Upload
mas-abe-wicaksono
View
68
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Ringkasan Materi Skripsi
(Tinjauan umum tentang perjanjian)
1. Pengertian Perjanjian
Menurut kepustakaan Belanda berasal dari kata “Overeenkomst” yang artinya
setuju atau sepakat.
Menurut pasal 1313 KUH Perdata yaitu: “Suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih”.
Menurut Sudikno Mertokusumo, yakni “ Perjanjian adalah hubungan
hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukumnya”. Menurut beliau dua pihak atau lebih untuk
itu sepakat untuk menentukan dan kewajiban yang mengikat mereka untuk
ditaati dan dijalankan, dan apabila kesepakatan tersebut dilanggar maka ada
akibat hukumnya yaitu si pelanggar dapat dikenai sanksi.
2. Asas-asas Hukum Perjanjian
a. Asas Hukum Umum ialah hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang
hukum , seperti asas lex specialis derogat legi generalis yaitu peraturan hukum
yang khusus diutamakan dari peraturan hukum yang umum.
b. Asas Hukum Khusus, merupakan penjabaran dari asas hukum umum, seperti
dalam hukum perdata, dikenal adanya asas konsensualisme, asas pacta sunt
servanda, dan seterusnya
KUHPerdata memberikan asas-asas khusus yang menjadi patokan dan
pedoman bagi para pihak dalam melakukan perjanjian. Asas-asas yang penting dalam
hukum perjanjian yang berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian, isi, dan akibat
perjanjian. Asas-asas yang terkandung dalam hukum perjanjian tersebut adalah:
a. Asas konsesualisme
Asas konsesualisme menentukan lahirnya suatu perjanjian karena perjanjian lahir
sejak tercapainya suatu kesepakatan diantara para pihak. Asas konsesualisme
disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 sub 1 KUHPerdata, dalam pasal
tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu disamping kesepakatan yang
telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah
(dalam arti mengikat) apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian itu.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Pengertian asas kebebasan berkontrak terdapat Pasal 1338 ayat (1) KHUPerdata
yang menyatakan bahwa “ semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Penekanan pada kata
“semua perjanjian” inilah maka disimpulkan bahwa ada kebebasan kepada setiap
orang untuk membuat perjanjian.
c. Asas Mengikatnya Suatu Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda)
Asas ini berkenaan dengan akibat perjanjian. Asas Pacta Sunt Servanda dapat
diketahui dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Pada kalimat “ berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”, inilah nampak adanya asas mengikatnya suatu
perjanjian yang dibuat secara sah akan mengikatnya para dan berlaku sebagai
undang-undang.
d. Asas Itikad Baik
Asas Itikad baik ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian. Berdasarkan
dari asas kebebasan berkontrak, untuk menentukan akibat dari perjanjian
maka perjanjian yang dibuat harus dilakukan dengan iktikad baik.1
Itikad baik dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Asas iktikad baik dalam pengertian subjektif yaitu sikap baik sesorang pada
waktu perjanjian akan dibuat.
2) Asas itikad baik dalam pengertian objektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu
perjanjian harus berdasarkan norma kepatutan dalam masyarakat.
e. Asas Kepribadian
Disamping ke empat asas tersebut di atas yang merupakan asas pokok dalam
perjanjian terdapat satu asas lagi, yaitu asas kepribadian. Asas ini berkenaan
dengan berlakunya perjanjian yaitu menerangkan pihak-pihak mana yang
terikat dalam suatu perjanjian.2 Maksud asas ini adalah bahwa perjanjian
hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya.
