Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
TELAAH KRITIS SISTEM PEMBUKTIAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25
TAHUN 2003 TENTANG TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister
Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama: Hukum Dan Kebijakan Publik
Oleh:
BAMBANG EDHY SUPRIYANTO
NIM S 310906215
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2008
ii
TELAAH KRITIS SISTEM PEMBUKTIAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN TAHUN 1981 TENTANG KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25
TAHUN 2003 TENTANG TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG
Disusun Oleh :
BAMBANG EDHY SUPRIYANTO
NIM : S. 310906215
Telah disetujui Oleh Tim Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Dr. H. Adi Sulistiyono, S.H.,M.H. ……. ……........
NIP. 131 793 333
Pembimbing II H. Joko Purwono, S.H.,M.S. ……………. ………….
NIP. 130 794 453
Mengetahui :
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof.Dr. H. Setiono, S.H.,M.S.
NIP. 130 345 735
iii
TELAAH KRITIS SISTEM PEMBUKTIAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 8 TAHUN TAHUN 1981 TENTANG KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25
TAHUN 2003 TENTANG TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG
Disusun oleh:
BAMBANG EDHY SUPRIYANTO
NIM S 310906215
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua 1. Prof Dr H. Setiono, S.H., M.S. …………. ………
Sekretaris 2. Dr. Hartiniwiningsih, S.H., M.Hum. ...….. ………
Anggota Penguji 1. Prof. Dr.H.Adi Sulistiyono, S.H., M.H. ….. ……….
2. H. Joko Purwono, S.H., M.S. ..………… ………
Mengetahui:
Ketua Program Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS. ……… ...…… Studi Ilmu Hukum NIP. 130 345 735 Direktur Program Prof. Drs. Suranto, M.Sc. PhD. .……. ……… Pasca Sarjana NIP 131 472 192
iv
PERNYATAAN
Nama : BAMBANG EDHY SUPRIYANTO
NIM : S 310906215
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul:
“Telaah Kritis Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak pidana Pencucian Uang” adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis ini diberi
tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh
dari tesis ini.
Surakarta, 22 September 2008
Yang membuat pernyataan
Bambang Edhy Supriyanto
v
KATA PENGANTAR
Assallamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis dengan judul “Telaah Kritis Sistem Pembuktian Menurut
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak
pidana Pencucian Uang”.
Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa
penyusunan tesis ini tidak mungkin dapat terselesaikan sendiri oleh penulis tanpa
adanya bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak yang dengan penuh perhatian
telah membantu penulisan tesis ini sehingga berjalan lancar. Untuk itu maka
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Prof. Drs Suranto, M.Sc, Ph.D selaku direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret .
2. Prof. Dr. H. Setiono, S.H, M.S, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.
3. Dr. Hartiniwiningsih, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret.
4. Prof. Dr. H. Adi Sulistiyono S.H, M.H, sebagai dosen pembimbing pertama
yang telah berdiskusi dan memberikan bimbingan serta sistematika berfikir
kepada penulis dalam rangka penyusunan tesis ini.
5. H. Joko Purwono S.H, M.S, sebagai dosen pembimbing kedua yang telah
memberikan pengarahan, motivasi serta ide-ide kreatif kepada penulis dalam
rangka penulisan tesis ini.
6. Bapak/Ibu dosen pada Prodi Ilmu Hukum Program Studi Magister Hukum
Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
vi
7. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Konsentrasi Hukum Dan Kebijakan Publik
yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini tidak terlepas dari
kekurangan-kekurangan serta kesalahan-kesalahan mengingat kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik, saran dan nasehat yang bersifat konstruktif untuk kebaikan
tesis ini..
Semoga dengan terselesaikannya penyusunan tesis ini, nantinya dapat
berguna bagi diri penulis khususnya, mahasiswa Program Pasca Sarjana
Universitas Sebelas Maret pada umumnya dan bagi bangsa serta agama.
Wassallamu’alaikum Wr. Wb
.
Surakarta, 22 September 2008
Penulis,
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING………….………………….. ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS.............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN......................................................................... iv
KATA PENGANTAR..................................................................................... v
DAFTAR ISI……………………………………………….……………..…. vii
ABSTRAK..................................................................................................... ix
ABSTRACT................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………... 1
A. LATAR BELAKANG……………………………………………... 1
B. PERUMUSAN MASALAH……………………………………….. 8
C. TUJUAN PENELITIAN………………………………………….... 9
D. MANFAAT PENELITIAN……………………………………….… 9
BAB II LANDASAN TEORI………………………………………………... 11
A. Tinjauan Umum tentang telaah Kritis................................................ 11
B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Dan Kebijakan Publik
1.Hukum sebagai suatu sistem norma................................................. 12
2. Teori Normatif hukum.................................................................... 13
3. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik.................................... 17
C. Tinjauan Umum Tentang Formulasi Hukum......................................... 23
D. Tinjauan Umum Perbandingan Hukum…............................................. 25
E. Tinjauan umum Tentang Sistem Pembuktian........................................ 37
F. Tinjauan Umum Tentang KUHAP........................................................ 42
G. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang........................................... 52
H. Kerangka Pemikiran............................................................................. 61
BAB III METODE PENELITIAN..........……………………………………... 65
viii
1. Jenis Penelitian………………………………………………......... 65
2. Lokasi Penelitian……..………………………………………….... 66
3. Jenis dan Sumber Data…..……………………………………….. 66
4. Teknik Pengumpulan Data…..…………………………………… 68
5. Teknik Analisis Data…..………………………………………….. 68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………. 79
A. HASIL PENELITIAN………………………………………..…… 79
1. Kebijakan Tindak pidana Pencucian Uang Ditinjau dari Prinsip
Legalitas Lon Fuller.......................................................................... 70
2. Konsekuensi dan Implikasi persamaan dan perbedaan pengaturan dua
sistem pembuktian antara UU TPPU dan KUHAP.......................... 76
3. Kelemahan dan Kelebihan pengaturan dua sistem pembuktian...... 83
B. PEMBAHASAN……………………….…………………………... 88
1. Kebijakan Tindak Pidana pencucian uang ditinjau dari Prinsip
Legalitas Fuller.............................................................................. 88
2. Konsekuensi dan implikasi pengaturan dua sistem pembuktian
..................................................................................................... 94
3. Kelemahan dan kelebihan pengaturan dua sistem pembuktian tentang
tindak pidana pencucian
uang.............................................................................................. 104
BAB V PENUTUP…….. …………………………………………………... 123
A. Kesimpulan………..……………………………………………... 123
B. Implikasi……………………………………………………..…… 124
C. Saran………………..……………………………………….…… 125
DAFTAR PUSTAKA
ix
ABSTRAK Bambang Edhy Supriyanto, S. 310906215, 2008. TELAAH KRITIS SISTEM PEMBUKTIAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan telaah kritis proses kebijakan pembuktian pencucian uang dari segi formulasi pembentukan hukum, mengetahui konsekuensi dan implikasi pembuktian dengan dua sistem pembuktian, mengetahui kelemahan dan kelebihan sistem pembuktian pencucian uang.
Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian doktrinal/normatif dengan mendasarkan pada konsep hukum yang kedua dari Soetandyo Wignyosoebroto. Bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik. Analisis datanya menggunakan analisis kualitatif dengan menggunakan prinsip logis, sistematis dan juridis .
Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : a) Kebijakan Pembuktian dalam UU TPPU pada prinsipnya telah memenuhi formulasi pembentukan hukum, namun dalam hal input terdapat suatu hambatan yaitu tidak terdapatnya feedback yaitu ketercapaian out comes yang dihasilkan, karena UU TPPU terlalu didominasi oleh komponen politik sebagai komponen utama, dan kurang memperhatikan komponen ekonomi dalam hal ini adalah kerugian yang diderita negara sebagai akibat TPPU.Dalam formulasi suatu peraturan hendaknya memperhatikan aspek filosofis, sosiologis dan yuridis sehingga dalam tataran pelaksanaan dapat terwujud tujuan dari hukum tersebut, b) Konsekuensi dan implikasi dari terdapatnya persamaan dan perbedaan pengaturan pembuktian antara KUHAP dan UU TPPU yaitu persamaannya adalah bahwa kedua undang-undang tersebut sama sama menggunakan sistem pembuktian dan alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP. Adapun perbedaannya adalah bahwa dalam KUHAP tidak diatur sistem pembuktian terbalik dan alat bukti elektronik yang merupakan suatu perluasan alat bukti dalam UU TPPU. c) Dalam hal pembuktian TPPU terdapat kelemahan berupa disamakannya kekuatan alat bukti elektronik disamakan dengan alat bukti petunjuk sehingga dapat dengan mudah dikesampingkan oleh alat bukti lain sesuai dengan ketentuan pasal 184 KUHAP. Sedangkan dalam pembuktian terbalik terdapat kelemahan karena adanya asas retroaktif, berkenaan dengan asas yang pada hakekatnya hukum tidak boleh berlaku surut, kurangnya pengaturan alat bukti elektronik, adanyastruktur penegak hukum yang kurang memahami secara komprehensif tentang pembuktian, serta terbenturnya pembuktian dengan sistem birokrasi, serta surat fiktif tentang harta kekayaan yang seakan-akan sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti surat.
x
ABSTRACT
Bambang Edhy Supriyanto S. 310906215, 2008.The Critical Analysis to The Evidence System According of The Penal Procedural Act Number 8, 1981 and The Law Of Money Laundering Number 25, 2003. Thesis : Postgraduate Program Sebelas Maret University of Surakarta.
Thesis : Postgraduate Program Sebelas Maret University of Surakarta. The purposes of this research are to make critical process of the money
laundering evidence policy based on the Law Formulation Theory, and knowing consequence and proving implication with two evidence system, knowing a weakness and the money loundry evidence system excess.
This thesis research type is doctrinal or normative research based on the second concept of the law from Soetandyo Wignyosoebroto. The research character is diagnostic. The data analysis applies qualitative analysis with using the logic principle, systematic, and juridict.
Based on the description of the research result and related to the case studied, it can be concluded (a) The formulation of the money laundering evidence policy on the law of Money Laundering is to fill formulation of the law formation, but in input have an obstruction is no feeback is out comes acheaved who will be result , because the law of money laundry is too dominated by politic component as the main component, and not too pay attention for economic component in this thing is a disadvantages of country as the effect of money laundry. In the rule formulation must to pay attention philosophy aspect, sosiologic and juridict so in the performing level can be create of the law purpose. (b) the consequence and implication from there be equation and distinctive of the arrangement evidenced between The Penal Procedural Act and the law of money laundry at the rule in section 184 of The Penal Procedural Act. There is even in contrast is that in the Penal Procedural Act is unsystematized probe system flips over and electronic prove tool that constitutes a proof tool extension in the Penal Procedural Act.(c) In term of evidence the money laundry have a weakness as be equalled electronic proof tool force equalised with directions evidence tool so get easily be ruled out by other prove tool corresponds at the rule in section 184 of The Penal Procedural Act. Meanwhile in reverse probe to be gotten weakness because marks sense retroaktif's ground, at the law principle is may not retroactive, its reducing is electronic proof tool arrangement, jurisdictional enforcer is not understand the way of konfrehensif about the evidence, and also bended on the evidence with bureaucracy system and fictitious mail about asset wealth who one will validate and may used as mail evidence tool.
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini telah terjadi perkembangan yang sangat pesat di berbagai
bidang kehidupan antara lain kemajuan teknologi, transportasi, komunikasi,
informatika, dan tidak ketinggalan di bidang hukum. Kemajuan tersebut tidak
selamanya mempunyai dampak yang positif bagi masyarakat. Dampak negatif
dari berbagai kemajuan diatas menjadi ladang subur bagi perkembangan
kejahatan sehingga berkembang pula metode-metode kejahatan yang
dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang dikenal
dengan kejahatan kerah putih atau disebut White collar crime. (Irmawan
Wijanarko, 2003:1).
Bentuk kejahatan kerah putih telah dirasakan semakin canggih serta
terorganisasi denga rapi. Sebagai contoh dalam bidang ekonomi dan
perbankan justru digunakan sebagai pelarian kejahatan yang dengan sengaja
ditujukan untuk menghilangkan jejak ataupun asal-usul harta yang dilarikan
dan seakan-akan didapat dari hasil yang legal, dan pelaku kejahatan berusaha
membersihkan uang hasil kejahatannya dengan berbagai cara yaitu salah
satunya dengan metode pencucian uang (money laundering).
Telah sama-sama diketahui bahwa dampak yang ditimbulkan oleh
money laundering atau tindak pidana pencucian uang adalah dapat
mengganggu stabilitas sistem keuangan dan sistem perekonomian suatu
xii
Negara. Mengingat money laundering juga merupakan kejahatan
transnasional (transnational crime) yang modusnya banyak dilakukan
melintasi batas-batas negara (cross border), maka dampak yang ditimbulkan
dapat pula berakibat negatif pada stabilitas sistem keuangan dan
perekonomian dunia secara keseluruhan. Di sisi lain, oleh karena money
laundering berkaitan dengan kejahatan asal (predicate crime) yang dilakukan
oleh organized crime, maka berkembang money laundering ini akan sangat
mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu
money laundering seperti korupsi, perdagangan gelap narkotika,
penyelundupan, dan illegal logging .
Upaya Indonesia untuk membangun rezim anti-pencucian uang yang
efektif dalam beberapa tahun terakhir telah banyak dilakukan, sejak
diundangkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang hingga amandemen yang melahirkan Undang-Undang No.
25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang tersebut mempunyai arti penting karena memuat
politik hukum nasional yang mengkriminalisasi pencucian uang di Indonesia.
Undang-Undang juga telah melahirkan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai financial intelligence unit sekaligus
national focal point dalam memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pemikiran agar Indonesia memiliki Undang-Undang tentang pencucian
uang telah muncul sejak Orde Baru mulai berkuasa. Di khawatirkan apabila
Indonesia yang masih sangat membutuhkan dana dari luar negeri untuk
pembangunan tidak memberlakukan rezim anti-pencucian uang, maka
xiii
penanaman modal asing akan terhambat masuk ke Indonesia. Pada waktu itu
kepedulian masyarakat internasional terhadap praktik-praktik pencucian uang
belum begitu tinggi seperti sekarang ini, maka Indonesia tidak menghadapi
tekanan internasional untuk berlakunya rezim anti-pencucian uang itu.
Kepedulian masyarakat internasional agar setiap negara
memberlakukan rezim anti-pencucian uang praktis baru dimulai setelah
negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-7 membentuk suatu
lembaga yang disebut Financial Action Task Force on Money Laundering
(FATF) pada Summit Meeting yang diadakan di Paris Juli 1989. Tekanan
internasional itu menjadi makin meningkat setelah FATF pada tahun 1990
mengeluarkan apa yang disebut The Forty Recommendations yang kemudian
menjadi standar internasional yang harus diacu dan dipedomani oleh setiap
negara bagi pemberlakuan rezim anti-pencucian uang di Negara yang
bersangkutan. Pada saat ini negara manapun di dunia tidak dapat tidak, suka
atau tidak suka, harus memiliki undang- undang yang bertujuan memberantas
praktik-praktik pencucian uang di negaranya.
Setiap negara tidak sekedar dituntut untuk memiliki undang-undang
anti-pencucian uang saja, tetapi ketentuan-ketentuan dari undang-undang itu
juga harus mengakomodir dan sesuai dengan standar internasional, yaitu The
Forty Recommendations yang dikeluarkan oleh FATF tersebut.
Konsekuensinya bagi negara yang tidak membuat undang-undang anti-
pencucian uang, atau undang-undang anti-pencucian uang yang dibuat oleh
negara itu tidak mengakomodir atau tidak sesuai dengan The Forty
Recommendations dari FATF tersebut akan terkena counter-measure dari
xiv
negara-negara anggota FATF yang merupakan negara-negara besar yang
menentukan perekonomian dunia.
Apabila suatu negara terkena caunter-measure dari negara-negara
anggota FATF, maka negara itu akan terkucil dari pergaulan internasional,
terutama di bidang perdagangan dan keuangan. Tidak mustahil rekening-
rekening valuta asing negara tersebut di bank-bank di negara-negara anggota
FATF harus ditutup. Bank-bank dari negara-negara tersebut dilarang
membuka L/C ke negara yang terkena counter-measure tersebut dan dilarang
pula untuk menerima L/C dari negara tersebut. Negara tersebut tidak pula
dapat memperoleh pinjaman atau bantuan lainnya dari negara-negara anggota
FATF. Besar kemungkinan pula bahwa negara-negara anggota FATF
menekan negara-negara lainnya untuk berbuat yang sama terhadap negara
yang terkena counter-measure tersebut dengan sanksi apabila tidak
mengacuhkan imbauan tersebut akan menerima tekanan-tekanan pula dalam
berbagai bentuk.
Sebelum Indonesia memiliki undang-undang anti-pencucian uang,
maka Indonesia telah ditetapkan sebagai negara yang tidak kooperatif dalam
pemberantasan pencucian uang dan konsekuensinya adalah Indonesia
dimasukkan ke dalam Non-Cooperative Countries Territoris (NCCT) List.
Mengingat adanya desakan IMF dan dimasukkannya Indonesia ke dalam
NCCT List tersebut, maka Indonesia mau tidak mau, suka atau tidak suka,
akhirnya membuat dan mengundangkan undang-undang anti-pencucian uang,
yaitu Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang. Setelah diundangkan undang-undang tersebut diberlakukan masih
xv
dinilai oleh dunia internasional, terutama oleh FATF. Ternyata belum
memenuhi standar internasional sebagaimana dimaksud dalam The Forty
Recommendations dari FATF, maka Indonesia masih dianggap sebagai
negara yang non-kooperatif dalam memberantas praktik-praktik pencucian
uang. Indonesia diminta agar segera menyesuaikan isi undang-undang
tersebut dengan standar internasional dengan melakukan amandemen
terhadap undang-undang itu. Apabila Indonesia tidak segera melakukan
amandemen, maka Indonesia terancam dikenai counter-measure. Indonesia
segera mengamandemen undang-undang itu dengan membuat dan
mengundangkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Disesuaikannya isi Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang dengan standar internasional, yaitu dengan
mengamandemen Undang-Undang itu dengan Undang-Undang No. 25 Tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, ternyata tidak membuat
Indonesia seketika itu dikeluarkan dari NCCT List. Dikeluarkannya Indonesia
dari NCCT List masih tergantung dari pelaksanaannya. Dengan kata lain,
masih dipantau apakah Indonesia memang sepenuhnya melaksanakan isi
undang-undang itu sebagaimana yang diharapkan oleh dunia internasional.
Apabila setelah beberapa lamanya FATF menilai bahwa Indonesia memang
telah melaksanakan isi undang-undang itu sebagaimana mestinya, maka
Indonesia baru dikeluarkan dari NCCT List.
Hal-hal yang menyebabkan Indonesia sangat rentan dengan tindak
pidana pencucian uang yaitu: (N.H.T. Siahaan, 2005 : 22-23)
xvi
1. Indonesia menganut sistem devisa bebas, sehingga setiap orang bebas melakukan ataupun memasukkan atau membawa keluar valuta asing dari wilayah yuridis Indinesia dan sitem devisa bebas memungkinkan berbagai rekayasa pencucian uang sangat cepat dan sulit dilacak di dalam setiap negara.
2. Sistem kerahasiaan bank yaitu dimana peraturan yang melindungi kerahasiaan bank telah dijadikan para penjahat pencucian uang untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya dan para penjahat pencucian uang akan sangat dirugikan jika kerahasiaan bank ditinjau.
3. Belum memadainya perangkat hukum yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang secara keras, tegas, dan mengikat. Meskipun telah ada Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, akan tetapi petunjuk pelaksanaan UU tersebut belum ada sehingga masih banyak menimbulkan masalah dan akhirnya penyelesaian tindak pidana pencucian uang tidak efektif.
Tindak pidana pencucian uang memang harus diberantas karena
terdapat beberapa kerugian yang terjadi akibat dari tindak pidana tersebut dan
akan berdampak sangat besar terhadap masyarakat antara lain :
1. Kegiatan pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, penyelundup ataupun pelaku kejahatan yang berkaitan akan semakin mudah untuk memperluas kegiatannya.
2. Kegiatan pencucian uang mempunyai potensi yang sangat besar untuk merongrong masyarakat keuangan sebagai akibat besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tesebut.
3. Praktek pencucian uang akan mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
4. Mudahnya uang masuk dalam suatu negara telah menarik unsur-unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan tingkat kualitas hidup, dan meningkatkan kekhawatiran dari segi keamanan nasional.
5. Menimbulkan biaya yang sangat tinggi, merongrong sektor swasta yang sah, ataupun membahayakan upaya privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang dilakukan pemerintah.
Implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 25
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) sangat
penting. Pentingnya implementasi undang-undang tersebut bukan saja agar
Indonesia tidak dikucilkan oleh dunia internasional, tetapi juga bertujuan agar
berbagai predicate crime yang merupakan sumber uang haram yang dicuci
xvii
dalam proses pencucian uang ikut dapat diberantas atau dikurangi. Agar
implementasi undang-undang ini dapat memenuhi sasaran, maka undang-
undang ini harus dipahami benar-benar oleh para penegak hukum khususnya
berkaitan dengan sistem pembuktian yang harus diterapkan.
Sistem pembuktian terhadap TPPU, terdapat kebijakan pembuktian
sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP dan UU TPPU . Bersalah atau
tidaknya seorang terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam surat
dakwaan ditentukan dalam proses pembuktiannya. Dalam UU TPPU sistem
pembuktian yang digunakan adalah sistem pembuktian terbalik sebagaimana
tercantum dalam pasal 35 yang menyatakan “Untuk kepentingan pemeriksaan
di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan
yang dimiliki bukan merupakan hasil tindak pidana”.
