1
politik energi tidak dapat dijadikan sebagai kekuatan politik di arena internasional. Seharusnya, sektor energi dan mineral sudah saatnya dikelola oleh anak bangsa sehingga keuntungannya dinikmati oleh bangsa sendiri. Sisi lain untuk Politik Iklim, sebenarnya isu iklim adalah isu tren global. Ketidakstabilan iklim diakibatkan akumulasi panjang dari pemanasan global, yang dirasakan setiap bangsa di muka bumi. Makanya, komunitas internasional melakukan pertemuan tingkat menteri yang diadakan di Bali pada 2007, yang dikenal dengan UNFCCC. Pertemuan tersebut melahirkan beberapa kesepakatan, di antaranya pengurangan suhu bumi dan komitmen pengurangan eksploitasi sumber daya hutan. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya hutan justru mengikut oleh skema yang digencarkan oleh negara maju dengan skema REDD (Reduce Emition Deforestation of Degra- dation) . Artinya, rakyat Indonesia hanya berperan sebagai penjaga hutan belaka dengan kompensasi hasil industri dari negara-negara maju. Anehnya, pemerintah mene- rimanya tanpa berpikir panjang dan hanya melihat keuntungan kompensasi semata. Hal tersebut sangat memalukan di arena politik global. Seharusnya, pemerintah menjadikan ”politikhutan”sebagai posisi tawar bagi negara-negara maju pada pertarungan politik iklim global. Ketidakjelian rezim SBY dalam melihat potensi dan peluang kekuatan politik hutan, menjadikan bangsa ini tidak dilihat sebagai bangsa yang kuat dan disegani. Sedangkan pada Politik Luar Negeri, sungguh sangat miris. Konfrontasi dengan Malaysia, mulai pencurian hak kekayaan intelektual seperti batik, kuliner, lagu-lagu, hingga kepulauan, serta kekerasan terhadap tenaga kerja, penangkapan nelayan dan staf DKP adalah penghinaan sungguh luar biasa dan memalukan. Jati diri bangsa telah dirobek-robek tanpa ada perlawanan sama sekali. Justru pidato yang ditunggu-tunggu dari SBY di luar dugaan rakyat Indonesia. Hilangnya jati diri bangsa di- akibatkan oleh lemahnya politik luar negeri pemerintah dalam memainkan manuver terhadap Malaysia. Politik “gertak sambal” yang digencarkan Malaysia terha- dap rakyat Indonesia, sangat menghina bangsa ini. Seharusnya SBY belajar pada bapak pendiri RRC Mao Zedong ketika berha- dapan dengan agresor AS dan Jepang, yang dari segi angkatan perang dan peralatan lebih canggih dari tentara rakyat merah China. Ide tersebut adalah “politik rakyat banyak” yang di luar pikiran para agresor. Pemikiran seorang Mao Zedong sangat sederhana namun sarat filosofis, “secanggih apapun peralatanmusuh,tapiakanditentukan oleh mental perjuangan dan jumlah pasukanyangbesardanterorganisasi menjadisyaratpenentukemenangan perang”(Karya dan Pikiran-pikiran Mao, 1944) . Sepertinya Soekarno jauh lebih memahami politik rakyat banyak ala Mao Zedong, ketika berpidato di depan rakyat Indonesia untuk kali pertama berkonfrontasi de- ngan Malaysia. Dengan oratif mengatakan “KalauMalaysiamasuk ke Indonesia dengan seribu serdadu, maka kami akan menyerang ke Malaysia dengan sepuluh ribu serdadu!” Seharusnya politik ini yang harus ditempuh rezim SBY, agar Malaysia tidak lagi mempermalukan rakyat Indo- nesia. Sebenarnya masih banyak tantangan yang “Saya (rakyat)” alamatkan ke SBY. Tapi kolom tidak memungkinkan untuk di- eksplorasi semuanya. Cukup sudah “politik seman- tisme demo-damai” yang di- anjurkan pada mahasiswa dan rakyat. Literatur terminologi demo-damai tidak ada dalam teori pembangkangan sipil dan gerakan perubahan, serta tidak terujihistoris.Istilahtersebutadanya sejak pasca reformasi 1998, yang tidak lain politik dari rezim yang berkuasa. Padahal, apapun nuansa demonstrasi logikanya didasari oleh akumulasi kemarahan. Dan kemarahan adalah dampak dari sebuah sistem yang menindas, bukan penyebab. Anarki hanyalah sebuah metodologi, bukan tujuan. Ingat, “Kami anak bangsa anti kekerasan, tetapi anarkhi menjadi solusi jika Rezim SBY abai terhadap kami.” Salam dari “Saya (rakyat)” Ujungpandang Harian Pagi Harian Pagi Makassar Senin, 25 Oktober 2010 TAJUK Memahami “Kebohongan” Statistik DI HARIAN ini, tanggal 22 Oktober 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali mengklaim keberhasilan pemerintahannya. Presiden mengatakan, angka kemiskinan pada 2004 adalah 16,9 persen. Selama enam tahun dia berkuasa di Indonesia, angka itu disebutnya turun menjadi 13,3 persen. Penurunan tersebut, kata SBY, sudah lebih baik dari capaian negara-negara lain. Sebelum-sebelumnya juga Presiden SBY, dan atau juru bicara, dan atau para menteri dan pembantunya, melalui media elektronik maupun cetak, mengklaim keberhasilan pembangunan ekonomi di masa pemerintahannya angka PDRB (Product Domestic Regional Bruto) Indonesia meningkat tajam. Angka pendapatan perkapita juga meningkat dari USD1.000 per orang setiap tahun, menjadi USD2.000 per orang setiap tahun. Belum lagi tingkat laju inflasi yang moderat, angka pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, investasi luar negeri yang terus- menerus membanjiri negeri ini untuk mengeruk kekayaan (yang menurut ekonom senior Kwik Kian Gie, investasi asing kali ini adalah upaya perampokan) sumber daya alam kita. Klaim atas keberhasilan-keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut, menjadi kontras ketika berada di lapangan dan jalanan. Masyarakat baik dari kalangan ibu-ibu, mahasiswa, buruh dan pedagang, terus melakukan demonstrasi. Demonstrasi yang sering berujung bentrok dan bahkan membawa korban jiwa, karena tidak ditemukan penyelesaian dan titik temu masalah. Aparat berpegang pada angka-angka dan pengumuman klaim keberhasilan pemerintah. Rakyat yang berdemonstrasi berpegang pada apa yang mereka rasakan sehari-hari. Gaji dan upah yang tidak cukup lagi untuk membeli kebutuhan pokok. Birokrat pendidikan makin bangga kalau biaya pendidikan semakin mahal, pengangguran dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) makin tinggi. Angka statistik tidak salah. Namun apa yang dirasakan rakyat adalah nyata.Angka statistik memiliki logika sendiri dalam metode sampling dan juga asumsi-asumsi dasarnya. Angka kemiskinan yang kelihatan turun, namun itu didasarkan pada asumsi empat tahun yang lalu bahwa seseorang dapat hidup di garis batas kemiskinan dengan penghasilan USD1 setiap hari. Empat tahun lalu, PBB sudah merevisi asumsi dasar perhitungan angka kemiskinan itu menjadi USD2 per orang setiap hari. Kalau digunakan asumsi dasar statistik tersebut apakah angka kemiskinan kita bisa diklaim menurun? Jika menurun, mengapa kasus gizi buruk di kantong-kantong kemiskinan makin meningkat? PDRB semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan- kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut, merupakan produk domestik daerah yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat produksi, logikanya, makin berkurang angka pengangguran dan meningkat kemakmuran. Namun nyatanya, semakin banyak produksi, semakin tinggi investasi asing, justru pengangguran kian membengkak. Tingkat pendapatan perkapita memang meningkat, namun apakah pendapatan perkapita rata-rata tersebut, masih cukup untuk berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari? Indeks nilai tukar petani pun meningkat. Namun ibu-ibu bisa menjawab apakah 1 kilogram beras produksi petani kita, setara dengan sebungkus rokok? Tidak lagi. Hanya setengahnya. Sebenarnya tidak ada salahnya dengan data statistik. Namun statistik bukanlah satu-satunya alat untuk menjadi petunjuk sampai di mana langkah pembangunan bangsa ini. Statistik menjadi sebuah “kebohongan” ketika metode penyampaian, kepentingan yang memotivasi penyampaian itu tidak adil. (**) Teori Spiral Keheningan LYNDA Lee Kaid dan Christina Holts-Bacha dalam buku terbarunya; Encyclopedia of Political Communication (2008), kembali menyajikan salah satu teori klasik terbentuknya opini publik, yaitu The Spiral of Silence Theory atau biasa disebut teori spiral keheningan. Teori tersebut dikembangkan peneliti komunikasi Jerman Elisabeth Noelle-Neumann (1960-1970), di mana asumsi dan konsepnya dianggap para pakar komunikasi, masih sangat relevan dan abadi untuk menganalisis- memformulasi pendapat kolektif serta keputusan sosial dengan merujuk isu-isu “nyelekit” yang hangat diperbincangkan publik. Cara kerja teori ini adalah proses opini yang bekerja secara dinamis melalui komunikasi interpersonal dan media massa (model spiral) sehingga dalam perkembangannya terbentuklah pendapat masyarakat. Jelasnya, cakupan teori keheningan ini diimplementasikan berupa ada kelompok opini masyarakat yang kuat, sementara kelompok opini dominan lainnya mempunyai pendapat yang sama tapi tak “teropinikan”. Bahkan Noelle-Neumann memberikan contoh, pemilihan umum, misalnya, kita biasa memiliki dan merasakan opini yang powerful terhadap sosok kandidat atau isu dalam suatu kontestasi. Dan, kita mengungkapkan pilihannya ketika orang lain juga memutuskan pillihannya (Littlejohn, 2009). Jadi, faktor ikutan opini individu dengan opini masyarakat, kemudian media massa memberitakan sehingga terbentuklah opini publik. Faktor ikutan opini diibaratkan sebagai lokomotif dan gerbong kereta api.Artinya, ketika “opini lokomotif” berjalan maka “opini gerbong” kereta api lainnya tertarik dengan sendirinya. Bagaimana fenomena korupsi dihubungkan dengan teori keheningan? Misalnya saja, kasus aroma korupsi terjadi di suatu instansi baik di lingkungan lembaga pendidikan, pemerintahan, penegak hukum, dan legislatif. Fenomena rumor gurih korupsi sangat sedap diperbincangkan melalui komunikasi interpersonal, bahkan diperdebatkan di warung kopi (public sphere) dan pembicaraan masyarakat terpelajar, sehingga “bau amis” korupsi sudah menjadi rahasia publik. Soal, ketika korupsi disentuh media, maka terjadilah apa disebut Noelle-Neuman sebagai fungsi penghukuman (pillory function) dari media. Cara kerja sibernetika teori keheningan, perlu diingatkan kepada pemimpin yang berkuasa dalam menjalankan amanah publik tak mengikutkan “tabiat” korupsi (kolaborasi kekuasaan dan uang) dengan mengajak keluarga dan kroninya “menggemplang” uang rakyat. Apa pun alasannya, pejabat publik dari perspektif teori keheningan menunjukkan kepada kita bahwa mekanisme proses pembentukan pendapat bekerja secara otomatis di ranah publik yang menyebabkan seorang pemimpin mengalami social judgment, boleh jadi, hukumannya jauh lebih berat dari keputusan hakim di pengadilan. Oleh karena itu, pemimpin publik yang telanjur mengalami hukuman sosial, tak hanya melibatkan sosok dari pemimpin itu sendiri, tapi juga melibatkan keluarga dan kroni yang meluluh- lantakkan harga diri dan integritas seorang pemimpin. Dan, pelajaran terbaik dari teori spiral of silence, sebaiknya pemimpin menjauhkan diri dari opini tercela, baik sikap dan perilaku; koruptif, kolutif, dan nepotisme. Kecuali, pemimpin tersebut diperbudak kekayaan material yang dibungkus dalam bingkai kekuasaan sehingga opini publik dalam wujud social judgment (baca: rumor gurih kasus korupsi) dianggap angin lalu. Sungguh tragis! Dampak Perang Kurs terhadap Indonesia P erang kurs ini ditengarai kebijakan China mematok kurs Yuan 40 persen dari seharusnya. Menanggapi hal itu, Presiden Obama dan Menteri Keuangan AS Timothy Geithner menekan China agar menaikkan kursYuan yang sebelumnya berada pada level USD6,8 per Yuan. Sebenarnya, menurunkan mata uang, seperti Yuan dari harga sewajarnya terhadap USD akan berdampak pada kinerja ekspor. Produk-produk China akan membanjiri pasar potensial AS.Akibatnya, akan terjadi defisit perdagangan AS terhadap China. Selain itu, surplus perdagangan China ini akan mengeksploitasi tenaga kerjaAS. Banjirnya produk- produk China di AS akan berdam- pak pula pada rendahnya produksi sehingga menurunkan penyerapan tenaga kerja dan volume pekerjaan. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya memproduksi barang dan jasa pada volume normal, dengan banjirnya barang impor dengan kualitas dan harga yang bersaing akan berdampak pada pengurangan volume produksi. Akibatnya aktivitas produksi menjadi berkurang. Perseteruan ini membuat AS dan Eropa menuduh China berada di belakang semua ini. Namun, sebenarnya masalah ini boleh jadi disebabkan kebijakan otoritas moneter AS yang mematok suku bunga mendekati nol persen. Kebijakan ini membuat arus dana global (capital out flow) masuk ke negara-negara berkembang. Selain itu, kebijakan AS dan Eropa yang mengutamakan kon- sumsi ketimbang produksi mereka lambat menekan defisit anggaran pemerintah yang sejak lama telah melebihi tiga persen dari PDB yang merupakan batasan yang aman. Kebijakan penurunan tingkat suku bunga mendekati nol persen dianggap tidak menggiurkan bagi investor dengan pertimbangan nilai return on equity sangat ren- dah yang mendekati nilai tingkat suku bunga nol persen. Investor lebih memilih menginvestasikan modalnya ke negara-negara ber- kembang dengan return yang menggiurkan, setidaknya di atas nilai suku bunga pasar. Kondisi ini membuat naiknya produksi barang dan jasa negara-negara berkembang. Ekonomi Indonesia Jika tidak diantisipasi sejak dini, perang kurs yang terjadi belakangan ini mempunyai konse- kuensi serius bagi negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Ada kekhawatiran jangan sampai Indonesia akan kembali lagi pada masa krisis moneter (krismon) seperti 1997 lalu. Saat itu, peme- rintah dan para ahli ekonomi menganggap jika pelemahan kurs mata uang ASEAN tidak berdampak besar