
tertidur beberapa lama, atau bangun dengan kesadaran yang masih rendah
ataupun langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah dan
nyeri kepala.
vi. Atonik/astatik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
penderita terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Kejang
ini terutama sering terjadi pada anak-anak.
c. Bangkitan tak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan sepeti berenang, mengigil atau
pernapasan yang mendadak berhenti sementara.
2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi 1
a. Fokal/ partial (localized related)
i. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
a) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentro-temporal
(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
b) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
c) Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
ii. Simtomatik
a) Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak-anak
(Kojenikow’s Syndrome)
b) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
c) Epilepsi lobus temporal
d) Epilepsi lobus frontal
e) Epilepsi lobus parietal
f) Epilepsi lobus oksipital
iii. Kriptogenik
b. Epilepsi umum
i. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
a) Kejang neonatus familial benigna
b) Kejang neonatus benigna
c) Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
d) Epilepsi lena pada anak
e) Epilepsi lena pada remaja
f) Epilepsi mioklonik pada remaja
g) Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
h) Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
i) Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
ii. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
a) Sindrom West (spasme infantil dan spasme salam)
b) Sindrom Lennox-Gastaut
c) Epilepsi mioklonik astatik
d) Epilepsi mioklonik lena
iii. Simtomatik
a) Etiologi non spesifik
1) Ensefalopati mioklonik dini
2) Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supresi
3) Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
b) Sindrom spesifik
c) Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
c. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
i. Bangkitan umum dan fokal
a) Bangkitan neonatal
b) Epilepsi mioklonik berat pada bayi
c) Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
d) Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
e) Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
ii. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
d. Sindrom khusus
Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
i. Kejang demam
ii. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
iii. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik akut, atau
toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
iv. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
E. Patofisiologi
1. Perubahan pada keseimbangan normal inhibisi dan eksitasi
Hipersinkronus yang terjadi selama kejang dapat dimulai dari daerah yang sangat
diskrit pada korteks dan kemudian menyebar ke daerah di sekitarnya. Inisiasi kejang
ditandai dengan dua peristiwa bersamaan:
a. Ledakan potensial aksi frekuensi tinggi, dan
b. Hipersinkronisasi dari populasi saraf.
Impuls disinkronisasi dari sejumlah neuron yang cukup menghasilkan lonjakan pada
EEG. Pada tingkat neuron tunggal, aktivitas epileptiform terdiri dari depolarisasi
saraf berkelanjutan menghasilkan ledakan potensial aksi, depolarisasi seperti dataran
tinggi dihubungkan dengan ledakan potensial aksi yang telah komplit, dan kemudian
repolarisasi cepat diikuti oleh hiperpolarisasi. Urutan ini disebut pergeseran
depolarisasi paroksismal. Ledakan akibat depolarisasi yang relatif berkepanjangan
pada membran saraf disebabkan masuknya Ca++ ekstraseluler, yang menyebabkan
membukanya saluran Na+, influk Na+, dan generasi potensial aksi yang berulang.
Selanjutnya hiperpolarisasi setelah potensial dimediasi oleh reseptor GABA dan
influks Cl-, atau dengan efluk K+, tergantung pada jenis sel.
Propagasi kejang, proses dimana kejang parsial menyebar dalam otak, terjadi ketika
ada aktivasi yang cukup untuk merekrut neuron sekitarnya. Hal ini menyebabkan
hilangnya penghambatan dan penyebaran aktivitas kejang ke daerah yang berbatasan
melalui koneksi kortikal lokal, dan untuk daerah yang lebih jauh melalui hubungan
jalur panjang seperti corpus callosum.
Penyebaran ini biasanya dicegah dengan hiperpolarisasi komplit dan inhibisi daerah
sekitarnya yang diciptakan oleh neuron inhibisi. Dengan aktivasi cukup ada
perekrutan
sekitar neuron melalui sejumlah mekanisme . Pembuangan berulang menyebabkan :
a. Peningkatan K+ ekstraseluler, yang menumpulkan tingkat arus hiperpolarisasi
K+, menimbulkan depolarisasi neuron di sekitarnya.
b. Akumulasi Ca++ di terminal presinaptik, menyebabkan peningkatan pelepasan
neurotransmiter, dan
c. Aktivasi yang diinduksi depolarisasi dari subtipe NMDA reseptor asam amino
eksitatori, yang menyebabkan lebih banyak influks Ca++ dan aktivasi neuron.
Namun kurang dipahami dengan baik bagaimana kejang biasanya berakhir ,
biasanya setelah beberapa detik atau menit, dan apa yang mendasari kegagalan
penghentian kejang spontan ini dalam kondisi yang mengancam jiwa dikenal
sebagai status epileptikus. 6
2. Teori terkini tentang bagaimana inhibisi dan eksitasi dapat diubah di tingkat
jaringan.
Pemahaman kami terhadap abnormalitas susunan saraf pusat yang menyebabkan
pasien mengalami kejang berulang sampai saat ini masih terbatas. Hal ini penting
untuk dipahami bahwa kejang dan epilepsy dapat disebabkan oleh proses patologik
yang berbeda yang mengacaukan keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi.
Epilepsy dapat dihasilkan oleh proses gangguan hemostasis ion ekstraseluler,
perubahan metabolism, perubahan fungsi reseptor, atau gangguan pada
neurotransmitter. Walaupun banyak perbedaan pada etiologi, hipersinkronisasi pada
neuron kortikal mungkin akan menunjukkan fenotip yang hamper sama. Fenotip
pada kejang mungkin dapat diketahui dari lokasi dan fungsi dari jaringan neuron
yang mengalami hipersinkronisasi daripada dari pemahaman patofisiologinya. 6
Sistem limbik saat ini mulai diteliti secara intensif pada penelitian eksperimen
epilepsy. Penelitian ini mengarah kepada 2 teori baru bahwa jaringan seluler berubah
menjadi hipereksitabilitas. Teori yang pertama adalah adanya penurunan interneuron
yang selektif pada inhibisi di sel granula dentate. Teori lain berpendapat bahwa
diduga ada reorganisasi sinaps yang mengikuti cedera dan selanjutnya akan
menciptakan koneksi eksitatorik yang rekuren. Sampai saat ini, hal ini lebih
dipercaya daripada pengaruh neuron inhibitorik GABA yang secara normal
menstimulasi inhibisi interneuron dan menghambat sel granula dentata. Mekanisme
hipereksitabilitas pada jaringan neuron tidak hanya terjadi karena hal tersebut saja,
namun juga dapat bersinergi dan dapat pula bersamaan dengan epileptic otak. 6
Kejang mungkin dapat muncul dari korteks area yang luas dan secara simultan.
