Upload
hari127
View
1.569
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
TEORI PEMBANGUNAN MODERNISASI BARU
(Kajian Baru dari Teori Modernisasi)
Oleh : Indrawadi, S.Si, M.AP
1. PENDAHULUAN
Teori Modernisasi Baru atau kajian baru dari Teori Modernisasi lahir sekitar
akhir Tahun 1970-an sebagai tanggapan atas kritikan yang diberikan oleh penganut
teori dependensia klasik. Kajian baru teori modernisasi juga memberikan kritik
balasan atas kelemahan-kelemahan pada teori dependensia klasik.
Adapun hal-hal yang dikritik dari teori dependensi klasik yaitu sebagai berikut
:
- Metode Pengkajian
Teori dependensi hanya mengalihkan perhatiannya pada persoalan-persoalan yang
lebih bersifat retorika. Selain itu muncul kecenderungan untuk menganalisa dan
menetapkan persoalan ketergantungan satu negara dunia ketiga dengan negara
lainnya secara tidak berbeda. Hal ini menyebabkan hasil kajian teorinya lebih
menggunakan pendekatan deduktif, yang dengan secara gampang dan sederhana
memilih data dan menganalisanya untuk sekedar disesuaikan dengan apa yang
semestinya secara logis.
Faktor-faktor sejarah yang mungkin justru menjadi faktor yang menentukan
dalam menjelaskan satu bentuk dan atah Pembangunan yang khas di negara dunia
ketia sering dilupakan dalam kajian teori dependensi klasik.
Teori dependensi klasik hanya melihat situasi ketergantungan sebagai satu
fenomena global saja dan hamper tidak menyediakan tempat untuk adanya variasi
tingkat nasional.
- Kategori Teoritis
Teori dependensi klasik secara berlebihan menekankan factor eksternal dan
melupakan sama sekali dinamika faktor internal seperti peranan kelas sosial dan
negara. Selain itu kajian teori ini memberikan gambaran yang kurang tepat
mengenai karakteristik negara dunia ketiga yang dikatakan sebagai negara
pinggiran yang pasif, hanya memiliki ruang gerak yang sempit untuk terciptanya
dinamika politik yang intensif.
- Implikasi Kebijakan
Rumusan kebijaksanaan yang diajukan teori dependensi klasik tidak menjelaskan
secara detil dan jelas bagaimana negara dunia ketiga harus bertindak.
Tidak jauh berbeda dengan teori modernisasi, kajian baru teori modernisasi
juga memiliki pokok perhatian pada persoalan Pembangunan negara dunia ketiga
yang dikenal dengan negara yang sedang berkembang. Kajian baru ini masih
menggunakan analisa pada tingkat nasional dan menjelaskan Pembangunan Dunia
Ketiga dengan bertitik tolak pada faktor internal seperti nilai-nilai tradisional dan
modern serta tetap berpegang pada asumsi pokoknya yaitu bahwa negara dunia ketiga
pada umumnya tetap akan memperoleh keuntungan melalui proses modernisasi dan
hubungan yang lebih erat dan intensif dengan Barat.
Namun ada beberapa perbedaan yang cukup berarti antara kajian teori
modernisasi klasik dengan kajian baru teori Administrasi sebagai tanggapan atas
kritikan yang diberikan oleh teori dependensia klasik kepada kajian teori Administrasi
modern. Tokoh-tokoh yang mempelopori kajian teori ini antara lain Wong Siu Lun,
Michael R. Dove, Samuel Huntington, Winston Davis dan lain-lain.
2. KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI
Seperti disampaikan diatas, ada beberapa perbedaan yang cukup berarti antara
hasil kajian teori modernisasi klasik dengan hasil kajian baru teori modernisasi. Hal
ini merupakan tanggapan terhadap kritikan yang ditujukan kepada teori modernisasi
klasik antara lain sebagai berikut :
- Gerak Pembangunan dan arah perkembangan masyarakat yang dijadikan asumsi
teori evolusi.
- Nilai tradisional yang menjadi asumsi teori fungsionalisme yang dianggap sebagai
penghambat sebenarnya sangat membantu dalam upaya modernisasi.
- Metode kajian yang memiliki kecenderungan untuk melakukan Analisa yang
abstrak, tidak jelas periode sejarah dan wilayah negara yang dimaksud
menjadikan kajian menurut teori modernisasi klasik tidak memiliki batas ruang
dan waktu dalam analisanya.
- Teori modernisasi klasik dipandang tidak lebih hanya digunakan untuk memberikan
legitimasi intervensi Amerika Serikat terhadap kepentingan negara dunia ketiga.
- Teori modernisasi klasik lebih terfokus pada variable intern dan melupakan unsur
dominasi asing dan faktor ekternal.
Pada kajian baru teori modernisasi telah diuji kembali berbagai asumsi dasar
teori modernisasi sebagai bentuk otokritik terhadap kajian teori modernisasi klasik.
Bahkan berbagai asumsi yang kurang sahih dari teori modernisasi klasik tak segan-
segan dihilangkan seperti antara lain sebagai berikut :
Hasil kajian baru teori modernisasi sengaja menghindar untuk memperlakukan
nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua perangkat sistem nilai yang saling
bertolak belakang. Teori modernisasi baru lebih cermat mengamati apa yang
disebut dengan nilai tradisional dan bagaimana nilai tersebut berinteraksi dengan
nilai Barat serta peran apa yang dapat dilakukannya untuk menunjang proses
modernisasi.
Secara metodologis tidak lagi bersandar pada Analisa abstrak dan tipologi, tetapi
lebih cenderung untuk memberikan perhatian seksama pada kasus-kasus nyata.
Teori modernisasi baru membawa kembali peran Analisa sejarah dan lebih
memperhatikan keunikan dari setiap kasus Pembangunan yang dianalisa.
Tidak lagi memiliki anggapan tentang gerak satu arah Pembangunan dan
menjadikan barat sebagai satu-satunya model Pembangunan.
Lebih memberikan perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) dan
faktor konflik.
