21
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM BIDANG KEPERDATAAN KARENA PENCEMARAN NAMA BAIK DAN KEHORMATAN ( STUDI KASUS: ANALISIS PUTUSAN NO. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut ) Rizky Adhyaksa Prabowo, Rosa Agustina dan Abdul Salam Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat, Fakultas Hukum, Depok, 16424 Abstrak Skripsi ini membahas mengenai perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan karena pencemaran nama baik. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif normative legal research dengan studi kepustakaan. Metode penelitian tersebut digunakan untuk menjawab permasalahan: pertama, teori dan pengaturan perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan serta teori dan pengaturan tentang pencemaran nama baik. Perbuatan melawan hukum diatur di dalam Pasal 1365 sampai 1380 KUH Perdata, sedangkan pencemaran nama baik diatur di dalam Pasal 1372 sampai 1380 KUH Perdata dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE jo Pasal 310 sampai 320 KUH Pidana. Kedua, perlu atau tidaknya putusan pidana untuk mengajukan gugatan perdata karena pencemaran nama baik. Tidak adanya pengaturan mengenai kewajiban tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di putusan Hakim. Ketiga, analisis terhadap pertimbangan hakim di dalam Putusan No. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa: i Definisi “penghinaan” dalam bidang Hukum Perdata perlu dibuat, sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dengan menggunakan terminologi Hukum Pidana; ii Pengaturan mengenai tidak perlunya putusan pidana dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik perlu diatur sehingga menimbulkan kepastian hukum dan tidak terjadi perbedaan pendapat diantara hakim; iii Penggugat seharusnya meminta kepada hakim untuk rehabilitasi nama baik dan kehormatan dengan cara penempelan putusan di muka umum dan agar Tergugat membuat pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah fitnah. Abstract This thesis discusses the unlawful act in the field of civil cases for defamation. This research is a juridical-normative legal normative research with a literature study. The research methods used to answer the problems: first, the theory of unlawful act and its regulation as Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM BIDANG KEPERDATAAN KARENA PENCEMARAN NAMA BAIK DAN KEHORMATAN ( STUDI KASUS: ANALISIS PUTUSAN

NO. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut )

Rizky Adhyaksa Prabowo, Rosa Agustina dan Abdul Salam

Program Kekhususan Hukum tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat, Fakultas Hukum, Depok, 16424

Abstrak

Skripsi ini membahas mengenai perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan karena

pencemaran nama baik. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif normative legal

research dengan studi kepustakaan. Metode penelitian tersebut digunakan untuk menjawab

permasalahan: pertama, teori dan pengaturan perbuatan melawan hukum dalam bidang

keperdataan serta teori dan pengaturan tentang pencemaran nama baik. Perbuatan melawan

hukum diatur di dalam Pasal 1365 sampai 1380 KUH Perdata, sedangkan pencemaran nama

baik diatur di dalam Pasal 1372 sampai 1380 KUH Perdata dan Pasal 27 ayat 3 UU ITE jo

Pasal 310 sampai 320 KUH Pidana. Kedua, perlu atau tidaknya putusan pidana untuk

mengajukan gugatan perdata karena pencemaran nama baik. Tidak adanya pengaturan

mengenai kewajiban tersebut menimbulkan perbedaan pendapat di putusan Hakim. Ketiga,

analisis terhadap pertimbangan hakim di dalam Putusan No. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut.

Hasil penelitian ini menyarankan bahwa: i Definisi “penghinaan” dalam bidang Hukum

Perdata perlu dibuat, sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dengan menggunakan

terminologi Hukum Pidana; ii Pengaturan mengenai tidak perlunya putusan pidana dalam

mengajukan gugatan pencemaran nama baik perlu diatur sehingga menimbulkan kepastian

hukum dan tidak terjadi perbedaan pendapat diantara hakim; iii Penggugat seharusnya

meminta kepada hakim untuk rehabilitasi nama baik dan kehormatan dengan cara

penempelan putusan di muka umum dan agar Tergugat membuat pernyataan bahwa

perbuatan yang dilakukannya adalah fitnah.

Abstract

This thesis discusses the unlawful act in the field of civil cases for defamation. This research

is a juridical-normative legal normative research with a literature study. The research

methods used to answer the problems: first, the theory of unlawful act and its regulation as

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 2: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

well as the theory and the regularion of defamation. Unlawful act is regulated in Article 1365

until 1380 Civil Code, while defamation is regulated in Article 1372 to the 1380 Civil Code

and Article 27 paragraph 3 ITE Law in conjunction with Article 310 to 320 of Penal Code.

Second, is criminal verdict necessary or not to file a civil lawsuit for defamation. This lack of

regulation caused diifferent opinion in the Judge's decision. Third, analysis of the judges'

considerations in the Verdict No. 134/Pdt. G/2010/PN.Jkt.Ut. The result of this study suggest

that: i Definition of "defamation" in the field of civil law needs to be made, because to avoid

ambiguity by using the terminology of the Penal Code, ii There is need the regulation that

criminal verdict is not necessary to file a civil lawsuit for defamation, in order to certainty of

law and no different of opinion among the judges; iii Plaintiff's should request for

rehabilitation of the reputation and honor by way of settlement decisions in public and that

defendant made a statement that his act of doing is defamation.