terhadap pere- konomian Indonesia. Mereka beranggapan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat dan tak tergoyahkan. Namun kenyataannya tidak. Pemerintah tidak jujur mem- berikan pernyataan yang sebe- narnya bahwa kurs kita berada pada fase instabilitas. Akibatnya efek pelemahan kurs dari Thailand secara bertahap meluncur ba- gaikan thriller ke Indonesia. Terjadilah krisis berkepanjangan yang dampaknya hingga kini masih terasa. Seperti dengan perang kurs yang sedang terjadi belakangan ini, kendati kelihatannya sepele, tapi bisa berpotensi menimbulkan instabilitas ekonomi global. Indo- nesia yang sekarang ini sedang dalam pemulihan ekonomi dan merangkak mandiri, bisa saja “kejatuhan tangga” yang kedua kalinya. Perang kurs ini dapat menga- rah pada perang dagang, di mana negara-negara berlomba- lomba melakukan proteksi ter- hadap impor dengan jalan me- ningkatkan tarif pajak, birokrasi pelayanan administasi, dan ber- bagai proteksi lainnya yang me- mungkinkan suatu negara sangat sulit melakukan ekspansi ekspor ke negara lain. Bagi Indonesia, perang kurs setidaknya mendapatkan perha- tian serius karena berdampak terhadap turunnya volume ekspor ke negara tujuan khususnya keAS, Uni Eropa, China, dan beberapa pasar potensial lainnya sebagai konsekuensi pelemahan nilai mata uang tujuan ekspor. Kondisi ini akan membuat turunnya neraca perdagangan Indonesia terhadap negara tujuan ekspor. Selain itu, juga berpotensi menaikkan inflasi akibat perilaku belanja berlebihan (panic buying). Permintaan konsumen yang tinggi (exes demand) akan memicu merangkaknya harga-harga ke- butuhan dasar. Kondisi ini se- makin parah apabila naiknya inflasi tidak dibarengi kemampu- an daya beli masyarakat. Ini bisa mengakibatkan lingkaran setan. Tak kalah pentingnya, dam- paknya juga bisa berimbas ke masalah sosial, dan keamanan, yaitu dua aspek yang saling bersinggungan. Penjarahan akan terjadi ketika kebutuhan dasar masyarakat tidak terpenuhi dan itu akan memicu situasi keamanan yang tidak kondusif. Krismon 1997 lalu membuktikan hal ini di mana penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan terjadi di mana-mana. Dalam keadaan seperti ini, di mana situasi sangat sulit dikendalikan dan berlarut- larutnya berbagai problematika yang dihadapi, maka akhirnya rakyat akan menderita. Di samping itu, secara mikro akan menurunkan pendapatan perusahaan. Situasi ini bisa berimbas pada likuiditas yang pada akhirnya juga berdampak pada kewajiban perusahaan terhadap karyawan. Demo akan mewarnai aktivitas perusahaan sehari-hari karena merasa haknya tidak terpenuhi.Akibatnya, proses produksi terhenti, pendapatan perusahaan menurun, pendapatan karyawan juga tidak terjamin dan membuat kemampuan daya beli masyarakat rendah dan akhirnya terjadilah krisis multi dimensi secara luas sebagai efek domino. Tunda Redenominasi Rupiah Polemik atas keinginan Bank Indonesia melakukan redenomi- nasi rupiah beberapa waktu lalu memang sempat membuat ba- nyak kalangan bertanya-tanya. Kekhawatiran yang ditakutkan jangan sampai di tengah upaya pemulihan ekonomi justru akan membuat ekonomi semakin runyam. Redenominasi pada dasarnya tidak perlu ditakuti karena sifat- nya hanya sebatas simplifikasi atau penyederhanaan. Sepanjang tingkat inflasi terkendali atau cenderung turun, pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren pe- ningkatan, nilai kurs stabil, dan utang terhadap persentase PDRB cenderung turun, maka tidak ada salahnya melakukan redenominasi. Hanya saja, pelaksanaannya mesti menunggu waktu yang tepat dengan mempertimbangkan kondisi global ekonomi dan so- sialisasi yang panjang. Hal ini dimaksudkan untuk menghin- dari panic buying yang bisa mendorong naiknya laju inflasi. Sebaiknya, jika memang ada upaya kuat dari pemerintah me- lakukan redenominasi, sebaiknya dilakukan penundaan. Langkah urgensi yang mesti dilakukan sekarang adalah bagaimana me- nata perekonomian Indonesia yang berpihak bukan saja kepada para investor tetapi yang tak kalah pentingnya kepada masyarakat yang merupakan elemen ter- penting dan terbesar dalam men- dukung proses perbaikan ekonomi bangsa Indonesia. T anpa terasa, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyo- no-Boediono sudah lebih satu tahun. Namun sampai saat ini, belum menunjukkan hasil yang diinginkan rakyat. Para pembantu presiden di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang merupakan kolaborasi akademisi dan titipan partai politik, justru dengan percaya diri mengatakan bahwa keberhasilan departemen yang mereka pimpin semuanya berjalan sesuai target. Euforia presiden dan para pembantunya,menunjukkanbetapa merekasangatmenonjolkanangka- angka yang mengalami peningkatan yang signifikan. Rakyat awam terutama kelas menengah ke bawah yangmendominasinegeriini,disugu- hi permainan (baca; kamuflase) angka-angka dan tabel kurva yang hanya sepintas ditayangkan di layar kaca. Tabel-tabel tersebut menunjukkan dengan entengnya garis yang menanjak ibarat anak tangga dari tahun ke tahun. Politik pencitraan dan politik debat kusir, adalah merupakan tren di era digital yang memenuhi ruang-ruang politik kekinian. Era teknologi komunikasi mutakhir ditandai dengan model kecirian menjadi manusia ilusionis. Setiap hari manusia disuguhi kabar- berita yang tercerabut dari asas pembuktian konkret. Kebohongan yang dikemas secara elektronik, yang diinjeksikan secara simultan dan kontinu, mengakibatkan kesa- daran manusia terarah pada hal-hal yang bersifat dis-empiris. Ilusifitas kesadaran, mencetak manusia- manusia bio-robotik. Kesadaran manusia terjajah oleh objek yang diciptakannya sendiri. Kecenderungan manusia seper- ti itu adalah tampilan manusia kehilangan jati diri. Atau, tindakan yang tercerabut dari pikiran. Angka-angka dan tabel kurva yang dikemas secara simultan dan kontinu membuat manusia/ masyarakat menerimanya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Tapi, tidak semua manusia Indonesia dapat dibohongi seperti itu. “Saya (rakyat)”, tidak mudah diilusi dengan kemasan indah elektronis yang canggih itu. Tantangan “Saya (rakyat)” sekitar arena politik paling me- nonjol saat ini. Antara lain Politik Pangan. Strategi pangan nasional yang dicanangkan SBY lebih cenderung pada persoalan pangan semata, tetapi tidak memperhatikan subjek biomesin produktivitas yakni petani. Padahal tidak mung- kin produksi meningkat kalau petaninya tidak sehat alias miskin. Programpeningkatanpanganuntuk ekspor yang menjadi pengejaran pemerintah memang ada benarnya. Tapi, pangan untuk ekspor dan mengabaikan kondisi perut rakyat adalah sebuah ironi. Tingkat kemiskinan yang tinggi mengakibatkan terjadinya rak- yat kelaparan di mana-mana. Setiap tahun, tidak