Ketentuan mengenai pembuktian terbalik ini belum jelas sehingga
dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. Untuk mengkaji masalah
tersebut, diperlukan telaah kritis dan bahan perbandingan yang cukup dari
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: “TELAAH KRITIS
SISTEM PEMBUKTIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
ACARA PIDANA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN
2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (SUATU
KAJIAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK) ”.
xviii
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk
mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga
tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan
hasil seperti yang diharapkan.
Dalam penelitian ini sesuai dengan latar belakang masalah, masalah-
masalah apa yang akan dikritisi dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah kebijakan pembuktian dalam UUTPPU telah memenuhi formulasi
pembentukan hukum Lon F Fuller ?
2. Apakah konsekuensi dan implikasi dari adanya persamaan dan perbedaan
dalam sistem pembuktian menurut UU TPPU dan KUHAP dalam
penerapan terhadap suatu kasus TPPU ?
3. Apa kelemahan dan kelebihan sistem pembuktian tindak pidana pencucian
uang dengan menggunakan dua sistem pembuktian?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalahnya penelitian ini mempunyai tujuan
sebagai berikut:
a. Untuk mengevaluasi apakah kebijakan pembuktian TPPU sudah
memenuhi syarat formulasi pembentuk hukum.
b. Untuk mengetahui perbandingan formulasi pembuktian dalam Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan dengan KUHAP, serta
konsekuensi dan implikasinya.
xix
c. Untuk mengetahui kelemahan formulasi pembuktian dalam tindak
pidana pencucian uang
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Merupakan kajian teoritik pengembangan sistem pembuktian dan juga
untuk pembelajaran di bidang hukum khususnya mengenai sistem
pembuktian.
b. Hasil penelitian ini diharapkan menambah literatur, referensi dan
bahan-bahan informasi ilmiah bagi penegak hukum ataupun kalangan
akademisi yang bergerak dalam bidang hukum khususnya tentang
sistem pembuktian.
2. Manfaat Praktis
a. Memberi masukan dalam rangka penerapan sistem pembuktian dalam
menangani kasus TPPU.
b. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang
dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.
c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi
masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait
masalah yang diteliti dan khususnya untuk dipakai sebagai sarana
pembuktian yang efektif dan memadai dalam upaya memulihkan
kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana pencucian
uang.
xx
BAB II
LANDASAN TEORI
Sesuai dengan judul dan perumusan masalah, dalam landasan teori akan
dibahas tentang telaah kritis, kajian hukum sebagai suatu norma, kajian tentang
kebijakan publik, kajian tentang sistem pembuktian, tinjauan tentang
perbandingan hukum, tinjauan tentang KUHAP, serta tinjauan tentang tindak
pidana pencucian uang.
A. Tinjauan Umum Tentang Telaah Kritis.
Sangat sulit menemukan suatu literatur yang memuat tentang telaah
kritis, namun penulis mencoba membuat suatu pemahaman sederhana tentang
yang dimaksud dengan telaah kritis. Dalam hal ini penulis membagi membagi
xxi
dua bagian yaitu telaah dan kritis. Adapun yang dimaksud dengan telaah
menurut pendapat penulis adalah analisis secara mendalam dengan diuraikan
berbagai aspek yang terdapat didalamnya, dan yang dimaksud dengan kritis
adalah suatu pemikiran dan pemahaman yang ditujukan sebagai suatu usaha
untuk mewujudkan cita hukum, dengan memandang masalahnya tidak telah
benar dan sempurna .
Sehingga telaah kritis yang dimaksudkan penulis adalah
membandingkan dua aturan yaitu UU TPPU dengan KUHAP dan dianalisis
kelemahan dan kelebihannya yang dalam hal ini tentang pengaturan sistem
pembuktian TPPU. Hal tersebut sangat perlu karena pemahaman hukum
Indonesia pada umumnya masih menitik beratkan hukum sebagai suatu norma
positif, namun telaah kritis menurut penulis memandang hukum tidak hanya
sekedar sebuah norma melainkan mengkaji dari berbagai macam unsur
pembentuk, serta keadaan masyarakat sehingga tujuan yang dicita-citakan
akan terwujud.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan telaah kritis yaitu
membahas persamaan dan perbedaan sistem pembuktian TPPU yang terdapat
dalam dua sistem pembuktian yaitu menurut KUHAP dan UU No. 25 tahun
2003. Juga dikaji kelemahan, kelebihan serta konsekuensi dan implikasi yang
terjadi dalam terdapatnya dua sistem pembuktian tersebut.
B. Tinjauan Umum Tentang Hukum dan Kebijakan Publik
1. Hukum Sebagai Sistem Norma
xxii
a. Menurut Soerjono Soekanto (2007 : 45-46) definisi yang diberikan
hukum sangat bervariasi antara lain :
1) Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan. 2) Hukum diartikan sebagai disiplin, yaitu sistem ajaran tentang
kenyataan. 3) Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yaitu perilaku pantas
yang diharapkan. 4) Hukum diartikan sebagai tata hukum (yaitu hukum positif tertulis) 5) Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat. 6) Hukum diartikan sebagai keputusan petugas atau pejabat. 7) Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan. 8) Hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik. 9) Hukum diartikan sebagai jalinan nilai.
10) Hukum diartikan sebagai seni Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yaitu perilaku pantas
yang diharapkan. Sebagai suatu norma maka hukum menjadi pedoman
yang harus ditaati karena pada hakikatnya hukum adalah norma yang
mewajibkan, dengan kata lain hukum adalah ilmu pengetahuan
(Huijbers, dalam Agni Rose T, 2007 : 7).
b. Apapun namanya maupun fungsi apa saja yang hendak dilakukan
olehnya, hukum tetap tidak terlepas dari pengertian hukum sebagai
suatu sistem norma. Untuk mempelajari hukum sebagai suatu sistem
norma Lon L. Fuller berpendapat (Esmi Warassih, 2005 : 31) terdapat
delapan nilai-nilai yang harus diwujudkan oleh hukum. Kedelapan nilai
tersebut yang dinamakannya “delapan prinsip legalitas” adalah :
1) Harus ada peraturan-peraturan terlebih dahulu, hal ini berarti bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbiter.
2) Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak. 3) Peraturan itu tidak boleh berlaku surut. 4) Perumusan peraturan-peraturan itu harus jelas terperinci, ia harus
dapat dimengerti oleh rakyat. 5) Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak
mungkin.
xxiii
6) Diantara sesama peraturan tidak boleh bertentangan satu sama lain. 7) Peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah. 8) Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat
hukum dalam peraturan-peraturan yang telah dibuat.
c. Mengenai apa yang disebut hukum Setiono mengemukakan hal-hal
sebagai berikut : (Setiono, 2002 : 10 ) :
1) Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup kedamaian. 2) Tugas hukum adalah ketertiban dan keadilan. 3) Hukum agar dapat berlaku secara efektif harus memenuhi aspek
filosofis, yuridis, dan sosiologis. 4) Tidak ada konsep tunggal mengenai apa itu hukum.
2. Teori Normatif Tentang Hukum
Banyak teori normatif tentang hukum yang dibahas oleh para
pakar, salah satu diantaranya dikemukakan oleh Hans Kelsen. Teori Hans
Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm
(Antonius Cahyadi, 2007 : 70). Grundnorm merupakan semacam bensin
yang menggerakkan seluruh sistem hukum, yang menjadi dasar mengapa
hukum harus dipatuhi dan yang memberikan pertanggungjawaban
mengapa hukum harus dilaksanakan. Stufenbau theory melihat tata hukum
sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari norma-norma
umum sampai kepada yang lebih konkret, serta sampai pada yang paling
konkret. Pada ujung terakhir proses, sanksi hukum, berupa izin yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau
memaksakan suatu tindakan. Keseluruhan bangunan hukum tampak
sebagai bangunan yang terdiri dari berbagai lapisan susunan, sehingga
menimbulkan suatu sebutan Stufenbau des Rechts.
xxiv
Hans Kelsen menyebut hukum memiliki suatu susunan berjenjang,
menurun dari norma positif tertinggi sampai kepada perwujudan yang
paling rendah. Masing-masing tindakan deduksi dan penerapan merupakan
suatu perbuatan kreatif, dan keseluruhan tertib hukum itu merupakan suatu
sistem yang padu dari pendelegasian yang progresif
(Erzeugungszusammenhang). Melalui proses pengkonkritan yang
demikian itu hukum diterima sebagai suatu yang terus menerus mampu
berbuat kreatif sendiri (Satjipto Raharjo, 2000 : 275-276).
Suatu tata kaedah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum secara hierarkhis. Susunan kaidah-kaidah hukum dari tingkat terbawah keatas adalah sebagai berikut : a. Kaedah hukum individual atau keadah hukum konkret dari badan-
badan penegak atau pelaksana hukum, terutama pengadilan. b. Kaedah hukum umum atau kaedah hukum abstrak di dalam undang-
undang atau hukum kebiasaan. c. Kaedah hukum dari Konstitusi.
Ketiga macam kaedah hukum tersebut, dinamakan kaidah-kaidah
hukum positif atau kaidah-kaidah hukum aktual. Diatas konstitusi terdapat
kaidah hukum fundamental atau dasar yang bukan merupakan kaidah
hukum positif, oleh karena dihasilkan oleh pemikiran-pemikiran yuridis.
Sahnya kaidah-kaidah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah
tergantung atau ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum yang termasuk
golongan tingkat yang lebih tinggi (Soerjono Soekanto, 1986 : 127-128).
Dalam penelitian hukum normatif terdapat kajian penelitian
tentang asas-asas hukum, yang dimaksudkan perundang-undangan
mempunyai akibat yang positif, apabila benar-benar dijadikan pegangan
dalam penerapannya. Beberapa asas-asas yang lazim dikenal adalah
sebagai berikut Sorjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 2006 : 68):
xxv
a. Asas pertama : Undang-Undang Tidak berlaku surut b. Asas kedua : Undang-Undang yang dibuat penguasa lebih tinggi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. Hal ini mempunyai akibat-akibat sebagai berikut : 1). Peraturan yang lebih tinggi tidak dapat diubah, atau dihapuskan
oleh peraturan yang lebih rendah, akan tetapi proses sebaliknya
adalah bisa.
2). Hal-hal yang wajib diatur oleh peraturan atasan tidak boleh diatur
oleh peraturan rendahan, sedangkan sebaliknya adalah boleh.
3). Isi peraturan rendahan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
atasan. Keadaan sebaliknya adalah boleh dan kalau hal itu terjadi
maka peraturan rendahan tersebut menjadi batal.
4). Peraturan yang lebih rendah dapat merupakan peraturan
pelaksanaan sebaliknya peraturan atasan bukan merupakan
peraturan pelaksanaan.
c. Asas ketiga : menyatakan bahwa undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis), jika pembuatannya sama. Maksudnya adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus itu dapat pula diperlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat mencek-up peristiwa khusus tersebut.
d. Asas keempat : Undang-undang belakangan membatalkan yang berlaku terdahulu (lex posterior derogat lex inferior). Artinya adalah bahwa undang-undang lain yang lebih dulu berlaku dimana diatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika undang-undang baru (yang berlaku belakangan) yang mengatur pula hal tertentu akan tetapi makna dan tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang yang lama tersebut.
e. Asas kelima : menyatakan bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
f. Asas keenam : Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi, dilakukan melalui pembaharuan dan pelestarian.
3. Tinjauan Umum Tentang Kebijakan Publik
xxvi
a. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan berasal dari kata dasar “bijak” yang artinya pandai;
mahir; pandai bercakap-cakap yang mewujudkan kata sifat
(Poerwodarminto dalam Sarjiyati, 2006 ; 13), yang selanjutnya
mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” yang menjadi kata benda
kebijakan yang diartikan kepandaian; kemahiran. Sedangkan kata
bijaksana diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan atau
organisasi dsb), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud
sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai
sasaran, garis haluan (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,
dalam Sarjiyati, 2006 : 14).
Kata kebijakan publik berasal dari kata asing yaitu “public
policy”. Di Indonesia istilah public policy masih belum mendapatkan
terjemahan yang pasti. Ada beberapa sebutan seperti : kebijaksanaan
publik, kebijaksanaan pemerintah, kebijaksanaan negara dan lain
sebagainya.
Kebijakan dari segi istilah menunjukkan pengertian yang
sifatnya tetap, serta melekat pada seseorang yang tidak berubah kecuali
adanya sebab untuk perkembangan. Oleh karena itu kebijakan
merupakan pengertian yang statis.
Dari uraian di atas tersebut jelas bahwa sifat kata “bijak”
adalah karakter yang melekat pada manusianya dan bijaksana adalah
xxvii
sifat-sifat yang melekat pada tingkah laku dan perbuatannya. Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa public policy di Indonesia
cenderung tepat diterjemahkan kebijaksanaan pemerintah. Selanjutnya
mengenai definisi public policy dapat diuraikan sebagai berikut :
Menurut Thomas R Dye (dalam Islamy, 2004 : 18) “Public
Policy is whatever governments choose to do or not to do”. Disini
tegas dinyatakan bahwa apa yang dimaksud atau dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan itulah yang
merupakan public policy atau Kebijaksanaan Pemerintah.
Menurut James E Anderson, kebijaksanaan negara adalah
serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah tertentu (Islamy, 2004 : 17).
Menurut Carl J Friedrich kebijaksanaan negara adalah suatu
arah tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seseorang, sekelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu
sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya
mencari peluang-peluang mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran
yang diinginkan (Abdul Wahab, 2004 : 3)
Menurut William N Dunn kebijakan publik adalah suatu
rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh
lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang
menyangkut tugas pemerintah. Seperti pertahanan, keamanan,
xxviii
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas,
perkotaan, dan lain-lain (Kencana Syafiie dalam Sarjiyati, 2006 : 15)
Dari definisi-definisi itu didapatkan pengetahuan pokok yang
dapat dikembangkan lebih lanjut, sehingga mempunyai pengetahuan
yang lebih cukup tentang public policy tersebut. Dengan definisi-
definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat ditangkap
makna dan hakekat public policy atau kebijaksanaan pemerintah yaitu
merupakan suatu keputusan oleh pejabat pemerintah yang berwenang
untuk kepentingan rakyat (public interest) sebagaimana kepentingan
rakyat tersebut merupakan keseluruhan yang utuh dari perpaduan dan
kristalisasi dari pendapat-pendapat, keinginan-keinginan, dan tuntutan-
tuntutan (demand) dari rakyat. Di Indonesia pada tingkat nasional
“demand” tersebut kepentingan nasional (national interest)
sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang dasar
Negara Repubilk Indonesia Tahun 1945 alenia keempat yang meliputi
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia (Soenarko, 2000 : 43)
Raksasatya (dalam Islamy, 2004 : 17-18) menyimpulkan bahwa
kebijakan publik pada dasarnya memiliki 3 (tiga) elemen yaitu :
a). Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai b). Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan
yang diinginkan c).Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara
nyata dari taktik maupun strategi diatas. Dari tiga elemen tersebut terlihat jelas bahwa pada dasarnya
kebijakan publik adalah sebuah sikap dari pemerintah yang
xxix
berorientasi pada tindakan. Artinya bahwa kebijakan publik
merupakan sebuah kerja konkrit dari adanya sebuah organisasi
pemerintah. Dan organisasi pemerintah yang dimaksudkan adalah
sebagai sebuah institusi yang dibentuk untuk melakukan tugas-tugas
kepublikan. Yakni tugas-tugas yang menyangkut hajat hidup orang
banyak dalam sebuah komunitas yang bernama negara. Dan tugas-
tugas kepublikan tersebut lebih konkret lagi adalah berupa serangkaian
program-program tindakan yang hendak direalisasikan dalam bentuk
yang nyata. Untuk itu maka diperlukan serangkaian tahapan dan
manajemen tertentu agar tujuan terealisir. Rangkaian proses realisasi
tujuan program publik tersebut yang dinamakan kebijakan publik.
b. Hubungan Hukum Dengan Kebijakan Publik
Setelah diuraikan sekilas tentang konsep dasar tentang hukum dan
kebijakan publik, selanjutnya penulis akan menguraikan tentang
hubungan hukum dan kebijakan publik. Konsep dasar hukum
sesungguhnya berbicara pada dua konteks persoalan yaitu :
a). Konteks tentang keadilan, hal ini menyangkut tentang kebutuhan
masyarakat akan rasa adil ditengah sekian banyak konflik dan
dinamika yang terdapat dalam masyarakat
b). Konteks tentang aspek legalitas atau yang dimaksud dengan
kepastian, hal tersebut menyangkut tentang apa yang dimaksud
dengan hukum positif yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh
sebuah kekuasaan negara yang sah dan dalam pemberlakuannya
dapat dipaksakan atas nama hukum.
xxx
Dua konteks tersebut diatas seringkali terjadi benturan, dimana
terkadang hukum positif ternyata belum menjamin atau bahkan tidak
menjamin terpenuhinya rasa keadilan, dan juga sebaliknya rasa keadilan
sangat dimungkinkan tidak memiliki kepastian hukum. Di tengah hal
tersebut maka komprominya adalah bagaimana agar kedua konteks
tersebut saling memenuhi dan juga melengkapi yaitu bagaimana hukum
positif yang ada selalu merupakan cerminan dari rasa keadilan.
Berangkat dari hal tersebut, maka hukum pada dasarnya lebih
banyak berbicara ataupun mengetengahkan pada sekian banyak aturan-
aturan yang sah dan juga tentunya legal. Masyarakat akan lebih banyak
dikendalikan dinamika sosialnya oleh atauran-aturan tersebut. Dan pada
sisi ini kemudian masyarakat modern memunculkan gagasan tentang
kebijakan publik sebagai sebuah instrumen dalam mengendalikan
masyarakat. Gagasan tentang kebijakan publik tentunya akan bertemu
dengan teori-teori negara-negara modern seperti good governance atau
reinventing government. Maka implikasinya masyarakat yang semakin
cepat itu harus segera diikuti oleh responsifitas negara yang cepat pula.
Dan hukum dengan segala aspek formalnya terkadang dirasakan
membelenggu perubahan tersebut.
Kebijakan publik sebagai konsep pengaturan masyarakat yang
lebih menekankan proses, nampaknya akan menjadi lebih popular
ketimbang dengan hukum. Namun sesungguhnya hukum secara sadar atau
tidak sadar keberadaanya tetap dibutuhkan oleh masyarakat modern. Sebab
sebuah hasil kesepakatan yang tidak memiliki kekuatan legalitas yang
xxxi
mengikat, maka akan menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya
pelanggaran-pelanggaran beberapa pihak atas kesepakatan yang telah
dicapai dalam proses kebijakan publik itu sendiri.
Hubungan antara hukum dan kebijakan publik adalah pemahaman
bahwa pada dasarnya kebijakan publik umumnya harus dilegalisasikan
dalam bentuk hukum, pada dasarnya sebuah hukum adalah hasil dari
kebijakan publik. Dari pemahaman dasar ini dapat dilihat keterkaitan
diantara keduanya sangat jelas. Bahwa sesungguhnya antara hukum
dengan kebijakan publik dalam hal tataran praktek tidak dapat dipisahkan,
keduanya berjalan seiring dengan prinsip saling mengisi. Sebab logikanya
sebuah produk hukum tanpa adanya proses kebijakan publik didalamnya
maka produk hukum tersebut akan kehilangan substansinya. Demikian
pula sebaliknya proses kebijakan publik tanpa adanya legalisasi dari
hukum tentunya akan sangat lemah dari dimensi operasionalnya.
Antara hukum dengan kebijakan publik pada dasarnya adalah
sama-sama sebuah konsep yang kesehariannya sangat lekat dalam
masyarakat, sehingga hukum dapat membentuk masyarakat dan akan
selalu berdampingan dalam masyarakat.
Hubungan hukum dan kebijakan publik dari sudut pandang
kebutuhan hukum ada dua keterkaitan. Keterkaitan yang pertama adalah
antara hukum dan kebijakan publik memiliki kesamaan, keterkaitan ini
terutama terlihat pada proses pembentukan hukum dengan proses
formulasi kebijakan publik, yakni keduanya sama-sama berangkat dari
realita yang ada dalam masyarakat dan berakhir pada penetapan sebuah
xxxii
solusi atas realita tersebut. Sedangkan keterkaitan yang kedua adalah
bahwa produk hukum (Undang-Undang) memerlukan sebuah kekuatan
dan kemapanan dari kandungannya, dan untuk hal tersebut memerlukan
sebuah cara yang sangat kuat untuk menuju pada hasil yang mapan pada
substansi tersebut. Kebijakan publik sebagai sebuah proses ternyata sedikit
banyak mampu memenuhi kebutuhan kemapanan hasil atau produk hukum
(Undang-Undang) tersebut. (Muhcsin dan Fadillah Putra, 2002 : 68).
C. Tinjauan Umum Tentang Formulasi Produk Hukum
Formulasi produk hukum salah satunya ditujukan untuk mengatur
tingkah laku manusia sesuai dengan hukum (law as a tool a social
engineering) hal tersebut terdapat 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi agar
hukum itu berlaku efektif (Jimly Asshiddiqie,2006 : 170-177) ketiga unsur
tersebut adalah :
1. Unsur Filosofis yakni bahwa rumusan atau norma-normanya mendapat
pembenaran bila dikaji secara filosofis mempunyai alasan yang dapat
dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam. Alasan yang dimaksud
sesuai dengan cita-cita kebenaran, cita-cita keadilan, dan cita-cita
kesusilaan, sehingga undang-undang harus mengandung unsur norma-
norma hukum yang diidealkan (ideal norms).