Berikut ini adalah perbandingan antara teori modernisasi klasik, teori dependensi
klasik dan teori modernisasi baru :
Persamaan / Perbedaan Teori Modernisasi Klasik Teori Modernisasi Baru
Keprihatinan Negara Dunia Ketiga Sama
Tingkat Analisa Nasional Sama
Variabel Pokok Faktor Internal : nilai-nilai budaya, pranata sosial Sama
Konsep Pokok Tradisional dan Modern Sama
Implikasi
Kebijaksanaan
Modernisasi memberikan manfaat positif Sama
Tradisi Sebagai penghalang Pembangunan Faktor Positif Pembangunan
Metode Kajian Abstrak dan konstruksi tipologi Studi Kasus dan Analisa sejarah
Arah Pembangunan Garis lurus dan menggunakan USA sebagai
model
Berarah dan bermodel banyak
Faktor Ekstern dan
Konflik
Tidak diperhatikan Lebih diperhatikan
3. BEBERAPA TEORI PADA KAJIAN BARU TEORI MODERNISASI
A. Familiisme dan Kewiraswastaan
Berasal dari penelitian Wong. Dimulai dengan penyajian kritik terhadap
interpretasi para pakar teori modernisasi klasik tentang pemahaman dan
penafsiran pranata famili (keluarga) tradisional Cina. Wong hendak menunjukkan
bahwa pranata keluarga memiliki efek positif terhadap Pembangunan ekonomi.
Pemikirannya antara lain :
1. Adanya praktek Manajemen paternalistic di banyak badan usaha di Hongkong.
Di industri yang ditelitinya ditemukan praktek manajemen yang memiliki tata
pengendalian dan pengawasan manajemen yang ketat, sementara disisi lain
praktek manajemen ini sama sekali tidak mengenal apa yang disebut
pendelegasian wewenang dan kekuasaan. Praktek ini melihat bahwa
pemberian atau penganugerahan penghargaan material lebih didasarkan pada
prinsip kebaikan hati dan dalam batas-batas yang wajar Manajemen sering
bertindak sebagai pelindung dan penjaga moral dari para bawahannya.
2. Nepotisme mungkin juga memberikan andil terhadap keberhasilan berbagai
badan usaha Hongkong. Kebanyakan etnis Cina hanya akan meminta bantuan
tenaga kerja keluarga pada saat-saat yang amat kritis, dan hubungan
kekeluargaan pada umumnya hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan
personalia pada perusahaan yang menganut nepotisme. Namun di lain pihak
pada perusahaan kecil, anggota utama keluarga dan sanak-keluarga yang lain
berfungsi sebagai tenaga kerja murah dan cakap. Bahkan diharapkan untuk
bekerja lebih keras tetapi dengan upah yang lebih rendah, sehingga membantu
Kuatnya posisi bersaing perusahaan keluarga ini. Jika anggota keluarga telah
memegang posisi manajerial, usahawan etnis Cina akan dengan sangat teliti
memberikan dan mencukupi segala kebutuhannya, dan melengkapinya dengan
pendidikan formal dan sekaligus magang. Oleh karena itu tenaga manajer
keluarga amat jarang memiliki standar mutu rendah.
3. Adanya mode pemilikan keluarga yang membantu keberhasilan usaha etnis
Cina di Hongkong. Bahwa prinsip garis keturunan patrilineal telah
menghasilkan satu-satuan unit keluarga pekerja yang damai, bijak, dan abadi
yang pada gilirannya sangat membantu pengaturan sumber daya ekonomi
mereka. Kalau terjadi perselisihan keluarga bentuk akhir yang dipilih lebih
cenderung pada pembagian keuntungan disbanding perpecahan fisik
hubungan keluarga. Perusahaan keluarga etnis Cina memiliki kemampuan
bersaing yang bisa siandalkan. Dapat ditemukan satu kepercayaan antar
anggota keluaga yang jauh lebih tinggi dibanding dengan yang ditemukan di
antara rekanan usaha mereka yang tidak kenal secara baik satu sama lain.
Konsensus akan lebih mudah dicapai, dan oleh karena itu kebutuhan untuk
saling mempertanggung-jawabkan tindakan masing-masing pihak akan sangat
terkurangi. Factor tersebut mampu membuat perusahaan keluarga ini lebih
mudah melakukan adaptasi dalam menjalankan kegiatannya. Lebih mudah
untuk membuat keputusan secara cepat dalam situasi lingkungan yang cepat
berubah, mampu menutupi rahasia karena rendahnya kebutuhan dokumen
tertulis.
Wong tidak memberlakukan pranata keluarga sebagai factor yang
menghambat Pembangunan ekonomi. Ia justru berpendapat sebaliknya, bahwa
pranata keluarga tradisional justru akan mampu membentuk etos ekonomi
dinamis dengan apa yang disebut sebagai “etos usaha keluarga”. Etos ini melihat
keluarga sebagai unit dasar kompetisi ekonomi, yang akan memberikan landasan
untuk terjadinya proses inovasi dan kemantapan pengambilan resiko.
Menurut Wong ada 3 karakteristik pokok dari etos usaha keluarga. Yaitu:
1. Konsentrasi yang sangat tinggi dari proses pengambilan keputusan, tetapi disaat
yang sama, juga terjadi rendahnya derajat usaha memformalkan struktur
organisasi
2. Otonomi dihargai sangat tinggi, dan bekerja secara mandiri lebih disukai.
3. Usaha keluarga jarang berjangka panjang, dan selalu secara ajeg berada dalam
posisi tidak stabil.
B. Kajian Budaya Lokal dan Pembangunan di Indonesia
Hasil kajian antropologis dari Dove dan kawan-kawannya ini hendak
mencoba melihat Interaksi antara kebijaksanaan Pembangunan nasional Indonesia
dan aneka ragam budaya local yang terdapat di Indonesia. Pesan yang ingin
disampaikan dari hasil penelitian ini terlihat pada kerangka teoritis yang
dipilihnya. Dove menyatakan bahwa tradisional tidak harus berarti terbelakang.
Baginya budaya tradisional sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan
ekonomi, social dan politik dari masyarakat pada tempat makna budaya
tradisional tersebut melekat. Budaya tradisional selalu mengalami perubahan
dinamis dan tidak menggangu proses Pembangunan.
Menurut Dove banyak pandangan yang salah dari para ilmuwan social dan
pengelola pembangunan Indonesia. Mereka melihat budaya tradisional sebagai
tanda keterbelakangan dan penghambat tercapainya kemajuan social ekonomis,
kekayaan nasional yang tidak berharga, sebagai factor yang mengganggu proses
modernisasi, factor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan modernisasi.
Sehingga mereka selalu berusaha melakukan devaluasi, depresiasi, atau bahkan
eliminasi dari keseluruhan bentuk dan isi budaya tradisional.
Lahirnya pandangan yang salah ini karena beberapa factor, antara lain:
1. Ciri penelitian yang ada di Indonesia. Jarang dijumapi penelitian budaya
tradisional yang dilakukan secara cermat. Penelitian diatur sedemikian rupa
sehingga tidak didapatkan Analisa dan hasil penelitian yang secara detail
mencerminkan Interaksi komplek yang terjadi antara kelompok masyarakat
pemilik dan pendukung budaya tradisional dengan proyek-proyek
pembangunan.