Mekanisme pemahaman kejang umum masih belum dipahami sepenuhnya. Satu tipe
kejang umum yaitu petit mal adalah kejang umum yang secara klinis ditandai
dengan adanya kompleks gelombang tajam pada EEG. Adanya gelombang tajam
pada petit mal mungkin hasil dari penyimpangan ritme osilatory yang normalnya
diproduksi saat tidur. Osilasi ini termasuk interaksi antara GABA, reseptor kanal
Cad an kanal K yang berlokasi di thalamus. Modulasi farmakologi pada reseptor ini
dank anal dapat menginduksi terjadinya petit mal, dan oleh karena itu spekulasi
genetik yang menyebabkan petit mal mungkin berhubungan dengan mutasi pada
komponen ini. 6
3. Epileptogenesis: perubahan dari jaringan normal menjadi jaringan hipereksitabilitas.
Pengamatan secara klinis menduga bahwa epilepsi disebabkan oleh kejadian
tertentu. Sebagai contohnya adalah sekitar 50% pasien yang menderita cedera kepala
berat akan berkembang kearah gangguan kejang. Bagaimanapun juga, jumlah yang
signifikan tersebut tidak akan muncul secara klinis yang jelas pada beberapa bulan
atau tahun kemudian. Pada periode setelah cedera ini, beberapa kasus mengalami
proses epileptogenic yang termasuk di dalamnya adalah peubahan bertingkat dari
jaringan neuron selama beberapa waktu. Perubahan terus terjadi pada periode ini
sehingga dapat menyebabkan nekrosis dari interneuron inhibitasi atau pada axon
kolateral yang menggema atau pada jaringan yang akan memperkuat diri sendiri. Di
kemudian hari, pasien yang berisiko mengalami epilepsy karena lesi dapatan akan
memberikan keuntungan pada terapi dengan antiepileptogenik yang dapat
menghambat perubahan jaringan saraf. 6
Model eksperimen penting tentang epileptogenic dilakukan oleh goddard et al. pada
tahun 1960. Saat ini, stimulasi subkonvulsif secara elektrik maupun kimiawi pada
beberapa region otak seperti hipokampus atau amigdala akan menyebabkan induksi
stimulasi yang secara klinis menyebabkan kejang dan bahkan pada kasus tertentu
menyebabkan kejang spontan. Perubahan eksitabilitas ini permanen dan diduga
berhubungan dengan reaksi biokimia atau perubahan struktur dari susunan saraf
pusat. Berbagai perubahan diukur dengan beberapa macam cara, antara lain adalah
perubahan pada kanal glutamat, hilangnya neuron yang selektif dan reorganisasi
axinal. Bagaimanapun juga, mekanisme yang tepat dan dapat diaplikasikan pada
manusia sampai saat ini masih belum jelas. 6
4. Patofisiologi epilepsi umum
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absens. Absens adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai
usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong”
dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke
normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai
absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan
berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans
diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri.
Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya
mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana
secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi
genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion. 7
5. Patofisiologi status epileptikus
Pada tingkat neurokimia, kejang didasarkan akibat eksitasi yang berlebihan dan
inhibisi yang berkurang. Glutamat adalah neurotransmitter eksitatori yang paling
umum. Gamma-aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmitter inhibisi.
Kegagalan keseimbangan dari sistem ini dianggap sebagai mekanisme utama yang
mengarah ke status epileptikus. 8
Sebagian besar kejang dapat berakhir secara spontan. Proses yang terlibat dalam
penghentian kejang dan bagaimana proses ini gagal dalam SE masih dalam
penyelidikan. 8
Pada SE, terdapat perubahan fisiologis yang signifikan. Banyak dari respon sistemik
(misalnya takikardi, aritmia jantung, hiperglikemi) diperkirakan akibat dari lonjakan
katekolamin yang terjadi akibat kejang. Tahap awal dari SE, elevasi yang menonjol
pada tekanan arteri sistemik dapat terlihat. Rata-rata tekanan sistolik meningkat
85mmHg dan diastolik meningkat 42mmHg. Jika SE tetap berlanjut, tekanan darah
dapat turun hingga di bawah batas biasanya. 8
Suhu tubuh dapat meningkat pada pasien akibat dari aktivitas otot yang kuat dan
aktivitas pusat simpatik yang disebabkan oleh kejang SE. Asidosis biasanya dapat
terjadi dan tidak perlu diperlakukan secara khusus karena tidak berkorelasi dengan
tingkat cedera saraf, dan asidosis memiliki efek antikonvulsan. Asidosis ini sembuh
setelah kejang berhenti. Kebutuhan metabolik otak meningkat pesat dengan
terjadinya SE. 8
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa kejang dengan durasi lebih dari 30
menit akan mengakibatkan perubahan patologis, setelah 60 menit sel neuron mulai
mati. Hipokampus adalah struktur yang rentan terhadap kerusakan karena adanya
mekanisme ini. Penelitian klinis pada manusia, durasi terjadinya SE berhubungan
langsung dengan angka morbiditas dan mortalitas. Semakin lama SE berlangsung,
semakin besar kemungkinan neuron akan cedera akibat proses eksitasi
neurotransmiter. Aktivitas kejang yang terus-menerus juga semakin mengurangi
inhibisi yang dilakukan oleh GABA. Pada tingkat reseptor, mekanisme GABAergik
gagal dan kejang menjadi farmakoresisten. 8
Kematian neuron kemungkinan disebabkan dari ketidakmampuan menampung
peningkatan kalsium intraseluler yang diakibatkan pajanan yang lama terhadap
neurotransmitter eksitatorik 8
F. Gejala Klinis
1. Sawan parsial simplek 9
Sawan parsial atau fokal berasal dari fokus epilepsi di daerah
korteks serebri yang menyebabkan timbulnya fenomena motorik,
sensorik, autonom atau psikis. Kejang fokal motorik lebih sering
dijumpai pada anak laki-laki dan dapat terjadi pada semua umur.
Karena tangan dan mulut meliputi daerah yang relatif lebih luas,
maka sebagian besar kejang fokal dimulai di daerah ini.
Penyebaran rangsangan ke daerah korteks sekitarnya
menyebabkan meluasnya kejang ke bagian badan lain (bangkitan
Jackson), dapat pula menjalar ke sisi lain. Penyebaran ke daerah
subkortikal menyebabkan timbulnya kejang umum. Setelah kejang
fokal sering timbul kelumpuhan bagian tubuh tersebut yang
bersifat sementara (paralisis Todd). Sering kejang fokal ini dapat
dihentikan penderita dengan mencubit anggota gerak proksimal
dari bagian yang sedang kejang. Kadang-kadang timbul status
epilepsi fokal yang disebut epilepsi parsial kontinu yang dapat
berlangsung berjam-jam atau berhari-hari dengan periode istirahat
yang singkat. Keadaan ini dapat terjadi pada tumor atau
ensefalitis.
Pada bangkitan versif fokus terdapat di daerah frontal area 8.
Manifestasi bangkitannya berupa melihatnya kepala dan mata ke
sisi bertentangan dengan letak fokus. Bila lesi itu destruktif maka
kepala dan mata melihat ke sisi yang sakit. Putaran kepala dapat
disertai putaran badan.
Epilepsi fokal benigna pada anak mempunyai fokus di daerah
sentrotemporal pada satu atau kedua belah sisi dan dijumpai pada
usia 5-10 tahun. Manifestasi klinisnya berupa kejang fokal di
daerah muka, mulut, yang sering meluas menjadi kejang umum
atau langsung berupa kejang umum. Biasanya serangan terjadi
waktu tidur. Prognosisnya baik, sawan menghilang pada usia
remaja.
Sawan parsial dengan gejala somatosensoris dan sensoris khusus,
demikian pula dengan gejala psikis, jarang diungkapkan pada anak
di bawah usia 8 tahun.