2. Unsur Yuridis yakni bahwa hukum atau peraturan perundang-undangan
mempunyai dasar yuridis ataupun legalitas yang merupakan dasar yang
terdapat dalam ketentuan-ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya.
xxxiii
3. Unsur Sosiologis yakni ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan
masyarakat umum atau kesadaran hukum masyarakat.
Terlepas dari perbedaan titik pandang tersebut, ketiga unsur diatas
memang penting, sebab setiap pembuat peraturan perundang-unangan
berharap agar kaidah yang tercantum dalam perundang-undangan tersebut
adalah sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat
diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk jangka waktu yang
panjang.
Hal tersebut juga terlihat dalam proses identifikasi dan perumuskan
kebijakan publik sangat ditentukan oleh para pelaku yang terlibat, baik secara
individu ataupun secara kelompok masyarakat. Disamping itu faktor
lingkungan sosial, ekonomi, politik, budaya, keamanan, geografi dan lain
sebagainya dapat berpengaruh dan menjadi bahan ataupun input bagi sistem
politik. Semuanya berinteraksi dalam suatu kegiatan atau proses untuk
mengubah input menjadi output, proses tersebut oleh David Easton disebut
dengan with inputs, conversion process, dan black box.(Esmi Warassih, 2005 :
49)
Proses-proses tranformasi dari keinginan sosial menjadi peraturan-
peraturan perundang-undangan baik dari konteks politis dan sosiologis, tidak
hanya terjadi pada saat pembentukan suatu peraturan. Dalam tahap bekerjanya
pun proses-proses tersebut berlangsung terus dan mengoreksi secara terus
menerus produk hukum yang dihasilkan tersebut. Hal tersebut dapat dijelaskan
dalam bagan sebagai berikut :
xxxiv
Demands Black box decicions
Support actions Environments environments
D. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
1. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum
Istilah perbandingan hukum, dalam bahasa asing, diterjemahkan:
comparative law (bahasa Inggris), vergleihende rechstlehre (bahasa
Belanda), droit comparé (bahasa Perancis). Istilah ini, dalam pendidikan
tinggi hukum di Amerika Serikat, sering diterjemahkan lain, yaitu sebagai
conflict law atau dialih bahasakan, menjadi hukum perselisihan, yang
artinya menjadi lain bagi pendidikan hukum di Indonesia. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 6)
Istilah yang dipergunakan dalam penulisan hukum ini, adalah
perbandingan hukum (pidana). Istilah ini sudah memasyarakat di kalangan
teoritikus hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah
yang telah dipergunakan untuk hal yang sama di bidang hukum perdata,
yaitu perbandingan hukum perdata.
Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu
dikemukakan definisi perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum
terkenal.
Rudolf B. Schlesinger mengatakan bahwa, perbandingan hukum
merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu.
Inputs The Political system
Outputs
xxxv
Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum
dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk
menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 7)
Winterton mengemukakan, bahwa perbandingan hukum adalah
suatu metoda yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan
tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 7)
Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu
metoda yaitu metoda perbandingan yang dapat digunakan dalam semua
cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan
foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk
membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian
istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata
membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. (Winterton, dalam
The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 di terjemahkan dalam buku Romli
Atmasasmita, 2000 : 7)
Perbandingan hukum adalah metoda umum dari suatu
perbandingan dan penelitian perbandingan yang dapat diterapkan dalam
bidang hukum. Para pakar hukum ini adalah : Frederik Pollock,
Gutteridge, Rene David, dan George Winterton. (Romli Atmasasmita,
2000 : 8)
Lemaire mengemukakan, perbandingan hukum sebagai cabang
ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metoda perbandingan)
xxxvi
mempunyai lingkup : (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan
perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasar-dasar kemasyarakatannya.
(Romli Atmasasmita, 2000 : 9)
Ole Lando mengemukakan antara lain bahwa perbandingan hukum
mencakup : “analysis and comparison of the laws”. Pendapat tersebut
sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai
cabang ilmu hukum. (Romli Atmasasmita, 2000 : 9)
Hesel Yutena mengemukakan definisi perbandingan hukum
sebagai berikut: Comparative law is simply another name for legal
science, or like other branches of science it has a universal humanistic
outlook ; it contemplates that while the technique nay vary, the problems
of justice are basically the same in time and space throughout the world.(
Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu hukum dan
merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti
cabang ilmu lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan yang
universal, sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya
sama baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia). (Romli
Atmasasmita, 2000 : 9)
Orucu mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum sebagai
berikut : Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining
similarities and differences and finding out relationship between various
legal sistems, their essence and style, looking at comparable legal
institutions and concepts and typing to determine solutions to certain
problems in these sistems with a definite goal in mind, such as law reform,
xxxvii
unification etc. (Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu
hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta
menemukan pula hubungan-hubungan erat antara berbagai system-sistem
hukum; melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum konsep-konsep
serta mencoba menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah
tertentu dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti
pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain). (Romli
Atmasasmita, 2000 : 10)
Definisi lain mengenai kedudukan perbandingan hukum
dikemukakan oleh Zweigert dan Kort yaitu : Comparative law is the
comparison of the spirit and style of different legal sistem or of
comparable legal institutions of the solution of comparable legal problems
in different sistem. (Perbandingan hukum adalah perbandingan dari jiwa
dan gaya dari system hukum yang berbeda-beda atau lembaga-lembaga
hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian masalah hukum yang dapat
diperbandingkan dalam system hukum yang berbeda-beda). (Romli
Atmasasmita, 2000 : 10)
Romli Atmasasmita yang berpendapat perbandingan hukum adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari
dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metoda
perbandingan. (Romli Atmasasmita, 2000 : 12)
a. Karakteristik Sistem “Common Law” dan sistem “Civil Law”
1) Karakteristik sistem hukum Inggris pada umumnya, khususnya
dalam hukum pidana dan acara pidana.
Pertama. Sistem hukum Inggris bersumber pada :
xxxviii
a) Custom, merupakan sumber hukum yang tertua di inggris.
Lahir dan berasal dari (sebagian) hukum romawi. Tumbuh dan
berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon yang hidup pada
abad pertengahan. Pada abad ke 14 Custom melahirkan
“common law” dan kemudian digantikan dengan precedent.
b) Legislation; berarti undang-undang yang dibentuk melalui
parleman. undang-undang yang dibentuk itu disebut statutes.
Sebelum abad ke 15, legislation bukanlah merupakan salah
satu sumber hukum di inggris. Pada masa itu undang-undang
dikeluarkan oleh Raja dan “Grand-Council” (terdiri dari kaum
bangsawan terkemuka dan Penguasa Kota London). Selama
abad ke 13 dan 14 Grand Council kemudian dirombak dan
terdiri dari dua badan yaitu, Lords dan Common; kemudian
dikenal sebagai Parlemen (Parliament). Sampai abad ke 17,
Raja dapat bertindak tanpa melalui Parlemen. Akan tetapi
sesudah abad ke 17 dengan adanya perang saudara di Inggris,
telah ditetapkan bahwa di masa yang akan datang semua
undang-undang harus memperoleh persetujuan Parlemen sejak
tahun 1832 dengan Undang-Undang Pembaharuan (Reformasi
Act), House of Common merupakan suatu badan yang
demokratis dan mewakili seluruh penduduk Inggris dan karena
itu merupakan wakil perasaan keadilan seluruh rakyat Inggris.
Sejak saat itu Legislation merupakan salah satu sumber hukum
yang penting sejak Code Napoleon (1805) dikembangkan,
Inggris telah mengambil manfaat dari apa yang terjadi di
Perancis, dan legislation dipergunakan sebagai alat
pembaharuan hukum di Inggris.
c) Case-law, sebagai salah satu sumber hukum Inggris
mempunyai karakteristik yang utama. Seluruh hukum
kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak melalui
Parlemen, akan tetapi dilakukan oleh para hakim, sehingga
dikenal dengan istilah ”Judge-made law”. Setiap putusan
xxxix
hakim di inggris merupakan precedent bagi hakim yang akan
datang, sehingga lahirlah doktrin Precedent sampai sekarang.
Kedua. Sebagai konsekuensi dipergunakannya case-law dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama maka sistem hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas legalitas.
Ketiga. Bertitik tolak dari doktrin precedent tersebut, maka kekuasaan hakim di dalam sistem hukum Common Law sangat luas dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang tercantum dalam undang-undang. Bahkan hakim di Inggris diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan putusannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari segi kekuasaan hakim Inggris yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut, sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem hukum Common Law kurang memperhatikan kepastian hukum.
Keempat. Ajaran Kesalahan dalam sistem hukum Common Law (Inggris) dikenal melalui doktrin Mens-Rea yang dilandaskan pada maxim: “Actus non est reus nisi mens sit rea”, yang berarti: “suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat”. Ajaran Mens-Rea ini dalam sistem hukum Inggris dirumuskan berbeda-beda tergantung dari kwalifikasi delik yang dilakukan seseorang. Pada sistem hukum Common Law, doktrin Mens-Rea secara klasik diartikan setiap perkara pelanggaran hukum yang dilakukan adalah disebabkan karena pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat (evil will), dan karenanya perbuatan tersebut dianggap merupakan dosa. Lord Denning, seorang hakim terkemuka di Inggris memberikan komentar atas doktrin Mens-Rea, dengan mengatakan: “In order that an act should be punishable it must be morally blame-worthy”. Sedangkan Jerome Hall, mengatakan bahwa Means-Rea adalah “a voluntary doing of morally wrong act forbidden by penal law”.(Roeslan Saleh,1982:23 sebagaimana telah dikutip oleh Romli Atmasasmita, 2000: 37)
Kelima. Dalam sistem Common Law (Inggris) pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya: a) actus-reus dan b) mens-rea. Namun demikian unsur “mens-rea” ini adalah merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban pidana dan harus ada terlebih dulu pada perbuatan tersebut sebelum dilakukan penuntutan (Roeslan Saleh,1982:28). Dewasa ini dalam peraturan perundangan modern unsur “mens-rea” ini tidak lagi dianggap sebagai syarat utama, misalnya pada delik-delik tentang ketertiban umum atau kesejahteraan umum.
xl
Keenam. Sistem hukum Inggris dan negara-negara yang menganut sistem Common Law tidak mengenal perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran. Sistem Common Law membedakan tindak pidana (secara klasik) dalam: Kejahatan berat atau “felonies”, kejahatan ringan atau “misdemeanors” dan kejahatan terhadap negara atau “treason”. Setelah dikeluarkannya “Criminal Law Act” (1967) pembedaan sebagai berikut: a) Indictable Offences, adalah kejahatan-kejahatan berat yang
hanya dapat diadili dengan sistem Juri melalui pengadilan
yang disebut Crown Court.
b) Summary Offences, adalah kejahatan-kejahatan kurang
berat yang hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan
(magistrate court) tanpa dengan sistem Juri.
c) Arrestable Offence, adalah kejahatan-kejahatan yang
diancam dengan hukuman di bawah 5 (lima) tahun kepada
seorang pelaku kejahatan yang belum pernah melakukan
kejahatan. Penangkapan terhadap pelaku tersebut
dilakukan tanpa surat perintah penangkapan. Klasifikasi
terbaru mengenai tindak pidana dalam sistem hukum
pidana Inggris dicantumkan dalam criminal law act tahun
1977 yang akan diuraikan secara khusus dalam bab
mengenai klasifikasi Tindak Pidana.
Ketujuh. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di negara-negara Common Law pada prinsipnya menganut “sistem Accusatoir” atau yang secara populer dikenal dengan sebutan “Advesary Sistem”. Sistem accusatoir atau Adversary sistem menempatkan tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di muka sidang-sidang pengadilan sebagai subjek hukum yang memiliki hak (asasi) dan kepentingan yang harus dilindungi.
Kedelapan. Sistem pemidanaan yang berlaku pada umumnya negara-negara yang menganut sistem Common Law adalah bersifat komulatif. Sistem pemidanaan tersebut memungkinkan seseorang dituntut dan dijatuhi pidana karena melakukan lebih dari satu tindak pidana. Jika kesemua tuntutan tersebut terbukti di muka sidang pengadilan maka pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi sekaligus semua ancaman hukuman yang dikenakan kepadanya.
xli
2) Karakteristik Sistem Hukum Belanda pada umumnya, khususnya
dalam hukum pidana dan acara pidana
Pertama. Sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) bersumber pada : a) Undang-Undang Dasar;
b) Undang-undang;
c) Kebiasaan case-law;
d) Doktrin
Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum pidana umum adalah sebagai berikut :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Penal Code atau
Wetboek van Strafrecht).
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Code of Crime
Procedure atau Wetboek van Strafvordering).
Undang-Undang tentang Susunan, organisasi, kekuasaan dan
tugas-tugas Pengadilan dan Sistem Penuntutan (Judicial
Act atau Wet op de Rechterlijke Organisatie).
Kedua. Karakateristik kedua dari sistem hukum Belanda (Civil Law Sistem) adalah dianutnya asas legalitas atau “the principles of legality”. Asas ini mengandung makna sebagi berikut: a) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana,
kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih
dahulu. Undang-undang dimaksud adalah hasil dari
perundingan Pemerintah Parlemen.
b) Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara
harfiah dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan
suatu penafsiran analogis untuk menetapkan suatu
perbuatan sebagai tindak pidana.
c) Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut.
d) Menetapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara
jelas dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan.
Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di negeri belanda prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan dari prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para
xlii
pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim. Mengingat penafsiran yang bersifat kaku terhadap ketentuan undang-undang menurut asas legalitas ini, maka peranan putusan Mahkamah Agung menjadi lebih penting. (Romli Atmasasmita, 2000 : 48) Ketiga. Dianutnya asas legalitas sebagaimana diuraikan dalam butir kedua diatas, sangat berpengaruh terhadap soal pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau strafbaarheid). Syarat umum bagi adanya pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana Belanda adalah adanya gabungan antara perbuatan yang dilarang dan pelaku yang diancam dengan pidana. Perbuatan pelanggaran hukum dari pelaku harus memenuhi syarat sebagai berikut : a) Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat)
dilakukan seseorang.
b) Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk
lingkup definisi pelanggaran.
c) Bersifat melawan hukum.
Ketiga syarat bagi adanya suatu pertanggungjawaban pidana tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu konstruksi gabungan dari syarat-syarat adanya sifat pertanggung jawaban pidana dan kekecualian-kekecualian dari pertanggungjawaban pidana. Dalam soal pertanggungjawaban pidana sistem hukum pidana Belanda (Civil Law) menganut asas kesalahan pada perbuatannya (dodex-strafrecht).
Keempat. Dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum pidana Belanda mengakibatkan keterikatn hakim terhadap isi ketentuan undang-undang dalam menyelesaikan perkara pidana. Hakim tidak diperbolehkan memperluas penafsiran terhadap isi ketentuan undang-undang sedemikian rupa sehingga dapat membentuk delik-delik baru.
Kelima. Sistem hukum pidana belanda mengenal pembedaan antara Kejahatan (Misdrijven) dan Pelanggaran (Overtredingen). Pembedaan dimaksud berasal dari perbedaan antara mala in se dan mala prohibita yaitu perbedaan yang dikenal dalam hukum Yunani. Mala in se adalah perbuatan yang disebut sebagai kejahatan karena menurut sifatnya adalah jahat. Sedangkan Mala prohibita, suatu perbuatan yang dilarang. Pembedaan antara kejahatan karena undang-undang menetapkan sebagai perbuatan yang dilarang. Pembedaan anatara kejahatan dan pelanggarab tersebut semula didasarkan atas pertimbangan tentang adanya pengertian istilah “rechtedelict” dan ”wetdelict”; namun perbedaan tersebut tidak dianut lagi dalam doktrin. Perbedaan
xliii
kejahatan dan pelanggaran dewasa ini didasarkan atas ancaman hukumannya; kejahatan memperoleh ancaman hukum yang lebih berat dari pelanggaran.
Keenam. Sistem peradilan yang dianut di semua negara yang berlandaskan “Civil Law Sistem” pada umumnya adalah sistem Inquisatoir. Sistem Inquisatoir menempatkan tersangka sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Ketujuh Sistem pemidanaan yang dianut pada umumnya di negara-negara yang berlandaskan civil Law Sistem adalah sistem pemidanaan Alternatif dan Alternatif-kumulatif, dengan batas minimum dan maksimum anaman pidana yang diperkenankan menurut Undang-Undang.
Sesungguhnya apabila kita telusuri karakteristik yang melekat pada kedua sistem hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, pendekatan dari segi historis, khususnya mengenai perkembangan hukum pidana di Eropa Continental yang menganut sistem “Civil Law” lebih menonjol dan lebih menampakkan dirinya keluar dari batas wilayah yuridiksi sistem “Common Law”. Perkembangan penerapan sistem “Civil Law” di negara dunia ketiga pada awalnya dipaksakan jika dibandingkan dengan penerapan penggunaan sistem “Common Law” di negara-negara bekas jajahan-jajahannya. Sebagai contoh penggunaan dan pemakaian sistem hukum Belanda di Indonesia dan sestem hukum Inggris dan Malaysia atau Singapura. Satu-satunya karakteristik yang sama antara kedua sistem hukum (legal sistem) tersebut adalah bahwa keduanya menganut falsafah dan doktrin liberalisme. (Romli Atmasasmita, 2000 :50).
E. Tinjauan Umum Tentang Sistem Pembuktian
Teori Pembuktian
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-
undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim
xliv
membuktikan kesalahan yang didakwakan (M.Yahya Harahap, 2002 :
273). Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara di
pengadilan.
Hari Sasangka dan Lily Rosita memberikan definisi hukum
pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang
mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem
yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan
alat bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak
dan menilai suatu pembuktian (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2001 :
10).
Ilmu pengetahuan hukum mengenal tiga sistem pembuktian
sebagaimana berikut ini :
a. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif (Positief
Wettelijke Bewijstheorie)
Suatu sistem pembuktian yang ditujukan untuk menentukan
bersalah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada prinsip
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang.
Sistem ini merupakan kebalikan dari sistem Conviction in Time.
Keyakinan hakim dikesampingkan dalam sistem ini. Menurut
sistem ini, undang-undang menetapkan secara limitatif alat-alat
bukti mana yang boleh dipakai hakim. Cara-cara bagaimana hakim
menggunakan alat-alat bukti serta kekuatan pembuktian dari alat-
alat bukti sedemikian rupa. Jika alat-alat bukti tersebut telah
dipakai secara sah seperti yang ditetapkan oleh undang-undang,
xlv
maka hakim harus menetapkan keadaaan sah terbukti, meskipun
mungkin hakim berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti
itu tidak benar.
Menurut D. Simons, sistem pembuktian menurut undang-
undang positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua
pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hukum secara ketat
menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Hati nurani
hakim tidak ikut hadir dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.
Teori ini dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor
dalam acara pidana (Andi Hamzah, 2001 : 247). Hakim
menurutnya seolah-olah hanya bersikap sebagai robot pelaksana
undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hakim hanya
sebagai suatu alat pelengkap pengadilan saja.
b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka
(Conviction Raisonnee)
Menurut teori sistem pembuktian ini, peranan keyakinan
hakim sangat penting. Namun hakim baru dapat menghukum
seorang terdakwa apabila ia telah meyakini bahwa perbuatan yang
bersangkutan terbukti kebenarannya. Keyakinan tersebut harus
disertai dengan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu
rangkaian pemikiran (logika). Hakim wajib menguraikan dan
menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas
kesalahan terdakwa. Alasan tersebut harus benar-benar dapat
diterima oleh akal.
xlvi
Sistem pembuktian ini mengakui adanya alat bukti tertentu
tetapi tidak ditetapkan oleh undang-undang. Banyaknya alat bukti
yang digunakan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa
merupakan wewenang hakim sepenuhnya. Tentu saja hakim harus
bisa menjelaskan alasan-alasan mengenai putusan yang diambilnya.
c. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
(Negatief Wettelijke Bewijstheorie)
Sistem pembuktian ini merupakan penggabungan antara
sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan
sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka. Sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
suatu sistem keseimbangan antara sistem yang saling bertolak
belakang secara ekstrim (M. Yahya Harahap, 2002 : 278).
Sistem pembuktian ini mengakomodasi sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian
menurut keyakinan hakim belaka. Sehingga rumusan dari hasil
penggabungan ini berbunyi “salah tidaknya seorang terdakwa
ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang”.
Sistem pembuktian negatif sangat mirip dengan sistem
pembuktian conviction in time. Hakim dalam mengambil keputusan
tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti
yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim
sendiri. Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa
xlvii
ditambah dengan alat bukti lain, serta berdasarkan alat bukti yang
diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh undang-
undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa
bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan (Hari
Sasangka dan Lily Rosita, 2003 : 16).
Dari ketiga sistem pembuktian diatas, yang dianut Indonesia dalam
hukum acara pidana diatur dalam Pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukan.
Dari Pasal 183 KUHAP tersebut terlihat bahwa hukum acara
pidana di negara kita menggunakan sistem “menurut undang-undang yang
negatif”. Hal ini berarti tidak sebuah alat buktipun akan mewajibkan
memidana terdakwa, jika hakim tidak sungguh-sungguh berkeyakinan atas
kesalahan terdakwa. Begitupun sebaliknya jika keyakinan hakim tidak
didukung dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah menurut hukum,
maka tidak cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa.
Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, dimana syarat pembuktian
menurut cara dan alat bukti yang sah, lebih ditekankan pada perumusan
yang tertera dalam undang-undang, seseorang untuk dapat dinyatakan
bersalah dan dapat dijatuhkan pidana kepadanya, apabila :
xlviii
a) Kesalahannya telah terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat
bukti”
b) dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut,
hakim akan “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu
tindak pidana.