2. Kurang atau bahkan tidak adanya budaya ilmiah yang tinggi di kalangan para
peneliti. Sebagaian besar laporan penelitian proyek pembangunan hanya
diketahui oleh agen dan penanggung jawab penelitian, sehingga terbuka
kesempatan terjadinya persetujuan untuk tidak saling secara kritis menilai
laoran tersebut
Dove, dkk juga mencoba melaporkan hasil kajiannya tentang kaitan antara
berbagai budaya tradisional Indonesia dengan Pembangunan. Dove
mengkatagorikan dalam 4 kelompok yakni :
1. Agama Tradisional
Telah terjadi anggapan keliru di kalangan agen Pembangunan Indonesia
terhadap agama-agama tradisional yang banyak dipeluk oleh suku-suku
terasing di luar Jawa. Disamping kenyataan bahwa agama-agama tersebut
tidak memiliki status formal, juga dilihatnya sebagai agama yang inferior.
2. Ekonomi
Sikap negative pemerintah Indonesia adalah pandangannya tentang sistem
kepercayaan tradisional dan penilaiannya terhadap sistem ekonomi tradisional
(pertanian lading, mengumpulkan sagu, bertani berpindah-pindah). Ketiga
jenis usaha itu di anggap tidak efisien dan tidak dapat dikembangkan untuk
keperluan modernisasi. Sehingga tidak ada manfaat ekonomis.
Tetapi menurut Dove menunjukkan hal yang sebaliknya. Ketiga bentuk usaha
ekonomi tradisional tersebut memberikan manfaat fungsional terhadap
masyarakat pendukungnya
3. Lingkungan Hidup
Peran nilai-nilai tradisional dalam menjaga lingkungan hidup dan mendorong
penggunaan sumber daya alam secara terjaga kurang mendapat perhatian
pemerintah. Pemerintah lebih cenderung untuk merumuskan dan menetapkan
peraturan baru.
Hasil penelitian Dove, usaha pemerintah untuk menggunakan peraturan-
pearturan baru tersebut justru sering tidak berhasil dengan baik. Budaya
tradisional memiliki peran positif dalam menjaga lingkungan hidup.
4. Perubahan Sosial
Masyarakat tradisional Indonesia pada dasarnya memiliki cirri yang dinamis.
Selalu mengalami perubahan social terus-menerus, sesuai dengan tantangan
internal dan kekuatan eksternal yang mempengaruhinya.
Menurut penelitian, menunjukkan bahwa budaya tradisional tidak harus selalu
ditafsirkan sebagai factor penghambat Pembangunan. Bahkan dalam batas-
batas tertentu, budaya tradisional dilihatnya dapat berperan positif untuk
mendorong laju modernisasi.
C. Teori Barikade
Menurut Davis, Weber dan semua pengikutnya dalam teori modernisasi
yang telah mencoba menjelaskan keterkaitan antara agama dan Pembangunan
telah membuat berbagai kesalahan berikut :
1. Mereka secara agak sembarangan telah membuat asumsi, bahwa agama
merupakan satu-satunya sumber tumbuhnya “etos spiritual” atau “sistem nilai
pokok” yang diperlukan untuk mempengaruhi semua segmen masyarakat
untuk bergerak kearah yang sama dan satu tujuan. Menurut Davis masyarakat
memerlukan tumbuhnya berbagai macam spirit untuk lahir dan
berkembangnya kapitalisme.
2. Telah menganggap bahwa sekularisasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari proses modernisasi dan civilisasi. Davis berpendapat bahwa jika
masyarakat modern memiliki berbagai macam spirit yang berbeda, maka
dalam masyarakat tersebut tidak boleh diasumsikan bahwa setiap spiritnya
perlu dan mengalami sekularisasi searah.
3. Pengikut Weber yang memiliki kecenderungan untuk secara berlebihan
memberikan tekanan kepada keunikan budaya Jepang dalam menjelaskan
keberhasilan pembangunan ekonominya, sama sekali gagal memperhatikan
factor hubungan social lainnya (kepentingan individu, persaingan,
ketidakloyalan, konflik). Davis menyatakan bahwa jika etos memang
memiliki peran sedemikian besar, lantas berapa besar bobot yang harus
diberikan kepada peran pemerintah, sistem perbankan, perencanaan indusri
dan pranata social lainnya. Loyalitas tidak dapat dan tidak mungkin untuk
mewujudkan dalam ruang hampa, tetapi loyalitas akan selalu tersituasikan
dalam berbagai jaringan insentif dan ganjaran social, serta dalam jaringan
batasan dan kekerasan social.
Davis menawarkan teori barunya yang disebut Teori Barikade. Dia
memberikan sanggahan kepada Weber dan pengikut teori lintas gawangnya.
Menurut Davis teori lintas gawang pada dasarnya melihat agama dari sudut
pandang peserta lomba modernisasi yang agresif, dan berasumsi bahwa halangan
dalam lari lintas gawang ini dengan pasti akan dapat dilalui. Davis menawarkan
satu argumentasi dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang
tradisionalisme-bagaimana masyarakat tradisional menyiapkan barikade untuk
melindungi dirinya sendiri dari kemungkinan gangguan yang ditimbulkan oleh
berkembangnya nilai-nilai kapitalisme. Yang ditakutkan oleh masyarakat
tradisional bukan kemajuan dan modernisasi, tetapi pada kerusuhan social dan
kekejian moral yang timbul sebagai akibat dari tiadanya batas berkembangnya
tata niaga perdagangan dan kapitalisme itu sendiri.
Davis melukiskan masyarakat tradisional dalam tiga lingkaran yang
terkonsentris.
Lingkaran terdalam merupakan representasi ekonomi dan nilai yang terkait.
(kebutuhan berprestasi dan universalitas)
Lingkaran luar merupakan representasi masyarakat dan nilai-nilai yang terkait
status, dan hubungan kekuasaan.
Lingkaran tengah menggambarkan wujud barikade imunisasi yang
ditumbuhkan oleh masyarakat tradisional untuk menghalangi perkembangan
ekonomi. Barikade ini antara lain termasuk nilai-nilai tabu, kegaiban, agama
tradisional, nilai-nilai moral, hukum, filosofi, dan agama rakyat.
Dengan teori tersebut Davis hendak mencoba menafsirkan kembali
hubungan antara agama dan Pembangunan Jepang. Dia memberikan perhatian
pada dua aspek, yakni unsur negative agama yang diartikannya sebagai alas an
mengapa agama di Jepang gagal menahan perubahan, dan unsur positif agama
yang diartikannya dengan bagaimana agama di Jepang mendorong perubahan
social. Davis berpendapat bahwa agama di Jepang sama sekali tidak menghalangi
adanya perubahan karena alasan berikut ini:
1. Menurut ajaran Budha, agama sama sekali tidak berusaha dan tidak berbuat
sesuatu untuk mencegah Pembangunan yang amat cepat di pedesaan Jepang.