sedikit angka kematian balita diakibatkan oleh kekurangan gizi alias busung lapar. Ini kekurangan mendasar dari rezim SBY. Seharusnya sektor pangan nasional harus diawali basis pertanian akan restrukturisasi dan distribusi tanah bagi para petani. Program reformasi agraria harus menjadi pendulum dalam peningkatan pangan nasional. Ini yang tidak dilakukan rezim SBY. Di sektor Politik Energi ; pe- ngelolaan sumber daya energi nasional untuk migas, batu bara, dan tambang mineral seperti emas, nikel, timah, bauksit, dan lain- lainnya, sekitar 90 persen diserah- kelolakan pada pihak asing. jika merujuk pada angka-angka yang kamuflatifdariDepartemenESDM memang menunjukkan peningka- tan pendapatan. Namun, perlu disimak bahwa peningkatan tersebut adalah laba buat peru- sahaan pengelola. Bukan fee untuk kas negara. Keuntungan kas nasional hanya melalui pajak dan dana bagi hasil (DBH) yang sangat minim. Alasan yang sering dilontarkan oleh rezim SBY, adalah bahwa sektor pertambangan energi adalah high teknologi industry, yang belum dapat dikelola oleh negara. Dikarenakan sumberdaya manu- sia dan modal belum memadai. Padahal, hal tersebut adalah omong kosong belaka. Putra- putri Indonesia bukan lagi bangsa yang bodoh. Sumber daya dan angkatan kerja Indonesia sudah siap dan memadai. Tiap tahunnya negara mencetak engineer yang banyak. Kondisi ini membuat Saya (Rakyat) Menantang SBY OLEH MUH TAUFIK KASAMING Aktivis Forum Studi Humaniora Makassar Cukup sudah “politik pen- citraan” yang ilusif. Cukup sudah “politik kamuflatif” angka-angka dan tabel kurva yang menipu. Cukup sudah “politik moral” yang dialamatkan terhadap teman-teman mahasiswa yang dituduh anarkis. Entah apa yang mendo- rong Menteri Keuangan Brasil Guido Mantego melontarkan pernyataan tentang perang kurs. Pernyataan ini sontak mendapat perhatian dunia mengingat belakangan ini terjadi perseteruan hebat yang mengarah pada perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. OLEH A MATTINGARAGAU T Peneliti FIPO dan Pemerhati Ekonomi Hasrullah Podium Pemimpin Umum: H. Syamsu Nur Wakil Pemimpin Umum: Agus Salim Alwi Hamu Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab: Sukriansyah S.Latief Wakil Pemimpin Redaksi/Wakil Penanggungjawab: Muhammad Yusuf AR, Faisal Syam Koordinator Kompartemen: Uslimin, Silahuddin Genda, Ruslan Ramli Asisten Koordinator Kompartemen: Buyung Maksum,Fachruddin Palapa, Muhammad Ilham Sekretaris Redaksi: Anita A. Amier Dewan Redaksi: H.M. Alwi Hamu, Sukriansyah S.Latief, H. Syamsu Nur, Nur Alim Djalil, Muhammad Yusuf AR, Faisal Syam, Suwardi Thahir, Subhan Yusuf, Fuad Rumi, Ishak Ngeljaratan, Aidir Amin Daud, Piet Heriady Sanggelorang, MS Kartono, Zulkifli Gani Ottoh, Staf Redaksi: Arsyad Hakim, Basir Kadir, Basri, Baharuddin Moenta, Dian Hendiyanto, Erniwati, Saifuddin, Sunarti Sain, Yusuf Said, Zainuddin Saleha; Re- porter: Amiruddin, Anggi S. Ugart, Aswad Syam, Mukhlis Amans Hady, Nasri Aboe, Ramah Praeska, Syarifa Aida, Yulhaidir Ibrahim; Fotografer: Irfan, Slamet Riady, Tawakkal. Koordinator Produksi: Fadil Sunarya, Koordinator Pra-cetak/Grafis: Burhanuddin Saputra, Asjar (Asisten). Teknologi Informasi: MS Kartono, Syafaruddin, Khalil. Biro Pemberitaan Jakarta: Alief Sappewali; Redaksi Malam: (0411) 442969 - 441441 Email: [email protected]; [email protected] Percetakan: PT. FAJAR JAWA RAYA - Jl. Urip Sumoharjo No.20 Makassar Alamat Perwakilan Jakarta: Sahel Abdullah, Mu’min Rolle - Jl Kebayoran Lama No.17 Telp.(021) 5322632 - Fax(021) 5322629 Alamat Perwakilan Surabaya: Sukri, Komp. Grand Flower B-20 Jl. PASAR Kembang 4-6 Surabaya Telp. 031.5465239.Fax.031.5323674.Harga Langganan: -Makassar dan Luar Kota (Sulsel): Rp 80.000,-/Bulan - Luar kota: Rp 85.000,-/Bulan, Luar Sulsel: Rp 100.000,-/Bulan - Eceran dalam Kota: Rp 3.500,-/Eksemplar-Daerah lain disesuaikan ongkos kirim. Tarif Iklan: Umum (BW): Rp 30.000,-/ mm kolom - Warna: Rp 45.000,-/mm kolom. Penerbit: PT. Media Fajar, SIUPP: No. 085/SK/Menpen/SIUPP/A.7/1986 Tgl. Maret 1986 Direktur Utama: H. Syamsu Nur ; Wakil Direktur Utama: Agus Salim Alwi Hamu Direktur Produksi/SDM: Sukriansyah S.Latief; Direktur Keuangan: Ridwan Arief; Direktur Pemasaran: Sahel Abdullah Wakil Direktur: Muhammad Yusuf AR, L Hanura, Abd Haliq Pembina: H. Dahlan Iskan Komisaris Utama: HM Alwi Hamu, Komisaris: Ny Dorothea Samola, A Syafiuddin Makka, Zulkifli Gani Ottoh, S. Sinansari ecip, Hatta A. Hamu. BPP Fajar Group: H. Syamsu Nur (Ketua), Irwan Zainuddin (Wakil Ketua), Sri Suhartini (Sekretaris), Zoel Dirgha Dinhi (Auditor) Ombudsman: Suwardi Thahir (Ketua),Ridwan J. Silamma, SH, Naziruddin Pasigai, Munjin S. Asy’ari Sekre- taris: Irwan Zainuddin. Umum/Sekretaris Direksi: Fitriani Solong Manajer Iklan: Nur Hayat Staf: Ihsan, Nur Alim, Nirmal, Dwiyani Prihatin, Ike Rahmawati; Manajer Sirkulasi: Ardi S; Promosi: Firdaus Nur, Abd. Karim Alwi; Alamat Redaksi/Tata Usaha: Jl. Urip Sumoharjo No.20 Makassar - Telp. (0411) 441441 (Hunting) Iklan : (0411) 440234, Sirkulasi: 440222 Fax. Tata Usaha (0411) 441224 - Fax. Redaksi (0411) 441225, Kantor Perwakilan Iklan dan Sirkulasi: Jl. Botolempangan No. 3 Makassar Telp. (0411) 331022 Biro: Mahatir Mahbub, (Parepare) Jl. Andi Cammi No. 45, Telp (0421) 22528-25217; Faristanto, (Bone) Jl. A. Yani No. 29 Telp. (0481) 22483; Suherman (Palopo) Jl. Jend. Sudirman No. 94B Telp. (0471) 21190, – (Sengkang) Jl. KH. As’ad No. 45 Telp (0485) 323111, – (Polmas) Jl.A. Depu No 39 Telp (0428) 23207; Muhammad Arman, (Bulukumba) Jl. Andi Mappijalang Telp. (0413) 82555; Akbar Hamdan (Pangkep); – (Sinjai) Amrullah Basri (Takalar); Bank:- BUKOPIN R/C 1003067081 - BNI 46 Sudirman Makassar R/C No. 0065.665.314 - BNI Giro Nitro R/C No. 008 319 9564 - BNI 46 Kebayoran Baru Jakarta R/C No. 022.000032455.001 - Bank Mandiri Giro Panakukang No. Rek. 152-00-9200001-3. BRI KCP Graha Pena Makassar R/C No. 1073-01-000043-30-5. Ujungpandang Harian Pagi Harian Pagi Makassar Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, semua wartawan Harian Fajar dibekali tanda pengenal dan tidak diperkenankan menerima maupun meminta imbalan dari siapapun, dalam bentuk apapun, serta dengan alasan apapun. Semua penulis Opini/Artikel serta Kolom Lepas hendaknya mencantumkan Nomor Rekening. Naskah yang dikirim ke Redaksi menjadi milik Harian Fajar, karena itu naskah yang sama tidak boleh dikirim ke media lain. Semua isi artikel/tulisan yang berasal dari luar, sepenuhnya tanggung jawab penulis bersangkutan. g General Manager/Penanggung Jawab: Mustafa Kufung Manajer Iklan: Ihsan DJ Manajer Teknik: Khalil Syamsu Manajer Keuangan: Hajeriah, SE Alamat Redaksi: Jl. Urip Sumoharjo No.20 Makassar - Telp. (0411) 441441 (Hunting), (0411) 441225 (Fax). g