Jika dilihat melalui konstruksi hukumnya maka keyakinan
hakim hanyalah sebagai pelengkap. Penjatuhan hukuman kepada terdakwa
yang kesalahannya telah terbukti secara sah berdasarkan ketentuan
perundangan yang berlaku, kemudian keterbuktiannya itu digabung dan
didukung dengan keyakinan hakim. Dalam praktek keyakinan hakim itu
bisa saja dikesampingkan apabila keyakinan hakim tersebut tidak dilandasi
oleh suatu pembuktian yang cukup. Keyakinan hakim tersebut dianggap
tidak mempunyai nilai apabila tidak dibarengi oleh pembuktian yang
cukup.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum lebih
cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif.
F. Tinjauan Umum Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
1. Sejarah terbentuknya KUHAP
xlix
Kelahiran KUHAP melalui sejarah penyusunan, penyempurnaan
penyusunan dan pembahasan yang panjang, secara kronologis dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II di Semarang
dengah materi pokok pembahasannya, berintikan Hukum Acara Pidana
dan Hak Asasi Manusia.
b. Pada tahun 1973 panitia inern Departemen Kehakiman menyusun
naskah KUHAP.dan naskah rancangan tersebut bertitik tolak dari
seminar Hukum Nasional II di Semarang.Kemudian rancangan ini
dibahas bersama dengan Kejaksaan Agung, Departemen
HANKAM.POLRI,dan Depatemen Kehakiman,
c. Tahun 1974, Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana
(RUHAP) disampaikan oleh Menteri Kehakiman kepada sekretaris
Kabinet dan dibahas bersama dengan Mahkamah Agung. Departemen
HANKAM, POLRI, dan Kehakiman.
d. Tahun 1979 tepatnya 12 September 1979 RUHAP disampaikan kepada
DPRRI dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 Nomor R
06/P. U/IX/1979
e. Tahun 1981 RUHAP mendapat persetujuan dari DPR dengan dibentuk
tim sinkronisasi DPR dengan wakil Pemerintah untuk penyempurnaan
RUHAP.
f. 31 Desember 1981 Presiden mengesahkan Rancangan menjadi
Undang-undang No.8 tahun 1981 ; LN RI No. 76 ;TLN NO. 3209.
2. Landasan Hukum KUHAP
l
Berdasarkan konsideran yang terdapat dalam penjelasan umum
dalam butir 3 dapat dilihat beberapa landasan KUHAP dan ini berarti
bahwa aparat penegak Hukum harus melihat dan melaksanakan KUHAP
sebagai satu kesatuan yang integral. Landasan tersebut ialah :
a. Landasan Filosofis
Landasan filosofis dapat ditemukan dalam huruf a konsideran
yaitu Pancasila terutama berhubungan erat dengan sila Ketuhanan dan
Kemanusiaan.
Dengan sila Ketuhanan KUHAP mengakui setiap pejabat
penegak Hukum maupun tersangka atau terdakwa adalah:
1) Sama-sama manusia yang diciptakan oleh Tuhan dan tergantung
pada Tuhan. Hal ini mengandung makna tidak ada pebedaan asasi
diantara sesama manusia dan manusia mempunyai hak
kemanusiaan yang harus dilindungi serta mempunyai tugas untuk
menunaikan amanat Tuhan Yang Maha Esa.
2) Untuk mewujudkan kualitas keadilan telah disebutkan dalam Pasal
197 ayat (1) KUHAP yaitu bahwa setiap surat Putusan Pengadilan
selalu berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Ynag
Maha Esa” . Suatu wujud Keadilan yang mempunyai dimensi
pertanggung jawaban yang berisikan tanggung jawab terhadap :
a) Hukum
b) Diri sendiri dan hati nurani
c) Masyarakat nusa dan bangsa
d) Tuhan Yang Maha Esa
li
b. Landasan Operasional
Yaitu Tap MPR No.IV tahun 1978. Dalam Tap MPR tersebut
ditekankan
a) peningkatan dan penyempurnaan pembinaan Hukum Nasional
antara lain dengan jalan melakukan kodifikasi .
b) Setiap usaha pembaharuan kodifikasi Hukum harus meperhatikan
kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat, harus bersifat
unifikasi, dapat menertibkan penegak Hukum, meningkatkan
kualitas Penegak Hukum serta modernisasi Hukum.
c. Landasan Konstitusional
Sumber konstitusional KUHAP yang utama adalah:
1) Undang-undang Dasar 1945 antara lain dalam pasal 27 ayat (1)
tentang persamaan kedudukan Hukum dan Pemerintahan.
2) Undang-undang No.14 tahun 1970 tentang pokok kekuasaan
Kehakiman.
3. Asas-asas dalam KUHAP
Asas diartikan sebagai dasar patokan Hukum yang melandasi
KUHAP dalam penerapan penegakan Hukum yang digunakan oleh aparat
penegak Hukum dalam menerapkan Pasal-pasal KUHAP dimana dalam
KUHAP terdapat beberapa asas yaitu:
a) Asas legalitas yaitu disebutkan dalam konsideran KUHAP yang
berbunyi bahwa negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum
lii
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin semua warga
negara bersamaan kedudukannya dalam Hukum dan Pemerintahan
serta wajib menjunjung Hukum dan Pemerintahannya itu dengan tidak
ada kecualinya. Sehingga penerapan KUHAP harus bersumber pada
titik tolak The Rule of Law. Sehingga tidak dibenarkan aparat penegak
Hukum:
1) Bertindak diluar ketentuan hukum
2) Bertindak sewenang-wenang
b) Asas keseimbangan
Ditegaskan dalam setiap penegakan Hukum harus berlandaskan
prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia dengan kepentingan dan ketertiban masyarakat.
Sehingga aparat penegak Hukum harus menghindari tindakan-
tindakan penegakan hukum dan ketertiban yang dapat menimbulkan
pelanggaran HAM dan cara perlakuan yang tidak manusiawi. Aparat
penegak hukum pada setiap saat harus sadar dan mampu bertugas dan
berkewajiban untuk mempertahankan social intererst (kepentingan
masyarakat) yang berbarengan dengan tugas dan kewajiban
menjunjung tinggi human dignity dan individual protection, yakni
menjunjung tinggi harkat martabat manusia serta perlindungan
kepentingan individu.
c) Asas Praduga tak bersalah
liii
Asas “praduga tak bersalah atau presumption of innocent
dijumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c. Sebenarnya asas
praduga tak bersalah, telah dirumuskan dalam pasal 8 Undang-undang
No.14 tahun 1970 yang berbunyi setiap orang yang sudah
disangka,ditangkap,ditahan,dituntut atau dihadapkan pada muka
pengadilan dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan Hakim.
Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi yuridis atau teknis
dinamakan prinsip akusatur atau accusatory procedure dimana
menempatkan terdakwa atau tersangka sebagai subyek dan obyek.
d) Prinsip pembatasan penahanan
Setiap yang namanya penahanan dengan sendirinya menganut
nilai dan makna
(1). Perampasan kemerdekaan dan kebebasan orang yang ditahan
(2). Menyangkut nilai harkat dan martabat manusia
(3). Menyangkut nama baik dan kehormatan.
Dari alasan tersebut maka KUHAP telah menetapkan secara
limitatif dan terperinci wewenang penahanan yang telah dilakukan.
e) Asas ganti rugi dan rehabilitasi
Lama sebelum KUHAP diundangkan, ketentuan ganti rugi dan
rehabilitasi sudah dituangkan sebagai ketentuan hukum dalam Pasal 9
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970. Sejak
diundangkan Undang-undang No. 14/1970 tersebut, sering pencari
keadilan mencoba menuntut ganti rugi ke pengadilan. Namun tuntutan
demikian selalu kandas di pengadilan atas argumentasi bahwa Pasal 9
liv
Undang-undang No. 14/1970 belum mengatur tata cara
pelaksanaannya.
Sekarang dengan adanya peraturan pelaksanaan Pasal 9
Undang-undang No. 14/1970. seperti yang diatur dalam BAB XII
KUHAP, Pasal-pasal 95-97 sudah ada pedoman tata cara penuntutan
ganti rugi dan rehabilitasi.
Alasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan
rehabilitasi :
Mengenai ganti rugi disebabkan penangkapan dan penahanan :
(1). Penangkapan atau penahanan secara melawan Hukum
(2). Penangkapan atau penahanan dilakukan tidak berdasarkan pada
Undang-undang
(3). Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Hukum
(4). Apabila penangkapan atau penahanan dilakukan tidak mengenai
orangnya (disqualification in person) artinya orang yang ditangkap
atau ditahan terdapat kekeliruan, dan yang bersangkutan sudah
menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkap atau ditahan,
bukan dia. Namun demikian tetap juga ditahan , dan kemudian
benar-benar tenyata ada kekeliruan penangkapan atau penahanan
itu.
f) Penggabungan pidana dengan tuntutan ganti rugi
Asas penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi
yang bercorak perdata merupakan hal baru dalam praktek penegakan
lv
Hukum di Indonesia. KUHAP memberi prosedur hukum bagi seorang
korban tindak pidana, menggugat ganti rugi yang bercorak perdata
terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana
yang sedang berlangsung. Akan tetapi gugatan perdata ganti rugi
seperti ini :
(1). Terbatas “ kerugian yang dialami korban sebagai akibat langsung
dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Misalnya kerugian
yang timbul akibat pelanggaran lalu lintas,
(2). Dan jumlah besarnya ganti rugi yang dapat diminta hanya terbatas
sebesar kerugian materiil yang diderita si korban (Pasal 98)
(3). Penggabungan perkara pidana dan gugatan ganti rugi yang bersifat
perdata dapat diajukan pihak korban sampai proses perkara pidana
belum memasuki taraf penuntut umum mengajukan requisitoir.
g) Asas unifikasi
Asas unifikasi yang dianut KUHAP, ditegaskan dalam
konsideran huruf b: bahwa demi pembangunan di bidang Hukum
sebagaimana termaktub dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
(Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.
IV (MPR/1978)), perlu mengadakan usaha peningkatan dan
penyempurnaan Hukum Nasional dengan mengadakan :
(1). Pembauran kodifikasi, serta
(2). Unifikasi Hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata
wawasan nusantara. Dari bunyi konsideran diatas, kodifikasi
KUHAP di samping bertujuan :
lvi
(3). Meningkatkan usaha penyempurnaan hukum nasionl
(4). Pembauran hukum nasional
(5). Juga dimaksudkan sebagai langkah “unifikasi hukum” dalam
rangka mengutuhkan persatuan dan kesatuan nasional di bidang
hukum dan penegakan hukum, guna tercapai cita-cita wawasan
nusantara di bidang Hukum, serta Hukum yang mengabdi kepada
wawasan nusantara.
Disamping itu dengan unifikasi Hukum acara pidana, terkikis
pengkotakan kelompok masyarakat warisan politik kolonial Belanda
dulu, yang mengelompokkan pengkotakan hukum berdasarkan daerah,
golongan keturunan, dan membedakan acara pidana yang berlaku buat
Jawa-Madura dengan daerah seberang. Demikian juga diskriminasi
hukum acara yang berlaku untuk golongan Eropa dengan Bumi Putera
serta diskriminasi hukum acara yang berlaku untuk peradilan Eropa
dengan peradilan Bumi Putera. Dengan berlakunya KUHAP yang
berasaskan unifikasi hukum, terhapuslah sisa jiwa dan kekeruhan
hukum diskriminatif yang lampau.
h) Prinsip diferensiasi fungsional
Prinsip diferensiasi fungsional, adalah penegasan pembagian
tugas wewenang antara jajaran aparat penegak hukum secara
instansional. KUHAP meletakkan suatu asas “penjernihan”
(clarification)dan “modifikasi” (modification) fungsi dan wewenang
antara setiap instansi penegak Hukum. Penjernihan pengelompokan
tersebut, diatur sedemikian rupa, sehingga tetap terbina saling korelasi
lvii
dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan
dan berkelanjutan antara satu instansi satu dengan instansi yang lain,
sampai ke taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan
pelaksanaan eksekusi. Mulai dari taraf permulaan penyidikan oleh
kepolisian sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan oleh
kejaksaan, selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan, yang
akan menciptakan suatu mekanisme saling ceking diantara sesama
aparat penegak Hukum dalam suatu rangkaian Integrated criminal
justice system.
i) Prinsip saling koordinasi
KUHAP memuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi
penegak hukum dalam suatu hubungan kerja sama yang dititikberatkan
bukan hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja,
tetapi juga diarahkan untuk terbina suatu tim aparat penegak hukum
yang dibebani tugas tanggung jawab saling mengawasi dalam “sistem
ceking” antara sesama mereka antara lain :
(1). Hubungan penyidik dengan penuntut umum yaitu kewajiban
penyidik untuk memberi tahu dimulai penyidikan pada penuntut
umum Pasal 109 ayat (1).
(2). Hubungan penyidik dengan hakim atau pengadilan
Ketua pangadilan negeri memberi “perpanjangan penahanan”
yang diminta oleh penyidik dengan surat penetapan atas dasar
ketentuan yang diatur Pasal 29
j) Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan
lviii
Asas ini telah dirumuskan pada Pasal 4 ayat(20 UU pokok
kekuasaan kehakiman No. 14 th 1970, yang menghendaki agar
pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas
cepat, sederhana, dan biaya ringan, tidak bertele-tele dan berbelit-belit
k) Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum
Pasal-pasal KUHAP yang mendukung asas ini memberi makna
bahwa dalam tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dijiwai
dengan persamaan dan keterbukaan. Namun terdapat hal-hal
pengecualian yaitu apabila menangani perkara kesusilaan dan atau
perkara yang terdakwanya masih anak-anak ataupun masih dibawah
umur.
G. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
1. Pengertian Pencucian Uang
Sebenarnya tidak ada definisi yang universal dan komprehensif
mengenai pencucian uang. Pihak penuntut dan lembaga penyidik
kejahatan, kalangan perusahaan dan pengusaha, negara maju ataupun
berkembang, atau negara negara dunia ketiga masing masing mempunyai
definisi atau pengertian tersendiri berdasarkan pemikiran, prioritas, dan
perspektif yang berbeda. Berikut ini adalah berbagai macam pendapat
mengenai definisi pencucian uang :
a. Welling mengemukakan bahwa, Money laundering is the process by
which one conceals the existence, illegal source, or illegal application
of income, and than disguises that income to make it appear legitimate
lix
(Pencucian Uang adalah suatu proses di mana. seseorang
menyembunyikan keberadaan uangnya dari sumber yang tidak sah,
atau mengubah uang yang tidak sah tersebut dengan menjadikannya
seolah-olah uang tersebut berasal dari pendapatan yang sah). (Sutan
Remy Sjahdeini, 2004: 2)
b. Menurut Pamela H. Busy dalam bukunya yang berjudul "White Collar
Crime, Cases and Materials", menyatakan Money Laundering is the
concealment of the existance, nature or illegal source of illicit fund in
such a manner that the funds will appear legitimate of discovered
(Pencucian Uang adalah suatu perbuatan merahasiakan atau
menyembunyikan atau menyimpan uang yang berasal dari sumber
yang tidak sah, dalam hal ini uang kotor, sehingga uang kotor tersebut
dijadikan seolah olah berasal dari sumber yang sah). (Sutan Remy
Sjahdeini, 2004: 2)
c. Chaikin memberikan defnisi pencucian uang sebagai The process by
wich conceals or disguises that true nature, source, disposil ion,
movement or ownerships of money for whatever reason (Pencucian
Uang adalah suatu proses di mana perbuatan merahasiakan atau
menyembunyikan baik dalam hal asal usul, sumber, pergerakan,
maupun kepemilikan uang dengan cara ataupun alasan yang dibuat
sedemikan rupa untuk menghilangkan jejak uang tersebut). (Sutan
Remy Sjahdeini, 2004: 2)
d. Financial Action Task Force on Money Laundering atau FATF yang
dibentuk oleh G 7 Summit di Paris tahun 1982 juga tidak memberikan
lx
definisi mengenai pencucian uang, akan tetapi memberikan uraian
mengenai pencucian uang sebagai The goal of the large number of
criminal act is to generate of profil for the individual or group that
carries out the act. Money Laundering is the processing. of this
criminals proceeds to disguise their illegal origin. This process is of
critical importance, as it enables that criminals to enjoy this profits
whitout the joepardissing their course. Illegal arm sales, smugling,
and the activities of organized crime induding for example drug
traficking and prostitution rings can generate huge sums.
Embezlement, insider trading, bribery, and computer fraud schems can
also produce large profits and create the intensive to legitimise the
ill'gotten through money laundering (Pencucian Uang adalah suatu
proses yang merupakan perbuatan atau aktivitas menyembunyikan atau
merahasiakan, atau menyimpan hasil dari sebagian besar tindak
kejahatan, dengan menyembunyikan sumber ataupun asal usul uang
kotor atau tidak sah, adanya perdagangan gelap, penyelundupan,
ataupun tindak kejahatan terorganisasi lainnya seperti halnya penjualan
dan peredaran narkoba, jaringan prostitusi, sehingga memang dapat
menghasilkan sejumlah uang yang sangat besar dari kegiatan tersebut).
e. Dalam Draft from Europen Communities (EC) Directive bulan Maret
1990 memberikan definisi pencucian uang sebagai The conversions or
transfer of property knowing that such property is derived from serious
crime, for the purpose of concealing or disguising the illicit origin of
the property or of assisting any persons who involved in commiting
lxi
such on offences to evade the legal consequences of !his action, and
the concealment or disguise of the true nature source, location,
disposition, movement, rights, with respect ownership of properties
derived from scious crime (Pencucian Uang adalah suatu proses di
mana terjadi penyerahan atau perpindahan sejumlah harta, di mana
diketahui bahwa harta tersebut berasal dari kejahatan atau tindak
pidana, baik dengan menggunakan metode merahasiakan,
menyembunyikan asal usul harta atau uang gelap tersebut, di samping
adanya proses pelibatan yang memang tidak terdeteksi oleh
undang undang karena telah disamarkan baik sumber ataupun asal usul
uang gelap tersebut, serta adanya penempatan, dan pergerakan ataupun
perpindahan uang hasil tindak kejahatan tersebut). (Sutan Remy
Sjahdeini, 2004: 4)
f. Menurut Jeffrey Robinson dalam bukunya yang berjudul The
Launderiman, mengemukakan bahwa Money laurdering is called what
it is because the perfectly describes what take place illegal, or dirty,
money is put through a cycle of transaction or washed, so that it come
out the other end as legal, or clean money. In other world, the source
of illegally obtained fund is obscured through a succession of transfer
and deals in order that those same some fund can eventually be made
to reapper as legitimate income (Pencucian Uang dipakai sebagai
istilah dikarenakan bahwa uang hasil tindak kejahatan tersebut
memang benar benar terurai menjadi seolah olah berasal dari perbuatan
yang bersih. Bisa juga dikatakan sebagai perbuatan menguraikan atau
lxii
memproses uang yang tidak sah atau kotor, di mana uang kotor
tersebut dilibatkan dalam suatu transaksi ataupun perputaran, sehingga
setelah terdeteksi oleh undang undang dianggap sebagai uang yang
bersih. Di luar negeri sumber atau asal usul uang gelap tersebut
digelapkan melalui suatu rangkaian perpindahan atau transaksi
sehingga menjadi seolah olah benar benar sebagai uang yang bersih).
(Sutan Remy Sjahdeini, 2004: 6)
g. Departemen Kehakiman Kanada menyatakan Money Laundering is the
conversion of transfer of property knowing that such property is
derived from criminal activity for the purpose of concealing the illicit
nature and origin of the property from govemment authorities
(Pencucian Uang merupakan suatu kegiatan berupa upaya perpindahan
ataupun perputaran uang atau harta di mana diketahui harta tersebut
diperoleh dari tindak kejahatan, baik dengan cara merahasiakan
sumber asal usul uang tersebut oleh pejabat negara). (Sutan Remy
Sjahdeini, 2004: 4)
h. Sedangkan Konvensi Perserikatan Bangsa bangsa, The United Nation
Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs, and
Psychotropic Substances of 1988 mengartikan tindak pidana pencucian
uang sebagai The convention or transfer of property, knowing that
such property is derived from any serious offence or offences, or from
act of perticipation in such offence or offences, for the purpose of
concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any
person who is involved in the commission of such and offence or
lxiii
offences to evade the legal consequences of his action, or the
concealment or disguise of the true neture, source, location,
disposition, movement, right with respect to or ownership of property,
knowing that such property is derived from a serious (indictable)
offence or offences or from an act of participation in such an offence
or offences (Pencucian Uang adalah suatu proses penyerahan maupun
perpindahan harta kekayaan, di mana diketahui bahwa harta kekayaan
tersebut didapatkan dari tindak kejahatan atau dalam hal ini diperoleh
dari keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut, dengan tujuan
untuk merahasiakan atau menyembunyikan baik sumber ataupun
pihak pihak yang terlibat dari adanya konsekuensi atas undang undang
atas tindakannya itu, maupun dengan cara penyamaran dari sumber
aslinya, asal usul, dengan penempatan, pergerakan yang berkenaan
dengan harta kekayaan tersebut, dengan diketahui sebelumnya bahwa
harta kekayaan tersebut diperoleh dari tindak kejahatan, maupun
keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut).
i. Menurut Black’s Law Dictionary, Money Laundering is term used to
describe invesement or other transfer of money flowing from
racketeering, drug transaction and other illegal sources into legitimate
channels so that its originals source can not be traced (Pencucian
Uang adalah istilah yang digunakan dalam menjelaskan aktivitas,
dalam hal menguraikan atau memindahkan asal usul uang yang tidak
sah menjadi seolah olah sah, sehingga sumber asalnya tidak dapat
diusut ataupun dideteksi).
lxiv
j. Hal demikian berbeda dengan Undang undang Pencucian Uang
Malaysia atau Anti Money Laundering Act of 2001, yang menyebutkan
bahwa money laundering means the act of a person who :
1) engages, directly or indirectly, in a transaction that involves proceeds of any unlawful activity;
2) acquires, receives, possesses, disguises, transfers, converts, exchanges, carries, disposes, uses, removes from or brings into Malaysia proceeds of any unlawful activity; or
3) conceals, disguises or impedes the establishment of the true nature, origin, location, movement, disposition, title of, rights with respect to, or ownership of, proceeds of any unlawful activity;
(Pencucian Uang adalah perbuatan seseorang yang :
1) melakukan/terlibat (langsung/tidak) dalam suatu transaksi
harta kekayaan yang berasal dari perbutan melawan hukum
2) Memperoleh, menerima, memiliki, menyembunyikan,
mentransfer, mengubah, menukar, membawa, menyimpan,
menggunakan, memindahkan dari atau membawa ke
Malaysia, harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang
melawan hukum
3) Menyembunyikan, menyamarkan atau merintangi penentuan
asal usul, tempat, penyaluran, penempatan, hak-hak yang
terkait dengan atau kepemilikan dari harta kekayaan yang
berasal dari perbuatan yang melawan hukum).
k. Kemudian dalam amandemen UU TPPU yang baru lalu, definisi
pencucian uang adalah Perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa keluar negeri, atau perbuatan lainnya atas harta
lxv
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, mengaburkan, atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah olah menjadi
harta kekayaan yang sah.