2. Karena Shinto tidak memiliki perwalian gereja yang universal untuk
mengawasi secara cermat pelaksanaan ajaran-ajarannya, Shinto lebih mudah
lagi untuk mengijinkan berlakunya proses modernisasi.
3. Karena adanya kehidupan koeksistensi tiga agama konfusius,budhisme, dan
Shinto, maka mudah dipahami jika di Jepang dapat ditemukan derajat
toleransi antar agama sangat tinggi.
4. Urbanisasi di Jepang telah mempengaruhi proses sekularisasi agama-agama
yang menyebabkan adanya penghargaan dan spirit yang tinggi pada
kehidupan dunia ini, khususnya pada kaum pedagang perkotaan dan
cendekiawan konfusianisme.
5. Bahwa agama-agama baru yang begitu banyak muncul setelah PD II, yang
didirikan oleh pemimpin kharismatik yang diikuti banyak pengikut, telah
mampu menumbuhkan berbagai perlengkapan keagamaan baru pada lapisan
masyarakat yang juga memeluk agama Shinto, budha, nasrani, dan konfusius.
6. Dengan mengamati tumbuhnya kembali agama rakyat, bahwa kegaiban dan
keajaiban sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip rasionalitas
pada masyarakat industri modern.
Unsur kedua yang diuji Davis berkaitan dengan unsur positif agama.
Baginya agama juga sering dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi ekonomi.
Sejak masa pramodern agama telah sering digunakan untuk mendorong
peningkatan produksi. Davis berkesimpulan bahwa agama rakyat Jepang
memberikan lebih banyak sumbangan terhadap pelaksanaan etika kerja rakyat
kebanyakan dibanding nilai-nilai simbolik yang lain.
D. Demokrasi di Negara Dunia Ketiga
Huntington merumuskan pertanyaan penelitiannya, yakni apakah akan
semakin banyak negara yang lebih demokratis di Tahun 1980-an ini ? Untuk
mengamati dan menemukan jawabannya, Huntington membedakan dua factor
yakni :
1. Prakondisi yang diperlukan untuk Pembangunan demokrasi.
Huntington menyebutkan beberapa faktor yang perlu diperhatikan yaitu faktor
kemakmuran ekonomi dan pemerataan kekayaan, struktur sosial, lingkungan
internasional, dan konteks budaya.
2. Proses politik yang diperlukan untuk terjadinya pembangunan demokrasi.
Huntington membahas 3 model utama proses demokratisasi.
Model linear, demokratisasi dimulai dari munculnya hak-hak sipil yang
berkembang menuju munculnya hak politik.
Model Siklus, model yang menunjukkan adanya pergantian secara teratur dari
munculnya demokrasi dan despotisme.
Model Dialektis, kelas menengah di perkotaan yang semakin besar dan
semakin berkualitas telah mendesakkan kepentingan politiknya kepada
pemerintahan yang otoriter untuk mulai terlibat dalam partisipasi politik dan
pembagian kekuasaan.
Dari ketiga model pengembangan demokrasi tersebut, Hutington lebih menyukai
timbulnya demokrasi yang dimulai dari perumusan dan pengembangan identitas
nasional, diikuti dengan pengembangan pranata politik yang efektif dan baru
melangkah pada pengembangan partisipasi politik. Berdasarkan model
pengembangan demokrasi tersebut, Hutington menyatakan bahwa pemerintahan
demokratis yang dibangun dengan aksi-aksi dan gerakan kerakyatan yang
dibangun dari bawah (Bottom Up) sangat jarang dapat bertahan lama. Dengan
melakukan negosiasi dan kompromi satu sama lain diantara elite politik, maka
pranata politik demokratis akan terwujud dengan mapan.
http://indrawadi.blogspot.com/2009/01/teori-pembangunan-modernisasi-baru.html
http://ahakim61.files.wordpress.com/2011/09/hasil-kajian-teori-modernisasi.pdf
2.6 Hasil Kajian Baru Teori Modernisasi
Dengan adanya berbagai pengritik tentang teori modernisasi klasik, maka teori
ini menguji kembali berbagai asumsi dasarnya. Jika demikian halnya, maka hasil
kajian baru ini, dalam batas-batas tertentu yang berarti, berbeda dengan teori
modernisasi klasik dalam beberapa landas pijak berikut ini.
Pertama, hasil kajian baru teori modernsasi ini sengaja menghindar untuk
memperlakukan nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua pengkat sistem
nilai yang secara total bertolak belakang. Dalam hasil kajian baru ini, dua
perangkat sistem nilai tersebut bukan saja dapat saling mewujud saling
berdampingan, tetapi bahkan dapat saling mempengaruhi dan bercampur satu
sama lain. Disamping itu, hasil kajian batu ini tidak lagi melihat bahwa nilai
tradisional merupakan faktor penghambat pembangunan, bahkan sebaliknya,
kajian baru ini secara sungguh-sungguh hendak berusaha menunjukkan
sumbangan positif yang dapat diberikan oleh sistem nilai tradisional. Konsepsi ini
telah banyak membukua pintu dan merumuskan agenda penelitian baru, yang
oleh karenanya, peneliti teori modernisasi, kemudian lebih banyak memberikan
perhatian kepada pengkajian nilai-nilai tradisonal (seperti: familisme, agama
rakyat, budaya lokal), dibanding pada masa-masa sebelumnya.
Kedua, secara metodologis, kajian baru ini juga berbeda. Hasil harya baru ini
tidak lagi berstandar teguh pada pada analisa yang abstrak dan tipologi, tatapi
lebih cenderung untuk menberikan perharian yang seksama pada kasus-kasus
nyata. Hasil kajian baru ini tidak lagi merupakan unsur keunikan sejarah. Sejarah
sering dibggap sebagai faktor yang signifikan untuk menjelaskan pole
perkembangan dari satu negara tertentu. Bahkan dalam kajian kasus-kasus yang
mendalam sering di jumapi dibantui dengan analisa dari perspektif studi
bandingnya. Karya baru ini secar jernih menanyakan berbagai kemungkinan dan
sebab mengapa seperangkat pranarta sosial yang sama memainkan pern yang
berbeda di negara yang berbeda.
Ketiga, sebagai akibat dari perhatiannya terhadap sejarah dan analisa anggapan
tentang gerak satu arah pembangunan yang menjadikan barat sebagi satu-
satunya model. Sebagai gantinya, karya-karya penelitian ini kemudian begitu
saja menerima kenyataan bahwa negara Dunia Ketiga dapat memilki
kesermpatan untuk menempuh arah dan menentukan model pembangunannya
sendiri.