3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 KUHPerdata telah menetapkan 4 (empat) syarat yang harus di penuhi
agar perjanjian yang dibuat itu sah. Syarat-syarat tersebut adalah:
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Suatu hal tertentu
Suatu sebab yang halal
1 Sri Sodewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perundan Perutangan Bagian B, Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1980, h. 352 Abdul Qirom Syamsudin Meilala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, PT Citra Aditya, Bandung, 1991, h. 19
Uraian dari keempat syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ini merupakan hal yang pokok
untuk terjadi perjanjian. Perjanjian lahir pada detik kesepakatan atau
persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa
yang menjadi objek perjanjian. Sepakat atau juga dinamakan perizinan,
dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian
yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki
oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-
balik: Sipenjual mengingini sejumlah uang, sedang si pembeli mengingini sesuatu
barang dari si penjual.3
b) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Perjanjian harus dibuat oleh yang cakap menurut hukum. Pada dasarnya setiap
orang cakap untuk membuat perjanjian. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 1329
KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “Seseorang adalah cakap untuk
membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.
Dari Pasal 1329 KUHPerdata mengatur mengenai orang-orang yang tidak cakap
menurut hukum, yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan yang telah kawin dalam halam hal-hal yang di
tentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh
undang-undang dilarang membuat persetujuan tertentu.
c) Suatu hal tertentu
3 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1987 (selanjutnya disingkat R. Subekti I), h. 17
Maksud dan syarat suatu hal tertentu adalah bahwa dalam suatu perjanjian apa
yang menjadi objek perjanjian itu harus jelas atau tertentu atau setidak-
setidaknya sudah ditentukan. Objek perjanjian dapat berupa memberikan sesuatu,
berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal
1234 KUHPerdata yaitu” tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”.
d) Sebab yang halal
Sebab yang halal, maksudnya adalah isi atau tujuan dari perjanjian yang
diadakan oleh para pihak. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa “ suatu
perjanjian tanpa sebab, atau telah dibuat karena suatu sebab sesuatu sebab
yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”. Berdasarkan ketentuan
diatas maka dapat diketahui bahwa apabila suatu perjanjian dibuat dengan
sebab tidak halal maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan sehingga
perjanjian tersebut adalah batal secara hukum.
4. Wanprestasi dan Akibatnya
Dalam bahasa Belanda “wanprestatie”, artinya tidak memenuhi kewajiban yang
telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian
maupun karena perundang-undangan.
a. Menurut Subekti
Wanprestasi adalah apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa
yang dijanjikannya.4
b. Menurut Yahya Harahap
Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada
waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Seorang debitur dikatakan
4 Ibid, h. 45
wanprestasi apabila dia dalam melakukan perjanjian telah lalai sehingga terlambat
dari jadwal waktu yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak
menurut sepatutnya atau selayaknya.5 Berdasarkan hal tersebut maka pengertian
wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitur tidak memenuhi kewajiban untuk
memenuhi prestasi sebagaimana yang diperjanjikan karena kesalahannya
(kelalaian, kurang berhati-hati) dan bukan karena keadaan memaksa.
Menurut Subekti bentuk-bentuk Wanprestasi dapat berupa 4 macam, yaitu:
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.6
5. Overmacht dan Akibatnya
Pengertian overmacht (keadaan memaksa) menurut R. Setiawan adalah suatu
keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur
untuk memenuhi prestasinya, di mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak
harus menanggung risiko serta tidak dapat menduga pada waktu perjanjian dibuat.
Kesemuanya itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat
timbulnya keadaan tersebut.7
Menurut undang-undang ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk keadaan
memaksa, yaitu :
Tidak memenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau
memusnahkan benda obyek perikatan
5 Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, h. 606 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta,1985 (selanjutnya disingkat R. Subekti II),h. 1287 Ibid, h. 27
Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur karena terjadi peristiwa yang
menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi
faktor penyebab itu tidak dapat di duga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Apabila terjadi overmacht dan memenuhi unsur a dan c, maka overmacht ini disebut
absolute overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat obyektif. Dasarnya adalah
ketidak mungkinan (impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya
lenyap/musnah. Jika terjadi overmacht yang memenuhi unsur b dan c, keadaaa ini
disebut relatieve overmacht atau keadaan memaksa yang bersifat subyektif.