Sehingga dari beberapa definisi tersebut di atas bahwa yang
dimaksud sebagai pencucian uang dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pencucian uang adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses
yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang yang berasal
dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang
dengan cara memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan
sehingga uang tersebut kemudian dikeluarkan dari sistem keuangan itu
sebagai uang yang halal.
2. Tahap-tahap Tindak Pidana Pencucian Uang
Sebenamya tidak mudah untuk membuktikan adanya suatu tindak
pencucian uang yang sangat kompleks, namun para pakar telah berhasil
menggolongkan proses pencucian uang menjadi tiga tahap, yaitu:
a) Placement, yakni dengan mengubah uang tunai hasil kejahatan
menjadi aset yang legal, dimana ini merupakan suatu tahapan atau
proses menempatkan uang hasil kejahatan kedalam sistem
keuangan. Dalam tahapan ini perbuatan yang dilakukan berupa
pergerakan fisik dari uang tunai dengan maksud untuk
mengaburkan atau memisahkan sejauh mungkin uang hasil
kejahatan dari sumber perolehannya.
lxvi
b) Layering, yaitu suatu proses yang dilakukan para pelaku kejahatan
setelah uang hasil kejahatan itu masuk kedalam sistem keuangan
(bank) dengan cara melakukan transaksi lebih lanjut dengan
maksud untuk menutupi asal usul uang. Proses ini juga dapat
berupa penggunaan uang baik di dalam negeri ataupun di luar
negeri melalui electronic .funds transfer.
c) Integration, yakni pelaku menggunakan uang hasil kejahatan
tersebut untuk kegiatan ekonomi yang sah karena merasa aman
bahwa kegiatan yang dilakukannya seolah tanpa berhubungan
dengan aktivitas ilegal sebelumnya.
Kemudian selain hal hal di atas yang merupakan tahapan proses
pencucian uang, karakteristik yang selanjutnya dapat dijelaskan bahwa
tindak pidana pencucian uang melibatkan penjahat kelas atas atau
kejahatan kerah putih, yang pelakunya mempunyai kedudakan tinggi
secara politik maupun dalam hubungan ekonomi. Disamping adanya
sejumlah karakteristik yang umumnya melekat pada White Collar
Crime adalah sebagai berikut (Hazel Croall, 1992 sebagaimana dikutip
oleh Harkristuti Harkrisnowo, 2001: 4) :
a) Low Visibility, bahwa kejahatan kerah putih yang memang super
canggih sangat dimungkinkan tidak kasat mata, sehingga akan
sangat sulit diraba.
b) Complexity, dimana kejahatan kerah putih sangat kompleks, hal
tersebut dimungkinkan dengan banyaknya campur tangan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
lxvii
c) Diffusion of Responsibility, dalam perkara perkara kejahatan kerah
putih selalu terjadi ketidakjelasan pertanggungjawaban pidana,
yang hal ini juga tidak terlepas dari sifat kejahatan kerah putih yang
memang sangat terselubung dengan rapi.
d) Diffusion of Victims, berawal dari pemanfaatan teknologi yang
super canggih, kemudian dengan metode kejahatan yang
terselubung, maka akan mengakibatkan pula ketidakjelasan korban
yang memang sangat luas akibatnya.
Selain itu juga, tindak kejahatan pencucian uang sebagai bentuk
kejahatan yang dilakukan secara terorganisir, dan terjadinya dapat
melintasi batas negara sebagai kejahatan transnasional, dimana
menggunakan sepenuhnya kemajuan teknologi dan informasi sebagai
modus operandi kejahatan berdimensi baru.
H. Kerangka Pikir
Dewasa ini telah terjadi perkembangan yang sangat pesat di berbagai
bidang antara lain kemajuan teknologi, transportasi, komunikasi, informatika
modern, dan tidak ketinggalan di bidang hukum. Kemajuan tersebut tidak
selamanya mempunyai dampak yang positif bagi masyarakat namun juga
terdapat dampak yang negatif yaitu menjadi ladang subur bagi perkembangan
kejahatan sehingga di satu sisi berkembang pula metode-metode kejahatan
yang dilakukan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang dikenal
dengan kejahatan kerah putih atau disebut White collar crime. (Irmawan
Wijanarko, 2003:1).
lxviii
Mengingat money laundering juga merupakan kejahatan transnasional
(transnational crime) yang modusnya banyak dilakukan melintasi batas-batas
negara (cross border), oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan
melakukan kerja sama regional maupun internasional, melalui forum bilateral
atau multilateral, sedangkan dampak yang ditimbulkan dapat pula berakibat
negatif pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian dunia secara
keseluruhan.
Di sisi lain, oleh karena money laundering berkaitan dengan kejahatan
asal (predicate crime) yang dilakukan oleh organized crime, maka
perkembangan money laundering ini akan sangat mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya berbagai tindak pidana pemicu money laundering seperti
korupsi, perdagangan gelap narkotika, penyelundupan, dan illegal logging
serta upaya untuk memeranginya.
Dalam rangka pemberantasan dan penanggulangan TPPU pemerintah
mengambil kebijakan dengan mengeluarkan UU No. 15 Tahun 2002 yang
kemudian diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang TPPU. UU ini
menarik untuk dijelaskan apakah sebagai instrumen kebijakan pemerintah
untuk pemberantasan kejahatan trans nasional khususnya TPPU sudah
memenuhi formulasi pembentukan hukum dan dijelaskan karakteristiknya
dalam hubungan dengan sistem pembuktian yang dijalankan selama ini,
kelemahan dan kelebihan serta konsekuensi dan implikasi yang ada
Implementasi Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sangat penting. Pentingnya implementasi undang-undang
lxix
tersebut bukan saja agar Indonesia tidak dikucilkan oleh dunia internasional,
tetapi juga bertujuan agar berbagai predicate crime yang merupakan sumber
uang haram yang dicuci dalam proses pencucian uang ikut dapat diberantas
atau dikurangi. Di dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang di Indonesia juga diatur mengenai sistem pembuktian
untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bersalah
atau tidaknya seorang terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam surat
dakwaan ditentukan dalam proses pembuktian. Dalam Undang-Undang ini
sistem pembuktian yang digunakan adalah sistem pembuktian terbalik, seperti
yang disebutkan dalam pasal 35 Undang- Undang No 15 Tahun 2002. dengan
rumusan sebagai berikut ''Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana''.
Adapun skema dari kerangka pikir penulis sebagai berikut :
Pembuktian
Menurut KUHAP (Praduga tak bersalah)
Menurut UU No.25/2003 (Praduga bersalah)
Kebijakan penanggulangan TPPU
lxx
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian dalam penulisan tesis ini dilakukan dengan mengikuti
pendapat Soetandyo Wignyosoebroto sesuai dengan konsep hukum kedua
yaitu hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-
undangan hukum nasional. Dalam konsep normatif hukum adalah norma,
yang diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius
constituendum), ataupun norma yang telah terwujudkan sebagai perintah
Konsekuensi dan Implikasi
Telaah Kritis
Perbedaan Persamaan
Stuffenbau Theorie (Sinkronisasi)
lxxi
yang eksplisit dan secara positif dari pihak yang berdaulat telah terumus jelas
(ius constitutum) untuk menjamin kepastiannya.
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini termasuk jenis penelitian
hukum doktrinal/normatif yang dalam hal ini tentang sinkronisasi horisontal
peraturan yaitu sistem pembuktian TPPU menurut KUHAP dan UU TPPU.
Sedangkan jika dilihat dari sifatnya termasuk penelitian deskriptif dan
menurut bentuknya penelitian ini merupakan penelitian diagnostik yakni
penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-
sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala (Setiono, 2005 : 5) yang
dalam hal ini gejala tentang kebijakan penanggulangan tindak pidana
pencucian uang dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun
2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan adanya kelemahan dalam
kebijakan penanggulangan tindak pidana pencucian uang terutama nerkaitan
dengan sistem pembuktian.
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian tesis ini di perpustakaan pribadi, perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, perpustakaan
Pascasarjana UNS
C. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data
sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian
serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-
buku, literatur, koran, majalah, jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan
penelitian yang akan dibahas.
lxxii
Mengacu pendapat Soerjono Soekanto (dalam Setiono, 2005 : 19)
dalam menggunakan data sekunder di bidang hukum ditinjau dari kekuatan
mengikatnya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), maka penulis menggunakan
sumber data sebagai berikut :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti :
a. Buku-buku literatur tentang kebijakan, ataupun literatur yang
berhubungan dengan penulisan tesis
b. Hasil-hasil penelitian antara lain hasil studi perbandingan sistem
pembuktian antara negara Indonesia dengan Negara Malaysia dalam
tindak pidana pencucian uang.
3. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
dalam tesis ini penulis menggunakan bahan dari media internet, Black’s
Law Dictionary, kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Pada dasarnya penelitian ini merupakan studi kepustakaan. Adapun
studi kepustakaan merupakan studi terhadap bahan-bahan hukum. Secara
singkat, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan misalnya :
1. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis
dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
lxxiii
2. Mendapatkan metode, tehnik, atau cara pendekatan pemecahan
permasalahan yang digunakan sebagai sumber data sekunder.
3. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannnya.
4. Mengetahui informasi tentang cara evaluasi dan analisis data yang
digunakan.
5. Memperkaya ide-ide baru.
6. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa
pemakai hasilnya (Bambang Sunggono dalam Rorry Hartono, 2007 : 38).
D. Tehnik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian
normatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan data
sekunder. Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan
untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti.
E. Tehnik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data
dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan
jawaban terhadap permasalahan yang diteliti dan dapat dirumuskan hipotesis
kerja, yang dalam hal ini analisis dilakukan secara logis, sistematis dan
yuridis normatif dalam kaitannya dengan masalah yang diteliti. Adapun yang
dimaksud dengan logis adalah pemahaman data dengan menggunakan
lxxiv
prinsip logika baik itu deduktif maupun induktif, sistematis adalah dalam
pemahaman suatu data yang ada tidak secara berdiri sendiri namun dalam hal
ini merupakan hal yang saling terkait, dan yang dimaksud dengan yuridis
normatif adalah memahami data dari segi aspek hukum dengan
menggunakan interprestasi, asas-asas, perbandingan hukum dan sinkronisasi
dari teori hukum yang ada..
Sebagaimana hal tersebut dengan memperhatikan penafsiran hukum
yang dilakukan serta asas-asas hukum yang berlaku pada ilmu hukum, yaitu
undang-undang tidak berlaku surut; undang-undang yang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang
yang bersifat umum; undang-undang belakangan membatalkan yang berlaku
terdahulu; undang-undang sebagai sarana yang diharapkan semaksimal
mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material masyarakat
maupun individu
lxxv
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kebijakan pembuktian dalam TPPU dikaji menurut teori formulasi
pembentukan hukum Lon L Fuller.
UU TPPU sebagai instrumen penanggulangan tindak pidana
pencucian uang, yang di dalamnya telah terdapat kebijakan pembuktian
tersendiri merupakan suatu bentuk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
khususnya tentang pembuktian tindak pidana pencucian uang. Dari segi
teoritis pembuatan kebijakan haruslah sesuai dengan teori yang ada,
adapun dalam hal ini formulasi kebijakan penulis mengkaji berdasarkan
teori formulasi kebijakan yang dikemukakan oleh Lon Fuller yang penulis
anggap cukup lengkap aspek-aspek serta komponen-komponen yang
dilibatkan. Seperti dikemukakan diatas terdapat beberapa prinsip legalitas
yang harus dipenuhi hukum menurut Lon L. Fuller yaitu :
lxxvi
a. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak
boleh mengandung sekedar putusan-putusan yang bersifat ad hoc. Jika
UU TPPU dikaji berdasarkan prinsip pertama tersebut, UU TPPU tidak
bertentangan karena dalam hal ini UUTPPU telah diundangkan dan
juga telah terdapat peraturan terlebih dahulu dalam bentuk undang-
undang.
b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan. UU TPPU
telah memuat prinsip kedua karena UU TPPU juga telah diumumkan
kepada publik, yaitu dengan diundangkannya undang-undang tersebut.
c. Peraturan tidak boleh berlaku surut. Jika UU TPPU dikaji memang
tidak terdapat pengaturan tidak berlaku surut, namun karena pencucian
uang merupakan kejahatan ikutan dan dengan didahului kejahatan asal
maka dapat disimpulkan bahwa pencucian uang harus dapat diusut
dengan mengacu undang-undang yang telah ada.
d. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
Dalam hal ini memang relatif sulit untuk mengerti isi kandungan
suatun undang-undang yang dalam hal ini UU TPPU, dikarenakan para
penegak hukum maupun masyarakat umum tidak hanya diwajibkan
mengerti tentang UU TPPU saja malainkan juga dengan undang-
undang pendukung lainnya antara lain undang-undang korupsi. Dan
juga tentang substansi yang ada dalam UU TPPU.
e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan
satu sama lain. Terlihat dengan direvisinya Undang-Undang Nomor 15
tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Undang-
lxxvii
Undang Nomor 25 Tahun 2003 tidak terdapat substansi yang saling
bertentangan hanya penambahan yang dianggap perlu.
f. Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa apa
yang dapat dilakukan. UU TPPU terlihat hanya mengandung paraturan
sejauh yang dapat dilaksanakan dalam pelaksanaannya, meskipun
terdapat kekurangan dalam hal pelaksanaan misalnya dalam hal
kriminalisasai tindak pidana.
g. Peraturan tidak boleh sering diubah, dalam hal ini mamang UU TPPU
belum memenuhi prinsip tersebut karena pencucian uang telah diatur
terlebih dahulu dengan adanya UU No. 15 Tahun 2002 namun
dikarenakan terdapat kelemahan dalam substansinya sehingga terdapat
pelengkapan pengaturan dan direvisi dalam UU No. 25 Tahun 2003.
h. Harus terdapat kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanannya sehari-hari. Dimana hal tersebut terlihat dalam
pelaksanaan sistem rahasia bank telah diterapkan prinsip mengenal
nasabah sehingga dapat dikatahui bahwa UU TPPU telah dapat
diterapkan dan sesuai dengan kehidupan sehari-hari
Kebijakan publik sebagai konsep pengaturan masyarakat yang
lebih menekankan delapan prinsip legalitas sebagai suatu landasan
kebijakan, nampaknya akan menjadi lebih popular ketimbang dengan
hukum. Namun sesungguhnya hukum secara sadar atau tidak sadar
keberadaanya tetap dibutuhkan oleh masyarakat modern. Sebab sebuah
hasil kesepakatan yang tidak memiliki kekuatan legalitas yang mengikat,
maka akan menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya pelanggaran-
lxxviii
pelanggaran oleh beberapa pihak atas persepakatan yang telah dicapai
dalam proses kebijakan publik itu sendiri.
Kebijakan publik pada dasarnya adalah sebuah konsep yang
kesehariannya sangat lekat dalam masyarakat, hal ini terdapat tiga unsur
penting dalam sebuah kebijakan publik yaitu pertama adalah formulasi
kebijakan publik, yakni berawal dari realita yang ada dalam masyarakat
dan berakhir pada penetapan sebuah solusi atas realita tersebut.
Sedangkan yang kedua adalah bahwa produk hukum (Undang-Undang)
memerlukan sebuah kekuatan dan kemapanan dari kandungannya, dan
untuk hal tersebut memerlukan sebuah cara yang sangat kuat untuk
menuju pada hasil yang mapan pada substansi tersebut.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam suatu kebijakan
publik adalah pertama terdapatnya suatu aturan ataupun suatu produk
hukum, kedua adalah terdapatnya suatu pelaksanaan kebijakan tersebut
yang dilaksanakan oleh para penegak hukum, yang ketiga harus terdapat
evaluasi apakah kebijakan tersebut dapat diterapkan ataupun evaluasi
tentang kelemahan-kelamahan yang ada.
Dalam hal ini kebijakan pembuktian tindak pidana pencucian
uang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 30-38 UU TPPU pada
prinsipnya telah diatur pula dalam KUHAP, namun terdapat beberapa
pengecualian yaitu antara lain tentang diaturnya sistem pembuktian
terbalik dan juga kekuatan alat bukti data elektronik. Hal tersebut sesuai
dengan Pasal 33 ayat (2) UU TPPU yang pada intinya dalam meminta
keterangan, penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku
lxxix
ketentuan undang undang yang mengatur tentang rahasia bank dan
kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Hal tersebut diperkuat
berdasarkan Pasal 35 UU TPPU yang intinya untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa
harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Ketentuan
tersebut telah menyebutkan secara tegas bahwa terdapat suatu terobosan
di bidang hukum yaitu dengan pengaturan baru tentang sistem
pembuktian.
Adapun ketentuan tentang alat bukti telah diatur dalam Pasal 38
UU TPPU yaitu
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
Hal tersebut menarik jika dikaji dari segi teori formulasi
kebijakan, suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan sebagai suatu
sistem, yaitu suatu keseluruhan dan fenomena yang saling berinteraksi,
serta dapat diadakan dari berbagai komponen antara lain komponen
politik, sosial dan budaya yang kesemuanya saling berinteraksi
membentuk suatu kebijakan.
Adapun yang menjadi pokok kebijakan adalah suatu kegiatan
yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu dengan sarana tertentu
lxxx
dan dalam waktu tertentu, sehingga dalam hal ini kebijakan menyangkut
beberapa aspek karena digunakan tidak hanya untuk menyelesaikan atau
menanggulangi masalah dalam jangka pendek melainkan untuk
menanggulangi masalah dalam waktu yang relatif lama atau jangka
panjang.
Secara nyata harus ditekankan bahwa orientasi kebijakan publik
adalah untuk masyarakat sehingga dalam perumusannya hendaknya
menyangkut kepentingan publik. Dror (dalam Bambang Sunggono, 1994
: 43) mengemukakan pendapat bahwa terdapat 12 (dua belas) ciri yang
terdapat dalam kebijakan publik yaitu bersifat komplek, prosesnya
bersifat dinamis, komponen-komponen yang beragam, peran masing-
masing sub struktur berbeda, terdapat suatu putusan, digunakan sebagai
pedoman umum, dan juga digunakan sebagai landasan untuk mengambil
tindakan, diarahkan pada masa depan, dilakukan oleh lembaga
pemerintah, dimaksudkan untuk mencapai tujuan, tercermin dalam
kepentingan umum, dilakukan dengan cara sebaik mungkin.
Namun mengacu pada 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi agar
hukum berlaku efektif, menurut pandangan penulis belum terdapatnya
keseimbangan antara unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis. Hal ini dapat
dilihat dari segi pengaturan ataupun substansinya yaitu terdapat suatu
terobosan dari pemerintah tentang perluasan sistem pembuktian, dengan
diaturnya alat-alat bukti baru yang belum diatur dalam KUHAP, hal
tersebut telah tersirat bahwa dari unsur filosofis telah terpenuhi yaitu
lxxxi
ingin mewujudkan cita-cita hukum yang dalam hal ini penanggulangan
TPPU.
Terobosan tersebut tidak diimbangi dengan meratanya
pelaksanaan kebijakan, karena terlihat unsur politis sangat menonjol hal
ini terbukti dengan terdapatnya kelemahan dan kesulitan dalam
pelaksanaan sistem pembuktian terbalik, serta dijadikannya alat bukti
elektronik sebagai petunjuk yang dijadikan dasar pertimbangan hakim
dalam memutus perkara. Adapun petunjuk masih dapat dikalahkan
dengan bukti lain yang diatur dalam KUHAP. Sehingga dari uraian
tersebut penulis condong pelaksanaan penanggulangan TPPU lebih
banyak terdapat unsur politis dan hukum menjadi kurang efektif dalam
pelaksanaannya.