Keywords: act ; civil law ; defamation ; reputation ; unlawful

Pendahuluan

Di Indonesia pembagian bidang-bidang hukum dibagi menjadi 2, yaitu Hukum

Material dan Hukum Formal. Hukum Material dibagi menjadi Hukum Publik dan Hukum

Privat. Pembahasan di dalam skripsi ini berkaitan dengan hukum privat yaitu hukum dalam

bidangnya yang mengutamakan pengaturan kehidupan/kepentingan pribadi dan antarpribadi

warga secara langsung dan secara tidak langsung juga mengatur kehidupan kepentingan

umum yang merupakan himpunan dari kepentingan pribadi dan antarpribadi itu.1 Hukum

privat dikenal juga sebagai hukum perdata. Di dalam skripsi ini akan dibahas mengenai

perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik dalam lingkup hukum perdata.

Istilah "perbuatan melawan hukum" yang akan dibahas dalam bahasa Belanda disebut

dengan "onrechtmatige daad" atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah "tort".2

Perbuatan melawan hukum yang dimaksudkan di dalam skripsi yang akan ditulis ini adalah

perbuatan melawan hukum dalam bidang keperdataan. Hal ini dikarenakan untuk perbuatan

melawan hukum dalam bidang pidana memiliki pengertian dan pengaturan hukum yang juga

berbeda. Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa negara atau yang

                                                                                                                         1  A.  Ridwan  Halim,  Pengantar  Hukum  Indonesia    Dalam  Tanya  Jawab(Bogor:  Ghalia  Indonesia,  2007),  hal.  5-­‐6.  2  Munir  Fuady,  Perbuatan  Melawan  Hukum  Pendekatan  Kontemporer  (Bandung:  PT.  Citra  Aditya  Bakti,  2002),  hal.  2.  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 3: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

disebut dengan "onrechtmatige overheidsdaad" juga memiliki arti, konotasi dan pengaturan

hukum yang juga berbeda.3

Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum dibidang keperdataan diatur di

dalam pasal 1365 sampai pasal 1380 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Namun, pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik

serta ganti rugi dan rehabilitasi diatur di dalam pasal 1372 sampai pasal 1380 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

Yang dimaksud dengan penghinaan dalam pasal 1372 KUH Perdata dan seterusnya

adalah kejahatan yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUH Pidana)

diancam dengan pidana. Pasal 1372 KUH Perdata hanya menyebutkan ”tuntutan perdata”

tentang hal penghinaan, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut tentang istilah ”penghinaan”.

Pada waktu menentukan Pasal 1372 KUH Perdata dan seterusnya pada tahun 1833 perhatian

memang ditujukan pada kejahatan-kejahatan yang oleh Code Penal dirangkum sebagai

penghinaan.4

Sudah merupakan yurisprudensi tetap bahwa yang dimaksud dengan perkataan

penghinaan dalam Pasal 1372 KUH Perdata dan seterusnya adalah perbuatan-perbuatan yang

dalam Bab XVI Buku II KUH Pidana diancam dengan pidana. Didalamnya termasuk

berbagai bentuk penghinaan; menista, menista dengan tulisan, fitnah, penghinaan ringan dan

pengaduan yang bersifat memfitnah.5

Penulis di dalam penelitian ini ingin membahas teori-teori perbuatan melawan hukum

dan pencemaran nama baik. Kemudian penulis juga ingin menganalisis teori-teori perbuatan

melawan melawan hukum dan pencemaran nama baik dengan putusan perdata nomor

134/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Ut. Berdasarkan putusan tersebut, penulis ingin menganalisis

pertimbangan dan putusan hakim terhadap gugatan perdata yang diajukan mengenai

perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan hakim di

dalam pertimbangannya mengabulkan gugatan penggugat meskipun penggugat tidak

menjelaskan unsur-unsur perbuatan melawan hukum di dalam gugatannya. Penggugat

menggugat perbuatan melawan hukum karena pencemaran nama baik dengan berdasarkan

putusan pidana. Kemudian timbul masalah lain, yaitu apakah dalam gugatan pencemaran

nama baik harus didasarkan pada putusan pidana atau tidak? Hal ini dikarenakan terdapat

pengaturan mengenai pencemaran nama baik dalam sistem hukum pidana Indonesia, yaitu di

                                                                                                                         3  Ibid.,  hal.  1.  4  Rachmat  Setiawan,  Tinjauan  Elementer  Perbuatan  Melanggar  Hukum    (Bandung:  Binacipta,  1991),  hal.  49.  5  Ibid.,  hal.  49.  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 4: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

dalam KUH Pidana, UU No. 11 Tahun 2008, UU No. 40 Tahun 1999. Sedangkan definisi

mengenai pencemaran nama baik tidak terdapat di dalam KUH Perdata, sehingga para ahli

biasanya menggunakan terminologi dari KUH Pidana seperti halnya pasal 27 ayat (3) UU No.

11 Tahun 2008 berdasarkan Putusan No. 2/PUU-VII/2009 Judicial Review Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia yang mengatakan " Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008

tentang ITE tidak memberikan pengertian pencemaran nama baik, sehingga pengertian dan

unsur-unsur pencemaran nama baik diambil dari pasal-pasal terkait dalam KUHP".

Pembahasan

Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk

menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut :6

1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang

bersifat positif maupun yang bersifat negatif artinya setiap tingkah laku

berbuat atau tidak berbuat

2. Perbuatan itu harus melawan hukum

3. Ada kerugian

4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan

kerugian

5. Ada kesalahan

Kelima unsur tersebut harus terpenuhi agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu

perbuatan melawan hum. Apabila ada satu unsur yang tidak terpenuhi, maka perbuatan

tersebut tidak dapat dikatakan perbuatan melawan hukum.