Keadaan memaksa menimbulkan berbagai akibat, yaitu :
kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;
debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib
membayar ganti rugi;
risiko tidak beralih kepada debitur;
kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada perjanjian timbal balik.
Adapun bentuk-bentuk keadaan memaksa terdiri atas dua bagian, yaitu:
a. Bentuk yang umum, yaitu :
1. keadaan iklim;
2. kehilangan;
3. pencurian
b. Bentuk yang khusus, yaitu :
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Undang-undang atau peraturan pemerintah adakalanya menimbulkan keadaan
memaksa. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa prestasi tidak dapat dilakukan,
akan tetapi prestasi itu tidak boleh dilakukan, akibat adanya undang-undang
atau peraturan pemerintah tersebut.
Sumpah
Adanya sumpah terkadang menimbulkan keadaan memaksa, yaitu apabila
seseorang yang harus berprestasi itu diharuskan atau dipaksa bersumpah untuk
tidak melakukan prestasi.
Tingkah laku pihak ketiga
Pemogokan
Bentuk khusus dari keadaan memaksa ini adakalanya menimbulkan force
majeure dan adakalanya tidak.
Pembuktian keadaan memaksa, debitur dapat mengemukakan keadaan memaksa
sebagaimana tersebut diatas, dan harus terpenuhinya 3 (tiga) syarat, yaitu :
ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;
ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain;
ia tidak mau menanggung risiko baik menurut ketentuan undang-undang
maupun ketentuan perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung
risiko.
6. Berakhirnya Perjanjian
Pada umumnya perjanjian berakhir karena sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian. Pasal 1381
KUHPerdata menentukan hanya tentang berakhirnya perikatan, padahal berakhirnya
perikatan tidak sama dengan berkhirnya perjanjian.
Menurut R. Setiawan hal-hal yang menyebabkan berakhirnya perjanjian
berdasarkan pendapat ahli-ahli hukum adalah sebgai berikut8:
8 Ibid, h. 69
Jangka waktu perjanjian yang telah ditentukan oleh para pihak lewat atau dengan
kata lain berlakunya perjanjian hanya pada waktu tertentu.
Telah ditentukan oleh undang-undang mengenai batas waktu perjanjian itu
berlaku.
Telah terjadi peristiwa tertentu yang oleh para pihak atau undang-undang telah
ditentukan sebagai sebab yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian, misalnya
salah satu pihak meninggal dunia.
Apabila ada pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging) oleh kedua belah
pihak atau hanya salah satu pihak saja, dengan memperhatikan tenggang waktu.
Opzergging ini hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara, seperti
perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian kerja.
Perjanjian berakhir karena putusan hakim
Perjanjian berakhir karena keputusan pihak
Telah tercapai tujuan dari perjanjian.
(Tinjauan tentang perjanjian Jual beli)
7. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Jual beli meliputi perbuatan dua pihak secara timbal balik, yaitu pihak penjual dan
pihak pembeli. Jual beli diawali oleh perbuaan pihak penjual terlebih dahulu,
kemudian baru perbuatan dari pihak pembeli. Jual beli dalam bahasa belanda
disebut koop en veerkoopt, yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu
“vekerkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli).9
Dilihat dari segi pengelompokan perjanjian, perjanjain jual beli termasuk
perjanjian bernama. Perjanjian bernama merupakan perjanjian yang diberikan nama
dan pengaturan secara khusus dalam title V sampai dengan XIV Buku III B.W, dalam
9R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1992 (selanjutnya disingkat R. Subekti III), h. 2
KUHPerdata, serta dalam perundang-undangan yang lain. Jadi perjanjian bernama
adalah perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturan
secara khusus dalam undang-undang. Perjanjian jual beli dalam KUHPerdata diatur
dalam bab V buku III, pada pasal 1457 yang berbunyi: “jual beli adalah suatu
perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
8. Bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada suatu perjanjian jual beli terdapat dua unsur pokok yaitu barang dan harga.