2. Konsekuensi dan implikasi dari adanya persamaan dan perbedaan
dalam sistem pembuktian menurut UU TPPU dan KUHAP dalam
penerapan terhadap suatu kasus TPPU
a. Pengaturan alat bukti dalam KUHAP
Berikut ini adalah uraian mengenai alat bukti yang diatur
dalam KUHAP :
1) Keterangan saksi
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pengadilan tentang
suatu perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Pasal 1
butir 26 KUHAP).
lxxxii
Pengertian keterangan saksi terdapat pada pasal 1 angka
27 KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi adalah salah satu
alat bukti yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi
nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Jika
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 27 KUHAP maka
yang harus diterangkan dalam sidang adalah :
a) apa yang saksi lihat sendiri;
b) apa yang saksi dengar sendiri
c) apa yang saksi alami sendiri
Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi
sulit pula dibedakan secara tegas. Kadang-kadang seorang ahli
merangkap sebagai seorang saksi. Namun isi dari keterangan ahli
dan keterangan saksi itu berbeda. Keterangan saksi adalah
mengenai apa yang dialami oleh saksi itu sendiri. Sedangkan
keterangan ahli adalah penilaian mengenai hal-hal yang sudah
nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal tersebut
(Andi Hamzah, 2001 : 269)
2) . Keterangan Ahli
Pasal 1 angka 28 disebutkan keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian
lxxxiii
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Dari keterangan Pasal 1 butir 28 KUHAP, maka lebih
jelas lagi bahwa keterangan ahli tidak dituntut suatu pendidikan
formal tertentu, tetapi juga meliputi seorang yang ahli dan
berpengalaman dalam suatu bidang tanpa pendidikan khusus.
Perlu diperhatikan bahwa KUHAP membedakan
keterangan seorang ahli di pengadilan sebagai alat bukti
“keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan ahli secara
tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “ surat”.
Apabila keterangan diberikan pada waktu pemerikaan oleh
penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam suatu
bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan , maka keterangan ahli tersebut
sebagai alat bukti surat. Contoh yang paling jelas mengenai kedua
hal tersebut diatas adalah visum et repertum yang dibuat oleh
seorang dokter.
3) Surat
Pasal 187 mengatakan surat sebagaimana tersebut dalam
pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, adalah:
a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang dan yang memuat
lxxxiv
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialaminya sendiri
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
4) Petunjuk
Pasal 188 (1) KUHAP mengatakan bahwa petunjuk
adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun
dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dalam ayat selanjutnya
disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat atau
keterangan terdakwa.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan
bijaksana setelah ia melakukan pemeriksaan dengan cermat dan
teliti. Pada akhirnya persoalan diserahkan pada hakim, dengan
lxxxv
demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim terhadap alat
bukti.
5) Keterangan Terdakwa
Dalam Pasal 1 butir 15 terdakwa adalah seorang
tersangka yang dituntut, diperiksa dan di adili di sidang
pengadilan. Sedangkan keterangan terdakwa adalah apa yang
terdakwa nyatakan di depan sidang pengadilan tentang perbuatan
yang telah ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami
sendiri.
Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa diatur dalam
pasal 183 ayat (3) dan (4) KUHAP. Keterangan terdakwa tidak
dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan orang lain,
kecuali disertai oleh alat bukti lain. Hal ini mengingatkan bahwa
terdakwa dalam memberikan keterangannya, tidak perlu
mengucapkan sumpah atau janji. Karena keterangan terdakwa
bukanlah pengakuan terdakwa, maka ia boleh menyangkal
segala tuduhan karena ia tidak disumpah. Penyangkalan
terdakwa adalah hak terdakwa dan harus dihormati. Oleh sebab
itu, suatu penyangkalan terhadap suatu perbuatan mengenai
suatu keadaan tidak dapat dijadikan alat bukti.
b. Pengaturan pembuktian dalam UU TPPU
Praktek pencucian uang bukanlah sesuatu fenomena yang
baru, pelaku tindak kriminal selalu berusaha untuk mengaburkan
aktivitasnya tetapi selalu hadir dalam bentuk yang mutakhir. Sudah
lxxxvi
sangat lama diindikasikan bahwa masalah praktek pencucian uang
merupakan sebuah problem marjinal, ramainya masalah
perdagangan obat-obatan terlarang (psikotropika) dan pasokan
senjata illegal menjadikannya bagian yang penting dalam
kegiatan/bisnis tindak kriminal. Hasil-hasil kejahatan, umumnya
dalam bentuk uang tunai (cash) harus dihilangkan asal-usulnya
(dicuci) untuk digunakan dalam kegiatan investasi. Kegiatan
pencucian ini akan melibatkan suatu rangkaian aktivitas operasi
keuangan yang sangat rumit/complicated seperti proses
penyimpanan, pengambilan, transfer antar bank dsb, dengan tujuan
akhir, uang hasil tindak kejahatan menjadi “bersih” dan dapat
digunakan untuk kegiatan bisnis yang legal.
Kegiatan pencucian uang merupakan konsekuensi yang
hampir pasti terjadi pada semua perolehan keuntungan yang
membangkitkan unsur-unsur kejahatan. Pada umumnya pelaku
cenderung untuk mencari daerah yang memiliki resiko rendah atau
lemah atau tidak efektif dalam mendeteksi kegiatan pencucian
uang. Karena tujuan pencucian uang adalah untuk mendapatkan
dana tersebut kembali kepada orang-orang yang men-generate-nya,
pelaku umumnya lebih memilih untuk memindahkan dananya ke
daerah-daerah yang financial system-nya telah established.
Perbedaan antara sistem anti money laundering di suatu negara
akan dapat dieksploitasi oleh pelaku, yang cenderung untuk
memindahkan jaringan mereka ke negara-negara dan sistem
lxxxvii
keuangan yang lemah atau yang memiliki tindakan pencegahan
yang tidak efektif (ineffective countermeasures).
Seperti banyak negara di dunia, Indonesia hanya bisa
melacak hasil pencucian uang sampai tahap placement. Walaupun
terkesan terlambat, melalui Pusat Pelaporan Transaksi Keuangan
(PPATK), lembaga yang bertanggung jawab menjawab tantangan
internasional perihal money laundering di Indonesia,
dikeluarkanlah empat pedoman pemberantasan money laundering
di Indonesia. Satu, pedoman identifikasi transaksi keuangan
mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan. Dua, pedoman tata
cara pelaporan transaksi keuangan mencurigakan bagi penyedia
jasa keuangan. Tiga, pedoman identifikasi transaksi keuangan
mencurigakan bagi pedagang valuta asing dan pengiriman uang.
Empat, pedoman tata cara pelaporan transaksi keuangan
mencurigakan bagi pedagang valuta asing dan unit jasa pengiriman
uang.
Pedoman memang sangat diperlukan dalam memberikan
pemahaman kepada lembaga penyedia jasa keuangan untuk
melaporkan setiap transaksi yang dianggap mencurigakan.
Penerapan prinsip mengenal nasabah merupakan salah satu langkah
konkret identifikasi nasabah. Apalagi, selama ini, lembaga
penyedia jasa keuangan terbiasa menyimpan rapat-rapat data
mengenai nasabahnya. Sehingga, UU Money Laundering dianggap
melanggar aturan perbankan. UU ini memang sudah direvisi.
lxxxviii
Walaupun begitu, beberapa kalangan mengakui bahwa UU ini jauh
dari kesempurnaan. Kelemahan yang dulu sempat tampak pada UU
No. 15/2002 adalah terbatasnya jenis tindak pidana yang dapat
dijerat dengan UU tersebut. Dalam amendemen UU baru ini,
ditambahkan sembilan jenis tindak pidana, sehingga jumlah
totalnya menjadi 24 tindak pidana asal. Salah satu tindak pidana
baru yang dimasukkan adalah perjudian.
3. Kelemahan dan kelebihan sistem pembuktian tindak pidana
pencucian uang menggunakan dua sistem pembuktian.
a. Kelemahan
Terdapat perluasan pengaturan tentang alat bukti yaitu berupa bukti
data elektronik dan pembuktian terbalik.
Tindak pidana pencucian uang yang merupakan perbuatan tindak
pidana yang bersifat luar biasa ini membutuhkan penanganan yang luar
biasa, dimana jalan keluar yang ditawarkan oleh pembentuk undang-
undang sebagaimana Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 yang
disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ditangani dengan
pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang.
Dalam prakteknya pembuktian terbalik tidak semudah membalik telapak
tangan, berdasarkan penelitian Nurhuda tahun 2002 Tentang penerapan
Pembuktian Terbalik terdapat beberapa hambatan antara lain :
a) Asas Retroaktif
lxxxix
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa
hambatan utama diterapkannnya pembuktian terbalik adalah
berlakunya asas retroaktif. Karena kejahatan pencucian uang
merupakan kejahatan ikutan, maka terlebih dahulu harus
dibuktikan kejahatan lainnya, seperti misalnya korupsi, dan jika
kejahatan tersebut dilakukan sebelum tahun 2003 maka akan
sangat sulit untuk menjerat pelaku.
b) Keterangan saksi dan keterangan terdakwa
Alat-alat bukti yang dipergunakan dan dihadirkan dalam
pemeriksaan sidang pengadilan sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 184 adalah :
(1). Keterangan saksi
(2). Keterangan ahli
(3). Surat
(4). Petunjuk
(5). Keterangan terdakwa
Dari kelima alat bukti yang secara limitatif disebutkan dalam
KUHAP tefsebut, maka yang dominan dipergunakan oleh aparat
hukum dan dalam hal ini jaksa adalah keterangan saksi dan
keterangan ahli. Saksi yang diambil adalah orang-orang yang
mengetahui secara pasti kejadian yang terjadi, serta orang-orang
yang bisa memberikan petunjuk.
c) Prosedural pencarian bukti di instansi
xc
Untuk menghadirkan bukti dalam sidang pemeriksaan di
pengadilan, jaksa harus mencari bukti-bukti di instansi. Seringkali
proses pencarian bukti ini dipersulit oleh para pejabat instansi, baik
itu dari segi administrasi maupun dari pemberian keterangan atau
pembukaan berkas, sehingga proses pencarian bukti seringkali
berjalan lambat karena terbentur jalur birokrasi.
d) Koordinasi Kejaksaan dan Kepolisian
Pembuktian terbalik terbatas dan berimbang yang
mengamanatkan jaksa tetap sebagai aparat hukum yang
membuktikan dakwaan dalam kasus korupsi yang sulit
pembuktiannnya, diadakan koordinasi dengan kepolisian dalam
penyidikan untuk mencari bukti-bukti di bawah koordinasi Jaksa
Agung. Hal ini menimbulkan permasalahan yang salah satunya
adalah koordinasi waktu diantara aparat hukum tersebut, karena
banyak kasus selain korupsi yang harus mereka tangani oleh
masing-masing lembaga, padahal tenaga jaksa kurang, dan akan
terjadinya benturan kewenangan.
e) Hibah fiktif dan Wasiat fiktif
Permasalahan yang timbul dari penerapan pembuktian
terbalik dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana
pencucian uang salah satunya adalah pengungkapan hibah fiktif
dan wasiat fiktif, yang dilakukan terdakwa untuk menghindari
tuntutan. Jaksa yang dalam sistem ini tetap berkewajiban
xci
membuktikan, akan mengalami kesulitan untuk membuktikan di
muka sidang tentang keseimbangan antara harta yang dimiliki
dengan pendapatan yang diperolehnya, sebab pembuktian dengan
sistem yang secara praktek ini tidak jauh berbeda dengan
pembuktian biasa, dengan lihai mampu mengkondisikan harta
mereka untuk mengamankannnya, sehingga keaktifan dan
kecermatan hakim sangat diharapkan disini.
f) Keikutsertaan pengawas dalam tindak pidana korupsi
Moralitas dari aparat hukum dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi
para penegak hukum, sebab sebaik apapun sistem yang dibentuk,
apabila aparat hukumnya sendiri tidak mampu menunjukkkan
kredibilitasnya, maka semua itu adalah hal yang tiada gunanya.
Disinilah titik permasalahan, sebab menurut aparat hukum sendiri,
baik itu jaksa maupun hakim, bahwa keikutsertaan pengawas
tindak pidana korupsi masih sering terjadi, sehingga penerapan
pembuktian terbalik ini tidak efektif.
b. Kelebihan
Adapun kelebihan dengan terdapatnya dua sistem pembuktian
adalah terdapatnya perluasan alat bukti dan sistem pembuktian
sehingga dapat digunakan sebagai usaha untuk menanggulangi TPPU.
Terdapat berbagai macam sistem pembuktian yang dapat digunakan
sebagai pembuktian TPPU (Tb Irman, 2006, : 139-220) yaitu:
Pembuktian Uang Simpanan, Pembuktian Setoran Bank, Pembuktian
xcii
Kekayaan Bersih, Metode pembuktian Pengeluaran. Adapun keempat
metode pembuktian tersebut diuraikan dalam sub bab pembahasan.
B. Pembahasan
1. Kebijakan pembuktian dalam UU TPPU ditinjau menurut teori
formulasi pembentukan hukum Lon Fuller.
Jika UU TPUU ditinjau dari delapan Prinsip-Prinsip Legalitas
Lon L Fuller yaitu :
a. Harus ada peraturannya terlebih dahulu. Maka kebijakan
penanggulangan tindak pidana pencucian uang telah memenuhi
syarat tersebut. Dimana telah terdapat suatu kebijakan berbentuk
UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 25 Tahun 2003. Sehingga dalam upaya pemberantasan
tindak pidana pencucian uang telah terdapat suatu dasar hukum
yang kuat dan efektif, karena tindak pidana pencucian uang bukan
hanya merupakan kejahatan nasional tetapi juga merupakan
kejahatan internasional yang melintasi batas-batas negara
(transnational crime).
b. Peraturan Harus diumumkan secara layak. Jika UUTPPU dikaji
menurut prinsip tersebut menurut penulis telah memenuhi yaitu
dengan diumumkannya ataupun diundangkannya dan telah dicacat
dalam Lembaran Negara Nomor 50 Tahun 2002, begitu juga
xciii
dengan telah beredarnya undang-undang tersebut di masyarakat
umum.
c. Peraturan tersebut tidak boleh berlaku surut. Prinsip ketiga ini telah
terpenuhi yaitu dengan dipahaminya bahwa tindak pidana
pencucian uang merupakan kejahatan ikutan, maka haruslah
dipahami terlebih dahulu kejahatan asal, sehingga dalam
pelaksanaan penanggulangan kejahatan tersebut mengacu pada
undang-undang tindak pidana pencucian uang yang telah ada.
d. Perumusan peraturan harus jelas dan terperinci, dan juga harus
dimengerti oleh rakyat. Memang sangat sulit untuk menentukan
bagaimana suatu peraturan yang ada dapat dipahami dengan baik
oleh rakyat mengingat keadaan masyarakat yang heterogen dengan
kemampuan yang berbeda pula. Untuk memahami suatu undang-
undang diperlukan pemahaman dan pembelajaran yang
berkelanjutan, menurut hemat penulis undang-undang tersebut
relatif mudah dipahami yaitu dengan terdapatnya penjelasan secara
menyeluruh, dimana penjelasan tersebut dapat dijadikan suatu
bahan ataupun acuan untuk memahami suatu undang-undang.
Karena dalam memahami suatu undang-undang tidak bisa hanya
membaca sebagian ataupun satu pasal saja, melainkan haruslah
dipahami secara menyeluruh pasal-perpasal karena masing-masing
pasal saling berhubungan satu sama lain.
e. Hukum tidak boleh meminta dijalankannya hal-hal yang tidak
mungkin. Sejauh ini dalam ketentuan UU TPPU tidak terdapat
xciv
suatu ketentuan yang relatif sulit, misalnya dengan penerapan
prinsip pengenalan nasabah ataupun dengan penerapan prinsip
penerobosan sistem kerahasiaan bank. Hal tersebut relatif dapat
dilaksanakan dikarenakan telah dipahami oleh berbagai kalangan
dan juga telah terdapat suatu ketentuan dari Bank Indonesia tentang
penerapan pengenalan nasabah untuk penanggulangan tindak
pidana pencucian uang. Begitu juga dengan ancaman sanksinya
yaitu relatif dapat diterapkan, dan juga dalam hal bantuan ataupun
kerjasama luar negeri. Bantuan timbal balik yang berupa
pengambilan barang bukti ataupun dokumen lain yang
berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat dilakukan.
f. Diantara peraturan tidak boleh terdapat pertentangan satu sama
lain. Dalam hal ini dapat dibandingkan antara UU No. 15 Tahun
2002 dengan UU No. 25 Tahun 2003, tidak terdapatnya
pertentangan pengaturan secara mendasar, hanya saja UU No. 25
Tahun 2003 sifatnya melengkapi ketentuan yang dirasa kurang
dalam UU No. 15 Tahun 2002 sehingga akan lebih efektif dala
melakukan penanggulangan tindak pidana pencucian uang.
g. Peraturan-peraturan tersebut harus tetap, tidak boleh sering diubah-
ubah, hal tersebut menjadi kekurangan dalam UU TPPU
dikarenakan undang-undang terdahulu telah mengalami perubahan
dalam jangka waktu sekitar satu tahun. Hal ini merupakan
kekurangan suatu peraturan karena akan menjadikan kesulitan
xcv
dalam pemahaman, namun sisi baiknya terdapatnya perluasan
pengaturan.
h. Harus terdapat kesesuaian antara tindakan para pejabat hukum dan
peraturan yang telah dibuat. Bahwa pejabat hukum telah
melakukan suatu tindakan untuk menanggulangi kejahatan
tersebut, antara lain dengan kerjasama luar negeri baik itu dalam
bentuk bilateral maupun multilateral, ataupun dalam hal penerapan
prinsip pengenalan nasabah. (Sutan Remy Syahdeini, 2004 : 204)
Kebijakan publik merupakan suatu tindakan yang dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah, hal tersebut terdapat beberapa komponen
penting dalam pembentukannya, karena kebijakan publik yang baik adalah
yang dinamis, sesuai perkembangan zaman serta dapat mengakomodasi
kepentingan masyarakat, hal tersebut didukung dengan telah berjalannya
seluruh komponen pembentuk kebijakan secara bersamaan, sehingga
menimbulkan suatu hasil yang dijadikan tujuan awal dari pembentukan
kebijakan tersebut.
Menurt Easton (Bambang Sunggono, 1994 : 40) dalam hal
perumusan kebijakan terdapat suatu sistem yang saling melengkapi yang
dalam hal ini disebut input dan output. Adapun input dapat berasal dari
bermacam-macam sistem antara lain politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Dari kesekian sistem yang paling dominan adalah sistem politik karena
suatu kebijakan publik menurut penulis dapat diidentikkan dengan suatu
produk politik. Kebijakan publik menyebabkan suatu perubahan yaitu dari
xcvi
input diolah menjadi output yang dalam hal ini adalah suatu produk
kebijakan yang nantinya didapatkan umpan balik yaitu umpan balik positif
atau negatif.
Adapun dalam hal perumusan suatu kebijakan hendaknya terdapat
ciri-ciri sebagai indikator suatu kebijakan (Dror dalam Bambang Sunggono,
1994 : 43) yaitu pertama bersifat komplek, dalam hal ini pembuatan
kebijakan publik terdiri dari berbagai macam komponen dan masing-masing
komponen dihubungkan dan atau komunikasi mekanisme feedback yaitu
suatu mekanisme yang terdapat dalam pembahasan mengenai hasil
kebijakan dengan komponen pendukung kebijakan, kedua proses kebijakan
bersifat dinamis yaitu suatu kegiatan yeng bersifat sistematis dan terstruktur
sehingga diperlukan adanya masukan yang nantinya terdapat suatu evaluasi
dalam suatu kebijakan publik, ketiga dalam suatu kebijakan terdapat
komponen yang beragam sehingga dalam hal ini para pembuat kebijakan
harus arif dan bijaksana dalam merumuskan suatu kebijakan, karena
kebijakan tidak berasal dari satu komponen saja melainkan beberapa
komponen, keempat suatu kebijakan publik dapat digunakan sebagai
pedoman sehingga dalam hal ini berlakunya suatu kebijakan tidak secara
parsial namun harus dipahami dan dilaksanakan secara komprehensif,
holistik dengan melibatkan seluruh aspek pembentuk kebijakan tersebut,
kelima secara formal ditujukan untuk kepentingan umum serta diarahkan
pada masa depan, sehingga suatu kebijakan atau yang dalam hal ini berupa
undang-undang tidak sering diubah, karena perubahan akan mengakibatkan
katidak efektifan dalam pencapaian tujuan dari kebijakan tersebut.
xcvii
Maka kebijakan, yang dalam hal ini tentang sistem pembuktian
dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang, apa bila dianalisis
dari sisi pembuatan kebijakan telah memenuhi unsur-unsur yang
dikemukakan diatas, namun terdapat suatu permasalahan yaitu dalam hal
penerapan kebijakan tersebut, karena meskipun telah terdapat tujuan dari
kebijakan tersebut yang dalam hal ini menyempurnakan sistem pembuktian
yang telah ada, karena pencucian uang merupakan suatu kejahatan
terorganisasi, melintasi batas-batas negara serta menggunakan metode
canggih, namun dalam hal kenyataan belum terpenuhi komponen hukum.
Sehingga dalam penegakan hukum (law eforcement) terdapat
kesulitan dalam penerapan sistem pembuktian yang telah diatur dalam UU
TPPU karena terdapat macam-macam faktor yaitu faktor politik dan
penerobosan dari hukum itu sendiri, yaitu dengan terpolanya sistem
pembuktian yang telah tertuang dalam KUHAP, hal tersebut sangat
disayangkan karena UU TPPU sebagai pedoman dalam hal penegakan
tindak pidana pencucian uang masih terpola dengan sistem pembuktian
yang lama yaitu jaksa penuntut umum yang dikenai beban pembuktian dan
hal tersebut menjadikan seakan-akan peraturan yang terdapat dalam UU
TPPU tidak terdapat suatu interaksi antara input dan output serta out comes
yang diharapkan, sehingga disatu sisi pada prinsipnya telah terpenuhi semua
komponen pembentuk kebijakan namun dalam suatu proses kebijakan itu
sendiri masih terdapat beberapa masalah yaitu kurang sinkronnya antara
komponen pembentuk kebijakan dalam implementasi kebijakan.
xcviii
Dalam hal ini menurut penulis terdapat suatu perumusan dalam
kebijakan penanggulangan tindak pidana pencucian uang yang berinstrumen
UU TPPU kurang menitik beratkan pada aspek ekonomi, karena pencucian
uang mengakibatkan kerugian yang sangat besar dalam bidang
perekonomian negara, sehingga terdapat ketimpangan antara komponen
ekonomi dan komponen politik. Hal tersebut terlihat dari kekuatan
pembuktian alat bukti elektronik yang dapat dikalahkan dengan bukti lain
yang telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP, sehingga kekuatan alat bukti
elektronik setaraf dengan bukti pentunjuk.