Sejak tahun 1919, unsur melawan hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-

luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut:7

a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku

Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku berarti melanggar

segala peraturan tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam pengertian

perbuatan melawan hukum secara sempit. Dengan kata lain bahwa

perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan

melawan undang-undang.

b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, atau

                                                                                                                         6  Rosa  Agustina,  Perbuatan  Melawan  Hukum  (Jakarta:  Fakultas  Hukum  Universitas  Indonesia,  2003),  hal.  50.  7  Munir  Fuady,  Op.  Cit.,  hal.11  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 5: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

Melanggar hak subyektif orang lain, berarti melanggar wewenang khusus

yang diberikan oleh hukum kepada seseorang. Yurisprudensi memberi arti

hak subyektif sebagai berikut:

1. Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik;

2. Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya.8

c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau

Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang berdasarkan hukum,

baik tertulis maupun tidak tertulis maupun tidak tertulis (termasuk dalam

perbuatan ini adalah perbuatan pidana pencurian, penggelapan, penipuan

dan pengrusakan).9

d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), atau

Perbuatan yang bertentangan dengan kesusialaan berarti bertentangan

dengan norma-norma moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui

sebagai norma hukum. Utrecht menulis bahwa yang dimaksudkannya

dengan kesusilaan ialah semua norma yang ada di dalam kemasyarakatan,

yang merupakan hukum, kebiasaan atau agama.10

e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat

untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen

zorgvuldigheid, welke in het maatschap-pelijk verkeer betaamt ten aanzien

van anders persoon of goed).

Suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum apabila salah satu kriteria

terpenuhi maka dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.

Menurut Oemar Senoadji, pengertian penghinaan dapat diartikan sebagai perbuatan

menyerang kehormatan atau nama baik "aanranding of goede naam" yang dimana dapat

menimbulkan klasifikasi legislatif antara pencemaran tertulis (smaadschriff) yang merupakan

penghinaan secara tertulis dengan menuduhkan sesuatu hal dan/atau penghinaan ringan yang

merupakan penghinaan yang tidak mengandung pencemaran (tertulis) yang dilakukan

terhadap seseorang.11

                                                                                                                         8  Djuhaendah  Hasan,  Istilah  dan  Pengertian  Perbuatan  Melawan  Hukum  dalam  Laporan  Akhir  Kompendium  Bidang  Perbuatan  Melawan  Hukum,  (Jakarta:  Badan  Pembinaan  Hukum  Nasional  Departemen  Kehakiman  RI,  1996/1997),  hal.24.  9  Rosa  Agustina,  Op.  Cit.,  hal.  54  10  Ibid.,  hal.54  11  Oemar  Senoadji,  Perkembangan  Delik  Pers  di  Indonesia:  Profesi  Wartawan,  (Jakarta:  Erlangga,  1991),  hal.  37  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 6: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

Berdasarkan Judicial Review Mahkamah Konstitusi Indonesia Putusan No. 2/ PUU-

VII/ 2009, pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.

Pengertian ini merupakan pengertian umum (delik genus) delik pencemaran nama baik.

Sedangkan sifat khusus atau bentuk-bentuk (delik species) pencemaran nama baik antara lain;

pencemaran/penistaan (Pasal 310 ayat 1); pencemaran/penistaan tertulis (Pasal 310 ayat 2);

fitnah (Pasal 311); penghinaan ringan (Pasal 315); pengaduan fitnah (Pasal 317); persangkaan

palsu (Pasal 318); dan penistaan terhadap orang yang meninggal (Pasal 320).12

Kehormatan adalah perasaan terhormat seseorang di mata masyarakat atau

publik.Setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyrakat yang

terhormat. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara

umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori

menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut lingkungan masyarakat dimana

perbuatan tersebut dilakukan.13

Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang tindak-tinduk

(perilaku atau kepribadian) seseorang diri sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat

dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan

berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana

perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya.14

Dari definisi-definisi yang telah disebutkan diatas kemudian timbul pertanyaan

mengenai bagaimana definisi pencemaran nama baik menurut KUH Perdata? Pasal 1372

KUH Perdata mengatur tentang tuntutan keperdataan karena penghinaan tanpa memberikan

uraian tentang apakah yang dimaksud dengan "penghinaan" (belediging) itu. Maka telah

menjadi yurisprudensi tetap bahwa dengan belediging dalam Pasal 1372 s/d 1380 KUH

Perdata dimaksudkan perbuatan-perbuatan yang sama sebagaimana yang dalam Bab XVI dari

Buku ke- II KUHP diancam hukuman.15

Salah satu pencemaran nama baik dalam kasus perdata adalah sebagai berikut: Sidang

perkara perdata antara Riau Andalan Pulp Paper (RAPP) melawan Koran Tempo. Pada salah

satu bagian berkas dupliknya, Tempo yang diwakili kuasa hukumnya dari LBH Pers

menyatakan bahwa gugatan yang diajukan RAPP kabur (obscuur libel) alias tidak jelas.

Ketidakjelasan surat gugatan adalah karena penggugat menggunakan dua pasal dari KUH

Perdata, yaitu Pasal 1365 dan 1372 secara sekaligus sebagai dasar hukum gugatannya.                                                                                                                          12  Putusan  Mahkamah  Konstitusi  Indonesia  Nomor  2/PUU-­‐VII/2009  13  Rosa  Agustina,  Dictum  Jurnal  Kajian  Putusan  Pengadilan,    (Jakarta:  LEIP,  2004),  hal.  17  14  Ibid.,  hal.  17  15  Moegni  Djojodirdjo,    Perbuatan  Melawan  Hukum,  (Jakarta  Pusat  :    Pradnya  Paramita,  1979),hal.  164  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 7: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

Gugatan penggugat tidak jelas atau kabur karena mencampuradukan Pasal 1365 dan Pasal

