340

The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif
Page 2: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif
Page 3: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

ii

The 4th ICETA International Conference on Education“New Paradigms in Global Challenges for Future Education”

Surabaya, 23 February 2013

© University of PGRI Adi Buana SurabayaISBN: 978-979-8559-55-6

Editors:Assoc. Prof. Dr. Abdul Jalil bin Othman (University of Malaya, Malaysia)Prof. Dr. Ir. Achmadi Susilo, M.S (Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya)Dr. Paul Jhon Hamadi (SEAMEO-SEAMOLEC, Papua New Guinea Branch)Dr. Agung Pramujiono, M.Pd (University of PGRI Adi Buana Surabaya)Drs. Boy Soedarmadji, M.Pd (University of PGRI Adi Buana Surabaya)

Published by University of PGRI Adi Buana Surabaya, IndonesiaJl. Dukuh Menanggal XII Surabaya, INDONESIATelp./Fax: +62 31 8273999Website:http://www.pps-unipasby.ac.id

Page 4: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

iii

FOREWORDS

Our gratitude to Allah SWT to eventually conducting the 4th ICETA and theresearchers are participating to submit papers on educational research or criticalthinking about educational technology.The theme of the 4th ICETA is “New Paradigms for Global Challenges inFuture Education”. The conference proceedings contains the resouce persons’paper who are expert in their fileds. The guest invited speakers are: Prof. Dr.Saedah Siraj (Dean Faculty of Education, University of Malaya) who presents apaper ‘Interpretive Structural Modeling of Mlearning Curriculum ModelImplementation of English Language Communication Skills For undergraduates’;Prof. Dr.. Ramlee Mustafa (Dean Faculty of Technical and Vocational Education,University of Education Sultan Idris, Malaysia presents a paper ‘Innovation inPedagogy and Research Culture: A Future Paradigm’; Prof. Daniel MohammadRashid, Ph.D. (Institute Teknologi Sepuluh November, Surabaya) presents‘Decline of the Schools and The Rise of Learning Webs’, and Dr. Paul John Hamadi(SEAMEO-SEAMOLEC) serves papers ‘Maximizing Teacher's Profesionalism’. Inaddition, at this conference presents papers relevant to the theme of the 4thICETA including the following topics, (1) Human Performance Technology, (2)Future Education for Teachers, (3) The New Challenges for E-Learning, (4)Modeling for Collaborative Learning, (4) Best Practices Across Fields (SecondaryEducation, Higher Education, Skill Development , and Vocational Education), (5)Maximizing Teacher Profesionalism, (6) Developing Orientation in LocalEducational Values and Multicultural Society, and (7) Other related areas.May the paper published in the proceedings beneficial to the 4th ICETApresenters and readers and can contribute to future educational development.Surabaya, February 2013Editorial Team

Page 5: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

iv

TABLE OF CONTENTSPage

Forewords iii

Table Of Content iv

Guests Invited Paper

Innovation in Pedagogy and Research Culture: A Future ParadigmProfessor Dr. Ramlee Mustapha, Faculty of Technical and Vocational Education, Sultan IdrisEducation University, Perak, Malaysia

1

Interpretive Structural Modeling Of Mlearning Curriculum Implementation Model Of EnglishLanguage Communication Skills For UndergraduatesSaedah Siraj ( UM Malaysia), Muhammad Ridhuan Tony Lim Abdullah (Universiti TeknologiPetronas, Malaysia); Asra (UM Malaysia); Zaharah Hussin (UM Malaysia)

9

Maximizing Teacher’s ProfessionalismPaul Hamadi (SEAMEO-SEAMOLEC, Papua New Guinea Branch)

26

Decline Of The Schools And The Rise Of Learning WebsDaniel Mohammad Rosyid (Department of Ocean Engineering, ITS Surabaya)

35

Presenter’s Paper

Pengaruh Strategi Pembelajaran Problem-Based Learning Berbantuan Versus TanpaBerbantuan Internet Dan Gaya Kognitif Terhadap Prestasi BelajarAchmad Noor Fatirul (UNIPA Surabaya)

41

Meningkatkan Kemampuan Menganalisis Kalimat Pada Mata Kuliah Sintaksis MahasiswaPBSI Angkatan 2010 A Melalui Pembelajaran Berbasis MasalahAgung Pramujiono (UNIPA Surabaya)

50

Development Interpretive Structural Modeling Of Model Module Discovery Mlearning InTeacher Education Pengembangan Ism Model Modul Discovery Mlearning Pada PendidikanGuruAsra (UM, Malaysia); Saedah Siraj (UM, Malaysia); Muhammad Ridhuan Tony LimAbdullah (Universiti Teknologi Petronas, Malaysia); Siti Aisyah H A (Universiti TerbukaMalaysia)

60

Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip CharAtiqoh (UNIPA Surabaya)

72

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Berbasis Articulate Untuk MeningkatkanKeterampilan Sosial SiswaDeddy Setiawan (STKIP Garut) dan Jenal (Guru SD Sukalaksana I Garut)

77

Page 6: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

v

Esria Sebagai Model Pelatihan Pengajar Bahasa AsingDewi Kartika Ardiyani (Jurusan Sastra Jerman Universitas Negeri Malang)

88

Maximizing Teaching Speaking Using Small Group ActivitiesDewi Kencanawati (University of Nusantara PGRI Kediri East Java)

94

Pengembangan Bahan Ajar Bahasa Inggris Conversation Siswa Kelas VIII Semester IIElisabeth M. Saleh (Guru SMP IPIEMS Surabaya) and Nurmida Catherine Sitompul

(UNIPA Surabaya)

104

Model Bangku Kelas Terhadap Respons Keluhan Pada Siswa (Penelitian ObservasionalErgonomis Pada Siswa Sekolah Dasar)Gempur Santoso (UNIPA Surabaya) and Yoso Wiyarno (UNIPA Surabaya)

113

Development Of Ict Learning Using Interactive Cd To Enhance Activities And Performance OfThe Students On The Subject Of Microsoft Office Word In SMA Negeri 3 SumedangHandy Kartawinata (STKIP Garut) and Asep Slamet Riyadi (SMA Negeri 3 Sumedang)

120

Pemanfaatan E-Learning Dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar FisikaHari Budianto (SMA Negeri 2 Pare, Kediri)

131

Future Education For Teachers In The Field Aspects Of Visual Arts And CultureIka Ismurdyahwati (UNIPA Surabaya)

144

Human Performance Technology (HPT): Model Aplikasi Terakhir Dari TeknologPendidikan/Pembelajaran Dalam Pendididikan NonformalIskandar Wiryokusumo (UNIPA Surabaya)

150

Pengaruh Penggunaan Metode Diskusi, Demonstrasi Dan Motivasi Belajar Terhadap PrestasiBelajar Bahasa Indonesia Siswa Kelas V SDN Pakal I dan II SurabayaKalim Sugiyanti (SD Negeri 1 Pakal Surabaya)

154

Pengaruh Strategi Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan SiswaKelas V Yang Memiliki Kecerdasan Emosional Dan Gaya Belajar Yang Berbeda Di KecamatanRendang Karangasem BaliI Wayan Arsana (UNIPA Surabaya)

159

Pengembangan Modul IPA Kelas VIII Dengan Model Pembelajaran JigsawNanik Widyastuti (SMP Negeri 45 Surabaya)

173

Infrastructure Design Of Model-Based Information And Communication Technology In HigherEducation Knowledge Management To Improve Knowledge SharingNizar Alam Hamdani (STKIP Garut)

183

Factors That Influence The Indigenous Students’ Success In Secondary Schools: PerspectiveOf The Indigenous TeachersNorwaliza Abdul Wahab (Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor) and RamleeMustapha (Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjong Malim, Malaysia)

192

The Direction In Translation Teaching: From L2 To L1 Or The Other Way AroundNunung Nurjati (UNIPA Surabaya)

202

Page 7: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

vi

Pentingnya Pendidikan Lingkungan PerkotaanRaja Jusmartinah (UNIPA Surabaya)

210

Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Statistika Melalui Pemberian PraktikumPengolahan Data Berbantuan Komputer Pada Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIPGarutRostina Sundayana (STKIP Garut)

219

Pengaruh Strategi Pembelajaran Konstruktivistik Dan Pengetahuan Awal Terhadap HasilBelajar Metodologi PenelitianRufi’i (UNIPA Surabaya)

232

Pengaruh Penggunaan Metode Diskusi Kelas Dan Gaya Belajar Yang Berbeda TerhadapKeefektifan Pembelajaran IPS Siswa Kelas V SDN Kedungcowek 2 SurabayaSugito (UNIPA Surabaya)

240

Korelasi Penggunaan Media Manequin Dan Media Asli Pada Penataan Rambut Malam HariSusilowati (UNIPA Surabaya) dan Diana Evawati (UNIPA Surabaya)

248

Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Berbantuan Algebrator Terhadap PeningkatanKemampuan Pemahaman Matematis SiswaUndang Indrajaya (AMIK Garut) and Imas Komariah (SMP 2 Tarogong Kidul)

256

Emerging Of Technology: The Changes Of Teachers’ Beliefs In IndonesiaWinda Syafitri (School of Graduate Studies, State University of Malang, East Java

269

Kajian Ketimpangan Permintaan Industri Dan Pasokan Pendidikan Wilayah Kota MakasarYunia Dwie Nurcahyanie (UNIPA Surabaya), Rusdiyantoro (UNIPA Surabaya) and Djoko AdiWalujo (UNIPA Surabaya)

279

Analisis Pengaruh Teknik Kerja Kelompok Dan Pendekatan Komunikasi TerhadapKeterampilan Berbicara Bahasa InggrisYastri Liul Yani (Guru SMKN 1 Jatirejo)

288

A Study On Future Assessment In Malaysian Schools: A Delphy StudyZaharah Husin, Ph. D, Adlin Premla Vincent, Aznita Mohamad, Chiew Shei Ling, SukunahPachaiappan, Tangamani Saminathan (University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia)

298

Survey Tentang Penerapan Pelatihan Dan Bimbingan Model In-On-In Sebagai UpayaMeningkatkan Kemampuan Guru Dalam Melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas Di SMPNegeri 3 TamanRetno Untari Hadi Putranti (SMP Negeri 2 Sedati, Sidoarjo)

308

Supervisi Pengajaran Di Sekolah DasarHari Karyono (UNIPA Surabaya)

320

Page 8: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

1

Innovation in Pedagogy and Research Culture:A Future Paradigm

Professor Dr. Ramlee MustaphaFaculty of Technical and Vocational Education,

Sultan Idris Education University35900 Tanjong Malim, Perak

[email protected]

ABSTRACT

Innovation in pedagogy and the enhancement of research culture in teacher education iscritical to achieve real transformation in education. The use of information andcommunication technologies (ICTs) has been seen by researchers as a means to assist insolving research problems. However, although the use ICT within the R&D function has beenseen as crucial in research and innovation, a number of the researchers especially actionresearchers have not considered technology integration. The paper explores some of the newways that researchers can use technology as a way to improve research especially actionresearch. Further, action research as a methodology uniquely suited to researching theprocesses of innovation and change. Action research can be a powerful systematicintervention, which goes beyond describing, analyzing and theorizing practices to reconstructand transform those practices. In many institutions, technology integration - the use oftechnology to solve research problems – has become a norm. Drawing on socio-culturaltheory, this paper describes how teams of teachers and researchers should develop ways ofusing technology in assisting them to embark on action research. However, the tensionbetween idiosyncratic and institutional knowledge construction is exacerbated by lack oftechnology proficiency among the action researchers. In addition, the lack of research cultureand infrastructure in the institution makes it even worse. Nevertheless, to move the “teacheras researcher” agenda forward, transformational leadership at the institution must be put inplace and functional. Thus, the need for transformational leadership in spearheadinginnovative teaching and research initiatives in the individual institution is indispensible.

Introduction

In the new millenium, most teachers believe that creativity and innovation in the classroomcould enhance learning. According to Plsek (1997), creativity is the connecting and rearrangingof knowledge – in the minds of people who will allow themselves to think flexibly – to generatenew, often surprising ideas that others judge to be useful. Innovation is the application of acreative idea that results in a valuable improvement. Integration of technology in theclassroom, as an example of innovation, goes far beyond just dropping technology intoclassrooms. For barely a decade, the world has witnessed what amounted to an innovation ofthe learning cultures. For example, teachers' instructional beliefs and practices underwent anevolution and this has enhanced students' competencies as a result of teachers’ creativity inthe classroom (Dwyer, Ringstaff & Sandholtz, 1991). According to Dwyer et al., teachers werebeginning to achieve a balance between the appropriate use of direct instruction strategiesand collaborative, inquiry-driven knowledge-construction strategies. This collaborativeinquiry-driven knowledge-construction can be considered as innovative strategy.In the 21st century, income and wealth are generated by “selling” new ideas, new productsand services. In the post-capitalist and post-modernist era, innovation has become the

Page 9: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

2

industrial “religion” through which firms believe it could increase market share and profits(Valery, 1999). According to Fisk (2011), idea is a new currency of success. According to MITformer President, Charles M. Vest (1997), the challenge of the future will be to create newideas and to make innovation. The next round of competition is likely to be won by those whoinnovate, i.e., those who create new ideas, products, and services and those who solve newhuman problems and create new commerce. The new economy is driven by k-workers,entrepreneurs, technology, and innovation. New ideas, discoveries, and technologies havecreated new industries and products. Consequently, innovation is important and essential forincome and wealth generation (IDRC, 2011). Moveover, the application of informationtechnology in business operations has caused a profound change in the workplace (OECD,2004). The new economy is rewarding those who have high educational achievement andtechnical skills. As a result, the workers of the 21st century must acquire the needed skills andtalents. Therefore, to accomplish this, the education system must be transformed to fulfil therequirements of the new economy. Emphasis on developing quality human capital isindispensible. According to the former Prime Minister Dr. Mahathir Mohamad:

“In the effort to move forward with energetic ambition, development ofhuman capital is a must. Development on all potential we have by Malaysianpopulation such as talent, expertise, innovation, creativity will help Malaysianspirit of achievement. Exploitation of natural resources be able to makebetter living only if Malaysians know how to benefit from it. Creativity, withhealthy mind and emotion possibly will aid growth of citizen and nation”(http://eprints.utm.my/7891/1/EDUPRES_(F1)_19.pdf).

If Malaysia lacks an adequate number of highly skilled local workers to cater the demand ofthe industry, foreigners and expatriates will fulfil the vacancies. The industry requires skillfulworkers, well educated, competent, talented and able to think critically. For that reason,managing a country’s human talent is therefore the key to achieving global competitiveness.As for building of capabilities, this spans both education system and the ability to continuouslyupgrade the skills and capabilities of the population. In education, the focus should be onacquiring technical expertise, most recently in the areas of engineering, IT, services andbiotechnology. It is also critical to enhance the skills of our graduates, like communicationsand public relations. The Ministry of Human Resource has offered various skills courses atdifferent levels for those who are more talented in vocational skills. In addition, post-graduatestudies are aimed at helping graduates develop research skills.

The Importance of Innovation to Drive K-Economy

In the Malaysian context, the restructuring of the economy has led to a change in the demandand supply of human resources and this has become a critical issue. As the demand forprofessional and skilled workers increases, there is a corresponding shortage in the supply ofsuch workers. Through the education and training system, various policies and strategies havebeen implemented to ensure an increasing supply of educated, skilled and innovative laborforce in line with the key thrust of the Ninth and Tenth Malaysia Plans ― the development ofHuman Capital. K-economy will significantly reduce the need for low skilled foreign labor inMalaysia. Despite the laborious effort to churn out more knowledge workers, the figureremains low. Malaysia only has 25% of high-skilled workers as compared to 49% in Singapore,33% in Taiwan and 35% in South Korea (OECD, 2011). Research and innovation are alsoconsidered lower than other countries due to the fact that Malaysia is lacking critical mass ofcutting-edge scientists and researchers in the country to enhance innovation. In terms ofintellectual property, Malaysia only had 2,086 patents in 2010, much lower than South Korea,Singapore, Hong Kong, and China (see Table 1). The number of published academic researcharticles by Malaysian academics is also lower than Japan, Singapore, Taiwan and South Korea.

Page 10: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

3

The lack of innovation among Malaysians is seen as a major setback for the country in itscourse that is aspired to be a fully developed nation by 2020.

Table 1: Number of patents among selected Asian countriesCountry Industrial

DesignTrade Mark Patent R&D as

% GDPChina 141,601 389,115 93,706 1.4Hong Kong 3,035 18,408 4,001 0.8Japan 29,382 97,525 176,950 3.3Malaysia 1,483 27,847 2,086 0.6Singapore 1,781 17,737 6,286 2.2Taiwan n.a n.a n.a 2.3South Korea 39,858 62,443 83,523 3.2Source: World Intellectual Property Indicator (2010)

Developing a Research Culture

Next, I’m posing this question, “How can school develop a reseach culture?” There is a wholeliterature on organizational culture. In general, culture may be thought of “...as beingsynonymous with tradition or heritage. It is a way of life particular to each succeedinggeneration. Culture contains the ideas and values, skills, art and technology of a people. It isthe means by which each of us is able to guide our daily interaction with others” (Webb &Collette, 1973:49 quoted in Ferguson, 1999). In Malaysia, the Ministry of Education iscommitted to providing education and training to fulfil the human capital needs of the nationthrough strategic management, relevant and dynamic curricula, effective training and careerdevelopment programs, continuous quality assurance and strong support services based onthe National Education Philosophy. Schools also provide relevant technological orentrepreneurial education and training. These are aimed at upgrading basic skills as well as topromote research and development projects in collaboration with businesses and industries.Schools were also designed to provide lifelong learning opportunities for the students to betrained, “re-skilled” or “up-skilled”.

There are multiple perspectives of culture. To enhance innovative and research culture, ateaching institution needs to identify the teacher culture. Hargreaves (1994: 166) stated that“teacher culture consists of the substantive attitudes, values, beliefs, habits, assumptions andways of doing things that are shared within a particular teacher group ... the content ofteacher cultures can be seen in what teachers think, say and do”. According to McRoy, Flanzerand Zlotnik (2012), building research culture and infrastructure is crtitical. They assert thatinstitutions need to examine or re-examine their research climate and culture and assess theirreadiness to further enhance their research environment. While research infrastructure wasinitially seen as support for scientific and engineering research, scholars in nearly everydiscipline increasingly require the same range of support to enhance their research capability.The critical aspects include to define the research needs, set priorities for research support,develop support strategies, design a funding model, and build partnerships to supportresearch.

Creating and sharing new knowledge across a broad range of disciplines enhances theintellectual life of both teachers and students, and research productivity often serves as ayardstick by which the institution reputations are measured. At larger universities, researchmay be deeply embedded in the institutional culture, while at schools, a research agendamight require incubation, nurturing, and development of appropriate support. Schools mighthave fewer large projects, less indirect cost recovery, and fewer possible economies of scale

Page 11: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

4

than large universities. Nevertheless, research remains important to teachers as changeagents.

Schools often lack staff with PhD qualification and departmental structures to support large-scale research, so they might need to take a different approach to developing an adequateresearch infrastructure. The “school culture” could result in inappropriate infrastructure tosupport research, inability to actively promote support for research, conflicting priorities forresearch infrastructure funding, reduced agility in providing needed computing resources toresearchers, and lack of awareness by teachers of the limits of institutional infrastructure.These realities at schools can result in dissatisfied teachers and a barrier in conductingresearch activities. To build a research culture, schools need to use creativity in discoveringthe needs of their researchers, setting priorities for support, developing support strategies,funding and implementing research infrastructure, and building partnerships to enhanceresearch support. Research cultures are investigated in more depth but a brief definition isprovided here. A research culture might be described ideally as the common values, beliefs,attitudes and “ways of doing things” that affect the carrying out of research tasks in aninstitution. Nevertheless, it has been fascinating to trace the various ways in which individualsand groups have sought to define and extend the research culture in school setting.

Action Research

Action research is a form of enquiry that enables teachers or practitioners to evaluate theirpractices.The idea of action research is that educational problems and issues are best identified andinvestigated where the action is − in the classroom and at the ins tu onal level. By integra ngresearch into these settings and engaging those who work at this level in research activities,findings can be applied immediately and problems solved more quickly (Guskey, 2000). McNiff (1988) defined action research as an approach to improve or enhance education throughchanges which make teachers more alert about themselves. They should also become morecritical with those practices and ready to change any ineffective practices. Lomax (1994) hascome out with the similar concept when he stressed that an action research is an educationalresearch and it is different with research in education. This is because the researcher is theteacher herself, who aims to improve herself and her profession. Lomax also stressed thataction research is very important for educational innovation as it is a way which enables theteachers to make improvement in education. In school setting, action research is a research onsocial situation involving teachers as researchers, with the aim of improving the quality ofteaching practices. In doing the research, the teachers do innovation and changes by reflectionand inquiries.

According to Ferguson (1999), teaching is a social practice that is susceptible of improvement.It is possible to improve teaching practice by following the “plan, act, observe and reflect”spiral, and teachers can learn how to follow these spirals self-critically and systematically.McNiff (1988) discussed action research in a specifically teaching context. She stressedcollaboration with others, particularly noting that “it is research WITH, rather than researchON” (McNiff, 1988:4). In later writing, McNiff (1994a: 19) stressed the affective aspect ofaction research also, an aspect often not mentioned in other discussion:

For me, in my perhaps idiosyncratic understanding of action research, it isthat ability to be able to share the passion, the awe, the wonder, the beauty,the delight in your own life and share that with somebody else, to show thatyou really do delight in your own life, and each moment is better than thelast, and help someone else to share that view of delight, and help someoneelse to find the delight in their own life.

Page 12: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

5

McNiff (1988) believes action research is largely a personal research endeavour, in which theresearchers investigate their own practice with the aim of sharing with someone else what theresearch has revealed. It does not imply that the action researcher’s specific contextuallearning is necessarily appropriate for or should be applied to the work of others. Others havealso added their perspectives to the action rearch literature. Kemmis and McTaggart (1988)emphasized the valuing of social justice in the conducting of action research – this is notstressed by other action research writers. They observed that action researchers take theircollaborative action in order to improve the rationality and justice of their own social oreducational practices, as well as their understanding of these prcatices and the situations inwhich these practices are carried out.

According to Ferguson (1999), some researchers described uses of action research eitherpurely or mainly for purposes of improving the teacher’s own practice, sometimes in a solitaryway. Broader issues of social justice, whether in their own context or looked at more widely,were not their immediate concern, and there is a debate over whether action research shouldbe carried out individually or collaboratively (Elden & Chisholm, 1993; Zeichner & Noffke,1998). Carr and Kemmis (1986) and McNiff (1988) emphasize on individuals working toimprove their own practice; its use of the same plan, act, observe and reflect spiral, and itsemphasis on collaboration. It does not mention, specifically, working for social justice. TheWorld Congress on Action Research did, however, spell out the need for publication, power-sharing and ideally, absence of hierarchical ways of operting which are not overtly mentionedin the other definitions. It also noted connections with the tradition of reflective practice.Action research, then, is a research approach with the following three agreed characteristics.Firstly, it is about individuals working in their own contexts to bring about improvements intheir own practice in areas that they determine. Secondly, it follows a systematic processcharacterized by planning, acting, observing and reflecting. This is described as a spiralbecause the cycles of planning, acting, observing and reflecting. Thirdly, action research placesa high priority on collaboration and on sharing of knowledge. This collaboration aims for thepower-sharing to be egalitarian and the ways of working increasingly to become non-hierarchical. Kemmis and McTaggart (1988) emphasized that there should be some benefitsfor justice in the wider community, although this is not common to all approaches to actionresearch.

Further, Ferguson (1999) explains about practical and emancipatory action research. Practicalaction research puts the emphasis on the conduct and outcomes of the research on thepractitioners themselves. Outside facilitators form cooperative relationships withpractitioners, helping them to articulate their own concerns, plan strategic action for change,monitor the problems and effects of changes, and reflect on the value and consequences ofthe changes actually achieved. Such action research may be labelled “practical” because itdevelops the practical reasoning of practitioners (Carr & Kemmis, 1986). In contrast,emancipatory action research occurs when the practitioner group takes joint responsibility forthe development of practice, understandings and situations, and views these as socially-constructed in the interactive processes of educational life. It does not treat teacherresponsibility for classroom interaction as an individual matter, but, on the contrary, takes theview that the character of classroom interaction is also a matter fo school determination anddecision-making.

According to Ferguson (1999), Stenhouse (1975) was at the forefront of the “researchingteacher” movement in the United Kingdom claiming that all teaching ought to be based onresearch but that research and curriculum development should be the preserve of teacherswho gain understanding of their work through studying their own problems and effects(McKernan, 1991). Stenhouse coined the term “teacher as researcher” (quoted in Zeichner &

Page 13: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

6

Noffke, 1998). Elliott and Adelman (1973) further promoted teacher-research work usingaction research in their identification of problems through utilizing systematic reflection, andthe ongoing development of teacher self-awareness. Teachers, according to Elliot (1978),should interpret their everyday practice through the pursuit of reflective self-development.His idea was that the two areas, split by the tendency for theory to be developed inuniversities and promoted to practitioners, should be reunified through being developed byteacher themselves. This kind of thinking has been continued and further developed in othercountries around the world. Nevertheless, to move the “teacher as researcher” agendaforward, transformational leadership at the institution must be put in place and functional.

Who is a Transformational Leader?

According to Palispis (2010), a transformational leader is one who seeks to radically change anorganization. The goal of the organization is to change for the better. A leader is naturallyvisionary is the sense that he/she has a clear vision for organization. A transformational leadercreates a situation in the organization that is visionary, coaching, affiliative, and democratic. Aleader prossesses a charisma that resonates in the entire membership of the organization.First, this dream is transformed into a new vision. Experts in the study of leadership havepointed out time and again that the principal leaders of the world were dreamers andvisionaries. They are people who look beyond the confines of space and time transcend thetraditional boundries of either their position or their respective organization. The firstrequirement of transformational leadership is the ability of the leader recognize the need forchange, that the situation prevailing in the organization no longer sufficient to meet thedemands and challenges of the present time. The leader affects change in the organization.When change starts to take place in the organization, the leader manages it very effectively.

According to Bennis and Goldsmith (1997), leadership is about innovating and initiatingreforms. To instill the culture of innovation, leaders have to reward people for disagreeing,thinking outside of the box, and to tolerate failure. Great leadership keeps great talents. AsApple genius and innovation icon Steve Jobs aptly put it: “Innovation distinguishes leadersfrom followers” (http://thinkexist.com/quotes/steve_jobs/). The central focus of thisleadership in the commitment and capacity of individual members; a higher level of personalcommitment to organizational goals and a greater capacity for accomplishing organizationalgoals. Authority and influence are not necessarily allocated to those occupying formalpositions. Everyone is recognized to possess certain potential that can contribute to higherperformance. Power is attributed to collective aspirations and the desire for personal andcollective mastery of the organizational vision. Transformational leadership involves the abilityof the leader to reach the souls of the members in a fashion which raises humanconsciousness, builds meaning, and inspires human intent which is the source of power. Thispower is utilized for the benefit of the entire organization and its members. In the nutshell,transformational leadership involves building a shared vision, developing consensus aboutgoals, and creating high performance expectation in the entire organization. Eventually thislead to culture building.

Conclusion

The impetus to develop innovation and to actively engage in research and developmentemanated from the intense desire to expand the frontier of knowledge. Research should notonly be aligned to the institution’s vision and mission but should remain as its handmaiden inthe actualization process of such. The primary goal of research in transforming society

Page 14: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

7

through its impacts and outcomes. The generation of knowledge and its dissemination cannotbe an end in itself. Knowledge must be utilized and the utilization becomes worthwhile if itleads to the generation of good and services for the improvement of life.

References

Agee, A., Rowe, T., Woo, M., & Woods, D. (2010). Building research cyber-infrastructure atsmall/medium research institutions. (http://www.educause.edu/ero/article/building-research-researchinfrastructure-smallmedium-research-institutions).

Bennis, W. & Goldsmith, J. (1997). Learning to lead. Cambridge, MA: Perseus Books.Carr, W. & Kemmis, S. (1986). Becoming critical: Education, knowledge and action research.

London: The Falmer Press.Dwyer, D.C., Ringstaff, C., & Sandholtz, J.H. (1991). Changes in teachers' beliefs and practices

in technology-rich classrooms. Educational Leadership, 48 (8), 45–54.Elden, M. & Chisholm, R. (1993). Emerging varieties of action research. Human Relations,

46(2), 121-141.Elliott, J. & Adelman, C. (1973). Reflection where the action is: The design of Ford Teaching

Project. Education for Teaching, 92, 8-20.Ferguson, P.B. (1999). Developing a research culture in a polytechnic: An action research case

study. Ph.D Thesis, The University of Waikato, New Zealand.Fisk, P. (2011). Creative genius: An innovation guide for business leaders, border crossers and

game changers. North Mankato, MN: Capstone.Hargreaves, A. (1994). Changing teachers, changing times. London: Cassell.http://eprints.utm.my/7891/1/EDUPRES_(F1)_19.pdfhttp://thinkexist.com/quotes/steve_jobs/

http://www.mohe.gov.my/educationmsia/index.php?article=moheIDRC (2011). Innovation for inclusive development. Program prospectus for 2011-2016.

International Development Research Centre.Kemmis, S. & McTaggart, R. (1988). The action research reader. Victoria: Deakin University

Press.Lomax, P. (1994). Change and educational innovation: The case for action research.

International Conference on Innovation in Education. Universiti Sains Malaysia.McKernan, J. (1991). Curriculum action research: A handbook of methods and resources for

reflective practitioner. London: Kogan Page Ltd.Mc Niff, J. (1988). Action research: Principles and practices. London: MacMillan Publisher Ltd.McRoy, R., Flanzer, J.P., & Zlotnik, J.L. (2012). Building research culture and infrastructure.

Oxford University Press.McTaggart, R. & Kemmis, S. (1982). The action research planner. Victoria: Deakin University

Press.OECD (2004). ICT, e-business and SMEs. Paper prepared for the 2nd OECD Conference of

Ministers responsible for SMEs, Istanbul, Turkey, 3-5 July.OECD (2011). Higher education in regional and city development: State of Penang. OECD

Publication.Palispis, E.S. (2010). Transformational leadership for organizational effectiveness. Trinitian

Scholar, 1, 16-20.Plsek, P. E. (1997). Creativity, innovation and quality. Irwin Professional PublishingRabe, C.B. (2006). The innovation killer. AMACOM.Stenhouse, L. (1975). An introduction to curriculum research and development. London:

Heinemann Educational Books.

Page 15: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

8

Valery, N. (1999, February 20). Survey of innovation in industry: Industry gets religion. TheEconomist.

Vest, C.M. (1997). Stewards of the Future: The evolving roles of academia, industry andgovernment. Report of the President for the Academic Year 1996-97. MassachusettsInstitute of Technology.

Webb, S. & Collette, J. (1973). New Zealand society: Contemporary perspectives. Sydney: JohnWiley & Sons.

World Intellectual Property Indicator (2010). Global R&D Funding Forecast. WIPO.Zeichner, K. & Noffke, S. (1998). Practitioner research. In V. Richardson (Ed.), Handbook of

research on teaching (4th edition). Washington, DC: American Educational ResearchAssociation.

Page 16: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

9

Interpretive Structural Modeling Of Mlearning Curriculum

Implementation Model Of English Language Communication Skills For

Undergraduates

Muhammad Ridhuan Tony Lim Abdullah

Management & Humanities Department

Universiti Teknologi Petronas

Malaysia

[email protected]

Saedah Siraj

Faculty of Education

University of Malaya

Kuala Lumpur, Malaysia

[email protected]

Asra

Faculty of Education

University of Malaya

Kuala Lumpur, Malaysia

[email protected]

Zaharah Hussin

Faculty of Education

University of Malaya

Kuala Lumpur, Malaysia

[email protected]

Abstract: In the field of distance education, learning mediated through mobile technology or

mobile learning (mLearning) has rapidly building a repertoire of influence in distance

education research. This paper aims to propose an mLearning curriculum implementation model

for English Language and Communication skills course among undergraduates using Interpretive

Structural Modelling (ISM) technique. The model was constructed to complement the formal in-

class learning in view of mLearning as a solution to cater the diverse undergraduate language

learning needs. The ISM technique was used to integrate selected expert views to develop the

model which was generated through ISM software. The model consists of a network of mobile

language activities and in-class activities determined prior to the development of the model

through focus group activity. Findings of the study resulted in an interpretive structural

model of a network of mobile language activities weaved into in-class activities which could

dynamically illustrate how undergraduate language learners with different learning needs could

be solved collaboratively via mLearning. The model was further evaluated to be refined by the

experts. Interestingly through the evaluation, the experts found out that the activities in

the model could be classified into three main domain: Knowledge Input activities, Enabling

skills activities, and Evaluation and Reflection activities without disrupting the

relationships among the activities. Based on the relationships, the activities were also

categorized into four groups: Independent activities (n=9), Linkage activities (n=3),

Dependent activities (n=12), and Autonomous activities (n=0) according to their driving power

and dependence power. This categorization of the activities further complements the domain

classification of activities in guiding the curriculum implementers through how an activity or

a group of activities influence or depend on other activities which is vital, for example in

determining sets of appropriate mobile learning and in-class activities for a particular

lesson to fulfill the course outcome in optimally aiding more students to achieve their

individual learning targets.

Key words: mLearning, Interpretive Structural Modelling, curriculum implementation

model, communication Skills

Page 17: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

10

IntroductionLanguage learning differs from other subject in the curriculum as

learning a language requires integration and fluent application between the

explicit learning of vocabulary and language rules with unconscious skills

development (Milton, 2006). This implies that language learners need to

master both grammatical knowledge and fluency. As it may be feasible to

acquire knowledge in grammar in the formal classroom, it is not always true

for fluency. It is often difficult to provide enough time and space in the

classroom for every students to develop fluency especially a few hours of

lessons per week may fail to provide meaningful exposure required for all

students to learn. The general large numbers of students in a language class

in the higher education would further limit individual students’ contact

hours with their lecturer. To add to this difficulty, most language

instruction is still based on drill and exercise principles, discarding

fluency and language competence out of classroom practices. In the

universities, English courses offered consist of two major types: a) English

for competency (EFC), for example English as a Second Language (ESL), English

as a Foreign Language (EFL), English as Additional Language (EAL) and others;

b) English for Specific Purposes (ESP), for instance Business English,

English for Science and technology (EST), Professional and Communicational

Skills, and others. Except for students who opt for EFC as their major field,

most of the English courses for students who chose to have their major in

engineering, medicine, business, science, law, philosophy, psychology, and

other fields would be offered ESP which generally aimed for professional

conduct of students for future job environment in their respective field. The

main ESP courses would be based on communication skills (both in writing and

in speaking skills). Undergraduate students are expected to be proficient in

written and spoken language as the nature of ESP concentrates more on

language in context related and integrated in their subject matter compared

to EFC which focuses especially on grammar and language structures. However,

due to factors like time and lecturer-student ratio, ESP lecturers generally

would hardly commit in solving students language proficiency problems,

instead, fulfilling the university ESP syllabus. Often, students who are

still chained to their inability to express themselves competently compared

to their peers who are more proficient in English language would have to deal

with their handicap while undergoing their required undergraduate ESP

courses. They would have to struggle harder in making sure there are no

fundamental grammatical errors at undergraduate level in submitting their

English academic articles, or no unacceptable mispronunciations and grammar

slips in presenting their oral presentations. Ideally compared to their more

proficient and competent peers, the less proficient and competent students

would need more time, space and personal guidance or tutoring to help them to

at least be able to perform appropriately in class and later in future job

environment. However, as indicated here, it is not possible for the lecturers

to fulfil these students’ needs due to time and logistic constraints.

Since mobile devices and technology which are readily afforded by the

present generation of students, interaction among them is facilitated by

social networking unlimited by time and space. Interaction among students of

new generation has taken a new form where personal data and mutual interests

could be shared and published through robust social softwares ((Isman,

Page 18: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

11

Abanmy, Hussein, and Al Saadany, 2012). Mobile Learning (mLearning)or

learning mediated through mobile devices and technology coupled with robust

mobile interaction environment could offer a viable solution to students to

access aid in fulfilling their learning goals or solving their language

learning problems. In addition, past researches have evidently stressed on

the positive effect of mLearning on students’ learning. For example, a

mobile learning tool (MOLT) developed by Cavus & Ibrahim (2009) shows that

undergraduate students enjoyed and are able to learned new vocabulary using

Short Message Service(SMS) text messaging through their mobile phones. It is

even indicated in another study that mobile phones is more effective as a

vocabulary learning tool compared to traditional vocabulary tool (Basoglu &

Akdemir, 2010). Besides these, other past researches has evidently pointed

out that mLearning is very effective in teaching and learning. In one study

conducted by Saran Cagiltay and Seferoglu (2008), mLearning via mobile phone

is found to enhance students ‘language skills in the English Language with

the incorporation of multimedia use mediated by the mobile device. Students

are reported to be more motivated to learn the language even during their

leisure hours. The study also revealed that MMS and SMS aided effectively in

improvement and retention of vocabulary among the students. Another

interesting study involving illiterate students found mLearning as a key

success in the ability of the students to read and write (Collet & Stead,

2002; Traxler, 2007).

In the context of the study described in this paper, through

synchronous and asynchronous mobile communication, students could gain help

in improving their language competence through social networking beyond

classroom hours anytime and anywhere. The flexibility of learning which allow

students to participate and manage their own learning here stresses the role

of the online environment (Isman, 2004) provided by the mobile communication

technology. To add, through mLearning as complement to formal classroom

learning, students could facilitate own learning (learner’s autonomy) and

indirectly allowing a sense of ownership. Sense of ownership is about giving

choices in learning and this motivates students to learn as they could do

things which they chose to rather than being told to do so(Truby, 2010;

Dlodlo, Tolmay, and Mvelase,2012) although this means that the customary role

of teacher-student is challenged where students take charge of the learning

process instead of the teacher (Isman et al, 2012).

In short, in this study, employing mLearning not only could be

regarded as a complement to formal classroom learning but also to augment

classroom learning(Quinn, 2011; Terras and Ramsay, 2012). Learning activities

which are engaged in the classroom could be continued and developed through

mobile interaction beyond classroom walls and time, facilitating more

students to fulfil course learning outcomes despite of students’ individual

different learning needs. As a solution, mLearning could help more students

especially the low achievers to improve their language competence and

communication skills. However, how mLearning is viable as a solution would

depend on how it should be implemented. Thus, holding to the idea of

mLearning as a solution to aid students to achieve their language learning

needs, this study seeks to develop an mLearning curriculum implementation

model to overcome language learning needs in an English communication course

among undergraduates. The curriculum implementation model would consist of a

Page 19: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

12

network of language learning activities connecting both mobile language

learning activities and formal classroom activities. The language learning

activities would be selected by a panel of experts. Identifying the

activities alone is not adequate without determining the relationship among

the activities in guiding both teachers and learners to fulfil course

learning outcomes through collaborative interactions.However, determining the

appropriate learner’s activities in mobile environment alone especially in

augmenting formal classroom learning could prove a daunting task as the

learning situation is complex and dynamic. It would require a great deal of

time and commitment to investigate each activity proposed before it could be

selected. The task would further become complex as the relationships among

the activities selected need to be investigated in order to produce practical

guide for implementers to implement a mobile learning language initiative to

aid learners to achieve their learning goals. Thus, based on the

circumstances discussed above, Interpretive Structural modeling (ISM) was

employed because not only it could facilitate investigation into the

relationships among the learning activities but an overall structural model

could be extracted based on the relationships for the intended mLearning

curriculum implementation.

THEORETICAL FRAMEWORK

In the development of the mLearning curriculum implementation model,

this study employs Vygotsky’s Zone of Proximal Development (ZPD) (1978) as

learning theory to guide how undergraduate students seek and gain assistance

in the mlearning process through interaction. ZPD is one of the three major

themes in Vygotsky’s Social Development Theory (1978). According to Social

Development Theory, Vygotsky envisages that social interaction precedes

development where consciousness and cognition is the end product of

socialization and social behavior. Vygostky defines the ZPD as “The distance

between the actual developmental level as determined by individual problem-

solving and the level of potential development as determined through problem-

solving under adult guidance or in collaboration with more capable peers”

(Vygostky, 1978:86). In other words, referring to Figure 1, ZPD is the

distance between the most difficult task someone can do alone and the most

difficult task someone can do with help (Vygotsky in Mooney, 2000:83).

Figure 1. Zone of Proximal Development

Zone of

Proximal Development

Skills too difficult for a child to

master on his/her own, but that can be

done with guidance and encouragement

from a knowledgeable person.

Learning

What is

known(A)

What is

known(B)

Page 20: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

13

In his theory, Vygotsky stresses that interaction is vital for a

learner in the edge of learning where the learner can benefit from the

interaction to enhance his or her learning achievement. He stresses that

interaction between the learner and other more skilful peers could

effectively aid in developing the learner’s skills and strategies. In the

context of this study, lecturers may include cooperative language activities

where skilful peers could help less competent language learners within the

learners’ zone of proximal development. Now, these more skilful peers are

what Vygotsky terms as the More Knowledgeable Other (MKO). MKO is an

important concept that relates to the difference between what a student can

achieve on his own and what the student can achieve with the guidance and

encouragement from a more skilled partner. This concept implies that not

necessarily higher interlocutors such as lecturers or instructors but other

students qualify to be the MKO too. However the MKO may not necessarily be in

human form. As an example of this, John Cook (2010) presents an augmented

context for development mediated by mobile phones in reconceptualizing

Vygotsky’s notion of ZPD. He argues that the context of learning for the

century is augmented and accelerated by mobile devices and technologies

through new digital tools and media. This actually supports augmentation as a

fundamental way in conceptualizing mLearning (Metcalf, 2006 in Quinn, 2011;

Quinn, 2011).

In order to guide the selection of appropriate mobile learning language

activities for the model, the study employs the SAMR model developed by Ruben

R. Puentendura ( ). The model was developed by Puentendura to view how one

should use or incorporate educational technology. It is also a system to

measure the level of technology usage in education. The model aims to assist

teachers in the design and development of technology based learning to

enhance learning experiences among students to reach their highest potential.

The model consists of 4 stages: Substitution, Augmentation, Modification, and

Redifinition as shown in Figure 2. Coincidentally, SAMR itself is an acronym

of the stages.

Figure 2. SAMR model

The model is employed in this study in view of sustainability incorporation

of technology in education. From the model, we could understand that if a

Page 21: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

14

technology is employed merely to do the same things differently, the level of

use is only at substitution level. For example, if the current practice

involves students referring to science articles from books for information,

and if this practice is replaced by referring the articles on websites using

a computer, the level of technology use is only at substitution level. The

use at this level though is essential may not sustain once the novelty of

referring to the internet information wears off. This explains why certain

technology incorporations in the formal classroom in the past only sustain

for a short period as the use of technology were not developed to higher

level of use based on the SAMR model (Figure 2). The authors proposed the

selection of mLearning activities by the experts to be guided by the model to

determine activities which satisfy all levels of use in the modelto

incorporate better mLearning in mainstream learning.

Method

The focus of this research is the development of Interpretive

Structural Mlearning Curriculum Implementation Model of English Language

Communication Course for Undergraduates. The development of the

implementation curriculum model is based on the integrated view and decision

of a panel of selected experts. Thus, the study employs the Interpretive

Structural Modelling(ISM) to develop the model. ISM was first proposed by J.

N. Warfield (1973a; 1973b; 1974a; and 1976). Warfield (1982) described ISM as

"a computer-assisted learning process that enables an individual or a group

user to develop a structure or map showing interrelations among previously

determined elements according to a selected contextual relationship'. It

could also be viewed as a management decision-making tool that interconnects

ideas of individuals or groups to facilitate thorough understanding of a

complex situation through a map of relationships between many elements

involved in the complex decision situation (Charan et al, 2008). ISM is

interpretive because it involves judgment whether there are relationships

among elements and if so how they should be connected. The method is

structural because an overall structure could be generated using the

relationships among the elements. Finally, it is a modeling technique because

the overall structure and the relationships among the elements could be

illustrated in a graphical model. The various steps involved in the ISM

technique are:

(1). Identifying elements which are relevant to the problem or issues. In

this study, the authors employed a modified Nominal Group Technique (NGT) to

identify the elements. The classic NGT (Delbecq, 1975) is an iterative

process to integrate multiple individual opinions to reach a consensus in

prioritizing issues. In this study, unlike the classic NGT which involves

time consuming process of elicitation of ideas from scratch, the modified NGT

employed by the authors begins with a short survey of pre-listed mlearning

activities. Not only the list offers a description of the scope of the

outcomes the study, it guides the experts a starting point of idea to begin

with. This shortened the NGT process from 4 hours to 90 minutes. In response

to the survey, experts could agree or disagree with the list of activities.

The activities which reach positive consensus would be included in the model.

Page 22: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

15

The experts would then present additional ideas on the activities which deem

fit for the model. In the scope of this study, in developing a model for

English Language Communication Course for Undergraduates, the authors chose

to develop it for 'Professional Communication Skills (PCS)' course, an

undergraduate English Language course offered by a private university. It is

a compulsory subject to be taken in fulfillment of a four year undergraduate

study among engineering students. This course emphasizes the theory and

practice of professional communication at the interpersonal level, in teams

and to a large group. The course serves to build upon the students’ academic

and professional knowledge acquired through other core engineering or

technical courses and aim to enable them to be highly effective in expressing

themselves and in imparting their professional and technological expertise in

a variety of jobs, business and professional settings. The modified NGT

involves selected experts from the university as well as from other

institutions. The experts consist of four (4) Content Experts who are course

instructors of PCS from the private institution, two (2) Information

Technology or mLearning experts, one policy stakeholder of the institution

and one curriculum expert.

(2). Determine the contextual relationship and relation phrase with respect

to how the learning activities (elements) should be connected with each

other. The contextual relationship defines what is to be accomplished (goal)

and any boundary conditions or constraints along the way. In other words, the

context provides focus on how the learning activities need to be connected

while constructing the ISM. The PCS course outcomes were used to determine

the context for the relationship of the activities. As a reference, the

course outcomes were:

At the end of this course, students should be able to:

1) apply the principles and practices of professional oral communication

skills.

2) present information confidently, accurately and fluently in a variety of

professional, business and social settings.

3) persuade effectively in a variety of professional, business and social

settings.

4) communicate interpersonally, and work effectively individually and in

teams.

In short the course outcomes aim to produce students who are competent in the

language and effective as communicators in the professional settings.

The relation phrase determines how the relationships between learning

activities are analyzed during construction of the ISM.The contextual

relationship and the relation phrase were determined by the consensual

experts’ opinion on how the activities (elements) should be connected.

(3). Develop a structural self-interaction matrix (SSIM) of the learning

activities which shows the connection among elements. This was conducted

using the aid of ISM software developed by Concept Star of Sorach

Incoporation. Pairs of elements would be displayed by the software to allow

the experts to decide through voting on the relationship before the next pair

Page 23: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

16

of elements was displayed. This process was repeated until all the elements

being paired for relationship.

(4). Generate the ISM model. This was done by the software after the pairings

of elements was successfully conducted. The software derives the model based

on the concept of pair wise comparison as and transitive logic. Transitive

Logic states that for any 3 elements (A, B, C) with a given relation when:

• A has the relation to B, (written A→ B),

• And B has the relation to C, (written B→C), • Then A has the relation

to C, (written A→C or A→B→C).

(5). The model was then being reviewed by the experts to check for conceptual

inconsistency and making the necessary modifications.

(6) Thefinal model was then presented after the necessary modifications were

made.

(7). Based on the final model, the learning activities were also classified

according to clusters according to their driving powers and dependency. Steps

(6) and (7) are essential in the analysis and interpretation of the model.

Figure 1 shows a flowchart of the steps presented above to describe the

methodology used for this study.

Figure 1. Flowchart of development of mLearning curriculum implementation model

Step 1- Identifying

elements for the

model via Nominal

Group Technique

Step 2-Determine

Contextual

phrase and

Relation phrase

Step 3-

Develop SSIM

using ISM

Sofware

Step 4-

Generate

ISM model

Step 5-Reviewing

the model for

concept consistency

and making

necessary

modifications

Step 7- Develop and

partitioning of reachability

matrix for the elements.

Step 8-Clustering

elements (learning

activities) into

driving powers and

dependency domains.

Step 6-Final Model

Identifying

elements and

develop SSIM

Develop

mLearning

Curriculum

ImplementationMo

del

Analysis and

interpretation

of the model

Page 24: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

17

Results

Findings from Step I

Table 1 shows the experts collective views on the learning activities which should be includedin the development of the mLearning curriculum implementation model via Nominal GroupTechnique.

Table 1Experts’ agreement on the elements (learning activities) to be included in the mLearningCurriculum Implementation model.

Learning activities Median Mode IQR

1 Attend in-class lectures on effective communication. 5 5 0

2

Access and listen to lectures about effective communication

on podcasts through mobile devices. 5 5 0

3

Search and browse for information on effective

communication, competence and technical use of devices

through mobile devices. 5 5 1

4

Listening to or reading online micro information on

effective communication, competence (grammar) or technical

use of mobile tools and devices through 'push' technology

via mobile devices. 5 5 1

5

Develop 'mobile tags' for information and knowledge on

communication, language competence and technical use of

mobile devices via QR code or social bookmarkings. 5 5 0

6

Record and upload presentations to illicit comments from

lecturers and peers via mobile devices 5 5 1

7

Video conferencing with other students and/or the lecturer

via mobile devices to improve communicative and competence

skills 5 5 0

8

Online group discussions on task given by lecturer via

mobile environment. 5 5 1

9

Establish 'learning contract' to be fulfilled through both

in-class and informal (online and mobile) learning

activities 5 5 0

10

Forming separate online small groups (social blogs) to

discuss shared topics in-class or mobile 5 5 0

11

Forming separate online small groups (social blogs) to

discuss and solve shared problems in language, communication

or presentation. 5 5 0

12

MENTORSHIP to help students or group of students by lecturer

or by other more capable 5 5 0

13

Synchronous or asynchronous mLearning FORUM on specific

communication or competence issues 5 5 1

14

Collaborative redesign of in-class language activities to

improve communicative or competence skills 5 5 0

15

Collaborative redesign of method to improve specific

communicative or competence skills 5 5 0

16

Playing mobile language games either individually or in

groups. 5 5 1

17 Learning through modelling 5 5 0

18

Search and browse information for content to be used for

presentation materials 5 5 1

Page 25: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

18

19

Synchronous online evaluation on students' presentation

through mobile devices by the lecturer 5 5 0

20

Synchronous online evaluation on students' presentation

through mobile devices by other students 5 5 0

21

Asynchronous online evaluation on students' presentation

through mobile devices by the lecturer 5 5 1

22

Asynchronous online evaluation on students' presentation

through mobile devices by other students 5 5 0

23

In-class evaluation on students' presentation by the

lecturer 5 5 1

24

Reflection on what students have learned and establish new

learning target to develop new or higher

communication/language skills 5 5 0*IQR- Inter-quartile range

Based on the Table 1, The Nominal Group Technique session reveals that the

experts consensually agreed on all the learning activities (elements) as

listed in the table for the construction of the structural model :

Findings from Step 2- Based on the PCS course outcomes and the learning

activities agreed upon, the experts identified ‘In order to enable more

students especially the lower performance ones to be language competent and

effective communicators, the learning activity MUST be conducted BEFORE

learning activity…’ to guide through the SSIM process as the contextual

phrase for the study while the phrase ‘MUST be conducted BEFORE’ is the

relation phrase to relate the elements of the model.

Findings from Step 3, 4, 5, 6- These steps aims to develop the model through

experts’ decision on the relationships of the elements using pair wise

technique with the aid of the ISM software as discussed earlier in the

methodology section. After the model being generated, the model was reviewed

by the experts and the final model is shown in Figure 2 below.

Page 26: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

19

Figure 2. Interpretive Structural Modeling(ISM) based Mlearning Curriculum

Implementation Model of English Language Communication Skills for Undergraduates

Enabling Skillsactivities

EvaluationandReflectionactivities

KnowledgeInput Skillsactivities

Page 27: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

20

Although mLearning could be used to deliver full courses, but the primary

advantage of mLearning is about performance support and complementing

learning (Quinn, 2011). In line with this concept, the model should be a

guide on how formal classroom learning and informal mLearning could be

bridged as a solution to a wide range of learners’ learning needs in

undergoing a language course like Professional and Communication Skills

Course (PCS)-an undergraduate course which was selected by the authors for

the study. The model is structural in nature which was developed

interpretively by experts constructed through a network of relationships

among the learning activities identified as elements of the model. The

relationship among the activities was based on the contextual phrase and the

relation phrase determined earlier in step 2 of the study. The learning

activities, the contextual phrase, and the relation phrase were determined

according to the course outcomes of the PCS.

Briefly, the model can be divided into three domain of implementation

of activities: a) the Knowledge input activities; b) the Enabling skills

activities; and c) the Evaluation and the reflection activities. Based on the

contextual and the relation phrase (as mentioned in findings of Step 2), the

arrows show the flow from one activity to another activity as sets of

sequence activities in the implementation of the three domains which

interrelated with each other to form an overall structure of sequence

activities for the whole mLearning curriculum implementation. For example,

activities 9 or 10 need to be conducted before activities 8, 16, and 17. The

activities which share a single box such as learning activities 1 and 5, 7

and 18, 6 and 13, and 19 and 23 means that the activities could be conducted

in any sequence or concurrently as the pairs of activities complement each

other. To explain on how this model could be further interpreted and used as

a guide, the reachability matrix of the learning activities need to be

developed to classify the learning activities as presented in the following

steps 7 and 8.

Finally based on the model, the reachability matrix and the level

partition of reachability matrix as shown in Figure 2, Table 2, and Table 3

respectively, the learning activities are further classified according to

clusters based on their driving power and dependence power. The

classification are divided into four categories (Mandal and Deshmukh, 1994):

a) Autonomous activities; b)Dependent activities; c) Linkage activities; and

d) Independent activities as shown in Figure 3.

Referring to Figure 3, it is observed that learning activities 9 and

10 share a driving power of 16 and dependence power of 1 and thus, they are

positioned in the box which corresponds to a driving power of 16 and a

dependence power of 1. The aim of this classification of learning activities

is to analyze the driving power and dependence power of the activities. The

first cluster which is the Autonomous activities cluster classifies

activities which have both weak driving power and dependence power. This

means that any activities classified under this cluster are relatively

disconnected from the mLearning curriculum implementation. However, based on

Figure 3, there is no activity under this cluster for the present study. The

second cluster consists of Dependence activities that have weak driving power

but strong dependence power. Learning activities 6, 7, 11, 13, 18, 19, 20,

21, 22, 23, and 24 are classified in this category. The third cluster or the

Page 28: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

21

Linkage activities consists of learning activities that have strong

dependence and driving power. The learning activities 8 and 12 fall into this

category. The final cluster consists of Independent activities. Learning

activities which fall into this cluster have the highest driving power but

with weaker dependence power. Nevertheless, activities under this cluster

need to be conducted before other activities. As observed in Figure 3,

learning activities 1, 2,3,4,5, 9, 10, 14, 15, 16, and 17 are classified

under this category.

22

21 1

,

5

20

19 2

18 4

17 3

16 9

,

1

015 17 14

,

15

14 16

13

12 8

11 12

10

9

8 7,

18

7

6 21 11 6,

13

5

4 19

,

23

3 20

2 22

1 24

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Figure 3. Cluster of Learning Activities for mLearning Curriculum

Implementation Model for English Communication Skills Course.

Discussions

The levels of the learning activities as presented in the findings of Step 7

and the cluster classifications of Step 8 above are the most important

sections in understanding of successful mLearning curriculum implementation.

DR

IVIN

G P

OW

ER

DEPENDENCE

AUTONOMOUSACTIVITIES

LINKAGESACTIVITIES

INDEPENDENTACTIVITIES

DEPENDENTACTIVITIES

Page 29: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

22

The driving power and the dependence power as presented in the driving power-

dependence diagram in Figure 3 give valuable insights in the importance and

the interrelationship among activities. For example, if we would to solely

rely on the model in Figure 3, we would assume that to implement the

mLearning curriculum, we should begin with the Knowledge Input activities

(activities 1 and 5) followed by subsequent activities below them. However,

based on Table 4, the activities ‘Establishing learning contract’ (activity

9) and ‘Forming separate online small groups (social blogs)’(activity 10)

are positioned at the highest level 16. This indicates that these activities

are the most important activities due to their high driving power and low

dependence power among all identified learning activities in the

implementation of mLearning curriculum for PCS. These activities are

identified as the main driving factors in initiation of the rest of other

mLearning activities and interestingly they fall under the ‘Enabling skills

activities’ domain in the model (refer to Figure 2). In other words, in

terms of importance, activities 1(Attend in-class lectures on effective

communication) and 5 (Develop 'mobile tags' for information and knowledge) of

Knowledge Input domain come only second at level 15. Knowledge input is

about delivering content. Though mLearning could be about content delivery,

but it is not everything about content (Quinn, 2011). According to Quinn, as

it is interactive, mLearning should be more on communication, connecting

learners with the right people and resources when and where it is most

needed. In learning instruction, it is critical in giving help to learners

when and where it is needed and this is the main advantage of mLearning over

other technology-based learning. Coincidently, parallel to this concept of

mLearning, activities 10 and 9 are more on establishment of communication

ground among learners through forming online social blogs and self-management

of learning process via learning contracts. These are the activities proposed

to be conducted at the beginning of the mLearning curriculum implementation

before other activities. However, the course instructor could opt to conduct

these activities concurrently with content delivery (activities 1 to 5- refer

to Table 4).

Another point that we could observe is that learning activities 1 to 5

and 9 to 10 as discussed above are integration of formal and informal

learning. For example, activity 1 is an in-class formal learning activity but

pairing with it is activity 5, an informal learning activity where students

collaborate to develop knowledge inputs in the form of mobile tags. This in a

way complements the formal learning activity 1, where students assist the

lecturer in augmentation of input through mobile context. Though the content

in activity 5 could be accessed informally, but the activities to develop the

tags could be done as formal learning if it is conducted in-class. However,

as discussed earlier, what is more important than content delivery are the

learner centeredness and communication aspects o the learning activities in

augmenting formal learning experience as proposed through learning activities

9 and 10. While activity 9 allows learners’ autonomy to manage own learning

experience through learning contracts, activity 10 establishes online

communication ground, for example through social blogs among learners to

extend in-class discussion anytime and anywhere, not only to obtain

information but also in collaborative negotiation of knowledge.

Coincidentally, collaborative negotiation of knowledge strives in continuous

Page 30: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

23

communication and here mLearning would serve as an ideal medium. In terms of

connection with subsequent activities in the model, these activities

(activities 9 and 10) set as a vital precedent in overall successful

implementation of mLearning. For example, the establishment of social

communication environment in activity 10 is important as grounding for the

implementation of activities 8 (Online discussions on task given), 16

(collaborative online language games), 12 (Mentorship), 7 (Video conferencing

among learners), 6 (Record and upload presentations to illicit comments), and

evaluation activities (activities 19 to 24).In short learning activities in

the Independent cluster (Figure 3) are the most important activities as they

have great influence on other learning activities. These activities are

situated at the top part of the model (Figure 2) either as Knowledge Input

activities or Enabling skills activities.

Referring back to the driving power-dependence diagram in Figure 3,

the Linkages cluster includes activities 8(Online group discussions on task

given) and 12(Mentorship). Activities in this cluster have both high driving

power and dependence power. The conduct of these activities while depending

on the upper activities (Independent activities) would influence the lower

subsequent activities of the model. In other words, linkage activities play

an important role in connecting the precedent activities and the subsequent

activities together. For example, before online group discussions on task

given by lecturer (activity 8), online social groups (activity 10) need to be

formed first. Based on the model too (Figure 3), the conduct of online group

discussion also depends on the competence and communication skills among

students which could be developed through collaborative redesign of language

activities (activity 14) and collaborative redesign on method (activity 15)

as proposed in the model. Activity 8 would lead to proper mentorship

(activity 12) for needy students, video conferencing (activity 7) for further

discussion on tasks or lead to collecting further content materials for

presentations (activity 18) based on what transpired in the online

discussions. Furthermore, along the learning process, students who need

further assistance during the online discussion would be led to form separate

online groups to solved shared learning problems (activity 11).

Learning activities which are in Independent activities and Linkages

activities cluster are also known as strategic activities. These activities

play a key role in the implementation of mLearning in augmenting the

conventional classroom learning experience. Hence, activities in these

clusters require greater attention by the course instructors. The next

cluster in the driving power-dependence diagram (Figure 3) would be the

Dependence cluster. Learning activities classified in this cluster have weak

driving power but with strong dependence power. In this study, activities

6,7,11,13,18,19, and 20 to 24 fall under this cluster. The final cluster as

shown in the driving power-dependence diagram (Figure 3) is the Autonomous

activities cluster. Activities which are classified under this cluster have

both weaker driving power and dependence power relatively to activities in

other clusters. Autonomous activities do not have any influence in the

implementation of mLearning curriculum or somewhat detached from the whole

system. However, in this study, there is no activity under autonomous

cluster. This indicates that the course instructors need to pay attention to

all 24 activities as they individually and connectedly have influence to the

Page 31: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

24

implementation of mLearning curriculum for English Language communication

skills course.

In terms of the attaining the PCS course outcomes, the classified activities

as discussed above were based on experts’ collective decision with reference

to the course objectives as mentioned in the Findings section (page ). Thus,

the model derived would guide how the learning activities individually and

interconnectedly help in aiding the learners to achieve the outcomes.

However, the activities are not exclusively implemented to serve a particular

course outcome. An activity or a set of activities would help fulfilling

multiple course outcomes during the learners’ learning process. For example,

learning activities 1 and 5 or 2 to 4 are essential as input knowledge for

the first course outcome ‘apply the principles and practices of professional

oral communication skills’ and activities 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 17,

and 18 would help develop students’ skills further in applying the PCS

principles and practices, while activities 6, 13, 19, 22, 23, and 24 would

gauge to what extend students could apply the communication skills. But these

sets of activities apply too to fulfill the other course outcomes. Besides

the classification of activities as discussed above, we could also observed

that the activities could also fall into types of technology based learning

activity as described in the SAMR model (Figure 2) as shown in Table 5.

Table 5. Distribution of Learning activities to SAMR stages.

SAMR Model stages MLearning Curriculum Implementation Model

Learning Activities

Substitution 2, 3, 4, 19, 20

Augmentation 8,10,11, 12, 18, 21,22

Modification 5, 9, 14, 15

Redefinition 6, 7, 13, 16, 24

As proposed in the SAMR model, the learning activities should allow function

of technology use (mobile devices and technology) according to all stages as

shown in Table 5 to optimize the full capabilities of the technology in

aiding the students to fulfil their diverse learning goals as well as the

course outcomes to help them to reach their highest potential.

Conclusion

The key significance of employment of technology in education is not about

how exciting it is in doing things differently compared to conventional

practice. Although immediate and positive impact could be realized in the

introduction of certain technology and its convenience value is highly

appreciated, the key significance in the end is about sustainability. Formal

classroom learning has a long history since its introduction as new learning

technology replacing the informal education in the past. Back then, learners

have to travel far to meet teachers to acquire knowledge. When, formal

schooling was introduced, it gave immense positive impact and revolutionized

learning and reshape communities and societies globally till to the present.

Formal schooling sustains till today not primarily due to its impact or

Page 32: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

25

convenience but because it became a solution to the learning needs at large.

It solves learners’ global problems in attaining knowledge where they do not

have to travel far and frequently to meet their mentors anymore. Schools were

formed as an institution to gather learners and teachers at one place and

this act as a solution. The same notion should apply too in the incorporation

of technology in mainstream education, which is it should be incorporated as

a solution. However, whether technology could be a viable solution, it

depends on how it is implemented. Thus this study was conducted to describe

how mLearning as new technology tool of learning could be used as a viable

solution in aiding learners to achieve their learning goals. This is

accomplished through developing an interpretive structural curriculum

implementation model to guide how mLearning could augment formal classroom

learning in catering the learning needs of undergraduate students especially

the low to intermediate level achievers. The model as discussed in this paper

not only shows how mLearning could be implemented but further describes

formal and informal learning could be bridged as a solution to cater the

students’ learning needs. In the process, the model redefines what is

mLearning as a tool to augment learning and as performance support (Quinn,

2011; Terras and Ramsay, 2012) rather merely as a system to deliver a course.

In directing the development of the model, Vygotsky’s ZPD was employed as

theoretical framework on selection of appropriate learning activities to be

included in the model. Based on the framework, learning activities which are

selected should describe how students could interact and collaborate with

each other to learn and how they could be aided to achieve their learning

goals with the help of others. Besides this, the learning activities should

also involve the full capabilities of the mLearning technology. Thus, the

SAMR model was employed to guide the experts in selection of relevant

learning activities which accommodates all four (4) stages (refer to Figure

2). As discussed earlier, learning activities beyond substitution level would

significantly justifies the incorporation of technology as activities in

subsequent stages (Augmentation, Modification and Redefinition) describes

activities which could not be accomplished by the conventional formal

classroom but very relevant in aiding the students to reach their highest

achievement. Although the model guides how mLearning could be implemented

specifically for language learning among undergraduates, the study could

contribute as a proposal on how mLearning implementation models could be

developed for other areas of learning disciplines for other types of learners

learning using mobile technology-one which is sustainable.

References

Basoglu, E. B., &Akdemir, O. (2010). A comparison of undergraduate students’ Englishvocabulary learning: usingmobile phones and flash cards. The Turkish OnlineJournal of Educational Technology, 9(3), 1-7.

Cavus, N., & Ibrahim, D. (2009).M-Learning: An experiment in using SMS to support learningnew English language words, British Journal of Educational Technology, 40(1): 78-91.

Charan, P. Shankar, R & Baisya, R.K.( 2008). Analysis of interactions among thevariables of supply chain performance measurement system implementation.Business Process Management Journal, 14(4), 512-529.

Page 33: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

26

Collett, M. & Stead,G.(2002). Meeting the challenge: producing M-Learning materials foryoung adults with numeracy and literacy needs, presented at the European Workshop onMobile and Contextual Learning. Birmingham, UK, 2002.

Cook, J. (2010). Mobile phones as mediating tools within augmented contexts for development.in Pachler, N. (ed) Mobile learning in the context of transformation. Special Issue ofInternational Journal of Mobile and Blended Learning.

Delbecq, A. L., Van de Ven, A. H., & Gustafson, D. H. (1975). Group techniques forprogram planning.Glenview, IL: Scott, Foresman, and Co.

Dlodlo, N, Tolmay, JP & Mvelase, P. (2012). Handing over ownership of schools tolearners. 4th International Conference on ICT for Africa 2012, Kampala, Uganda,21-24 March 2012. Retrieved on 24 September 2012 athttp://researchspace.csir.co.za/dspace/bitstream/10204/5967/1/DloDlo1_2012.pdf

Isman, A. (2004). Roles of the Students and Teachers in Distance Education. TurkishOnline Journal of Distance Education 4(5). Retrieved fromhttp://tojde.anadolu.edu.tr/tojde16/pdf/isman.pdf.

Isman, A., Abanmy,F.A., Hussein, H.B. &Al Saadany, M.A. (2012). Using BlendedLearning In Developing Student Teachers Teaching Skills. Turkish OnlineJournal of Distance Education 11(4). 336-345

Mandal,A. & Deshmukh, S.G. (1994). Vendor Selection Using Interpretive StructuralModelling (ISM). International Journal of Operations & ProductionManagement, 14 (6), 52 – 59.

Terras, M. &Ramsay, J. (2012). The five central psychological challenges facing effectivemobile learning. British Journal of Educational Technology, 43(5), 820–832.

Milton, J. (2006). Literature review in languages, technology and learning. Futurelab Series.Retreived on 20 October 2012 from www.futurelab.org.uk/research/lit_reviews.htm.

Mooney, Carol Garhart. 2000. Theories of Childhood: An Introduction to Dewey,Montessori, Erikson, Piaget, and Vygotsky. Redleaf Press.

Ruben R. Puentedura. (2006).Transformation, Technology, and Education. Retrieved on12 September 2012 athttp://hippasus.com/resources/tte/.

Quinn, C. N. (2011). Designing mLearning: tapping into the mobile revolution fororganizational performance. San Francisco, CA: Pfieffer

Saran, M., Cagiltay, K., & Seferoglu, G. (2008). Use of mobile phones in languagelearning: Developingeffective instructional materials. 5th InternationalConference on Wireless, Mobile and UbiquitousTechnologies in Education-WMUTE2008, p.39-43.

Traxler (2007). Current State of Mobile Learning. International Review on Research in Openand Distance Learning (IRRODL) 8, no. 2.

Truby, D. (2010). What Really Motivates Kids. Instructor, 119(4), 26-29.Vygotsky, L. S.(1978). Mind in society: The development of higher psychological processes.

Cambridge, MA: Harvard University Press.Warfield, J. N. (1973a). An assault on complexity, Battelle Monograph No 3, Battelle Memorial

Institute, Columbus. Ohio, USA.Warfield, J. N. (1 973b). 'Intent structures'. IEEE Trans on System, Man and Cybeni, SMC3(2),

133-140.Warfield, J. N. (1974). Structuring complex systems, Battelle Monograph No 4, Battelle

Memorial Institute, Columbus. Ohio, USA.Warfield, J. N. (1974b). 'Developing subsystems matrices in structural modelling', IEEE Trans

Syst, Man and Cybem.SMC 4(1), 74-80, 81-87.Warfield, J. N. (1976). Societal systems: planning. policyand complexity, John Wiley & Sons

Inc. New York, USA.Warfield, J. N. (1982). 'Interpretive structural modelling'. In: Olsen, S. A. (ed), Group

planning and problem solving methods in engineering management. John Wileyand Sons, Inc, New York, USA.

Page 34: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

27

MAXIMIZING TEACHER’S PROFESSIONALISM

Paul HamadiSEAMEO-SEAMOLEC

Definition of a Teacher

One who teaches or instructs; one whose business or occupation is to instruct others;an instructor; a tutor.

Why Education and for Who

Motivation: Education is to eliminate social ills, poverty, gender and class based inequalityDemocracy: Improve education to impirove quality of governance; on the ability of the

citizens top make informed intelligent choicesGenerally: Improve socio-economic problems, health, wealth, and wellbeing(http://enwikipedia.org/wiki/Education-reform)

A. Teacher as Educator

To educate implies development of the mind; more than formal schooling

A school either a kindergarten or an elementary is the first formal instructional place achild attends. By grace this is the place that the child’s behavior and future educationalsuccess is shaped. This level is very critical as the teacher awakens the child’s spiritwhether for positive or negative behavior. The attitudes of love, care and respectfollowed by lead and instruct of the teacher are highly on demand. A mother’s role athome is now shifted to school and carries on by a teacher. A school must be a safe and apleasant place as the cildren’s home. Their expectation!

What is your occupation? I am a teacher. What does a teacher do everyday?

A teacher or a school teacher is a person who provides education for pupils (children)and students (adults). The role of a teacher is in many cases is formal and ongoing,carried out at a school or other place of formal education. Sometimes an informal onetakes place also as in home schooling. A teacher who facilitates education for anindividual may also be described as a personal tutor.

As educators teachers should have good standard practice that teachers should abide by.Should there be a misconduct appropriate disciplinary action be taken. Teachers as otherprofessional should be properly trained for the benefit of the chindren’s education andfor the nation building. They have to have a teaching qualification or credential from acollege or a university. This is for standard reasons. Then teachers should be allowedfor further studies for their professional development and sharpen their knowledge andunderstanding in this competing world.

As educators a teacher's professional duties may extend beyond formal teaching, in theclassroom. Outside of the classroom teachers may accompany students on field trips,

Page 35: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

28

supervise study halls help with the organization of school functions, and serve assupervisors for extra curricular activities. In case of students’ misconduct, the teachershave a duty and responsibilty to discipline them. In this case the teacher is arepresentative of the parents, in another word the teacher is a loco parentesis.

What is education, then?Education begins at home: parents molding and instilling the basic behaviour (affective,psychomotor, and cognitive). Blooms Taxonomy informs all teachers about these threebehaviors:

Affective: Receiving, Responding, Valuing, Organizing,Conceptualizing, and ValueConceptPsychomotor: Imitation, Manipulation, Precision, Articulation, NaturalizationCognitive: Knowledge, Comprehension, Application, Analysis, Synthesis, Evaluation

(Remember, Understand, Apply, Analyze, Evaluate, Create)(Bloom’s Taxonomy – Wikipedia, the free encyclopedia)

The parents have a duty and the responsibilty to instill those. Failing to do that willresult counter expectation. The teacher may have hard time disciplining the child as theteacher takes from what is left by the parents. This is what we call ‘chidren taking theirhomes to school’. Instead of teaching the teachers waste the time on discplining. Whileeducating the child the teacher is supposed to teach, impart the knowledge and the skillfor future life. Thus the teacher’s main duty is to facilitate the learning. In kindergartenthe basic of teaching and learning begins in this order: psychomotor, affective thencognitive. The reason of calling that school play school. In the primary the orderchanges to: cognitive, affective and psychmotor and it stays that way in the secondaryuntil tertiary studies when the last one (psychomotor) disappears.Discipline during our parents’ days and ours were terrible. It was a punishment:corporal punishment or caning, or even detention: do extra work during recess time,lunch time or after school. Today is different, it means positive reinforcement. There arecodes and ethics that should be regulated and followed. It is assertive (firm) not strictand rigid. It is advisable that a teacher is expected to respect the student - the rights of astudent: no sarcasism and humilation. To control a class in dealing with discipline andquality outcome a class teacher should also know these three types of students: thosewho are attention seekers, motivated, and disruptive.

B. Teacher in Teaching

To teach applies to any manner of imparting information or skill so that others maylearn.A Teacher is one who teaches or instructs; one whose business or occupation is toinstruct others; an instructor; a tutor.... Anything that more precisely meets the needs of the child will work better...(Maria Montessory)

...the teaching method must be teachable ...(Montessory and Dewey)

Teaching is an instruction. Thus, a teacher provides instruction in what we call 3 Rs:Read, Write, and Arightmatic which involves art and literacy, numeracy, craftmanship(vocational training or life skills) civics and religion.

Page 36: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

29

A teacher should know the curriculum by heart. This is very essential since thecurriculum has these very important ingredients: Syllabus, Instructional Materials,Pedagogy and Assessment. The state has the task to provide these for teachers to use.This is for standard reason.

To teach a teacher should have a lesson plan according to the designed curriculum. Theteacher is to impart knowledge, skills and thinking skills. In teaching the teacherinteracts with different ages and groups, from infant to adults. Occasionally the teacherdeals with students who have different learning abilities and students who havelearning disabilities. The teaching methods vary from one lesson to the other,considering students background, environment, and learning goals or outcome.

As we face the increasing technology, particularly internet in the last twenty years, theteachers way of teaching and approach to their role of teaching in the classroomschanges.

We are reminded every time that the act of teaching is different in every level ofschooling: kindregarten, primary (elementary), secondary, and tertiary. In kindergartenand the primary the pupils are closer to the teacher as teacher acts as “loco parentesis”:the representative of the parents because the chidren stay with one teacher the wholecurriculum year in the specified classroom. Unlike the primary school, the secondaryschool students are faced with different teacher every time, depending on the subjectlearned. Not only the teacher but the classroom also changes. This also occurs in thetertiary level.

The lesson means everything for a student if the teacher is performing the act ofteaching in the most suitable way: enthusiastically. Teacher performance in the classmotivates the students to learn. Motivation wakes the students up to have a positivelearning experience. Because of the teacher’s passion in teaching, the students arereceptive as the knowledge transfers. (Bloom’s Taxonomy first level). When the teacheris energetic, full of motivation: non verbal expression, demonstrative gestures, dramaticmovements, emotional facial expressions the transfer is highly likely. The students arehighly appreciative of the teacher.

Transfering the knowledge by rote learning will not result in understanding. The resultof the assessment wil show that. Do the students learn something? .....

The three most important aspects of teacher enthusiasm are enthusiasm about teaching,enthusiasm about the students, and enthusiasm about the subject matter. A teachermust enjoy teaching. The students are able to tell if the teacher is not enjoying that. Thestudents can see also whether the teacher enjoys being with them as well as beingfriendly. A teacher who cares for the students is going to help that they succeed in theirfuture lives. The teacher also needs to be enthusiastic in teaching the subject matter.

For example, a teacher in the kindergarten shows love by hugging the children creatingwarm, secure and protective environment. In the elementary a reading passage is readmimicing the actors. In the secondary teaching the mathematics or biology precisely andenthusiastically while in the tertiary lecturing expressively and lifely. All these willspark the excitement and influence the children and student as well.

Page 37: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

30

C. Teacher in Learning

...children will never learn unless they wanted to learn ...

...compulsory learning never sticks in the mind ...(Plato in Pepublic)

A teacher facilitates student learning by using lesson plan taken out from the curriculum

In the secondary and tertiary level the students are interested to see what comes next,they are excited: they are active. The student is motivated to do the self learning:reading the course material, do some research, do some writing. The student- teacheracademic-relation becomes closer. The teacher’s ability to create effective learningenvironments that foster student achievement depends on the kind of relationship theybuild with their students. The students academic success and personal achievementrelies on the teacher-to-student interactions. Students who receive this positive influenceshow stronger self-confidence and greater personal and academic success than thosewithout these teacher interactions.

Types of Assessment

The term Assessment is generally used to refer to all activities teachers use to helpstudents learn and to gauge students progress. Assessment is generally morecomplicated and is often divided for the sake of convenience. Basically there are fourtypes of assessment:

(1) Formative and summative(2) Objective and subjective(3) Referencing (criterion-referenced, norm-referenced, and ipsative)(4) Informal and formal

A school should have two ways of assessment: Administrative (Disciplinary matters)and Academic. To have a good data to make a better decision a teacher is to hav ewhatwe call Data Driven Decision Making (D3M) system. The aim of this is to have enoughinformation at hand to know where the problems exist and how to best solve them. Databased decision making can help schools identify and correct problems: administrativelyand academically. The second benefit of the data is as the way intelligence is gatheredprior to making choices in education.

Five major elements in D3M are: (1) Good base line data, (2) Measurable instructionalgoals, (3) Frequent formative assessment (not summative), (4) Professional learningcommunities, and (5) Focused instructional interventions

D. Why Reform

Reform is to correct the failures and improve education by making (1) a FinancialParadigm Shift: to enforce financial responsibility and (2) The way decisions are madein schools.(Phil Stilton: Education, Jackson News, Opinion – March 21, 2010)

Shift from a conventional teacher centered to student centered activity. Theassessment aim is shifted to gauge the students’ development in knowledge,understanding (Bloom’s level 2) and skills for application (Bloom’s level 3). For better

Page 38: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

31

system of teaching and learning that ends with an assessment we call a SMART Goals:Specific, Measurable, Attainnable, Result Oriented, and Time bound

Every student can learn and that is the duty of every principal and teacher to find thebest wat possible to make sure this happens(Phil Stilton)A Result Oriented School is a school that incessantly asks, at every level of organizationtwo questions:

1. What evedence do we have that what we are doing is working?2. How will we respond when we find out that what we are doing is noty working?

(DuFour, Eaker & DuFour, 2005)

If educators constantly analyze what they do and adjust to get better, students learningwill improve(Mike Schomaker: 1999)

An excellent teacher is viewed as one who contributes positively to the learningenvironment by providing exceptional energy, keen interest in students, andextraordinary strengths in the following five roles in the experties of: Subject matter,Communicator, Pedagogy, Student center tutor, and Systematic and continual assessor.

As the style of teaching changes, nowadays teachers and leacturers are using what it iscalled Active Learning. The Diagrams below explain themselves what they stand for:Diagram 1 is about retention of the information imparted; Diagram 2 is about thedifference of passive and active learning; and the third about how we can activate thelearning.

1

What is Active Learning?

Time of class (min)10 20 30 40 60

% R

etai

ned

50

100

50

0

lecture

active learning

From: McKeachie, Teaching tips: Strategies, research and theory forfor college and university teachers, Houghton-Mifflin (1998)

Page 39: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

32

2

What is Active Learning?

3

What is Active Learning?students solve problems, answer questions, formulate

questions of their own, discuss, explain, debate, orbrainstorm during class

Active Learning

Problem-BasedLearning

CooperativeLearning

Learn By Doing

Inquiry-basedlearning

Teacher by Profession and in Devotion

A teacher is a friend, confidant, motivator, coach, actor and leader; but most of all, ateacher is an individual who sparks intellect and encourages students to pursueknowledge on their own.

Teaching is a noble profession. The esteem, reverence, and awe which students hold fortheir teachers is often captured in the students’ words. Proven many times over thatstudents will imitate and follow what their professional and qualified teacher did forthem. These professional and devoted teachers have a big impact in their students’ life.

Page 40: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

33

Teaching is one of the most complicated jobs today. It demands broad knowledge ofsubject matter, curriculum, and standards; enthusiasm, a caring attitude, and a love oflearning; knowledge of discipline and classroom management techniques; and a desireto make a difference in the lives of young people. With all these qualities required, it'sno wonder that it's hard to find great teachers.

A good and better teacher is one who comes to class well prepared. Teaching is nolonger one way direction. It is two way traffic. Students are involved in the teachingact. They participate in the class.

A devoted teacher has the concern for the students’ character and knowledgedevelopment; it is paramount. The style of teaching extract the shy students out of thebox. The teacher is to ask questions to gauge where the students are, whether they arefollowing the lesson, lecture or they are lost in the wilderness of high degree lesson andlecture. The students are free to air their opinion on certain matters. They are evenallowed to debate on the opinion. Sure enough one cannot debate on the facts; theopinion is.

A professional teacher enlightens the classroom. It is lifely. The free soul of the teacherinfluences them and will have a big impact for in their whole life. The teacher laughswith them, cries with them, and dance with them. The teacher finds out what thestudents hobbies are. The teacher might have a chance to play a game with those whohave the same hobbies. It is a social behavor and contagious. A teacher must be trustedby the students.

The teacher has to remember that the students come from different backgrounds,customs and traditions. The classroom is a boiling pot. The teacher is to respect andaccept them before melting them down to mold to become a cohesive force to be dealtwith. Knowing them is loving them. This is a big responsibility.

Psychologically, students could be affected if they have problems with their teachers.One of the results could be that students will avoid going to school. As professionalteachers, we do not want any conflict with the students. Teachers have the qualities tobe or become role models for students because most teachers respect, love, care,instruct, and guide their students to become a successful person.

As a teacher, our responsibility is to find out what is going on with the students in theclassroom. Children as well as students, deep in their hearts feel that teachers could helpthem but sometimes they are afraid to ask the teacher. Teachers, sometimes, are the lastperson to find out about the problem Thus, the students prefer to talk to their friendsabout their problems. Students do not seek for a teacher’s help but they rather look fortheir friend, or friendly teacher for an assistance.

Here are some quotations that you might be interested in reading.Teacher Quotations

If a country is to be corruption free and become a nation of beautiful minds, I strongly feelthere are three key societal members who can make a difference. They are the father, themother and the teacher.Abdul Kalam

Page 41: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

34

The teacher who is indeed wise does not bid you to enter the house of his wisdom but ratherleads you to the threshold of your mind.Khalil Gibran

Come forth into the light of things, let nature be your teacher.William Wordsworth

In the practice of tolerance, one's enemy is the best teacher.Dalai Lama

If I am walking with two other men, each of them will serve as my teacher. I will pick out thegood points of the one and imitate them, and the bad points of the other and correct them inmyself.Confucius

Poem Of Barbara Cage

“... A teacher teaches the entire child and helps to build confidence and raise selfesteemA teacher makes a difference in each child’s life and affects each family and thefuture of us all...”

2 Teach is+ 2 Touch lives

4 Ever

BE A PROFESSIONAL AND DEVOTEDTEACHER

SELAMAT BERTUGAS

Page 42: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

35

DECLINE OF THE SCHOOLS AND THE RISE OF LEARNINGWEBS1

Daniel Mohammad Rosyid2

Department of Ocean Engineering, ITS Surabaya

AbstractThe school walls are collapsing against the waves of the internet which disrupts allgames, including education. Universal public education can never be achieved by theschool system which was designed, conceived and structured for a different age in thepast. A well-crafted curriculum in schools can never be effective to improve education.Both schools and teachers are to adapt themselves for the new landscape or otherwiseperished because of irrelevance. A deschooling agenda through a flexible learning websas proposed by Illich 40 years ago are increasingly feasible, doable, promising, andattractive for Indonesia's future public education to ensure a demographical bonus in thenext 20-40 years.

Introduction

Recently, the Ministry of Education and Culture (MoEC) has launched a new policyinitiative for a new curriculum in 2013. It was claimed to be a major improvement to theformer Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, and also a direct responseto the poor results of Indonesian pupils performance in the most recent Programme inInternational Student Assessment (PISA), Trends in International Math and ScienceStudies (TIMSS), and Programme in International Reading and Literacy Study (PIRLS).Indonesian pupils performed badly in maths, science, and reading. Most of them are notwell-equipped with the skills needed in the 21st century such as critical and higher orderthinking.

This is the most recent MoEC attempts to improve Indonesian education by engineeringa new, "improved" curriculum. It seems that every new minister of MoEC has the habitof making a new curriculum policy in the hope to improve education. There is inIndonesia a notorious saying "Ganti Mentri Ganti Kurikulum" meaning "New MinisterNew Curriculum". This short paper will show that this most recent attempt, like theprevious ones, will be doomed to fail to deliver good public education, espescially in thewaves of the internet.

Every country on earth are now reforming their public education. The problem is theyare doing it by doing what they have done in the past (Robinson, 2010). They want toprepare their children for the future by doing what they have done in the past throughthe school system. During the last few decades, it becomes increasingly evident that theschool system has benefitted only for some. A few has done wonderfully, but manyhave not, even marginalised.

1 Paper presented at ICETA-4, February 23rd 2013, UNIPAdhibuana, Surabaya2 Daniel M. Rosyid, Ph.D is a professor, Dept. Of Ocean Engineering ITS,

Advisor to the East Java Education Board.

Page 43: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

36

Engineering a new curriculum is based on the strong believe in the school system. Inother words, the curriculum policy is derived from a school paradigm. This paper willargue that the school paradigm is now obsolete, and even a "cleverly crafted curriculumby experts right at the top in Jakarta" will not help deliver the needed public educationto ensure a demographical bonus in the next 20-40 years.

Learning : Essence of Education

Education is substantially more of learning issue than schooling, or even teaching. Withthe internet becoming ubiquitous, learning will require less schooling. If learning is aprocess of making sense of experiences and practices, learning as a cycle is basicallycomposed of four basic activities that do not necessitate school to happen.

The first is reading as information acquisition (this includes seeing and listening). Thesecond is experiencing or practicing as a means to prove information that have beenacquisited. The third is writing as a means of innovating to what have been experiencedor practiced. The fourth is speaking as a means to communicate of the innovation toother members of the community. Through this learning cycle, practices arecontinuously improved, and better tradition emerges.

What we need now is therefore not a larger and much more resource-absorbing schoolsystem with improved standards. On the contrary, what we actually need is adeschooling agenda in which learning opportunities are made much more accessible forthe general public to flexibly benefit from.

The School System

As Robinson has stated (2010), the school system was clearly a revolutionary idea toeducate the public at the beginning of the industrial revolution in the 17-18th centuryEngland. The school system was aimed primarily to prepare the young from workingclass families to labour in factories. When it was introduced in the East India (Indonesiaduring the Dutch colonization) in the late 19th century, the school system wasestablished to recruit clerks to work for the colonial Dutch.

The school is organised using a production line, batch processes, and standardizationmentality. Pupils are grouped according to their ages. Subjects (science, maths,literature, arts and phisical education) are taught independently in classes. Pupilsundergo a designed learning process called curriculum.

There was no school system before the 19th century Indonesia. There were onlypesantrens that provides diversed aspects of islamic teachings in a non-formal orinformal settings. The pesantren was more "organic" than a school system in that santriworks during the days, and learns in the afternoon. There was no clear-cut separationbetween the pesantren and its surrounding community.

In Europe and the USA, university tradition was older than the school system. Theyfocused more on liberal arts (Rosyid, 2011). Both Oxford and Cambridge preceded theschool system in England. Harvard is now entering its 400 years. Al Azhar in Egypt isnow about a millenia of age. Peoples practically educated themselves informally athome and learnt certain vocational skills through informal internship before a very few

Page 44: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

37

of them managed to be admitted into university. The rich few might go to Jesuitschools to learn academically in theology, philosophy, arts or maths.

There was a time when no school system existed but the society was not necessarily lesseducated compared to a "schooled" society which we proudly call as modern. The longtendency of schools to radically monopolize education has made our society suffered acertain level of school addiction. This is ethically unacceptable.

Good public education can never be achieved through a school system (Illich, 1971).Illich even postulated that public education will benefit from a deschooling agenda : lessschooling will lead to more education available for the general public to benefit from.Empirical evidence in a modern Indonesia at least proves Illich's postulates.

The school, espescially public schools as a nation-wide franchised education provider,has imposed a radical monopoly - to use Illich's phrase- in the education market. It eventakes away education from families at home. Families become increasingly dependenton schools to educate their children. The strategic mistake of schools are their strongtendencies to send messages and to pretend that they are the only place for education.Poor children who cannot afford to go to schools lost their self-respects thinking thatthey are not educated.

Kurikulum 2013

The newly proposed curriculum as a whole is a peak sign of schoolism currentlyidolized by the MoEC. Combined with standardized test policy of National Exam (UjianNasional), this schoolism idolatery cannot be worse. The MoEC consistently claimedthat the new curriculum is a major and much better shift from the existing KTSP.

Upon a closer observation, the Kur2013, however, is potentially recentralizingeducation sector, weakening school-based management and the role of teachers asprofessional, and worst of all, worsening the distrust by MoEC to teachers. Even thepublic discourse of the Kur2013 has effectively buried more fundamental educationproblems in Indonesia : significant teachers' incompetence, and poor educationgovernance. The process of the curriculum policy itself is a clear proof of poorgovernance : supply-driven, demand-insensitive, and central executive-heavy.

Changing curriculum and rising standards to improve education are powerful myths ofthe 20th century, if not misleading illusions. Upon a critical analysis, Kur2013 isactually nothing more than a tight diet receipt for a daily lunch in nearby warung.Kur2013 strongly assumes that by taking the diet faithfully, children from smallvillages surrounding Merauke in Papua and from a very urbanised Malang in East Javawill be equally healthy and productive. This is total nonsense.

Why? First, the cook at the warung may not be competent to process the receiptedmenu. Some of the ingredients may be difficult to find locally, or it can only beprovided from Jakarta.

Second, the cook may behave erratically, with dirty hands and plates, and the eatingtable is messy. The cooking utensils may also be cracky to be used properly.

Page 45: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

38

The third, the children may have taken much better mother-prepared breakfast beforegoing to schools. At dinners, at birthday parties and at community gatherings they maytake other much different menus. They may also take snacks while watching TV.

Normal pupils with average intelligence do not need well-designed curriculum. Not sointelligent and disadvantaged children may need them. A rigid, well-crafted curriculumsomehow under estimates the sophistication of intelligent, highly adaptive children as alearning organism created by God as "the best creation".

A much simpler and generic "4 sehat 5 sempurna" curriculum will therefore do the work: a not-so-well detailed and crafted curriculum will do no harm to public education.Ample opportunities for utilizing local resources and in-promptu innovations areencouraged. Even with lauzy teachers, well-fed, smart and healthy children will survivetheir lives. Poorly serviced lunch does not matter much for well-brekfasting children.

Learning webs

We have to take back education from the monopolizing schools. Once education isunderstood as schooling, it becomes scarce resources by definition. More schools willlead to less education.

With the internet becomes more and more available at affordable cost, learning throughthe webs becomes increasingly more feasible and doable. When Illich introduced alearning webs as alternative to the school system in early 1970-s, the internet was thennot available if not unthinkable. His revolutionary idea was considered to be toodifficult to implement at that time. Now, entering the second decade of the 21st centurythe situation has changed so much that a learning webs will potentially serve publiceducation better than the school system.

A learning webs is a network of learning nodes in which schools are some of thosenodes. Any individual and institutions (such as clinics, shops, workshops, cafes, radios,recording studios, trained mechanics, practicing engineer, etc.) may form other nodes inthe webs. Every body can learn from the webs in a non-formal, or even informalsettings. Learning programs are flexibly developed individually by a typical learnerafter a discussion with a suitable learning partner. If costs are incurred, a coupon isissued to be reimbursed and paid by a local education authority. A system ofaccreditation and sertification may be needed if requested by typical learners but aredealt with non-formally.

Concluding Remarks

The 200 years age school system will soon be resided by a rising internet-based learningwebs. A learning society is clearly more feasible in a learning webs setting. Teachersare to adapt themselves in order to stay relevant. Ever-changing school curriculum isincreasingly irrelevant to improving education, and if this implicate major resourcesfrom state funding, the policy can be judged a waste of tax payers money and thereforeunaccountable. The cronical formalism in education enforced by the school system needto be limited if not terminated in the near future through deschooling. This will benefitfuture public education.

Page 46: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

39

References

1. Illich, Ivan "Deschooling Society". Harper and Row. 1971

2. Mullis, Ina VS, Martin, M.O, Fay, Pierre, and Drucker, K. "PIRLS 2011 InternationalResults in Reading", Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). 2012

3. Robinson, Sir Ken. "Changing Paradigms". A lecture at the Royal Society of Arts.2010

4. Rosyid, Daniel M. "Pendidikan Liberal Arts dalam Pendidikan Tinggi Teknologi".Jurnal Edukasi, IAIN Sunan Kalijaga, 2011.

5. Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). IEA. 2011

Page 47: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

40

GUEST INVITED RESENTER’S PAPER

Page 48: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

41

PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN PROBLEM-BASED LEARNINGBERBANTUAN VERSUS TANPA BERBANTUAN INTERNETDAN GAYA KOGNITIF TERHADAP PRESTASI BELAJAR

Achmad Noor FatirulUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstractProblem-based learning (PBL) approach is an approach in which instructionalstrategies directed at the authentic problem experience everyday that encourageslearners to think critically and to solve a problem, so this learning methodconfound theoretical value processing and problem-solving techniques to create amethod of learning an emphasis on the construction of knowledge and learningactivities centered on the learners.The purposes of this study were (1) to determinewhether there are differences in learning achievement between learners treated theinstuctional strategies of PBL with internet aided and without internet aided, (2) todetermine whether there are differences in learning achievement between learnerswith FD cognitive style and learners with FI cognitive style, and (3) to determinethe interaction between instructional strategies and cognitive style on learningachievement. Hypothesis of the research is tested with inferential statistics test byusing 2x2 two-ways ANOVA analysis. The results showed that (1) there aredifferences in learning achievement between group of learners treated with PBLwith internet aided and without internet aided (F = 7.685, p = 0.007 ), (2) there aredifferences in learning achievement between learners with FD cognitive style andlearners with FI cognitive style (F = 34.213, p = 0.000), (3) there is no interactioneffect between instructional strategies and cognitive style on learning achievement(F = 0.987, p = 0.323). Based on the findings of this study suggested the teachers touse problem-based learning strategies internet aided learning in the subjects taughtto always consider the characteristics and conditions of learning.

Keywords: problem-based learning, internet, cognitive style, learningachievement

PendahuluanPergeseran paradigma pendidikan dari sorting yaitu menyeleksi kemampuan

pebelajar menjadi menekankan pada learning (Reigeluth & Cheliman, 2009) dengandemikian menggeser peran masing-masing komponen dari sistem pendidikan, artinyarancangan pembelajaran bergeser dari rancangan yang terfokus pada penyajian materimenjadi terfokus pada penciptaan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhanbelajar, dari pembelajaran yang semula terkesan hanya mencurahkan informasi menjadiproses membantu pebelajar dalam membangun pengetahuannya sendiri, dari pebelajaryang selalu pasif menjadi pebelajar yang aktif. Bukhopadhyay (1995) mengungkapkanbahwa kecenderungan globalisasi memicu dunia pendidikan dari pendidikan tatap mukayang konvensional ke arah pendidikan yang lebih terbuka. Ketika pebelajar secara aktifmemilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan, menyelidiki,mempertanyakan, dan membuat keputusan, pebelajar mengaitkan isi akademis dengankonteks dalam situasi kehidupan, dan dengan cara ini pebelajar akan menemukan makna(Johnson, 2005). Ardhana (2000) menegaskan bahwa abad pengetahuan inimenginginkan paradigma belajar yang berorientasi pada proyek, masalah, penyelidikan,penemuan dan penciptaan.

Pengamatan peneliti di lapangan masih banyak pembelajar kurangmemperhatikan strategi pembelajaran. Pembelajaran yang digunakan hanyalah sekedar

Page 49: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

42

penyampaian informasi yang disampaikan oleh pembelajar. Pendekatan problem based-learning (PBL) merupakan pendekatan dengan strategi pembelajaran yang diarahkanpada permasalahan autentik yang dialami sehari-hari yang mengajak pebelajar pada caraberpikir kritis dan keterampilan dalam memecahkan suatu permasalahan, sehinggametode pembelajaran ini membaurkan teori pemrosesan nilai dan teknik pemecahanmasalah untuk menciptakan metode pembelajaran yang menekankan pengkonstruksianpengetahuan dan aktivitas pembelajaran yang berpusat pada pebelajar. Arends (2007)berpendapat bahwa PBL adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikanpertanyaan dan memfasilitasi investigasi dan dialog. Alder & Milne (1997) memberikanpengertian PBL bahwa metode yang berfokus pada identifikasi permasalahan sertapenyusunan kerangka analisis dan permasalahan serta penyusunan kerangka analisis danpemecahan. Disamping itu pula PBL dapat melatih pebelajar untuk melakukan praktekdalam menyelesaikan masalah, penilaian diri, keterampilan berkelompok, danberkomunikasi secara lisan maupun tulisan (Woods, 2000).

Internet sebagai sebuah jaringan yang universal, dengan berbagai aplikasi,memungkinkan untuk penyelenggaraan pendidikan berbasis e-learning. Fasilitas internetsemestinya dapat digunakan untuk melakukan konsultasi masalah belajar, pemberiantugas, balikan, ujian, remidiasi bagi pebelajar, dan menciptakan kegiatan layanan secarainteraktif antara pembelajar-pebelajar dan antara pebelajar-pebelajar dalam melakukanpengayaan bahan ajar bagi kepentingan perkuliahan. Ardhana (2000) mengungkapkanbahwa ada tujuh jenis keterampilan dasar yang tampaknya diperlukan untuk dapat hiduppada abad pengetahuan di samping ketrampilan tradisional seperti membaca, menulisdan menghitung (3M). Ketujuh keterampilan tersebut adalah berpikir dan berbuat secarakritis, kreativitas, kolaborasi, saling pengertian lintas budaya, komunikasi,menggunakan komputer, dan karir untuk belajar mempercayai diri sendiri. Fasilitaspembelajaran melalui internet dapat digunakan sebagai fasilitas pengadaan danpengayaan sumber belajar dan media pembelajaran yang efektif. Akan tetapi padaumumnya sumber belajar dengan sistem jaringan internet sebagai penyaji materiperkuliahan di Perguruan Tinggi jarang dimanfaatkan oleh pembelajar. Sumber belajarharusnya dirancang pada mata kuliah, tetapi kenyataannya materi perkuliahan tidakdirancang berdasarkan prinsip-prinsip teknologi pembelajaran (Patmanthara, 2005).

Hasil penelitian Cotton (1991), Smaldino (2002) yang mengkaji tentangpembelajaran berbatuan komputer didapat bahwa pembelajaran berbantuan komputermeningkatkan perolehan hasil belajar yang tinggi. Knapp & Glenn (1996)mengemukakan mengapa pebelajar lebih menyukai penggunaan teknologi (komputer)dan lebih senang mengikuti pembelajaran yang menggunakan komputer. Internetsebagai media diharapkan akan menjadi bagian dari suatu proses pembelajaran, internetyang dikembangkan akan mampu memberikan dukungan bagi terselenggaranya proseskomunikasi interaktif antara pembelajar dengan pebelajar sebagaimana yangdipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Pandangan Bishop (1989)mengungkapkan bahwa pendidikan masa mendatang akan bersifat luwes, terbuka, dandapat diakses oleh siapapun. Mason (1994) mengemukakan bahwa pendidikan masamendatang akan lebih ditentukan oleh jaringan, bukan gedung sekolah. Bates (1995)menyatakan bahwa teknologi dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan biladigunakan secara bijak untuk pendidikan dan latihan.

Reigeluth (1983) mengatakan bahwa: “Instructional conditions are defined asfactors that influence the effects of methods and are therefore importand for prescribingmethods. Hence, conditions are variables that both interact with methods to influencetheir relative effectiveness and, cannot be manipulated in given situation”. Reigeluth &Merrill (1979) mengelompokkan variabel kondisi pembelajaran menjadi tiga kelompokyaitu tujuan dan karakteristik bidang studi, kendala dan karakteristik bidang studi, dan

Page 50: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

43

karakteristik pebelajar. Karakteristik pebelajar tersebut meliputi bakat, minat, motivasi,intelegensi, gaya kognitif dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini yang ingin diangkatadalah karakteristik gaya kogitif, karena gaya kognitif merupakan bagian dari gayabelajar yang menggambarkan kebiasaan berperilaku relatif tetap dalam diri seseorangdalam menerima, memikirkan, memecahkan masalah maupun menyimpan informasi(Keefe,1987). Penelitian-penelitian yang berkenaan dengan gaya kognitif telah banyakjuga dilakukan oleh para pakar seperti yang telah dilakukan Globerson (1990)menunujukkan adanya perbedaan perolehan belajar antara gaya kognitif FD dengangaya kognitif FI. Gaya kognitif dalam penelitian ini tetap menjadi karakteristik yangakan menjadi pertimbangan untuk dikaji bersama-sama strategi pembelajaran PBLberbantuan internet, karena gaya kognitif merupakan bagian dari gaya belajar yangmenggambarkan kebiasaan berperilaku relatif tetap dalam diri seseorang dalammenerima, memikirkan, memecahkan masalah maupun menyimpan informasi.

MetodeRancangan penelitian ini menggunakan nonequivalent control group design

faktorial 2x2 (Tuckman, 1999), karena penelitian ini dilakukan pada pebelajar yangtelah ditetapkan dalam kelas yang tidak dapat dipisahkan, sehingga penunjukan secararandom tidak dapat dilakukan. Penelitian ini pertama dilakukan prates, kedua kelompokeksperimen dan kelompok kontrol diberi perlakuan yang berbeda, dan ketiga dilakukanpascates pada kedua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (Gall& Borg, 2003).

Populasi penelitian dalam penelitian ini adalah S-1 PGSD Universitas PGRI AdiBuana Surabaya angkatan 2011 dalam sebanyak 5 kelas. Dengan jumlah 5 kelas diambilsecara acak (cluster random sampling), yang diacak adalah kelas. Secara undian sampelyang terpilih adalah kelas D dengan jumlah 43 orang dan kelas E dengan jumlah 45orang. Untuk mengukur variabel moderator (gaya kognitif) digunakan instrumen groupembedded figures test (GEFT) yang dikembangkan oleh Witkin, et al. (1976) dan untukmengukur variabel terikat (prestasi belajar) digunakan instrumen tes prestasi berupa tesuraian atau essay.

Untuk melihat apakah intrumen tes gaya kognitif ini valid atau tidak validmenghitung koefisien korelasi masing-masing butir soal dengan skor total pebelajardihitung dengan menggunakan korelasi product-moment (Allen dan Yen, 1979). Hasiluji validitas tes gaya kognitif semua butir memiliki propabilitas < 0.05, sehingga 18butir tes gaya koginif tersebut valid. Mehrens & Lehmans menyatakan bahwa Ujireliabilitas tes ditentukan dengan koefisien reliabilitas Alpha-Cronbach. Hasil ujireliabilitas didapat hasil 0,707. Linn (1989), Yamin & Kurniawan (2009)mengemukakan bahwa bila nilai koefisien Alpha-Cronbach (rAlpha) >0,70 maka butir tesdinyatakan reliabel. Tes uraian diuji validitas menggunakan uji validitas isi (contentvalidity). Untuk uji ahli dilakukan melalui expert judgement yaitu pertimbangan ahliteknologi pembelajaran dan sekaligus ahli isi mata kuliah. Teknik analisis digunakananalisis varian (anava) dua jalur 2 x 2.

HasilRata-rata skor prates pebelajar pada kelas PBL berbantuan internet yaitu mean=

34,74 dan Standar Deviasi= 8,083 lebih besar daripada rata-rata skor prates kelas PBLtanpa berbantuan internet mean= 32,33 dan Standar Deviasi= 8,660. Untuk mengetahuihasil prates dari kedua kelompok perlakuan berbeda atau tidak berbeda secarasignifikan, maka dapat dilakukan dengan cara menganalisis hasil prates keduakelompok dengan analisis statistik uji t dari sampel independen. Hasil analisis uji t daridua sampel independen adalah nilai probabilitas t-test for equality of means adalah

Page 51: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

44

0,181 (> 0,05), sehingga hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan nilai rata-rata diantara dua kelompok diterima, ini berarti kedua kelas memiliki kemampuan yangsetara.

Hasil analisis statistik deskriptif perlakuan strategi pembelajaran PBLberbantuan internet rata-rata skor pascates pebelajar yang memiliki gaya kognitif FI(M=85,50 dan Sd= 5,466) lebih besar dari rata-rata skor pascates pebelajar yangmemiliki gaya kognitif FD (M=74,14 dan Sd=12,451). Sedangkan pada perlakuanstrategi pembelajaran PBL tanpa berbantuan internet rata-rata skor pascates pebelajaryang memiliki gaya kognitif FI (M=79,25 dan standar deviasi = 5,407) lebih besar daripada rata-rata skor pascates pebelajar yang memiliki gaya kognitif FD (M=71,19 danSd=11,034). Jumlah total rata-rata skor pascates pebelajar yang diberi perlakuanstrategi pembelajaran PBL berbatuan internet (M=79,95 dan Sd=6,233) lebih besar daripada rata-rata skor pascates pebelajar yang diberi perlakuan dengan strategi PBL tanpaberbantuan internet (M=75,49 dan Sd=6,868).

Dalam pengujian asumsi ini terdapat dua bentuk pengujian yaitu uji normalitasdan uji homogenitas data. Dari uji normalitas hasil analisis nilai taraf signifikansipascates =0,92. Nilai taraf signifikansi pascates >0,05, sehingga dapat disimpulkanbahwa distribusi data pascates adalah normal. Hasil uji homogenitas data digunakan ujistatistic Levene a=0,216 (>0,05) sehingga hipotesis nol yang menyatakan “tidakterdapat perbedaan varian dalam kelompok sampel” diterima, berarti nilai varian dalamkelompok-kelompok sampel homogen.

Hasil pengujian hipotesis 1 didapat bahwa nilai F=7,685 dan nilai probabilitasstrategi pembelajaran adalah 0,007<0,05, sehingga hipotesis nol ditolak dengandemikian ada perbedaan prestasi belajar antara pebelajar yang diberi pembelajarandengan strategi pembelajaran PBL berbatuan internet dan tanpa berbantuan internet.Hasil rata-rata pascates strategi pembelajaran PBL berbantuan internet =79,95 dan tanpaberbantuan internet =75,49. Dengan demikian rata-rata pascates dengan strategi PBLberbantuan internet lebih tinggi dari pada pascates strategi PBL tanpa berbatuaninternet, berarti penerapan pembelajaran strategi PBL berbantuan internet memberipengaruh yang lebih baik terhadap prestasi belajar dibandingkan dengan penerapanstrategi PBL tanpa berbantuan internet.

Hasil pengujian hipotesis 2 menunjukkan bahwa nilai F=34,213 dan nilaiprobabilitas gaya kognitif adalah 0,000<0,05, sehingga hipotesis nol ditolak, dengandemikian ada perbedaan antara pebelajar yang memiliki gaya kognitif FI dan yangmemiliki gaya kognitif FD terhadap prestasi belajar. Untuk mengetahui gaya kognitifmana yang memberikan pengaruh lebih besar, maka dilihat rata-rata pada hasilperhitungan statistik rata-rata pascates yang diberi perlakuan strategi PBL berbantuaninternet dengan gaya kognitif FI=85,50 dan gaya kognitif FD=74,14. Sedangkan hasilrata-rata yang diberi perlakuan strategi PBL tanpa berbantuan internet dengan gayakognitif FI=79,25 dan gaya kognitif FD=71,19. Dengan demikian pebelajar yangmemiliki gaya kognitif FI baik yang diberi perlakuan strategi PBL berbantuan internetmaupun yang diberi perlakuan strategi PBL tanpa berbantuan internet memiliki prestasibelajar yang signifikan lebih tinggi dari yang memiliki gaya kognitif FD.

Hasil pengujian hipotesis 3 menunjukkan bahwa nilai F=0,987 dan nilaiprobabilitas adalah 0,323>0,05, sehingga hipotesis nol diterima, dengan demikian tidakada interaksi antara strategi pembelajaran dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar.Hasil perhitungan menunjukkan bahwa besar skor rata-rata prestasi belajar untukkelompok eksperimen dengan perlakuan dengan strategi PBL berbantuan internet dangaya kognitif FD=74,143 yang berada pada rentang 70,770 sampai 77,516 denganstandar kesalahan 1,696. Sedangkan untuk skor rata-rata prestasi belajar untukkelompok eksperimen dengan perlakuan dengan strategi PBL berbantuan internet dan

Page 52: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

45

gaya kognitif FI=85,500 yang berada pada rentang 82,204 sampai 88,796 denganstandar kesalahan 1,657.

Skor rata-rata prestasi belajar untuk kelompok perlakuan dengan strategi PBLtanpa berbantuan internet dan gaya kognitif FD =71,190 yang berada pada rentang67,817 sampai 74,564 dengan standar kesalahan 1,696. Sedangkan untuk skor rata-rataprestasi belajar dengan strategi PBL tanpa berbantuan internet dan gaya kognitifFI=79,250 yang berada pada rentang 76,095 sampai 82,405 dengan standar kesalahan1,587. Sehingga dari hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antarastrategi pembelajaran dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar.

PembahasanPengaruh Strategi Pembelajaran terhadap Prestasi Belajar

Dari hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa ada perbedaan prestasi belajarantara kelompok pebelajar yang diberi perlakuan strategi PBL berbantuan internet dantanpa berbantuan internet, skor total rata-rata prestasi belajar pebelajar pada perlakuanstrategi PBL berbantuan internet lebih tinggi dari skor total rata-rata prestasi belajarpebelajar pada perlakuan strategi PBL tanpa berbantuan internet.

PBL yang dirancang untuk mengembangkan cara berpikir, pemecahan masalah,ketrampilan intelektual, belajar berperan seperti orang dewasa melalui situasi nyata atausimulasi dan menjadi pebelajaran yang mandiri (Arends, 2004). PBL merupakan suatupendekatan pembelajaran yang menekankan pada penggunaan masalah hidup yangnyata dalam pendidikan. Wood, (2000); Woods & Bayley, (2006) berpendapat bahwadalam aktivitas PBL pebelajar mempunyai peluang melakukan praktek pemecahanmasalah, penilaian diri, ketrampilan berkelompok, ketrampilan berkomunikasi,mengelola perubahan dan berpikir kritis. Dari pendapat tersebut strategi PBLberbantuan internet sangat memberi kesempatan pada pebelajar untuk aktif dalammemecahkan masalah yang bersifat nyata dan dilakukan dengan cara berkelompokmaupun individual, sehingga dengan jelas bahwa pebelajar tidak hanya menerimamateri atau cukup menghafal materi, akan tetapi pembelajaran lebih mengedepankanproses pembelajaran agar pembelajaran lebih bermakna. Temuan penelitian yangmendukung adalah penelitian Cotton (1991) yang melakukan kajian tentangpembelajaran berbatuan komputer bahwa pembelajaran berbantuan komputermeningkatkan perolehan hasil belajar yang tinggi. Smaldino (2002) yang mengadakanpenelitian tentang teknik pembelajaran inovatif yang memfokuskan pada teknikpertanyaan pada teks, advance organizers, dan media secara khusus menunjukkankemajuan hasil belajar. Knapp & Glenn (1996) mengemukakan mengapa pebelajar lebihmenyukai penggunaan teknologi (komputer) dan lebih senang mengikuti pembelajaranyang menggunakan komputer. Lebih lanjut Knapp & Glenn mengemukakan bahwaperan umum teknologi adalah memberikan informasi, mengembangkan pengetahuandan keterampilan serta menghubungkan dengan tempat yang berbeda. Temuan-temuanpenelitian tersebut mendukung pada penelitian ini. Peneliti berargumen dari temuan-temuan penelitian bahwa strategi PBL yang kebanyakan mempunyai peningkatanprestasi lebih tinggi dibandingkan dengan strategi pembelajaran lainnya yangkonvensional akan lebih bermakna apabila diikuti dengan pembelajaran yang berbatuaninternet.

Pengaruh Gaya Kognitif terhadap Prestasi BelajarPrestasi belajar pebelajar yang memiliki gaya kognitif FI cenderung lebih tinggi

dari pada pebelajar yang memiliki gaya belajar FD. Gaya kognitif yang merupakanbagian gaya belajar yang menggambarkan kebiasaan prilaku relatif tetap dalam diriseseorang dalam menerima, memikirkan, memecahkan masalah maupun menyimpan

Page 53: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

46

informasi (Keefe, 1987). Maka karakteristik pebelajar seperti ini yang dapat dikatakanmasuk dalam keunikan pebelajar dapat dipertimbangkan pembelajar dalam penyajianmateri dalam proses pembelajaran. Lebih lanjut Witkin (1976) mengemukakan bahwagaya kognitif merupakan bentuk yang khas yang berdasarkan kemampuan intelektualseseorang yang ditampilkan dalam kegiatan konseptual maupun kegiatan intelektual.Karakteristik tersebut disebutkan oleh Jones (dalam Hall, 2000) bahwa pebelajar yangmemiliki gaya kognitif FI adalah mudah memahami bahan-bahan yang tidak terstruktur,cenderung untuk memiliki tujuan sendiri dan reinforcement sendiri, lebih mampumemecahkan masalah tanpa dibimbing, memerlukan bantuan untuk memahami ilmupengetahuan sosial, dapat menganalisis situasi dan menyusunnya kembali, dan kurangterpengaruh oleh kritik. Dengan temuan dalam penelitian tersebut maka ada perbedaanantara pebelajar yang memiliki gaya kognitif FI dengan pebelajar yang memiliki gayakognitif FD. Pebelajar yang memiliki gaya kognitif FI memiliki prestasi belajar yanglebih tinggi dari pada pebelajar yang mimiliki gaya kognitif FD. Temuan ini jugadidukung oleh penemuan penelitian sebelumnya, seperti yang telah dilakukan Nasserand Carifio (1993) menemukan adanya keunggulan pebelajar yang memiliki gayakognitif FI dalam menggambar, mengidentifikasi, tes istilah dan pemahaman dari padapebelajar yang memiliki gaya kognitif FD. Dari kajian teoritis dan temuan dalampenelitian menunjukkan terdapat perbedaan karakteristik individu yang memiliki gayakognitif FI dan FD.

Pengaruh Interaksi antara Strategi Pembelajaran dan Gaya Kognitif terhadapPrestasi Belajar

Dari hasil analisis terbukti tidak adanya interaksi antara strategi pembelajarandan gaya kognitif terhadap prestasi belajar. Dengan demikian strategi pembelajarantidak tergantung pada gaya kognitifnya dalam prestasi belajar. Hair, at al. (2010)berpendapat bahwa simpulan uji hipotesis tidak dapat dinyatakan secara sederhanadengan hanya menyatakan ada dan tidaknya perbedaan kelompok perlakuan terhadapvariabel terikat. Oleh karena itu secara ekplisit bahwa adanya interaksi ordinal simpulanuji hipotesis yaitu prestasi belajar yang diberi perlakuan strategi pembelajaran PBLberbantuan internet baik pebelajar yang memiliki gaya kognitif FI maupun FD lebihbaik dibandingkan dengan pebelajar yang diberi perlakuan strategi PBL tanpaberbantuan internet. Pebelajar yang memiliki gaya kognitif FI mempunyai prestasibelajar yang lebih tinggi dari pada pebelajar yang memiliki gaya kognitif FD, baik yangdiberi perlakukan strategi PBL berbantuan internet maupun yang diberi perlakuanstrategi PBL tanpa berbantuan internet.

Temuan dalam penelitian ini diperkuat dengan adanya teori dan hasil penelitianbahwa strategi pembelajaran memberikan pengaruh utama yang kuat terhadap prestasibelajar, yaitu bahwa strategi PBL merupakan strategi pembelajaran yang dapatmengembangkan cara berpikir, pemecahan masalah, ketrampilan intelektual, belajarberperan seperti orang dewasa melalui situasi nyata dan menjadi pebelajar yang mandiri(van Berkel & Schmidt (1990); Newby, et.al (2000); Woods (2000); Palmer (2001);Arends (2004), Harvey, at.al (2005), Feng (2005); dan Woods & Bayley (2006).

Dukungan teoritis dan empiris terhadap adanya pengaruh utama strategipembelajaran dan pengaruh utama gaya kognitif terhadap prestasi belajar berdampakterhadap lemahnya pengaruh interaksi strategi pembelajaran dan gaya kognitif terhadapprestasi belajar. Sehingga temuan dalam penelitian ini menyatakan bahwa tidak adanyainteraksi antara strategi pembelajaran dan gaya kognitif terhadap prestasi pebelajar.

Page 54: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

47

Implikasi Hasil Penelitian terhadap Pembelajaran pada Mata Kuliah Belajar danPembelajaran

Pertama, dalam peningkatan prestasi belajar strategi PBL berbantuan internetdapat dipakai sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran mengingat kemajuandalam dunia maya telah tidak diragukan lagi menjadi tren dan disukai oleh pebelajar.Kedua, pembelajar hendaknya dapat memilah dan mencermati permasalahan yangdiajukan memunculkan masalah yang sepadan dan sesuai dengan keadaan nyata dilapangan dan terkini. Ketiga, tidak hanya pebelajar saja yang aktif dan kreatif dalampemecahan masalah, akan tetapi juga pembelajar bersama-sama pebelajar untuk mencaricara atau jalan pemecahan masalah secara efektif. Keempat, adanya perbedaan prestasibelajar antara pebelajar yang mimiliki gaya kognitif FI dan pebelajar yang memilikigaya belajar FD akan menjadi tolok ukur untuk para pembelajar memperhatikan gayakognitif pebelajar. Kelima, tidak adanya interaksi antara strategi pembelajaran dan gayakognitif terhadap prestasi belajar, maka dengan demikian strategi pembelajaran tidaktergantung bagaimana gaya kognitifnya dalam peningkatan prestasi belajar.

Simpulan dan SaranSimpulan

Berdasarkan hasil analisis data, paparan hasil penelitian dan pembahasan, dapatdisimpulkan bahwa kelompok yang menggunakan strategi PBL berbatuan internetmemiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada kelompok yang menggunakanstrategi PBL tanpa berbantuan internet, prestasi belajar pebelajar yang memiliki gayakognitif FI lebih tinggi dari pebelajaran yang memiliki gaya kognitif FD, dan strategipembelajaran dan gaya kognitif menunjukkan tidak ada interaksi terhadap prestasibelajar.

SaranDalam penelitian ini terbatas pada penggunaan strategi PBL dari penggunaan

internet untuk dapat mencari bahan tambahan dari apa yang menjadi tugas pebelajarbaik dari blogger pembelajar yang telah disediakan maupun diluar blogger, komunikasidan tanya jawab antara pembelajar dan pebelajar melalui email dan facebook, dengandemikian perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut tentang strategi PBL berbatuaninternet dengan mencakup kemampuan pebelajar yang lebih tinggi. Secara komparatifstrategi PBL berbantuan internet telah teruji memberikan prestasi yang lebih tinggidaripada tanpa berbantuan internet. Penelitian ini belum menunjukkan prestasi belajaryang optimal sehingga perlu dilakukan kajian studi lebih lanjut melalui penelitianpeningkatan kualitas pembelajaran.

Daftar PustakaAlder, R.W. & Milne, M.J. 1997. Improving The Quality of Accounting Students’Learning Through Action-Oriented Learning Tasks. Accounting Education. Vol. 6 No.3: 191-215.Arends, R.I. 2004. Learning to Teach, Sixth Edition. New York: McGraw-Hill.Arends, R.I. 2007. Learning to Teach, McGraw Hill Companies, Inc., 1221 Avenue of

the Americas, New York, NY 10020.Ardhana, I.W. 2000. Reformasi Pembelajaran Menghadapi Abad Pengetahuan,

Makalah Seminar dan Diskusi Panel Nasional Teknologi Pembelajaran V,Universitas Negeri Malang dan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia(IPTPI) Malang.

Page 55: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

48

Bates, T. 1995. Technology, Open Learning AND Distance Learning, London:Routledge.

Bishop, G. 1989. Alternative Strategies for Education, London: McMilan Publisher Ltd.Bukhopadhyay, M. 1995. “Shiffting Paradigm in Open and Distance Education” Paper

presented at IDLN Fist Symposium, Yokyakarta.Cotton, K. 1991. Computer Asisted Instruction. Schooll improvement Research Series.

Portland, OR: Nortwest Regional Educational Laboratory, May.Feng, D. 2005. Implementing Problem-Based Learning in Principle Training: The First

Pilot Program in China. US-China Education Review, 2(3): 13-19.Globerson, T. 1990. What’s is the relationship between cognitive style and cognitive

development? Dalam T. Globerson dan T. Zelniker (Ed) Cognitive Style andCognitive Development. Norwood. N.J.: Abtex Publishing Corporation.

Hair, J.F., Black, W.C., Babin, B.J., & Anderson, R.E. 2010. Multivariate DataAnalysis a Global Perspective (7th ed.). Upper Saddle River: Pearson EducationInc.

Hall, J.K. 2000. Feild dependence-independence and computer-based instruction ingeography. Dissertation. Virginia: Virginia Polytechnic Institute and StateUniversity.

Harvey, R.M., Curtis, D.D., Cattley, G., & Slee, P.T. 2005. Enhancing teachereducation studens’ generic skills through problem-based learning. Teachingeducation, 16(3): 253-273.

Johnson, E.B. 2005. Contextual Teaching and Learning: What it’s and Why it’s herestay, Corwin Press, Inc., Thosand Oaks, California.

Keefe, J.W. 1987. Learning style theory and practice. Virginia: National Association ofSecondary School Principles

Knapp, L.R. & Glenn, A.D. 1996. Restructuring School with Technology. NeedhamHeght, Massachussets: Ally & Bacon.

Linn, R.L. 1989. Educational Measurement. New York: American Counsil onEducation and McMillan Publishing.

Mahren, W.A., & Lehmans, I.J. 1984. Measurement and Educational Psychology. NewYork: CBS College Publishing.

Mason, R. 1994. Using Communiction Media in Open and Flexible Learning, London:Kogan Page Ltd.

Nasser, R. & Carifio, J. 1993. The effect of cognitive style and Piagetian logicalreasoning on solving a proporsional relation algebra word problem. (Online).(http://eric.ed.gov/ERICDoes/data/ericdoc2sql/content_storege_01/0000019b/80/13/7d/58.pdf.) , diakses 29 Juni 2011.

Newby, T.J, Stepich, D.A., Lehman, J.D., & Russekk, J.D. 2000. Instructionaltechnology teaching and learning: Disigning instruction, integrating computer,and using media. New Jesey: Prentice-Hall, Inc.

Palmer, B. 2001. Assessing the effectiveness of problem-based learning in highereducation: Lessons from the literature. (Online),(http://www.rapidintellect.com/AEQweb/mop4spro1.htm, diakses 20 Agustus2009).

Patmanthara, S. 2005. Pengembangan Model Rancangan Pembelajaran BerbantuanInternet di Fakultas Teknik UM. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: ProgramPascasarjana UM MALANG.

Reigeluth, C.M., & Merrill, M.D. 1979. Classes of instructional variables. Educationtechnology, 19(3): 5-24.

Page 56: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

49

Reigeluth, C.M. 1983. Instructional Design Theories and Models: An overview of theircurrent status. Volume I. Hilsdale, New Jersey.: Lawrence Erlbaum AssociatePublishers.

Reigeluth, C.M. & Carr-Cheliman A.A. 2009. Theories for Different Outcames ofInstruction. Dalam C.M.Reigeluth, & A.A Carr-Cheliman (Eds).Instructional-Design Theories and Models: Buiding a Common Knowledge Base, Vol (hlm.195-197), Hilsdale, New York: Routledge.

Tuckman, B.W. 1999. Cunducting educational research. 5th Edition. Orlando: HarcourtBrace College Publisher.

Witkin, H.A. 1976. Cognitive style academic performance and in teacher studentrelation, Dalam Messich, (ed). Individually in Learning. San Francisco: JosseyBass.

van Berkel, H. J. M., & Schmith, H. G. 1999. Motivation to Commit Oneself as aDeterminant of Achievement in Problem-Based Learning. (Online).(http://eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_strorage_01/0000019b/80/16/b8/72.pdf, diakses 29 Juni 2011.

Woods, D.R. 2000. Pbl: Decisions for Planning and Action: Why? When? Who?Where? What? How?, Hamilton: McMaster University.

Woods, D.R. & Bayley, L. 2006. Assesing Student Performance in Problem-BasedLearning., Hamilton: McMaster University.

Yamin, S., & Kurniawan, H. 2009. SPSS Complate: Teknik Analisis Statistik Terlengkardengan Software SPSS. Jakarta: Salemba Infotek.

Page 57: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

50

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGANALISIS KALIMATPADA MATA KULIAH SINTAKSIS MAHASISWA PBSI ANGKATAN 2010 A

MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH

Agung PramujionoUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstractThe Purpose of the research was to improve the students’ ability insyntactical analysis through Problem-Based Learning in Batch 2010 A ofThe Teacher Training Department of Indonesian Language and Letters. Theresearch was designed using classroom action research model in twocycles.The subject was the students of Batch 2010 A in the TeacherTraining Department of Indonesian Language and Letters consisting of 35students. The data were collected through observation, questionairres, andtest.They were then analyzed desccriptively and descriptive statistically.Based on the data analysis it could be concluded that the use of Problem-Based learning can improve the students’ ability in syntactical analysis inBatch 2010 A of The Teacher Training Department of IndonesianLanguage and Letters.

Key Words: ability in syntactical analysis, problem-based learning

PendahuluanArchibald A. Hill (Muslich, 1985:2) menyatakan bahwa sintaksis adalah studi

tentang hubungan kata satu dengan kata lainnya sebagai pernyataan suatu gagasan atausebagai bagian dari struktur kalimat. Sintaksis juga diartikan sebagai perangkat aturanyang menata hubungan antara kata yang satu dengan lainnya. Pendapat tersebut sejalandengan apa yang dikemukakan oleh Verhaar (1996:161) bahwa sintaksis berurusandengan hubungan antarkata di dalam kalimat. Berdasarkan pendapat di atas dapatdiketahui bahwa kata mempunyai peran yang penting dalam pembentukan kalimat.Karena secara esensial kalimat berupa rangkaian kata yang diatur dengan mengikutipola atau hubungan tertentu.

Dalam studi sintaksis kata dipandang sebagai satuan terkecil yang secarahierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar (Chaer,1994:219), sedangkan dalam studi morfologi, kata disikapi sebagai satuan yang palingbesar. Sebagai pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar, kata yang satu akandihubungkan dengan kata yang lain sehingga membentuk konstruksi frase. Frasedihubungkan dengan frase membentuk tataran klausa dan kalimat. Hubungan tersebutditata dengan memperhatikan kaidah sintagmatik dan kaidah paradigmatik dalam suatubahasa.

Dalam studi sintaksis dapat diketahui bahwa ada keterkaitan antara strukturfungsi dalam kalimat atau klausa dengan jenis kata atau frase yang menjadi konstituenpengisi struktur fungsi tersebut (Alwi, 2000; Ramlan, 2007). Misalnya fungsi Subjek(S) dalam bahasa Indonesia. Fungsi S dalam bahasa Indonesia hanya dapat diisi olehkata yang berkategori nomina (N). Kalau fungsi tersebut diisi oleh kata yang secaramorfologis berkategori selain N, maka kata tersebut dianggap berkategori nomina.

Berbeda halnya dengan fungsi predikat (P), dalam bahasa Indonesia terdapatberbagai kategori kata yang dapat menjadi kontituen pengisi fungsi P tersebut. Hal iniberbeda dengan bahasa Inggris yang fungsi P-nya hanya dapat diisi oleh kategori verba

Page 58: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

51

(V) sehingga apabila fungsi P tersebut diisi oleh kategori selain V, misalnya nominaatau ajektiva harus diberi kata kerja bantu. Ada beberapa kategori kata yang dapatmengisi fungsi P dalam bahasa Indonesia. Kategori-kategori tersebut yaitu nomina (N)atau frase nomina (FN), verba (V) atau frase verba (FV), ajektiva (A) atau fraseajektiva (FA), numeralia (Num.) atau frase numeralia (FNum.), dan frase preposisi(FPrep.).

Dalam mata kuliah Sintaksis, mahasiswa akan mengkaji masalah frase, klausa,dan kalimat sebagai bidang kajian mata kuliah tersebut. Analisis terhadap ketiga bidangtersebut sangat memerlukan penguasaan kategori kata terutama berkaitan dengananalisis yang didasarkan pada kategori kata.

Idealnya, sebelum menempuh mata kuliah sintaksis, mahasiswa sudahmenguasai masalah kategori kata sehingga mereka tidak mengalami kesulitan dalammenganalisis struktur frase, klausa, dan kalimat. Hal tersebut tampaknya belum sesuaidengan realitas. Berdasarkan pengalaman penulis mengampu mata kuliah sintaksis,masih banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menganalisis kalimat. Haltersebut diprediksi banyak disebabkan oleh penguasaan kategori kata mereka yangmasih kurang. Masalah ini juga dihadapi oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan SastraIndonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Adi BuanaSurabaya angkatan 2010 A. Mereka belum mengusai kategori kata sehingga mengalamikesulitan ketika menganalisis kalimat. Dari hasil pretes diketahui sebagian besarmahasiswa, sebanyak 23 dari 35 orang mahasiswa atau 65,71% belum mampumenganalisis kalimat dengan baik. Rerata kemampuan mereka dalam menganalisiskalimat baru 68,75 dengan kategori cukup baik. Untuk mengatasi masalah tersebutpeneliti akan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) untukmeningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menganalisis kalimat. Model PBMdipilih karena diyakini dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan memecahkanmasalah; dapat mendewasakan dan membuat mahasiswa lebih mandiri (Arends, 1997;Ratumanan, 2004). Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. ApakahPembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan kemampuan menganalisis kalimatpada mata kuliah sintaksis mahasiswa PBSI angkatan 2010 A?

Analisis KalimatDalam Sintaksis, analisis kalimat dilakukan berdasarkan kategori kata, fungsi,

dan peran (Ramlan, 2007). Masing-masing akan diuraikan dalam paparan di bawah ini.1. Kategori Kata

Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1984: 89) membatasi kata sebagai (l)Morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecilyang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas, (2) Satuan bahasa yang dapat berdirisendiri, terjadi dari morfem tunggal (mis. Batu, rumah, datang, dsb.) atau gabunganmorfem (mis. pejuang, mengikuti, pancasila, mahakuasa, dsb.). Dalam beberapa bahasa,a.l. dalam B. Inggris, pola tekanan juga menandai bahasa.

Berbeda dengan pendapat di atas, Chaer (1994:162-165) melihat hakikat kataberdasarkan pendapat para tatabahasawan tradisional dan tatabahasawan struktural.Menurut tatabahasawan tradisional, kata adalah satuan bahasa yang memiliki satupengertian atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi danmempunyai satu arti. Sedangkan pada tatabahasawan struktural, terutama penganutBloomfield (1976) membatasi kata sebagai satuan bebas terkecil (a minimal free form).

Dalam penelitian ini kata diartikan sebagai satuan gramatik yang mampuberdiri sendiri dalam pemakaian dan telah memiliki makna. Ada beberapa istilah yangdigunakan untuk menyebut kategori kata. Misalnya: jenis kata dan kelas kata.Pembahasan tentang klasifikasi kata ke dalam kategori-kategori tertentu cukup banyak

Page 59: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

52

dibicarakan para ahli. Kridalaksana (1986) merangkum berbagai pendapat tentangpengkategorian kata dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pembahasan berbagaipembagian tersebut, Kridalaksana membuat klasifikasi kata dalam bahasa Indonesiasebagai berikut. (l) verba, (2) ajektiva, (3) nomina, (4) pronomina, (5) numeralia, (6)adverbia, (7) interogativa, (8) demonstrativa, (9) artikula, (l0) preposisi, (ll) konjungsi,(12) kategori fatis, dan (13) interjeksi. Selain itu, Kridalaksana (1986) jugamengemukakan fenomena ketumpangtindihan kelas kata (istilah yang digunakan olehKridalaksana dalam penyebutan kategori kata) dalam bahasa Indonesia.

2. Analisis FungsiAnalisis Fungsi merupakan analisis terhadap unsur-unsur yang mengisi struktur

sintaksis (jabatan) dalam kalimat. Fungsi kalimat dibedakan atas subjek, predikat, objek,pelengkap, dan keterangan (Alwi, 2000).

3. Analisis PeranAnalisis peran merupakan analisis terhadap makna yang terkandung pada

konstituen pengisi fungsi dalam kalimat (Ramlan, 2007). Peran dibedakan atas peranpengisi predikat, subjek, objek, pelengkap, dan keterangan.

Pembelajaran Berbasis MasalahPembelajaran berbasis masalah dikenal juga dengan nama lain pembelajaran

berbasis proyek (Project-Based Learning); pendidikan berbasis pengalaman(Experience-Based Education), pembelajaran otentik (Authentic Learning), danpembelajaran bermakna (Anchored instruction) (Nurhadi, dkk., 2004:56; Ratumanan,2004:146).

Pengajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yangmenggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajartentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untukmemperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran (Nurhadi,dkk., 2004:56). Arends dalam Ratumanan (2004:145-146), menyatakan bahwapembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di manasiswa mengerjakan permasalahan otentik dengan maksud menyusun pengetahuanmereka sendiri, mengembangkan inkuiri, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi,mengembangkan kemandirian dan percaya diri.

Masalah dalam pembelajaran berbasis masalah harus memiliki kriteria sebagaiberikut. (1) Masalah harus otentik, artinya bahwa masalah harus sesuai denganpengalaman dunia nyata siswa. (2) Masalah harus bersifat misteri atau teka-teki.Masalah tersebut sebaiknya memberi tantangan dan tidak hanya mempunyai jawabansederhana serta memerlukan solusi alternatif yang masing-masing memiliki kelebihandan kekurangan. (3) Masalah harus bemakna bagi siswa sesuai dengan tingkatperkembangan intelektual mereka. (4) Masalah yang disajikan memiliki keluasancakupan. (5) Masalah yang disajikan harus bermanfaat bagi siswa (Krajick dalamRatumanan, 2004:149).

Pembelajaran berbasis masalah mempunyai karakteristik sebagai berikut. (1)pengajuan pertanyaan atau masalah, (2) keterkaitan dengan disiplin ilmu lain, (3)penyelidikan otentik, (4) menghasilkan karya dan memamerkannya, dan (5) kolaborasi(Arends, 1997:157-158; Ratumanan, 2004:146-147; Mustaji dan Sugiarso, 2005:74-75).

Dalam pelaksanaannya, langkah-langkah pembelajaran berbasis masalahadalah sebagai berikut. (1) Mengorientasikan siswa pada masalah, (2)Mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) Membimbing penyelidikan secara mandiriatau kelompok, (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) Menganalisis dan

Page 60: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

53

mengevaluasi hasil pemecahan masalah (Nurhadi, dkk., 2004:60; Mustaji dan Sugiarso,2005:76).

Metode PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan dua siklus. Masing-

masing siklus terdiri atas tahapan perencanaan, pelaksanaan, observasi-evaluasi, danrefleksi. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa PBSI 2010 A yang berjumlah 35orang. Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, angket,dan tes. Teknik observasi digunakan untuk mengamati aktivitas dosen dan mahasiswa,sedangkan tes digunakan untuk mengukur kemampuan menganalis kalimat. Data hasilobservasi selanjutnya dianalisis menggunakan teknik deskriptif dan data hasil tes diolahdengan menggunakan statistik deskriptif.

Hasil Penelitian dan PembahasanSiklus 1

Berdasarkan hasil observasi selama pelaksanaan tindakan siklus dapatdikemukakan bahwa dosen sudah melaksanakan tindakan seperti yang direncanakandalam RPP, sedangkan mahasiswa sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran.Distribusi frekuensi skor kemampuan menganalisis kalimat pada Siklus 1 sesuai denganpedoman penilaian UNIPA Surabaya sebagai berikut.

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Skor Kemampuan Menganalisis Kalimat Siklus 1

Interval persentasetingkat penguasaan

Kriteria Prestasi Belajar Frekuensi Persentase

86 % - 100 % Sangat Sempurna - -

81 % - 85 % Sempurna - -76 % - 80 % Sangat Baik 13 37,1471 % - 75 % Baik 16 45,7266 % - 70 % Cukup Baik 6 17,1461 % - 65 % Cukup - -55 % - 60 % Kurang - -41 % - 54 % Buruk - -

0 - 40 % Sangat Buruk - -Jumlah 35 100

Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui (1) Mahasiswa yang kemampuanmenganalisis kalimatnya memperoleh kriteria cukup sebanyak 6 orang atau 17,14%, (2)Mahasiswa yang kemampuan menganalisis kalimatnya memperoleh kriteria baik 16orang atau 45,72%, (3) Mahasiswa yang kemampuan menganalisis kalimatnyamemperoleh kriteria sangat baik sebanyak 13 orang atau 37,14%. Berdasarkan hasilrefleksi berupa isian angket pernyataan siswa terhadap penerapan PBM dalam matakuliah sintaksis pokok bahasan analisis kalimat dapat diketahui bahwa (1) mahasiswayang menyatakan bahwa penerapan PBM dalam analisis kalimat menyenangkansebanyak 32 orang atau 91,43%, (2) mahasiswa yang menyatakan bahwa PBMmembantu dalam menganalisis kategori sebanyak 31 orang atau 94,29%, (3)mahasiswa yang menyatakan bahwa PBM membantu dalam menganalisis fungsisebanyak 31 orang atau 94,29%, (4) mahasiswa yang menyatakan bahwa PBMmembantu dalam menganalisis peran sebanyak 30 orang atau 85,71%.

Page 61: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

54

Siklus 2Berdasarkan hasil observasi selama pelaksanaan tindakan siklus 2 dapat

dikemukakan bahwa dosen sudah melaksanakan tindakan seperti yang direncanakandalam RPP. Dosen sudah menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai,mengorientasikan mahasiswa pada masalah, memberikan contoh analisis kalimat,membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam kerja kelompok, melakukanrefkleksi, dan mengakhiri perkuliahan dengan memberikan simpulan.Selamaperkuliahan mahasiswa juga menunjukkan antusias yang tinggi selama diskusi danpresentasi. Distribusi frekuensi skor kemampuan menganalisis kalimat pada Siklus 2sesuai dengan pedoman penilaian UNIPA Surabaya sebagai berikut.

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Skor Kemampuan Menganalisis Kalimat Siklus 2

Interval persentasetingkat penguasaan

Kriteria Prestasi Belajar Frekuensi Persentase

86 % - 100 % Sangat Sempurna - -

81 % - 85 % Sempurna 18 51,4376 % - 80 % Sangat Baik 15 42,8671 % - 75 % Baik 2 5,7166 % - 70 % Cukup Baik - -61 % - 65 % Cukup - -55 % - 60 % Kurang - -41 % - 54 % Buruk - -

0 - 40 % Sangat Buruk - -Jumlah 35 100

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui (1) Mahasiswa yang kemampuanmenganalisis kalimatnya memperoleh kriteria baik sebanyak 2 orang atau 5,71%, (2)Mahasiswa yang kemampuan menganalisis kalimatnya memperoleh kriteria sangat baik15 orang atau 42,86%, (3) Mahasiswa yang kemampuan menganalisis kalimatnyamemperoleh kriteria sempurna sebanyak 18 orang atau 51,43%.

PembahasanBerdasarkan hasil refleksi awal diketahui kemampuan dalam menganalisis

kalimat masih rendah. Hal ini dapat diketahui dari rerata tingkat kemampuanmenganalisis kalimat mahasiswa sebesar 68,75 dan sebanyak 23 orang atau 65,71%mahasiswa belum mampu menganalisis kalimat dengan baik.

Setelah diberi tindakan berupa penerapan model PBM menunjukkan adanyapeningkatan kemampuan menganalisis kalimat mahasiswa. Dari hasil siklus 1 dapatdiketahui (1) Rerata kemampuan mahasiswa dalam menganalisis kalimat berdasarkankategori sebesar 75,23 dengan kriteria baik; (2) Rerata kemampuan mahasiswa dalammenganalisis kalimat berdasarkan fungsi sebesar 75,66 dengan kriteria baik, (3) Reratakemampuan mahasiswa dalam menganalisis kalimat berdasarkan peran sebesar 72,57dengan kriteria cukup baik; (4) Rerata kumulatif mahasiswa dalam menganalisis kalimatsebesar 74,49 dengan kriteria baik.

Dilihat dari kriteria keberhasilannya dapat diketahui (1) Mahasiswa yangkemampuan menganalisis kalimatnya memperoleh kriteria cukup sebanyak 6 orang atau17,14%; (2) Mahasiswa yang kemampuan menganalisis kalimatnya memperoleh kriteria

Page 62: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

55

baik 16 orang atau 45,72%; (3) Mahasiswa yang kemampuan menganalisis kalimatnyamemperoleh kriteria sangat baik sebanyak 13 orang atau 37,14%.

Hasil siklus 2 juga menunjukkan adanya peningkatan baik per aspek indikatormaupun secara kumulatif. Dari hasil analisis kalimat dapat diketahui (1) Reratakemampuan mahasiswa dalam menganalisis kalimat berdasarkan kategori sebesar 83,33dengan kriteria sempurna, (2) Rerata kemampuan mahasiswa dalam menganalisiskalimat berdasarkan fungsi sebesar 85,40 dengan kriteria sempurna, (3) Reratakemampuan mahasiswa dalam menganalisis kalimat berdasarkan peran sebesar 82,10dengan kriteria sempurna, (4) Rerata kemampuan mahasiswa dalam menganalisiskalimat sebesar 83,61 dengan kriteria sempurna. Sedangkan dilihat dari kriteria peraspek dapat diketahui (1) Mahasiswa yang kemampuan menganalisis kalimatnyamemperoleh kriteria baik sebanyak 2 orang atau 5,71%, (2) Mahasiswa yangkemampuan menganalisis kalimatnya memperoleh kriteria baik 15 orang atau 42,86%,(3) Mahasiswa yang kemampuan menganalisis kalimatnya memperoleh kriteriasempurna sebanyak 18 orang atau 51,43%.

Perkembangan peningkatan kemampuan menganalisis kalimat dari kondisiawal, siklus 1, dan siklus 2 dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

Tabel 3 Rerata skor dan Persentase Mahasiswa yang Mencapai Kriteria Baik padaKondisi Awal, Siklus 1, dan Siklus 2

No. Uraian Kondisi Awal Siklus 1 Siklus 2 Keterangan1. Rerata Skor 68,75 74, 49 83,61 Naik2. Mahasiswa yang mencapai

kriteria baik (%)65,71 82,86 94,29 Naik

Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui rerata skor kemampuanmenganalisis kalimat mahasiswa pada kondisi awal sebesar 68,75 dan pada siklus 1mencapai 74,49 sehingga ada kenaikan sebesar 5,74; dari siklus 1 sebesar 74,49 kesiklus 2 sebesar 83,61 terdapat kenaikan rerata skor kemampuan mengalisis kalimatsebesar 9,12. Pencapaian persentase mahasiswa yang mencapai kriteria baik padakondisi awal sebesar 65,71 ke siklus 1 sebesar 82,86 terdapat kenaikan 17,15 dan darisiklus 1 sebesar 82,86 ke siklus 2 sebesar 94,29 terdapat kenaikan 11,43.

Rerata skor dan persentase mahasiswa yang mencapai kriteria baik padakondisi awal, siklus 1, dan siklus 2 dapat digambarkan dalam grafik 1 berikut.

Page 63: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

56

Grafik 1 Rerata Skor dan Presentase Mahasiswa yang Mencapai Kriteria Baikpada Siklus 1 dan Siklus 2

Perkembangan kemampuan menganalisis kalimat mahasiswa pada siklus 1 dansiklus 2 berdasarkan interval tingkat penguasaannya dapat dilihat dalam tabel 4.8berikut.

Tabel 4 Perkembangan Kemampuan Menganalisis Kalimat Mahasiswa padaSiklus 1 dan Siklus 2

Interval persentasetingkat penguasaan

Kriteria PrestasiBelajar

FrekuensiSiklus 1

FrekuensiSiklus 2

Keterangan

86 % - 100 %Sangat

Sempurna0 0

81 % - 85 % Sempurna 0 18 Naik 1876 % - 80 % Sangat Baik 13 15 Naik 271 % - 75 % Baik 16 2 Turun 1466 % - 70 % Cukup Baik 6 0 Turun 661 % - 65 % Cukup 0 055 % - 60 % Kurang 0 041 % - 54 % Buruk 0 0

0 - 40 % Sangat Buruk 0 0Jumlah 35 35

Perkembangan kemampuan menganalisis kalimat mahasiswa pada siklus 1 dansiklus 2 tersebut dapat digambarkan dalam grafik 2 berikut.

0102030405060708090

100

Awal

Kondisi Siklus 1 Siklus 2

Rerata Skor

Persentase mahasiswayang mencapai kriteriabaik

Page 64: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

57

Grafik 2 Perkembangan Kemampuan Menganalisis Kalimat Siklus 1 dan Siklus 2

Perkembangan pernyataan mahasiswa sebagai refleksi terhadap penerapanPBM dalam bercerita dapat dilihat pada tabel 5 berikut.

Tabel 5 Perkembangan Pernyataan Mahasiswa tentang Penerapan Model PBMdalam Analisis Kalimat

No Tanggapan Mahasiswa % YaPada

Siklus 1

% YaPada

Siklus 2

Keterangan(dalam %)

1. Apakah pembelajaran yang telah dilakukanmenyenangkan?

32(91,43)

35(100)

Naik 8,57

2. Apakah dengan pembelajaran yang telah dilakukanmembantu mahasiswa dalam menganalisis kalimatberdasarkan kategori?

31(94,29)

34(97,14)

Naik 2,85

3. Apakah dengan pembelajaran yang telah dilakukanmembantu mahasiswa dalam menganalisis kalimatberdasarkan fungsi?

31(94,29)

35(100)

Naik 5,71

4. Apakah dengan pembelajaran yang telah dilakukanmembantu mahasiswa dalam menganalisis kalimatberdasarkan peran?

30(85,71)

32(91,43)

Naik 5,72

Selanjutnya perkembangan pernyataan mahasiswa sebagai refleksi terhadappenerapan model PBM dalam analisis kalimat digambarkan dalam grafik 3 berikut.

02468

1012141618

Sang

at S

empu

rna

Sem

purn

a

Sang

at B

aik

Baik

Cuku

p Ba

ik

Cuku

p

Kura

ng

Buru

k

Sang

at B

uruk

86 % -100 %

81 % -85 %

76 % -80 %

71 % -75 %

66 % -70 %

61 % -65 %

55 % -60 %

41 % -54 %

0 - 40%

Frekuensi Siklus 1

Frekuensi Siklus 2

Page 65: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

58

Grafik 3 Perkembangan Penyataan Mahasiswa terhadap Penerapan ModelPBM dalam Analisis Kalimat

Berdasarkan data yang telah disajikan di atas dapat diketahui bahwa indikatorkeberhasilan pemecahan masalah, yaitu: (1) mampu menganalisis kalimat berdasarkankategori, (2) mampu menganalisis kalimat berdasarkan fungsi, dan (3) mampumenganalisis kalimat berdasarkan peran tersebut masuk dalam kategori sempurna.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan model PBM dapat meningkatkankemampuan menganalisis kalimat mahasiswa PBSI.

Keberhasilan penerapan model PBM dalam meningkatkan kemampuanmenganalisis kalimat juga mempunyai dampak pengiring yang berhubungan dengan (1)kemampuan untuk berpikir secara rasional dan analitis, (2) keberanian dan rasa percayadiri mahasiswa ketika presentasi, (3) kemauan untuk berbagi dan membantu teman yangmengalami kesulitan, dan (4) ketercapaian pembelajaran PAKEM dalam perkuliahan.

SimpulanBerdasarkan hasil analisis data diketahui adanya peningkatan dari kondisi awal,

siklus satu, dan siklus 2. Rerata kemampuan menganalisis kalimat pada kondisi awalsebesar 68,75, siklus 1 sebesar 74,49, dan siklus 2 sebesar 83,61. Dengan demikiandapat disimpulkan penerapan model PBM dapat meningkatkan kemampuan mahasiswamenganalisis kalimat berdasarkan kategori, fungsi, dan peran. Keberhasilan penerapanmodel PBM dalam meningkatkan kemampuan menganalisis kalimat juga mempunyaidampak pengiring yang berhubungan dengan (1) kemampuan untuk berpikir secararasional dan analitis, (2) keberanian dan rasa percaya diri mahasiswa ketika presentasi,(3) kemauan untuk berbagi dan membantu teman yang mengalami kesulitan, dan (4)ketercapaian pembelajaran PAKEM dalam perkuliahan.

7580859095

100

% Ya Pada Siklus 1

% Ya Pada Siklus 2

Page 66: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

59

Daftar PustakaAlwi, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.Arends, Richards I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: The

McGraw-Hill Company Inc.Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.Kridalaksana, Harimurti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.Muslich, Masnur. 1985. Analisis Kalimat Bahasa Indonesia. Malang: JPBSI - FPBS -

IKIP Malang.Mustaji dan Sugiarso. 2005. Pembelajaran Berbasis Konstruktivis Penerapan dalam

Pembelajaran Berbasis Masalah. Surabaya: Unesa University Press.Nurhadi, dkk., 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK.

Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.Ramlan,M. 2007. Sintaksis. Yogyakarta: C.V. Karyono.Ratumanan, Tanwey Gerson.2004. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: Unesa

University Press.Tim.2010. Buku Pedoman Akademik Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Surabaya:

UNIPA University Press.Verhaar, JWM. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.Wiriaatmadja, Rochiati. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas Untuk Meningkatkan

Kinerja Guru dan dosen. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Page 67: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

60

DEVELOPMENT INTERPRETIVE STRUCTURAL MODELING OF MODELMODULE DISCOVERY MLEARNING IN TEACHER EDUCATION

PENGEMBANGAN ISM MODEL MODUL DISCOVERY MLEARNING PADAPENDIDIKAN GURU

[email protected]

Universiti Malaya, Malaysia

Saedah [email protected]

Universiti Malaya, Malaysia

Muhammad Ridhuan Tony Lim [email protected]

Universiti Teknologi Petronas, Malaysia

Siti Aisyah H [email protected]

Universiti Terbuka Malaysia

AbstrakPerkembangan Teknologi Mobil dan Mobile learning terus tumbuh seiringdengan perkembangan teknologi pendidikan. Perkembangan teknologi inimembawa desakan-desakan baru ke atas bentuk-bentuk kemahiran dankepakaran yang perlu dikuasi guru. Untuk menghasilkan guru-guru yangberkualitas dibutuhkan pendidikan guru yang menguasai kemajuanteknologi. Artikel ini bertujuan untuk memberikan alternatif model dalampendidikan calon guru dengan menggunakan ISM model. Model inidikembangkan untuk melengkapi kegiatan pembelajaran yang sudah ada danberjalan di dalam kelas di pandangan dari sudut Discovery mLearningsebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran dalam pendidikancalon guru. Teknik ISM ini digunakan untuk mengintegrasikan pandanganpara ahli yang dipilih untuk mengembangkan model yang dihasilkan melaluisoftware ISM. Model ini terdiri dari kegiatan-kegiatan (aktivitas) yangharus ada dalam modul discovery mLearning dan aktivitas-aktivitas yangtelah ditentukan dihasilkan melalui kegiatan focus group discussion.Temuan dari studi ini menghasilkan satu model struktur interpretatif daripenggunaan teknologi mobile yang dinamis yang bisa menggambarkanbagaimana mahasiswa calon guru dengan kebutuhan belajar yang berbedabisa diselesaikan bersama-sama melalui mLearning.Aktivitas-aktivitasdalam model ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga domain utama yaitu;kegiatan Input Pengetahuan, Proses kegiatan proses dan kegiatan Evaluasidan Refleksi tanpa mengganggu hubungan antara kegiatan.

Kata kunci: mLearming, Discovery Learning, Modul Discovery MobileLearning, ISM model, Pendidikan Guru.

PendahuluanGuru merupakan agen kepada keberkesanan dan perubahan pendidikan. Guru

berkualitas diharapkan akan dapat memberi pendidikan berkualitas dalam usaha untuk

Page 68: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

61

melahirkan sumber daya manusia berkualitas bagi mencapai hasrat negara menjadinegara maju. Sebelum seseorang itu menjadi guru, dia perlu menerima latihan dalamperguruan untuk menjadi seorang guru yang bertauliah. Pendidikan guru yang berkesanakan melahirkan generasi muda yang baik merupakan cabaran yang kuat di dalamprofesion perguruan dari zaman dahulu hingga sekarang. Pendidikan guru merupakanbagian yang sangat penting dalam pengembangan guru. Mengikut Mohammad Surya(2011) pendidikan guru harus sesuai dengan tuntutan perkembangan kini. Salah satuciri perkembangan itu ialah menggunakan teknologi komunikasi dan maklumat secaraefisien.

Perkembangan pesat dalam teknologi maklumat dan komunikasi (ICT)mempunyai kesan ketara ke atas pendidikan. Pembangunan dalam teknologi membawadesakan-desakan baru ke atas bentuk-bentuk kemahiran dan kepakaran yang perludikuasi guru. Teknologi komunikasi dan maklumat (ICT) menjadi semakin pentingdalam perkembangan pendidikan hari ini. Dalam Standart Guru Malaysia dinyatakanbahawa satu pengetahuan yang harus dimiliki oleh guru ialah pengetahuan tentangTeknologi Maklumat dan Komunikasi (TMK) atau (ICT). (BPG 2009). Salah satukompetensi yang harus dikuasai guru ialah kompetensi profesional dimana seorang guruharus memiliki kompetensi dalam bidang teknologi komunikasi dan maklumat (ICT).(UU Guru dan Dosen, 2007). Berdasarkan standart dan kompetensi tersebut dapatdifahami bahawa kemajuan ICT telah memberi kesan kepada sistem pendidikan guru,terutamanya berkaitan aplikasi dalam pengajaran dan pembelajaran

Umumnya masyarakat melihat potensi ICT dalam pendidikan sebagai alat yangboleh membantu dalam pengajaran dan pembelajaran. Perkembangan yangmenggalakan ini telah mendorong ke arah peningkatan penggunaan ICT yang meluas dikalangan guru dan pelajar sekolah. Penggunaan teknologi ini bukan saja menjimatkanmasa dan penggunaan tenaga, malah memudahkan capaian maklumat kerana iabergerak dan berlaku dalam ruang siber atau maya yang tiada lokasi dan masa yangkhusus. Kesan ICT terhadap pendidikan boleh dibahagikan kepada tiga fasa iaitu fasapenggantian, peralihan dan perubahan (Willems, Stakenborg, & Veugelers, 2000).Dalam fasa penggantian, guru akan menggunakan ICT sebagai alat untuk sesipengajaran dan pembelajaran tanpa mengubah kaedah pengajaran, manakala fasaperalihan melibatkan guru menggunakan ICT yang dapat merangsang perubahanseterusnya membawa kepada kaedah pengajaran yang baru. Fasa perubahan pulamelibatkan perubahan asas terhadap peranan pelajar dan guru dalam pengajaran danpembelajaran.

Perkembangan yang pesat dalam Teknologi Komunikasi dan Maklumat (lCT)merupakan salah satu faktor yang utama bagi melahirkan sumber manusia yangberpengetahuan dan berkualiti. Tidak dapat dinafikan bahawa teknologi komunikasi danmaklumat (lCT) adalah satu keperluan yang amat penting khasnya dalam bidangpendidikan. Justeru itu, adalah wajar ia diaplikasikan ke dalam proses pengajaran danpembelajaran secara meluas mengikut perkembangannya dari masa ke masa.Teknologi mobile pada masa kini sedang berkembang pesat. Kejayaan pembangunandalam Bluetooth, WAP (Wireless Application Protocol), GPRS (GeneralPacket RadioSystem), EDGE (Enhanced Data Rates for GSM Evolution), WiFi dan UMTS(Universal Mobile Telecomuncational System), perkembangan rangkaian 3Gmenunjukkan struktur teknologi untuk telefon mobile dan komputer berteknologi mobiletelah tersedia (Attewell, 2005).Oleh kerana terdapat pelbagai maklumat di Internet yang dapat membantu untukmeningkatkan lagi kualiti pengajaran dan pembelajaran, maka program latihanperguruan lebih memfokuskan kepada penggunaan ICT supaya para guru dapat mencaridan memperoleh maklumatyang berguna bagi sesi pengajaran dan pembelajaran

Page 69: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

62

mereka. Menurut Collis dan Jung (2003), kesan penggunaan internet dan web sebagaialat komunikasi yang biasa digunakan dalam masyarakat mulai pertengahan tahun 1990telah memberi kesan yang besar terhadap sistem pendidikan guru.

Di seluruh dunia pada hari ini teknologi mobile telah menggantikan sistem taliantradisional, misalnya e-commerce bergerak ke arah m-commerce; m-perniagaanmenggantikan e-perniagaan; e-perbankan digantikan dengan m-perbankan dansebagainya (Keegan, 2005; Mashkuri, 2003; Shim & Shim, 2003). Kesedaran yangmeluas kepada perkembangan teknologi semasa kini banyak pihak sama agensi kerajaanmahupun pihak swasta telah memasang peralatan wireless seperti hotspot, akses pointdilokasi seperti pusat membeli-belah, restourat cepat saji, bangunan pejabat, hotel,kawasan tumpuan orang ramai, taman-taman perumahan, dan sebagainya untukmembolehkan pekerja, pelanggan dan pengguna boleh mengakses internetmenggunakan teknologi mobile. Reka bentuk pembelajaran pada masa kini perlukepada perubahan dengan menampilkan isi kandungan dan kaedah pengajaran yanglebih terkini dan sesuai dengan teknologi semasa. Kaedah pengajaran yangdilaksanakan pada masa kini masih bersifat tradisional. Mengikut Quinn (2000)mLearning ialah pembelajaran melalui peralatan mudah alih. mLearning adalah satubentuk pembelajaran yang menggunakan teknologi mudah alih atau di tempat di manainfrastrukturnya membolehkan penggunaan teknologi tanpa-wayar serta memfokuskepada penghantaran kandungan pembelajaran melalui peralatan elektronik mudah alih(Saedah Siraj, 2002, 2004).

Satu lagi ciri yang tersendiri mLearning adalah bahawa ia membolehkan pelajaruntuk memasuki rangkaian maklumat pada masa yang tepat apabila diperlukan denganmenggunakan alat pembelajaran mudah alih dan rangkaian wayarles. mLearning bolehdianggap sebagai bentuk pembelajaran fleksibel. Persekitaran mudah alihmengintegrasikan kajian yang mengambil tempat di kampus, di rumah atau kemudahanuniversiti di luar ke dalam satu lingkungan bersama, pembelajaran yang fleksibel.mLearning merupakan suatu konsep baru dalam proses pembelajaran. Ianyamenekankan kepada keupayaan untuk memudah alih proses pembelajaran tanpa terikatkepada lokasi fizikal proses pembelajaran berlaku (Kukulska-Hulme & Traxler, 2005).Dalam kata mudah, proses pembelajaran boleh dilakukan dimana-mana sahaja danbukannya di kelas semata-mata.Guru boleh bekerja dimana dan kapan sahaja bila boleh mengakses internet ataukoneksi kepada peralatan elektronik. Teknologi mudah alih telah menyediakan satucara alternatif untuk melibatkan guru dan pelajar dalam proses pengajaran danpembelajaran. Bagi sebahagian besar, peralatan mudah alih ini lebih murah, lebihmudah alih, dan mudah untuk digunakan dan mudah memeliharanya daripada desktopatau komputer riba. Beberapa inisiatif banyak di negara-negara maju telahmenggunakan telefon bimbit untuk mengukuhkan pembelajaran bahasa dan matematik,menjalankan tugasan kerja rumah, dan menyediakan akses internet.

Perkembangan yang semakin meningkat ini, sebagai guru latihan perguruandalam pendidikan guru baik yang pra-perkhidmatan dan dalam perkhidmatanmengambilkesempatan ketersediaan peralatan mudah alih dan rangkaian mudah alihdanrangkaian di mana-mana.Teknologi mudah alih mempunyai banyak kelebihan dansenatiasa ada, mudah alih, dan mudah untuk digunakan dan boleh menyampaikan audio,video, multimedia, dan teks dan banyak aplikasi pendidikan yang dibangunkan untukplatform ini menjadikan mereka mod yang sangat menjanjikan pembangunanprofesional guru (Pasnik, 2007: 8).Dengan semakin berkembangnya teknologi mudahalih, banyak aplikasi teknologi yang telah dikembangkan. Perkembangan teknologi jugamelahirkan sebuah konsep atau kaedah pembelajaran yang terkini yang telah dijalankandan juga masih dalam kajian bagi peningkatannya ialah pembelajaran mobil atau

Page 70: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

63

mobile learning atau mLearning yang sudah tentu menggunakan peralatan teknologiyang ringkas dan mudah untuk diakses.

mLearning adalah pembelajaran yang unik karena pembelajar dapat mengaksesbahan pembelajaran, arahan dan aplikasi yang berkaitan dengan pembelajaran, kapan-pun dan dimana-pun. Hal ini akan meningkatkan perhatian pada materi pembelajaran,membuat pembelajaran menjadi persuasif dan dapat mendorong motivasi pembelajarkepada pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning). Selain itu, dibandingkanpembelajaran konvensional, mobile pembelajaran memungkinkan adanya lebih banyakkesempatan untuk kolaborasidan berinteraksi secara informal diantara pelajar.

Bagi menentukan keberhasilan pelaksanaan mobile pembelajaran pada masadepan, empat komponen utama yang perlu diketahui iaitu; 1. Content managementSystem (CMS) dan produk berkaitan Software Development Kit(SDK) – paket isibandwidth-intensive video, audio dan mata pelajaran untuk penyampaian pembelajaransecara interaktif; 2. Kelengkapan hardware dan networking untuk dapat berhubunganke Internet atau tempat sumber ilmu; 3. Net meeting - untuk mendukung pembelajaransecara kolaboratif dan ; 4. Personal Digital Assistants(PDA), laptop, Compaq i-Pad ataulain-lain alat teknologi mobile dengan portablekeyboard yang boleh digunakan olehpelajar seperti mencatat, tugas atau pekerjaan rumah dari guru, menerima e-mail danujian. (Saedah Siraj, 2005).Penggunaan Teknologi mobile dalam program pendidikan guru akan mempermudahusaha untuk menghasilkan guru-guru yang berkualitas.

Peralatan mobile mobiledan teknologi mobile saat ini sangat mudah didapatioleh generasi muda , sehingga mereka berinteraksi sesama mereka difasilitasi olehjejaring sosial yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Interaksi antara siswa darigenerasi baru telah mengambil bentuk baru di mana data pribadi dan kepentinganbersama dapat dibagi dan dipublikasikan melalui software sosial yang kuat ((Isman,Abanmy, Hussein, dan Al Saadany, 2012).Mlearning atau belajar dimediasi melaluiperangkat mobile dan teknologi digabungkan dengan interaksi lingkungan yang kuathingga bisa menawarkan solusi yang layak kepada siswa untuk mengakses bantuandalam memenuhi tujuan mereka belajar atau memecahkan masalah belajar mereka.Selain itu penelitian masa lalu telah jelas menunjukkanbahwa mLearning yang sangatefektif dalam proses belajar mengajar.Fleksibilitas pembelajaran dengan mLearningmemungkinkan siswa untuk berpartisipasi dan mengelola pembelajaran mereka sendiridan menekankan peran lingkungan online (Isman, 2004) yang diberikan oleh teknologimobile. Untuk menambahkan, melalui mLearning sebagai pelengkap pembelajarankelas formal, siswa dapat memfasilitasi pembelajaran sendiri (otonomi pelajar) dansecara tidak langsung memungkinkan adanya rasa memiliki. Rasa memiliki inimemberikan pilihan dalam belajar dan memotivasi siswa untuk belajar karena merekabisa melakukan hal-hal yang mereka pilih untuk bukannya diberitahu untukmelakukannya (Truby, 2010; Dlodlo, Tolmay, dan Mvelase, 2012) meskipun ini berartibahwa peran guru-siswa ditentang dimana siswa mengambil alih proses pembelajaranbukan guru (Isman et al, 2012).

Singkatnya, dalam penelitian ini, menggunakan mLearning tidak hanya bisadianggap sebagai pelengkap pembelajaran kelas formal tetapi juga untuk meningkatkankelas belajar (Quinn, 2011; Terras dan Ramsay, 2012).Kegiatan belajar yang terlibatdalam kelas dapat dilanjutkan dan dikembangkan melalui interaksi seluler di luar kelasdan waktu, memfasilitasi lebih banyak siswa untuk memenuhi hasil belajar meskipunkebutuhan belajar siswa yang berbeda. Sebagai solusinya, mLearning dapat membantumahasiswa calon guru lebih untuk meningkatkan kompetensi . Namun, bagaimanamLearning yang layak sebagai solusi akan tergantung pada bagaimana harusdilaksanakan. Jadi, berpegang pada gagasan mLearning sebagai solusi untuk membantu

Page 71: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

64

mahasiswa calon guru untuk mencapai kebutuhan pembelajaran mereka, studi inibertujuan untuk mengembangkan model modul discovery mLearninguntuk mengatasikebutuhan belajar mahasiswa calon guru. Model modul discovery mlearning akanterdiri dari jaringan kegiatan pembelajaran dalam pendidikan guru menghubungkankedua kegiatan pembelajaran discovery mlearning dan kegiatan kelasformal. Mengidentifikasi kegiatan saja tidak memadai tanpa menentukan hubunganantara kegiatan dalam membimbing baik guru dan peserta didik untuk memenuhi hasilpembelajaran melalui interaksi kolaboratif. Namun, menentukan kegiatan pelajar yangtepat dalam lingkungan mobile saja terutama dalam menambah pembelajaran kelasformal bisa membuktikan tugas yang besar karena situasi belajar yang kompleks dandinamis. Ini akan memerlukan banyak waktu dan komitmen untuk menyelidiki setiapkegiatan yang diusulkan sebelum bisa dipilih. Tugas selanjutnya akan menjadikompleks karena hubungan antara kegiatan yang dipilih harus diselidiki untukmenghasilkan panduan praktis bagi pelaksana untuk mengimplementasikan moduldiscovery mlearning untuk membantu peserta didik untuk mencapai tujuan merekabelajar. Dengan demikian, berdasarkan pada keadaan dibahas di atas, pemodelanStruktural Interpretive (ISM) (Warfield, 1982) bekerja karena bukan hanya bisamemfasilitasi penyelidikan hubungan antara kegiatan belajar tetapi model strukturkeseluruhan dapat diambil berdasarkan pada hubungan untuk dimaksudkan pelaksanaanmodul Discovery mLearning.

Kerangka TeoriTeori Discovery Learning

Kerangka dasar yang menyertai kajian ini ialah teori Discovery Learning yangdikemukan oleh Jerome Bruner. Discovery Learning merupakan strategibelajar dalampendekatan konstruktivis yang telah memiliki sejarah panjang dalam dunia pendidikan.Discovery Learning g merupakan suatu metode pembelajaran yang mendorong siswauntuk mengajukan pertanyaan dan merumuskan jawaban mereka sendiri , danmenyimpulkan prinsip-prinsip umum dari contoh-contoh praktis atau pengalaman.Danyang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwaanak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Proses belajar akan berjalandengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siwa untukmenemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yangdijumpai dalam kehidupannya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untukmemahami suatu kebenaran umum.

Selain itu kegiatan belajar melibatkan tiga proses kognitif yang berlangsunghampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah ; 1) memperoleh informasi baru, ;2)transformasi pengetahuan, dan ; 3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.(Bruner 1973). Tahap memperoleh informasi, yaitu tahap awal untuk memperolehpengetahuan atau pengalaman baru, tahap transformasi merupakan tahap memahami,mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentukbaru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan tahap relevansi merupakantahap untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atautidak.

Proses belajar discovery learning adalah suatu proses yang memberikankesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep, teori, aturan, atau pemahamanmelalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya.Pengembangkan konsepkognitif muncul dari pemahaman bahwa proses belajar adalah adanya pengaruhkebudayaan terhadap tingkah laku individu, maka perkembangan kognitif individuterjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh bagaimana cara melihat lingkungan.Tahap-tahap tersebut meliputi Enactive, Iconic, dan Symbolic.

Page 72: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

65

a. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untukmemahami lingkungan sekitar, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anakmenggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dansebagainya.b. Tahap Ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Maksudnya dalam memhami dunia sekitarnya anakbelajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).c. Tahap Simbolik, seseorang telah mampu memilki ide-ide atau gagasan-gagasanabstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuananya dalam berbahasa dan logika.Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol bahasa, logika,matematika dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyaksistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominansistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan sistemenaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salahsatu bukti masih diperlukannnya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar.Discovery learning memiliki beberapa keuntungan antara lain, membangkitkankeingintahuan, memotivasi mereka untuk melanjutkan dengan penelitian sehinggamereka menemukan jawabannya, belajar memecahkan masalah secara mandiri danberlatih berpikir secara kritis. Siswa didorong untuk belajar sebagian besar melaluiketerlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru/dosenhanya pendorong untuk memiliki pengalaman sehingga memungkinkan untukmenemukan sendiri konsep atau prinsip.

Mlearning ModelUntuk memandu pemilihan kegiatan sesuai dalam modul discovery mobile learningdengan model, penelitian ini menggunakan model SAMR yang dikembangkan olehRuben R. Puentendura (2006). Model ini dikembangkan oleh Puentendura untukmelihat bagaimana seseorang harus menggunakan atau menggabungkan teknologipendidikan. Hal ini juga sebuah sistem untuk mengukur tingkat penggunaan teknologidalam pendidikan. Model ini bertujuan untukmembantu para guru dalam desain danpengembangan teknologi pembelajaran berbasis untuk meningkatkan pengalamanbelajar di kalangan siswa untuk mencapai potensi tertinggi mereka. Model ini terdiridari 4 tahap: Substitusi, Augmentation, Modifikasi, danRedifinition seperti yangditunjukkan pada Gambar 2. Kebetulan, Samr sendiri merupakan akronim dari tahap.

Gambar 1: SAMR Model

Page 73: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

66

Model yang digunakan dalam penelitian merupakan keberlanjutan penggabunganteknologi dalam pendidikan. Dari model, kita bisa memahami bahwa jika teknologidigunakan hanya untuk melakukan hal yang sama dengan cara yang berbeda, tingkatpenggunaan hanya di tingkat substitusi. Misalnya, jika pelaksanaan saat saat ini hanyamenyuruh siswa untuk mencari informasi ilmu dan pengetahuan dari buku atau bahanbercetak. dan jika kegiatan ini diganti dengan mencari informasi ilmu dan pengetahuanmelalui artikel di situs Web menggunakan komputer, tingkat penggunaan teknologihanya pada tingkat substitusi. Penggunaan pada tingkat ini meskipun sangat pentingtidak mungkin terus dipertahankan karena hanya mempertahankan untuk waktu yangsingkat sebagai penggunaan teknologi tidak dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggidari penggunaan berdasarkan pada model SAMR (Gambar 1).Penulis mengusulkan pemilihan kegiatan mLearning menurut para pakar yang akandipandu oleh suatu model untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang memenuhi semuaperingkat penggunaan dalam model tersebut untuk menggabungkan mLearning yanglebih baik dalam pembelajaran.

MetodeFokus penelitian ini adalah pengembangan model modul discovery mlearning untukpendidikna calon guru. Pengembangan model ini berdasarkan pada pendapatterintegrasi dan keputusan panel ahli yang dipilih. Dengan demikian, studi inimenggunakan Pemodelan Struktural Interpretive (ISM) untuk mengembangkanmodel. ISM pertama kali diusulkan oleh JN Warfield (1973a, 1973b, 1974a, dan1976). Warfield (1982) menggambarkan ISM sebagai "suatu proses pembelajarandengan bantuan komputer yang memungkinkan seorang individu atau kelompokpengguna untuk mengembangkan struktur atau peta yang menunjukkan keterkaitanantar elemen ditentukan sebelumnya menurut hubungan kontekstual yang dipilih '. Halini juga bisa dilihat sebagai manajemen pengambilan keputusan, alat yang interkoneksiide individu atau kelompok untuk memudahkan pemahaman menyeluruh tentang situasiyang kompleks melalui peta hubungan antara unsur-unsur yang terlibat dalam situasipengambilan keputusan yang kompleks (Charan et al, 2008). ISM adalah interpretatifkarena melibatkan penilaian apakah ada adalah hubungan antara elemen dan jikademikian bagaimana mereka harus dihubungkan Metode ini struktural karena strukturkeseluruhan dapat dihasilkan dengan menggunakan hubungan antara elemen. Akhirnya,ini adalah teknik pemodelan karena struktur keseluruhan dan hubungan antar elemenbisa digambarkan dalam model grafis. Langkah-langkah yang terlibat dalam teknik ISMadalah:

1. Mengidentifikasi unsur-unsur yang relevan dengan masalah atau isu-isu yangterkait. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Teknik Kelompok Nominaldimodifikasi (NGT) untuk mengidentifikasi unsur-unsur. The NGT klasik(Delbecq, 1975) merupakan proses berulang-ulang untuk mengintegrasikanpendapat beberapa individu untuk mencapai konsensus dalam isu-isu prioritas.

2. Menentukan hubungan kontekstual dan frase terkait sehubungan denganbagaimana kegiatan pembelajaran (elemen) harus terhubung satu sama lain.

3. Mengembangkan matriks diri interaksi struktural (SSIM) dari kegiatanpembelajaran yang menunjukkan hubungan antar elemen. Hal ini dilakukandengan menggunakan bantuan software ISM.

4. Menghasilkan model ISM. Hal ini dilakukan oleh perangkat lunak setelahpasangan elemen berhasil dilakukan. Perangkat lunak ini berasal model yangdidasarkan pada konsep perbandingan pasangan bijaksana dan logikatransitif.Logika menyatakan transitif bahwa untuk setiap 3 elemen (A, B, C)dengan hubungan diberikan ketika:

Page 74: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

67

• A memiliki hubungan ke B, (ditulis A → B),• Dan B memiliki hubungan ke C, (ditulis B → C),• Maka A memiliki hubungan ke C, (ditulis A → C atau A → B → C).

5. Model ini kemudian dikaji oleh para ahli untuk memeriksa inkonsistensikonseptual dan membuat modifikasi yang diperlukan.

6. Model akhir

Gambar 2 . Flowchart of development of Discovery mLearning Module model

Hasil

Hasil Kajian Langkah 1Tabel 1 menunjukkan pandangan para secara kolektif pada kegiatan pembelajaran yangharus dimasukkan dalam pengembanganmodel modul discovery mlearningKesepakatan para ahli terhadap unsur-unsur (kegiatan belajar) untuk dimasukkan dalammodel modul discovery mlearning

Tabel 1 Pandangan Para Pakar

No Aktiviti dalam PembelajaranMedianModeIQR

1Mengenalpastiobjektifpembelajaransemasauntukindividudankumpulan

55 0

2Mengakses input suatuinformasi yang bolehdijadikanpengetahuan sesuatu subject melalui peralatan mobile

55 0

3Membina tautan (link) berkaitan subject berbentuk kode QR(quick Respond atau hyperlink dan sebagainya

55 1

4

Membincangkanberkaitandenganinformasi, pengetahuan,permasalahan danntren terkini dalam subject menggunankansosial media (facebook, tweeter, google talk atau yahoomessenger

55 1

Step 1- Identifying

elements for the model

via Nominal Group

Technique

Step 2-Determine

Contextual

phrase and

Relation phrase

Step 3-

Develop SSIM

using ISM

Sofware

Step 4-

Generate

ISM model

Step 5-Reviewing

the model for

concept consistency

and making

necessary

modifications

Step 6-Final Model

Identifying

elements and

develop SSIM

Develop

Discovery

mLearning

Curriculum

ImplementationM

odelModule

Page 75: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

68

No Aktiviti dalam PembelajaranMedianModeIQR

5Mengembangkanperbincanganpermasalahan/isudengankelompok pelajar lain dengan media sosial

55 1

6Menyelesaikan tugasan pembelajaran berdasarkan kontrakpembelajaran yang telah dipersetujui bersama pensyarah

55 0

7Membentangkan hasil tugasan untuk pemurnian dapatanmenggunakan media sosial

55 1

8Membincangtugasandalamkelompokkecilmelalui forumblog atau media sosial

55 1

9Mengupload hasil temuan berkaitan subjek dipelajaraimenggunakan peralatan mobil

55 0

10Menjawab soalan kuiz atau latihan menggunakan peralatanmobil

55 1

11 Program mentorship dengan menggunakan peralatan mobil55 0

12Mencari bahan-bahan untuk menyelesaikan tugasanmenggunakan peralatan mobil

55 1

13Mengupload bahan pengajaran yang dibina mandiri ataukumpulan untuk komen untuk memperbaiki mutu

55 1

14Mengupload micro teaching sendiri untuk mendapatfeedback dari pensyarah atau rekan

55 0

15Mengupload hasil temuan baru untuk di bincangkan denganrekan-rekan dan pensyarah untuk mengkonstruksipengetahuan baru

55 1

16Penilaian hasil dilakukan secara asyncronious denganperalatan mudah alih

55 0

17Penilaian hasil dilakukan secara syncronious denganperalatan mudah alih

55 1

*IQR- Inter-quartile range

Berdasarkan Tabel 1, Sesi Kelompok Nominal Teknik mengungkapkan bahwakonsensus para ahli setuju pada semua kegiatan pembelajaran (elemen) seperti yangtercantum dalam tabel untuk pembangunan model struktural

Hasil Kajian Langkah 2Temuan dari Langkah 2 - Berdasarkan output yang didapati dan kegiatan disepakati,para ahli mengidentifikasi untuk membedakan antara satu kegiatan dengan kegiatanlain agar menjadi bahasa yan komunikatif dan efektif , maka satu kegiatan HARUSdilakukan SEBELUM kegiatan yang lain. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalammengaitkan atau menghubungkan antara unsur-unsur dalam model.

Hasil Kajian Langkah 3,4,5 dan 6Langkah-langkah ini bertujuan untuk mengembangkan model melalui keputusan paraahli 'pada hubungan elemen menggunakan teknik pasangan sesuai dengan bantuansoftware ISM seperti yang dibahas sebelumnya pada bagian metodologi. Setelah modelyang dihasilkan, model inidikajiolehparaahlidan model akhirditunjukkanpadaGambar 3di bawahini.

Page 76: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

69

Gambar 3. Model Modul Discovery Mlearning

Secara singkat, model dapat dibagi menjadi tiga domain dari pelaksanaan kegiatan: a)kegiatan input Pengetahuan , b) Kegiatan Mengaktifkan keterampilan , dan c) KegiatanEvaluasi dan refleksi. Berdasarkan kontekstual dan frase hubungan (sebagaimanadisebutkan dalam temuan Langkah 2), panah menunjukkan aliran dari satu aktivitas keaktivitas lain sebagai satu set kegiatan urutan dalam pelaksanaan tiga domain yang

PANDANGAN PAKAR BERKENAAN AKTIVITI PEMBELAJARAN DALAM MODULE DISCOVERY MOBILE LEARNING UNTUK GURU PELATIH

17. Peni laian hasi l di lakukan secara synchroronous denganperalatan mudah alih

12. Mencari bahan -bahan untuk menyelesaikan tugasanmenggunakan peralatan mudah al ih

11. Program mentorship denganmenggunakan peralatanmudah al ih

10. Menjawab soalan kuiz atau latihan ringkas menggunakanperalatan mudah alih

16. Peni laian hasi l dilakukan secara asynchroronous denganperalatan mudah alih

9. Mengupload hasil temuan berkaitan subjek dipelajarimenggunakan peralatan mudah al ih.

6. Menyelesaikan tugasan pembelajaran berdasarakn 'kontrakpembelajaran' yang telah dipersetujui bersama pensyarah.

13. Mengupload hasil bahan pengajaran yang dibina sendiri/kumpulanuntuk dapat komen bagi membaiki mutu

3. Membina tautan (l ink) berkaitan subjek berbentuk kod QR (quickrepond) atau hyperlink dan sebagainya

7. Membentang hasi l tugasan untuk permurnian dapatanmenggunakan media sosial.

2. Mengakses input suatu informasi yang boleh dijadikanpengetahuan sesuatu subjek melalui peralatan mobile

8. Membincang tugasan dalam kelompok keci l melalui forum,blog atau social media.

14. Mengupload ' microteaching' kendiri untuk mendapat feedbackdari pensyarah dan rakan2

15. Mengupload hasil temuan baru untuk di bincang denganrekan-rekan dan pensyarah untuk mengkonstruk pengetahuanbaru

1. Mengenalpasti objekti f pembelajaran semasa untuk individudan kumpulan

4. Membincangkan berkaitan dengan informasi, pengetahuan,permasalahan dan tren terkini dalam subjek menggunakansosial media (facebook, twetter, google talk, yahooo

5. Mengembangkan perbincangan permasalahan/isu dengankelompok pelajar lain dengan media sosial.

Interpretive Structural Model - Model Completed

Page 77: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

70

saling terkait satu sama lain dan membentuk suatu keseluruhan struktur urutan kegiatanmodul discovery mLearning.

Selain itu kita juga bisa mengamati bahwa kegiatan ini juga bisa termauk ke dalamjenis teknologi pembelajaran berbasis kegiatan seperti yang dijelaskan dalam modelSAMR (Gambar 1) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Kegiatan ke tahap-tahap dalam SARM model

SAMR Model stages Discovery MLearning Modul ModelLearning Activities

Substitution 3, 10, 12, 6, 17Augmentation 4, 8,9,13Modification 2, 5, 7, 16Redefinition 1, 11, 14, 15

Seperti yang diusulkan dalam model SAMR pembelajaran harus memungkinkan fungsipenggunaan teknologi (perangkat mobile dan teknologi) sesuai dengan semua tahapanseperti ditunjukkan pada Tabel 2 untuk mengoptimalkan kemampuan teknologi dalammembantu siswa untuk memenuhi keberagaman tujuan mereka dalam dan untukmembantu mereka untuk mencapai potensi tertinggi.

KesimpulanArti utama dari pemanfaatan teknologi dalam pendidikan bukan tentang bagaimanamenariknya teknologi itu dalam melakukan hal-hal berbeda dibandingkan denganpraktik konvensional atau biasa. Meskipun dampak langsung, pengaruh positif dankenyamanan teknologi dapat dirasakan akan tetapi yang utama adalah keberlanjutan(sustainability). Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan bagaimana mLearningsebagai alat teknologi baru untuk belajar dapat digunakan sebagai solusi yang layakdalam membantu mahasiswa untuk mencapai tujuan mereka

Daftar Pustaka

Attewell, J. (2005). Mobile Technologies and Learning: A technology update andmlearning project summary. Learning and Skills Development Agency. London

Charan, P. Shankar, R &Baisya, R.K.( 2008). Analysis of interactions among thevariables of supply chain performance measurement system implementation.Business Process Management Journal, 14(4), 512-529.

Cook, J. (2010). Mobile phones as mediating tools within augmented contexts fordevelopment. inPachler, N. (ed) Mobile learning in the context of transformation.Special Issue of International Journal of Mobile and Blended Learning.

Delbecq, A. L., Van de Ven, A. H., & Gustafson, D. H. (1975). Group techniques forprogram planning. Glenview, IL: Scott, Foresman, and Co.

Dlodlo, N, Tolmay, JP and Mvelase, P. (2012). Handing over ownership of schools tolearners. 4th International Conference on ICT for Africa 2012, Kampala, Uganda,21-24 March 2012. Retrieved on 24 September 2012 athttp://researchspace.csir.co.za/dspace/bitstream/10204/5967/1/DloDlo1_2012.pdf

Isman, A. (2004). Roles of the Students and Teachers in Distance Education.TurkishOnline Journal of Distance

Education 4(5).Retrieved from http://tojde.anadolu.edu.tr/tojde16/pdf/isman.pdf.

Page 78: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

71

Isman, A., Abanmy,F.A., Hussein,H.B. and Al Saadany, M.A. (2012). Using BlendedLearning In Developing Student Teachers Teaching Skills.Turkish Online Journalof Distance Education 11(4). 336-345

Kukulska-Hulme, A.G., Traxler, J. (2005). Mobile Learning. A handbook for educatorand trainers. New York: Routedge Falme

Knezek, G. Christensen R (2002 Impact of New Information Technology on Teachersand Students Journal of Education and Information Technology 7:4, 369-376,2002 Kluwer Academic plubliser

Quinn, C. N. (2011). Designing mLearning: tapping into the mobile revolution fororganizational performance.San Francisco, CA: Pfieffer

Russell, M., Bebell, D., O'Dwyer, L., & O'Connor, K. (2003). Examining teachertechnology use:Implications for preservice and inservice teacher preparation.Journal of Teacher Education, 54(4), 297-310.

Ruben R. Puentedura. (2006).Transformation, Technology, and Education. Retrieved on12 September 2012 atHtt p://hippasus.com/resources/tte/.

Saedah Siraj (2004). Pembelajaran Mobile dalam Kurikulum Masa Depan (MobileLearning in Future Curriculum). Masalah Pendidikan, Issues in Education, 27,129-141. (http://myais.fsktm.um.edu.my/view/type/article/Masalah_Pendidikan.html)

Sandy, L. D. (2010). Social capital, empowerment and educational change: A scenarioof

permeation of one-to-one technology in school. Journal of Computer Assisted Learning,26(4), 284-295.

Traxler (2007).Current State of Mobile Learning. International Review on Research inOpen and Distance Learning IRRODL) 8, no. 2.

Terras, M. and Ramsay, J. (2012).The five central psychological challenges facingeffective mobile learning. British Journal of Educational Technology, 43(5), 820–832.

Warfield, J. N. (1973a). An assault on complexity, Battelle Monograph No 3, BattelleMemorial Institute, Columbus. Ohio, USA.

Warfield, J. N. (1 973b).'Intent structures'.IEEE Trans on System, Man and Cybeni,SMC3(2), 133-140.

Warfield, J. N. (1974). Structuring complex systems, Battelle Monograph No 4, BattelleMemorial Institute, Columbus. Ohio, USA.

Warfield, J. N. (1974b). 'Developing subsystems matrices in structural modelling', IEEETrans Syst, Man andCybem.SMC 4(1), 74-80, 81-87.

Warfield, J. N. (1976). Societal systems: planning. policyand complexity, John Wiley &Sons Inc. New York, USA.

Warfield, J. N. (1982). 'Interpretive structural modelling'. In: Olsen, S. A. (ed), Groupplanning and problem solving methods in engineering management. John Wileyand Sons, Inc,New York, USA.

Willems, G. M., Stakenborg, J. H. J., & Veugelers, W. (2000). Trends in Dutch teachereducation. Netherlands: Garant. Retrieved 5 January 2012, from

http://books.google.com/books?id=U9UUBs0dnDYC&pg=PA66&dq=ICT+in+teacher+education

Page 79: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

72

POLA BUSANA TEKNIK KONSTRUKSI ANTARA MEDIA POWERPOINTDAN FLIP CHAR

AtiqohUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstractLearning media is external factor which influences students learning result. Theproblem in this research is if there is any difference in students learning result ofPattern Making with Power Point between Flip Chart. The purpose is to prove ifthere is any difference in students learning result of Pattern Making between PowerPoint and Flip Chart. Population of this result are Fashion’s students grade X ofSMK 1 Sidoarjo which is 110 students using random sampling, Fashion 1 grade Xusing Power Point and Fashion 2 grade 2 using Flip Chart, sample are 74 students,using T test analysis. The conclusion of this research is there is a difference instudents learning result of Pattern Making with Power Point between Flip Chart, itis proven by Fashion 1 using Power Point on significant level <0,05 with withusing Power Point is 2508,0 with mean score is 67,78 and deviation standart scoreis 5,18. Fashion 2 learning result using Flip Chart is 2357,8 with mean score is63,73 and deviation standart score is 5,06. The advide from this research is try touse Power Point because it is proven that it can help student to understnd thematerial better and increase the capability to make pattern making. Using FlipChart can be chosen to teach the material, but it should be explained in more detail.

Keywords: Learning result, Pattern Making, Power Point and Flip Chart

PendahuluanPerkembangan dan kemajuan era globalisasi pada saat ini menuntut untuk lebih

maju terutama keterampilan yang dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupunnon formal, salah satu contoh pendidikan formal yaitu Sekolah Menengah Kejuruan.Sekolah tidak hanya mencetak manusia yang pandai saja, namun juga memilikiketerampilan yang dapat disalurkan ke dunia industri atau menciptakan lapangan kerjasendiri, semua ini didukung oleh kemampuan dan kemauan dari diri sendiri disampingpersiapan modal.

SMK Negeri I Sidoarjo adalah lembaga yang ikut meningkatkan sumber dayamanusia yang profesional dan dapat melaksanakan serta mengembangkan ilmupengetahuan dan teknologi melalui pendidikan pada masyarakat sehingga dapatmemasuki pangsa pasar kerja baik sebagai tenaga kerja atau berwiraswasta.

Adapun tujuan Program Keahlian Tata Busana adalah, tujuan Program KeahlianTata Busana secara umum mengacu pada isi Undang - Undang Sistim PendidikanNasional (UU SPN) pasal 3 mengenai tujuan Pendidikan Nasional dan penjelasan pasal15 yang menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengahyang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.Secara khusus tujuan Program Keahlian Tata Busana adalah membekali peserta didikdengan keterampilan, pengetahuan dan sikap agar kompeten : (1) mengukur, membuatpola, menjahit dan menyelesaikan busana, (2) memilih bahan tekstil dan bahanpembantu secara tepat, (3) menggambar macam – macam busana sesuai kesempatan, (4)menghias busana sesuai desain, (5) mengelola usaha dibidang busana. KTSP TataBusana SMK Negeri I Sidoarjo ( 2007, hal 4).

Membuat Pola Busana dengan Teknik Konstruksi (Pattern Making) merupakanpembeajaran yang menyajikan 70% adalah praktik dan 30% adalah teori. Membuat PolaBusana dengan Teknik Konstruksi (Pattern Making) berpedoman pada kurikulum

Page 80: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

73

berbasis kompetensi. Keberadaan materi atau mata pelajaran didasarkan ataspertimbangan tuntutan pencapaian nilai yang baik, penguasaan standart tertentukompetensi yang dipersyaratkan kebermaknaan hasil belajar siswa secara optimal.

Hasil survei awal permasalahan dalam proses pembelajaran Membuat PolaBusana Dengan Teknik Konstruksi (Pattern Making). Permasalahan apakah adaperbedaan hasil belajar siswa pada pembelajaran Membuat Pola Busana Dengan TeknikKonstruksi (Pattern Making) antara yang diajar dengan menggunakan MediaPowerPoint dan Flip Chart . Tujuan dari penelitian untuk mengetahui perbedaan hasilbelajar siswa pada pembelajaran Membuat Pola Busana Dengan Teknik Konstruksi(Pattern Making) antara yang diajar dengan menggunakan Media PowerPoint dan FlipChart .

Metode PenelitianJenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen yang

dikomparatifkan..Penelitian komparatif yaitu membandingkan dua atau tiga kejadian dengan melihatkejadian-kejadiannya dengan melihat penyebab-penyebabnya ( Arikunto,2004: 236 ),karena untuk mengetahui adanya perbedaan hasil belajar siswa pada pembelajaranMembuat Pola Busana Dengan Teknik Konstruksi (Pattern Making) antara yang diajardengan menggunakan Media PowerPoint dan Flip Chart . Variabel bebas dalampenelitian ini adalah Media PowerPoint dan Flip Chart. Variablel terikat dalampenelitian ini adalah hasil belajar

Tabel 1. Rancangan EksperimenKelompok Treatmen Variabel Bebas Hasil Pengukuran Variabel terikatEksperimen I Pembelajaran dengan media

PowerPoint (Xı)Hasil belajar siswa yang diajardengan media PowerPoint (Yı)

Eksperimen II Pembelajaran dengan mediaFlip Chart (X2)

Hasil belajar siswa yang diajardengan media Flip Chart (Y2)

Sumber Sudjana, Nana dan Ibrahim (2001 : 38)

Populasi adalah keseluruhan subyek peneliti ( Suharsini Arikunto,2006:130).Populasi dalam penelitian ini, adalah siswa kelas X Tata Busana SMK Negeri I Sidoarjotahun pelajaran 2011/2012 yang terdiri dari tiga kelas dengan jumlah110. Sampeladalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsini Arikunto,2006:130). Teknikpengambilan sampel penelitian ini menggunakan random sampling sebanyak 74responden

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodetes. Serentetan pertanyaan yang digunakan untuk mengukur ketrampilan, pengetahuan,intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok(Suharsimi Arikunto, 2006:224). Tes yang dilakukan pada penelitian ini berupa testertulis dan tes praktik, tes digunakan untuk memperoleh data hasil belajar siswa dalampembelajaran Membuat Pola Busana dengan Teknik Konstruksi ( Pattern Making),dengan sub kompetensi membuat pola dasar busana dengan sistem praktis.Pembelajaran yang menggunakan media PowerPoint dan Flip Chart yang diberikanpada saat tes tertulis maupun tes praktik untuk memperoleh data tentang hasil belajardengan menggunakan instrumen berupa angket yang diawali dengan pengujian ujicoba instrument untuk menentukan tingkat kesukaran dan daya beda soal yang diambilsecara acak, dengan 15 responden pada siswa kelas X Tata busana.

Validitas dalam penelitian ini digunakan analisis butir, yang pengukuranvaliditas butir dengan mengkorelasikan skor tiap butir skor total yang diperolah dari

Page 81: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

74

hasil uji coba, untuk dianalisa validitas dan reliabilitasnya. Hasil uji coba instrumenpada N = 15 dengan 55 soal, ternyata 49 butir soal valid dan 6 butir soal tidak validdengan hasil hitung r pbis 0,420 lebih besar dari r tabel 0,329 , maka r pbis > r tabel

pada taraf signifikan 5 % sehingga dapat dikatakan item yang dinyatakan valid dapatdigunakan sebagai instrumen penelitian.

Uji reliabilitas yang digunakan berupa tes obyektif yang berupa bentuk soalpilihan ganda betul dengan nilai 1, salah mendapat nilai 0. Dan Uji reliabilitas tespraktik dengan bentuk soal uraian dengan jawaban memakai rentangan yaitu : 1 – 4.

Teknik analisa data digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui danmembuktikan ada tidaknya perbedaan yang signifikan dari kedua kelompok sampel.Analisis data menggunakan metode uji kesamaan dua rata – rata atau uji t.

Hasil Dan PembahasanHasil penelitian dari perbedaan hasil belajar siswa kelas X Busana pada

pembelajaran membuat pola busana dengan teknik konstruksi ( Pattern Making )dengan menggunakan media Power Point dan media Flip Chart.

Tabel 2. Data Hasil Penelitian

Hasil BelajarMedia Pengajaran

PowerPoint ( X1 ) Flip Chart ( X2 )Rata – rataSS²

67,785,1826,81

63,735,0625,56

Sumber : Hasil olahan data

Tabel 2. menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan PowerPoint kelas XBusana1 lebih besar ( 67,78 ) didapat nilai standart deviasi 5,18 dibanding denganpembelajaran menggunakan Flip Chart kelas X Busana 2 ( 63,73 ) dengan standartdeviasi 5,06 dengan standart deviasi kuadrat 26,81 ( PowerPoint ) dan 25,56 ( FlipChart ).

Tabel 3. Data Uji NormalitasKelompok X² hitung Dk X² tabel KriteriaPowerPointFlip Chart

2,83481,3160

( 6 – 3 ) = 3( 6 – 3 ) = 3

7,817,81

NormalNormal

Sumber : Dari olahan hasil penelitian

Tabel 3. Menunjukkan Ho : nilai distribusi normal, jika X² hitung > X² tabelpada taraf signifikan 0,05 dan derajat kebebasan dk = ( 6 – 3 ) = 7,81.

Uji normalitas data, menunjukkan nilai kelas X Busana 1 yang diajarkanmenggunakan media PowerPoint memiliki nilai renata ( X ) = 67,78 dan nilai kelas XBusana 2 yang diajar menggunakan media Flip Chart memiliki nilai rerata ( X ) 63,73dan kelompok eksperimen X² hitung diperoleh sebesar 1,3160 dengan dk = 6 – 3 = 3 X²tabel 7,81 maka dapat berdistribusi normal.

Tabel 4. Data Uji - tKelompok Mean t hitung dk t tabel Kriteria

PowerPointFlip Chart

67,7863,73 3.410 72 1,67

Berbedanyata

Sumber : Data olahan hasil penelitian

Page 82: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

75

Tabel 4. Nilai rata – rata post tes kelas X Busana 1 ( media PowerPoint ) = 67,78dari rata– rata kelas X Busana 2 ( media Flip Chart ) = 63,73 selisih nilainya 4,05berdasarkan hasil tersebut, kemudian dikatakan perhitungan t-test atau uji rata–rata duabelah pihak.

Hasil analisis data dengan t-test hitung 3,410. Harga t-test tersebut kemudiandikonsultasikan dengan t tabel sebesar 1,67. Pada taraf signifikan (ɑ) 0,05 dan dk ( 37-1) harga t tabel 1,67, dengan demikian berarti Ho ditolak, yang berarti hasil belajar siswayang diajarkan menggunakan media Power Point lebih baik dari nilai rata-rata kelas XBusana 2 yaitu siswa yang diajar menggunakan media flip chart.

PEMBAHASANHasil belajar merupakan tingkat pencapaian siswa terhadap tujuan yang telah

ditetapkan disetiap pembelajaran dalam kurun waktu tertentu, terutama pembelajaranMembuat Pola Busana dengan Teknik Konstruksi (Pattern Making) (SuharsimiArikunto, 2006 : 269). Hasil belajar siswa yang dicapai tidak sama, karena dipengaruhioleh beberapa faktor masing – masing siswa berbeda, faktor-faktor tersebut digolongkanmenjadi dua faktor intern yang berasal dari diri individu dan faktor ekstern yang berasaldari luar individu.

Perbedaan hasil pembelajaran Membuat Pola Busana dengan Teknik Konstruksi(Pattern Making) antara pembelajaran menggunakan media Power Point denganpembelajaran menggunakan media Flip Chart , menunjukkan bahwa hasil analisis nilairata-rata kelas X Busana 1 yang pembelajaran menggunakan media PowerPoint lebihbesar yaitu 67,78, sedang nilai rata–rata kelas X Busana 2 yang pembelajaranmenggunakan media Flip Chart yaitu 63,73.

Proses belajar mengajar untuk mencapai taraf keberhasilan yang optimal danmemuaskan tentunya didukung dengan sarana yang memadai, diantaranya alat peragadan yang digunakan dalam penelitian pada pembelajaran Membuat Busana denganTeknik Konstruksi (Pattern Making) yaitu media PowerPoint dan media Flip Chart.Tentunya pembelajaran pada penerapan atau penggunaan media Power Point danmedia Flip Chart yang ditunjukkan dengan hasil perhitungan data hasil belajar rata-ratakelas yang berbeda yaitu kelas X Busana 1 dengan rata-rata 67,78 dengan standardeviasi 5,18 dan kelas X Busana 2 rata-rata 63,73 dengan standar deviasi 5,06. Dengandemikian kedua nilai rata-rata tersebut sudah menunjukkan adanya hasil belajar.

Hasil belajar dari kedua kelas dapat ditunjukkan dengan perhitungan ujinormalitas data dengan hasil kelompok eksperimen = X² instrumen yaitu 2,8348 dankelompok kontrol = X² instrumen yaitu 1,3160 dengan dk = (6 – 3) = 3 untuk tarafkepercayaan 0,05 dan diperoleh X ² tabel = 7.81 sehingga kedua kelompok tersebutada perbedaan dan data tersebut berdistribusi normal.

Hasil analisa dapat dijelaskan bahwa penggunaan media pembelajaran yangberbeda yaitu media PowerPoint dan media Flip Chart menghasilkan perbedaan darihasil belajar setiap kelas ini menunjukkan bahwa dalam penggunaan atau penerapansarana media PowerPoint lebih baik jika dibandingkan dengan media Flip Chart, dandalam proses belajar mengajar ini tentunya juga didukung dengan guru yang mengajardan dari siswa itu sendiri.

Hasil belajar yang berbeda dari dua kelas tidak hanya didukung dengan mediapembelajaran saja, tetapi didukung bagaimana cara guru menyampaikan materi tersebutdan siswa yang mempunyai motivasi untuk maju, meskipun dari kedua mediapembelajaran tersebut menunjukkan bahwa media Power Point yang lebih baik hasilbelajarnya.

Page 83: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

76

SimpulanHasil penelitian tentang perbedaan hasil pembelajaran Membuat Pola busana

dengan Teknik Konstruksi (Pattern Making) dengan menggunakan media Power Pointdan media Flip Chart pada siswa kelas X Busana SMK Negeri 1 Sidoarjo,Ada perbedaan hasil belajar antara pembelajaran yang menggunakan media PowerPointdan media Flip Chart pada pembelajaran Membuat Pola Busana dengan TeknikKonstruksi (Pattern Making) di SMK Negeri 1 Sidoarjo, dan hasil penelitianmenunjukkan penggunaan media PowerPoint lebih baik nilainya dan anak lebih trampil.Saran

Guru yang mengajar pembelajaran Membuat Pola Busana dengan TeknikKonstruksi sebaiknya menggunakan media PowerPoint karena dapat membantu siswalebih memahami materi yang diberikan guru dan dapat meningkatkan daya serapterhadap ketrampilan yang diajarkan kepada siswa. Penggunaan media PowerPointdapat dijadikan alternatif untuk digunakan menyampaikan materi pembelajaran padamata pelajaran lain.

Daftar Pustaka

Aisyah Jafar, Radias Saleh, 1991. Teknik Dasar Pembuatan Busana. Jakarta : CV.SiraSaka dan Sons.

Arsyad, Azhar, 2000. Media Pendidikan. Bandung : PT. Raja Grafindo Persada.Arief S. Sadiman,1996. Media Pendidikan, Jakarta : Rajawali.Arikunto, Suharsini, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendidikan Praktik. Jakarta :

Reneka Cipta.Catur Hadi Purnomo,2008.Panduan Belajar Otodidak Microsoft Power Point 2007,

Jakarta : Mediakita.Daryanto, 1993. Media Pengajaran. Jakarta : Radar Jaya.Hamalik, Oeman, 1994. Media Pendidikan. Bandung : PT. Cipta Adirya Bakti.Ngalim Purwanto, 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosda Karya.Rachmad Hakim S, 2009. Jago Presentasi dengan PowerPoint 2007, Jakarta : PT. Elex

Media Komputindo.Sarono, Herawati, Soekarno, 1982. Pelajaran Menjahit Pakaian Wanita dan Anak Jilid

1, Jakarta : Karya Usaha.Simanjuntak, Bintang Elly, 2000. Dasar – dasar Pembuatan Pola Jakarta : PPPG

Kejuruan.Sudjana, 2002. Penelitian Hasil Belajar Mengajar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.Sumadi Suryabrata, 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali Press.Sudjana, Nana, 2002. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT. Remaja

Rosdakarya.Tim SMK Negeri I Tata Busana, 2007. KTSP Tata Busana SMK Negeri I. Sidoarjo

.SMK N ITim SMK Neger I Tata Busana, 2007. Silabus Tata Busana SMK Negeri I.

Semarang.SMK N ITim Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya, 2001.Memilih Pola Busana. Jakarta

: Direk Pend. Menengah Kejuruan.Tim Instalasi Busana, 2001. Teknik Pembuatan Pola Dasar. Jakarta: PPPG KejuruanPratiwi, Djati, dkk, 2001. Pola Dasar dan Pecah Pola Busana, Jogjakarta: Kanisius

Page 84: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

77

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW BERBASISARTICULATE UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA

Deddy SetiawanSTKIP Garut

[email protected]

JenalGuru SD Sukalaksana I Garut

AbstrakProses pembelajaran IPS selama ini kurang optimal bahkan tidak mencapai tujuanyang diharapkan. Oleh karena itu dipandang perlu mencari satu modelpembelajaran yaitu model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbasis articulateuntuk meningkatkan keterampilan sosial siswa kelas V SDN Sukalaksana IKecamatan Sucinaraja Kabupaten Garut. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelasV SD Negeri Sukalaksana I Kecamatan Sucinaraja Kabupaten Garut, yangdimaksudkan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran kooperatif tipejigsaw berbasis articulate dalam meningkatkan keterampilan sosial siswa yangmeliputi aspek hidup bersama dan bekerjasama, belajar mengendalikan danmengarahkan diri, berbagi ide dan pengalaman. Penelitian ini merupakan penelitiankuantitatif yang menggunakan desain penelitian quasi experiment, denganmengambil dua kelas, satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol, masing-masing jumlah siswa 30 orang. Hasil eksperimen model pembelajaran kooperatiftipe jigsaw berbasis articulate mampu meningkatkan keterampilan sosial secarasignifikan. Artinya dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbasisarticulate meningkat sebesar 62%. Peningkatan terbesar pada aspek berbagi ide danpengalaman kepada yang lain. Penelitian ini menghasilkan data bahwa dari totaljumlah siswa kesimpulan sebagai berikut: 1) Kemampuan keterampilan sosial kelaseksperimen sebelum pembelajaran 98,33% terkualifikasi sedang, setelahpembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbasis articulate, maka kemampuanketerampilan sosial kelas eksperimen sebanyak 27 orang atau 91,52%berkualifikasi tinggi dan hanya 2 orang atau 6,79 % berkualifikasi sedang.2)kemampuan keterampilan sosial sesudah pembelajaran konvensional pada kelaskontrol sebanyak 21 orang atau 69,50% berkualifikasi tinggi dan masih 9 orangatau 30,50 % berkualifikasi sedang. 3) Penggunaan model pembelajaran kooperatiftipe jigsaw berbasis articulate sangat efektif untuk meningkatkan kemampuanketerampilan sosial siswa, adapun urutan peningkatan efektifitasnya dari aspekyang paling tinggi yaitu berbagi ide dan pengalaman kepada yang lain, kemudianhidup bersama danbekerjasama, dan yang terakhir aspek belajar mengendalikandan mengarahkan diri. Sebagai saran dari penelitian ini bagi adalah (1) Modelpembelajaran kooperatif tipe jigsaw sangat efektif digunakan dalam meningkatkankemampuan keterampilan sosial siswa yang dapat digunakan juga bagi matapelajaran yang lain dan tidak terpengaruh oleh faktor-faktor seperti jenis kelamindan prestasi. (2) Para peneliti yang mendalami pembelajaran kooperatifseyogyanya terus mencari, mempelajari, mengembangkan berbagai kemampuanyang perlu dimilki oleh siswa untuk peningkatan kualitas pembelajaran, (3)Program aplikasi articulate merupakan media yang efektif dapat juga digunakanoleh para guru.

Kata Kunci : jigsaw, articulate, kooperatif

PendahuluanPendidikan dasar khususnya di Sekolah Dasar merupakan permulaan

pendidikan formal yang banyak menentukan mutu pendidikan pada jenjang sekolah

Page 85: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

78

berikutnya, yang perlu mendapatkan perhatian serius. Keberhasilan mengatasi kendalapada tingkat Sekolah Dasar merupakan langkah atau upaya yang strategis untukmencapai tujuan Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu mengembangkan potensi siswaagar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yangdemokratis serta bertanggung jawab, sedangkan fungsinya mengembangkankemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalamrangka mencerdaskan kehidupan bangsa.Untuk mengembangkan fungsi tersebutpemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantumdalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Peningkatan untuk pendidikan diarahkan untuk peningkatan kualitas manusia Indonesiaseutuhnya diantaranya melalui olah pikir agar memiliki daya saing dalam menghadapitantangan global.

Teknologi Pembelajaran tumbuh dari praktek pendidikan dan gerakankomunikasi audio visual. Teknologi Pembelajaran semula dilihat sebagai teknologiperalatan, yang berkaitan dengan penggunaan peralatan, media dan sarana untukmencapai tujuan pendidikan atau dengan kata lain mengajar dengan alat bantu audio-visual. Teknologi Pembelajaran merupakan gabungan dari tiga aliran yang salingberkepentingan yaitu media pendidikan, psikologi pembelajaran dan pendekatan sistemdalam pendidikan.Dalam mengimplementasikan teknologi pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan yang hakiki, satu hal yang berkepentingan adalahpendekatan sistem dalam pendidikan. Pendekatan sistem dalam pembelajaran, salahsatunya adalah bagaimana menerapkan strategi pembelajaran. Pembelajaran kooperatif(cooperative learning) terkategori sebagai strategi dalam pembelajaran. Terdapatbanyak jenis pembelajaran kooperatif, salah satunya adalah tipe jigsaw. Pembelajarankooperatif tipe jigsaw adalah belajar kelompok yang digunakan dalam kegiatan belajarsiswa di kelas atau di sekolah untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimalsesuai dengan yang diharapkan dan membantu siswa menumbuhkan cara belajarkelompok atau bekerja sama dengan saling menghargai satu sama lain, menerima danmemberi peluang kepada siswa yang berlatar belakang dan kondisi untuk salingbergantung antara temannya atas tugas-tugas bersama serta memberi keuntungan padasiswa yang bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

Dalam teknologi pembelajaran, penggunaan media merupakan hal yang tidakdapat dipandang sebelah mata. Media dapat beragam jenisnya salah satunya adalahmedia yang berbantuan komputer. Media berbantuan komputer dapat beragamwujudnya dengan beragamnya piranti lunak (software) yang digunakan. Salah satunyaadalah Articulate, Articulate merupakan Software Mix Programing Tools yang dapatdimanfaatkan para pendidik mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar,pendidikan menengah sampai perguruan tinggi, maupun para desainer pembelajaranmodern dalam membangun sebuah program pembelajaran berbasis multimedia.Darmawan (2011:1) mengemukakan bahwa program articulate dapat dikatakan sebagaisalah satu program aplikasi yang didukung oleh smart brainware secara sederhanadengan prosedur tutorial interaktif melalui template yang dapat di-publish secara offlinemaupun online sehingga memudahkan user dalam memformatnya dalam bentuk webpersonal, CD, word processing, dan Learning Managenent System (LMS).

Dengan adanya penerapan metode pembelajaran disertai penggunaan mediapembelajaran maka diharapkan pembelajaran dapat mengena pada sasaran yang ingindicapai. Paling tidak belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajaradalah proses mental yang terjadi pada diri seseorang sehingga menyebabkan muncul

Page 86: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

79

perubahan perilaku dan aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individudengan lingkungan yang disadari (Sanjaya, 2006:110).

Hasil yang ingin dicapai dari suatu proses pembelajaran adalah terwujudnyasejumlah kompetensi pada diri siswa. Merujuk definisi Mendiknas SK.04/U/2002(dalam Munthe, 2009:27) mengatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat tindakancerdas penuh tanggung jawab yang dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untukdianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang tertentu.Kompetensi merupakan kemampuan siswa untuk mengerjakan sesuatu dengan baiksebagai hasil dari proses pembelajaran atau pendidikan yang diikutinya. Dengandemikian, kompetensi merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh diri individudalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan uraian tugas yang dilakukannya.Kompetensi juga dapat dikatakan sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilaiyang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terusmenerus memungkinkan seseorang menjadi berkompeten dalam arti memilikipengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai untuk melakukan sesuatu.

Kendala-kendala yang dijumpai atau ditemukan pada kegiatan awal dalamproses pembelajaran pada mata pelajaran IPS siswa kelas V SD Sukalaksana IKecamatan Sucinaraja adalah kemampuan belajar siswa secara aktif, kreatif dan bekerjasama dalam menyelesaikan tugas dalam belajar kelompok untuk mencapai tujuanpembelajaran yang diharapkan baik secara individual maupun kelompok. Setelahdiamati masalah tersebut muncul karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhihal tersebut diantaranya (1) faktor guru, guru seringkali memberikan tugas pada siswasecara langsung, kemudian siswa dikelompokkan untuk menyelesaikan tugas tanpamemberikan petunjuk pengerjaan, tanpa bimbingan guru dalam proses belajar siswa, (2)faktor siswa, siswa seringkali mengalami kejenuhan dalam belajar akibatnya kurangnyakonsentrasi dan kesungguhan dalam belajar, kegaduhan yang tidak terkendali, belajarmenjadi kurang bermakna, terbukanya kesenjangan antar siswa dengan adanya perasaanminder sebagian siswa bila berada satu kelompok dengan yang pandai, bingung dalammengerjakan tugas yang diberikan guru.

Kajian PustakaPembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk

memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil daripengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya(Surya, 2004 :7).Pembelajaran merupakan suatu sistem, yang terdiri atas berbagai komponen yng salingberhubungan satu dengan yang lain. Komponen tersebut meliputi : tujuan, materi,metode dan evaluasi. Keempat komponen pembelajaran tersebut harus diperhatikan olehguru dalam memilih dan menentukan model pembelajaran apa yang akan digunakandalam kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran biasanya disusun berdasarkanberbagai prinsip atau teori sebagai pijakan dalam pengembangannya. Joyce dan Weil(dalam Sagala, 2008:176) Pembelajaran menurut Surya (2004: 7) merupakan suatuproses kegiatan yang dilakukan atau dilaksanakan oleh individu dengan tujuan untukmemperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan (pengetahuan,sikap, dan keterampilan) sebagai hasil dari pengalaman individu sendiri dalam interaksidengan lingkungannya.Pembelajaran kooperatif pada hakekatnya sama dengan kerjakelompok, oleh karena itu banyak guru yang mengatakan tidak ada suatu yang barudalam pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw karena mereka menganggap telah terbiasamenggunakannya. Akan tetapi walaupun kooperatif terjadi dalam kelompok, BelajarKooperatif adalah suatu pendekatan yang mencakup kelompok kecil dari siswa yangbekerja sama sebagai suatu tim untuk memecahkan masalah, menyelesaikan suatu tugas,atau menyelesaikan suatu tujuan bersama. Kerja sama merupakan kebutuhan yang

Page 87: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

80

sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tidak akan adaindividu, keluarga, organisasi, atau sekolah, tanpa kerja sama kehidupan ini sudahpunah ( Lie, 2005:27).Model kooperatif merupakan salah satu model dalam menentukanstrategi pembelajaran IPS, karena dalam aktivitas belajar dipusatkan pada siswa untukmemecahkan masalah akademik, serta siswa dituntut untuk mengembangkanketerampilan sosial, kerja sama, untuk mencapai hasil belajar. Roger dan Johnson,(dalam Lie, 2005:31) mengatakan bahwa:Tidak semua kerja kelompok bisa dianggapkooperatif tipe Jigsaw. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur modelpembelajaran gotong royong harus diterapkan yaitu saling ketergantungan positif,tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antara anggota, dan evaluasiproses kelompok.

Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yangmenerapkan sistem kompetensi, dimana keberhasilan individu diorienrasikan padakegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalahmenciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi olehkeberhasilan kelompoknya, Slavin (dalam Momoh 2010:37 ). Model pembelajarankooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaranpenting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al (2002:27), yaitu : a) Hasil BelajarAkademik, b) Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu, c) Tujuan lain modelpembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbedaberdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya.Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dankonsdisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik danmelalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain,d) Pengembangan Keterampilan SosialPembelajaran kooperatif adalah mengajarkankepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilansosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat anak muda masih kurang dalamketerampilan sosial.

Dalam teknik pembelajaran ini, guru memperhatikan skemata atau latarbelakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahanpelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswadalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolahinformasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.Pembelajaran kooperatif tipeJigsaw adalah suatu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggotadalam suatu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian dari materibelajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalamkelompoknya.Arends (dalam Momoh:2010)Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsawmerupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelopok kecilyang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan berkerja sama saling ketergantunganyang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi belajar dan mampumengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya Arends (dalamMomoh:2010). Jigsaw di desain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswaterhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanyamempelajarai materi yang diberikan, tetapi harus siap memberikan dan mengajarkanmateri tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa salingtergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untukmempelajari materi yang ditugaskan” ( Lie, 2005).

Articulate merupakan Software Mix Programing Tools yang dapatdimanfaatkan para pendidik mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar,pendidikan menengah sampai perguruan tinggi, maupun para desainer pembelajaranmodern dalam membangun sebuah program pembelajaran berbasis multimedia.

Page 88: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

81

Darmawan (2011: 1) mengemukakan bahwa program articulate dapat dikatakan sebagaisalah satu program aplikasi yang didukung oleh smart brainware secara sederhanadengan prosedur tutorial interaktif melalui template yang dapat di-publish secara offlinemaupun online sehingga memudahkan user dalam memformatnya dalam bentuk webpersonal, CD, word processing, dan Learning Managenent System (LMS).Ada empatpilihan program articulate yang dapat dimanfaatkan oleh para programmer (pendidikdan profesional lainnya), yaitu: articulate Engige, articulate Quizmaker, articulatePrersenter, dan articulate Movemaker. Dari keempat program articulate tersebutmemiliki fungsi yang berbeda sehingga pendidik dapat memanfaatkan program inisesuai kebutuhan.

Metode PenelitianPenelitian ini menggunakan studi eksperimen terhadap dua kelompok.

Eksperimen dilakukan terhadap dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen diberikanperlakuan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbasis articulate dan kelompok kontroldiberikan perlakuan pembelajaran konvensional. Dengan langkah-langkah sebagaiberikut kedua kelompok itu diberikan tes awal. Adapun tujuan utama diberikannya tesawal adalah untuk mengetahui kemampuan awal baik kelompok eksperimen maupunkelompok kontrol. Setelah proses pembelajaran selesai (diberi perlakuan baik kelaseksperimen maupun kelas kontrol), maka peneliti memberikan tes akhir kemudianmembandingkan hasil belajar dari kelompok tersebut.Populasi adalah wilayahgeneralisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristiktertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.(Sugiyono, 2010:297).Data yang diperoleh yaitu berasal dari siswa kelas V yang terdiridari dua kelas, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SDNSukalaksana I Kecamatan Sucinaraja Kabupaten Garut.

Sampel adalah sebagian dari populasi (Sugiyono, 2010:297). Dari dua kelasyang ada ditentukan sebagai subyek sampel secara acak yaitu sebagai kelompok kontroldengan jumlah siswa 30 siswa dan sebagai kelompok eksperimen dengan jumlah sampel30 orang siswa. Untuk mendapatkan data awal kemampuan keterampilan sosial, makapeneliti mengadakan pretes, kemudian dicari siswa yang kemampuan keterampilansosialnya masih rendah untuk diberi treatment. Dari siswa yang akan diberikantreatment dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama dilaksanakan pembelajarandengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berbasis articulatesebanyak 29 siswa sedangkan kelompok kedua dilaksanakan pembelajaran denganmenggunakan model pembelajaran konvensional sebanyak 30 siswa.

Hasil Penelitian Dan Pembahasan1. Keterampilan Sosial Siswa Kelas V SDN Sukalaksana I Kecamatan Sucinaraja

Kabupaten GarutSalah satu cara untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa adalah

berdasarkan pendapat Ibrahim et.al (2000:27) bahwa salah satu tujuan pembelajarankooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasiserta keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat anakmuda masih kurang dalam keterampilan sosial. Pada akhir penelitian, yaitu sesudahdiberikan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate, secara umumrata-rata kemampuan keterampilan sosial pada kelas eksperimen sama dengan 82,21,sehingga hal ini dapat diinterpretasikan kemampuan keterampilan sosial siswa setelahdiberikan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate, tergolongberkemampuan tinggi. Keterampilan sosial sebelum pembelajaran kooperatif tipeJigsaw berbasis articulate pada kelas eksperimen sebesar 98,33 % (29 orang) belum

Page 89: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

82

mampu, namun setelah diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasisarticulate, maka kualitas akhir kemampuan keterampilan sosial kelas eksperimensebanyak 27 orang atau 91,52 % mampu tergolong tinggi, dan hanya 2 orang atau 6,78% saja yang belum mampu tergolong sedang .

Berdasarkan analisis data yang dilakukan terhadap siswa yang mendapatperlakuan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate terlihat bahwa padakolom Sig. (2-tailed) sebesar 0,000. Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari tarafsignifikansi α = 0,05 sehingga H ditolak dan H diterima. Dengan demikian dapatdisimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan akhirketerampilan sosial antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dalam hal ini, kelaseksperimen yaitu kelas yang mendapat model pembelajaran kooperatif tipe Jigsawberbasis articulate lebih baik keterampilan sosialnya dibandingkan dengan kelas kontrolyang mendapat model pembelajaran bukan kooperatif berbasis articulate (dalam hal inipembelajaran konvensional).

Hasil ini menunjukkan bahwa keterampilan sosial siswa sesudah pembelajaranpada kelas yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate lebihbaik secara kualitas. Dengan kata lain, pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasisarticulate sangat efektif dalam meningkatkan keterampilan sosial siswa. Hal ini sejalandengan pendapat Ibrahim et.al (2000:27) bahwa salah satu tujuan pembelajarankooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasiserta keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat anakmuda masih kurang dalam keterampilan sosial. Hasil penelitian ini membuktikan bahwaketerampilan sosial yang diteliti meliputi aspek pertama hidup bersama danbekerjasama, berusaha mewujudkan siswa yang mampu membantu/menolong oranglain, menghargai pendapat orang lain. toleran terhadap orang lain, bergiliran, mengikutipetunjuk/aturan, aspek kedua belajar mengendalikan dan mengarahkan diri, dimanasiswa diharapkan mampu untuk mengucapkan kata-kata yang baik, mengontrol emosi,bersungguh-sungguh memperhatikan orang lain, serta aspek ketiga berbagi ide danpengalaman dengan menjadikan siswa dapat menyampaikan dan menerima pendapat,ketiga aspek tersebut dapat ditingkatkan kualitasnya dengan menggunakanpembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate.

Setelah dilakukan pehitungan terhadap data kemampuan keterampilan sosialbaik pada sebelum dan sesudah pembelajaran konvensional, maka hasil kemampuanketerampilan sosial dengan mengacu kepada kriteria yang telah ditetapkan, maka secaraumum kemampuan keterampilan sosial pada sebelum pembelajaran rata-ratakemampuannya sama dengan 52,50 sehingga hal ini diinterpretasikan bahwakemampuan keterampilan sosial tergolong sedang. Namun pada akhir penelitian yaitusetelah diberikan model pembelajaran konvensional secara umum rata-rata kemampuanketerampilan sosialnya sama dengan 70,37 dan diinterpretasikan bahwa kemampuanketerampilan sosialnya tergolong tinggi. Secara kumulatif hasil kualitas kemampuanakhir keterampilan sosial hanya ada 9 siswa yang belum mampu (30,50 %) dansebanyak 21 siswa yang sudah mampu (69.50 %). Hal ini menunjukkan bahwa untukkelas kontrol yang tidak menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsawberbasis articulate atau hanya dengan model pembelajaran konvensional terdapatpeningkatan pada 21 orang siswa dan 9 siswa lainnya memiliki kemampuan yangrendah. Sekalipun dengan pembelajaran konvensional dapat meningkatkan keterampilansosial siswa, hanya saja jika dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajarankooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate peningkatannya lebih tinggi dibandingkandengan yang mendapatkan pembelajaran konvensional.

Page 90: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

83

2. Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Berbasis ArticulateDari hasil pengujian di atas terlihat bahwa pada kolo Sig. (2-tailed) sebesar

0,000. Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi (α) = 0,05 sehinggaH0 ditolak dan H1 diterima. Jadi terdapat perbedaan yang nyata antara keterampilansosial siswa setelah mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulatedan kelas yang mendapat model pembelajaran konvensional.

Dengan jumlah siswa yang hampir berbeda, yakni 29 orang di kelas eksperimendan 30 orang di kelas kontrol, perbandingan skor keterampilan sosial setelah antarakelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulatedengan kelas yang menggunakan pembelajaran konvensional adalah 82,21: 70,37.Secara deskriptif, sesudah yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsawberbasis articulate, keterampilan sosialnya lebih baik daripada kelas yang menggunakanmodel pembelajaran konvensional. Namun hal ini harus dibuktikan secara statisitikuntuk menguji kebenaran hipotesis.

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan keterampilan sosial sesudahpembelajaran antara kelas yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Jigsawberbasis ariticulate dan kelas yang menggunakan model pembelajaran konvensionaldigunakan uji U-Mann Whitney melalui program SPSS versi 16.0.

Dari hasil pengujian terlihat bahwa pada kolom Sig. (2-tailed) sebesar 0,000.Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi α = 0,05 sehingga Hditolak dan H diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yangsignifikan antara kemampuan keterampilan sosial antara kelas eksperimen dan kelaskontrol sesudah pembelajaran. Dalam hal ini, kelas eksperimen yaitu yang mendapatmodel pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate lebih baik keterampilansosialnya dibandingkan dengan kelas kontrol yang mendapat model pembelajaran bukankooperatif (dalam hal ini pembelajaran konvensional).

Hasil analisis data membuktikan bahwa terdapat perbedaan kemampuanketerampilan sosial antara kelas yang menggunakan pembelajaran kooperatif tipeJigsaw berbasis articulate dengan kelas yang menggunakan pembelajaran konvensional.Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukan bahwa dengan menggunakan pembelajarankooperatif, meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasisiswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwamodel ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Parapengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaankooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar Ajaran dan perubahannorma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yangberhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntunganbaik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersamamenyelesaikan tugas-tugas ajaran.

Kemampuan keterampilan sosial yang menggunakan pembelajaran kooperatiftipe Jigsaw berbasis articulate ternyata lebih baik daripada kemampuan keterampilansosial yang mendapat pembelajaran konvensional. Nilai rata-rata gain untuk setiapaspek adalah:

a. Untuk aspek Hidup Bersama dan Bekerja SamaPada kelas yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis

articulate menunjukkan nilai gain 64 % yang terkategori sedang, untuk kelas yangmendapatkan pembeljaran kooperatif menunjukkan nilai gain 31 % termasuk kategorisedang. Untuk aspek ini, kedua kelas mendapat nilai gain pada kategori sedang. Hal inimenunjukkan bahwa kemampuan hidup bersama dan bekerja sama pada penerapankedua pembelajaran tersebut masing-masing hanya dapat meningkatkan hingga pada

Page 91: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

84

kategori sedang (64 % untuk kelas yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsawberbasis articulate dan 31 % untuk kelas yang mendapat pembelajaran konvensional).Berarti pada penelitian ini, kemampuan keterampilan sosial pada aspek hidup bersamadan bekerja sama diperoleh peningkatan hingga kategori sedang, dengan kata lainkemampuan siswa dalam hal membantu/menolong orang lain, menghargai pendapatorang lain. toleran terhadap orang lain, bergiliran, mengikuti petunjuk/aturan,mengalami perubahan dari sebelum pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasisarticulate yang berada pada kondisi rendah menjadi terkategori sedang setelahpembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate dilaksanakan.

b. Untuk aspek Belajar Mengendalikan dan Mengarahkan DiriPada kelas yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis

articulate menunjukkan nilai gain 45 % yang terkategori sedang, untuk kelas yangmendapat pembelajaran konvensional menunjukkan nilai gain 26 % dengan kategorirendah. Hal ini berarti untuk kelas yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsawberbasis articulate pada aspek belajar mengendalikan dan mengarahkan diri, mendapatpeningkatan yang nyata hingga pada kategori sedang. Sedangkan, untuk kelas yangmendapat pembelajaran konvensional hanya mendapat peningkatan nilai gain padakategori rendah. Aspek ini meliputi siswa memiliki kemampuan sedang dalammengucapkan kata-kata yang baik, mengontrol emosi, bersungguh-sungguhmemperhatikan orang lain. Hal ini disebabkan karena siswa belum terbiasa denganpembelajaran kooperatif yang mengharuskan adanya diskusi antar siswa secarateroganisir, belum terbiasa mengendalikan emosi, memilah kata untuk menyampaikanpendapat dengan kata-kata yang baik.

c. Untuk Aspek Berbagi ide dan PengalamanPada kelas yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis

articulate menunjukkan nilai gain 77 % yang terkategori tinggi, untuk kelas yangmendapat pembelajaran konvensional menunjukkan nilai gain30 % dengan kategorirendah. Hal ini berarti untuk siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe Jigsawberbasis articulate pada aspek berbagi ide dan pengalaman yaitu kemampuanmenyampaikan pendapat dan menerima pendapat, memperoleh peningkatan yang nyatahingga pada kategori tinggi. Sedangkan, untuk siswa di kelas yang mendapatpembelajaran konvensional hanya mendapat peningkatan nilai gain pada kategorirendah atau masih belum optimal dengan kata lain siswa masih berada pada kondisirendah dalam menyampaikan pendapat dan menerima pendapat. Hal ini disebabkankarena siswa belum terbiasa dengan pembelajaran kooperatif yang mengharuskanadanya diskusi antar siswa secara teroganisir.

Dengan demikian secara umum, pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasisarticulate dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa pada aspek Living and WorkTogether (hidup bersama dan bekerja sama), Learning Self (belajar mengarahkan danmengendalikan diri) Control and Self Direction, Sharing Ideas and Experiences withother (berbagi ide dan pengalaman dengan yang lain).

Adapun mengapa aspek Sharing Ideas and Experiences with other memilikinilai peningkatan gain yang tergolong tinggi karena dalam pembelajaran kooperatif tipeJigsaw berbasis articulate menunjukkan adanya saling ketergantungan positif, tanggungjawab perseorangan yang ingin menampilkan yang terbaik dari dirinya, tatap mukauntuk menghasilkan sinergi yang saling menguntungkan bagi setiap kelompok,komunikasi yang terjadi antar anggota dengan cara yang positif dan bijaksana.

Untuk dua aspek lainnya yaitu aspek Living and Work Together dan aspekLearning Self Control and Self Direction masing-masing terkategori sedang untuk nilai

Page 92: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

85

peningkatannya. Peningkatan pada kedua aspek tersebut disebabkan oleh penerapanpembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate, dimana pembelajaran ini dapatmeningkatkan kerjasama di antara siswa, sehingga dapat mengarahkan dan menjadipengendali siswa dalam pembelajaran.

SimpulanPertama, Keterampilan sosial siswa kelas V SD Sukalaksana I sebelum pembelajaran98,33% terkualifikasi sedang, setelah dilaksanakan perlakuan model pembelajarankooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate, maka kemampuan keterampilan sosial kelaseksperimen sebanyak 27 orang atau 91,52 % terkualifikasi tinggi dan hanya 2 orangatau 6,78 % terkualifikasi sedang. Kedua, Penggunaan model pembelajaran kooperatiftipe Jigsaw berbasis articulate lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan sosialsiswa pada aspek hidup bersama dan bekerja sama, belajar mengendalikan danmengarahkan diri, berbagi ide dan pengalaman dengan yang lain pada mata pelajaranIPS khususnya pada pokok bahasan kegiatan ekonomi di Indonesia di kelas V SDSukalaksana I. Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas telah menunjukkan bahwasemakin tinggi penggunaan model pembelajaran tipe Jigsaw berbasisi articulate, makasemakin efektif dalam peningkatan keterampilan sosial siswa. Ketiga, Penggunaanmodel pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berbasis articulate sangat efektif untukmeningkatkan keterampilan sosial siswa kelompok sedang, adapun urutan peningkatanefektifitasnya dari aspek yang paling tinggi yaitu Sharing ideas and experience withother, kemudian Living and Work Together dan yang terakhir aspek Learning selfcontrol and self direction.

Daftar PustakaAnonim, (2011) Kawasan Pemanafaatan dalam Teknologi Pembelajaran (on line)

Tersedia: http://blog.tp.ac.id/tag/kwasan-pemanfaatan-teknologi-pembelajaran,(20 Oktober 2011)

Asrori, M (2009), Psikologi Pembelajaran, Bandung, CV Wacana PrimaDarmawan, D. (2010). Pemograman Pembelajaran. Bandung: Arum mandiri pressDoantara, Yasa (2008). Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw. (online),

Tersedia:http://ipotes..wordpress,com/2008/05/15/pembelajaran-koooperatif-tipe-Jigsaw/ (17 Oktober 2011)

Haryanto, (2000).Perbandingan Hasil Belajar Matematika antara Siswa yangPembelajarannya Menggunakan Model Kooperatif Jigsaw dengan ModelTradisional di Kelas II MAN Jember, Tesis UPI Tidak Dipblikasikan.

Ibrahim, Muslimin dkk.(2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Unesa UniversityPress.

Ishack, S. dkk. (2002). Pendidikan IPS SD. Jakarta : Pusat Penerbitan UniversitasTerbuka.

Isjoni, (2009), Cooperative Learning, Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung,Alfabeta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003), Jakarta : Balai PustakaKomalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT

Revika Aditama.Kurikulum SD Tahun (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik

IndonesiaNomor 22Tahun 2006 Jakarta. BP. Darma Bahkti

Page 93: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

86

Lie, A. (2005). Cooperative Learning Mempraktekan Cooperative di Ruang-ruangKelas. Jakarta: PT Grasindo Widia Sarana Indonesia.

Maryani, E (2009), Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk MeningkatkanKompetensi Keterampilan Sosial, (Online), http://file,upi.edu/Direktori/%20-%20FPIPS/jur.%20pend.%20geografi/1960012101211985032%20-%20enok%20maryani/KET%20sosial.pdf. (25 Oktober 2011)

Momoh.(2010) Pembelajaran IPS Melalui Cooperative Learning Untuk PeningkatanKemampuan Peran Serta Siswa Aktif Dalam Belajar Kelompok.Tesis UPI TidakDipblikasikan.

Munthe. B (2009), Desain Pembelajaran, Yogyakarta, Pustaka Insan Madani.Nisa, J. (2010) Pengatuh ModelPembelajaran Kooperetif Tipe Jigsaw Terhadap

Peningkatan Keterampilan Berpkir Rasional Siswa.Tesis UPI TidakDipblikasikan.

Nurhaeni (2011).Meningkatkan Pemahaman Siswa Pada Konsep Listrik MelaluiPembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Siswa Kelas IX SMPN 43 Bandung,Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 12 No 1 April 2011. Tidak Dipblikasikan

Partadjaja dan Sulastri (2007).Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif JigsawUntuk Meningkatkan aktivitas dan Penalaran Mahasiswa Pada Mata Kuliahilmu Budaya Dasar. Jurnal Penelitian dan Pengembangan, Vol 1 65-77. Tidakdipublikasikan

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional PendidikanPramono dan Haryant , (2009). Pencapaian Kompetensi Mahasiswa D3 Teknik Elektro

Pada Mata Kuliah Praktek Sistem Mikroprosesor Dengan Metode PembelajaranCooperative Learning Tipe Jigsaw. Jurnal EdukasiElektro Vol. 5, No. 1, Maret2009, hlm. 79 – 90. Tidak dipublikasikan

Purwanto, (2009), Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran, Bandung, PTRosda Karya

Rusman,(2010). Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Pembelajaran. Bandung,Universitas Pendidikan Indonesia

Russefendi. (1998). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-EksaktaLainnya, Semarang, IKIP Semarang.

Sagala, S (2008). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung, AlfabetSalong, A. (2010) Pengatuh Pembelajaran Kooperetif Tipe Think Pair Square da Tipe

Numbered Heads Together Terhadap Keterampilan Sosial Peserta Didik PadaMata Pelajaran IPS. Tesis UPI Tidak Dipblikasikan

Sanjaya, W. (2010 a). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta :Pranada Media Group.

Sanjaya, Wina. (2010 b). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar ProsesPendidikan. Jakarta : Kencana Pranada Media Group.

Sarimaya, F (2008), Peningkatan Keterampilan Social Siswa SMP dalam PembelajaranIPS melalui Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif (online) Tersedia:http://jurnal,upi.edu/file/farida_sarimaya.pdf. (25 Oktober 2011)

Sudrajat, (2008). Cooperative Learning –Teknik-Jigsaw. (online) Tersedia:http://akhmadsufrajat.wordpress,com/2008/07/31/cooperative-learning-teknik-Jigsaw/. (17 Oktober 2011)

Sudrajat, A (2008). Konsep Teknologi Pembelajaran (on line) Tersedia:http://akhmadsufrajat.wordpress,com/2008/04/20/teknologi-pembelajaran/ ,(17Oktober 2011)

Sugiyono, (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung, AlfabetaSuherman, U. (2006) Pendekatan Konseling Qurani Untuk Mengembangkan

Keterampilan Hubungan Sosial. Desertasi UPI Tidak Dipblikasikan

Page 94: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

87

Sumiati dan Asra, (2009). Metode Pembelajaran. Bandung, Wacana PrimaSundayana, R. (2010). Statistika Penelitian Pendidikan. Garut. STKIP Garut PressSupriyono, A (2010). Cooperative Learning. Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta :

Pustaka PelajarSurya, M (2003). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung. Pustaka Bani

Quraisy.Syamsuddin, A (2009). Psikologi Kependidikan. Bandung , Remaja Rosda Karya.Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. No. 20 Tahun 2003.Wardani, D (2011): Kontribusi Keterampilan Sosial Dalam Pembelajaran IPS

Terhadap Kesiapan Kerja Praktek Kerja Industri, (Online)Tersedia:http://jurnal.upi.edu/file/25-dani_wardani-edit.pdf (25 Oktober 2011)

Wardani, S (2002). Pembelajaran Pemecahan Masalah Matematika Melalui ModelKooperatif Tipe Jigsaw. Tesis UPI Tidak Dipublikasikan

Page 95: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

88

ESRIA SEBAGAI MODEL PELATIHAN PENGAJAR BAHASA ASING

Dewi Kartika ArdiyaniJurusan Sastra Jerman Universitas Negeri Malang

[email protected]

AbstractNowadays, human resource factor in education have become the most fundamentalproblem faced in indonesia. Multiple efforts is continuously being done in order toincrease the quality of human resource. One of the effective means is by trainingand education for teacher. The ability to develop system, method, strategy,curriculum, means and facilities for training is absolute requirement which theinstructors must possess. Distinctive features on the success of adult learning astraining participant is correlation between prior knowledge and practical means oflearning. Therefore, there are three main principal which must be attended inpreparing learning scenario. (1) learner oriented. (2) activity oriented. (3) situationoriented. Esria model is an alternative to create interesting learning atmosphere andrely on training participant for foreign language teacher. In addition, esria modelprincipals are: (1) E= experience of teaching colleague, (2) S = Simulation,(simulation and personal experience), (3) R = (reflection based on experience insimulation time), (4) I= Information , (5) A = (Application).

Keywords: Esria, Training model, foreign language learning

PendahuluanPembelajaran bahasa asing yang baik tidak hanya menjadikan pengajar sebagai

pusat kegiatan yang menentukan atau menjalankan langkah-langkah pembelajaransesuai buku petunjuk guru, namun di lain pihak pengajar juga dituntut untuk mampumemotivasi mahasiswa, agar mereka aktif dalam proses belajar mengajar, dan mampumengaktifan siswa untuk ikut menentukan pembelajaran di kelas. Fokus pengajaran(teaching) telah bergeser ke pembelajaran (learning), sehingga peran guru tidak lagidominan seperti dulu.

Dewasa ini faktor sumber daya manusia dalam pendidikan menjadi persoalanpaling mendasar yang dihadapi di Indonesia. Berbagai upaya terus dilakukan dalamranga peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut, salah satu cara yang palingterkenal, banyak dilakukan dan terbukti paling efektif adalah melalui Pendidikan danPelatihan (Diklat) untuk pengajar, namun demikian pelatihanpun akan menjadi sesuatuyang sia-sia, jika tidak ditunjang oleh kualitas para instuktur. Kemampuanmengembangkan sistem, metode, strategi, kurikulum, sarana dan prasarana pelatihanmerupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh para instruktur.

Di dalam teori pembelajaran untuk orang dewasa yang terbaru digunakan duapendekatan yaitu (1) pembelajaran kontruktivisme, yang artinya adalah mengkonstruksipengetahuan yang dimiliki pembelajar berdasarkan pengalaman dan berbasis masalahdan (2) pembelajaran yang bersifat subjektif, artinya pembelajar diinterpretasikansebagai pribadi yang sudah menguasai ilmu yang dipelajari dengan sangat baik.

Ciri yang menonjol pada keberhasilan dari pembelajaran untuk orang dewasasebagai peserta pelatihan adalah hubungan antara pengetahuan awal dan perangkatpembelajaran yang praktis. Oleh sebab itu ada 3 prinsip utama yang harus diperhatikandalam menyiapkan skenario pembelajaran. (1) Berorientasi pada pembelajar, artinyaperencanaan pembelajaran memperhatikan dari kebutuhan dan ketertarikan pembelajar.(2) Berorientasi pada kegiatan yang dilakukan, artinya pembelajar belajar sesuai dengansituasi dan keadaan mereka dan pengajar membiarkan mereka aktif. (3) Berorientasipada situasi, artinya belajar berdasarkan keadaan nyata dan situasi yang akan mereka

Page 96: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

89

temukan dalam keseharian dan berorientasi pada masalah sebagai ganti dari ilmupengetahuan yang bersifat abstrak.

Model Esria ditawarkan sebagai alternatif untuk menciptakan suasanapembelajaran yang menarik dan bertumpu pada peserta pelatihan bagi pengajar bahasaasing. Adapun prinsip model Esria terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut, (1) E =Erfahrungen der KollegInnen (Pengalaman sesama rekan pengajar), (2) S =Simulation, Selbsterfahrung (simulasi dan pengalaman pribadi), (3) R = Reflexionder in den Simulationen gemachten Erfahrungen (refleksi berdasarkan pengalamanpada waktu simulasi),. (4) I= Informationen (Informasi), dan (5) A = Anwendung(Penggunaan) (Schmidjell, 2008).

Merencanakan PelatihanSebelum model ini diterapkan, diperlukan persiapan yang matang agar pelatihan

berjalan sesuai yang diharapkan. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dengantujuan setiap kegiatan yang dilakukan dapat dikontrol dan dievaluasi sesering mungkin.Berikut ini disajikan daftar pertanyaan yang bisa digunakan sebagai bantuan dalammembuat persiapan pelatihan menurut Schmidjell (2008).

Pertanyaan Penjelasan singkat Keterangan

Untuk siapa?Kelompok sasaran dan tujuannyamengapa?Pemecahan masalah sesuai kebutuhanUntuk apa?Tujuan pembelajaranApa?isiBagaimana?Metode yang digunakanAlat yang digunakan?Media dan bahan-bahan yang dibutuhkanSiapa?Penyelenggara dan institusinyaDimana?Tempat dan ruang pelatihanKapan?Waktu

Untuk menyelenggarakan pelatihan bagi pengajar bahasa diperlukan persiapanyang matang. Selain daftar pertanyaan di atas, sebaiknya penyelenggara juga langkah-langkah berikut ini, apabila kelompok sasaran, tema pelatihan, dan struktur programpelatihan sudah ditentukan dengan jelas. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:pengumpulan, pengelompokan, dan perencanaan.1. Pengumpulan

- Mengumpulkan materi pelatihan melalui studi literatur yang relevan,- mempelajari materi pelatihan yang pernah dilaksanakan dengan tema yang sama

atau hampir sama,- Mengumpulkan informasi mengenai calon peserta atau pelatihan yang memilikikelompok sasaran yang hampir sama.

- Informasi mengenai tempat pelatihan termasuk fasilitas yang bisa digunakan,misalnya untuk penggunaan media.

Page 97: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

90

2. Membuat perencanaan kasar berdasarkan informasi dari daftar pertanyaandalam tabel

Langkah pertama adalah membatasi dan menetapkan tujuan pelatihan, misalkan:Peserta dapat menggunakan permainan dalam pembelajaran dan memberikan penilaianterhadap permainan yang telah dipilih. Memilih tema, membatasi dan nenetapkan materipelatihan yang relevan. Selanjutnya menentukan metode yang sesuai dan bentuk-bentuklatihan. Dan langkah yang terakhir adalah memilih materi yang dibutuhkan (buku-bukuyang relevan, video, artikel koran/majalah,dsb). Pada tahap ini teknik mind map atautabel perencanaan dapat digunakan.

3. Perencanaan (detil)Tahap ini diawali dengan membuat skenario pelatihan berupa draf modul yang

dilengkapi dengan latihan yang sesuai dengan tujuan, materi, dan akfifitas pesertadengan bantuan rencana pembelajaran. Tahapan berikutnya adalah membuat bukupedoman yang berisi informasi-informasi penting dan ringkasan materi yang akandisajikan. Selanjutnya membuat latihan-latihan secara tertulis, bahan-bahan yang akandisajikan dalam bentuk power point atau dengan menggunakan media lain. Untukmenghindari kesalahan urutan penyajian diperlukan pembuatan garis besar langkah-langkah yang akan dilakukan dalam pelaksanaan pelatihan dengan menggunakancatatan kecil. Kegiatan berikutnya adalah membuat catatan hal-hal yang masih kurang.Tahap ini bisa dilakukan dengan cara mengecek kembali tabel perencanaan yang sudahdibuat sebelumnnya. Tahap ini diakhiri dengan membuat daftar ceklis untuk mencatatapa saja yang sudah dilakukan, apa yang sedang dilakukan, dan apa yang belumdilakukan.

4. Persiapan teknisPersiapan teknis diawali dengan menggandakan materi dan latihan-latihan yang

akan digunakan dan dilanjutkan dengan persiapan materi (papan tulis, poster, kartukecil, spidol, kapur, kertas manila, dan alat-alat lain yang dibutuhkan dalam pelatihan.Selanjutnya adalah persiapan ruangan dengan semua media yang dibutuhkan: meja,menentukan letak tempat duduk, mengecek media yang akan digunakan. Untukpersiapan -persiapan lain yang diperlukan, misalkan: konsumsi dan musik yangdigunakan untuk membuka seminar juga sangat dianjurkan untuk dipersiapkan denganbaik.

5. Pelaksanaan pelatihanPelaksanaan pelatihan dilakukan berdasarkan rencana yang sudah dibuat dan

mengacu pada tujuan pelatihan yang sudah ditetapkan. Pemilihan metode, media danmateri pelatihan yang sesuai menjadi faktor penentu keberhasilan pelatihan.

6. Evaluasi (memperhatikan komentar peserta dan rencana pembelajaran)Evaluasi digunakan untuk mengetahui sejauh mana materi dapat diserap peserta,

misalkan: Hal apa saja dari pelatihan yang dianggap berguna bagi pembelajaran di kelasdan bagaimana menyajikannya. Selanjutnya mengevaluasi proses dan jalannyapelatihan: proses belajar mengajar, situasi belajar, hubungan antar peserta dan narasumber dengan peserta. Sebagai umpan balik dari peserta dilakukan evaluasi hasilpelatihan dan apakah tujuan pelatihan tercapai. Untuk itu perlu juga dilakukan evaluasisumatif untuk nara sumber dan institusi penyelenggara (begaimana pelaksanaanpelatihan dan pengorganisasian kegiatan pelatihan). Hal yang juga tidak kalah pentingpada tahap ini adalah merencanakan kegiatan lanjutan (kontak lanjutan antar pesertadan peserta dengan nara sumber).

Page 98: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

91

Esria Sebagai Model Pelatihan Pengajar Bahasa AsingModel Esria ditawarkan sebagai alternatif untuk menciptakan suasana

pembelajaran yang menarik dan bertumpu pada peserta pelatihan bagi pengajar bahasaasing. Adapun prinsip model Esria terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut. (1) E =Erfahrungen der KollegInnen (Pengalaman sesama rekan pengajar), artinyapengalaman peserta sebagai pembelajar dan pengajar dimunculkan sebagai pengetahuanawal dan bekal yang dapat digunakan dalam menyelesaikan dan mendiskusikan tugasyang diberikan. (2) S = Simulation, Selbsterfahrung (simulasi dan pengalamanpribadi), artinya elemen-elemen pelatihan dan elemen-elemen pembelajarandipraktikkan dalam pelatihan dengan cara disimulasikan baik diperankan sebagaipembelajar maupun sebagai pengajar. (3) R = Reflexion der in den Simulationengemachten Erfahrungen (refleksi berdasarkan pengalaman pada waktu simulasi),artinya dilakukan refleksi berdasarkan pengalaman pribadi selama simulasi, baik darisudut pandang peranan sebagai pembelajar dan pengajar. (4) I= Informationen(Informasi), artinya teori-teori dan pengetahuan yang baru dari berbagai literatur yangrelevan dapat mendukung dan penuntun untuk mendalami materi. (5) A = Anwendung(Penggunaan), berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran yang baru saja dipelajaridiharapkan peserta dapat menemukan inovasi untuk pembelajaran bahasa asing yangbaru dan apabila memungkinkan dievaluasi kembali pada pelatihan berikutnya.

Menurut Knoll (2003) model perencanaan ini dapat digunakan sebagaipenunjang pelaksanaan pelatihan dan memberikan elemen-elemen dasar dalammerencanakan sebuah pelatihan untuk bahasa asing. Langkah-langkah yang digunakantidak selalu berurutan, melainkan dapat digunakan sesuai kebutuhan. Apabiladibutuhkan langkah-langkah yang dirasa penting dapat diulang kembali.

Didaktik Metodik Penggunaan EsriaEsria sebagai model pelatihan yang dapat digunakan dalam pelatihan bagi

pengajar bahasa asing memberikan petunjuk bagi nara sumber dan penyelenggara untukmenyajikan pelatihan yang perpusat pada peserta. Berikut ini disajikan contoh-contohkonkrit setiap tahapan pada Esria berdasarkan pengalaman pelatihan guru bahasaJerman yang sudah pernah diselenggarakan.E = Erfahrungen der KollegInnen ((Pengalaman sesama rekan pengajar)Hal yang dapat dilakukan adalah saling bertukar pengalaman melalui permainankarusel, Bingo, tukar pertanyaan, interview dengan partner, jalan-jalan di dalam kelasuntuk mencari informasi dari peserta lain, dan sebagainya.S = Simulation, Selbsterfahrung (simulasi dan pengalaman pribadi)Melalui latihan-latihan yang baru, model-model pembelajaran, permainan, danpenggunaan bermacam-macam interaksi sosial (individu, berpasangan, kelompokkecil, dan pleno)R = Reflexion der in den Simulationen gemachten Erfahrungen (refleksi berdasarkanpengalaman pada waktu simulasi):Pada tahapan ini dapat dilakukan bermacam-macam jenis kerja kelompok, misalkan:pertukaran partner, pertukaran anggota kelompok kecil, Wirbelgruppen (kelompokberpindah-pindah untuk mengetahui hasil kerja kelompok yang lain), dialog tanpa suara(menggunakan mimik, gestik, dan tanda-tanda tertentu), pleno umum dengan semuapeserta dan nara sumberr.I= Informationen (Informasi)Informasi yang dimaksud di sini adalah presentasi hasil pekerjaan atau berbagipengalaman dengan cara yang beragam, misal, presentasi langsung, circuit training,

Page 99: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

92

informasi referensi yang telah dibaca masing-masing peserta dengan contoh-contohlatihannya.A = Anwendung (Penggunaan)Tahapan penggunaan digunakan untuk mengumpulkan ide masing-masing pesertadalam mempersiapkan pembelajaran, membuat rencana pembelajaran, analisis model-model pembelajaran dari praktek yang sudah dilakukan, memformulasikan kembalitujuan pembelajaran, dan sebagainya.

Dalam setiap pelatihan terdapat aktivitas untuk memberikan kesempatan pesertauntuk memperkenalkan diri dan saling mengenal satu sama lain. Contoh latihan yangbisa dilakukan adalah Steckbrief (informasi tersembunyi mengenai data tentangseseorang yang harus ditebak peserta), asosiasi gambar, kotak tebakan, ABC-Nama,interview dengan partner, dan sebagainya.

Bentuk Evaluasi untuk Menilai Keberhasilan PelatihanPada akhir pelatihan dianjurkan untuk melakukan evaluasi sebagai bahan

masukan dan perbaikan pada pelatihan selanjutnya. Cara-cara yang bisa digunakanadalah dengan memberikan respon terhadap pertanyaan tentang jalannya pelatihan,Tagesprotokoll ( mencatat kembali semua kegiatan dari awal sampai akhir dan bersamadengan peserta dan menanyakan pendapat mereka), diari harian yang dibuat bersamapeserta, asosiogram, kemas koper (peserta menulis apa saja yang dianggap penting darikegiatan pelatihan dan menulisnya untuk dibawa pulang), menggunakan gambar ataubenda-benda nyata untuk menyimbolkan kesan peserta terhadap kegiatan pelatihan, dansebagainya (Dürrschmidt, 2005).

Kelompok sasaran yang disarankan dalam pelatihan adalah pengajar dalambidang pembelajaran bahasa asing. Metode dan latihan yang digunakan diambil darimetode dan latihan yang pernah digunakan dalam pelatihan dan dikembangkan olehmultiplikator bahasa Jerman. Pelatihan sejenis ini akan sangat berguna apabila setiappeserta pelatihan bersedia menceritakan pengalaman dan pengetahuannya dalam bidangpengajaran bahasa asing, serta bertanya dan mendiskusikan masalah pembelajaran yangmereka alami.

Metode pembelajaran secara detil untuk masing-masing tahapan pelatihan dapatdigambarkan dan dijelaskan sebelum kegiatan pelatihan dilaksanakan. Meskipundemikian semua rencana awal dapat dirubah, dikembangkan, dan ditambah sesuaidengan kebutuhan nara sumber dan peserta pelatihan. Perubahan tersebut dilakukansesuai dengan kebutuhan dan kelompok sasaran pelatihan.

SimpulanDalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran bahasa asing diperlukan

pelatihan-pelatihan didaktik metodik pembelajaran bahasa asing bagi pengajarnya.Untuk itu diperlukan model-model pelatihan yang dapat menunjang keberhasilanpelatihan tersebut. Esria sebagai salah satu model pelatihan yang dapat diadaptasi olehpennyelenggara atau nara sumber pelatihan untuk pengajar bahasa asing merupakanmodel yang telah dilakukan dan dikembangkan oleh para instruktur (multiplikator)bahasa Jerman baik di Indonesia, di Jerman dan di negara-negara lain.

Sebagai salah satu model pelatihan, Esria dapat digunakan sesuai dengankebutuhan dan urutan pelaksanaannya tidak selalu harus sama seperti padapenjelasannya. Model ini masih bisa dikembangkan sesuai dengan praktik yang telahdilakukan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan konteks di lapangan.

Page 100: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

93

Daftar Pustaka

Dürrschmidt, P. u.a. 2005. Methodensammlung für Trainerinnen und Trainer.Managerseminare.

Knoll, J. 2003. Kurs- und Seminarmethoden. Ein Trainingsbuch zur Gestaltung vonKursen und Seminaren, Arbeits- und Gesprächskreisen. Weinheim/Basel.

Schmidjell, Annegret. 2008. Das Fernstudienprojekt als Fortbildungskonzept:Möglichkeiten und Erfahrungen. Eine Handreichung zur Fernstudiendidaktik.München: Goethe Institut.

Page 101: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

94

MAXIMIZING TEACHING SPEAKING USING SMALL GROUP ACTIVITIES

Dewi KencanawatiUniversity of Nusantara PGRI Kediri East Java

[email protected]

AbstractSpeaking is one of the four language skills besides the three other language skills–listening, reading, and writing. The aim of teaching speaking is not only knowabout the language, but also be able to use the language in real communication.The students and the teacher have important roles in learning teaching process.Communicative competence reflects speaking competence, which involvesgrammatical competence, discourse competence, sociolinguistic competence, andstrategic competence. Speaking is a complex set of competence that involves thelanguage components—pronunciation, vocabulary, grammar, accuracy, fluency,content, and stress pattern. There are six categories of oral production, which isimitative, intensive, responsive, transactional, interpersonal, and extensive. Somecharacteristics of successful communication are learners talk a lot, participation iseven, motivation is high, and language is of an acceptable level. Small groupactivities show many advantages applied in teaching speaking. There are someways suggested used in solving speaking problems, that is use group work, baseactivity on an easy language, make careful choice of topic and task to stimulateinterest, give some instruction or training in discussion skills, as well as keep thestudents speaking the target language. Some advantages of small group activitiesare groups have greater information resources than individuals do, groups canemploy a greater number of creative problem-solving methods, working in groupsfosters improved learning and comprehension of idea discussed, members’satisfaction with the group decision increases because they participate in theproblem-solving process, and group members gain a better understanding ofthemselves as they interact with others.

Keywords: communicative competence, oral production, successful communication,group work

The Nature of English Language Teaching (ELT)In learning teaching process, the students’ roles are very important. The teacher

should be able to encourage the students to be involved in communicative activities.The students must be forced to use communicative activities as a means of exchanginginformation and discussing the messages as well as interacting. These activities areaimed to reach the goals of learning teaching process–to be able to use the targetlanguage.

Concerning with the learning teaching process, the students can make efforts tolearn the target language in four activities. They are reproduction, simulation,construction, and application. Reproduction and simulation are the communicativeactivities in which the students imitate the teacher and people surrounded area. Thestudents will pay attention to what the teacher says and how to say it and after that, thestudents will imitate them in their communication. However, this process needs timesince English is a foreign language for them. Construction and application happen whenthe students apply the language knowledge in their communication. This process iscomplicated because it needs understanding of the language in use. This process aimedto apply what the students know about the target language into real communication. Ofcourse, it does not only need language form but also the language competence.

Page 102: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

95

Brown (1994:7) states that teaching is showing or helping someone to learn howdo something, giving instructions, guiding in the study of something, providing withknowledge, causing to know or understand. He adds that teaching is guiding andfacilitating learning, enabling the learners to learn, setting the conditions for learning.Furthermore he (1994:7-8) explains that teaching is guiding and facilitating learning,enabling the learner learns will determine the teacher philosophy of education, theteacher teaching style, the teacher approach, methods, and classroom techniques. Basedon the definitions above it can be concluded that language teaching means guiding andfacilitating the students to be able to study and use the target language. Concerning withthis, the teacher’s role is to design an opportunity for the students to study. The teachermust be clever to facilitate the students to be able to reach the expected goals.

The Nature of SpeakingBrown (2004:140) states that speaking is a productive skill that can be directly

and empirically observed and those observations are colored by the accuracy andeffectiveness of a test-takers listening skill, which necessarily compromises the realityand validity of oral production test. Referring to the definition above, it can be said thatspeaking score is a measure of oral production. He adds that speaking is the product ofcreative construction of linguistic strings; the speaker makes choice of lexicon,structure, and discourse. Speaking is categorized successful when the listener canunderstand what the speaker says, so the meaning, the information, the idea, and themessages can be transferred well. Concerning with this situation, it is needed payattention to the stress, intonation, meaning, and sentence structure.

A similar idea stated by Crystal (1990:79) saying that speaking is not oralproduction of written language, but involves learners in the mastery of guide range subskills which added together constitute one overall competence in the spoken language.This statement explains that speaking is different from writing since speaking involvesall language competences—grammatical competence, discourse competence,sociolinguistics competence, and strategic competence. These four competences used inspeaking as productive skill.

Speaking is an oral skill used for communication. The speaker expresses his ideaclearly in order to be accepted and understood by the listeners relevant with what thespeaker means. In order to express the idea, the concept, the feeling, and the messageeffectively, the speaker has to understand everything communicated. Speaking is theability to say and pronoun articulation or words to express, to state, and to send thought,idea, and feeling. Speaking is not only expressing sound of words but it alsocommunicating concepts had by the speaker to be listened by the listeners.

The language used in speaking should be easily understood by the listeners.There are some elements influence speaking, among other things; the speaker, thelistener, place of talking, the topic, the situation, and the condition. This means that thespeaker should really understand what he speaks about, who the listeners are, what thetopic is, where he speaks, and how the condition of the environment. These all elementsseem simple but they have very important role in communication.

Fronklin, et al. (1993:193) states that knowing a language means know how toproduce and understand sentence with particular meaning. This definition shows thatspeaking should be practiced. Many people know the language rules, but they sometimedo not know how to use them in communication. That is why it will be much better ifthe learners produce and practice it in real communication since the ultimate goal oflearning a foreign language is to be able to communicate in the target language.

Chomsky (1975:38) states that competence is the ideal language user’sknowledge of grammar, while performance is the actual realization of that knowledge in

Page 103: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

96

utterances and involves a variety of psychological, physical and social factors. Chomsky(1975: 38) adds that competence as a property of the mind of the individual which isdeveloped as part of his general maturation. Based on the statements, it is assumed thatsomeone whose good performance means that he/she has good competence.

In curriculum 2004 (2003:13-14) stated that competence is defined asknowledge, idea, feeling, skill, behavior, thought, and value which accustom to beapplied in habitual thought and action. Based on the statement, it is assumed thatcompetence is the ability of expressing thought, information, feeling, idea, and opinion,as well as developing science, technology, and culture in the target language that isEnglish. There are four competences in a language—listening competence, speakingcompetence, reading competence, and writing competence. So to communicate well,someone has to master the competence needed.

Schmidt (1984:5) states communicative competence is the underlying system ofknowledge and skill required for communication. The quotation shows how importantcommunicative competence in speaking is. One can speak communicatively if she/hehad good communicative competence. Communicative competence reflexes speakingcompetence. Someone whose good communicative competence usually also has goodspeaking competence as she/he is able to speak fluently.

Based on the analysis of the definitions above, the researcher concludes thatspeaking competence is the ability of a speaker to communicate orally in order toexpress the information, idea, feeling, and science by applying both microskills of oralcommunication which are related to pronunciation, vocabulary, and grammar andmacroskills of oral communication which underlies fluency and interactivecommunication. Speaking is a complex set of competence that involves the componentsof a language–pronunciation, vocabulary, grammar, accuracy, fluency, content, andstress pattern. Underhill (1987:97) states that there are some components of languageproficiency especially in speaking. They are grammar, vocabulary, pronunciationincluding intonation and stress, fluency and content. Here are the explanations of thosecomponents:

1) GrammarGrammar is one of the important components in speaking. It is a language aspect

that relates whether or not the learners are able to use the correct form of the languagelearnt. Ur (1987:75) states that grammar is sometime defined as the way words are puttogether to make correct sentences. This statement shows that by mastering grammarwell, the learners will be able to construct phrases or sentences in the correct form. Bybeing able to make the right good sentences, the learners will also be able to speak inthe target language correctly, fluently, and accurately. Sentences are made ofcombination of words using grammar which make them meaningful. It shows thatgrammar is the language system and it is one of the speaking elements that concern thetarget language.

In speaking, grammar is another aspect of language system that relates towhether or not the students use the correct forms of the target language. If they ignorethis, the listeners may experience difficult to understand them. Briefly, the teachershould recognize that teaching spoken language does not teach the students to speakonly, but the students are required to know more about the concept or theory on how tospeak. In short, grammar has an important role in speaking in order to develop thespeaking competence.

2) Vocabulary

Page 104: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

97

In learning a new language, vocabulary is very important. Without vocabulary, itis impossible for the learners to speak in the target language. Richard and Rodgers(2001:32) state that vocabulary is one of the most important aspects of foreign languagelearning. Similar statement stated by Nunan (1987:177) saying that vocabulary is veryimportant for the success of the second language use because without an extensivevocabulary, one will be unable to use the structures and function which have beenlearned for comprehensible communication. Based on the definitions above, it can beconcluded that vocabulary is the number of words needed in learning a foreignlanguage. Beside that, vocabulary is viewed as an important factor in a foreign languagelearning since by using vocabulary the learners can express their idea using sentences invarieties of words to create successful communication.

Closely connected with speaking, mastering a large number of vocabularies isvery beneficial for the learners. They can make use of vocabularies they have forcommunication. The learners are expected to speak more fluently because they canexpress their ideas by using varieties of dictions in their sentences. In short, it can beassumed that vocabulary also has an important role in speaking in order to develop thelearners’ speaking competence.

3) PronunciationPronunciation is the act or result of producing the sounds of speech, including

articulation, stress, and intonation, often with reference to some correctness or acceptability (http://www.dictionary.com.unabridged//). Based on the definition above, it isvery clear that the aim of learning pronunciation is to get the learners to be able topronoun the words accurately. By having good pronunciation, the meaning of spokensentences expressed by the speaker can be understood by the listeners easily andcorrectly. Beside that, misunderstanding among speakers can be avoided. Based on thediscussion above, it can be summarized that pronunciation also has essential role indeveloping speaking competence. Brown (2001:284) states that there are some factorsaffect the learners’ pronunciation–native language, age, exposure, innate phoneticability, identity and language ego, and motivation and concern for good pronunciation.Based on the statement above, it is assumed that mother tongue, age, experience,phonetic, and motivation can affect the target language pronunciation.4) Fluency

To be able to communicate in the target language effectively is one of the mainaims of learning a new language. The effective way of speaking can be measured by thefluency in producing the target language. Every foreign language learner is expected toproduce oral speech fluently in normal speech. Similar statement saying that fluency isdescribed as the ability to speak or write smoothly, easily and readily(http:www.dictinary.com.unbridged//). Based on the statements above, it is clear thatthe learners should be able to speak the target language fluently. In brief, fluency is alsoa significant component in a language since it influences the development of speakingcompetence.

5) ContentContent in this context means the quality of the language production. The

spoken language should be easy to be understood by the listeners. Beside that, it shouldconsist of acceptable idea as the topic discussed. The content of the production can notbe separated from the language cultures and the language rules. The languageexpression used should be suitable with the condition of the conversation. Content is thespoken language element which determines the understanding among speakers so thatthey can communicate well.

Page 105: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

98

Brown (2001:271-274) adds that there are six categories applied in oralproduction. They are as follows:1) Imitative

Imitative speaking is the ability of practicing an intonation or trying to pinpointcertain vowel sound. It is aimed to focus on some particular element of languageform not for the purpose of meaningful interaction. This activity is usually done bydrilling.

2) IntensiveIntensive speaking includes any speaking performance which is designed to practicesome phonological and grammatical aspect of language. It can be self-initiated andpair work activity.

3) ResponsiveResponsive speaking is replying questions or comments which is sufficient andmeaningful, but it is not extended into dialogues. For example:

T: How are you today?S: Pretty well, thanks, and you?T: What is the main idea in this essay?S: The United Nations should have more authority.S1: So, what did you write for question number one?S2: Well, I wasn’t sure, so I felt it blank.

4) Transactional (dialogue)Transactional dialogue is aimed for exchanging specific information. It is anextended form of responsive language. The example of transactional dialogue is inconversation. For example:

T: What is the idea of this essay?S: The United Nations should have more authority.T: More authority than what?S: Than it does right now.T: What do you mean?S: Well, for example, the UN should have the power to force a country like Iraqto destroy its

nuclear weapons.T: You don’t think The UN has that power now?S: Obviously not. Iraq is still manufacturing nuclear bombs.

5) Interpersonal (dialogue)Interpersonal speaking is carried out more for the purpose of maintaining socialrelationships than for the transmission of facts and information. These conversationsare a little trickier for learners because they can involve some factors–slang, ellipsis,and sarcasm. For example:

Amy: Hi, Bob, how it going?Bob: Oh, so-so.Amy: Not a great weekend, huh?Bob: Well, far be it from me to criticize, but I’m pretty miffed about last week.Amy: What are you taking about?Bob: I think you know perfectly well what I’m talking about.Amy: Oh, that…How come you get so bent out of shape over some thing likethat?Bob: Well, whose fault was it, huh?

Page 106: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

99

Amy: Oh, wow, this is great. Wonderful. Back to square one. For crying outloud, Bob, I thought we’d settled this before. Well, what more can I say?

6) Extensive (monologue)Extensive speaking is extended monologues in the form of reports, summaries, orshort speeches.

Concerning with speaking skills, Brown (2001:272) explains the micro skills of oralcommunication as follows:a. Produce chunks of language of different lengthb. Orally produce differences among the English phonemes and allophonic variants.c. Produce English stress patterns, words in stressed and unstressed positions, rhythmic

structure, and intonational contours.d. Produce reduced forms of words and phrases.e. Use an adequate number of lexical English stress units in order to accomplish

pragmatic purposes.f. Produce fluent speech at different rates of delivery.g. Monitor oral production and use various strategic devices–pauses, fillers, self-

corrections, backtracking–to enhance the clarity of the message.h. Use grammatical word classes (nouns, verbs, etc.), system (e.g., tenses, agreement,

and pluralization), word order, patterns, rules, and elliptical forms.i. Produce speech in natural constituents—in appropriate phrases, pause, groups, and

sentences.j. Express a particular meaning in different grammatical forms.k. Use cohesive devices in spoken discourse.l. Accomplish appropriately communicative functions according to situations,

participants, and goals.m. Use appropriate registers, implicature, pragmatic, conventions, and other

sociolinguistics features in face-to-face conversations.n. Convey links and connections between events and communicate such relations as

main idea, supporting idea, new information, given information, generalization, andexemplification.

o. Use facial features, kinesics, body language, and other nonverbal cues along withverbal language to convey meanings

p. Develop and use a battery of speaking strategies, such as emphasizing key words,rephrasing, providing a context for interpreting the meaning of words, appealing forhelp, and accurately assessing how well one interlocutor is understanding it.

The Characteristics of Successful CommunicationRichards and Schmidt (1983:3) state that there are some characteristics of

communication, as follows:1) It is a form of social interaction, and is therefore normally acquired and used in

social interaction.2) It involves a high degree of unpredictability and creativity in form and message.3) It takes place in discourse and sociocultural contexts which provide constraints on

appropriate language use and also clues as to correct interpretations of utterances.4) It is carried out under limiting psychological and other conditions such as memory

constraints, fatigue and distractions.5) It always has a purpose (for example, to establish social relations, to persuade, or to

promise).6) It involves authentic, as opposed to textbook-contrived language.

Page 107: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

100

7) It is judged as successful or not on the basis of actual outcomes. (For example,communication could be judged successful in the case of a non-native Englishspeaker who was carrying to find the train station in Toronto, uttered “How to go toa passer-by, and was given directions to the train station).

Based on the characteristics above, it is assumed that communication must beinteractive, creative, appropriate with the language use, limited under psychological andother condition, purposeful, authentic, and also based on actual outcomes. Closelyrelated with speaking skill, Bennet (1991:97) suggests the best way to become a goodspeaker. He adds that there are two things to be considered if someone wants to be agood speaker. Firstly, he must be natural and be himself. This sentence means that inspeaking one must not change the way of speaking to be similar with someone else. Hemust speak as natural as possible without changing his way of speaking. Secondly, hemust prepare the speech scientifically instead of artistically. In speaking, someone mustnot speak without considering the science of speaking itself. He must make his speakingas scientific as possible. It is not right when someone speaks does not consider thescientific language, on the other hand he only considers about the artistic one. However,practicing speaking is very necessary in order to improve the speaking competence.

Nunan (1991:39) states that mastering the art of speaking is the single mostimportant aspect of learning a second language. Success is measured in term of theability to carry out a conversation in the language. Based on what Nunan explainsabove, it is assumed that speaking can be categorized successful if the learners can usethe language in real communication. Speaking can be categorized successful or notdepends on whether the idea can be accepted by the listeners or not.

Penny Ur (1987:120) explains that there are some characteristics of successfulspeaking activity:1) Learners talk a lot

As much as possible of the period of time allotted to the activity is in fact occupiedby learner talk. This may seem obvious, but often most time is taken up with teachertalk or pauses.

2) Participation is evenClassroom discussion is not dominated by a minority of talkative participants: allget a chance to speak, and contributions are fairly evenly distributed.

3) Motivation is highLearners are eager to speak: because they are interested in the topic and somethingnew to say about it, or they want to contribute to achieve a task objective.

4) Language is of an acceptable levelLearners express themselves in utterances that are relevant, easily comprehensible toeach other, and of an acceptable level of language accuracy.

Based on the characteristics above, it is assumed that the students should talkand practice to speak as much as possible, participate actively in speaking, and bemotivated to speak without being forced by the teacher, as well as speak appropriatelythat is understandable.

Teaching Speaking Using Small GroupBrown (2001:271) states that in oral production, it is very important to focus

both on the forms of the language and on the function of the language. So in speaking itis very necessary for the teacher not to pay attention only on the whole language usedbut also on the small part of language. It is caused by the small part of language canmake the whole on the other hand whole can't be formed without small part of language.

Page 108: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

101

There are some characteristics of effective communication. They are as follows:understand each other, grammar use, express meaning clearly, and realize the meaningexistence. Based on the explanation above, it is clear that effective communicationhappens when there is mutual communication among the speakers, there is nomisunderstanding of the topic discussed, the listeners understand what is being spokenby the speaker, and either the speaker or the listeners realize the meaning of theirspeaking.

Closely related to the unsuccessful communication, Ur (1996:121) suggestssome ways that can be done to help to solve some of the problems. They are as follows:1) Use group work

Group work can increase the complete amount of learner to talk going on a limitedtime. Beside that, it also decreases the inhibition of the unwilling learners to speakin front of the full class.

2) Base the activity on easy languageIn general, the level of language needed for a discussion should be lower than thatused in intensive language-learning activities in the class. It should be easilyrecalled and produced by participants, so that they can speak fluently with theminimum of hesitation. It is a good idea to teach or review important vocabularybefore the activity starts.

3) Make a careful choice of topic and task to stimulate interestOn the whole, the clearer the purpose of the discussion the more motivated theparticipants will be.

4) Give some instruction or training in discussion skillsWhen the task is based on the group discussion, then include instructions aboutparticipation when introducing. For example, tell the learners to make sure thateveryone in the group contributes to the discussion, appoint a chair person to eachgroup who will regulate participation.

5) Keep the students speaking the target languageIt can be done by reminding the learners to use the target language all the time. It isalso good to appoint one of the groups as monitor whose job is to remindparticipants to use the target language and report to the teacher how well the groupmanaged to keep to it.

Beebe and Masterson (1990:7-9) state that there are some advantages anddisadvantages of working in small groups. The advantages of working in groups are asfollows:1) Groups have greater information resources than individuals do.2) Groups can employ a greater number of creative problem-solving methods.3) Working in groups fosters improved learning and comprehension of idea discussed.4) Members’ satisfaction with the group decision increases because they participate in

the problem-solving process.5) Group members gain a better understanding of themselves as they interact with

others.Beebe and Masterson (1990:9-11) add that working in small groups also has some

disadvantages. They are as follows:1) Group members may pressure others to conform to the majority opinion.2) An individual group member may dominate the discussion.3) Some group members may rely too much on others to get the job done.4) Solving a problem takes longer as a group than an individual

Similar statements given by Harmer (2001:117) saying that there are someadvantages of group work. The advantages of group work are as follows:

Page 109: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

102

1) Group work dramatically increases the amount of talking for individual students.2) There are more than two people in the group; personally the relationships are

usually less problematic. There is also a greater chance of different opinions andvaried contributions.

3) Group work encourages broad skills of cooperation and negotiation. Beside that, it ismore private than work in front of the whole class.

4) Group work promotes learner autonomy by allowing students to make their owndecisions in group without being told what to do.

5) Group work can make the students choose their level of participation more readily.Harmer (2000:118) adds that the disadvantages of group work are as follows:

1) Group work is likely to be noisy.2) Not all students enjoy group work since they would prefer to be the focus of the

teacher’s attention rather that working with their friends.3) Individual may fall into group roles that become fossilized, so that some are passive

whereas others may dominate.4) Group work can take longer to organize–beginning and ending group work

activities– especially where people move around the class–can take time andchaotic.

ConclusionThe ultimate goal of learning a language is to use it in real communication or

what we usually call speaking. Speaking is very important in learning a new language. Itis used to express idea and feeling, to send messages, to state what the speaker isthinking. As one of the four language skills, speaking is very essential to be used sincewithout being used, learning a language will be nothing. Speaking can not be separatedfrom the three other language skills–listening, reading, and writing. When speaking ispracticed, automatically other language skills are also needed, especially listening skill.When a person speaks, he needs listeners to listen to. Speaking must be practiced asmuch as possible in order to increase the speaking competence.

Speaking competence is very important in language learning. It involves fourlanguage competences–grammatical competence, discourse competence, sociolinguisticcompetence, and strategic competence. If the learners master these four languagecompetences, their speaking will be better. However, in speaking there are somelanguage components to be used. They are grammar, vocabulary, pronunciation,fluency, and content. All those language components have important roles in speakingsince they influence the students’ speaking competence.

In gaining the speaking goals, it is not always easy. There are two kinds learningresult–successful and unsuccessful. There are many factors that make speakingsuccessful. Good language components and mastering the language competence are thefactors influencing the success of speaking. So it is assumed that having good grammarknowledge, rich vocabularies, good fluency, good pronunciation, and goodunderstanding of content can make the speaking successful.

Besides that, when the learners master the grammatical competence, discoursecompetence, sociolinguistic competence, and strategic competence, automatically thespeaking will be more successful. Without good language competences, the speakingcompetence will be less successful. The success of speaking does not only depend onthe language components and language competences, but it is also influenced by thelanguage culture. When the learners understand the language cultures, they will knowhow to speak well. Beside that, they will be able to say words in the right expression, touse the right good body language or gestures. When the learners speak with appropriate

Page 110: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

103

language culture and gestures, the listeners will easily understand what being discussedis. This condition makes speaking to be successful.

Small group activities is one of the alternatives used in teaching speaking. Smallgroup activities is aimed to encourage the learners to speak more actively so that thespeaking competence develops. In small group activities, the learners are able toincrease their involvement in speaking. Besides that, they will not be afraid of makingmistake. The learners will be proud when their group is active and their speakingachievement improves. They will also feel that working together will be much betterinstead of working alone. Besides that, they will be freer to talk with their friendswithout being hesitate. The learners will not be shy as they were. The most importantthing is that the learners will be confident to speak in front of their friends in the group.The learners will have much time to practice their speaking in a group. The learners willbe involved in speaking activities. They will not be passive in speaking because theywork together in a group. The learners are able to help each other in learning teachingprocess. Besides that, they feel that they are the same when they realize that they havethe same goal and the same problem. Therefore, small group activities are effectiveapplied in teaching speaking.

References

Bee, Steven A. and Masterson J.T. 1990. Communicating in Small Groups. New York:Collins Publisher.

Bennet, J Michael. 1991. Four Powers of Communication. London: Mc. Graw Hill.Brown, H. Douglas. 1994. Principles of Language Learning and Teaching (Third

Edition). Eaglewood Cliffs: Prentice Hall Regents.Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching (Fourth

Edition). New York: Longman.Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles. (Second Edition). New York:

Longman University Press.Brown, H. Douglas. 2004. Language Assessment. New York: Longman University

Press.Departemen Pendidikan Nasional. 2004. Kurikulum 2004. Jakarta: DepdiknasHarmer, Jeremy. 1991. Curriculum Development in Language Teaching. New York:

Longman University Press.Harmer, Jeremy. 2001. The Practice of English Language Teaching. Longman:

Longman Universiy Press.http://www.dictionaqry.com.undridged//.http://www.edtech.kennesaw.edv/intech/cooperativelearning.htm.Nunan, David. 1991. Language Teaching Methodology. Great Britain: Redwook book,

Trowbridge, Witshire.Richard, Jack C, and Schmidt, Richard W. 1983. Language and Communication. New

York: Longman Group Limited.Richards, Jack C. and Rodgers, Theodore S. 2001. Approaches and Methods in

Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.Rivers, Wilga M. 1997. Interactive Language Teaching. Cambridege: Cambridge

University Press.Ur, Penny. 1987. A Course in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University

Press.Ur, Penny. 1991. Discussions that Work. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 111: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

104

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA INGGRIS CONVERSATIONSISWA KELAS VIII SEMESTER II

Elisabeth M. SalehGuru SMP IPIEMS Surabaya

[email protected]

Nurmida Catherine SitompulUniversitas PGRI Adi Buana

[email protected]

Abstrak:Model yang dipakai untuk pengembangan paket bahan ajar bahasa inggrisconversation untuk siswa SMP kelas VIII semester IIi “Improve Your Speaking”Model Dick dan Carey. Tahapan kegiatan yang dilakukan adalah PemilihanBahan Ajar, Pemilihan Media, melakukan Prosedur Evaluasi Dan Produk DesainPengembangan. Setelah bahan ajar selesai dirancang dilakukan penilaian yangdilakukan oleh Ahli Isi Mata Pelajaran dan Ahli Desain Media Pembelajaran.Penilaian kedua ahli menyatakan bahwa produk sangat layak untuk dipergunkansebagai bahan ajar Bahasa Inggris Conversation Untuk Siswa SMP IPIEMSSurabaya Kelas VIII Semester II dengan judul “Improve Your Speaking”. Setelahdilakukan sangat sedikit revisi, produk bahan ajar ini kemudian di uji cobakankepada siswa untuk mendapatkan mendapatkan informasi bagaimana praktekproduk pengembangan dalam kegiatan pembelajaran siswa di kelas. hasil penilaianyang diberikan oleh para siswa terhadap produk bahan ajar “Improve YourSpeaking” adalah layak, artinya bahan ajar Bahasa Inggris Conversation “ImproveYour Speaking” baik dipergunakan sebagai sumber belajar untuk meningkatkanketerampilan berbahasa inggris. Secara rinci angket siswa menunjukkanperhitungan sebagai berikut: mampu meningkatkan kemampuan siswa sebesar63,4 % dalam pengucapan kalimat sapaan sederhana sehari-hari, 60 % dalamberinteraksi dengan lingkungan terdekat dan 66,7% dalam mengenal nama-namabenda dan kata-kata yang sering digunakan.

Kata kunci: pengembangan bahan ajar bahasa Inggris, percakapan bahasa inggris,siswa SMP

PendahuluanMateri pembelajaran (bahan ajar) adalah salah satu komponen sistem

pembelajaran yang berperan penting dalam membantu siswa mencapai kompetensidasar dan standar kompetensi (Dikdasmen, 2006). Salah satu hal yang dapatmempengaruhi mutu belajar diantaranya adalah tampilan bahan ajar. Bahan ajar adalahmateri yang diberikan kepada siswa dan berhubungan dengan media tertentu, buku teks,permainan, bermain peran dan sebagainya. Bahan ajar membantu siswa dalammemahami konsep, prosedur dan teori, sedangkan bahan ajar membantu gurumembimbing siswa belajar aktif. Mata pelajaran Bahasa Inggris conversationmempunyai karakteristik yang berbeda dengan mata pelajaran eksakta atau matapelajaran ilmu sosial yang lain. Perbedaan ini terletak pada fungsi bahasa sebagai alatkomunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa belajar Bahasa Inggris bukan saja belajarkosakata dan tatabahasa dalam arti pengetahuannya, tetapi harus berupayamenggunakan atau mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam kegiatan komunikasi.

Beberapa masalah yang terdapat dalam pembelajaran bahasa Inggris conversation,misalnya seorang siswa belum dapat dikatakan menguasai Bahasa Inggris kalau diabelum dapat menggunakan Bahasa Inggris untuk keperluan komunikasi, siswa tersebut

Page 112: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

105

mendapat nilai yang bagus pada penguasaan kosakata dan tatabahasanya. Memangdiakui bahwa seseorang tidak mungkin akan dapat berkomunikasi dengan baik kalaupengetahuan kosakatanya rendah. Masalah lainnya adalah tidak tersedianyalaboratorium bahasa Inggris di sekolah atau fasilitas yang kurang memadai.

Kemampuan conversationKemampuan bercakap-cakap (conversation ability) adalah kemampuan untuk

berinteraksi dengan orang lain. Menurut Latumahina (2011) bercakap-cakap adalah carayang terbaik untuk membangun hubungan yang baik dengan orang lain. Ada 7 carauntuk meningkatkan kemampuan bercakap-cakap, diantaranya yaitu berbicara perlahandan mengekspresikan perasaan (dengan intonasi yang benar) serta penggunaan kata-katayang tepat. Kemampuan berbicara (conversation) tidak dapat secara cepat dikuasaikarena memerlukan waktu, latihan dan kemauan belajar.

Bahasa Inggris conversation adalah mata pelajaran muatan lokal dengan jumlahpertemuan 2 jam dalam seminggu untuk setiap kelas VIII SMP. Pembelajaran bahasadalam hal ini bahasa Inggris berlandaskan pada prinsip-prinsip: (1) siswa aktifkonstruktif, (2) bahasa digunakan dalam berbagai pola, (3) pengetahuan diperoleh siswamelalui interaksi sosial . Di samping itu pendekatan integratif juga menekankan padapaduan 4 aspek ketrampilan berbahasa yang meliputi: reading, writing, listening danspeaking yang selalu ada dalam setiap kegiatan pembelajaran bahasa Inggrisconversation. Selain pendekatan integratif pembelajaran bahasa juga menggunakanpendekatan komunikatif yang menitik beratkan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.Jadi, pendekatan komunikatif mengarahkan siswa pada penguasaan komunikasi bahasaInggris bukan hanya penguasaan struktur bahasa, dengan harapan supaya siswa dapatberkomunikasi bahasa Inggris dengan baik dan benar dalam berbagai peristiwa sehari-hari.

Pada tingkat SMP, conversation dipandang penting untuk diajarkan sebagai matapelajaran tersendiri dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut: (1) conversationdimaksudkan wahana untuk meningkatkan kemampuan berbicara Inggris dalaminteraksi sehari-hari, (2) mata pelajaran conversation perlu diberikan untuk tujuan yanglebih khusus yaitu membekali siswa kosa kata dan cara pengucapan bahasa Inggris yangbaik dan benar untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi danmengembangkan ilmu teknologi.

Karena pentingnya kemampuan conversation untuk para siswa SMP, makapenulis memandang perlu merancang bahan ajar bahasa Inggris conversation yangberisikan bahan ajar yang dapat meningkatkan kemampuan siswa mengucapkan kalimatsapaan sederhana sehari-hari, bahan ajar yang dapat meningkatkan kemampuan siswaberinteraksi dengan lingkungan terdekat dan bahan ajar yang meningkatkan kemampuansiswa dalam mengenal nama-nama benda di lingkungan sekitar dan kata-kata yangsering digunakan sehari-hari.

Metode PengembanganModel pengembangan yang digunakan dalam pengembangan paket bahan ajar

mata pelajaran conversation ini adalah model Dick, Carey dan Carey. Model inimengarah pada upaya pemecahan masalah belajar dengan prosedur kegiatan yang terdiriatas 9 langkah: (1) mengenali tujuan pembelajaran, (2) melakukan analisispembelajaran, (3) mengenali tingkah laku dan ciri-ciri pebelajar, (4) merumuskan tujuanperfomansi, yaitu pernyataan khusus tentang apa yang mampu dikerjakan pebelajarsetelah mengikuti pelajaran, (5) mengembangkan butir-butir test acuan patokan yangterdiri dari test tingkah laku masukan, pra test, pasca test dan test sambil jalan, (6)mengembangkan strategi pembelajaran yang meliputi kegiatan pra pengajaran,

Page 113: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

106

penyajian informasi, latihan dan balikan, pengetesan dan kegiatan-kegiatan lanjutan,(7) memilih dan mengembangkan materi pembelajaran yang meliputi buku petunjukkerja siswa, bahan ajar dan test, (8) merancang dan melakukan penilaian formatif.Penilaian formatif yang harus dilakukan adalah : (a) uji ahli isi, (b) uji coba perorangan,(c) uji coba kelompok kecil dan (d) uji coba lapangan, (9) merevisi pembelajaranberdasarkan hasil test formatif yang telah dilakukan.

Gambar 1. Alur pengembangan Dick, Carey and Carey(sumber: Dick, Carey and Carey 2001)

Uji Coba Produk Bahan Ajar Pengembangan1. Desain uji coba

Untuk megetahui timgkat kemenarikan produk bahan ajar maka dilakukanserangkaian uji coba terhadap produk bahan ajar conversation, lalu diadakan revisi.a. Review ahli

Setelah produk pengembangan disusun, maka dilakukan review ahli yangterdiri dari ahli isi dan ahli desain pembelajaran.

b. Uji coba satu-satuUji coba satu-satu terdiri dari 3 orang siswa yang terdiri dari seorang siswa

berkemampuan tinggi, seorang siswa berkemampuan sedang dan seorang siswaberkemampuan rendah. Hasil dari uji coba satu-satu ini kemudian dilakukanrevisi dan selanjutnya hasil revisi ini digunakan untuk uji coba kelompok kecil.

c. Uji coba kelompok kecilInstrumen diberikan kepada sekelompok kecil siswa untuk memberikan jawabandari pertanyaan yang ada. Tujuannya ialah apakah siswa dapat menggunakanbahan ajar tanpa adanya interaksi guru. Subyek coba dalam tahap ini ialahsebanyak 9 siswa kelas VIII semester II SMP IPIEMS Surabaya Jawa Timur.

d. Uji coba kemampuan conversation siswaInstrumen dibagikan ke para siswa untuk menjawab pertanyaan yang ada.

Subjek coba pada tahap ini berjumlah 30 siswa yang duduk di kelas VIIIsemester II SMP IPIEMS Surabaya Jawa Timur.

Page 114: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

107

Di bawah ini adalah bagan rencana uji coba pengembangan produk bahan ajar:

Gambar 2. Bagan Rencana Uji Coba Pengembangan Produk Bahan Ajar

Hasil PengembanganPenyajian Data Uji Coba

Data yang dipaparkan secara berurutan adalah data kualitatif berupa tanggapandari ahli isi mata pelajaran, ahli desain media pembelajaran, uji coba perorangan, ujicoba kelompok kecil dan uji coba kelompok besar.1. Sajian Data Hasil Penilaian Uji Ahli Isi Mata Pelajaran

Ahli isi mata pelajaran conversation adalah dosen sastra Inggris di UNTAGSurabaya dan kini masih aktif mengajar. Data yang diperoleh dari beliau berupakomentar dan saran terhadap bahan ajar conversation.

2. Sajian Data Hasil Penilaian Uji Ahli Desain Media Pembelajaran.Uji ahli desain pembelajaran dilakukan oleh dosen Pascasarjana UNIPA Surabaya.

3. Sajian Data Hasil Penilaian Siswa.a. Data Hasil Penilaian Uji Coba Satu-satu

Berikut disajikan data hasil uji coba perorangan sebanyak 3 siswa kelas VIII SMPIPIEMS Surabaya tahun ajaran 2011-2012 terhadap bahan ajar conversation kelasVIII semester II. Tiga siswa tersebut adalah siswa kelas VIII SMP IPIEMSSurabaya tahun ajaran 2011-2012.

Review dan revisi I

Review dan revisi II

Review dan revisi III

Langkah-langkahPengembangan

Produk awal

Produk revisi I

Produk revisi II

Produk revisi III

Produk Akhir

InstrumenPenilaian

Angket ahliIsi & desain

Angket uji cobaSatu-satu

Angket uji cobaKelompok kecil

Angket uji cobalapangan

1. Bahan ajar2. Panduan guru

Responden ujicoba

Ahli isi & desain

3 orang siswa

9 orang siswa

30 orang siswa

Page 115: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

108

Tabel 1. Data Hasil Penilaian Uji Coba Satu-satu Terhadap Bahan AjarNo. Pernyataan Jumlah1 Tidak baik -2 Kurang baik 13 Cukup baik 124 Baik 375 Sangat baik 7

b. Data Hasil Penilaian Uji Coba Kelompok KecilBerikut ini dipaparkan hasil tanggapan/penilaian terhadap bahan ajar dari 9siswa (kelompok kecil). Sembilan siswa tersebut adalah siswa kelas VIIISMP IPIEMS Surabaya tahun ajaran 2011-2012.

Tabel 2. Data hasil penilaian uji coba kelompok kecil terhadap bahan ajarNo. Pernyataan Jumlah1 Tidak baik -2 Kurang baik 53 Cukup baik 284 Baik 695 Sangat baik 33

c. Sajian Data Hasil Penilaian Uji Coba Kelompok Besar.Berikut ini dipaparkan hasil tanggapan/penilaian terhadap bahan ajar dari30 siswa (kelompok besar). Tiga puluh siswa tersebut adalah siswa kelasVIII SMP IPIEMS Surabaya tahun ajaran 2011-2012.

Tabel 3. Data hasil penilaian uji coba kelompok besar terhadap bahan ajarNo. Pernyataan Jumlah1 Tidak baik -2 Kurang baik 143 Cukup baik 1084 Baik 1865 Sangat baik 142

4. Sajian Data Kemampuan Siswa Setelah Menggunakan Bahan ajar ConversationImprove Your Speaking

Tabel 4. Data kemampuan siswa mengucapkan kalimat sapaan sederhana sehari-hari.

Tabel 5. Data kemampuan siswa berinteraksi dengan lingkungan terdekat.

Jumlah siswa Nilai Frekwensi80-90 19

30 70-79 860-69 3

Jumlah siswa Nilai Frekwensi80-90 10

30 70-79 1860-69 2

Page 116: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

109

Tabel 6. Data kemampuan siswa mengenal nama-nama benda di lingkungan sekitardan kata-kata yang sering digunakan sehari-hari

Analisis Data1. Analisis Kelayakan Bahan Ajar Conversation dari Ahli Isi

Berdasarkan data hasil penilaian uji ahli isi, maka dibuatlah tabel analisis kelayakanbahan ajar Conversation dari ahli isi.

Tabel 7. Analisis kelayakan bahan ajar conversation dari ahli isi.No. Pernyataan Jumlah Bobot Penilaian Hasil Akhir1 Tidak baik - 1 -2 Kurang baik - 2 -3 Cukup baik 1 3 34 Baik 6 4 245 Sangat baik 6 5 30

Jumlah Total 13 57Rata-rata 57:13 = 4,38

Dari tabel 7. diperoleh rata-rata 4,38. Berdasar skala penilaian bahan ajar makabahan ajar Conversation kelas VIII semester II “Improve Your Speaking” beradapada tingkat sangat layak, yang artinya bahan ajar ini sangat layak digunakan untukpara siswa SMP IPIEMS kelas VIII semester II.

2. Analisis Kelayakan Bahan Ajar Conversation dari Ahli Desain MediaPembelajaran.

Berdasarkan data hasil penilaian uji ahli Desain Media Pembelajaran, makadibuatlah tabel analisis kelayakan bahan ajar Conversation dari ahli Desain MediaPembelajaran.

Tabel 8. Analisis kelayakan bahan ajar conversation dari ahli Desain Media Pembelajaran.No. Pernyataan Jumlah Bobot Penilaian Hasil Akhir1 Tidak baik - 1 -2 Kurang baik - 2 -3 Cukup baik - 3 -4 Baik 10 4 405 Sangat baik 10 5 50

Jumlah Total 20 90Rata-rata 90 :20 = 4,5

Dari tabel 8. diperoleh rata-rata 4,5. Berdasar skala penilaian bahan ajar makabahan ajar Conversation kelas VIII semester II “Improve Your Speaking” beradapada tingkat sangat layak, yang artinya bahan ajar ini sangat layak digunakan untukpara siswa SMP IPIEMS kelas VIII semester II.

3. Analisis Kelayakan Bahan Ajar Conversation Dari Hasil Uji Coba Para Siswa.a. Analisis kelayakan bahan ajar Conversation “Improve Your Speaking” dari hasil

uji coba satu-satu.Berdasarkan data hasil uji coba 3 siswa, maka dibuatlah tabel 9.

Jumlah siswa Nilai Frekwensi80-90 20

30 70-79 960-69 1

Page 117: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

110

Tabel 9 Analisis kelayakan bahan ajar conversation dari 3 siswaNo. No. Pernyataan Jumlah Bobot Penilaian Hasil Akhir

1 Tidak baik - 1 -2 Kurang baik 1 2 23 Cukup baik 12 3 364 Baik 37 4 1485 Sangat baik 7 5 35

Jumlah Total 57 221Rata-rata 221 :57 = 3,87

Dari tabel 9. diperoleh rata-rata 3,87. Berdasar skala penilaian bahan ajar makabahan ajar Conversation kelas VIII semester II “Improve Your Speaking” beradapada tingkat layak, yang artinya bahan ajar ini layak digunakan untuk para siswaSMP IPIEMS kelas VIII semester II.

b. Analisis kelayakan bahan ajar Conversation “Improve Your Speaking” dari hasiluji coba kelompok kecil.Berdasarkan data hasil uji coba 9 siswa, maka dibuatlah tabel 10.

Tabel 10 Analisis kelayakan bahan ajar conversation dari 9 siswaNo. No. Pernyataan Jumlah Bobot Penilaian Hasil Akhir

1 Tidak baik - 1 -2 Kurang baik 5 2 103 Cukup baik 28 3 844 Baik 69 4 2765 Sangat baik 33 5 165

Jumlah Total 135 535Rata-rata 535 :135 = 3,96

Dari tabel 10 diperoleh rata-rata 3,96. Berdasar skala penilaian bahan ajar makabahan ajar Conversation kelas VIII semester II “Improve Your Speaking” beradapada tingkat layak, yang artinya bahan ajar ini layak digunakan untuk para siswaSMP IPIEMS kelas VIII semester II.

c. Analisis kelayakan bahan ajar Conversation “Improve Your Speaking” dari hasiluji coba kelompok besar.Berdasarkan data hasil uji coba 30 siswa, maka dibuatlah tabel 11

Tabel 11 Analisis kelayakan bahan ajar conversation dari 30 siswaNo. No. Pernyataan Jumlah Bobot Penilaian Hasil Akhir

1 Tidak baik - 1 -2 Kurang baik 14 2 283 Cukup baik 108 3 3244 Baik 186 4 7445 Sangat baik 142 5 710

Jumlah Total 450 1806Rata-rata 1806 :450 = 4,01

Dari tabel 11 diperoleh rata-rata 4,01. Berdasar skala penilaian bahan ajar makabahan ajar Conversation kelas VIII semester II “Improve Your Speaking” beradapada tingkat layak, yang artinya bahan ajar ini layak digunakan untuk para siswaSMP IPIEMS kelas VIII semester II.

Page 118: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

111

4. Analisis Kemampuan Siswaa. Tabel 12 Analisis kemampuan siswa mengucapkan kalimat sapaan sehari-hari.

Dari tabel di atas maka persentase terbesar adalah siswa dengan nilai antara 80-90, yaitu 63,4% yang berarti sebagian besar para siswa setelah menggunakanbahan ajar “Improve Your Speaking”, mampu mengucapkan kalimat sapaansederhana sehari-hari.

b. Tabel 13 Analisis kemampuan siswa berinteraksi dengan lingkungan terdekat

Dari tabel di atas maka persentase terbesar adalah siswa dengan nilai antara 70-79, yaitu 60% yang berarti sebagian besar para siswa setelah menggunakanbahan ajar “Improve Your Speaking”, mampu berinteraksi dengan lingkunganterdekat.

a. Tabel 14 Analisis kemampuan siswa dalam mengenal nama-nama benda dilingkungan sekitar dan kata-kata yang sering digunakan sehari-hari.

Dari tabel di atas maka persentase terbesar adalah siswa dengan nilai antara 80-90, yaitu 66,7% yang berarti sebagian besar para siswa setelah menggunakanbahan ajar “Improve Your Speaking”, mampu dalam mengenal nama-namabenda di lingkungan sekitar dan kata-kata yang sering digunakan sehari-hari.

SimpulanPengembang menyimpulkan produk bahan ajar bahasa Inggris conversation untuk

siswa SMP kelas VIII semester II “Improve Your Speaking” dapat dipakai sebagai salahsatu sumber belajar siswa SMP kelas VIII semester II, terbukti dengan hasil angket dankomentar para ahli yang menyatakan bahwa bahan ajar bahasa Inggris conversationuntuk siswa SMP kelas VIII semester II “Improve Your Speaking” sangat layak. Selainitu bahan ajar tersebut mampu meningkatkan kemampuan siswa sebesar 63,4% dalampengucapan kalimat sapaan sederhana sehari-hari, mampu meningkatkan kemampuansiswa sebesar 60% dalam berinteraksi dengan lingkungan terdekat dan mampumeningkatkan kemampuan siswa sebesar 66,7% dalam mengenal nama-nama benda dankata-kata yang sering digunakan.

ReferensiAgustina, R, T., Bintartik, L. 2009. Pengembangan Buku Ajar Untuk Meningkatkan

Ketrampilan Bahasa Inggris Siswa Kelas 3 SD. Jurnal Penelitian Kependidikan18(1): 76-78

Depdiknas. 2005. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentangsisdiknas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Jumlah siswa Nilai Frekwensi Persentase80-90 19 63,4

30 70-79 8 26,660-69 3 10

Jumlah siswa Nilai Frekwensi Persentase80-90 10 33,3

30 70-79 18 6060-69 2 6,7

Jumlah siswa Nilai Frekwensi Persentase80-90 20 66,7

30 70-79 9 3060-69 1 3,3

Page 119: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

112

Dick, Walter, Lou Carey., James O. Carey. 2001. The Systematic Design of Instruction(6th ed). New York: Harper Collins Publisher.

Kisito, F. 2007. Cathy’s Life in The Future (online). www.esl-galaxy.com , diaksestanggal 23 November 2011

Latumahina, D. 2011. 7 Ways to Improve Your Conversation Skills (Online).http://www.lifeoptimizer.org/2011/04/01/improve-conversation-skills/) diakses 15April 2012

Munandir. 1987. Rancangan Sistem Pengajaran. Jakarta: Proyek PengembanganLembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan

Novianti, R,D., Syaichudin, M. 2012. Uraian Isi Pembelajaran Winkel. (online)http://blog.elearning.unesa.ac.id/tag/pemanfaatan-sumber-belajar-yang-didesain-dalam-strategi-pembelajaran. Diakses 14 April 2012

Prawiradilaga, Dewi, Salma. 2007. Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: KencanaPrenada Media Group.

Pannen. 2001. Penulisam Bahan Ajar. Pusat antar Universitas untuk peningkatan danpengembangan aktivitas instruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Thomas Lavelle: Writer, content direction. Giving Advice (Online).(www.bogglesworldesl.com/files/advise.jpg) . diakses 6 Mei 2012

Page 120: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

113

MODEL BANGKU KELAS TERHADAPRESPONS KELUHAN PADA SISWA

(Penelitian Observasional Ergonomis Pada Siswa Sekolah Dasar)

Gempur SantosoYoso Wiyarno

Universitas PGRI Adi Buana [email protected]

AbstrakSaat ini bangku belajar di sekolah belum disesuaikan dengan antropometriusia siswa. Ketidaksesuaian bangku dengan dimensi antropometri siswaakan timbul berbagai dampak antara lain kelelahan siswa. Kelelahantersebut berdampak pada penurunan daya reaksi belajar yang sampai saatini belum banyak dikaji. Metode penulisan ilmiah ini secara deskriptif yangingin memaparkan prinsip desain bangku belajar di sekolah yang dikaitkanposisi duduk di kursi dan daya berfikirnya saat proses belajar mengajar.Kajian dan pembahasan ilmiah pada tulisan ini berdasarkan studi observasiergonomis pada sekolah dasar di Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur,Indonesia. Kesimpulan: 1) bahwa model bangku kelas yang ada di sekolahdasar saat ini paling sesuai digunakan untuk siswa kelas 4 (siswa usia 9tahun); 2) bahwa bangku kelas untuk siswa sekolah dasar terbesarmengakibatkan keluhan pada: kaku di bagian leher bawah (rasa sangatsakit 6,3%), pergelangan pada tangan kanan (rasa sangat sakit 6,3%),punggung (rasa sangat sakit 13,1%), tangan kanan (rasa sakit 26,3%), sikukiri (rasa sakit 25%), dan pergelangan kaki kiri (rasa sakit 25%). Saran:gunakan bangku belajar yang ergonomis agar siswa tidak lelah danakhirnya tidak terjadi penurunnan daya berfikir siswa.

Kata Kunci: bangku belajar, ergonomis, kelelahan.

PendahuluanKegiatan belajar mengajar mengajar di sekolah formal tidak terlepas dari ruang

kelas yang di dalamnya terdapat meja dan kursi (bangku) belajar di kelas. Sampai saatini bangku belajar di sekolah tersebut tidak disesuaikan dengan antropometri usia siswa.Ketidaksesuaian bangku (alat) dengan pengguna (siswa) akan timbul berbagai dampakantara lain kelelahan siswaberupa keluhan rasa sakit.Terkait dengan hasil produk (bangku) yang tidak didasarkan antropometri siswa,menurut hasil penelitian Woro (2001) “ternyata (100 %) meja dan (81,11 %) kursi untukanak sekolah di Indonesia tidak ergonomis”. Artinya bahwa desain meja dan kursisekolah yang telah diproduksi tidak sesuai dengan dimensi antropometri peserta didik.Dampaknya menurut Woro (2001) adalah “gangguan kesehatan pada peserta didikantara lain pusing dan pegal/sakit (72,3 %), anak merasa lelah (65,4 %), dan leherpegal/sakit (61,3 %)”. Hal ini menunjukkan bahwa desain produk berupa barang mutlakharus disesuaikan dengan dimensi antropometri agar ergonomis. Begitu pula hasilpenelitian Gempur (2007) menunjukkan bahwa “kursi dan meja ergonomis dapatmenurunkan kelelahan sebesar 8,5%”.Kemudian, dari segi pengukuran kelelahan biasa yang dipakai saat ini menggunakan“angket kelelahan, flicker tension test” (Dewa, 2000). Angket kelelahan berupa lembarkertas berisi beberapa pertanyaan. Untuk flicker tension test dengan mengukur reaksikonsentrasi mata menangkap sinyal berupa sinar. Ada pula alat untuk mengukur

Page 121: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

114

kelelahan otot disebut electromyograf (EMG) yakni mengukur kontraksi otot.Kemudian Gempur (2008) pada tahun 2007 melakukan penelitian pada tenaga kerjamenguji kelelahan secara biologis menggunakan konsentrasi asam laktat dan glukosadalam darah. Sebelumnya asam laktat telah dapat ditemukan untuk mengukur kelelahanpada hewan uji coba bukan untuk manusia. Sebagaimana Peter A. Mayes (1999)“kortisol banyak pada manusia yang biasanya terkait dengan stress”. Selanjutnya, padapenelitian ini bertujuan menemukan keluhan subyektif (angket kelelahan) pada siswasekolah dasar yang menggunakan bangku kelas (bangku belajar di sekolah).

Bangku kelas yang tidak sesuai postur tubuh siswa (antropometri) akanmengkibatkan kelelahan. Bila terjadi kelelahan, maka respons daya reaksi berfikir untukmenyerap materi pelajaran juga menurun hal itu disebut dengan kelelahan syaraf.Respons kelelahan syaraf yang positif atau coping mechanism perubahan daya reaksiberfikir ini berjalan mengalir dalam tubuh dan diterima oleh batang otak. Setelahdiformat dengan bahasa otak, kemudian ditrasmisikan ke salah satu bagian otak besaryakni hipotalamus yang terletak di bawah otak. Hopotalamus mestimulasi adrenocortiotrophic hormone (ACTH), kemudian merangsang peningkatan adrenal, di dalamadrenal tersebut memproduksi sekresi peningkatan hormone kortisol.

Kegiatan belajar mengajar bagi siswa duduk di kelas membutuhkan waktu lamaantara 4 – 7 jam sehari. Menurut Alan Glaser (2001) “duduk lama dan statis akanmenimbulkan ketegangan pada vertebralis terutama pada lumbar”. Juga, “bila tinggikursi terlalu pendek, duduk akan membungkuk, karena lutut akan lebih tinggi dibandingposisi pantat, akibatnya pelvic merenggang, columna spinal tegang, abdomen bawahmenekan dan sirkulasi gerakan terbatas, serta lambat laum terjadi nyeri dan lelah” AlanGlaser (2001). Dalam keadaan lelah maka daya reaksi berfikir akan mengalamipenurunan. Penurunan daya reaksi berfikir tersebut menupakan kelahan syaraf.

Di sisi lain, bahwa sampai saat ini ukuran bangku sekolah disamakan antarasiswa SD kelas satu sampai kelas enam. Padahal, antropometri antara siswa SD kelassatu sampai kelas enam adalah berbeda. Oleh karena itu, sangat mungkin siswa SD diseluruh Indonesia saat ini mengalami kelelahan karena faktor bangku belajar di kelas.

Penelitian ini mencoba untuk dapat menemukan pola bahwa antropometri terkaitusia siswa yang berbeda harus menggunakan bangku sekolah yang berbeda, agar siswadi Sekolah Dasar tidak mengalami keluhan. Tujuan penelitian ini, 1) Menemukan modelbangku ergonomis berdasarkan respons keluhan siswa sekolah dasar pada setiap kelasyang menggunakan bangku yang sama; 2) menemukan jenis keluhan tubuh yangterbesar siswa sekolah dasar yang menggunakan bangku kelas.

Metode PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian deskiptif secara crossecsional dilakukanpengambilan data secara obsevasional untuk mengetahui keluhan siswa Sekolah Dasarketika duduk di bangku kelas saat proses belajar mengajar. Populasi dalam penelitian inidirancang (terencana) adalah siswa kelas dua sampai dengan siswa kelas 5 SekolahDasar Negeri (SDN) Bohar, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo. Sampel sebagaiberikut: siswa kelas dua = 32 orang (usia 7 tahun); siswa kelas tiga = 41 orang(usia 8 tahun); siswa kelas empat = 46 orang (usia 9 tahun); siswa kelas lima = 36siswa (usia 10 tahun).

Page 122: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

115

Analisis dan Pembahasan

1. Penggunaan Model Bangku Berdasarkan Respons Keluhan Siswa SekolahDasar Pada Setiap Kelas.

Terdapat empat respons keluhan yang diterima siswa saat duduk di bangku kelasdi sekolah yakni: tidak sakit, agak sakit, sakit, dan sangat sakit. Respons keluhan yangditerima siswa setiap kelas yakni siswa kelas 2, kelas 3, kelas 4, dan kelas 5 terdapatperbedaan, hal itu dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Respons Keluhan Siswa Pada Setiap Kelas(SDN Bohar, Agustus 2012)

No ResponsKeluhan

SiswaKelas 2

SiswaKelas 3

SiswaKelas 4

SiswaKelas 5

1 Tidak sakit 55,7% 57,3% 93,9% 91,4%2 Agak sakit 27,6% 21,7% 5,5% 5,6%3 Sakit 12,4% 15,5% 0,6% 2,4%4 Sangat sakit 4,3% 5,5% 0% 0,6%

J u m l a h 100% 100% 100% 100%

Berdasarkan tabel 2 di atas, dapat dibuat diagram respons keluhan siswa setiapkelas, sebagaimana dapat dilihat pada grafik 1 berikut ini.

Gambar 1. Grafik Respons Keluhan Siswa Tiap Kelas

Berdasarkan tabel 1 dan gambar 1 di atas, akibat ukuran bangku kelas di sekolahantar kelas yang sama, respons tidak sakit pada siswa kelas 2 dan kelas 3 hampir sama(55,7% dan 57,3%), pada kelas 4 dan kelas 5 semakin mengalami rasa tidak sakit

KLS 2 KLS 3 KLS 4 KLS 5Sangat sakit 4,3 5,5 0 0,6Sakit 12,4 15,5 0,6 2,4Agak sakit 27,6 21,7 5,5 5,6Tidak sakit 55,7 57,3 93,9 91,4

0

20

40

60

80

100

120

Page 123: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

116

(93,9% dan 91,4%). Pada kelas 2 saat memakai bangku sekolah merasa agak sakit padakelas 2 (27,6%), kemudian rasa agak sakit menurun (21,7%) pada kelas 3, dan rasa agaksakit semakin menurun pada saat kelas 4 da 5 (5,5% dan 5,6%).

Kemudian, bangku kelas yang sama antar kelas tersebut menimbulkan rasa sakitterbesar dialami siswa kelas 3 (15,5%), kemudian pada siswa kelas 2 (12,4%). Tetapi,untuk siswa kelas 4 dan 5 saat memakai bangku sekolah tersebut hanya sedikit yangmengalami rasa sakit (0.6% dan 2,4%). Respons rasa sangat sakit saat memakai bangkukelas tersebut sangat besar dialami siswa kelas 3 (5,5%) kemudian kelas 2 (4,3%).Tetapi, pada siswa kelas 4 dan kelas 5 mamakai bangku sekolah tersebut hampir samasekali tidak mersa sangat sakit (0% dan 0,6%).

Berdasarkan analisis di atas dapat disebutkan bahwa siswa yang menggunakanbaku kelas tersebut mengakibatkan rasa sakit terbesar pada siswa kelas 2 dan kelas 3(lihat gambar 5b), dan yang paling besar merasa sakit akibat bangku kelas terdapat padasiswa kelas 3 karena merasa sakit (15,5%) dan sangat sakit (5,5%).

Kemudian, berdasarkan analisis di atas, bangku ukuran yang sama antar kelas disekolah dasar (ukuran bangku lihat gambar 2a dan 2b), dapat disebutkan bahwa bangkuyang sesuai (dapat dipakai) oleh siswa kelas 4 dan kelas 5 (lihat gambar 3b), dan yangpaling sesuai digunakan untuk siswa kelas 4 (siswa usia 9 tahun) karena saat dipakaimerasa tidak sakit (93,9%), hanya merasa agak sakit (5,5%), merasa sakit (0,6%), dansama sekali tidak merasa sangat sakit (0%).

Gambar 2a. Ukuran Bangku (Meja) Kelas di SDN Bohar

2b. Ukuran Bangku (Kursi) di SDN Bohar

Page 124: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

117

a.Siswa Kelas II b. Siswa Kelas V

Gambar 3. Siswa SDN Bohar Duduk di Bangku Kelas

2. Jenis Keluhan Tubuh yang Terbesar Siswa Sekolah Dasar yang MenggunakanBangku Kelas

Berdasarkan grafik pada gambar 3, bahwa bangku kelas yang sama antar kelasmenimbulkan rasa sakit terbesar dialami siswa kelas 3 (15,5%), juga pada siswa kelas 2(12,4%). Jenis keluhan tubuh mana saja yang terbesar dialami siswa kelas 2 dan 3tersebut, lihat tabel 2 dan tabel 3 di bawah ini.

Tabel 2. Jenis Keluhan Siswa Kelas 2 Yang Menggunakan Bangku Kelas

NoJenis Keluhan

Respons/Tingkat KeluhanJumlahTidak

SakitAgakSakit

Sakit SangatSakit

1 Sakit kaku di bagianleher bawah

62,5% 12,5% 18,7% 6,3% 100%

2 Sakit lengan atas kanan 47,1% 29,4% 17,6% 5,9% 100%3 Sakit pada siku kiri 56,3% 12,5% 25,0% 6,2% 100%4 Sakit pada pergelangan

tangan kanan50,0% 25,0% 18,7% 6,3% 100%

5 Sakit pada tangan kanan 64,3% 14,3% 21,4% 0% 100%6 Sakit pada lulut kiri 60,0% 20,0% 20,0% 0% 100%7 Sakit pada pergelangan

kaki kiri43,8% 31,2% 25,0% 0% 100%

8 Sakit pada pergelangankaki kanan

68,8% 12,5% 18,7% 0% 100%

Page 125: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

118

Tabel 3. Jenis Keluhan Siswa Kelas 3 Yang Menggunakan Bangku Kelas

NoJenis Keluhan

Respons/Tingkat KeluhanJumlahTidak

SakitAgakSakit

Sakit SangatSakit

1 Sakit punggung 39,5 % 23,7% 23,7% 13,1% 100%2 Sakit lengan atas kanan 45,0% 27,5% 22,5% 5% 100%3 Sakit pada siku kiri 48,7% 30,8% 20,5% 0% 100%4 Sakit pada pergelangan

tangan kiri56,4% 12,8% 23,1% 7,7% 100%

5 Sakit pada pergelangantangan kanan

45,0% 25,0% 20,0% 10,0% 100%

6 Sakit pada tangan kiri 46,2% 20,5% 23,1% 10,2% 100%7 Sakit pada tangan kanan 52,6% 15,8% 26,3% 5,3% 100%8 Sakit pada paha kanan 57,9% 15,8% 21,0% 5,3% 100%9 Sakit pada pergelangan

kaki kiri42,1% 31,6% 21,0% 5,3% 100%

10 Sakit pada kaki kanan 43,6% 25,6% 23,1% 7,7% 100%

Berdasarkan tabel 2 dan tabel 3 di atas jenis keluhan terbesar siswa kelas 2 (usia7 tahun) akibat dari bangku kelas yang tidak ergonomis yakni sangat sakit terletak padakaku di bagian leher bawah dan pergelangan tangan kanan (6,3% dan 6,3%),kemudian mengalami rasa sakit terbesar terletak pada siku kiri dan pergelangan kakikiri (25% dan 25%). Untuk siswa kelas 3 (usia 8 tahun) akibat bangku kelas tidakergonomis mengalami rasa sangat sakit terletak pada punggung (13,1%), danmengalami rasa sakit pada tangan kanan (26,3%).

Berdasarkan uraian di atas, bahwa bangku kelas untuk siswa sekolah dasarterbesar mengakibatkan keluhan pada:a. Kaku di bagian leher bawah (rasa sangat sakit 6,3%)b. Pergelangan pada tangan kanan (rasa sangat sakit 6,3%)c. Punggung (rasa sangat sakit 13,1%)d. Tangan kanan (rasa sakit 26,3%)e. Siku kiri (rasa sakit 25%), danf. Pergelangan kaki kiri (rasa sakit 25%).

Simpulan dan SaranSimpulan1. Bahwa model bangku kelas yang ada di sekolah dasar saat ini paling sesuai

digunakan untuk siswa kelas 4 (siswa usia 9 tahun);2. Bahwa bangku kelas untuk siswa sekolah dasar terbesar mengakibatkan keluhan

pada: kaku di bagian leher bawah (rasa sangat sakit 6,3%), pergelangan pada tangankanan (rasa sangat sakit 6,3%), punggung (rasa sangat sakit 13,1%), tangan kanan(rasa sakit 26,3%), siku kiri (rasa sakit 25%), dan pergelangan kaki kiri (rasa sakit25%).

SaranGunakan bangku belajar yang ergonomis agar siswa tidak lelah dan akhirnya

tidak terjadi penurunnan daya berpikir siswa.

Page 126: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

119

Daftar PustakaAlan Glaser, 2001, The vital role of seating in back care, Positive Health Publications

Ltd, LondonDewa Putu Sutjana, 2000, Penuntun tugas lapangan matakuliah fisiologi kerja,

Program Pascasarjana, Universitas Udayana Bali.Eko Nurminto.2003. Ergonomi Konsep Dasar Aplikasi, Surabaya: Prima Printing.Gempur Santoso, 2007, Kursi meja kerja ergonomis untuk posisi duduk statis, Karya

Inovatif Perguruan Tinggi, DP2M – Dikti – Depdiknas, 2007: hal. 198, JakartaGempur Santoso, 2008, Deteksi kelelahan pada kerja bubut posisi berdiri terhadap

fluktuasi asam laktat dan glukosa, Wahana Jurnal ilmiah sains & ilmupendidikan, volume 51 nomor 1, juni 2008, hal: 19-26, Unipa Surabaya

Julius Panero,dkk, 2003, Dimensi Ruangan Manusia Dan Ruangan Interior, Erlangga,Jakarta.

Mohammad Sholeh, 2000, Pengaruh Shalat Tahajjud Terhadap PeningkatanPerubahan

Respon Ketahanan Tubuh Imunologik, Disertasi, Pascasarjana Unair, Surabaya.M. Aron Pase, 2006, Shalat Tahajjud Menyehatkan Anda, SEDOTAN LIMUN.htm,

Copyright © 2006 Dhody ([email protected])Nurfajriah, Lilik Zulaihah, 2010, Perancangan kursi kuliah yang ergonomis di Fakultas

Teknik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Bina Teknika,Volume 6 nomor 1, Desember 2010, Jakarta.

Peter A. Mayes, 1999, Boikimia Harper, Edisi 24, EGC, Jakarta.Poppy Anjelisa Z. Hsb, 2008, Kelelahan, Analisadaily.com,

http://kolector.blogspot.com/2009/10/kelelahan.htmlRungtai Lin and Yen-Yu Kang, 2009, Ergonomic Design of Desk and Chair forPrimary

School Students in Taiwan, Department of Industrial Design, Mingchi Instituteof

Technology, Taishan, Taipei Hsien Taiwan, 243,[email protected] [email protected]

Sigit Wasi W, 2005, Bekerja Dengan Komputer secara ergonomis dan sehat.www.wahanako.com

Woro Riyadina, 2001, Dampak meja kursi sekolah yang tidak ergonomis terhadapkesehatan anak sekolah, Balitbang Dikdasmen Dikti, Departemen PendidikanNasional, Jakarta.

Page 127: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

120

DEVELOPMENT OF ICT LEARNING USING INTERACTIVE CD TOENHANCE ACTIVITIES AND PERFORMANCE OF THE STUDENTS ON THESUBJECT OF MICROSOFT OFFICE WORD IN SMA NEGERI 3 SUMEDANG

Handy KartawinataSTKIP Garut

[email protected]

Asep Slamet RiyadiSMA Negeri 3 Sumedang

AbstractThis research was conducted in SMA Negeri 3 Sumedang whose subjects inthe development phase were all students of X-1, X-4, and X-5. Whereas thesubjects of the research in the phase of validation test were all students of X-3 as the control class and of X-2 as the experiment class. The methodsapplied for this research was of research and development (R & D) with atechnique of data gathering consisting of questionnaire, interview, test,observation, and literature study.The results obtained from this researchcomprise 1) Learning model of information and communication technologyusing interactive CDs that can improve students’ activities on the subject ofMicrosoft Office Word, is one that combine various media (multimedia) thatconsist of text presentation combined with pictures, movies, animation,sound, and music in the application program of Microsoft Office PowerPoint converted to Macromedia Flash. 2) In addition to enhancing learningactivities, ICT learning model with the use of interactive CDs that utilizesvarious media (multimedia) comprising text displaycombined with pictures,movies, animation, sound, and music in the application program ofMicrosoft Office Power Point converted to Macromedia Flash can amplifythe learning results of the students.Based on the research results, the authorsuggests three recommendations. They are: 1). Educational planning isrelated not merely to RPP (educational program planning). Hence, a teacherhad better involve him- or herself in grasping the very significance andcomponents of the learning system. 2). ICT learning model utilizinginteractive CDs that involve various media (multimedia) comprising textdisplay combined with pictures, films, animation, sound and music in theapplication program of Microsoft Office Power Point converted toMacromedia Flash proves to be more advantageous than other media.Subsequently, a teacher is suggested to consider this model for his or herdaily teaching. 3) The model proves to be capable of augmentingperformance of the students. It is therefore advocated that a teacher conductsome form of research and development on every subject matter so that heor she will find the finest model to apply to the next teaching-learningprocess. 4) The author realizes that this research is far from perfect as thereare limitation and hindrance involved here and there in it. Further researchesare hopefully to improve it.

Keywords : Microsoft Office, macromedia flash, ICT, learning

PendahuluanDalam sistem pembelajaran, guru memiliki multiperan, Sanjaya (2008:15)

menjelaskan bahwa setidaknya ada dua peran yang dapat dijalankan oleh guru, yakni

Page 128: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

121

guru sebagai perencana (planner) atau desainer (designer) pembelajaran, sebagaiimplementator atau mungkin keduanya.Sedikitnya peran ganda guru selain sebagaiperencana, guru juga sebagai pelaksana pembelajaran.Dalam menjalankan perannyasebagai desainer, berbagai kompetensi atau kemampuan harus dimiliki oleh seorangguru. Salah satu di antara peran penting guru sebagai desainer pembelajaran adalahharus mampu merancang pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswasebagaimana dirumuskan dalam definisi pendidikan menurut Undang-Undang Nomor20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di atas.Penulis yakin bahwapembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa adalah pembelajaranyang dapat memberikan pengalaman belajar kepada siswa dengan melibatkan siswasecara aktif. Berdasarkan pengalaman belajar yang dirumuskan Edgar Dale dalamkerucut pengalaman belajarnya yang dikutip oleh Ali (2004:90) dapat disimpulkanbahwa semakin siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran, tujuan pembelajaranpunakan semakin tercapai dengan baik, sebaliknya, jika pengalama belajar yang diberikankurang melibatkan siswa secara aktif, maka akan sulit tujuan pembelajaran tercapaisecara optimal.

Pengalaman belajar yang digambarkan Edgar Dale juga mengisyaratkan bahwapembelajaran yang dilaksanakan hanya melalui simbol-simbol verbal semata akanmenciptakan suasana pembelajaran yang kurang aktif, sementara itu pembelajaran yangmengkombinasikan simbol-simbol verbal dan nonverbal serta memberikan pengalamanbelajar secara langsung akan meningkatkan aktivitas belajar siswa.Berdasarkan haltersebut jelaslah bahwa sebagai desainer, guru memiliki kewajiban untuk merancangpembelajaran dengan membuat desain atau model pembelajaran dengan memanfaatkansumber-sumber yang ada untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa.Jika hal ini tidakdilakukan, akan menimbulkan berbagai masalah pada diri siswa, baik berupaverbalisme, miskonsepsi, tidak paham konsep, dan lain sebagainya yang akan bermuarapada rendahnya hasil belajar.

Oleh sebab itu diperlukan kepiawaian guru dalam merancang desain modelpembelajaran yang dapat membantu siswa untuk belajar secara aktif danmandiri.Diperlukan radikalisme pemikiranseorang guru untuk meramu sumber-sumberdan media belajar yang ada menjadi sebuah model pembelajaran yang dapatmeningkatkan hasil belajar.Mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasimerupakan salah satu mata pelajaran yang sangat memungkinkan dilaksanakan denganmenggunakan media yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, salah satunyaadalah dengan menggunakan CD interaktif. Memasuki abad ke-21, bidang teknologiinformasi dan komunikasi berkembang dengan pesat yang dipicu oleh temuan dalambidang rekayasa material mikroelektronika. Perkembangan ini berpengaruh besarterhadap berbagai aspek kehidupan, bahkan perilaku dan aktivitas manusia kini banyaktergantung kepada teknologi informasi dan komunikasi. Mata pelajaran teknologiinformasi dan komunikasi dimaksudkan untuk mempersiapkan peserta didik agarmampu mengantisipasi pesatnya perkembangan tersebut.

Mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi pada jenjang SMA/MAmencakup penguasaan keterampilan komputer, prinsip kerja berbagai jenis peralatankomunikasi dan cara memperoleh, mengolah dan mengkomunikasikan informasi. Matapelajaran ini merupakan kelanjutan dari pengenalan teknologi informasi dan komunikasiyang telah diperoleh pada jenjang SMP/MTs, sekaligus sebagai bekal bagi peserta didikuntuk beradaptasi dengan dunia kerja dan perkembangan dunia termasuk pendidikanpada jenjang yang lebih tinggi.

Visi mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasi yaitu agar siswa dapatdan terbiasa menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi secara tepatdan optimal untuk mendapatkan dan memproses informasi dalam kegiatan belajar,

Page 129: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

122

bekerja, dan aktifitas lainnya sehingga siswa mampu berkreasi, mengembangkan sikapimaginatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri, dan mudah beradaptasidengan perkembangan baru di lingkungannya. Melalui mata pelajaran teknologiinformasi dan komunikasi diharapkan siswa dapat terlibat pada perubahan pesat dalamkehidupan yang mengalami penambahan dan perubahan dalam penggunaan beragamproduk teknologi informasi dan komunikasi. Siswa menggunakan perangkat teknologiinformasi dan komunikasi untuk mencari, mengeksplorasi, menganalisis, dan salingtukar informasi secara efisien dan efektif. Dengan menggunakan teknologi informasidan komunikasi, siswa akan dengan cepat mendapatkan ide dan pengalaman dariberbagai kalangan. Penambahan kemampuan siswa karena penggunaan teknologiinformasi dan komunikasi akan mengembangkan sikap inisiatif dan kemampuan belajarmandiri, sehingga siswa dapat memutuskan dan mempertimbangkan sendiri kapan dandimana penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secara tepat dan optimal,termasuk apa implikasinya saat ini dan dimasa yang akan datang.

Namun demikian visi mata pelajaran teknologi informasi dan komunikasitersebut belumlah dapat dicapai dengan mudah dan optimal. Hal ini setidaknyatergambarkan oleh hasil belajar siswa selama empat tahun terakhir penulis memberikanmateri pelajaran teknologi informasi dan komunikasi. Hasil belajar siswa selama kurunwaktu tersebut belum mencapai hasil yang optimal, rata-rata nilai yang diperoleh siswapada kurun waktu tersebut hanya mencapai skor 65 dari kriteria ketuntasan minimal(KKM) sebesar 70.

Berbagai permasalahan terkait dengan pelaksanaan pembelajaran seringkalimenjadi penghambat kelancaran proses pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi awalpenulis yang dilakukan di beberapa SMA tahun pelajaran 2011-2012 yang ada diKabupaten Sumedang, terungkap berbagai permasalahan dalam pembelajaran teknologiinformasi dan komunikasi sebagai berikutini : (1) Proses pembelajaran belumsepenuhnya berpusat pada siswa, guru masih seringkali mendominasi pelaksanaanpembelajaran, terutama pada penyampaian teori yang akan diparaktikkan pada jampelajaran lainnya; (2) Tingkat penguasaan siswa terhadap materi kurang tertanamdengan baik, sehingga siswa seringkali menghadapi kesulitan pada saat praktikumkarena konsep dan teorinya yang lupa lagi; (3) Pembelajaran yang dilakukan sering kalikurang bervariasi, sehingga terkesan pembelajarannya monoton dan kurang menarikbagi siswa. Siswa pada jenjang SMA merupakan pelajar yang berada pada usia-usiatahap perkembangan sehingga apabila mereka merasa kurang sesuai atau kurangmenarik dengan pembelajaran yang dilakukan, maka secara otomatis mereka tidak akanmenyukai pelajaran yang disampaikannya.

Kondisi permasalahan tersebut terjadi pula pada pembelajaran konsep ataumateri microsoft office word. Sebagai salah satu program yang tampaknya sering dandiminati dalam lapangan kerja, microsoft office word diharapkan dapat dikuasai olehsiswa dengan sebaik-baiknya, sebagai bekal mereka pada saat melanjutkan pendidikanke jenjang yang lebih tinggi.

Kajian PustakaSanjaya (2008:204) mengungkapkan bahwa kata media berasal dari bahasa latin

dan merupakan bentuk dari kata medium yang secara harfiah dapat diartikan sebagaiperantara atau pengantar. Gerlach dan Ely sebagaimana dikutip oleh Arsyad (2006:3)mengatakan bahwa ‘media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materiatau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperolahpengetahuan, keterampilan, atau sikap’. Lebih lanjut Sanjaya (2008:204) menyebutkanbahwa media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuktujuan pendidikan, seperti radio, televisi, buku, koran, majalah dan sebagainya.

Page 130: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

123

Sementara itu, Rosyada (2008:7-8) mengungkapkan bahwa media pembelajaran dapatdipahami sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan darisumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif dimanapenerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif.

Berdasarkan pendapat di atas, media pembelajaran dapat didefinisikan sebagaialat, bahan, bahkan orang yang dapat dijadikan sebagai perantara atau pengantarsehingga dapat menunjang terjadinya proses belajar mengajar.1. Pentingnya Media dalam Pembelajaran

Pembelajaran akan mendapatkan hasil yang optimal, jika pembelajaran tersebutmelibatkan siswa secara aktif melalui konsep-konsep yang konkret. Artinya konsepyang diberikan kepada siswa tidak bersifat teoritis, melainkan secara riil ada di depansiswa. Sanjaya (2008:200) mengungkapkan bahwa semakin konkret siswa mempelajaribahan pelajaran contohnya melalui pengalaman langsung, maka akan semakinbanyaklah pengalaman yang diperoleh siswa. Pengalaman langsung akan memberikanpengalaman siswa lebih banyak lagi, selain memberikan pengalaman melalui dayaintelektualnya, pembelajaran secara langsung dapat memberikan kesempatan belajarkepada siswa melalui indera penglihatan, pendengaran, perasaan salah satu contohmisalnya seorang guru menerangkan tentang konsep burung merpati, pembelajaran akanlebih berhasil jika guru membawa burung merpati tersebut ke dalam kelas kemudianmendemonstrasikan ciri-ciri fisik burung tersebut, dibandingkan denganmenerangkannya melalui kata-kata.2. Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran

Menurut Sanjaya (2008:207-209) media pembelajaran memiliki fungsi danmanfaat sebagai berikut: a) Menangkap suatu objek atau peristiwa-peristiwa tertentu; b)Memanipulasi keadaan, peristiwa atau suatu objek tertentu; c) Menambah gairah danmotivasi belajar siswa; d) Memiliki nilai praktis.Sedangkan Yunus sebagaimana dikutipoleh Arsyad (2006:16) mengungkapkan sebagai berikut :Bahwasanya mediapembelajaran paling besar pengaruhnya bagi indera dan lebih dapat menjaminpemahaman… orang yang mendengarkan saja tidaklah sama tingkat pemahamnanyadan lamanya bertahan apa yang dipahaminya dibandingkan dengan mereka yangmelihat, atau melihat dan mendengarnya.

Selanjutnya Arsyad (Ibrahim, 1962: 432) menjelaskan betapa pentingnya mediapembelajaran karena :Media pembelajaran membawa dan membangkitkan rasa senangdan gembira bagi murid-murid dan mempengaruhi semangat mereka… membantumemantapkan pengetahuan pada benak para siswa serta menghidupkan pelajaran.

Leshin, Pollock dan Reigeluth yang dikutip oleh Arsyad (2006:36)mengklasifikasi media ke dalam lima kelompok, yaitu :media berbasis manusia; guru,instruktur, tutor, main-peran, kegiatan kelompok, field-trip;media berbasis cetak; buku,penuntun, buku latihan, alat bantu kerja, lembaran lepas;media berbasis visual; buku,bagan, grafik, gambar, peta, transparasi, slide;media berbasis audio-visual; video, film,program slide-tape, televise;media berbasis komputer; pengajaran dengan bantuancomputer, interaktif video, hypertext.

Compact Disk Interaktif, selanjutnya disebut CD Interaktif merupakan salah satubentuk penyajian bahan ajar berbasis mutlimedia yang disajikan ke dalam CD yangmemungkinkan siswa dapat berinteraksi dengan program dalam CD tersebut. Robin danLinda (dalam Darmawan, 2011:32) menyebutkan mutlimedia sebagai alat yang dapatmenciptakan presentasi yang dinamis dan interaktif yang mengkombinasikan teks,grafik, animasi, audio dan video.Berdasarkan berbagai pendapat di atas, CD interaktifdapat didefinisikan sebagai bahan ajar yang disajikan pada program yang dapatmengkombinasikan teks, grafik, audio, video, gambar dan lain-lain yangmemungkinkan peserta didik dapat berinteraksi dengan program tersebut.

Page 131: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

124

Pada bagian lain, multimedia dapat menyimpan dan menyaipakan informasidalam bentuk audio.Penyampaian informasi dalam bentuk audio sangatlah pentingdalam pembelajaran terutama dalam bentuk musik. Darmawan (2009:216)mengungkapkan bahwa musik mampu mempercepat proses berpikir siswa. Denganmusik, anak merasa nyaman ketika ia belajar. Program aplikasi power point merupakanprogram yang dilengkapi dengan berbagai fitur penyimpan data visual, audio,audiovisual yang dapat disajikan secara bersama-sama. Program aplikasi power pointmerupakan media berbasis ICT yang dapat mengemas informasi pembelajaran danmenyampaikannya melalui lebih dari satu media (multimedia).Kemasan informasimelalui media berbasis ICT dengan memanfaatkan program aplikasi power point dapatdisajikan dalam berbagai bentuk, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar.

Hasil penelitian Komarudin (2011) yang mengembangkan CD interaktif dalampembelajaran biologi menyebutkan bahwa minat dan perhatian serta hasil belajar siswameningkat setelah menggunakan CD interaktif dalam pembelajaran. perhatian belajarsiswa jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sebelum menggunakan CD interaktif,begitu pula dengan aktifitas-aktifitas pembelajaran, yang menunjukkan bahwa siswalebih aktif dalam pembelajaran setelah menggunakan CD interaktif.Hal yang sama jugaterjadi pada hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Ridwan (2011) yang melaksanakaneksperimen tentang signifikansi pengaruh penggunaan CD interaktif dalampembelajaran Akuntansi di SMAN 11 Garut. Adapun kesimpulan dari hasil penelitiantersebut diantaranya: 1) Secara umum, baik siswa kelompok kontrol maupun siswakelompok eksperimen sama-sama memiliki tanggapan yang positif terhadappenggunaan media elektronik komputer pengolah data (microsoft excel) pembelajaranakuntansi pada materi pencatatan akuntansi perusahaan dagang, jenjang SMA kelas XIIyang dikemas dalam bentuk CD interaktif. 2) Minat belajar siswa yang belajar denganmenggunakan media elektronik komputer pengolah data (microsoft excel) pembelajaranakuntansi pada materi pencatatan akuntansi perusahaan dagang yang dikemas dalambentuk CD interaktif di kelas XII IPS SMA Negeri 15 Garut lebih tinggi dibandingkandengan siswa yang tidak menggunakannya, 3) Penggunaan media elektronik komputerpengolah data (microsoft excel) yang dikemas dalam bentuk CD interaktif berpengaruhsecara signifikan terhadap minat belajar siswa pada pembelajaran akuntansi dalampencatatan akuntansi perusahaan dagang di kelas XII IPS SMA Negeri 15 Garut, 4)Prestasi belajar siswa yang menggunakan media elektronik pada pembelajaranakuntansi pada materi pencatatan akuntansi perusahaan dagang yang dikemas dalambentuk CD interaktif di kelas XII IPS SMA Negeri 15 Garut lebih baik dibandingkandengan siswa yang tidak menggunakannya.

Berdasarkan pada beberapa hasil penelitian tentang penggunaan CD interaktif,dapat disimpulkan bahwa CD interaktif dapat meningkatkan perhatian, motivasi danminat belajar siswa. Disamping itu pula penggunaan CD interaktif dapat meningkatkanaktivitas-aktivitas belajar siswa, seperti berdisiplin, mandiri, kreatif, ulet dan memilikirasa ingin tahu yang tinggi pada materi pembelajaran.

Aktivitas siswa dalam pembelajaran sangatlah penting dapat dijadikan tolak ukurefektif atau tidak efektifnya sebuah pembelajaran.Gulo (2002:74) mengungkapkanbahwa belajar adalah aktivitas manusia dimana semua potensi manusia dikerahkan.Kegiatan ini tidak terbatas hanya pada kegiatan mental intelektual, tetapi jugamelibatkan kemampuan-kemampuan yang bersifat emosional bahkan tidak jarangmelibatkan kemampuan fisik.

Aktivitas-aktivitas siswa dalam pembelajaran yang efektif, setidaknya menurutGulo (2002:75) dapat ditampilkan dengan pengalaman belajar yang diperoleh siswasebagai berikut: a) Siswa live-in di dalam proses belajar-mengajar sehingga merekamenikmati pengalaman belajar itu dengan asyik. Keasyikan dalam pengalaman belajar

Page 132: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

125

membuat pengalaman belajar tidak terikat pada ruang dan waktu.Siswa tidak lagimerasa terkurung di dalam ruangan kelas yang dibatasi oleh tembok karena imajinasimereka menembus batas-batas itu.Begitu juga mereka tidak merasa dibatasi oleh waktuyang tersedia. Waktu 90 menit bertatap muka dalam kelas dirasakan seperti hanya limamenit; b) Kegiatan belajar berjalan secara antusias. Keinginan mengetahui, mencaridisertai dengan keyakinan pada diri sendiri berkembang di dalam proses belajar itusendiri; c) Ada rasa kepenasaran diikuti dengan sikap on the task. Pengalaman belajaryang telah dikembangkan di dalam kelas akan diteruskan di luar kelas, baik dalam artipengalaman belajar terstruktur maupun pengalaman belajar mandiri. Sama halnyadengan seorang penggemar musik yang menikmati rangkaian nada suara gitar.Jiwanyaseolah-olah terpadu bersama dengan nada gitar yang digemarinya. Ia dibawa terbangtinggi oleh nada tinggi dan dihempaskan oleh nada-nada rendah. Tetapi tiba-tiba gitarberhenti sebelum nyanyian selesai.Si penggemar yang menikmatinya menjadi kecewa,dan sekaligus penasaran untuk mencari nada gitar yang terputus.Kalau hal inidisejajarkan dengan belajar, maka keterkaitan siswa pada pelajaran sangat tergantungpada guru sebagai aktornya. Pelajaran itu tidak selesai di dalam kelas, dan hal itumenimbulkan kepenasaran siswa untuk mencari lanjutannya di perpustakaan ataudimana saja sumber yang dapat mereka temukan.

Untuk mengukur tingkat keaktifan siswa dalam rangka mewujudkanpembelajaran yang efektif, menurut Mckaechi sebagaimana dikutip Gulo (2002:76)dapat diamati melalui tujuh indikator berikut ini : a) Tingkat partisipasi siswa dalammenentukan tujuan kegiatan belajar-mengajar; b) Pemberian tekanan pada afektif; c)Tingkat partisipasi siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar; d) Derajatkohesivitas kelas sebagai kelompok;e) Peluang yang ada bagi siswa untuk turutmengambil bagian dalam kehidupan sekolah; f) Jumlah waktu yang digunakan olehguru dalam menangani masalah pribadi siswa.

Dengan demikian, aktivitas belajar siswa dapat diukur dari aspek kognitif,afektif dan psikomotor. Aktivitas kognitif yaitu tujuan pendidikan yang berhubungandengan kemampuan intelektual atau kemampuan berpikir. Bloom sebagaimana dalamSanjaya (2008:126) membagi keterampilan kognitif ke dalam 6 tingkatan, yaitupengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.

Aktivitas belajar siswa pada ranah afektif adalah aktivitas pembelajaran yangberkenaan dengan sikap, nilai-nilai dan apresiasi (Sanjaya, 2008:128).Sikap-sikap yangditunjukkan oleh siswa setelah mengikuti pembelajaran merupakan hasil pembelajaranyang diperoleh pada ranah afektif.Sikap-sikap tersebut dapat ditunjukkan dengan mauatau tidak mau menerima, merespon, menanggapi, dan menghargai. Sanjaya (2008:130)membagi keterampilan afektif ke dalam lima tingkatan, yaitu penerimaan, respons,menghargai, organisasi, dan pola hidup.

Menurut Semiawan dalam Gulo (2002:77) prinsip-prinsip yang harusdiperhatikan dalam usaha menciptakan kondisi belajar supaya siswa dapatmengoptimalkan aktifitasnya dalam proses belajar-mengajar adalah sebagai berikut: a)prinsip motivasi, di mana guru berperan sebagai motivator yang merangsang danmembangkitkan motif-motif yang positif dari siswa dalam proses belajar-mengajar; b)prinsip latar atau konteks, yaitu prinsip keterhubungan bahan baru dengan apa yangtelah diperoleh siswa sebelumnya. Dengan perolehan yang ada inilah siswa dapatmemproses bahan baru; c) prinsip keterarahan, yaitu adanya pola pengajaran yangmenghubung-hubungkan seluruh aspek mengajaran; d) prinsip belajar sambil bekerja,yaitu mengintegrasikan pengalaman dengan kegiatan fisik dan pengalaman kegiatanintelektual; e) prinsip perbedaan peroranga, yaitu kenyataan bahwa ada perbedaan-perbedaan tertentu di antara setiap siswa, sehingga mereka tidak diperlakukan secaraklasikal; f) prinsip menemukan, yaitu membiarkan sendiri siswa menemukan informasi

Page 133: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

126

yang dibutuhkan dengan pengarahan seperlunya dari guru; g) prinsip pemecahanmasalah, yaitu mengarahkan siswa untuk peka pada masalah dan mempunyaiketerampilan untuk mampu menyelesaikannya.

Aktivitas belajar siswa merupakan ruh dari konsep Cara Belajar Siswa Aktif(CBSA). Usman (2003:13) menjelaskan bahwa Secara harfiah CBSA dapat diartikansebagai sistem belajar-mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental,intelektual, dan emosional untuk memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduanantara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selanjutnya Gulo (2002:74) menjelaskanbahwa CBSA adalah cara mengajar yang melibatkan aktivitas siswa secara maksimaldalam proses belajar baik kegiatan mental, intelektual, kegiatan emosional maupunkegiatan fisik secara terpadu.

Metode PenelitianPenelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode research and

depelovment (R&D), yaitu penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan ataumemperbaiki produk melalui pengembangan-pengembangan produk. Produk yangdimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran membuat tabel pada aplikasipengolah katadengan menggunakan multimedia. Sukmadinata (2009:164)mengungkapkan bahwa penelitian dan pengembangan adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yangtelah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan.

Penelitian dilaksanakan dengan berpedoman pada pendapat Borg & Gallsebagaimana dirangkum oleh Sukmadinata (2009:169) yang terdiri dari 10 langkahsebagai berikut ini ; Penelitian dan pengumpulan data (reseacrh and informationcollecting);Perencanaan (planning), menyusun rencana penelitian;Pengembangan drafproduk (develop preliminary form of product);Uji lapangan produk awal (preliminaryfield testing);Revisi produk awal setelah ditemukan berbagai kelemahan dankekurangan, kemudian produk awal tersebut dikembangkan menjadi produk yang lebihbaik;Uji lapangan produk yang sudah direvisi sebelumnya dalam skala yang lebih luas.Pada tahap ini, data kuantitatif yang berasal dari subjek penelitian (siswa) baik sebelummaupun sesudah proses pengembangan dikumpulkan, hasilnya dievaluasi dandibandingkan dengan kelompok lain;Revisi produk yang telah diuji lapangan padalangkah sebelumnya;Uji lapangan produk yang sudah direvisi dalam skala yang lebihluas lagi. Pada tahap ini dilakukan wawancara, observasi dan penyebaran angket untukmengumpulkan data yang selanjutnya data tersebut di analisis;Revisi akhir produk (finalproduct revision). Revisi ini dilakukan berdasarkan masukan hasil uji lapangan padalangkah 8;Diseminasi dan distribusi, yaitu langkah melaporkan produk yang telahdihasilkan pada pertemuan ilmiah serta dipublikasi melalui journal.

Hasil Penelitian dan PembahasanModel desain pembelajaran sangat penting adanya sebagai prosdur yang

dijadikan dalam menyelesaikan masalah pembelajaran.Dick and Carey sebagaimanadijelaskan Sanjaya (2008:65) menjelaskan bahwa “tujuan sebuah desain adalah untukmencapai solusi terbaik dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan sejumlahinformasi yang tersedia”.Selanjutnya kelemahan yang keempat adalah tidakditentukannya strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran penting adanya agar jelasmetode apakah yang akan digunakan seiring dengan strategi yang ditentukan.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa kelemahan pembelajaran teknologiinformasi dan komunikasi pada saat ini ditinjau dari sisi guru adalah tidak adanyaperencanaan pembelajaran yang optimal.Kekurangoptimalan perencanaan yang dibuat

Page 134: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

127

oleh guru yang notabennya merupakan sejumlah stimulus yang diberikan kepada siswaberimbas kepada kurang optimalnya respon yang diberikan oleh siswa.

Berdasarkan data yang diperoleh baik melalui wawancara ataupun kuesionerdisimpulkan bahwa menurut pandangan siswa pembelajaran teknologi informasi dankomunikasi saat ini kurang menarik. Kekurangmenarikan pembelajaran teknologiinformasi dan komunikasi kelas X yang dilaksanakan saat ini ternyata berawal darikurang dilibatkannya siswa dalam pembelajaran, sehingga siswa lebih banyak pasifnyadibandingkan aktif mengikuti pembelajaran.

Pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi saat ini lebih banyakdidominasi oleh aktivitas guru, sementara siswa diam dan pasif tidak terlibat secaralangsung dalam pembelajaran.Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran diterapkannyapendekatan kontekstual dalam penelitian ini sebagai jawaban atas kurang terlibatnyasiswa secara aktif dalam pembelajaran.

Berdasarkan Hasil Penelitian diketahui bahwa nilai tertinggi pada kelaseksperimen sangat berbeda dengan nilai tertinggi pada kelas kontrol. Nilai tertinggipada kelas eksperimen mencapai 99, sedangkan nilai tertinggi pada kelas kontrol hanyamencapai angka 84. Perbedaan yang sama juga terjadi pada nilai terendah yang dicapaioleh siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Nilai terendah pada kelas kontrolhanya mencapai 56, sedangkan nilai terendah pada kelas eksperimenmencapai angka 71.Perbedaan serupa juga dapat dijumpai pada hasil rata-rata antara kelas eksperimen dankelas kontrol. Nilai rata-rata kelas kontrol hanya mencapai 69,95, sedangkan nilai rata-rata kelas eksperimen sudah mencapai angka 89,41.

Berdasarkan deskripsi di atas, sementara dapat disebutkan bahwa aktivitasbelajar kelas kontrol. Hal yang sama dijumpai pada tabel 4.33 yang menunjukkan hasilpengujian rata-rata skor aktivitas belajar kelas ekperimen dan kelas kontrol denganmenggunakan program aplikasi SPSS.16 For windows sebagai berikut ini.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa dengan jumlah siswayang sama, yakni 37,serta standar deviasi yang tidak terlalujauh beda dan denganstandar penyimpangan yang hampir sama antara sebelum dan sesudah pembelajaran,diperoleh perbedaan rata-rata yang sangat jauh beda, yakni rata-rata kelas kontrol hanyamencapai 69,95, sedangkan rata-rata kelas eksperimen sudah mencapai angka 89,41.Untuk mengetahui hubungan kelas kontrol dan eksperimen sehingga tergambarkanbahwa skor kelas kontrol sangat dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan maka dapatdilakukan uji korelasi.

Setelah melaksanakan pengembangan model, mulai dari tahap 1 hingga tahap 3,dapat disimpulkan bahwa model yang dikembangkan pada tahap ketiga merupakanmodel yang terbaik dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Untuk menguji modelpembelajaran CD Interaktif yang efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa padamateri microsoft office word, dilaksanakan uji validasi. Yakni menguji model yangdihasilkan pada siswa yang dikelompokkan ke dalam kelompok eksperimen dankelompok kontrol. Pengujian dilaksanakan dengan menggunakan uji perbedaan (uji tdengan memperhatikan indeks nilai F). Adapun uji F yang digunakan adalah ANOVA.Perbandingan hasil belajar terdiri atas tiga perbandingan, yaitu perbandingan pre-testpost-test kelas eksperimen, perbandingan pre-test post-test kelas kontrol, danperbandingangain kelas eksperimen dan kelas control dengan menggunakan analisisANOVA.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa nilai tertinggi sebelumpenggunaan CD interaktifsangat berbeda dengan nilai tertinggi setelah penggunaan CDinteraktif. Nilai tertinggi sebelum penggunaan CD interaktif hanya mencapai 73,sedangkan nilai tertinggi setelah penggunaan CD interaktif sudah mencapai angka 93.Perbedaan yang sama juga terjadi pada nilai terendah yang dicapai oleh siswa antara

Page 135: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

128

sebelum dan sesudah menggunakan CD interaktif. Nilai terendah sebelum penggunaanCD interaktifhanya mencapai 46, sedangkan nilai terendah setelah penggunaan CDinteraktif sudah mencapai angka 62. Perbedaan serupa juga dapat dijumpai pada hasilrata-ratanya antara sebelum dan sesudah penggunaan CD interaktif. Nilai rata-ratasebelum penggunaan CD interaktif hanya mencapai 60, sedangkan nilai rata-rata setelahpenggunaan CD interaktif sudah mencapai angka 75.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa dengan jumlah siswayang sama, yakni 37, serta standar deviasi yang tidak terlalu jauh beda dan denganstandar penyimpangan yang hampir sama antara sebelum dan sesudah penggunaan CDinteraktif, diperoleh perbedaan rata-rata yang cukup signifikan, yakni rata-rata pre-testhanya mencapai 59,95, sedangkan rata-rata post-test sudah mencapai angka 75,00.Untuk mengetahui hubungan skor pre-test dan post-test sehingga tergambarkan bahwaskor post-test sangat dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan maka dapat dilakukanuji korelasi. Adapun uji korelasi yang dilaksanakan dengan menggunakan programaplikasi SPSS.16 For windows. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.38 sebagaiberikut ini :

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa dengan jumlah siswayang sama, yakni 37, serta standar deviasi yang tidak terlalu jauh beda dan denganstandar penyimpangan yang hampir sama antara sebelum dan sesudah pembelajaran,diperoleh perbedaan rata-rata yang tidak jauh beda, yakni rata-rata pre-test hanyamencapai 61,95,dan rata-rata post-test yang hanya mencapai angka 66,00. Untukmengetahui hubungan skor pre-test dan post-test sehingga tergambarkan bahwa skorpost-test sangat dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan maka dapat dilakukan ujikorelasi.

Berdasarkan data pada ANOVA, diperoleh harga Fhitung sebesar 117.907,sedangkan dengan df=31 diperoleh harga Ftabel sebesar 6258. Hal ini berarti bahwaFhitung> Ftabel yang menandakan bahwa rata-rata data skor kelompok eksperimen berbedadengan rata-rata data minat kelompok control secara signifikan. Dengan demikian H0

yang menyatakan tidak terdapat perbedaan hasil belajar antara yang menggunakanmodel pembelajaran CD Interaktif ditolak, sementara itu Ha yang menyatakan terdapatperbedaan hasil belajar antara yang menggunakan model pembelajaran CD Interaktifditerima.

Hasil validasi produk menggambarkan bahwa terjadi perbedaan yang cukup jauhantara hasil belajar siswa kelas eksperimen dengan hasil belajar siswa kelaskontrol.Sementara itu hasil belajar kelas eksperimen tidak terlalu jauh berbeda denganhasil belajar pada tahap pengembangan akhir produk. Hal ini menunjukkan konsistensipengaruh model CD Interaktifyang dihasilkan terhadap hasil belajar siswa.

Dengan demikian berdasrkan hasil belajar pada tahap uji validasi model CDInteraktif, maka model CD Interaktifyang benar-benar cocok diterapkan untukmeningkatkan hasil belajar terdiri dari modifikasi teks, baik disertai dengan animasimaupun, background, dengan backsound. Selain itu materi pembelajaran juga perludisajikan dalam media gambar, suara dan film. Materi-materi yang dapat disajikandalam gambar hendaknya disajikan dalam gambar sehingga akan lebih mudah diingatkembali oleh siswa.

Untuk meningkatkan perhatian dan konsentrasi siswa, materi pelajaran jugaperlu disajikan dalam bentuk film.Dengan demikian konsep yang disajikan tidak terlaluabstrak, sehingga dapat memberikan gambaran yang cukup luas kepada siswa tentangmateri pembelajaran.

Page 136: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

129

SimpulanModel pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi dengan menggunakan

CD Interaktifyang dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran microsoftoffice wordadalah model pembelajaran yang mengkombinasikan berbagai media(multimedia) yang terdiri atas tampilan teks yang dikombinasikan dengan mediagambar, film, animasi, suara dan musik pada program aplikasi microsoft office powerpoint yang di-convert-kan ke macromedia flash. Selain dapat meningkatkan aktivitasbelajar, model pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi dengan menggunakanCD Interaktifyang mengkombinasikan berbagai media (multimedia) yang terdiri atastampilan teks yang dikombinasikan dengan media gambar, film, animasi, suara danmusik pada program aplikasi microsoft office power point yang di-convert-kan kemacromedia flash juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa

Daftar Pustaka

Akhmad Sudrajat. Strategi Belajar Mengajar. (http://www.psb-psma.org) di uplodpada mei 2009.

Ali, M (2004). Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.Arsyad, A. (2006). Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka

Cipta.Darling&Hammond (2005) Preparing Teachers for a changing world. Jossey-Bass: a

wiley imprintGulo, W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: GrasindoGumawang, A (2008). Belajar otodidak word, excel, powerpoint + internet.

Bandung:Penerbit InformatikaHadi, A & Haryono (1998). Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.Hamalik, O (1991). Metoda Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung: Tarsito.Hidayat, R. (2006). Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Kelas X SMA. Jakarta:

Erlangga.Ibrahim. R. (1991). Perencanaan Pengajaran. Jakarta : Rhineka Cipta.Komarudin (2011). Pengembangan CD Interaktif pada Pembelajaran Biologi. Tesis:

Tidak Diterbitkan.Maryono, D. (2012). Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Kelas X SMA dan MA.

Solo: PenerbitGlobal, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.Moleong, L.J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Evisi. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.Niken dan Dani (2010). Pembelajaran Multimedia di Sekolah : Pedoman

Pembelajaran Inspiratif,Konstruktif dan Prospektif. Jakarta : Prestasi Pustaka KaryaRidwan, W. (2011). Pengaruh Penggunaan CD Interaktif dengan Microsoft Excel

dalam PembelajaranAkuntansi Terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Tesis : Tidak Diterbitkan.Rosyada (2008). Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung

Persada (GP) Press.Sadiman, dkk. 2006. Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.Sanjaya. (2006). Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: KencanaPrenada Media Group.

Page 137: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

130

Soeparno. 1987. Media Pengajaran. Yogyakarta: PT Intan Pariwara.Sudjana, N. (1982). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Jakarta: Sinar Baru

Algesindo._________(1989). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Jakarta: Sinar Baru Algesindo.Sukmadinata, N.S. (2009). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.Surakhmad, W. (1998).Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik. Bandung:

Tarsito.Surya, M. (2003). Psikologi Pembelajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.Undang-undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.Usman, Uzer. M (2003). Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Page 138: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

131

PEMANFAATAN E-LEARNING DAN MOTIVASI BELAJARTERHADAP PRESTASI BELAJAR FISIKA

Hari BudiantoSMA Negeri 2 Pare, Kediri

[email protected] atau [email protected]

AbstrakPenelitian ini adalah penelitian kuantitatif menggunakan metodeeksperimen dan metode pengumpulan data dengan angket dan tes. AdapunHipotesis penelitian diuji dengan uji statistika Analysis of Varian (Anova).Sedangkan populasi adalah seluruh siswa kelas XI-IPA semester genaptahun pelajaran 2011/2012 SMAN 1 dan 2 Pare Kediri dan jumlah sampelsebanyak masing masing sekolah sebanyak 64 siswa dengan total jumlahsampel sebanyak 128 siswa. Adapun hasil perhitungan menunjukkan bahwa(1) terdapat perbedaan prestasi belajar fisika pada siswa yang diajar denganmenggunakan metode e-learning dan konvensional (F=14,939; =0,000) ,(2) terdapat perbedaan prestasi belajar siswa yang mempunyai motivasibelajar tinggi dengan siswa yang mempunyai motivasi belajar yang rendah(F=62,765; =0,000), (3) terdapat interaksi penggunaan metodepembelajaran e-learning dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar fisika(F=4,090; =0,045).

Kata kunci : e-learning, motivasi, prestasi belajar, fisika

PendahuluanSudarman (dalam Sumarni, 2009) menjelaskan bahwa salah satu masalah yang

dihadapi dunia pendidikan adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalamproses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuanberpikir. Proses pembelajaran di kelas diarahkan kepada kemampuan anak untukmenghafal informasi. Otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagaiinformasi tanpa dituntut memahami informasi yang diingatnya itu untukmenghubungkan dengan kehidupan sehari-hari, akibatnya ketika siswa lulus darisekolah, mereka pintar teoretis tetapi mereka miskin aplikasi. Pendidikan tidakdiarahkan untuk mengembangkan dan membangun karakter serta potensi yang dimiliki.Dengan kata lain, proses pendidikan tidak diarahkan membentuk manusia cerdas,memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup, serta tidak diarahkan untukmembentuk manusia kreatif dan inovatif.

Sejalan dengan pendapat tersebut masalah kualitas pendidikan, khususnya kualitaspembelajaran harus menjadi prioritas untuk segera dicari solusinya. Menurut Arsyad(dalam Sumarni, 2009), keberhasilan suatu proses pembelajaran sangat ditentukan olehmetode mengajar dan media pembelajarannya. Metode mengajar yang dipilihmenentukan jenis media pembelajaran yang digunakan.

Namun kenyataan dalam proses pembelajaran guru jarang sekali memberikanmateri pembelajaran dengan metode dan media yang bervariasi. Mereka (guru) sebagianbesar menilai bahwa dengan banyaknya metode dan media pembelajaran sertapendekatan yang digunakan sekarang ini, memperlambat pencapaian targetpembelajaran. Alasan ini menjadikan guru tetap menggunakan pola-pola yang monoton(konvensional), akibatnya prestasi belajar khususnya mata pelajaran fisika di semuajenjang pendidikan tidak mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun.

Page 139: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

132

Ketidaktahuan siswa mengenai kegunaan fisika dalam praktek sehari-hari menjadipenyebab mereka lekas bosan dan tidak tertarik pada pelajaran fisika di samping gurufisika yang mengajar secara monoton, metode pembelajaran yang kurang variasi danhanya berpegang teguh pada diktat-diktat atau buku-buku paket saja (Andreas dalamSumarni 2009).

Dalam melaksanakan proses pembelajaran, seorang guru tidak cukup hanyamerencanakan atau menyiapkan tujuan pembelajaran, materi pelajaran, mengelola kelas,memanfaatkan waktu, menggunakan metode dan lain sebagainya, tetapi juga perludiselaraskan dengan kebutuhan prinsip-prinsip belajar siswa. Gagasan atau ide danperilaku kreatif perlu bertolak dari prinsip-prinsip belajar siswa itu yang meliputi:pemberian perhatian dan motivasi siswa, keaktifan siswa, keterlibatan langsung siswa,pemberian pengulangan, pemberian tantangan, balikan dan penguatan, danmemperhatikan individual siswa (Agung, 2010). Salah satu prinsip belajar siswa sepertiyang tertulis di atas adalah pemberian perhatian dan motivasi. Motivasi seseorang dapatbersumber dari dalam diri sendiri (motivasi internal), dan dari luar dirinya (motivasieksternal) (Depdiknas, 2009).

Pembelajaran fisika adalah salah satu bentuk pelaksanaan pendidikan di sekolah.Dalam pembelajaran fisika terdapat kegiatan penyadaran atau penguasaan fisika padapeserta didik atau siswa melalui interaksi pengajaran atau kegiatan belajar mengajar(KBM) (Bashari 2009).

Pada umumnya dalam pembelajaran fisika saat ini masih didominasi olehpenggunaan metode konvensional (ceramah,diskusi) dan kegiatannya lebih berpusatpada guru. Aktivitas siswa dapat dikatakan hanya mendengarkan penjelasan guru danmencatat hal-hal yang dianggap penting. Guru menjelaskan materi fisika hanya sebatasproduk dan sedikit proses. Padahal, dalam membahas fisika tidak cukup hanyamenekankan pada teori, tetapi yang lebih penting adalah proses untuk membuktikanatau mendapatkan suatu teori atau hukum.

Oleh karena itu, perlu ada suatu pendekatan pembelajaran yang dapat memberikankemudahan dan meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya prestasi belajar fisika.Dari berbagai kondisi dan potensi yang ada, upaya yang dapat dilakukan berkenaandengan peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah adalah mengembangkan sistempembelajaran yang berorientasi pada siswa (student center) dan memfasilitasikebutuhan siswa akan kebutuhan belajar yang menantang, aktif, kreatif, inovatif, efektif,dan menyenangkan dengan mengembangkan dan menerapkan pembelajaran berbasisTeknologi Informasi dan Komunikasi.

Salah satu metode yang peneliti gunakan adalah metode pemanfaatan e-learning.Menurut Koran (dalam Ibut, 2012) e-learning adalah sembarang pengajaran danpembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet)untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi, atau bimbingan. Ada-pula yangmenafsirkan e-learning sebagai bentuk pendidikan jarak jauh yang dilakukan melaluimedia internet.

Memasuki era Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK) sekarang ini sangatdirasakan, betapa pentingnya penggunaan TIK dalam kegiatan pembelajaran untukmeningkatkan kualitas pembelajaran yang diharapkan. Melalui TIK kita harapkan dapatmeningkatkan mutu pendidikan, yaitu dengan cara membuka lebar-lebar terhadap aksesilmu pengetahuan dan teknologi informasi dalam rangka penyelenggaraan pendidikanyang berkualitas dan menyenangkan. Terutama dalam penerapan high tech dan hightouch approach (Rusman, 2011) Sistem Teknologi Informasi dan Komunikasimemberikan jangkuan yang luas, cepat, efektif, dan efisien terhadap pengemasan danpenyebarluasan informasi ke berbagai penjuru dunia. Teknologi informasi berkembangsejalan dengan perkembangan teori dan komunikasi dan teknologi yang menunjang

Page 140: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

133

terhadap praktik kegiatan pembelajaran. Pembelajaran melalui media televisi/video,pembelajaran berbasis komputer , pembelajaran berbasis web(e-learning), pembelajaranberbantukan komputer (CAI), pembelajaran berbasis media presentasi/elektronik (AVA)adalah beberapa bentuk pemanfaatan TIK yang perlu dikembangkan dan dilaksanakandalam dunia pendidikan dewasa ini.

Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini (guru dan siswa) melahirkan interaksiedukatif dengan memanfaatkan TIK sebagai mediumnya. Pada kegiatan pembelajaran,guru dan siswa saling mempengaruhi dan memberi masukan. Karena itulah kegiatanpembelajaran harus menjadi aktivitas yang hidup, sarat nilai, dan senantiasa memilikitujuan yang jelas.

Pemanfaatan TIK (e-learning) dalam proses pembelajaran akan menjadikankegiatan pembelajaran itu menjadi aktivitas yang hidup yang melibatkan aktivitas siswadalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media,peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukankonstruksi pengetahuan siswa. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapatdan pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapi. Dengan cara demikian siswa akantermotivasi, terbiasa berlatih untuk berfikir sendiri, memecahkan masalah yangdihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggungjawabkanpemikirannya secara rasional.

Dengan termotivasinya siswa dalam proses pembelajaran diharapkan siswamemiliki anggapan bahwa belajar itu adalah suatu kebutuhan dan merupakan hal yangsangat penting dalam hidupnya. Hal ini perlu dipahami oleh guru agar dapat melakukanberbagai bentuk tindakan atau bantuan kepada siswa sehingga siswa termotivasi untukmeningkatkan kualitas belajarnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang (1) ada tidaknyapengaruh secara signifikan pemanfaatan e-learning terhadap prestasi belajar fisika, (2)ada tidaknya pengaruh secara signifikan antara motivasi belajar tinggi dan rendahterhadap prestasi belajar fisika, (3) ada tidaknya interaksi yang signifikan antarapemanfaatan e-learning dan motivasi belajar terhadap prestasi belajar pada bidang studifisika.

Metodologi PenelitianPenelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian

eksperimental, yaitu penelitian di mana peneliti memanipulasikan dan mengendalikansatu variabel bebas atau lebih, dan melakukan observasi terhadap variabel-variabelterikat untuk menemukan variasi yang muncul seiring dengan manipulasi variabel bebastersebut (Kerlinger dalam Arikunto, 1991).

Dalam penelitian ini, variabel yang dimanipulasi atau variabel bebasnya adalahmetode pembelajaran termodinamika pada bidang studi fisika yaitu metodepemanfaatan e-learning dan konvensional . Variabel moderator dalam penelitian iniadalah motivasi belajar siswa, yang dikelompokkan siswa motivasi belajar tinggi (A)dan Motivasi belajar rendah (B). Sedangkan Variabel terikatnya adalah prestasi belajartermodinamika pada bidang studi fisika (Y) .

Populasi dan Sampel PenelitianPopulasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA semester genap SMA

Negeri 1 Pare dan SMA Negeri 2 Pare tahun pelajaran 2011/2012, di SMA Negeri 1Pare kelas XI IPA terdiri dari 4 kelas, masing-masing kelas rata-rata terdiri dari 32siswa, sehingga jumlah total populasi sebesar 128 siswa. Sedangkan di SMA Negeri 2Pare kelas XI IPA terdiri dari 6 kelas, masing-masing kelas rata-rata terdiri dari 32siswa, sehingga jumlah total populasi sebesar 192 siswa. Sehingga jumlah populasi

Page 141: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

134

keseluruhan untuk 2 (dua) sekolah sebesar 320 siswa. Sampel sampel yang digunakandalam penelitian ini diambil dua kelas (64 siswa) dari masing-masing sekolah, sehinggatotal sampel keseluruhan sebesar 128 siswa, dengan menggunakan teknik randomsampling , karena semua kelas yang ada atau yang menjadi populasi adalah sama.

Penyajian data dan Analisis dataPenyajian Data Penelitian

Di dalam laporan penelitian ini akan dijelaskan tentang temuan-temuan dilapangan pada saat peneliti melakukan kegiatan penelitian. Penelitian ini bertujuanuntuk melihat pengaruh pemanfaatan e-learning dan motivasi dalam bidang studiFisika. Di samping itu juga ingin mengetahui prestasi belajar fisika pada siswa yangmenggunakan pembelajaran konvensional serta pengaruh motivasi belajar siswa denganmenggunakan teknik pengumpulan data angket dan metode tes. Angket digunakanuntuk mengetahui tingkat motivasi siswa, sedangkan metode tes digunakan untukmengetahui prestasi belajar siswa baik yang menggunakan model pembelajaran e-learning maupun model pembelajaran konvensional.

Untuk mengetahui tingkat motivasi siswa terhadap bidang studi fisika dilakukandengan pemberian angket, selanjutnya angket yang disebarkan diujikan untukmengetahui tingkat validitas dan reliabilitas angket. Hasil dari uji validitas yangmenggunakan korelasi product moment akan dibandingkan dengan r-tabel N = 64 padatabel dengan = 0,05 diperoleh nilai sebesar 0.233, dapat dijelaskan bahwa semua nilaisignifikan untuk masing-masing item penelitian dibawah atau kurang dari 0.05 sehinggadapat dijelaskan bahwa instrumen adalah valid. Selanjutnya hasil pengujian instrumenpada tabel di atas menunjukkan bahwa pada tingkat signifikan 5% sejumlah instrumenyang digunakan dalam penelitian ini diperoleh nilai koefisien korelasi lebih besar darinilai r-tabel Product Moment sebesar 0.323; N = 64. Dengan demikian dapat dikatakanbahwa instrumen dalam penelitian ini adalah valid atau dapat mengukur variabel yangditeliti.

Sedangkan untuk lokasi 2 penelitian instrumen yang disebarkan memiliki nilaivaliditas dapat dijelaskan bahwa semua nilai signifikan untuk masing-masing itempenelitian dibawah atau kurang dari 0.05 sehingga dapat dijelaskan bahwa instrumenadalah valid. Selanjutnya hasil pengujian instrumen pada tabel di atas menunjukkanbahwa pada tingkat signifikan 5% sejumlah instrumen yang digunakan dalam penelitianini diperoleh nilai koefisien korelasi lebih besar dari nilai r-tabel Product Momentsebesar 0.323; N = 64. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa instrumen dalampenelitian ini adalah valid atau dapat mengukur variabel yang diteliti.

Analisis DataSebelum dilakukan uji Anava 2 jalur, untuk mengetahui interaksi antara

pembelajaran e-learning dan konvensional dengan siswa yang memiliki motivasi tinggiatau rendah, sebelumnya dilakukan uji prasyarat, yaitu normalitas dan homogenitas.

Setelah dilakukan proses pembelajaran di masing-masing kelas, satu kelas diberiperlakuan dengan model pembelajaran konvensional, satu kelas diberi pembelajaran e-learning, dan lainnya dengan pembelajaran konvensional. Dari proses pembelajaranpada 128 sampel ini terlihat beberapa siswa yang menyukai pembelajaran e-learningyang disebut dengan memiliki motivasi tinggi, dan yang kurang menyukai pembelajarane-learning atau memiliki motivasi rendah, begitu pula pada pembelajaran konvensionalakan tampak yang senang atau termotivasi untuk mengikuti pembelajaran dikatakansebagai kelompok motivasi tinggi, dan selebihnya motivasi rendah. Setelah pelaksanaanpembelajaran pada masing-masing pembelajaran yang telah ditentukan, dimana satukelas dilakukan pembelajaran e-learning sedangkan kelas lain dengan pembelajaran

Page 142: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

135

konvensional. Dari hasil postes ini akan dilakukan pengujian Anava 2 jalur yangsebelumnya akan dilakukan uji prasyarat sebagai berikut.

a. Uji NormalitasTabel 1: Hasil Uji Normalitas

Lokasi 1Penelitian

Lokasi 2Penelitian

N 64 64NormalParameters(a,b)

Mean 46.2031 46.8906Std. Deviation 6.69560 6.53469

Most ExtremeDifferences

Absolute .113 .098Positive .103 .098Negative -.113 -.088

Kolmogorov-Smirnov Z .904 .786Asymp. Sig. (2-tailed) .387 .568

Nilai K-S untuk data loksai 1 penelitian didapatkan nilai 0.904 dengan probabilitassignifikansi 0.387 dan nilainya di atas = 0.05 hal ini berarti hipotesis nol diterimaatau data hasil pretes untuk kelas pembelajaran e-learning terdistribusi secaranormal. Sedangkan untuk kelas yang menggunakan pembelajaran konvensionaldidapatkan nilai K-S 0.786 dengan probabilitas signifikansi 0.568 dan nilainya jauhdi atas = 0.05 hal ini berarti hipotesis nol diterima atau data hasil pretes untukkelas pembelajaran konvensional terdistribusi secara normal.Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa kedua kelas pembelajaranmemiliki data yang berdistribusi normal.

b. Uji HomogenitasTabel 2: Hasil Uji HomogenitasTest of Homogeneity of Variances

Nilai AwalLevene

Stastistic df1 df2 Sig.,088 1 158 ,767

Dengan pengambilan keputusan:- jika probabilitas < 0.05 tidak homogen- jika probabilitas > 0.05 homogen

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai probabilitas dari data di atas adalah0.767, artinya probabilitas > 0.05, hal ini memberikan pengertian bahwa data adalahhomogen.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dari kedua tempat penelitian memilikikemampuan belajar Fisika yang sama, dimana kedua sampel memiliki sifat yang samaatau homogen.Uji signifikansi dalam penelitian ini menggunakan uji Anava 2 Jalur, dengan hasilsebagai berikut.

Page 143: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

136

Tabel 3 : Deskriptif Prestasi Belajar FisikaDescriptive Statistics

Dependent Variable : Prestasi BelajarFaktor A(Metode)

Faktor B(Motivasi)

Mean Std.Deviation

N

E-Learning Motivasi BelajarTinggi

85,5582 4.47970 34

Motivasi BelajarRendah

76,2333 5,17076 30

Total 81,2031 6,70508 64Konvensional Motivasi Belajar

Tinggi80,0500 5,95690 40

Motivasi BelajarRendah

74,5000 4,97821 24

Total 77,9688 6,19259 64Total Motivasi Belajar

Tinggi82,5946 5,97923 74

Motivasi BelajarRendah

75,4630 5,11274 54

Total 79,5859 6,63031 128

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kedua metode pembelajaran inisama-sama dapat meningkatkan prestasi belajar, dimana pada masing-masing metodepembelajaran secara total terdapat perimbangan tingkat prestasi belajar yang dimilikioleh masing-masing metode pembelajaran.

Berdasakan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan rata-rataprestasi belajar dari model pembelajaran e-learning dan rata-rata prestasi belajar daripembelajaran konvensional yang memiliki motivasi tinggi dan motivasi rendah padakedua model pembelajaran yang telah diterapkan. Pada penelitian ini dapat dijelaskanbahwa ditemukan terdapat 74 siswa yang memiliki motivasi tinggi terhadap modelpembelajaran yang diterapkan memiliki nilai rata-rata prestasi belajar 82.59 dan 54siswa yang memiliki motivasi rendah hanya memiliki nilai rata-rata sebesar 75.46.

Berdasarkan hasil perhitungan deskriptif ini dapat dijelaskan bahwa terdapatperbedaan prestasi belajar antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran e-learning dan model pembelajaran konvensional pada siswa yang memiliki motivasitinggi dan motivasi rendah walaupun untuk melihat perbedaan tersebut signifikan atautidak perlu dibuktikan dengan perhitungan statistik.

Perbedaan rata-rata prestasi belajar Fisika pada masing-masing kelas e-learningdan konvensional pada siswa dengan motivasi tinggi dan motivasi rendah, selanjutnyauntuk menguji tingkat signifikansi dari prestasi rata-rata tersebut digunakan uji bedarata-rata perbedaaan signifikansi terkecil (LSD), dengan hasil sebagai berikut.

Page 144: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

137

Tabel 4 : Uji Beda rata-rata pembelajaran e-learning dan konvensional

Pairwise ComparisonsDependent Variable : Prestasi Belajar

Mean 95 % ConfidenceInterval for

(I) Faktor A(Metode

(J) Faktor A(Metode

Difference Difference a

Pembelajaran)Pembelajaran) (I-J) Std.Error Sig.a Lower

BoundUpperBound

E-Learning Konvensional 3,636* ,941 ,000 1,774 5,498Konvensional E-Learning -3,636* ,941 ,000 -5,498 -1,774

Based on estimated marginal means*. The mean difference is significant at the ,05 levela. Adjusment for multiple comparisons : Least Significant Difference

(equivalent to no adjustments)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa perbedaan rata-rata antarapembelajaran e-learning dan pembelajaran konvensional adalah 3.636 dengan nilaisignifikan < 0.05 sehingga dapat dijelaskan bahwa perbedaan antara keduanya adalahnyata atau berarti. Dengan kata lain, perbedaan prestasi belajar ini tidak bisa diabaikan.

Selanjutnya pada Faktor kedua yaitu motivasi belajar siswa didapatkan hasilsebagai berikut.

Tabel 5 : Uji Beda rata-rata siswa berdasarkan motivasi

EstimatesDependent Variable : Prestasi Belajar

95 % ConfidenceInterval

Faktor B (Motivasi) Mean Std.Error

LowerBound

UpperBound

Motivasi BelajarTinggi

82,819 ,610 81,612 84,026

Motivasi BelajarRendah

75,367 ,716 73,949 76,784

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa siswa dengan motivasi tinggimemiliki prestasi belajar 82.819 sedangkan siswa dengan motivasi rendah memilikiprestasi belajar adalah 75.367, adapun perbedaan ini signifikan apabila ditinjau secarastatistika atau LSD (Least Significant Differences) sebagai berikut.

Page 145: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

138

Pairwise ComparisonsDependent Variable : Prestasi Belajar

Mean 95 % ConfidenceInterval for

(I) FaktorB

(J) FaktorB

Difference Difference a

(Motivasi) (Motivasi)(I-J) Std.Error Sig.a Lower

BoundUpperBound

MotivasiBelajarTinggi

MotivasiBelajarRendah

7,452* ,941 ,000 5,591 9,314

MotivasiBelajarRendah

MotivasiBelajarTinggi

-7,452* ,941 ,000 -9,314 -5,591

Based on estimated marginal means*. The mean difference is significant at the ,05 levela. Adjusment for multiple comparisons : Least Significant Difference

(equivalent to no adjustments)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa perbedaan rata-rata antaramotivasi tinggi dan motivasi rendah adalah 7.452 dengan nilai signifikan < 0.05sehingga dapat dijelaskan bahwa perbedaan antara keduanya adalah nyata atau berarti.Dengan kata lain, perbedaan motivasi yang dimiliki siswa memberikan dampakterhadap nilai rata-rata prestasi belajar siswa.

Setelah dilakukan uji prasyarat, selanjutnya dilakukan uji Anava 2 jalur, untukmengetahui interaksi dari metode pembelajaran dan motivasi yang dimiliki oleh siswa.

Tabel 6 : Hasil Uji Anava 2 JalurTests of Between-Subjects effects

Dependen Variable : Prestasi BelajarSource Type III

SumOf Squares

df MeanSquare

F Sig.

Noncent.

Parameter

Observed

Powera

CorrectedModel

2191.553b 3 730.518 26.709 .000

80.127 1.000

Intercept 773430.218 1 773430.218 28278.134

.000

28278.134

1.000

Faktor_A 408.585 1 408.585 14.939 .000

14.939 .970

Faktor_B 1716.661 1 1716.661 62.765 .000

62.765 1.000

Faktor_A*Faktor_B

111.870 1 111.870 4.090 .045

4.090 .519

Error 3391.502 124 27.351

Total 816325.000 128

Corrected Total 5583.055 127

a. Computed using alpha = .05b. R Squared = .393 (Adjusted R Squared = .378)

Page 146: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

139

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa : (1) Rasio FA = 14.939 dengannilai signifikansi lebih kecil dari α < 0,05 yaitu 0,000, dengan df1 = 1 dan df2 = 124didapatkan nilai F tabel = 3,92 sehingga dapat dijelaskan bahwa F hitung > F tabel,artinya ada pengaruh prestasi belajar antara model pembelajaran e-learning dankonvensional yang diterapkan pada bidang studi Fisika; (2) Rasio FB = 62.765, dengannilai signifikansi lebih kecil dari α < 0,05 yaitu 0,000, dengan df1 = 1 dan df2 = 124didapatkan nilai F tabel = 3,92 sehingga dapat dijelaskan bahwa F hitung > F tabel,artinya ada pengaruh prestai belajar antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggidan siswa yang memiliki motivasi rendah pada siswa pada bidang studi Fisika; (3) Nilaisignifikansi pada interaksi antara faktor A (Metode Pembelajaran e-learning dankonvensional) dan faktor B (motivasi tinggi dan motivasi rendah) didapatkan nilai Fhitung sebesar 4.090 dengan tingkat signifikan 0.045, perbandingan dengan F tabel dantaraf signifikan < 0.05; (4.090 > 3.92), sehingga dapat dijelaskan bahwa faktor A(Metode Pembelajaran e-learning dan konvensional) dan faktor B (motivasi tinggi danmotivasi rendah) memiliki pengaruh terhadap Prestasi Belajar Fisika. Artinya adainteraksi antara model pembelajaran e-learning, konvensional dan motivasi belajarterhadap prestasi belajar Fisika.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas selanjutnya dapat dijelaskan bahwahipotesis yang diajukan Ho ditolak atau H1 diterima. Artinya ada perbedaan prestasibelajar dan interaksi yang signifikan antara prestasi tes siswa yang menggunakanmetode pembelajaran e-learning dengan konvensional dan yang memiliki motivasibelajar tinggi dengan yang memiliki motivasi belajar rendah.

Pembahasan

Pengaruh pemanfaatan e-learning dengan metode konvensional terhadap prestasibelajar fisika.

Menurut Sukandi dalam Sumarni, 2009 pendekatan konvensional ditandai denganguru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi,tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu,dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di sini terlihatbahwa pendekatan konvensional yang dimaksud adalah proses pembelajaran yang lebihbanyak didominasi gurunya sebagai “pentransfer” ilmu, sementara siswa lebih pasifsebagai “penerima” ilmu.

Dong dalam Rusman, 2011 mendefinisikan e-learning sebagai kegiatan belajarasynchronous melalui perangkat elektronik komputer yang memperoleh bahan belajaryang sesuai dengan kebutuhannya. Onno W. Purbo (dalam Ibut, 2012) menjelaskanbahwa istilah "e" atau singkatan dari elektronik dalam e-learning digunakan sebagaiistilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usahapembelajaran lewat teknologi elektronik internet. Internet, intranet, satelit, tape audiovideo, TV interaktif dan CD-ROM adalah sebagian dari media elektronik yangdigunakan pembelajaran boleh disampaikan secara 'synchronously' (pada waktu yangsama) ataupun 'asynchronously' (pada waktu yang berbeda). Materi pembelajaran danpembelajaran yang disampaikan melalui media ini mempunyai teks, grafik, animasi,simulasi, audio, dan video. la juga harus menyediakan kemudahan untuk 'discussiongroup' dengan bantuan profesional dalam bidangnya.

Sedangkan menurut Sukartawi (dalam Rusman, 2011) menyebutkan bahwakelebihan pemanfaatan e-learning dalam pembelajaran adalah: (a)Guru dan siswa dapatmenggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan terjadwal melaluiinternet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajardipelajari, (b) Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana

Page 147: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

140

saja kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di computer, (c) Bila siswamemerlukan tambahan informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, iadapat melakukan akses di internet secara lebih mudah; (d) Baik guru maupun siswadapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yangbanyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas; (d)Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif dan lebih mandiri; (e)Relatif lebih efisien, misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari sekolah.

Hal ini diperkuat juga oleh pendapat Hasbullah bahwa dalam e-learningpenyampaian modul-modul yang sama (informasi, penampilan dan kualitaspembelajaran) bisa diakses dalam bentuk yang sama oleh semua siswa yangmengaksesnya, atau dengan kata lain penyampaian pembelajaran di kelas dengankualitas yang relatif lebih standar daripada pembelajaran dikelas yang tergantung pada“mood” dan kondisi fisik dari instruktur (Hasbullah, 2009).

Jadi perbedaan Pembelajaran Konvensional / Tradisional dengan e-learning yaitudalam kelas konvensional/tradisional, guru dianggap sebagai orang yang serba tahu danditugaskan untuk menyalurkan ilmu pengetahuan kepada siswanya, sedangkan fokusutama di dalam pembelajaran yang memanfaatkan e-learning adalah siswa. Siswadiharuskan mandiri pada waktu tertentu dan bertanggung-jawab pada dirinya sendiridalam proses pembelajaran. Lingkungan pembelajaran e-learning akan 'memaksa' siswamemainkan peranan yang lebih aktif dalam pembelajarannya. Siswa merancang danmencari materi pembelajaran dengan usaha dan inisiatif sendiri.

Berdasarkan hasil perhitungan dan hasil tes yang dilakukan pada masing-masingkelas dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar Fisika, pada awal pembelajaran memilikikemampuan yang sama, dimana rata-rata prestasi belajarnya sama. Setelah dilakukanperlakuan dengan menggunakan metode pembelajaran e-learning terdapat perbedaanprestasi signifikan, terjadi peningkatan prestasi belajar Fisika.

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pembelajaran dengan menggunakan e-learning memberikan motivasi pada siswa untuk belajar dan meningkatkan prestasibelajarnya. Selanjutnya pada siswa yang masih menggunakan metode konvensionaltidak memiliki rata-rata signifikan pada prestasi belajarnya, baik sebelum pembelajaranataupun setelah pembelajaran. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sedikit materi yang dapatdiserap dalam pembelajaran konvensional, berbeda dengan pembelajaran e-learning,dimana hampir semua materi dapat terserap oleh siswa, karena siswa terlibat langsungdalam permasalahan yang diberikan, pada saat siswa belajar, mengerjakan tugas danmenginterpretasikannya, sehingga siswa lebih menguasai materi. Perbedaan rata-rataantara kelas dengan pembelajaran e-learning dengan pembelajaran konvensionalmemiliki perbedaan yang signifikan, hal ini ditunjukkan dengan nilai perbedaan rataberdasarkan pada perbedaan terkecil (LSD) dimana memiliki nilai signifikansiperbedaan kedua pembelajaran di bawah 0.05.

Selain itu perhitungan dengan menggunakan analisis variansi 2 jalur didapatkannilai FA (F hitung untuk faktor model pembelajaran e-learning dan model pembelajarankonvensional) didapatkan prestasi lebih besar dari F tabel, artinya ada pengaruh prestasibelajar antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran e-learning dankonvensional yang diterapkan pada siswa pada bidang studi Fisika. Hasil perhitunganini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan dapat diterima, dimana ada perbedaanprestasi belajar Fisika antara yang diajar menggunakan model pembelajaran e-learningdan yang diajar menggunakan model pembelajaran konvensional.

Page 148: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

141

Pengaruh antara siswa yang memiliki motivasi tinggi dan rendah terhadapprestasi belajar fisika.

Motivasi belajar merupakan unsur penting dalam proses pembelajaran. Ada atautidaknya motivasi belajar dalam diri siswa akan menentukan apakah siswa akan terlibatsecara aktif dalam proses pembelajaran atau bersikap pasif dan tidak peduli. Suciati(2004) mengutip pendapat Mc.Clelland (1965) menjelaskan faktor lain yangmempengaruhi motivasi belajar siswa berupa kebutuhan untuk berhasil (needs forachievement), yaitu kebutuhan untuk mencapai suatu standar kualitas (standard ofexcellence). Siswa dengan kebutuhan berhasil tinggi cenderung mempunyai ketahanan(persistence) tinggi dalam melakukan tugas, tidak cepat menyerah, cenderungmemberikan hasil kerja yang baik meski tidak ditunggui atau diawasi, dalambersosialisasi/berteman lebih berdasarkan kemampuan yang dimiliki teman laindaripada keramahan atau rasa senang.

Tinggi rendahnya motivasi siswa terutama disebabkan oleh karakteristik yangmelekat pada diri siswa. Dalam hal ini, Robinson (dalam Nurani, 2009)mengindentifikasikan karakteristik seseorang (siswa) yang memiliki motivasi , yaitu (1)dorongan untuk bekerja keras, (2) harapan untuk sukses, (3) kekuatiran akan gagal, dan(4) dorongan untuk memperoleh hasil terbaik. Adanya dorongan untuk bekerja kerasmenyebabkan siswa untuk berusaha dengan gigih dan pantang menyerah dalammenyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Kesuksesan yang dimaksud adalahmencapai hasil belajar yang terbaik. Siswa yang memiliki motivasi tinggi, di dalamdirinya tidak memiliki rasa kekuatiran akan mengalami kegagalan.

Hubungan antara motivasi dengan hasil belajar sesuai dengan pernyataan Davies(dalam Nurani, 2009), bahwa motivasi mempunyai pengaruh penting dalampembelajaran karena motivasi merupakan salah satu faktor yang menentukankeberhasilan belajar siswa. Hal ini didukung oleh temuan yang diperoleh Zuhri (dalamNurani, 2009) bahwa tingkat motivasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadapperolehan hasil belajar, artinya siswa dengan motivasi tinggi akan memperoleh hasilbelajar yang lebih baik daripada siswa dengan motivasi rendah

Motivasi yang dimiliki siswa dalam proses belajar sangat mungkin berbeda,dimana siswa memiliki motivasi belajar tinggi dan ada pula yang memiliki motivasibelajar rendah, perbedaan motivasi yang dimiliki siswa ini memberikan pengaruhtersendiri terhadap prestasi belajar Fisika. Hal ini juga ditunjukkan dengan uji beda rata-rata, dimana prestasi keduanya (siswa dengan motivasi tinggi dan siswa denganmotivasi rendah) dengan metode pembelajaran berbeda, e-learning dan konvensionaldidapatkan prestasi yang berbeda antara siswa yang memiliki motivasi tinggi danrendah baik itu pada metode pembelajaran e-learning ataupun konvensional yangditunjukkan oleh nilai uji beda rata-rata perbedaan terkecil (LSD) dengan nilaisignifikansi kurang dari 0.05. secara berturut-turut untuk pembelajaran e-learning dankonvensional adalah 3.636 dan 7.452.

Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis kedua dapat diterima, artinya ada perbedaanprestasi belajar Fisika antara yang yang memiliki motivasi belajar tinggi dan yangmemiliki motivasi belajar rendah. Dengan menggunakan analisis variansi 2 jalurdidapatkan nilai FB (F hitung untuk tingkat motivasi siswa tinggi dan motivasi siswarendah) didapatkan hasil bahwa FB lebih besar F-tabel, sehingga memberikan artibahwa ada pengaruh prestasi belajar antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggidan siswa yang memiliki motivasi rendah pada bidang studi Fisika.

Page 149: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

142

Pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dengan motivasi siswa terhadapprestasi belajar fisika.

Prestasi belajar dinyatakan dalam bentuk simbol, angka, huruf maupun kalimatyang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak didik dalamperiode tertentu. Kaitannya dengan pembelajaran, prestasi yang diperoleh denganperangkat tes, hasil tes dapat memberikan informasi tentang apa yang telah dikuasaisiswa. Siswa dapat dikatakan berhasil dalam belajar apabila prestasi belajarnyamenunjukkan nilai yang tinggi atau sesuai dengan kriteria yang telah dirumuskan.Dalam proses pembelajaran, seseorang dikatakan berhasil atau tidak dapat dilihatmelalui nilai-nilai yang berhasil diperoleh dan dilaporkan dalam bentuk rapor atau kartuhasil studi secara periodik. (Depdiknas, 2006:21)

Perhitungan dengan menggunakan analisis variansi 2 jalur digunakan untukmengetahui interaksi antara faktor A (metode pembelajaran e-learning dan modelpembelajaran konvensional) dengan faktor B (siswa dengan motivasi tinggi dan siswadengan motivasi rendah)

Berdasarkan perhitungan interaksi antara keduanya yaitu pembelajaran e-learningdan pembelajaran konvensional dengan siswa yang memiliki motivasi tinggi danmotivasi rendah dapat dijelaskan bahwa dengan menggunakan analisis variansi 2 jalurkeduanya memiliki interaksi yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung> F tabel (4.090 > 3.92), dan tingkat singifikansinya kurang dari 0.05 (5%), sehinggadapat disimpulkan bahwa terjadi interaksi antara metode pembelajaran dengan motivasiyang dimiliki oleh siswa. Ini memberikan arti bahwa ada interaksi antara modelpembelajaran e-learning, konvensional dan motivasi belajar terhadap prestasi belajarsiswa pada bidang studi Fisika.

Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa siswa dengan motivasi tinggi denganmenggunakan metode pembelajaran e-learning memiliki prestasi belajar fisika yangtinggi dibandingkan dengan prestasi siswa yang memiliki motivasi rendah. Siswadengan motivasi tinggi dengan menggunakan metode pembelajaran konvensionalmemiliki prestasi yang tinggi dibandingkan dengan prestasi siswa yang memilikimotivasi rendah. Selanjutnya dijelaskan bahwa dengan penggunaan metodepembelajaran yang tepat (dalam hal ini metode pembelajaran e-learning) dan motivasibelajar tinggi yang dimiliki oleh siswa akan meningkatkan prestasi belajarnya, dalamhal ini pada bidang studi fisika.

Simpulan1. Terdapat perbedaan prestasi belajar siswa yang diajar dengan menggunakan

model pembelajaran e-learning dan model pembelajaran konvensional;2. Terdapat perbedaan prestasi belajar siswa yang mempunyai motivasi belajar yang

tinggi dan siswa yang mempunyai motivasi belajar yang rendah pada standarkompetensi menerapkan konsep termodinamika dalam mesin kalor pada siswa;

3. Terdapat interaksi pemanfaatan e-learning dan motivasi belajar terhadap prestasibelajar bidang studi Fisika.

ReferensiAgung, Iskandar. 2010. Meningkatkan Kreativitas Pembelajaran Bagi Guru. Jakarta:

Bestari Buana Murni.Djaali, dkk. 2004. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Intramedia

Universitas Negeri Jakarta.Ibut, I.P.L., Agus Purwo. 2012. Konsep Teori dan Strategi Teknologi Pendidikan dalam

Pemecahan Masalah Pembelajaran. Tulungagung: AcimA Publishing

Page 150: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

143

Rusman, Deni Kurniawan., Cepi Riyana. 2011. Pembelajaran Berbasis TeknologiInformasi dan Komunikasi. Jakarta. Rajawali Pers.

Setyosari, Punaji. 2012. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta:Prenada Media Group

Suciati, dkk. 2004. Belajar dan Pembelajaran 2. Jakarta: Universitas Terbuka.Sukmadinata, Nana Syaodih. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja

Rosdakarya.Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI

No.23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan PendidikanDasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RINo.41 Tahun 2007 tentang Standart Proses untuk Satuan Pndidikan Dasar danMenengah. Jakarta: BSNP.

Depdiknas. 2009. Peningkatan Kemampuan Siswa Melalui Proses PembelajaranBerbasis Motivasi. Edisi 1. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar danMenengah.Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Peraturan MenteriPendidikan Nasional RI No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Komptensi Lulusanuntuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah: Jakarta: BSNP.

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Panduan Penilaian Kelompok MataPelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: BSNP.

Bashari, Samsu. 2009. Pengaruh pembelajaran kooperatif tipe problem possingterhadap motivasi dan prestasi belajar fisika siswa kelas XI SMK Negeri 1Glagah Banyuwangi. Proposal Tesis untuk memenuhi tugas mata kuliah seminarpendidikan fisika. Malang: PPs. Pendidikan Fisika Universitas Negeri Malang.

Nurani, Budi. 2009. Efektivitas metode pembeljaran kooperatif model STAD terhadaphasil belajar fisika ditinjau dari motivasi berprestasi siswa kelas X SMA Negeri 3Malang. Proposal Tesis untuk memenuhi tugas mata kuliah seminar pendidikanfisika. Malang: PPs. Pendidikan Fisika Universitas Negeri Malang.

Sumarni. 2009. Perbedaan antara metode Problem Based Learning terhadap prestasibelajar fisika dibandingkan dengan metode konvensional. Proposal Tesis untukmemenuhi tugas mata kuliah seminar pendidikan fisika. Malang: PPs. PendidikanFisika.Universitas Negeri Malang.

Hasbullah, Maman Somantri. Pengembangan Model Pembelajaran e-learning untukmeningkatkan kualitas proses dan hasil belajar Mahasiswa pada matakuliahkonversi energi. Jurnal Penelitian Vol 10 No 2. Oktober 2009. Download29/03/2012. Jurnal.upi.edu/file/hasbullah/pdf

Page 151: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

144

FUTURE EDUCATION FOR TEACHERS IN THE FIELD ASPECTSOF VISUAL ARTS AND CULTURE

Ika IsmurdyahwatiUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstractGiven the current life that has become a sort of industry in all areas, including artsand culture, it is necessary to further understanding of the visual arts and visualculture. That understanding can also be acquired through formal education refers tothe visual arts and visual culture can actually be learned in everyday life through avariety of experiences. However, there is a need to be considered further, that thedelivery of the theory of art in education suffer because of two contrastingparadigms. Educational theory always put the prediction of learning outcomes toobtain 'something' after learning 'something', whereas the theory of art prefers'taste' in process 'something', to produce 'something', and cannot be predicted.Therefore the necessary understanding of the contradictions of thinking forteachers to study visual arteducation and visual culture that is very essential ineveryday life, as well as global and universal.

Keyword: art, education, teachers, visual art, visual culture, experiences

PendahuluanPada pemikiran tentang para guru bidang mata pelajaran seni dan budaya, perlu

adanya pengembangan pemahaman tentang pendidikan seni yang sudah sangatberkembang, karena perkembangan seni itu sendiri baik sebagai ilmu maupun sebagaikarya terapan. Bahkan pada perkembangannya pula, seni yang meliputi, musik, tari,drama dan rupa/visual sudah menjadi industri yang merupakan bagian dari kehidupankeseharian. Oleh karena itu, pentingnya pengertian yang harus dipahami oleh para guruterutama bidang mata pelajaran seni dan budaya, bahwa identitas bangsa yang utamaadalah melalui seni dan budaya. Identitas bangsa inilah yang harus diperkuat melaluipembelajaran dan pemahaman-pemahaman pada muatan lokal daerah, sehingga ‘rasamemiliki’ yang kuat dari para siswa inilah, akhirnya lahir seni dan budaya bangsa yangberidentitas di masa yang akan datang.

Pembicaraan yang mengetengahkan persoalan tentang pemikiran yangberhubungan dengan seni dalam pendidikan memang sangat rumit karena masing-masing memiliki persoalam sendiri dan sekaligus jalan keluarnya. Seni tari, musik,drama dan visual pada saat sekarang ini merupakan seni kontemporer yang merupakanbagian dari budaya global. Seni kontemporer dalam pemikiran dan penyampaian wujudkaryanya lebih mengutamakan simbol-simbol sebagai bagian dari komunikasi.Sedangkan pendidikan seni yang bersifat institusional harus dapat menjelaskan melaluipenelitian-penelitian dengan pengamatan-pengamatan, kolaborasi, keterlibatan langsungsebagai bagian dari observasi yang semuanya menggunakan beragam media danteknologi.

Persoalan utama teori seni dalam pendidikan adalah sulit, karena adanya konflikpada dua pemikiran, yakni teori pendidikan menyatakan bahwa, hasil belajar harusdapat diprediksi. Sedangkan dalam teori seni, karena mengutamakan “rasa” maka hasilkarya seni, tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, guru-guru seni mengalami kesulitandalam penyampaian materi seni, meskipun sudah dipandu kurikulum yang ideal,terperinci dan lengkap.

Page 152: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

145

Melalui hasil pengamatan dari para guru pengajar bidang seni, seringkaliditemui, bahwa cara mengajarkan materi bidang seni dan budaya, sama denganmengajarkan materi bidang bahasa, agama, ilmu-ilmu sosial dan semacamnya. Padahal,sebagai guru seni, harus terlibat dalam proses pembuatan karya, berlatih danmenyelesaikan penggarapan karya-karya tersebut bersama siswa.

Khusus pada pemahaman tentang Seni Visual/Seni Rupa dan budaya visual padabidang seni, perlu beberapa pemikiran yang berhubungan dengan seni dalampendidikan. Menurut Jameson (1984, 1991 dalam Freedman; 2003:1), as a result thevisual arts have become fundamental to the cultural transformation of politicaldiscourse, social interaction, and cultural identity that characterizes the postmoderncondition. Maksud dari transformasi dalam tulisan tersebut adalah, perkembanganbudaya dan interaksi antar personal dalam lingkungan sosial dan institusi, termasuk didalamnya adalah pendidikan. Karena setiap peradaban selalu berhubungan denganperkembangan pendidikan masyarakatnya, yang merupakan kekuatan dalammemvisualisasikan visi dan ruang dalam setiap kehidupan dari keseharian mereka.Karena guru memliki kekuatan penting sebagai penyampai pesan, maka, pesan harusdipelajari untuk dapat memecahkan kode, guna mendapatkan kesepakatan bersama.

Seni Visual dan Budaya Visual dalam Pendidikan dan IdentitasIstilah budaya visual digunakan untuk pemahaman yang berhubungan dengan

seni visual dalam konteks pemahaman antara seni visual murni dan seni visual populer.Meliputi di dalamnya adalah, seni rupa murni, seni tribal, advertising, film layar lebardan video, seni folklore, televisi dan seni pertunjukan lainnya, seni arsitektur dan desainelemen interior, computer game dan desain animasi dan segala macam produksi visualdan komunikasi. Menurut Feedman (2004: 2), visual culture is inherentlyinterdisciplinary and increasingly multimodal. Pemahaman tersebut termasuk didalamnya seni rupa tradisi yang sangat menentukan adanya karakter budaya visual.Kemudian pada pelaksanaannya, untuk pola pengajaran budaya visual bisa dilaksanakandi dalam maupun luar sekolah, dengan mengeksplorasi, obyek-obyek, ide, ingatan, totalpraktis pada seluruh pengalaman visual dari seseorang.

Aspek pendidikan pada budaya visual, adalah cara pandang dalam pembuatankarya berdasarkan kepentingan, tujuan, dan manfaat yang tentu menunjukkan identitas.Pemahaman dalam pendidikan formal menekankan pada kategori dan konsep. PadaPendidikan seni, konsep dipelajari berdasarkan kategori diskriminasi dan bersifatsubyektif, karena the creation of self is based on the subject being invested with certaincharacteristics through symbolic representation (Lacan dalam Feedman, 2004: 8).Masing-masing individu memiliki konsep dalam ruang imajinasi dan, fokus dalampandangan seni modern merupakan penunjukan identitas individu, sedangkan pada senitradisi, konsep karya merupakan identitas kelompok, karena dibuat untuk kepentinganbersama. Tetapi, pada budaya sekarang ini, konsep karya identitas individu, bisamenjadi milik bersama karena mengalami duplikat melalui tontonan bersama akibatmass media, manipulasi komputer dan kebebasan masyarakat dalam memperoleh akses.Oleh karena itu, visual representasi, menimbulkan deskriminasi atas pengakuan publikterhadap karakter individu ataupun kelompok. Cara berpikir demikianlah, identitasmuncul dari pengakuan-pengakuan yang diperoleh, baik, melalui perkembanganteknologi, atau pada level terdepan akibat dari industri kapitalis, atau totalisasi massmedia sebagai inisiasi negatif kondisi sosial masyarakat. Sehingga budaya visual telahmenghasilkan budaya interpretasi instan yang melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan dangambar-gambar baru yang instan pula sebagai penunjuk identitas dan lingkungan yangdapat diperoleh dengan mudah secara terus-menerus.

Page 153: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

146

Pentingnya Identitas pada Realitas VisualPada perkembangan teori seni dalam pendidikan, sangat perlu ditekankan

adanya kemampuan guru untuk mengadakan eksperimen bersama para siswa, misalnya:eksperimen menggambar. Pada teori pendidikan, tentu diharapkan gambar yang ‘sama’dari para siswa, karena hasil akhir dari proses belajar harus dapat diprediksi. Tetapidalam teori seni, bila guru mengadakan eksperimen bersama dengan siswa, dalammenggambar, karakter anak harus ditampilkan. Meskipun mereka menggambar obyekyang sama, misalnya bangku sekolah, tetapi aspek garis, bentuk, warna, dan komposisi,berbeda satu dengan yang lain, itulah yang harus difokuskan. Karena aspek garis,bentuk, warna dan komposisi merupakan identitas siswa, yang sama dengan bentuktulisan tangan masing-masing individu, yang berbeda satu dengan yang lain, sebagaipenunjuk identitas.Tekanan pengajarannya terdapat pada aspek kognitif, seperti yangdikemukakan oleh Arnheim (dalam Kindler; 2004: 237), whose work challenged theassumption that the concept of development should be tied to the notion of art as a copyof reality. Maksudnya, bila siswa ditugaskan untuk menggambar ibu mereka, merekamasing-masing akan membayangkan ibu mereka sesuai dengan persepsi masing-masing. Bila ibu yang dibayangkan adalah ibu yang ‘cerewet’, maka akan tergambarsosok yang tidak proporsional dengan gambar mulut yang lebih besar daripada kepala,atau tangan yang lebih panjang dari yang lain, karena sang ibu gemar’ mencubit’. Mulutdan tangan merupakan persepsi nyata anak terhadap sang ibu. Realita visual sepertiitulah yang merupakan replika ‘copy’ dari realitas sosial dan psikologi anak terhadapterhadap ibu mereka. Itulah sebabnya, hasil akhir dari suatu karya tidak dapatdiprediksi, karena lebih mengutamakan ‘rasa’, selain imajinasi, logika dan kinetik.

Problem utama, dari teori seni dalam pendidikan, adalah memperhatikanperkembangan artistik siswa dalam proses belajar, adalah proses ‘menterjemahkan’pemahaman-pemahaman yang baru tentang lingkungan sesuai dengan perkembanganumur. Pengalaman empirik menjadi faktor utama, karena seiring sejalan denganperkembangan usia, siswa seharusnya memiliki kemampuan yang meningkat dalammenggambar. Tetapi kemampuan menggambar ternyata tidak linear denganperkembangan usia, karena proses ‘menterjemahkan’ dari lingkungan dalam bentuk tigadimensi menjadi dua dimensi, sebagian siswa mengalami kesulitan karena menurutGolomb (dalam Kindler; 2004: 237) yang telah mencatatnya bahwa; ignores thediversity of cultural models and the affectiveness of alternative modes of representationthat depend on the intention of the artist. Jadi karena terdapatnya keragaman daribudaya bentuk dan beragamnya alternatif, inilah yang menyebabkan sebagian siswamengalami kesulitan menemukan jati diri dalam proses belajar. Oleh karena faktamenunjukkan, bahwa budaya visual memilliki sistem untuk menggunakan pendekatandengan orientasi visual/mimesis atau skematic/pictograhic, termasuk sistem seleksi,integrasi, dan beragam aspek, selain dua pendekatan tersebut. Upaya ini merupakanjalan agar identitas karya dapat diungkapkan melalui cara tersebut.

Budaya dalam Personal InterpretasiPerlu diketahui, bahwa pembelajaran pada masyarakat adalah melalui pesan-

pesan mereka, dan bagaimana pula cara ‘membacanya’. Hal inilah yang menyebabkaninterpretasi personal sangat berhubungan dengan etnik, suku, bahasa verbal dan nonverbal, sehingga personal interpretasi menjadi satu kesatuan dengan budaya. Padabudaya yang berbeda, berbeda pula cara’ membaca’ pesan, yang juga menghasilkanpesan-pesan yang berbeda pula. Karena pengalaman cultural berbada antar sosial, etnikdan kelompok gender, sehingga masing-masing kelompok memiliki pengalamaninterpretasi yang berbeda. Perbedaan-perbedaan ini dipandang sebagai identitas individu

Page 154: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

147

dan unik, karena bila masyarakat itu sama, dan memiliki personal interpersonal yangsama, pasti tidak akan ada interpretasi personal dan pengalaman baru.

Pada saat adanya budaya dunia baru sekarang ini, teknologi dan ragam budayatelah melahirkan popular culture atau yang biasa dikenal dengan budaya massa, dan inipula juga mempengaruhi kondisi belajar mengajar pada pendidikan seni.

Hanya sedikit guru seni yang menyadari kondisi tersebut, dan peka terhadap ide-ide siswa, sehingga dapat melahirkan citizen skill yang memiliki esensi, peka denganruang, sehingga dapat meningkatkan kemampuan berinformasi sebagai siswa budayavisual melalui karya-karya seni yang diciptakan, yang nantinya bisa sebagai masyarakatintelektual yang kreatif dan inovatif, sebagai producer, sebagai seniman, dansemacamnya.

Interdisiplin Kurikulum untuk Planning dan DesainReperesentasi budaya visual dalam bentuk kurikulum merupakan hasil diskusi

antara tujuan pendidkan (yang memang mengacu pada pendidikan), keberhasilan (yangmengacu pada kurikulum sekolah yang sudah berjalan), dan pembelajaran obyektif(melalui acuan pembelajaran yang sudah berjalan). Mengingat bahwa kurikulum harusconnect, dan kognitif juga harus connect, maka kurikulum harus dapat menjadi tujuandari lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan baru, dari upaya mempresentasikan informasi-informasi baru, yang berkembang menjadi ilmu-ilmu pengetahuan baru. Pengajaranbudaya visual dapat melayani siswa dengan bagus melalui pengalaman berkarya dalamberbagai level.

Pada kelompok pendukung, yakni para guru bidang studi pendidikan seni danbudaya, faktor utama dari sekolah, selain sarana dan prasarana yang keberhasilannyadalam proses belajar mengajar mengacu pada kurikulum. Kurikulum merupakan hasiltransformasi dari teori pendidikan dan teori seni, secara umum dapat mengarahkanindividu menjadi pengajar-pengajar profesional. Melalui pendidikan seni, siswa belajaruntuk menterjemahkan simbol melalui pendidikan seni tradisi dengan contoh padawujud bayangan wayang yang berasal dari budaya Jawa kuno, yang sebenarnya,merupakan cikal bakal dari gambar bayangan yang kemudian pada budaya baru menjadifilm layar lebar, film animasi, video dan televisi, dengan konsep bayangan wayang yangsedang bergerak,

Tabel bayangan gerak wayang (data analisis, disertasi Ismurdyahwati: 2007: 165)Wayang bayangan yang bergerak scene Stop motion

per detikPilihan gambar stopmotion ke 1.Gambar tokoh kedua dari kiri terlihatbergerak, berupabayangan yangmembesar.

45.01

Page 155: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

148

Wayang bayangan yang bergerak scene Stop motionper detik

Pilihan gambar stopmotion ke dua.Bayangan tokoh kedua dari kiriterkesan bergerakmulai memutar.

45.04

Pilihan gambar stopmotion ke tiga.Gerak bayanganberputar menjadipipih, sementaratokoh pertama darikiri bergeraksemakin mundur.

45.10

Pilihan gambar stopmotion ke empat.Bayangan tokoh kedua kiri tampakkabur dengan wujudsetengah badan. Digunungan sebelahkiri tampakbayangan yangmembesar daritokoh pertamasebelah kiri.

45.20

Untuk mendapatkan pemahaman melalui gambar-gambar bayangan wayang yangsedang bergerak, dapat diusulkan dengan adanya beberapa masukan yang merupakanplanning dan desain dari suatu kegiatan pembelajaran. Usulan ini diadopsi dari tulisanFreedman (2004: 113 - 114) yang cukup berhasil dalam mengembangkan format yangsesuai dengan budaya dunia baru saat ini, dengan mengacu pada budaya visual sebagaikonsep utamanya. Format tersebut antara lain: sequential curriculum, interactivecuriculum, event experiences, and interdisciplinary curriculum.- Sequental curriculum, adalah program yang merupakan rangkaian pengettahuan yang

berasal dari program kependidikan. Beberapa tipe pembelajaran, sudah dipelajarisebelumnya, sehingga pengetahuan baru diperoleh secara paralel dan berbentukspiral pengetahuan dari bawah ke atas dari sebuah spiral kurikulum. Pada konteks

Page 156: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

149

tentang memahami wayang bayangan, sebelum siswa mengenal wayang bayangan,beberapa pengetahuan harus sudah dimiliki sebelumnya, antara lain, pengetahuandasar tentang seni rupa, lalu pengetahuan tentang seni rupa tradisi, lalu pengetahuantentang pertunjukan wayang, dan pegetahuan tentang gambar-gambar bayangan.Kemudian pengetahuan tentang teknik camera dalam pembuatan film. Karenabayangan wayang merupakan hasil rekaman video yang dishooting pada saatpergelaran.

- Interactive curriculum, yakni format kurikulum yang mengutamakan tentang responsiswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari. Mutu pengetahuan siswa diperolehdari aktivitas responded terhadap materi yang diajarkan. Misalnya: dalam konteksmempelajari gambar bayangan wayang, siswa berdiskusi dalam berbagai topik yangsemuanya tentang gambar bayangan wayang. Siswa dapat melihat film yangberhubungan dengan materi atau melihat produk budaya visual lain, yakni filmanimasi yang dapat dipelajari cara pembuatannya dan kemudian membandingkan kedua film tersebut melalui pengalaman belajar dari berbagai sumber.

- Event Experience, merupakan kurikulum yang memasukkan event-event besar danistimewa sebagai sarana sumber belajar. Pengetahuan-pengetahuan baru tersebutdidapat dari kegiatan langsung seniman yang sedang melakukan kegiatan dalamsuatu performance atau mengunjungi pameran bisnis karya-karya seni yang bersifatnasional atau internasional. Misalnya; Mengunjungi pergelaran wayang kulit yangjarang ada pada saat ini, dengan mempelajari segala macam perangkat-perangkatnya.Sekaligus menyaksikan dalang sebagai penghidup cerita, memainkan tokoh-tokohwayangnya.

- Interdisiplinary Curriculum, Seni adalah pengetahuan interdisiplin dan kurikulumseni seharusnya menggabungkan ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam termasukseni rupa tradisi.Untuk hasil yang lebih baik, guru-guru dan para penelliti, menjawabpertanyaan-pertanyaan, kapan, dimana dan siapa. Untum menggabungkanpengetahuan-pengetahuan antar disiplin

Daftar Pustaka

Emmison, Michael & Philip Smith. 2007. Researchsing The Visual. Sage Publication.Freedman, Kerry. 2004. Teaching Visual Culture. Teacher College, Columbia

University and National Art Education, Association.Ika Ismurdyahwati. 2007. Pergelaran Bayangan Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta

Dalam Kajian Bahasa Rupa Gerak. Disertasi. Tidak dipublikasikan. InstitutTeknologi Bandung.

Jamieson, Harry.2007. Visual Communication. Intellect Press.Kindler, Anna M. 2004. Researching Impossible? Models of Artistic Development

Reconsidered. In Handbook of Research and Policy in Art Education. Ed. ElliotW. Eisner. NAEA National Art Education Association.

Page 157: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

150

HUMAN PERFORMANCE TECHNOLOGY HPT, MODEL APLIKASITERAKHIR DARI TEKNOLOG PENDIDIKAN/PEMBELAJARAN DALAM

PENDIDIDKAN NONFORMAL

Iskandar WiryokusumoUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

Pendahuluan“To day change is happening faster than ever before. Work environments,

operations, job functions, and process are much more inter dependent“ Yang dituntutadalah proses yang cepat, meningkatkan kualitas, dan harga produksi yang murah(Rosenberg, 1992). Inilah salah satu dasar alasan tentang pemanfaatan TeknologiPembelajaran dalam dunia kerja. Karena kualitas yang diharapkan itu adalahperformance yang dapat didesain antara lain model Teknologi.

Sebelumnya hal ini sudah tercetus dari pikiran Rummler dan Brache (1988),yang menyatakan bahwa perlunya bantuan strategi baru yang tepat, yang menggunakanprinsip teknologi. Dan dipilih Teknologi Pembelajaran, dalam dunia bisnis itu, karenaprinsip-prinsip teknologi yang terkandung dalam TEP, yang dapat meningkatkankualitas kinerjaa manusia. Menurut mereka “Human Performance Technology (HPT) isthe tool bussines can use to enhance productivity and organizasional capability in asustained and meaningful way. Combine with learning and instructional Technology,HPT provides a strategy for focusing directly on performance improvemant”

Dari apa yang disampaikan oleh Rosenberg tersebut diatas, tujuan pokok darituntutan jaman tersebut pada saat ini adalah peningkatan kualitas kinerja (qualityperformance improvement) sesuai dengan kebutuhn jaman, Kualitas kinerja semakinmenjadi masalah, karena peningkatan tuntutan kebutuhan manusia, terutama dalamindustri dan organisasi perusahaan.

Oleh karena itu, pada dasarnya HPT adalah kegiatan yang tidak lain ”HumanPerformance Improvement” (HPI), yang juga dapat disebut sebagai “HumanPerformance Enhancemen” dan bahkan juga disebut “Human PerformenceEngineering” dan “ Human performance Consulting” (ASTD Models,1989). Dari nama-nama tersebut akan semakin nampak ciri awalnya adalah (1). Performanceimprovement, (2). Performance Enhancement, (3). Performance engineering dan (4).Cosulting. Namun kesemuanya tekanannya pada “Quality Performance Improvement”(Peningkatan kualitas kinerja).

Khusus tentang “Quality Improvement “, oleh Thomson dan Mabey (1994)dikatakan ”..was a way meeting increased environmental pressure for enhance quality ofproducts and services that was coming from a variety of resources “Dan TeknologiPembelajaran dapat mengakomodasikan ide/ pikiran tersebut. hanya yang dikatakankualitas ideal bagi pembelajaran adalah hasil/ prestasi belajar siswa.

Pokok Pikiran Human Performance Technology (HPT)

Telaah banyak pikiran/ pengertian yang dibuat dalam mendifinisikan HPT.Secara umum dasar pikirannya adalah seperti tujuan dan ciri dari teknologi itu sendiri,yakni memecahkan problem kinerja manusia (to solve the problems of human performer– Stolovitch,edt ,2006)

Ciri lain yang sejajar (Thomson dan Mabey,1994) adalah digunakannya prinsipilmiyah (science based ), dengan menggunakan pertanggungan jawab metodologi. Halini akan nampak pada pemilihan strategi intervensi, yang dilakukan dengan

Page 158: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

151

mengutamakan ketelitian metodologi, yakni melalui pertimbangan-pertimbangandesain yang sesuai, dan antisipasi resiko yang mungkin terjadi, mempertimbangkanfaktor pendukungnya dll. Perlakuan ini akan dijalankan karena sasarannya adalahperilaku manusia dewasa, yang perlu dihormati harga dirinya (self esteem ).

Karakteristik lain dari HPT adalah dipergunakannya model-model analisis,seperti analisis kebutuhan, analisis sebab dan analisis kerja serta model recycling dariteori sistem.

Oleh karena itu kata-kata Teknologi dalam HPT adalah teknologi yangmemperhatikan semua variabel yang mempengaruhi kehidupam manusia,mempertimbangkan semua latar sistemik tentang kinerja manusia (ISPI, 2004)

Lebih kongkrit lagi adalah 10 standar HPT yang dibuat oleh Brethower (2006),yang secara singkat meliputi (1). Fokus terhadap hasil, (2). Melihat situasi secarasistematik, (3). Hargai pekerjaan yang ada, (4). Partnership and collaboration, (5).Analisis kebutuhan, (6). Analisis kerja/ tempat kerja untuk mencari sebab/ faktorpenyebab, (7). Pemecahannya melalui desain yang sesuai, (8). Kembangkan pemecahanyang dipilih, (9). Diimplementasikan, (10). Dievaluasi hasilnya.

Ciyung (2008) juga mengajukan karekteristik HPT, yang antara lain bahwakinerja manusia perlu diperhatikan serius, empirik, berorientasi hasil, reaktip danproaktip, pendekatan sitemik dan sistimatik memilih/ mempertimbangkan strategiintervensi.

Kecenderungan Teknologi Pendidikan/Pembelajaran Saat IniUntuk melihat seberapa “keterkaitan “ Teknologi Pendidikan dan pembelajaran,

perlu dilihat kecenderungan (trends) kegiatan tersebut pada saat ini.Ely (1998) sudah memprediksi kemana arah teknologi pendidikan/

pembelajaran saat itu. Ada 8 kecenderungan/ arah yang akan dituju dan yang mewarnaiTeknologi Pendidikan yang akan datang. Ke 8 kecenderungan tersebut meliputi (1).penggunaan komputer, (2). Penggunanaan Internet, (3.) Penggunaan Video, (4).Dukungan penggunaan Teknologi di sekolah-sekolah, (5). Pengembangan Belajar jarakjauh (6). PemanfaatanLaptop dan “hand held computer “ (7). Peningkatan kemampuanguru mempergunakan komputer, (8). Pemanfatan Teknologi Instruksional oleh sekolah,perguruan tinggi dan masyarakat.

Dari apa yang diuraikan diatas, Ely mengakui secara sepintas pada trends yangke 8, bahwa masyarakat (public sector) sudah memanfaatkan Teknologi Sekalipuntekanan dalam pembelajaran itu, khususnya desain pembelajaran.

The Association of Educational Communication and Technology (AECT), suatunon organisasi yang fokus pada Teknologi Pendidikan dan Pembelajaran, yang didirikansejak 1923 oleh NEA (National Educationa Assosiation) dan DAVI (Department ofAudio Visual Instruction ) tahun 1971 di AS, mulai memberi arah pemakaian prinsip-prinsip Teknologi Pembelajaran pada Pendidikan Non Formal. Kecenderungan ininampak pada salah satu bagian dari Organisasi ini adalah Divisi Pelatihan danPendidikan Industrial. (Industrial Training and Educatioan Devision) Divisi inimemberikan perhatian terhadap kegiatan-kegiatan pelatihan di lingkungan industri. Jadipada trends berikutnya perhatian dari AECT yang terkenal bergerak dalam bidangPendidikan Formal, juga mulai memasuki kedunia pendidikan non formal.

Organisasi lain yang sangat berkepentingan memberi perhatian khusus dalammasalah kinerja pada perusahaan dan industri, yaitu NSPI (National Society ofPerformsnce and Instruction, 1974 ), mulai secra langsung mengembangkan prinsipTeknologi Pendidikan/ Pembelajaran pada dunia kerja. Organisasi ini bergerak denganprinsip-prinsip Teknologi Pembelajaran seperti ”systematic process of analysis, try out

Page 159: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

152

and data based revision for identiying, developing, and implemanting solution ofhuman performance problems “ .

Perbedaan dan Kesamaan Human Performance Technology (HPT) denganTeknologi Pembelajaran

Sekalipun demikian tetap ada perbedaan dan kesamaan antara HPT dengan TEP.Perbedaan akan nampak dalam beberapa hal:1. HPT mempergunanakan Intervensi sebagai strategi penyelesaian masalah kinerja

manusia yang dilakukan oleh pihak ketiga yang pakar/ interentor, tetapi TEPmempergunakan Sumber belajar sebagai solusi problem-problem belajar (AECT,1974)

2. HPT mempergunakan Analisis Sebab (Cause Analysis, antara lain model Gilbert)disamping Analisis Kesenjangan, sedangan TEP cukup atas dasar AnalysisKebutuhan (Need Assement)

3. Dalam Intervensi, HPT mempergunakan 14 macam/ alernatip pemecahan masalah,sedang Pelatihan dan Coaching, adalah 2 dari 14 alternatip Intervensi tersebut(Deterline dan Rosenberg, 1992) Namun TEP tekanannnya pada Pembelajaran,dengan 6 macam sumber belajar tidak ada alternatip lain.

4. HPT bergerak dibidang Pendidikan Non Formal, untuk menciptakan kinerjakaryawan yang diharapkan, dan pertanyaan adalah orang-orang dewasa, yangberbeda dengan TEP peserta didiknya adalah anak-anak yang belum cukup “dewasa“

5. HPT memerlukan tenaga yang ahli, sebagai konsultan/ interventor, yang obyektipdan mengenal perusahaan/ industri, sedang TEP cukup ditangani oleh Guru

6. Titik ideal yang ingin dicapai dalam peningkatan kualitas adalah misi dan visi atauprogram yang akan dicapai oleh unit-unit kerja, namun pada TEP titik idealnyaadalah tujuan pembelajaran yang disusun oleh guru/ kurikulum.

Di samping itu juga ada kesamaan-kesamaannya.1. Sama-sama ingin meningkatkan kualitas peserta/ siswa, baik kualitas kinerja maupun

kualitas hasil belajar, sekalipun pengertian kualitas berbeda.2. Keduanya mempergunakan langkah-langkah desain pembelajaran yang sama, seperti

disebut diatas3. Keduanya bergerak dibidang pembentukan performance, sehingga ada

kecenderungan bersifat Behavioristik.4. Keduanya mengakui peran Teknologi, untuk menyelesaikan masalah (solving the

problem of human being) yang dihadapi manusia

Kelemahan Human Performance Technology (HPT)

Sekalipun banyak kelebihan-kelebihan, karena sudah dipergunakan diperusahaan/ industri di AS, namun masih terdapat kesulitan dan kendala/ kelemahandari HPT itu.1. HPT besifat perilaku (behavioristik) yang kurang manusiawi2. Karena itu HPT kaku, mekanistik3. HPT membutuhkan tenaga ahli yang obyektip, dengan kompetensi tertentu4. HPT membutuhkan kesepakatan/ kolaborasi dari pihak-pihak terkait5. Pelaksanaan HPT membutuhkan waktu, kesiapan mental/ mental readiness

PenutupDari uraian singkat diaras, dapatlah dinyatakan disini bahwa HPT adalah salah

satu Model Aplikasi dari Teknologi Pembelajaran, Langkah-langkah yang diikutidalam HPT untuk memecahkan problem kinerja manusia, tidak ada beda antara dengan

Page 160: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

153

TEP. Sekalipun demikian tidak ditolak adanya beberapa perbedaan diantara keduanya,dan adanya kelemahan-kelemahan tertentu dari Model ini. Namun dimasa mendatangakan tampak semakin akrabnya antara HPT dan TEP, karena dukungan teknologi yangsemakin kuat.

Daftar ReferensiBrethower, ASTD conference on evaluating the payoff of management training, 2006Ciyung,S.Y.,Foundation of instructional and performnce Technology,2008Deterline dan Rosenberg, Handbook of Human Performance Technology San

Francisco: Berrett-Koehler Publishers, Inc 1992Donald P.Ely, Tternds in Educational Technology, 1996Harold D Stolovich, Researc and Theory to practice, PerformanceImprovment,

38/4,2000.James A. Persing, Edt.,HandBook of Human Performance technology,2002.James D. Klein dan Eric J. Fox,Pertormance Improvement Competencies for

Intructional Tecnologies, Technology Trends,48/3.2002John N Turner, http//johnrturnerhptresource.blogspot.com/ 2011/06/ human-

performance-technology-hpt.htmlMarc. J. Rosenberg, Training and Develeopmen Handbook,1996NSPI (National Society of Performsnce and Instruction, 1974)Paul Settler, The Evolution of American Educational Technology, 2004Rummler, G. A., and Branche, A B. (1995). Improving performance: How to manage

the white space on the organization chart (2nd ed). San FranciscoThomson & mabey, http://books.google.co.id/books/about/Developing_ Human_

Resources.html?id=vrhZAAAAYAAJ&redir_esc=yWikipidia, http://en.wikipedia.org/wiki/Human_performance_technologyWilliam J Rothwell,ASTD Model for Human Performance Imorovement,2002

Page 161: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

154

PENGARUH PENGGUNAAN METODE DISKUSI, DEMONSTRASI DANMOTIVASI BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR BAHASAINDONESIA SISWA KELAS V SDN PAKAL I DAN II SURABAYA

Kalim SugiyantiSD Negeri 1 Pakal Surabaya

[email protected]

AbstractThe purpose of this research is investigating the influence of the use ofdiscussion method, demonstration and learning motivation on theenhancement of students’ learning performance. The object of this researchis about the lack offifth grade students’ learning interest at SDN Pakal I andII in Bahasa Indonesia course. The method used is discussion anddemonstration method. Data collected by using test and questionnaire andtwo-line anava. The use of discussion method, demonstration and highstudents’ learning motivation can improve their learning performance.

Kata Kunci: Diskusi, Demonstrasi, Motivasi Belajar, Prestasi Belajar

PENDAHULUANDalam kegiatan belajar mengajar hendaknya harus ada korelasi antara siswa dan

pendidik, sehingga diharapkan hasilnya juga akan dapat meningkatkan prestasi belajarsiswa dan mutu pendidikan pada umumnya. Tetapi kenyataan di lapangan pada saat ini,tidak sesuai dengan yang direncanakan. Hal tersebut merupakan suatu fenomena yangbenar-benar harus mendapatkan perhatian yang serius, yang pada saat ini perkembanganilmu pengetahuan dan teknologi sudah semakin cepat dan canggih.

Sementara hasil prestasi belajar siswa dalam satu semester, baik nilai ulanganformatif maupun sumatif semua mata pelajaran pada umumnya maupun mata pelajaranBahasa Indonesia pada khususnya masih rendah, masih belum mencapai standarketuntasan minimal yang telah ditetapkan oleh sekolah. Sehubungan dengan hal tersebutdi atas, maka dilakukan identifikasi sebab-sebab terjadinya masalah tersebut. Setelahmerefleksi kegiatan dan tugas sebagai guru maka yang menyebabkannya adalah karenapendekatan pembelajaran kurang sesuai, metode mengajar yang kurang tepat, teknikpenilaian yang kurang sesuai, serta kurangnya sumber dan sarana belajar yangmendukung, dan kurangnya motivasi belajar pada siswa, sehingga faktor-faktor tersebutmenjadi penyebab rendahnya minat belajar siswa, kurangnya aktivitas dalammengerjakan tugas, kurangnya inisiatif dan berpikir kritis dalam memecahkan masalahserta menemukan jawaban sendiri secara tepat dan benar, dan kurang berani dalammengaktualisasikan diri.

Untuk mencapai Standar ketuntasan minimal mata pelajaran Bahasa Indonesiaperlu adanya perubahan dalam pembelajaran, yang sebelumnya menggunakan metodeceramah, maka metode yang paling tepat dan cara pendekatan yang kontekstual adalahmetode diskusi dan demonstrasi serta pemberian motivasi belajar.

Masalah:1. Adakah perbedaan prestasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan

metode diskusi dengan metode demonstrasi pada mata pelajaran BahasaIndonesia?

Page 162: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

155

2. Adakah perbedaan prestasi belajar siswa dengan menggunakan metode diskusiberdasarkan tingkat motivasi belajar pada mata pelajaran Bahasa Indonesia?

3. Adakah interaksi antara penggunaan metode diskusi dan motivasi belajarterhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia?

Tujuan Penelitian:1. Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa yang pembelajarannya

menggunakan metode diskusi dengan metode demonstrasi pada mata pelajaranBahasa Indonesia.

2. Untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa dengan menggunakanmetode diskusi berdasarkan tingkat motivasi belajar pada mata pelajaran BahasaIndonesia.

3. Untuk mengetahui interaksi antara penggunaan metode diskusi dan motivasibelajar terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Manfaat PenelitianHasil penelitian ini digunakan oleh guru sebagai acuan dalam memilih metode

mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia, dan untuk mengevaluasi prosespembelajaran, sedangkan bagi sekolah hasil penelitian ini dapat digunakan sebagaibahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan peningkatanmutu pendidikan melalui penerapan penggunaan metode pembelajaran yang tepat padamata pelajaran dan untuk siswa hasil penelitian ini akan menunjukkan bahwa terdapatbanyak metode pembelajaran pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, sehinggapembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien serta dapat meningkatkan motivasibelajar.

Motivasi Belajar:Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa untuk

melakukan serangkaian kegiatan belajar guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Prestasi Belajar Siswa:Yang dimaksud dengan prestasi adalah suatu hasil yang diperoleh pada saat tertentu,

pada saat belajar diadakan evaluasi. Menurut Poerwodarminto (1991: 768), prestasibelajar adalah hasil yang dicapai (dilakukan, dikerjakan), dalam hal ini prestasi belajaryang nerupakan hasil dari suatu pekerjaan, hasil penciptaan oleh seseorang yangdiperoleh dengan ketelitian kerja serta perjuangan yang membutuhkan pikiran. Sejalandengan prestasi belajar, maka dapat diartikan bahwa prestasi belajar mata pelajaranBahasa Indonesia adalah nilai yang diperoleh siswa setelah melibatkan secaralangsung/aktif seluruh potensi yang dimilikinya baik aspek kognitif (pengetahuan),afektif (sikap), dan psikomotor (ketrampilan) dalam proses belajar mengajar pada matapelajaran Bahasa Indonesia. Prestasi Belajar Bahasa Indonesia: Prestasi belajar BahasaIndonesia adalah hasil yang telah dicapai oleh siswa berupa nilai tes Bahasa Indonesia.

Metode Diskusi:Menurut Syaiful Sagala (2011: 208), diskusi ialah percakapan ilmiah yang

responsif berisikan pertukaran pendapat yang dijalin dengan pertanyaan-pertanyaanproblematis pemunculan ide-ide dan pengujian ide-ide ataupun pendapat dilakukan olehbeberapa orang yang tergabung dalam kelompok itu yang diarahkan untuk memperolehpemecahan masalahnya dan untuk mencari kebenaran. Dalam diskusi selalu ada suatupokok yang dibicarakan.

Page 163: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

156

Metode DemonstrasiMetode demonstrasi adalah pertunjukkan tentang proses terjadinya suatu

peristiwa atau benda sampai pada penampilan tingkah laku yang dicontohkan agar dapatdiketahui dan dipahami oleh peserta didik secara nyata atau tiruannya. (Syaiful Sagala,2011; 210).

METODE PENELITIANPenelitian ini adalah penelitian eksperimen tentang pembelajaran dengan

menggunakan metode diskusi dan demonstrasi yang dikaitkan dengan motivasi belajarserta pengaruhnya terhadap prestasi belajar siswa.

Populasi dan Penentuan SampelPopulasi penelitian adalah siswa SDN Pakal I dan II Surabaya. Subjek/Sampel

yang dipakai sebagai responden 2 kelas yang berjumlah 40 siswa. Sampel yang dipakaidalam perhitungan data sebanyak 80 siswa masing masing sekolah 40 siswa.

Metode Pengumpulan DataMetode TestMenurut Djemari (2008: 67) tes merupakan salah satu cara untuk menaksir besarnyakemampuan seseorang secara tidak langsung, yaitu melalui respon seseorang terhadapstimulus atau pertanyaan. Tes dapat juga diartikan sebagai sejumlah pernyataan yangharus diberikan tanggapan dengan tujuan untuk mengukur tingkat kemampuanseseorang atau mengungkap aspek tertentu dari orang yang dikenai tes. Instrumen yangberupa tes ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan dasar dan pencapaian atauprestasi.

Metode AngketDalam mengumpulkan data sebagian besar penelitian umum menggunakan

kuesioner atau angket. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukandengan cara memberi seperangkat pertanyaan tertulis kepada responen untukdijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila penelititau dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan denganresponden. Memang kuesioner baik, asal cara dan pengadaannya mengikuti persyaratanyang telah digariskan dalam penelitian.

Metode Analisis DataAnalisis varian dua faktor ini digunakan untuk mengetahui pengaruh dua faktor A dan Bpada suatu respon/variabel tidak bebas (Walpole, hal 445)

HASIL PENELITIANDeskripsi Data

Sebelum membahas tentang tes hasil belajar, terlebih dahulu dibicarakan hasiluji reliabilitas tes hasil belajar sebagai instrumen penelitian. Perlakukan eksperimenterhadap dua kelompok tentunya disesuaikan dengan model rancangan penelitian diatas. Kelompok I yaitu kelompok SDN PAKAL I (Kelompok eksperimen)melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi, kelompok II yaitukelompok SDN PAKAL II (sebagai kelompok kontrol) melaksanakan pembelajarandengan menggunakan metode demonstrasi.

Page 164: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

157

Hasil Analisis DataUji Homogenitas dan Normalitas Instrumen

Analisis data dilakukan didapat harga 1,69 pada taraf signifikansi 5% dan 2,11pada taraf 1%. Oleh karna F empirik lebih kecil dibanding f teoritik, maka dapat diinterprestasikan bahwa harga empirik tidak signifikan, yang berarti bahwa harga Variandari kelompok terhadap 40 orang siswa kelompok eksperimen dan 40 orang kelompokkontrol dan dilakukan uji homogenitas Varian dalam kelompok, dengan jalanmenemukan harga Fmax dan hasil tabulasi yang dihitung diperoleh 1,430 yang kemudiandikonsultasikan tabel F, dengan menggunakan db 39 Eksperimen adalah homogen.Begitu pula yang dilakukan terhadap kelompok kontrol, ditemukan 0.770 kemudiandikonsultasikan tabel F, dengan menggunakan db 39 didapat harga F teoritik sebesar1.69 pada taraf signifikansi 5% dan 2,11 pada taraf 1%. Oleh karena F empirik lebihkecil dibanding f teoritik, maka dapat di interprestasikan bahwa harga empirik tidaksignifikan, yang berarti bahwa harga Varian dari kelompok kontrol adalah homogen.

Selanjutnya melakukan uji Normalitas yang dimaksudkan untuk menguji asumsipembelajaran yang dilakukan kelompok eksperimen dengan menggunakan pemberiantugas individu maupun asumsi pembelajaran kelompok kontrol yang menggunakanpemberian tugas kelompok dengan analisa Chi Kwadrat, dan dari tabel tersebutdiketahui bahwa ditemukan sebesar 6,77 yang selanjutnya dikonsultasikan denganharga kritis tabel Chi Kwadrat dengan db 3 dan taraf signifikan 5% menunjukkanbilangan 7,815 dengan nilai bahwa Hasil lebih kecil dari Harga Kritis tabel makadata yang diuji berdistribusi normal.

PEMBAHASANAnalisa Varian (anava dua jalur)Hasil statistik ANAVA memperlihatkan bahwa :-F hitung hipotesa satu ditemukan 50.912 > 1.69 pada taraf signifikansi 5% dan sig.

Probabilitas ditemukan 0,000 < 0,05 yang berarti pembelajaran dengan menggunaanmeode diskusi dan metode demonstrasi berbeda secara signifikan.

-F hitung hipotesa dua ditemukan 9.854 > 1.69 pada taraf signifikansi 5% serta sig.Probabilitas ditemukan 0,002 < 0,05 yang berarti bahwa siswa yang memilikimotivasi belajar tinggi dan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah berbedasecara signifikan.

-F hitung hipotesa tiga ditemukan 7.103 > 1.69 pada taraf signifikansi 5% dan sig.Probabilitas 0,009 < 0,05 yang berarti ada interaksi antara pembelajaran denganmenggunakan metode diskusi dan motivasi belajar siswa terhadap hasil belajar siswadalam bidang pelajaran Bahasa Indonesia.

Simpulan yang dapat ditarik dari uraian tersebut di atas bahwa perbedaan hasilbelajar siswa sangatlah dipengaruhi oleh perbedaan pelakuan pada proses pembelajaranberlangsung, penggunaan metode pembelajaran dan motivasi belajar yang dimiliki olehmasing-masing siswa, hal ini berarti hipotesa nihil yang ditetapkan pada taraf signifikan5% ditolak dan berarti bahwa menerima hipotesa kerja, yaitu ada pengaruh yangsignifikan antara pembelajaran yang menggunakan metode diskusi dan motivasi belajarterhadap prestasi belajar siswa.

SIMPULAN DAN SARANSIMPULANDengan menggunakan metode diskusi dan motivasi belajar siswa yang tinggi dapatmeningkatkan prestasi belajar pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, dan terdapatinteraksi yang kuat dalam penggunaaan metode pembelajaran dengan motivasi belajarsiswa, baik kotivasi yang tinggi maupun yang rendah.

Page 165: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

158

SARANDalam pembelajaran guru dapat menggunakan metode diskusi karena denganpenggunaan metode diskusi, maka siswa dapat memperoleh motivasi belajar, sehinggasuasana pembelajaran menjadi lebih aktif, menyenangkan tidak membosankan , siswamerasa butuh, sehingga prestasi belajar siswa akan menjadi lebih baik.

Daftar Pustaka

http://www.scribd.com/doc/74227/Skripsihubungan-Motivasi-Belajar-Dengan-Hasil-Belajar-Siswa.

Bambang Yulianto, 2008, Aspek Kebahasaan dan Pembelajarannya, Surabaya, UnesaUniversity Press.

Dimyati, Mudjiono, 2009, Belajar Dan Pembelajaran, Jakarta, Rineka Cipta.Gempur Santoso, 2007, Jakarta, Metodologi Penelitian, Prestasi PustakaHartanto Sunardi, 2007, Statiska, Surabaya, University Press Adi BuanaSurabaya.I Nyoman Degeng, 2008, Strategi Pembelajaran Penataan dan Penyampaian Isi.

Malang: Universitas Negeri Malang.Iskandar Wirjokusumo, 2009, Pengantar Metode Penelitian Kuantitatif, Surabaya

Unesa University Press.M. Saekhan Muckhith, 2008, Pembelajaran Kontekstual, Semarang, RaSAIL Media

Group.Mulyasa, 2006, Implementasi Kurikulum 2004, Bandung, PT Remaja RosdakaryaNana Sudjana, 2009, Teknologi Pengajaran, Bandung, Sinar Baru Algesindo.Nawawi Hadari, 1997, Belajar dan Teori Pembelajaran, Jakarta, Universitas Terbuka.Nurhadi,2002, Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning),Oemar Hamalik, 2008, Kurikulum Dan Pembelajaran, Jakarta, PT Bumi Aksara.Rusiono, Bambang Yulianto, 2008, Asesmen Pembelajaran, Surabaya, Dinas

Pendidikan Kota Surabaya dan Universitas Negeri Surabaya.Samsubar Saleh,1985, Statistik Non Parametris, Yogyakarta, BPFE Yogyakarta.Suharsimi Arikunto, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,

Surabaya,Syaiful Sagala, 2011, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung, Alfabeta Bandung.Yatim Riyanto, 2009, Surabaya, Paradigma Baru Pembelajaran, Kencana prenada

Media Group.

Page 166: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

159

PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN TERHADAP HASIL BELAJARPENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SISWA KELAS V YANG MEMILIKIKECERDASAN EMOSIONAL DAN GAYA BELAJAR YANG BERBEDA DI

KECAMATAN RENDANG KARANGASEM BALI

I Wayan ArsanaUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

Abstract

Teaching paradigm followed by teachers is reflected on their teaching strategyused. The teaching strategy is the way that containts the steps or procedures whichare used in certain condition to reach the desired learning result achievement.

One of teaching strategies that needs to be tested for the effectiveness is calledteaching strategy of Cooperative STAD (Student Teams-Achievement Divisions).The essence is the learners work in heterogeneous groups that emphasize morecooperative process in their heterogeneous group either in their capability, sexes,races and so on, and evaluation can be done by individual or group assessment. Toknow the effectiveness of teaching cooperative STAD in teaching Civics Educationto the fifth grade of elementary school, as comparation, the Expository teachingstrategy is used, this strategy is very commonly used by teachers. The aim of thisresearch is to ditermine to test the influence of teaching strategy (cooperativeSTAD and expository), emotional intelligence and learning style toward learningresult of Civics Education (PKn). This toward research is quasi experimentalresearch using factorial design of nonequivalent control group design. The datathen processed by using inferencial statistic with analytic technique of factorialvarian (anava) 2 x 2 x 2. The calculation result of descriptive statistic indicatedthe aplication of teaching strategy of Cooperative STAD mean 65,32 gave betterinfluence on the learning result than the application of Expository teaching strategymean 56,79.

Keywords: instructional strategy, emotional intelligence, learning style and studentslearning achievement.

PendahuluanPerkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, utamanya

pada bidang teknologi komunikasi di abad belajar ini, mengakibatkan adanyaperubahan paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada pembelajarmenjadi pembelajaran yang berpusat pada pebelajar. Peran pembelajar sebagai sumberinformasi dan pengetahuan bergeser menjadi fasilitator, motivator dan evaluator. Butzin(2005) mengatakan pada abad ke-21 ini penghargaan terhadap keseragaman(uniformity) dan kesesuaian (conformity) dipandang tidak adil lagi bagi pebelajar.Pebelajar seharusnya dapat belajar dan bekerja dalam kelompok yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda, dapat belajar mandiri serta mampu mengelola waktudengan baik, mampu memecahkan masalah serta mampu mengakses informasi. Degeng(1997) secara lebih singkat mendifinisikan belajar sebagai upaya membelajarkanpebelajar. Dari definisi tersebut dalam pembelajaran terkandung tiga kegiatan yaknimemilih, menetapkan dan mengembangkan metode atau strategi untuk mencapai hasilpembelajaran yang diinginkan. Knirk & Gustafson (1986) menyebutkan ada tiga tahapandalam pembelajaran yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Degeng(2004) juga menyatakan belajar merupakan usaha pemberian makna oleh pebelajar padapengalamannya melalui asimilasi dan akomodasi yang menuju pada arah pembentukanstruktur kognitifnya. Setyosari (2009) menyatakan proses pendidikan saat ini cenderung

Page 167: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

160

semakin mengabaikan unsur-unsur mendidik, dan pendidikan seolah digantikan denganaktivitas yang bersifat latihan dan mengasah otak. Lebih lanjut Setyosari (2009) jugamengemukakan suasana pembelajaran yang ditandai oleh adanya kompetisi diantarapebelajar dan telah mengabaikan prinsip pembelajaran bermakna yang lebih bersifatfungsional dan kontekstual. Uno (2009) menyatakan strategi pembelajaran yangdilaksanakan selama ini masih bersifat massal yang memberikan layanan dan perlakuanyang sama. Padahal pebelajar memiliki karakteristik yang berbeda seperti dalam tingkatkecerdasan, minat, bakat dan kreativitasnya. Sasono (2000) menyatakan persoalan yangmembuat kita berfikir dan bekerja keras untuk menempatkan pendidikan dalam bingkaisituasi dan kondisi, baik dari sisi sosial kemasyarakatan, politik maupun kebudayaan.Selain itu pebelajar harus dilatih untuk mengembangkan olah pikir, olah hati, dan olahrasa. Angkasa (2010) dalam Kompas yang terbit Sabtu, 16 Oktober 2010 menyatakanpendidikan seharusnya mampu merangsang seseorang berpikir kritis dan mampumemilih alasan yang tepat dalam setiap aktivitasnya.

Holt dalam Silberman (2009) menyatakan belajar semakin baik jika pebelajardiminta untuk melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) mengungkapkan informasi denganbahasa mereka sendiri, 2) memberikan contoh-contoh, 3) mengenal dalam berbagaisamaran dan kondisi, 4) melihat hubungan antara satu fakta atau gagasan dengan yanglain, 5) menggunakannya dengan berbagai cara, 6) memperkirakan beberapakonsekuensi dan 7) mengungkapkan lawan atau kebalikannya. Menurut Degeng (2000)belajar itulah yang menjadi tujuan pembelajaran, sedangkan keaktifan pebelajar menjadiunsur yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan belajar, belajar lebih banyakditentukan karena adanya prakarsa belajar dari setiap individu.

Merujuk paparan di atas strategi pembelajaran kooperatif saat ini dipandangsangat sesuai untuk mengakomodasi kepentingan tersebut. Heinich, et al. (2002), Slavin(1995) menyatakan strategi pembelajaran kooperatif mengarahkan aktivitas kelasberpusat pada pebelajar dan memanfaatkan kecenderungan berinteraksi serta berdampakpositif terhadap pebelajar yang memiliki pemahaman rendah. Lie (2004) menyatakandalam pembelajaran kooperatif bukan sekedar kerja kelompoknya, melainkan padapenstrukturannya. Pembelajaran kooperatif disusun secara terstruktur sedemikian rupasehingga masing-masing anggota dalam satu kelompok dapat melaksanakan tugas dantanggung jawab pribadinya. Masih menurut Slavin (2009) pembelajaran kooperatifmempunyai tiga karakteristik yaitu: 1) pebelajar bekerja dalam tim-tim belajar kecil. 2)pebelajar didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifatakademik atau dalam melakukan tugas kelompok, dan 3) pebelajar diberi imbalan atauhadiah atas dasar prestasi. Sedangkan menurut Arends (1997) dalam pembelajarankooperatif ada beberapa tahapan yang harus dilaksanakan yaitu: 1) pemaparan tujuandan penataan lingkungan belajar, 2) pemaparan informasi kepada pebelajar dengan carademonstrasi atau teks, 3) mengorganisasikan pebelajar dalam kelompok belajar denganmenerangkan kepada pebelajar bagaimana membentuk kelompok belajar danmembantunya agar efisien, 4) pembelajar membantu kelompok dalam mengerjakantugasnya, 5) pembelajar menguji materi pembelajaran atau kelompok mempresentasikanhasil kerja kelompoknya, dan 7) memberikan penilaian.

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Sekolah Dasar merupakan matapelajaran yang bertujuan membentuk manusia Indonesia berakhlak mulia, bermartabat,menghargai nilai-nilai kemanusiaan, memiliki hubungan harmonis antar sesamamanusia, meningkatkan harkat dan martabat manusia, meningkatkan kepedulian dantanggung jawab sosial, berlaku sportif, anti kekerasan, jujur dan demokratis sertamenegakkan hukum dan keadilan, secara lebih tegas pembelajaran PKn di sekolah dasarmencakup dua aspek yakni aspek kognitif dan aspek yang bersifat praktis (Depdiknas(2006). Dalam upaya mewujudkan hasil pembelajaran yang optimal diperlukan

Page 168: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

161

kecakapan dan kemampuan pembelajar untuk merancang dan menciptakanpembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan memahami konsep dasar dankemampuan memecahkan masalah secara kontekstual (Suyanto, 2007). Trianto (2009)menyatakan masalah utama dalam pembelajaran formal dewasa ini adalah masihrendahnya daya serap peserta didik, di sisi lain secara empiris sejumlah temuanpenelitian mengenai rendahnya hasil belajar disebabkan dominannya prosespembelajaran konvensional. Arends (1997) menyatakan pembelajar dalam mengajarselalu menuntut pebelajar untuk belajar tetapi jarang memberikan pembelajaran tentangbagaimana pebelajar itu belajar, pembelajar juga menuntut pebelajar untukmenyelesaikan masalah tetapi jarang mengajarkan bagaimana pebelajar seharusnyamenyelesaikan masalah.

Selain strategi pembelajaran banyak variabel yang dapat mempengaruhiperolehan hasil belajar seperti halnya kecerdasan emosional dan gaya belajar. Song(2009) menyatakan selama dua dekade terakhir konstruk mengenai kecerdasanemosional telah mendapat banyak perhatian dari para ahli dan peneliti. Kecerdasanemosional (EQ) sebagai istilah sejak lama telah muncul dalam berbagai literature.Konsepsi kecerdasan emosional pada awalnya digagas oleh Salovey & Mayer (1990)kemudian dipopulerkan oleh Goleman dimana kecerdasan emosional terkait erat denganpengertian emosi. Salovey (1990) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagaikemampuan untuk melihat, menilai dan mengekspresikan emosi, perasaan, dalammemproses informasi. Jensen et al (2008) menyatakan kecerdasan emosionaldidefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan mengenali keadaan emosionaldiri sendiri dan orang lain.

Dari penjelasan di atas kecerdasan emosional dapat dimaknai sebagaikemampuan mental yang dapat membantu kita untuk mengendalikan dan memahamiperasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untukmengatur perasaan-perasaan tersebut. Juga Cooper & Sawaf (1998) menyatakankecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektifmenerapkan daya dan kepekaan emosi. Paparan di atas menunjukkan bahwa konsepsikecerdasan emosional mencakup: 1) kemampuan interpersonal dan intrapersonal yangberfungsi sebagai tali pengendali untuk penyeimbang perasaan, pikiran serta tindakan.2) kemampuan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secaratepat dan efektif sehingga memungkinkan dapat bekerja sama dengan orang lain secaralancar menuju tujuan bersama. Merujuk uraian di atas dalam konsep kecerdasanemosional terdapat 5 unsur yaitu: 1) kesadaran diri 2) pengaturan diri, 3) motivasi, 4)empati, dan 5) ketrampilan sosial. Jika ditinjau dari proses pembelajaran emosi bukantakdir, tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan anak. Ini berarti pebelajarmemiliki peluang untuk mengarahkan kebiasaan-kebiasaan emosional yang memegangperan penting dan menentukan dalam kehidupan kita (Goleman, 2003). Dalam kontekpembelajaran peran pembelajar menjadi sangat penting utamanya dalammengembangkan olah pikir, olah hati, dan olah rasa (Sasono, 2000) ataumengembangkan jati dirinya.

Di samping kecerdasan emosional seperti telah dipaparkan di atas, gaya belajaryang dimiliki oleh masing-masing pebelajar dapat mempengaruhi perolehan hasilbelajar. Rita dan Dunn seorang pelopor dalam gaya belajar telah menemukan banyakvariabel yang mempengaruhi cara belajar seseorang dan menyatakan gaya belajarsetiap orang merupakan kombinasi dari lima katagori yakni; faktor fisik, emosional,psikologis, sosiologis maupun lingkungan. Richardson (2010) menyatakan pengertianmengenai gaya belajar telah ditafsirkan dengan cara yang berbeda tetapi secaratradisional telah dianggap relatif stabil. Sebuah artikel melaporkan sekitar 127 faktoryang berbeda telah diidentifikasi oleh para peneliti mengenai gaya belajar, peneliti lain

Page 169: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

162

juga mengidentifikasi pebelajar dengan istilah yang berbeda (Gifted Education Hoagies,2006 dalam Pitts, 2009). Draysdale & Schuylts (2001) mendifinisikan gaya belajaradalah kemampuan yang dipilih seseorang untuk menggunakan kemampuannya. DePorter (2001) juga mendifinisikan gaya belajar sebagai kunci untuk mengembangkankinerja dalam pekerjaan di sekolah dan dalam situasi-situasi antar pribadi. Masih dalamDunn dan Griggs dalam Arthurs, (2007) menjelaskan gaya belajar cara berkonsentrasi,mengolah, internalisasi, dan mengingat informasi akademik yang baru dan sulit. Padakonsep yang lebih luas mencakup dimensi kognitif, afektif, psikomotor, dan fisiologis(Knowles dalam Arthurs, 2007).

Dari paparan di atas gaya belajar adalah cara yang dipakai dalam suatu kegiatanberfikir, memproses informasi atau merupakan kombinasi bagaimana sesorangmenyerap dan kemudian mengatur serta mengolah sebuah informasi (Gunawan, 2007,De Porter 2001). Semua pendekatan tersebut tentu memiliki kelebihan dan kekuranganmasing-masing. Merujuk pada paparan di atas pembelajar perlu memahami gaya belajarpebelajarnya agar dapat mengkomodasikan dalam proses pembelajaran. Pebelajar yangbelajar dengan menggunakan gaya belajarnya sendiri akan memperoleh hasil yanglebih baik bila dibandingkan dengan belajar yang tidak sesuai dengan gaya belajarnya.Banyak konsep mengenai gaya belajar seperti yang telah dipaparkan di atas, namundalam penelitian ini konsepsi gaya belajar yang dimaksudkan adalah gaya belajar visualdan auditif. Kajian secara mendalam terhadap penerapan strategi pembelajaran dalamkaitannya dengan peran kecerdasan emosional dan gaya belajar terhadap hasil belajarPKn hingga saat ini belum banyak dilakukan. Penetapan variabel hasil belajar kognitifsebagai variabel tergantung dalam penelitian ini berdasarkan pertimbangan pentingnyahasil belajar kognitif sebagai orientasi pembelajaran dalam memahami mata pelajaranPKn. Hal ini sejalan dengan visi, misi, dan tujuan yang diharapkan dimana pebelajarpertama-tama memiliki pengetahuan kewarganegaraan terutama pengetahuan di bidangpolitik, hukum, dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Depdiknas.2006). Pengetahuan dan keterampilannya akan membentuk suatu watak atau karakteryang mapan, sedangkan Khan (2010) menyatakan karakter adalah sikap pribadi yangstabil sebagai hasil proses konsolidasi secara progresif dan dinamis, integrasi antarapernyataan dan tindakan.

MetodeRancangan penelitian ini menggunakan disain nonequivalent control group

design secara faktorial 2 x 2 x 2 (Tuckman, 1999). Desain faktorial diartikan sebagaistruktur penelitian, dimana dua variabel bebas atau lebih saling dihadapkan untukmengetahui akibat-akibatnya secara mandiri dan interaktif terhadap variabel terikat(Kerlinger, 1990). Desain penelitian the non equevalent control group merupakandesain penelitian quasi karena penelitian ini dilaksanakan dalam kondisi kelas yangalamiah yaitu kelas sebagai intact group (Tuckman, 1999). Sebelum perlakuan yangberbeda diberikan pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol kemampuanawal kedua kelompok perlu diketahui terlebih dahulu. Teknik statistik yang digunakanuntuk mengendalikan kemampuan awal adalah menggunakan uji t. Sedangkankemampuan awal digali dengan menggunakan pre test. Perhitungan hasil pre testdengan menggunakan uji t (t test) menghasilkan t hitung = -0,460 dengan probabilitassebesar 0,646 (lebih besar dari 0,05).

Subyek penelitian ini adalah pebelajar kelas V Sekolah Dasar di KecamatanRendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Jumlah subyek secara keseluruhan adalan 176orang. Terdiri dari 6 kelas ditetapkan sebagai kelas eksperimen yakni kelas V SDNegeri 2 Rendang, Kelas V.A SD Negeri 2 Besakih dan kelas VA SD Negeri 3Pempatan, yaitu kelas yang belajar dengan menggunakan strategi pembelajaran

Page 170: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

163

kooperatif STAD. Kemudian tiga kelas lagi ditetapkan sebagai kelompok kontrol yaknikelas V SD Negeri I Rendang, Kelas V.B SD Negeri 2 Besakih dan kelas V.B SDNegeri 3 Pempatan ditetapkan sebagai kelompok kontrol yakni kelas yang belajardengan menggunakan strategi pembelajaran ekspositori. Sedangkan pemilihan danpenetapan subyek penelitian dilakukan dengan cara cluster.

Hasil PenelitianHasil perhitungan data pretest kelompok pebelajar yang mendapat perlakuan strategi

pembelajaran kooperatif STAD, jumlah pebelajar (N) 85, Rerata 39,62, standar deviasi14,015. Hasil prhitungan data pretest kelompok pebelajar yang mendapat perlakuan strategiekspositori adalah sebagai berikut: jumlah pebelajar (N) 76, rerata (Mean) 38,63, StandarDeviasi (SD) 13, 251. Hasil perhitungan data hasil pretest dengan menggunakan uji tmenunjukan bahwa t. Hitung = 0,460 dengan probabilitas 0,646 berarti > 0,05 dengan df =159, sehingga Ho diterima. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikanantara hasil pretest PKn antar kedua kelompok. Sedangkan data post test hasil belajar PKndengan menggunakan strategi kooperatif STAD menunjukkan skor tertinggi 84 danskor terendah 48, jumlah pebelajar (N) 85 orang, skor rata-rata (mean) 65,32, simpanganbaku (SD) sebesar 8,995, Kelompok dengan strategi pembelajaran ekpositori menunjukkanskor tertinggi 84 dan skor terendah 24, jumlah pebelajar (N) 76 orang, skor rata-rata (mean)56,79, simpangan baku (SD) sebesar 14,838. Uji homogenitas variansi sampel menggunakanuji Levene dengan tingkat signifikasi 0,05. Hasil perhitungan dengan bantuan komputerprogram SPSS release 20 memperlihatkan bahwa hasil hitung statistik Levene sebesar 9,851dengan df 1 adalah 7 dan df 2 adalah 153 diperoleh nilai signifikasi hitung 0,00. Denganmemperhatikan hasil pengujian kedua asumsi yaitu uji normalitas dan uji homogenitas,maka dapat disimpulkan pengujian analisis varians (anava) dapat dilakukan. Pengujianhipotesis menggunakan teknik analisis varians (ANAVA) tiga jalur pada taraf siginifikasi0,05 dengan bantuan computer program SPSS release 20.1. Pengujian Hipotesis Pertama, menunjukkan nilai F = 20,276 dengan probabilitas

sebesar 0,000. Taraf signifikan yang diperoleh dari hasil pengujian lebih kecil darikriteria signifikansi pada taraf signifikan 0,05 yang berarti bahwa Ho-1 ditolak.Hasil pengujian menunjukkan ada perbedaan hasil belajar PKn dengan menggunakanstrategi pembelajaran kooperatif STAD dan ekspositori pebelajar kelas V SD.

2. Pengujian Hipotesis KeduaHasil pengujian menunjukkan bahwa nilai F = 0,601 dengan probabilitas sebesar0,439. Taraf signifikan hasil pengujian lebih besar dari kriteria signifikansi pada tarafsignifikan 0,05 yang membuktikan bahwa Ho-2 diterima. Hasil pengujianmenunjukkan tidak ada perbedaan hasil belajar PKn antara kelompok pebelajar yangmemiliki kecerdasan emosional tinggi dan kecerdasan emosional rendah pebelajarkelas V Sekolah Dasar.

3. Pengujian Hipotesis KetigaHasil perhitungan menunjukkan hasil belajar PKn kelompok gaya belajar auditifrata-rata sebesar 62,16 sedangkan hasil belajar PKn kelompok gaya belajar visualrata-rata sebesar 60,76. Hasil pengujian menunjukkan nilai F= 0,666 denganprobabilitas 0,416. Taraf signifikan hasil pengujian lebih besar dari kriteriasignifikansi pada taraf signifikan 0,05 yang berarti bahwa Ho-3 diterima artinyatidak ada perbedaan hasil belajar PKn antara kelompok pebelajar yang memilikigaya belajar visual dan gaya belajar auditif pebelajar kelas V Sekolah Dasar.

4. Pengujian Hipotesis KeempatHasil perhitungan menunjukkan hasil belajar PKn menggunakan strategipembelajaran Kooperatif STAD dan kecerdasan emosional tinggi rata-rata sebesar

Page 171: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

164

66,81 sedangkan hasil belajar PKn menggunakan strategi pembelajaran KooperatifSTAD dengan kecerdasan emosional rendah rata-rata sebesar 64,17. Sedangkanhasil belajar PKn menggunakan strategi pembelajaran ekspositori dengankecerdasan emosional tinggi rata-rata sebesar 55,05, dan hasil belajar PKnmenggunakan strategi pembelajaran ekspositori dengan kecerdasan emosionalrendah rata-rata sebesar 58,94. Hasil pengujian menunjukkan nilai Fhitung = 3,339dengan probabilitas sebesar 0,070. Taraf signifikan yang diperoleh dari hasilpengujian lebih besar dari kriteria signifikansi 0,05 yang membuktikan bahwa Ho-4diterima. Hasil pengujian mengandung arti bahwa tidak ada pengaruh interaksi yangsignifikan antara strategi pembelajaran dan tingkat kecerdasan emosional terhadaphasil belajar PKn pebelajar kelas V Sekolah Dasar.

5. Pengujian Hipotesis KelimaHasil perhitungan menunjukkan hasil belajar PKn dengan strategi Kooperatif STADGaya belajar visual rata-rata sebesar 60, 76 sedangkan dengan gaya auditif rata-ratasebesar 56, 76. Sedangkan hasil belajar PKn dengan strategi ekspositori gayabelajar visual rata-rata sebesar 62, 16 sedangkan dengan gaya auditif rata-ratasebesar 57,60. Dengan demikian dapat dikatakan hasil belajar PKn kelompokpebelajar yang memiliki gaya belajar visual lebih rendah daripada hasil belajar PKnkelompok pebelajar yang memiliki gaya belajar auditif. Secara lebih rinci nilai hasilbelajar disajikan pada Tabel di bawah ini. Hasil pengujian menunjukkan nilai Fhitung

= 0,027 dengan probabilitas 0,870. Taraf signifikan yang diperoleh dari hasilpengujian lebih besar dari kriteria signifikansi pada taraf signifikan 0,05 yangmembuktikan bahwa Ho-5 diterima. Hasil pengujian mengandung arti bahwa tidakada pengaruh interaksi yang signifikan antara strategi pembelajaran (KooperatifSTAD dan Ekspositori) dan gaya belajar terhadap hasil belajar PKn pebelajar kelasV Sekolah Dasar.

6. Pengujian Hipotesis KeenamMerujuk tabel di atas menunjukkan hasil belajar PKn dengan kecerdasan emosionaltinggi dan gaya belajar visual rata-rata sebesar 61, 65. kecerdasan emosional tinggidan gaya belajar auditif rata –rata sebesar 56,57. Sedangkan hasil belajar PKndengan kecerdasan emosional rendah dan gaya belajar auditif rata-rata sebesar 65,21dan kecerdasan emosional rendah dan gaya belajar visual rata-rata sebesar 59,84.Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai Fhitung = 5,140 dengan probabilitas 0,025.Taraf signifikan yang diperoleh dari hasil pengujian lebih besar dari kriteriasignifikansi pada taraf signifikan 0,05 yang membuktikan bahwa Ho-6 ditolak. Hasilpengujian mengandung arti bahwa ada pengaruh interaksi yang signifikan antarakecerdasan emosional dan gaya belajar terhadap hasil belajar PKn pebelajar kelas VSekolah Dasar.

7. Pengujian Hipotesis KetujuhHasil pengujian menunjukkan nilai Fhitung = 1,233 dengan taraf signifikan sebesar0,269. Taraf signifikan yang diperoleh dari hasil pengujian lebih besar dari kriteriasignifikansi pada taraf 0,05 yang membuktikan bahwa Ho-7 diterima. Hasilpengujian mengandung arti bahwa, tidak ada pengaruh interaksi yang signifikanantara strategi pembelajaran, tingkat kecerdasan emosional dan gaya belajar terhadaphasil belajar PKn pebelajar kelas V Sekolah Dasar.

Pembahasan1. Pengaruh Strategi Pembelajaran terhadap Hasil Belajar PKn

Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan ada perbedaan hasil belajar PKnyang signifikan antara pebelajar yang belajar dengan strategi pembelajaran kooperatifSTAD dan strategi pembelajaran ekspositori. Data hasil belajar PKn dengan strategi

Page 172: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

165

kooperatif STAD skor rata-rata 65,32, dan strategi ekspositori skor rata-rata sebesar. 56,79.Hal ini berarti strategi kooperatif STAD terbukti mempunyai pengaruh yang lebih baikdibandingkan dengan strategi ekspositori. Temuan penelitian Zainuddin (2002) danMulyadi (2009) menunjukkan strategi pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasilbelajar. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi antara strategipembelajaran kooperatif STAD terhadap hasil belajar PKn. 1) strategi pembelajarankooperatif STAD memberikan kesempatan yang luas pada pebelajar dalam prosesbelajarnya, 2) kegiatan pembelajaran melibatkan partisipasi aktif dari pebelajar. Hal ini sesuaidengan pendapat Slavin (1995), Arends (2007) dan Nur (2008) yang menyatakan dalampenerapan strategi kooperatif STAD diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapatbekerjasama di dalam kelompok. Thomson et al. (1995) menyatakan pada strategipembelajaran kooperatif STAD pebelajar belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecildan saling membantu. Stone (1990) menyatakan dalam kerjasama pebelajar melakukaninteraksi untuk mencapai pemahaman bersama sedangkan Cooper (1990) menyatakanuntuk mencapai tujuan kelompok setiap anggota kelompok memiliki tanggung jawabyang sama untuk keberhasilan kelompoknya. (Artz & Newman, 1990 dan Trianto,2009). Lie (2004) menyebutkan unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif adanyapembagian kelompok yang heterogen, memperhatikan keanekaragaman seperti jeniskelamin, latar belakang agama, sosial-ekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis.Dengan demikian strategi pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai sistemkerja atau belajar berkelompok yang berterstruktur. Stahl (1994) menyatakan dalampembelajaran kooperatif menempatkan pebelajar sebagai bagian dari suatu sistimkelompok kerja sama dalam mencapai hasil belajar.

2. Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Hasil Belajar PKnHasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan hasil belajar PKn antara strategi pembelajaran dengan kecerdasan emosional.Hasil perhitungan menunjukkan hasil belajar PKn dengan kecerdasan emosional tinggirata-rata sebesar 60,56 sedangkan hasil belajar PKn dengan kecerdasan emosionalrendah rata-rata sebesar 62,00. Temuan penelitian ini nampaknya tidak sejalan dengantemuan penelitian sebelumnya, Sutanto (2007) melaporkan ada perbedaan pengaruhyang signifikan antara pebelajar yang memiliki tingkat kecerdasan emosional tinggidengan pebelajar yang memiliki tingkat kecerdasan emosional rendah terhadapkompetensi fisika. Parker et al. (2004) menunjukkan bahwa ada hubungan antarakecerdasan emosional (EQ) dan prestasi dalam berbagai konteks pendidikan dankecerdasan emosional (EQ) secara keseluruhan ditemukan menjadi prediktor yangbermakna terhadap keberhasilan akademik. Goleman, (2000) menyebutkanpengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi olehfaktor lain termasuk di dalamya EQ. Dengan kata lain IQ dapat dikatakan gagal dalammenerangkan atau berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang. Temuan dari studiMoenikia et al. (2009) menunjukkan bahwa ada pengaruh secara signifikan antara sikapmatematika, motivasi akademik dan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosionalsebagai predikator berkorelasi secara signifikan terhadap prestasi matematika.

3. Pengaruh Gaya Belajar Terhadap Hasil BelajarHasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan

hasil belajar PKn antara pebelajar yang memiliki gaya belajar visual dan auditif. Hasilbelajar PKn dengan gaya belajar auditif rata-rata sebesar 62,16 sedangkan hasil belajarPKn dengan gaya belajar visual rata-rata sebesar 60,76. Ini berarti antara kelompokpebelajar yang memiliki gaya belajar visual maupun auditif tidak menunjukan adanya

Page 173: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

166

perbedaan secara signifikan. Temuan penelitian ini ternyata tidak sesuai dengan temuanpenelitian sebelumnya. Penelitian Nasution (2006) menunjukkan gaya belajarmempengaruhi perolehan hasil belajar. Pebelajar yang memiliki gaya belajar auditorimemperoleh hasil belajar lebih baik dibandingkan dengan pebelajar yang memiliki gayabelajar visual. Kelompok pebelajar yang memiliki gaya belajar auditori memperoleh rata-ratalebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pebelajar yang memiliki gaya belajar visual,Nurlaela (2007) dan Sulistiyawati (2011) juga melaporkan terdapat pengaruh yangsignifikan gaya belajar terhadap hasil belajar pebelajar.

4. Pengaruh Interaksi antara Strategi Pembelajaran dan Kecerdasan Emosionalterhadap Hasil Belajar PKn

Hasil pengujian hipotesis keempat menunjukkan tidak ada pengaruh interaksiantara strategi pembelajaran dan kecerdasan emosional terhadap hasil belajar PKn. Temuanini memperkuat temuan pertama bahwa pengaruh variabel utama terhadap variabel terikatsangat kuat yaitu ada perbedaan yang signifikan hasil belajar PKn antara kelompokpebelajar yang belajar dengan strategi pembelajaran kooperatif STAD dan ekspositori.Hasil perhitungan menunjukkan bahwa hasil belajar PKn dengan menggunakan strategipembelajaran kooperatif STAD rata-rata sebesar 65,32, dan hasil belajar PKn denganmenggunakan strategi pembelajaran ekspositori rata-rata sebesar 56,79. Dengandemikian hasil belajar PKn dengan menggunakan dengan strategi pembelajaranKooperatif STAD lebih tinggi dari pada hasil belajar PKn dengan strategi pembelajaranekspositori. Hasil belajar PKn pada kelompok pebelajar yang memiliki kecerdasanemosional tinggi rata-rata sebesar 60,56 dan hasil belajar PKn pada kelompok pebelajaryang memiliki kecerdasan emosional rendah rata-rata sebesar 62,00. Ini berarti hasilbelajar PKn pada pebelajar yang memiliki kecerdasan emosional tinggi menunjukkantidak ada perbedaan dengan hasil belajar PKn pada pebelajar yang memilikikecerdasan emosional rendah.

Temuan penelitian ini nampaknya tidak sesuai dengan beberapa temuanpeneltian maupun kajian teoritik. Reigeluth (1983) menyatakan bahwa hasil belajar sangatditentukan oleh strategi pembelajaran yang diterapkan dan karakteristik pebelajar. Hasilbelajar pebelajar dipengaruhi oleh strategi pembelajaran yang diterapkan dankarakteristik pebelajar (Slavin, 1997; Moore, 2005; Lyle and Robinson, 2001; Degeng,2007). Lebih lanjut Reigeluth (1983) mengemukakan bahwa hasil pembelajaran merupakansemua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator nilai dari penerapan strategi pembelajaran dibawah kondisi yang berbeda. Hasil belajar yang dicapai dapat dipengaruhi oleh: (1) metodeatau strategi pembelajaran yang diterapkan, (2) kondisi pembelajaran dan (3) interaksi antarametode dan kondisi pembelajaran. Senada dengan pendapat tersebut, Lyle & Robinson(2001) menyatakan bahwa kondisi pembelajaran mempengaruhi keefektifan dan efisiensipenerapan strategi pembelajaran, artinya keefektifan dan efisiensi penerapan strategipembelajaran dipengaruhi oleh karakteristik pebelajar. Di samping itu landasan teoritikdan empirik bahwa strategi pembelajaran kooperatif STAD lebih unggul dibandingkandengan strategi pembelajaran ekspositori. Hal ini dapat disebabkan pertama, langkah-langkahstrategi pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan yang luas pada pebelajar. Selainpengaruh utama strategi pembelajaran terhadap hasil belajar, dalam penelitian ini jugaingin mengetahui pengaruh kecerdasan emosional terhadap hasil belajar. Dukunganteoritis maupun empirik mengenai kecerdasan emosional sebagaimana telah dipaparkandi atas.

Page 174: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

167

5. Pengaruh Interaksi antara Strategi Pembelajaran dan Gaya Belajar terhadapHasil Belajar

Pengujian hipotesis kelima menunjukkan tidak ada pengaruh interaksi antarastrategi pembelajaran dan gaya belajar terhadap hasil belajar PKn pada pebelajar kelasV Sekolah Dasar. Hasil perhitungan menunjukkan hasil belajar PKn dengan gayabelajar visual rata-rata sebesar 60, 76 sedangkan hasil belajar PKn dengan gaya auditifrata-rata sebesar 62,16. Dengan demikian hasil belajar PKn pada kelompok pebelajaryang memiliki gaya belajar visual lebih rendah dari kelompok pebelajar yang memilikigaya belajar auditif. Tidak adanya pengaruh intraksi antara strategi pembelajaran dangaya belajar terhadap hasil belajar dalam penelitian ini bertentangan dengan kajianteoritik maupun kajian empirik yang ada.

Kajian teoritik menunjukan bahwa konstruk gaya belajar memiliki kaitan eratdengan mekanisme umum dalam memproses informasi, sehingga gaya belajar iniberpengaruh pada aspek pemahaman dan ingatan atau retensi belajar. Silverman (1993)mengemukakan pebelajar yang memiliki gaya belajar visual memiliki kreativitasberfikir yang tinggi dan pebelajar lebih unggul dalam belajar induktif dan problemsolving. Kajian empirik mengenai pengaruh gaya belajar terhadap hasil belajar dilakukan olehNasution (2006) menyatakan gaya belajar mempengaruhi perolehan hasil belajar. Pebelajaryang memiliki gaya belajar auditori memperoleh hasil belajar lebih baik dibandingkandengan pebelajar yang memiliki gaya belajar visual. Kelompok pebelajar yang memilikigaya belajar auditori memperoleh rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompokpebelajar yang memiliki gaya belajar visual. Nurlaela (2007) dan Sulistiyawati (2011) jugamenyimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan gaya belajar terhadap hasil belajarpebelajar. Karena gaya belajar merupakan bagian dari karakteristik pebelajar, sehingga gayabelajar merupakan potensi yang sangat besar dalam meraih keberhasilan belajar. Realitas didilapangan menunjukkan hingga saat ini pembelajar belum banyak mengakomodasikanperbedaan-perbedaan karakteristik pebelajar dalam proses pembelajarannya.

6. Pengaruh Interaksi antara Kecerdasan Emosional dan Gaya Belajar terhadapHasil Belajar

Uji hipotesis keenam menunjukkan ada pengaruh interaksi yang signifikansecara besama-sama antara kecerdasan emosional dan gaya belajar terhadap hasilbelajar PKn pebelajar kelas V Sekolah Dasar. Secara teoritis strategi pembelajaran,kecerdasan emosional maupun gaya belajar memiliki peran yang penting dalam prosespembelajaran. Sebagai inovasi dalam pembelajaran penerapan strategi pembelajarankooperatif STAD mampu meningkatkan kemampuan pebelajar dalam memahami materipembelajaran. Hal ini didukung oleh temuan penelitian penelitian Zainuddin (2002) danMulyadi (2009) yang menunjukkan bahwa penerapan strategi pembelajaran kooperatifdapat meningkatkan hasil belajar. Ghaith (2002) dan Gillies (2004) menyebutkan adabeberapa faktor yang diduga menjadi penyebab perolehan hasil belajar dengan strategipembelajaran kooperatif STAD lebih unggul dibandingkan dengan strategi pembelajaranEkspositori. Pembelajaran yang dilakukan dengan memposisikan pebelajar sebagai subjekyang terlibat secara aktif dalam aktivitas berpikir dengan memunculkan pemahaman-pemahaman tentang diri dan lingkungannya, pebelajar banyak belajar dan bekerja dalamsebuah proses (Singler & Saam, 2007; Woolfolk & Nicolich, 1984). Berbeda denganstrategi pembelajaran ekspositori yang sifatnya hanya mentransfer informasi danpengetahuan dari pembelajar kepada pebelajar, pembelajar berperan lebih aktifsementara pebelajar bersifat pasif dan hanya menerima dan mengikuti apa yangdisajikan oleh pembelajar. Penelitian Parker et al (2004) yang menyatakan kecerdasanemosional (EQ) secara keseluruhan ditemukan menjadi prediktor yang bermaknaterhadap keberhasilan akademik. Temuan Moenikia et al (2009) juga melaporkan ada

Page 175: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

168

pengaruh yang signifikan antara sikap matematika, motivasi akademik dan kecerdasanemosional. Darek Dawda, Stephen D. Hart. (1999) mengajukan suatu model teoritisyang memfokuskan pada keterampilan emosional yang dapat dikembangkan melaluipembelajaran dan pengalaman, kemampuan, mengamati, menggunakan, pemahaman,dan mengelola emosi. Dengan demikian kecerdasan emosional (EQ) yang merupakansisi dari kecerdasan interpersonal dan intrapersonal yang dimiliki pebelajar dianggapberperan penting dalam menentukan tingkat kesuksesan hidupnya. Dilihat dari sisi gayabelajar, konstruk gaya belajar cara seseorang dalam memproses sebuah informasi,sehingga gaya belajar dapat berpengaruh pada aspek pemahaman dan ingatan atauretensi belajar. Silverman (1993), Nasution (2006) menyatakan gaya belajarmempengaruhi perolehan hasil belajar. Dilihat dari proses pembelajaran karakterisitikpebelajar perlu diakomodasikan artinya agar pembelajar dapat mengelola pembelajaran sesuaidengan tujuan pembelajaran dan karakteristik pebelajar. Karena gaya belajar merupakanbagian dari karakteristik pebelajar, sehingga gaya belajar merupakan potensi yang sangatbesar dalam meraih keberhasilan belajar.

7. Pengaruh Interaksi antara Strategi Pembelajaran, Kecerdasan Emosional danGaya Belajar terhadap Hasil Belajar.

Uji hipotesis ketujuh menunjukkan bahwa tidak ada interaksi secara bersama-sama antara strategi pembelajaran, kecerdasan emosional dan gaya belajar terhadaphasil belajar PKn. Kajian secara teoritik dan empirik menyatakan strategi pembelajarankooperatif STAD lebih unggul dibandingkan dengan strategi pembelajaran ekspositori. Halini disebabkan pertama, langkah-langkah strategi pembelajaran kooperatif memberikankesempatan yang luas pada pebelajar. Slavin (1995), Arends (2007) dan Nur (2008)menyatakan dalam penerapan strategi kooperatif STAD diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar pebelajar dapat bekerjasama di dalam kelompok, Selama kerjakelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan, sehingga masing-masinganggota kelompok memberikan kontribusi dalam pencapaiannya. Setiap anggota kelompokmemiliki tanggung jawab yang sama untuk keberhasilan kelompoknya. (Artz &Newman, 1990 dan Trianto, 2009). Dengan demikian strategi pembajaran kooperatifdapat didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar berkelompok yang berterstruktur.Stahl (1994) menyatakan dalam pembelajaran kooperatif menempatkan pebelajarsebagai bagian dari suatu sistim kelompok kerja sama dalam mencapai hasil belajar.

Temuan penelitian ini nampaknya tidak sesuai dengan temuan penelitiansebelumnya, Temuan penelitian Parker et al. (2004) melaporkan ada hubungan antarakecerdasan emosional (EQ) dan prestasi dalam berbagai konteks pendidikan dankecerdasan emosional (EQ) dan secara keseluruhan ditemukan menjadi prediktor yangbermakna terhadap keberhasilan akademik. Goleman, (2000) menyebutkanpengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80% dipengaruhi olehfaktor lain termasuk di dalamya EQ. Temuan dari studi Moenikia et al. (2009)menunjukkan ada pengaruh secara signifikan antara sikap matematika, motivasiakademik dan kecerdasan emosional. Bahkan kecerdasan emosional sebagai prediktorberkorelasi secara signifikan terhadap prestasi matematika.

Di samping variabel kecerdasan emosional penelitian ini juga ingin mengetahuipengaruh gaya belajar terhadap hasil belajar PKn, variabel ini diduga ikutmempengaruhi hasil belajar PKn. Secara teoritik De Porter & Hernacki (2001)menyatakan dalam mengenali gaya belajar adalah dengan mengenali modalitas belajar,Kaur, dkk. (2005) menyatakan bahwa gaya belajar diterima secara umum sebagai caraterbaik yang disukai pebelajar dalam belajar. Wahlen, dkk. (2007) menyatakan bahwagaya belajar adalah cara yang disukai dalam belajar. Gaya belajar telah dikaji secaraluas oleh ahli psikologi. Banyak dimensi gaya belajar telah dikemukakan tergantung

Page 176: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

169

pada aspek yang menjadi penekanannya. Namun secara teoritik Dunn meyakini bahwasetiap individu memiliki antara 6 sampai dengan 14 jenis gaya belajar yangmempengaruhinya.

Kajian empirik mengenai pengaruh gaya belajar terhadap hasil belajar dilakukan olehNasution (2006), Nurlaela (2007) dan Sulistiyawati (2011). Karena gaya belajar merupakankarakteristik pebelajar sehingga menjadi potensi yang sangat besar dalam meraihkeberhasilan belajar. Jika pembelajar mengenali gaya belajar pebelajarnya, makapembelajar dapat mengelola pada kondisi apa, dimana, kapan serta bagaimanapembelajar memaksimalkan pembelajarnya.

Simpulan1. Tidak ada perbedaan yang signifikan hasil belajar PKn antara kelompok pebelajar

yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dan kecerdasan emosional rendah padapebelajar kelas V Sekolah Dasar. Pebelajar yang memiliki kecerdasan emosionaltinggi hasil belajarnya lebih rendah dari kelompok pebelajar yang memilikikecerdasan emosional rendah.

2. Tidak ada perbedaan yang signifikan hasil belajar PKn antara kelompok pebelajaryang memiliki gaya belajar auditif dengan kelompok pebelajar yang memiliki gayabelajar visual pada pebelajar kelas V Sekolah Dasar. Hasil belajar PKn padakelompok pebelajar dengan gaya belajar auditif lebih baik dari kelompok gayabelajar visual.

3. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan kecerdasanemosional terhadap hasil belajar PKn pada pebelajar kelas V Sekolah Dasar.

4. Tidak ada pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan gaya belajar terhadaphasil belajar PKn pada pebelajar kelas V Sekolah Dasar.

5. Ada pengaruh interaksi antara kecerdasan emosional dan gaya belajar terhadap hasilbelajar PKn pada pebelajar kelas V Sekolah Dasar.

6. Tidak ada pengaruh interaksi yang signifikan antara strategi pembelajaran, tingkatkecerdasan emosional dan gaya belajar terhadap hasil belajar PKn pada pebelajarkelas V Sekolah Dasar.

Saran1. Bagi Pembelajar PKn di sekolah dasar disarankan dapat menerapkan strategi

pembelajaran pembelajaran kooperatif STAD, karena temuan penelitian ini terbuktidapat meningkatkan hasil belajar pebelajar PKn.

2. Dalam penerapan strategi pembelajaran kooperatif agar pembelajar berperan sebagai fasilitator,motivator dan evaluator dalam pembelajaran. Banyak strategi pembejaran yang sifatnya inovatiftelah dipahami oleh pembelajar namun dalam implementasinya diperlukan kesungguhan sertakomitmen yang kuat untuk mengembangkan pembelajaran secara lebih bermakna. sehinggapebelajar dan pembelajarnya tidak terpasung dalam sebuah rutinitas.

3. Dalam proses pembelajaran disarankan agar dapat mengenal mengidentifikasi karakteristikpebelajarnya, pembelajar diharapkan dapat mengakomodasikan ke dalam prosespembelajarannya. Selama ini dalam proses pembelajaran para pembelajar belum banyak yangmemberikan perhatian terhadap perbedaan karakteristik pebelajarnya, disebabkan olehterbatasnya pengetahuan yang dimiliki.

Page 177: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

170

Daftar Pustaka

Angela F.Y. Siu, 2009. Trait emotional intelligence and its relationships with problembehavior in Hong Kong adolescents, Department of Educational Psychology,The Chinese University of Hong Kong, Hong Kong. New Territories,

Angkasa (2010) dalam Kompas yang terbit Sabtu, 16 Oktober 2010.Arends, R. 1997. Clasroom Instruction and Management. New York: Mc.Graw Hill.

CompaniesArends, R. 2007. Learning to Teach 7 th Ed. New York: Mc.Graw Hill Companies.Arthurs, J.B, 2007. A juggling Act in The Classroom: Managing Different Learning

Styles. Journal Teaching and Learning in Nursing, Dallas, USA, Elsevier Inc.All rights reserved.

Artzt, A.F. & Newman, C.M. 1990. Cooperative Learning, Mathematics Teacher.Butzin, S. M. 2005. Joyful classroom in an age of accountability: The project child

recipe for success. Bloomington, Indiana: Phi Delta Kappa International.Cooper, R.K. & Ayman Sawaf. 1998. Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam

Kepemimpinan dan Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Darek, D, & Stephen D. H. 2000. Assessing emotional intelligence: reliability and

validity of the Bar-On Emotional Quotient Inventory (EQ-i) in universitystudents, Simon Fraser University, Department of Psychology, Canada, SimonFraser University, Burnaby, BC,.

De Porter, B. & Hernacki, M. 2010. Quantum Teaching: Mempraktekkan QuantumLearning di Ruang-Ruang Kelas. (terjemahan Ary Nilandari), Bandung: Kaifa.

Degeng, I.N.S. 1997. Media Pembelajaran: Makalah Pelatihan Staf, Guru danKaryawan Sekolah Ciprtra. Surabaya, April - Mei 1997.

Degeng, I.N.S. 2000. Paradigma baru pendidikan memasuki era demokratisasi belajar.Makalah disajikan dalam Seminar dan Diskusi Panel Nasional TeknologiPembelajaran V, Program Studi Teknologi Pembelajaran Program PascasarjanaUniversitas Negeri Malang Bekerja Sama dengan Ikatan Profesi TeknologiPendidikan Indonesia (IPTPI) Cabang Malang, Malang, 7 Oktober.

Degeng, I.N.S. 2004. Teori Pembelajaran I: Taksonomi Variabel. Malang:ProgramMagister Manajemen Pendidikan, Universitas Terbuka.

Depdiknas, 2006. Penyusunan dan Pengembangan Silabus KTSP untuk SD/MI. Jakarta:Depdiknas

Draysdale, MTB., Roos, J.L & Schuylts, R.A. 2001. Cognitif Academik performance in19 first year university course: Successfull student versus student at risk. Journalof Education for Studentplaced at Risk 6, 271-289.

Ghaith, G.M. (2002) The Relationship Between Cooperative Learning, Perception ofSocial Support, and Academic Achievement, Beirut, Lebanon, Elsevier ScienceLtd. All rights reserved.

Gillies R. M. (2004) The effects of Cooperative Learning on Junior High SchoolStudents During Small Group Learning, Journal Learning and Instruction,Elsevier Ltd. All rights reserved.

Goleman, D. 2009. Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. (Edisiterjemahan oleh Tri Kantjono Widodo). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gunawan, A.W. 2007. Genius Learning Strategy: Petunjuk Praktis untuk MenerapkanAccelerated Learning. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Jensen, A.R. M.D, . Wright, A S M.D, Lance, AR. 2008. The Emotional Intelligence ofSurgical Residents: A Descriptive Study. The American Journal of Surgery.Washington, DC, Association for Surgical Education.

Page 178: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

171

Kerlinger, F. N. 1990. Azas-Azas Penelitian Behavioral, Alih Bahasa: Landung RSimatupang dan J Koesoemanto, Yogyakarta, Gadjah Mada university Pres.

Knirk, F.G. & Gustafson. 1986. Instructional Technology, A Systematic Approach toEducation. New York: Hit Rinehart and Winston.

Lie, Anita. 2004. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.Meyer, C & Salovey, P. 2000. Emotional Intelligence Meet Traditional Standar for an

Intelligence, New Jersey: Prentice Hall.

Moenikia, M. &. Babelan A. Z. 2010. A Study of Simple and Multiple Relationsbetween Mathematics Attitude, Academic Motivation and Intelligence Quotientwith Mathematics Achievement, Journal Procedia Social and BehavioralSciences, Ardabil, IranPublished by Elsevier Ltd.

Mulyadi, E. 2009. Optimalisasi VCD Pembelajaran Fisika Melalui Model Kooperatifsebagai Upaya Peningkatan Kinerja dan Prestasi Siswa Kelas XI di SMK.Proceding seminar internasional ”Information and Communication Technology(ICT) in Education di UNY pada 13-14 Pebruari 2009.

Nasution. W.N 2006. Efektifitas Strategi Pembelajaran Kooperatif dan Ekspositoriterhadap hasil belajar sains ditinjau dari cara berfikir.

Nur, M. 2008. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika SekolahSurabaya, UNESA.

Nurlela, L. 2007. Pengaruh Model Pembelajaran Gaya Belajar dan Kemampuan Membacaterhadap Hasil Belajar Siswa SD di Kota Surabaya, Disertasi tidak diterbitkan:Malang, PPS, Universitas Negeri Malang.

Parker, J.D, . Creque, R E, Barnhart, D.L, Harris, J.I, Majeski, S.A, Wood, L.M,Barbara J. Bond, B. J. Hogan, M.J. 2004. Academic Achievement in HighSchool: does Emotional Intelligence Matter?, Journal Personality andIndividual Differences, Toronto, Ontario, Canada, Elsevier Ltd.

Pitts, J. 2009. Identifying and Using a Teacher-Friendly Learning-Styles Instrument,Spartanburg, SC. Heldref Publications.

Reigeluth, C.M. & Merril, M.D. 1983. Classes Instruction Variabels. EducationalTechnology, 19 (3): 5-24

Richardson , J.T.E. 2010 Approaches to studying, conceptions of learning and learningstyles in higher education, Institute of Educational Technology, The OpenUniversity, Milton Keynes MK7 6AA, United Kingdom.

Salovey, P., & Mayer, J. D. (1990). Emotional Intelligence. Imagination, Cognition andPersonality, 9, 185−211.

Sasono, A. 2000. Pendidikan Dan Teknologi Kerakyatan, Jakarta, Makalah disampaikanpada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia.

Setyosari, P. 2009. Pembelajaran Kolaborasi: Landasan untuk MengembangkanKeterampilan Sosial, Rasa Saling Manghargai dan Tanggung Jawab. PidatoPengukuhan Guru Besar. Malang: Universitas Negeri Malang.

Sigler, E.A. & Saam, J. (2007). Constructivist or Expository Instructional Approaches:Does Instruction have an Effect on the Accuracy of Judgment of Learning(JOL)?. Journal of the Scholarship of Teaching and Learning, Vol. 7, No. 2,October 2007, pp. 22–31. diakses dari WWW.Doaj.org. tanggal 28 Mei 2009.

Silberman, M. 2009. Active Learning, 101 Strategi Pembelajaran Aktif, Bandung. Nusa Media.Sims, R. R., and S. J. Sims. 1995. Learning Enhancement in Higher Education. In The

Importance of Learning Styles, Westport, CT: Greenwood.Siu, Angela F.Y. 2009. Trait Emotional Intelligence and its Relationships with Problem

Behavior in Hong Kong Adolescents, Department of Educational sychology, TheChinese University of Hong Kong, New Territories, Hong Kong.

Page 179: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

172

Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Boston:Allyn and Bacon Co.

Slavin, R.E. 2009. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Editor Zubaedi.Bandung: Nusa Media.

Song L J, Huang G, Peng KZ, Law KS, Wong CS, Chen Z. 2009. The DifferentialEffects of General Mental Ability and Emotional Intelligence on AcademicPerformance and Social Interactions, China, a School of Business, RenminUniversity of China, Elsevier Inc. All rights reserved.

Stone, J.M. 1990. Cooperative Learning and Language Arts, Riverside, California,Recources for Teacher, San Juan Capistrano.

Sulistyawati, R. S. 2011. Pembelajaran Biologi dengan menggunakan Media Animasi danvideo interaktif ditinjau dari kreativitas dan gaya belajar siswa, Thesis tidakditerbitkan. Surakarta, PPS Universitas Sebelas Maret.

Sutanto, A. 2007. Pengaruh pembelajaran kooperatif dan pembelajaran langsungterhadap kompetensi fisika ditinjau dari tingkat kecerdasan emosional siswa.Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta (tidakdipublikasikan)

Suyanto. 2007. Profesionalisme Guru Tuntutan Peningkatan Kualitas Pendidikan.Yogyakarta: Pidato Dies natalis UNY, 21 Mei 2007

Thomson, M.; Mc Laughlin, CW.; and Smith, RG. 1995. Merril Physical Science Teacher. NewYork: Glencou.

Trianto, 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif, Konsep, Landasandan Implementasi pada KTSP, Jakarta, Kencana Prenada media Group.

Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research. Fifth edition. Orlando: HarcourtBarce College Publisher.

Uno,B. H, & Kuadrat, M. 2009. Menglola Kecerdasan Dalam Pembelajaran, SebuahKonsep Pembelajaran Berbasis Kecerdasan, Jakarta, Bumi Aksara.

Woolfolk. A.E & Nicolich. L.M. 1984. Educational Psychology for Teaching. NewJersey : Prentice Hall.

Zainudin. 2002. Studi tentang Penerapan Belajar Kooperatif Model STAD dengan KonsentrasiGaya Kognitif Fl dan FD. Journal Teknologi Pembelajaran:Teori dan Penelitian.Tahun 10 Nomor 1.45-56.

Page 180: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

173

PENGEMBANGAN MODUL IPA KELAS VIII MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW

Nanik WidyastutiSMP Negeri 45 Surabaya

[email protected]

AbstrakLemahnya kemampuan memahami isi bahan ajar, merupakan kendalamendapatkan prestasi belajar (hasil belajar) yang memuaskan. Untuk itu diperlukanmodul pembelajaran IPA yang membantu siswa memahami bahan ajar yangefektif, efisien, dan menarik bagi siswa dengan model pembelajaran kooperatifJigsaw. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kelayakan modul IPA sebagaibahan ajar. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan mengacupada model pembelajaran Dick Carey (1990). Sasaran penelitian ini adalah modulIPA kelas VIII pada materi “Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari” dan“NAPZA”. Pengumpulan data dilakukan dengan metode angket dari ahli isi materi,ahli desain pembelajaran, dan rekan sejawat, serta mengimplementasikan modulyang dikembangkan pada proses pembelajaran di kelas. Data yang diperolehdianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwamodul pembelajaran IPA Kelas VIII dengan tema “Bahan Kimia Dalam KehidupanSehari-hari” dan “NAPZA” yang dikembangkan layak diaplikasikan .Hal inididukung dari 1) Aspek Kelayakan Isi Materi dari ahli isi materi dan rekan sejawatberkatagori “baik”, 2) Aspek Keruntutan Alur Pikir dari ahli isi materi dan rekansejawat berkatagori “baik”, 3) Aspek Teknik Penyajian dari ahli desain, dan rekansejawat berkatagori “baik”, 4) Aspek Kegrafikaan dari ahli desain berkatagori“baik”, 5) Aspek Kebahasaan dan Keterbacaan dari ahli materi, ahli desain, danrekan sejawat berkatagori “baik”. Data respon siswa dari aspek Format Penyajian86% merespon baik, aspek Uraian Isi Materi dan Latihan Soal 91% merespon baik,dan dari aspek Keterbacaan dan Kemenarikan 90% merespon baik.

Kata kunci: Pengembangan, Modul IPA, Bahan kimia sehari-hari, dan NAPZA

PendahuluanProses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara

keseluruhan. Oleh karena itu, perwujudan mengajar merupakan suatu proses yangmengandung serangkaian perbuatan pendidik dan peserta didik atas dasar hubungantimbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.Proses pembelajaran yang banyak melibatkan siswa aktif melakukan kegiatan adalahkerja kelompok dengan tanggung jawab individual.

Pembelajaran dengan Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yangmembantu pendidik mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunianyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yangdimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluargadan masyarakat. (Depdiknas, 2003).

Pendidikan IPA di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didikuntuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya, serta prospek pengembangan lebihlanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang didasarkan padametode ilmiah. Namun demikian, mereka tetap berharap agar pembelajaran IPA disekolah dapat disajikan secara menarik, efisien, dan efektif (Depdiknas, 2007).

Memahami isi bahan ajar merupakan salah satu kemampuan yang harus dimilikioleh peserta didik. Kemampuan ini sangat penting bagi pengembangan diri mereka, baikuntuk melanjutkan studi ke kelas yang lebih tinggi maupun untuk terjun ke masyarakat.

Page 181: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

174

Kesulitan memahani isi bahan ajar yang ada terjadi pada peserta didik SMP Negeri 45Surabaya.

Lemahnya kemampuan memahami isi bahan ajar, merupakan kendala untukmendapatkan prestasi belajar (hasil belajar) yang memuaskan, sehingga pengembanganmodul IPA sebagai bahan ajar yang tepat oleh pendidik harus diutamakan. Mengingatpentingnya arti, nilai, dan fungsi kemampuan memahami isi modul bagi peserta didikSMP maka modul sebagai bahan ajar yang akan dikembangkan penulis disajikandengan sebaik-baiknya. Dengan harapan jika isi modul sebagai bahan ajar yang ditatadan disampaikan dengan menarik maka akan dicapai perolehan hasil belajar yang lebihbaik.

Agar proses pembelajaran berlangsung secara aktif, inovatif, komunikatif,efektif, menyenangkan, efisien, dan menarik bagi siswa, penulis menyusun modul IPAdengan memilih model pembelajaran kooperatif -Jigsaw . Dalam proses pembelajaranJigsaw peserta didik belajar dalam kelompok, mendiskusikan materi pelajaran bersamaanggota kelompoknya. Selama proses pembelajaran akan terjadi interaksi sosial,keterbukaan, bebas mengeluarkan ide-ide, logis, berpikir ilmiah, meningkatkantanggung jawab individual dan kemandirian peserta didik serta penghargaan terhadaptim.

Adanya kesulitan memahami isi bahan ajar IPA yang tersedia dan belumtersedianya modul sebagai bahan ajar IPA yang sesuai dengan karakteristik pesertadidik di SMP Negeri 45 Surabaya, sehingga perlu adanya sumber belajar baru yangmendukung Pembelajaran IPA terpadu di SMP, maka diperlukan Pengembanganmodul IPA kelas VIII model pembelajaran Jigsaw yang dapat meng-efektifkan danefisien, serta mempunyai daya tarik bagi peserta didik.

Adapun tujuan pengembangan ini adalah untuk meningkatkan kemampuanpeserta didik memahami isi modul sebagai bahan ajar IPA, menciptakan kemandiriandan meningkatkan tanggung jawab peserta didik, meng-efektifkan dan efisienpembelajaran dalam hal kecepatan pemahaman, kreatifitas dan hasil belajar, sertamempunyai daya tarik, dan menciptakan interaksi sosial, keterbukaan, bebasmengeluarkan ide-ide, logis, berpikir ilmiah

Spesifikasi modul IPA kelas VIII dengan model pembelajaran Jigsaw isinyaadalah : Tujuan Pembelajaran, Indikator, Ringkasan materi, LKS, Tugas atau Latihan.

Metode PengembanganJenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yaitu mengembangkan

modul IPA kelas VIII dengan tema “Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari” dan“NAPZA”. Penelitian ini mengacu pada model pembelajaran Dick Carey (1990), tahapmengembangkan materi pengajaran .

Penilaian kelayakan modul IPA kelas VIII dengan tema “Bahan Kimia DalamKehidupan Sehari-hari” dan “NAPZA” dengan menggunakan instrumen penilaian dari :(1) ahli materi, (2) ahli desain/ rancangan pembelajaran, (3) rekan sejawat, dan (4)respon siswa.

Adapun teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisisdeskriptif kualitatif. Data yang diperoleh dihimpun dari hasil review dan uji cobaproduk. Hasil analisis ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk merevisi produkpengembangan.

HasilDalam bagian ini diuraikan secara garis besar tentang hasil analisis penilaian

berdasarkan validasi dari ahli materi, ahli desain pembelajaran, rekan sejawat, danrespon siswa SMP Negeri 45 Surabaya.

Page 182: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

175

Hasil Evaluasi Produk dari Ahli Materi dan Ahli DesainNO Aspek Kelayakan Isi Materi Baik/ Kurang1 Keluasan dan kedalaman materi Baik2 Materi sesuai dengan kompetensi siswa Baik3 Akurasi fakta Baik4 Akurasi konsep Baik5 Kesesuaian dengan perkembangan ilmu Baik6 Keterkinian/ketermasaan fitur (contoh) Baik7 Kutipan termassa (up to date) Baik8 Menyajikan contoh-contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari Baik

Aspek Keruntutan Alur Pikir9 Ketertautan antara bab dan subbab, antar subbab dalam bab, antar alinea Baik10 Ketertautan antarkalimat dalamsatu alinea Baik11 Keutuhan makna dalam bab,dalam subbab, dan makna dalam satu alinea Baik12 Mendorong berpikir kritis Baik

Aspek Kebahasaan -Keterbacaan13 Bahasa yang digunakan mudah dipahami (komunikatif) Kurang14 Kesesuaian ilustrasi dengan substansi pesan Baik15 Ketepatan struktur kalimat Baik16 Kebakuan istilah Baik17 Ketepatan tatabahasa Baik18 Ketepatan ejaan Baik19 Konsistensi penggunaan istilah Baik20 Konsep penting (catatan) Baik

Penilaian ahli materi pada pengembangan modul menunjukkan cukup baik. Masukandan saran dari ahli materi adalah Bahasa yang digunakan agar komunikatif, agar mudahmempelajari modul, maka diawali konsep dari bahan kimia yang ada dekat dengansekitar lingkungan siswa, setiap Kegiatan Belajar 1. 2. 3 dan seterusnya sebaiknyadiberikan ringkasan/ rangkuman materi.

Data Hasil Evaluasi Produk dari Ahli Desain

NO Aspek Teknik Penyajian Baik/ Kurang1 Konsistensi sistematika Baik2 Kelogisan penyajian Baik3 Keruntutan konsep Baik4 Kesesuaian/ketepatan ilustrasi Baik5 Penyajian tabel, gambar Baik6 Contoh-contoh dalam sub materi Kurang7 Keterjalinan komunikasi interaktif Baik8 Karakteristik pelajaran Baik9 Kemampuan memunculkan umpan balik untuk evaluasi diri Baik

Aspek Kegrafikaan1 Penampilan cover. Baik2 Menampilkan pusat pandang yang baik. Baik3 Komposisi dan ukuran unsur tata letak proposional, Baik4 Warna unsur tata letak memperjelas fungsi. Baik5 Ukuran huruf judul buku lebih dominan dan proporsional

dibandingkan (ukuranbuku, nama pengarang dan penerbit)Baik

6 Warna judul buku kontras dengan warna latar belakang Baik7 Ilustrasi isi mengungkap makna dari objek Baik8 Keseluruhan ilustrasi serasi Baik

Page 183: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

176

9 Goresan garis dan raster tegas dan jelas BaikAspek Kebahasaan

1 Kesesuaian ilustrasi dengan substansi pesan Baik2 Ketepatan struktur kalimat Baik3 Kebakuan istilah Baik4 Ketertautan antara bab dan subbab, antar subbab dalam bab, altaralinea d Baik5 Ketertautan antarkalimat dalam satu alinea Baik6 Ketepatan tatabahasa Baik7 Ketepatan ejaan Kurang8 Mendorong berpikir kritis Baik

Penilaian ahli desain pembelajaran pada pengembangan modul menunjukkancukup baik. Masukan dan saran dari ahli desain pembelajaran adalah diusahakancontoh yang kontekstual sesuai dengan kondisi lingkungan, diperhatikan cara penulisansesuai EYD, dan secara umum, penulisan bahan ajar penulis dapat digunakan untukmengumpulkan data penelitian

Data Hasil Evaluasi Produk dari Rekan SejawatNO Aspek Kelayakan Isi Materi Baik/ Kurang

1 Keluasan dan kedalaman materi Baik2 Materi dengan kompetensi peserta didik Baik3 Akurasi fakta Baik4 Akurasi konsep Baik5 Kesesuaian dengan perkembangan ilmu Baik6 Keterkinian/ketermasaan fitur (contoh) Kurang7 Kutipan termassa (up to date) Baik8 Menyajikan contoh-contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari Baik

Keruntutan Alur Pikir1 Ketertautan antara bab dan subbab, antar subbab dalam bab, antar alinea Baik2 Ketertautan antarkalimat dalamsatu alinea Baik3 Keutuhan makna dalam bab,dalam subbab, dan makna dalam satu alinea Baik4 Mendorong berpikir kritis Kurang

Aspek Teknik Penyajian1 Konsistensi sistematika sajian dalam bab Baik2 Kelogisan penyajian Baik3 Keruntutan konsep Baik4 Keseimbangan substansi antar bab dan antar subbab dalam bab Baik5 Kesesuaian/ketepatan ilustrasi dengan materi bab Kurang6 Penyajian tabel, gambar, dan lampiran harus disertai dengan rujukan Kurang

Aspek Kebahasaan- Keterbacaan1 Bahasa yang digunakan mudah dipahami (komunikatif) Baik2 Kesesuaian ilustrasi dengan substansi pesan Baik3 Ketepatan struktur kalimat Baik4 Kebakuan istilah Baik5 Ketepatan tatabahasa Baik6 Ketepatan ejaan Baik7 Konsistensi penggunaan istilah Baik8 Konsep penting (catatan) Baik

Penilaian rekan sejawat pada pengembangan modul menunjukkan cukup baik.Masukan dan saran dari antara lain, sebaiknya diberikan contoh gambar orang-orangyang terkena/ akibat NAPZA, latihan kurang bervariasi, setiap kegiatan belajarsebaiknya waktu terjadwal, gambar cara nyabu dapat ditiru siswa.Masukan dan Saran secara umum tentang isi modul ini :

Page 184: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

177

Sebaiknya merk dari produk disamarkan. Lembar Kegiatan Siswa jangan dibatasi, diberi tempat untuk mengerjakan. LKS sebaiknya terpisah Diberi tugas tambahan membuat slogan mencari informasi di internet. Secara garis besar modul IPA SMP Kelas VIII sudah sangat baik

Data Hasil Evaluasi Produk dari Repon SiswaNO Aspek Format Penyajian Respon Siswa1 Penempatan indikator keberhasilan dalam modul 146 Baik2 Penempatan petunjuk pemakaian modul 128 Baik3 Penempatan soal latihan dalam modul 128 Baik4 Bentuk dan ukuran huruf dalam modul 134 Baik5 Warna yang digunakan pada modul 116 Baik6 Pemahaman bahasa yang digunakan dalam modul 140 Baik7 Indikator keberhasilan modul ini mudah dipahami 128 Baik

Rata-rata 131 Baik

Aspek Uraian Isi Materi - Latihan Soal1 Uraian isi modul ini sesuai dengan indikator 140 Baik2 Kejelasan uraian isi materi dari modul 140 Baik3 Pemahaman terhadap uraian isi yang disajikan pada tiap-tiap

bahan kajiaan dalam modul140 Baik

4 Soal latihan sesuai indikator keberhasilan siswa 134 Baik5 Kesesuaian soal latihan dengan materi atau uraian isi pada tiap-

tiap bahan kajian dalam modul ini140 Baik

Rata-rata 139 Baik

Aspek Keterbacaan - Kemenarikan1 Pemahaman kamu terhadap materi yang disajikan pada tiap-tiap

bahan kajian dalam modul134 Baik

2 pemahaman kamu terhadap mata pelajaran IPA apabila kamumenggunakan modul

134 Baik

3 Kemenarikan modul ini 146 BaikRata-rata 138 Baik

Data hasil evaluasi produk oleh peserta didik, dari Aspek Format Penyajiansebanyak 131 peserta didik (86%) merespon baik, dari Aspek Uraian Isi Materi danLatihan Soal sebanyak 139 peserta didik (91%) merespon baik, dan dari AspekKeterbacaan dan Kemenarikan sebanyak 138 peserta didik (90%) merespon baik.

PEMBAHASANAnalisa Data Hasil Evaluasi / Produk PengembanganAspek Kelayakan Isi Materi.

Dari data Hasil Evaluasi Produk Aspek Kelayakan Isi Materi dari ahli materidan rekan sejawat bahwa isi materi sudah baik dan layak, hanya perlu ditambahkancontoh - contoh yang up to date (bahan kimia yang ada dekat dengan sekitarlingkungan siswa). Setiap kegiatan belajar perlu ditambahkan ringkasan atau rangkumanmateri, dan diberikan contoh gambar orang yang menggunakan NAPZA. Dengandiberikan contoh bahan kimia yang dekat dengan peserta didik, dapat meng-efektifkandan efisien, serta mempunyai daya tarik bagi peserta didik untuk memahami modulsebagai bahan ajar IPA.

Page 185: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

178

Aspek Keruntutan Alur PikirData Hasil Evaluasi Produk Aspek Keruntutan Alur Pikir dari ahli materi dan

rekan sejawat bahwa keruntutan alur pikir sudah baik , hanya perlu ditambahkanlatihan yang bervariasi sehingga dapat mendorong peserta didik mengeluarkan ide-ide,berpikir kritis, logis, berpikir ilmiah sehingga meningkatkan tanggung jawab individualdan kemandiriannya. Modul merupakan bahan ajar yang disusun secara sistematis danmenarik yang mencakup isi materi, metoda, dan evaluasi yang dapat digunakan secaramandiri. Antar bab, antar unit dan antar paragraph dengan susunan dan alur yang mudahdipahami peserta didik.

Aspek Teknik PenyajianData Hasil Evaluasi Produk Aspek Teknik Penyajian dari ahli desain, dan rekan

sejawat bahwa teknik penyajian sudah baik, hanya perlu diperhatikan contoh yangdiberikan sesuai dengan kondisi lingkungan dan setiap kegiatan belajar sebaiknyawaktunya terjadwal, siswa diberi tugas membuat slogan tentang narkoba dan efeksampingnya dari internet. Modul dapat digunakan secara mandiri, belajar sesuai dengankecepatan masing-masing individu secara efektif dan efesien. Karakteristik modul standalone artinya modul dikembangkan tidak tergantung pada media lain.

Aspek KegrafikaanData Hasil Evaluasi Produk Aspek Kegrafikaan dari ahli desain bahwa aspek

kegrafikaan sudah baik dan penulisan bahan ajar ini sudah dapat digunakan untukmengumpulkan data penelitian. Modul akan mempunyai daya tarik peserta didik bilakombinasi warna, gambar (ilustrasi), bentuk dan ukuran huruf yang serasi, gambar atauilustrasi, pencetakan huruf tebal, miring, garis bawah atau warna, bentuk dan ukuranhuruf yang mudah dibaca, perbandingan huruf proposional.

Aspek Kebahasaan dan KeterbacaanData Hasil Evaluasi Produk Aspek Kebahasaan dan Keterbacaan dari ahli

materi, ahli desain, dan rekan sejawat bahwa aspek kebahasaan dan keterbacaan sudahbaik, hanya perlu diperhatikan cara penulisan sesuai EYD. Modul disusun untukmemperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal,bahasa yang digunakan sederhana lugas komunikatif, sehingga memungkinkan pesertadidik belajar mandiri sesuai kemampuan dan minatnya, dapat meningkatkan motivasidan gairah belajar bagi peserta didik, serta dapat mengembangkan kemampuan pesertadidik dalam berinteraksi langsung dengan lingkungan.

Analisa Data Hasil Uji Coba LapanganUji coba lapangan dalam pengembangan produk modul IPA adalah peserta

didik kelas VIII-B dan VIII-E SMP Negeri 45 Surabaya dan kelas VIII-B dan VIII-CSMP Negeri 25 Surabaya yang masing-masing kelas terdiri dari 38 peserta didiksehingga diperoleh data 152 respon siswa. Pemilihan subyek dilakukan secara acakdengan memperhatikan perbedaan kemampuan siswa (kemampuan baik dan kurang).Tujuan uji coba lapangan adalah untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakansebagai bahan untuk memperbaiki produk dalam revisi berikutnya. Informasi yangdiperoleh dari uji coba lapangan berupa respon siswa terhadap modul akan digunakanpenulis untuk mengembangkan modul pada tahap berikutnya.

Data hasil evaluasi produk oleh peserta didik, dari Aspek Format Penyajiansebanyak 131 peserta didik (86%) merespon baik, dari Aspek Uraian Isi Materi dan

Page 186: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

179

Latihan Soal sebanyak 139 peserta didik (91%) merespon baik, dan dari AspekKeterbacaan dan Kemenarikan sebanyak 138 peserta didik (90%) merespon baik.

Berdasarkan angket respon siswa diperoleh data bahwa soal kurang menyeluruhdengan modul yang dijelaskan, soal dan latihan perlu ditambah, warna kurang menarikdan terlalu mencolok, tulisan sebaiknya lebih berwarna dan bervariasi. Modul yangdikembangkan antara lain, bahasanya lebih mudah dimengerti dan dipahami, modulsangat menarik, sehingga peserta didik tertarik untuk membacanya, selain itu jugamembantu peserta didik dalam mempelajari mata pelajaran IPA.

Secara umum, respon peserta didik terhadap modul yang dikembangkan penulismendapat kategori baik pada Aspek Format Penyajian ( ke-efektifan), Aspek Uraian IsiMateri dan Latihan Soal (Ke-efisienan), dan Aspek Keterbacaan dan Kemenarikan(daya tarik) . Hal ini menunjukkan bahwa modul IPA Kelas VIII dengan tema “BahanKimia Dalam Kehidupan Sehari-hari” dan “NAPZA” dapat meng-efektifkan danefisien, serta mempunyai daya tarik peserta didik.

Revisi ProdukRevisi produk dilakukan berdasarkan saran dan masukan dari ahli materi, ahli

desain pembelajaran, rekan sejawat dan temuan dari respon peserta didik terhadap hasilproduk selama pembelajaran dengan menggunakan modul.Tahapan revisinya sebagai berikut :

Revisi tahap pertama dilakukan setelah produk awal divalidasi oleh ahli materi.Hasil validasi yang berupa penilaian, saran, dan kritik dijadikan dasar sebagai pedomandalam merevisi produk awal. Revisi pada tahap pertama, antara lain : Pemberiancontoh-contoh bahan kimia sehari-hari yang ada dekat dengan sekitar lingkungan siswa,Penambah ringkasan/ rangkuman materi pada setiap Kegiatan Belajar 1. 2. 3 danseterusnya, Perbaikan kalimat yang digunakan agar bahasanya lebih mudah dipahamipeserta didik.

Revisi tahap kedua dilakukan setelah produk hasil revisi tahap pertamadivalidasi oleh ahli desain pembelajaran. Hasil validasi berupa penilaian, saran, dankritik dijadikan dasar sebagai pedoman dalam merevisi produk tahap kedua. Revisitahap kedua, antara lain : Perbaikan cara penulisan yang sesuai EYD,penyempurnaan contoh-contoh bahan kimia sehari-hari yang sering digunakan dirumah.

Revisi tahap ketiga dilakukan setelah produk hasil revisi tahap kedua divalidasioleh rekan sejawat. Hasil validasi berupa penilaian, saran, dan kritik dijadikan dasarsebagai pedoman dalam merevisi produk tahap ketiga. Revisi tahap ketiga, perbaikandilakukan antara lain : Lembar Kegiatan Siswa diberi tempat untuk mengerjakan,Pemberian tugas tambahan membuat slogan atau mendata/ mencari informasi tentangNapza di internet.

Revisi tahap keempat merupakan revisi terhadap produk yang digunakan padauji coba lapangan. Revisi ini berdasarkan hasil kegiatan pembelajaran menggunakanmodul hasil pengembangan. Revisi tahap keempat, antara lain :penambahan soal-soal evaluasi, perlu mempermudah bahasa yang digunakan, perbaikanpada kegiatan pembelajaran.

Karakteristik pengembangan modul pembelajaran IPA kelas VIII dengan tema“Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari” dan “NAPZA” mempunyai beberapakelebihan dan kelemahan.

Kelebihan atau kekuatan modul, antara lain : Modul pengembangan disusundengan menggunakan kaidah-kaidah penulisan modul pembelajaran yang didalamnyaterdapat umpan balik, memungkinkan peserta didik belajar mandiri sesuai kemampuandan minatnya, dan peserta didik dapat mengukur atau mengevaluasi sendiri hasil

Page 187: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

180

belajarnya. Hal inilah yang dapat meng-efektifkan dan efisien, serta mempunyai dayatarik bagi peserta didik. Produk pengembangan ini telah memperoleh tanggapan,penilaian dan dukungan dari ahli isi materi, ahli desain pembelajaran, rekan sejawat danrespon dari peserta didik layak digunakan dalam pembelajaran IPA.

Kelemahan atau keterbasan modul, antara lain : Modul hanya memuat temayang dikaji dari dua kajian bidang IPA yaitu kimia dan biologi, belum sampai padakajian fisika. Modul pembelajaran ini digunakan oleh sekolah tempat penulis mengajarsebagai variasi belajar dalam pembelajaran IPA.

SIMPULANBerdasarkan hasil penelitian pengembangan dan analisa data yang terkait

dengan permasalahan yang dihadapi penulis, maka diperoleh kesimpulan : Materi modul pembelajaran IPA Kelas VIII dengan tema “Bahan Kimia Dalam

Kehidupan Sehari-hari” dan “NAPZA” merupakan perpaduan antara materikimia dan biologi.

Modul pengembagan ini membantu peserta didik mengatasi kesulitan dalammemahami materi pelajaran IPA, sehingga mendukung kegiatan belajarmengajar IPA.

Modul pengembangan ini merupakan sumber belajar yang mempunyai ke-efektifan, ke-efesienan dan daya tarik bagi peserta didik dalam mengikuti prosespembelajaran IPA.

SARANBerdasarkan hasil penelitian pengembangan dan analisa data yang terkait dengan

permasalahan, penulis menyarankan : Modul IPA Kelas VIII dengan tema “Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-

hari” dan “NAPZA” produk hasil penelitian pengembangan diharapkan dapatdigunakan guru IPA di SMP/ MTs sebagai variasi dalam pembelajaran.

Selain untuk pembelajaran klasikal di kelas produk hasil penelitianpengembangan diharapkan dapat juga digunakan untuk program remedialmaupun pengayaan.

Produk pengembangan ini diharapkan dapat digunakan sebagai peganganpendidik dan peserta didik dalam pembelajaran IPA sesuai dengan StandarKompetensi dan Kompetensi Dasarnya.

Dalam proses belajar mengajar sebaiknya pendidik mempertimbangkanpemberian materi pelajaran dengan mengenalkan peserta didik berbagai macamstrategi, salah satunya strategi pembelajaran Model Pembelajaran Kooperatif –Jigsaw.

Kepada sekolah diharapkan hasil penelitian pengembangan ini dapat digunakansebagai salah satu referensi untuk digunakan dalam proses belajar mengajar disekolah.

Bagi setiap pengelola lembaga pendidikan, khususnya sekolah hendaknya selalumemberi kesempatan pada pendidik untuk dapat mengaktualisasikan diri dalampembuatan modul sebagai alternative metode dan strategi pembelajaran yangdigunakan.

Modul IPA Kelas VIII dengan tema “Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari” dan “NAPZA” mempunyai daya tarik sehingga dapat meningkatkanmotivasi dan gairah belajar bagi peserta didik. Oleh karena itu perlu dilanjutkanpenerapannya di sekolah ini dan untuk mata pelajaran lainnya.

Page 188: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

181

Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan mampu mengembangkan pembelajarankooperatif sehingga menambah ketertarikan siswa dalam belajar mata pelajaranIPA.

Bagi dunia pendidikan, setiap produk pengembangan hendaknya dijadikan studiaktual yang terus menerus untuk dapat diaplikasikan, sehingga prosespembelajaran yang terjadi selalu dinamis, inovatif dan berkelanjutan.

DAFTAR RUJUKAN

Alit Mariana, I M., Wandy Praginda ( 2009), Hakikat IPA dan Pendidikan IPA.Bandung : PPPPTK IPA.

Arikunto, Suharsini (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PTRineka Cipta.

BSNP. (2006). Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran: MataPelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Depdiknas.

Degeng, SN (2008), Pengembangan Modul Pembelajaran, Draf Program PascasarjanaTeknologi Pembelajaran UNIPA.

Depdiknas. (2003), Undang-Undang Sisdiknas (UU RI No.20. Tahun 2003). Jakarta:Sinar Grafika

Depdiknas (2007), Model Pembelajaran IPA Terpadu. Jakarta : Depdiknas DirjenDikdasmen.

Depaertemen Pendidikan Nasional. 1989. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka.

Djamarah, Syaiful Bahri (2006), Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.Harsanto, Radno (2007), Pengelolaan Kelas Yang Dinamis: Paradigma Baru

Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa. Yogyakarta : KanisiusIbrahim, M., Racmadiarti, F., Nur, M., dan Ismono (2000), Pembelajaran Kooperatif.

Surabaya: University Press.Indrawati, (2008), Hakikat IPA dan Pendidikan IPA, Modul diklat. Bandung :

PPPPTK IPAIsjoni (2007), Cooperative Learning : Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung :

AlfabetaMuhibbinsyah (2003), Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung :

Remaja RosdakaryaMulyasa. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan

Konstektual.Jakarta : Bumi AksaraMustaji, (2009), Desain Pembelajaran, Surabaya, Unesa University Prss.Munandir (1987), Rancangan system Pengajaran, Jakarta, Depdiknas Dirjen

Dikdasmen.Nasution, S (2007), Metode Research, Jakarta, Bumi AksaraNur, M (1996), Teori Pembelajaran IPA dan Hakekat Pendekatan Ketrampilan Proses,

Jakarta, Depdiknas.Riyanto ,Yatim. 2008. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada

Media Group.Sanjaya, Wina (2008), Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta : Kencana.

Page 189: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

182

Slavin, Robert E (2008), Cooperative Learning : Teori, Riset, Dan Pratik. Bandung :Nusa Media

Sudjana, Nana (2008), Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : RemajaRosdakarya

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:Penerbit Alfabeta.

Suhardjono dan Rufi’i (2006), Metodologi Penelitian. Surabaya : Program PascasarjanaUNIPA.

Trianto (2008), Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teachin andLearning) di kelas. Jakata : Cerdas Pustaka Publisher.

Wiryokusumo, Iskandar (2008), Penyusunan Tesis TEP ( Dalam Pendekatan Praktik).Surabaya : Program Pascasarjana UNIPA.

Yamin, Marinis, Ansari, Bansu I (2008), Taktik Mengembangkan KemampuanIndividual Siswa. Jakata ; Gaung Pesada Press.

Page 190: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

183

INFRASTRUCTURE DESIGN OF MODEL-BASED INFORMATION ANDCOMMUNICATION TECHNOLOGY IN HIGHER EDUCATION

KNOWLEDGE MANAGEMENT TO IMPROVE KNOWLEDGE SHARING

Nizar Alam HamdaniSTKIP Garut

[email protected]

AbstractICT is one of the keys to successful implementation of knowledge management,and has a very important role that the media in knowledge sharing. The problem atthe moment in various higher education do not have adequate ICT infrastructure tosupport knowledge management. Purpose of this research is to develop acomprehensive model of ICT infrastructure as a medium in knowledge sharing inhigher education. This study uses a qualitative naturalistic approach, through thestudy of documentation, observation, interviews and literature study. Samples wereselected by purposive sampling, and the researchers themselves as instruments .Based on research can build a model infrastructure ICT in KnowledgeManagement to improve knowledge sharing in higher education. Based on thefindings in the field can be concluded that the necessary support of informationtechnology, information systems and management systems to support thesuccessful development of ICT-based Knowledge Management in higherEducation.

Keywords: Knowledge Management, Knowledge Transfer/Sharing, ICT

PendahuluanDalam knowledge economy faktor produksi adalah pengetahuan (Quinn, 1992,

Drucker ; 1993 ; Burton 2000) mengemukakan “the primary factor of production in thenew economy is knowledge”. Era pengetahuan mempunyai beberapa karakteristik,menurut Tjakraatmadja dan Lantu (2006 : 2) mengemukakan minimal ada tiga ciri yangdapat digunakan untuk menggambarkan karakteristik tatanan kehidupan di erapengetahuan yaitu ; 1) informasi/pengetahuan mudah diperoleh dan sekaliguskadaluarsa dengan cepat, 2) permasalahan sehari-hari semakin kompleks, 3) polaperubahan dalam bidang politik. Selanjutnya Covey (Tobing 2007 : 4) mendeskripsikanciri-ciri knowledge economy yaitu ; 1) globalisasi pasar dan teknologi, 2) demokrasidari informasi, 3) konektifitas universal 4) peningkatan intensitas kompetisi, 5)pergeseran penciptaan kekayaan dari uang ke manusia, 6) munculnya knowledge workermarket.

Memasuki era global yang ditandai menguatnya ekonomi neoliberal, keunggulanilmu pengetahuan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan kemajuansuatu bangsa. Dinamika perkembangan ekonomi yang digerakkan ilmu pengetahuan itusecara teknis disebut knowledge-driven economic growth. Konsep ini menempatkanlembaga pendidikan tinggi pada posisi amat penting dan strategis sebab dapat ; 1)melahirkan tenaga-tenaga kerja terlatih, kompetitif, dan adaptif seperti profesional,pakar, teknisi, dan manajer, 2) melahirkan ilmu pengetahuan baru dan menciptakaninovasi teknologi, dan 3) meningkatkan kemampuan mengakses perkembangan ilmupengetahuan pada level global dan mengadaptasinya menurut konteks lokal (BankDunia, 2002).

Beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh institusi pendidikan di dalamperubahan waktu setelah era revolusi industri adalah (Duderstadt, 2000:11) adalah ; 1)kebutuhan akan pengetahuan sebagai pendorong utama dalam pencapaian kemakmuranmasyarakat, keamanan negara dan kehidupan sosial yang baik, 2) meningkatnya

Page 191: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

184

hubungan saling ketergantungan antar bangsa, 3) demografi tiap negara yang makinberagam segmentasinya, 4) penentuan prioritas negara yang berbeda-beda seiringdengan pergerakan politik negara-negara yang berpengaruh, 5) Kebutuhan untukmenentukan masa depan yang baik “memaksa” tiap masyarakat untuk menembus bataskemampuannya sebagai mahluk sosial.

Teknologi informasi adalah salah satu kunci keberhasilan implementasiknowledge management dan memiliki peranan yang tidak terbantahkan (Wong, 2005:95). Peranan IT berkembang semakin pesat, dimana pada awalnya hanya berfungsisebagai penyimpanan data yang bersifat statik, kini beralih menjadi connector aliraninformasi antar manusia. IT memungkinkan proses pencarian, pengaksesan danpemanggilan informasi dapat dilakukan secara cepat, disamping itu IT dapatmendukung kolaborasi dan komunikasi antar anggota organisasi. Sehingga ITmemainkan peran penting dalam mendukung proses knowledge management (Alavi danleidner, 2001; Lee dan Hong, 2002). Namun perlu disadari bahwa IT hanyalah suatu alatdan bukan merupakan solusi akhir (Wong dan Aspinwall, 2003). Dukungan IT terhadapproses KM dapat dikembangkan secara luas, sehingga dapat diaplikasikan dandiintegrasikan ke dalam suatu platform teknologi organisasi (Wong, 2005 : 97).

Knowledge Sharing atau berbagi pengetahuan merupakan salah satu metode atausalah satu langkah dalam Manajemen Pengetahuan yang digunakan untuk memberikankesempatan kepada seluruh anggota suatu kelompok, organisasi, instansi atauperusahaan untuk berbagi ilmu pengetahuan, teknik, pengalaman dan ide yang merekamiliki kepada anggota lainnya. Manfaat yang dapat kita peroleh dengan knowledgesharing adalah kecepatan, kualitas dan inovasi. Berkumpulnya banyak orang akan dapatsaling mengisi dan semakin banyak ide yang muncul, sehingga lebih cepat (kecepatan)dalam merespon masalah. Dengan banyak orang dari berbagai keahlian, suatu solusitelah dipikirkan dari banyak aspek dan kemungkinannya, sehingga diperoleh hasil(kualitas) yang lebih baik.

Oleh karena itu sangat penting dibangun sebuah model Infrastrukur ICT berbasisknowledge management yang dapat mendukung knowledge sharing di perguruan tinggiuntuk meningkatkan kinerja perguruan tinggi.

Kajian PustakaPetrides dan Nyugen (2006 : 30-31) mengemukakan bahwa :Educational

institutions demonstrate a great need for improved knowledge based managementsystems. We already find that there are many formal and informal administrativeprocesses, information-sharing patterns, work incentives, information, and other workpractices that have flourished over time, yet these can also critically impedeorganizational and systematic information flow and knowledge exchange

Skyrme (1999) mengemukakan definisi: ”KM is the explicit and systematicmanagement of vital knowledge and its associated processes of creation, organisation,diffusion, use and exploitation”. KM merupakan manajemen pengetahuan vital secaraeksplisit dan sistematis dan proses yang berasosiasi pada pembentukan,pengorganisasian, difusi, penggunaan dan eksploitasi. Selanjutnya Swiss Re dalamGamble dan Blackwell (2002:3) memberikan definisi, bahwa : “the KM is identifying,organizing, transferring, and using the information and knowledge both personal andinstitutional within the organization to support strategic objective”. Dalam hal ini KMtidak terlepas dari proses identifikasi, organisasi, transfer dan penggunaan informasipengetahuan baik personal maupun lembaga dalam upaya mendukung tujuan yangstrategis James Boomer (2004 : 23) mengartikan knowledge management sebagaiberikut:“…Knowledge management is a process to embrace knowledge as a strategicasset to drive sustainable business advantage and promote a "one firm" approach to

Page 192: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

185

identify, capture, evaluate, enhance and share a firm's intellectual capital.” Dalam halini Boomer memandang bahwa Manajemen pengetahuan adalah suatu proses merangkulpengetahuan sebagai aset strategis agar dapat terus menerus memacu keuntungan bisnisdan mempertimbangkan pendekatan "sebuah perusahaan" untuk mengidentifikasi,menangkap, mengevaluasi, meningkatkan dan membagi modal intelektual perusahaan.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa KMmencakup penciptaan, penyusunan, penyimpanan dan pengaksesan informasi untukmembangun pengetahuan. KM terkait dengan pengetahuan orang. Pada suatu saat,organisasi membutuhkan orang-orang yang kompeten untuk memahami danmemanfaatkan informasi dengan efektif. Organisasi terkait dengan individu untukmelakukan inovasi dan memberi petunjuk pada organisasi. KM terkait denganpeningkatan efektifitas organisasi. KM dapat memberikan kontribusi kepada vitalitasdan kesuksesan perusahaan.

Perguruan Tinggi (PT) sebagai penghimpun knowledge memiliki peran dalammendukung konsep ekonomi berbasis knowledge. Hal tersebut diperkuat Oosterlinck etal. (2000) yang menyatakan bahwa sejak mulai berdirinya elemen-elemen dalampengelolaan knowledge seperti penciptaan knowledge (knowledge creation), pengalihanknowledge (knowledge sharing), dan penyebaran knowledge (knowledge dissemination)secara tradisional telah dilakukan PT lebih dari itu, karakteristik PT Modern sangatkonsisten dengan kaidah pengelolaan knowledge tersebut. Selain itu Oosterlinck (2000)mengungkapkan bahwa tiga elemen itu sangat penting bagi penciptaan daya saingperguruan tinggi

Menurut Luan dan Serban (2002 : 34) IT dapat dikelompokkan ke dalam satuatau lebih dari kategori berikut, yaitu: business intelligence, knowledge base,collaboration, content and document management, portals, customer relationshipmanagement, data mining, workflow, search dan e-learning. Faktor penting yang harusdipertimbangkan dalam penerapannya pada pengembangan sistem knowledgemanagement, adalah kesederhanaan dari teknologi, mudah dipergunakan, sesuai dengankebutuhan pengguna, kaitanya dengan knowledge content dan standardisasi dariontology struktur knowledge

Alavi dan Gallupe (2003 : 140) menemukan beberapa tujuan pemanfaatan ICT,yaitu; (1) memperbaiki competitive positioning; (2) meningkatkan brand image; (3)meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengajaran; (4) meningkatkan kepuasanmahasiswa; (5) meningkatkan pendapatan; (6) memperluas basis mahasiswa; (7)meningkatkan kualitas pelayanan; (8) mengurangi biaya operasi; dan (9)mengembangkan produk dan layanan baru.

Davenport dan Short (1990 : 14) mendefinisikan 10 peran yang dapatdimainkan oleh TI, yaitu; transactional, geographical, automatical, analytical,informational, sequential, knowledge management, tracking, dan disintermediation.Semua peran TI ini dapat dikontekstualisasikan dengan kebutuhan PT. Dalam bahasayang lain, Al-Mashari dan Zairi (2000: 23) menyatakan bahwa manfaat TI adalah padakemampuannya yang ; (1) enabling parallelism; (2) facilitating integration; (3)enhancing decision making; dan (4) minimizing points of contact.

Sveiby (Gamble and Blackwell, 2002:163) menggambarkan bahwa “ICTsystem as the higiene factors of knowledge management. He suggest that the technologycan be likened to the bathroom of a house”. Sistem Teknologi informasi merupakanfaktor higien dari knowledge management. Peran ICT dalam pengelolaan pengetahuanmerupakan hal penting dalam menjawab tantangan global yang terjadi dan berlangsungsaat ini. ICT lebih tertuju pada komunitas masyarakat akademik dalam hal ini perguruantinggi. Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2006:343), bahwa pada saat inilah perananICT yang pertama muncul, yaitu sebagai enabler atau alat yang memungkinkan

Page 193: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

186

perguruan tinggi untuk dapat menciptakan proses pendidikan yang cheaper-better-faster. Ada dua jenis fungsi ICT yang dikenal terkait dengan hal ini, yaitu fungsi backoffice dan front office. Yang dimaksud dengan back office adalah penggunaan ICTuntuk mendukung proses administrasi penyelenggaraan pendidikan tinggi atau yangkerap dikatakan sebagai aktivitas operasional.

Enabler condition dimaksudkan untuk membantu pimpinan dan organisasidalam membantu memfasilitasi serta merangsang anggota organisasi, sehingga prosespenciptaan pengetahuan (knowledge creation) dapat berlangsung dengan selektif(Sangkala : 2007:205). Enabler condition dalam hal ini merupakan suatu ruang yangdapat menumbuhkembangkan munculnya hubungan antar anggota organisasi (Takeuchidan Nonaka 2004), atau semacam konteks organisasi yang dapat berbentuk ruang,maya, mental atau mungkin gabungan ketiganya.

Menurut Indrajit dan Djokopranoto nilai yang ditawarkan oleh ICT antara lainsebagai berikut.a) Pendaftaran secara online dengan menggunakan website sehingga calon mahasiswa

di seluruh dunia dapat melakukannya tanpa harus secara fisik datang ke perguruantinggi yang bersangkutan;

b) FRS online yang memungkinkan administrasi pengambilan mata kuliah dilakukandimana saja dengan menggunakan perangkat digital seperti komputer, PDA(Personal Digital Assistant), tablet PC, dan lain sebagainya;

c) Peserta didik (mahasiswa) dapat melihat nilai ujian maupun hasil akhir studi melaluiinternet atau perangkat telepon genggam yang dimilikinya;

d) Manajemen kelas mulai dari pengalokasian mata kuliah dan pengajar sampai denganabsensi mahasiswa dilakukan secara otomatis dengan menggunakan aplikasi khusus;

e) Sistem dokumentasi dan kearsipan yang tersimpan dalam format elektronik secararapi dengan menggunakan perangkat aplikasi berbasis EDMS (Electronic DocumentManagement System);

f) Pengelolaan sumber daya manusia yang terintegrasi menyangkut rekam data daninformasi mahasiswa, dosen, dan alumni;

g) Pustaka buku dan jurnal ilmiah yang dapat diakses dari mana saja dan kapan saja(24 jam sehari, 7 hari seminggu);

h) Sistem informasi terpadu terkait dengan fungsi pemasaran, administrasi, sumberdaya manusia, keuangan dan akuntansi, pengelolaan aset, dan lain sebagainya;

i) Administrasi terpadu antar perguruan tinggi dimana memungkinkan mahasiswauntuk mengambil mata kuliah antar fakultas maupun antar perguruan tinggi yangberbeda;

j) Aplikasi pelaksanaan riset dan pelayanan masyarakat yang dimulai dari prosespengajuan proposal sampai dengan evaluasi hasil kajian maupun pelaksanaanprogram terkait;

k) Perangkat lunak untuk mengatur sistem penjenjangan karir karyawan maupunjenjang kepangkatan dosen;

l) Portal informasi yang memudahkan para civitas akademika perguruan tinggi dalamusahanya untuk mencari berbagai data dan informasi penting di perguruan tinggimaupun pada institusi mitra lainnya;

m) Alat penunjang mahasiswa di dalam membuat dan mengevaluasi rencana studinya;dan lain sebagainya.

Metode PenelitianDalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dengan

pendekatan naturalistik dalam pengumpulan data dan penulis sendiri sebagai intrumen

Page 194: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

187

penelitian. Williams (dalam Moleong 2007 : 5) “penelitian kualitatif adalahpengumpulan data pada suatu latar ilmiah, dengan menggunakan metode alamiah dandilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara ilmiah”. Denzim and Lincolndalam Silverman (2005 : 10) menjelaskan : “Qualitative researchers stress the sociallycontructed nature of reality, the intimate relationship between the researcher and whatit studied, and the situasional constraints that shape inquiry. They seek answers toquestions that stress how social experiences is created and given meaning”.

Teknik pengumpulan data melalui studi dokumentasi , observasi, wawancaradan studi kepustakaan. Penelitian ini dilaksanakan di 9 Perguruan Tinggi di KabupatenGarut. Subjek dalam penelitian ini adalah para dosen, pengelola perguruan tinggi, danmahasiswa yang dipilih secara purposive sampling, dan peneliti sendiri sebagaiintrumen penelitian, sedangkan analisis data dilakukan melalui ; (1) pengumpulan data,(2) reduksi data, (3) penyajian data, (4) pengambilan kesimpulan dan verifikasisedangkan analisis data dilakukan melalui dua tahap yaitu ; (1) analisis data kasusindividu (individual case) dan (2) analisis data lintas kasus (cross case analysis).

Model yang DitawarkanDilihat dari jenisnya, ada dua jenis pengetahuan di perguruan tinggi, yaitu

pengetahuan explicit dan pengetahuan tacit. Pengetahuan eksplisit dapat diungkapkandengan kata-kata dan angka, disebarkan dalam bentuk data, rumus, spesifikasi, danmanual. Pengetahuan tacit sifatnya sangat personal, sulit diformulasikan sehingga sulitdikomunikasikan dan disebarkan kepada orang lain. Tacit knowledge di perguruantinggi tersimpan dalam pikiran/mind tenaga non akademik, mahasiswa dan terutamatenaga akademik/dosen sebagai sumber pengetahuan, bentuk tacit knowledge dapatberupa gagasan, persepsi, cara berpikir, wawasan, keahlian/kemahiran. ExplicitKnowledge merupakan bentuk pengetahuan yang sudah terdokumentasi/terformalisasi,mudah disimpan, diperbanyak, disebarluaskan dan dipelajari. Contoh buku karya dosen,hasil-hasil penelitian, modul-modul bahan ajar, laporan, dokumen, surat, dan file-fileelektronik.

Pada dasarnya suatu informasi akan menjadi tacit knowledge ketika diprosesoleh pikiran seseorang. Knowledge jenis ini biasanya belum dikodifikasikanatau disusundalam bentuk tertulis. Dalam knowledge ini termasuk intuisi, cognitive knowledge. Tacitknowledge seperti intuisi, dan pandangan biasanya sangat sulit untuk dikodifikasikan.Biasanya pengetahuan ini terkumpul melalui pengalaman sehari-hari pada pelaksanaansuatu pekerjaan. Pengetahuan jenis ini akan menjadi explicit knowledge ketikadikomunikasikan kepada pihak lain dengan format yang tepat (tertulis, grafik dan lainsebagainya). Pengetahuan yang telah dikodifikasi atau dieksplisitkan. Jadi biasanyatelah direpresentasikan dalam suatu bentuk yang tertulis dan terstruktur pengetahuanjenis ini jelas lebih mudah direkam, dikelola dan dimanfaatkan serta sharing ke pihaklain.

Page 195: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

188

Gambar : Infrastruktur ICT Berbasis Knowledge Management di Perguruan Tinggi

ICT enabler dibangun oleh Infrastruktur ICT, Sistem Informasi yang memadai,dan Manajemen Informasi sehingga pengelolaan Knowledge sharing tenaga pengajardengan tenaga pengajar maupun dosen dapat terlaksana dengan baik. Sedangkanfasdilitas ICT yang dikembangan diambil konsep oleh Indrajit (2006) denganpenyesuaian dan pengembangan di lapangan 1) Virtual Class, penyelenggaraan kelasmaya atau virtual class dengan memanfaatkan teknologi informasi. Implementasikonsep ini berjalan secara evolusioner, dalam arti kata dikembangkan secara perlahan-lahan menuju pada ke virtual class yang sesungguhnya. Contohnya adalah pemberiantugas dan penyelenggaraan quiz secara online, dimana peserta didik dapat mengikutiujian tengah semester atau akhir semester secara realtime dalam format soal multipel. 2)Computer Based Training (CBT), CBT merupakan cara yang sangat ampuh diterapkanoleh perguruan tinggi yang ingin mempromosikan prinsip belajar secara mandiri. Jikadahulu peserta didik hanya dapat menggunakan fasilitas perpustakaan yang berbasisbuku untuk menambah pengetahuannya, maka saat ini telah disediakan sejumlahsoftware yang dapat membantu peserta didik untuk belajar tanpa harus dibantu olehseorang pembimbing dan tidak harus menghadiri kelas secara fisik karena adanya CBT,3) Knowledge Portal, Perguruan tinggi merupakan suatu institusi atau organisasi yangkualitasnya sangat bergantung pada knowledge base yang dimilikinya. Keberadaaninternet dengan aplikasi knowledge portal atau search engine-nya merupakan perangkatmutlak yang harus dimiliki oleh institusi. Dengan didukung oleh kompetensi dankeahlian yang cukup dalam hal melakukan advanced search di internet, maka seorangdosen dapat mencari beragam jenis pengetahuan atau knowledge di internet. 4) CyberCommunity, Bagi dosen profesional, berinteraksi dengan komunitas akademis lainnya diseluruh lapisan dunia merupakan kebutuhan mutlak yang harus diperhatikan secarasungguh-sungguh. Membina hubungan dengan para profesor maupun tokoh industriterkemuka di negara manapun dapat dilakukan dengan sangat mudah, murah, dan cepatdengan memanfaatkan ICT. Dewasa ini, komunitas yang berinteraksi melalui duniamaya telah berkembang sangat pesat dimana mereka menggunakan teknologi seperti 1)Electronic Mail, Mailing List , Discussion Forum, Chatting ,Tele Conference, SearchEngine

InfrastrukturTeknologu

Page 196: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

189

Selanjutnya apabila keempat portal ini dikembangkan dapat mengembangkanbudaya sharing sehingga tercipta knowledge sharing yang berkelanjutan. Schein dalamAkamavi dan Kimble, (2005 : 67) memberikan catatan bahwa budaya organisasi adalahshared tacit, untuk pembenaran dari suatu perasaan, cara berfikir, dan bereaksi. Apabiladisimpulkan faktor dominan yang mempengaruhi budaya sharing di Universitasmeliputi teknologi, kepercayaan dan faktor lingkungan, hal ini senada dengan pendapatpara ahli sebagai berikut : “The knowledge management literature has identified a widerange of factors that influence knowledge sharing behaviour. These factors could besummarized into the following three categories: technological factors, organizationalor environmental factors, and individual or personal factors (Ardichvili et al., 2006;Cabrera et al., 2006; Barson et al., 2000; McDermott and O’Dell, 2001; Riege, 2007).

Proses penciptaan dan sharing merupakan suatu proses timbal balik (Stewart,2001 :21), sebagai contoh: suatu knowledge diciptakan dan ditemukan, kemudianknowledge tersebut dikemas dan disebarkan untuk diimplemantasikan. Fase berikutnyasetiap orang berdiskusi untuk melakukan evalusiberdasarkan pengalaman dan/atauknowledge-nya masing-masing, proses transfer/sharing tersebut ditujukan untukmencari knowledge baru yang lebih baik, demikian proses ini berlangsung secara terusmenerus dan berulang-ulang.

Luan dan Serban (2002 : 25) mengemukakan IT dapat dikelompokkan ke dalamsatu atau lebih dari kategori berikut, yaitu ; business intelligence, knowledge base,collaboration, content and document management, portals, customer relationshipmanagement, data mining, workflow, search dan e-learning. Selanjutnya Yaniawati(2006 : 287) mengemukakan ragam ICT yang dalam knowledge management diUniversitas yaitu sistem informasi manajemen, internet, intranet, e-library dan e-learning Implementasi ICT di bidang pendidikan mempunyai ragam/jenis yang berbeda,hal ini didasarkan atas pertimbangan rutinitas pekerjaan. Penerapan teknologiinformasi sangat bermanfaat untuk mengubah pekerjaan yang komplek menjadi rutin(Uriarte, 2008 : 53).

SimpulanPerkembangan ICT (Information Comunication and Technology) yang semakin

pesat, penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi di perguruan tinggi jugasemakin marak. Perkembangan teknologi informasi telah memberikan pengaruhterhadap proses pelayanan dan bimbingan akademik bagi mahasiswa, knowledgesharing antar dosen, pimpinan PT serta mahasiswa dengan dosen, menjadikan ICTmempunyai peran besar dan sebagai elemen dalam keberhasilan KnowledgeManagement di Perguruan Tinggi. Dalam model ini dikembangkan enabler ICT denganpenguatan di sektor Teknologi Informaasi, Sistem Informasi dan Management Informasisehingga menghasilkan knowled sharing dengan media ICT dapat dihasilkan budayaknowledge sharing yang berkelanjutan. Model ini mempunyai beberapa kelemahandiantaranya hanya memotret konseptual ICT tidak mengkaji secara teknis rancangbangun ICT di perguruan tinggi.

Daftar PustakaAkamavi, N., and Kimble, C., 2005. Knowledge Sharing and Computer Supported

Collaborative Work: The Role of Organizational Culture and Trust. Heslington:The University of York,.

Aulawi H. et al. (2009), Hubungan Knowledge Sharing Behavior dan IndividualInnovation Capability, Jurnal Teknik Industri, ITB, Vol. 11, No. 2, Desember2009, pp. 174-187.

Page 197: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

190

Chauhan, N., and Bontis, N., 2004. “Organisational Learning via Groupware: A Path toDiscovery or Disaster?” Inderscience Enterprises Ltd., International JournalTechnology Management, Vol. 27, No. 6/7, pp. 591-610.

Choi, B., 2002. Knolwledge Management Enablers, Processes, and OrganizationPerformance: An Integration and Empirical Examination, Disertasi ProgramDoktor, Division of Management Engineering, Korea Advanced Institute ofScience of Technology.

Duderstadt, JJ (2000) A University for the 21 st Century. ANN Arbor. The University ofMichigan Press.

Estriyanto Yuyun, Sucipto Adi (2008), Implementasi Knowledge Management padaAPTEKINDO, Pembentukan Sharing Culture antar Pendidikan Teknologi danKejuruan di Indonesia1) Konvensi Nasional IV APTEKINDO, 3-6 Juni 2008[on-line] Tersedia : http://safari.web.id/rethinking-peran-perpustakaan-di-era-globalisasi--antara-digital-dan konvensional.html [20 Mei 20009]

Faulkner and Grey, (2000) Competing on Knowledge, Handbook of Business Strategy[on line]. Tersedia: http://www.providersedge.com/docs/km/articles/Competingon_Knowledge.pdf [ 20 Maret 2009]

Gamble, P,R dan Blackwell, J (2002). Knowledge Management (the State of The ArtGuide). Great Britain. Saxon Graphics.

Liao, S. H., Fei, W. C., and Chen, C. C., 2007. “Knowledge Sharing, AbsorptiveCapacity and Innovation Capability: An Empirical Study of TaiwansKnowledge-Intensive Industries.”Journal of Information Science, Vol. 20, No.10, pp. 1-20.

Liebowitz, J., 2002. “Facilitating Innovation through Knowledge Sharing: A Look at theUS.

Lin, F. H., 2007. “Knowledge Sharing and Firm Innovation Capability: An EmpiricalStudy.”International Journal of Manpower, Vol. 28, No. 3/4, pp. 315-332.

Lin Lu, Leung, K., and Koch, P. T., 2006. “Managerial Knowledge Sharing: The Roleof Individual, Interpersonal, and Organizational Factors.” Management andOrganization Review, Vol. 2, No. 1, pp. 15–41.

Lindsey, K. L., 2006. “Knowledge Sharing Barriers.” Proccesses of KnowledgeManagement, pp.499-506.

Hamdani, Nizar (2011) Implementasi Knowledge Management di Perguruan Tingi ;Disertasi PPS UPI : Tidak diterbitkan.

Hamdani, Nizar (2012) Knowledge Sharing di Perguruan Tinggi : dipresentasikan diUM dalam Konferensi Internasional

Nonaka, I., and Takeuchi, H., 1995. The Knowledge-Creating Company. New York :Oxford University Press.

Nonaka, I., and Konno, N., 1998. “The Concept of Ba: Building a Foundation forKnowledge Creation.” California Management Review, Vol. 40, No. 3, pp. 40-54.

Orr, E., and Persson, M., 2003. Performance Indicators for Measuring Performance ofActivities in Knowledge Management Projects, Master Thesis, Department ofInformatics, University of Gothenburg.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.Petrides, A.L., Nodine, R.T. (2003), Knowledge management in education: defining the

landscape, The institution for the study of knowledge management in educationPress, USA [on-line] Tersedia : http://www.tlainc.com/articl135.htm [ 16 Juni2009].

Rodan, S., 2002. "Innovation and Heterogeneous Knowledge in Managerial ContactNetworks",Journal of Knowledge Management, Vol. 6, No. 2, pp. 152-63.

Page 198: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

191

Roger, M., 1998. “The Definition and Measurement of Innovation”, Melbourne InstituteWorkingPaper No. 10/98, Melbourne Institute of Applied Economic and SocialResearch, the University of Melbourne.

Tjakraatmadja, JH dan Lantu DC. (2006), Knowledge Management dalam Konteks danOrganisasi Pembelajar. Bandung : ITB.

Tobing, P. L., 2007. Knowledge Management; Konsep, Arsitektur dan Implementasi.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 199: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

192

FACTORS THAT INFLUENCE THE INDIGENOUS STUDENTS’ SUCCESS INSECONDARY SCHOOLS: PERSPECTIVE OF THE INDIGENOUS

TEACHERS

Norwaliza Abdul WahabUniversiti Kebangsaan Malaysia, Bangi, Selangor

[email protected] Mustapha

Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjong Malim, [email protected]

AbstractHigh dropouts among Orang Asli students have become an issue as it was reportednearly 34% of those who had completed their primary schooling did not pursuetheir studies at the secondary level. This might be because they lack interests inacademic subjects at schools. The Orang Asli was also identified as one of themost vulnerable groups in Malaysia, with a disproportionately high incidence ofpoverty and hardcore poverty. In 2006, 33.5% and 15.4% of the Orang Asli wereidentified as poor and hardcore poor, respectively. However, teachers with anaffirming perspective believe that students from indigenous groups are actually acapable learners, even when those children enrol schools with their own ways ofthinking, and behaving that differentiate from the dominant culture’s norms. Asubstantial literature indicates teachers’ beliefs and attitudes strongly influencestudents’ perception and behaviors in the classroom. This qualitative case studyidentified two Orang Asli teachers’ perspectives regarding the factors thatpotentially enhance the success of Orang Asli students in secondary schools. Datawere collected using three instruments: individual semi-structured interview’sprotocol, document analysis and classroom observations’ checklist. The researchfindings show that the factors that influence the Orang Asli students’ success insecondary schools include: (a) their schooling experiences and commitment to theindigenous culture, (b) their efforts to succeed despite the Orang Asli students’underachievement, racism and inequalities within school and society, (c) theirbeliefs about the importance of indigenous language to academic success, (d) theirexpectations of the Orang Asli students and (e) their relationship with Orang Aslistudents and families. The results stress on importance of enhancing the strengthand values of cultural diversity, developing a sense for human rights and respectingfor cultural diversity, and challenging discrimination in society.

Keyword: Indigenous teachers, indigenous students, teacher’s perspective, secondaryschools, Malaysia

Introduction

There is a significant body of literature and evidence to suggest that non-indigenousteachers simply do not know enough about how to teach indigenous children. Hence, itis our attempt to understand the issues related to the education of indigenous children inthe Malay Peninsula, or specifically the Orang Asli children. Despite the best intentionsand commitment from many mainstream teachers, most have inadequate understandingsof appropriate pedagogies and the complexities of indigenous cultures, knowledge andidentities (Brayboy & Maughan, 2009; Malin & Maidment, 2003; Partington, 2003;Villegas, Neugebauer, & Venegas, 2008).

While some believe that the cultural-context is the most important factor of OrangAsli’s education, other researchers point to the “teacher factor” as significant tostudent’s success and it is becoming a pertinent area of study (Tatto, 1996). A

Page 200: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

193

substantial literature shows that teachers’ beliefs and attitudes strongly influence theirexpectations and behaviors in the classroom (Byrnes, Kiger, & Manning, 1997; Cross,1993; Kagan, 1992; Lewis, 1990; Villegas, 1992). Research also suggests that teachersbuild their own expectations about student learning, their treatment of students, andwhat the students ultimately learn (Pajares, 1993; Pang & Sablan, 1998; Villegas &Lucas, 2002). Teachers with an affirming perspective are more likely to believe thatstudents from non-dominant groups are better learners, even when those children enrolin schools with their own ways of thinking and behaviors that are different from thedominant culture’s norms (Delpit, 1995). On the other hand, mainstream teachers withlimiting exposure to indigenous pedagogy are more likely to possess negative viewsabout indigenous students’ potential. Dubious about the indigenous students’ ability toachieve, those teachers are more likely to hold low academic expectations for them andultimately to treat them in ways likely to suppress their learning’s potentials (Nieto,2000; Payne, 1994).

In Malaysia, most educational researchers agree that teachers play a significant rolein Orang Asli students’ academic achievement (Tang, 1997). However, little is knownabout how teachers define and interpret their teaching experiences. Although generalstudies have been conducted on teachers’ attitudes toward Orang Asli students (Santoro,2009) only few explore how teachers feel and think about educating Orang Asli studentsin secondary schools. Rarely, however, do reports focus on the schooling of OrangAsli students, whose success in school seems thwarted by many educational barriers(Wuei & Jang, 2000). Many complex factors have been cited as contributing to the lowacademic achievement of Orang Asli students. Some of those factors reside in themacro-context in which schools exist, such as racial isolation (Li, 1982), a high level ofpoverty (Lin, 2000), and the difficulty of learning adjustment (Fu, 2001). Even thoughmacro-context may seem to be a critical factor in the education of the Orang Aslistudents, this study focuses primarily on the Orang Asli teachers at the micro-level,specifically their perspectives on teaching Orang Asli students in the secondary schools.

This qualitative case study involving an Orang Asli school in Pahang—the biggeststate in West Malaysia. Pahang also has the biggest populations on Orang Asli inMalaysia. The two indigenous teachers who participated in this study were teachers ofOrang Asli students at a secondary school in Kuala Lipis and Cameron Highland,Pahang. Both of them are from Semai’s tribe, one of the biggest indigenous tribes inPeninsular Malaysia.

Methodology

Perspectives are usually the proper or accurate point of view or the ability to see and itvalue-laden, implicit and always challenging to uncover. Beliefs about diversity can beparticularly too delicate to talk about because of the teachers’ wishes to be politicallycorrect or because of their fear, or because of their vulnerability if they admit to beliefsthat might be perceived as racist or prejudiced (Paige, 1993). Although researchsuggests that teachers’ perspectives have great impact on their practices, theexamination of those perspectives presents several methodological challenges forresearchers (Kagan, 1992; Pajares, 1992). Some researchers have adopted aninterpretive paradigm to understand teachers’ beliefs (e.g., Cocharn-Smigh & Lytle,1995; Lipman, 1998; Montero-Sieburth, 1996). The interpretive model of researchallows a focus on teachers’ perspectives as well as the meaning they made from theirperspectives. Rather than using inventories, a researcher, often in collaboration with theteachers, draws from various data sources to understand the perspectives of participants.This type of data is often referred to as emic perspective which is described as the‘insider's’ or indigenous’ interpretation of or reasons for their customs or beliefs. It

Page 201: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

194

describes what things mean to the members of a society because the local meaning is ofcentral significance.

This study uses an interpretive approach to describe different aspects of teachers’perspectives. It addresses five research questions:

(a) What were the teachers’ schooling experiences and how did they becomea teacher?

(b) What are the teachers’ beliefs about the students’ potential to succeeddespite the widespread of underachievement, discrimination, andinequalities among Orang Asli students?

(c) What are the teachers’ beliefs about indigenous languages and howimportance is the indigenous language to academic success?

(d) What is the teachers’ expectation on their Orang Asli students?(e) To what extent is the relation between the teachers and their Orang Asli

students and their family?Given that there is little research about the schooling experiences of Orang Asli studentsin secondary schools in Malaysia, this study begins to fill the “knowledge gap” byexamining teachers’ perspectives about Orang Asli students. Indeed, there are variousdimensions and components of the schooling experience. This study focuses onexploring the indigenous teachers’ perspectives about their beliefs on indigenousstudents’ potential to succeed in a secondary school setting.

This qualitative research uses an interpretive case study approach, which is anappropriate methodology when a holistic, in-depth investigation is needed (Feagin,Orum, & Sjoberg, 1991). Yin (1984) points to several reasons for selecting a case studymethod: “Case studies are the preferred strategy when how or why questions are beingposed… when the investigator has little control over events, and when the focus is on acontemporary phenomenon within some real-life contexts” (p. 13). The case study isappropriate for this study, which seeks to delineate how teachers think about teachingindigenous students and the meanings behind their statements. Tesch (1990) definesqualitative research as “... research [is] not concerned with variables and theirmeasurements” (p. 46). This definition tells what qualitative is not, as opposed to whatit is.

All interviews were audio-recorded, transcribed verbatim and returned toindividual participants for checking and verification. Analysis of the data occurred infive stages (Marshall & Rossman, 1989): (1) organizing the data, (2) coding the data,(3) generating categories, (4) testing emerging categories, and (5) searching foralternative hypotheses and explanations. A computer software program, Atlas-Tiqualitative analysis software package, was used to manage data coding, createcategories, and examine relationships among the categories. The process began with theopen coding: an analytic process by which concepts are identified and their propertiesand dimensions are discovered in the data (Strauss & Corbin 1990). Then the conceptsthat could be grouped under more abstract categories for ways to link those categoriesaccording to their dimensions, themes and assertions − a process termed “axial coding”(Strauss & Corbin, 1990). These groupings were continually tested against the data setsderived from interviews. The Atlas-Ti program also provided a historical trail of newand changed coding and categories. The program enabled the intersection of categoriesor themes with specific participants. All coding emerged from the contents of the datarather than predetermined applied categories, thus pattern-matching created the codingcategories (Lincoln & Guba, 1985; Merriam, 1988). Sentence-by-sentence coding wasused first and then paragraph coding using research questions as a guide. Each codedexcerpt was compared with the next, searching for similarities and differences. Once allthe data had been categorized, each pile of data was examined for congruity (Patton,

Page 202: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

195

1990). The original codes were checked for consistency and overlap, and then mergedinto four main categories that reflected the research questions.

Result and Discussion

The two Orang Asli teachers’ experiences and perspectives were qualitatively analyzedwithin the interpretative paradigm. The teachers were interviewed regarding: (a) theirschooling experiences, (b) their views of Orang Asli students’ underachievement anddiscrimination, (c) their beliefs about indigenous languages, (d) their expectations ofOrang Asli students, and (e) their relationship with Orang Asli students and families.

Teachers’ Schooling Experiences and Commitment to the Indigenous CultureThroughout the interviews, the two Orang Asli teachers, named Maya and Salma talkedabout their own personal and schooling experiences as a main factor in theirperspectives about teaching Orang Asli students. Those personal experiences werecrucial factors that differentiate them from other teachers. For instance, Maya said, “Myformal education and training that I get from college was something that I expected.Nothing to prepare me to teach Indigenous school and it meant for me to become as lessSemai as possible.” Before studying at the Teachers College, Maya had never “thoughtabout my indigenous background seriously like what so great of being a Semai?.” Itwas there when she began to realize how much she had cover up her indigenousidentity. Her experiences with other indigenous trainees in Teacher Training Collegehad motivated her to get her indigenous identity back. She believed that herinvolvement “made me more conscious about my own culture and the culture ofothers.” Meanwhile Salma had problem in primary school because of her limited abilityto speak Malay language. She remembered how frustrated she was when she haddifficulty in adjusting herself in school. As a result, she worked very hard to improveher Malay language by reading books and watching many Malay movies, yet she hasnever forsaken her identity as Semai. “There were some Malay kids in my class andthey would call me “Dumb or stupid just because I didn’t know how to speak theirlanguage. They also didn’t like to play with us the Orang Asli because they said wewere stupid and dirty.”

Both Maya and Salma had faced discrimination and rejection during their schooldays. They also realized that other Orang Asli children had suffered the same problem.When they became more critically aware of the marginalization of their culture in theschool, they became very conscious of the differences in treatment they received. Thus,she felt that the Orang Asli have to do something about it. Maya said, “I don’t thinkother people have idea what it’s like to be an Orang Asli in this country. Nobodyactually cares about us and the learning experiences of Orang Asli students have notreceived much attention.” Maya and Salma developed a consciousness about theirculture and that motivated them to become a teacher with strong determination to makea difference in Orang Asli students’ lives. After Maya finished her teacher training, shetaught in a suburban school where Orang Asli students were a minority. Salma toochose teaching because of her commitment to uplift indigenous people. Both Maya andSalma knew that many Orang Asli students attended public schools and lived with a sortof conflict because the culture of their schools was different from that of their homes(Lin, 2001). This might be one of the factors of high dropouts among Orang Aslistudents as it was reported nearly 34% of those who had completed their primaryschooling did not pursue their studies at the secondary level.

Maya and Salma’s schooling experiences were not something new; they noted thatmany Orang Asli children who attendeded the public secondary schools experienced thesame discrimination and conflict as they did. Their observations are consistent with

Page 203: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

196

Tang’s (1997) research findings that suggest that indigenous students in schools “… feeldespair, disillusionment, alienation, frustration, hopelessness, powerlessness, rejection,and estrangement, all elements of negative views of the self” (p. 38). Maya and Salmatried hard to make a difference, not only by offering extra help to their Orang Aslistudents, but also by extending their efforts to indigenous families and communities.

The Discrimination and Marginalization of Orang Asli StudentsRamlee Mustapha et al. (2010) argued that the main suppressive factor in thedevelopment of human capital of Orang Asli is the incapacity of the local leaders inbringing changes for Orang Asli community. However, other studies suggest thathome-school relationships are important to improving educational outcomes for allstudents (Hill & Taylor, 2004), and particularly for indigenous students (Hunter &Schwab, 2003). Maya and Salma blamed discrimination and pointed out inequalitieswithin schools and society. Maya believed that Orang Asli students were marginalizedand discriminated in many aspects of education and life. She commented that in orderto teach Orang Asli students effectively, issues of school curriculum, teacherexpectations and ethnic discrimination must be dealt seriously. She described thecurriculum as too “Malay-centric.” Salma’s commented that many schools did notconsider indigenous languages as important as other languages. She sensed rejectionfrom the school administrators who told her that the school’s limited facility wasinadequate for indigenous language and cultural program. She argued, “I think theschools really don’t care about indigenous languages and our cultural programs. Thatwould make me think the Orang Asli students are not important. Malay and Englishlanguages are taught in every class. Even the Chinese and Indian students have theirPeople Own Language (POL) classes, why can’t we have one?” However, the schoolbelieves that selecting English language as one of the niche areas gives it better chanceto improve the level of English language competency among the students including theOrang Asli in order to obtain a good job in the future.

One of the factors that thwart of the Orang Asli students’ success was that they didnot have Orang Asli teachers as a role model in their school. The lack of role modelwas viewed by the respondents as one of the critical problems faced by the indigenousstudents. Maya hoped that more Orang Asli teachers are trained and employed in publicschools where a substantial number of Orang Asli students are enrolled. Nevertheless,she believed that the main issue was the school’s general marginalization of OrangAsli’s parents, students, and teachers. Orang Asli students had difficulty adjustingthemselves in a school which they felt excluded and rejected. That was evident inMaya’s experience. “I had difficulties in learning about history…writing an essay andthings like that. When I went to school, there was nothing about indigenous culture atall. I don’t think a lot of other people have any idea what it’s like for Orang Asli peoplein this country.” With regard to the widespread underachievement of Orang Aslistudents, the two Orang Asli teachers seemed to point to Ministry of Education inexplaining the problem. The gist of their perspective was that many Orang Aslistudents, particularly those from low-income families were estranged from schoolsbecause of their indigenous background.

The Importance of Indigenous LanguagesThe “lost” of indigenous language was felt by Maya and Salma due to their schooling inmainstream school and in their teacher training college. Although Maya and Salmawere both of Semai heritage, they experienced significant challenges with regard totheir native language. Not being able to speak her native tongue fluently made Mayafeel only “half Semai.” Although she felt comfortable identifying herself as a Semai

Page 204: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

197

publicly, she had tough time talking to elders in Semai because she was not fluent in thelanguage. She said that “Sometimes you would feel like a stranger when you werequestioned by the others about your ability to speak Semai

Speaking Semai in her school was seen as “not proper by teachers and students andsometimes other students laugh at the way they [indigenous students] speak,” Inaddition, Salma reported, “Even now, some Orang Asli people are shy to speak theirnative language in public.” The fear of being ‘different’ kept the Orang Asli studentsfrom identifying themselves ethnically which in turn intensified the stigma at school.As a teacher, Salma wanted to stop that practice. She believed that speaking her mothertongue was the first step in “identifying who we are,” and “making a difference in oursociety.” Maya and Salma also shared the opinion that language was a key tounderstanding the culture of students, their community, and, more important, their“ways of knowing” or learning (Bollin & Finkel, 1995; Cochran-Smith, 1995; Mercado,2001). That is very important for teachers to understand because indigenous studentsare more likely to feel “at home’ when they believe their cultures are being valued andaccepted at school.

Teachers ExpectationIn order to be an effective teacher it is necessary ‘to really see, to really know thestudents we must teach’ (Delpit, 1995, p. 183). ‘Really knowing’ students meansknowing what knowledge they bring to the classroom and how their cultural practices,values and beliefs shape them as learners and, as producers of knowledge (Castagno,McKinley & Brayboy, 2008; Santoro, 2009). Many teachers however, struggle to reallyknow Indigenous students. In this study, the two Orang Asli teachers have had highexpectations for their Orang Asli students. Maya believed the power of education canmake vast difference in the lives of indigenous students. Her mission was to build onindigenous students’ strengths and to create a sense of will power that they actually canperform as good as or better than the other students. That was a powerful theme in herbeliefs about teaching Orang Asli students. She did not agree with those of hercolleagues who blamed Orang Asli students and parents for their lack of interest ineducation. “I know that these Orang Asli children are not slow or stupid. Manyteachers think Orang Asli students cannot catch up with academic subjects. ManyOrang Asli students just give up when teachers show this kind of attitude. This is selffulfilling prophecy. Salma said, “Sometimes teachers adjust the syllabus by lowering ofexpectations such as not giving Orang Asli students academically demanding work orassignments. I don’t think this is going to help them to learn.” The respondents wereeager to point out however that despite what seems to be a less formal approach torelationships with students, their expectations of Indigenous students were high and thatthe nature of their informal relationships did not mean they compromised standards.Salma claims, “I stand firm on what I say. I back what I say and I’m very fair with allchildren but with the Orang Asli student, you know I’m hard on them. I just want themto excel like others. No excuses.”

There is a fine line between wanting to adjust the syllabus to meet the student’scapability and actually challenging the students. Teachers’ expectations for indigenousstudents may affect the way they teach indigenous students. Brophy (1983) points outthat the negative effects of teacher expectations can be either direct or indirect. Givinglow-expectation students limited exposure to new learning material or less learning timewill inhibit their learning in very direct ways. Teachers who hold such negative views,who are unsympathetic to socio-cultural differences, and who are inexperienced in thepedagogy of indigenous students can fail to provide effective learning environment(Partington, Richer, Godfrey, Harslett, & Harrison, 1999).

Page 205: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

198

The Relationship With The IndigenousThroughout the interview and observations, Maya and Salma had shown some kinds ofspecial relationships with their indigenous students through the usage of their ownlanguage. Maya and Salma fondly referred indigenous people as “ our, we and us’.For example, when describing the life of Orang Asli students in the school, Maya said,“Our tribes are living nearby and the we are close to each other.” Salma recalled, “Wewere pretty happy with our lives and I don’t understand why they just can’t leave ourancestral land alone.”

The Orang Asli teachers worked hard continuously inside and outside the classroomas they built their relationship with Orang Asli students in the school. Maya’sperspective about the quality of a good teacher for indigenous students placed a greatdeal of responsibility on herself. She said, “ I need to do something for them . As long asI’m their teacher.” For instance, she recruited a few Orang Asli girls for her netballteam and provided them after-school tutoring program for free. She felt fulfilled whenshe learned that these Orang Asli students had made a good progress on theirschoolwork and academic achievement. She told me she worked under uniquecircumstances that isolated her as an Orang Asli teacher. For her, one way to overcomethe isolation was to engage in collaborative inquiry. Consequently, she formed anindigenous teachers group for indigenous cultural study. The teachers met from time totime to exchange ideas about teaching and other matters related to indigenous people.The meetings provided an opportunity to share experiences, perspectives, andchallenges. One of the goals of the group was to “prepare ourselves to teach OrangAsli students in the schools where we serve and help them in every way that we can.”The group also sought to develop an ability to screen out stereotyped and discriminationand teach those skills to their students.

The indigenous teachers shared more common experiences with indigenous childrenand felt they could build a trusting relationship with them. Salma agreed that thepresence of Orang Asli teachers in school was important. As an Orang Asli teacher andformer student, she believed “It would be greatly beneficial if there were someone whoreally understood what you had been through. I’ll talk to the girls and walk with themaround the school compound at recess time and ask them about their well beings.” Shewas believed that the Orang Asli students would learn if a relationship based on “mutualtrust and concern,”and “all of us is like one big family,”. Things will change if theschool teachers are actively engaged with the parents in the community and it’s visible,it’s seen, it’s recognized, the children see it and the parents will say, well ‘OK, there’snothing wrong with Miss Salma, she’s nice and good teacher.’ Salma also committedherself to teaching the indigenous language at her home. As she told me, “my greatestgoal is to educate Orang Asli children about themselves and their heritage throughtheir own language.” She believed that those students need teachers who “know what itwas like, growing up as an Orang Asli student in a predominantly Malay schoolsystem,” and that she could help them by using their mother tongue and culturalbackground.

Finally, indigenous teachers are capable to take advantage of their connections withthe help of their indigenous social and cultural networks, and common experiences.Although Maya and Salma were different in numerous aspects of teaching andpedagogy, they shared one common goal - commitment, values, expectations for theirstudents, and relationship with families and community. The indigenous parents weremore at ease talking to Maya. When they have some issues to be brought up, theypreferred that Maya be present at the meeting. However, schools can often appearintimidating and hostile places to Indigenous parents who have negative memories oftheir own schooling. They are therefore often reluctant to be involved in their children’s

Page 206: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

199

school education. This is frequently taken by teachers to mean that Indigenous parentshave few aspirations for their children and don’t care about their children’s education.Some of her colleagues also saw her as a moderator between the school and indigenousfamilies. Salma’s teaching Semai at the community centre enabled her to connect withOrang Asli students more easily. Salma always invited indigenous parents to participatein their children’s education. Although both of Maya and Salma regretted the erosion ofthe indigenous community and the family cohesiveness that had been a mainstay in theirown development, they did not view the families as deficient. Both showed their senseof responsibility not only to the children and their families but also to the community.Maya and Salma’s experiences and perspectives are consistent with Qiu’s (1998)findings that suggest that indigenous teachers are preferred by indigenous studentsbecause the teachers are perceived as parents, mentor or elders by the indigenousstudents. Maya and Salma understand the benefits of creating a sense of respect andtrust with their indigenous students that translate to creating an effective learningenvironment.

Conclusion

The purpose of this case study was to interpret the two participating Orang Asliteachers’ experiences with their indigenous students at a public secondary school. Thestudy found that those teachers’ experiences and perspectives reflected the importanceof promoting the strength and value of cultural diversity. Their teaching practices andpedagogical beliefs came about as a result of their schooling experience in Malaydominant schools – in which they experienced marginalization and discrimination.They demonstrated a sense of urgency as well as a personal desire to make change forthemselves and for their Orang Asli students in the school. The indigenous teachersoften acted as surrogate parents to the indigenous children they taught. They seemedmore able than other teachers to meet the challenge through their relationship withindigenous communities, social networks, the culture and common experiences.Although there is no single way of being indigenous, teachers who have grown up andcompleted their schooling as indigenous learners have a wealth of experience andknowledge about the pedagogies that are likely to be successful for indigenous students.They understand indigenous worldviews and have first-hand experience of thechallenges facing indigenous students in the schooling systems. Thus, this researchshows that indigenous teachers can potentially play significant roles as educators and asmentors to indigenous students.

ReferencesAsri, M., & Noor, M. (2012). Advancing the Orang Asli through Malaysia ’ s clusters

of excellence policy. Journal of International and Comparative Education, 2012,1(2), 90–103.

Bollin, G. G., & Finkel, J. (1995). White racial identity as a barrier to understandingdiversity: A study of preservice teachers. Equity & Excellence in Education, 28,25-30

Brayboy, B. M. J., & Maughan, E. (2009). Indigenous knowledges and the story of thebean. Harvard Educational Review, 79(1), 1-21.

Brophy, J. (1983). Research on the self-fulfilling prophecy and teacher expectations.Journal of Educational Psychology, 75, 631-661.

Byrnes, D. A., Kiger, G., & Manning, M. L. (1997). Teachers’ attitudes about languagediversity. Teaching and Teacher Education, 13(6), 637-644.

Page 207: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

200

Castagno, A. & Brayboy, B.M.J. (2008). Culturally Responsive Schooling forIndigenous Youth: A Review of the Literature. Review of Educational Research,78(4), 941–993.

Cochran-Smith, M. (1995). Color blindness and basket making are not the answers:Confronting dilemmas of race, culture, and language diversity in teacher education.America Educational Research Journal, 32, 493-522.

Cochran-Smith, J., & Lytle, S. (1993). Inside/outside: Teacher research and knowledge.New York: Teachers College Press.

Cross, B. E. (1993). How do we prepare teachers to improve race relations? EducationalLeadership, 19, 64-65.

Crossley, M. (2012). Comparative education and research capacity building: reflectionson international transfer and significance of context. Journal of International andComparative Education, 1(1), 4-12.

Delpit, L. D. (1995). Other people’s children: Cultural conflict in the classroom. NewYork: The New Press.

Feagin, J., Orum, A., & Sjoberg, G. (Eds.). (1991). A case for case study. Chapel Hill,NC: University of North Carolina Press.

Foster, M. (1992). Urban African-American teachers’ views of organizational change:Speculations on the experiences of exemplary teachers. Center on Organizationaland Restructuring of Schools, Wisconsin Center for Education Research,University of Wisconsin-Madison.

Hill, N. E., & Taylor, L.C. (2004). Parental school involvement and children’s academicachievement: Pragmatics and issues. Current Directions in Psychological Science,13 (4), 161-164.

Hunter, B.H., & Schwab, R.. (2003 ). Practical reconciliation and recent trends inIndigenous education, CAEPR Discussion Paper No. 249 , CAEPR. Canberra:Australian National University.

Lewis, H. (1990). A question of values. San Francisco: Harper & Row.Lipman, P. (1998). Race, class, and power in school restructuring. Albany: State

University of New York.Kagan, D. M. (1992). Implications of research on teacher belief. Educational

Psychologist, 27, 65-90.Malin, M., & Maidment, D. (2003). Education, Indigenous survival and well-being:

Emerging ideas and programs, The Australian Journal of Indigenous Education,32,85-99.

Marshall, C., & Rossman, G. (1989). Designing qualitative research. Newbury Park,Calif: Sage.Mercado, C. I. (2001). The learner: “Race,” “ethnicity,” and linguistic difference. In V.

Richardson (Ed.), Handbook of research on teaching (pp. 668-694). Washington,D. C: American Educational Research Association.

Montero-Sieburth, M. (1996). Teachers’, administrators’, and staff’s implicit thinkingabout ‘at-risk’ urban high school Latino students. In F. Rios (Ed.), Teacher thinkingin cultural contexts (pp. 55-84). Albany, NY: State University of New York.

Nieto, S. (1996). Affirming diversity: The sociopolitical context of education. WhitePlains, NY: Longman.

Li, Yi-Yuan. (1982). The society and culture of Taiwanese Indigenous. Taipei: LianChin.

Lin, Jin-Pao. (2000). Problem and outlook of urban Indigenous education. IndigenousCulture and Education Communication, 6, 13-15.

Lin, Yau-Chi. (2001). The problem of urban Aborigines. Journal of History, 156, 79-85.Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (1985). Naturalistic inquiry. Newbury Park, CA: Sage.

Page 208: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

201

Merriam, S. B. (1988). Case study research in education: A qualitative approach. SanFrancisco: Jossey-Bass.

Paige, M. (1993). On the nature of intercultural experiences and intercultural education.In Paige, M. (Ed.), Education for the intercultural experience (pp. 1-20).Yarmouth, ME: Intercultural Press.

Pajares, F. (1992). Teachers’ beliefs and educational research: Cleaning up a messyconstruct. Review of Educational Research, 62, 307-332.

Pajares, F. (1993). Preservice teachers’ beliefs: A focus for teacher education. Action inTeacher Education, 15(2), 45-54.

Pang, V. O., & Sablan, V. A. (1998). Teacher efficacy: How do teachers feel about theirabilities to teach African American students? In M. E. Dilworth (Ed.), Beingresponsive to cultural difference: How teachers learn (pp. 39-58). Thousand Oaks,CA: Corwin.

Partington, G., Richer, K., Godfrey, J., Harslett, M. & Harrison, B. (1999). Barriers toeffective teaching of Indigenous students. Paper presented at the AustralianAssociation for Research in Education Conference, Melbourne, 29 Nov - 2 Dec.

Partington, G. (2003). Why Indigenous issues are an essential component of teachereducation programs. Australian Journal of Teacher Education, 27(2), 39-48.

Patton, M. Q. (1990). Qualitative evaluation methods. Newbury Park, CA, Sage.Payne, R. S. (1994). The relationship between teachers’ beliefs and sense of efficacy

and their significance to urban LSES minority students. Journal of NegroEducation, 63(3), 181-196.

Qiu, Y. (1998). Urban Indigenous youths’ social support and study adjustment.Unpublished master thesis, Taiwan University, Taipei, Taiwan.

Ramlee Mustapha, Mustaffa Omar, Syed Najmuddin Syed Hassan, Ruhizan MohdYasin & Norani Mohd Salleh (2010). Human capital development of Orang Asliyouth: Supportive and suppressive factors. Procedia Social and BehavoiuralSciences 7(c), 592-600.

Santoro, N. (2009). Teaching in culturally diverse contexts: What knowledge about‘self’ and ‘others’ do teachers need? Journal of Education for Teaching, 35 (3), 33-45.

Strauss, A. L., & Corbin, J. M. (1990). Basics of qualitative research: Grounded theoryprocedures and techniques. Newberry Park, CA: Sage Publications.

Tatto, M. T. (1996). Examining values and beliefs about teaching diverse students:Understanding the challenges for teacher education. Educational Evaluation andPolicy Analysis, 18(2), 155-180.

Tesch, R. (1990). Qualitative research: Analysis types and software tools. New York:Falmer.

Villegas, A. M., & Lucas, T. (2002). Educating culturally responsive teachers. Albany:State University of New York.

Villegas, M., Neugebauer, S. R., & Venegas, K. R. (Eds.) (2008). Indigenous knowledgeandeducation: Sites of struggle, strength, and survivance. Harvard EducationalReview Reprint Series No. 44. Cambridge, MA: Harvard Education Press.

Willis, S. (1995). Teaching young children: Educators seek developmentalappropriateness. In Paciorek, K.M., & Munro, J.H. Guilford, CT: Dushkin.

Wuei, Chuen-Chih, & Jang, Nai. (2000). The identity of urban Indigenous youths. ShihYou, 391, 37-40.

Yin, R. K., (1984). Case study research: design and methods. Beverly Hills, CA: SagePublications.

Page 209: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

202

THE DIRECTION IN TRANSLATION TEACHING:FROM L2 TO L1 OR THE OTHER WAY AROUND

Nunung NurjatiUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstractStudents still have difficulty translating from English as target language(TL) to Indonesian as the source language (SL), usually meaning is not welltransmitted. The difficulty is increased when they translate from Indonesianto English. This paper is aimed at giving an insight which direction is firstlyapplied in teaching translation whether translating from English toIndonesian or from Indonesian to English.

Keywords: teaching translation, source language, target language

IntroductionTranslation cannot be separated from the activities of ESL learners in

comprehending any foreign language directly and indirectly. Any activities related tochanging words, phrases, idioms, sentences, and texts in the form of written or spokenfrom the first language into the second one needs translation. Mental translation andphysical translation occur in all of these situations. Mental translation (or interpretation)occurs when learners communicate orally. While physical translation occurs in writingfrom source language (SL) to target language (TL).

Learners must be careful when they do the activity of physical translation. Thetarget text should be as close to the source text as possible. Unlike mental translation (orinterpreting), where the words interpreted cannot readily be traced back to the origin tosee whether the interpretation is accurate or not, written translation can be viewedimmediately and determined whether it conveyed the meaning adequately or not. Intranslating both source language and target language can switch roles. In translatingEnglish to Indonesian, English is the SL and Indonesian the TL. When going in theopposite direction, Indonesian is the SL and English the TL. ESL works well whentranslating from English to Indonesian, particularly when dealing with textbooks andother academic material. On the other hand, translation suffers when going fromIndonesian to English. Problems arise in this translation direction because the learnerdoes not have sufficient knowledge of the TL (in this case, English). Sufficientknowledge includes familiarity with aspects such as idiomatic expressions, culture andgender.

Translation focus for ESL learnersIn general, before starting to translate from the source language to the target

language learners should make decision about: 1) what is to be translated, 2) aspects oftranslation, and 3) methods of translation.

The text that will be interpreted as a translation of material for learners ingeneral is a source of learning from textbooks or other materials for learning in English.Other materials to be translated among them are printed materials in English such asnewspaper, magazine, brochures, etc. For English learners material to be translated canbe in English into Indonesian or Indonesian into English.

The next decision is related to the aspects of translation. It will not be far fromwhat Machali (2000) states that language is (1) a structured system, (2) sound system

Page 210: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

203

that is arbitrary, and (3) a means of interpersonal communication. Linguistic aspects thatmust be understood and addressed by the translators include the forms (sound, text, andstructure), meaning, function, and diversity of languages. Hierarchies language unit issentence, clause, phrase, word, and morpheme. The meaning can be in terms of relationswith other words (lexical, grammatical, contextual, and sociocultural) as well as interms of origin (primary or secondary or referential and connotative).

At the early stages of translation for learners focus on some basic element instructured system. The elements are 1) vocabularies, and 2) grammar. At the first stageof translation, learners will interpret the literal word for word translation. At this stagelearners are generally affected by the transfer of the vocabulary of the source languageto the target language. Learners should master a level of vocabulary such as a 1000-words vocabulary or more to ensure the understanding of the target language. Betterinterpreting some target text will be gained from higher level vocabulary mastery. In away that translation and vocabulary mastery works on the other way around isrepresented by some earlier studies. Findings from the research done by A. MajidHayati reveals that in ESL context using translation in communicative frameworkenhance vocabulary learning at deeper level of cognitive processing leading to deepervocabulary gain for unknown words.

The next step to translate the source language (SL) to target language (TL)concerns with grammatical aspects. As some grammatical features of both languagespose problems in translation from Indonesian into English or vice versa. Learnersshould know that English grammar is not identical with Bahasa Indonesia’s grammar sothey cannot translate each other in a direct way.

At the time of translating the text, learners will not only translate grammar,words, or style. What learners have to translate is all. All the way is to get one thing, themeaning. But if they translate the literal meaning, they will get the translation of weakand boring, because it will not deliver the exact effect of the language of the originaltext. Therefore, learners should be aware of this. It must be very careful to use well-formed structure to write grammatical sentences and semantically correct to keep a truecopy of the text of the translation, for example, translating to follow sentences intoEnglish.

Simply, translating process whether it is done by qualified or ordinary personshave to follow certain stages (Azizinezhad, 2006). The first step in translation is to takea dictionary after receiving a text or material to be translated, start the translation work,and do it from the first line to the last. The translator should do some of these steps: 1)read the text as whole, 2) read the text in detail by paragraph, 3) find appropriate termsin the dictionaries, 4) prepare the first draft, 5) reading and editing the first draft, 6)prepare the second draft, 7) consult with a) translation experts, b) TL readers, and c) TLgrammar scholars, and 8) prepare final draft.

Quoting Qassim that translation needs to be explored thoroughly, this requirescovering a comprehensive field. However, it would be long winding way to deal with allfacts, principles and problems in translation. Therefore, this paper does not deal merelywith such a limited section of this subject like most ESL faces as the literal translationin which vocabulary and grammar are supposed to transform meaning concerned fromEnglish into Indonesian or the other way around.

Classroom Teaching TranslationTranslation is not simply replace the activities of the source language text (ST)

to the target language text (TT) but rather should be seen as an act of communication,not just a collection of words and sentences (Newmark, 1988b). Translators need to seethe translation of the two approaches, namely the processes and products, as well as the

Page 211: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

204

need to be equipped with the intellectual tools (ability to source and target language,knowledge about the topic of translation, application of personal knowledge, and skills)and practical (use referral sources as well as directly and indirectly context recognition).

Theories in teaching translation encourages teachers to use the native languagein lessons to influence the classroom dynamic and authenticate the learners'experiences. The actual usefulness of translation in English classes lies in exploiting itin order to compare grammar, vocabulary, word order and other language points inEnglish and the student's mother tongue (W. Schweers in Newmark, 1988a). Schweersconducted a research in this context and found out that a high percentage (88.7%) of thestudent participants felt that the mother tongue should be used in their English classes inthe first period of teaching. However, N. J. Ross in Colina (2003), says that if studentsare aware of the differences, language interference from their own language is likely tobe reduced.

Moreover, translation in the TL classroom offers a way to highlight similaritiesand differences between SL and TL forms. Translation at the final stage of languageteaching, translation from SL to TL and TL to SL the most important social skill since itpromotes communication and understanding between strangers. No matter how goodthe students are at comprehending authentic reading or listening materials, the majoritykeeps mentally translating from TL into SL and vice versa (Munday, 2001). This factmakes teachers of foreign languages conscious of the significance of translation inlanguage classrooms. Students use their mother tongue in class. According to J. Harmer(2001), a principal cause of this SL use is provoked by the activity, i.e. if students arelinguistically incapable of activating vocabulary for a chosen task. Another reason isthat translation is a natural thing to do in learning a language, and code-switchingbetween SL and TL is regarded as natural development.

The role of teacher in translation classrooms is about to be much considered.The teachers of translation must also have some attributes. It is essential that the teacheris also a translator. They must have been through the same or similar situations as thestudent goes through when engaged with a translation and they must know how theworld of translation works. It goes without saying that teachers of translation, whenelaborating their programmes, must also decide what kind of knowledge and what kindof competence they are to teach the students. The situation in the Faculties ofTranslation is different from that in the Departments of English Studies. Theprogramme of Translation Studies for Faculty of Translation must take into account theneeds of contemporary society: the increasing demand for translators in some fields—for instance, technology, law, economy, medicine, dubbing, etc. Thus, the curriculumshould include such subjects as cultural studies on the organization of political situation.While for Department of English without any doubt translation teaching is to fulfill theneed to acknowledge as ESL learners.

Direction in Teaching TranslationTeachers are really keen on the direction of Teaching Translation when it comes

which one which to be applied first. Hummel (2010) concludes from his study that is nosignificant differences occurred regarding direction of translation, i.e. students receivedas much benefit from translating from their L1 into their L2, as from their L2 into theirL1. This is particularly intriguing since it is a well known finding that translation intoone’s stronger language (the L1) is invariably done with greater skill and less effort thantranslation into one’s weaker language (the L2). In this study, even for these studentswho were still relatively non-fluent in the L2, the greater effort entailed in translatinginto the L2 did not adversely affect recall outcomes compared to translation into the L1.Interestingly, Prince in Hummel (2010) reported similarly unexpected results in his

Page 212: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

205

study in which direction of translation of individual words did not prove to be asignificant factor for word recall. As reported earlier in our study, at least one studyactually found higher retention for the more difficult L1 to L2 translation direction atlonger intervals (Schneider et al. In Hummel, 2002).

Text AnalysisTranslating in both ways whether it is from L2 to L1 or the other way around

from L1 to L2 keeps the difficulties in choosing between the two which one is firstlyapplied. Before students translate a certain kinds of text, the teacher is supposed tosuggest the students doing the analysis of texts, reading well—especially literary textsand texts on aesthetic theory—is, according to Claramonte (1994), extremely importantto translate well. The student should be taught to read carefully, to be sensitive todifferent styles, registers, writing techniques, etc. If they are able to read well, they willlook for phrases which are repeated or which are typical of that author. They willunderline the terminology used, the register, proverbs, style, grammar, intention of thetext, intertextual elements, modality of discourse, punctuation, use of toponims, titles offilms or books, alliterations, etc. Thus, I would like to propose here some aspects whichshould be taken into account if one wants to read a text carefully; these aspects aresummarized in the following scheme by Enrique Alcaraz (in Claramonte, 1994):

I. Conditions of Textuality- meaning and significance- coherence- cohesión- progressivity- closure- intentionality (tone —register and aim of discourse— and attitude)

Types of Attitude:1) personal (active sentences)2) impersonal (passive sentences)3) neutral (epistemic forms)4) engaged (deontic forms)

Attitude Imprints1) organizing patterns2) modality (deontic, taxative, tentative)3) disjunctive adverbs (e.g. "obviously")4) focalization (post-position, fronting, inversión, discontinuity)

II. Modality of DiscourseA) DESCRIPTION1) presentation through the senses2) use of ñames and adjectives3) adjectival clauses4) -ing forms5) compound words6) verbs of duration7) non-verbal elements (kinesic channels, paralinguistics, voice qualities, voice

qualifications, vocalizations, etc.)

Page 213: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

206

8) use of details (order, quantity, and quality)9) vividness (it is achieved thanks to: details, appeal to the senses and figurative

language)

B) EXPOSITIONInformation is presented through our intellect1) use of definitions (logical and rhetorical definitions)2) classification and división (systematic thought, structure)3) use of examples4) comparisons and contrasts5) cause and effect (see links between the sentences)6) analysis of process (assuming, sense of audience)7) impersonal pronouns8) passive9) place and character10) argument and persuasión11) illustrated maxims

C) NARRATIONPoint of view:1) lst person2) 3rd person3) omniscient narrator4) intrusive narrator5) several narrators6) fringe narrator7) interior monologue8) distance between character and reader unlimited point of view9) epistolar novel10) combined point of view (lst + 3rd person; past + present tense)11) linked point of view (several lst person narrators + authorial intrusión or

3rd person narrator)12) bouncing (use of adverbs or adverbial clauses, verbs denoting action or

movement, simple past and past perfect, generalized, summarized, dramatic,distance, direct and indirect speech)

III. Meaning and Significance1) implication2) connotation3) presupposition4) key words5) witness words6) stylistic themes: the repetition of harmonícs (stylistic themes) creates a

psychologicalatmosphere (irritation, tensión, etc.)

7) thematic or topic sentences8) theme/rheme9) register

IV. Significative ResourcesA) STYLE OF CHOICE

Page 214: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

207

- inclusión/exclusión of certain elements- it may be caused by : (1) the contents; (2) the writer's way of being (living),

experience, or socio-cultural background; (3) aim of the message (to inform, topersuade, to instruct, etc.)

- motives: main points of interest consciously chosen by the author. He developsthe whole narrative web around them. One notices them because of the

repetitionof certain elements which are developed with illustrations, definitions, etc.

Thematic Choice: Dimensionsa) Thematic Preferences: theme (developed through semic accumulation)b) Semic Loads: appearance of a sentence with several thematic semes (this

makes tensión grow)c) Articulators of Experience: words chosen by the writer to construct

experience around them.d) Centers of attention: lexemes constituting the main point of attention for the

author.e) How to show experience: theme/rheme, reification

B) STYLISTICS OF DEVIATION- metaphor (intralinguistic/extralinguistic)- simile- comparison- contrast/identity- personification- synaesthesia- metonymy and synecdoche- synonymy- alliteration- onomatopoeia

C) STYLISTICS OF EXPRESSIVTTY1) Connotation of the langue (stable features)

- words which have been hypostatized into a symbol (e.g. fire stands forpassion or love; water for purity or life, etc.)

- words which have not been turned into symbols (e.g. "glee" means "feelingof joy," but it connotes triumph, success, etc.)

2) Connotation of the parole (occasional features) (e.g. "beady" means small,round and bright, but it may connote hostility)

3) Cultural connotation (e.g. "drunk," "ambitious," etc.)

V. The writer 's point ofview- Direct/Indirect style- Point of View

VI. Tone andAttitude- Irony- Satire, etc

If the students take into account all these aspects of a text, they will be able to read thattext correctly and, as a consequence, to translate it well.

Page 215: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

208

Translating from L2 to L1 or Vice VersaApart from convincing the student of the importance of analysing and reading

the text carefully before translating it and of the relevance of knowing well the targetculture, the teacher must decide which direction the students want to choose, from L2 toL1 or from L1 to L2, always taking into account that both methods have pros and cons.Furthermore, translation is not, cannot be, an exact science to which preconceivedformulae can be applied. Thus, perhaps it is better to use one direction or the otheraccording to the text, background of students, etc. at a time.

Translating texts from L2 to L1 or vice versa is inseparable of interference.Newmark (1988a) adds that a translator is always influenced by the source textlanguage and the degree of this influence depends on the tradition of translating fromthe given culture. Translation from L1 into L2 can cause that the tendency tointerference is stronger than under the more favourable conditions (as denominated byToury in Havlásková, 2010) – sometimes referred to as “more natural” direction oftranslation (translation into one’s mother tongue, i.e. L2 into L1 direction). ChristopherHopkinson (in Havlásková, 2010) confirms this claim and states that “the issue oflinguistic interference is a factor in any translation, and when the translator is workingfrom L1 into L2, interference from the L1 source text becomes a key element in theproduction of the L2 target text” (Hopkinson in Havlásková, 2010). Logically, it islikely that there will be more interference in translations into someone’s secondlanguage; but, the “strange” and surprising thing is that interference occurs even in L1translation.

Samples of Students WorksThe followings are examples of ESL learners a paragraph translated from L2

(English) to L1 (Indonesian) and vice versa. These examples are dispalyed in order togive clearer overview of the direction of the translation teaching.

1. Translating English to IndonesianPart of material to be translated:“A language such as English contains a very large number of lexical item (i.e. wordsand idioms-see p. 179), and it is the function of a dictionary to list these items, and togive any necessary information (phonological, syntactic, semantic, stylistic, etc.)about the way they fit into the language system.”Student A:

“Sebuah bahasa seperti bahasa Inggris berisi jumlah bagian yang sangatbesar (misalnya kata-kata dan idioms-lihat hal 179) dan fungsi dari kamusuntuk daftar bagian ini, dan untuk memberikan informasi yang diperlukan(ilmu suara, ilmu bentuk kalimat, semantic, gaya pengarang yang baikdsb) tentang cara mereka masuk ke sistem bahasa.”

Student B:“Sebuah bahasa seperti bahasa Inggris terdiri dari sejumlah hal-halleksikal/yang berhubungan dengan bahasa (yaitu kata-kata dan langgamsuara-lihat halaman 179), dan itu adalah fungsi dari sebuah kamus untukmendaftar hal-hal ini, dan memberikan kebutuhan informasi (yang bersifatfonologi, sintaktik, semantik, stylistik/ilmu yang berhubungan dengan gayabahasa, dll.) tentang cara mereka menyesuaikan dengan tepat kepadasusunan/sitem bahasa.”

Student C:“Suatu bahasa seperti bahasa Inggris mengandung pokok-pokok yangberhubungan dengan bahasa yang jumlahnya sangat besar (contohnya

Page 216: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

209

kata-kata dan ungkapan-ungkapan-lihat pada halaman 179), dan itumerupakan fungsi dari sebuah kamus untuk mendaftar pokok-pokok ini,dan untuk memberikan kebutuhan informasi apa saja (fonologi, syntak,semantik, gaya bahasa, dan sebagainya) tentang bagaimana cara merekasesuai dalam sistim bahasa.”

Student D:“Bahasa sebagaimana bahasa Inggris berisi nomer sangat besar yangberharga dengan artikel kamus (i.e kata-kata dan corak-corak khas-lihathalaman 179), dan fungsi dari kamus untuk daftar-daftar artikel ini, danuntuk memberikan kebutuhan informasi lainnya (fonologi, sintaksis, ilmusemantic, ilmu gaya bahasa) tentang jalan mereka yang cocok ke dalamsistem bahasa.”

2. Translating Indonesian to EnglishPart of material to be translated:“Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin di Jakarta, Senin (2/7), mengatakanselama Maret 2011-Maret 2012, penduduk miskin di perkotaan berkurang 399.500orang dan di pedesaan berkurang 487.000 orang. Dasar perhitungannya adalahgaris kemiskinan selama periode ini.”

Student A:“Suryamin as the head of BPS in Jakarta on Monday (2/7) said duringMarch 2011-2012, the poor society decreased to 399.500 people in the cityand 487.000 in the village. The main calculation is the poverty line duringthat periode.”

Student B:“The head of Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin in Jakarta, Monday(2/7) said that, during March 2011-March 2012, the society poor in urbanaffairs decrease 399.500 person and in a village decrease 487.000 person.The base calculation is poverty line during that period.”

Student C:“The chief of Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin in Jakarta, Monday(2/7) said in March 2011 and March 2012 period, a poor citizen in towndecrease until 399.500 people and in village decrease until 487.000 people.The basic of account is a poverty line during that period.”

Student D“The head of Statistic Central Committee (BPS) Suryamin in Jakarta,Monday (2/7), said that since March 2011-March 2012, the poor resident inurban areas had decreased 399.500 people and in pertaining to villager haddecreased 487.000 people. The base of counting was the poverty line duringthat periods.”

Student E“The dean of statistics centre staff (BPS) Suryamin in Jakarta, Monday(2/7), He said for March 2011-2012, poor societies in the city decreases399.500 persons and in the village decreases 487.000 persons. Base ofaccounting is the length of poorness period.”

Student J“The chief executive of Statistic Central Corporation (BPS) Suryamin inJakarta, Monday (2/7), tells during March 2011-March 2012, poorinhabitant in the city is decreasing on 487.000 persons. The amount base isline of poor period at that time.”

Page 217: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

210

ConclusionProblems in translation by student of ESL can be learners found in both ways of

teaching translation whether students translate from English to Indonesian or the otherway around. For them, basic problem of translation mostly arise from aspects oftranslation among others are the terms used, grammatical aspect and translatingmeaning. Teaching student translation from English (L2) to Indonesian (L1) gains moreon the aspects of translation. Students are exposed to the L2 which require them toknow better of the L2. While translating on the other way around from Indonesian (L1)to English (L2), students experience difficulties. At the beginning of translationteaching students first introduced to the aspects in the target language so that studentshave the knowledge of the target language. ESL learners that can understand morevocabulary of Indonesian language in an equal English-language.

References

Abdullah A. Homiedan & Atef F. Youssef. A Translation Course in BuildingVocabulary.http://faculty.ksu.edu.sa/homiedan/Publications/A%20translation%20course%20in%20building%20vocabulary.pdf (Accessed on September 16, 2012)

Azizinezhad, Massaoud. Is Translation Teachable?, The Journal of Translation. Vol.10.No.2. April 2006. http://accurapid.com/journal/13educ.htm. Accessed on 11-9-2012

Claramonte, M.C.A.V. 1994. Approaches to the Teaching of Translation. RevistaAlicantina de Estudios Ingleses 7 (1994): 185-92.

Colina, S. 2003. Translation Teaching: From Research to Classroom: A Handbook forTeachers. USA: McGraw-Hill.

Dollerup, Cay The Emergence of the Teaching of Translation. From TeachingTransalation and Intrepreting 3. New Horizon. Paper for the Third LanguageInternational Conference. Elsinore, Denmark 9-11 June 1995

Harmer, J .2001. "The Practice of English Language Teaching" Oxford: LongmanHavlásková, Z. 2010. Intereference in Students’ Transalations. Master Diploma Thesis.

Department of English and American Studies. Faculty of Arts. MasarykUniversity

Hummel, K. 2010. Translation and short-term L2 vocabulary retention: Hindrance orhelp? Language Teaching Research 14 (1) 61-74

Khadim H. Bakir & Hashim G. Lazim Stylistic Problems Confronting Arab Students inArabic-English Translation.http://www.translationdirectory.com/articles/article1333.php (accessed 12-9-2012)

Machali, R. 2000. Pedoman bagi Penerjemah: Panduan Lengkap bagi Anda yang InginMenjadi Penerjemah Profesional, Kaifa (Mizan)

Munday, J. 2001. Introducing Translation Studies: Theories and Applications. NewYork: Routledge

Newmark, P. 1988a. Approaches to Translation. Hertfordshire: Prentice Hall.Newmark, P. 1988b. A Textbook Of Translation. Hertfordshire: Prentice HallQassim, A. H. Translation, Grammatical Viewed.

http://www.uobaghdad.edu.iquploads.PDFsbook.pdf Accesed on July 23rd, 2012Suhartatik. 2008. The Problem of Translating Indonesian-English, Paradigma Tahun

VIII, Nomor 26, Juli-Desember 2008

Page 218: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

211

PENTINGNYA PENDIDIKAN LINGKUNGAN PERKOTAAN

Raja JusmartinahUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstractIn many cities in the world, academics and NGOs to promote the provisionof urban education center for children, as Child Friendly City conceptproclaimed in the UNICEF draft. The purpose of this activity is to introduceearly to the children what their rights and duties to maintain the cityenvironment to remain habitable. Long-term goal is to prepare children tobecome citizens of a greater responsibility for living space. For that theyneed to be equipped with knowledge about the assets that exist in the city,the experience of interacting with fellow citizens well with those who areyounger or older. Hence, early formed networking expected to be a strongersocial ties in the future. Social capital will be very useful to solve theproblems that they will encounter later in the future. This study tried todescribe in empirical experiences, methods and learning processes of urbanenvironments for children through the concept of children participationthrough the school curriculum with the approach to the age group ofstudents, the materials that support the curriculum, using common materialsand fun, easy and piloted refers to the local and concrete issues. From thisstudy it was found that education about the urban environment it should begiven to children at an early age. Learning methods are very effective is toinvolve children in the process of city planning through participation ininteresting learning at school.

Keywords: Urban Environmental Education, Children Participation,Interesting Learning Methods

Latar BelakangAnak-anak merupakan masa depan kita. Merekalah yang akan menilai dan

menggunakan hasil pembangunan yang merupakan perencanaan kita saat ini. Denganmengajari anak-anak tentang konsep dan teknik perencanaan kota, banyak manfaat yangbisa didapatkan. Anak-anak dapat bereksplorasi dan belajar tentang peranbermasyarakat dan lingkungannya. Mereka bisa memperkuat identitasnya sebagaibagian dari masyarakat, diluar lingkungan sekolahnya.

Pentingnya memberikan pemahaman materi bidang penataan ruang kepadamasyarakat, termasuk kepada pelajar sekolah dasar dan menengah yang dikemas dalambentuk kurikulum sekolah, merupakan pelaksanaan fungsi Pemerintah dan pemerintahdaerah untuk memberikan pembinaan kepada masyarakat. Peraturan Pemerintah No.15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang mengamanatkan bahwa Pemerintahmelakukan pembinaan penataan ruang kepada pemerintah daerah maupun masyarakat,dimana salah satunya dilakukan melalui pendidikan kepada masyarakat seperti yangdiungkapkan Sekretaris Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU Ruchyat DeniDjakapermana dalam Seminar "Sosialisasi Konsep Awal Muatan Perundang-undanganBidang Penataan Ruang dalam Kurikulum Sekolah Dasar dan Menengah" di Jakarta(2011).

Page 219: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

212

Pakar Pendidikan Arif Rahman (2011) menyampaikan bahwa pendekatanpemahaman terkait materi bidang penataan ruang kepada para pelajar sebaiknyamenekankan keseimbangan antara praktik dan teori. Pemahaman awal dimulai daribagaimana melihat tata ruang di lingkungan sekitar, seperti di kelas, sebelum pelajardiajak untuk melihat konsep tata ruang dalam konteks yang lebih luas (wilayah dankota). Melalui proses pendidikan sejak dini kepada para pelajar sekolah dasar danmenengah, maka outcome yang diharapkan adalah perubahan paradigma perilaku dalampenataan ruang.

Perencana kota dapat berkontribusi dalam memberikan pemahaman tentangproses munculnya suatu kebijakan, mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, isu terkini,dan permasalahan yang muncul. Kemampuan dan pemahaman tentang perencanaan kotatersebut akan memberikan pencerahan dan pengalaman pada anak-anak tentang kondisiperencanaan dan proses pembangunan yang ada di lingkungannya.

Guru selaku pendidik memegang peranan untuk mengajarkan tentang sistemmasyarakat yang demokratif, termasuk didalamnya nilai-nilai dan kemampuan dalamproses demokrasi dimasyarakat yang menjunjung tinggi kejujuran dan persamaan hak.Disamping itu, pembelajaran prencanaan kota pada anak-anak secara tidak langsungjuga berguna sebagai media sosialisasi proses perencanaan di masyarakat dengan anak-anak menceritakan pengalaman pembelajaran mereka pada keluarganya di rumah.Sehingga akan menumbuhkan rasa memeiliki terhadap kotanya dan tercipta masyarakatdan generasi yang perduli terhadap lingkungan.

Peran dan Partisipasi Anak dalam Perencanaan Lingkungan PerkotaanKota merupakan wadah tempat tinggal manusia dengan beragam perbedaan

seperti: usia, karakter, tingkat sosial, kebutuhan dan beragam perbedaan lainnya. Namunseperti yang diungkapkan oleh Lynch (1977) bahwa kota yang baik adalah kota yangmenyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan oleh warganya. Namun dalamperkembangan saat ini masalah yang sering muncul dalam merencanakan suatu kotaadalah kurangnya pelibatan masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya gunamenciptakan kota dengan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan penghuninya. Hal inimenurut Rodriguez (2009) karena masyarakat tidak memahami dan tidak penahdiajarkan tentang konsep dan proses perencanaan lingkungan.

Pengalaman ini dapat dijadikan gambaran tentang kurangnya informasi tentangperencanaan lingkungan perkotaan yang diberikan dibangku pendidikan. Padahal materiperencanaan lingkungan perkotaan merupakan materi yang sangat nyata dan dapatdiajarkan dengan menyenangkan sambil bermain pada anak-anak sesuai usianya.

Anak merupakan bagian dari warga kota yang tersebar disemua belahan dunia.PBB memperkirakan pada tahun 2025, 60 persen anak tinggal di kota. Sebagai bagiandari populasi perkotaan, anak-anak juga memiliki hak dan kewajiban seperti warga kotalainnya. Kewajiban mereka antara lain harus turut menjaga, merawat dan melestarikanaset-aset kota, serta turut berperan dalam menjalankan ketertiban kota. Lalu, bagaimanadengan hak-hak mereka? Unicef mendefinisikan hak-hak setiap anak dalam kotasebagai berikut.

Anak-anak berhak untuk:1. Mempengaruhi keputusan mengenai kotanya;2. Mengekspresikan opininya mengenai kota yang mereka inginkan;3. Berpartisipasi di dalam keluarga,4. Komunitas dan kehidupan sosial;5. Menerima pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan;6. Meminum air bersih dan memililiki akses terhadap sanitasi yang layak;7. Dilindungi dari eksploitasi, kekerasan dan pelecehan;

Page 220: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

213

8. Berjalan sendirian dengan aman di jalan lingkungannya;9. Bertemu teman-teman dan bermain;10. Memiliki ruang terbuka hijau untuk tanaman dan binatang;11. Hidup dalam lingkungan yang tidak berpolusi;12. Berpartisipasi dalam even budaya dan sosial;13. Menjadi warga kota yang setara di dalam kotanya dengan akses terhadap berbagai

pelayanan, tanpa membedakan suku, ras, agama, pendapatan, jenis kelamin ataukemampuan (Child Friendly Cities-Unicef).

Mempelajari konsep-konsep perencanaan tidak hanya bermanfaat pada prosesperencanaan jangka panjang dimana anak-anak yang dapat merasakan hasil dari produktata ruang itu sendiri, tapi dilain pihak kesempatan berpartisipasi bagi anak dalamperencanaan kota juga mampu meningkatkan kualitas pertumbuhan anak sehingga lebihpeduli terhadap lingkungannya, sebagaimana tercantum pada kesepakatan konferensipermukiman berikut:

“…Special attention needs to be paid to participatory processes dealing with theshaping of the cities, towns, and neighbourhoods; this is in order to secure the living

conditions of children and youth and to make use of their insight, creativity andthoughts on the environment”.

(Preambule, 2nd UN Conference on Human Settlements, 1996)

Di berbagai kota di dunia, para akademisi dan NGOs tengah menggalakkanpemberian pendidikan perkotaan bagi anak-anak. Tujuan dari kegiatan ini antara lainuntuk mengenalkan secara dini kepada anak-anak apa saja hak dan kewajiban merekauntuk menjaga keberlangsungan lingkungan hidup kota agar tetap layak dihuni. Tujuanjangka panjangnya adalah untuk mempersiapkan anak-anak untuk menjadi warganegara yang lebih bertanggung jawab terhadap ruang hidupnya. Untuk itu mereka perludibekali tentang pengetahuan terhadap aset-aset yang ada di kota, pengalamanberinteraksi dengan sesama warga kota baik dengan mereka yang berusia lebih mudaatau lebih tua. Jejaring yang terbentuk sejak dini diharapkan mampu menjadi sebuahikatan sosial yang lebih kuat di masa depan. Modal sosial ini akan sangat berguna untukmenyelesaikan permasalahan-permasalahan yang nantinya akan mereka hadapi di masamendatang.

Knowles-Yánez (2005) menyatakan bahwa terdapat empat pendekatan dalammeningkatkan peran serta anak dalam perencanaan perkotaan yaitu : 1. Pendekatansecara ilmiah, 2. Pengalaman praktis, 3. Pendidikan dan 4. Berdasarkan hak-hak yangmelekat pada anak-anak.

Anak anak tidak hanya mempunyai hak dalam proses perencanaan namunkajian literature menunjukkan bahwa anak-anak juga mempunyai kemampuan dalamperencanaan perkotaan. Apresiasi terhadap lingkungan dimulai pada usia dini yangditandai dengan intensitas bereksplorasi yang sangat tinggi dan biasanya mulai hilangseiring dengan pertambahan usia. (Talen dan Coffindaffer 1999, 321). Penelitianlainnya menemukan bahwa anak memiliki sebuah kognisi spasial yang melekat (Halsethdan Doddridge 2000; Hart 1997, 1987; Blaut 1987, 1969, 50; Nagy dan Baird 1978,Hart dan Moore 1971). Keterampilan ini kontras dengan pendidikan yang diberikanpada anak-anak umumnya, yang tidak memasukkan pengetahuan tentang perencanaanperkotaan dan lingkungan (Kowaltowski et al 2004; Hart 1987).

Anak-anak adalah pengamat yang tajam dalam tata atur lingkungan merekaserta mampu menganalisis dan memahami kondisi sekitar mereka (Horelli dan Kaaja2002, Moore, Goltsman, dan Iacofano 1987, Lynch 1977). Sementara Piaget (1967)

Page 221: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

214

menemukan bahwa anak-anak memiliki kemampuan membuat presentasi dua dimensidari sebuah desa yang dijadikan model, peneliti lainnya juga menemukan bahwa anak-anak bahkan mampu menampilkan presentasi model tiga dimensi (Machemer 2006;Horelli dan Kaaja 2002). Horelli dan Kaaja (2002, 191) mencatat bahwa orang-orangmuda di Finlandia, Swiss, dan Perancis adalah analis yang tajam. Mereka mampumengidentifikasi, menganalisa dan menghasilkan ide-ide yang kreatif dalamperencanaan perkotaan untuk diterapkan. Frank (dalam Knowles-Yánez, 2005) mencatatbahwa anak-anak juga memiliki kompetensi dengan standar perencanaan, teknikpenelitian, analisis, dan desain yang sangat tajam. Frank (dalam Knowles-Yánez, 2005)juga mengidentifikasi empat pandangan sosial yang menjadi penghambat dalampelibatan anak dalam perencanaan, yaitu: 1) Usia yang masih sangat muda dianggapkurang mampu dalam hal ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, perilaku, danhubungan sosial untuk berpartisipasi dalam perencanaan, 2) Anak-anak dianggap rentandan kurang kuat sehingga membutuhkan perlindungan orang dewasa, 3) Pandanganhukum memberikan status anak-anak sebagai warga parsial, karena mereka tidak secarahukum memegang hak penuh dan tanggung jawab sebagaimana orang dewasa, dan 4)Pandangan romantis yang memperlakukan anak-anak sebagai sosok yang memiliki nilaidan kemampuan yang berbeda dari orang dewasa. Namun, meskipun keempatpandangan negative tersebut, anak-anak terbukti lebih kreatif, memiliki rasa ingin tahu,antusiasme, dan kepedulian bagi masyarakat dan kesejahteraan lingkungan lebih baikdaripada orang dewasa (Frank 2006, 353).

Dari sejumlah penelitian tersebut, yang sangat menarik bahwa anak, sepertihalnya orang dewasa, dapat diajak bekerjasama dan mengatasi persoalan-persoalan yangberhubungan dengan lingkungan kota (Adams & Ingham, 1998). Pemerintah dapatberkonsultasi dengan mereka, karena mereka mempunyai persepsi, pandangan danpengalaman mengenai lingkungan kota tempat mereka tinggal. Dari mereka, pemerintahdan para pemangku kepentingan di bidang anak dapat menemukan kebutuhan atauaspirasi mereka untuk mempercepat implementasi Konvensi Hak Anak dan komitmenNegara lainnya di bidang anak.

Anak dapat membantu pemerintah dalam mendapatkan data mengenailingkungan tempat tinggal, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah, tempatbermain, pelayanan transportasi dan pelayanan kesehatan. Anak akan memperolehpengalaman yang tak ternilai dari pelibatan mereka. Melalui kegiatan pelibatan ini anakmenjadi berfikir mengenai persoalan lingkungannya, dan dapat mengidentifikasipersoalan yang ada untuk didiskusikan dan dipecahkan bersama. Mereka juga dapatmemberikan kontribusi dalam proses perencanaan dan pengembangan kota yang merekaharapkan (Adams & Ingham, 1998).

Kota Layak AnakKota Layak Anak merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2005 melalui Kebijakan KotaLayak Anak. Karena alasan untuk mengakomodasi pemerintahan kabupaten,belakangan istilah Kota Layak Anak menjadi Kabupaten/Kota Layak Anak dankemudian disingkat menjadi KLA. Dalam Kebijakan tersebut digambarkan bahwa KLAmerupakan upaya pemerintahan kabupaten/kota untuk mempercepat implementasiKonvensi Hak Anak (KHA) dari kerangka hukum ke dalam definisi, strategi, danintervensi pembangunan seperti kebijakan, institusi, dan program yang layak anak.

Berbagai produk kesepakatan internasional dan kebijakan nasional yang terkaitdengan konsep Kota Layak Anak . Produk kesepakatan dan kebijakan itu dapatdikelompokan dalam dalam bentuk kesepakatan internasional yang disepakati olehpemerintah seperti : Konvensi Hak Anak (1989); Agenda 21 (1992); Beijing Platform

Page 222: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

215

for Action (1995); Agenda Habitat II (1996); Deklarasi Dakar “pendidikan untuksemua” (2000); World Fit for Children (2002); Millennium Development Goal (2001);dan Plan of Implementation World Summit on Sustainable Development (2002).Sedangkan kebijakan nasional tentang hak-hak anak dalam perencanaan pembangunanantara lain Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan KepresNo. 36 tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.Penerapan kebijakan tentang Kota Layak ini merupakan upaya dalam mewujudkanlingkungan perkotaan yang kondusif bagi anak, sehingga dalam perencanaannyapelibatan berbagai pihak sangat diperlukan, terutama anak yang dijadikan isu sentral.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hamid Patilima (2009), ada pra-syaratuntuk mewujudkan Kota Layak Anak, yaitu:a. Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan daerah: membangun dan memaksimalkan

kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak dan perlindungan anakyang dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.

b. Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untukperencanaan, penyusunan program, pemantauan, dan evaluasi.

c. Sosialisasi hak anak: menjamin penyadaran hak-hak anak pada anak dan orangdewasa.

d. Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya sedia peraturan perundanganmempromosikan dan melindungi hak-hak anak.

e. Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang melibatkananak dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka; mendengarpendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam proses pembuatan keputusan.

f. Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat kemampuan keluargadalam pengasuhan dan perawatan anak.

g. Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan hak danperlindungan anak.

h. Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang mengkoordinasikan semuaupaya pemenuhan hak anak.

Metode Pembelajaran Konsep Perencanaan Lingkungan PerkotaanUntuk meningkatkan pemahaman para pelajar akan pentingnya penataan ruang

diperlukan Sosialisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang. Kegiatan sosialisasi yangdilakukan hendaklah bersifat kreatif dan inovatif agar menyentuh para pelajar danmembuat mereka mengerti akan pentingnya penataan ruang sejak dini (Dirjen PenataanRuang PU, 2012).

Walaupun kurikulum pembelajaran tata ruang bagi pelajar masih merupakankonsep awal, namun program Pendidikan Lingkungan Perkotaan sudah diterapkan dibeberapa kota (Knowles-Yánez, 2005) seperti:a. Youth Environmental Summit Maryland’s 2001, program yang menghimpun ratusan

pelajar sekolah menengah untuk berdiskusi tentang pertumbuhan kota melaluimetode bermain peran.

b. The Urban Land Institute mendanai kompetisi Irvine (CA) City Hall yaitu kompetisiperancangan kawasan pusat kota bagi siswa sekolah menengah.

c. University of Texas di Austin merancang program “High School Adoption” untukmerancang kawasan Tenth Street di Dallas,Texas. Pihak Fakultas bekerjasamadengan sekolah menengah setempat dalam proses perencanaan kawasan dalambentuk kelompok diskusi

d. Lembaga LSM Center for Understanding the Built Environment (2002) di PrairieVillage, Kansas, merancang Alat Pembelajaran Edukatif perencanaan kota bagi anak-anak yang mereka sebut “box city festival”. Dengan alat pembelajaran ini anak-anak

Page 223: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

216

dan orang tua bisa bermain merancang kota dengan membuat jalan dan fasilitaspublic di “kota mereka” sesuai dengan kondisi kota yang mereka inginkan.

e. The Urban Plan Project (2002) di University of California, Berkeley, Haas School ofBusiness melakukan inisiasi pada siswa sekolah menengah untuk membuat proposalperencanaan kota.

f. The Our Town program di Carnegie Mellon University, Pittsburgh mengelompokkanduapuluh anak usia delapan dan sembilan tahun untuk melakukan pemetaan danmembuat rancangan pada kawasan kotanya.

Aktivitas pembelajaran lingkungan perkotaan yang dapat digunakan dalam prosespengenalan prinsip-prinsip perencanaan tata ruang perkotaan bagi anak-anak dan pelajaryang telah diterapkan di beberapa kota di dunia antara lain:a. Simulasi Merancang Kota: Permainan merancang kota dengan mengajak anak untuk

membayangkan kondisi lingkungan kota mereka. Bagian kota mana yang palingmereka sukai dan bagian mana yang tidak, selanjutnya anak diajak bermainmenyusun model tiga dimensi dengan menyusun kubus, balok kayu ataumenggunakan alat permainan LEGO yang banyak di pasaran sebagai Alat PermainanEdukatif (APE).

b. Bermain Peran: Anak diajak memainkan peran sebagai anggota masyarakat, pembuatkebijakan, anggota dewan, perencana, walikota, aktivis masyarakat, developer danperan masyarakat serta stakeholder lainnya. Sebagai peran perencana, anak diajakmembuat proposal perencanaan kota mereka untuk kemudian dipresentasi pada ajangdengar pendapat dihadapan dewan maupun pimpinan daerah yang diperankan teman-teman mereka sendiri.

c. Pengamatan Peta/Foto Udara: Anak-anak diajak mengamati Peta / Foto Udarakawasan lingkungan mereka untuk dijadikan bahan diskusi. Pada bagian ini anak-anak diminta menunjukkan posisi lokasi-lokasi dan bangunan-bangunan yangmereka kenali seperti mall, sekolah rumah mereka dan lainnya. Pada anak-anak jugadijelaskan bagaimana proses pengambilan Peta / Foto udara tersebut dan bagaimanapemanfaatan Peta / Foto Udara dalam perencanaan lingkungan perkotaan olehseorang Perencana Kota.

d. Zoning Map: Zoning Map atau yang biasa dikenal dengan Peta Zonasi denganmenyediakan Peta Zonasi lingkungan permukiman sekitar sekolah untukmenjelaskan pemanfaatan lahan yang ada dan hal-hal yang diijinkan dan dilarangpada lahan tersebut serta memberikan alasannya. Selanjutnya anak-anak diajakmembuat perubahan fungsi lahan yang mereka anggap kurang tepat dan alas anperubahan tersebut.

e. Sensus Kelas: Menjelaskan pada anak-nak tentang pengertian, fungsi dan tata carapelaksanaan sensus, juga dijelaskan manfaat dan penggunaan data sensus.Selanjutnya anak-anak diajak melakukan sensus di kelas mereka, menganalisa datasecara sederhana dan mendiskusikan hasil pengolahan data tersebut.

f. Field Trips: Anak-anak biasanya sangat senang belajar diluar kelas, mereka bisadiajak untuk melihat kondisi jalanan, permukiman, taman, Ruang Terbuka Hijau,Kawasan Koservasi dan fasilitas publik yang ada sambil melakukan wawancaradengan masyarakat pengguna seperti kondisi bis, fasilitas pejalan kaki, dan datalainnya yang kemudian didiskusikan didalam kelas.

g. Kunjungan ke Kantor Perencanaan: Kunjungan ke kantor perencanaan bisa dilakukanpada kantor pemerintahan seperti Badan Pertanahan, Badan PerencanaanPembangunan Kota, Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang, derta pada KonsultanPerencanaan Swasta.

Page 224: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

217

h. Pelibatan dalam Proyek Perencanaan: Anak-anak diajak terlibat langsung padaproyek perencanaan nyata. Mereka bisa bertindak sebagai surveyor dan diajakberdiskusi tentang kebutuhan fasilitas yang dibutuhkan untuk melengkapi data padaproses perencanaan.

SimpulanPendidikan lingkungan perkotaan bagi anak-anak selain merupakan media

sosialisasi materi pembinaan masyarakat di bidang penataan ruang, juga berperansebagai alat pembinaan sikap dan mental generasi muda. Dengan pemahaman dankepedulian terhadap kebijakan-kebijakan lingkungan perkotaan sejak dini diharapkandapat meningkatkan rasa memiliki dan membentuk masyarakat yang partisipatif,disiplin dan bertanggungjawab terhadap lingkungannya. Anak-anak akan memahamihak dan kewajiban mereka untuk menciptakan lingkungan perkotaan yang layak huni.

Manfaat lain dari pendidikan lingkungan bagi anak adalah pembentukan karakterdan kreatifitas anak, dengan pembelajaran tentang lingkungan perkotaan mereka belajartentang kondisi nyata kehidupan sehari-hari. Anak mampu mengidentifikasi danmengumpulkan data serta menganalisa sesuai dengan kemampuan usianya.

Pelibatan anak dalam proses perencanaan lingkungan perkotaan merupakanbentuk aktualisasi terhadap hak anak. Selama ini anak termasuk kelompok masyarakatyang tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan rencana pembangunanperkotaan, bahkan kebutuhannya akan ruang-ruang di lingkungan perkotaan punseringkali terabaikan. Padahal, tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak memilikikepekaan dalam menganalisa ruang perkotaan dan mereka juga mampu memberikangagasan yang aktual dalam menciptakan Kota Layak Anak. Anak dapat menjadinarasumber dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan dilingkungannya yangsekaligus dapat menjadi perencana kota kreatif.

Daftar PustakaAdams, Eillen & Sue Ingham. (1998). Changing Places: Children’s Participation in

Environmental Planning. London: The Children’s Society.American Planning Association.2002. Kidsand community. American PlanningAssociation Website.http://www.planning.org/kidsandcommunity/.Halseth, Greg, and Joanne Doddridge. 2000. Children’s cognitive mapping: A potential

tool for neighbourhood planning. Environment and Planning B: Planning andDesign27 (4): 565-82.

Hart, Roger A. 1997. Children’s participation: Thetheory and practice of involvingyoung citizens in community development and environmental care. London:UNICEF.

KIDS Consortium. 2001. Kids as planners: A guide to strengthening students, schoolsand communities through service-learning. Lewiston, ME: KIDS Consortium.Kimberley L. Knowles-Yánez , Children’s Participation in Planning Process Journal of

Planning Literature, Vol. 20, No. 1 (August 2005).Kowaltowski, D., F. B. Filho, L. C. Labaki, S. A. M. G. Pina, and N. Bernardi. 2004.

Teaching children about aspects of comfort in the built environment. Journal ofEnvironmental Education 36:19-31.

Lynch, Kevin. 1977. Growing up in cities. Cambridge, MA: The MIT Press.Michael A. Rodriguez, Let's Teach Children Planning

http://www.planetizen.com/node/40827, Thursday, September 24, 2009 -5:00am

Page 225: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

218

Sekretaris Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU D. Djakapermana, Ruchyat .Seminar "Sosialisasi Konsep Awal Muatan Perundang-undangan BidangPenataan Ruang dalam Kurikulum Sekolah Dasar dan Menengah" , Jakarta 15Desember 2011_______Kementrian PU, Dirjen Penataan Ruang , “Mengenal Lebih Dekat Penataan

Ruang Bagi Generasi Muda”, 2012Talen, Emily,and MaryCoffindaffer.1999.The utopianism of children: An empiricalstudy of children’s neighborhood design preferences. Journal of Planning Educationand Research18 (4): 321-31.http://www.ykai.net/index.php?view=article&id=97%3Akota-layak-anak&option=com_content&Itemid=121. Diunduh tanggal 10 Januari 2013

Page 226: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

219

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI STATISTIKAMELALUI PEMBERIAN PRAKTIKUM PENGOLAHAN DATA

BERBANTUAN KOMPUTERPADA MAHASISWA PRODI PEND. MATEMATIKA STKIP GARUT

Rostina SundayanaSTKIP Garut

[email protected]

AbstractIn general students assume that statistics is scary enough course because the materialrequires a lot of counting. The purpose of this research is to compare Statisticalcommunication ability between students who received MS Excel with students whoreceived SPSS. The research method is experiment method by taking two classes asresearch samples. The first experiment class received MS Excel and the secondexperiment class received SPSS. The research materials include two test average of thedependent samples, two test average of independent samples, one way ANOVA test,regression , and simple correlation. The research results by using independent t-test, oneway ANOVA, two way ANOVA, as well as further Post Hoc test using Tukey HSDtest with significant level of 0.05 conclude that : 1) statistical communication ability ofstudents who got MS Excel is better than those who got SPSS. 2) The increase instatistical communication ability of students who got MS Excel is better than those whogot SPSS. 3) The increasing achievement of statistical communication, based onstudents early capability (low, average, high), of those students who got MS Exce isbetter than those who got SPSS for the students who have low and average level. Forstudents who have high level there is no significant difference in students who got MSExcel than those who got SPSS. 4) There is no interactive influence between learningmodel given and students early capability toward statistical communication ability.

Keywords: statistical communication ability, students who received MS Excel, studentswho received SPSS

Latar Belakang MasalahPeranan statistika dalam penelitian sangatlah signifikan, terutama dalam hal

pengolahan data. Mengingat pentingnya peranan statistika khususnya dalam penelitian,hampir setiap perguruan tinggi dengan berbagai jenjang maupun program studimenjadikan mata kuliah statistika merupakan mata kuliah yang wajib ditempuh olehseluruh mahasiswa.

Materi perkuliahan statistika pada umumnya terbagi menjadi dua bagian, yaitustatistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistika inferensial terbagi menjadi duabagian: pertama, statistik parametrik dan kedua, statistika nonparametrik, yang meliputipokok-pokok bahasan yang cukup banyak. Metode dan strategi pembelajaran padaperkuliahan statistika yang berlangsung selama ini masih jarang dilengkapi denganpraktikum, pada umumnya hanya sebagai perkuliahan yang bersifat teori.Pelaksanaan evaluasi yang dilakukan melalui ujian tengah semester (UTS) dan ujianakhir semester (UAS).

Berdasarkan hasil pengalaman penulis pada proses perkuliahan mata kuliahstatistika, diketahui kelemahan mahasiswa sebagian besar hanya mampu melakukanperhitungan secara mekanis tetapi mahasiswa masih kebingungan untuk memaknai danmenjelaskan hasil perhitungan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuanmahasiswa dalam komunikasi statistikanya masih rendah.

Page 227: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

220

Berkenaan dengan masalah tersebut, maka diperlukan suatu upaya untukmemperbaiki kelemahan yang terjadi. Upaya yang dapat dilakukan dalam pembelajaranmata kuliah statistika yaitu dengan memberikan kuliah praktikum statistik yangdilakukan di laboratorium komputer. Melalui pelaksanaan praktikum tersebut,mahasiswa dapat berlatih dan melakukan eksplorasi mengenai permasalahan yangberkenaan dengan statistika serta berlatih untuk dapat menjelaskan hasil analisisstatistika yang dihasilkannya.

Kegiatan praktikum sangatlah penting untuk menambah pemahaman mahasiswatentang konsep yang telah diberikan pada perkuliahan. Dalam praktikum mahasiswadapat menerapkan langsung konsep yang dipelajari dalam bentuk sebuah olah datadengan media komputer untuk menyelesaikan masalah nyata. Dengan bantuan MS.Excel maupun SPSS, mahasiswa dapat melakukan eksplorasi berbagai macam persoalanstatistika, dapat dijadikan pedoman untuk mencocokkan hasil perhitungan manual,hasilnya akurat, dan lebih cepat mendapatkan jawaban yang diinginkan. Dalammenyelesaikan masalah statistika, MS. Excel menyediakan beberapa alternatif. Pertamamenggunakan Insert Function Tool yang memiliki kegunaan untuk mempermudahperhitungan beberapa rumus matematika pada satu atau beberapa variabel; Keduamenggunakan Graphical Display Data yang berguna untuk menampilkan data dan hasilanalisis dalam bentuk grafik; Ketiga menggunakan perintah analisis (analysis Toolpack)yang merupakan perintah tambahan (add-in) yang perlu diaktifkan terlebih dahulusebelum dapat digunakan. Program aplikasi SPSS terdapat banyak fasilitas yang dapatmenangani berbagai persoalan statistika, memiliki tampilan yang memudahkan bagipengguna. Santoso (2010: 5) mengemukakan beberapa keunggulan yang terdapat padaSPSS antara lain:1. SPSS mampu mengakses data dari berbagai macam format data yang tersedia

sehingga data yang sudah ada, dalam berbagai macam format, bisa langsung dibacaSPSS untuk dianalisis.

2. SPSS memberi tampilan data yang lebih informatif.3. SPSS memberikan informasi lebih akurat dengan memperlakukan missing

data secara tepat, yaitu dengan memberi kode alasan mengapa terjadi missing data.4. SPSS melakukan analisis yang sama untuk kelompok-kelompok pengamatan yang

berbeda secara sekaligus hanya dalam beberapa mouse click saja.5. SPSS mampu merangkum data dalam format tabel multidimensi (crosstabs), yaitu

beberapa field ditabulasikan secara bersamaan.6. Tabel multidimensi SPSS sifatnya interaktif. Kolom tabel bisa dirubah menjadi

baris tabel dan sebaliknya. Semua nilai dalam sel-sel tabel akan disesuaikan secaraotomatis.

Dari uraian di atas, penulis menduga, adanya kecenderungan bahwa MS. Excelakan cocok diberikan untuk mahasiswa yang mempunyai kemampuan awal sedang dankurang, karena pada umumnya mahasiswa sudah mengenal dan mempunyaikemampuan dasar untuk mengoperasikan MS. Excel tersebut, serta fasilitas yangtersedia untuk pengolahan data pada Excel hanya memuat persoalan pengolahan datastatistik yang sederhana; sedangkan SPSS akan tepat diberikan pada mahasiswa yangmempunyai kemampuan awal tinggi, karena untuk mengoperasikan SPSS dibutuhkanpemahaman awal dan keterampilan secara khusus, serta mahasiswa harus melakukanpeng-install-an pada komputer yang digunakannya. Selain itu, SPSS merupakansoftware khusus untuk pengolahan data statistik sehingga fasilitas pengolahan datatersaji secara lengkap.

Atas dasar hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis mengkajipermasalahan peningkatan kemampuan komunikasi statistika mahasiswa antara yangdiberi praktikum berbantuan MS. Excel dengan yang diberi praktikum berbantuan

Page 228: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

221

SPSS. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah secara umumyakni, apakah terdapat perbedaan kemampuan komunikasi statistika antara mahasiswayang mendapat praktikum statistika berbantuan MS. Excel dengan mahasiswa yangmendapat praktikum berbantuan SPSS?

Kajian Pustaka1. Kemampuan Komunikasi Statistika

Menurut Effendy (2007:11), komunikasi adalah proses penyampaian pesan olehkomunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek. Pengertian inibermakna bahwa dalam proses komunikasi terdapat empat bagian yang harus ada, yaitukomunikator (seseorang yang menyampaikan pesan), komunikan (orang yang menerimapesan), pesan itu sendiri, dan media yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Gurudapat berfungsi sebagai komunikator, dan siswa berfungsi sebagai komunikan, atau biasterjadi sebaliknya. Materi statistika yang sedang dibahas merupakan pesan yangdisampaikan, dan fasilitas atau peralatan yang digunakan dalam proses pembelajarantersebut, misalnya menggunakan komputer, merupakan media pembelajaran sebagaipenyampai pesan.

Kemampuan komunikasi statistika hamper sama dengan kemampuan stratistika.Menurut Baroody (dalam Kadir, 2010:6), ada dua alasan penting mengapa pembelajaranmatematik berfokus pada komunikasi, yaitu: (1) matematika lebih hanya sekedar alatbantu berpikir, alat menemukan pola, menyelesaikan masalah, atau membuatkesimpulan, matematika juga adalah alat yang tak terhingga nilainya untukmengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan ringkas, dan (2) sebagaiaktivitas sosial dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa, sepertikomunikasi antara guru dan siswa, adalah penting untuk mengembangkan potensimatematika siswa.

Menurut Rustaman (1990: 12) cara-cara berkomunikasi yang dapat dilakukan diantaranya: mengutarakan suatu gagasan, menyelesaikan penggunaan data hasilpengindraan, memeriksa secara akurat satu objek dan mengubah data dalam bentuktabel ke bentuk lainnya. Sedangkan kemampuan yang tergolong dalam komunikasimatematika menurut Sumarmo (2005: 7), diantaranya adalah:1. Menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa,

simbol, ide, atau model matematika2. Menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan3. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika4. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis5. Membuat konjektur, merumuskan definisi, dan generalisasi6. Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa

sendiriIndikator kemampuan komunikasi matematika menurut NCTM (Rohaeti,

2003: 11) adalah sebagai berikut.1. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematika melalui lisan, tertulis, dan

mendemonstrasikannya serta menggambar secara visual.2. Kemampuan memahami, menginterpretasi kan, dan mengevaluasi ide-ide

matematika baik secara lisan, tertulis, maupun dalam bentuk lainnya.Dari uraian di atas komunikasi statistika merupakan kemampuan dasar yang

harus dimiliki siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran statistika yaitumengembangkan kemampuan atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melaluipembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram dalam menjelaskan gagasan.Kemampuan komunikasi statistika yang dimaksudkan oleh penulis dalam penelitianini hanya mencakup: 1) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika secara tulisan,

Page 229: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

222

menyatakan suatu situasi gambar, atau benda nyata kedalam bahasa simbol, ide, ataumodel matematika; 2) membaca dengan pemahaman suatu representasi matematikasecara tertulis.

2. Penggunaan Komputer dalam Pembelajaran Statistikaa. Penggunaan MS. Excel

MS. Excel merupakan perangkat lunak untuk mengolah data secara otomatismeliputi perhitungan dasar, penggunaan fungsi-fungsi, pembuatan grafik danmanajemen data. Perangkat lunak ini sangat membantu untuk menyelesaikanpermasalahan administratif mulai yang paling sederhana sampai yang lebihkompleks. Fungsi-fungsi dalam MS. Excel sangat berguna bagi seseorang yangbergerak khususnya di bidang Matematika. Ada beberapa formula dalam MS. Excel,terutama disini yang akan saya bahas adalah MS. Excel 2010 yang sangat membantudalam media pembelajaran matematika. Formula yang sering digunakan diantaranya:1). Math and Trig, merupakan formula yang berisikan fungsi-fungsi matematika

dan trigonometri.2). Logical, merupakan formula yang berisikan fungsi-fungsi logika.3). Statistical, merupakan formula yang berisikan fungsi-fungsi statistik.

MS. Excel ternyata kaya akan fitur-fitur interaktif yang dapat dimanfaatkansebagai media pembelajaran matematika yang menyenangkan. MS, Excel adalahprogram aplikasi yang banyak digunakan untuk membantu menghitung,menganalisa, dan menyajikan data secara otomatis. Begitu juga dengan mengolahdata angka dengan variasi grafik, yaitu membuat grafik dan memodifikasi grafik. MSExcel menyediakan fasilitas pengolahan data statistic melalui analysis toolpack yangpenulis gambarkan sebagai berikut:

Gambar 1: Fasilitas Pengolahan Data Statistika pada MS. Excel

Dari tampilan fasilitas pengolahan data statistika di atas, MS. Excel dapatdigunakan untuk keperluan statistik deskriptif diantaranya: menghitung rata-rata,

Page 230: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

223

rank dan persentil, histogram, berbagai macam jenis grafik atau diagram. Selain ituMS. Excel juga dapat digunakan untuk pengujian hipotesis, diantaranya: UjiHipotesis Satu Sampel. Uji Hipotesis Dua Sampel, Analisis Varians, Korelasi danRegresi Sederhana, Analisis Runut Waktu (Time Series), Analisis Reliabilitas danValiditas, dan lain-lain.

b. Penggunaan SPSSSPSS menyediakan menu yang ada pada windows antara lain: file, edit, view,

data, Data, transform, analyze, Graphs, Utilities, Windows, dan Help. Mediakomputer (SPSS) menyediakan fasilitas pengolahan data secara lengkap, penulisgambarkan sebagai berikut:

Gambar 2: Fasilitas Pengolahan Data Statistika pada SPSS

Dari gambar di atas terlihat bahwa SPSS menyediakan berbagai permasalahanstatistika, baik statistika deskriptif maupun inferensial. Statistika inferensial yangdigunakan untuk keperluan uji hipotesis, baik bersifat statistika parametrik maupun nonparametrik dan secara kelengkapan, lebih lengkap dari fasilitas MS. Excel.

Hasil Penelitian yang BerkaitanBeberapa penelitian (Kulik, 1985; dan Bangert-Drowns, 1985 dalam Dahlan,

2009) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pembelajaran konvensional,pembelajaran interaktif dengan media komputer mampu meningkatkan kemampuansiswa dalam matematika, kecepatan siswa dalam penguasaan konsep yang dipelajarinyalebih tinggi, retensi siswa lebih lama, dan sikap siswa semakin positif. Banyak siswayang kesulitan dalam mempelajari matematika, setelah diberikan perlakuan dengan

Page 231: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

224

belajar menggunakan alat-alat ICT dibandingkan siswa yang belajar tanpamenggunakan ICT atau cara tradisional. Program komputer tepat untuk dimanfaatkandalam pembelajaran konsep yang menuntut ketelitian yang tinggi, konsep atau prinsipyang perlu disajikan secara repetitif dan penyelesaian dalam tampilan grafik yang cepatdan akurat.

Operasionalisasi Variabel1. Variabel bebas adalah pembelajaran statistika dengan praktikum berbantuan MS.

Excel; sedangkan X2 adalah perlakuan berupa praktikum statistika berbantuan SPSS2. Variabel terikat yaitu kemampuan komunikasi statistika.

Teknik Pengambilan SampelDari seluruh mahasiswa yang mengambil matakuliah Program Analisis Data

Statistik, di STKIP Garut Program Studi Pend. Matematika yang berjumlah 60 orang,penulis bagi menjadi dua kelas secara acak, yaitu sebagai kelas eksperimen ke-1(kelompok mahasiswa yang mendapat pembelajaran statistika dengan praktikumberbantuan MS. Excel) dan kelas eksperimen ke-2 (kelompok mahasiswa yangmendapat praktikum statistika berbantuan SPSS).

Instrumen PenelitianInstrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes uraian, untuk mengukurkemampuan komunikasi statistika dalam pembelajaran statistika. Instrumen penelitianmeliputi: soal pretes/postes, soal tes formatif yang dilakukan setiap pertemuan. Materiyang dijadikan bahan penelitian meliputi: Uji Perbedaan Dua Rata-rata sampeldependen dan independen, Uji Analisis Varians (ANOVA) Satu Arah, serta Regresilinier dan Korelasi sederhana.

Hasil Penelitian dan Pembahasan1. Deskripsi Hasil Penelitian

Data hasil skor pretest dan posttest kemampuan komunikasi statistika, sertaskor gain ternormalisasi kemampuan komunikasi statistika dihitung nilai rata-ratanya.Selain itu, juga diolah berdasarkan kemampuan awalnya (kemampuan tinggi, sedang,dan rendah). Deskripsi skor pretest, posttest, dan gain ternormalisasi komunikasistatistika secara umum disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1Deskripsi Skor Pretest, Posttest, dan Gain Ternormalisasi Kemampuan

Komunikasi Statistika Berdasarkan Kemampuan Awal

KelasKemam-puan awal

Kemampuan Komunikasi StatistikaPretest Posttest Gain

x SSkorIdeal

x SSkorIdeal

x SSkorIdeal

MS. ExcelAtas 7.13 2.42 20 16.13 2.59 20 0.70 0.19 1.00Sedang 5.93 1.59 20 15.64 2.21 20 0.69 0.18 1.00Bawah 5.00 3.55 20 14.00 3.70 20 0.61 0.21 1.00

SPSSAtas 6.38 2.13 20 15.50 1.60 20 0.67 0.09 1.00Sedang 5.00 1.66 20 13.36 2.44 20 0.56 0.13 1.00Bawah 5.50 2.07 20 12.13 0.99 20 0.45 0.07 1.00

Page 232: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

225

2. Uji Perbedaan Rata-rata Skor Pretest Kemampuan Komunikasi StatistikaHasil uji t untuk skor pretest kemampuan Komunikasi Statistikadapat dilihat

pada tabel berikut:Tabel 2

Hasil Uji t Skor Pretest Kemampuan Komunikasi Statistika

t Df Sig. (2-tailed)Mean

DifferenceSE Difference

.870 58 .388 .500 .575

Dari hasil tersebut diperoleh nilai thitung sebesar 0,870 dengan nilai probabilitas (sig)= 0,388 lebih besar dari α = 0,05. Ini berarti hipotesis nol (H0) diterima danmenunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor pretestkemampuan komunikasi statistika kelas MS. Excel dengan kelas SPSS.

3. Uji Perbedaan Skor Posttest Kemampuan Komunikasi StatistikaHasil uji t untuk skor posttest kemampuan Komunikasi Statistikadapat dilihat

pada tabel berikut:

Tabel 3Hasil Uji t Skor Posttest Kemampuan Komunikasi Statistika

t-Test: Two-Sample Assuming EqualVariances

Df 58

t Stat 2.637

P(T<=t) one-tail 0.005

t Critical one-tail 1.672

P(T<=t) two-tail 0.011

t Critical two-tail -2.002 and 2.002

Dari hasil perhitungan yang disajikan pada Tabel 3 diperoleh nilai thitung sebesar2,637. Sedangkan nilai ttabel dengan menggunakan taraf signifikan 0,05 dan uji duapihak (two tail test) diperoleh nilai sebesar 2,002. Karena nilai thitung sebesar 2,637 >ttabel sebesar 2,002; ini menunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, sehinggadapat dikatakan bahwa: terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skorposttest kemampuan komunikasi statistika kelas MS. Excel dan kelas SPSS.

4. Analisis Perbedaan Peningkatan Kemampuan Komunikasi StatistikaSkor Peningkatan kemampuan komunikasi statistika adalah skor yang diperoleh

dari hasil perhitungan gain ternormalisasi yang melibatkan skor ideal, skor pretest danskor posttest, baik kelas MS. Excel maupun kelas SPSS. Berdasarkan pengolahan dataterhadap skor gain ternormalisasi terhadap aspek yang diukur, yaitu aspek komunikasistatistika, diperoleh skor minimum (xmin), skor maksimum (xmaks), skor rata-rata ( x ),dan deviasi standar (s). Data disajikan pada tabel berikut:

Page 233: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

226

Tabel 4Deskripsi Skor Gain Kelas MS. Excel dan Kelas SPSS

KelasGainIdeal

Kemampuan KomunikasiStatistika

xmin xmax x S

MS. Excel 1,00 0,31 1,00 0,67 0,18

SPSS 1,00 0,31 0,85 0,56 0,13

Tabel 4 menunjukkan rata-rata skor gain kemampuan komunikasi statistikakelas MS. Excel dan SPSS sebelum diuji baik secara kualitatif tampak berbeda. KelasMS. Excel memperoleh nilai rata-rata peningkatan sebesar 0,67 dan hal inipeningkatannya termasuk kategori sedang; kelas SPSS rata-rata peningkatannya sebesar0,56 dan tergolong kategori peningkatan sedang.

Hasil uji t untuk rata-rata skor gain kemampuan Komunikasi Statistika dapatdilihat pada tabel berikut:

Tabel 5Hasil Uji t Rata-rata Skor Gain Kemampuan Komunikasi Statistika

t-Test: Two-Sample Assuming EqualVariances

Df 58

t Stat 2.548

P(T<=t) one-tail 0.007

t Critical one-tail 1.672

P(T<=t) two-tail 0.014

t Critical two-tail -2.002 and 2,002

Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai thitung sebesar 2,548. Sedangkan nilaittabel dengan menggunakan taraf signifikan 0,05 dan uji dua pihak (two tail test)diperoleh nilai sebesar 2,002. Karena nilai thitung sebesar 2,548 > ttabel sebesar 2,002; inimenunjukkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat dikatakan bahwa:terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor gain kemampuan komunikasistatistika kelas MS. Excel dan SPSS .

Analisis Uji Peningkatan Kemampuan Komunikasi Statistika dan PengaruhInteraksi

Rangkuman hasil analisis data dengan menggunakan anova dua jalur, penulissajikan pada tabel berikut:

Page 234: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

227

Tabel 6Hasil Uji Anova Dua Jalur Perbedaan Kemampuan Komunikasi Statistika

berdasarkan Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal

SumberJumlahKuadrat

DfRata-rataKuadrat

F Sig H0

Pembelajaran .200 2 .100 4.349 .018 Tolak

Kemampuan awal .146 1 .146 6.323 .015 Tolak

Interaksi .038 2 .019 .823 .445 Terima

Total 24,466 60

Berdasarkan Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa faktor model pembelajaran (pemberianjenis praktikum berbantuan Excel dan berbantuan SPSS) memberikan pengaruh yangsignifikan terhadap kemampuan komunikasi statistika. Hal ini ditunjukkan dengan nilaiprobabilitas (sig) = 0,018 lebih kecil dari 0,05. Demikian pula halnya dengan faktorkemampuan awal, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan komunikasistatistika. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig) = 0,015 lebih kecil dari 0,05.

Dari hal tersebut, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan komunikasistatistika yang signifikan berdasarkan model pembelajaran (pemberian jenis praktikum Exceldan SPSS) dan terdapat perbedaan kemampuan komunikasi statistika yang signifikanberdasarkan kemampuan awal. Untuk melihat perbedaan kemampuan komunikasi tersebut,kemudian dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Tukey HSD (Tukey’s HSD for honestsignificant difference). Hasil pengujian tersebut penulis sajikan dalam tabel berikut:

Tabel 7Hasil Uji Lanjut Anova Dua Jalur Kemampuan Komunikasi Statistika

berdasarkan Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal

(I) Level (J) LevelMeanDifference(I-J)

Std. Error Sig.

95% ConfidenceInterval

LowerBound

UpperBound

Kemampuanawal rendah

kemampuanawal sedang

-.0934 .04755 .131 -.2080 .0212

kemampuanawal tinggi

-.1569* .05364 .014 -.2862 -.0276

kemampuanawal sedang

Kemampuanawal rendah

.0934 .04755 .131 -.0212 .2080

kemampuanawal tinggi

-.0635 .04755 .382 -.1781 .0511

kemampuanawal tinggi

Kemampuanawal rendah

.1569* .05364 .014 .0276 .2862

kemampuanawal sedang

.0635 .04755 .382 -.0511 .1781

*. The mean difference is significant at the .05 level.

Page 235: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

228

Dari tabel di atas, maka diperoleh informasi bahwa:a. Tidak terdapat perbedaan kemampuan komunikasi statistika antara yang kemampuan

awalnya rendah dengan yang berkemampuan awalnya sedang; hal ini ditunjukkan dengannilai probabilitas (Sig.) sama dengan 0,131 yang lebih besar dari 0,05;

b. Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi statistika antara yang kemampuan awalnyarendah dengan yang berkemampuan awalnya tinggi; hal ini ditunjukkan dengan nilaiprobabilitas (Sig.) sama dengan 0,014 yang lebih kecil dari 0,05;

c. Tidak terdapat perbedaan kemampuan komunikasi statistika antara yang kemampuanawalnya sedang dengan yang berkemampuan awalnya tinggi; hal ini ditunjukkan dengannilai probabilitas (Sig.) sama dengan 0,382 yang lebih besar dari 0,05;

Untuk memperkuat deskripsi di atas, maka penulis lakukan analisis uji perbedaan duarata-rata skor peningkatan kemampuan komunikasi statistika diantara kedua kelas eksperimentersebut. Ringkasan pengujian, penulis sajikan pada tabel berikut:

Tabel 8Perbandingan Rata-rata Peningkatan Kemampuan Komunikasi

Statistika Berdasarkan Kemampuan AwalKelas MS.Excel

KelasSPSS 1x 2x thitung ttabel Keterangan

KemampuanAwal

Tinggi Tinggi 0,70 0,67 0,357 1,761 Tidak berbedasecara signifikan

Sedang Sedang 0,69 0,56 2,092 1,706 Berbeda secarasignifikan

Rendah Rendah 0,61 0,45 2,030 1,761 Berbeda secarasignifikan

Dari hasil pengujian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian praktikum denganmenggunakan bantuan Excel pada kelompok siswa berkemampuan rendah dan sedang,peningkatan kemampuan komunikasi statistikanya lebih baik daripada kelompok siswa yangpemberian praktikumnya menggunakan bantuan SPSS. Sedangkan pada kelompok siswa yangmempunyai kemampuan awal yang tinggi, peningkatan kemampuan komunikasi statistikakelompok siswa yang menggunakan bantuan MS. Excel dengan siswa yang menggunakanbantuan SPSS tidak berbeda secara signifikan.

Mengenai pengaruh interaksi model pembelajaran (pemberian jenis praktikumberbantuan Excel dan berbantuan SPSS) dan kemampuan awal terhadap kemampuankomunikasi statistika, dihasilkan nilai probabilitas (sig) = 0,445 lebih besar dari 0,05. Hal iniberarti bahwa tidak terdapat interaksi pembelajaran yang digunakan dengan kemampuan awaldalam peningkatan kemampuan komunikasi statistika. Secara grafik ada tidaknya interaksiantara pembelajaran yang digunakan dan kemampuan awal dalam peningkatan kemampuankomunikasi statistika diperlihatkan pada Gambar .

Page 236: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

229

Gambar 2 Interaksi antara Model Pembelajaran dan Kemampuan Awal dalam PeningkatanKemampuan Komunikasi Statistika

Gambar 2 memperlihatkan tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran(pemberian praktikum berbantuan Excel dan berbantuan SPSS) dan kemampuan awal dalampeningkatan kemampuan komunikasi statistika. Pada kelompok mahasiswa berkemampuanawal rendah dan kelompok sedang, peningkatan kemampuan komunikasi statistika kelompokmahasiswa yang mendapat praktikum berbantuan MS. Excel lebih baik daripada kelompoksiswa yang mendapat praktikum berbantuan SPSS; Namun pada kelompok mahasiswaberkemampuan awal tinggi, meskipun kelompok mahasiswa yang mendapat praktikumberbantuan MS. Excel lebih tinggi daripada kelompok siswa yang mendapat praktikumberbantuan SPSS, tetapi tidak menunjukkan adanya perbedaan kemampuan komunikasi yangsignifikan.

PembahasanHasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok model pembelajaran dan

kemampuan awal, terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan komunikasistatistika mahasiswa yang mengikuti pembelajaran berbantuan MS. Excel dengan mahasiswayang mengikuti pembelajaran berbantuan SPSS; Secara umum, kemampuan komunikasistatistika mahasiswa yang mendapat berbantuan MS. Excel lebih baik daripada mahasiswayang mengikuti pembelajaran berbantuan SPSS.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis selama penelitian, dan hasil wawancara denganmahasiswa ditemukan jawaban bahwa mahasiswa lebih senang menggunakan MS. Exceldalam mengolah data, disebabkan karena MS. Excel sudah terbiasa mereka pakai, sedangkanSPSS mereka harus belajar terlebih dahulu untuk mengoperasikannya. Hal lain, dalam MS.Excel, ada beberapa alternatif cara mengerjakan persoalan statistika, sehingga mereka dalamproses pengolahan data secara tidak langsung sambil belajar memaknai danmengkomunikasikan hasil pengolahannya, dimulai dari proses pemasukan data, pengolahan,dan hasil akhir. Sedangkan pada penggunaan SPSS, mereka punya keterbatasan komunikasihanya pada hasil akhirnya saja.

Simpulan dan Rekomendasi

Page 237: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

230

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulismenyimpulkan dan merekomendasikan sebagai berikut:1. Simpulana. Terdapat perbedaan pencapaian kemampuan komunikasi statistika antara mahasiswa

yang mendapat pembelajaran berbantuan MS. Excel dengan mahasiswa yang mendapatpembelajaran berbantuan SPSS, dengan rata-rata skor peningkatan kemampuankomunikasi statistika kelas yang mendapat pembelajaran berbantuan MS. Excel lebihbaik daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran berbantuan SPSS.

b. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi statistika antara mahasiswayang mendapat pembelajaran berbantuan MS. Excel dengan mahasiswa yang mendapatpembelajaran berbantuan SPSS, dengan rata-rata skor peningkatan kemampuankomunikasi statistika kelas yang mendapat pembelajaran berbantuan MS. Excel lebihbaik daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran berbantuan SPSS. Namun secarakualitas, kedua kelompok peningkatan kemampuan komunikasi statistikanya sama yaitutermasuk dalam kategori sedang.

c. Peningkatan kemampuan komunikasi statistika berdasarkan tingkatan kemampuan awalmahasiswa (tinggi, sedang, rendah) yaitu pemberian praktikum dengan menggunakanbantuan Excel pada kelompok siswa berkemampuan rendah dan sedang, peningkatankemampuan komunikasi statistikanya lebih baik daripada kelompok siswa yangpemberian praktikumnya menggunakan bantuan SPSS. Sedangkan pada kelompok siswayang mempunyai kemampuan awal yang tinggi, peningkatan kemampuan komunikasistatistika kelompok siswa yang menggunakan bantuan MS. Excel dengan siswa yangmenggunakan bantuan SPSS tidak berbeda secara signifikan.

d. Tidak terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dankemampuan awal mahasiswa terhadap peningkatan kemampuan komunikasi statistika.

2. RekomendasiBerdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mengajukan beberapa rekomendasi:

a. Mahasiswa yang kemampuan awalnya rendah dan sedang dalam statistika, dalampembelajaran statistikanya lebih tepat menggunakan bantuan MS. Excel.

b. Mahasiswa yang mempunyai kemampuan awal yang tinggi, dalam pembelajarannyaboleh menggunakan bantuan MS. Excel maupun SPSS.

c. Mahasiswa perlu dibiasakan dan dilatih untuk mengkomunikasikan persoalan statistika,mulai dari mengkomunikasikan persoalan, proses, maupun output atau hasil yangdiperoleh dari hasil pengolahan tersebut.

Daftar PustakaDahlan, J. A. (2009). Pengembangan Model Computer-Based E-Learning untuk

Meningkatkan High-Order Mathematical Thinking Siswa SMA. Laporan PenelitianHibah Bersaing Perguruan Tinggi TA. 2009/2010 UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Effendy, Onong Uchjana. (2002). Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. Bandung : RemajaRosdakarya.

Kadir. (2010). Penerapan Pembelajaran Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir sebagai UpayaPeningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Komunikasi Matematikdan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Disertasi Bandung : UPI. Tidak Dipublikasikan

Rohaeti, E. E. (2003). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode ‘Improve’untuk Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematika SiswaSekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Tesis PPS UPI. Bandung : TidakDiterbitkan.

Page 238: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

231

Rustaman, N. (1990). Kemampuan Klasifikasi Logis Anak: Studi tentang KemampuanAbstraksi dan Inferensi Anak Usia Sekolah Dasar pada Kelompok Budaya Sunda.Disertasi PPs IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Santoso. Singgih. (2010). Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 18. Jakarta: ElexMedia Komputindo.

Sumarmo, U. (2005). Pengembangan Berfikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP danSMU serta Mahasiswa Strata Satu melalui Berbagai Pendekatan Pembelajaran.Laporan Penelitian. Bandung: Lemlit UPI. Tidak diterbitkan.

Page 239: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

232

PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK DANPENGETAHUAN AWAL TERHADAP HASIL BELAJAR METODOLOGI

PENELITIAN

Rufi’iUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstrakStrategi pembelajaran konstruktivistik bertujuan meningkatkan pemahaman pebelajar dansebagai suatu proses yang menekankan peran aktif pebelajar untuk membuat pengertianterhadap informasi lebih baik. Kontruktivisme dapat membantu mendorong pebelajarlebih aktif, belajar otentik, mendorong interaksi personal pebelajar dengan pebelajar yanglain. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hasil pengujian: (1) perbedaan hasil belajarMetodologi Penelitian antara pebelajar yang belajar dengan strategi pembelajarankontruktivistik dan konvensional, (2) perbedaan hasil belajar Metodologi Penelitianantara pebelajar yang pengetahuan awal tinggi dan rendah, (3) interaksi antara strategipembelajaran dan pengetahuan awal terhadap hasil belajar Metodologi Penelitian.

Kata Kunci: Kontruktivistik, konvensional, pengetahuan awal, hasil belajar

Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan faktorial 2x2. Subjek penelitian adalahpebelajar Program Studi Pendidikan Matematika Universitas PGRI Adi Buana Surabayasemester V tahun akademik 2012/2013 yang terdiri empat kelas sebesar 162 orang. Subjekpenelitian ditetapkan dua kelas dengan jumlah 69 orang. Hipotesis penelitian diuji dengan ujistatistika Analysis of Variance (Anova).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan hasil belajar MetodologiPenelitian antara pebelajar yang belajar dengan strategi pembelajaran kontruktivistik dankonvensional (F=13,576; p=0,00), (2) terdapat perbedaan hasil belajar Metodologi Penelitianantara pebelajar yang pengetahuan awal tinggi dan rendah (F=17,050; p=0,00), (3) terdapatpengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan pengetahuan awal terhadap hasil belajarMetodologi Penelitian (F=4,591; p=0,036).

PendahuluanVockell dan Asher, dalam Setyosari, 2010, menyatakan penelitian berkenaan dengan

aplikasi pengetahuan metode ilmiah guna memecahkan masalah. Selanjutnya Setyosari, 2010,penelitian ilmiah merupakan usaha penyelidikan yang sistematis dan cermat tentang suatupokok persoalan atau subjek tertentu untuk menemukan atau memperbaiki fakta-fakta, teori-teori atau aplikasi.

Pembelajaran Metodologi Penelitian secara umum masih mengandalkan ceramah.Pembelajaran yang demikian biasanya kurang memperhatikan pebelajar secara individu.Setiap individu mempunyai perbedaan. Davies (1984) menyatakan perbedaan tersebut dapatdari: (1) kecakapan dan kemampuan, (2) pengetahuan, ketrampilan, dan sikap, (3) kepribadiandan gaya belajar, dan (4) umur dan pengalaman. Charles (1980) perbedaan yang ada padaindividu adalah: (1) perkembangan intelektual, (2) kemampuan dalam menggunakan simbulatau bahasa, (3) latar belakang pengalaman, (4) gaya belajar, (5) kepribadian, dan (6)gambaran diri.

Untuk mengatasi kendala dalam pembelajaran konvensional tersebut maka perludikembangkan strategi pembelajaran konstruktivistik. Beberapa penelitian menunjukkan hasilbelajar metodologi penelitian masih kurang atau tidak sesuai dengan harapan. Hasil penelitianyang dilakukan oleh Wilson dan Rosenthal (1992), menunjukkan bahwa 58% pebelajarFinlandia dan 21% pebelajar US mengalami kesulitan dalam belajar metode pelitiankuantitatif. Sebanyak 27% pebelajar US mengalami kecemasan sangat tinggi, 51% mengalami

Page 240: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

233

kecemasan tingkat sedang, dan sisanya 22% mengalami kecemasan tingkat rendah.Permasalahan kesulitan belajar metodologi penelitian kuantitatif akan berpengaruh langsungterhadap hasil belajar. Penelitian lain yang dikemukan Murtonen dan Lehtinen (2003)menjelaskan bahwa hampir 60% pebelajar Finlandia mengalami masalah dalam matakuliahstatistika dan metodologi penelitian kuantitatif, kesulitan tersebut karena alasan pengajaranyang buruk.Semiawan (2003) menjelaskan bahwa para pebelajar di Indonesia hanya mampu memahami30% dari materi bacaan dan mengalami kesulitan menjawab soal-soal berbentuk subjektifyang memerlukan penalaran.

Hasil penelitian Mukhid, dkk (2010) menunjukkan bahwa 50% pebelajar mengalamikesulitan tetang definisi operasional variabel, 100% pebelajar mengalami kesulitan tentangpengukuran variabel moderator dan kontrol, 80% mengalami kesulitan dalam desainpenelitian, dan 50% pebelajar mengalami kesulitan dalam menjelaskan kekuatan danketerbatasan penelitian, mmenjelaskan implikasi penelitian, dan menjelaskan apa yang akandilakukan untuk memperbaiki penelitian.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa matakuliahmetodologi penelitian dengan pendekatan kuantitatif, membutuhkan strategi pembelajarankonstruktivistik yang dapat mengatasi masalah dalam kesulitan-kesulitan yang dihadapipebelajar. Barrowes (2000) menyatakan bahwa strategi pembelajaran konvensional yangdigunakan cenderung menekankan kepada aspek hafalan, ingatan, ceramah dan tidak cukupwaktu bagi pebelajar untuk merefleksi materi-materi yang disajikan.

Heinch, dkk (1982) menjelaskan bahwa pembelajaran konvensional didominasi aktifoleh pembelajar, yang biasanya dalam menyampaikan materi kuliah melalui langkah-langkahmenyajikan informasi, memberi contoh-contoh khusus, dan mengevaluasi pengetahuan yangtelah diinformasikan.

Strategi pembelajaran konvensional yang demikian menjadi penyebab pemahamanpebelajar terhadap pelajaran yang dipelajari kurang bermakna. Belajar menjadi pasif, hanyadapat mengingat dan menghafal, jika pebelajar diberikan ruang gerak yang luas dalam belajaryang bersifat aktif dan dikemas inovatif (Woods, 1989). Dengan demikian strategipembelajaran konstruktif dapat digunakan dalam pembelajaran metodologi penelitian.

Broers (2001, 2002) menyatakan bahwa “The knowledge of facts, term and proceduresshould be integrated into a network of interrelation, i.e. conceptual understanding, before thesolving of an abstract problem is posible”. Hal ini menunjukkan bahwa metodologipenelitian merupakan pelajaran banyak memuat materi atau bahasan tentang konsep-konsepabstrak yang saling berkaitan yang menantang sehingga memerlukan pemehaman mendalamyang tidak mudah.

Lehtinen dan Rui (1995) menjelaskan bahwa permasalahan-permasalahan dalambelajar metodologi penelitian tampak sebagian karena kompleksitas domain, yaitupengetahuan metodologi yang mencakup beberapa sifat yang menantang pebelajar, sub bagiansangat abstrak dan sebagian menjadi perdebatan, hubungan antar sub-bagian abstrak dansebagian didasarkan pada analogi struktural, dan pemahaman domain yang memerlukanprosedur konkrit harus dipahami dalam kerangka sistem kompleks keseluruan.

Metodologi penelitian selain memuat konsep abstrak dan prosedur yang memerlukanpemahaman yang sesungguhnya tidak mudah, juga memerlukan keterampilan dalamaplikasinya, sebagimana yang dijelaskan Hiebert dan Lefevre (dalam Murtonen danLethtinen, 2003):

The knowledge on research that students read from books and study in couses ia noteasy to understand or easily transmtted into practice. Mthodological expertiserequires vast amounts of conceptual knowledge (“knowing what”), although theresearch process in itself requires procedural knoledge (‘knowing how’).

Page 241: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

234

Kontruktivisme merupakan pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (studentcentered learning) yang dilandasi oleh beberapa prinsip. Simon, (tt) menjelaskan bahwabeberapa prinsip, yaitu: 1) pengetahuan itu dikonstruk secara aktif oleh individu, 2) belajarmerupakan proses individu dan sosial, 3) belajar merupakan proses pengaturan diri, 4) belajarmerupakan proses pengorganisasian yang memungkinkan seseorang membuat perasaan padadunia mereka, 5) kognisi membantu organisasi pengalaman dunia, bukan realitas ontologi.Kebenaran sebagai keberlangsungan hidup (variability), bukan validitas, 6) relaitasmenghadirkan (represents) suatu interpretasi, 7) belajar adalah aktivitas sosial dalam konteksyang bermakna, 8) bahasa memainkan peran penting dalam belajar, berfikir mengambiltempat dalam komunikasi, dan 9) motivasi adalah komponen kunci dalam belajar.

Selain faktor strategi pembelajaran kontruktivistik, terdapat pula salah satu faktor yangmempengaruhi hasil belajar adalah apa yang telah diketahui pebelajar dan menjadi salah satuunsur penting yang harus diperhatikan pembelajar. Dick, dkk, (2001) menyatakanbahwa:”information about the group’s geneneral characterictics can be very helpful inplanning instruction tailored to group needs”’. Karakteristik pebelajar adlah seluruh latarbelakang yang dibawa ketika hadir di kelas sebelum pembelajaran dimulai. Pengetahuan yangmendahului dan apa yang diketahui pebelajar sebelum pembelajaran baru adalah priorknowledge. Dochy (1996) menyatakan bahwa prior knowledge adalah salah satu variabelyang cukup penting dalam belajar. Prior knowledge menjadi salah satu kunci untukmengembangkan pengetahuan menjadi terintegrasi dan pengetahuan generatif. Priorknowledge diharapkan tidak berupa misconseption yang justru menghambat pelajaranselanjutnya. Sebaiknya pembel;ajar memulai pembelajaran dengan mempertimbangkan. Priorknowledge dar4i pebelajar yang tersimpan dalam struktur kognitif yang berbentuk skema-skema.

Arends (2007) menyatakan makin lengkap prior knowledge dan skema seseorangtentang topik tertentu, makin mudah baginya untuk memproses informasi baru dan melihatlebih banyak hubungan abstrak. Ia menjelaskan juga bahwa kemampuan pebelajarmempelajari ide-ide baru bergantung pada pengetahuan sebelumnya dan struktur kognitifyang sudah ada. Pembelajar bertugas mengorganisasi bahan-bahan belajar secara mendalam,mengaktifkan, mengaitkan, dan mengintegrasikan pembelajaran baru, memberikan petunjukdalam mengambil informasi dari ingatan jangka panjang untuk dipindahkan ke ingatan jangkapendek. Dengan demikian, prior knowledge pebelajar dapat menjadi pedoman bagipembelajar untuk menyusun dan merencanakan pembelajaran.

MetodeDesain penelitian atau rancangan penelitian ini menggunakan nonequivalent control

group design (Tuckman, 1999: 174) versi faktorial 2x2. Rancangan eksperimen kuasi inidilakukan dalam penelitian eksperimen di kelas yang menggunakan kelompok utuh (intactgroup). Subjek secara random sebagai kelompok eksperimen dan kelompok pembanding tidakmungkin dilakukan. Penelitian ini dilakukan pada pebelajar yang telah ditetapkan dalam kelastertentu yang tidak dapat dipisah.

Diagram rancangan quasi experiment pretest-postest nonequivalent control groupdesign versi faktorial 2x2 (Tuckman, 1999: 174, Campbell and Stanley, 1963) digambarkansebagai berikut:

O1 X1 Y1 O2

O3 X2 Y1 O4

O5 X1 Y2 O6

O7 X2 Y2 O8

Gambar 1 Prosedur the version of Non-equivalent Control Group Design(diadaptasi dari Tuckman, 1999: 174)

Page 242: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

235

Keterangan: O1, 3 = pretest/pengamatan awalO2, 4 = posttest pengamatan akhirX1 = strategi pembelajaran kontruktivistikX2 = strategi pembelajaran konvensionalY1 = prior knowledge tinggiY2 = prior knowledge rendah

= kelompok utuh

Gambar 1. menunjukkan prosedur eksperimen untuk desain faktorial 2x2. Simbol O denganindeks 1, 3 dalam gambar adalah pretest. Simbol O dengan indeks 2, 4 adalah pengamatanhasil belajar metodologi penelitian. Simbol Y adalah prior knowledge dengan Y1 adalah priorknowledge tinggi dan Y2 adalah prior knowledge rendah, sedangkan simbol X adalah strategipembelajaran dengan X1 adalah strategi pembelajaran konstruktivistik dan X2 adalah strategipembelajaran konvensional.

Variabel-variabel dalam penelitian ini melibatkan satu variabel bebas, satu variabelmoderator dan dua variabel terikat yang terdiri dari: (1) variabel bebas adalah variabel yangdimanipulasi dan diuji pengaruhnya terhadap variabel terikat yaitu: strategi pembelajarankonstruktivistik (KT) dan strategi pembelajaran konvensional (KV); (2) variabel moderatoradalah variabel yang diukur, dipilih untuk menemukan apakah ia ikut mengubah hubunganvariabel bebas terhadap variabel terikat, yaitu: prior knowledge tinggi (PAT) dan priorknowledge rendah (PAR); (3) variabel terikat adalah variabel yang diamati dan diukur untukmenemukan pengaruh dari varibel bebas, yaitu: hasil belajar metodologi penelitian (HMP).Disamping itu terdapat variabel kontrol yang tidak dimanipulasi tetapi diduga dapatmempengaruhi validitas internal eksperimen yang diupayakan konstan.

Penelitian ini melibatkan satu variabel bebas, masing-masing memiliki dua dimensi.Perlakuan strategi pembelajaran yaitu, strategi pembelajaran KT dan KV. Variabel moderatoradalah prior knowledge yaitu, PAT dan PAR. Variabel moderator diteliti pengaruhnyaterhadap HMP. Ada dua variabel bebas yang menjadi perlakuan yang diteliti pengaruhnyaterhadap satu variabel terikat. Faktor kolom adalah perlakuan strategi pembelajaran KTdibandingkan dengan strategi pembelajaran KV. Faktor baris adalah prior knowledge PATdibandingkan dengan prior knowledge PAR

. STRATEGI PEMBELAJARANKT KV

PRIOR KNOWLEDGEPAT

Y111, Y112,…Y11n

Y121, Y122,…Y12n

PARY1211, Y212,…Y21n

Y221, Y222,…Y22n

Gambar 2 Desain eksperimen faktorial 2x2

Keterangan: KT : Strategi Pembelajaran KonstruktivistikKV : Strategi Pembelajaran KonvensionalPAT : Prior Knowledge TinggiPAR : Prior Knowledge RendahY : Hasil Belajar Metodologi Penelitiann : Subjek ke-n

Page 243: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

236

Hubungan yang menyatakan pengaruh variabel bebas strategi pembelajaran dan priorknowledge terhadap hasil belajar metodologi penelitian adalah sebagai berikut:

Gambar 3 Hubungan antara variabel-variabel penelitian

Subjek PenelitianSubjek penelitian ini adalah pebelajar semester V tahun akademik 2012/2013 Program

Studi Pendidikan Matematika Jenjang S1 Universitas PGRI Adi Buana Surabaya. Subjekpenelitian terdiri 7 kelas sebesar 245 orang. Pebelajar Pendidikan Matematika sebanyak 2kelas sejumlah 69 orang disajikan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Subjek PenelitianPopulasi Jumlah Sampel JumlahMatematika Kelas AMatematika Kelas BMatematika Kelas CMatematika Kelas DMatematika Kelas EMatematika Kelas FMatematika Kelas G

36343535353535

Matematika Kelas BMatematika Kelas D

3435

Total 245 69

Hasil sortir dan tabulasi data menunjukkan bahwa pebelajar yang memiliki data lengkapuntuk semua variabel penelitian sebanyak 69 orang. Pebelajar Pendidikan Matematikasebanyak 2 kelas sejumlah 69 orang.

Alasan yang mendasari pemilihan subjek penelitian adalah (1) Program StudiPendidikan Matematika membutuhkan penelitian-penelitian untuk menemukan strategipembelajaran yang efektif, (2) kelas yang ada disusun secara acak, tanpa melihat kemampuanpebelajar, asal-usul sekolah dan daerahnya, serta (3) permasalahan matakuliah metodologipenelitian diajar oleh tim pengampu matakuliah metodologi penelitian, dimana penelitimerupakan salah seorang tim pengampu matakuliah metodologi penelitian.

Sampel penelitian diambil secara acak menurut gugus bertahap dengan menggunakanteknik cluster random sampling (Ardhana, 1987; Cohen, 2005; Setyosari, 2007). Sampeldiambil secara acak, dimana yang diambil acak adalah kelas. Sampel penelitian didapat duakelas terdiri dari dua kelas Pendidikan Matematika.Perlakuan Penelitian

Perlakuan dalam eksperimen ini berbentuk desain pembelajaran yang menerapkanstrategi pembelajaran konstruktivistik menggunakan langkah-langkah siklus 5E terdiri dari

Strategi Pembelajaran1. Konstruktivistik (KT)2. Konvensional (KV)

Hasil BelajarMetodologi Penelitian (HMP)

Prior Knowledge1. Tinggi (PAT)2. Rendah (PAR)

Page 244: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

237

lima langkah pembelajaran yang diadaptasi dari Roblyer, (2006), yaitu (1) engage, (2)explore, (3) explain, (4) ielaborate, dan (5) evaluate. Proses perancangan pembelajarandilakukan dengan menyusun prosedur pembelajaran yang menerapkan strategi pembelajaran.Terdapat dua kelompok perlakuan, yaitu: satu kelompok diajar dengan strategi pembelajarankonstruktivistik dan kelompok lain diajar dengan strategi pembelajaran konvensional. Sintakspembelajaran, skenario pembelajaran, dan lembar kerja pebelajar pada masing-masingkelompok berbeda. Setiap kelompok menggunakan alokasi waktu dan sebaran materimatakuliah sama dalam pembelajaran.

Instrumen untuk mengukur variabel dependen sebagai akibat langsung perlakuan.Instrumen ini berupa tes hasil belajar metodologi penelitian. Instrumen yang digunakan untukmengukur hasil belajar adalah tes subjektif atau essay. Tes subjektif metodologipenelitian terdiri dari sepuluh soal yang harus dijawab pebelajar. Skor masing-masing soaladalah lima, sehingga skor maksimal ideal tes metodologi penelitian adalah 50. Hasil belajarmetodologi penelitian setiap pebelajar dihitung dengan cara membagi jumlah skor yangdiperoleh dengan 50 dan dikalikan 100.

HasilHasil pengujian Ho-1 menunjukkan nilai F sebesar 13,576 probabilitasnya sebesar

0,000<0,05 sehingga Ho-1 ditolak. Berdasarkan hasil pengujian Ho-1 tersebut dapatdinyatakan bahwa 1) terdapat perbedaan hasil belajar Metodologi Penelitian antara pebelajaryang belajar dengan strategi pembelajaran kontruktivistik dan konvensional, 2) Hasilpengujian Ho-2 menunjukkan nilai F sebesar 17,050 probabilitasnya sebesar 0,000<0,05sehingga Ho-2 ditolak. Berdasarkan hasil pengujian Ho-2 tersebut dapat dinyatakan bahwaterdapat perbedaan hasil belajar Metodologi Penelitian antara pebelajar yang pengetahuanawal tinggi dan rendah, 3) Hasil pengujian Ho-3 menunjukkan nilai F sebesar 4,591probabilitasnya sebesar 0,036<0,05 sehingga Ho-3 ditolak. Berdasarkan hasil pengujian Ho-3tersebut dapat dinyatakan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran danpengetahuan awal terhadap hasil belajar Metodologi Penelitian.

Pembahasan

Pengaruh Strategi Pembelajaran Terhadap Hasil Belajar Metodologi PenelitianHasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar

Metodologi Penelitian antara pebelajar yang belajar dengan strategi pembelajarankontruktivistik dan konvensional. Hasil pengujian hipotesis tersebut menunjukkan bahwastrategi pembelajaran konstruktivistik berbeda dengan strategi pembelajaran konvensional.Hasil pengujian ini mengandung arti bahwa peningkatan dan pengembangan pemahamanpebelajar lebih efektif digunakan dengan strategi pembelajaran konstruktivistik daripadadengan strategi pembelajaran konvensional. Banyaknya pebelajar yang salah menangkap apayang diajarkan oleh pembelajar menunjukkan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkanbegitu saja, melainkan harus dikonstruksikan atau paling sedikit diinterpretasikan sendiri olehpebelajar (Von Glasersfeld, 1989).

Pengaruh Prior Knowledge Terhadap Hasil Belajar Metodologi PenelitianHasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar

Metodologi Penelitian antara pebelajar yang pengetahuan awal tinggi dan rendah. Hal inimengindikasikan bahwa prior knowledge menjadi salah satu variabel penting diperhatikandalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran untuk membantu keberhasilan belajar.Tobias (1982) menyatakan bahwa “students’ prior knowledge is the most important factor indetermining the outcomes of any instructional situation”.Prior knowledge menjadi faktoryang sangat penting dalam menentukan hasil belajar dalam situasi pembelajaran apaun.

Page 245: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

238

Pengaruh Interaksi Strategi Pembelajaran dan Prior Knowledge Terhadap Hasil BelajarMetodologi Penelitian

Hasil pengujian hipotesis membuktikan bahwa terdapat pengaruh interaksi antarastrategi pembelajaran dan pengetahuan awal terhadap hasil belajar Metodologi Penelitian. Halini sesuai hasil penelitian menyatakan perbedaan prior knowledge pebelajar adalah satu faktorkuat yang mempengaruhi hasil belajar, pemahaman materi perkuliahan, dan petensial untukpembelajaran bermakna (Yates dan Chandler, 1991).

Simpulan dan SaranSimpulan (1) terdapat perbedaan hasil belajar Metodologi Penelitian antara pebelajar yangbelajar dengan strategi pembelajaran kontruktivistik dan konvensional, 2) Terdapat perbedaanhasil belajar Metodologi Penelitian antara pebelajar yang pengetahuan awal tinggi dan rendah,3) Terdapat pengaruh interaksi antara strategi pembelajaran dan pengetahuan awal terhadaphasil belajar Metodologi Penelitian.

Saran bagi peneliti berikutnya yang tertarik dengan substansi penelitian ini, temuan penelitianini memberikan masukan untuk merancang penelitian yang akan dilakukan, dan dapatmengembangkan dan menggali lebih dalam lagi aspek-aspek yang berkaitan dengan strategipembelajaran konstruktivistik yang belum terjangkau dalam penelitian ini. Terbukakemungkinan strategi pembelajaran yang serupa dapat dilakukan dengan materikuliah yangberbeda, sehingga akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan yang bersumber dari hasilpenelitian.

Daftar Rujukan

Ardhana, W. 1987. Bacaan Pilihan dalam Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: ProyekPengembangan LPTK, Dirjen Dikti Depdikbud.

Arends, R.I, 2007. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Company, Inc.

Barrowea, P.A. 2000. A Student Centered Approach to Teaching General Biology ThatReality Works: Lord’s Constructivist Model Put to Test. The American BiologyTeacher, 65(7), 491-501.

Broers, N.J. 2001. Analyzing Propositions Underlying the Theory of Statistics. Journal ofStatistics Education, 9(3), (Online), diakses 26 Nvember 2010.

Broers, N.J. 2002. Selection and Use of Proportional Knowledge Statistical Problem Solving.Learning and Instruction, 12(3), 323-344.

Campbell, D.T. dan J.C. Stanley. 1963. Experimental and Quasi-Experimental Designs forResearch. Chicago: Rand McNally dan Company.

Cohen, L., Manion, L., dan Morrison, K. 2005. Research Methods in Education (5th ed.).New York: Routledge Fahmer.

Davies, I.K. 1984. Instruction Technique. New York: McGraw Hill Book Company.

Dick, W., Carey, L.&Carey, J.O. 2001. The Systematic Design of Intruction. Fifth EducationNew York: Longman.

Dochy, F.J.R.C. 1996. Prior Knowledge and Learning. Dalam Erik de Corte & vcFranze E.Weinert (Ed). International Encyclopedia of Developmental and InstructionalPsychology. New York: Elsevier Science Ltd.

Heinch, R., Molenda, M., dan Russell, D. 1982. Instructional Media. New York: John Wileyand Son.

Page 246: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

239

Lehtinen, E., Rui, E. 1995. Computer-Supported Complex Learning: An EnVironment forLearning Experience Methods and Statistical Inference.. Machine-Mediated Learning,5(3&4), 149-175.

Mukhid, Abd, Dkk., 2010. Laporan Penelitian Kolektif “Kemampuan Mahasiswa STAINPamekasan Dalam Memahami dan Aplikasi Metodologi Penelitian Kuantitatif DalamSkripsi”. Pamekasan STAIN Press.

Murtonen, M. Dan Lehtinen, E. 2003. Difficulties Experienced by Education and Sociologystudent in Quantitative Methods Courses. Studies in Higher Education, 28(2), 171-185.

Roblyer, M.D. 2006. Integrating Education Technology into Teaching (Fouth Ed.) UpperSadlle River: Pearson Merrill Prentice Hall.

Semiawan, C. 2003. Pendidikan, Mutu Pendidikan, dan Peranan Guru. Dalam Guru diIndonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya Sejak Jaman Kolonial HinggaEra Reformasi, Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen, Dittendik.

Setyosari, P. dan Wijoto, H. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Malang: Fakultas IlmuPendidikan Universitas Negeri Malang.

Setyosari, P. dan Wijoto, H. 2010. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan.Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Simon, D.S.tt. The Principles of Constructivism, (Online), (http://web.rollins.edu/-gvaliante/couses/edu272_files/Constructivism,l diakses 19 Oktober 2009).

Tobias, S. 1982. When do Intructional mjethods make a difference? Educational Researcher,11 (4): 4-10.

Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research (6th ed.). Tokyo: Harcourt BruceCollege Publisher.

Von Glasersfeld, E. 1989. Knowing Without Metaphysics: Aspects of the RadicalConstructivist Positions. In F. Steir (Ed.). Research and Re3flexitivity: Toward aCybernetic/Social Contructivist Way of Knowing. London: Sage.

Wison, W.C., dan Rosenthal, B.S. 1992. Anxiety and Performance in an MSW Research andStatistics Course. Journal of Teaching in Social Work, 6(2), 75-85.

Woods, D.R. 1989. Developing Students’ Problem-Solving Skills. Journal of ColledgeScience Teaching (JCST), Nov: 108: 108-110.

Yates, G. & Chandler, M. 1991. The Cognitive Psychology of Knowledge: Basic ResearchFinding and Educational Implication. Australian Journal of Education, 35, 131-153.

Page 247: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

240

PENGARUH PENGGUNAAN METODE DISKUSI KELAS DAN GAYA BELAJARYANG BERBEDA TERHADAP KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN IPS

SISWA KELAS V SDN KEDUNGCOWEK 2 SURABAYA

SugitoUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstractEffectiveness of learning related to the selection and use of instructional media,The effectiveness of learning is that learning outcomes are influenced by the useand selection of learning strategies in the learning process quality, and alsoinfluenced by student characteristics such as talents, needs, interests, and trends orindividual choice (Degeng, 1989) as well as the varied learning styles of studentssuspected influence. Students in the study had the strength characteristics andpreferences of different learning styles in the way they receive and processinformation (Felder, 1996), the fact remains that learning styles affect individualsin obtaining and processing information (Mahela, 2009).The research objective for real picture of the effect of the use of class discussionsand the different learning styles of the effectiveness of teaching social studiesclass V SDN Kedungcowek 2Surabaya. With a two-lane variant analysis, get theconclusion that: 1. There is a difference in the effectiveness of teaching socialstudies students taught using class discussion and are taught by conventionalmethods. F value of 81.58 compared to the method in the standard 3.98 Ftabelsignifaksi 5% showed a highly significant difference. 2. There is a differencebetween the effectiveness of teaching social studies students who have learningstyles diverging assimilating learning style. "Bell gy F value of 318.9 compared tothe F table 3.98 in the 5% significance level showed a highly significantdifference 3.There was no interaction effect of learning methods to learn theeffectiveness of learning styles IPS "F value of -398.97 inter compared with 3.98in the F table significance level of 5% showed no significant interaction (non-significant)

Keywords: The class discussion methods, learning styles and learningeffectiveness IPS class V SDN

PendahuluanSetiap rancangan pembelajaran selalu mencakup komponen-komponen

pembelajaran yang saling terkait yaitu variabel Kondisi pembelajaran meliputi, Kendala, danKarakteristik siswa, variabel Metode pembelajaran meliputi tiga strategi yaitu StrategiPengorganisasian bahan, Strategi penyampaian, dan Strategi Pengelolaan, dan variabel Hasilpembelajaran yang dikategorikan tiga macam yaitu keefektifan, efisiensi dan daya tarikpembelajaran (Diagram Variabel pembelajaran Reigeluth, 1983:19).

Seorang guru melaksanakan kegiatan pembelajaran selalu menginginkan hasilpengajaran dapat mencapai tujuan secara efektif. Keefektifan hasil pembelajaran sangatdipengaruhi oleh kualitas pembelajaran yaitu pemilihan dan penggunaan strategi penyampaianpengajaran berupa metode-metode pembelajaran dibawah suatu kondisi pengajaran tertentu.Berdasarkan teori pengajaran Deskriptif (Reigeluth, 1983, Degeng, 1989) menjelaskan bahwa“ dalam pengembangan teori-teori pengajaran deskriptif, variabel yang diamati adalah hasilsebagai efek dari interaksi antara metode dan kondisi“, maksudnya bahwa variabel kondisi

Page 248: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

241

dan metode adalah variabel bebas dan parameter kedua variabel ini berinteraksi untukmenghasilkan efek pada variabel hasil pengajaran sebagai variabel tergantung.

Hasil penelitian Sugito (1995) menyebutkan bahwa keefektifan pembelajaran IPSSDN di Surabaya tahun 1994 dalam kategori belum efektif yaitu rata-rata nilai cawu 1/94sebesar 19,5 % dan rata-rata nilai cawu 2/94 sebesar 25,6%, diperkuat lagi dengan laporanpenelitian berikutnya (Sugito, 2011) bahwa rata-rata nilai UAS IPS semester satu klas Vpada SDN di Kecamatan Semampir sebesar 64% , bila dipakai rambu –rambu Kemp(1977: 120) yang menyebutkan bahwa pembelajaran dapat dikatakan efektif bila 90% siswadapat mencapai 90% tujuan, atau rata rata nilai mencapai 86% .maka pembelajaran IPS klasV SDN di Semampir belum efektif, Degeng (1989) mengemukakan bahwa pengukurankeefektifan pembelajaran harus selalu dikaitkan dengan pencapaian tujuan pengajaran.

Jika memperhatikan hasil penelitian Sugito (2011) tentang penggunaan metodepembelajaran oleh guru-guru IPS Klas V dalam 13 Sub Pokok Bahasan selama semestersatu 2010/2011 menemukan bahwa penggunaan metode Ceramah masih sangat kuat(85,8%) , metode Tanya jawab sebesar 45,4%, metode Diskusi Kelompok 25,8%, pemberiantugas kelompok 18%, dan tugas individual 14%, maka nampak bahwa pemilihan danpenggunaan metode-metode pembelajaran ceramah dan Tanya jawab sangat dominandigunakan oleh guru-guru IPS

Keefektifan pembelajaran merupakan hasil pembelajaran yang banyak dipengaruhioleh penggunaan metode pembelajaran dalam proses pembelajaran yang berkualitas, berbagaimacam metode dapat dipergunakan guru dalam pembelajaran, diantaranya adalah metodepembelajaran diskusi.

Henning et al. (2008) menjelaskan bahwa Metode pembelajaran Diskusi memilikikelebihan selain meningkatkan pemahaman juga bermanfaat dibidang lain seperti yangterkait dengan pengembangan kewarganegaraan , penguasaan isi pengetahuan, kemampuanpemecahan masalah, ketrampilan penalaran moral, mengubah sikap dan pengembangan, danketrampilan komunikasi. Dijelaskan pula bahwa pengajaran ilmu-ilmu sosial berbasisdiskusi membuat kelas lebih menarik, meningkatkan pengembangan toleransi, meningkatkankeyakinan siswa, dan meningkatkan tingkat partisipasi dimasyarakat setelah siswameninggalkan sekolah, disebutkan pula bahwa mengajar berbasis diskusi telah lama diakuisebagai cara untuk meningkatkan keterlibatan siswa, namun meningkatkan jumlah dankualitas siswa berbicara dikelas ilmu sosial telah terbukti sangat sulit dalam prakteknya.Souha (2008) menyarankan semua peserta diskusi harus didorong untuk berinteraksi satusama lain dengan berbicara menggunakan isyarat nonverbal, mendengarkan untukmemperkaya dan memperbaiki pemahaman.

Keefektifan pembelajaran juga dipengaruhi oleh karakteristik siswa seperti bakat,kebutuhan, minat, dan kecenderungan atau pilihan perseorangan (Degeng, 1989), juga gayabelajar siswa yang bervariasi ikut mempengaruhi keefektifan pembelajaran. Felder (1996)menjelaskan bahwa siswa dalam belajar memiliki karakteristik kekuatan dan preferensi gayabelajar yang berbeda dalam cara mereka menerima dan memproses informasi, sehinggaperbedaan karaktiristik sangat mempengaruhi hasil belajar siswa, maka guru dalam mengajarharus memperhatikan perbedaan –perbedaan itu. Mahela (2009) menemukan fakta bahwagaya belajar mempengaruhi individu-individu dalam mendapatkan dan mengolah informasi.Penelitian tentang pengaruh gaya belajar terhadap hasil belajar siswa sekolah dasar kelas 3sampai 6 dilakukan oleh Spires (dalam Prashnig 1998) mengungkapkan bahwa pelaksanaanprogram gaya belajar menghasilkan pengaruh yang signifikan dalam prestasi membaca danmatematika pada tes prestasi standar. Penelitian Jacobs (dalam Prashnig 1998). Hasilnyamenunjukkan bahwa ada perbedaan dalam gaya belajar menurut tingkat prestasi, jeniskelamin, dan ras.

Temuan penelitian Sugito (2011) tentang gaya belajar siswa-siswa klas V SDN diKecamatan Semampir dari 200 siswa responden didapatkan bahwa siswa yang memiliki

Page 249: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

242

gaya belajar Diverging sebanyak 107 orang atau 53,5%, gaya belajar Converging sebanyak8 orang atau 4%, gaya belajar Assimilating sebanyak 73 orang atau 36,5% , dan gaya belajarAccomodating sebanyak 12 orang atau 6%. Walaupun tidak sampai meneliti pengaruhnyaterhadap keefektifan pembelajaran namun temuan ini dapat dipakai sebagai acuan bahwasebagian besar anak klas V SDN di Kecamatan semampir memiliki gaya belajar Divergingdan Assimilating.

Berbagai uraian diatas tampak bahwa pemilihan dan penggunaan metodepembelajaran sebagai variabel bebas, serta gaya belajar siswa sebagai variabel moderatorbanyak pengaruhnya terhadap keefektifan pembelajaran sebagai hasil belajar, sehinggaperlu adanya suatu upaya untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran denganmenerapkan metode pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa SD, diantaranya metodeDiskusi kelas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai Pengaruhpenggunaan Metode Pembelajaran Diskusi kelas, dan Gaya Belajar yang berbeda terhadapKeefektifan Pembelajaran IPS Kelas V SDN Kedungcowek 2 Surabaya.

Metode Penelitian

Rancangan PenelitianRancangan Penelitian: penelitian Quasi eksperimen dengan rancangan NonequivalentControl Group Design Prosedur eksperimen (Tuckman: 1978; 141) digambarkan sebagaiberikut.

01 X 02-- -- -- -- -- -- -- --03 - 04

Subyek PenelitianSubyek penelitian siswa klas V SDN Kedungcowek 2 Klas V A sebanyak 42 siswa,

dan klas VB sebanyak 39 orang, subyek guru bidang studi IPS kelas V SD sebanyak 2orang, dengan berijazah sarjana / S1 pendidikan dan telah mengajar di klas V pelajaran IPSminimal 2 tahun.

Variabel1. Metode pembelajaran .sebagai variabel bebas

Metode pembelajaran yang dimaksud yaitu Metode pembelajaran Diskusi kelas denganmenggunakan sintaks model Arends (2004: 437) Pembelajaran konvensionaldimaksudkan penggunaan metode yang dipakai sehari-hari yaitu ceramah diakhiri tanyajawab.

2. Gaya belajar.sebagai variabel moderatorGaya belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gaya belajar model David A Kolbyang didasarkan pada Teori belajar Eksperiensial (Alice, 2005) yaitu preferensi gayabelajar yang dihasilkan kombinasi pendekatan individu sebagai berikut : 1.Converging,2.Diverging, 3. Assimilating, 4.Accommodating. dan dalam penelitian ini mngambil 2gaya belajar yaitu Diverging dan Assimilating berdasar pertimbangan temuan penelitianSugito (2011) tentang gaya belajar.

3. Keefektifan Pembelajaran sebagai variabel terikatKeefektifan pembelajaran yang dimaksud adalah tingkat pencapaian tujuan pembelajaranyang didapat dari hasil ujian atau tes akhir pelajaran IPS siswa klas V SDN, denganindikator kuantitas unjuk kerja berupa jumlah tujuan yang dicapai siswa. Makin banyaktujuan yang tercapai berarti makin efektif pengajaran. Dari nilai seluruh siswa dalam klasdibuat rata-rata nilai dengan bentuk persentase untuk menentukan keefektifannya, ukuran

Page 250: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

243

jumlah tujuan atau persentase minimal tujuan yang dicapai menggunakan rambu-rambuKemp ( 1977:120) yaitu 86%. Dengan kriteria persentase rata-rata nilai sebagai berikut96– 100 = Istimewa.86 – 95 = Efektif.73 - 85 = cukup efektif.60 - 72 = kurang efektif47 - 59 = tidak efektif.

< 46 = sangat tidak efektif.Analisis hipotesis dengan menggunakan ANAVA dua jalur.

Hasil PenelitianHasil data skor pos tes gaya belajar Assimilator dan Diverger siswa klas V A dan B

SDN Kedungcowek 2 Surabaya. (Gaya acomodator 3 orang dan gaya converger 3 orangserta nilai pretes 6 ke bawah di-drop). Ringkasan Hasil penghitungan Anava terhadapinteraksi metode pembelajaran yang berbeda dan gaya belajar yang berbeda terhadapkeefektifan pembelajaran.

Sumber Variasi JumlahKuadrat

( JK)

db rata-rata hitungKuadrat ( RK )

Fobservasi

( Fo)

F Teoritis.( Ft)

metode pembelajaran (A)Gaya Belajar (B)interaksi A vs B

245,16958,3

-1198,91

111

245,16958,3-1198,91

81,58318,9-398,97

3,98 ( 5%)7,01 ( 1 %)

Dalam Kelompok 198,33 66 3,005Total 202,87 69F metode = P < 0,05 Ft < Fo signifikan.F gy bel = P < 0,05 Ft < Fo signifikanF inter = P >0,05 Ft > Fo non signifikan.

Berdasarkan hasil penghitungan ANAVA tersebut diaatas dapat disimpulkan sebagaiberikut.1) Hipotesis pertama yang berbunyi: Ada Perbedaan keefektifan pembelajaran IPS siswa

yang diajar dengan menggunakan metode Diskusi Kelas dan yang diajar dengan metodekonvensional. diterima, Nilai F metode sebesar 81,58 dibandingkan Ftabel 3,98 dalamtaraf signifaksi 5% menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan.

2) Hipotesis kedua yang berrbunyi “Ada perbedaan Keefektifan pembelajaran IPS antarasiswa yang memiliki gaya belajar Diverging dengan gaya belajar Assimilating.” Diterima,Nilai F gy bel sebesar 318,9 dibandingkan dengan F tabel 3,98 dalam taraf signifikansi 5%menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan,

3).Hipotesis ketiga yang berbunyi “Ada pengaruh interaksi metode pembelajaran dengan gayabelajar terhadap keefektifan pembelajaran IPS” ditolak Nilai F inter sebesar -398,97dibandingkan dengan F tabel 3,98 dalam taraf signifikansi 5% menunjukkan tidak adainteraksi yang signifikan ( non signifikan) metode pembelajaran dengan gaya belajarterhadap keefektifan pembelajarn IPS .

Pembahasan1. Pembahasan hasil analisis hipotesis 1

Hipotesis pertama yang berbunyi: Ada Perbedaan keefektifan pembelajaran IPSsiswa yang diajar dengan menggunakan metode Diskusi Kelas dan yang diajar dengan

Page 251: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

244

metode konvensional. diterima, Nilai F metode sebesar 81,58 dibandingkan Ftabel 3,98dalam taraf signifaksi 5% menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan.

Perbedaan yang nampak dari metode diskusi kelas dengan konvensional adalahbahwa diskusi kelas siswa ikut aktif terlibat dalam proses pembelajaran, menurut BlountJackie ( 1999) menjelaskan bahwa dengan pembelajaran diskusi maka akan dapatmembantu siswa mencapai pemahaman yang lebih kaya isi, dan membantu siswamemahami materi dari perspektif yang berbeda untuk mendapatkan pemahaman yang lebihlengkap. Dipertegas oleh Henning et al, (2008) bahwa Metode pembelajaran Diskusimemiliki kelebihan selain meningkatkan pemahaman juga bermanfaat dibidang lain sepertiyang terkait dengan pengembangan kewarganegaraan , penguasaan isi pengetahuan,kemampuan pemecahan masalah, ketrampilan penalaran moral, mengubah sikap danpengembangan, dan ketrampilan komunikasi. Dijelaskan pula bahwa pengajaran ilmu-ilmusosial berbasis diskusi membuat kelas lebih menarik, meningkatkan pengembangan toleransi,meningkatkan keyakinan siswa, dan meningkatkan tingkat partisipasi dimasyarakat setelahsiswa meninggalkan sekolah, disebutkan pula bahwa mengajar berbasis diskusi telah lamadiakui sebagai cara untuk meningkatkan keterlibatan siswa.

2. Pembahasan hasil analisis hipotesis 2Hipotesis kedua yang berbunyi “Ada perbedaan Keefektifan pembelajaran IPS antara

siswa yang memiliki gaya belajar Diverging dengan gaya belajar Assimilating.” Diterima,Nilai F gy bel sebesar 318,9 dibandingkan dengan F tabel 3,98 dalam taraf signifikansi 5%menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan, perbedaan keefektifan pembelajaranyang disebabkan adanya dua gaya belajar yang berbeda sangat jelas karena masing masinggaya belajar akan berpengaruh yang berbeda pula terhadap kemampuan masing-masing gayabelajar dalam menerima informasi seperti yang diungkapkan oleh Felder (1996) bahwa siswadalam belajar memiliki karakteristik kekuatan dan preferensi gaya belajar yang berbedadalam cara mereka menerima dan memproses informasi, sehingga perbedaan karaktiristiksangat mempengaruhi hasil belajar siswa, maka guru dalam mengajar harus memperhatikanperbedaan –perbedaan itu. Mahela (2009) menemukan fakta bahwa gaya belajarmempengaruhi individu-individu dalam mendapatkan dan mengolah informasi. PenelitianSpires (dalam Prashnig 1998) mengungkapkan bahwa pelaksanaan program gaya belajarmenghasilkan pengaruh yang signifikan dalam prestasi membaca dan matematika pada tesprestasi standar.

Pelajar diverger menanggapi dengan baik penjelasan tentang bagaimana materi yangberhubungan dengan pengalaman, kepentingan, dan karir masa depan mereka. Dapat melihathal-hal dari perspektif yang berbeda, sensitif, lebih suka mengamati daripada melakukan,cenderung mengumpulkan informasi dan menggunakan imajinasi untuk memecahkanmasalah. , mampu melihat beberapa sudut pandang yang berbeda, lebih baik dalam situasiyang membutuhkan ide-ide baru misalnya brainstorming, memiliki kepentingan budayayang luas dan suka mengumpulkan informasi. tertarik pada orang, cenderung emosional,lebih suka bekerja dalam kelompok untuk mendengarkan dengan pikiran terbuka danmenerima umpan balik pribadi.

Pelajar tipe Assimilating menanggapi informasi yang disajikan terorganisir, caralogis dan menguntungkan jika mereka memiliki waktu untuk refleksi, ide-ide dan konsep ,memerlukan penjelasan yang jelas baik daripada kesempatan praktis, unggul dalampemahaman informasi luas dan mengaturnya secara logis dan jelas, kurang fokus pada orangdan lebih tertarik pada ide-ide dan konsep-konsep abstrak. Lebih tertarik pada teori-teorisecara logis dari pendekatan berdasarkan nilai praktis. Dalam situasi belajar formal, merekasuka bacaan, kuliah, dan mengeksplorasi model analitis.

Page 252: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

245

3. Pembahasan hasil analisis hipotesis 3Hipotesis ketiga yang berbunyi “Ada pengaruh interaksi metode pembelajaran dengan

gaya belajar terhadap keefektifan pembelajaran IPS” ditolak, Nilai F inter sebesar -398,97dibandingkan dengan F tabel 3,98 dalam taraf signifikansi 5% menunjukkan tidak adanyainteraksi yang signifikan (non signifikan)

Keefektifan hasil pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kualitas pembelajaran yaitupemilihan dan penggunaan strategi penyampaian pengajaran berupa metode-metodepembelajaran dibawah suatu kondisi pengajaran tertentu. Keefektifan pembelajaran jugadipengaruhi oleh karakteristik siswa seperti bakat, kebutuhan, minat, dan kecenderunganatau pilihan perseorangan (Degeng , 1989), juga gaya belajar siswa yang bervariasi ikutmempengaruhi keefektifan pembelajaran, Namun secara bersamaan dalam penelitian initernyata tidak ditemukan adanya interaksi penerapan suatu metode dengan preferensi gayabelajar siswa yang berbeda terhadap keefektifan pembelajaran., kemungkinan terjadi adanyakesalahan pengambilan sampel.

Simpulan dan SaranSimpulan1. Simpulan satu

Bahwa Ada Perbedaan keefektifan pembelajaran IPS siswa yang diajar denganmenggunakan metode Diskusi Kelas dan yang diajar dengan metode konvensional.

2. Simpulan duaBahwa Ada perbedaan Keefektifan pembelajaran IPS antara siswa yang memiliki gayabelajar Diverging dengan gaya belajar Assimilating.

3. Simpulan tigaBahwa tidak ada pengaruh interaksi metode pembelajaran dengan gaya belajar terhadapkeefektifan pembelajaran IPSdi SDN Kedungcowek 2/254 Surabaya.

Saran1. Saran untuk Guru Klas V SDN

Bagi Guru SD, khususnya dalam pembelajaran IPS.a. Bahan pertimbangan untuk memilih dan menggunakan metode diskusi kelas atau metode

lain yang mengaktifkan siswa, menyenangkan, sehingga kualitas dan keefektifanpembelajaran IPS meningkat.

b. Guru perlu memahami gaya belajar siswa yang bervariasi itu, sehingga dalammelaksanakan pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan belajar siswa.

c. Berusaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menerapkan metode yangPAKEM dan media yang bervariasi, utamanya dalam pembelajaran IPS.

2. Untuk Kepala Sekolah SDNDiharapkan banyak memperhatikan dan mendukung usaha guru dalam meningkatkankualitas pembelajarannya melalui dukungan penyediaan sarana, sumber belajar, danfasilitas lain yang dibutuhkan guru dalam peningkatan pembelajarannya.

3. Untuk para pembuat kebijakan pendidikanSelalu melakukan pembinaan, monitoring, dan supervisi kepada guru-guru dalam upayameningkatkan kualitas pembelajarannya.

4. Untuk peneliti lanjutSebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut melalui eksperimen dengan subyekatau pun populasi yang lebih luas, sehingga mendapat hasil penelitian yang lebih akuratdan kebermaknaan yang lebih luas.

Page 253: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

246

Daftar Pustaka

Alice Y. Kolb. 2005. The Kolb Learning Style Inventory Version 3.12005 Technical Specifications. Experience Based Learning Systems, Inc. CaseWestern Reserve University May 15, 2005

Arends, Richard l. 2004. Learning to Teach . sixth edition. Mc Graw Hill. Boston.Barton, Jennifer Dkk. 1984. Fostering Effective Classroom Discussions. English

DepartmentVirginia. Tech. http://www.godcharacter.com/Article.2.html. 10/6/2010.Blount Jackie M. 1999. Leading Classroom Discussion. Department of Curriculum &

Instructio September 20, 1999 www.celt.iastate.edu/pdfs-docs/Leading_Discussions.pdf . 13/6/2010

Burhan Nurgiantoro, dkk .2000. Statistik Terapan untuk Penelitian Ilmu-ilmu Sosial. GajahMada University Press, Jogjakarta.

Cruickshank Donald.R, dkk. .2009. The Act Of Teaching Fifth edition. McGraw-Hill HigherEducation. Boston.

Degeng I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variabel . Depdikbud,Dirjen Dikti, PPLPTK, Jakarta.

Degeng. I. Nyoman Sudana. 1990. Desain Pembelajaran Teori ke Terapan .PPs IKIPMalang.

Felder. Richard M . 1996. Matters of Style .”Department of Chemical engineering..NortCarolina State University. Raleigh, NC. USA. file://D:Matters of Style –Felder1996..htm 12/4/2010.

Gibson Joyce Taylor.(2009) Discussion Approach to Instruction. dalam Reigeluth CM(Editor). Design Theories and Models .Vol.III. Roudledge Taylor and Francis,Publisher, New York.

Henning John.E,dkk. 2008. Designing Discussions : Four ways to Open Up a Dialogue. TheSosial Studeis. Washington: May/Jun 2008. Vol 99,Iss, 3; pg. 122, 5 pgs.

Iskandar.W. 2010. Teori-teori Belajar Sekitar Ajaran Ki Hajar Dewantoro,Tut WuriHandayani” Pengukuhan Guru Besar TEP PPS UNIPA Surabaya, 2 Oktober 2010.

Joyce Bruce, dan Marsha Well . 1992. Models of Teaching.Fourth edition. Allyn and Bacon.Boston.

Kemp. Jerrold E. Ed.D. 1977.” Instructional Design . A Plan for Unit and CourseDevelopment.” Second Edition. Fearon – Pitman Publishers, inc, California.

Mahela Figueroa Juris,dkk. 2009. Learning and Teaching Crossroads. Pontificea BolivarianaUniversity . Institute for Learning Styles Journal. Volume 1. Spring 2009.

Mukminan. 2012 “Transformasi Pembelajaran Menuju Pendidikan Masa Depan” Makalahdisampaikan dalam Seminar nasional, Universitas PGRI Adibuana Surabaya April2012.

Moore Kenneth D. 2005. Effective Instructional Strategies From Theory to practice SagePublications Thousand Oaks.London.

Obannon. 2002. Planning for Instruction dalam http://edtech.tennessee.edu/-bobannon/in_strategies.html) 17/4/2009.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk SatuanPendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. DirjenManajemen Pendidikan dasar dan Menengah tahun 2008.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no 23 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk SatuanPendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. DirjenManajemen Pendidikan dasar dan Menengah tahun 2008.

Prashnig, Barbara. 1998. Original Learning Styles Research . Technology Based Solutions.504 Floral Vale Blvd. Yardley. Pa 19067 888.783.2283. www.asktbs.com. 10 /6/2010

Page 254: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

247

Reigeluth. C. M. .1983. What Is It And Why Is It? Dalam Reigeluth, C.M.(editor) :Instructional-Design Theories and Models : An Overview of their Current Status.Lawrence Erlbaum Associates, Publishers New Jersey. London.

Reigeluth. C.M. 1999. What is Instructional-Design Theory and How is it Changing?. DalamReigeluth. C.M. (editor) Instructional Design Theories and Models . Vol II.Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Mahwah New Jersey. London.

Robertson. Gladene.1984. Instructional Approach. University of Saskatchewan.Saskatchewan Education,February1984.(p5).http://www.saked.gov.sk.ca/docs/policy/approach/instrapp.html. 17/6/2010.

Slavin, Robert E. 2000. Educational Psychology Theory and Practice .sixth edition Allyn andBacon. Boston.

Smaldino, Sharon. E. 2000. Instructional Technology and Media for Learning PearsonMerrill Prentice Hall. New Jersey.

Souha R Ezzedeen. 2008. Facilitating Class Discussions Arround Current and Controversialissues. Ten Recommondations for Teachers . College Teaching. Washington: Fall2008. Vol.56, Iss, 4;pg. 230, 7 pgs.

Sugito. 1995. Pemanfaatan Sumber Belajar dan Keefektifan Pembelajaran Bidang StudiIPS kelas VI SDN di Kotamadya surabaya Tesis. Program Studi TEP UM. ( tidakDipublikasikan).

Sugito. 2011. Keefektifan Dan Daya Tarik pembelajaran IPS Ditinjau Dari penggunaanMetode Pembelajaran, Media Pembelajaran, dan Gaya belajar siswa klas V SDN diKecamatan Semampir Surabaya. Laporan penelitian. Universitas PGRI AdibuanaSurabaya. (tidak di publikasikan).

Tennant.1996. David A Kolb on experiential learning. .“http://www.infed.org/biblio/b.explor htm#learning % zo style ). 10/6/2010.

Tuckman, Bruce W. 1978. Conducting Educational Reseach second edition. Harcourt BraceJovanivich, publishers.San Diego,New York.

Umi Chulsum, Windy Novia. 2006. “Kamus Besar Bahasa Indonesia” Kashiko. Surabaya.Zola, John. 1998. Improving Classroom Discussion and Discource.Boulder, Colorado.

jzola53*yahoo.com B.E. Larson. Viv4ru-1998. www.ceesa.org/handontsog/zolaimproving pdf. 10/6/2010.

Page 255: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

248

KORELASI PENGGUNAAN MEDIA MANEQUIN DAN MEDIA ASLIPADA PENATAAN RAMBUT MALAM HARI

SusilowatiDiana Evawati

Universitas PGRI Adi Buana SurabayaEmail: [email protected]

AbstractNew grooming can enhance a person's appearance or can also support theappearance on a special occasion hair styling usually using the direct or theoriginal media, but the media are expected to use manequin learning. Manequinmedia such as head doll is used in hair styling for the evening. It is very suitablefor students or anyone in particular beauty beginners to practice cutting, braiding,and setting a variety of hairstyles. By using mannequin is easier for students topractice hairdressing prior to the direct model. In this study, the population is ahairstyling student SMKN 2 Lumajang. The first sample hairstyling XI by 14students and students of class XI hairstyling 2 there are 11 students total 25student. Students practice using media manequin 1 (head doll) and practice to 2 byusing the original media is friend’s head as models. The data analysis techniqueused in this study is the product moment. From the research that the authorobtained the hair styling for the evening between using media manequin and usingthe original media can be concluded that the price chart criticism for N = 25,significance level 0.05 = 0.396, significance level 0.01 = 0.505 and results count (thit) = 0.998 including high interpretation. On the basis of the above researchsuggests that the greater criticism of the price of hair styling for the evening thereis a correlation between the use manequin media and using the original media.

Keywords : manequin media, original media

Pendahuluan1. Latar Belakang

Penataan rambut adalah tahap akhir dari proses mempercantik tampilan rambut,bagian dari proses untuk mempercantik penampilan rambut, memberi nilai tambahpenampilan seseorang dengan menyesuaikan bentuk wajah, usia, waktu dan kesempatan.Keserasian penampilan seseorang sangat ditunjang oleh berbagai faktor antara lain karakterfisik, busana, aksesoris, tata rias maupun penataan rambut yang sesuai. Penataan rambutuntuk malam hari yang sesuai dapat meningkatkan rasa percaya diri serta mencerminkancitra dan pesona kepribadian yang matang. Berbagai cara menciptakan penataan rambutyang baik dan sempurna agar seseorang tampil secara prima.

Media Maniquin adalah kepala boneka yang digunakan dalam penataan rambutuntuk malam hari. Hal ini sangat cocok bagi siswa kecantikan atau siapa pun untukpraktek memotong, mengepang, pengaturan atau berbagai macam gaya rambut. Denganmenggunakan media maniquin dapat mempermudah siswa untuk melakukan praktekpenataan rambut, mempermudah siswa yang sulit mencari model buat praktek. Diharapkansetelah latihan praktek di media maniquin siswa akan lebih mudah untuk menerapkan padaorang asli.

Page 256: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

249

2. Rumusan MasalahAdakah korelasi penggunaan media maniquin dan media asli pada penataan rambutmalam hari?

3. Ruang Lingkup Dan Pembatasan MasalahDalam penulisan ini pembahasan dibatasi pada korelasi penataan rambut untuk malam hariantara menggunakan media maniquin dengan media asli siswa kelas XI KecantikanRambut di SMK Negeri 2 Lumajang dimana 1. Penataan yang akan dikerjakan siswa SMKNegeri 2 Lumajang kelas XI Tata Kecantikan Rambut hanya untuk malam hari, dengnamodel penataan rambut sederhana dan namun elegan dengan menggunakan mediamaniquin dengan menggunakan media asli yaitu orang asli penataan rambutnya sama.

4. Tujuan dan Manfaat PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan penataan rambut untuk malam hariantara menggunakan media maniquin dengan menggunakan media asli.Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam proses belajarmengajar.

5. HipotesisAda korelasi penggunaan media maniquin dan media asli pada penataan rambut malamhari

Tinjauan Pustaka1. Penataan Rambut

a. Penataan adalah mengatur, menyusun sesuai dengan aturan atau kebiasaan atau sistem.(Nelly Hakim dkk, 1983:135) Walaupun mode tata rambut terus berubah dan bergantitetapi alternatif penataan tidak pernah dapat menyimpang dari 5 pokok penataan.(Kusumadewi dkk, 1982:142)

b. Rambut adalah sesuatu yang keluar dari dalam kulit seperti helaian benang yang tipis,tumbuh keluar dari kulit dan kulit kepala.(Ny. Bhitrawati S, 1985:151)

c. Jadi penataan rambut adalah mengatur, menyusun sesuatu yang keluar dari dalam kulitseperti helaian benang yang tipis, tumbuh keluar dari kulit dan kulit kepala

2. Pokok penataana. Penataan Simetris adalah penataan yang memberi kesan seimbang bagi model dan

mempunyai unsur keindahan yang serba simetris.b. Penataan asimetris adalah penataan yang memberi kesan ketidakseimbangan bagi model

dan memberi kesan dinamis bagi suatu desain tata rambut.c. Penataan puncak adalah penataan kreasi tata rambut di daerah ubun-ubun/ parental.d. Penataan belakang adalah pembuatan kreasi tata rambut di bagian mahkota atau di

bagian belakang kepala dan memberi kesan feminim dan anggun.e. Penataan depan adalah pembuatan kreasi tata rambut di bagian dahi dan memberi kesan

anggun.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penataana. Faktor perwujudan fisik

Tekstur rambut, bentuk kepala dan wajah, bentuk tubuh dalam keseluruhan dan usiayang bersangkutan.

b. Faktor pendidikanTingkat pendidikan umum seseorang juga membatasi kemungkinan penataan. Padaumumnya mereka yang berkesempatan menikmati pendidikan dasar yang cukup,cenderung hanya ingin menirukan mode tata rambut apa saja yang sedang digemaripada waktu itu, tanpa mempertimbangkan apakah mode tersebut sesuai dan tepat untuk

Page 257: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

250

dirinya. Hal ini sering menyulitkan penata rambut, yaitu antara menuruti kemauanpeminta jasa atau mengorbankan prinsip penataan yang baik.

c. Faktor penghargaan seniTidak semua orang mempunyai kemampuan menikmati karya seni dengan intensitasyang sama.

d. Faktor kepribadianBerbagai aliran modern dalam penataan rambut menghendaki agar pembuatan suatudesain penataan tidak lagi hanya dilandaskan atas dasar segi fisik saja. Penataan yangbaik harus juga mampu menonjolkan segi positif kepribadian modelnya. Karenakepribadian setiap orang tidak sama maka suatu desain tata rambut yang baik untukpribadi tertentu belum tentu akan sesuai dan baik untuk yang lain.

4. Jenis penataana. Penataan lepas adalah, penataan yang dibuat tanpa alat bantu untuk menempatkan

letak rambut kepala. Contoh : Blow , curli , sisir, finger, dll.a. Penataan Sanggul/hair-do adalah, penataan yang dibuat dengan alat bantu untuk

menempatkan bagian-bagian rambut, pada tempat tertentu di kepala sesuai desain. Alatbantu yang digunakan adalah: berbagai macam jepit rambut, berbagai macam harnal,karet gelang. Teknik yang digunakan: tanpa sasak, sasak, pilin/lilitan, jalinan/kepang,bockle, pusaran air, lekuk. Pegas.

c. Penataan menurut terapan:Komersial: penataan yang dibuat sederhana, menyesuaikan kesempatan dan waktu,dengan teknik tidak rumit, mengikuti mode jadul /berlaku.Kreatif: penataan yang dibuat agak rumit, modis, artistik, untuk kesempatan malam hari.Fantasi: penataan yang dibuat rumit, sulit, dan besar, mengikuti mode terbaru.

5. Tipe PenataanPenataan rambut yang baik selalu dibuat sesuai waktu dan kesempatan

penggunaannya. Dalam seni tata rambut modern dikenal 5 kategori tipe penataan antaralain (Kusumadewi dkk, 1982: 144)a. Penataan sehari- hari adalah tata rambut yang digunakan sewaktu pagi maupun siang

hari. Bentuk tatanan rambut siang hari harus lebih sederhana, mudah diatur danmenarik.

b. Penataan coocktail adalah penataan yang digunakan dalam kesempatan resmi sewaktupagi, siang atau menjelang sore hari. Bentuk tatanan dapat sedikit meriah dibandingkandengan penataan pagi, siang tetapi lebih sederhana dari penataan sore hari.

c. Penataan sore dan malam hari adalah tata rambut yang digunakan pada sore hari danmalam hari pada kesempatan resmi. Bentuknya lebih rumit, penggunaan warna warnirambut lebih bebas tetapi masih dalam batas keindahan dan kepantasan masyarakatsetempat.

d. Penataan gala adalah tata rambut untuk menghadiri pesta gala atau pesta besar. Tatagala cenderung mode terbaru pada waktu itu, sering disebut juga dengan high fashionstyle. Bentuknya rumit dan memakai perhiasan warna-warni.

e. Penataan fantasi adalah tata rambut lebih menampilkan suatu kreasi dengan tujuanmempercantik.

6. Desain sanggula. Bentuk wajah bulat telur (oval face)

Pembuatan desain penataan sanggul akan lebih mudah karena segala model sanggulasimetris sangat cocok. Beri tekanan di daerah tertentu untuk memberi kesan lebih

Page 258: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

251

pada bentuk wajah yang sudah baik atau bentuk rambut di bagian kening sedikitmenutup dahi. (Modul penataan sanggul modern, 2004:15)

b. Bentuk wajah bulat (round face)Desain yang sesuai untuk wajah bulat adalah dengan cara membuat bentuk rampingsanggul asimetris. Hal itu dapat dilakukan dengan memberi jambul di bagian depanatau membuat belahan di tengah .

c. Bentuk wajah panjang (long face)Pada bentuk wajah ini, desain yang sesuai adalah dengan membuat desain sanggulasimetris yang menggembung di bagian samping. Di bagian depan dibuat penataanyang menutup sebagian dahi untuk mengurangi kesan panjangnya wajah.

d. Bentuk wajah persegi (square face)Desain sanggul asimetris yang sesuai untuk bentuk wajah persegi adalah denganmembentuk penataan yang ramping di bagian sisi, baik kanan maupun kiri. Bentukjambul di bagian wajah yang menutup sebagian kening akan mengurangi kesanpersegi. Untuk menutup rahang yang menonjol, dapat dibuat bucle menjuntai daripelipis sampai ke bawah.

e. Wajah segitiga terbalik/bentuk hati (heart-shape face)Desain penataan sanggul asimetris untuk bentuk wajah segitiga adalah dengan bentukmenggembung di bagian bawah yang sebagian bentuk sanggul terlihat dari luar.Bagian depan dibuat jambul yang agak tinggi atau di finger wave dengan menutupsebagian kening yang terlihat lebar

7 Media maniquinMedia maniquin adalah kepala boneka yang digunakan dalam penataan rambut untukmalam hari. Hal ini sangat cocok bagi siswa klecantikan atau siapa pun untuk praktekmemotong, mengepang, pengaturan berbagai macam gaya rambut.Macam–macam maniquin yang tanpa badan dan Maniquim dengan badan

8. Media AsliMedia asli atau specimen merupakan obyek sebenarnya yang digunakan sebagai alat bantupembelajaran. media asli dalam pembelajaran. Media asli sering juga disebut sebagairealia karena media tersebut adalah obyek nyata (real),

Metode penelitian1. Populasi dan Penentuan Sampel

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah siswa kecantikan rambut SMKN 2Lumajang. Adapun sampelnya siswa kelas XI kecantikan rambut 1 ada 14 siswa dan XIkecantikan rambut 2 ada 11 siswa Total 25 siswaSiswa melakukan praktek 1 dengan menggunakan media maniquin (kepala boneka)Praktek ke 2 dengan menggunakan media asli yaitu menggunakan temannya sebagai model

2. Teknik Pengumpulan Dataa. Tes praktek diambil dari hasil nilai akhir penataan rambut untuk malam harib. Pengamatan untuk penilaian

Page 259: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

252

Tabel 3. 1 Instrumen penilaian Penataan rambut dengan menggunakan media maniquinNo Aspek yang dinilai Nilai1. Kerapihan penataan rambut dengan menggunakan media

maniquin : 35= penataan rambut sangat rapi, 30= penataanrambut rapi, 25 = penataan rambut kurang rapi

35

2. Keserasian hasil penataan rambut dengan menggunakan mediamaniquin : 35 = penataan sangat serasi, 30 = penataan serasi,25 = penataan kurang serasi

35

3. Waktu yang dipergunakan untuk penataan rambut 120 menit20 = waktu yang digunakan 120 menit, 15 = waktu yangdigunakan 121–125 menit, 10 = waktu yang digunakan 126 –135 menit

20

Tabel 3. 2 1 Instrumen penilaian Penataan rambut dengan mengguanakan media asliNo Aspek yang dinilai Nilai1. Kerapihan hasil penataan rambut dengan menggunakan orang

35 = penataan rambut sangat rapi, 30 = penataan rambut rapi25 = penataan rambut kurang rapi

35

2. Keserasian hasil penataan rambut dengan menggunakan orang35 = penataan sangat serasi, 30= penataan serasi25 = penataan kurang serasi

35

3. Waktu yang dipergunakan untuk penataan rambut 120 menit20= waktu yang digunakan 120 menit, 15=waktu yang digunakan121–125 menit, 10=waktu yang digunakan 126–135 menit

20

3. Teknik Analisis DataTeknik analisis data dalam penelitian ini adalah menggunakan produk momen

adalah hasil akhir praktek penataan rambut untuk malam hari yang dilakukan siswi kelasXI Tata Kecantikan Rambut 1 yang menggunakan media maniquin dan menggunakanmedia asli dan hasil akhir praktek penataan rambut untuk malam hari yang dilakukan siswikelas XI Tata Kecantikan Rambut 2 yang menggunakan media maniquin danmenggunakan media asli. ingin mengetahui korelasi penataan rambut untuk malam hariantara menggunakan media maniquin dengan menggunakan media asli.

Hasil Penelitian dan Pembahasan1. Penyajian Data

Page 260: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

253

Tabel 4. 1 Tabel pengamatan penataan rambut dengan mengguanakan maniquin

NoKerapihan Keserasian Ketepatan waktu

Jml

35 30 25 35 30 25 20 15 10

1. 30 25 20 752. 30 30 20 803. 30 25 20 754. 30 30 20 805. 30 25 20 756. 30 25 20 757. 30 25 20 758. 30 25 20 759. 30 25 20 7510. 30 25 20 7511. 30 25 20 7512. 30 25 20 7513. 30 30 20 8014. 30 25 20 7515. 30 30 20 8016. 30 25 20 7517. 30 30 20 8018. 35 35 20 9019. 30 25 20 7520. 30 25 20 7521. 30 25 20 7522. 30 25 20 7523. 30 25 20 7524. 30 25 20 7525 30 25 20 75

Page 261: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

254

Tabel 4.2 Tabel pengamatan penataan rambut dengan mengguanakan orang

NoKerapihan Keserasian Ketepatan waktu

Jml

35 30 25 35 30 25 20 15 10

1. 30 25 20 752. 30 25 20 753. 30 30 20 804. 30 25 20 755. 30 25 20 756. 30 25 20 757. 30 25 20 758. 30 25 20 759. 30 25 20 7510. 30 25 20 7511. 30 25 20 7512. 30 25 20 7513. 30 30 20 8014. 30 25 20 7515. 30 30 20 8016. 30 25 20 7517. 30 25 20 7518. 30 30 20 8019. 35 35 20 9020. 30 25 20 7521. 30 30 20 8022. 30 25 20 7523. 30 30 20 8024. 30 25 20 7525 30 25 20 80

2. Analisis DataTabel 4. 3 Tabel nilai akhir penataan rambut untuk malam dengan media maniquin (x),media asli (y)

No X Y Xy1. 75 75 56252. 80 75 60003. 75 80 60004. 80 75 60005. 75 75 562520. 75 75 562521. 75 80 600022. 75 75 562523. 75 80 600024. 75 75 562525. 75 80 6000

147500Dari tabel di atas , jumlah nilai akhir hasil penataan rambut untuk malam hari antaramenggunakan maniquin ( x ) dengan menggunakan orang (y) adalah 147500 .

Page 262: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

255

Tabel 4. 4 Tabel jumlah nilai akhir penataan rambut untuk malam hari dengan mediamaniquin ( x² ), media asli (y²)

No X² Y² Ket1. 5625 56252. 6400 56253. 5625 64004. 6400 56255. 5625 562520. 5625 562521. 5625 640022. 5625 562523. 5625 640024. 5625 562525. 5625 6400

146975 148525 JumlahJumlah nilai akhir penataan rambut untuk malam hari dengan menggunakan media maniquin (X² ) adalah 146975 dan dengan media asli ( Y² ) adalah 148525.

Produk moment

Rxy =))(( 22 yx

xy

Rxy =)148525)(146975(

147500

Rxy =52182946187

147500

Rxy = 147500147747,9674

Rxy = 0,998322Tabel ukuran konservatif

R InterpretasiAntara 0,800 sampai dengan 1,000 TinggiAntara 0,600 sampai dengan 0,800 CukupAntara 0,400 sampai dengan 0,600 Agak rendahAntara 0,200 sampai dengan 0,400 RendahAntara 0,000 sampai dengan 0,200 Sangat rendah (Tak berkorelasi)

C. PembahasanBerdasarkan hasil nilai akhir penataan rambut untuk malam hari dengan menggunakan

media maniquin kode siswa yang tinggi hasil nilainya adalah kode siswa 018 dengan nilaitotal 90 dan dari nilai akhir penataan rambut untuk malam hari dengan media asli yang tinggihasil nilainya adalah kode siswa 019 dengan nilai total 90. Sedangkan jumlah nilai akhir hasilpenataan rambut untuk malam hari antara menggunakan media maniquin (x) denganmenggunakan media asli (y) adalah 147500 , kemudian hitungan setelah dihitungmenggunakan rumus product momen hasilnya menunjukka bahwa nilainya adalah 0,998322.

Berarti hasil lebih besar dari harga kritik bisa dilihat pada tabel harga kritik untukN=25, taraf signifikansi 0,05=0,396, taraf signifikansi 0,01=0,505 dan hasil hitungan (t hit)=0,998 termasuk interpretasi tinggi, melihat dari tabel konservatif bahwa 0,998322 termasukinterpretasi tinggi. Karena hasil lebih besar dari harga kritik maka penataan rambut untuk

Page 263: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

256

malam dengan menggunakan media maniquin dengan menggunakan media asli adakorelasi/hubungan diantara keduanya

Simpulan dan Saran1. Simpulan

Dari hasil penelitian penataan rambut untuk malam hari dengan menggunakan mediamaniquin dengan menggunakan media asli dapat diambil kesimpulan termasuk interpretasimenunjukkan bahwa hasil lebih besar dari harga kritik maka penataan rambut untuk malamhari antara menggunakan media maniquin dengan menggunakan media asli, ada korelasi.

2. Sarana. Setiap pengajar Tata Kecantikan Rambut sebaiknya memberikan latihan di luar jam

pembelajaran untuk memotivasi siswa agar lebih bagus hasil prakteknya.b. Hendaknya siswa jurusan Tata Kecantikan Rambut dalam melakukan praktek penataan

rambut sebelum ke orang atau model lebih baik praktek di maniquin dulu biar tidakmenyakiti kepala model.

Daftar pustakaAndrean, Johnny. Depth Academy Course. Sekolah Rambut dan Make Up. JakartaBadudu dan Zain, 1994, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.Bariqina,E.dan Ideawati,Z. 1999. Perawatan dan Penataan Rambut. Yogyakarta: Adi Cita.Bhitrawati S, 1985, Dasar-dasar Tata Rias Rambut, Penerbit Karya Umum, Jakarta.Chitrawati, 1993. Dasar-Dasar Trampil tata Rias Rambut. Jakarta: Karya UtamaDewi Kusuma, Raharjo. H.T. Laksman. 1999, Pengetahuan dan seni Tata Rambut Modern

Tingkat Mahir. Kelompok penyusun buku Direktorat Pendidikan Nasional DirektoratJenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kejuruan 1999.

Emi, Indrayanti. 2001. Bahan Penataran Pratata Dasar dan Penataran PPPG Kejuruan. JakartaEndang Widjanarko Puspoyo, 1993, Petunjuk Praktis untuk Pratata dan Penataan Rambut,

Alda Production, Jakarta.Ervina, Juli 2003. majalah Perkawinan.Hadi, sutrisno,1983, Statistik jilid 2, Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM hal 359,

YogyakartaIda Ayu Komang, Wesaha. 1999. Sanggul Sehari-hari. Departemen Pendidikan Nasional,

Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kejuruan. Jakarta.Johnny Andrean, Depth Comp. Make-Up. Jakarta: Sekolah rambut dan make- up, Buku

Sistim Memotong dan Menyanggul Tingkat Lanjutan. Jakarta: Diktat KursusKewanitaan Sari Ayu.

Kusuma Dewi, dkk. 1999. Pengetahuan dan Seni Tata rambut Modern. Jakarta: YayasanInsani

Rostamailis, dkk, 2008, Tata Kecantikan Rambut Jilid 2, Direktorat Pembinaan SekolahMenengah Kejuruan , Jakarta

Sari Ayu, .... . Diktat Kursus Memotong dan Menyanggul, Surabaya : Sari AyuSurachmad, Winarno, 1990, Pengantar Penelitian Ilmiah,Tarsito,Bandung.Tim Fakultas Teknik Unesa. 2001. Menata Sanggul Modern Pola Simetris. Jakarta Depdiknas,

DikmenjurTim Fakultas Tenik UNESA, 2001. Menata Pola Sanggul Puncak. Jakarta Direktorat

Pendidikan Menengah Kejuruan.Yoedarminingsih, 1997. Penataan Rambut Panjang.

Page 264: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

257

PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD BERBANTUANALGEBRATOR TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN

MATEMATIS SISWA

Undang IndrajayaAMIK Garut

[email protected] Komariah

SMP 2 Tarogong Kidul

AbstractThe purpose of the research is to examine the difference of improvement ofcomprehension skills in mathematics between students who get algebrator aidedcooperative learning of STAD type, the students who get cooperative learning of STADtype, and the students who get conventional learning. Research method utilized wasQuasi Experimental by taking three classes of students as sample. They are VII C class asexperiment group I, VII A class as the second one, and VII D class as the control group.Having accomplished the research with significant level is 0.05, the conclusions are that:1) The improvement of students’ comprehension skills in mathematics who get algebratoraided cooperative learning of STAD type are not different significantly from theimprovement of students’ comprehension skills in mathematics who get cooperativelearning of STAD type without algebrator aided; 2) There is significant difference on theimprovement of students’ comprehension skills in mathematics in average value betweenhigh-level student, student and low-level student; 3) There is no effect of interactionbetween the learning models given and student’s level toward the improvement ofstudents’ comprehension skills in mathematics.

Kata Kunci: pemahaman matematis, kooperatif tipe STAD, algebrator.

PendahuluanMatematika merupakan salah satu ilmu yang banyak membantu dalam perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi, serta berguna dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi padaumumnya, siswa beranggapan bahwa mata pelajaran matematika termasuk mata pelajaranyang sulit. Ruseffendi (2006: 15) menyatakan bahwa: “Matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan sebagaimata pelajaran yang dibenci”. Salah satu penyebab hal tersebut adalah metode pembelajaranyang digunakan tidak memberikan kesenangan dalam proses belajar mengajar.

Berkaitan dengan pembelajaran matematika, Wardani (dalam Apriani 2009 : 1)mengemukakan bahwa: “Pada kenyataan di lapangan, metode pembelajaran matematika yangditerapkan saat ini umumnya cenderung menggunakan metode pembelajaran biasa ataukonvensional yang terfokus pada guru”. Ini berarti sebagian guru pada waktu kegiatanpembelajaran hanya sekedar menyampaikan informasi pengetahuan tanpa melibatkan siswauntuk aktif di dalamnya, sehingga mengakibatkan siswa terbiasa untuk menunggu informasitanpa berusaha untuk mencari sendiri informasi tersebut.

Kemampuan siswa dalam memahami materi yang disampaikan sangat menentukankeberhasilan dalam penguasaan materi pelajaran. Guru mempunyai peran penting pada saatproses pembelajaran. Oleh karena itu, guru atau pendidik harus terampil dalam memilihmetode mengajar yang dapat dijadikan alternatif untuk memudahkan siswanya dalammenguasai materi yang disampaikan. Dalam mata pelajaran matematika, hendaknyapenggunaan metode penyampaiannya dapat merefleksikan cara belajar siswa aktif yang didalamnya melibatkan intelektual dan emosional serta membangkitkan motivasi siswa dalamproses belajarnya .

Page 265: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

258

Dari uraian di atas tampak bahwa perlu diupayakan pembelajaran matematika yangdapat meningkatkan kemampuan matematis siswa. Di samping itu, pembelajaran matematikayang diberikan harus dapat mengasah siswa agar mereka memiliki kemampuan dasar dalammatematika, siswa mampu menyelesaikan masalah, menemukan dan mengkomunikasikanide-ide yang muncul dalam benak siswa. Sumarmo (2006) mengemukakan bahwakemampuan dasar matematika yang diharapkan dimiliki siswa pada setiap jenjang sekolah,dapat diklasifikasikan dalam lima standar yaitu kemampuan: (1) mengenal, memahami danmenerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematika, (2) menyelesaikan masalahmatematik (mathematical problem solving), (3) bernalar matematik (mathematicalreasoning), (4) melakukan koneksi matematik (mathematical connection), dan (5) komunikasimatematik (mathematical communication). Untuk itu dalam pembelajaran matematikadiharapkan siswa memiliki kemampuan pemahaman matematis yang baik.

Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan pemahaman matematis siswa adalahdengan menggunakan teknologi. Teknologi merupakan suatu model inovasi yang dapat dipilihdalam proses belajar mengajar. Teknologi merupakan aspek yang paling luas untukdikembangkan dalam proses pendidikan. Teknologi yang digunakan dalam dunia pendidikanseperti komputer, kalkulator grafik, televisi dan lain sebagainya disebut ICT.

Software Algebrator adalah sistem komputasi simbolik atau sistem aljabar komputeryang bekerja berdasarkan model-model matematika (dalam bentuk simbol atau ekspresi ataupersamaan matematika). Sebagaimana software komputasi matematika yang lain sepertiMathlab, mathematica, mathcad dan sebagainya, Algebrator memberikan kemudahanberinteraksi secara matematis. Penulisan, perhitungan dan manipulasi ekspresi matematismaupun penanganan grafik dapat dilakukan dengan menggunakan perintah-perintah dengansintaks yang mudah serta menampilkan respon solusinya sebagaimana kita peroleh apabiladikerjakan secara manual. Algebrator sebagai software komputasi matematika (simbolik)sangat cocok untuk dimanfaatkan sebagai bantuan dalam pembelajaran matematika, karenakemudahannya dalam membantu menyelesaikan soal-soal aljabar, vektor, matriks, kalkulus,trigonometri, dan sebagainya.

Dengan adanya kemampuan-kemampuan yang dimiliki Algebrator tersebut,khususnya bagi siswa, memungkinkan tumbuhnya minat, motivasi dan sikap positifkhususnya terhadap matematika. Selain sesuai dengan karakteristik konsep matematika yangmemerlukan penyajian secara tepat dan akurat, membutuhkan gambaran proses,menumbuhkan kegiatan eksplorasi dan menjadikan konsep matematika yang dapat disajikansebagai materi pembelajaran yang menarik, sehingga diharapkan akan meningkatkankemampuan pemahaman matematis siswa.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan masalah yang dikaji/ditelitisebagai berikut:1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis antara siswa

yang mendapatkan pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan Algebrator, siswayang mendapatkan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan siswa yang mendapatkanpembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis antaraketiga kelompok tersebut ditinjau dari siswa level tinggi, level sedang dan level rendah?

3. Apakah terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan levelsiswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa ?

Landasan Teoritis1. Program Aplikasi Algebrator

Algebrator adalah program aplikasi yang dapat digunakan untuk membantumemecahkan masalah aljabar. Dengan menggunakan Algebrator, kita dapat memasukkanmasalah aljabar dan meminta program untuk menyelesaikannya dapat diperlihatkan langkah

Page 266: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

259

demi langkah. Selain itu, kita dapat memvisualkan berbagai macam grafik fungsi yangdiinginkan. Program Algebrator dapat digunakan oleh guru maupun siswa sebagai mediapembelajaran di kelas, atau dapat digunakan untuk membantu siswa dalam mengecekpekerjaan rumah mereka. Para guru dapat menggunakan Algebrator untuk membuat materipelajaran, membuat pekerjaan rumah, atau sebagai asisten, pengajaran tambahan otomatisuntuk siswa.

Gambar berikut merupakan contoh tampilan penggunaan Algebrator,Pada ruang kerja tuliskan soal, yaitu 2x - 3 = 17. Kemudian untuk melihat langkah demilangkah penyelesaian, klik ‘solve step’ pada tool bar sampai ditemukan solusi terakhir, yaitunilai x.

Gambar 1: Contoh Proses Penyelesaian Soal Aljabar

Untuk memeriksa kebenaran hasil akhir, klik ‘check solution’ pada tool bar, maka programakan mensubstitusi nilai x ke dalam persamaan yang menjadi soal di atas.

Gambar 2: Contoh Pengecekan Hasil Jawaban

2. Pembelajaran KooperatifMenurut Slavin (1995:2) metode pembelajaran kooperatif dapat digunakan secara

efektif pada semua tingkatan dan semua isi (content), mulai dari matematika sampai sains,dari keterampilan dasar sampai pemecahan masalah yang kompleks. Dalam skala luaspembelajaran kooperatif digunakan sebagai cara utama guru untuk mengorganisasikan kelasdalam pembelajaran. Pembelajaran kooperatif juga memandang bahwa keberhasilan siswadalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru, melainkan dapat juga dari pihak

Page 267: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

260

lain yang terlibat dalam pembelajaran itu, yaitu teman sebaya. Jadi keberhasilan belajar dalampendekatan ini bukan hanya ditentukan oleh kemampuan individu, melainkan perolehan ituakan lebih baik bila dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok kecil yang terstrukturdengan baik.

Ada beberapa manfaat model pembelajaran kooperatif dalam proses belajar mengajarantara lain adalah :a. Dapat melibatkan siswa secara aktif dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan

keterampilannya dalam suasana belajar mengajar yang bersifat terbuka dan demokratis.b. Dapat mengembangkan aktualisasi berbagai potensi diri yang telah dimiliki oleh siswa.c. Dapat mengembangkan dan melatih berbagai sikap, nilai dan keterampilan-keterampilan

sosial untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.d. Siswa tidak hanya sebagai obyek belajar melainkan juga sebagai subyek belajar karena

siswa dapat menjadi tutor sebaya bagi siswa lainnya.e. Siswa dilatih untuk bekerja sama, karena bukan materi saja yang dipelajari tetapi juga

tuntutan untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal bagi kesuksesankelompoknya.

f. Memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar memperoleh dan memahamipengetahuan yang dibutuhkan secara langsung, sehingga apa yang dipelajarinya lebihbermakna bagi dirinya.

Model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions)adalah salah satu metode yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasaipelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal (Wardani, 2003: 8). Dalam STAD terdapatlima komponen utama yaitu, presentasi atau penyajian materi kelas, kegiatan kelompok(teams), kuis, skor perkembangan individu, dan penghargaan kelompok (Slavin, 1995 : 71).Secara garis besar komponen-komponen dalam STAD menurut Slavin (1995:71) adalahsebagai berikut : 1) Presentasi kelas; 2) Kegiatan kelompok; 3) Kuis; dan 4) PenghargaanKelompok.

Sesuai dengan tujuan penerapan model cooperative learning, siswa diberikesempatan dapat menemukan sendiri pengetahuan yang diperlukan dan meningkatkanpemecahan masalah serta mengurangi peran guru sebagai sumber pengetahuan, makapersiapan sebaiknya yang dilakukan oleh guru berkaitan dengan materi yang akan dibahasmenurut Wardani (2003:9) antara lain: lembar tugas kelompok, lembar tugas individu, danlembar observasi perolehan skor individu maupun kelompok. Sedangkan berkaitan denganpelaksanaan pembelajaran adalah membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4sampai 5 orang.

3. Pemahaman MatematisPemahaman diartikan dari kata “understanding” (Sumarmo, 1987). Pemahaman

tergantung pada ide yang sesuai yang telah dimiliki dan tergantung pada pembuatan hubunganbaru antar ide. Pemahaman dapat didefinisikan sebagai ukuran kualitas dan kuantitashubungan suatu ide yang telah ada. Suatu gagasan, prosedur atau fakta matematika dipahamisecara menyeluruh jika hal-hal tersebut membentuk suatu jaringan (network) denganketerkaitan yang kuat dan banyak (Dahlan, 2004: 47). Keterkaitan yang kuat dan banyakmenentukan derajat pemahaman seseorang. Polya (Sumarmo,1987: 23) mengemukakan empattingkat pemahaman suatu aturan, yaitu pemahaman mekanikal, pemahaman induktif,pemahaman rasional, dan pemahaman intuitif. Seseorang dikatakan memiliki pemahamanmekanikal suatu aturan jika ia dapat mengingat dan menerapkan aturan itu secara benar.Kemudian seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman induktif suatu aturan, jika ia telahmencobakan aturan itu berlaku dalam kasus sederhana dan yakin aturan itu berlaku dalamkasus serupa. Selanjutnya seseorang dikatakan telah memiliki pemahaman rasional suatuaturan, bila ia dapat membuktikannya. Sementara itu, seseorang dikatakan telah memiliki

Page 268: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

261

pemahaman intuitif suatu aturan, jika ia telah mengetahui sesuatu tanpa belajar terlebihdahulu dan yakin akan kebenarannya.

Sementara Skemp (dalam Nanang, 2009: 26) berpendapat bahwa aspek pemahamankonsep meliputi dua jenis yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasionalfungsional. Pemahaman instrumental adalah pemahaman sejumlah konsep yang diartikansebagai pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalamperhitungan sederhana. Sedangkan pemahaman relasional fungsional sifat pemakaiannyalebih bermakna, termuat suatu skema atau struktur dalam menyelesaikan masalah yang lebihluas.

Dalam kaitan inilah penulis terdorong melakukan penelitian yang mengkaji tentangaspek pemahaman matematis siswa. Pemahaman matematis yang akan dikaji dalam penelitianini terfokus pada pemahaman instrumental dan pemahaman relasional.

Desain PenelitianDesain yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Pretest-Postest Control Group

Design” (Desain Kelompok Pretes-Postes). Desain penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

O X1 OO X2 OO O

Keterangan :O : pretes dan postesX1 : perlakuan pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan AlgebratorX2 : perlakuan pembelajaran kooperatif tipe STAD tanpa bantuan Algebrator

Populasi dan Sampel PenelitianPopulasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 2

Tarogong Kidul sebanyak 10 kelas. Dari sebaran populasi tersebut, peneliti mengambilsampel dengan cara random kelas sebanyak tiga kelas, yaitu kelas VII-C sebagai kelaseksperimen 1, kelas VII-A sebagai kelas eksperimen 2, dan kelas VII-D sebagai kelas kontrol.

Prosedur PenelitianProsedur penelitian ini dirancang untuk memudahkan dalam melaksanakan penelitian.

Prosedur dalam penelitian ini adalah:1. Menyusun instrumen, menguji coba dan menganalisis hasil uji coba instrumen penelitian.2. Menentukan subyek penelitian.3. Memberi pretes.4. Melaksanakan pembelajaran pada ketiga kelompok siswa.5. Memberi postes.6. Mengolah dan menganalisis data.7. Menyimpulkan hasil penelitian.

Hasil Pelitian1. Peningkatan Pemahaman Matematis

Untuk melihat peningkatan kemampuan pemahaman matematis yang telah dicapaioleh siswa digunakan data gain ternormalisasi yang selanjutnya disebut gain dengan rumusgain ternormalisasi (normalized gain) yang dikembangkan oleh Hake (1999) sebagaiberikut:

Page 269: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

262

pretesskoridealskor

pretesskorpostesskorg

Berdasarkan hasil skor gain ketiga kelompok sampel, diperoleh skor mean, median,modus (mode), standar deviasi, range, minimum (xmin), dan skor maksimum (xmaks); secararingkas di sajikan pada Tabel 1.

Tabel 1Statistik Deskriptif Skor PeningkatanKemampuan Pemahaman Matematis

Eksp1 Eksp2 KontrolMean ,5839 ,4070 ,2838Median ,6200 ,4150 ,2950Mode ,67 ,57 ,24a

Std.Deviation

,153 ,131 ,145

Range ,63 ,56 ,45Minimum ,21 ,17 ,09Maximum ,84 ,73 ,54

Dari Tabel 1 diperoleh informasi bahwa skor gain kelompok eksperimen 1menyebar dari 0,21 s.d. 0,84; dengan rata-rata skor dan simpangan baku berturut-turut0,5839 dan 0,153; nilai median dan modusnya 0,62 dan 0,67. Sedangkan untuk kelompokeksperimen 2, skor gain menyebar dari 0,17 s.d. 0,73; dengan rata-rata skor dan simpanganbaku berturut-turut 0,407 dan 0,131; nilai median dan modus berturut-turut sebesar 0,415dan 0,57. Untuk kelompok kontrol, skor gain menyebar dari 0,09 s.d. 0,54; dengan rata-rata gain dan simpangan baku berturut-turut 0,2838 dan 0,145; mengenai nilai median danmodusnya 0,295 dan 0,24.

Untuk mengetahui apakah rata-rata gain ketiga kelompok sampel, baik secaraumum maupun berdasarkan level siswa, berbeda secara signifikan perlu dilakukanpengujian perbedaan rata-rata. Karena ketiga kelompok data gain berdistribusi normal, danmemiliki varians yang homogen pada taraf signifikansi α = 0,05; maka uji perbedaan rata-rata gain kemampuan pemahaman pada kelompok eksperimen 1, kelompok eksperimen 2dan kelompok kontrol baik secara umum maupun menurut level siswa digunakan ujiANOVA dua jalur (Two-way ANOVA).

Setelah dilakukan pengelompokkan siswa berdasarkan perlakuan yang diberikandan level siswa, kemudian data gain kemampuan pemahaman matematis siswa, dianalisisdengan menggunakan software SPSS 18.0, dan diperoleh hasil sebagai berikut:

Page 270: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

263

Tabel 2Hasil Pengujian dengan Anova Dua Jalur

Dari tabel 2 di atas, dapat diketahui berbagi informasi hasil pengujian hipotesissebagai berikut:a. terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis antara siswa yang

mendapatkan pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan algebrator, siswa yangmendapatkan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan siswa yang mendapatkanpembelajaran konvensional.

b. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman matematis antara siswayang mendapatkan pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan algebrator, siswayang mendapatkan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan siswa yang mendapatkanpembelajaran konvensional berdasarkan level siswa.

c. Tidak terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran yang diberikan dan levelsiswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa.

Untuk mengetahui rata-rata kelompok mana saja (dilihat dari perlakuan yangdiberikan maupun dilihat dari aspek level siswa) yang peningkatan kemampuan pemahamanmatematisnya berbeda dilanjutkan dengan uji komparasi ganda (multiple comparison) PostHoc Test yaitu menggunakan uji Tukey HSD (Tukey’s HSD for honest significant difference).

Tabel 3Uji Peningkatan Pemahaman Matematis Berdasarkan Metode Yang Diberikan

Dari tabel tersebut, perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahamanmatematis antara kelompok eksperimen 1 (kelompok siswa yang mendapat pembelajaran tipeSTAD berbantuan algebrator), kelompok eksperimen 2 (siswa yang mendapat pembelajarankooperatif tipe STAD), sebesar 0,0064 dengan nilai probabilitas (sig) = 0,963. Adapunkriteria perbedaan tersebut signifikan jika nilai probabilitas (sig) lebih kecil dari α. Karenanilai probabilitas (sig) = 0,963 lebih besar dari α = 0,05 maka dapat dikatakan bahwa: tidakterdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahaman matematis yangsignifikan antara kelompok siswa yang mendapat pembelajaran tipe STAD berbantuanalgebrator dengan kelompok siswa yang mendapat pembelajaran tipe STAD.

Page 271: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

264

Mengenai perbedaan nilai rata-rata antara kelompok eksperimen 1 (kelompok siswayang mendapat pembelajaran tipe STAD berbantuan algebrator) dan kelompok siswa kontrol(siswa yang mendapat pembelajaran konvensional) sebesar 0,0754 dengan nilai probabilitas(sig) = 0,007. Adapun kriteria perbedaan tersebut signifikan jika nilai probabilitas (sig) lebihkecil dari α. Karena nilai probabilitas (sig) = 0,007 lebih kecil dari α = 0,05 maka dapatdikatakan bahwa: terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahamanmatematis yang signifikan antara kelompok siswa yang mendapat pembelajaran tipe STADberbantuan algebrator dengan kelompok siswa yang mendapat pembelajaran konvensional,dengan peningkatan kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa yang mendapatpembelajaran tipe STAD berbantuan algebrator lebih baik daripada kelompok siswa yangmendapat pembelajaran konvensional.

Adapun perbedaan nilai rata-rata antara kelompok eksperimen 2 (kelompok siswayang mendapat pembelajaran tipe STAD) dan kelompok siswa kontrol (siswa yang mendapatpembelajaran konvensional) sebesar 0,0819 dengan nilai probabilitas (sig) = 0,003. Adapunkriteria perbedaan tersebut signifikan jika nilai probabilitas (sig) lebih kecil dari α. Karenanilai probabilitas (sig) = 0,003 lebih kecil dari α = 0,05 maka dapat dikatakan bahwa:terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahaman matematis yangsignifikan antara kelompok siswa yang mendapat pembelajaran tipe STAD dengan kelompoksiswa yang mendapat pembelajaran konvensional, dengan peningkatan kemampuanpemahaman matematis kelompok siswa yang mendapat pembelajaran tipe STAD lebih baikdaripada kelompok siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Uji perbedaan peningkatan pemahaman matematis berdasarkan level siswaHasil pengujian ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 4Uji Peningkatan Pemahaman Matematis Berdasarkan Level Siswa

Dari tabel tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa: terdapat perbedaan nilai rata-ratapeningkatan kemampuan pemahaman matematis yang signifikan antara kelompok siswapandai dengan kelompok siswa sedang; dengan peningkatan pemahaman matematis siswakelompok pandai lebih baik daripada kelompok sedang.

Mengenai perbedaan nilai rata-rata antara kelompok level 1 (kelompok siswa pandai)dan kelompok level 3 (kelompok siswa kurang) terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatankemampuan pemahaman matematis yang signifikan antara kelompok siswa level pandaidengan kelompok siswa level kurang; dengan peningkatan kemampuan pemahamanmatematis kelompok siswa level pandai lebih baik daripada kelompok siswa level kurang.

Adapun perbedaan nilai rata-rata antara kelompok siswa level sedang dan kelompoksiswa level,terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahamanmatematis yang signifikan antara kelompok siswa level sedang dengan kelompok siswa levelkurang, dengan peningkatan kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa levelsedang lebih baik daripada kelompok siswa level kurang.

Page 272: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

265

Dari hasil di atas, dapat digambarkan dengan grafik berikut:

Gambar 2 Interaksi Antara Metode dan Level

PembahasanTujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan

pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuanalgebrator, siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe STAD dan siswa yangmendapat pembelajaran konvensional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kelompok pendekatanpembelajaran, terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan pemahaman matematissiswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan algebrator,pembelajaran kooperatif tipe STAD dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.Dimana dari hasil pengujian hipotesis disimpulkan bahwa:1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran

kooperatif tipe STAD berbantuan algebrator tidak berbeda secara signifikan denganpeningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajarankooperatif tipe STAD tanpa bantuan algebrator; tetapi jika dibandingkan denganpeningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajarankonvensional, peningkatan kemampuan pemahaman matematisnya lebih baik. Hal inimenunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan algebrator tidakperlu dilakukan.

Dari hasil pengamatan pelaksanaan penelitian, hal tersebut kemungkinan dipengaruhioleh beberapa faktor, antara lain keterbatasan kemampuan siswa dalam penggunaanteknologi komputer.

2. Terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahaman matematis yangsignifikan antara kelompok siswa level tinggi dengan kelompok siswa level sedang;dengan peningkatan pemahaman matematis siswa kelompok level tinggi lebih baikdaripada kelompok siswa level sedang. Terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatankemampuan pemahaman matematis yang signifikan antara kelompok siswa level tinggidengan kelompok siswa level rendah; dengan peningkatan kemampuan pemahamanmatematis kelompok siswa level tingi lebih baik daripada kelompok siswa level rendah.Terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahaman matematis yangsignifikan antara kelompok siswa level sedang dengan kelompok siswa level rendah;dengan peningkatan kemampuan pemahaman matematis kelompok siswa level sedanglebih baik daripada kelompok siswa level rendah.

Page 273: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

266

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada babsebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:1. Dilihat dari metode yang diberikan, terdapat perbedaan peningkatan pemahaman matematis

antara siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuan algebrator,siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe STAD, dan siswa yang mendapatkanpembelajaran konvensional.Hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan Anova dua jalur mengenai peningkatankemampuan pemahaman matematis menunjukkan bahwa: terdapat perbedaan peningkatankemampuan pemahaman matematis antara siswa yang mendapatkan pembelajarankooperatif tipe STAD berbantuan Algebrator, siswa yang mendapatkan pembelajarankooperatif Tipe STAD dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.Dari uji lanjut yang dilakukan, maka perbedaan peningkatan pemahaman matematisterjadi antara siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantuanalgebrator dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional; antara siswa yangmendapat pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan siswa yang mendapat pembelajarankonvensional, sedangkan antara siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe STADberbantuan algebrator dengan siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif tipe STADtidak terdapat perbedaan peningkatan pemahaman matematis secara signifikan.

2. Dilihat dari level siswa (tinggi, sedang, rendah):a. Terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahaman matematis

yang signifikan antara kelompok siswa tinggi dengan kelompok siswa sedang; denganpeningkatan pemahaman matematis siswa kelompok tinggi lebih baik daripadakelompok sedang.

b. Terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahaman matematisyang signifikan antara kelompok siswa level tinggi dengan kelompok siswa levelrendah; dengan peningkatan kemampuan pemahaman matematis kelompok siswalevel tinggi lebih baik daripada kelompok siswa level rendah.

c. Terdapat perbedaan nilai rata-rata peningkatan kemampuan pemahaman matematisyang signifikan antara kelompok siswa level sedang dengan kelompok siswa levelrendah, dengan peningkatan kemampuan pemahaman matematis kelompok siswalevel sedang lebih baik daripada kelompok siswa level rendah.

3. Tidak terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran yang diberikan dan levelsiswa terhadap peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa.

DAFTAR PUSTAKAApriani, I. P.(2009). Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa dengan

Menggunakan Model Probing Prompting. Skripsi Jurusan Pendidikan MatematikaSTKIP. Garut: Tidak diterbitkan.

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi).Jakarta: Bumi Aksara.Dahlan, J. A. (2009). Pengembangan Model Computer-Based E-Learning untuk

Meningkatkan High-Order Mathematical Thinking Siswa SMA. Laporan PenelitianHibah Bersaing Perguruan Tinggi TA. 2009/2010 UPI Bandung : TidakDipublikasikan.

Daryanto. (2007). Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.Depdiknas (2007). Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika. Jakarta :

Depdiknas.Depdiknas. (2003). Media Pembelajaran. Jakarta : Depdiknas.Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 274: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

267

Hake, R.R. (1999).Analyzing Change/ Gain Scores.[Online].Tersedia:http://www.physics.indiana.edu/~sdi/Analyzing-Gain.pdf.(25 Maret 2011).

Hamalik, O. (1994). Perencanaan pengajaran Berdasar pendekatan Sistem. Cetakan ke-3.Jakarta: PT Bumi Aksara.

__________ . (1998). Media Pendidikan. Bandung: PT Cipta Adya Bakti.__________ . (2006). Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.Hamidah. (2008). Efektivitas Pembelajaran Model Arias Disertai Liquid Crystal Display

(Lcd) Dalam Meningkatakan Motivasi Dan Hasil Belajar Siswa. FKIP UNTAN.Hudojo, Herman. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA.

Universitas Negeri Malang.Jiang, Z. (2008), Explorations and Reasoning in the Dynamic Geometry Environment.

[Online]. Tersedia: http://atcm.mathandtech.org/EP2008/papersfull/2412008_15336.pdf. (25 Maret 2011).

Karim. (2003). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Audio Visual. Bandung :Alfabeta.

Karli, H. dan Yuliariatiningsih, MS. (2002). Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi:Model-model Pembelajaran. Bandung : Bina Media Informasi.

Marjuni, A. (2007), Media Pembelajaran Matematika dengan Maplet, Yogyakarta: GrahaIlmu.

Nanang. (2009). Studi Perbandingan Kombinasi Pembelajaran Kontekstual dan MetakognitifTerhadap Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika SiswaSMP. Disertasi pada SPs UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Nazir, Moh. (2009). Metode Penelitian. Bogor:: Ghalia Indonesia.Permen No. 22 Tahun 2006 tentang Standar IsiRahim, H. M. (2007). A Clasroom Use of the Geometer’s Sketchpad in a Mathematics Pre-

Service Teacher Education Program. [Online]. Tersedia.http://www.lakeheadu.ca/~mrahimwww/ [17 April 2011].

Riduwan. (2003). Dasar-Dasar Statistika. Bandung: Alfa Beta._______ . (2005). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula.

Bandung: Alfa Beta.Ruseffendi, H.E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam

Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru. Bandung: Diktat._______________. (2006). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini. Bandung:

Tarsito.Rusmini. (2007). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis SIswa

SMP melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Program Berbatuan CabriGeometri.Tesis Magister Pada SPs UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Sanjaya, Wina. (2010). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana.Sardiman. (2010). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Garasindo

Persada.Slavin, RE. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Boston : Allyn

and Bacon.Sudjana, N. (2005). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.Sugiono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung. Alfabeta.Sumarmo, U. (1987). Kemampuan dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan

Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasipada PPs UPI. Bandung: tidak diterbitkan.

___________. (2006). Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa SekolahMenengah. [Online]. Tersedia:http://math.sps.upi.edu/?p=64.http://www.physics.indiana.edu/~sdi/Analyzing-Gain.pdf. (3Mei 2011).

Page 275: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

268

Sundayana, R. (2010). Statistika Penelitian Pendidikan. Garut: STKIP Garut Press.Suparno, P. (2008). Fislsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Kanisius. Yogyakarta.Turmudi. (2009). Taktik dan Strategi Pembelajaran Matematika, Referensi untuk Guru Matematika

SMA/MA, Mahasiswa, dan Umum. Jakarta : PT Leuser Cita Pustaka.Wardani, S. (2003). Kajian Pembelajaran Matematika dengan Model Belajar Kooperatif Tipe

Student Teams Achievement Divisions (STAD) yang Mendukung Empat Pilar PendidikanAbad 21. Wawasan Tridharma. (2), 7-11.

Page 276: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

269

EMERGING OF TECHNOLOGY:THE CHANGES OF TEACHERS’ BELIEFS IN INDONESIA

Winda SyafitriSchool of Graduate Studies

State University of Malang, East [email protected]

AbstractWhat teachers bring to their teaching learning process is their beliefs. The wayteachers behave in the classroom is influenced by their beliefs, values, views,and perceptions. As technology emerges, it has changed most parts of humanlife, including teachers’ beliefs. Technology is the one providing theknowledge students need while teacher is only facilitator. Beliefs that teachershave in the past are not appropriate with today’s conditions. Teachers’ beliefsabout learners, learning, and themselves should be changed to meet students’needs in the present schools.In Indonesia, many current practices of teaching are found to be ineffective dueto inappropriate teachers’ beliefs. Some teachers strive to prepare themselvesto be a person who fit into the patterns of current practice. Others, especiallythe senior teachers, choose to stay at what they believe although it does not fitinto what it should be. This paper will discuss about the teachers’ beliefs inIndonesia and how technology change their beliefs. The data about theteachers’ beliefs today are also gathered to strengthen the statement byinterviewing some teachers. The finding is that they admitted that they are“forced” by technology to change their belief in order to adapt this new era.Teacher’s beliefs have changed as effect of technology emergence: learners arenot raw materials anymore, they are individual explorer; learning is nottransmitting the knowledge, it is helping students to construct their knowledge;and teachers are not the source of knowledge anymore, they are onlyfacilitators in the classroom.

Keywords: technology, teachers’ beliefs, change, Indonesia

INTRODUCTIONEvery important decision taken by the teachers in designing teaching learning process

is based on their belief. Even beliefs are more influential than knowledge in determining howindividuals organize and define tasks and problems, and are better predicators of how teachersbehave in the classroom (Wiliams and Burden, 2000). Therefore, teachers’ appropriate beliefslead to successful teaching learning process.

Considering the teacher’s belief, it is realized that it holds very important role tosucceed the teaching learning process. Different belief will lead to different task given anddifferent teaching strategy used. Appropriate belief will lead to appropriate task given andappropriate teaching strategy used which lead to successful learning process. In the other way,inappropriate belief will lead to inappropriate task given and inappropriate teaching strategyused which lead to unsuccessful learning process. This condition gets us to be aware about theimportance of teacher’s belief and its change from time to time.

Hafner and Miller (2011) found that authentic and meaningful task given in theclassroom nowadays should be related to technological learning. In their research, it is foundthat students perceived that the digital video project is meaningful and authentic task.Moreover, more data said that this kind task was suitable for “21th century” students. In a

Page 277: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

270

nutshell, task which is driven from teacher’s belief today should be related to technologicallearning in order to succeed the instructional process.

Today, technology has changed most parts of human life. Mindset, lifestyle, and beliefsystem of people recently are on the move. Teachers are not source of knowledge whotransfer it to the learners. It is the learner who constructs his/her own knowledge. Therefore,the teacher is only facilitator in the teaching learning process who provide task that helpstudents learn and creates conducive learning condition. Teachers’ beliefs in the past are notappropriate anymore with today’s conditions because technology has brought revolution toeducation. Teachers’ beliefs about learners, learning, and themselves should be changed tomeet students’ needs in the school. Inappropriate beliefs of teachers may lead to ineffectiveteaching learning process which leads to unsuccessful learners.

As influence of technology touches every region all over the world, includingIndonesia, education in Indonesia is also affected. Due to emerging of technology, educationin Indonesia is changed in some part. Therefore, Indonesian teachers are supposed to adapt tothis change.

In Indonesia, many current practices of teaching are found to be ineffective due toinappropriate teachers’ beliefs. Many teachers choose not to improve their practice. Some ofthem strive to prepare themselves to be a person who fit into the patterns of current practice.Others, especially the senior teachers, choose to stay in what they belief although it does notfit into what it should be (Firman and Tola, 2008). This paper will discuss about the teachers’beliefs in Indonesia and how technology change their beliefs.

THE CHANGES OF TEACHERS’ BELIEFS IN INDONESIAEducational Background of Indonesia

Education in Indonesia is affected by its diversity. As an archipelagic country with13,466 islands and around 300 ethnic groups with different languages and cultures (Kompas,2012), it is not easy for the government to provide proper educational infrastructure that everycitizen can benefit from. Since 2001, the autonomy policy of education was applied by thegovernment and it changed the centralized education system to a decentralized one whichmade local (provincial) education authorities as the decision makers. The disparity amongregions that had been a constraint for the central government in providing equitable educationfor all Indonesians can be better addressed as every province can now make judgment of themost appropriate system to develop education based on the needs of the area. Althougheducation system in every province can be different from one province to another because ofautonomy policy, there is still a common expectation of students all over the country to passthe national exam in 6th grade of Elementary School, 9th grade of Junior High School, and 12th

grade of Senior High School. From the result of national exam, government standardizes thenational education in all provinces and evaluates educational program.

According to the current Indonesian national education system, the levels ofeducation in the school system consist of Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama(SMP), and Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekolah Dasar (SD) consists of six years ofelementary education and Sekolah Menengah Pertama (SMP) consists of three years of juniorsecondary schools. The nine-year of education in SD and SMP is must-do which has beendeclared “Nine-year Compulsory Education” since 1994. Sekolah Menengah Atas (SMA)consists of three years of schooling at general senior high schools or vocational schools.

As a developing country, Indonesia puts a big concern on education. According tonational financial plan, government allocates 20% of funding for education. Therefore, manyprograms are held in order to improve national education, such as Bantu Sekolahku, BantuanOperasional Sekolah (BOS), Beasiswa Unggulan, Bidikmisi, Buku Sekolah Elektronik,

Page 278: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

271

Sertifikasi Guru, RSBI, TV Edukasi, and so on. Through these programs, significantimprovement in education is highly expected.

In Indonesia, education is the talk of the country which changes time to time.Curriculum, educational funding, and new changes in education policy always generate prosand cons in the society. For instance, after using Competence-Based Curriculum in 2002 and2004, Indonesia has been using School-Based Curriculum since 2006 and it is planned that thecurriculum will be changed this year. The changing of curriculum 2013 which leads tochanges of instructional objectives and practice in the schools has been a hot issue recently.Some people argue that change is upgrading educational system which is good for adapting totoday’s very rapid changes such as technology. In other hand, some people think it is notnecessary to do because changing curriculum is wasting money which can be allocated toother educational needs and it is too fast to change the curriculum because Anita Lie (2012)argues that curriculum success is a very long process, beginning from crystallization of ideaabout education, curriculum design formulation, readiness of educators and educational staff,facilities, curriculum management, including teaching learning process, and instructional andcurriculum evaluation.

Teachers’ Beliefs in IndonesiaAs Wiliams and Burden (2000) states, teacher’s belief covers three areas i.e. belief

about learners, belief about learning, and belief about themselves. Teachers may hold any oneor a combination of beliefs about those whom they teach. Firstly, teachers have beliefs aboutlearners as stated by Meighan (in Wiliams and Burden: 2000): Resister (learners as peoplewho don’t want to learn but only do so because they are have to), Receptacles (learners aspeople who can only receive a certain amount of that knowledge according to the size oflearners’ IQ), Raw material (learners as people who can be formed into successful learnerswith excellent skills), Client (learners as people who learn because of educational need andbegin to alter the nature of the relationship between teachers and learners); Partners (learnersshifted from consultation into negotiation in which the teachers take on the role of studentsamongst the students); Individual explorers (teachers become facilitators and the classroom isorganized in such a way as to enable the learners to explore for themselves and come to theirconclusion with a minimum of prompting from the teacher); and Democratic explorers (thefunction of any learning group is to set its own agenda, decide upon its goals and preferredways of working).

The next is teachers’ beliefs about what is involved in learning will influence the way inwhich they teach in the classroom. A good teacher must be clear in their minds about howmuch the learners learn and what exactly the learning is for. Different goals will lead todifferent ways of teaching. Gow and Kember (in Wiliams and Burden: 2000) suggest the mostapproaches to learning: a quantitative increase in knowledge; memorization; the acquisition offact, procedure, etc which can be retained and/or used in practice; the abstraction of meaning;an interpretation process aimed at the understanding of reality; and some form of personalchange.

Another is how teachers’ views of themselves as persons and what they believe to bethe most appropriate form of social interaction with their learners which can influence thelearning process. As a human, effective teachers create learning atmospheres which arecognitively and affectively expanding; learning atmospheres which enable the learner tobecome a more adequate and knowledgeable person.

Indonesian teachers are supposed to consider that their beliefs should refer to what iswritten in Permendiknas No. 16 2007 about National Teacher Competences. Based onNational Teacher competencies, a teacher should have four competences: a) pedagogicalcompetence is teaching skill mastery; b) professional competence is teaching materialsmastery; c) personal competence is teachers’ attitudes as model for the students, and d) social

Page 279: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

272

competence is teachers’ ability to interact with students, parents, and society. Every point inNational Teacher Competences reflects on what knowledge and skills Indonesian teachersshould have and how they should behave (attitude).

Technology in Indonesian SchoolHistory of educational technology firstly used in Indonesia started from using radio

by “Jawatan Pendidikan Masyarakat” to teach soldiers in 1952. Many changes happened timeafter time in terms of using technology in education. In 2001, Indonesia start putting a greatconcern in reducing the “digital divide” through extensive use of ICT in various sectors andaspects of life. In Presidential Instruction No 6 2001, the Government of Indonesia formulatedthe ICT National Plan. Within the education sector, the ICT plan for education was put forthwhich has the following priorities: a) Collaboration between the ICT industry and ICTeducational institutions (2001-2005); b) Development and implementation of ICT curricula(2001-2004); c) Use of ICT as an essential part of the curricula and learning tools in schools,universities and training centers (2001-2005); d) Establishment of distance educationprograms, facilitation of the use of Internet for more efficient teaching and learning (e.g.School 2000 or SMU 2000, which started in 1999). Unfortunately, those priorities have notyet been fully implemented because of unrest in the country (Belawati, 2005).

Furthermore, Belawati (2005) in her article described the development of ICT inIndonesia education at that time. On the basis of the ICT National Plan there are several majorinitiatives have been conducted by the Ministry of Education to enhance the use of ICT inprimary and secondary education including:- Education Radio Broadcast for Primary School Students (Siaran Radio Pendidikan untuk

Murid Sekolah Dasar or SRPM-SD)- IT programme: The Directorate of Technical and Vocational Education (DTVE) and the

MONE launched this programme in vocational secondary schools (VSSs) in 1999.- WANKota (Wide Area Network - CITY): This was initiated by members of SIN10 with

the objective of connecting school LANs within and between cities (Malang, Surakarta,Yogyakarta, Wonosari, Bandung, Cibinong, Tangerang and Makasar), using a wirelessconnection.

- ICT block grants for secondary schools: a system of block grants of about US$D 4,179per school were initiated by The Directorate of General Secondary Education andMinistry of National Education to procure computer facilities (during 2002 and 2003,grants to about 174 schools were allocated throughout the country)

- “SMU2000” or School 2000: This project was intended to connect 2000 high schools tothe Internet by the year 2000 through the development of an educational portal.

- “E-dukasi” or E-ducation project of PUSTEKKOM: In co-operation with the Directorateof Vocational Education, this project was started in 2002. The objective is to improve thequality of education in high and vocational schools through the use of Internet-basedlearning materials (termed e-learning - see www.edukasi.net/).

Today, optimizing technology use in education has been a big concern. The Ministryof National Education has launched the National Education Network (Jardiknas) as asuperhighway backbone connection for education (Gani, 2008). This network is intended: (1)to establish the flow of data, information, and communication among all education offices atthe national, provincial, district/city, and university and school levels; (2) to provide freeaccess of intranet connection for all schools in Indonesia; (3) to provide free and cheap e-learning resources; and (4) to facilitate free access for knowledge sharing, research anddevelopment. The Jardiknas can be grouped into four zones, namely educationoffice/Institution zone, university zone, school zone, as well as teacher and student zone.

Education office zone is focused on data transaction and educational managementsystem information. University zone (Indonesia Higher Education Network) is prioritized for

Page 280: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

273

research and development connecting universities in all provinces. School zone connectsabout 10,000 schools to Jardiknas from which e-learning sources can be utilized by schools.Teacher and Student zone connects every teacher and student individually to Jardiknas so thatthe ICT based education can be carried out from the school to students’ homes. In addition, in2008 the Ministry of National Education declared a textbook reform to accelerate educationalquality improvement. In this reform the Ministry of National Education purchased thecopyright of accredited school textbooks, digitalized the textbooks and put them on the web inorder to be accessed and downloaded through the internet (Firman and Tola, 2008).

Recently, Indonesian Ministry of National Education has worked hard to socializethe use of ICT in schools. In cooperation Southeast Asian Ministers of EducationOrganization (SEAMEO) - Regional Open Learning Center (SEAMOLEC), teachers inIndonesia were introduced to digitalize educational establishment. They were introduced toweb conferencing by using Bing Blue Button and to edmodo. Edmodo is a social mediaplatform which is similar to facebook for school and can be used for various needs. Althoughthe application of this program has not fulfilled the expectation, it shows that the governmentand other organizations are still working it out which are supported by schools, teachers,stakeholders, and students themselves.The Changes of Teachers’ Belief in Indonesia

It is believed that there is learning paradigm shifting as effect of emerging thetechnology. Through its website (www.kemdiknas.go.id), Sisdiknas describe the shifting oflearning paradigm in 21st century. The shifting formulated by them is shown in the followingscheme.

Based on the scheme, there are four characters of 21 century in teaching learningcontext. Education today deals with information, computation, automaticity, andcommunication. “Information” in educational context means that information today is

SCHEME OF LEARNING PARADIGM SHIFTING IN 21TH CENTURY

Information(it is provided everywhere, and every time)

Computation(machine makes faster)

Automaticity(it reaches all regular works)

Communication(it is from any place to any other place)

Instructional process is directed to helpstudents build knowledge from various

observation source, not tell them

Instructional process is directed to be ableformulate the problem (questioning), not

only solve the problem (answering)

Instructional process is directed to trainthinking analytically (taking decision), not

thinking mechanically (regular)

Instructional process emphasizes on theimportance of cooperation and

collaboration in solving problem

21th Century characters Teaching Learning Model

Page 281: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

274

provided everywhere and every time, e. g. through internet, so that instructional process isdirected to help students to build knowledge based on various observation sources, not to tellthem. This phenomenon shows that education in on the move from conventional approach toconstructivism one because knowledge is not transferred by the teacher to the students as inthe conventional approach, however, it is the students themselves who construct or build theirown knowledge; teachers only guide and facilitate the process.

“Computation” in education means that machine makes faster; people can work moreeffectively and efficiently by using it. Therefore, instructional process is directed to be able toformulate the problem (questioning), not only to solve the problem (answering). Studentsare trained not only to answer or to solve a problem but also to formulate it and thinkcritically. “Automaticity” means that all regular works today can be reached automatically sothat instructional process is directed to train students to think analytically (taking decision),not to think mechanically (regular). Then, “communication”, which holds very important role,means that everybody can communicate with each other from any place to another place, e.g.through mobile phone or social media. Therefore, instructional process emphasizes on theimportance of cooperation and collaboration in solving problem.

If it is compared to education in the past, it is clear that education is on the move tonew learning paradigm in which technology emerges. Curriculum made in past might havenot considered about the role and potentials of technology. Thus, this paradigm shift inknowledge acquisition is giving birth to new curricula that are more learner-centered andinteractive. Furthermore, recent developments in technology are giving rise to new kind ofsocial learning that is in some aspects much more beneficial to students than traditionalinteractive learning in classroom (Davies: 2011).

Role and potentials of technology should be highly considered in the curriculum,especially this coming curriculum 2013. In his article, Davies (2011) talked about how toincorporate technology and social software into curriculum which can be seen from twopotentials: opportunities for learners and applications for teacher. As opportunities forlearners, he examines a few of Everhart’s (2006) strategies for facilitating social learning: (1)to emphasize the importance of group projects, wikis, portfolios, and discussion forum toencourage students’ interaction; (2) to have an interesting thematic structure so as to engagethe learners in activities and make learning meaningful; and (3) to highlight the importance oflinks in the course materials to guide learners to outside sources and/or to other parts of thecourse. Another is application for teacher which means that technology can be used to assistschools in designing their curriculum. This may be very useful in MGMP in which allmembers of curriculum development team with so many schools find that it is difficult to gettogether for meetings and that going through hand-copy binders of curriculum objectives wasextremely time-consuming.

Government has done many things to reduce “digital device” in which Indonesia hasbeen left behind from other developed countries. As stated in the previous chapter,government puts big concern on using technology in education. Therefore, it is highlysuggested to optimize technology’s potentials in designing new curriculum 2013. The newcurriculum is expected to do so not only to fulfill the needs of being digitalized, but also toadapt with 21st students’ characters to have better educational outcome. In brief, it is thetechnology which changes the education system in Indonesia.

Some data are presented to support the changes of teachers’ beliefs in Indonesia. Thisdata collected by doing interview by giving the participants open questions related to thechanging of teachers’ beliefs as effect of technology emerging. There are five participants tobe interviewed; they are one elementary school teacher, one junior high school teacher, twosenior high school teachers, and one university lecturer. The questions given in interviewwere about the changes of their beliefs toward learners, learning, and themselves due to the

Page 282: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

275

emerging of technology. Then, the participants were also asked about how the changeshappened.

Sri Wardani (46 years old), a teacher of SMA Negeri 1 Malang with 27 years teachingexperience, states that technology has changed the teachers’ beliefs today. Teachers who arenot willingness to change their belief will find many obstacles in the classroom because thelearners and the learning process have already changed. Technology provides students morepossibility to know more than the teachers, such as internet, television, and hand phone.Through technology, teachers actually can conduct the teaching learning process easier, forinstance, teachers can use audiovisual media to give the model to pronounce the wordscorrectly. In the interview, she stated that her belief was changed by technological condition.She believes that learners come to the classroom with something in mind to be learnt. In thepast, learners might come without knowing what to learn; then, the teacher is the onetransmitting the knowledge like “fulfilling the empty tank”. Nowadays, teacher is onlyfacilitator in the classroom. This change is caused because students has been learn a lot fromother sources in which technology play a major role in it.

Another is what is said by Siti Iriani (52 years old), an elementary teacher with 33years teaching experience in North Sumatera. She said that she is forced to change her beliefto have appropriate teaching learning process which is emphasized on technology. Somehow,she often finds her colleagues who decline to change theirs and she finds it difficult for themto have effective and efficient class. To be authentic and meaningful, she tries to connect thelesson in the classroom to what they watch in television and she found it works well.

The next one is Mushoffan Prasetianto (23 years old), a teacher with 2 years teachingexperience in SMA Negeri 5 Malang. He is young and familiar with the influence oftechnology in teaching learning process and chosen as participant to represent how youngteacher talks about technology in education. He said that technology help him very much inhis teaching because it provides so many information for the learners. Therefore, he onlyneeds to give the rods and teach fishing to the students so that knowledge is constructed bythe learners themselves. He found that model of leaning applied by his teacher in the past doesnot work anymore. His teacher might have him to find materials in library; but now he findsthat students prefer finding the materials by one click to internet. Collecting homework orassignments is not paper-based anymore because send them through e-mail is both easier forteacher and students and more eco-friendly. He also states that his belief will change fromtime to time. People’s mindset and lifestyle will change hand in hand with the very rapiddevelopment in technology.

Hadlin Yahmar (50 years old) is a teacher in Junior High School in North Sumaterawho has 19 years teaching experience. He thinks that his belief about teaching learning haschanged in order to adapt this new era. Although he lives in rural area, he finds thattechnology influences learning process. What he teaches may be what students ever watch intelevision or internet.

Then, it is Ahmad Kusnin (45 years old) who teach in University of Asahan and have23 years teaching experience. He admits that technology is really helpful. Teaching inuniversity demands changing his belief from time to time to always upgrade his teachingmethod, his teaching material, and his way in assessing and giving scores. He said “Peopletoday are different with people in the past; lecturers should teach them in their way which ismostly influenced by technology. This is what we call as ‘revolution in education’”. Healways makes use of e-mail and facebook in sharing materials and giving assignment to thestudents. Moreover, he tends to give certain topics to learn; then, he lets the students findthemselves by browsing it from internet and he found that they can get more knowledge frominternet rather than he could give.

In brief, teacher’s belief about the learners has changed. Teacher in the past mightbelieve that students coming to class without knowledge, which then he or she transfers the

Page 283: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

276

knowledge to the students; today, teachers should regard the students as the ones who come toclass and have known many things about materials taught. Through technology, knowledgecan be accessed anywhere and anytime by the students. The students may know more thanteacher, however, teacher plays important role in guiding and facilitating the teaching learningprocess and creating conducive learning environment so that students can learn effectivelyand efficiently.

Teachers’ beliefs about learning also have changed. They found that learning is nottransmitting the knowledge to learners anymore; it is the learners who construct theirknowledge. Therefore, tasks given to students in the present would be different with taskgiven in the past. Teachers are supposed to give more tasks related to problem solving andproblem formulating which need critical and analytical thinking. Through these kinds oftasks, they find and build their own knowledge.

Then, teachers’ beliefs about themselves have changed. Teachers today believe thatthey are not source of knowledge anymore in which technology now are. They only need toprovide tasks guiding and helping the students to get knowledge. They facilitate and createconducive learning in order to succeed the teaching learning process.

Based on those changes, it is highly suggested to Indonesian teachers to change theirbeliefs to have better learning outcome. Theories and researches on teacher learning suggestvarious strategies to promote changes in teachers’ belief which can be applied in Indonesia.Three key components are common to these strategies: experience, reflection, and support.The first component includes providing both personal and vicarious experiences (Ertmer inMa et.al. 2008) in which teachers either practice the use of technology to facilitate student-centered learning or to observe other teachers’ technology integration experiences. Preservedteachers should be given the opportunities to practice teaching with technology in all teachereducation courses and field experiences and observe how other teachers, especially experts,teach with technology. The second component important to affecting changes in teachers’beliefs is reflection. Reflection is a key process during which a teacher “looks back at theteaching and learning that has occurred, and reconstructs, reenacts, and/or recaptures theevents, the emotions, and the accomplishments. Then, the third is support. Experience andreflection alone are inadequate to facilitate the change of beliefs; various support mechanismsshould be in place to provide preserved teachers with information and materials, as well associal-cultural support to facilitate reflection and belief change (Lim et. al.:2009).

In a nutshell, technology brings big influence to education. Therefore, teachers inIndonesia should adopt and adapt to this condition. Some of them should change their beliefsin order to use good and appropriate teaching method, teaching materials, and tasks givenwhich are appropriate to character of how young people learn and how education isestablished.

Constraints of using technology in Indonesian educationUsing technology in Indonesian education is not easy to be implemented. Starting

from 2001, government has started to build its foundation in Indonesia. It is been the nexttwelve years now from that point, and it seemed that we have move nowhere.

There are some constraints in the implementation of technology in Indonesianeducation. The first constraint is Indonesia still lacks of ICT equipment and infrastructure(including telephone line and reliable electricity supply) as well as unavailability of skillfulpersonnel to manage ICT equipment in many schools, particularly in rural areas. Secondly,the expensive cost of internet access is another problem in the utilization of ICT-basededucation. Those constraints may result in further digital divide among schools in theircapacity to deliver quality education services through utilizing ICT-based learning. To copewith those problems the Central Government needs to provide block grant programs andtechnical assistance for a number of schools. As well in particular poor schools, government

Page 284: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

277

needs to provide appropriate ICT equipment and infrastructure. Moreover, open competitivegrants have been offered by the Central Government to develop digitalized learning packagesfor pre-university education.

Another problem is the lack of human resource as technology users. Technologyusually has little impact on elderly teachers in Indonesia because senior teachers have alreadydeveloped a stable belief system on teaching and learning (Pajares in Lim et.al, 2009). Elderlyteachers, especially those who live in rural area, usually decline using technology becausethey do not have any competence in using it in the classroom. If there are some elderlyteachers can use it in the classroom, they are usually influenced by the environment. Forinstance, the lecturers in university are highly suggested to use technology in order to meetstudents’ needs in university. Moreover, some youthful teachers also cannot use technology inthe classroom due to their low competences. This problem can be reduced by giving teachertraining which can give experience and support to use technology in classroom.

CONCLUSIONTechnology has changed every region all over the world, including Indonesia. In

Indonesia, it also touches educational field. Teachers today bring their beliefs to the classroomwith the learners whose mindsets are mostly influenced by technology. Therefore, theteachers’ beliefs are supposed on the move. Technology is something new in preservedteachers’ lives, nevertheless, they have to adopt and adapt to this situation. The learners todayare learners whose interests are in internet, television, mobile phones, and so on. Thus,teachers are expected to have meaningful learning process which connects new materialsgiven and their background knowledge. Changes in Indonesian teachers’ beliefs arehappening in order to have effective and efficient teaching learning process.

However, there are some constraints in implementing technology in education; schoolsare lack of ICT facilities and technician, high cost, and low competence of teachers astechnology users. To cope with these problems, government, stakeholder, and society shouldhave strong commitment to keep going in providing these infrastructures and giving trainingto teachers. Considering the huge number of schools, students, and teachers all overIndonesia, school ICT capacity building programs will take a number of years to moveforward.

Bibliography

Ali, M. 2004. e-Learning in Indonesia education system. A paper presented at seminar-workshop on e-Learning: The seventh Programming Cycle of APEID Activities, 30August – 6 September in Tokyo and Kyoto, Japan.

Belawati, T. 2005. UNESCO Meta-survey on the use of technologies in education: IndonesiaICT use in education.[http://www.unescobkk.org/fileadmin/user_upload/ict/Metasurvey/indonesia.pdf.]Accessed on January 11, 2013.

Davies, R. J. 2011. Second-Language Acquisition and the Information Age: How SocialSoftware has Created a New Mode of Learning, TESL Cana Journal, Vol. 28, No 2, 11-19

Firman, Harry and Tola, Burhanuddin. 2008. The Future of Schooling in Indonesia. CICEHiroshima University, Journal of International Cooperation in Education, Vol.11 No.1

Page 285: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

278

Gani, L. 2008. Indonesian e-education initiatives: National case study.[http://www.moe.gov.my/43seameocc/download/] Accessed on January 11, 2013

Hafner, Christoph A. and Lindsay Miller. 2011. Fostering Learner Autonomy in English forScience: A Collaborative Digital Video Project in A Technological Learningenvirontment. Journal of Language Learning & Technology, Volume 15, Number 13 p.68-86.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Pengembangan DanPendayagunaan Telematika Di Indonesia.

Kompas “Hanya ada 13.466 Pulau di Indonesia” in http://nationalgeographic.co.id accessed on 12February, 2013

Lim, Cher Ping, Pagram, Jeremy, and Nastiti, Hendrati. 2009. Professional DevelopmentGoes East:Examining Changes In Teachers’ Beliefs In Four Indonesian Schools.Proceedings of the 2nd International Conference of Teaching and Learning (ICTL 2009)INTI University College, Malaysia

Ma, Yuxin, et. al. 2008. Teachers’ Belief Changes in a Technology-Enhanced PedagogicalLaboratory. Journal of Educational Technology Development and Exchange Volume 1, No.1, November, 2008

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang StandarKualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru

Sistem Pendidikan Nasional. 2012. Pergeseran Paradigma Belajar Abad 21 inwww.kemdiknas.go.id accessed on February 12, 2013

Williams, Marrion, and Burden, Robert L. 2000. Psychology for Language Teachers: a SocialConstructivist Approach

Page 286: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

279

KAJIAN KETIMPANGAN PERMINTAAN INDUSTRI DAN PASOKANPENDIDIKAN WILAYAH KOTA MAKASAR

Yunia Dwie NurcahyanieRusdiyantoro

Djoko Adi WalujoUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstractHigher education Indonesia produce thousands of fresh graduate every year, but whyIndonesia's economic development can’t increased gradually in the domesticworkforce. This study aims to identify the needs of the industrial needs in Makassarand suitability supply of human resources. This research use quantitative andqualitative purposive random sampling of 40 companies that comprise the totalnumber of workers in 1346 and converted to worker education at the vocationalschool, high school, D3, and S1 in Makassar City Region. The results of this studyexplained why proportion of the sub-sector is dominated by the high school andvocational school graduates, and a lot of positions that should be filled by a minimumS1 or D3 were filled by high school or vocational school where they come from aneducational background is not in suit with with Indonesian Human Development Indexand MP3EI corridor Sulawesi. The number of certified worker is still less than 30%, itis far short of expectations in 2015 after Indonesia must certify the entire humanresources through the National Professional Certification.

Keywords: Human Development Index Mapping, Makasar,KKNI, MP3EI

PendahuluanPenurunan angka kemiskinan dan angka pengangguran masih menjadi tantangan

utama. Dalam kaitan ini, sejak tahun 2011 Pemerintah telah menyiapkan dua strategipembangunan utama sebagai kebijakan kunci, yakni Masterplan Percepatan danPerluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan Masterplan Percepatan danPerluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI), yang dalam pelaksanaannyadiharapkan akan mampu bersinergi. Dicanangkannya program MP3KI berdampingan denganMP3EI tersebut diharapkan akan menciptakan sinergi yang kuat dalam mewujudkan (a)pertumbuhan yang tinggi, inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan; (b) pembangunan ekonomiyang merata di seluruh tanah air; (c) peningkatan kesempatan kerja; serta (d) penurunantingkat kemiskinan.

Program MP3EI menjadi payung semua kegiatan pembangunan infrastruktur diberbagai wilayah Indonesia, sebagai bentuk langkah-langkah terobosan. Pengembangankoridor-koridor utama yang menjadi pendorong dan penopang kegiatan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya, serta didukung dengan perbaikan konektivitas antar daerah, diharapkandapat segera mewujudkan integrasi pasar di wilayah Indonesia, hingga ke pelosok desa.Dengan strategi tersebut, hasil kegiatan pembangunan dan pertumbuhan dapat lebihdioptimalkan. Demikian pula, dampaknya pada penyerapan tenaga kerja diperkirakan akanlebih baik dan merata ke seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan Nasional/BadanPerencanaan Pembangunan Nasional, Indonesia dibagi menjadi enam koridor ekonomi (KE),yaitu KE Sumatra, KE Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi, KE Bali-Nusa Tenggara dan KEPapua-Kepulauan Maluku. Dalam setiap koridor ekonomi, ibukota-ibukota propinsi dijadikan

Page 287: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

280

sebagai pusat-pusat ekonomi. Setiap koridor ekonomi mempunyai tema pembangunan yangberbeda-beda sesuai dengan keunggulan dan potensi strategis masing-masing wilayah.

Hasil dan PembahasanLebih dari lima tahun terakhir, menunjukkan bahwa institusi pendidikan tinggi menghadapiisu dan tantangan globalisasi, kompetisi dan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledgeeconomy). Identifikasi cepatnya perubahan pasar kerja lulusan yang meliputi: (1) berubahnyastruktur industri dan bisnis komersial terutama munculnya kekuatan-kekuatan baru yangkecil-kecil dan organisasi bisnis yang responsif, (2) banyak lulusan yang bekerja padaorganisasi/bisnis kecil, menjadi bekerja sendiri atau kombinasi, part-time, atau bekerja paruhwaktu dengan freelance. (3) adanya reformasi sektor publik terutama pemerintah yangmendorong untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas. Derasnya arus perubahan tersebutmenuntut adanya transformasi dalam menyiapkan lulusan. Institusi tidak hanya menghasilkanketerampilan akademis yang secara tradisional dihasilkan dari mata kuliah pada program studidan gelar yang dicapai, melainkan harus lebih eksplisit berusaha mengembangkan apa yangdisebut sebagai ‘key’, core’, ‘transferable’ and/or ‘generic’ skills yang dibutuhkan olehberbagai bidang dan tingkat pekerjaan. Agregat dari berbagai keterampilan yang dimilikilulusan sering disebut sebagai employability skills.

Dari sudut pandang industri, ‘employability skill’ mengacu pada kesiapan untukbekerja (work-readiness), yaitu memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan memahamibisnis yang memungkinkan para lulusan baru memberikan kontribusi produktif terhadapatujuan-tujuan organsisasi segera setelah memulai bekerja. Sementara itu Overtoon (2000)Lisa (2009) dalam mendefinisikan employability skills sebagai “transferable core skill groupsthat represent essential functional and enabling knowledge, skills and attitudes required bythe 21st century workplace… necessary for career success at all levels of employment and forall levels of education”. Yorke (2004) dalam Lisa (2009) mendefinisikan employabilitysebagai “A set of achievements – skills, understandings and personal attributes – that makegraduates more likely to gain employment and be successful in their chosen occupations,which benefits themselves, the workforce, the community and the economy.”

Dari hasil kajian ini didapatkan bahwa secara umum, employability skill terdiri atas(1) Keterampilan akademis (2) keterampilan pengembagan diri dan (3) keterampilan bisnis.a. Keterampilan akademis (academic skills): meliputi pengetahuan sepesialis, kemampuan

menerapkan pengatahuan, berpikir logis, analisis secara kritis, penyelesaian masalah,komunikasi lisan dan tulisan, kemampuan menggunakan data numerik, literasi komputerdan keterampilan meneliti.

b. Keterampilan penggembangan diri (personal development skills): meliputi percaya diri,disiplin diri, keyakinan diri, menyadari kekuatan dan kekurangan diri, kreativiti, mandiri,pengetahuan atas hubungan internasional, keinginan untuk belajar, kemampuan refleksi,integritas, jujur dan hormat kepada orang lain.

c. Keterampilan bisnis (enterprise or business skills): mencakup keterampilan entre-preneurial, kemampuan untuk memprioritaskan tugas, manajemen waktu, keterampilaninterpersonal, keterampilan presentasi, kemampuan bekerja dalam tim, leadership,commercial awareness, fleksibel, inovator, independence dan risk-taking.

Kesimpulan untuk ketiga bidang di atas, diperlukan oleh industri sebagimana hasilpenelitian yang menunjukkan bahwa aspek-aspek soft-skill yang diperlukan di industrihospitaliti dan pariwisata dirinci menurut kepentingannya, komunikasi merupakan unsur yangsangat penting yang harus dimiliki setiap lulusan.1. Namun masalah yang dihadapi Indonesia adalah kesiapan untuk menghadapi MRA 2015

nanti. Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, sepertinya harus “berjuang sendirian”menghadapi masalah ini, misalnya dengan mensertifikasi tenaga kerja profesional,menyediakan assesor dan assesor licensi, namun itu pun masih jauh dari memadai.

Page 288: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

281

2. Masalah lain adalah kesadaran stakholder lainnya termasuk industri dan lembagapendidikan sebagai penyedia tenaga kerja trampil.

Berdasarkan rencana MP3EI, wilayah Sulawesi termasuk kota Makasar memilikipotensi untuk pengembangan sektor telematika. Dengan dasar acuan ini, maka evaluasipemetaan sisi pasokan akan dipentingkan kepada keempat sektor unggulan wilayah kotaMakasar tersebut.

Gambar 1. Koridor Ekonomi Indonesia Berdsarkan MP3EI Wilayah Sulawesi Termasuk KotaMakasar

Berdasarkan koridor yang ditetapkan oleh MP3EI bahwa Pulau Sulawesi diposisikansebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas danpertambangan nasional. Sehingga untuk daerah Sulawesi memiliki potensi untuk pengolahansektor-sektor tertentu. Tetapi rencana MP3EI yang dicanangkan oleh pemerintah tidakdidukung oleh ketersediaan lembaga pendidikan sebagai penyedia atau pemasok pekerja padasektor-sektor tersebut. Ada banyak faktor yang menyebabkan pasokan dari dunia pendidikantidak mampu terserap oleh industri lokal diantaranya:

1. Ketidakmampuan dunia pendidikan menyediakan SDM yang sesuai dengan kriteria yangdibutuhkan industri.

2. Informasi kebutuhan DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri) tidak sampai kepadasekolah untuk dikelola sebagaimana kebutuhan DUDI karena DUDI merasa tidak memilikicukup waktu untuk menginformasikan kebutuhan mereka.

3. Informasi dari orang tua kepada anak untuk memilih jurusan tertentu masih didominasipemikiran gengsi dan pemikiran trend yang ada di pasaran dalam artian orang tua melihatkebutuhan saat ini tapi tidak mampu melihat kebutuhan masa depan.

4. Untuk jurusan-jurusan strategis namun sepi peminat tidak ada dukungan baik informasikerja maupun informasi kewirausahaan di bidang-bidang tersebut, terutama bidangpertanian, peternakan dan perikanan.

Page 289: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

282

Gambar 2. Detail 6 Koridor ekonomi berdasarkan MP3EI

Proyeksi Ekonomi Berdasarkan MP3EI Wilayah Makasar

Berdasarkan keinginan mencapai visi RPJMN 2010–2014, yaitu “TerwujudnyaIndonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan”, dan dengan melihat capaian hasilkinerja dan perkiraan hasil kinerja tahun 2012, potensi yang dimiliki, serta memperhitungkantantangan dan permasalahan yang sedang dan akan dihadapi, tema RKP tahun 2013ditetapkan sebagai berikut: “Memperkuat Perekonomian Domestik Bagi Peningkatan danPerluasan Kesejahteraan Rakyat”. Untuk mendukung pencapaian tema tersebut, dalam RKP2013 ditetapkan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya, yang terdiri atas: (1) ReformasiBirokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan;(5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha; (8) Energi; (9)Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, danPasca-Konflik; (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi; (12) Bidang Politik,Hukum, dan Keamanan lainnya; (13) Bidang Perekonomian lainnya; dan (14) BidangKesejahteraan Rakyat lainnya.

Studi pemetaan dalam dimensi kuantitas, kualitas, lokasi dan waktu yang dilakukanoleh tim peneliti Universitas PGRI Adi Buana untuk kajian wilayah kota Makasar, terbataspada jurusan yang dinilai mendukung PDRB dan sesuai juga dengan MP3EI. BerdasarkanMasterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025yang dicanangkan oleh Kementerian Perencanaan. Pembangunan Nasional/BadanPerencanaan Pembangunan Nasional, Indonesia dibagi menjadi enam koridor ekonomi (KE),yaitu KE Sumatra, KE Jawa, KE Kalimantan, KE Sulawesi, KE Bali-Nusa Tenggara dan KEPapua-Kepulauan Maluku. Dalam setiap koridor ekonomi, ibukota-ibukota propinsi dijadikan

Page 290: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

283

sebagai pusat-pusat ekonomi. Setiap koridor ekonomi mempunyai tema pembangunan yangberbeda-beda sesuai dengan keunggulan dan potensi strategis masing-masing wilayah.

Pada koridor Sulawesi, pembangunan dipusatkan pada produksi dan pengolahan hasilpertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional. Pengembangan industridi Sulawesi pada produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan juga sesuaidengan program pengembangan enam kelompok industry prioritas oleh KementerianPerindustrian. Industri agro disebut-sebut sebagai industri andalan masa depan dengan potensiproduksi diperkirakan dapat mencapai 20 juta ton CPO, 0,65 juta ton kakao dan 2.5 juta tonkaret. Dengan mengembangkan industri-industri strategis tersebut, ternyata penyerapantenaga kerja khususnya tenaga kerja lokal tidak sesuai dengan. Salah satu lokasipengembangan klaster industri agro adalah propinsi Sulawesi Selatan dengan fokus padaindustri kakao (Jessica Hanafi dkk, 2011).

Simpulan1. Penerimaan daerah Wilayah Kota Makasar dan Kota Sekitarnya tidak sama dengan

PDRB Propinsi, dimana untuk PDRB Makasar industri yang menyerap banyak tenagakerja adalah industri Jasa , hotel dan pariwisata, sendangkan PDRB Sulawesi Selatanterbesar adalah Industri Pertanian.

2. Penentuan Klaster Ekonomi dan Proyeksi Keterserapan antara MP3EI, MP3KI, KERBank Indonesia, BPS masing-masing memiliki tolok ukur yang berbeda, namun ada satukesamaan antara MP3EI dan KER Bank Indonesia, Untuk Wilayah Sulawesi SelatanPotensi Ekonomi terbesar adalah faktor pertanian (di MP3EI tersebutkan WilayahMakasar), kenyataannya untuk jurusan pertanian baik pada level SMK maupun perguruantinggi sepi peminat bahkan ditutup.

3. Penentuan jurusan SMK termasuk jurusan pertanian untuk mendukung MP3EI maupunKER BI, tidak dibarengi dengan pengetahuan yang cukup baik bagi calon siswa SMKmaupun orang tua siswa, sehingga jurusan favorit hanya yang ‘disukai siswa’ dan‘kelihatannya mudah cari kerja’, tetapi tidak dibutuhkan (berdasar proyeksi ekonomidaerah).

4. Prosedur/sistem seleksi untuk peminatan siswa SMK masih perlu perbaikan khususnyaPemerintah Kota Makassar sehubungan memberi kewenangan kepada sekolah untukmelaksanakan tes wawancara. Tes wawancara ini perlu menjadi persyaratan kelulusan,dan melibatkan industri dalam seleksi calon siswa sehingga dari awal sudah dapatmemberi gambaran profil siswa yang dikehendaki oleh industri baik dilihat daripengetahuan, keterampilan maupun sikapnya.

5. Kurikulum pendidikan sistem ganda dikembangkan berdasarkan kebutuhan industrimelalui sinkronisasi atau maping kurikulum. Pengembangan Kurikulum ini dilakukandengan berpedoman pada kurikulum nasional, menelaah Standar Kompetensi KerjaNasional Indonesia (SKKNI). Namun nampaknya masih kurang efektif dilihat dariketerserapan alumni kurang dari 80% lulusan SMK terserap di DUDI.

6. Walaupun kebanyakan industri yang ditempati siswa praktek kerja belum memilikinaskah kerjasama tetapi industri tetap berpartisipasi aktif menerima siswa programkeahlian usaha jasa pariwisata untuk praktek kerja. Kebanyakan pengalaman industri(institusi pasangan) menerima praktek kerja siswa SMKN Wilayah Makassar lebih dariempat tahun dan sudah terjalin hubungan yang baik antara sekolah dengan industri.

7. SMK perlu meningkatkan kerjasama dengan DUDI dengan fasilitasi Dinas PendidikanKabupaten Kota atau Propinsi Sulawesi Selatan Pihak DUDI disarankan untuk merajutkerjasama secara komprehensif dengan SMK dengan cara membuat nota kesepakatanuntuk magang, praktek kerja industri atau prakerin, dan memberikan bantuan peralatankepada SMK

Page 291: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

284

8. SMK diharapkan bisa memfasilitasi alumni untuk berwirausaha termasuk untukmemberikan pembiayaan modal bekerjasama dengan bank atau penanam modal mandiri,dilihat dari data valid cukup banyak alumni SMK yang memutuskan untuk berwirausaha.

9. SMK selalu melakukan komunikasi efektif dengan alumni dengan konensitas BKK diSMK perlu diaktifkan, agar lulusan bisa disalurkan BKK dan tidak mencari pekerjaansendiri, dengan demikian SMK yang akan mengirim siswa untuk memperhatikankesiapan mental siswa agar DUDI bisa memberikan apresiasi kepada siswa yang dikirimdan memberikan pekerjaan.

10. Perusahaan-perusahaan diharapkan bersedia menyerap alumni dari daerah setempat danmengurangi pekerja dari lokasi lain. Untuk Level kementrian negara sudah dimulai dibeberapa kementrian diantaranya KOMINFO.

11. Proses praktek kerja siswa di industri (institusi pasangan), mencakup; pekerjan yangdilatihkan berdasarkan kompetensi, waktu pelaksanaan praktek kerja minimal 4 bulan,penggunaan alat/ bahan praktek, pengisian jurnal oleh siswa dari pekerjaan yangdilatihkan lengkap. Seharusnya, penilaian praktek kerja dilakukan sepenuhnya olehindustri bukan oleh sekolah berdasarkan penggabungan antara nilai industri dengan nilaiseminar sehingga siswa SMK benar-benar memahami kekurangan mereka selamamelaksanakan proses Prakerin dan memungkinkan kerjasama dilanjutkan denganmengangkat siswa prakerin menjadi karyawan di tempat magangnya.

12. Untuk Lembaga Kursus dan Pelatihan, ternyata memiliki tingkat keterapan pada DUDIlebih baik daripada SMK. Hal ini disebabkan lulusan kursus lebih banyak memilihmembuka wirausaha dari ilmu kursus yang dimiliki atau bekerja pada industri yangsesuai dengan bidang kursusnya.

13. Peserta lembaga kursus umumnya adalah para profesioanal, ibu rumah tangga, alumniSMA dan SMK (lebih banyak alumni SMA) bahkan beberapa diantaranya masih SMP,bahkan ada peserta kursus yang sudah menempuh pendidikan S1 dan S2, dan bekerja diperusahaan mapan, mengikuti kursus ketrampilan untuk mencoba berwirausaha.

14. Program KPP (Kursus untuk Para Profesional) dibutuhkan untuk memberikanketrampilan bagi alumni seluruh level pendidikan.

15. Target program kursus adalah 90% siswa mengikuti kursus dengan lengkap dan 80%siswa kursus bisa berwirausaha sesuai bidang atau bekerja sesuai bidang (setera denganindeks kesesuaian /AI 0,8) dan sebagaian besar kursus bisa mencapainya.

16. Untuk program sarjana pada kajian ini tim menentukan sampling PGSD, dari kebutuhandi Wilayah Sulawesi Selatan Guru SD masih memiliki peluang, namun bukan menjadiguru PNS.

17. Tingkat kesesuaian kelulusan atau allignment index 0,66 masih dibawah targetketerserapan jurusan yang ditentukan oleh Diknas yaitu 80% lulusan bekerja di bidangyang sesuai.

18. Dari 66% keterserapan lulusan, sebagaian besar masih menjadi guru honorer denganpenghasilan minim, oleh sebab itu lulusan PGSD UNM juga berminat untuk menekunibidang lain.

19. Lulusan S1 PGSD UNM yang berpenghasilan lebih dari 1,5 juta rupiah adalah lulusanyang memiliki kemampuan profesional didukung dengan adanya sertifikat profesionaldari lembaga kursus.

SaranDari kajian PPDK Wilayah Makasar tahun 2012 ini kami mencoba untuk memberikan

saran berupa model sederhana untuk pemecahan masalah keterserapan lulusan SMK, Kursusdan Perguruan Tinggi pada Dunia Usaha dan Dunia Industri yang sesuai dengan latarpendidikan formal/informal.

Page 292: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

285

Perlu adanya kebijakan pendidikan yang diupayakan oleh Dikmenjur danKemendikbud yang sesuai dengan kebutuhan dan proyeksi ekonomi baik yang dibuat olehKementrian Keuangan melalui MP3EI dan MP3KI, Analisis Investasi berupa KER BankIndonesia, dan proyeksi statistik dari BPS. Sehingga jika dibidang ekonomi proyeksi terbesardi Wilayah Sulawesi Selatan adalah industri pertanian, sedangkan supply untuk sumber dayamanusia di bidang pertanian baik dari level SMK maupun S1 masih sangat minim peminat,bisa diperbaiki dengan cara adanya ikatan dinas khusus untuk industri-industri strategis dibidang ekonomi khususnya industri pertanian, perikanan wilayah makasar dan sulawesiselatan. Karena jika tidak ada ikatan dinas dan lulusan diminta untuk mencari pekerjaansendiri dimana BKK di semua wilayah Indonesia tidak bekerja optimal, maka dibukanyaSMK dan S1 jurusan pertanian tanpa ikatan dinas hanya akan menambah pengangguranterbuka.

Untuk lembaga kursus dari tingkat keserapan alumni sudah baik dan dari tingkatpendapatan alumni justru diatas lulusan SMK dan bahkan lulusan S1, namun kekurangan darilembaga kursus adalah sebaiknya seluruh lembaga kursus menginventaris kebutuhan SDM diwilayahnya dan memperbaiki administrasi khususnya administrasi data siswa dan dataalumni. Lembaga kursus bahkan LPK yang ditunjuk menjadi TUK adalah lembaga yangsekaligus menjadi pelaku usaha di bidangnya. Sehingga untuk administrasi kesiswaan dankesiapan pendataan masih kurang baik. Tutor di lembaga kursus seringkali tidak memilikilatar pendidikan formal yang tinggi namun dengan masa kerja dan pengalaman sertamengikuti berbagai pelatihan-pelatihan di tingkat nasional dan internasional mereka bisadipilih menjadi tutor dan menjadi asesor untuk uji kompetensi.

Untuk level pendidikan S1 sebaiknya diikuti dengan pendidikan softskill berupaketrampilan untuk meningkatkan kualitas individu lulusan. Hal ini dibuktikan denganpekerjaan dan penghasilan yang diperoleh oleh alumni S1 lebih baik alumni yang memilikisertifikasi profesi (dibidang apapun) dibandingkan dengan alumni yang tidak memilikisertifikasi profesi meskipun sertifikasi bukan terstandar BNSP atau sertifikasi lokal.

Page 293: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

286

Gambar 3. Model Eliminasi Kesenjangan Lulusan Pendidikan Menengah, Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Tinggi dengan

Kebutuhan DUDI dan dukungan untuk membuka WIRAUSAHA

PENDIDIKAN LEVELMENENGAH

PENDIDIKAN TINGGI(S1)

PE

ND

IDIK

AN

KU

RSU

S

PE

LA

TIH

AN

/ SO

FT

SKIL

L

KESESUAIAN KEAHLIANPENDIDIKAN FORMAL DENGAN

BIDANG KERJA

AnalisisKesenjangan

RekomendasiKebijakan

Penentuan Jurusan Eliminasi kesenjangan, adanya ikatan dinas

Penentuan Jurusan Eliminasi kesenjangan, adanya ikatan dinas

DU/DI DU/DI

wirausaha wirausaha

Page 294: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

287

Daftar PustakaFitroh Hanrahmawan (2010), Revitalisasi Manajemen Pelatihan Tenaga Kerja (Studi Kasus Pada

Balai Latihan Kerja Industri Makassar), Jurnal Administrasi Publik, Volume 1 No. 1 Thn. 2010Jessica Hanafi dkk (2011), Laporan Kajian Ppdk Wilayah MakasarKatalog BPS, (2010), Makasar Dalam AngkaLisa Rokhmani (2009), Analisis Human Development Index Indonesia, (investasi pendidikan sebagai

daya saing bangsa), JPE-Volume 2, nomor 1, 2009, hal 13-22Nurcahyanie D, Yunia (2011), Laporan Kajian Ppdk Wilayah Surabaya Direktorat Jendral

Paudni Wilayah Kajian Industri Pariwisata Kota Surabaya.Nurcahyanie D, Yunia (2012), Laporan Kajian Ppdk Wilayah Kajian Kota Makasar

Berdasarkan Pasokan Lembaga Pendidikan.Tim Bappenas (2008), Penyusunan Indikator Tipologi Dan Indikator Kinerja Pengembangan

Kawasan Strategis Nasional Bidang Ekonomi Di Indonesia, Jakarta

Page 295: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

288

ANALISIS PENGARUH TEKNIK KERJA KELOMPOK DAN PENDEKATANKOMUNIKASI TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA INGGRIS

Yastri Liul YaniGuru SMKN 1 [email protected]

Abstrak:Penelitian ini berusaha mengkaji seberapa besar pengaruh model pembelajaran bahasaInggris dengan pendekatan teknik kerja kelompok dan pendekatan komunikatif terhadappeningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa dengan harapan siswa akanmempunyai kompetensi bahasa Inggris yang lebih baik. Sampel yang diambil dalampenelitian ini sebanyak 74 siswa SMK Negeri 1 Jatirejo Mojokerto pengambilan sampeldengan menggunakan teknik setratified random sampling. Melalui analisis statistikregresi berganda ditemukan bahwa model pendekatan pembelajaran yang berupa:Pertama, pendekatan teknik kerja kelompok berpengaruh terhadap keterampilanberbicara bahasa Inggris siswa SMK Negeri 1 Jatirejo Mojokerto. Kedua, pendekatankomunikatif berpengaruh terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa SMKNegeri 1 Jatirejo Mojokerto. Ketiga, pendekatan teknik kerja kelompok dan pendekatankomunikatif secara simultan berpengaruh terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggrissiswa SMK Negeri 1 Jatirejo Mojokerto. Keempat, dari kedua pendekatan tersebutpendekatan teknik kerja kelompok mempunyai pengaruh yang lebih besar debandingkandengan pendekatan komunikatif.

Kata kunci: Pendekatan teknik kerja kelompok, komunikatif, keterampilan berbicara bahasaInggris

Latar Belakang

Penguasaan bahasa asing khususnya bahasa Inggris bagi bangsa yang sedangberkembang dan membangun merupakan salah satu faktor yang penting. Dalam hubungandengan program pembangunan Indonesia, maka penguasaan bahasa asing makin banyakmendapat perhatian, terutama dalam mendukung prorgam bidang kerjasama internasional,ilmu pengetahuan, teknologi dan pariwisata. Bahasa Inggris diakui sebagai bahasa asingpertama yang diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat lembagapendidikan tinggi, dan secara kurikuler bahasa Inggris menduduki posisi sebagai matapelajaran wajib. Ada empat keterampilan bahasa Inggris, yakni menyimak (listening),berbicara (speaking) membaca (reading) dan menulis (writing) dalam pengajaran bahasa,khususnya bahasa Inggris di Indonesia, keempat keterampilan ini diharapkan dapat dikuasaioleh para pelajar bahasa dengan penekanan yang berbeda untuk setiap keterampilan untuktujuan yang berbeda pula.

Pembelajaran bahasa Inggris masih dirasa sangat sulit oleh sebagian besar siswaIndonesia sehingga bahasa Inggris tidak dapat berkembang dengan baik. Anak-anakIndonesia pertama kali dididik oleh orang tuanya dalam berkomunikasi dengan menggunakanbahasa ibu, yaitu bahasa daerah. Bahasa daerah sangat bervariasi, daerah satu dengan daerahyang lain berbeda-beda karena hampir di setiap daerah di Indonesia mempunyai bahasadaerah sendiri-sendiri.

Di SMKN 1 Jatirejo ditemukan bahwa para siswa seperti merasa cemas dan bingung,tidak tahu apa yang harus dilakukan apabila mendapatkan pembelajaran bahasa Inggris.Mereka merasa canggung dan tidak punya keberanian dan kurang percaya diri. Di dalampembelajaran speaking siswa sangat sulit untuk mengekspresikan ide-idenya. Mereka lebih

Page 296: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

289

senang diam daripada berbicara dalam bahasa Inggris. Mereka lebih senang menulis danmembaca dari pada berbicara dalam bahasa Inggris. Mereka juga lebih senang berbicaradalam bahasa Jawa atau Indonesia daripada dalam bahasa Inggris. Tujuan penelitian iniadalah berupaya meningkatkan 'kemampuan siswa dalam berbahasa Inggris, terutama padaketerampilan berbicara sehingga diharapkan siswa mempunyai kepercayaan diri dankeberanian untuk bisa berinteraksi dengan bahasa Inggris di dalam kehidupan yang nyata.

Lingkungan sekolah juga kurang mendukung terhadap pengembangan kompetensiberbahasa siswa. Tidak ada kebiasaan untuk mempergunakan bahasa Inggris sebagai alatkomunikasi di sekolah, misalnya dengan diberlakukannya wajib berbahasa inggris pada hari-hari tertentu, sehingga dapat memacu seluruh warga sekolah untuk lebih meningkalkankemampuannya di dalam berbahasa Inggris. Tidak terdapat juga kelompok-kelompokkegiatan yang berupaya meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris, seperti conversationclub. Kelompok semacam ini akan memberi rangsangan kepada para guru dan siswa di dalammeningkatkan kemampuan berbahasa Inggris. Tidak terdapat juga slogan-slogan bahasaInggris sebagai salah satu wujud dinamisasi sekolah. Slogan-slogan bahasa Inggris akanmenumbuhkan keingintahuan warga sekolah khususnya para siswa tentang arti dan maksuddari slogan tersebut dan diharapkan selanjutnya akan menumbuhkan niat untuk mempelajaribahasa Inggris.

Penggunaan metode di dalam proses belajar mengajar di dalam kelas masih kurangkomunikatif. Metode yang mendominasi pengajaran bahasa Inggris adalah metode tradisionalseperti terjemahan berstruktur, membaca dengan keras, dan pengajaran yang berbasis padatata bahasa dan tidak berdasar pada teks. Di dalam penelitian Arevart & Nation (1991)menemukan bahwa kelancaran di dalam pembelajaran bahasa melibatkan kemampuan didalam membuat sarana dan metode pembelajaran yang paling efektif. Somantri (2002) dalampenelitiannya berjudul "Penerapan Metode Simulasi Tematis Untuk Peningkatan KemampuanBahasa Inggris Siswa" berpendapat bahwa metode simulasi tematis ini mampumenghilangkan rasa cemas siswa dan membangkitkan rasa percaya diri.

Berdasarkan dari uraian tersebut di atas untuk meningkatkan kemampuan bahasaInggris siswa khususnya pada kemampuan keterampilan berbicara. Menurut peneliti perlumenggunakan teknik kerja kelompok dan pendekatan komunikatif. Untuk itu peneliti akanmengalisis pegaruh teknik kerja kelompok dan pendekatan komunikatif terhadap peningkatanketerampilan berbicara bahasa Inggris siswa dengan harapan siswa akan mempunyaikompetensi bahasa Inggris yang lebih baik.

Keterampilan BerbicaraKeterampilan berbicara merupakan merupakan keterampilan dalam menggunakan

bahasa lisan. Untuk mendapatkan suatu keterampilan berbicara yang baik diperlukan suatuproses. Brown (2001) menyebutkan ada enam katagori yang perlu diajarkan di dalampengajaran keterampilan berbicara, yaitu: (1) imitative, katagori ini difokuskan pada praktikintonasi; (2) intensive, katagori ini difokuskan pada aspek-aspek tatabahasa danpengucapan; (3) responsive, katagori ini difokuskan pada percakapan singkat; (4)transactional, katagori ini difokuskan pada informasi yang lebih khusus (negosiasi) yangmerupakan pengembangan bahasa responsive; (5) interpersonal, katagori ini difokuskanpada memelihara hubungan social; dan (6) extensive, katagori ini difokuskan padapelaporan, ringkasan, atau pidato singkat.

Nunnan (1991) menyebutkan bahwa interaksi lisan dapat disifati dalam bentukrutinitas, cara konvensional yang dapat diprediksi pada penyampaian informasi yang bisaterfokus pada informasi atau interaksi. Rutinitas informasi berisi tentang jenis-jenis informasiyang pengungkapannya sering berulang-ulang, seperti narasi, deskripsi, instruksi, dankomparasi atau hal yang bersifat evaluatif seperti keterangan, pembenaran, ramalan, dankeputusan. Rutinitas interaksi dapat juga berbentuk layanan, seperti wawancara pekerjaan

Page 297: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

290

atau berbentuk social seperti pesta makan malam. Dengan kala lain bahwa di dalam oralinteraction partisipan memadukan penyampaian makna dengan cara mengelola interaksi itutentang siapa yang bicara, kepada siapa, kapan, dan tentang apa.

Pendekatan KomunikatifSeong (2002) menyimpulkan bahwa komunikasi adalah proses yang melibatkan

penyaluran dan pertukaran pesant (gagasan, perasaan, berita, atau amanat) antarapenyampai dan penerima, melalui sejenis sistem simbol (bahasa, bunyi atauisyarat/pergerakan badan) sebagai salurannya.

Berkaitan dengan proses komunikasi, Littlewood (1984) menyebutkan bahwa...."communication is a two-sided process, and it could equally well be argued that thespeaker had failed to verbalise his message adequately ". (Komunikasi adalah proses dua sisi,dan dengan porsi yang sama dapat diberikan alasan bahwa pembicara gagal mengungkapkanpesannya dengan baik). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berkomunikasi tidak hanyamengungkapkan apa yang bisa diungkapkan tetapi lebih pada pengungkapan maknafungsional yang bisa dimengerti oleh orang yang terlibat dalam proses berkomunikasi.

Littlewood (1984) menyebutkan, "The most efficient communicator in a foreignlanguage is not always the person who is the best at manipulating its structures. It is often theperson who is most skilled at processing the complete situation involving himself and hishearer ". (Orang yang berkomunikasi paling efisien dalam bahasa asing bukanlah selaluorang yang baik dalam memanipulasi tatanan bahasa. Tetapi sering orang yang palingterampil di dalam memproses situasi yang melibatkan dirinya dengan lawan bicaranya ataupendengarnya).

Teknik Kerja KelompokBrown (2001) mendefinisikan 'Teknik' sebagai berikut. "Technique: Any of a wide

variety of exercises, activities, or tasks used in the language classroom for realizing lessonobjectives". Dengan kata lain dapat disebutkan bawa teknik adalah variasi latihan, aktivitas,atau tugas yang luas digunakan di dalam kelas untuk mewujudkan tujuan pembelajaran.Winter (1999) menyebutkan, Small group work, used both in and out of class, can be animportant supplement to lectures, helping students master concepts and apply them tosituations calling for complex applications of critical thinking skills” (Kerja kelompok kecil,'baik yang dilakukan di dalam maupun di luar kelas, dapat menjadi sebuah tambahan pentingbagi guru, membantu siswa menguasai konsep serta menggunakannya ke dalam situasimenuju penerapan keterampilan berfikir kritis yang rumit). Tujuan pembelajaran denganteknik Kerja Kelompok adalah memfokuskan pada penggunaan bahasa lisan.

Nation (dalam Kral, 1996) menyebutkan bahwa ada beberapa pertimbangan mengapakerja kelompok memfokuskan pada penggunaan bahasa lisan. Pertama, kerja kelompokmerupakari teknik yang paling banyak digunakan untuk mengarahkan para siswa mauberbicara satu sama lain. Kedua, kerja kelompok merupakan kegiatan yang paling mudahdiamati dan direkam. Ketiga, sebagian besar guru menggunakan aktivitas speaking dalamcara yang kurang prinsip.

Page 298: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

291

Dalam penelitian ini, terdapat tiga kerangka konseptual, seperti berikut:

Objek penelitian ini adalah siswa di SMKN 1 Jatirejo Mojokerto, dengan tiga variabel dan 13(tiga belas) indikator sedangkan variabel teknik kelompok kerja dengan indikator (tertarik,aktif dan berfikir), variabel pendekatan komunikatif dengan indikator (gagasan, perasaan,berita dan amanah) dan varaibel keterampilan berbicara bahasa Inggris dengan indikator(intonasi, tatabahasa, jenis kalimat, percakapan singkat, responsive dan pelaporan). Dalampenelitian ini kerangkan konseptual yang digunakan yakni: konsep tentang pengaruh teknikkelompok kerja dan pendekatan komunikatif terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris(guna meningkatkan kemampuan menggunakan intonasi, tatabahasa, jenis kalimat,percakapan singkat, responsive dan pelaporan) karena itu variabel penelitian diklasifikasikanmenurut model konseptual yang akan diuji yaitu sebagai berikut:

Berdasarkan konsep tentang kepentingan peningkatan keterampilan berbicara bahasaInggris tersebut:1. Variabel independen yang terdiri dari teknik kelompok kerja (X1) dengan indikator

(tertarik, aktif dan berfikir) dan pendekatan komunikatif (X2) dengan indikator(gagasan, perasaan, berita dan amanah) dan

2. Variabel dependen adalah keterampilan berbicara bahasa Inggris (Y1) dengan indikator(menggunakan intonasi, tatabahasa, jenis kalimat, percakapan singkat, responsive danpelaporan).

Hipotesis PenelitianBerdasarkan permasalahan, tujuan penelitian dan teori-teori yang telah disebutkan,

dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:a. Hipotesis Pertama

Diduga teknik kelompok kerja berpengaruh positif terhadap keterampilan berbicarabahasa Inggris siswa SMKN 1 Jatirejo Mojokerto.

b. Hipotesis KeduaDiduga pendekatan komunikatif berpengaruh positif terhadap keterampilan berbicarabahasa Inggris siswa SMKN 1 Jatirejo Mojokerto.

c. Hipotesis Keempat

Teknik Kerja Kelompok (X1)TertarikAktifBerfikir.

Komunikasi (X2)GagasanPerasaanBeritaAmanah

Kiterampilan Berbicara BahasaInggris (Y)

IntonasiTatabahasaJenis KalimatPercakapan singkatResponsivePelaporan

Page 299: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

292

Diduga teknik kerja kelompok dan pendekatan komunikatif secara bersama-samaberpengaruh positif terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa SMKN 1Jatirejo Mojokerto.

Desain PenelitianSecara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis

pengaruh teknik kerja kelompok yang meliputi tertarik, aktif, berfikir dan pendekatankomunikatif yang meliputi gagasan, perasaan, berita dan amanah terhadap keterampilanberbicara bahasa Inggris siswa di SMKN 1 Jatirejo Mojokerto. Sesuai dengan tujuannya,maka penelitian ini dirancang sebagai suatu penelitian eksplanatori. Hasil yang diperolehdalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang bagaimanaketerampilan berbicara bahasa Inggris siswa dipengaruhi oleh teknik kerja kelompok danpendekatan komunikatif.

Hasil Penelitian dan PembahasanDalam penelitian ini digunakan analisis regresi, hasil analisis statistik regresi menguji

pengaruh kerja kelompok dan pendekatan komunikasi terhadap keterampilan berbicara bahasaInggris siswa seperti tabel berikut:

Tabel 1: Koefisien Determinasi Kerja kelompok dan Pendekatan komunikasi TerhadapKeterampilan berbicara bahasa Inggris Siswa

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the

Estimate1 .575(a) .330 .311 4.30052

a Predictors: (Constant), PENDEKATAN KOMUNIKASI, KERJA KELOMPOK

Tabel 2: Anova Kerja kelompok dan Pendekatan komunikasi Terhadap Keterampilanberbicara bahasa Inggris Siswa

ModelSum ofSquares df Mean Square F Sig.

1 Regression

647.445 2 323.723 17.504 .000(a)

Residual 1313.109 71 18.494Total 1960.554 73

a Predictors: (Constant), PENDEKATAN KOMUNIKASI, KERJA KELOMPOKb Dependent Variable: KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA INGGRIS SISWA

Tabel 3: Hasil Uji Koefisien Kerja kelompok dan Pendekatan komunikasi TerhadapKeterampilan berbicara bahasa Inggris Siswa

Model UnstandardizedCoefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

BStd.

Error Beta(Constant) 5.596 2.224 2.516 .014KERJAKELOMPOK

.918 .164 .543 5.585 .000

PENDEKATANKOMUNIKASI

.252 .143 .172 1.768 .041

a Dependent Variable: KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA INGGRIS SISWA

Page 300: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

293

Pembahasan Hasil PenelitianPembahasan ini dimaksudkan untuk menjelaskan keterkaitan antara variabel independen

dan variabel dependen. Penjelasan tentang pengaruh kerja kelompok dan pendekatankomunikasi terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa di SMKN 1 JatirejoMojokerto adalah sebagai berikut:

Hasil Pengujian dengan Analisis regresi menunjukkan bahwa kerja kelompok ataubelajar kelompok yang meliputi indikator tertarik, aktif dan berfikir dapat memacu siswadalam meningkatkan kemauan belajar sehingga berpengaruh terhadap keterampilan berbicarabahasa Inggrisnya.

Temuan ini sedana dengan Cotterall (1990) yang intinya melatih keterampilan siswaperlu menggunakan teknik. Teknik yang dimaksud adalah: (1) siswa dibuat kelompok dankelompok itu diperlakukan sama, (2) selanjutnya kelompok ini diseleksi agar bisa mewakilitingkat kemampuan bahasa di dalam kelas, (3) model interaktif menjadi penekanan padatekinik ini, (4) seluruh anggota kelompok bekerja sama untuk mendapatkan tujuan dengancara mencari ide pokok, klarifikasi, ringkasan, maupun prediksi.

Ada beberapa kelebihan belajar dengan kelompok dibandingkan belajar secaraindividual. Bagi yang kemampuan akademisnya kurang, belajar kelompok berarti ada temanyang bisa membantu. Sedangkan mereka yang kemampuan akademisnya baik, bisa semakinmeningkatkan kemampuannya.

Belajar kelompok pada dasarnya terbagi menjadi dua bentuk, yaitu belajar kelompokyang terstruktur dan yang tidak terstruktur. Dikatakan terstruktur jika kegiatan belajarkelompok itu dilakukan karena perintah guru atau orang, misalnya dengan pemberian tugaskelompok. Sedangkan belajar kelompok yang tidak terstruktur atau informal dilakukan atasinisiatif sendiri. Agar dapat berlangsung secara optimal dan tercipta cooperative learning, adabeberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan kelompok belajar, khususnyakelompok belajar yang terstruktur. Pembentukan kelompok harus benar-benar dilihatkeragamannya. Baik dari nilai akademisnya, jenis kelamin, bahkan agama dan budaya, Selainitu, masing-masing anggota kelompok hendaknya memberikan andil serta saling bekerjasama. Lain lagi dengan belajar kelompok yang tidak terstruktur. Belajar kelompok yangseperti ini dipengaruhi oleh gaya belajar masing-masing anggotanya. Ada yang gayabelajarnya dengan melihat (visual), mendengarkan (auditori), membaca dan menulis (read &write), serta melakukan dengan gerak (kinestetik).

Dari hasil penelitian yang menyukai belajar kelompok adalah mereka yang gayabelajarnya auditori, karena kebanyakan kegiatan belajar kelompok adalah diskusi yang berartimereka banyak mendengarkan orang lain. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi yangmemiliki gaya belajar lain untuk bisa sukses dengan belajar kelompok. Salah satu caranyadengan variasi kegiatan dalam belajar kelompok itu, misalnya dengan membuat eksperimendari hal-hal yang dipelajari.

Terkait dengan pengaruh pendekatan komunikasi terhadap keterampilan berbicarabahasa Inggris siswa. Dapat disimpulkan bahwa Hasil Pengujian menunjukkan bahwapendekatan komunikasi yang meliputi gagasan, perasaan, berita dan amanah dapatberpengaruh positif terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa yang meliputiintonasi, tatabahasa, jenis kalimat, percakapan singkat, responsive dan pelaporan. Temuan inimenunjukan bahwa hasil yang sejalan dengan apa yang di utarakan oleh Block (1971); untukmeningkatkan keterampilan siswa diperlukan lebih banyak interaksi guru-murid.

Pendekatan Diskusi dalam pembelajaran adalah proses pelibatan dua orang pesertaatau lebih untuk berinteraksi saling bertukar pendapat, dan atau saling mempertahankanpendapat dalam pemecahan masalah sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka.Pembelajaran yang menggunakan metode diskusi merupakan pembelajaran yang bersifatinteraktif. Dalam pendekatan diskusi perlu keterlibatan siswa dalam permasalahan hidup

Page 301: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

294

sehari-hari adalah prinsip pertama Merrill mengenai belajar. Belajar aktifbiasanya amat memerlukan keterlibatan masalah sehari-hari. agar pelajar dapatmenghubungkan ide-ide baru yang dapat memecahkan permasalahan tersebut. Bertanyaadalah alat utama dalam pembelajaran diskusi dan dimana termasuk pendekatan pelajar dalammerespon perbedaan latar belakang yang unik, yang mencerminkan apresiasi pada budaya danpengalaman. Keaktifan, lebih kepada membangun pengetahuan yang ada sebagaiawal pembelajaran baru. Karena peserta pembelajaran diskusi di tuntut untuk bereaksi padapertanyaan yang kompleks (rumit), terstruktur dan di contohkan oleh instruktur pada awaldiskusi, peserta akan menggunakan pengetahuan yang telah diketahuinya, begitu pula denganterpacunya pemikiran kritis. Sebuah konsep yang disebut linking (menjembatani), juga diaturoleh instruktur untuk menghubungkan pengetahuan yang ada dan informasi-informasi baru.Pendemonstrasian konsep belajar yang baru, yaitu pembuktian bahwa konsistensi instruktur.Yang menawarkan informasi dan mengarahkan ke sumber yang relevan pada siswa, yangterfokus pada tujuan-tujuan belajar. Pengaplikasian pengetahuan baru, diskusi kelompokkecil yang bebas, dengan pengorganisasian yang baik, dapat membantu siswa dalammengaplikasikan konsep baru.

Temuan penelitian tersebut memperlihatkan aspek pendekatan komunikasi dalamkelompok memiliki pengaruh langsung terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswadi sekolah. Dibalik temuan ini menunjukkan bahwa aspek pendekatan komunikasi memilikiperanan yang penting didalam mempengaruhi keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa.

Dengan menggunakan pendekatan komunikasi yang memadai, kemampuan untukmengungkapkan gagasan, perasaan, berita dan amanah, serta dibarengi adanya dorongan yangkuat dari dalam diri seorang siswa untuk melakukan kegiatan proses belajar mengajar, merekaakan tekun dalam belajar, bekerja keras, penuh inisiatif dan kreativitas serta penuh semangat.Dengan kondisi seperti ini akan cenderung meningkatkan keterampilan dalam berbicaradalam bahasa Inggris.

Dengan keadaan tersebut berarti pendekatan komunikasi memiliki peranan yangpenting terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa di SMKN 1 Jatirejo Mojokerto.

Simpulan1. Hasil Pengujian menunjukkan bahwa metode pendekatan kerja kelompok siswa yang

meliputi; tertarik, aktif dan berfikir yang terdapat di SMKN 1 Jatirejo Mojokertoberpengaruh positif terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa di SMKN 1Jatirejo Mojokerto yang meliputi: intonasi, tatabahasa, jenis kalimat, percakapan singkat,responsive dan pelaporan dengan nilai koefisen jalur sebesar 0,918.

2. Pendekatan komunikasi siswa yang meliputi; gagasan, perasaan, berita dan amanahberpengaruh positif terhadap keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa di SMKN 1Jatirejo Mojokerto yang meliputi: intonasi, tatabahasa, jenis kalimat, percakapan singkat,responsive dan pelaporan dengan nilai koefisen jalur sebesar 0,252.

3. Secara bersama-sama pendakatan kerja kelompok yang meliputi; tertarik, aktif danberfikir dan Pendekatan komunikasi siswa yang meliputi; gagasan, perasaan, berita danamanah yang terdapat di SMKN 1 Jatirejo Mojokerto berpengaruh positif terhadapketerampilan berbicara bahasa Inggris siswa di SMKN 1 Jatirejo Mojokerto yangmeliputi: intonasi, tatabahasa, jenis kalimat, percakapan singkat, responsive danpelaporan.

ReferensiArikunto, Suharsimi. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Bandung: PT.

Rineka CiptaBrown, H.D. 2001. Principtes of language learning and leaching. New York: Longman Inc

Page 302: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

295

Littlewood, W. 1984. Communicative language teaching. Cambridge: Cambridge UniversityPress.

Karl, Albrecht., Bob, Albrecht. 1996. Teach Your Self Visual Basic. New York: Mcgraw-HillNunan, D. 1991. Syllabus Design. Oxford: OxfordSeong, T.K. 2002. Pragmatik bahasa dan keterampilan berkomunikasi: http:

//dbp.gov.my/dbp9 8/maj alah/bahasa/feb/b2prag2 .htmlWinter 1999—VOL. 22 NO.1. CAST. Communications. VOL. 22 NO. 1. Winter 1999. CAST

(Computers and Systems Technology) is a division of the AIChE ..Arcvart, S., Nation, P. 1991. Fluency Improvement in a Second Language. Journal of

Language Teaching and Research in Southeast Asia, 84-93Somantri, N. 2003. Penerapan Metode Simulasi Tematis Untuk Peningkatan Kemampuan

Bahasa Inggris siswa. Artikel. http://anikei.us/nsomantri2.html

Page 303: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

296

A STUDY ON FUTURE ASSESSMENT IN MALAYSIAN SCHOOLS:A DELPHY STUDY

Zaharah Husin, Ph. DAdlin Premla Vincent

Aznita MohamadChiew Shei Ling

Sukunah PachaiappanTangamani Saminathan

Fakulty of Education, University of Malaya, Kuala Lumpur, [email protected]

Abstract

A Delphi study consisting of three rounds is carried out with ten experts related to theeducation field to get their consensus relating to the expected changes to the format andimplementation of the assessment in the future in Malaysian schools. This research isconducted to identify the events that are expected as a result of changes done to theformat and implementation of assessments in the future. The purpose of the study isachieved where both the research questions addressed are successfully answered with thehelp of the selected experts. The main objective of identifying expected events is to helpthe policy makers, education administrators and other parties involved in the educationfield to prepare themselves to face the future. It will be a great help as the partiesinvolved can introduce changes in the existing education systems to curb any majorproblem that is expected.

IntroductionFuture studies methods are generally designed to help people understand better future

possibilities in order to make better decisions today. Many decisions must be made today inthe face of great uncertainty about what may happen in the future or even what the effects oftoday’s decision might be in the future. Futures methods help people to deal with thisuncertainty by clarifying what is known, what can be known, what the likely range ofpossibilities is and how today’s decisions may play out in each of a variety of possible futures.Futurists often divide the purposes of future studies as imagining the possible, assessing theprobable, and deciding on the preferable.

During the last few years, many important changes have occurred in the educationsystem of the Asia-Pacific region, which will require teachers to upgrade and refine theirtechnology skills (Tan et al., 1999). Some of these changes are due to changes in governmentpolicies related to the use of information technology (IT) in schools while others are due todevelopments in the pedagogical practices and continual advancements in technologicalproducts and systems.

Education is the priority concern of the Malaysian Government, and the biggestamount of the national budget is allocated for education purposes annually. Primary andsecondary school education is free for students between the ages of 7 to 17 (a total of 11 yearsof universal education). The admission age to the first year of primary is usually seven andthe graduating age for a bachelor’s degree is at the age of 22. The national curriculum forprimary and secondary levels prepare students for common public examinations at the end ofthe primary, lower and upper secondary levels. Bahasa Malaysia (Malay language) is ournational language and the English Language is a compulsory subject in schools. However, tomeet the need of the multi-ethnic nature of the population, the ethnic schools (known as

Page 304: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

297

national-type schools) are allowed to set up and use Mandarin or Tamil as the medium ofinstruction.The national public examinations at primary and secondary levels include Ujian PenilaianSekolah Rendah (UPSR) or the Primary School Assessment at the end of sixth year of primaryeducation Penilaian Menengah Rendah (PMR) or Lower Secondary Assessment at the end ofthe third year of the lower secondary education and Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) or theMalaysian Certificate of Education at the end of the second year of upper secondaryeducation. Students who perform well in the SPM will continue to post-secondary educationfor 2 years at Sixth Form and qualify for the Sijil Tinggi Pelajaran Malaysia (STPM) or theMalaysian Certificate of Higher Education or they qualify for the Matriculation coursesconducted by the Matriculation Department of the Ministry of Education.

The STPM or Matriculation certificates are necessary qualifications to enterMalaysian public universities for a bachelor’s degree course. Alternatively, for students whodo not continue to Sixth Form or Matriculation, or if they choose not to take these routes, afterSPM, students can opt to enter private colleges or private universities for pre-universityprogrammes and there after advance into the bachelor degree programmes or otherprofessional or semi-professional courses of their choice.

The government of Malaysia has declared that The National Education System is thepillar to national development and progress towards nation building in the 21st century. TheMinistry of Education is undertaking continuous improvement efforts in encouraging thegrowth of the education industry through synergy, thus fostering joint collaboration betweenpublic and private higher learning institutions. These efforts are aimed towards elevating thestatus of Malaysia as a hub of global educational excellence and to make Malaysia thepreferred choice of education destination for foreign undergraduates.

Purpose of the studyThis study aims to get the consensus among the experts on the expected format and

implementation of future KBSM assessments and also to elicit their feedback on the effect ofthe changes in the format and implementation of assessment that would be carried out insecondary schools in the future.

Research QuestionsThis study addresses the following research questions:1. What would be the expected assessment format and its focus in the future?2. What would be the expected changes in the implementation of assessment in the

future?

Literature ReviewThe focus of education programmes in Malaysia has been on increasing accessibility,

strengthening the delivery system and improving the quality of education. Additionalfacilities have been provided while existing facilities are expanded to provide a conduciveteaching and learning environment for optimum understanding. Changes in the environmentboth locally and globally, are also making new demands on education. There are five criticalfactors that characterize education in Malaysia in this century:

i) It will be knowledge-based.ii) It will be ICT-based.iii) It will experience impermanence and continuous changes.iv) It will experience decentralization of organizations and system; andv) It will experience the impact of globalization

Page 305: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

298

(Siow.H.L., 2001)This will definitely change the assessment methods from written examinations to project-based assignments, on-line examinations and may involve holistic ways of assessing.Assessment is a broad category that includes all the various methods used to determine theextent to which students are achieving the intended learning outcomes of instruction. Somecritics have contended that there should be more emphasis on the assessment of authentic,‘real-life’ tasks, others have contended that paper- and –pencil testing should be replaced byalternative types of assessment.

According to Robinson & Craver, 1989 as cited in Bowers, B.C. (1989), examinationor standardized testing is currently used to determine:

1. the administrative function of providing comparative scores for individualstudents so that placement decisions can be made;

2. the guidance function of indicating a student’s strengths or weaknesses so thathe or she may make appropriate decisions regarding a future course of study;

3. the accountability function of using student scores to assess the effectivenessof teachers, schools and even entire districts

Many educators and policymakers believe that what gets assessed is what gets taughtand that the format of assessment influences the format of instruction (O'Day & Smith, 1993).Contrary to our understanding of how students learn, many assessments particularlytraditional examination of multiple-choice tests and true-false test facts and skills in isolation,seldom requiring students to apply what they know and can do in real-life situations.Moreover, as commented by Wildemuth (1984), the use of standardized tests or examinationsby schools is commonly criticized, as it does not necessarily test what students have learnt.They do not reveal what the student has achieved. Examinations or standardized tests do notmatch the emerging content standards, and over-reliance on this type of assessment oftenleads to instruction that stresses basic knowledge and skills (Corbett & Wilson, 1991; Smith& Cohen, 1991). Rather than encouraging changes in instruction toward the engaged learningthat will prepare students for the 21st century, these tests encourage instruction of lessimportant skills and passive learning:

"The notion that learning comes about by the accretion of little bits isoutmoded learning theory. Current models of learning based on cognitivepsychology contend that learners gain understanding when they constructtheir own cognitive maps of the interconnections among concepts andfacts. Thus, real learning cannot be spoon-fed, one skill at a time."(Shepard, 1989, pp. 5-6).

However, educators, policymakers, and parents are beginning to recognize that minimumsand basics are no longer sufficient (Winking & Bond, 1995) and are calling for a closer matchbetween the skills students learn in school and the skills they will need upon leaving school.Schools are now expected to help students develop skills and competencies in real-life or"authentic" situations, and schools are expected to graduate students who can demonstratethese abilities - often by their performance on alternative assessments rather thanexaminations or standardized tests.

Assessment is changing for many reasons. Changes in the skills and knowledgeneeded for success, in our understanding of how students learn, and in the relationshipbetween assessment and instruction are changing our learning goals for students and schools.Consequently, we must change our assessment strategies to tie assessment design and contentto new outcomes and purposes for assessment (Bond, Herman, & Arter, 1994).

Assessment may be defined as any method used to better understand the currentknowledge that a student possesses. Assessment may affect decisions about grades,advancement, placement, instructional needs, and curriculum. The primary aim of assessment

Page 306: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

299

is to foster learning of worthwhile academic content for all students (Wolf, Bixby, Glenn &Gardner, 1991). Often assessment results are used to assign students to certain groups orstrands and to determine student grades.

Herman, Aschbacher, and Winters (1992) describe two basic monitoring purposes forassessment. Different kinds of assessment are most appropriate for each purpose:

The first purpose is to determine whether or not students have acquired specificknowledge or skills. The assessment should focus on the products of student learning usingselected answer tests (such as multiple choice) and direct assessment of projects and studentproducts.

The second purpose is to diagnose student strengths and weaknesses and planappropriate instruction. Because we are interested in understanding where the student is goingwrong, we need to assess the process as well as the product. Interviews, documentedobservations, student learning logs and/ or self- evaluations, behavioral checklists, and studentthink-aloud are useful assessment strategies for assessing the process.

Beside the purposes mentioned by Herman et. al. (1992), Linn, Baker and Dunbar(1991) states:"In summary, serious validation of alternative assessments needs to include evidenceregarding the intended and unintended consequences, the degree to which performance onspecific assessment tasks transfers, and the fairness of the assessments. Evidence is alsoneeded regarding the cognitive complexity of the processes students employ in solvingassessment problems and the meaningfulness of the problems for students and teachers. Inaddition, a basis for judging both the content quality and the comprehensiveness of thecontent coverage needs to be provided. Finally, the cost of the assessment must be justified."(Linn, Baker, & Dunbar, 1991, p. 20).

Research DesignThis study uses the Delphi Technique consisting of three rounds. Delphi is a method ofsoliciting and aggregating individual opinions or judgements, typically of a group of experts,to arrive at consensus views concerning such as what may happen in the future. Linestone andTuroff (1975) summarized the Delphi technique and its objective as “Delphi may becharacterized as a method for structuring a group communication process, so that the processis effective in allowing a group of individuals, as a whole, to deal with complex problems.”The Delphi Technique keeps individual responses anonymous so that social influences areminimized, and poses the questions in a series of rounds. It is believed that during this processthe range of the answers will decrease and the group will converge towards the ‘correct’answer. After several rounds the process is complete and the median scores determine thefinal answers.

The primary objective of a Delphi inquiry is to obtain a consensus of opinion from agroup of respondents (Salancik, Wenger and Helfer, 1971; Rojewski and Meers, 1991).Delbecq, et al. further state: "Delphi is a group process which utilizes written responses asopposed to bringing individuals together" (p. 83). Additionally, Rojewski and Meers(1991:11) stated that the Delphi technique is used to achieve group consensus amongparticipants. Consensus is determined using the interquartile range of each research prioritystatement. Interquartile range refers to the middle 50% of responses for each statement (i.e.,distance between first and third quartiles).

Panel of ExpertsTen experts in the education field attached to the Malaysian Ministry of Education are

selected purposively and they agreed to be the panelists in this study. The selection of panelexperts are based on these criterion:

Page 307: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

300

Teaching experience of more than 20 years Examiners of public examination papers. 5 of the experts are with the Examination Syndicate involved in the

constructing of question for public examinations 2 of the experts are school administrators

Data Collection ProcedureData is collected using three rounds of Delphi where the ten selected panellists are

approached individually for each round. The panellists do not meet each other and do noteven know each other.

Round OneIn the first round, experts are interviewed about the format and implementation of

future KBSM assessment and changes in the format and implementation of assessment thatwould be carried out in secondary schools in the future. The panel identifies exhaustively thecritical issues and problems in assessment using the guiding questions created for thepanellists. The panel is provided a cover letter describing the process they were to follow plusdefinitions for the necessary terms.The panellists give their views and it helped us to list down expected events as a result ofchanges in the format and implementation of the assessment. The findings of the intervieware used to construct a 4-point Likert’s scale questionnaire for the second and third round.The questionnaire is then used to predict future events in the format and implementation ofassessment in 5 years, 10 years, 15 years and 20 years time.

Round TwoThe paper and pencil questionnaires are given to the respondents or panellists to determinewhen the format and changes in the implementation of assessment would be taking place,whether in 5 years (2006-2010), 10 years (2011-2016), 15 years (2016-2020) and 20 years(after 2020). For the purpose of data analysis, the 4-point Likert’s scale uses nominal values1, 2, 3 and 4 where nominal value 1 represents 2006-2010, 2 represents 2011-2016 , 3represents 2016-2020 and 4 represents after 2020. . In short, the second round of the Delphiwas designed to prioritize the identified issues and problems and begin the process ofconsensus. The extent of their agreement on a certain event or issue is determined using a 4-point Likert’s scale with nominal values 1, 2, 3 and 4 where 1 represents strongly disagree, 2represents disagree, 3 0represents agree and 4 strongly agree.

Round ThreeThe third round sought to improve the levels of consensus on the highest priority issues andproblems. The experts are provided with the results of the second round and asked to re-examine the scores. They had the option of changing their judgments or leaving themunchanged. The experts’ scores outside the consensus range were asked to state their reasonsfor not changing and support their argument. Critical issue and problem priorities were rankordered based on descending value of medians calculated. Consensus on the prioritisedcritical issues and problems were determined by computing the interquartile range for each ofthe identified items.

Data Analysis and FindingsThe data from the first round questionnaires was analysed thematically. For the

purpose of this study, two trends or themes were identified: Format and focus of future assessment Implementation of future assessment

Page 308: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

301

When the questionnaires from the second and third round were received, the data wasanalysed using descriptive statistics, to determine the frequency, median and inter-quartilerange of the scores assigned by the panellists. The expected format and focus, and changes inthe implementation of the future assessment were analysed according to the median score ofexpected year of occurrence and expected agreement as below:

Median score of expected year of occurrence:2006-2010 3.50 - 4.002011-2015 2.50 - 3.492016-2020 1.50 - 2.49After 2020 1.00 - 1.49

For instance, if the median score of a certain event, computed from the questionnaires of theten panelists, falls in the range between 3.50 to 4.00, then the event is expected to occurbetween the years 2006 to 2010. If the median score falls in the range between 2.50 and 3.49,the event is expected to occur in ten years time, which is between 2011 and 2015. A medianscore with a value between 1.50 and 2.49 indicates the occurrence of the event in 15 years tocome which will be between 2016 to 2020. And lastly if the median score is ranges from 1.00and 1.49, then the occurrence of that event is expected after 20 years from now.

Median score of expected agreement on the effect:Strongly agree 3.50 - 4.00Agree 2.50 - 3.49Disagree 1.00 - 2.49

If an item has a high median between 3.50 and 4.00, it means that the majority of expertsstrongly agree on the item. If the median is between 2.50 and 3.49, it indicates that themajority of the experts agree on the item; and if the median is between 1.00 and 2.49, itindicates that the majority of experts disagree on the item.

Item ConsensusThe inter-quartile range (IQR) is calculated based on the frequencies of scores of thepanellists for each expected event. The IQR is obtained by subtracting the first quartile fromthe third quartile from the analysis of frequencies. IQR is important in determining the levelof consensus among the panellists. In other words are the panellists of the same opinion aboutthe occurrence of a particular event. Since it is impossible to obtain a 100% consensus for allthe events the consensus of the panellists on the items in the questionnaire are analysed basedon the following inter-quartile range:

Item consensus Inter-quartile rangeHigh consensus 0 to 1.00Mediocre consensus 1.01to 1.99No consensus 2.00 and above

For instance, if a certain event has an IQR value of 1.00 and below, it indicates that theexperts have a high level of consensus where majority of them are of the same opinion. Thereis no consensus among the experts if the IQR has a value of 2.00 and above.

Page 309: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

302

DelphiFindings from every round are analyzed to get the consensus and level of agreement amongstthe experts as mentioned above. Consequently, the median and IQR is used to analyse the dataor in other words interpret the obtained data.

Round OneA number of 15 events were identified by the respondents or panelists from the first round. 8events were identified for the changes in the expected format and focus of examination in thefuture and 7 events were identified for the changes in the implementation of futureassessment.The events identified for the changes in the expected format and focus of examination in thefuture are as follows: Research and project assignments as a form of evaluation Academic dropouts are evaluated through industrial training Flexible age of candidates where students sit for examination when they are ready Holistic and criterion referenced evaluation Less memorisation among students Evaluation based on achievement level of students Various forms of evaluation: coursework and participation in community service The events identified for the changes in the implementation of future assessment are as

follows: More work load for teachers and student Continuous evaluation Bias in school administered evaluations Flexible evaluation where students are evaluated when they are ready Cost is lower as there are less claims on invigilation and marking of examination

answer scripts of students On line evaluation Less stress for both teachers and students No more academic dropouts

the events listed above were used as the items of the questionnaire constructed.

Round TwoThe purpose of the second round of Delphi is to determine the relative rank or priority of theitems identified. They are then asked to prioritize those 15 issues or problems. Analysis of theresponses involved a summation of each of the items along with consensus analysis within thespecific sections. The paper and pencil questionnaires based on the 4-point Likert scale aregiven to the respondents or panelists to determine when the format and changes in theimplementation of assessment would be taking place, whether in 5 years (2006-2010), 10years (2011-2016), 15 years (2016-2020) and 20 years (after 2020).This initial classification of the 15 critical issues and problems along with the analysis ofconsensus within the group (Interquartile Range [IQR]) are identified in Table 2 and Table 4.The high IQR scores indicate a wide variance of opinion in positioning the ranked items, thiswas not unusual for the first attempt of classifying a large list such as this.

Upon obtaining the median of every item or event, the list of events is rearrangedaccording to the year of expected changes based on the consensus of the experts

Third RoundThe purpose of the third round of the Delphi is to gain greater consensus of the 15 issues andproblems facing the assessment focus and implementation. Based on the responses fromround 2, the panel members are asked to refer to their previous analysis and compare them

Page 310: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

303

with the 15 issues and problems of the overall group. They are then asked to rank order theissues and problems again. The degree of consensus within the Delphi panel group improved.The events are arranged in descending order of the median value based on the results. Basedon these results, greater consensus is achieved within the group; having lower inter-quartilerange scores.

Assessment Format and its Focus in the FutureTable 1: The expected year of occurrence of events which are the effect of changes in the format

and focus of assessment in Malaysian secondary schools in future.

No Event Median Inter-quartilerange

Year ofexpectedoccurrence

1Research and project assignments as aform of evaluation

3.0 0.5 2006-2010

2Academic dropouts are evaluatedthrough industrial training

3.5 1.5 2011-2016

3Flexible age of candidates wherestudents sit for examination when theyare ready

3.0 0 2011-2016

4 Holistic and criterion referencedevaluation

3.0 0.5 2011-2016

5 Less memorisation among students 3.0 1.0 2011-2016

6Evaluation based on achievement levelof students

3.0 1.0 2016-2020

7Various forms of evaluation: courseworkand participation in community service

3.0 2.0 2016-2020

The event that is expected to occur the soonest, which is between the years 2006 and 2010, isitem 1, research and project assignments as a form of evaluation. Item 2, academic dropoutsare evaluated through industrial training obtained the highest median among the seven eventswith a value of 3.5. This indicates that this event has the highest possibility to happen withinten years from now. The events on Item 6, evaluation based on achievement level of students,and Item 7, various forms of evaluation: coursework and participation in community serviceare expected to occur only in the year 2016 and onwards. Item 3, flexible age of candidateswhere students sit for examination when they are ready obtained the highest consensus that is0. It means that all the experts are of the same opinion that this item would definitely takeplace in the future, between 2011 and 2016.

Page 311: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

304

Table 2: The median and the inter-quartile range of the effects of the events as a result ofchanges in the focus and the format of assessment in Malaysian secondary schools in future.

No Event Median Inter-quartile range

1 Less memorisation among students 4.0 0

2Research and project assignments as a form ofevaluation

3.5 0.5

3Flexible age of candidates where students sit forexamination when they are ready for it

3.0 0

4 Holistic and criterion-referenced evaluation 3.0 0.5

5Various forms of evaluation: coursework andparticipation in community service

3.0 1.5

6Academic dropouts are evaluated through industrialtraining

2.5 1.5

7 Evaluation based on achievement level of students 2.0 0

Five of the events (Item 1, 2, 3, 4 and 7) obtained highest consensus ranging between 0 and1.0. From the five items mentioned, 1, 3 and 7 had a 100% consensus from the experts. It isstrongly agreed that there would be less memorisation among students in the future. This isindicated by the value of the median which is 4.0. Various forms of evaluation and industrialtraining as a form of evaluation for academic dropouts obtained only mediocre consensus. Inshort, the panel of experts agree with consensus that assessments in future are expected to bein the form of research or projects that would be holistic and in the form of criterion-referenced evaluation. Moreover, it is also expected that candidates will be allowed to sit forthe examination only when they are ready that is a flexible age would be allowed. However,one of the events, evaluation based on achievement level of students is disagreed by theexperts as the median is 2.00.Changes in the Implementation of assessment in the future

Table 3: The expected year of occurrence of events which are the effect of changes in theimplementation of assessment in Malaysian secondary schools in future.

No Event MedianInter-quartilerange

Year ofexpectedoccurrence

1 More work load for teachers and student 3.5 1.0 2006-2010

2 Continuous evaluation 3.0 1.0 2006-2010

3 Bias in school administered evaluations 2.5 1.5 2006-2010

4Flexible evaluation where students are evaluatedwhen they are ready

3.0 0.5 2011-2015

5Cost is lower as there are less claims oninvigilation and marking

3.0 0 2011-2015

6 On line evaluation 3.0 1.0 2011-2015

7 Less stress for teachers and students 2.0 1.0 2011-2015

8 No more academic dropouts 3.0 1.0 2016-2020

Page 312: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

305

Events or Items 1, 2 and 3 are expected to occur in the nearest future that is between 2006 and2010. Event or item 8, less stress for teachers and students is expected to occur in the distantfuture which is between 2016 and 2020, whereas Item 4, 5, 6,and 7 are expected to occurbetween 2011 and 2015 as shown in the table above. All the items obtained consensus fromthe experts although Item 3 had only a mediocre level of consensus. The IQR value of '0'indicates complete consensus that is obtained for Item 3 only. It means that all the expertsagree that the cost of conducting assessment is expected to be lower from the year 2011onwards as there are less claims on invigilation and marking.

Table 4: The median and the inter-quartile range of the effects of the events as a result ofchanges in the implementation of assessment in Malaysian secondary schools in future.

No Event Median Inter-quartile range

1 More work load for teachers and students 4.0 0

2Cost of implementation is lower as there are lessclaims on invigilation and marking

4.0 0

3 Less stress for teachers and students 4.0 0

4 Continuous evaluation 3.0 1.5

5 On line evaluation 2.5 0

6 Bias in school administered evaluations 2.0 0.5

7 No more academic dropouts 2.0 0.5

8Flexible evaluation whereby students are evaluatedwhen they are ready

1.0 0.5

Seven of the expected events obtain high consensus within the range 0-1.00. The expertsstrongly agree that in future cost of implementation of assessment will be lower and that therewill be less stress among teachers and students although there will be more work for bothparties. These three events obtain the highest median with a value of 4.0. Item 4, continuousevaluation obtained mediocre consensus although the median indicates that the occurrenceof the event is agreed by all the experts.

However the experts disagree that in future there will be no academic dropouts and alsothat the school-based evaluations will be biased. In addition they are of the same opinion thatassessment will be flexible in future. These events obtained a median of 2.0 and below.

Implication of the study and Recommendations

The result of the analysis indicates we are to expect changes in the format andimplementation of assessments in the near future. The Ministry of Education would have toamend and make the necessary changes in the design of syllabi and curriculum specificationsfor the various subjects and be in-line with the globalization, technologies developments andliteracy practices. The Curriculum Development Centre (CDC) and would have to look intothese near possibilities so as to be prepared for these changes and prepare a curriculum for thefuture. The Examination Syndicate too would have to revise their examination format.

The respective state and district education departments and school administrators wouldhave to gear up for the implementation of these changes in the departments and schools.School equipments should be upgraded. There would have to be more computers for online

Page 313: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

306

evaluations and assessments, for communication between teachers and students and also forretrieving information for their projects.

Teacher training colleges would have to be prepared to train their trainees along thesechanges and move away from conventional or traditional methods of teaching and learning.Teaching and learning would not take place without teachers so they would have to be awareof the changes. It is also recommended that the current teachers be provided in-servicetraining to update themselves on the future changes in teaching methodologies andassessments for effectiveness implementation of these changes. However, as to the work loadof teachers, it would be increased as they would have to be available to their students at anytime as ongoing assessments would be implemented.

From the findings we find that apprenticeship training is one way of learning foracademic dropouts. In order to carry out these trainings, the Ministry of Education wouldhave to work hand-in- hand with private companies or sectors, non-governmentalorganizations (NGO) to create a link between the two parties to make arrangements for thetrainings to take place in the future.

Students would not be pressured to face exam-oriented school life as in the present. Theflexible age entrance into examinations would allow them to decide whether they are ready tosit for the major public examinations earlier or later. Students would be assessed holisticallybased on criterion laid out by the Ministry of Education on community service and projects.As a result, students would not be stressed up with memorization for examinations,expectations and also pressure from teachers and parents. Expectation of schooladministrators, teachers and parents towards achievement of students in public examinationsin terms of strings of grade As would have to change as students would be evaluatedholistically.

Conclusion

According to Saedah Siraj (2002), there is basis for changes to take place in the future.Firstly, the future is a changing phenomenon from the present. Secondly, humans makeinventions in the present with the current plans for the use in the future; future planningdepends on currents values and beliefs and the future starts from now. The future of ourformat and focus of assessments and the changes due to the implementations would have todepend on our planning from now so that an effective curriculum is seen in the future.

ReferencesKementerian Pelajaran Malaysia. (n.d). (online). Retrieved on September 8, 2005, from

http://www.moe.gov.my.Bond, L.A., Herman, J., & Arter, J. (1994). Rethinking assessment and its role in supporting

educational reform. In Laboratory Network Program, A tool kit for professionaldevelopers: Alternative assessment. Portland, OR: Northwest Regional EducationalLaboratory. (online). Retrieved on September 8, 2005, from http://www.ncrel.org.

Bowers, B. C. (1989). Alternatives to standardized educational assessment [ERIC DigestSeries Number EA 40]. Eugene, OR: ERIC Clearinghouse on EducationalManagement. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 312 773)

Corbett, H.D., & Wilson, B.L. (1991). Testing, reform and rebellion. Norwood, NJ: AblexPublishing Corporation.

Delbecq, A.L., Van deVen, A.H., and Gustafson, D.H. (1975). Group techniques forprogram planning: A guide to nominal group and Delphi processes.Glenview, IL: Scott, Foresman & Company.

Page 314: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

307

Gronlund, N. E. (1998). Assessment of student achievement: USA: Allyn & Bacon.Herman, J.L., Aschbacher, P.R., & Winters, L. (1992). A practical guide to alternative

assessment. Alexandria, VA: Association for Supervision and CurriculumDevelopment. (online). Retrieved on September 8, 2005, fromhttp://www.ncrel.org/sdrs/areas/issue/method/assment/as7purp.htm.

Linn, R.L., Baker, E.L., & Dunbar, S.B. (1991) Complex, performance-based assessment:Expectation and validation criteria. Educational Researcher, 20 (8), 15-21.

Methods and approaches of future studies. (n.d). (online). Retrieved on July 18, 2005, fromhttp://www.wfs.org/newmeth.htm

O'Day, J.A., & Smith, M. (1993). Systemic school reform and educational opportunity. In S.Fuhrman (Ed.), Designing coherent educational policy: Improving the system (pp.250-311). San Francisco: Jossey-Bass.

Rojewski, J.W. and Meers, G.D. (1991). Directions for future research in vocational specialneeds education. Urbana- Champaign: University of Illinois, Campus Research Board.

Salancik, J.R., Wenger, W., and Helfer, E. (1971). The construction of Delphi eventstatements, Technological Forecasting and Social Changes, 3, 65-73.

Shepard, L.A. (1989). Why we need better assessments. Educational Leadership, 46 (7), pp.4-9.

Siow Heng Loke. (October 24, 2001). New directions in educational research with specialreference to research in science education in Malaysia. Paper presented at theInternational Conference on primary and secondary schools science andmathematics education. Convention Centre, Sunway Pyramid, KL.

Smith, M., & Cohen, M. (1991). A national curriculum in the United States? EducationalLeadership, 49 (1), 74-81.

Tan, F. B., Corbet, P.S., & Wong, Y.Y. (1999). Information technology diffusion in the Asia-Pacific region: Perspective on policy, electronic commerce and education. .Hershey, PA: Idea group Publishing.

Wildemuth, B. M. (1984) Alternatives to standardized tests [ERIC Digest]. Princeton, NJ:ERIC Clearinghouse on Tests Measurement and Evaluation.. (ERIC DocumentReproduction Service No. ED286938).

Winking, D., & Bond, L. (1995). What you and your school should know about alternativeassessment. Oak Brook, IL: North Central Regional Educational Laboratory. (online).Retrieved on September 8, 2005, from http://www.ncrel.org.

Wolf, D., Bixby, J., Glenn, J., & Gardner, H. (1991). To use their minds well: Investigatingnew forms of student assessment. Review of Research in Education, 17, 31-74.

Page 315: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

308

SURVEY TENTANG PENERAPAN PELATIHAN DAN BIMBINGAN MODEL IN-ON-IN SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM

MELAKSANAKAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS DI SMP NEGERI 3 TAMAN

Retno Untari Hadi PutrantiSMP Negeri 2 Sedati, [email protected]

Abstrak:Kondisi nyata di SMP Negeri 3 Taman masih banyak guru yang belum melakukanPenelitian Tindakan Kelas, hanya ada 4 guru dari 38 guru yang sudah melakukan danmenyusun laporan hasil Penelitian Tindakan Kelas, tetapi belum mampumempublikasikan pada forum ilmiah guru. Sehingga terdapat sebesar 34 guru yang belummemahami dan terampil melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas. Permasalahan inisangat memprihatinkan, era globalisasi ini menuntut guru untuk menjadi tenaga yangprofesional yang menjadi kunci perubahan dan pembaharuan bagi peserta didiknya.Pendampingan berkelanjutan yang dimaksud adalah suatu kegiatan pelatihan bimbinganmodel in-on-in. Pelatihan bimbingan model in-on-in meliputi kegiatan empat kali inservice learning dan tiga kali on the job learning.Kegiatan pendampingan berkelanjutanini dilaksanakan dua kali pada tahun pelajaran 2008/2009 dan 2009/2010. Waktu yangdibutuhkan untuk setiap kegiatan sekitar 4 sampai dengan 5 bulan. Secara umum hasilstudy survey dari penerapan pelatihan dan bimbingan model in-on-in di SMP Negeri 3Taman selama dua periode, dalam upaya meningkatan kemampuan guru dalammelaksanakan Penelitian Tindakan Kelas yang meliputi empat kemampuan dan produkkarya tulis ilmiah, diperoleh gambaran sebagai berikut: 1) Ada peningkatan sebesar66,13% kemampuan guru SMP Negeri 3 Taman, dalam menyusun proposal PenelitianTindakan Kelas, 2) Ada peningkatan sebesar 45,8% kemampuan guru SMP Negeri 3Taman, dalam menyiapkan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas, 3) Ada peningkatansebesar 64,75% kemampuan guru SMP Negeri 3 Taman, dalam melaksanakan PenelitianTindakan Kelas, 4) Ada peningkatan sebesar 57,28% kemampuan guru SMP Negeri 3Taman, dalam melakukan evaluasi dari hasil Penelitian Tindakan Kelas, dan 5) Adapeningkatan sebesar 66,08% kemampuan guru SMP Negeri 3 Taman , dalam menyusunkarya tulis ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas.

Kata kunci: kemampuan guru dalam melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas; pelatihan danbimbingan model in-on-in.

PendahuluanDalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional, Bab XI pasal 39 ayat 2 dinyatakan bahwa pendidik merupakan tenagaprofesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilaihasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian. Halini diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, tentang Guru danDosen yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utamamendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi pesertadidik. Menurut Peraturan Menteri Pendidik Nasional Nomor 16 Tahun 2007, tentang StandarKualifikasi dan Kompetensi Guru dinyatakan bahwa, seorang guru harus mengembangkanempat kompetensi utama (kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional) secarautuh. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Pada kompetensiprofessional dinyatakan bahwa seorang guru harus mengembangkan keprofesionalan secaraberkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. Salah satu dari tindakan reflektif guruadalah melakukan Penelitian Tindakan Kelas untuk peningkatan keprofesionalan.

Page 316: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

309

Didalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan ReformasiBirokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya padaBab VII Pasal 13 ayat 2 dinyatakan bahwa salah satu dari 14 rincian kegiatan guru matapelajaran adalah melaksanakan publikasi ilmiah.

Merujuk beberapa landasan hukum diatas, dapat disimpulkan bahwa guru adalah sosokprofesional yang harus selalu mengembangkan dan menguatkan kompetensinya, denganmelakukan inovasi dan kreatifitasnya dalam pembelajaran yang bermuara pada keberhasilanpeserta didiknya. Hal ini dapat diwujudkan melalui gagasan inovatif pada pendidikan formaldalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas. Jika guru melaksanakan kegiatan PenelitianTindakan Kelas, maka guru tersebut mendapatkan dua manfaat sekaligus, yaitu: (1)memperbaiki mutu pembelajarannya dan (2) memiliki publikasi ilmiah sebagai tabungandalam pengajuan angka kredit untuk kenaikan pangkat.

Kondisi nyata di SMP Negeri 3 Taman, hanya ada 4 guru dari 38 guru yang sudahmelakukan dan menulis laporan hasil Penelitian Tindakan Kelas, mereka belum mampumempublikasikan hasil penelitiannya pada forum ilmiah guru. Sehingga ada kesenjangansebesar 34 guru, belum memahami dan terampil dalam hal: penyusunan proposal, bagaimanamenyiapkan, bagaimana melakukan dan menyusun laporan serta mempresentasikan hasilPenelitian Tindakan Kelas.

Hal ini didukung dengan hasil Training Need Assesment (TNA) yang diberikan kepadaguru, diperoleh gambaran lebih dari 60% guru lemah dalam memahami dan melaksanakanPenelitian Tindakan Kelas.

Permasalahan di atas sangat memprihatinkan, karena hal ini sangat bertentangan dengankondisi ideal seorang guru yang sesuai dengan dasar hukum yang ada. Sehingga diperlukansuatu upaya untuk mengatasi permasalahan di atas dengan memberikan pendampinganberkelanjutan tentang Penelitian Tindakan Kelas kepada guru-guru SMP Negeri 3 Taman.Yang dimaksud dengan pendampingan berkelanjutan adalah suatu kegiatan pelatihan danbimbingan model in-on-in. Pelatihan dan bimbingan model in-on-in adalah suatu kegiatanyang terdiri dari: empat kali kegiatan in service learning dan tiga kali kegiatan on the joblearning. Pada kegiatan in service learning, guru –guru mendapatkan pembekalan materi olehnara sumber dan guru-guru melakukan presentasi hasil kerja dari kegiatan on the job learning.Dan pada kegiatan on the job learning, guru-guru mengerjakan tugas / tagihan wajib yangdiberikan nara sumber pada saat kegiatan in service learning dengan batas waktu tertentu.

Dengan pendampingan berkelanjutan melalui kegiatan pelatihan dan bimbingan modelin-on-in diharapkan guru-guru SMP Negeri 3 Taman mampu menyusun proposal,menyiapkan, melaksanakan, dan melakukan evaluasi hasil Penelitian Tindakan Kelas sebagaitindakan reflektif guru terhadap kelas pembelajarannya. Hal ini juga diperlukan monitoringdan evaluasi oleh kepala sekolah disetiap sesi kegiatan pelatihan dan bimbingan model in-on-in, agar semua guru memiliki motivasi dan komitmen yang kuat terhadap pengembangankompetensi profesionalnya.

Kemampuan/kompetensi guruMenurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan pada penjelasan, dinyatakan bahwa salah satu pilar dari empat pilarterselenggaranya pendidikan yang baik dalam mencapai Standar Kompetensi Lulusan pesertadidik adalah keberadaan pendidik / guru. Tanpa adanya pendidik/guru yang memilikikualifikasi dan kompetensi yang terstandar, akan menyebabkan peserta didik memiliki standarkompetensi lulusan yang rendah yang bermuara pada rapuhnya pendidikan.

Tidak ada kualitas pembelajaran yang baik tanpa adanya kualitas guru yang baik puladan peningkatan kualitas pembelajaran tidak mungkin ada tanpa adanya peningkatan kualitaskinerja guru, sehingga peningkatan kualitas pembelajaran, juga tidaklah mungkin ada tanpapeningkatan kualitas para gurunya. Guru merupakan sumber daya manusia yang sangat

Page 317: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

310

menentukan terhadap keberhasilan pembelajarannya. Guru merupakan unsur pendidikan yangsangat dekat hubungannya dengan peserta didik dalam upaya menentukan keberhasilanpeserta didik dalam mencapai tujuan.

Begitu strategisnya kedudukan guru sebagai tenaga profesional, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, diamanatkanbahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan 9prinsip. Salah satu prinsip dari 9 prinsip yang ada adalah guru harus memiliki kompetensiyang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Guru di dalam melaksanakan tugaskeprofesionalan harus memiliki suatu kompetensi. Kompetensi adalah seperangkatpengetahuan, kemampuan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007, tentangStandar Kualifikasi dan Kompetensi Guru dinyatakan bahwa, seorang guru harusmengembangkan empat kompetensi utama (pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional)secara utuh. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Salah satu dariempat kompetensi inti guru yaitu kompetensi professional guru harus selalu dikuatkan dandikembangkan seiring dengan tuntutan masyarakat terhadap kualitas guru dalam memberikanlayanan pembelajaran yang berwawasan global tetapi berkarakter kepada peserta didiknya.Saat ini guru juga dituntut untuk mengembangkan kompetensi profesionalnya melalui budayamenulis melalui publikasi Ilmiah/Karya Tulis Imiah sesuai dengan Peraturan Menteri NegaraPendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentangAngka Kredit dan Jabatan Guru. Publikasi Ilmiah yang dimaksud adalah publikasi ilmiah atashasil penelitian atau gagasan-gagasan inovatif pada pendidikan formal (Penelitian TindakanKelas).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru tidak akan pernahberkembang apabila tidak pernah dilakukan penguatan terhadap empat kompetensi gurusecara terus menerus dan berkelanjutan. Sehingga setiap guru harus senantiasa melakukanpengembangan keprofesian berkelanjutan dengan melalui pengembangan dan penguatankemampuan dan kemampuan diri guru secara terus menerus, seiring dengan berkembangnyawawasan global dan diikuti dengan pengendalian diri melalui kompetensi kepribadian dansosial yang berkarakter. Guru selaku agen perubahan dan agen pembelajaran di kelas, harusmemiliki kompetensi dan keteladanan yang kuat dan handal di dalam menghantarkan pesertadidiknya agar menjadi warga bangsa yang handal, sukses dan berkarater mulia pula.

Penelitian Tindakan KelasPenelitian Tindakan Kelas merupakan implementasi dari refleksi yang dilakukan oleh

guru didalam memperbaiki hasil belajar peserta didik pada proses belajar mengajar yangdilakukannya di kelas (Suparti, 2008). Dinyatakan pula bahwa Penelitian Tindakan Kelasadalah penelitian yang dilakukan guru didalam kelas pembelajarannya melalui refleksi diri,dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru sehingga proses dan hasil belajarsiswa meningkat.

Menurut Suhardjono, (2007) seperti yang dikutip oleh Muchyidin bahwa PenelitianTindakan Kelas merupakan suatu karya tulis ilmiah sebagai kegiatan pengembangan profesiguru yang harus bersifat APIK (A= Asli/karya sendiri/bukan jiplakan; P= Perlu/ada kegiatannyata yang dilakukan guru dalam usahanya meningkatkan pengembangan profesinya; I =Ilmiah/mengikuti kaidah keilmuan/metoda ilmiah /ada tampilan keilmuan; K = Konsisten/halyang ditulis sesuai dengan keahliannya/tanggung jawab/tempat, waktu dan lingkup tugaspenulis).

Menurut Aqib, (2009) menyatakan bahwa, Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatukebutuhan bagi guru untuk meningkatkan keprofessionalan seorang guru karena: (1)Penelitian Tindakan Kelas sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka dan tanggapterhadap dinamika pembelajarannya di kelasnya, (2) PenelitianTindakan Kelas dapat

Page 318: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

311

meningkatkan kinerja guru sehingga menjadi professional. Guru tidak boleh merasa puasterhadap apa yang dikerjakan selama bertahun-tahun tanpa ada upaya perbaikan dan inovasinamun juga sebagai peneliti di bidangnya, (3) Guru mampu memperbaiki prosespembelajaran melalui suatu kajian yang dalam terhadap apa yang terjadi di kelasnya.Tindakan yang dilakukan guru semata-mata didasarkan pada masalah actual dan factual yangberkembang di kelasnya, (4) Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas merupakan suatukegiatan yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran, dan (5) Guru menjadikreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi danadaptasi berbagai teori dan teknik pembelajaran serta bahan ajar yang dipakainya.

Penelitian Tindakan Kelas setidaknya memiliki karakteristik antar lain: (1) didasarkanpada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional, (2) adanya kolaborasi dalampelaksanaannya, (3) peneliti sekaligus menjadi praktisi yang melakukan refleksi, (4) bertujuanmemperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek instruksional, dan (5) dilaksanakandalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.

Menurut Taggart (1998) seperti yang dikutip Aqib Z dinyatakan prosedur pelaksanaanPenelitian Tindakan Kelas mencakup: (1) penetapan fokus masalah penelitian (merasakanadanya masalah, analisis masalah dan perumusan masalah), (2) perencanaan tindakan(membuat skenario pembelajaran, mempersiapkan fasilitas dan sarana pendukung,mempersiapkan instrumen untuk merekam dan menganalisis data mengenai proses dan hasiltindakan dan melaksanakan simulasi pelaksanaan tindakan perbaikan untuk mengujiketerlaksanaan rancangan), (3) Pelaksanaan Tindakan (skenario tindakan yang direncanakan,dilaksanakan dalam situasi yang aktual, juga disertai dengan kegiatan observasi daninterpretasi untuk melakukan perekaman data yang meliputi proses dan hasil dari pelaksanaankegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan bukti hasil tindakan agar dapat dievaluasi dandijadikan landasan dalam melakukan refleksi ), dan (4) refleksi (dilakukan analisis datamengenai proses, masalah dan hambatan yang dijumpai dan dilanjutkan dengan refleksiterhadap dampak pelaksanaan tindakan yang dilaksanakan). Secara keseluruhan, keempattahapan dalam Penelitian Tindakan Kelas ini membentuk suatu siklus yang digambarkanseperti spiral. Untuk mengatasi suatu masalah, mungkin diperlukan lebih dari satu siklus.Siklus-siklus tersebut saling terkait dan berkelanjutan.

Pelatihan dan bimbingan model in-on-inMenurut kamus Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa, pelatihan adalah belajar atau

membiasakan diri agar menguasai, pandai, terampil, dan sebagainya. Pelatihan merupakanpertemuan ilmiah yang memberikan bekal pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang sejenisuntuk menghasilkan karya nyata (Badudu, 1988). Menurut kamus Bahasa Indonesia,bimbingan adalah penjelasan atau tuntunan cara mengerjakan sesuatu.

Berdasar dua hal di atas dapat disimpulkan bahwa, pelatihan dan bimbingan adalahsuatu pembekalan pengetahuan, kemampuan, kecakapan hidup untuk mengembangkan dirimaupun profesi yang disertai dengan pendampingan atau tuntunan dari narasumber/pelatih/pembimbing untuk mengerjakan suatu kecakapan hidup tertentu agar menjadimampu dan terampil terhadap kecakapan tersebut.

Pelatihan dan bimbingan model in-on-in ini dipilih oleh peneliti sehubungan dengandesain pengelolaan pelatihan guru yang merupakan wujud dari pengembangan konsepTekhnologi Pembelajaran dalam rangka pengembangan kompetensi profesional guru. Desainpengelolaan pelatihan dan bimbingan model in-on-in tentang Penelitian Tindakan Kelassangat berguna untuk mengatasi permasalahan guru di SMP Negeri 3 Taman.

Pelatihan berkelanjutan yang dipilih adalah pelatihan dan bimbingan yangmenggunakan model in-on-in, dengan kegiatan sebagai berikut: (1) In-service learningpertama (guru memperoleh pembelajaran atau pembekalan materi Penelitian Tindakan Kelasdan penyusunan proposal Penelitian Tindakan Kelas oleh nara sumber, dan guru mendapat

Page 319: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

312

tugas untuk menyusun proposal Penelitian Tindakan Kelas dari nara sumber dalam waktuyang sudah disepakati bersama antara guru dan nara sumber), (2) On the job learning pertama(guru menyusun proposal Penelitian Tindakan Kelas Bab I, II, dan III; guru menyusunperangkat pembelajaran, media dan instrumen penelitian yang sesuai dengan judulpenelitiannya; dan guru memilih sejawat untuk menjadi kolaborator pada implementasipenelitian tindakan), (3) In-service learning kedua (guru mempresentasikan proposalPenelitian Tindakan Kelas pada forum ilmiah guru, dengan pendampingan dan bimbinganoleh nara sumber; guru bersama nara sumber melakukan refleksi bersama tentang kelemahan,kekuatan dan bagaimana cara mengatasi kelemahan dari proposal Penelitian Tindakan Kelasyang disusunnya; dan guru dan nara sumber menyepakati waktu untuk mengimplementasikanpenelitian tindakan di kelas), (4) On the job learning kedua (guru mengimplementasikanrancangan penelitian tindakan di kelas pembelajarannya bersama kolaborator; gurumengumpulkan data-data hasil dari implementasi tindakan; guru bersama kolaboratormelakukan refleksi dan analisis setiap akhir siklus; dan guru merancang kegiatan siklusberikutnya berdasar hasil refleksi kegiatan siklus sebelumnya, kemudian melaksanakanrancangan dan seterusnya), (5) In-service learning ketiga (guru menerima pembelajaran ataupembekalan penyusunan Karya Tulis Ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas Bab IV dan V;guru dan nara sumber melakukan curah pendapat terhadap berbagai hal tentang hasilimplementasi tindakan; dan guru diberi tugas untuk menyelesaikan Bab IV dan V dari KaryaTulis Ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas, dengan kesepakatan waktu yang ditetapkanantara guru dan nara sumber), (6) On the job learning ketiga (guru menyusun Bab IV dan BabV serta melengkapi lampiran-lampiran dari Karya Tulis Ilmiah hasil Penelitian TindakanKelas; dan guru membuat power point tentang isi dari Karya Tulis Ilmiah hasil PenelitianTindakan Kelas, untuk di presentasikan pada seminar/forum ilmiah guru), dan (7) In-servicelearning keempat (guru mempresentasikan Karya Tulis Ilmiah hasil Penelitian TindakanKelas pada kegiatan seminar/forum imiah guru di SMP Negeri 3 Taman, denganpendampingan dan bimbingan oleh nara sumber; dan guru bersama nara sumber melakukanrefleksi terhadap Karya Tulis Ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas nya).

Kegiatan penerapan pelatihan bimbingan model in-on-in ini membutuhkan waktupelaksanaan yang relatif agak lama (empat sampai dengan lima bulan), biaya yang cukupbesar,membutuhkan kemauan dan kemampuan guru yang tinggi, dan pelaksanaan pemantauansecara terus menerus oleh kepala sekolah dalam dalam setiap langkah kegiatan.

Kegiatan penerapan pelatihan dan bimbingan model in-on-in ini akan sangatberpengaruh kepada pengembangan dan penguatan kompetensi guru, terutama padakemampuan guru dalam melakukan Penelitian Tindakan Kelas. Kegiatan ini membutuhkanwaktu yang cukup lama sesuai dengan karakteristik kecakapan yang akan dilatihkan, danmenuntut kemampuan serta komitmen guru yang tinggi didalam mengatur waktu untukmelaksanakan tugas pokok fungsinya maupun menyelesaikan tugas dan tagihan-tagihan darikegiatan pelatihan ini.

Dampak dari penerapan pelatihan dan bimbingan model in-on-in tehadap kemampuanguru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas

Penerapan pelatihan bimbingan model in-on-in kepada guru-guru SMP Negeri 3 Tamandalam penguatan kemampuan guru dalam melaksanakan Penelitian Tindakan Kelasmemerlukan waktu yang cukup lama yakni sekitar tiga sampai empat bulan. Dan kegiatantersebut diakhiri dengan kegiatan seminar Karya Tulis Ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelaspada forum ilmiah guru (publikasi ilmiah). Dengan durasi waktu yang tersedia dalam kegiatanpelatihan bimbingan model in-on-in ini, menuntut kemampuan dan komitment guru yangtinggi untuk dapatnya melaksanakan dua hal sekaligus yakni melaksanakan pembelajaran dikelas dan menyelesaikan Penelitian Tindakan Kelas nya.

Page 320: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

313

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan pelatihan bimbingan model in-on-in berdampak positif terhadap penguatan dan pengembangan kompetensi profesional guru,dengan indikator keberhasilan sebagai berikut: (1) guru mampu menyusun proposal PenelitianTindakan Kelas (Bab I, II dan III), (2) guru mampu menyiapkan pelaksanaan PenelitianTindakan Kelas, (3) guru mampu melaksanakan/mengimplementasikan rancangan tindakanpada kelas pemebelajarannya, dan (4) guru mampu mendesiminasikan hasil dari PenelitianTindakan Kelas pada forum ilmiah/seminar guru.

Berdasar indikator keberhasilan di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan pelatihanbimbingan model in-on-in tentang Penelitian Tindakan Kelas pada guru-guru SMP Negeri 3Taman, dapat memberikan dampak positip terhadap penguatan dan pengembangankompetensi profesional guru dalam tindakan reflektif terhadap pembelajarannya melaluiPenelitian Tindakan Kelas. Pada akhir kegiatan pelatihan bimbingan model in-on-in ini guruberkewajiban mengumpulkan produk Karya Tulis Ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelasyang telah disyahkan oleh Kepala Sekolah menjadi referensi perpustakaan SMP Negeri 3Taman.

DesainDesain/model pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah studi deskriptif,

yang meliputi study survey dan studi dokumen dari hasil penerapan pelatihan dan bimbinganmodel in-on-in. Karena peneliti akan meneliti kemampuan guru dalam melaksanakanPenelitian Tindakan Kelas, maka desain penelitian yang dipilih adalah studi deskriptif tentangdampak dari penerapan pelatihan dan bimbingan model in-on-in terhadap kemampuan gurumelaksanakan Penelitian Tindakan Kelas.

Pada refleksi awal, dilakukan Trainning Need Assesment kepada semua guru tentangkebutuhan guru didalam melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Dari hasilanalisis pengembangan keprofesian berkelanjutan dari 38 guru, ditetapkan suatu kegiatanpelatihan tentang Penelitian Tindakan Kelas. Pelatihan bimbingan model in-on-in inidirancang dengan kegiatan 7 sesi dengan rincian 4 sesi in-service learning dan 3 sesi on thejob learning.

Teknik pengukuran dataTeknik pengukuran data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan mengukur

kemampuan guru di dalam melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas melalui penilaianterhadap produk karya tulis ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas dan dokumentasi darihasil pelatihan. Instrumen penilaian karya tulis ilmiah digunakan untuk mengukurkemampuan guru dalam: (1) menyusun proposal Penelitian Tindakan Kelas (meliputi 13indikator), (2) menyiapkan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (meliputi 1 indikator), (3)melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (meliputi 2 indikator), dan (4) melakukan evaluasidari hasil Penelitian Tindakan Kelas (meliputi 2 indikator). Sedangkan dokumentasidigunakan untuk mengukur: jumlah produk Karya Tulis Ilmiah hasil Penelitian TindakanKelas yang disusun guru setelah mengikuti pelatihan dan bimbingan model in-on-in.

Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan guru pada instrumen penilaianadalah sebagai berikut: (1) kemampuan guru dalam menyusun proposal Penelitian TindakanKelas, meliputi: (a) Judul Penelitian Tindakan Kelas; (b) Pendahuluan, meliputi: (1) Latarbelakang masalah, (2) Rumusan masalah, (3) Tujuan penelitian, dan (4) Manfaat penelitian;(c) Kajian teori, meliputi: (1) Relevansi kajian terhadap masalah, solusi dan pengaruhnya/hubungannya, dan (2) Hipotesis penelitian; (d) Metodologi Penelitian, meliputi: (1) Subyek,tempat dan waktu penelitian, (2) Skenario Penelitian Tindakan Kelas, (3) Rincian per-siklus,(4) Indikator keberhasilan penelitian dan (5)Jadwal penelitian; dan (e) Daftar Pustaka; (2)Kemampuan guru dalam menyiapkan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas, meliputi:lampiran-lampiran yang sesuai dengan kebutuhan judul penelitian; (3) Kemampuan guru

Page 321: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

314

dalam melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas, meliputi: (a) Hasil penelitian per-siklus, dan(2) Pembahasan hasil penelitian; (4) Kemampuan guru dalam mengevaluasi hasil PenelitianTindakan Kelas, meliputi: (a) Kesimpulan penelitian, dan (2) Saran penelitian.

Rubrik penilaian dari masing-masing indikator kemampuan guru dalam: (a) menyusunproposal Penelitian Tindakan Kelas, (b) menyiapkan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas,(c) melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas, dan (4) melakukan evaluasi hasil PenelitianTindakan Kelas terlampir dalam lampiran 6A sampai dengan lampiran 6R

Sedangkan instrumen untuk dokumen penelitian adalah cek-list tentang: produk KaryaTulis Ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas dari pelaksanaan kegiatan pelatihan periode Idan II.

Teknik Analisis DataTeknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif

dalam bentuk analisis statistik sederhana yang direfleksikan dalam persentase. Rumus yangdipergunakan untuk memperoleh persentase kemampuan guru yang memperoleh skoremaksimal dan persentase produk karya tulis ilmiah hasil penelitian tindakan kelas, masing-masing adalah sebagai berikut:

Jumlah guru yg dpt skor maks1. Persentase skor maksimal = ---------------------------------- x 100%

(x) Jumlah guru yang meneliti

Jumlah guru yang meneliti2. Persentase produk KTI = ----------------------------------- x 100%

(y) 38

Untuk mengetahui berhasil dan tidaknya penelitian ini, maka peneliti menyusun acuankriteria keberhasilan penelitian sebagai berikut:

a. Persentase perolehan penilaian berdasar skore maksimal (x), ditetapkan dengankategori sebagai berikut: (x) kurang dari 50%, di nyatakan kurang baik (x) lebih dari sama dengan 50% dan kurang dari 70%, dinyatakan baik (x) lebih dari sama dengan 70%, dinyatakan sangat baik

b. Persentase jumlah produk Karya Tulis Ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas yangdiselesaikan oleh guru peneliti (y), ditetapkan dengan kategori sebagai berikut: (y) kurang dari 40%, dinyatakan kurang baik (y) lebih dari sama dengan 40% dan kurang dari 60%, dinyatakan baik. (y) lebih dari sama dengan 60%, dinyatakan sangat baik.

c. Hasil yang diperoleh terhadap kemampuan maupun produk karya tulis ilmiah gurupeneliti dalam dua periode pelatihan (z), dikategorikan sebagai berikut: Jika (x) dan (y) hasilnya kurang baik, maka (z) dinyatakan gagal Jika (x) hasilnya baik dan (y) hasilnya kurang baik atau sebaliknya, maka (z)

dinyatakan kurang memuaskan Jika (x) dan (y) hasilnya baik, maka (z) dinyatakan memuaskan Jika (x) hasilnya sangat baik dan (y) hasilnya baik atau sebaliknya, maka (z)

dinyatakan memuaskan Jika (x) dan (y) hasilnya sangat baik, maka (z) dinyatakan sangat memuaskan

d. Persentase dari kemampuan guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelasdihitung dari rata-rata persentase 18 indikator.

e. Persentase produk karya tulis ilmiah guru dari hasil penelitian tindakan kelas, yangdipehitungkan sebagai keberhasilan adalah pada periode II .

Page 322: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

315

f. Peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas (dalammenyusun proposal, menyiapkan pelaksanaan, melaksanakan tindakan, danmengevaluasi hasil penelitian tindakan) diperoleh dari rata-rata penskoran yangdiperoleh dari periode I dan II.

Penyajian dataKegiatan survey ini dilaksanakan dari tanggal 9 Mei 2012 sampai dengan 17 Juni 2012

di SMP Negeri 3 Taman. Penelitian tentang study survey penerapan pelatihan dan bimbinganmodel in-on-in untuk meningkatkan kemampuan guru dalam melaksanakan PenelitianTindakan Kelas di SMP Negeri 3 Taman ini adalah untuk mengamati sejauh manakeberhasilan desain pelatihan dan bimbingan model in-on-in ini dapat membantu peningkatankemampuan guru-guru didalam: menyusun proposal penelitian Tindakan Kelas, menyiapkanpelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas, melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas, danmelakukan evaluasi dari kegiatan Penelitian Tindakan Kelas sebagai kegiatan wajib setelahdiberikan pelatihan dan bimbingan model in-on-in. Pada periode I (tahun 2008 sampaidengan 2009) telah disepakati bahwa setiap MGMPS menghasilkan satu karya tulis ilmiahhasil Penelitian Tindakan Kelas dan pada periode II (tahun 2009 sampai dengan 2010)disepakati bahwa setiap MGMPS harus menghasilkan minimal dua karya ilmiah hasilPenelitian Tindakan Kelas. Berdasarkan study survey yang peneliti lakukan, diperoleh hasilsebagai berikut:1. Penerapan pelatihan dan bimbingan model in-on-in periode I.

Pada periode ini guru-guru SMP negeri 3 Taman didampingi oleh nara sumber. Padaperiode ini tersusun 12 karya tulis ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas, dan hasilpenskoran yang dilakukan terhadap produk karya tulis ilmiah hasil penerapan pelatihandan bimbingan model in-on-in tersebut, adalah sebagai berikut:

No Tabel Indikator penilaianJumlah karya yg

memperoleh skore Jmlh5 4 3 2 1

1 1 Judul Penelitian 8 3 1 0 0 122

2APendahuluanLatar belakang masalah

7 1 4 0 0 12

32B

PendahuluanRumusan masalah

8 3 1 0 0 12

42C

PendahuluanTujuan penelitian

10 1 1 0 0 12

52D

PendahuluanManfaat penelitian

10 1 1 0 0 12

63A

Kajian teoriRelevansi kajian teori tentang masalah dan solusi,beserta keterkaitan keduanya

4 3 4 1 0 12

73B

Kajian TeoriHipotesis penelitian

9 2 1 0 0 12

84A

Metodologi penelitianSubyek, tempat dan waktu penelitian

10 0 2 0 0 12

94B

Metodologi penelitianSkenario penelitian

4 2 4 2 0 12

104C

Metodologi penelitianRincian siklus penelitian

4 2 3 3 0 12

114D

Metodologi penelitianKriteria keberhasilan penelitian

- - 7 2 3 12

124E

Metodologi penelitianJadwal penelitian

- - 10 0 2 12

135A

Hasil penelitian dan pembahasanHasil penelitian per-siklus

8 1 3 0 0 12

145B

Hasil penelitian dan pembahasanPembahasan hasil penelitian

6 2 2 0 2 12

Page 323: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

316

156A

Simpulan dan saranSimpulan penelitian

1 3 5 2 1 12

166B

Simpulan dan saranSaran penelitian

- - - 9 3 12

17 7 Daftar Pustaka 6 1 4 1 0 1218 8 Lampiran 5 1 5 0 1 12

2. Penerapan pelatihan dan bimbingan model in-on-in periode II.Pada periode ini guru-guru SMP Negeri 3 Taman didampingi oleh nara sumber dariWidyaiswara LPMP Jawa Timur. Indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuanguru dalam melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas sama dengan kegiatan pelatihanperiode I. Pada periode ini tersusun 26 karya tulis ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas,dan hasil penskoran yang dilakukan terhadap produk karya tulis ilmiah hasil penerapanpelatihan dan bimbingan model in-on-in tersebut, adalah sebagai berikut:

No Tabel Indikator penilaianJumlah karya yg memperoleh

skore Jmlh5 4 3 2 1

1 1 Judul Penelitian 23 2 1 0 0 262

2APendahuluanLatar belakang masalah

13 10 3 0 0 26

32B

PendahuluanRumusan masalah

20 2 4 0 0 26

42C

PendahuluanTujuan penelitian

20 3 3 0 0 26

52D

PendahuluanManfaat penelitian

19 4 3 0 0 26

63A

Kajian PustakaRelevansi kajian pustaka tentang masalah dan solusi,beserta keterkaitan keduanya

16 7 3 0 0 26

73B

Kajian TeoriHipotesis penelitian

16 5 5 0 0 26

84A

Metodologi penelitianSubyek, tempat dan waktu penelitian

24 1 1 0 0 26

94B

Metodologi penelitianSkenario penelitian

18 4 2 2 0 26

104C

Metodologi penelitianRincian siklus penelitian

17 2 4 2 0 26

114D

Metodologi penelitianKriteria keberhasilan penelitian

x x 19 4 3 26

124E

Metodologi penelitianJadwal penelitian

x x 16 8 2 26

135A

Hasil penelitian dan pembahasanHasil penelitian per-siklus

20 2 3 1 0 26

145B

Hasil penelitian dan pembahasanPembahasan hasil penelitian

17 4 3 2 0 26

156A

Simpulan dan saranSimpulan penelitian

14 4 4 2 2 26

166B

Simpulan dan saranSaran penelitian

x x x 24 2 26

17 7 Daftar Pustaka 16 7 3 0 0 2618 8 Lampiran 13 8 5 0 0 26

Analisis dataBerdasar hasil penelitian yang diperoleh peneliti, kemudian dilakukan analisis data yang

berdasarkan pedoman yang telah ditetapkan. Berdasar data yang diperoleh dari study surveyini diperoleh gambaran sebagai berikut:

Page 324: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

317

NoKemampuan

guruIndikator

Periode IJml (%)

KtgrPeriode

IIJml (%)

KtgrPerubahan

InterpretasiNaik/turun

Rata-rata

1

Menulislaporankarya tulisilmiah hasilPTK

Produk karyatulis ilmiahhasil PTK

12 karya(31,6%)

Kurang baik

26karya

(68,4%)

Sangatbaik

X X Memuaskan

2

MenyusunproposalPTK

Judul PTK8

(66,7%)Baik

23(88,5%)

Sangatbaik

21,8%

66,13%

Sangatmemuaskan

Pendahulua.LatarBelakangMasalah

7(58,3%)

Baik13

(50%)Baik

-8,3%

Memuaskan

PendahuluanRumusanMasalah

8(66,7%)

Baik20

(76,9%)Sangatbaik

10,2% Memuaskan

PendahuluanTujuanPenelitian

10(83,3%)

Sangatbaik

20(76,9%)

Sangatbaik

6,4%Sangat

memuaskan

PendahuluanManfaatpenelitian

10(83,3%)

Sangatbaik

19(73,1%)

Sangatbaik

-10,2%

Sangatmemuaskan

Kajian teoriRelevansikajiantentangmasalah,solusi danpengaruhnya

4(33,3%)

Kurang baik

16(61,5%)

Baik 28,2%Kurang

memuaskan

Kajian teoriHipotesispenelitian

9(75%)

Sangatbaik

16(61,5%)

Baik-

13,5%Memuaskan

MetodologiPenelitianSubyek,tempat danwaktupenelitian

10(83,3%)

Sangatbaik

24(92,3%)

Sangatbaik

9%Sangat

memuaskan

MetodologiPenelitianSkenarioPTK

4(33,3%)

Kurang baik

18(69,2%)

Baik 35,9%Kurang

memuaskan

MetodologiPenelitianRinciansikluspenelitian

4(33,3%)

Kurang baik

17(65,4%)

Baik 32,1%Kurang

memuaskan

MetodologiPenelitianIndikatorkeberhasilanpenelitian

7(58,3%)

Baik19

(73,1%)Sangatbaik

14,8% Memuaskan

MetodologiPenelitianJadwalpenelitian

10(83,3%)

Sangatbaik

16(61,5%)

Baik-

21,8%Memuaskan

Page 325: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

318

DaftarPustaka

6(50%)

Baik16

(61,5%)Baik 11,5% Memuaskan

3Menyiapkanpelaksanaaan PTK

LampiranPenelitian

5(41,6%)

Kurang baik

13(50%)

Baik 8,4% 45,8%Kurang

memuaskan

4 Melaksanakan PTK

HasilPenelitiandanPembahasanHasilpenelitianper-siklus.

8(66,7%)

Baik20

(76,9%)Sangatbaik

10,2%

64,75%

Memuaskan

HasilPenelitiandanPembahasan.Pembahasanhasilpenelitian

6(50%)

Baik17

(65,4%)Baik 15,4% Memuaskan

5 Mengevaluasi hasilpelaksanaanPTK

Simpulandan SaranSimpulanpenelitian

1(8,3%)

Kurang baik

14(53,8%)

Baik 45,5%

57,28%

Kurangmemuaskan

Simpulandan SaranSaranpenelitian

9(75%)

Sangatbaik

24(92,3%)

Sangatbaik

17,3%Sangat

memuaskan

Secara umum hasil study survey dari penerapan pelatihan dan bimbingan model in-on-indi SMP Negeri 3 Taman selama dua periode, dalam upaya meningkatan kemampuan gurudalam melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas yang meliputi empat kemampuan dan produkkarya tulis ilmiah, diperoleh gambaran sebagai berikut:1. Menyusun proposal Penelitian Tindakan Kelas, hasilnya dikategorikan memuaskan dan

terjadi peningkatan.2. Menyiapkan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas, hasilnya dikategorikan kurang

memuaskan dan terjadi peningkatan.3. Melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas, hasilnya dikategorikan memuaskan dan terjadi

peningkatan.4. Melakukan evaluasi Penelitian Tindakan Kelas, hasilnya dikategorikan sangat

memuaskan dan terjadi peningkatan peningkatan.5. Jumlah produk karya tulis ilmiah guru dari hasil Penelitian Tindakan Kelas selama dua

periode penerapan pelatihan dan bimbingan model in-on-in, hasilnya dikategorikansangat memuaskan dan terjadi peningkatan.

SimpulanDari study survey ini dapat peneliti simpulkan bahwa dengan kegiatan penerapan

pelatihan dan bimbingan model in-on-in tentang kemampuan guru dalam melaksanaanPenelitian Tindakan Kelas di SMP Negeri 3 Taman, bahwa:1. Ada peningkatan sebesar 66,13% kemampuan guru SMP Negeri 3 Taman, dalam

menyusun proposal Penelitian Tindakan Kelas.2. Ada peningkatan sebesar 45,8% kemampuan guru SMP Negeri 3 Taman, dalam

menyiapkan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas.3. Ada peningkatan sebesar 64,75% kemampuan guru SMP Negeri 3 Taman, dalam

melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas.

Page 326: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

319

4. Ada peningkatan sebesar 57,28% kemampuan guru SMP Negeri 3 Taman, dalammelakukan evaluasi dari hasil Penelitian Tindakan Kelas.

5. Ada peningkatan sebesar 66,08% kemampuan guru SMP Negeri 3 Taman , dalammenyusun karya tulis ilmiah hasil Penelitian Tindakan Kelas.

ReferensiArikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Asdi

Mahasatya.Aqib, Zainal. 2006. Penelitian Tindakan Kelas, Bandung: Irama Widya.Badudu, J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.Dep Dik Nas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 16; Standar Kompetensi

Guru. Jakarta: Dep Dik Nas.Depdiknas. 2009. Penelitian Tindakan Sekolah. Jakarta: Dir Jen PMPTK.MenPAN, 2006. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

Nomor 16, tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta : Men PAN.Muchyidin, 2009. Karya Tulis Ilmiah, Makalah disampaikan pada “ Kegiatan diklat intensif

terstruktur tentang penelitian tindakan kelas pada guru SMP Negeri 3 Taman Sidoarjo.Suparti, 2008. Karya Tulis Ilmiah dan Penelitian Tindakan Kelas, Makalah disampaikan pada

“ Kegiatan diklat intensif terstruktur tentang penelitian tindakan kelas pada guru SMPNegeri 3 Taman Sidoarjo”.

Suparti, 2008. Penyusunan usulan dan laporan penelitian tindakan kelas, Makalahdisampaikan pada “ Kegiatan diklat intensif terstruktur tentang penelitian tindakankelas pada guru SMP Negeri 3 Taman Sidoarjo”.

Wiryokusumo, Iskandar. 2010. Bahan Kuliah Matrikulasi, Pengantar TeknologiPembelajaran.

Page 327: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

320

SUPERVISI PENGAJARAN DI SEKOLAH DASAR DASAR

Hari KaryonoUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

AbstractThe purpose of this research is to describe the intructional supervision program towardthe elementary school teachers. The type of this research is qualitative research with thedesign of multi case study data were collected from the Principals and teachers of fourelementary schools. The research findings shows that the Principals implement theinstructional supervision by class visiting, teaching learning process monitoring, teachersmeetings, both individual and group establishment, professional readings, advancedstudy, participating teachers to teachers’ work group, workshop/seminar, sharing anddiscussion among teachers, teachers and principals, teachers with superintendent. Theimpacts of instructional supervision are the lack of training and welfare of the teachers.Based on the research findings, it is suggested for the Principals that in implementing theinstructional supervision are expected to apply the problem solving.

Kata kunci: supervisi pengajaran, kepala sekolah, sekolah dasar.

Penyelenggaraan pendidikan nasional merupakan realisasi dari amanat PembukaanUUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 31 ayat (1) setiap warga negaraberhak mendapat pendidikan, (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar danpemerintah wajib membiayainya, (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satusistem pendidikan nasional, yang mening-katkan keamanan dan ketaqwaan serta akhlak muliadalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, (4)Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen darianggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerahuntuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, dan (5) pemerintahmemajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama danpersatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Pernyataan inimenunjukkan komitmen pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan nasional bagiseluruh bangsa Indonesia. Disamping itu, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa jalur pendidikan terdiri ataspendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya(Pasal 13 ayat 1). Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikanmenengah, dan pendidikan tinggi. Pada bagian kedua tentang pendidikan dasar, dijelaskanbahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikanmenengah.

Sebagai salah satu jenjang pendidikan, keberadaan pendidikan dasar merupakanlandasan dari semua jenjang persekolahan dan pendidikan selanjutnya. Menurut Sidi (2001)pendidikan dasar mempunyai beberapa tujuan, yang mungkin berbeda antara satu negaradengan negara lainnya. Walaupun demikian, ada beberapa tujuan pokok pendidikan dasarpada semua situasi, yaitu mempersiapkan anak didik menjadi: (1) orang yang bermoral, (2)seorang warga negara, dan (3) orang dewasa yang mampu memperoleh pekerjaan dengan caramemberikan keterampilan dasar yang umum bagi semua pekerjaan di dalam suatu masyarakatkepada anak didik.(Sidi, 2001).

Secara lebih khusus pentingnya sekolah dasar adalah untuk mengembangkankemampuan siswa dalam hal dasar-dasar pengetahuan IPA, matematika, bahasa, kesenian danilmu pengetahuan sosial. Hal ini seperti dikemukakan oleh Collier, Houston, Schmatz &Walsh (1971)

Page 328: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

321

elementary schools must concern themselves with the important objectives of helpingyoungsters develop a valid foundation in such fundamental and important areas as science,mathematics, reading, language, fine arts, and social science.

Menurut Danim (2003) persoalan utama pengelolaan SD saat ini tidak terletak padaefisiensinya, akan tetapi juga masalah mutu, akses, dan peluang pengembangan. KajianDanim (2003) lebih lanjut, mengemukakan lemahnya efisiensi SD, umumnya, dan rendahnyahasil belajar murid SD, khususnya, disebabkan oleh beberapa faktor. Hasil studi antara tahun1960-an sampai dengan tahun 1990-an yang dilakukan oleh beberapa ahli menemukanbeberapa kesimpulan. Pertama, di Negara-negara maju, prestasi akademis lebih banyakditerangkan oleh faktor-faktor luar sekolah (SES, aspirasi keluarga, interaksi anak orang tua)dibandingkan dengan faktor sekolah itu sendiri. Kedua, di negara-negara sedang berkembangatau belum berkembang, prestasi belajar akademis lebih banyak diterangkan oleh faktor-faktor sekolah (guru, buku paket, alat belajar, manajemen sekolah, dan sebagainya) daripadaoleh faktor luar sekolah.

Dari berbagai indikator yang diungkapkan tersebut, yang menjadi penyebab rendahnyamutu pendidikan ditinjau dari aspek manajemen pendidikan dapat dikelompokkan ke dalamtiga faktor, yaitu: (a) faktor instrumental sistem pendidikan, (b) faktor sistem manajemenpendidikan, termasuk di dalamnya sistem pembinaan profesional guru, dan (c) faktorsubstansi manajemen pendidikan (Mantja, 1993; 1996; 1998). Sedangkan Mataheru (1988)menekankan bahwa salah satu faktor yang perlu diperhatikan di sekolah dalam meningkatkanmutu tersebut adalah peningkatan kemampuan profesional guru.

Paradigma peningkatan tenaga pendidik pada saat ini memberikan wacana baru dalamimplementadi kebijakan pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional. Saah satuupaya untuk memberikan tolok ukur mutu tenaga pendidik adaah dengan diterbitkannyaPeraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar NasionalPendidikan.

Produk kebijakan lainnya, yang secara khusus mengkaji mengenai tenaga pendidikdan telah disosialisasikan di berbagai instansi yang relevan adalah Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam undang-undang ini secaralebih lengkap dirumuskan mengenai prinsip profesionalisme, guru dan dosen. Hal-hal yangberkaitan dengan profesi guru, khususnya dalam hubungannya dengan kompetensi guru,dalam Bab IV Guru, Bagian Kesatu: kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi dirumuskansebagai berikut ini.

Tentang kualifikasi guru, dalam UU No. 14 Tahun 2005 ini dirumuskan dalam Pasal 8yang menegaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi sertifikatpendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuanpendidikan nasional. Sedangkan yang dimaksud dengan kualifikasi akademik tersebut dijelaskan dalam Pasal 9 yang menjelaskan bahawa kualifikasi akademik sebagaimanadimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau programdiploma empat. Adapun yang dimaksud dengan kompetensi guru dijelaskan dalam Pasal 10ayat (1) yaitu bahwa kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputikompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensiprofesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Selanjutnya sertifikat pendidiksebagai-mana yang dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhipersyaratan.

Apabila dikaji dari kedua produk kebijakan di atas, yaitu PP No. 19 Tahun 2005 danUU No. 14 Tahun 2005 Guru dan Dosen, terdapat persamaan dalam merumuskan kompetensiguru yang dipersyaratkan. Kompetensi guru yang dipersyaratkan adalah (a) kompetensipedagogik; (b) kompetensi kepribadian; (c) kompetensi profesional; dan (d) kompetensisosial. Perangkat kompetensi bagi guru ini dirumuskan dalam PP No. 19 Tahun 2005 dan UUNo. 114 Tahun 2005.

Page 329: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

322

Diskusi tentang kualifikasi tenaga pendidikan di sekolah, juga menarik para pakarpendidikan. Salah satu pakar pendidikan, Danim (2003) mengemukakan bahwa kualifikasiyang dimiliki oleh tenaga pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis, yaitu: (1)fisik, (2) pribadi, (3) profesional, dan (4) sosial. Kualifikasi yang pertama berkaitan denganaspek-aspek kesehatan fisik, ciri-ciri khusus fisik, dan daya dukung kemampuan verbal.Kualifikasi kedua, berka-itan dengan aspek-aspek kepribadian tenaga pengajar, sepertikeimanan, kepribadian sebagai insan Pancasilais, dan normal secara kejiwaan. Kualifikasiketiga, berkenaan dengan tugas-tugas teknis pengajaran dan penguasaan materi bahan ajardengan segala perangkat pendukungnya yang terkait langsung, serta kemampuannya mencip-takan kondisi anak didik menjadi masyarakat belajar (learning society) yang kian dirasakanmendesak pada era globalisasi ekonomi dan informasi. Selanjutnya, kualifikasi keempatberkaitan dengan fungsi tenaga pendidikan sebagai bagian integral dari anggota masyarakatIndonesia yang Pancasilais.

Wacana masyarakat belajar (learning society) sebagaimana yang dikemukakan Danimdi atas, sesuai dengan visi Depdiknas yang lebih menekankan pada pendidikan transformatif,yang menjadikan lembaga pendidikan sebagai motor penggerak perubahan dari masyarakattradisional ke masyarakat maju. Masyarakat maju selalu diikuti oleh proses transformasistruktural, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang bertumpu pada pertanianmenuju masyarakat berbasis industri. Bahkan di era global sekarang, transformasi itu berjalandengan sangat cepat yang kemudian mengantarkan pada masyarakat berpengetahuan(knowledge society). Di dalam masyarakat berpengetahuan, peranan ilmu pengetahuan danpenggunaan Information and Communication Technology (ICT) sangat dominan (Depdiknas,2005). Walaupun demikian, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih berciri agrarisbelum sepenuhnya mampu memanfaatkan iptek yang mengalami perkembangan pesat danmenjadi penggerak utama (prime mover) perubahan masyarakat.

Delors (1999) dalam laporannya mengemukakan pentingnya peranan guru sebagaiagen perubahan, mengembangkan pengertian dan toleransi belum pernah sejelas sekarang ini.Selanjutnya, Delors mengemukakan bahwa kelihatannya peranan guru ini akan lebih pentinglagi di dalam abad XXI. Demikian juga Danim (2003) mengemukakan bahwa dari komponen-komponen tersebut di atas, komponen guru mempunyai peranan penting dan merupakan kuncipokok bagi keberhasilan peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, menurut Danimkemampuan profesional guru perlu ditingkatkan dan dikembangkan dengan berbagai upaya,antara lain melalui pendidikan, latihan dan pembinaan teknis yang dilakukan secaraberkesinambungan di sekolah dan di tempat-tempat pembinaan profesional seperti KelompokKerja Guru (KKG), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) dan kelompok Kerja PenilikSekolah (KKPS). Peningkatan dan pengembangan kemampauan profesional tersebut meliputiberbagai aspek antara lain kemampuan guru dalam menguasai kurikulum dan materipengajaran, kemampuan dalam menggunakan metode dan sarana dalam proses belajar-mengajar, melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar, dan kemampuan memanfaatkanlingkungan sebagai sumber belajar, disiplin dan komitmen guru terhadap tugas.

Untuk meningkatkan profesionalisme guru, media yang dianggap paling relevanadalah melalui supervisi pengajaran. Karena supervisi adalah pembinaan yang diberikankepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untukmengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik (Depdikbud, 1976). DalamPedoman Buku III D Administrasi dan Supervisi dijelaskan bahwa usaha meningkatkan mutupendididikan dan pengajaran sebagian besar terletak pada kegiatan guru dalam mendorongmurid-murid kearah tercapainya tujuan pendidikan. Agar tugas mendidik dan mengajar dapatditingkatkan, maka guru perlu mendapat pembinaan (supervisi) secara teratur dan berencana.Untuk itu para Kepala Sekolah perlu memiliki pengetahuan tentang pengertian, tujuan, fungsidan teknik supervisi disertai petunjuk pelaksanaan secara sederhana.

Page 330: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

323

Sebagai upaya membantu guru dalam memperbaiki proses belajar mengajar, makaseharusnya supervisi dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip, teknik dan pendekatan yangtepat. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan kemampuan profesional guru dapatditingkatkan. Sedangkan guru yang profesional adalah guru yang mempunyai ciri-ciri sebagaiberikut (1) memiliki suatu keahlian khusus, (2) merupakan suatu panggilan hidup, (3)memiliki teori-teori yang baku secara universal, (4) mengabdikan diri untuk masyarakat danbukan untuk diri sendiri, (5) dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yangaplikatif, (6) memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya, (7) mempunyai kode etik,(8) mempunyai klien yang jelas, (9) mempunyai organisasi profesi yang kuat, dan (10)mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain.

Sementara itu mengenai pendekatan supervisi, Glickman (1981) membagi orientasisupervisi pendidikan menjadi tiga, berdasarkan kemampuan guru, yaitu (1) direktif, (2)nondirektif, dan (3) kolaboratif. Pertama, orientasi direktif diterapkan manakala supervisormenemukan guru yang dalam mengembangkan dirinya sendiri sangat rendah, sehinggaPembina harus banyak memberikan petunjuk dengan contoh- contoh kongkrit disertai tugas-tugas. Kedua, orientasi nondirektif digunakan apabila tanggung jawab guru dalammengembangkan dan membina dirinya sendiri tinggi. Ketiga, orientasi kolaboratif digunakanapabila tanggung jawab antara guru dengan supervisor seimbang. Pembina bersama-samasaling memberi dan saling meminta melalui diskusi, sehingga diperoleh kesepakatan.

Sedangkan Oliva (1984) membagi orientasi supervisi menjadi dua, yaitu: (1) orientasilangsung, dan (2) tidak langsung. Orientasi langsung didasarkan pada asumsi bahwapengawasan dilakukan atas dasar kewenangan seseorang yang memiliki posisi dalam hierarkiorganisasi. Sedangkan orientasi tidak langsung didasarkan pada asumsi bahwa pengawasanterhadap situasi tergantung pada tuntutan pada masalah.

Dalam praktiknya supervisi pengajaran yang dilaksanakan selama ini masih cenderungberorientasi pada administratif saja. Fenomena ini dikaji secara khusus dalam KonferensiPendidikan di Indonesia: Mengatasi Krisis Menuju Pembaruan, yang diikuti para pakar yangkompeten. Salah satu rekomendasri dari konferensi ini, khususnya yang berkaitan langsungdengan masalah supervisi dikemukakan bahwa fungsi-fungsi pengawasan pada semua jenjangpendidikan dioptimalkan seba-gai sarana untuk memacu mutu pendidikan. Pengawasandimaksud dengan mengutamakan aspek-aspek akademik daripada administratif sebagaimanaberlaku selama ini (Jalal & Supriadi, 2001).

Keefektifan penerapan orientasi dan pendekatan supervisi di atas, tidak hanyatergangtung pada supervisor saja, melainkan juga sangat dipengaruhi oleh persepsi, respon,dan sikap guru terhadap orientasi dan supervisi yang dilakukan oleh supervisor. Penelitianmengenai sikap guru terhadap supervisi dikemukakan oleh Ekosusilo (2003) bahwa guru tidakterlalu positif terhadap supervisi yang dilakukan supervisor. Selanjutnya dikemukakan olehEkosusilo dalam simpulan penelitiannya bahwa supervisi yang dilakukan supervisor dianggapbiasa-biasa saja dan monoton itu-itu saja, bahkan nampak diacuhkan. Namun guru tidakmenampakkan ketidak-setujuannya di hadapan supervisor, karena dilandasi rasa hormatsekaligus tidak ingin menimbulkan konflik. Penelitian yang dilakukan Mantja (1990) jugamenyimpulkan bahwa respon dan sikap guru terhadap supervisi ditentukan oleh kemanfaatan,data pengamatan yang obyektif, kesempatan menanggapi balikan, perhatian supervisorterhadap gagasan guru. Supervisi yang teratur dan hubungan yang diciptakan dapatmengurangi ketegangan emosional guru. Guru lebih menyukai pendekatan supervisikolaboratif atau non direktif.

Dari studi pendahuluan yang peneliti laksanakan, terungkap bahwa masalahpeningkatan profesionalisme guru merupakan masalah yang mendapatkan perhatian darimasing-masing kepala sekolah di empat SD tersebut. Demikian juga model pendekatan yangdilakukan oleh keempat kepala sekolah di situs yang berbeda tersebut, walaupun secarateoritis sama, namun pendekatan masing-masing kepala sekolah berbeda.

Page 331: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

324

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan program supervisi pengajaran yangdisusun oleh Kepala Sekolah terhadap para guru sekolah dasar dalam rangka meningkatkanprofesionalisme guru, (2) menjelaskan prosedur supervisi pengajaran yang diterapkan olehKepala Sekolah terhadap para guru sekolah dasar dalam rangka meningkatkanprofesionalisme guru, (3) mengidentifikasi teknik-teknik supervisi pengajaran oleh KepalaSekolah terhadap para guru sekolah dasar dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru,(4) mendeskripsikan pola pendekatan supervisi pengajaran yang digunakan oleh KepalaSekolah terhadap para guru di sekolah dasar dalam rangka meningkatkan profesionalismeguru, (5) menjelaskan respon dan sikap guru sekolah dasar terhadap pelaksanaan supervisipengajaran yang dilakukan oleh Kepala Sekolah dalam rangka meningkatkan profesionalismeguru, (6) menemukan kendala-kendala yang dihadapi Kepala Sekolah dalam melaksanakansupervisi pengajaran terhadap para guru pada empat sekolah dasar dalam rangkameningkatkan profesionalisme guru, dan (7) mendeskripsikan upaya-upaya yang dilakukanoleh Kepala Sekolah dalam melaksanakan supervisi pengajaran di sekolah dasar dalam rangkameningkatkan profesionalisme guru.

METODE

Penelitian ini menggunakan rancangan studi multi kasus (multi-case studies) denganmetode komparatif konstan (the constant comparative method). Tujuan analisis komparatiftersebut untuk merumuskan konsep atau teori yang disintesiskan pada tataran generalitas yangberbeda-beda (Glaser & Strauss, 1980). Lokasi penelitian di SD Laboratorium Sumber Ilmu,SDN Sekar Arum I, SDK Sang Surya, dan SDN Madukoro VI Malang. Informan dalampenelitian ini adalah para Kepala Sekolah dan Guru. Teknik pengumpulan data menggunakan(1) wawancara mendalam, (2) observasi partisipan, dan (3) studi dokumentasi. Analisis datadilakukan dua tahap, yaitu (1) analisis data kasus individu, dan (2) analisis data lintas kasus.Pengecekan keabsahan data melalui derajat kepercayaan (credibility), keteralihan(transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Analisisdilakukan untuk menemukan makna atau hakikat yang mendasari pernyataan-pernyataan yangditemukan (Williams, 1986). Sedangkan makna yang ditemukan didasarkan atas interpretasidata terhadap pernyataan informan, selanjutnya diformulasikan dalam bentuk tema. Temaadalah konsep teori yang ditampilkan oleh data yang ditemukan dalam penelitian.(Bogdan &Biklen, 1998).

HASIL1. Program Supervisi Pengajaran

Program supervisi pengajaran disusun pada awal tahun pelajaran sebelum kegiatan belajarmengajar dimulai, dengan memasukkan program tersebut dalam Program Kerja atauRAPBS sebagai acuan Kepala Sekolah untuk melaksanakan kegiatan supervisi pengajaranterhadap para guru di sekolah: (1) program supervisi pengajaran yang disusun olehKepala Sekolah bersifat komprehensif dan diarahkan untuk meningkatkan kompetensi danprofesionalisme guru di sekolah; (2) program supervisi pengajaran yang disusun olehKepala Sekolah terdiri dari : program semester, dan program bulanan sekaligus jugadisusun jadwal supervisi pengajaran yang dilaksanakan pada saat melakukan kunjungankelas; (3) pelaksanaan supervisi pengajaran oleh Kepala Sekolah terhadap para guru disekolah dilakukan secara periodik sesuai dengan jadwal supervisi pengajaran yang telahdisusun oleh Kepala Sekolah pada tahun ajaran baru; (4) pelaksasaan supervisi pengajaranyang diterapkan oleh Kepala Sekolah diterapkan langkah-langkah sebagai berikut : (a)koordinasi, (b) menjadwal, (c) supervisi, dan (d) tindak lanjut, (5) Kepala Sekolahmenggunakan sebagai instrumen dalam pelaksanaan kunjungan kelas sesuai jadwal yangtelah disusun, Kepala Sekolah menggunakan lembar observasi monitoring tugas untuk

Page 332: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

325

memonitoring kelengkapan administrasi guru dan kegiatan pembelajaran yangdilaksanakan oleh guru di kelas.

2. Prosedur Supervisi PengajaranProsedur supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah adalah menyusunprogram supervisi pengajaran, menerima masukan dari guru pada saat melaksanakankunjungan kelas, kemudian ditindak lanjuti dengan mengadakan pertemuan baik individualmaupun kelompok dalam rapat dewan guru: (1) Kepala Sekolah menyusun jadwal programsupervisi kunjungan kelas bersama-sama dengan para guru; (2) Kepala Sekolahmelaksanakan supervisi kunjungan kelas berdasarkan jadwal yang telah disusun; (3)apabila dipandang perlu Kepala Sekolah memanggil guru ke ruang Kepala Sekolah untukmelakukan pembinaan secara individual guna memberitahukan kekurangan guru yangbersangkutan tentang proses belajar mengajar serta perbaikan yang perlu dilakukanberdasarkan kunjungan kelas Kepala Sekolah; (4) dalam setiap kunjungan kelas KepalaSekolah menggunakan lembar observasi serta membuat catatan tertulis untuk disampaikankepada guru yang bersangkutan; (5) pembinaan yang dilakukan oleh Kepala Sekolahbersifat individual (perorangan) secara kekeluargaan maupun secara kelompok dalam rapatdewan guru; (6) Kepala Sekolah mengadakan evaluasi hasil supervisi pengajaran secarakeseluruhan pada rapat dewan guru yang dijadwalkan pada setiap minggu/bulan sesuaidengan kebiasaan atau jadwal yang diprogram oleh sekolah masing-masing; (7) prosedursupervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah melalui pentahapan sebagaiberikut : kunjungan kelas, pengamatan, permasalahan, identifikasi permasalahan,klarifikasi dan solusi.

3. Teknik-Teknik Supervisi PengajaranTeknik-teknik supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah antara lainmeliputi: pemeriksaan administrasi guru, kunjungan kelas, rapat dewan guru secara rutin,menyediakan bacaan profesional, mengirim guru dalam pendidikan dan pelatihan,penataran, seminar, KKG, wawancara pribadi serta menganjurkan untuk studi lanjut bagiyang belum menempuh pendidikan S1: (1) pemeriksaan administrasi guru yangdilaksanakan oleh Kepala Sekolah antara lain meliputi: (a) khusus jurnal tiap minggu, (b)silabus, (c) data rekap nilai tiap Mid dan Semester dan absensi, (d) agenda tiap minggu(murid) untuk mengetahui program mengajar tiap hari dan volume PR/tugas di luarsekolah), (e) analisis hasil penilaian (tiap ulangan), (f) program perbaikan-pengayaan, (g)program semester, dan (h) program ulangan semester; (2) apabila Kepala Sekolahmelakukan kunjungan kelas, maka Kepala Sekolah duduk di bangku paling belakang danmengamati proses belajar mengajar yang dilaksanakan oleh guru dengan menggunakanlembar observasi kelas/angket, dari pengamatan yang dilakukan akan dapat diidentifikasikekurangan-kekurangan guru dalam mengelolan proses belajar mengajar untuk selanjutnyadilakukan pembinaan kepada guru yang bersangkutan; (3) pada saat rapat dewan guru yangdijadwalkan secara periodik, dilaksanakan sharing antara guru dengan guru, guru denganKepala Sekolah, pemberian motivasi kepada para guru, serta mencari solusi terhadappermasalahan yang dihadapi para guru; (4) dalam melaksanakan teknik-teknik supervisi,Kepala Sekolah disamping mengadakan supervisi kunjungan kelas, pemeriksaankelengkapan administrasi guru Kepala Sekolah juga mengadakan pengamatan dari luar(lingkungan); dan (5) Kepala Sekolah melaksanakan teknik supervisi yang sifatnyaperorangan/individual dengan cara mengadakan pertemuan langsung secara perorangandan dilakukan dialog (wawancara pribadi).

Page 333: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

326

4. Pola Pendekatan Supervisi PengajaranPola pendekatan supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah bersifatlangsung maupun tidak langsung, personal/individual maupun kelompok, pemeriksaanadministrasi guru dan pertemuan kasus serta penggunaan media secara lisan dan tertulisserta dengan pendekatan secara kekeluargaan: (1) Proposisi minor : pendekatan supervisipengajaran oleh Kepala Sekolah terhadap para guru yang bersifat langsung adalah denganmengadakan kunjungan ke kelas-kelas baik yang terjadwal maupun yang tidak terhjadwal(dadakan); (2) pendekatan supervisi pengajaran oleh Kepala Sekolah yang bersifat tidaklangsung adalah dengan menerima masukan dari orang tua tentang pelaksanaan kegiatanbelajar mengajar yang dilaksanakan oleh guru melalui saluran komunikasi yang disiapkanoleh sekolah; (3) pendekatan yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah dapat bersifatpersonal (perorangan) maupun bersifat kelompok dalam rapat koordinasi yangdilaksanakan secara rutin; (4) pendekatan yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah yangbersifat pendekatan administrasi, pada saat ini kelengkapan administrasi administrasi guruyang diperiksa oleh Kepala Sekolah antara lain : a) KBK ta-hun 2004/pemetaan kurikulum,(b) Kalender pendidikan, (c) Program se-mester, (d) Rencana pembelajaran, (e) Silabus,lembar pengamatan, (f) Alat peraga, dan (g) Bank Soal; (5) walaupun menyampaikanteguran atau pemberitahuan Kepala Sekolah melakukan pendekatan yang bersifatkekeluargaan, ramah dan obyektif, sehingga mudah diingat dan dilaksanakan, juga gurumerasa didukung, diberi pengalaman dan guru akan melaksanakan tugas tanpa paksaan,dan (6) apabila Kepala Sekolah mengadakan pendekatan secara kelompok, maka materiyang disampaikan adalah evaluasi kegiatan, tanya jawab tentang pelaksanaan KBM,memberi saran dan kritik yang membangun, catatan hasil penataran/pelatihan, hasil rapatdengan Pengawas/Dinas, hasil rapat dengan KKKS, pengalaman pribadi selama mengajar,pemberian penguatan pada guru, dan memberi kesempatan/kepercayaan pada guru untukmengembangkan kemampuan guru tersebut, tanpa harus selalu didekte.

5. Respon dan sikap guru terhadap pelaksanaan supervisi pengajaranRespon dan sikap guru terhadap supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh KepalaSekolah pada dasarnya positif dan mendukung program-program supervisi pengajaranKepala Sekolah, karena menurut para guru supervisi pengajaran dapat memberikankontribusi bagi peningkatan kompetensi guru dan kualitas belajar mengajar: (1) gurumenyambut baik dan positif pelaksaanan supervisi pengajaran yang dilaksanakan olehKepala Sekolah, karena menurut mereka memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitasproses belajar mengajar; (2) Kepala Sekolah diharapakan oleh para guru mempunyaijadwal khusus untuk melaksanakan supervisi pengajaran secara teratur dan tertib; (3) paraguru mendukung pelaksanaan supervisi pengajaran oleh Kepala Sekolah, karena programini dapat meningkatkan kompetensi guru; (4) apabila Kepala Sekolah melaksanakansupervisi pengajaran, maka guru terpacu untuk disiplin, terampil, teratur melaksanakantugas-tugasnya, terbiasa memanfaatkan waktu dengan baik, dan secara bertahap lebih baikdari waktu sebelumnya; (5) pengembangan bahan ajar dengan kreatifitas, administrasiyang teratur, waktu yang efisien merupakan unsur-unsur yang dapat memberikankontribusi dalam rangka rangka meningkatkan profesionalisme guru; (6) respon guruterhadap pelaksanaan supervisi pengajaran ditunjukkan dengan kinerja para guru dalammelaksanakan tugas-tugas di sekolah, seperti : setiap guru membuat persiapan, analisis danadministrasi lain yang diperlukan dalam pembelajaran, masing-masing melaksanakan tugasdengan penuh tanggung jawab, dan tidak ada yang membolos/jarang ada yang ijin; (7) guruselalu melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh Kepala Sekolah walaupun diberikantugas tambahan di luar kegiatan belajar mengajar (KBM); (8) supervisi pengajaran yangdilaksanakan oleh Kepala Sekolah terhadap para guru, dapat meningkatkan meningkatkanmotivasi (semangat) dalam mengajar serta dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, dan

Page 334: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

327

(9) dengan pelaksanaan supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah akandapat mengevaluasi kekurangan guru dalam mengajar, sehingga guru dapat meningkatkankegiatan belajar mengajarnya serta dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik.

6. Kendala-kendala Pelaksanaan Supervisi PengajaranKendala-kendala yang mempengaruhi Kepala Sekolah dalam melaksanakan supervisipengajaran terhadap para guru antara lain adalah keterbatasan waktu, sarana dan prasarana,dana, terbatasnya peran masyarakat, kesejahteraan guru, kurangnya pelatihan, tingkatkemampuan siswa yang heterogen : (1) kendala pelaksanaan supervisi pengajaran olehKepala Sekolah terhadap para guru di sekolah dikarenakan adanya kunjungan kelas yangtelah dijadwalkan sering bersamaan dengan acara kedinasan lainnya yang lebih penting;(2) para guru mengemukakan bahwa kendala-kendala dalam rangka peningkatan kualitasbelajar mengajar adalah terbatasnya sarana dan parasana serta media pengajaran yangmodern (canggih) yang terdapat di sekolah; dan (3) rendahnya frekuensi para guru yangmengikuti pendidikan dan pelatihan serta tingkat kesejahteraan guru yang masih rendahmenjadi kendala bagi Kepala Sekolah dalam melaksanakan supervisi pengajaran terhadappara guru.

7. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Kepala Sekolah dalam Melaksanakan SupervisiPengajaran di Sekolah DasarUpaya Kepala Sekolah dalam meningkatkan profesionalisme guru melalui supervisipengajaran antara dilakukan dengan cara menciptakan hubungan yang baik antara gurudengan kepala sekolah, melakukan pembinaan kepada para guru secara periodik sertamengevaluasi kegiatan belajar mengajar dan melakukan perbaikan, mengadakan rapatdengan dewan guru, mengikutkan guru ke penataran, KKG, lomba guru berprestasi, sertameningkatkan kinerja guru: (1) Kepala Sekolah menyusun jadwal program supervisipengajaran kepada para guru secara periodik serta mengevaluasi kelemahan-kelemahandalam proses belajar mengajar untuk kemudian dilakukan perbaikan; (2) Kepala Sekolahmengikutkan guru dalam lomba guru berprestasi, mengirim guru untuk mengikutilokakarya, seminar dan KKG; (3) Kepala Sekolah menciptakan suasana lingkungan kerjayang kondusif bagi terselenggaranya proses belajar mengajar di sekolah dengan caramenjaga kekompakan guru, saling menghormati, menerapkan kedisiplinan kerja, danmenjalin hubungan antara sekolah dengan orang tua siswa/masyarakat sekitar sekolahdalam rangka untuk meningkatkan profesionalisme guru di sekolah; dan (4) sesuai dengankebutuhan sekolah, Kepala Sekolah mengadakan pelatihan di sekolah dengan mengundangorang yang ahli untuk memberikan pelatihan kepada para guru dalam rangka peningkatankompetensi guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar.

PEMBAHASANProgram supervisi pengajaran disusun pada awal tahun pelajaran sebelum kegiatan

belajar mengajar dimulai, dengan memasukkan program tersebut dalam Program Kerja atauRAPBS sebagai acuan Kepala Sekolah untuk melaksanakan kegiatan supervisi pengajaranterhadap para guru di sekolah. Pada hakikatnya program supervisi yang disusun oleh kepalasekolah adalah untuk membantu guru untuk memperbaiki situasi kegiatan belajar mengajar.Seperti dikemukakan oleh Wiles (1987) bahwa supervision is assistence in the developmentof a better teaching-learning situation. Hal yang sama dikemukakan oleh Hoy & Forsyth(1986) supervisions the set activities designed to improve the teaching-learning process.Sedangkan yang menyusun program kegiatan supervisi adalah kepala sekolah. Sebagaimanaditegaskan oleh Lovell Wiles (1983) bahwa pada umumnya kepala sekolah dipandang sebagaisupervisor pengajaran di sekolahnya, karena ialah yang bertanggungjawab untukmengkoordinasi-kan semua program pengajaran. Sutisna (1983) bahkan menegaskan bahwa

Page 335: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

328

tugas pertama seorang administrator sekolah dalam bidang operasional program pendidikanialah untuk membuat rencana bagi seluruh tahun pelajaran.

Prosedur supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah adalahmenyusun program supervisi pengajaran, menerima masukan dari guru pada saatmelaksanakan kunjungan kelas, kemudian ditindak lanjuti dengan mengadakan pertemuanbaik individual maupun kelompok dalam rapat dewan guru.

Pada hakikatnya, prosedur supervisi pengajaran mengikuti langkah-langkah se-bagaiberikut: (1) penjelasan pelaksanaan tugas, (2) temu awal: kepala sekolah me-nyampaikan hal-hal yang akan disupervisi kepada guru, (3) observasi administrasi, (4) observasi PBM: (a)program (tahunan, catur wulan, bulanan); (b) persiapan mengajar dan pelaksanaannya, (c)hasil belajar/prestasi siswa klasikal/individual, dan (d) program pengayaan dan perbaikan(remedial).(Depdikbud, 1995).

Secara ringkas prosedur supervisi pengajaran ini dapat dijelaskan dengan tahap-tahapsebagai berikut: (1) pra-observasi (pertemuan awal), (2) observasi (pengamatanpembelajaran), dan (3) pasca-observasi (pertemuan balikan).

Dari berbagai tahapan prosedur supervisi di atas, tahapan yang paling terasabermanfaat adalah pertemuan balikan. Dalam pertemuan balikan data yang telah dianalisisditunjukkan kepada guru. Umpan balik diberikan sedemikian, sehingga guru dapat memahamitemuan, mengubah perilaku yang teridentifikasi dan mempratekkan panduan yang diberikan.Penerimaan dan internalisiasi merupakan capaian terbaik. Hal ini terjadi apabila hubunganguru dengan supervisor dapat digolongkan ke dalam sifat kooperatif dan kolegialitas yangtidak mengancam. Hubungan yang bersahabat merupakan hubungan yang banyakmanfaatnya, karena keduanya akan banyak memperoleh manfaat dengan bekerja bersama.Hubungan mereka harus menunjukkan: (1) kepercayaan timbal balik terhadap kemampuannyamasing-masing, (2) kepercayaan/ ketergantungan satu sama lain sebagai bentukpertolongan/bantuan konstruktif, dan (3) pendirian untuk saling bekerjasama menuju tujuanbersama. Dari umpan balik supervisor dan dukungan pada guru, maka dapat ditentukanbersama: (1) perilaku positif pembelajaran yang harus dipelihara, (2) strategi-strategialternatif untuk mencapai perubahan yang diinginkan, dan (3) kelayakan/kepantasan darimenggunakan kembali metode yang pernah dilakukan. Asumsinya adalah apabila perilakuguru berubah, maka permasalahan spesifik dalam bidang yang menjadi perhatian akan dapatdiselesaikan.

Teknik-teknik supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah antara lainmeliputi: pemeriksaan administrasi guru, kunjungan kelas, rapat dewan guru secara rutin,menyediakan bacaan profesional, mengirim guru dalam pendidikan dan pelatihan, penataran,seminar, KKG, wawancara pribadi serta menganjurkan untuk studi lanjut bagi yang belummenempuh pendidikan S1. Menurut Moreira (2006) salah satu tantangan di bidangpendidikan dasar antara lain sedikitnya 30% guru yang ada belum mendapatkan pendidikanyang memadai. Oleh karena itu, program studi lanjut bagi para guru merupakan instrumenyang efektif.

Ada beberapa teknik supervisi yang dipandang bermanfaat untuk mendorong danmengarahkan perhatian guru-guru terhadap kurikulum dan pengajaran, untuk mengidentifikasimasalah-masalah yang berkaitan dengan mengajar dan belajar, dan untuk menganalisiskondisi-kondisi yang mengelilingi mengajar dan belajar.(Sutisna, 1983). Teknik-tekniksupervisi yang dipandang bermanfaat bagi supervisor antara lain: (1) kunjungan kelas, (2)pembicaraan individual, (3) diskusi kelompok, (4) demonstrasi mengajar, (5) kunjungan kelasantar guru, (6) pengembangan kurikulum, (7) buletin supervisi, (8) perpustakaan profesional,(9) lokakarya, dan (10) survey sekolah-masyarakat.(Sutisna, 2003).

Beberapa metode dan teknik supervisi yang dapat digunakan dalam rangka pembinaankepada guru SD oleh pengawas atau kepala sekolah adalah: (1) kunjungan kelas, (2)pertemuan pribadi, (3) rapat rutin, (4) kunjungan antar sekolah, (5) kunjungan sekolah, (6)

Page 336: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

329

pertemuan secara berkala di KKG, (7) kunjungan antar KKG, (8) pelatihan dan penataran, (9)memanfaatkan media massa, dan (10) karya wisata.(Depdikbud, 1993/1994).

Pola pendekatan supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah bersifatlangsung maupun tidak langsung, personal/individual maupun kelompok, pemeriksaanadministrasi guru dan pertemuan kasus serta penggunaan media secara lisan dan tertulis sertadengan pendekatan secara kekeluargaan.

Sejak tahun 1980-an, supervisi pengajaran mulai diarahkan pada pendekatan baru,setelah diperkenalkannya supervisi pengembangan oleh Glickman (1980). Pende-katansupervisi tersebut menyadari adanya kenyataan, bahwa peneliti yang berbeda telahmenemukan keefektifan tiap-tiap pendekatan tersebur. Berdasarkan temuan-temuan tersebut,maka disarankan agar para supervisor menggunakan pendekatan yang bervariasi sesuaidengan kebutuhan guru tertentu. Menurut Mantja (1990) perbedaan kebutuhan itu,diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan individual. Hal ini sesuai juga yang dikemukakan olehGlatthorn (1997) yang menggambarkan supervisi yang dapat memperlihatkan perbedaan(differentiated supervisión) sebagai sebuah pendekatan pada supervisi yang melengkapi gurudengan opsi tentang jenis-jenis kepengawasan (advisory) dan layanan evaluasi yang merekaterima.

Penelitian yang dilakukan oleh Ginkel (1983) terhadap sejumlah guru sekolah dasar,menempatkan pendekatan kolaboratif pada peringkat pertama, di samping kedua pendekatansupervisi yang lainnya. Para guru yang menyatakan, bahwa pendekatan supervisi kolaboratifadalah pendekatan yang paling disukai.

Sementara itu, para pakar supervisi pengajaran telah menunjukkan, bahwa sistempembinaan guru, terutama dalam perbaikan dan peningkatan unjuk kerja mengajar gurudidasarkan atas temuan-temuan penelitian. Oleh karena itu, model pembinaan guru yangmerupakan pola pembinaan dan pengembangan ketenagaan harus tercermin dalampelaksanaan supervisi di sekolah.(Lovel & Wiles, 1983).

Respon dan sikap guru terhadap supervisi pengajaran yang dilaksanakan oleh KepalaSekolah pada dasarnya positif dan mendukung program-program supervisi pengajaran KepalaSekolah, karena menurut para guru supervisi pengajaran dapat memberikan kontribusi bagipeningkatan kompetensi guru dan kualitas belajar mengajar. Temuan Eko (2003) tentangsikap guru terhadap supervisi dikemukakan bahwa guru tidak terlalu positif terhadap supervisiyang dilakukan supervisor. Sedang-kan menurut Mantja (1990) dari hasil penelitiannyaditemukan bahwa respon dan sikap guru terhadap supervisi ditentukan oleh kemanfaatansupervisi yang diperolehnya. Sementara itu, temuan para pakar supervisi tentang respon dansikap guru terhadap perilaku supervisi para supervisor, yang dinilai positif oleh para guru(Neagley & Evans, 1980).

Telah dikemukakan di atas, bahwa respon guru terhadap supervisi ditentukan olehberbagai faktor, termasuk faktor lingkungan budaya etnik dimana ia hidup. Faktor-faktortersebut ikut mewarnai persepsinya, termasuk persepsinya terhadap kepemimpinan yangditerimanya.(Bartky, 1956).

Temuan penelitian menunjukkan bahwa kendala-kendala yang mempengaruhi KepalaSekolah dalam melaksanakan supervisi pengajaran terhadap para guru antara lain adalahketerbatasan waktu, sarana dan prasarana, dana, terbatasnya peran masyarakat, kesejahteraanguru, kurangnya pelatihan, tingkat kemampuan siswa yang heterogen, dan wali murid yangkurang pro aktif terhadap kegiatan sekolah.

Secara umum kendala-kendala pelaksanaan supervisi pengajaran dikarenakan sistempembinaan yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan: (1)pembinaan masih terlaluditekankan pada aspek administrasi dan mengabaikan aspek profesional, (2) tatap muka antarapembina dan masing-masing guru praktis sangat sedikit, (3) pembina sendiri banyak yangsudah lama tidak mengajar dan memerlukan bekal tambahan agar dapat mengikutiperkembangan baru dalam berbagai mata pelajaran, (4) pada umumnya masih menggunakan

Page 337: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

330

jalur tunggal dan searah yakni dari atas, dan (5) potensi guru sebagai pembina guru lainkurang dimanfaatkan.

Masih banyaknya temuan kendala-kendala dalam pelaksanaan supervisi pengajaran disekolah oleh supervisor, sehingga Ekosusilo (2003) memberikan saran bahwa pembinaanprofesional guru masih perlu ditingkatkan lebih lanjut.

Berdasarkan pembahasan di atas bahwa kendala-kendala yang mempengaruhi KepalaSekolah dalam melaksanakan supervisi pengajaran terhadap para guru antara lain adalahpengaturan jadwal (waktu) supervisi, keterbatasan instrumen untuk melaksanakan supervisi,kompetensi guru yang disupervisi, tingkat kemampuan siswa yang heterogen, dan kurangnyadukungan dari warga sekolah dan stake holder.

Upaya Kepala Sekolah dalam melaksanakan supervisi pengajaran antara dilakukandengan cara menciptakan hubungan yang baik antara guru dengan kepala sekolah, melakukanpembinaan kepada para guru secara periodik serta mengevaluasi kegiatan belajar mengajardan melakukan perbaikan, mengadakan rapat dengan dewan guru, mengikutkan guru kepenataran, KKG, lomba guru berprestasi, serta meningkatkan kinerja guru.

Merupakan tugas kepala sekolah untuk menyusun, mengarahkan sertabertanggungjawab untuk mengkoordinasikan pelaksanaan supervisi pengajaran. Hal iniseperti dikemukakan oleh Lovell & Wiles (1983) bahwa pada umumnya kepala sekolahdipandang sebagai supervisor pengajaran di sekolahnya, karena ialah yang bertanggung jawabuntuk mengkoordinasikan semua program pengajaran. Acheson & Gall (1987) mengatakanuntuk keefektifan tugas supervisi di sekolah-sekolah diserahkan kepada Kepala Sekolah.Tanggung jawab utama kepala sekolah sebagai supervisor adalah mensupervisi guru-gurudengan tujuan untuk meningkatkan pengajaran dan pelayanan kepada siswa.

SIMPULAN DAN SARANSimpulan

Temuan penelitian antara lain: (1) yang menyusun rencana progam supervisipengajaran adalah kepala sekolah, karena ia yang bertanggungjawab untukmengkoordinasikan semua program pengajaran selama satu tahun pelajaran sesuai denganprogram yang telah disusunnya untuk membantu guru untuk memperbaiki situasi kegiatanbelajar mengajar yang lebih baik; (2) prosedur supervisi pengajaran yang dilaksanakan olehkepala sekolah sebagai supervisor dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut: (a) persiapan(menyusun program supervisi pengajaran), (b) pelaksanaan (kunjungan kelas danpengamatan), dan (c) tindak lanjut atau umpan balik (individual maupun kelompok); (3)teknik-teknik supervisi yang sering dilaksanakan oleh kepala sekolah di sekolah dasar adalah:(a) kunjungan kelas; (b) pemeriksaan administrasi guru; (c) pengamatan (observasi), (d) rapatdewan guru secara periodik; (e) menyediakan bacaan profesional; (f) meningkatkankompetensi guru melalui seminar, penataran, pendidikan dan pelatihan, dan memberikandukungan guru untuk studi lanjut; (g) wawancara pribadi, dan (h) mengirim guru untukmengikuti organisasi profesi (KKG); (4) pola pendekatan supervisi pengajaran yangdilaksanakan oleh Kepala Sekolah diarahkan pada pendekatan baru yaitu supervisipengembangan dengan pendekatan supervisi kolaboratif yang dapat memperlihatkanperbedaan (differentiated supervisión) sebagai sebuah pendekatan pada supervisi yangmelengkapi guru dengan opsi tentang jenis-jenis kepengawasan (advisory) dan layananevaluasi yang mereka terima; (5) sikap dan respon guru terhadap supervisi pengajaran yangdilaksanakan respon dan sikap guru terhadap supervisi pengajaran yang dilaksanakan olehKepala Sekolah pada dasarnya positif dan mendukung program-program supervisi pengajaranKepala Sekolah, karena menurut para guru supervisi pengajaran dapat memberikan kontribusibagi peningkatan kompetensi guru dan peningkatan kualitas belajar mengajar di kelas, disamping itu dengan supervisi pengajaran akan diketahui kekurangan-kekurangan yang adapada guru serta ada tindakan perbaikan lebih lanjut; (6) Kendala-kendala yang dihadapi

Page 338: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

331

Kepala Sekolah dalam melaksanakan supervisi pengajaran di sekolah dasar adalah kendala-kendala yang mempengaruhi Kepala Sekolah dalam melaksanakan supervisi pengajaranterhadap para guru antara lain adalah pengaturan jadwal (waktu) supervisi, keterbatasaninstrumen untuk melaksanakan supervisi, kompetensi guru yang disupervisi, tingkatkemampuan siswa yang heterogen, dan kurangnya dukungan dari warga sekolah dan stakeholder, dan (7) upaya Kepala Sekolah dalam melaksanakan supervisi pengajaran didasarkanpada pertimbangan karena pada umumnya kepala sekolah dipandang sebagai supervisorpengajaran di sekolahnya yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan semua programpengajaran dengan melakukan pembinaan kepada para guru secara periodik sertamengevaluasi kegiatan belajar mengajar dan melakukan perbaikan.

Saran

Berdasarkan temuan temuan penelitian di atas, dikemukakan saran-saran sebagaiberikut: (1) Bagi Kepala Sekolah, disarankan dalam program supervisi pengajarandipersiapkan pula instrumen-instrumen yang nantinya akan digunakan untuk untukmelaksanakan evaluasi monitoring kegiatan belajar mengajar; (2) Bagi Dinas PendidikanKota Malang, khususnya Bidang Pendidikan Dasar, perlu ada pelatihan bagi Kepala Sekolahmengenai teknik-teknik supervisi pengajaran yang dapat diterapkan terhadap para guru disekolah dasar, sehingga diharapkan dengan adanya pelatihan tersebut dapat membantu KepalaSekolah agar dalam menerapkan teknik-teknik supervisi pengajaran lebih bervariasi, efisiendan efektif serta dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar, (3)Perlu disusun pedoman supervisi pengajaran bagi para Kepala Sekolah agar ada keseragamandalam menerapkan pola-pola pendekatan supervisi pengajaran bagi para guru di sekolahdasar, dan (4) Supervisi yang dilaksanakan oleh kepala sekolah sebaiknya tidak terfokuspada administrasi guru (kelengkapan administrasi pengajaran guru) saja, melainkan jugaproses belajar mengajar yang dilaksanakan oleh guru.

DAFTAR RUJUKAN

Bogdan, R. & Biklen, S.K. 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction toTheory and Methods. London: Allyn and Bacon, Inc.

Danim, S. 2003. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Delors, J. 1999. Belajar: Harta Karun di Dalamnya, Laporan kepada UNESCO dari Komisi

Internasional tentang Pendidikan untuk Abad XXI. Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan.

Depdikbud. 1976. Kurikulum Sekolah Dasar 1975, Garis-Garis Besar Program Pengajaran,Buku III D Pedoman Administrasi dan Supervisi. Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan.

Depdikbud. 1993/1994. Pedoman Kerja Pelaksanaan Supervisi. Jakarta: Proyek PeningkatanMutu SD, TK dan SLB, Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal PendidikanDasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. 1994/1995. Petunjuk Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar. Jakarta:Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdiknas. 2010. Supervisi Akademik: Materi Pelatihan Penguatan Kemampuan PengawasSekolah. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal PeningkatanMutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional.

Delors, J. 1999. Belajar: Harta Karun di Dalamnya: Laporan kepada Unesco dari KomisiInternasional tentang Pendidikan Anak untuk Abad XXI. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan.

Page 339: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif

332

Ekosusilo, M. 2003. Hasil Penelitian Kualitatif, Supervisi Pengajaran Dalam Latar BudayaJawa, Studi Kasus Pembinaan Guru SD di Kraton Surakarta. Sukoharjo: PenerbitUvitet Bantara Press.

Ginkel, K.C. 1983. An Overview of a Study which Examined the Relationship betweenElementary School Teachers: Preference for Supervisory Confering Approach andConceptual Level of Development, Paper Presented at the Annual Meeting of theAmerican Educational Research Association, Montreal.

Glatthorn, A. A. 1997. Differentiated Supervision (2nd ed). Alexandria, V.A.: Association forSupervision and Curriculum Development.

Glickman, C.D. 1981. Development Supervision. Alexandria: Association for Supervision andCurriculum Development.

Hoy, W.K. & Forsyth, P.B. 1986. Effective Supervision: Theory into Practice. New York:Randum House, Inc.

Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah.Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa.

Lovell, J. T. & Willes, K. 1983. Supervision for School Better. 5th ed. Englewood Cliffs, NY:Prentice-Hall, Inc.

Mantja, W. 1990. Supervisi Pengajaran: Kasus Pembinaan Profesional Guru Sekolah Dasarnegeri Kelompok Budaya Etnik Madura di Kraton. Disertasi tidak diterbitkan.Malang: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang.

Mantja, W. 1998. Manajemen Pembinaan Profesional Guru Berwawasan PengembanganSumber Daya Manusia: Suatu Kajian Konseptual-Historik dan Empirik. PidatoPengukuhan Guru Besar IKIP Malang. Malang: Institut Keguruan dan IlmuPendidikan Malang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Moreira, B. 2006. Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar yang Terdesentralisasi. USAIDIndonesia, From The American People, (Online), (www.usaid.gov/id, diakses 11Januari 2006).

Neagley, R.L. & Evans, N.D. 1980. Handbook for Effective Supervision of Instruction. ThirdEdition. Englewood Cliffs, New York: Prentice-Hall, Inc.

Sidi, I. D. 2001. Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan.Jakarta: Paramadina dan Logos Wacana Ilmu.

Strauss, A. & Corbin, J. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Terjemahan oleh Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Sulo, S.L.L. 1984. Pendekatan dan Teknik-Teknik Supervisi Klinis. Jakarta: ProyekPengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Direktorat JenderalPendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sutisna, O. 1983. Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis untuk Pratek Profesional.Bandung: Angkasa.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Wiles, K. 1980/1981. Supervision for Better Schools. Fifth edition. Englewood Cliffs, New

Jersey: Prentice-Hall, Inc. Diterjemahkan oleh J.F. Tahalele. Malang: Sub ProyekPenulisan Buku Pelajaran, Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tingi IKIPMalang.

Wiles, K. & Bondi, J. 1986. Supervision: A Guide to Practice. Columbus, Ohio: Charles E.Merrill Publishing Company.

Williams, D.D. 1986. Naturalistic Evaluation. San Fransisco: Joosey-Bass Inc.

Page 340: The 4th ICETA International Conference on Education · Pola Busana Teknik Konstruksi Antara Media Powerpoint Dan Flip Char Atiqoh (UNIPA Surabaya) 72 Model Pembelajaran Kooperatif