Terakhir, hasil kajian baru teori moderinsasi ini lebih memberikan perhatian pada
faktor eksternal (lingkungan internasional) dibanding pada masa sebelumnya.
Sekalipun perhatian utamanya masih pada faktor internal, perana faktor
internasional dalam mempengaruhi proses pembangunan Negar Dunia Ketiga ini
juga menaruh perhatian pada faktor konflik. Bahkan dalam analisanya, karya
baeru ini sering berhasil mengintegrasikan dengan baik faktor konflik kelas,
dominasi idiologi dan peranan agama.
Tabel persamaan dan perbedaan antara teori modernisasi klasik dengan
teori modernisasi baru
Teori Modernisasi Klasik Teori Modernisasi Baru
Persamaaan
Keprihatinan Negara Dunia Ketiga Sama
Tingkat analisa Nasional Sama
Variable pokok Faktor internal:
Nilai-nilai budaya pranata
sosial
Sama
Konsep pokok Tradisional dan modern Sama
Implikasi kebijaksanaan Modernisasi memberi
muatan positif
Sama
Perbedaan
Tradisi Sebagai penghalang
pembangunan
Faktor positif
pembangunan
Metode kajian Abstrak dan kontruksi
tipologi
Studi kasus dan analisa
sejarah
Arah pembangunan Garis lurus dan
menggunakan USA dan
negara-negara Eropa
Barat sebagai model
Berarah dan mermodel
banyak
Faktor ekstern dan
konflik
Tidak memperhatikan Lebih memperhatikan
2.7 Modernisasi Di Indonesia
Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang yang
sedang berupaya membangun masyarakatnya dari masyarakat tradisional ke
masyarakat modern. Hal itu dilakukan dengan adanya pembangunan
masyarakat secara keseluruhan dalam bidang modernisasi.
Tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat
Indonesia agar setara dengan masyarakat modern bangsa lain. Oleh sebab itu
modernisasi di Indonesia dapat dikatakan terbuka, artinya bahwa dalam proses
modernisasi tidak tertutup kemungkinan untuk menerima unsur-unsur dari luar.
Namun tentunya harus ada filterisasi (penyaringan) terhadap unsur-unsur dari
luar.
Gejala-gejala yang tampak dari proses modernisasi di Indonesia meliputi
segala bidang, baik teknologi, politik, sosial, ekonomi, agama dan kepercayaan.
TUGAS MATA KULIAH PARADIGMA PEMBANGUNANDOSEN : Dr. Ir. DARMAWAN SALMAN, MS
REVIEW TENTANG PEMBANGUNAN, TEORI MODERNISASI, DAN
PENERAPAN PARADIGMA PEMBANGUNAN DI INDONESIA
ISKANDARP0803206001
PROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN
2006
A. Pandangan Mendasar Tentang Masalah Pembangunan dan Cara Memecahkan Masalah Tersebut.
Dalam kaitannya dengan pembangunan negara-negara Dunia Ketiga, maka
banyak pengamat dan peneliti studi pembangunan (teori pembangunan di Tahun 1990-an), memperkirakan bahwa bidang kajian ini sedang bergerak menuju ke arah pencapaian sintesa. Sekedar contoh Peter Evans dan John Stephens (1988) menyebut proses sintesa ini sebagai studi pembangunan baru politikonomi”. Portes (1980), mengatakan bahwa, tersedia kemungkinan untuk terjadinya konvergensi antara perspektif budaya modernisasi dan perspektif strukturalis dependensi dan sistem dunia. Elbaki Hermassi (1978), menyarankan bahwa, berpedoman pada eklektisme disiplin lebih baik dibanding dengan ketergantungan secara berlebihan pada salah satu paradigma pembangunan.
Nampaknya, pada tahun 1980-an, ketiga perspektif pembangunan tersebut memiliki beberapa kesamaan. Pertama, adanya usaha untuk membawa kembali analisa sejarah. Teori modernisasi tidak lagi bersandar penuh pada konsep tradsionalisme dan modernitas. Teori depedensi tidak lagi menekankan akan adanya situasi ketergantungan universal.
Kedua, hasil kajian baru dari tiga perspektif pembangunan tersebut nampaknya mencoba untuk menguji masalah yang telah dirumuskan dengan menggunakan berbagai variabel secara bersamaan, atau mengamatinya dari berbagai sudut pandang pranata sosial sekaligus.
Ketiga, pertanyaan tentang akibat positif dan negatif pembangunan dibiarkan terbuka. Hasil kajian baru ketiga perspektif pemabngunan terseut nampaknya dengan jelas melihat bahwa, pembangunan selalu memiliki keduanya, akibat positif dan akibat negatif. Peneliti sekarang ini memiliki kecendrungan untuk menguji kasus demi kasus sesuai dengan perjalanan sejarah masing-masing, sebelum memutuskan untuk menentukan akibat yang mengntungkan dan merugikan dari proses pembangunan.
Secara singkat nampaknya pemerhati perspektif pembangunan sulit untuk menolak akan adanya kecenderungan konvergensi di dalam bidang kajian pembangunan. Namun, perlu diingat, bahwa kecenderungan konvergensi yang terjadi pada literatur pembangunan masih bersifat selektif, belum merupakan proses konvergensi yang utuh. Disamping adanya kesamaan beberapa elemen antara ketiga perspektif pembangunan itu, nampaknya masing-masing aliran pemikiran tersebut masih tetap setia untuk memegang ciri pokok dan cap dagang masing-masing.
B. Landasan Filosofi/Turunan Teoritis
Studi tentang rakyat negara-negara Dunia Ketiga harus mengacu kepada masa penjajahan Eropa terhadap negara-negara di Amerika Latin, Asia dan Afrika. Studi tentang hal banyak sekali dilakukan pada abad 19, dengan tujuan untuk menggambarkan kondisi lokal tanpa kerangka teori, tanpa perspektif menyeluruh yang sistematis, dan tanpa upaya untuk menggeneralisir. Konsekuensinya, penelitian/studi ini tidak berasal dari lingkungan sekolah yang melewati sebuah metode atau konstuksi sebuah teori.
Metodologi dan pendekatan umum dipergunakan untuk meneliti masyarakat di Eropa, dan dalam hubungan antara Eropa dengan negara-negara jajahannya. Ini merupakan warisan teori yang dipergunakan untuk melihat perkembangan dan konstuksi teori. Dari metodoligi inilah lahir teori-teori lainnya tentang pembangunan dan sektor yang terkait dengan pembangunan.