1372 KUH Perdata. Di luar persidangan, Darwin Aritonang, kuasa hukum Tempo yang lain

menyitir pendapat Asser Rutten yang menegaskan bahwa kedua dasar hukum tersebut tidak

dapat digunakan secara kumulatif di dalam satu gugatan. Menurut Rutten, kata Darwin,

tuntutan perdata berdasarkan fitnah tidak dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 1365,

melainkan memakai Pasal 1372 KUH Perdata. Dengan kata lain, tindak penghinaan

berdasarkan Pasal 1372 KUH Perdata adalah aturan khusus atau lex specialis dari Pasal 1365

KUH Perdata, Darwin berujar. Bahkan di dalam berkas dupliknya, kuasa hukum Tempo juga

mencuplik putusan PN Jakarta Pusat bernomor 502/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST tertanggal 11

Agustus 2004 yang 'mengharamkan' Pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata bersanding bersama

di dalam gugatan. Putusan itu pun sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde).

Namun menurut Prof. Rosa Agustina, pakar Hukum Perdata Universitas Indonesia, kalangan

akademisi maupun praktisi hukum memang terbelah dalam memandang masalah

penggabungan kedua pasal itu dalam sebuah gugatan. Meski begitu, Prof. Rosa berpendapat

bahwa Pasal 1365 adalah genus dari Pasal 1372. Jika Pasal 1365 hanya menguraikan

perbuatan melawan hukumnya secara umum. Sementara Pasal 1372 lebih khusus mengenai

penghinaannya. Sehingga menurutnya tidak ada masalah ketika dua pasal itu dijadikan dasar

hukum dalam satu gugatan. Kemudian menurut kuasa hukum Tempo yang lain, gugatan

berdasarkan Pasal 1372 baru bisa diajukan setelah ada putusan pidana.16

Namun, Menurut Prof. Rosa Agustina dalam keterangannya di portal

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18172/belum-jelas-landasan-hukumnya,

ketiadaan putusan pidana yang menyatakan telah terjadi penghinaan tidak menjadi halangan

untuk menggugat secara perdata. Hal ini dikarenakan penghinaan adalah terminologi pidana.

Namun bukan berarti harus menunggu putusan pidana terlebih dulu. Ketiadaan putusan

pidana bisa diantisipasi dengan keberadaan Pasal 1365. Unsur-unsur penghinaan dalam Pasal

1372 bisa dilengkapi dengan unsur yang terdapat dalam Pasal 1365. Salah satu unsur Pasal

1365 adalah perbuatan yang melawan hukum. Sedangkan salah satu bentuk perbuatan yang

melawan hukum adalah melanggar hak subyektif orang lain. Dengan demikian penghinaan

dapat dikatakan melanggar hak subyektif orang lain.

Begitu pula dalam putusan No. 307/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Sel antara Tony Winata

melawan Koran Tempo. Dalam putusannya majelis hakim berpendapat bahwa gugatan

perdata yang didasarkan pada pasal 1372 KUH Perdata adalah merupakan tuntutan perdata                                                                                                                          16  Disadur  dari  http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18172/belum-­‐jelas-­‐landasan-­‐hukumnya,  pada  tanggal  24  Juni  2013.  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 8: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

yang menyangkut hal penghinaan, akan tetapi dalam pasal tersebut tidak dijelaskan

pengertian penghinaan atau tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai penghinaan

sehingga banyak pendapat ahli hukum maupun doktrin yang memberikan arti penghinaan

dalam pasal 1372 KUH Perdata sama dengan arti penghinaan yang dimaksud dalam hukum

pidana termasuk pencemaran nama baik.17

Majelis juga berpendapat bahwa oleh karena kehormatan seseorang, nama baik, rasa

malu dan harga diri adalah merupakan hak subyektif seseorang maka harus ada sikap hati-

hati dalam pergaulan hidup sesama warga untuk menghormati hak subyektif tersebut.

Pelanggaran terhadap hak subyektif atau pelanggaran terhadap sikap hati-hati yang harus

dimiliki setiap orang merupakan suatu perbuatan melawan hukum. Walaupun pengertian

penghinaan dalam pasal 1372 KUH Perdata mempunyai arti yang sama dengan penghinaan

menurut hukum pidana, akan tetapi tidak ada ketentuan hukum baik formil maupun materiil

yang menentukan dan memerintahkan bahwa untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan

pasal 1372 KUH Perdata harus dibuktikan dengan adanya putusan pidana yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai penghinaan.18

Bahkan jika melihat ketentuan Pasal 1380 KUH Perdata, yang berbunyi: “Tuntutan dalam

perkara penghinaan gugur dengan lewatnya waktu satu tahun, terhitung mulai hari

dilakukannya perbuatan dan diketahuinya perbuatan itu oleh si penggugat.”

Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dikatakan bahwa jangka waktu seseorang

untuk melakukan gugatan penghinaan adalah 1 tahun sejak penghinaan tersebut dilakukan

dan penghinaan tersebut diketahui oleh orang yang dihina. Jika si Terhina harus menunggu

putusan pidana yang menyatakan si Penghina bersalah, tentunya akan memerlukan waktu

yang tidak sebentar dan bisa lewat 1 tahun sebagaimana yang diatur dalam pasal 1380 KUH

Perdata. Maka sudah menjadi konsekuensi logis jika dalam mengajukan gugatan perbuatan

melawan hukum karena pencemeran nama baik tidak harus ada putusan pidana.