Dilihat dari asas konsensualisme menurut hukum perjanjian dalam KUHPerdata dapat
diketahui bahwa perjanjian jual beli sudah terjadi atau lahir pada saat adanya kata
”sepakat” mengenai harga dan barang. Pasal 458 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa jual beli sudah terjadi diantara kedua belah pihak seketika setelah mencapai
kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang tersebut belum diserahkan
atau harganya belum dibayar. Pasal tersebut mempertegas tentang asas
konsensualisme dalam suatu perjanjian jual beli.
Bentuk perjanjian jual beli adalah bebas, artinya perjanjian jual beli dapat di
tuangkan dalan tulisan maupun dengan tertulis. Bentuk perjanjian jual beli bukan
merupakan syarat untuk adanya suatu perjanjian jual beli, namun merupakan sebuah
alat pembuktian saja. Hal ini merupakan akibat dari adanya asas konsensualisme.
Walaupun demikian, dalam prakteknya tidak sedikit perjanjian jual beli dituangkan
dalam bentuk tertulis maupun dalam bentuk perjanjian standar.
Perjanjian standar atau perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan
dan dituangkan dalam bentuk formulir. Perjanjian ini lahir karena didesak oleh
kebutuhan dan waktu, perjanjian standar biasanya dibuat secara massal/ banyak dan
ketentuan didalamnya, bentuknya telah dibakukan oleh salah satu pihak yang
ekonominya lebih kuat.
9. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
Subjek Perjanjian Jual Beli
Subjek dalam perjanjian jual beli sekurang-kurangnya dua pihak, yaitu pihak
penjual yang menyerahkan hak milik atas benda dan pihak pembeli yang
membayar harga benda. Penjual atau pembeli dapat juga berstatus mewakili
kepentingan diri sendiri, atau mewakili kepentingan pihak lain, atau juga
mewakili kepentingan suatu badan hukum.
Objek Perjanjian Jual Beli
Objek dalam perjanjian jual beli adalah barang dan benda. Adapun yang
dapat menjadi objek dalam perjanjian dalam perjanjian jual beli adalah harta
kekayaan yang tidak berwujud, atau berupa harta kekayaan yang berwujud,
baik benda atau harta kekakayaan tersebut bergerak atau tidak bergerak
10. Hak dan Kewajiban Pihak-pihak dalam Perjanjian Jual Beli
Hubungan antara hak dan kewajiban dalam perjanjian jual beli adalah keterikatan
penjual untuk menyerahkan benda dan memperoleh pembayaran, keterikatan
pembeli untuk membayar harga dan memperoleh benda.
Hak dan kewajiban penjual
Menurut pasal 1474 KUHPerdata, Penjual berkewajiban untuk menyerahkan
dan menanggungnya. Penjual berkewajiban untuk menyerahkan hak milik
atas barang yang menjadi objek perjanjian, yaitu barang yang di perjual
belikan. Penjual berhak menerima uang pembayaran atas barang yang
dijualnya.
Hak dan kewajiban pembeli
Pembeli berhak menuntut penyerahan barang yang telah dibeli dari penjual.
Menurut pasal 1509 KHUPerdata pembeli juga berhak meminta
pengembalian barangnya apabila barang tersebut mengandung cacat
tersembunyi.
Kewajiban pembeli:
Menurut pasal 1513 KUHPerdata kewajiban utama penjual adalah membayar
harga. Harga harus berupa uang walaupun hal tersebut tidak ditetapkan dalam
undang-undang. Jika pembayaran berupa jasa maka perjanjiannya berubah
menjadi perjanjian kerja, dan jika pembayarannya berupa barang maka
perjanjiannya akan berubah tukar menukar.