Dalam dekade terakhir, telah banyak muncul riset tentang pembangunan seperti yang dikemukakan Hettne (1990). Dalam hubungan ini, perlu diketahui bahwa grand teori (landasan teori) yang dipergunaka adalah teori Marxis yang liberal yang tak dapat menjelaskan perbedaan jenis pembangunan dan ketertinggalan (underdevelopment) di negara-negara Dunia Ketiga.
C. Teori Modernisasi
1. Modernisasi Ekonomi
Pembangunan bidang ekonomi mulai muncul pada tahun 1940-an dan pelaksanaannya di awal tahun 1950-an, bersamaan dengan dekolonisasi (kemerdekaan) negara-negara jajahan di benua Asia, Asia Tengah dan Afrika.
Yang mendorong adanya pembangunan ekonomi adalah ketertinggalan negara-negara Dunia Ketiga dalam pembangunan yang mengalami stagnasi.
Sementara pada saat yang bersamaan analisa perspektif memberikan gambaran adanya peluang dan pra-kondisi untuk pembangunan di bidang ekonomi.
Ide munculnya pembangunan ekonomi berawal dari era classical political economy (ekonomi politik klasikal) yang muncul pada abad 18 dan 19, dimana tokoh utamanya adalah Adam Smith (1723-1790), Thomas Robert Malthus (1766-1834), David Ricardo (1772-1823). Dan pada kelompok ini bisa ditambahkan John Stuart Mill (1806-1873).
Adam Smith menempatkan dirinya sebagai sentral diskusi di abad 19 dengan rumusannya yang terkenal Wealth of Nations (1776). Adam mengkriktik mekanisme pasar dan kritikannya ini lalu dikenal dengan “the invisible hand”. Argumen Adam Smith dapat dituliskan dalam sebuah kalimat yaitu : “kemungkinan produser akan menjual barangnya dengan harga yang tinggi, tetapi karena adanya tekanan sehingga terpaksa menjualnya dengan harga yang terjngkau”.
David Ricardo, adalah orang pertama yang serius menguraikan rumusan ekonomi politik klasikalnya Adam Smith, terutama pada lahan sewa dengan teori distribusi dan teori perbandingan keuntungan. Sehingga ia berinspirasi pada sebuah teori kontemporer hubungan antara pertanian dan industri.
Thomas Robert Malthus, yang terkenal dengan teori pesimis dalam pertumbuahn ekonominya. Dia yakin bahwa pertambahan penduduk lebih cepat daripada pertambahan bahan makanan, sehingga tidak diantisipasi maka kemiskinan akan cepat terjadi.
2. Modernisasi Masyarakat Teori sosiologi (tentang masyarakat) mulai dimunculkan seorang penulis
Perancis yang bernama Auguste Comte (1789-1857), dan dialah yang pertama menggunakan istilah “sociology”. Dan muncul selanjutnya gagasan yang lebih komprehensif terhadap teori ini yang dimunculkan oleh Emile Durkheim (1858-1917), Karl Marx dan Max Weber (1864-1920).
Emile Durkheim mengembangkan teori Comte dan menjadikannya sebagai sebuah disiplin ilmu, namun ia mengatakan bahwa Comten belum berhasil pada sasaran yang diinginkan. Durkheim mengatakan bahwa perubahan sosial memang membutuhkan waktu yang panjang.
3. Modernisasi Politik
Karl Marx, memberikan kontribusi terhadap teori August Comte ini dengan memberikan formasi hubungannya dengan ekonomi politik kapitalis. Karl adalah bapaknya ilmuwan yang memberikan pengaruh yang kuat antara perkembangan ekonomi dalam kaitannya dengan pedekatan ilmu sosialogi dan politik untuk mempelajari perkembangan negara-negara Dunia Ketiga.
Walaupun kajian Marx lebih banyak menulis tentang ekonomi politik kapitalis, namun perspektik analisanya serta metodenya berimplikasi pada substansi sosiologi. Metodenya berimplikasi pada interaksi antara struktur ekonomi dengan proses di satu sisi dan plitik, sosial, hubungan ideologi, dan institusi di sisi lainnya.
Merespon atas dua hal fundamental yaitu motivasi dan keinginan dari analisa Marx, maka Weber melanjutkan dengan pandangan yang berbeda dan kontradiksi. Dia tidak apriori dengan proses ekonomi yang ada namun dia ingin membuktikan bahwa keadaan sekitar dapat dikendalikan dan dapat memprediksi hasil dari proses sosial dan politik.
4. Modernisasi Manusia/Individu
Perkembangan ekonomi pada prinsipnya untuk kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan taraf hidup mereka. Walaupun hal diperdebatkan oleh
para ahli ekonomi seperti Amartya Sen, Paul Sreeten, Mahbub ul Haq dan yang lainnya yang berpendapat bahwa pertambahan inkam harus dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan manusia (Sen, 1988; streeten, 1981; 1994). Para ahli mengatakan bahwa kesejahteraan manusia/individu merupakan tujuan pokok pembangunan.
Kemudian Streeten (1982), mengatakan bahwa diperlukan nuansa yang lebih baik untuk meningkatan tingkat perkembangan fisik, mental, dan sosial seseorang individu/manusia. Lalu ia mengatakan bahwa ada 3 hal pokok yang harus diwujudkan yaitu Pertama, eksistensi individu dan kebutuhan pokok keluarga. Kedua, memberikan pelayanan umum, seperti air minum sehat, sanitasi, pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Ketiga, akses berpartisipasi dan berpengaruh pada, baik pada komunitas lokal maupun politik nasional.
D. Perbedaan antara Modernisasi Lama dengan Modernisasi Baru
Teori Modernisasi Klasik
Teori modernisasi lahir dalam bentuknya yang sekarang ini, paling tidak menurut tokoh-tokoh Amerika Serikat, sebagai produk sejarah tiga peristiwa penting dunia setelah masa Perang Dunia II. Pertama, munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan yang dominan dunia. Kedua, pada saat yang bersamaan, terjadi perluasan gerakan komunis sedunia. Ketiga, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan negara jajahan negara-negara Eropa.
Sejak awal perumusan, aliran pemikiran modernisasi secara sadar mencari sesuatu bentuk teori. Dalam usahanya menjelaskan persoalan pembangunan negara-negara Dunia Ketiga, perspektif ini banyak menerima warisan pemikiran dari teori evolusi dan teori fungsionalisme. Ini terjadi karena penganut teori evolusi dan teori fungsionalisme telah terbukti mampu membantu menjelaskan proses masa peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern negara-negara Eropa Barat, selain juga mampu menjelaskan arah yang perlu ditempuh oleh negara-negara Dunia Ketiga dalam proses modernisasinya.