Kemudian pada dasarnya isi pengaturan dari hukum pidana dan hukum perdata

memiliki perbedaan. Dari segi isinya, hukum perdata mengatur mengenai hubungan hukum

antar orang yang satu dengan yang lainnya dengan menitikberatkan kepada kepentingan

perseorangan. Sedangkan hukum pidana mengatur mengenai hubungan hukum antara seorang

anggota masyarakat (warga negara) dengan negara yang menguasai tata tertib masyarakat.19

                                                                                                                         17  Rosa  Agustina,  Dictum  Jurnal  Kajian  Putusan  Pengadilan,  hal.  41  18  Ibid.,  hal.  42  19  C.S.T  Kansil,  Pengantar  Ilmu  Hukum,  (Jakarta:  Balai  Pustaka,  2002),  hal.  46  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 9: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

Di dalam hukum pidana, penghinaan atau pencemaran nama baik, secara khusus

diatur di dalam Bab XVI Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri atas 12

pasal, yakni Pasal 310 sampai Pasal 321. Tindak kejahatan "menghina'', menurut R. Soesilo

adalah tindakan menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Akibatnya yang diserang

merasa malu. Sementara itu Tindak pidana atau perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah

perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga

dikatakan bahwa pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum yang dilarang dan

diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada

perbuatan,sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan

kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungannya yang erat, oleh karena

itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungannya yang erat

pula. Yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika

yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena

kejadian yang ditimbulkan olehnya.20

Selain itu, pencemaran nama baik juga diatur di dalam Pasal 27 ayat (3) UU No. 11

Tahun 2008. Namun, Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE tidak memberikan

pengertian pencemaran nama baik, sehingga pengertian dan unsur-unsur pencemaran nama

baik diambil dari Pasal pasal terkait dalam KUHP. Hal demikian merupakan konsekuensi

logis dari dijadikannya KUHP sebagai sistem pemidanaan atau dasar bagi penyusunan

perundang-undangan di luar KUHP, termasuk UU ITE. Di dalam KUHP delik pencemaran

nama baik secara eksplisit diatur mulai Pasal 310 sampai dengan Pasal 321. Terkait dengan

hal ini, pertanyaan pokok yang perlu diajukan adalah apa makna pencemaran nama baik?

Secara singkat dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik

adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pengertian ini merupakan

pengertian umum (delik genus) delik pencemaran nama baik. Sedangkan sifat khusus atau

bentuk-bentuk (delik species) pencemaran nama baik antara lain; pencemaran/penistaan

(Pasal 310 ayat 1); pencemaran/penistaan tertulis (Pasal 310 ayat 2); fitnah (Pasal 311);

penghinaan ringan (Pasal 315); pengaduan fitnah (Pasal 317); persangkaan palsu (Pasal 318);

dan penistaan terhadap orang yang meninggal (Pasal 320).21

                                                                                                                         20  Djoko  Prakoso,  Hukum  Penitentiere  di  Indonesia,  (Yogyakarta:  Liberty,  1988),  hal  95.    21  Mahrus  Ali,  Pencemaran  Nama  Baik  Melalui  Sarana  Informasi  dan  Transaksi  Elektronik  (Kajian  Putusan  MK  No.  2/PUU-­‐VII/2009),  (Jakarta:  Mahkamah  Konstitusi  Republik  Indonesia,  2010),  hal.  133  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 10: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

Di dalam Pasal 27 (3) UU ITE pengertian penghinaan dan pencemaran nama baik

tidak dijelaskan, namun demikian dapat disimpulkan secara logik (sistematik) bahwa yang

dimaksud pencemaran nama baik adalah yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang

dihubungkan dengan Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 315 KUHP. Secara eksplisit rumusan Pasal

27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE berbunyi sebagai berikut:

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan

dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

memiliki muatan penghinaan dan/ataupencemaran nama baik dipidana dengan pidana penjara

paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar".22

Berdasarkan rumusan Pasal ini pengertian pencemaran atau penghinaan merujuk

pada pengertian yang sama dalam KUHP. Hal ini karena sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP baik berupa aturan umum Buku I

maupun aturan khusus Buku II dan III pada hakikatnya merupakan satu kesaturan sistem

pemidanaan, sehingga menjadi pedoman bagi peraturan perundang-undangan pidana di luar

KUHP. Untuk menjerat pelaku dengan Pasal 27 ayat (3) di atas, terdapat dua hal yang perlu

diperhatikan aparat penegak hukum agar eksistensi Pasal tersebut tidak dijadikan sebagai alat

politik untuk memberangus kreativitas dunia Pers. Pertama, terbuktinya unsur subyektif dan

unsur objektif tentang Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki

muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik bersifat komulatif. Artinya, aparat

penegak hukum tidak serta merta menyatakan pelaku bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3)

bila unsur subyektif terbukti, tapi masih harus membuktikan apakah Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama

baik memang melanggar nilai-nilai di masyarakat atau tidak.23

Menurut hukum perdata, orang yang dihina dapat menuntut:24

1) Ganti rugi atas kerugian materiil.

2) Ganti rugi dalam bentuk uang terhadap kerugiaan idiil.

3) Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah fintah atau penghinaan.

4) Menempelkan putusan Hakim ditempat umum, dengan biaya dari pelaku.

Mengenai "pemulihan" atau rehabilitasi terdapat 2 pendapat yaitu :25

                                                                                                                         22  Ibid.,  hal.  134  23  Ibid.,  hal.  135  24  Moegni  Djojodirdjo,  Op.  Cit.,  hal.  168-­‐169  25  Ibid.,  hal.  172  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 11: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

1. Pendapat yang antara lain dianut oleh Land menyatakan bahwa pemulihan

tersebut merupakan penggantian sejumlah uang untuk kerugian moral dan

untuk pencemaran kehormatan.