Teori Spiral of Silence

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Teori Spiral of Silence

politik energi tidak dapat dijadikan sebagai kekuatan politik di arena internasional. Seharusnya, sektor energi dan mineral sudah saatnya dikelola oleh anak bangsa sehingga keuntungannya dinikmati oleh bangsa sendiri.

Sisi lain untuk Politik Iklim, sebenarnya isu iklim adalah isu tren global. Ketidakstabilan iklim diakibatkan akumulasi panjang dari pemanasan global, yang dirasakan setiap bangsa di muka bumi. Makanya, komunitas internasional melakukan pertemuan tingkat menteri yang diadakan di Bali pada 2007, yang dikenal dengan UNFCCC. Pertemuan tersebut melahirkan beberapa kesepakatan, di antaranya pengurangan suhu bumi dan komitmen pengurangan eksploitasi sumber daya hutan. Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya hutan justru mengikut oleh skema yang digencarkan oleh negara maju dengan skema REDD (Reduce Emition Deforestation of Degra-dation). Artinya, rakyat Indonesia hanya berperan sebagai penjaga hutan belaka dengan kompensasi hasil industri dari negara-negara maju. Anehnya, pemerintah mene-rimanya tanpa berpikir panjang dan hanya melihat keuntungan kompensasi semata. Hal tersebut sangat memalukan di arena politik global. Seharusnya, pemerintah menjadikan ”politik hutan” sebagai posisi tawar bagi negara-negara maju pada pertarungan politik iklim global. Ketidakjelian rezim SBY dalam melihat potensi dan peluang kekuatan politik hutan, menjadikan bangsa ini tidak dilihat sebagai bangsa yang kuat dan disegani.

Sedangkan pada Politik Luar Negeri, sungguh sangat miris. Konfrontasi dengan Malaysia, mulai pencurian hak kekayaan intelektual seperti batik, kuliner, lagu-lagu, hingga kepulauan, serta kekerasan terhadap tenaga kerja, penangkapan nelayan dan staf DKP adalah penghinaan sungguh luar biasa dan memalukan. Jati diri bangsa telah dirobek-robek tanpa ada perlawanan sama sekali. Justru pidato yang ditunggu-tunggu dari SBY di luar dugaan rakyat Indonesia.

Hilangnya jati diri bangsa di-akibatkan oleh lemahnya politik

luar negeri pemerintah dalam memainkan manuver terhadap Malaysia. Politik “gertak sambal” yang digencarkan Malaysia terha-dap rakyat Indonesia, sangat menghina bangsa ini. Seharusnya SBY belajar pada bapak pendiri RRC Mao Zedong ketika berha-dapan dengan agresor AS dan Jepang, yang dari segi angkatan perang dan peralatan lebih canggih dari tentara rakyat merah China. Ide tersebut adalah “politik rakyat banyak” yang di luar pikiran para agresor. Pemikiran seorang Mao Zedong sangat sederhana namun sarat filosofis, “secanggih apapun peralatan musuh, tapi akan ditentukan oleh mental perjuangan dan jumlah pasukan yang besar dan terorganisasi menjadi syarat penentu kemenangan perang” (Karya dan Pikiran-pikiran Mao, 1944).

Sepertinya Soekarno jauh lebih memahami politik rakyat banyak ala Mao Zedong, ketika berpidato di depan rakyat Indonesia untuk kali pertama berkonfrontasi de-ngan Malaysia. Dengan oratif mengatakan“Kalau Malaysia masuk ke Indonesia dengan seribu serdadu, maka kami akan menyerang ke Malaysia dengan sepuluh ribu serdadu!” Seharusnya politik ini yang harus ditempuh rezim SBY, agar Malaysia tidak lagi mempermalukan rakyat Indo-nesia. Sebenarnya masih banyak tantangan yang “Saya (rakyat)” alamatkan ke SBY. Tapi kolom tidak memungkinkan untuk di-eksplorasi semuanya.

Cukup sudah “politik seman-tisme demo-damai” yang di-anjurkan pada mahasiswa dan rakyat. Literatur terminologi demo-damai tidak ada dalam teori pembangkangan sipil dan gerakan perubahan, serta tidak teruji historis. Istilah tersebut adanya sejak pasca reformasi 1998, yang tidak lain politik dari rezim yang berkuasa. Padahal, apapun nuansa demonstrasi logikanya didasari oleh akumulasi kemarahan. Dan kemarahan adalah dampak dari sebuah sistem yang menindas, bukan penyebab. Anarki hanyalah sebuah metodologi, bukan tujuan. Ingat, “Kami anak bangsa anti kekerasan, tetapi anarkhi menjadi solusi jika Rezim SBY abai terhadap kami.” Salam dari “Saya (rakyat)”

UjungpandangHarian PagiHarian Pagi Makassar

Senin, 25 Oktober 2010

tajuk

Memahami “Kebohongan” StatistikDI HARIAN ini, tanggal 22 Oktober 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali mengklaim keberhasilan pemerintahannya. Presiden mengatakan, angka kemiskinan pada 2004 adalah 16,9 persen. Selama enam tahun dia berkuasa di Indonesia, angka itu disebutnya turun menjadi 13,3 persen. Penurunan tersebut, kata SBY, sudah lebih baik dari capaian negara-negara lain.

Sebelum-sebelumnya juga Presiden SBY, dan atau juru bicara, dan atau para menteri dan pembantunya, melalui media elektronik maupun cetak, mengklaim keberhasilan pembangunan ekonomi di masa pemerintahannya angka PDRB (Product Domestic Regional Bruto) Indonesia meningkat tajam. Angka pendapatan perkapita juga meningkat dari USD1.000 per orang setiap tahun, menjadi USD2.000 per orang setiap tahun.

Belum lagi tingkat laju inflasi yang moderat, angka pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, investasi luar negeri yang terus-menerus membanjiri negeri ini untuk mengeruk kekayaan (yang menurut ekonom senior Kwik Kian Gie, investasi asing kali ini adalah upaya perampokan) sumber daya alam kita.

Klaim atas keberhasilan-keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut, menjadi kontras ketika berada di lapangan dan jalanan. Masyarakat baik dari kalangan ibu-ibu, mahasiswa, buruh dan pedagang, terus melakukan demonstrasi. Demonstrasi yang sering berujung bentrok dan bahkan membawa korban jiwa, karena tidak ditemukan penyelesaian dan titik temu masalah.

Aparat berpegang pada angka-angka dan pengumuman klaim keberhasilan pemerintah. Rakyat yang berdemonstrasi berpegang pada apa yang mereka rasakan sehari-hari. Gaji dan upah yang tidak cukup lagi untuk membeli kebutuhan pokok. Birokrat pendidikan makin bangga kalau biaya pendidikan semakin mahal, pengangguran dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) makin tinggi.

Angka statistik tidak salah. Namun apa yang dirasakan rakyat adalah nyata. Angka statistik memiliki logika sendiri dalam metode sampling dan juga asumsi-asumsi dasarnya.

Angka kemiskinan yang kelihatan turun, namun itu didasarkan pada asumsi empat tahun yang lalu bahwa seseorang dapat hidup di garis batas kemiskinan dengan penghasilan USD1 setiap hari. Empat tahun lalu, PBB sudah merevisi asumsi dasar perhitungan angka kemiskinan itu menjadi USD2 per orang setiap hari. Kalau digunakan asumsi dasar statistik tersebut apakah angka kemiskinan kita bisa diklaim menurun? Jika menurun, mengapa kasus gizi buruk di kantong-kantong kemiskinan makin meningkat?

PDRB semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang beroperasi di wilayah domestik, tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk daerah tersebut, merupakan produk domestik daerah yang bersangkutan. Semakin tinggi tingkat produksi, logikanya, makin berkurang angka pengangguran dan meningkat kemakmuran. Namun nyatanya, semakin banyak produksi, semakin tinggi investasi asing, justru pengangguran kian membengkak.

Tingkat pendapatan perkapita memang meningkat, namun apakah pendapatan perkapita rata-rata tersebut, masih cukup untuk berbelanja memenuhi kebutuhan sehari-hari? Indeks nilai tukar petani pun meningkat. Namun ibu-ibu bisa menjawab apakah 1 kilogram beras produksi petani kita, setara dengan sebungkus rokok? Tidak lagi. Hanya setengahnya.