Setelah melalui penelitian oleh para ahli tentang 5 aspek yaitu : Pertama, penelitian McClelland tentang motivasi berprestasi yang mewakili karya di bidang psikologi, dan Kedua, kajian Inkeles di sekitar tesis manusia modernya yang mewakili disiplin sosiologi (psikologi sosial). Ketiga, pengamatan Sumawinata tentang kemungkinan dan kesiapan ekonomi Indonesia untuk lepas landas, sebuah konsep ekonomi yang dikembangkan oleh Rostow. Keempat, kajian sosiologi makro dari Bellah tentang agama Tokugawa dan pembangunan di Jepang. Kelima, keterkaitan antara pembangunan ekonomi dan pengembangan demokrasi politik, yang merupakan representasi disiplin ilmu politik, maka dapat digambarkan beberapa poin yang terkait dengan modernisasi klasik sebagai berikut :a. Keprihatinan Utama
Sekalipun lima hasil penelitian tersebut, yang dilakukan oleh beberapa ahli dari berbagai disiplin ilmu sosial, namun penelitian-penelitian tersebut memiliki keprihatinan yang serupa, yakni modernisasi.
b. Kerangka AnalisaKelima hasil penelitian tersebut juga memilki kerangka analisa tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Para peneliti itu berangapan bahwa negara Dunia Ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Sementara negara-negara barat dilihatnya sebagai negara modern.
c. Metode Kajian
Dengan pengecualian hasil kajian Bellah dan Sumawinata, ketiga hasil kajian yang lain cenderung untuk melakukan analisa abstrak.
Teori Modernisasi Baru
Pada akhir dekade 1970-an, ketika tinggi tegangan perdebatan antar berbagai perspektif pokok pembangunan mulai menurun, hasil kajian baru teori modernisasi mulai menampakkan diri. Tidak berbeda dengan hasil penelitian teori modernisasi klasik, hasil kajian baru ini juga memilki pokok perhatian pada persoalan pembangunan negara Dunia Ketiga. Kajian baru ini juga masih menggunakan analisa pada tingkat nasional, dan tetap berusaha menjelaskan pembangunan Dunia Ketiga dengan bertitik tolak pada faktor internal, seperti nilai-nilai tradisional dan berbagai pranata sosial. Bahkan hasil peneltian ini juga masih mengunakan beebagai istilah yang tidak berbeda dengan yang ditemukan pada hasil penelitian teori modernisasi klasik.
Namun demikian, juga terdapat beberapa perbedaan yang cukup berarti antara hasil kajian teori modernisasi klasik dan hasil kajian baru modernisasi. Jika pada dekade 1960-an mereka pada posisi bertahan, kini pemerhati dan pengikut setia teori modernisasi lebih berada pada posisi menyerang. Di satu pihak, mereka melakukan serangan balik dan memberikan label pada pemerhati Marxis dan neo-Marxis sebagai tukang propaganda yang telah secara salah membaca dan menafsirkan penjelasan kerangka teori dan analisa mereka. Di lain pihak, mereka secara tulus menguji kembali berbagai asumsi dasar teori modernisasi. Mereka melakukan otokritik, menyuarakan suara lantangnya ke dalam kalangan mereka sendiri, dan yang paling penting, mereka tidak segan-segan untuk menghilangkan asumsi yang kurang sahih (valid) dari teori modernisasi klasik. Maka hasil kajian baru ini, dalam batas-batas tertentu yang berarti, berbeda dengan teori modernisasi klasik dalam beberapa landas pijak berikut :
Pertama, hasil kajian baru teori modernisasi ini sengaja menghindar untuk memperlakukan nilai-nilai tradisional dan modern sebagai dua perngakat sistem nilai yang secara total bertolak belakang. Hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa dua perangkat sistem ini bukan saja dapat wujud damai berdampingan, tetapi bahkan dapat saling mempengaruhi dan bercampur satu sama lain.
Kedua, secara metodologis, kajian baru ini juga berbeda. Hasil karya baru ini tidak lagi bersandar teguh pada analisa yang abstrak dan tipologi, tetapi lebih cenderung untuk memberikan perhatian yang seksama pada kasus-kasus yang nyata.
Ketiga, sebagai akibat dari perhatiannya terhadap sejarah dan analisa kasus nyata, hasil kajian baru teori modernisasi tidak lagi memiliki anggapan tentang gerak satu arah pembangunan yang menjadikan Barat sebagai satu-satunya model. Dan menerima kenyataan bahwa negara Dunia Ketiga dapat memiliki kesempatan untuk menempuh arah dan menentukan model pembangunannya sendiri.
Terakhir, hasil kajian baru teori modernisasi ini lebih memberikan perhatian pada faktor eksternal (lingkungan internasional) dibanding pada masa sebelumnya. Bahkan dalam analisanya, karya baru ini sering berhasil mengintegrasikan dengan baik faktor konflik kelas, dominasi ideologi, dan peranan agama.
E. Analisis tentang penerapan Teori Modernisasi di Indonesia selama ini,
apa yang telah dicapai dan apa kekurangannya.Untuk mengamati pembangunan di Indonesia pada masa pemerintahan Orde
Baru, Sritua Arief dan Adi Sasono menggunakan lima tolok ukur, yakni sifat pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, proses industrialisasi, pembiayaan pembangunan, dan persediaan bahan makanan.
Pertama, mereka melihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai Indonesia telah dibarengi dengan semakin lebarnya jurang pemisah si kaya dan si miskin. Pada periode 1970-1976, Arief dan Sasono berpendapat bahwa “golongan miskin ternyata bertambah miskin” sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “mereka tidak menikmati pertumbuhan ekonomi”.
Kedua, percepatan pembangunan yang tinggi mengakibatkan pula tingkat pengangguran yang tinggi. Ini terjadi akibat dari industri yang dikembangkan tidak banyak menyerap tenaga kerja. Sementara di sisi lain, sektor pertanian yang telah mengalami derasnya proses mekanisasi tidak lagi mampu menampung tenaga kerja sebesar yang pernah dimiliki pada masa sebelumnya. Dalam keadaan yang demikian, maka tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain yang tersedia, kecuali terjun ke dalam pasar tenaga kerja sektor jasa. Namun menurut, Arief dan Sasono melihat bahwa tingginya prosentase tenaga kerja di sektor tersier ini “bukan merupakan hasil evolusi dari struktur permintaan efektif di dalam negeri maupun evolusi dari kenaikan produktivitas”.
Ketiga, Arief dan Sasono melihat bahwa proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia adalah proses industrialisasi yang oleh Amin disebut sebagai industri ekstravesi (distorsi atas kegiatan-kegiatan usaha yang mengarah pada upaya ekspor). Industri substitusi impor yang dikembangkan memiliki ketergantungan modal dan teknologi asing yang tinggi. Inilah yang disebut Santos sebagai bentuk ketergantungan teknologi mulai terjadi di Indonesia.