Menurut pendapat ini maka orang yang dihina mempunyai 3 macam

tuntutan:

a) Tuntutan untuk penggantian kerugian berupa sejumlah uang.

b) Tuntutan untuk pemulihan kehormatan dan nama baik berupa

penggantian sejumlah uang

c) Tuntutan untuk memperoleh keterangan dan penempelan di tempat

umum sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1373 KUH

Perdata.

2. Pendapat yang dianut antara lain oleh Diephuis yang menyatakan bahwa

dengan istilah "pemulihan" dimaksudkan bahwa pernyataan dari perbuatan

tersebut adalah menista atau memfitnah.

Menurut pendapat Diephuis dan De Savornin Lohman, orang yang dihina berdasarkan pasal

1372 ayat 1 KUH Perdata mempunyai dua tuntutan yaitu penggantian berupa sejumlah uang

dan tuntutan untuk pemulihan sebagaimana yang diatur dalam pasal 1373 KUH Perdata.

Penggugat pada dasarnya menggugat Tergugat I dan Tergugat II dengan mendasarkan

kepada Pasal 1365 KUH PERDATA yaitu mengenai Perbuatan Melawan Hukum.

Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3191/K/Pdt/1984

tanggal 08 Feburari 1986, Menurut hakim, suatu perbuatan dapat dikatakan merupakan

Perbuatan Melawan Hukum jika telah memenuhi 4 kriteria, yaitu :

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

2. Melanggar hak subyektif orang lain

3. Melanggar kaedah tata susila

4. Bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang

seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan masyarakat.

Keempat kriteria tersebut tidak harus dipenuhi secara serentak, tetapi salah satu saja telah

terbukti ada dalam suatu perbuatan maka dianggap telah ada suatu Perbuatan Melawan

Hukum. Kemudian Perbuatan Melawan Hukum juga mengandung unsur-unsur yang mana

keempat kriteria harus dipenuhi secara serentak yaitu :

1. Adanya perbuatan melawan hukum

2. Adanya suatu kerugian

3. Adanya suatu kesalahan

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 12: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian

Berdasarkan teori yang telah penulis paparkan sebelumnya, yang dimaksud melanggar

hak orang lain ialah melanggar hak subyektif orang lain. Menurut Meiyers, hak subyektif

menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara khusus

untuk melindungi kepentingannya. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan

perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak

atas kebebasan, nama baik dan kehormatan, dan hak-hak harta kekayaan.26

Adakalanya pelanggaran hak subyektif selain terjadi karena perbuatan melawan

hukum, dapat juga disebabkan oleh peristiwa-peristiwa lainnya, misalnya karena perbuatan

pihak ketiga. Dalam hal ini adalah tidak tepat untuk menerapkan ukuran dari sifat melawan

hukum pelanggaran hak subyektif. Pelanggaran tersebut dimasukkan sebagai kriteria

perbuatan melawan hukum, karena pelanggaran tersebut pada umumnya sudah dengan

sendirinya merupakan perbuatan melawan hukum. Seseorang yang merusak barang orang

lain atau melukainya dianggap ipso facto telah melakukan perbuatan melawan hukum.27

Berdasarkan teori tersebut, menurut penulis hak subyektif menunjuk kepada suatu

hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara khusus untuk melindungi

kepentingannya. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan perbuatan melawan

hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi seperti hak atas kebebasan,

nama baik dan kehormatan, dan hak-hak harta kekayaan. Dalam pertimbangan ini, pada

dasarnya pelanggaran terhadap kehormatan dan nama baik merupakan pelanggaran dari hak

subyektif seseorang. Meskipun tanpa putusan pidana, jika dalam pembuktiannya dapat

dibuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap kehormatan dan nama baik seseorang, kriteria

"melanggar hak subyektif" orang lain sudah dapat terpenuhi. Meskipun demikian, dengan

adanya putusan pidana akan semakin menguatkan bahwa telah terjadi pelanggaran hak

subyektif yang dilakukan oleh para Tergugat. Dengan demikian dalam hal ini menurut

penulis pertimbangan hakim sudah tepat karena putusan pidana tersebut membuktikan adanya

pelanggaran hak subyektif seseorang. Dengan terpenuhi salah satu kriteria, yakni "melanggar

hak subyektif" seseorang maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan

Melawan Hukum. Meskipun tanpa harus menjabarkan unsur-unsur dari Perbuatan Melawan

Hukum itu sendiri.

Kemudian menurut Hakim, terhadap kerugian materiil harus ada bukti yang jelas dan

terperinci yang dialami oleh Penggugat dari perbuatan tersebut, tidak boleh hanya menyebut                                                                                                                          26  Rachmat  Setiawan,  Op.  Cit.,  hal.12  27  Ibid.,  hal.  12  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 13: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

begitu saja tanpa didukung bukti yang jelas secara terperinci. Bukti yang diajukan Penggugat

yakni bukti P-2 hanya merupakan hitung-hitungan kasar dan tidak didukung dengan bukti-

bukti surat lainnya sehingga hal tersebut menurut hukum bukanlah merupakan bentuk dari

kerugian materiil. Terhadap bukti P-3 yang berupa penghitungan pesangon seluruh karyawan

yang telah dibayarkan sesuai dengan masa kerja karyawan, didukung dengan keterangan

saksi Agus Suyanto dan saksi Endjon Suhendri, maka menurut Majelis Hakim sudah

merupakan bentuk kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat yakni sebesar Rp.

5.508.032.003,-.

Terhadap kerugian immateriil, Penggugat meminta ganti rugi berupa kerugian

immateriil sebesar Rp. 30.000.000.000,-. Penggugat merupakan pengusaha yang sangat

tergantung dengan nama baik dan kepercayaan dibidangnya. Meskipun terhadap kerugian

immateriil tidak dapat diukur dan dinilai secara nyata dan terang mengenai berapa besarnya,

dengan mempertimbangkan kedudukan dan status serta nama baik Penggugat sebagai

Pengusaha, menurut Majelis Hakim layak jika nilai kerugian immateriil tersebut ditentukan

sebesar Rp. 2.000.000.000,-.

Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi

juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan

kehilangan kesenangan hidup.28 Hal ini selalu menjadi perdebatan para ahli hukum apakah si

pelaku juga harus mengganti kerugian idiil atau tidak. Berdasarkan putusan Hoge Raad

tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P. Kreuningen v van Bessum cs. Dipertimbangkan

sebagai berikut :

"Dalam menilai kerugian yang dimaksudkan oleh pasal 1371 KUH Perdata harus juga

dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil, sehingga Hakim adalah bebas untuk

menentukan penggantian untuk kesedihan (smart) dan kesenangan hidup, yang sesungguhnya

dapat diharapkan dinikmatinya (gederfdelevensvreugde)."

Menurut Rutten, konsekuensi dari arrest ini tersebut bahwa dalam menerapkan pasal

1365 KUH Perdata juga dapat dituntut penggantian kerugian idiil. Kerugian kekayaan

(vermogenschade) pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh penderita dan

keuntungan yang dapat diharapkan diterimanya.29

Menurut Moegni Djojodirdjo di dalam bukunya, orang yang dihina dapat menuntut:30

1) Ganti rugi atas kerugian materiil.

                                                                                                                         28  Rosa  Agustina,  Perbuatan  Melawan  Hukum,hal.  76  29  Ibid.,  hal.  76  30  Moegni  Djojodirdjo,  Op.  Cit.,  hal.  168-­‐169  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 14: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

2) Ganti rugi dalam bentuk uang terhadap kerugiaan idiil.

3) Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah fintah atau penghinaan.

4) Menempelkan putusan Hakim ditempat umum, dengan biaya dari pelaku.

Pasal 1372 KUH Perdata menentukan bahwa tuntutan keperdataan tentang hal

penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan

dan nama baik, kemudian pasal 1373 KUH Perdata menambahkan bahwa orang yang dihina

berhak pula menuntut supaya dalam keputusan tersebut juga dinyatakan bahwa perbuatan

yang telah dilakukan bersifat memfitnah atau menghina dan selanjutnya agar keputusan

tersebut atas biaya-biaya orang yang dihukum ditempelkan di tempat umum.31

Berdasarkan teori-teori yang telah disebutkan, menurut penulis adanya kerugian bagi

korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasar Pasal 1365 KUH Perdata dapat

dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenai kerugian

materil, maka kerugian karena perbuatan melawan hukum disamping kerugian materil,

yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immateril, yang juga akan dinilai dengan uang.

Tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga

dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan

kesenangan hidup. Berdasarkan putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara

W.P. Kreuningen v van Bessum cs. menurut Rutten, konsekuensi dari arrest tersebut bahwa

dalam menerapkan pasal 1365 KUH Perdata juga dapat dituntut penggantian kerugian idiil.

Kerugian kekayaan (vermogenschade) pada umumnya mencakup kerugian yang diderita oleh

penderita dan keuntungan yang dapat diharapkan diterimanya. Kemudian dalam gugatan

pencemaran nama baik orang yang dihina dapat menuntut:

1) Ganti rugi atas kerugian materiil.

2) Ganti rugi dalam bentuk uang terhadap kerugiaan idiil.

3) Pernyataan, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah fintah atau penghinaan.

4) Menempelkan putusan Hakim ditempat umum, dengan biaya dari pelaku.

Berdasarkan gugatan Penggugat, hakim memutuskan untuk mengabulkan sebagian

dari gugatan ganti rugi atas kerugian materil karena Penggugat tidak dapat menunjukkan

bukti kuat yang secara jelas dan terperinci terkait keuntungan yang akan diperoleh di masa

yang akan datang. Oleh karenanya hakim hanya mengabulkan gugatan ganti kerugian materiil

terhadap pesangon yang dibayarkan Penggugat terhadap karyawan sejumlah Rp.

5.508.032.003,-. Terhadap kerugian immateriil, penulis juga sependapat dengan

                                                                                                                         31  Ibid.,  hal.169  

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 15: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

pertimbangan Hakim. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 1372 ayat (2) KUH Perdata

menyatakan bahwa dalam menilaikan satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat

ringannya penghinaan, pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, serta pada

keadaan. Penilaian Hakim dimaksudkan untuk menentukan besarnya ganti kerugian yang

berupa uang baik atas kerugian materiil dan imateriil. Dalam kasus ini, Hakim

mempertimbangkan kedudukan dari Penggugat selaku pengusaha yang sangat tergantung

dengan nama baik dan kepercayaan dibidangnya, sehingga Hakim mengabulkan ganti

kerugian immateriil sebesar Rp. 2.000.000.000,-. Meskipun jumlah tersebut tidak sebesar dari

yang diminta oleh Penggugat. Namun, Penggugat seharusnya juga meminta untuk rehabilitasi

terhadap nama baik dan kehormatannya. Hal ini bisa dilakukan dengan meminta Hakim

untuk menyatakan penempelan putusan ataupun pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan

oleh para Tergugat merupakan fitnah ditempat umum

Kemudian terkait dengan perlu atau tidaknya putusan pidana untuk menggugat

pencemaran nama baik, penulis membandingkan 3 putusan. Pada putusan pertama si

Penggugat menggunakan putusan pidana dalam menggugat Tergugat karena melakukan

pencemaran nama baik. Hakim pada putusan pertama mengabulkan gugatan Penggugat

sebagian.