Sebenarnya tidak ada salahnya dengan data statistik. Namun statistik bukanlah satu-satunya alat untuk menjadi petunjuk sampai di mana langkah pembangunan bangsa ini. Statistik menjadi sebuah “kebohongan” ketika metode penyampaian, kepentingan yang memotivasi penyampaian itu tidak adil. (**)

Teori Spiral KeheninganLyNDA Lee Kaid dan Christina Holts-Bacha dalam buku terbarunya; Encyclopedia of Political Communication (2008), kembali menyajikan salah satu teori klasik terbentuknya opini publik, yaitu The Spiral of Silence Theory atau biasa disebut teori spiral keheningan. Teori tersebut dikembangkan peneliti komunikasi Jerman Elisabeth Noelle-Neumann (1960-1970), di mana asumsi dan konsepnya dianggap para pakar komunikasi, masih sangat relevan dan abadi untuk menganalisis- memformulasi pendapat kolektif serta keputusan sosial dengan merujuk isu-isu “nyelekit” yang hangat diperbincangkan publik.

Cara kerja teori ini adalah proses opini yang bekerja secara dinamis melalui komunikasi interpersonal dan media massa (model spiral) sehingga dalam perkembangannya terbentuklah pendapat masyarakat. Jelasnya, cakupan teori keheningan ini diimplementasikan berupa ada kelompok opini masyarakat yang kuat, sementara kelompok opini dominan lainnya mempunyai pendapat yang sama tapi tak “teropinikan”.

Bahkan Noelle-Neumann memberikan contoh, pemilihan umum, misalnya, kita biasa memiliki dan merasakan opini yang powerful terhadap sosok kandidat atau isu dalam suatu kontestasi. Dan, kita mengungkapkan pilihannya ketika orang lain juga memutuskan pillihannya (Littlejohn, 2009). Jadi, faktor ikutan opini individu dengan opini masyarakat, kemudian media massa memberitakan sehingga terbentuklah opini publik. Faktor ikutan opini diibaratkan sebagai lokomotif dan gerbong kereta api. Artinya, ketika “opini lokomotif” berjalan maka “opini gerbong” kereta api lainnya tertarik dengan sendirinya.

Bagaimana fenomena korupsi dihubungkan dengan teori keheningan? Misalnya saja, kasus aroma korupsi terjadi di suatu instansi baik di lingkungan lembaga pendidikan, pemerintahan, penegak hukum, dan legislatif. Fenomena rumor gurih korupsi sangat sedap diperbincangkan melalui komunikasi interpersonal, bahkan diperdebatkan di warung kopi (public sphere) dan pembicaraan masyarakat terpelajar, sehingga “bau amis” korupsi sudah menjadi rahasia publik. Soal, ketika korupsi disentuh media, maka terjadilah apa disebut Noelle-Neuman sebagai fungsi penghukuman (pillory function) dari media.

Cara kerja sibernetika teori keheningan, perlu diingatkan kepada pemimpin yang berkuasa dalam menjalankan amanah publik tak mengikutkan “tabiat” korupsi (kolaborasi kekuasaan dan uang) dengan mengajak keluarga dan kroninya “menggemplang” uang rakyat. Apa pun alasannya, pejabat publik dari perspektif teori keheningan menunjukkan kepada kita bahwa mekanisme proses pembentukan pendapat bekerja secara otomatis di ranah publik yang menyebabkan seorang pemimpin mengalami social judgment, boleh jadi, hukumannya jauh lebih berat dari keputusan hakim di pengadilan.

Oleh karena itu, pemimpin publik yang telanjur mengalami hukuman sosial, tak hanya melibatkan sosok dari pemimpin itu sendiri, tapi juga melibatkan keluarga dan kroni yang meluluh-lantakkan harga diri dan integritas seorang pemimpin. Dan, pelajaran terbaik dari teori spiral of silence, sebaiknya pemimpin menjauhkan diri dari opini tercela, baik sikap dan perilaku; koruptif, kolutif, dan nepotisme. Kecuali, pemimpin tersebut diperbudak kekayaan material yang dibungkus dalam bingkai kekuasaan sehingga opini publik dalam wujud social judgment (baca: rumor gurih kasus korupsi) dianggap angin lalu. Sungguh tragis!

Dampak Perang Kurs terhadap IndonesiaPerang kurs ini ditengarai

kebijakan China mematok kurs Yuan 40 persen dari

seharusnya. Menanggapi hal itu, Presiden Obama dan Menteri Keuangan AS Timothy Geithner menekan China agar menaikkan kurs Yuan yang sebelumnya berada pada level USD6,8 per Yuan.

Sebenarnya, menurunkan mata uang, seperti Yuan dari harga sewajarnya terhadap USD akan berdampak pada kinerja ekspor. Produk-produk China akan membanjiri pasar potensial AS. Akibatnya, akan terjadi defisit perdagangan AS terhadap China.

Selain itu, surplus perdagangan China ini akan mengeksploitasi tenaga kerja AS. Banjirnya produk-produk China di AS akan berdam-pak pula pada rendahnya produksi sehingga menurunkan penyerapan tenaga kerja dan volume pekerjaan. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya memproduksi barang dan jasa pada volume normal, dengan banjirnya barang impor dengan kualitas dan harga yang bersaing akan berdampak pada pengurangan volume produksi. Akibatnya aktivitas produksi menjadi berkurang.

Perseteruan ini membuat AS dan Eropa menuduh China berada di belakang semua ini. Namun, sebenarnya masalah ini boleh jadi disebabkan kebijakan otoritas moneter AS yang mematok suku bunga mendekati nol persen. Kebijakan ini membuat arus dana global (capital out flow) masuk ke negara-negara berkembang.

Selain itu, kebijakan AS dan Eropa yang mengutamakan kon-sumsi ketimbang produksi mereka lambat menekan defisit anggaran pemerintah yang sejak lama telah melebihi tiga persen dari PDB yang merupakan batasan yang aman.

Kebijakan penurunan tingkat suku bunga mendekati nol persen dianggap tidak menggiurkan bagi investor dengan pertimbangan

nilai return on equity sangat ren-dah yang mendekati nilai tingkat suku bunga nol persen. Investor lebih memilih menginvestasikan modalnya ke negara-negara ber-kembang dengan return yang menggiurkan, setidaknya di atas nilai suku bunga pasar. Kondisi ini membuat naiknya produksi barang dan jasa negara-negara berkembang.

Ekonomi IndonesiaJika tidak diantisipasi sejak

dini, perang kurs yang terjadi belakangan ini mempunyai konse-kuensi serius bagi negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Ada kekhawatiran jangan sampai Indonesia akan kembali lagi pada masa krisis moneter (krismon) seperti 1997 lalu. Saat itu, peme-rintah dan para ahli ekonomi menganggap jika pelemahan kurs mata uang ASEAN tidak berdampak besar terhadap pere-konomian Indonesia.

Mereka beranggapan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat dan tak tergoyahkan. Namun kenyataannya tidak. Pemerintah tidak jujur mem-berikan pernyataan yang sebe-narnya bahwa kurs kita berada pada fase instabilitas. Akibatnya efek pelemahan kurs dari Thailand secara bertahap meluncur ba-gaikan thriller ke Indonesia. Terjadilah krisis berkepanjangan yang dampaknya hingga kini masih terasa.

Seperti dengan perang kurs yang sedang terjadi belakangan ini, kendati kelihatannya sepele, tapi bisa berpotensi menimbulkan instabilitas ekonomi global. Indo-nesia yang sekarang ini sedang dalam pemulihan ekonomi dan merangkak mandiri, bisa saja “kejatuhan tangga” yang kedua kalinya.

Perang kurs ini dapat menga-rah pada perang dagang, di mana negara-negara berlomba-lomba melakukan proteksi ter-

hadap impor dengan jalan me-ningkatkan tarif pajak, birokrasi pelayanan administasi, dan ber-bagai proteksi lainnya yang me-mungkinkan suatu negara sangat sulit melakukan ekspansi ekspor ke negara lain.

Bagi Indonesia, perang kurs setidaknya mendapatkan perha-tian serius karena berdampak terhadap turunnya volume ekspor ke negara tujuan khususnya ke AS, Uni Eropa, China, dan beberapa pasar potensial lainnya sebagai konsekuensi pelemahan nilai mata uang tujuan ekspor. Kondisi ini akan membuat turunnya neraca perdagangan Indonesia terhadap negara tujuan ekspor.

Selain itu, juga berpotensi menaikkan inflasi akibat perilaku belanja berlebihan (panic buying). Permintaan konsumen yang tinggi (exes demand) akan memicu merangkaknya harga-harga ke-butuhan dasar. Kondisi ini se-makin parah apabila naiknya inflasi tidak dibarengi kemampu-an daya beli masyarakat. Ini bisa mengakibatkan lingkaran setan.

Tak kalah pentingnya, dam-paknya juga bisa berimbas ke masalah sosial, dan keamanan, yaitu dua aspek yang saling bersinggungan. Penjarahan akan terjadi ketika kebutuhan dasar masyarakat tidak terpenuhi dan itu akan memicu situasi keamanan yang tidak kondusif. Krismon 1997 lalu membuktikan hal ini di mana penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan terjadi di mana-mana. Dalam keadaan seperti ini, di mana situasi sangat sulit dikendalikan dan berlarut-larutnya berbagai problematika yang dihadapi, maka akhirnya rakyat akan menderita.

Di samping itu, secara mikro akan menurunkan pendapatan perusahaan. Situasi ini bisa berimbas pada likuiditas yang pada akhirnya juga berdampak pada kewajiban perusahaan terhadap karyawan. Demo akan

mewarnai aktivitas perusahaan sehari-hari karena merasa haknya tidak terpenuhi. Akibatnya, proses produksi terhenti, pendapatan perusahaan menurun, pendapatan karyawan juga tidak terjamin dan membuat kemampuan daya beli masyarakat rendah dan akhirnya terjadilah krisis multi dimensi secara luas sebagai efek domino.

Tunda Redenominasi RupiahPolemik atas keinginan Bank

Indonesia melakukan redenomi-nasi rupiah beberapa waktu lalu memang sempat membuat ba-nyak kalangan bertanya-tanya. Kekhawatiran yang ditakutkan jangan sampai di tengah upaya pemulihan ekonomi justru akan membuat ekonomi semakin runyam.

Redenominasi pada dasarnya tidak perlu ditakuti karena sifat-nya hanya sebatas simplifikasi atau penyederhanaan. Sepanjang tingkat inflasi terkendali atau cenderung turun, pertumbuhan ekonomi menunjukkan tren pe-ningkatan, nilai kurs stabil, dan utang terhadap persentase PDRB cenderung turun, maka tidak ada salahnya melakukan redenominasi.

Hanya saja, pelaksanaannya mesti menunggu waktu yang tepat dengan mempertimbangkan kondisi global ekonomi dan so-sialisasi yang panjang. Hal ini dimaksudkan untuk menghin-dari panic buying yang bisa mendorong naiknya laju inflasi.

Sebaiknya, jika memang ada upaya kuat dari pemerintah me-lakukan redenominasi, sebaiknya dilakukan penundaan. Langkah urgensi yang mesti dilakukan sekarang adalah bagaimana me-nata perekonomian Indonesia yang berpihak bukan saja kepada para investor tetapi yang tak kalah pentingnya kepada masyarakat yang merupakan elemen ter-penting dan terbesar dalam men-dukung proses perbaikan ekonomi bangsa Indonesia.

Tanpa terasa, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyo-no-Boediono sudah lebih

satu tahun. Namun sampai saat ini, belum menunjukkan hasil yang diinginkan rakyat. Para pembantu presiden di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang merupakan kolaborasi akademisi dan titipan partai politik, justru dengan percaya diri mengatakan bahwa keberhasilan departemen yang mereka pimpin semuanya berjalan sesuai target.

Euforia presiden dan para pembantunya, menunjukkan betapa mereka sangat menonjolkan angka-angka yang mengalami peningkatan yang signifikan. Rakyat awam terutama kelas menengah ke bawah yang mendominasi negeri ini, disugu-hi permainan (baca; kamuflase) angka-angka dan tabel kurva yang hanya sepintas ditayangkan di layar kaca. Tabel-tabel tersebut menunjukkan dengan entengnya garis yang menanjak ibarat anak tangga dari tahun ke tahun.

Politik pencitraan dan politik debat kusir, adalah merupakan tren di era digital yang memenuhi ruang-ruang politik kekinian. Era teknologi komunikasi mutakhir ditandai dengan model kecirian menjadi manusia ilusionis. Setiap hari manusia disuguhi kabar-berita yang tercerabut dari asas pembuktian konkret. Kebohongan yang dikemas secara elektronik, yang diinjeksikan secara simultan dan kontinu, mengakibatkan kesa-daran manusia terarah pada hal-hal yang bersifat dis-empiris. Ilusifitas kesadaran, mencetak manusia-manusia bio-robotik. Kesadaran manusia terjajah oleh objek yang diciptakannya sendiri.

Kecenderungan manusia seper-ti itu adalah tampilan manusia kehilangan jati diri. Atau, tindakan yang tercerabut dari pikiran. Angka-angka dan tabel kurva yang dikemas secara simultan dan kontinu membuat manusia/masyarakat menerimanya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Tapi, tidak semua manusia Indonesia dapat dibohongi seperti itu. “Saya (rakyat)”, tidak mudah diilusi dengan kemasan indah elektronis yang canggih itu.

Tantangan “Saya (rakyat)” sekitar arena politik paling me-

nonjol saat ini. Antara lain Politik Pangan. Strategi pangan nasional yang dicanangkan SBY lebih cenderung pada persoalan pangan semata, tetapi tidak memperhatikan subjek biomesin produktivitas yakni petani. Padahal tidak mung-kin produksi meningkat kalau petaninya tidak sehat alias miskin. Program peningkatan pangan untuk ekspor yang menjadi pengejaran pemerintah memang ada benarnya. Tapi, pangan untuk ekspor dan mengabaikan kondisi perut rakyat adalah sebuah ironi.

Tingkat kemiskinan yang tinggi mengakibatkan terjadinya rak-yat kelaparan di mana-mana. Setiap tahun, tidak sedikit angka kematian balita diakibatkan oleh kekurangan gizi alias busung lapar. Ini kekurangan mendasar dari rezim SBY. Seharusnya sektor pangan nasional harus diawali basis pertanian akan restrukturisasi dan distribusi tanah bagi para petani. Program reformasi agraria harus menjadi pendulum dalam peningkatan pangan nasional. Ini yang tidak dilakukan rezim SBY.

Di sektor Politik Energi; pe-ngelolaan sumber daya energi nasional untuk migas, batu bara, dan tambang mineral seperti emas, nikel, timah, bauksit, dan lain-lainnya, sekitar 90 persen diserah-kelolakan pada pihak asing. jika merujuk pada angka-angka yang kamuflatif dari Departemen ESDM memang menunjukkan peningka-tan pendapatan. Namun, perlu disimak bahwa peningkatan tersebut adalah laba buat peru-sahaan pengelola. Bukan fee untuk kas negara. Keuntungan kas nasional hanya melalui pajak dan dana bagi hasil (DBH) yang sangat minim.