2. Konsekuensi dan implikasi dari adanya persamaan dan perbedaan
dalam sistem pembuktian menurut UU TPPU dan KUHAP
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 telah diatur sistem
pembuktian yang dimulai dari pemeriksaan penyidikan sampai
pembuktian dalam persidangan.
Pasal 30 UU TPPU, ”Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
undang undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara
Pidana, kecuali ditentukan lain dalam undang undang ini”.
Pasal 35 UU TPPU, “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya
bukan merupakan hasil tindak pidana”.
Hal tersebut diperkuat dalam Pasal 38 yang menyatakan bahwa alat
bukti tindak pidana pencucian uang berupa:
xcix
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu; dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 1 angka 7.
Dalam hal ini sistem pembuktian yang diatur dalam UU TPPU
terdapat ketentuan pembuktian terbalik yang bersifat murni, di mana
terdakwa wajib membuktikan bahwa ia tidak melakukan money
laundering, jika ia tidak berhasil membuktikan maka berarti ia terbukti
melakukan money laundering. Meskipun penerapan sistem pembuktian
terbalik bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang telah diatur
dalam KUHAP, dalam hal ini berlaku asas lex specialist derogat lex
generalis. Selain itu hal ini merupakan salah satu sarana yang dapat
ditempuh untuk memberantas money laundering yang sudah mengakar di
Indonesia.
Penerapan pembuktian terbalik terhadap money laundering
memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya
kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa
kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat
mengurangi money laundering yang telah begitu banyak merugikan
negara. Yang ditakutkan adalah jika sampai pembuktian terbalik ini justru
menjadi alat pemerasan baru, dimana semua orang dapat saja disudutkan
melakukan money laundering. Dan pihak kejaksaan tidak akan merasa
bersalah dengan menuduhkan berbagai macam-macam korupsi. Orang
yang dituduh money laundering disuruh membuktikan bahwa ia tidak
c
melakukan money laundering, sehingga banyak sekali orang yang akan
"diperas" karena dituduh melakukan money laundering.
Dari uraian diatas dapat dilihat alat-alat Bukti dan Cyberlaundering
dalam UU TPPU ini dikatakan bahwa alat alat bukti yang dapat
digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang terdiri dari:
a. Alat bukti sebagaimana yang dimaksudkan dalam Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
b. Alat alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, ataupun disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu.
c. Alat bukti berupa dokumen, yakni data rekaman, atau informasi
yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang
terekam secara elektronik, termasuk dan tidak terbatas pada tulisan,
suara atau gambar; peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; huruf,
tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Alat alat bukti sebagaimana ketentuan dalam UU TPPU di atas
sangatlah banyak dan beragam. Apabila dibandingkan dengan alat bukti
dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP yang menentukan alat alat
pembuktian secara limitatif, yakni hanya terdiri dari keterangan saksi;
keterangan ahli; alat bukti surat; petunjuk dan keterangan terdakwa. Di
samping itu, karena modus dan sistem kajahatan yang dipraktikkan oleh
ci
pelaku tindak pidana pencucian uang sudah melibatkan instrumen--
instrumen teknologi yang bersifat manual seperti telepon, telegram
faksimili, rekaman, fotokopi dan lainnya, hingga kepada instrumen
canggih. Seperti dalam hal penggunaan dunia maya (cyberspace), seperti
intemet, e-mail, electronic banking, dan lain lain ragam dunia cyber yang
dapat digunakan sebagai alat canggih dalam pencucian uang. Sistem ini
disebut dengan cyberlaundering. Dengan demikian alat alat pembuktian
yang ditentukan dalam UU TPPU jauh lebih banyak dan beragam apabila
dibandingkan dengan apa yang ditentukan dalam KUHAP.
Sistem pembuktian terbalik sebagaimana yang ditentukan dalam
ketentuan UU TPPU, dapat dijelaskan bahwa dalam sistem pembuktian
terbalik justru terdakwa sendirilah yang diwajibkan untuk membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 35
UU TPPU sebagai berikut:
"Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa
wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil
tindak pidana"
Maka dapat pula dikatakan bahwa ketentuan tersebut telah
menyimpang dari prinsip "jaksa membuktikan", yang menentukan bahwa
jaksalah yang diwajibkan untuk membuktikan dalil-dalil atau dakwaan
yang diajukannya. Sebenamya sistem pembuktian terbalik sebagaimana
dalam ketentuan UU TPPU sebelumnya telah pula diadopsi dalam UU
No. 3 Tahun 1971 kemudian dalam UU No. 31 1999 Tentang Tindak
Pidana Korupsi (UU TPK). Selain itu sistem pembuktian terbalik tersebut
cii
telah pula diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Hanya saja terdapat perbedaan, dimana ketentuan dalam UU
TPPU adalah sistem pembuktian terbalik yang bersifat compulsory, yakni
bahwa diharuskan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan harta ilegal, tidak sebagaimana dalam
kasus korupsi yang bersifat fakultatif atau dalam hal ini hanya merupakan
hak saja, maka dalam UU TPPU sistem pembuktian terbalik bisa
dikatakan bersifat mutlak atau tidak terbatas, sehingga memang
bertentangan atau menyimpang dengan apa yang diatur di dalam KUHAP
tentang sistem pembuktian.
Selain ketentuan sistem pembuktian terbalik serta juga alat-alat
bukti juga terdapat beberapa hal-hal yang diatur lebih lanjut dalam UU
TPPU tentang pembuktian yang tidak diatur dalam KUHAP antara lain
Perintah Pemblokiran oleh Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim, yaitu
tindakan pemblokiran terhadap harta kekayaan tersangka atau terdakwa
dapat dilakukan apabila sudah diketahui atau patut diduga bahwa harta
kekayaan tersebut merupakan hasil dari tindak kejahatan.
Dalam UU TPPU ditentukan bahwa penyidik, penuntut umum
ataupun hakim berwenang untuk memerintahkan kepada Penyedia Jasa
Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap
orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada petugas penyidik,
tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau patut diduga merupakan
hasil suatu tindak pidana. Penyedia Jasa Keuangan begitu menerima
perintah pemblokiran, wajib segera melaksanakannya setelah surat
ciii
pemblokiran diterima. Penyedia Jasa Keuangan wajib menyerahkan berita
acara pelaksanaan pemblokiran itu kepada pejabat mana yang
memerintahkannya. Kemudian harta harta yang diblokir harus tetap
berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang bersangkutan. Setiap
pelanggaran oleh Penyedia Jasa Keuangan atas ketentuan mengenai
kewajiban pemblokiran tersebut, akan dikenai sanksi administratif sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (1) UU TPPU
sebagai berikut:
“Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan
kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran
terhadap harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh
PPATK kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa yang diketahui atau
patut diduga merupakan hasil tindak pidana".
Perintah pemblokiran dari pejabat pejabat tersebut, harus dilakukan
secara tertulis dan jelas seperti menyangkut hal hal berikut:
a. Nama dan jabatan penyidik, penuntut umum atau hakim.
b. Identitas seseorang yang telah dilaporkan oleh PPATK tersebut.
c. Alasan diperintahkan adanya pemblokiran.
d. Tindak pidana yang dituduhkan, dan/atau disangkakan, serta
didakwakan terhadap tersangka atau terdakwa.
e. Tempat di mana harta tersebut berada.
civ
Sedangkan KUHAP tidak mengatur mengenai adanya perintah
pemblokiran terhadap harta kekayaan tersangka atau terdakwa seperti
halnya dalam UU TPPU tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
sistem pembuktian menggunakan ketentuan dalam KUHAP kecuali
dalam hal yang telah diatur lebih lanjut dalam UU TPPU atau dengan
kata lain bahwa di dalam UU TPPU ini ditentukan bahwa penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap dilakukan
berdasarkan ketentuan ketentuan beracara seperti yang diatur dalam
KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam undang undang ini. Sehingga
disatu sisi. sangat mungkin muncul pula pertanyaan bahwa bagaimana
dengan ketentuan ketentuan yang secara spesialis atau khusus yang
diatur dalam UU TPPU, yang dalam hal ini bukan hanya berperan
sebagai pengisi kekosongan terhadap kebutuhan sekarang, akan tetapi
justru terkadang juga bertentangan dengan KUHAP sebagai dasar atau
pedoman pelaksanaan yang utama sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dalam pembahasan selanjutnya akan diterangkan mengenai
bentuk bentuk penyimpangan KUHAP atau dalam hal ini kekhususan-
kekhususan dalam UU TPPU sebagai Lex Specialis derogate lex
generalis.
Hal tersebut hendaknya tidak dijadikan permasalahan yang
mendasar dalam penegakan tindak pidana pencucian uang, jika hal
tersebut dikaji menurut teori susunan perundang-undangan Hans Kelsen,
Stuffenbau theorie bahwa KUHAP dalam hal ini sebagai dasar dari
cv
kebijakan pembuktian UU TPPU sehingga UU TPPU dalam hal ini
secara teoritis tidak menyimpang dengan KUHAP dalam hal
pembuktian, malainkan terdapat suatu pengaturan lebih lanjut dalam hal
pembuktian sehingga implikasinya dalam hal ini terdapat dua pengaturan
yang saling melengkapi yaitu antara KUHAP dengan UU TPPU
Sehingga asas lex spesialis tersebut secara sederhana dapat dijelaskan
bahwa undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-
undang yang bersifat umum, jika pembuatannya sama.
Maksudnya adalah bahwa terhadap peristiwa khusus wajib
diberlakukan undang-undang yang menyebut peristiwa itu, walaupun
untuk peristiwa khusus itu dapat pula diberlakukan undang-undang yang
menyebut peristiwa yang lebih luas atau lebih umum yang dapat
mengakomodir peristiwa khusus tersebut.
Implikasinya terdapat pelengkapan dan tidak terdapat
pengesampingan sebgaimana ditentuan dalam Pasal 38 UU TPPU.
Hal tersebut dapat dikaji dari segi kebijakan bahwa baik KUHAP
maupun UU TPPU merupakan suatu bentuk kebijakan publik yang
tertuang dalam UUD 1945, sehingga salah satu syaratnya yaitu sesuai
dengan Stuffenbau Theorie Kelsen yaitu undang-undang tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang yang lain yang sama tingkatannya.
Menurut penulis UU TPPU tidak bertentangan dengan KUHAP dalam
sistem pembuktiannya karena terdapat pengaturan ketentuan pembuktian
menggunakan KUHAP dan terdapat kekhususan yaitu dalam hal
perluasaan alat bukti dan diaturnya sistem pembuktian terbalik.
cvi
Adapun persamaan antara KUHAP dan UU TPPU adalah dalam
hal pembuktian sama sama menggunakan alat alat bukti yang ditentukan
Pasal 184 KUHAP.
Menurut penulis, dalam penanggulangan tindak pidana pencucian
uang, penegak hukum tidak boleh hanya menggunakan satu peraturan
saja, karena penegakan TPPU sangat dimungkinkan dengan penerapan
metode luar biasa yaitu dengan melibatkan beberapa aspek yang ada.
Karena kalau hanya dengan menggunakan satu peraturan saja sebagai
landasan pembuktian di Indonesia TPPU tidak akan dapat diberantas, hal
tersebut dikarenakan jenis dan kekuatan pembuktian dalam KUHAP
tidak menjerat pelaku dan obyek pidana karena alat bukti elektronik
belum diakui sebagai alat bukti dan kekuatan pembuktiannya hanya
sebagai petunjuk. Namun dengan pemikiran secara komprehensif,
holistik penemuan hukum dan keberanian seorang hakim dituntut untuk
melakukan pembaharuan di bidang hukum, yaitu dengan menggunakan
alat bukti elektrinik sebagai alat bukti, dan juga dengan penerapan sistem
pembuktian terbalik, karena UU TPPU telah mengatur sistem
pembuktian terbalik tersebut. Penulis mempunyai pemikiran bahwa yang
dinamakan lex specialis derogat lex generalis bukan mengesampingakan
undang-undang yang umum, namun melengkapi undang-undang
tersebut, sehingga dalam memahami dan menginterprestasikan hukum
diharuskan menggunakan berbagai macam landasan karena undang –
undang tersebut saling berkaitan.
cvii
3. Faktor-Faktor kelemahan dan kelebihan sistem pembuktian tindak
pidana pencucian uang dengan menggunakan dua sistem pembuktian.
Seperti telah diuraikan diatas bahwa terdapat sistem pembuktian
yang berlainan dengan yang diatur dalam KUHAP yaitu pembuktian
terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang. Dalam penerapan
pembuktian terbalik terdapat beberapa hambatan antara lain
a) Asas Retroaktif
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa
hambatan utama diterapkannnya pembuktian terbalik adalah
berlakunya asas retroaktif. Karena kejahatan pencucian uang
merupakan kejahatan ikutan, maka terlebih dahulu harus
dibuktikan kejahatan lainnya, seperti misalnya korupsi, dan jika
kejahatan tersebut dilakukan sebelum tahun 2003 maka akan
sangat sulit untuk menjerat pelaku.
b) Keterangan saksi dan keterangan terdakwa
Alat-alat bukti yang dipergunakan dan dihadirkan dalam
pemeriksaan sidang pengadilan sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 184 adalah :
(1). Keterangan saksi
(2). Keterangan ahli
(3). Surat
(4). Petunjuk
cviii
(5). Keterangan terdakwa
Dari kelima alat bukti yang secara limitatif disebutkan dalam
KUHAP tefsebut, maka yang dominan dipergunakan oleh aparat
hukum dan dalam hal ini jaksa adalah keterangan saksi dan
keterangan ahli. Saksi yang diambil adalah orang-orang yang
mengetahui secara pasti kejadian yang terjadi, serta orang-orang
yang bisa memberikan petunjuk.
c) Prosedural pencarian bukti di instansi
Untuk menghadirkan bukti dalam sidang pemeriksaan di
pengadilan, jaksa harus mencari bukti-bukti di instansi. Seringkali
proses pencarian bukti ini dipersulit oleh para pejabat instansi, baik
itu dari segi administrasi maupun dari pemberian keterangan atau
pembukaan berkas, sehingga proses pencarian bukti seringkali
berjalan lambat karena terbentur jalur birokrasi.
d) Koordinasi Kejaksaan dan Kepolisian
Pembuktian terbalik terbatas dan berimbang yang
mengamanatkan jaksa tetap sebagai aparat hukum yang
membuktikan dakwaan dalam kasus korupsi yang sulit
pembuktiannnya, diadakan koordinasi dengan kepolisian dalam
penyidikan untuk mencari bukti-bukti di bawah koordinasi Jaksa
Agung. Hal ini menimbulkan permasalahan yang salah satunya
adalah koordinasi waktu diantara aparat hukum tersebut, karena
banyak kasus selain korupsi yang harus mereka tangani oleh
cix
masing-masing lembaga, padahal tenaga jaksa kurang, dan akan
terjadinya benturan kewenangan.
e) Hibah fiktif dan Wasiat fiktif
Permasalahan yang timbul dari penerapan pembuktian
terbalik dalam tindak pidana korupsi maupun tindak pidana
pencucian uang salah satunya adalah pengungkapan hibah fiktif
dan wasiat fiktif, yang dilakukan terdakwa untuk menghindari
tuntutan. Jaksa yang dalam sistem ini tetap berkewajiban
membuktikan, akan mengalami kesulitan untuk membuktikan di
muka sidang tentang keseimbangan antara harta yang dimiliki
dengan pendapatan yang diperolehnya, sebab pembuktian dengan
sistem yang secara praktek ini tidak jauh berbeda dengan
pembuktian biasa, dengan lihai mampu mengkondisikan harta
mereka untuk mengamankannnya, sehingga keaktifan dan
kecermatan hakim sangat diharapkan disini.
f) Keikutsertaan pengawas dalam tindak pidana korupsi
Moralitas dari aparat hukum dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi hingga saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi
para penegak hukum, sebab sebaik apapun sistem yang dibentuk,
apabila aparat hukumnya sendiri tidak mampu menunjukkkan
kredibilitasnya, maka semua itu adalah hal yang tiada gunanya.
Disinilah titik permasalahan, sebab menurut aparat hukum sendiri,
baik itu jaksa maupun hakim, bahwa keikutsertaan pengawas
cx
tindak pidana korupsi masih sering terjadi, sehingga penerapan
pembuktian terbalik ini tidak efektif.
Jika melihat sistem pembuktian di negara Malaysia, sistem pembuktian yang
terdapat di negara Malaysia pada dasarnya sama dengan yang terdapat di negara
Indonesia yaitu dengan menitik beratkan pada adanya alat bukti yang diatur secara
limitatif dalam Anti Money Laundering act 2001, namun dalam hal alat bukti
terdapat sedikit perbedaan yang mendasar antara Indonesia dengan Malaysia yaitu
dalam hal bukti yang tidak diatur dalam undang-undang yang dalam hal ini Anti
Money Laundering Act 2001. UU TPPU mengatur secara limitatif tentang alat
bukti yang sesuai dengan Pasal 184 KUHAP dan juga ditambah dengan dokumen
ataupun alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu,
yang dalam hal ini dapat disimpulkan sebagai alat bukti berupa data elektronik.
Namun dalam kenyataannya alat bukti berupa data elektronik tidak dapat
dijadikan sebagai alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP. Hal ini dikarenakan
sistem hukum Indonesia yang menitik beratkan pada suatu aturan yang telah ada,
serta hakim dalam memeriksa sangat terbatas ataupun dibatasi dengan adanya
undang-undang. Data elektronik dapat dikalahkan dengan bukti lain yang telah
diatur dalam Psal 184 KUHAP tersebut atau juga dapat dikatakan belum
mempunyai kekuatan sebagai alat bukti. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan
Anti Money Laundering Act 2001 negara Malaysia Pasal 71 yang mengatur
bahwa jika terdapat suatu bukti yang ditemukan oleh penegak hukum yang dalam
hal ini Jaksa Penuntut umum, meskipun tidak diatur dalam Anti Money
Laundering Act 2001 tetap dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan
cxi
mempunyai kekuatan pembuktian sama dengan alat bukti yang telah diatur dalam
regulasi tersebut, hal ini dikarenakan sistem hukum Malaysia yang menggunakan
sistem hukum Anglo saxon atau Common law yang tidak hanya menitik beratkan
pada suatu aturan semata namun juga hakim sangat tidak terikat dengan suatu
undang-undang. Jadi dapat disimpulkan peran hakim sangat besar dalam hal
pelaksanaan persidangan begitu juga dengan kewenagnan hakim untuk melakukan
terobosan hukum yang belum diatur dalam suatu regulasi peraturan perundang-
undangan. Kelemahan yang paling mendasar adalah pola pikir dan pemahaman
dari aparat penegak hukum yang cenderung berfikir secara positivisme hukum,
sehingga hal tersebut mengacu pada hukum sebagai suatu norma tertulis yang
dijadikan sebagai hukum positif suatu negara. Padahal TPPU merupakan suatu
kejahatan yang melibatkan berbagai macam aspek baik itu dari segi yuridis, sosial,
politik, ekonomi dan juga teknologi, hal tersebut tidak akan cukup jika hanya
ditanggulangi dengan sistem pembuktian menggunakan acuan KUHAP saja.
Untuk menerapkan sistem pembuktian yang telah diatur dalam UU TPPU
penegak hukum harus berani melakukan terobosan hukum yaitu dengan penerapan
sistem pembuktian terbalik, dalam hal ini diperlukan hakim serta jaksa penuntut
umum yang mempunyai integritas tinggi dalam menerapkan aturan tersebut.
Penggunaan dua sistem pembuktian mempunyai kelebihan yaitu dengan
dilengkapi aturan sistem pembuktian yang lama dengan sistem pembuktian
UU baru, karena sistem pembuktian lama yang dalam hal ini KUHAP
sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman dan teknologi, dengan
dua sistem pembuktian akan saling melengkapi kekurangan sehingga
tujuan dari penanggulangan tindak pencucian uang akan tercapai, hal
cxii
tersebut terdapat landasan hukumnya yaitu asas lex spesialis derogat lex
generalis sehingga sistem pembuktian dalam UU TPPU akan
memudahkan dalam penanggulangan TPPU dengan tidak
mengesampingkan KUHAP.
Menurut Tb Irman dalam metode pencucian uang dapat di bagi menjadi (Tb
Irman, 2007 : 139) :
a. Metode Pembuktian Uang Simpanan
Dalam metode pembuktian uang simpanan mendokumentasikan
bahwa seseorang telah menggunakan uang lebih banyak daripada yang
diterima secara legal. Adanya uang simpanan kerapkali dikemukakan
adalah karena kelebihan dana penghasilan yang terkumpul bertahun-
tahun sebelumnya.
Pembuktian uang simpanan akan sampai pada jumlah dan
tanggal tertentu, perorangan dan perusahaan umumnya menggunakan
tahun kalender untuk melaporkan pendapatan maupun
pengeluarannnya. Dalam pembuktian akan memfokuskan pada uang
simpanan misalnya pertanggal 31/12 tahun sebelumnya pada saat
pembuktian dan tanggal 31/12 pada saat pembuktian berlangsung.