11. Wanprestasi dan akibatnya dalam perjanjian jual beli
Wanprestasi adalah tidak terpenuhinya prestasi karena adanya kesalahan dari
debitur baik disengaja maupun kelalaian debitur. Bentuk wanprestasi dalam
perjanjian jual beli adalah:
Penjual tidak melakukan penyerahan ataupun penjual terlambat melakukan
penyerahan
Barang yang diperjual belikan tidak bebas dari suatu beban atau tuntutan
pihak lain
Pada saat penyerahan, barang tersebut bukan milik penjual
Barang yang diperjual belikan mengandung cacat tersembunyi
Pembeli tidak membayar harga barang ataupun hraga barang baru dibayar
sebagian
Terhadap debitur yang melakukan wanprestasi terhadap kreditur, maka
kreditur dapat memilih untuk:
Tetap menuntut dipenuhinya prestasi
Disamping tetep menuntut prestasi juga menuntut ganti rugi
Hanya menuntut ganti kerugian
Menuntut pembatalan perjanjian jual beli yang telah disepakati bersama
Disamping menuntut pembatalan perjanjian jual beli juga menuntut ganti
kerugian
Apabila penjual tidak melakukan penyerahan, pembeli dilindungi pasal 1480
KHUPerdata, yang menyatakan jika penyerahan barang karena kelalaian penjual
tidak dapat dilaksanakan maka pembeli dapat menuntut pembelian menurut
ketentuan pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Apabila pembeli tidak membayar
barang yang telah diserahkan penjual, penjual dapat melakukan upaya hukum yaitu
menuntut pengembalian barang yang telah diserahkannya. Hak penjual yang
demikian dinamakan hak reklame yang di atur dalam pasal 1517 KUHPerdata.
12. Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya perjanjian berbeda dengan berakhirnya perikatan, karena suatu
perikatan dapat dihapus sementara perjanjian yang menjadi sumbernya dapat masih
tetap ada. Semua perikatan yang timbul dari perjanjian telah hapus seluruhnya, maka
perjanjian akan berakhir, dalam hal ini berakhirnya perjanjian dapat pula
mengakibatkan berakhirnya perikatan, yaitu apabila suatu perjanjian hapus dengan
berlaku surut, misalnya sebagai akibat pembatalan karena wanprestasi, maka semua
perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, dan tidak perlu dipenuhi lagi dan yang
telah dipenuhi harus ditiadakan.
Suatu perjanjian pada umumnya akan berakhir apabila tujuan dari perjanjian itu
telah tercapai, yaitu masing-masing pihak telah memenuhi prestasi yang
diperjanjikan, sebagaimana yang mereka kehendaki bersama dalam mengadakan
perjanjian tersebut.
R. Setiawan menyatakan beberapa penyebab berakhirnya suatu perjanjian,
yaitu:10
Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya perjanjian akan berlaku
untuk waktu tertentu yang artinya perjanjian akan berakhir pada saat waktu yang
telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian tersebut (Pasal 1603 e ayat (1)
KUH Perdata);
Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian. Misalnya
dalam ketentuan pasal 1066 ayat (3) bahwa para ahli waris dapat mengadakan
perjanjian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan selama waktu tertentu,
akan tetapi terdapat pembatasan dari ayat (4) pasal tersebut dimana waktu
perjanjian tersebut hanya berlaku selama lima tahun;
10 R. Setiawan, Op. Cit., h. 69
Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya
peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Misalnya jika salah satu pihak
dalam perjanjian meninggal dunia maka perjanjian akan hapus;
Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging) dapat dilakukan oleh salah
satu pihak maupun kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut. Opzegging
hanya terdapat pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara. Misalnya
perjanjian kerja dan perjanjian sewa menyewa;
Perjanjian berakhir karena putusan hakim. Misalnya dalam ketentuan pasal
1266 ayat (2) dan ayat (4) KUH Perdata, tersimpul syarat-syarat pemutusan
perjanjian (ontbinding) di mana salah satu syaratnya adalah dengan putusan
hakim;
Tujuan perjanjian telah tercapai;
Dengan persetujuan para pihak (herroeping)