Alasan yang sering dilontarkan oleh rezim SBY, adalah bahwa sektor pertambangan energi adalah high teknologi industry, yang belum dapat dikelola oleh negara. Dikarenakan sumberdaya manu-sia dan modal belum memadai. Padahal, hal tersebut adalah omong kosong belaka. Putra-putri Indonesia bukan lagi bangsa yang bodoh. Sumber daya dan angkatan kerja Indonesia sudah siap dan memadai. Tiap tahunnya negara mencetak engineer yang banyak. Kondisi ini membuat

Saya (Rakyat) Menantang SBY

olehMUH TAUFIK KASAMING

Aktivis Forum Studi Humaniora Makassar

Cukup sudah “politik pen-citraan” yang ilusif. Cukup sudah “politik kamuflatif”

angka-angka dan tabel kurva yang menipu. Cukup sudah “politik moral” yang

dialamatkan terhadap teman-teman mahasiswa

yang dituduh anarkis.

Entah apa yang mendo-rong Menteri Keuangan Brasil Guido Mantego

melontarkan pernyataan tentang perang kurs. Pernyataan ini sontak

mendapat perhatian dunia mengingat belakangan ini terjadi perseteruan hebat

yang mengarah pada perang dagang antara Amerika Serikat (AS)

dengan China.

olehA MATTINGArAGAU T

Peneliti FIPO dan Pemerhati Ekonomi

HasrullahPodium

Pemimpin Umum: H. Syamsu Nur Wakil Pemimpin Umum: Agus Salim Alwi HamuPemimpin redaksi/Penanggungjawab: Sukriansyah S.Latief Wakil Pemimpin redaksi/Wakil Penanggungjawab: Muhammad Yusuf AR, Faisal SyamKoordinator Kompartemen: Uslimin, Silahuddin Genda, Ruslan RamliAsisten Koordinator Kompartemen: Buyung Maksum,Fachruddin Palapa, Muhammad IlhamSekretaris redaksi: Anita A. AmierDewan redaksi: H.M. Alwi Hamu, Sukriansyah S.Latief, H. Syamsu Nur, Nur Alim Djalil, Muhammad Yusuf AR, Faisal Syam, Suwardi Thahir, Subhan Yusuf, Fuad Rumi, Ishak Ngeljaratan, Aidir Amin Daud, Piet Heriady Sanggelorang, MS Kartono, Zulkifli Gani Ottoh, Staf redaksi: Arsyad Hakim, Basir Kadir, Basri, Baharuddin Moenta, Dian Hendiyanto, Erniwati, Saifuddin, Sunarti Sain, Yusuf Said, Zainuddin Saleha; re-porter: Amiruddin, Anggi S. Ugart, Aswad Syam, Mukhlis Amans Hady, Nasri Aboe, Ramah Praeska, Syarifa Aida, Yulhaidir Ibrahim; Fotografer: Irfan, Slamet Riady, Tawakkal. Koordinator Produksi: Fadil Sunarya, Koordinator Pra-cetak/Grafis: Burhanuddin Saputra, Asjar (Asisten). Teknologi Informasi: MS Kartono, Syafaruddin, Khalil. Biro Pemberitaan Jakarta: Alief Sappewali; redaksi Malam: (0411) 442969 - 441441 Email: [email protected]; [email protected] Percetakan: PT. FAJAR JAWA RAYA - Jl. Urip Sumoharjo No.20 Makassar Alamat Perwakilan Jakarta: Sahel Abdullah, Mu’min Rolle - Jl Kebayoran Lama No.17 Telp.(021) 5322632 - Fax(021) 5322629 Alamat Perwakilan Surabaya: Sukri, Komp. Grand Flower B-20 Jl. PASAR Kembang 4-6 Surabaya Telp. 031.5465239.Fax.031.5323674.Harga Langganan: -Makassar dan Luar Kota (Sulsel): Rp 80.000,-/Bulan - Luar kota: Rp 85.000,-/Bulan, Luar Sulsel: Rp 100.000,-/Bulan - Eceran dalam Kota: Rp 3.500,-/Eksemplar-Daerah lain disesuaikan ongkos kirim. Tarif Iklan: Umum (BW): Rp 30.000,-/mm kolom - Warna: Rp 45.000,-/mm kolom.

Penerbit: PT. Media Fajar, SIUPP: No. 085/SK/Menpen/SIUPP/A.7/1986 Tgl. Maret 1986 Direktur Utama: H. Syamsu Nur ; Wakil Direktur Utama: Agus Salim Alwi HamuDirektur Produksi/SDM: Sukriansyah S.Latief; Direktur Keuangan: Ridwan Arief; Direktur Pemasaran: Sahel AbdullahWakil Direktur: Muhammad Yusuf AR, L Hanura, Abd HaliqPembina: H. Dahlan Iskan Komisaris Utama: HM Alwi Hamu, Komisaris: Ny Dorothea Samola, A Syafiuddin Makka, Zulkifli Gani Ottoh, S. Sinansari ecip, Hatta A. Hamu. BPP Fajar Group: H. Syamsu Nur (Ketua), Irwan Zainuddin (Wakil Ketua), Sri Suhartini (Sekretaris), Zoel Dirgha Dinhi (Auditor)Ombudsman: Suwardi Thahir (Ketua),Ridwan J. Silamma, SH, Naziruddin Pasigai, Munjin S. Asy’ari Sekre-taris: Irwan Zainuddin. Umum/Sekretaris Direksi: Fitriani Solong Manajer Iklan: Nur Hayat Staf: Ihsan, Nur Alim, Nirmal, Dwiyani Prihatin, Ike Rahmawati; Manajer Sirkulasi: Ardi S; Promosi: Firdaus Nur, Abd. Karim Alwi; Alamat redaksi/Tata Usaha: Jl. Urip Sumoharjo No.20 Makassar - Telp. (0411) 441441 (Hunting) Iklan : (0411) 440234, Sirkulasi: 440222 Fax. Tata Usaha (0411) 441224 - Fax. redaksi (0411) 441225, Kantor Perwakilan Iklan dan Sirkulasi: Jl. Botolempangan No. 3 Makassar Telp. (0411) 331022 Biro: Mahatir Mahbub, (Parepare) Jl. Andi Cammi No. 45, Telp (0421) 22528-25217; Faristanto, (Bone) Jl. A. Yani No. 29 Telp. (0481) 22483; Suherman (Palopo) Jl. Jend. Sudirman No. 94B Telp. (0471) 21190, – (Sengkang) Jl. KH. As’ad No. 45 Telp (0485) 323111, – (Polmas) Jl.A. Depu No 39 Telp (0428) 23207; Muhammad Arman, (Bulukumba) Jl. Andi Mappijalang Telp. (0413) 82555; Akbar Hamdan (Pangkep); – (Sinjai) Amrullah Basri (Takalar); Bank:- BUKOPIN R/C 1003067081 - BNI 46 Sudirman Makassar R/C No. 0065.665.314 - BNI Giro Nitro R/C No. 008 319 9564 - BNI 46 Kebayoran Baru Jakarta R/C No. 022.000032455.001 - Bank Mandiri Giro Panakukang No. Rek. 152-00-9200001-3. BRI KCP Graha Pena Makassar R/C No. 1073-01-000043-30-5.

UjungpandangHarian PagiHarian Pagi Makassar

Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, semua wartawan Harian Fajar dibekali tanda pengenal dan tidak diperkenankan menerima maupun meminta imbalan dari siapapun, dalam bentuk apapun, serta dengan alasan apapun.Semua penulis Opini/Artikel serta Kolom Lepas hendaknya mencantumkan Nomor Rekening. Naskah yang dikirim ke Redaksi menjadi milik Harian Fajar, karena itu naskah yang sama tidak boleh dikirim ke media lain. Semua isi artikel/tulisan yang berasal dari luar, sepenuhnya tanggung jawab penulis bersangkutan.

g

General Manager/Penanggung Jawab:Mustafa KufungManajer Iklan: Ihsan DJManajer Teknik: Khalil SyamsuManajer Keuangan: Hajeriah, SEAlamat redaksi: Jl. Urip Sumoharjo No.20 Makassar - Telp. (0411) 441441 (Hunting), (0411) 441225 (Fax).

g