Keempat, karena sifat pertumbuhan ekonomi yang dimiliki dan karena model industrialisasi yang dipilih, Indonesia, mau tidak mau, hanya memiliki satu pilihan, yakni kebutuhan untuk selalu memperoleh modal asing. Maka tidak berebihan jika Indonesia mengalami ketergantungan keuangan.
Kelima, sekalipun telah lama disadari betapa pentingnya, secara ekonomis maupun politis, memiliki swasembada pangan, khususnya beras, sampai dengan akhir tahun 1970-an Indonesia belum mampu mencapainya.
Secara singkat Arief dan Sasono menyimpulkan bahwa situasi ketergantungan dan keterbelakangan sebagian besar dan sedang berwujud di Indonesia.
Dan lahirnya kembali negara otoriter di Indonesia pada awal Orde Baru menurut Mohtar Mas’oed, pertama, disebabkan warisan krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada pertengahan 1960-an. Kedua, bahwa koalisi intern Orde Baru yang memaksa untuk segera melakukan rekonstruksi ekonomi secara radikal. Ketiga, orientasi ekonomi keluar yang dirumuskan Orde Baru pada akhir tahu 1960-an sampai tahun 1970-an memaksa Orde Baru mengambil bentuk NBO (Negara Birokratik Otoriter).
http://ibnkato.multiply.com/journal/item/3
ANALISA PERMASALAHAN
TEORI MODERNISASI
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1998 tidak memberi pilihan selain meminta bantuan keuangan ke Dana Moneter Internasional (IMF), untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia. Selain itu Indonesia sebagai salah satu negara Dunia Ketiga, masih memerlukan bantuan asing, sebagai implikasi kebijaksanaan pembangunan.Salah satu misi IMF adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-
kebijakan tertentu.
Dalam jangka pendek, umumnya IMF menekankan kebijakan-kebijakan berikut:1.devaluasi nilai tukar uang, unifikasi dan peniadaan kontrol uang.2.liberalisasi harga: peniadaan subsidi dan kontrol.3.pengetatan anggaran
Dalam jangka panjang, umumnya IMF menekankan kebijakan-kebijakan berikut;1.liberalisasi perdagangan : mengurangi dan meniadakan kuota impor dan tarif2.deregulasi sektor perbankan sebagai “program penyesuaian sektor keuangan”3.privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara4.privatisasi lahan pertanian, mendorong agribisnis5.reformasi pajak: memperkenalkan/meningkatkan pajak tak langsung6.‘mengelola kemiskinan’ melalui penciptaan sasaran dana-dana sosial7.‘pemerintahan yang baik’
Aplikasi kebijakan IMF di Indonesia diantaranya likuidasi 16 bank, mencabut larangan ekspor kayu gelondongan tahun pada 1998, menurunkan bea masuk gula dan beras turun sampai nol persen, mengurangi subsidi listrik dan BBM. Syarat-syarat tersebut dijalankan pada saat kondisi masyarakat belum pulih dari krisis ekonomi. Sehingga bukannya perekonomian yang membaik, justru banyak merugikan rakyat karena sosial cost yang dikeluarkan besar sekali. Misalnya akibat penutupan bank-bank tersebut memudarkan kepercayaan masyarakat pada bank. Masyarakat menarik dana besar-besaran dari bank lainnya yang tidak dilikuidasi. Akibat likuidasi uang menjadi langka, bunga melejit, masyarakat kelaparan. Tidak kurang dari Rp 660 triliun harus dikeluarkan pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional. IMF tentu saja bertanggung jawab atas sejumlah kekerasan struktural yang memancing kekerasan konvensional di Indonesia.Modernisasi memerlukan waktu panjang. Berbagai kebijakan IMF yang diterapkan di Indonesia dalam kondisi masyarakat yang tidak siap, akhirnya menyebabkan gejolak sosial dan politik. IMF dan pemerintah Indonesia sudah menyalahi ciri pokok modernisasi dan sekaligus membuktikan kekurangan dalam teori modernisasi menurut Rostow yaitu modernisasi yang dipaksa mengalami percepatan.IMF sendiri merupakan perpanjangan tangan kepentingan Amerika yang bisa mengontrol keputusan di IMF melalui hak votingnya, sesuai dengan besarnya hak suara yang dimiliki yakni 17, 81%. Angka tersebut cukup memberinya hak untuk memveto kebijakan IMF. Selain AS, tidak ada negara yang mempunyai lebih dari 6% suara dan mayoritas negara anggota mempunyai kurang dari 1%.Intervensi IMF pada kebijakan-kebijakan Indonesia, jelas merupakan praktik teori modernisasi. Ideologi teori modernisasi digunakan untuk memberikan legitimasi intervensi Amerika Serikat terhadap kepentingan negara Dunia Ketiga. Unsur dominasi asing di Indonesia secara ekonomi dan politis ini merupakan bentuk kolonialisme negara Barat pada negara dunia ketiga.KESIMPULAN1.Penerapan teori modernisasi di Indonesia saat menjalin kerjasama dengan IMF ternyata membawa dampak buruk bagi pembangunan ekonomi Indonesia yang disebabkan
dominasi IMF terhadap pengambilan kebijakan ekonomi Indonesia.2.Dalam kerjasama Indonesia dengan IMF, teori depedensi menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi krisis. Peluanasan utang bukan berarti Indonesia lepas dari keanggotaan IMF. Sehingga Indonesia masih menerapkan teori modernisasi dengan mengikuti lembaga internasional, sekaligus menerapkan teori dependensi dengan tidak tergantung lagi pada bantuan dari IMF.3.Kedua teori yang diterapkan bersamaan di Indonesia melahirkan strategi pembangunan campuran.
KRITIK DAN SARAN1.Para politisi yang duduk dalam pemerintah untuk mengambil kebijakan, sebaiknya berkonsultasi atau berkomunikasi dengan para ekonom. Sehingga kebijakan tersebut bisa meminimalisir efek buruk pada ekonomi Indonesia.2.Walaupun Indonesia masih membuka tangan bagi bantuan asing, namun seharusnya lebih selektif lagi. Indonesia bisa saja memanfaatkan bungan pinjaman dari negara lain yang cukup rendah, seperti Malaysia yang besarnya 6-7 persen dan Jepang yang hanya 2 persen.3.Indonesia harus waspada dan selektif dalam menjalin hubungan kerjasama.4.IMF harus mereformasi diri agar netral dan kembali ke misi yang sebenarnya.