Selain itu dalam metode ini juga menggunakan pembuktian
dalam pertanyaan, melalui serangkaian pertanyaan terhadap uang
simpanan, dapat secara efisien dan efektif mengumpulkan petunjuk
yang berhubungan dan pembuktian yang akan secara tidak langsung
mengarah pada membuktikan atau menyangkal keberadaan uang
simpanan. Pembuktian uang simpanan mengarah pada pendapatan atau
cxiii
penghasilan sebelumnya ini dilakukan untuk menentukan apakah ada
kemampuan untuk mengumpulkan uang simpanan.
b. Metode Pembuktian Setoran Bank
Metode pembuktian setoran bank merupakan alat efektif dalam
mendokumentasikan pendapatan yang tidak dilaporkan dalam laporan
pajak, tetapi metode inipun dapat digunakan untuk menghitung
pendapatan illegal dari keuangan atas kejahatan lain diluar pajak,
metode ini digunakan bila ada penyetoran sebagian besar dana.
Teori pembuktian setoran bank hanya ada tiga hal yang dapat
dilakukan seseorang atas uang setelah diterima yaitu :
1) Membelanjakan
2) Menyetorkan
3) Menimbunnya (akan menambah uang simpanan)
Fokus dalam metode pembuktian setoran bank adalah setoran,
dan harus dipertimbangkan transaksi keuangan yang melibatkan mata
uang (penggunaan dana) dan uang tunai yang dikumpulkan dan tidak
disetorkan. Jika didokumentasikan kegiatan keuangan dalam ketiga
area ini akan merekonstruksikan dana yang tersedia selama satu tahun.
Dalam pembuktian setoran bank terdapat dua macam yaitu,
pembuktian untuk masalah keuangan bukan pajak dan masalah
keuangan yang berhubungan dengan pajak. Dalam pembuktian bukan
pajak total dana yang digunakan, disetorkan dan dikumpulkan
dibandingkan dengan pendapatan yang diterima dari satu atau lebih
cxiv
sumber legal. Sedangkan dalam pembuktian pajak adalah pendapatan
yang dilaporkan dalam laporan pajak dibandingkan dengan total dana
yang digunakan, disetorkan dan dikumpulkan. Dalam pembuktian
bukan pajak dan pajak disesuaikan dengan sumber pendapatan dana
seperti hadiah, pinjaman, warisan, dan sebagainya.
c. Metode Pembuktian Kekayaan Bersih
Metode pembuktian kekayaan bersih didasarkan pada bukti tidak
langsung. Metode ini digunakan dalam pembuktian pendapatan
illegal. Penerapan metode ini berfokus pada pembuktian pendapatan
yang tidak dilaporkan atau pendapatan illegal. Metode pembuktian
kekayaan bersih mengukur penambahan atau pengurangan atas
kekayaan bersih seseorang. Setiap penambahan yang mendasar
dikelompokkan sebagai pendapatan yang tidak dilaporkan atau
pendapatan illegal, tergantung pada asal mula pembuktian.
Ada tiga hal yang dilakukan oleh seseorang atas uangnya dalam
metode pembuktian kekayaan bersih yaitu membelanjakannya,
menyetorkannya atau menimbunnya. Semua ini diperhitungkan dalam
metode pembuktian kekayaan bersih. Kelebihan dana dianggap sebagai
pendapatan yang tidak dilaporkan atau pendapatan illegal, tergantung
pada jenis pembuktiannya.
d. Metode Pembuktian Pengeluaran
Metode pembuktian pengeluaran merupakan suatu metode tidak
langsung dalam membuktikan pendapatan. Metode ini dan metode
cxv
kekayaan bersih pada dasarnya serupa. Keduanya merupakan variasi
perhitungan dari teori dasar yang sama.
Metode pembuktian pengeluaran digunakan saat seseorang telah
membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk barang-barang
yang di konsumsi. Metode pembuktian kekayaan bersih berlaku saat
seseorang telah mengakumulasi suatu jumlah aset. Kedua metode ini
dapat digunakan untuk merekonstruksikan baik pendapatan illegal
(kasus non pajak) atau pendapatan yang tidak dilaporkan (kasus pajak).
Pembuktian kasus pencucian uang baik di Indonesia maupun di
beberapa negara asing memang dirasakan teramat pelik. Khusus untuk
Indonesia, kepelikan tersebut di samping proses penegakannya juga
dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan undang-undang yang
produknya masih dapat bersifat multi-interpretasi, sehingga relatif banyak
ditemukan beberapa kelemahan di dalamnya. Salah satu contoh adalah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang. Dalam ketentuan undang-undang itu disebutkan tindak
pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra
ordinary crime) sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula (extra
ordinary measures).
Dalam pelaksanaannya Indonesia memiliki ketentuan anti
pencucian uang, maka nampaknya kegagalan terbesar terletak pada
kelemahan jaksa dalam membuktikan perkara ini. Masalah berawal dari
penuntutan yang ternyata tidak sederhana, pertama berkenaan bahwa
tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan (follow up
cxvi
crimes) sehingga ada permasalahan lain yaitu bagaimana dengan core
crime (predicate offencenya). Apakah harus dibuktikan keduanya atau
cukup pencucian uangnya saja tanpa terlebih dahulu membuktikan
predicate offencenya. Berdasarkan amanat undang-undang maka
predicate offence tidak perlu dibuktikan, artinya cukup menggunakan
bukti petunjuk saja. Sebagai konsekuensinya maka dakwaan harus
disusun secara kumulatif bukan alternative, karena antara predicate
offence dan pencucian uang adalah dua kejahatan yang walaupun
perbuatan pencucian uang selalu harus dikaitkan dengan predicate
offencenya, namun pencucian uang adalah kejahatan yang berdiri sendiri
(as a separate crime).
Dengan demikian dalam mendakwa tindak pidana pencucian uang
misalnya berkaitan dengan dakwaan Pasal 3 maka predicate offence dan
follow up crimesnya didakwakan sekaligus. Namun demikian perlu
diperhatikan adakalanya terhadap pelaku Pasal 3 dakwaan bisa saja
tunggal yaitu ketika seseorang melakukan proses pencucian uang atas
hasil kejahatan di mana pelaku tidak terlibat langsung dengan kejahatan
namun dia patut untuk menduga bahwa uang tersebut berasal dari
kejahatan. Untuk pelaku ini tidak harus dipertanggungjawabkan predicate
offencenya,tetapi hanya tindak pidana pencucian uangnya.
Selanjutnya masih ada dakwaan tunggal untuk tindak pidana
pencucian uang yang tidak harus dikaitkan dengan predicate offencenya,
dalam hal ini misalnya pelaku hanya berkenaan dengan dakwaan Pasal 6,
di mana pelaku hanya dipertanggungjawabkan atas perbuatan pencucian
cxvii
uang pasif yaitu menerima dan lain-lain atas harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut berasal dari kejahatan.
Dalam hal pelaku hanya berkaitan dengan Pasal 6 maka dakwaannya
bersifat tunggal atau didakwa alternative dengan pasal lain yang relevan,
yang penting harus sesuai dengan fakta bahwa perbuatannya hanya satu.
Permasalahan selanjutnya berkenaan dengan pembuktian unsur
subyektif atau mens rea dan unsur obyektifnya atau actus reus. Mens rea
yang harus dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui) atau reason to know
(patut menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut
berkaitan dengan unsur terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa
dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui
tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Untuk membuktikan
unsur mengetahui tentunya sudah jelas bahwa pelaku harus memenuhi
knowingly dan willingly, selanjutnya berkenaan pembuktian unsure patut
menduga maka hal ini persis yang tertera dalam pembuktian Pasal 480
KUHP yang menjelaskan adanya unsur proparte dolus dan proparte
culpoos (setengah sengaja setengah lalai).
Pembuktian selanjutnya adalah unsur intended yaitu bermaksud
untuk menyembunyikan hasil kejahatan, untuk pembuktian ini juga sulit
maka pengadilan di Amerika Serikat telah menyatakan bahwa bukti
pendukung atau petunjuk (circumstantial evidence )cukup untuk
membenarkan adanya unsur-unsur tersebut. Jadi apabila unsur sengaja
dan mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari
kejahatan maka dengan sendirinya unsur intended terbukti. Di Indonesia
cxviii
hal ini nampaknya belum dilakukan, maka jaksa harus mengambil unsur
menyamarkan (disguissing) yang lebih mudah dibuktikan daripada
menyembunyikan (hiding).
Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana
pencucian uang, maka peranan hakim sangat menentukan untuk tujuan
pemberantasan kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang
didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit,
karena harus membuktikan dua kejahatan sekaligus. Profesionalitas hakim
sangat diperlukan untuk mengikuti semua sistem acara peradilan yang
banyak menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya adanya
perlindungan saksi, adanya praktik acara pembalikan beban pembuktian
(the shifting of the burden of proof). Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, belum mengatur secara
rinci tentang acara persidangan khusus untuk pembalikan beban
pembuktian ini, tetapi di masa depan hal ini harus dilakukan.
Selain tata cara yang ditentukan, hakim juga harus sangat
memahami bahwa mengingat penerapan pembalikan beban pembuktian
pada dasarnya melanggar prisip non self incrimination, maka harus
ditekankan bahwa penerapan ini sangat terbatas pada tahap persidangan
dan hanya untuk satu unsur saja. Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa
adalah bahwa harta kekayaan bukan berasal dari kejahatan, artinya
apabila unsur ini tidak bisa dibuktikan oleh terdakwa jaksa tetap harus
membuktikan unsur lainnya baik itu unsur obyektif maupun subyektif,
sepanjang itu merupakan inti delik (bestandelen). Selanjutnya yang tidak
cxix
kalah pentingnya adalah sikap hakim apabila ide tentang bukti pendukung
(circumstancial evidence) akan diterapkan.
Pemikiran tentang pembuktian unsur (intended) yaitu dengan
maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil
kejahatan yang harus dianggap terbukti sepanjang semua unsur di
depannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharus melakukan
lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsur intended
pasti terbukti. Dalam hal ini berlaku suatu logika hukum, yaitu di mana
terdakwa yang telah terbukti sengaja melaku transfer misalnya, dan
kemudian dia juga terbukti mengetahui atau paling tidak patut menduga
bahwa harta kekayaan yang ditransfer berasal dari kejahatan, maka
seharusnya dapat dikatakan tujuan transfer tersebut untuk hal yang tidak
baik yaitu menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kekayaan.
Terhadap ide ini hakim harus benar-benar mempunyai keberanian yang
dilandasi keyakinannya atas logika hukum yang ditawarkan tersebut.
Untuk mencapai profesionalitas yang memadai serta inovatif tersebut,
sangat diperlukan wawasan yang luas terutama dalam mempelajari teori
pembuktian yang telah dilakukan di berbagai Negara yang telah banyak
pengalaman dalam pengungkapan perkara pencucian uang di pengadilan.
Berkembangnya pemahaman bahwa mencegah para pelaku tindak
pidana, mengubah dana hasil tindak pidana dari haram menjadi halal dan
menyita hasil tindak pidana tersebut merupakan cara yang efektif untuk
memerangi tindak pidana itu sendiri. Hal ini karena kekayaan hasil tindak
pidana selain merupakan darah yang menghidupi tindak pidana itu
cxx
sendiri, juga merupakan mata rantai yang paling lemah dari seluruh proses
kegiatan tindak pidana.
Dalam pembuktian terbalik beban pembuktian ada pada terdakwa.
Dalam tindak pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-
usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana, misalnya
bukan berasal dari korupsi, kejahatan narkotika serta perbuatan haram
lainnya. Pembuktian terbalik bukan untuk membuktikan perbuatan pidana
yang dilakukan oleh terdakwa, melainkan tujuannya adalah untuk menyita
harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana jadi bukan untuk
menghukum pelaku tindak pidana.
Dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 diatur
tentang pembuktian terbalik dengan rumusan bahwa ''Untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa
harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana''. Dalam
ketentuan ini memang tidak jelas pembuktian ini apakah dalam konteks
pidana untuk menghukum orang yang bersangkutan atau untuk menyita
harta kekayaan yang bersangkutan.
Hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini pun belum
ada, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan. Jika
pembuktian terbalik dilakukan untuk menghukum terdakwa, ini jelas
bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana di Indonesia yaitu asas
praduga tak bersalah (Presumption of innocence) dan non-self
incrimination. Asas praduga tak bersalah telah lama dikenal dalam hukum
di Indonesia, yang sekarang diatur dalam Pasal 8 UU No 4 Tahun 2004
cxxi
tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Asas ini intinya menyatakan setiap orang
yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak
pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya
secara sah dalam sidang pengadilan. Sementara itu asas non-self
incrimination ditemui dalam praktik dan dalam peraturan tertulis di
Indonesia seperti dalam UU, tentang Hak Asasi Manusia.
Asas non- self incrimination dalam sistem hukum common - law
dikenal dengan istilah the privilege against self incrimination, yaitu
seseorang tidak dapat dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang
diberikannya atau dokumen yang ditunjukkannya. Sebagai konsekuensi
tersangka atau terdakwa dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya. Asas ini berjalan dengan baik di negara yang
menganut sistem hukum common law, akan tetapi di Indonesia apabila
terdakwa tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, maka hal tersebut
dianggap menyulitkan jalannya persidangan hingga dapat memperberat
hukuman nantinya. Karenanya terdapat kecenderungan terdakwa akan
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hingga pada akhirnya
tidak merugikan dirinya.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 pembuktian
terbalik tersebut bersifat murni, di mana terdakwa wajib membuktikan
bahwa ia tidak melakukan money laundering, jika ia tidak berhasil
membuktikan maka berarti ia terbukti melakukan money laundering.
Meskipun penerapan sistem pembuktian terbalik bertentangan dengan
cxxii
asas praduga tak bersalah yang telah diatur dalam KUHAP, dalam hal ini
berlaku asas lex specialist derogat lex generalis. Selain itu hal ini
merupakan salah satu sarana yang dapat ditempuh untuk memberantas
money laundering yang sudah mengakar di Indonesia.
Penerapan pembuktian terbalik terhadap money laundering
memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya
kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa
kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat
mengurangi money laundering yang telah begitu banyak merugikan
negara. Yang dikhawatirkan adalah jika sampai pembuktian terbalik ini
justru menjadi alat pemerasan baru, dimana semua orang dapat saja
disudutkan melakukan money laundering. Dan pihak kejaksaan tidak akan
merasa bersalah dengan menuduhkan berbagai macam-macam korupsi.
Orang yang dituduh money laundering disuruh membuktikan bahwa ia
tidak melakukan money laundering, sehingga banyak sekali orang yang
akan "diperas" karena dituduh melakukan money laundering.
cxxiii
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sehubungan dengan perumusan masalah pertama yaitu, apakah kebijakan
Pembuktian dalam TPPU tela memenuhi formulasi pembentukan hukum
Lon F Fuller, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya telah memenuhi
komponen pembentuk hukum, namun dalam hal input terdapat suatu
hambatan yaitu tidak terdapatnya feedback yaitu suatu ketercapaian out
comes yang dihasilkan, karena hal tersebut terlalu didominasi oleh
komponen politik sebagai komponen utama, dan kurang memperhatikan
komponen ekonomi dalam hal kerugian yang diderita negara akibat
pencucian uang. Dalam formulasi suatu peraturan hendaknya
memperhatikan aspek filosofis, sosiologis dan yuridis sehingga dalam
tataran pelaksanaannya dapat terwujud tujuan dari hukum tersebut.
2. Mengenai konsekuensi dan implikasi dari terdapatnya persamaan dan
perbedaan pengaturan pembuktian antara KUHAP dan UU TPPU, yaitu
cxxiv
persamaannya adalah bahwa kedua undang-undang tersebut sama-sama
menggunakan sistem pembuktian dan alat bukti yang diatur dalam pasal
184 KUHAP, adapun perbedaannya adalah dalam KUHAP tidak diatur
sistem pembuktian terbalik dan alat bukti elektronik yang merupakan
perluasan bukti dalam UU TPPU, berarti pada dasarnya tidak terdapat
pengesampingan KUHAP melainkan penambahan atau perluasan alat
bukti.
3. Dalam hal pembuktian TPPU terdapat kelemahan berupa disamakannya
kekuatan alat bukti elektronik dengan alat bukti petunjuk sehingga alat
bukti tersebut dengan mudah dikesampingkan oleh alat bukti lain sesuai
dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP. Sedang dalam hal pembuktian
terbalik terdapat kelemahan berupa adanya asas retroaktif, berkenaan
dengan asas yang pada hakekatnya hukum tidak boleh berlaku surut,
kurangnya pengaturan alat bukti elektronik, adanya struktur penegak
hukum yang kurang memahami secara komprehensif tentang sistem
pembuktian, terbenturnya usaha pembuktian dengan sistem birokrasi
instansi terkait, serta adanya surat fiktif tentang harta kekayaan yang
seakan-akan sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti surat.
B. Implikasi
Konsekuensi logis dari kesimpulan yang diperoleh adalah
1. Perlunya dibuat suatu kebijakan baru yang lebih memperhatikan aspek
filosofis, sosiologis, dan yuridis yang dalam hal ini berkaitan dengan
cxxv
suatu peraturan tindak pidana sehingga dapat dicapai suatu kebenaran
materiil.
2. Diperlukan suatu terobosan hukum, antara lain dengan membuat suatu
putusan yang memperhatikan aspek keadilan yaitu dengan penggunaan
alat bukti elektronik dan ketentuan sistem pembuktian terbalik dimana
hal tersebut cenderung sulit diterapkan karena para penegak hukum
seringkali hanya berpatok pada undang-undang saja.
C. Saran-Saran.
1 Perlunya pembuatan kebijakan dengan mendasarkan pada teori
formulasi kebijakan, serta aspek-aspek yang dilibatkan antara lain aspek
filosofis, sosiologis dan yuridis dalam suatu kebijakan yang ditujukan
kepada berbagai kalangan terutama aktor pembuat kebijakan sehingga
kebijakan yang ada dapat mengakomodir kepentingan publik.
2 Dalam pembuktian atau yang dalam hal ini penanggulangan tindak
pidana pencucian uang hendaknya digunakan dua landasan hukum yaitu
KUHAP dan juga UU TPPU atau bahkan dengan undang-undang lain
yang berkaitan, karena pencucian uang merupakan kejahatan yang
melibatkan beberapa aspek baik ekonomi dan teknologi.
3 Dalam hal penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang hendaknya
diperbaiki subtansi undang-undang tersebut antara lain berkenaan
dengan kekuatan alat bukti, dan juga penerapan sistem pembuktian
terbalik, serta struktur penegak hukum dalam memahami secara
komprehensif dampak yang diakibatkan pencucian uang terhadap
negara, dalam hal ini perlu dibentuk tim khusus dalam menangani
cxxvi
TPPU sebagaimana halnya KPK dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi .
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Arief Amrullah. 2004. Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering.
Malang : Bayu Media
Andi Hamzah. 1991. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta
Anthon Susanto. 2004. Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial Tentang
Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan
Pidana. Bandung : Refika Aditama
Antonius Sujata. 2000. Reformasi Dalam penegakan Hukum. Jakarta : Djambatan
Bambang Sunggono. 1994. Hukum Dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta : Sinar
Grafika.
Barda Nawawi Arief. 2005. Beberapa Aspek Kabijakan Penegakan Dan
pengembangan Hukum Pidana Edisi Revisi. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
-----------------------------. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Edisi Revisi.
Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
cxxvii
-----------------------------. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung:PT. Citra
Aditya Bakti.
-----------------------------. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Budi Winarno. 2002. Teori Dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media
Pressindo.
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Terjemahan).
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
-----------------------. 2003. Analisis Kebijaksanaan Publik Kerangka Analisis Dan
Perumusan Masalah.Yogyakarta : Hanindita
Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang :
Suryandaru Utama.
H.B Sutopo.2002. Metodotogi Penelitian Kualitatif Dasar Teori Dan Terapannya
Dalam Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Kelsen, Hans. 2007. General Theory Of Law And State. Jakarta : Bee Media
Moch Anwar. 1982. Tindak Pidana Di Bidang Perbankan. Bandung : Alumni.
Munir Fuady. 2004. Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih. Bandung : PT
Citra Aditya Bakti.
N.H.T Siahaan. 2005. Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan Edisi Revisi.
Jakarta : Pustaka sinar Harapan.
Qodri Azizy dkk. 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Rosjidi Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia.
Bandung : Mandar Maju.
cxxviii
Satjipto Rahardjo. 1980. Hukum Dan Masyarakat. Bandung : Angkasa
---------------------. 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta : Kompas.
---------------------. 2000. Ilmu Hukum. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Setiono. 2005 Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Surakarta :
Program Pascasarjana UNS.
Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
----------------------- dan Sri Mahmudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta : Raja Grafindo Persada
------------------------. 1991. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum Edisi Baru. Jakarta :
Rajawali Press.
Soetandyo Wignjosoebroto.2002. Hukum Paradigma, Metode Dan Dinamika
Masalahnya. Jakarta: ELSAM dan HuMA.
Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Bandung : Alumni.
Sutan Remy Sjahdeini. 2004. Seluk Beluk Tindak pidana Pencucian Uang Dan
Pembiayaan Terorisme. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.
Tb Irman. 2006. Hukum Pembuktian Pencucian Uang. Jakarta : MQS Publishing
dan AYYCCS Group
Teguh Prasetyo dan Halim Barkatullah, Abdullah. 2005. Politik Hukum Pidana
Kajian Kebijakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
UNDANG-UNDANG
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
cxxix
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (Revisi) Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang