12
51 (Gendro Keling) Kearifan Budaya Masyarakat Kampung Tradisional Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur KEARIFAN BUDAYA MASYARAKAT KAMPUNG TRADISIONAL WAE REBO, MANGGARAI, NUSA TENGGARA TIMUR THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE REBO VILLAGE, MANGGARAI, EAST NUSA TENGGARA Gendro Keling Balai Arkeologi Denpasar Jl. Raya Sesetan No. 80 Denpasar Email: [email protected] Hp. 08563738002 Naskah diterima 5 Januari 2016, diterima setelah perbaikan 5 Februari 2016, disetujui untuk dicetak 26 Februari 2016 ABSTRAK Kampung adat Wae Rebo adalah sebuah kampung tua yang masih mempertahankan tradisi megalitik hingga saat ini. Masyarakat Wae Rebo selalu menjaga keharmonisan kehidupan dengan alam sekitarnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan kearifan lokal Masyarakat Wae Rebo terkait dengan alam sekitarnya dan upacara-upacara adat yang masih rutin dilaksanakan hingga sekarang. Metode penelitian yang digunakan adalah Observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Hasil penelitian diperoleh bahwa masyarakat Wae Rebo masih menjaga tradisi leluhur mereka hingga sekarang dan berbagai filosofi yang ada sangat kental dengan nilai-nilai luhur. Hal ini tercermin dalam segala aktifitas mereka di kehidupan sehari-hari, termasuk juga dalam hal upacara adat. Seluruh kegiatan upacara adat dilaksanakan di satu titik yang disebut compang. Compang inilah yang menjadi titik pusat semua kegiatan dan dipercayai sebagai tempat leluhur mereka, selain tentu saja tempat tinggi yang lain seperti bukit dan gunung. Masyarakat Wae Rebo memiliki tujuh buah rumah adat yang masing-masing rumah ini merupakan simbolisasi seorang ibu. Mereka juga membuat makanan-makanan tradisional yang bahan-bahannya banyak tersedia di alam. Kata Kunci: kampung adat, tradisi, upacara adat, Wae Rebo ABSTRACT Wae Rebo is an traditional village still maintain megalithic tradition until now. Wae Rebo community always maintains the harmony of life with its nature. This article reveals the local wisdom of Wae Rebo community in which the natural and traditional ceremonies are still being preserved hitherto. The research method in this study use is observation, interview and literature studies. The results show that the Wae Rebo community strongly maintain their ancestral traditions and philosophies. This reflected their activities in daily libves, including in the case of traditional ceremonies. All activities ceremonies held at one point called ragged. Compang that is the central point of all activities and believed to be a place of their ancestors, besides of course the high ground such as hills and mountains. Wae Rebo community has seven custom homes in which each house has a symbol of a mother. They also produce traditional foods whose ingredients are widely available in nature. Keywords: Traditional village, tradition, traditional ceremony, Wae Rebo A. PENDAHULUAN Orang Manggarai, khususnya masyarakat Wae Rebo masih mempercayai bahwa leluhur mereka berasal dari daerah Minangkabau. Awalnya mereka hidup berpindah-pindah di beberapa wilayah di Manggarai dengan alasan mencari daerah yang paling cocok digunakan sebagai wilayah tempat tinggal. Beberapa kriteria daerah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal antara lain,

THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

51

(Gendro Keling) Kearifan Budaya Masyarakat Kampung Tradisional Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur

KEARIFAN BUDAYA MASYARAKAT KAMPUNG TRADISIONAL WAE REBO, MANGGARAI, NUSA TENGGARA TIMUR

THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE REBO VILLAGE, MANGGARAI, EAST NUSA TENGGARA

Gendro KelingBalai Arkeologi Denpasar

Jl. Raya Sesetan No. 80 DenpasarEmail: [email protected]

Hp. 08563738002

Naskah diterima 5 Januari 2016, diterima setelah perbaikan 5 Februari 2016, disetujui untuk dicetak 26 Februari 2016

ABSTRAKKampung adat Wae Rebo adalah sebuah kampung tua yang masih mempertahankan tradisi megalitik hingga saat ini. Masyarakat Wae Rebo selalu menjaga keharmonisan kehidupan dengan alam sekitarnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan kearifan lokal Masyarakat Wae Rebo terkait dengan alam sekitarnya dan upacara-upacara adat yang masih rutin dilaksanakan hingga sekarang. Metode penelitian yang digunakan adalah Observasi, wawancara dan studi kepustakaan. Hasil penelitian diperoleh bahwa masyarakat Wae Rebo masih menjaga tradisi leluhur mereka hingga sekarang dan berbagai filosofi yang ada sangat kental dengan nilai-nilai luhur. Hal ini tercermin dalam segala aktifitas mereka di kehidupan sehari-hari, termasuk juga dalam hal upacara adat. Seluruh kegiatan upacara adat dilaksanakan di satu titik yang disebut compang. Compang inilah yang menjadi titik pusat semua kegiatan dan dipercayai sebagai tempat leluhur mereka, selain tentu saja tempat tinggi yang lain seperti bukit dan gunung. Masyarakat Wae Rebo memiliki tujuh buah rumah adat yang masing-masing rumah ini merupakan simbolisasi seorang ibu. Mereka juga membuat makanan-makanan tradisional yang bahan-bahannya banyak tersedia di alam.

Kata Kunci: kampung adat, tradisi, upacara adat, Wae Rebo

ABSTRACTWae Rebo is an traditional village still maintain megalithic tradition until now. Wae Rebo community always maintains the harmony of life with its nature. This article reveals the local wisdom of Wae Rebo community in which the natural and traditional ceremonies are still being preserved hitherto. The research method in this study use is observation, interview and literature studies. The results show that the Wae Rebo community strongly maintain their ancestral traditions and philosophies. This reflected their activities in daily libves, including in the case of traditional ceremonies. All activities ceremonies held at one point called ragged. Compang that is the central point of all activities and believed to be a place of their ancestors, besides of course the high ground such as hills and mountains. Wae Rebo community has seven custom homes in which each house has a symbol of a mother. They also produce traditional foods whose ingredients are widely available in nature.

Keywords: Traditional village, tradition, traditional ceremony, Wae Rebo

A. PENDAHULUANOrang Manggarai, khususnya masyarakat Wae Rebo masih mempercayai bahwa leluhur

mereka berasal dari daerah Minangkabau. Awalnya mereka hidup berpindah-pindah di beberapa wilayah di Manggarai dengan alasan mencari daerah yang paling cocok digunakan sebagai wilayah tempat tinggal. Beberapa kriteria daerah yang cocok untuk dijadikan tempat tinggal antara lain,

Page 2: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

52

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (51 - 62)

tempat itu dekat dengan mata air, tanahnya subur, sanitasinya bagus, dan terlindung secara alami dari serangan musuh. Asal mula penamaan Wae Rebo smenurut cerita, bahwa leluhur mereka bernama Maro dari Minangkabau suatu saat pergi mencari wilayah untuk tempat tinggal bersama keluarganya. Di suatu tempat bernama Golo Pando (terletak di sebelah barat bagian atas dari kampung Wae Rebo sekarang), Kakek Maro tertidur dan dalam mimpinya dia ditemui oleh roh penunggu mata air Rebo. Dalam mimpi itu, roh penunggu mata air berkata kepada kakek Maro “Maro, kamu jangan tinggal di sini, tengoklah ke bawah, buatlah tempat tinggal di situ, kamu dan keturunanmu akan tinggal dan beranak pinak di situ, beri nama wilayah itu sesuai dengan nama mata air disini, yaitu Wae Rebo”. Kampung Wae Rebo sendiri saat ini menjadi salah satu primadona destinasi pariwisata baru berbasis kebudayaan lokal dan treking alam. Masyarakat Wae Rebo secara keseluruhan berjumlah 112 kepala keluarga, tetapi tidak semua tinggal di Kampung Wae Rebo. Yang tinggal dan menetap di Kampung Wae Rebo berjumlah 33 kepala keluarga, sisanya tinggal di kampung bawah di Kampung Denge dan Kombo, serta sebagian kecil ada yang merantau di beberapa wilayah di luar Manggarai. Tidak ada aturan atau ketentuan yang pasti siapa yang tinggal di atas (Wae Rebo) atau di di bawah (Denge, Kombo). Tetapi perwakilan masing-masing keturunan harus ada yang tinggal di atas (Wae Rebo). Ketika ada upacara, semisal kematian, semua keturunan harus naik ke kampung atas. Masyarakat Wae Rebo memeluk agama katolik, tetapi mereka masih menganut kepercayaan terhadap keberadaan roh nenek moyang. Mereka percaya bahwa roh nenek moyang selalu mengelilingi mereka dan selalu melindungi kampung. Oleh sebab itu semua upacara adat yang dilakukan permohonan yang diucapkan selalu berkaitan dengan roh dan arwah nenek moyang.

Wae Rebo telah dikenal di dunia karena keaslian arsitektur rumah adatnya dan keindahan alamnya. Hal ini telah dibuktikan dengan adanya penghargaan Award of Excelence, yaitu penghargaan untuk konservasi warisan budaya dalam ajang Asia Pasifik Award for Cultural Heritage Conservation pada 27 Agustus 2012. Rumah adat ini telah mengalahkan 42 kandidat dari 11 negara di Asia Pasifik. Keberhasilan ini merupakan suatu kejutan, mengingat Wae Rebo belum banyak dikenal. Selain itu juga penghargaan Aga Khan Award for Architecture, preservation of Mbaru Niang. (www.unescobkk.org), yang membuat lebih menarik adalah bukan sekedar bentuk dari rumah adatnya saja, namun masyarakat setempat masih mempertahankan keutuhan tradisinya. Tradisi dan makna dibalik rumah adat yang masih dipertahankan hingga saat ini oleh masyarakat Wae Rebo sangat perlu diapresiasi dan dihargai. Hal ini bisa diwujudkan dengan dilakukannya penelitian secara ilmiah untuk merekam dan memahami lebih jauh adat dan tradisi masyarakat serta arsitekturnya. Sehingga dapat dilestarikan melalui publikasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran ilmiahnya.

Berkaitan dengan hal itu maka permasalahan yang disusun dalam tulisan ini adalah apa dan bagaimana kearifan lokal masyarakat Wae Rebo yang masih dipertahakankan secara turun temurun. Tujuan khusus penulisan hasil penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan apa dan bagaimana kearifan lokal yang masih dianut oleh masyarakat Wae Rebo dalam menjaga keharmonisan kehidupan dengan alam. Tujuan umumnya adalah agar nantinya dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan acuan dalam penyusunan kebudayaan dan tradisi masyarakat Wae Rebo secara mendalam.

Kampung megalitik biasanya berada di atas bukit disebabkan adanya kepercayaan bahwa arwah leluhur orang yang telah meninggal berada atau bersemayam di atas gunung atau tempat yang tinggi. Selain alasan di atas, kampung megalitik yang berada di atas bukit juga berkaitan dengan faktor keamanan. Pada masyarakat yang memiliki suku-suku atau kelompok, banyak terjadi peperangan antar suku atau kelompok tersebut dalam hal perebutan lahan pertanian atau masalah

Page 3: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

53

(Gendro Keling) Kearifan Budaya Masyarakat Kampung Tradisional Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur

lainnya, sehingga untuk menghindari serangan musuh, dibangun perkampungan di atas bukit yang sulit dijangkau (Soejono, 1984: 305), contohnya kampung Megalitik di Alor, Ende, Flores, serta Sumba. Tradisi adalah suatu aktivitas sekelompok manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani atau kebutuhan profan maupun sakral yang berlangsung secara turun-temurun yang masih berlangsung sampai saat ini (Sukendar dan Kusumawati, 2003: 2).

Kebudayaan adalah suatu yang unik di mana setiap suku memiliki kekhasan dan cara tersendiri dalam mengintepretasikan ide dan gagasannya dalam berinteraksi dengan alam serta lingkungannya, secara turun-temurun diwariskankan kepada anak cucunya. Menurut Poloma dalam Jayanti, bagi seseorang, makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang lain bertindak terhadapnya dengan sesuatu itu. Tindakan-tindakan yang mereka lakukan akan melahirkan batasan sesuatu dari orang lain (Paloma dalam Jayanti 2013, 160). Hal ini akan mengakibatkan munculnya kebudayaan yang bersifat given atau pemberian. kebudayaan terbagi dalam tiga wujud sistem gagasan, nilai dan norma. Sedangkan kedua wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ativitas serta tindakan berpola dari dalam masyarakat. Wujud kebudayaan yang paling nyata adalah kebudayaan dipandang dari hasil karya manusia yang berupa artefak dan benda-benda buatan manusia (Koentjaraningrat dalam Jayanti 2013, 160). Sehubungan dengan wujud kebudayaan seperti yang di sebutkan di atas, maka dapat diaktualisasikan lewat berbagai tradisi menjadi tercipta secara berkelanjutan dilaksanakan dan dipercaya oleh subkomunitas yang mendukungnya. Tradisi yang tercipta tentu terjadi karena berbagai motif dan pengetahuan masyarakat secara tradisional diteruskan oleh generasinya. Salah satu unsur kebudayaan yang ada pada masyarakat adalah keyakinan atau religi. Setiap masyarakat memiliki cara tertentu dan berbeda satu sama lain dalam menjalankan dan menghayati keyakinannya. Demikian pula dengan masyarakat Wae Rebo yang masih memiliki kepercayaan warisan dari nenek moyang yang masih dipegang teguh hingga saat ini. Kepercayaan itu berupa ritual yang dijalankan pada hari-hari tertentu dan dapat pula kepercayaan itu dibalut dengan mitologi yang dikembangkan oleh masyarakatnya.

Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal akan mengusung jiwa mereka semakin berbudi luhur. Haryati Soebadio dalam Ayatrohaedi berpendapat bahwa kearifan lokal adalah suatu identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut (Rahyono 2009, 7). Definisi kearifan lokal tersebut menyiratkan beberapa konsep, yaitu:a. Kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan sebagai petunjuk perilaku

seseorang; b. Kearifan lokal tidak lepas dari lingkungan pemiliknya;c. Kearifan lokal itu bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan

zamannya.

Page 4: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

54

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (51 - 62)

Pengertian kearifan lokal dalam kamus terdiri dari dua kata: kearifan dan lokal. Secara umum maka dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan local merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai local tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal dibidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.

B. PEMBAHASANa. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Wae Rebo terletak di Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Terletak pada koordinat S 8º 46’ 09.9’’ dan E 120º 17’ 02,3’’ dengan ketinggian 1120 mdpl. Kondisi alam di kampung Wae Rebo sangat sejuk cenderung dingin karena terletak di tengah cekungan bukit yang dikelilingi oleh bentang alam berupa perbukitan. Perjalanan ke Wae Rebo dapat ditempuh melalui jalur darat, dari bandar udara Komodo menuju kampung terdekat (Denge) perjalanan ditempuh selama 5-6 jam, atau melalui Ruteng dan diteruskan ke kampung terdekat yaitu Denge. Dari kampung terdekat ini perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki, melalui jalan setapak dan menanjak selama 3-4 jam menuju ke kampung Wae Rebo. Selama perjalanan kita akan melewati 3 buah sungai yaitu Wae Tijo, Wae Lomba dan Wae Regang. Kampung ini terletak di antara pegunungan yang masih terdapat hutan. Hutan ini merupakan hutan larangan, masyarakat tidak ada yang mengambil kayu dari hutan ini, sehingga kelestariannya sangat terjaga. Gunung yang mengelilingi kampung ini antara lain; di sebelah utara terdapat gunung Golo Rebah, sebelah timur laut terdapat Golo Mehe, sebelah timur terdapat Golo Sunsa, Golo Densa Tengdang, Golo Pontomio, sebelah selatan Golo Wetok Ruang (madu tanah), sebelah barat Golo Tonggor Kina (merupakan gunung tertinggi) dan Golo Ponto, serta Golo Halu. Selain itu juga dikelilingi sungai (ngalor) besar yaitu disebelah barat Wae Rebo, Wae Lasi, Wae Aveng yang terbesar dan di sebelah selatan Wae Regang. Wae Rebo dikelilingi beberapa mata air, diantaranya Wae Ndara, Wae Aveng, Wae Rukas,Wae Moak, Wae Dali, Wae Woang. Mata air ini dipergunakan untuk mengairi kebun dan ladang. Mata air Wae Woang terletak kurang lebih 200 meter dari kampung Wae Rebo dan sering digunakan dalam upacara Barong Wai yaitu upacara persembahan di mata air dengan sarana persembahan berupa sirih pinang dan hewan kurban berupa ayam. Upacara ini biasanya dilakukan pada waktu tahun baru lokal.

Page 5: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

55

(Gendro Keling) Kearifan Budaya Masyarakat Kampung Tradisional Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur

Gambar 1. Peta situasi kampung adat Wae Rebo, Kabupaten Manggarai, NTT.Sumber: Dok. pribadi

Niang (rumah) inti di kampung Wae Rebo berjumlah 7 buah, dan salah satunya merupakan rumah adat atau dalam bahasa lokal disebut Mbaru Niang atau rumah kerucut, karena bentuknya kerucut, runcing di bagian atas dengan atap ijuk yang menjuntai hingga ke tanah atau juga Mbaru Gendang karena di rumah ini disimpan gendang pusaka milik kampung yang digunakan dalam setiap kegiatan upacara adat. Sedangkan 6 sisanya disebut Niang Gena atau rumah gena atau rumah biasa. Penghuni Mbaru Niang berjumlah 8 kepala keluarga, perwakilan dari masing-masing keturunan. Sedangkan 5 niang gena dihuni 6-7 kepala keluarga. Dan satu niang gena yang saat ini digunakan sebagai tempat menginap bagi tamu wisatawan yang datang berkunjung di Kampung Wae Rebo. Masyarakat Wae Rebo percaya bahwa kampung mereka dijaga oleh 7 buah bentangan alam yang juga disucikan. Bentang alam itu antara lain:a. Ulu Wae Rebo: mata air Wae Rebob. Golo Ponto: Gunung Pontoc. Golo Mehe: Gunung Mehed. Hembel: hutan (nama hutan)e. Golo Polo: Gunung Cadas yang mengeluarkan air.f. Ponto Nao: hutan (nama hutan)g. Ulu Regang: mata air Regang.

Bahan yang digunakan untuk membuat rumah tradisional di Wae Rebo antara lain, kayu, Bambu, dan rotan. Sedangkan atap terbuat dari ijuk dan ilalang yang ditumpuk. Lapisan ijuk dipasang di lapisan atas (luar), sedangkan ilalang di bagian bawah (dalam). Pemilihan dua bahan dengan cara ditumpuk ini bukan tanpa alasan, selain ringan dan kuat, untuk ilalang memiliki sifat tidak mudah terbakar atau tahan api, tetapi jika terkena air mudah lapuk. Sedangkan ijuk sifatnya mudah terbakar ketika terkena percikan bunga api, tetapi tahan terhadap air dan tidak mudah lapuk, oleh sebab itu pemasangan atap bahan ilalang ditaruh di bawah atau bagian dalam sedangkan bagian atasnya dipasang ijuk. Mbaru Niang bagi masyarakat Wae Rebo merupakan simbol perlindungan dan persatuan warga. Sebagai contoh, ada ketentuan dimana di Mbaru Niang

Page 6: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

56

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (51 - 62)

dihuni 8 kepala keluarga perwakilan dari jumlah total keturunan inti dari leluhur. Mbaru Niang juga merupakan pusat kegiatan sosial masyarakat Wae Rebo, terutama jika menyangkut persoalan adat.

Rumah adat bagi masyarakat Wae Rebo merupakan simbolisasi seorang ibu atau melambangkan seorang ibu yang selalu mengayomi dan melindungi, dalam hal ini rumah adat melindungi dan mengayomi penghuni rumah. Beberapa bagian dari rumah adat mengandung filosofi layaknya seorang ibu antara lain:a. Persambungan pada konstruksi rumah melambangkan perkawinan suami dan istri yang

membentuk sebuah keluarga.b. Rumah adat Wae Rebo memiliki 9 tiang utama melambangkan jumlah bulan ketika seorang ibu

mengandung.c. Susunan 3 tiang secara berderet 3 kali (9 tiang) melambangkan 3 fase yang penting dalam

perkembangan janin di dalam perut seorang ibu.d. Di atas tungku perapian terdapat loteng dan terdapat ruangan berbentuk segi empat dengan

hiasan bulatan di setiap ujungnya yang menyerupai kepala, melambangkan sebuah persalinan secara normal harus didahului kepala. Ruangan ini digunakan untuk menyimpan makanan siap saji melambangkan bahwa seorang bayi sepatutnya selalu mendapat kehangatan dan dekat dengan sumber makanan yang baik.

Gambar 2. Kampung adat Wa Rebo dengan tujuh buah rumah adat.

Sumber: Dokumen Pribadi

Bagian-bagian utama dari konstruksi rumah adat kampung Wae Rebo antara lain:a. Ngando: merupakan bagian rumah adat yang terletak di puncak. Untuk mbaru gendang

biasanya dihiasi dengan tanduk kerbau.b. Kili kiang: merupakan ikatan pertemuan dari bagian buku.\c. Wahe hekang kode: lingkaran bulat pada tingkatan rumah paling atas.d. Wahe lempar rae: lingkarang bulat pada tingkatan ke-4.e. Wahe lentar: lingkaran bulat pada tingkatan ke-3.f. Wahe mehe: lingkaran bulat pada tingkatan ke-2.g. Wahe lelea: lingkaran bulat pada lantai rumah.h. Wahe sengge: lilitan tali yang melengkung di atas teras rumah, ditopang oleh hiri sengge.i. Dorot: balok penyangga yang melintang secara horizontal di atas leba.j. Dorot leha: dorot yang terletak di tengah-tengah.k. Leba: tiga balok kayu yang ditempatkan di atas hiri (tiang).

Page 7: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

57

(Gendro Keling) Kearifan Budaya Masyarakat Kampung Tradisional Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur

l. Hiri leles: tiang yang ditancapkan miring sebagai penopang wahe leles.m. Hiri bongkok: Merupakan tiang utama yang menjadi pusat sebuah rumah, terletak ditengah-

tengah rumah.

b. Compang Wae ReboCompang atau batu temu gelang adalah susunan batu berbentuk lingkaran atau elips yang

di tengah-tengahnya diurug dengan tanah, ada pula yang diurug dengan batu-batu dan digunakan sebagai sarana pemujaan kepada leluhur. Di beberapa tempat compang juga berfungsi sebagai penguburan ketua adat. Compang Kampung Wae Rebo berbentuk berbentuk elips, berukuran diameter 7,4 m dan tinggi 1,2 m. Compang di Kampung Wae Rebo memiliki fungsi yang sama dengan compang pada umumnya di Manggarai yaitu sebagai pusat sarana upacara, sebelum upacara dilakukan di dalam rumah adat. Compang kampung Wae Rebo tidak digunakan sebagai kuburan, tidak terdapat jenazah yang dikubur di atas compang. Terdapat menhir berupa balok kayu yang ditancapkan di tengah-tengah compang. Ketinggian menhir kurang lebih 25cm. Menhir ini merupakan titik pusat dari keseluruhan wilayah kampung Wae Rebo. Selain itu menhir ini melambangkan teno, yaitu titik pusat persawahan sistem lodok (spiderweb ricefield). Di atas compang terdapat langkar yaitu altar dari bambu dengan tinggi tiang sekitar 1 meter dan di ujung atas tiang terdapat anyaman berbentuk segi empat digunakan untuk menaruh persembahan sesaji. Langkar ini digunakan pada waktu upacara kasawiyang Mei dan kasawiyang Oktober. Upacara rutin yang diadakan di compang ini ada 3 dalam satu tahun, yaitu:a. Penti (tahun baru): Masyarakat Wae Rebo memiliki pertanggalan lokal yang tahun barunya

jatuh pada pertengahan antara bulan Oktober - November. Biasanya diadakan tarian caci.b. Kasawiyang bulan Mei (perubahan arah tiupan angin pada bulan mei): Pada bulan mei bertiup

angin dari barat ke timur, menurut masyarakat Wae Rebo bahwa arus angin ini membawa wabah penyakit. Masyarakat Wae Rebo percaya, bahwa arus angin ini adalah merupakan perlintasan dari sang pencipta, sehingga dilakukan upacara permohonan agar terhindar dari bencana. Permohonan ditujukan kepada 7 pelindung kampung dan sang pencipta. Sesaji yang dipersembahkan berupa siring pinang, ayam, dan telur.

c. Kasawiyang bulan Oktober (perubahan arah tiupan angin pada bulan oktober): kebalikan dari kasawiyang bulan mei, angin bertiup dari arah timur ke barat. Permohonan juga ditujukan kepada 7 pelindung kampung dan sang pencipta, sesaji yang dipersembahkan berupa siring pinang, ayam, dan telur.

Selain ketiga upacara reguler diatas, ada juga beberapa upacara yang sewaktu-waktu diadakan di compang, yaitu peresmian bangunan baru dan kedatangan pejabat atau tokoh penting dengan persembahn atau sesaji berupa sebutir telur. Jenis upacara adat yang dilakukan di compang ada dibedakan menjadi dua jenis, upacara besar dan upacara kecil atau upacara biasa. Yang membedakan besar kecilnya jenis upacara ini terletak pada jumlah yang hadir. Untuk upacara besar seperti penti, dihadiri semua keturunan masyarakat Wae Rebo, baik yang di kampung atas maupun yang di bawah di Denge dan Kombo. Kadang-kadang keturunan yang merantau juga pulang untuk mengikuti upacara ini. Sehingga peserta upacara mencapai ribuan. Sedangkan upacara kecil, sebagai contoh kasawiyang, umumnya hanya dihadiri perwakilan dari keturunan garis laki-laki.

c. Upacara adat dan Kepercayaan Masyarakat Wae ReboMasyarakat Wae Rebo menganut sistem kekerabatan patrilinial, di mana keluarga dari

pihak laki-laki mempunyai peranan lebih besar. Dalam satu keluarga umumnya memiliki banyak keturunan, dari 6-15 keturunan. Ada satu upacara yang harus dilakukan ketika satu keluarga

Page 8: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

58

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (51 - 62)

mempunyai keturunan ke-7, namanya upacara mora, dengan persembahan hewan kurban berupa kerbau 1 ekor. Dalam hal pernikahan, masyarakat Wae Rebo sangat menjaga adat, mereka melihat silsilah dan garis keturunan calon mempelai. Ada aturan yang masih disepakati oleh masyarakat sampai sekarang, generasi ke-7 dari adik boleh meminang anak gadis dari keturunan kakak, dengan catatan sudah melakukan upacara mora. Tetapi hal ini sangat dilarang jika belum melakukan upacara mora. Ada tiga tahapan sebelum melakukan proses pernikahan:a. Tukar kila (ikat cincin): dari pihak keluarga laki-laki datang menemui keluarga pihak gadis

dan menyampaikan maksud pinangan ke keluarga gadis. Dalam hal ini pihak keluarga laki-laki membawa barang hantaran sebagai bukti kesungguhan niat meminang. Hantaran ini berupa kain sarung tenun. Sedangkan pihak keluarga gadis menyediakan cincin. Tidak ada ketentuan jenis cincin yang di sediakan, dapat berupa emas, atau perak atau bahkan alumunium.

b. Kempu: pertemuan kedua ini diadakan antara kedua belah pihak untuk membahas kesepakan belis atau mas kawin. Dari pihak keluarga laki-laki datang membawa sejumlah uang untuk membayar separuh dari jumlah belis yang yang disepakati.

Gambar 3. Salah satu upacara merayakan tahun baru masyarakat Wae Rebo.

Sumber: repro

c. Sikat kina wagal kaba/sikat agu wagal: yaitu proses pernikahan atau upacara inti dari keseluruhan tahapan yang dilalui. Pada tahap ini, kedua mempelai mengenakan pakaian adat. Untuk mempelai laki-laki mengenakan sapu (ikat kepala) berupa kain batik dengan motif tertentu. Memakai baju bakok (baju berwarna putih), dan mengenakan selendang yang di kalungkan di leher. Serta memakai sarung tenun khas Wae Rebo (surak todo). Sedangkan untuk mempelai wanita mengenakan bali belo yaitu mahkota dari bahan perak atau alumunium, mengenakan kain brokat, mengenakan sorak todo, dan mengenakan anting telinga dari bahan perak atau alumunium. Upacara dilakukan pagi menjelang siang, keluarga laki-laki duduk di dekat kamar mempelai wanita, mempelai laki-laki duduk di samping sang ayah, keluarga mempelai gadis duduk di depannya. Ketika semua sudah siap, mempelai wanita keluar dari kamar dengan diantar beberapa ibu-ibu dari kerabat terdekat, kemudian duduk di samping mempelai laki-laki. Mempelai wanita juga membawa 7 buah barang bawaan berupa kain tenun (lipa wida) yang akan dibawa ke keluarga laki-laki. Lipa wida ini merupakan simbol penyerahan mempelai wanita ke pihak keluarga mempelai laki-laki. Ke-7 barang ini diserahkan ke pihak mempelai laki-laki, kemudian ditaruh di samping tempat duduk ayah dari mempelai laki-laki. Setelah upacara penyerahan mempelai wanita, dilakukan upacara penyembelihan hewan kurban berupa satu ekor babi di depan pintu rumah adat. Upacara pemotongan hewan kurban ini merupakan

Page 9: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

59

(Gendro Keling) Kearifan Budaya Masyarakat Kampung Tradisional Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur

puncak dari upacara prosesi perkawinan adat di Wae Rebo dimana artinya pernikahan ini sudah diakui dan sah secara adat. Masyarakat Wae Rebo percaya bahwa upacara ini merupakan upacara yang sangat sakral dimana akan mendatangkan bencana jika tidak dilakukan, sebagai contoh pada kasus kawin lari. Setelah dilakukan penyembelihan hewan kurban, mempelai wanita diikuti beberapa pengiring dari kerabatnya pulang ke rumah mempelai laki-laki dengan membawa beberapa potong daging kurban, 3 lembar kain tenun dan beras. Daging kurban ini nantinya akan di doakan lagi di rumah mempelai laki-laki dengan harapan agar keluarga baru ini nanti akan hidup berkecukupan dan selalu harmonis. Ketiga barang bawaan ini merupakan simbolisasi bekal hidup untuk kedua mempelai. Tiga lembar kain yang dibawa mempelai wanita memiliki simbolisasi masing-masing:- Letang wae (jembatan): Simbolisasi jembatan yang menggambarkan bahwa mempelai

wanita merupakan ratu yang senantiasa harus dilindungi, demikian juga ketika melintasi sungai, ratu tidak boleh basah, oleh karena itu dibuatkan jembatan untuk menyeberang yang disimbolkan dengan letang wae ini.

- Pesing beo: Merupakan simbolisasi pengenalan lingkungan baru dari mempelai wanita, dan sebagai bukti kepada warga kampung bahwa mempelai wanita ini masuk ke keluarga pihak laki-laki secara resmi dan sudah diakui secara adat.

- Lipa peher: Simbolisasi penyerahan mempelai wanita ke keluarga mempelai laki-laki sebagai keluarga barunya.

Malam harinya dilakukan upacara wegi ruha, yaitu prosesi injak telur oleh mempelai wanita. Telur merupakan cikal bakal dari embrio yang nantinya akan berkembang menjadi makhluk baru, hal ini merupakan simbolisasi bahwa masyarakat Wae Rebo harus melanjutkan garis keturunannya. Prosesi yang dilakukan yaitu mempelai wanita di dampingi mempelai laki-laki sebelum masuk ke rumah, terlebih dahulu harus menginjak telur, perlu di ketahui bahwa menginjak disini bahwa mempelai wanita harus benar-benar menginjak telur, bukan menempelkan telapak kaki di atas telur dan kemudian menekan telur sampai pecah. Kaki yang digunakan adalah kaki kanan, kemudian mempelai laki-laki juga menginjak telur yang sudah pecah tadi. Filosofi lain mengenai prosesi wegi ruha injak telur ini adalah bahwa di dalam telur ini terdapat cairan putih dan kuning telur yang sejuk, harapannya adalah agar dalam membina rumah tangga nantinya selalu sejuk dan harmonis. Setelah telur diinjak, maka kedua cairan putih dan kuning telur akan pecah dan tercampur menjadi satu, hal ini mengandung gambaran bersatunya dua keluarga. Tetapi perlu diingat bahwa prosesi wegi ruha dilakukan dengan catatan sang mempelai wanita tidak sedang dalam keadaan hamil. Jika mempelai wanita sudah hamil, prosesi wegi ruha dapat dilakukan tetapi ketika proses menginjak, sang mempelai wanita hanya menempelkan telapak kaki di atas telur saja tanpa memecahkan, dan yang memecahkan adalah mempelai laki-laki. Setelah kedua mempelai masuk ke rumah dilakukan upacara dara wai. Dara wai merupakan prosesi penerimaan mempelai wanita oleh keluarga laki-laki. Dalam prosesi ini dilakukan penyembelihan kurban berupa ayam, darahnya kemudian dioleskan ke kaki kedua mempelai. Setelah prosesi dara wai selesai maka prosesi keseluruhan dari rangkaian upacara pernikahan sudah lengkap.

Masyarakat Wae Rebo tidak mengenal upacara atau ritual pada waktu kehamilan. Namun terdapat ritual yang biasa dilakukan saat kelahiran. Ketika seorang ibu melahirkan, satu orang bapak yang dituakan mengambil sebatang bambu kecil dan tipis (elung) dan dipukul-pukulkan di dinding luar kamar tempat persalinan. Bambu ini dipukulkan tiga kali sambil berkata: a. Ata one kowata peang (laki-laki atau perempuan?)b. Ata peang kowata one (perempuan atau laki-laki?)c. Ata one kowata peang (laki-laki atau perempuan?)

Page 10: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

60

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (51 - 62)

Kemudian dari dalam kamar, seorang ibu yang membantu persalinan harus menjawab dengan satu jawaban yaitu: ata one jika yang lahir laki-laki dan ata peang jika yang lahir perempuan. Setelah mendapat jawaban dari dalam, kemudian batang bambu yang digunakan untuk memukul dinding tadi dimasukkan ke dalam rumah melalui sela-sela lubang di rumah, bambu tersebut kemudian dipotong dan ditajamkan dan digunakan untuk memotong tali pusar bayi. Dikolong di bawah kamar tempat persalinan diletakkan ranting-ranting pohon untuk menampung pembuangan air ketuban. Hari ke-7 setelah proses persalinan, diadakan upacara nori rengka dengan menggunakan sarana persembahan berupa sebutir telur. Seorang yang dituakan membawa telur tersebut dan didoakan di dekat ranting tempat menampung air ketuban. Masyarakat Wae Rebo percaya bahwa air ketuban ini merupakan ase kae atau saudara kembar yang melindungi sang bayi. Doa-doa dipanjatkan dengan maksud mengangkat ase kae masuk ke dalam rumah bersama dengan bayi. Setelah didoakan, ranting-ranting tadi kemudian dibawa keluar dan dikubur bersama-sama dengan ari-ari dan telur yang sudah didoakan. Ada ketentuan yang harus ditaati bahwa tempat untuk menguburkan ari-ari bayi harus lurus dengan pintu kamar tempat persalinan. Ari-ari ini dibungkus dengan daun pisang, abu dapur dan air panas dengan maksud agar tidak diganggu semut. Selama 7 hari, tanah tempat mengubur ari-ari ini harus selalu disiram dengan air panas untuk mencegah gangguan dari hewan-hewan liar di hutan.

Setelah ari-ari dikuburkan, kemudian dilakukan upacara alik ngahang yaitu upacara pemberian nama untuk bayi. Upacara alik ngahang dilakukan di depan pintu kamar bayi dengan cara memotong ayam berwarna putih, kemudian darah yang menempel di parang atau pisau dioleskan di dahi, tangan dan kaki si bayi, sebagai simbol bayi sudah diberi nama secara adat atau nama lokal. Masyarakat Wae Rebo menerapkan dua nama yaitu ngahang tu’u atau nama lokal dan nama baptis yang diberikan oleh agama. Masyarakat Wae Rebo menganuk agama katolik sehingga pemberian nama agama disesuaikan dengan aturan agama katolik. Nama lokal umumnya di sematkan di belakang nama agama.

Kematian juga mendapat perhatian khusus oleh masyarakat Wae Rebo, mereka percaya bahwa orang yang meninggal sebernarnya tidak benar-benar meninggalkan mereka yang masih hidup, sebaliknya mereka selalu mengelilingi mereka dan melindungi mereka. Sehingga masyarakat Wae Rebo memperlakukan si mati dengan sangat hati-hati. Prosesi upacara yang diselenggarakan dalam kematian yaitu:- Mano haeng nai: ketika informasi adanya kematian datang, kemudian langsung dilakukan

pemotongan ayam. Hal ini dimaksudkan sebagai simbol pemberian makan terakhir bagi jenazah di alam dunia.

- Ela tekang kana: dalam bahasa lokal berarti babi menggali tanah, maksudnya adalah upacara permohonan agar dalam proses penggalian liang kubur bagi jenazah tidak menemui hambatan semisal adanya batu besar yang menghalangi dalam proses menggali tanah. Sesaji yang dipersembahkan berupa kurban seekor babi.

- Rangko telu/haung ta’a: Upacara ini dilaksanakan pada hari ke-3 setelah kematian, upacara ini dilakukan dengan permohonan keselamatan jiwa, serta bagi keluarga yang ditinggalkan sudah dapat melakukan kegiatan-kegiatan riang seperti menengok kebun dan ladang, tetapi belum boleh mengerjakannya. Selama 3 hari masa berkabung, pihak keluarga yang meninggal dilarang melakukan kegiatan apa-apa, termasuk menjaga kebun. Tetapi setelah mengadakan upacara rangko telu atau haung ta’a ini mereka sudah boleh melakukan pekerjaan ringan.

- Kelas/pakadia: merupakan upacara yang dilakukan pada hari ke-40 setelah kematian, dilakukan untuk memohon keselamatan kepada leluhur dan setelah upacara ini dilaksanakan, keluarga yang ditinggalkan sudah boleh mengerjakan kegiatannya sehari-hari.

Page 11: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

61

(Gendro Keling) Kearifan Budaya Masyarakat Kampung Tradisional Wae Rebo, Manggarai, Nusa Tenggara Timur

Masyarakat Wae Rebo masih mempercayai tanda-tanda alam dalam kehidupan kesehariannya. Beberapa tanda alam yang dikenal oleh masyarakat Wae Rebo antara lain:a. Jika terdengar suara dari po (burung hantu) selama 3 kali berturut-turut pada waktu sore hari,

maka akan ada duka atau kabar kematian dari keluarga yang mendengar.b. Jika muncul burung cekang dai pohon jaker, burung ini berwarna hitam ukurannya sedikit

lebih besar daripada burung pipit. Biasanya muncul pada pertengahan bulan November, maka hal itu merupakan tanda dimulainya musim tanam di Wae Rebo.

c. Untuk mengetahui pertanda waktu, masyarakat Wae Rebo berpedoman pada bunyi burung kokak. Burung ini berbunyi 3 kali yang masing-masing bunyi menandakan waktu yang berbeda-beda, bunyi pertama menandakan jam 15.00, bunyi kedua menandakan jam 16.00, dan bunyi yang terakhir menandakan jam 17.00. Biasanya bunyi yang terakhir inilah yang dijadikan patokan oleh masyarakat Wae Rebo untuk pulang dari kebun mereka. Ukuran burung kokak sebesar kutilang dan berwarna abu-abu.

d. Ketika sedang berladang, masyarakat Wae Rebo mempunyai tanda khusus saat ada kawanan kode (monyet) yang mendekat ke ladang mereka, tanda itu berupa bunyi burung sisiak. Ukuran burung ini sebesar kutilang, dan berwarna hitam.

e. Ada satu cerita yang masih dipercayai oleh masyarakat Wae Rebo, pernah ada satu kejadian sekitar tahun 1960-an. Waktu itu masyarakat Wae Rebo berencana untuk turun dan meninggalkan kampung atas. Banyak dari masyarakat yg sudah turun, tinggal beberapa yang masih tinggal di atas yang juga akan turun ke desa di bawah, tetapi tiba-tiba ada kawanan gagak hitam yang hinggap di compang dan berkeliaran di pelataran sekitar compang. Menurut masyarakat, gagak adalah hewan liar yang biasanya sangat menghindari kehadiran manusia di dekatnya. Begitu melihat adanya manusia, gagak akan terbang menjauh. Tetapi kali ini kawanan gagak yang berjumlah ratusan ini sangat jinak, bahkan tidak terbang menjauh ketika disentuh. Tetua adat kemudian meminta petunjuk pada roh leluhur, dan yakin bahwa kedatangan kawanan gagak jinak ini merupakan peringatan bahwa masyarakat Wae Rebo tidak boleh meninggalkan kampung atas.

Masyarakat Wae Rebo memiliki karakter terbuka dan sangat ramah terhadap orang asing. Tetapi perlu diingat bahwa walaupun begitu mereka sangat patuh terhadap adat yang berlaku, sebagai contoh misalnya, setiap tamu yang berkunjung ke desa sebelum memasuki atau tinggal di kampung Wae Rebo terlebih dahulu harus mengikuti upacara ritual wae lu’u. Upacara wae lu’u dilakukan di rumah adat dan dipimpin oleh tetua adat disertai dengan persembahan berupa sirih pinang dan tuak. Tetapi dalam perkembangannya digunakan uang. Persembahan ini merupakan simbol sebagai pembatas alam antara yang hidup dan roh yang sudah meninggal. Jadi tamu atau wisatawan yang datang merupakan tamu bagi yang hidup dan yang meninggal diharapkan tidak menggangu. Kemudian tetua adat menyampaikan persembahan sirih pinang dan tuak tersebut disertai dengan doa yang diucapkan dalam bahasa lokal yang intinya adalah pemberitahuan kepada leluhur siapa tamu yang datang, dari mana asalnya, apa tujuannya, dan bagi yang sudah meninggal jangan mengganggu dan memberi keselamatan dari awal kedatangan tamu hingga tamu tersebut pergi.

Masyarakat Wae Rebo mengenal hewan musang sebagai hewan yang disakralkan dan tidak boleh dimakan. Hal ini berkaitan dengan mitos yang mereka percayai turun-temurun bahwa musang adalah hewan yang berjasa menyelamatkan leluhur mereka dari serangan musuh. Hingga membawa mereka ke wilayah Wae Rebo yang mereka diami hingga sekarang. Dalam hal kuliner, beberapa makanan yang masih dikenal oleh masyarakat Wae Rebo adalah:

Page 12: THE CULTURAL WISDOM OF TRADITIONAL COMMUNITY IN WAE …

62

Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 23, Nomor 1, Maret 2016 (51 - 62)

- Wale: Makanan ini terbuat dari jagung yang dicampur dengan beras dan air, ditambah sedikit garam, kemudian dimasukkan ke dalam batang bambu betong muda. Kemudian bambu ini dibakar, makanan ini biasanya dibawa ke kebun sebagai bekal. Selain terbuat dari jagung dan beras, ada juga yang terbuat dari daging babi yang dicacah, dicampur garam, kunyit, dan jahe, dan air. Cara memasaknya sama dengan wale yang terbuat dari campuran jagung dan beras.

- Sobol: terbuat dari ubi kayu kering yang dipotong tipis, kemudian ditumbuk, dicampur ubi yang mentah yang diparut, ditambah kelapa setengah tua yang diparut, kemudian dimasukkan ke dalam satu batang ruas bambu. Sebelumnya bagian dalam dari bambu tersebut diberi lubang kecil setelah itu dikukus didalam periuk tanah. Uap panas yang masuk dari lubang ruas bambu inilah yang mematangkan makanan.

Untuk minuman, masyarakat Wae Rebo tidak mempunyai jenis makanan khusus, mereka hanya mengenal minuman tuak raja, yaitu sejenis tuak yang disadap dari pohon kelapa ataupun pohon aren.

C. PENUTUPMasyarakat Wae Rebo memiliki kearifan lokal yang unik dalam berinteraksi dengan alam

sekitarnya. Mereka percaya bahwa alam tempat tinggal mereka telah memberikan semua yang mereka perlukan dalam menjalani aktitas kehidupan sehari-hari mereka. Bentang alam juga dipercayai sebagai pelindung bagi kampung mereka dari hal-hal jahat yang tidak diinginkan. Kearifan lokal masyarakat Wae Rebo terlihat dalam rumah adat yang mereka yakini sebagai simbolisasi seorang ibu, selain bahan-bahan pembuatan rumah merupakan material yang ramah lingkungan, bagian-bagian dari rumah adat juga melambangkan segala hal yang dimiliki oleh wanita atau ibu di mana seorang ibu selalu mengayomi anak-anaknya. Masyarakat Wae Rebo memiliki sebuah tempat yang menjadi pusat kegiatan ritual adat mereka yaitu compang. Setiap bulan mei dan oktober serta tahun baru penanggalan lokal, masyarakat Wae Rebo rutin mengadakan upacara untuk memohon keselamatan di compang ini. Sesaji yang dipersembahkan berupa siring pinang, ayam, dan telur. Selain ritual permohonan keselamatan, upacara lain seperti kelahiran, pernikahan dan kematian juga dilaksanakan di compang ini. Masyarakat Wae Rebo masih mempercayai tanda-tanda alam yang ada di sekitar mereka. Tanda-tanda alam itu dipercaya sebagai pembawa berita bagi seluruh penghuni kampung. Mereka juga memiliki beberapa kuliner lokal yang sampai sekarang masih digemari.

DAFTAR PUSTAKAAyatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta.Gobyah, I Ketut. 2003. Pengenalan Keraifan Lokal Indonesia. Rineka Cipta: Jakarta.Jayanti, I Gusti Ngurah dan I Made Sumerta. 2013. “Ritual dan Kepercayaan Masyarakat Pulau

Bungin Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat” dalam Jnana Budaya Vo.18 No.1. Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, NTB, NTT.

Kisia, dkk. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Bali. Pelita Bangsa: DenpasarKusumawati, Ayu dan Haris Sukendar, 2003. “Sumba, Religi dan Tradisinya” Balai Arkeologi

Denpasar.Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.Soejono, R.P. (ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.UNESCO. 2012. http://www.unescobkk.org/news/article/top-award-given-to-mbaru-niang-in-

indonesia-for-the-2012-unesco-asia-pacific-heritage-awards/ diakses pada tanggal 27 – 12-2015, 12.30 WITA