Sawan parsial dengan gejala gangguan fungsi saraf autonom tanpa
penurunan kesadaran dapat terjadi pada anak antara usia 4-12
tahun, insiden terbanyak pada usia 9 tahun. Sawan ini juga disebut
epilepsi autonom, epilepsi viseral diensefalik, epliepsi abdominal.
Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, mulas, nausea, muntah,
menjadi pucat, atau muka menjadi merah. Pada anak-anak ini
sering didapatkan gangguan perilaku, kesukaran belajar, gangguan
emosional. Pola EEGnya sering menyerupai EEG penderita migren
atau bangkitan psikomotor.
2. Sawan parsial (psikomotor) kompleks 9
Pada golongan bangkitan ini kesadaran dapat menurun sejak
permulaan atau kemudian. Termasuk golongan ini ialah epilepsi
dengan fokus yang terletak di dalam lobus temporalis atau
struktur-struktur yang berhubungan erat dengannya, daerah orbita
lobus frontal dan insula. Di dalam lobus temporalis terdapat
pertemuan antara bagian otak yang tertua secara filogenetis,
rinensefalon dan alokorteks limbik dengan bagian yang paling
muda, neokorteks lobus temporalis. Rinensefalon berhubungan
erat dengan diensefalon yang menjadi pusat susunan saraf
autonom. Lobus temporalis terutama berfungsi mengurus memori.
Bagian lobus temporalis yang merupakan bagian sistem limbik
merupakan substrat anatomis emosi. Demikianlah epilepsi yang
berfokus dalam lobus temporalis menunjukkan gejala-gejala yang
mempunyai komponen motorik, sensoris, autonom, afektis dan
gangguan memori.
Suatu bangkitan yang khas dapat dibagi dalam empat bagian. Aura
yang memulai suatu bangkitan terdiri atas berbagai bentuk
fenomena subjektif dan sering berupa kegelisahan yang disertai
sensasi viseral. Halusinasi olfaktorius berupa terhidu bau tidak
enak (bangkitan unkus) sering dijumpai pada tumor lobus
temporalis. Aura dapat pula berupa perasaan seperti sudah
mengenal sekitarnya yang disebut dalam bahasa Perancis “de
javu”. Setelah aura, penderita terdiam, tampak melamun dan
menjadi pucat. Bagian ketiga ialah timbul gerakan minor motorik
berupa mengunyah-ngunyah, mengecap-ngecap, meggerak-
gerakkan tangan tanpa tujuan dan sebagainya yang disebut
automatisme. Dapat pula ia melakukan gerakan yang lebih
kompleks misalnya membuka baju, mengucapkan kata-kata yang
tidak berarti, meneruskan pekerjaan yang sedang dilakukannya
tanpa menyadarinya. Automatisme ini biasanya berlangsung tidak
lebih lama dari beberapa detik hingga 10 menit. Setelah sawan
berakhir biasanya kesadaran masih rendah dan tampak
mengantuk. Setelah sadar penderita biasanya tidak ingat apa yang
ia lakukan selama bangkitan tersebut.
Kadang-kadang epilepsi lobus temporalis berbentuk penurunan
kesadaran saja yang menyerupai serangan petit mal.
Gejala-gejala lain yang dapat dijumpai pada bangkitan lobus
temporalis ialah perubahan sikap ekstrimitas atau tubuh, bengong,
merasa sesuatu di ulu hati yang bergerak ke atas mengelai,
berjalan, mengembara, mengusap-usap, meraba-raba, bicara yang
tidak bermakna atau inkoheren, ketakutan, marah. Badan,
ekstrimitas menjadi kaku, jatuh, emunjukkan perilaku agresif,
kesadaran merendah seperti bermimpi, pikiran tidak dapat
berhenti atau sebaliknya pikiran terhambat, mencari-cari, mulas,
mengompol, mengalami gangguan persepsi.
Sawan parsial dengan gejala kompleks maupun sederhana dapat
berkembang menjadi sawan umum
3. Sindroma epilepsi
Dewasa
a. Epilepsi generalisata primer
Tipe kejang paling sering adalah tonik-klonik. Sebelum serangan, pasien
merasakan gejala pusing atau mudah teriritasi. Kejang dimulai dengan tangisan
epileptik. Pasien kehilangan kesadaran dan jatuh. Pada fase awal, yaitu fase
tonik terjadi spasme otot generalisata yang berlangsung beberapa detik. Fase
selanjutnya adalah fase klonik, yaitu terjadi sentakan otot tajam yang berulang.
Dapat terjadi lidah tergigit, inkontinensia urin dan salivasi. Ketika sentakan otot
berhenti, pasien tetap tidak sadar hingga sekitar 30 menit dan kemudian merasa
bingung dan mengantuk untuk beberapa jam. Saat perbaikan biasanya timbul
nyeri kepala dan kekakuan atau cedera akibat jatuh. Epilepsi jenis ini biasanya
dapat terkontrol dengan satu obat. 10
b. Epilepsi parsial
1.) Epilepsi lobus temporal
Pada kejang ini, aura dapat terdiri dari gejala psikis (rasa takut, deja vu),
halusinasi (olfaktorius, gustatorius atau bayangan visual) atau hanya sensasi
tidak enak di epigastrium. Pasien menjadi gelisah dan bingung serta
menunjukkan gerakan yang teratur dan stereotipik (automatisme). Gerakan
ini, yaitu gerakan mengunyah dan mengecapkan bibir, tetapi juga dapat
berupa gerakan yang lebih kompleks, kadang agresif dan kasar. 10
2.) Epilepsi Jacksonian
Serangan motorik fokal dimulai pada sudut mulut, ibu jari dan jari telunjuk
tangan, atau ibu jari kaki. Gerakan menyebar secara cepat ke arah wajah
atau ke arah anggota gerak (Jacksonian march). Epilepsi Jacksonian
umumnya diakibatkan oleh penyakit otak organik, seperti tumor pada
korteks motorik. Setelah serangan, anggota gerak akan mengalami
kelemahan sementara. Epilepsi parsialis kontinua merupakan bentuk yang
jarang dari epilepsi Jacksonian di mana serangan menjadi persisten selama
beberapa hari, minggu, bahkan bulanan. 10
Masa kanak-kanak dan Remaja
a. Kejang demam
Kejang yang berhubungan dengan demam 10:
1.) Terjadi pada 3% anak normal berusia 3 bulan-5 tahun.
2.) Umumnya singkat (kurang dari 15 menit) dan generalisata, walaupun
beberapa kasus menunjukkan serangan fokal dan lama, kadang dengan
tanda neurologis sisa.
3.) Terjadi sebagai serangan tersendiri tanpa rekuren pada 70% kasus
4.) Risiko terjadinya epilepsi pada 2-5% kasus
5.) Umumnya tidak memerlukan terapi profilaksis dengan obat anti konvulsan
b. Spasme infantil (Sindrom West)
Trias sindrom ini adalah 10:
1.) Spasme singkat yang dimulai pada usia beberapa bulan, yang khas adalah
fleksi lengan, kepala dan leher yang mendadak dan lutut yang terangkat
naik (serangan salaam)
2.) Kesulitan belajar progresif
3.) Kelainan elektroensefalografi yang khas (hipsaritmia)
Kondisi ini masih idiopatik pada sebagian kecil pasien, tetapi biasanya dapat
diidentifikasi penyebabnya, misalnya sfiksia perinatal, ensefalitis, gangguan
metabolik dan malformasi serebri. Kebanyakan obat antikonvulsan
konvensional tidak efektif. Terapi pilihannya seringkali kortikosteroid. 10
c. Epilepsi absens ('petit mal')
Kondisi ini dimulai pada masa anak-anak, masa puncak usia 4-8 tahun, dan
terjadi lebih sering pada anak perempuan. Serangan terjadi tanpa peringatan.
Anak secara tiba-tiba menunjukkan pandangan kosong dan berhenti bicara.
Mata dapat bergetar atau berputar ke atas. Perbaikan terjadi dalam hitungan
detik dan dapat terjadi beberapa kali serangan dalam satu hari. Absans
dihubungkan dengan kelainan EEG : 3-Hz generalisata, kompleks spike-wave
simetris. Epilepsi jenis ini diterapi menggunakan natrium valproat, etosuksimid
atau kombinasi keduanya. Epilepsi absans pada anak dapat berkembang menjadi
tipe kejang lain saat dewasa sekitar 10%. 10
Termasuk golongan ini ialah epilepsi yang disebut petit mal.
Petit mal jarang ditemukan pada anak usia kurang dari 5 tahun
atau setelah 12 tahun dan lebih banyak dijumpai pada anak
perempuan. Penderita tiba-tiba tidak sadar, kegiatannya
terhenti dan kadang-kadang menjatuhkan benda yang sedang
dipegangnya, tetapi ia sendiri tidak jatuh. Mungkin mata
berkedip-kedip atau birbi mengecap-ngecap selama 5-20 detik. 9
Sawal lena dapat pula disertai komponen-komponen klonik,
tonik, atonik, autonom, automatisme ringan. Dari gambaran
klinis saja sawan lena, terutama yang tidak khas, dapat sulit
dibedakan dari suatu bangkitan epilepsi psikomotor atau lobus
temporal. Dalam halini yang dapat menentukan ialah rekaman
EEG sebaiknya direkam pada waktu sadar dan tidur karena
pada beberapa anak serangan hanya terlihat pada waktu tidur.
Lepas muatan yang berasal dari bagian sentresefal (formasi
retikular, talamus, ganglion basal) menyebar ke korteks yang
menyebabkan terganggunya kesadaran. Cepat pulihnya
kesadaran menyatakan bahwa lepas muatan itu pendek dan
terbatas. Serangan yang pendek ini sering tidak disadari
penderita maupun orang di sekitarnya. 9
Pada umumnya penderita petit mal tidak terdapat gangguan
dalam pelajaran atau penyesuaian sosial, kecuali bila frekuensi
serangan tinggi sekali. Serangan petit mal dapat timbul
berturut-turut tanpa ada masa pulih diantaranya. Keadaan ini
disebut status petit mal. Pada keadaan ini kesadaran agak
menurun, tidak hilang seluruhnya. Penderita tampak melamun,
bereaksi lambat dan sering salah sehingga disangka menderita
gangguan jiwa. 9
d. Epilepsi mioklonik juvenilis (sindrom Janz)
Sindrom ini dikenali sebagai bentuk umum epilepsi generalisata primer, dan
onset biasanya terjadi pada usia remaja. Trias pada sindroma ini adalah 10:
1.) Kejang generalisata yang jarang, sering terjadi pada saat bangun
2.) Absans di siang hari
3.) Gerakan menyentak involunter mendadak dan cepat (mioklonus), biasanya
terjadi pada pagi hari sehingga pasien dapat menumpahkan sarapannya atau
melempar piring sarapannya tanpa dijelaskan penyebabnya ('epilepsi
Kellogg').
Pada gambaran EEG ditemukan cetusan polyspike-wave dan
fotosensitivitas. Terapi dengan menggunakan natrium valproat umumnya
menunjukkan hasil yang baik, tetapi sering berulang jika obat dihentikan.
4. Sawan tonik klonik (epilepsi grand mal).
Sawan tonik klonik dikenal dengan nama grand mal pada anak
jarang menunjukkan bentuk serangan yang khas. Episode tonik
sering kali hanya tampak pada kekakuan ekstrimitas sebentar
disertai mata yang terputar ke atas dan kepala dalam sikap
ekstensi, langsung disusul kejang klonik disertai apnea, sianosis,
salivasi dan gerakan pada mulut. Setelah bangkitan berakhir anak
sering kali sadar kembali dalam waktu beberapa menit.
G. Diagnosis
1. Pedoman umum
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang
(minimal 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adannya gambaran epileptiform
pada EEG. Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:1
a. Langkah pertama: ditempuh melalui anamnesis. Pada sebagian besar kasus,
diagnosis epilepsi dapat ditegakkan berdasarkan informasi akurat yang
diperoleh dari anamnesis yang mencakup auto dan allo anamnesis dari orang tua
atau saksi mata.
i. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan:
a) Keadaan penyandang saat bangkitan: duduk/ berdiri/ berbaring/ tidur/
berkemih
b) Gejala awitan (aura, gerakan/ sensasi awal/ speech arrest)
c) Apa yang tampak selama bangkitan (pola/ bentuk bangkitan): gerakan
tonik/klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit,
pucat, berkeringat, deviasi mata
d) Keadaan setelah kejadian: bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,
gaduh, gelisah, Todd’s paresis
e) Faktor pencetus: alkohol, kurang tidur, hormonal
f) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat
perubahan pola bangkitan
ii. Ada/tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat
penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin menjadi penyebab
iii. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjamg antar
bangkitan
iv. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis,
kadar OAE, kombinasi terapi)
v. Riwayat penyakit epilepsi pada keluarga
vi. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lainn, penyakit psikiatrik
atau sistemik
vii. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan bayi/
anak
viii. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
ix. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dan lain-lain
b. Langkah kedua: untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan
memperhatikan klasifikasi ILAE 1981
c. Langkah ketiga: untuk menentukan etiologi, sindrom epilepsi atau penyakit
epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dilakukan dengan memperhatikan
klasifikasi ILAE 1989. Langkah ini penting untuk menentukan prognosis dan
respons terhadap OAE.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada bayi
Pada pemeriksaan diselidiki apakah ada kelainan bawaan, asimetri pada badan,
ekstrimitas, dicatat besarnya dan betuk kepala, diukur kelilingnya, keadaan
fontanel harus diperiksa pula. Kepala perlu diauskultasi dan ditransluminasi.
Kelainan yang mungkin ditemukan ialah makrosefali, mikrosefali, hidrosefalus.
Fontanel akan menonjol bila tekanan dalam rongga kepala meningkat. Pada
pemeriksaan neurologis harus diperiksa refleks Moro, refleks hisap, refleks
pegang dan refleks tonik leher di samping pemeriksaan lainnya.9
b. Pada anak dan orang dewasa
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasanya. Pada kulit dicari
adanya tanda-tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-
bercak putih dan adenoma sebaseum pada muka pada sklerosis tuberosa.
Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda adanya penyakit Struge-Weber.
Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio
retinitis.
Jangan dilupakan mencatat adanya kelainan bawaan, asimetri pada kepala,
muka, tubuh, ekstremitas. 9
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai kebutuhan atas dasar anamnesis dan
pemeriksaan klinis, ditunjukan untuk menyingkirkan adanya penyebab kejang
ekstrakranial. Pemeriksaan yang dilakukan dapat meliputi:1
i. Pemeriksaan hematologik
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit,
apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar
gula, fungsi hati, ureum, kreatinin. Pemeriksaan ini dilakukan pada awal
pengobatan, beberapa bulan kemudian, diulang bila timbul gejala klinik,
dan rutin setiap tahun sekali.1
ii. Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai
steady state, pada saat bangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik.
Pemeriksaan ini dilakukan pula bila bangkitan timbul kembali, atau bila
terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi dengan obat lain, atau
saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat perubahan fisiologi
pada tubuh penyandang (kehamilan, luka bakar, gangguan fungsi ginjal).1
b. Pemeriksaan elektrosefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan yang paling
berguna pada dugaan suatu bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu
menunjang diagnosis dan membantu penentuan jenis bangkitan maupun
sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat membantu menentukan prognosis
dan penentuan perlu/tidaknya pengobatan dengan AED. 1
c. Pemeriksaan CT Scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam
mendeteksi lesi
H. Diagnosis Banding
Setiap penyakit yang mengakibatkan kesadaran menurun mendadak atau disertai gejala-
gejala yang datang dengan tiba-tiba perlu dibedakan dari epilepsi. 9
1. Sinkope
Sinkope ialah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan aliran darah
ke dalam otak dan anoksia. Sebabnya adalah tensi darah yang menurun
mendadak,biasanya ketika penderita sedang berdiri. Pada fase permulaan, penderita
menjadigelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan mengelam.
Kesadaranmenurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan darah rendah. Dengan
dibaringkanhorizontal penderita segera membaik.
2. Gangguan jantung
Gangguan fungsi dan irama jantung dapat timbul dalam serangan-serangan
yangmungkin timbul dalam serangan-serangan yang mungkin pula mengakibatkan
pingsan.Keadaan ini biasanya terjadi pada penderita-penderita jantung.
3. Gangguan sepintas peredaran darah otak
Gangguan sepintas peredaran darah dalam batang otak dengan macam-macamsebab
dapat mengakibatkan timbulnya serangan pingsan. Pada keadaan ini
dijumpaikelainan-kelainan neurologis seperti diplopia, disartria, ataksia dan lain-
lain.
4. Hipoglikemia
Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut
kering.Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.
5. Keracunan
Keracunan alkohol, obat tidur, penenang, menyebabkan kesadaran menurun.Pada
keadaan ini penurunan kesadaran berlangsung lama yang mungkin pula didapatipada
epilepsi.
6. Serangan hetang atau somoran (breath holding spells)
Serangan hetang atau somoran ada dua bentuk yaitu bentuk sianotik dan bentuk
palida. Bentuk sianotik disebabkan oleh henti sementara pernapasan dan bentuk
palida oleh henti sementara denyut jantung.
a. Serangan hetang sianotik
Serangan ini lebih sering terjadi. Setelah mengalami gangguan emosi (marah,
frustasi dan lain lain) anak menangis sebentar lalu menahan nafas biasanya pada
saat akhir ekspirasi, sehingga ia menjadi biru, kesadaran menurun, menjadi
lemas, kemudian dapat timbul opistotonus dan klonus, kesadaran cepat pulih
kembali. Keadaan ini dapat terjadi pada neonatus, tetapi insiden terbanyak
adalah pada usia 7 bulan sampai 3 tahun dan jarang sesudah 6 tahun.
b. Serangan hetang palida
Serangan ini terjadi akibat kegagalan sirkulasi pada masa asistole karena
serangan refleks vagus. Kepekaan nervus vagus ini dapat dinyatakan dengan uji
kompresi bola mata samil dimonitor EEG dan EKGnya. Uji ini dinilai positif
bila timbul asistole lebih lama dari 2 detik.
Dibandingkan dengan golongan sianotik, hetang palida tidak begitu banyak.
Hilangnya kesadaran hanya sebentar saja dengan tangisan yang minimal, tetapi
sering disusul oleh kejang. Sebagai faktor presipitasi didapatkan ketakutan
mendadak dan trauma ringan terutama trauma pada penderita. Prognosis hetang
sianotik atau palida baik tidak akan menjadi epilepsi atau terjadi retardasi mental.
7. Histeria
Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita 7-15 tahun.
Seranganbiasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik
perhatian.Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol, atau perubahan pasca
serangan sepertiterdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak
menyerupai kejang tonik klonik, tetapi bias menyerupai sindroma hiperventilasi.
Timbulnya serangan sering berhubungan dengan stres.
8. Narkolepsi
Pada narkolepsi terjadi serangan-serangan perasaan mengantuk yang tidak dapat
dikendalikan. Proses tidur pada anak normal biasanya dimulai oleh tidur “non rapid
eye movement” (NREM) dan beralih ke tidur REM setelah kira-kira 140 menit pada
anak usia 19-45 bulan. Pada penderita narkolepsi langsung terlihat tidur REM. Pada
orang dewasa normal tidur NREM dan REM bergantian sepanjang tidur. Lamanya
tidur NREM juga kurang lebih 150 menit. Tidur REM berlangsung 5-50 menit.
Narkolepsi sering terdapat antara usia 15-25 tahun tetapi dapat terjadi pada anak usia
3 tahun. Penderita tidur sebentar dan mudah dibangunkan karena tidurnya dangkal.
Ia dapat mengalami episode tidur mikro terutama bila dilarang tidur siang. Pada
episode ini ia menunjukkan automatisme disertai amnesia. Keadaan ini menyerupai
amnesia global sepintas. Tingkah laku penderita sukar dibedakan dari bangkitan
parsial kompleks.
Katapleksi yaitu keadaan kehilangan tonus otot yang mendadak dan menyeluruh
menyertai narkolepsi pada 68% penderita. Serangan ini timbul bila penderita
ketakutan, terkejut, marah atau tertawa. Lama berlangsungnya singkat yaitu 1 menit
atau lebih. Setelah mendapat serangan, keadaan penderita narkolepsi normal seperti
sebelumnya.
Narkolepsi terdapat familial dan diturunkan secara non mendel. Keadaan ini dapat
berkurang menjelang dewasa. Pada EEG tampak pola tidur mengantuk. Pada
terapinya penderita dianjurkan sering tidur sebentar. Bila perlu diberikan amfetamin
atau metil phenidate.
9. Pavor nokturnus, lindur, kekau
Pavor noktornus merupakan gangguan tidur yang paroksismal, yang terjadi
bilaterbangun pada tidur tingkat empat. Anak marah-marah, menangis, ketakutan,
dankadang-kadang disertai halusinasi visual atau auditoris yang berlangsung cepat
disertai meningkatnya frekeuensi jantung dan pernafasan. Setelah itu ia tidur lagi
dan keesokan harinya ia tidak ingat sama sekali apa yang terjadi semalam. EEG
biasanya normal.
10. Paralisis tidur.
Paralisis tidur biasanya terjadi menjelang tiduratau bangun dan sering didahului
halusinasi visual danauditoris. Serangan ini sering menakutkan penderita karena ia
dapat bernafas, menggerakan mata, namun tidak dapat bergerak. Sentuhan ringan
atau rangsangan auditoris dapat mengakhiri paralisi tersebut yang biasanya
berlangsung hanya beberapa detik.
11. Migren
Pada migren gejala-gejala juga timbul mendadak dalam serangan-serangan. Pada
fasevasokontriksi dapat timbul nausea, muntah, mulas, gangguan penglihatan, atau
gejala-gejala neurologis sesisi. Biasanya gejala-gejala ini reversible, tetapi pada anak
pulihnya agak lambat
I. Tatalaksana
1. Tatalaksana farmakologi epilepsi
Prinsip untuk terapi OAE adalah11:
a. Memutuskan saat dimulainya pengobatan
b. Memutuskan lama pengobatan
c. Menggunakan monoterapi sebisa mungkin
d. Menggunakan regimen sederhana
e. Mendorong kepatuhan pasien
f. Memilih obat yang terbaik sesuai tipe kejang
Tidak ada formula untuk memilih obat kejang mana yang harus digunakan untuk
masing-masing pasien. Dokter dan pasien memilih OAE setelah mempertimbangkan
efek samping yang harus dihindari untuk berbagai kasus, kepatuhan pengobatan,
keuangan dan pengalaman dokter. Yang harus diketahui adalah OAE mana yang
bekerja untuk jenis kejang. OAE dengan spektrum sempit sebagian besar bekerja
untuk tipe kejang yang spesifik. OAE spektrum luas mempunyai keunggulan efektif
untuk berbagai tipe kejang secara luas. OAE spektrum sempit adalah Fenitoin,
fenobarbital, Karbamazepin, Oxkarbamazepin, Gabapentin, Pregabalin, Lacosamide,
Vigabatrin. Jenis OAE spektrum luas diantaranya Asam valproat, Lamotrigin,
Topiramat, zonisamid, levetiracetam, klonazepam, rufinamid. 11
Pengobatan utama untuk epilepsi adalah obat anti epilepsi (OAE) yang diminum
setiap hari untuk mencegah rekurensi dari kejang epileptik. Strategi pengobatan dan
kecocokan OAE dibuat oleh kolaborasi antara pembuat resep dengan penderita
epilepsi sebelum terapi obat diberikan. Faktor yang menentukan kecocokan antara
lain : tipe kejang, potensi membesarkan anak, adanya komorbid, pilihan individu,
adanya kontraindikasi pada obat, potensi interaksi dengan obat yang lain, potensi
efek samping dan indikasi dari obat. 12
Sasaran terapi pada epilepsi adalah untuk mengontrol agar tidak terjadi kejang dan
meminimalisasi efek samping obat. Obat-obatan berguna untuk mencegah atau
menurunkan lepasnya muatan listrik saraf yang berlebihan melalui perubahan pada
kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmitter sehingga mencegah
timbulnya letupan depolarisasi. 12
Direkomendasikan pada pasien epilepsi untuk diterapi dengan OAE tunggal
(monoterapi) kapanpun jika mungkin. Strategi dengan monoterapi dapat mengurangi
potensi terjadinya efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien. Jika
pengobatan awal tidak berhasil, maka monoterapi dengan obat yang lain harus
dicoba. Jika OAE gagal akibat efek samping atau kejang yang masih berkelanjutan,
obat pilihan kedua harus dimulai dan ditingkatkan hingga adekuat atau dapat
ditolerir maksimal, kemudian obat yang pertama harus dikurangi sedikit demi
sedikit. Jika obat yang kedua tidak berhasil, nilai efektifitas, efek samping dan
seberapa baik obat ditoleransi oleh pasien sebelum mencoba obat yang lain. 12
Terapi kombinasi hanya diberikan ketika monoterapi menggunakan obat-obatan
OAE tidak menghasilkan bebas kejang. Jika percobaan terapi kombinasi tidak
memberikan hasil yang memuaskan, pengobatan yang diberikan diambil pada
regimen (monoterapi atau terapi kombinasi) yang pada pasien dapat menghasilkan
keseimbangan paling baik antara efektifitas untuk mengurangi frekuensi kejang dan
efek samping yang dapat ditolerir. 12
Pengobatan menggunakan OAE secara umum direkomendasikan setelah terjadi
kejang epileptik yang kedua. Terapi OAE langsung dimulai pada kejang yang tidak
terprovokasi jika12:
a. Terdapat defisit neurologis
b. Pada EEG menunjukkan gelombang aktivitas epileptik
c. Berisiko terjadinya kejang yang tidak dapat ditoleransi
d. Gambaran otak menunjukkan adanya abnormalitas struktur
Penghentian OAE harus dilakukan setelah adanya diskusi antara dokter spesialis,
pasien dan keluarga yang telah bebas kejang paling sedikit 2 tahun. Penghentian
pengobatan, harus dikurangi pelan-pelan, setidaknya 2-3 bulan dan satu obat harus
dihentikan setiap waktu. Pada pengobatan menggunakan benzodiazepin dan
barbiturat harus lebih diawasi karena kemungkinan terjadinya efek "bouncing" dan
atau kejang rekuren. Selalu lakukan monitoring dari kadar obat dalam darah. 12
Golongan obat anti epilepsi terdiri dari 13:
a. Hydantoins : fenitoin, mefenitoin, etotoin
Salah satu jenis dari hidantoin adalah fenitoin. Fenitoin efektif mengurangi
frekuensi dan keparahan kejang, tanpa menyebabkan depresi SSP.
Dosis : Dosis awal 3-4 mg/kg/hari atau 150-300 mg/hari, dosis tunggal atau
terbagi 2 kali sehari. Dapat dinaikkan bertahap. Dosis lazim : 300 - 400 mg/hari,
maksimal 600 mg/hari. ANAK : 5 - 8 mg/kg/hari, dosis tunggal/terbagi 2 kali
sehari. Status epileptikus : i.v. lambat atau infus, 15 mg/kg, kecepatan maksimal
50 mg/menit (loading dose). Dosis pemeliharaan sekitar 100 mg diberikan
sesudahnya, interval 6-8 jam. Monitor kadar plasma. Pengurangan dosis
berdasar berat badan.
ESO : Gangguan saluran cerna, pusing, nyeri kepala, tremor, insomnia,
neuropati perifer, hipertrofi gingiva, ataksia, bicara tak jelas, nistagmus,
penglihatan kabur, ruam, akne, hirsutisme, demam, hepatitis, lupus
eritematosus, eritema multiform, efek hematologik (leukopenia,
trombositopenia, agranulositosis).
Fenitoin adalah OAE yang paling sering digunakan oleh dokter. Fenitoin
mempengaruhi kanal natrium pada sel otak yang berefek membatasi lonjakan
impuls. Harganya pun murah. Efek samping obat yang sering terjadi adalah
penurunan konsentrasi dan gangguan kognitif sedang. Terdapat permasalahan
jangka panjang pada kosmetik dan permasalahan tulang. Dosis dewasa 300-
400mg per hari, biasanya dengan pil 100mg. Fenitoin dapat digunakan secara
cepat dalam keadaan emergensi dengan intravena atau dosis besar dalam kapsul
jika efek segera diperlukan. 11
b. Barbiturates : phenobarbital, primidon
Fenobarbital merupakan Anti kejang terkuat, harga murah, sehingga cukup
efektif. Dosis efektif relatif rendah dengan margin of safety luas. Dosis untuk
kejang (dewasa) status epileptikus: Loading dose IV: 10-20 mg/kg; dapat
diulang dalam 20 menit jika perlu (maksimal dosis total : 30 mg/kg). dosis
pemeliharaan : Oral atau IV (dosis pemeliharaan biasanya dimulai 12 jam
setelah loading dose) : 1 - 3 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis terbagi. Anak :
loading dose IV : 15-20mg/kg (maksimal 1000mg/dosis), dapat diulang dalam 1
menit jika perlu (maksimal dosis total : 40mg/kg). dosis pemeliharaan : bayi : 5-
6 mg/kg/hari, Anak 1-5 tahun : 6-8mg/kg/hari, anak 5-12 tahun 4-6kg/hari, 12
tahun ke atas : 1-3mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis terbagi. Indikasi : Grand
mal, epilepsi partial dan fokal. Fenobarbital meningkatkan efek dari GABA.
Waspada terhadap efek sedasi, gangguan memori dan depresi. Fenobarbital
dapat menyebabkan gangguan tulang jangka panjang. Fenobarbital mempunyai
efek adiktif ringan dan memerlukan pengurangan secara lambat. Pada
kehamilan, terdapat angka cacat lahir yang cukup signifikan. Dosis dewasa
sekitar 100mg per hari. Dapat dimulai dari 30mg 2 atau 3 sebelum tidur. 11
c. Oxazolidinediones : trimethadione, Karbamazepin
Karbamazepin mempunyai efek samping yang sedikit dan tidak banyak
mempengaruhi fungsi kognitif dan perilaku, sehingga menjadi obat pilihan
pertama. Dosis Penanganan kejang : Dosis untuk dewasa dan anak di atas 12
tahun adalah 200 mg 2 kali sehari atau 100 mg ), 4 kali sehari. Dosis dinaikkan
sampai 200 mg, 3-4 kali sehari. Dosis untuk anak 6-12 tahun adalah 100 mg, 2
kali sehari atau 50 mg, 4 kali sehari. Dosis untuk anak di bawah 6 tahun adalah
10-20 mg/kg berat badan dalam 2-3 dosis terbagi.
Karbamazepin dalah OAE parsial yang digemari di negara berkembang.
Karbamazepin mempengaruhi kanal Na, dan menghambat pelepasan impuls
secara cepat dari sel otak. ESO yang paling potensial adalah gangguan
gastrointestinal, kenaikan berat badan, pandangan kabur, anemia, hiponatremi.
Karbamazepin menyebabkan reaksi alergi dengan persentasi rendah, namun
terkadang dapat menyebabkan reaksi alergi yang berbahaya seperti Stevens-
Johnson syndrome. Dosis pada dewasa 400mg, dapat dimulai dari 200mg dan
setiap minggu meningkat hingga 400mg 3 kali/hari. 11
Okskarbazepin sedikit berbeda dari karbamazepin, obat ini lebih efektif dan
mempunyai efek samping lebih sedikit, kecuali risiko tinggi terjadinya
hiponatremi. Dosis dewasa 600mg 2 kali per hari. Dosis dapat dimulai dari
150mg 2 kali per hari dan ditingkatkan 150mg per hari setiap minggu.
Pergantian yang cepat dari karbamazepin ke okskabarzepin dosis penuh dapat
dilakukan pada beberapa kasus. 11
d. Succinimides : ethosuximide
e. Acetylureas : phenacemide
f. Benzodiazepin : Diazepam, Nitrazepam, Klonazepam
Benzodiazepin bekerja dengan cara mengikat reseptor GABA yang
mempertahankan pembukaan kanal Cl sehingga akan meningkatkan kerja
GABA. Efek depresi SSP Benzodiazepin meliputi : ansiolitik, relaksan otot,
antiamnesia, antikonvulsan, dan sedatif. Hati-hati penggunaan pada diazepam
karena dapat menimbulkan depresi napas hingga henti napsa, hipotensi, henti
jantung dan kantuk.
Diazepam : dosis antikonvulsan : PO (dewasa) 2-10 mg 2-4 kali sehari atau 15-
30 mg bentuk lepas lambat sekali sehari. PO (anak-anak > 6 bulan) : 1-2,5 mg
3-4 kali sehari. IM, IV (Dewasa) : 2-10 mg, dapat diulang dalam 3-4 jam bila
perlu.
Klonazepam : Dosis : dewasa : 1,5 mg/hari dalam dosis terbagi. Anak : 0,01-
0,03 mg/kgBB/hari. Klonazepam adalah salah satu golongan obat
benzodiazepin, selain diazepam, lorazepam, klorazepate, alprazolam. Golongan
benzodiazepin digunakan untuk obat anti kejang, sedatif, dan relaksan otot.
Benzodiazepin meningkatkan keefektifan GABA yang merupakan
neurotransmitter inhibitor utama di otak. Klonazepim bekerja lebih lama
dibanding diazepam ataupun lorazepam. Efek sampingnya adalah sedasi,
gangguan memori, perubahan mood, dan dapat ketagihan. Dosis orang dewasa
0,5-1,0mg 3 kali sehari. Dapat dimulai dari 0,5 saat malam dan jika tidak
mengantuk esok paginya, dapat dinaikkan 0,5mg 2 kali per hari. Jika dalam 1
minggu masih kejang, dapat ditingkatkan 0,5mg 3 kali per hari. 11
Lorazepam mirip dengan klonazepam dalam dosis dan cara kerja, namun tidak
bekerja lama. Biasanya digunakan untuk pasien yang sering mendapat serangan.
Bekerja secara cepat ketika diminum per oral dan efek anti kejangnya
berlangsung selama 2-6 jam. Dosis dewasa adalah 0,5-2,0 mg per oral atau
sesuai kebutuhan. Konsentrasi lorazepam 2mg/ml, dapat digunakan 1ml cairan
sublingual untuk situasi darurat. 11
g. Asam Valproat
Bekerja terhadap kanal Na (memblok kanal Na) dan peningkatan kadar GABA.
Dosis awal : 200 mg/hari terbagi dalam 3 dosis, setelah 3 hari dapat, dinaikkan
400 mg/hari dalam 3 dosis terbagi, maksimum: 2,5 g/hari, dalam dosis terbagi.
Dosis Pemeliharaan biasanya : 0,8-1,4 g/hari. Anak : sampai 20 kg (sekitar 4
th): dosis awal 20 mg/kg/hari, dalam dosis terbagi. Dapat bertahap dinaikkan
sampai 40 mg/kg/hari. Lebih dari 20 kg: dosis: awal 400 mg/hari biasanya 20-
30 mg/hari, maksimal 35 mg/kg/hari. Indikasi : bangkitan lena, tonik klonik,
epilepsi partial. Asam valproat adalah OAE standar dan tidak ada OAE yang
lebih efektif untuk tipe kejang umum. Asam valproat mempunyai efek pada
GABA dan neurotransmitter untuk menghambat kejang dan juga kemungkinan
pada kanal kalsium. Asam valproat mempunyai efek samping yang signifikan,
yaitu pertambahan berat badan, tremor, rambut rontok, gangguan
gastrointestinal, anemia, kerusakan hepar dan ginjal, ospteoporosis. Efek pada
ibu hamil cacat lahir mencapai 10%. Dosis dewasa 250-500 mg tiga kali per
hari. 11
h. Penghambat Karbonat Anhidrase : asetazolamid
i. Lainnya : vigabatrin, gabapentin, lamotrigin
Gabapentin mempunyai reputasi sebagai OAE yang aman, namun tidak terlalu
kuat. Ketidak efektifan dapat disebabkan peresepan yang terlalu rendah dosis.
Cara kerja obat dengan mempengaruhi transportasi GABA dan mempengaruhi
kanal kalsium. Tidak ada interaksi obat, tidak dimetabolisme di hati dan tidak
berikatan dnegan protein darah. Efek sampingnya adalah menurunnya
konsentrasi, kenaikan berat badan, lemah, pusing. Dosis dewasa 300-00mg 3
kali/hari, dapat dinaikkan hingga 1200mg 3kali per hari. Dapat dimulai dari
dosis 300mg perhari, dan meningkat setelah 1 bulan atau 2 bulan dosis penuh. 11
Lamotrigin adalah obat spektrum luas alternatif untuk asam valproat, dengan
efek samping lebih baik. Lamotrigin tidak terlalu efektif untuk kejang
mioklonik. Lamotrigin bekerja dengan beberapa mekanisme termasuk
menghambat pelepasan glutamat. Efek samping yang biasa terjadi adalah pusing
dan lelah, biasanya terjadi gangguan kognitif sedang. Efek samping obat yang
parah jarang terjadi. Reaksi alergi terjadi pada 5-10% pada orang yang
mengonsumsi, terutama bila peningkatan dosis terlalu cepat. Dosis optimum
dapat dicapai dalam waktu 2 bulan, dengan dosis 200mg 2 kali sehari. Dosis
awal dapat dimulai dari 25mg 2 kali sehari setiap minggu dinaikkan hingga
100mg 2 kali per hari. Jika tidak terdapat reaksi alergi dapat ditingkatkan
menjadi 200mg 2 kali perhari untuk minggu selanjutnya. 11
Obat anti epilepsi bekerja dengan cara 11:
a. Meningkatkan inaktivasi kanal Na
Obat-obatan jenis ini bekerja dengan menginaktivasi kanal Na sehingga
menurunkan kemampuan sel saraf untuk menghantarkan muatan listrik.
Contoh : fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat.
b. Meningkatkan transmisi inhibitorik GABAergik
i. Agonis reseptor GABA
Cara kerja : Peningkatan transmisi inhibitorik dengan mengaktifkan kerja
reseptor GABA. Contoh : gol benzodiazepin, barbiturat
ii. Menghambat GABA transaminase
Cara kerja : Peningkatan konsentrasi GABA. Contoh : vigabatrin
iii. Menghambat GABA transporter
Cara kerja : adanya hambatan pada transporter GABA dapat
memperpanjang aksi GABA. Contoh : tiagabin.
iv. Meningkatkan konsentrasi GABA pada LCS
Cara kerja : Stimulasi pelepasan GABA dari non-vesikuler pool. Contoh :
gabapentin
Pemilihan obat tergantung pada jenis epilepsi 13:
Kejang parsial
Kejang umum
Tonik klonik AbsencseMioklonik,
atonik
Drug of
choice
Karbamazepin
Fenitoin
Valproat
Valproat
Karbamazepin
Fenitoin
Etosuksimid
ValproatValproat
Alternatif
Lamotrigin
Gabapentin
Topiramat
Tiagabin
Primidon
Fenobarbital
Lamotrigin
Topiramat
Primidon
Fenobarbital
Klonazepam
Lamotrigin
Klonazepam
Lamotrigin
Topiramat
Felbamat
Pemakaian obat antiepilepsi pada wanita diperlukan pertimbangan lebih, karena
estrogen dan progesteron mempunyai peranan penting pada metabolismenya. Pada
obat anti epilepsi golongan enzym-inducer (contoh : topiramat) dapat menyebabkan
kegagalan kontrasepsi oral pada wanita. Valproat, benzodiazepin dan obat-obatan
yang non-enzym inducer tidak mempunyai efek tersebut. 12
2. Terapi non farmakologis
a. Diet
Diet yang digunakan adalah diet ketogenik, yaitu diet tinggi lemak, rendah
karbohidrat dan protein. Diet ini meniru respon biokimia dari keadaan lapar
tubuh ketika badan keton menjadi bahan utama untuk kebutuhan energi otak.
Diet ini sudah dipergunakan untuk epilepsi refraktori pada anak, meskipun
mekanismenya masih belum diketahui. Diet awal digunakan dengan rasio lemak
: karbohidrat 3 atau 4 : 1. 12
b. Vagal nerve stimulation (NVS)
Stimulasi nervus vagus diindikasikan untuk terapi adjuvan dalam mengurangi
frekuensi kejang pada pasien yang refraktori terhadap obat antiepileptik tetapi
tidak dapat menjalani operasi. 12
c. Pembedahan
d. Hindari faktor pemicu
i
DAFTAR PUSTAKA
1. PERDOSSI. 2012. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 4. FKUI: Jakarta.
2. Mustika A P. 2009. Prevalensi Epilepsi di Poliklinik Saraf RSUP Fatmawati Jakarta
Pada Tahun 2004 – 2008. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
3. Husam. 2008. Perbedaan Usia dan Jenis Kelamin Pada Jenis Epilepsi di RSUP dr.
Kariadi. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
4. Shorvon S D. 2011.The etiologic classification of epilepsy. UCL Institute of Neurology,
University College London, Queen Square, London, United Kingdom. Epilepsia,
52(6):1052–1057
5. Sunao K et al,. 2002. Genetics of Epilepsy: Current Status and Perspectives.
Neuroscience Research 44 (2002) 11_/30. Elsevier Science Ireland Ltd and the Japan
Neuroscience Society.
6. American Epilepsy Society. 2004. Basic Mechanisms Underlying Seizures and Epilepsy.
Washington DC: AES.
7. Engelborghs S., R. D’hooge, P. P. De Deyn. 2000. Pathophysiology of epilepsy.
Department of Neurology, A.Z. Middelheim, Antwerp, and Department of Neurology,
Laboratory of Neurochemistry and Behavior, Born-Bunge Foundation, University of
Antwerp, Antwerp, Belgium. Acta neurol. Belg, 100:201-213
8. Roth, Julie. 2013. Status Epilepticus. Medscape Reference. Diakses pada tanggal 21
November 2013. dari http://emedicine.medscape.com/article/1164462-
overview#aw2aab6b2b2aa
9. Markam S. 2012. Penuntun Neurologi. Jakarta: Binarupa Aksara
10. Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi edisi kedelapan. Blackwell Publishing
Ltd. Page 80-83.
11. Fisher, Robert. 2010. Overview of Epilepsy. Stanford Neurology Comprehensive
Epilepsy Center : Stanford.
12. National Institue for Healh and Clinical Excellence. 2012. The Epilepsies : The diagnosis
and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary care.
London, 130-586
13. Utama, Hendra & Vincent H.S. Gan. 2007. Antiepilepsi dan antikonvulsi dalam :
Farmakologi dan Terapi edisi 5. FKUI : Jakarta