Pada putusan kedua, si Penggugat tidak menyertakan putusan pidana sebagaimana

yang dilakukan pada putusan pertama. Hakim mempertimbangkan bahwa yang menjadi

dasar/ alasan Penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Para

Tergugat adalah masalah tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap

Penggugat, yang menurut Penggugat telah dilakukan oleh Para Tergugat, maka oleh

karenanya sudah selayaknya untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan dari pihak Para

Tergugat , yaitu apakah benar Para Tergugat terbukti bersalah atau tidak melakukan tindak

pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat, maka harus dibuktikan

terlebih dahulu dalam perkara pidana.

Hal ini berakibat perlunya putusan perkara pidana yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap (in kracht) yang menyatakan bahwa Para Tergugat

bersalah melakukan tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat

mutlak diperlukan dalam perkara ini karena gugatan Penggugat adalah mengenai

gugatan perbuatan melawan hukum akibat tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik

terhadap Penggugat, yang menurut dalil Penggugat telah dilakukan oleh Para Tergugat,

sehingga tanpa adanya putusan perkara pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum yang

tetap (in kracht) yang menyatakan bahwa Para Tergugat bersalah melakukan tindak pidana

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 16: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

penghinaan/ pencemaran nama baik terhadap Penggugat maka gugatan Penggugat tersebut

adalah prematur;

Kemudian menurut pendapat Ahli yang diajukan oleh Penggugat di persidangan,

yaitu Pof. Dr. NUR BASUKI MINAMO, S.HAL., M.Hum, yang pada pokoknya

menyatakan gugatan Penggugat mengenai perbuatan melawan hukum akibat

perbuatan/tindak pidana penghinaan/ pencemaran nama baik adalah prematur karena

gugatan tersebut diajukan sebelum ada putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap, yang menyatakan kesalahan Tergugat. Berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan Majelis Hakim menyatakan gugatan Penggugat adalah prematur dan

dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk Verklaard);

Pada putusan ketiga, gugatan diajukan tanpa menyertakan putusan pidana yang

menyatakan si Tergugat/Terhina bersalahal. Hakim dalam Mahkamah Agung pun

memberikan pendapat bahwa sudah merupakan pendapat umum dan diterima oleh umum

terutama pendapat di kalangan sarjana (doktrin) penghinaan secara perdata sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1372 KUH Perdata adalah sama dengan penghinaan sebagaimana

dimaksud sebagai tindak pidana dalam KUH Pidana termasuk pencemaran nama baik. Dalam

hukum perdata yang mengacu kepada Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUH Perdata) tidak ada satu pasal pun yang menentukan definisi dari penghinaan. Hal ini

sejalan dan selaras dengan pendapat ahli hukum (doktrin) J. Satrio, S.HAL., dalam bukunya

berjudul Gugatan Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum

Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung tahun 2005 halaman 19, 20, dan 21 yang pada

pokoknya menyatakan sebagai berikut :

"Dan selanjutnya telah menjadi pendapat umum di antara para sarjana (di dalam doktrin)

bahwa yang dimaksud dengan penghinaan secara perdata adalah dalam arti "penghinaan"

sebagai tindak pidana. Dengan perkataan lain "penghinaan" dalam KUH Perdata diberikan

arti yang sama dengan "penghinaan" sebagai tindak pidana”.

Bahwa dalam literatur ilmu hukum juga diakui bahwa tidak ada ketentuan hukum baik formil

maupun materiil yang menentukan dan memerintahkan bahwa untuk mengajukan gugatan

perdata berdasarkan Pasal 1372 KUH Perdata harus dibuktikan adanya putusan pidana yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai penghinaan. Berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan tersebut hakim mengabulkan gugatan Penggugat sebagian.

Pada bab sebelumnya penulis telah memaparkan teori-teori mengenai perlu atau

tidaknya putusan pidana dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 17: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

pencemaran nama baik. Penulis akan mengulas kembail untuk kemudian dikaitkan dengan

pertimbangan ketiga putusan yang telah dipaparkan.

Berdasarkan teori yang penulis terangkan sebelumnya, terdapat beberapa alasan

bahwa dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik tidak harus ada putusan pidana

terlebih dahulu.

1. Penghinaan yang digunakan dalam menggugat pencemaran nama baik dalam

perdata hanya berupa terminologi dari hukum pidana saja. Berarti dalam

mengajukan gugatan pencemaran nama baik secara perdata tidak harus ada

putusan pidana terlebih dahulu.

2. Tanpa adanya putusan pidana yang menyatakan bersalahnya si Penghina, pada

dasarnya pencemaran nama baik yang dilakukan sudah termasuk ke dalam

pelanggaran hak subyektif sebagaimana perluasan makna yang terkandung di

dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Majelis Hakim dapat menilai langsung

pembuktian yang diajukan tanpa harus menunggu terlebih dahulu putusan

pidana yang menyatakan si Penghinan bersalahal.

3. Hukum pidana dan hukum perdata memiliki ranah hukum yang berbeda.

Hukum pidana merupakan hukum publik yang bertujuan mempidanakan

seseorang yang melanggar ketentuan hukum pidana. Sedangkan hukum

perdata merupakan hukum privat yang bertujuan untuk meminta ganti

kerugian atas perbuatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain.

4. Dalam mengajukan gugatan pencemaran nama baik dalam perdata memiliki

jangka waktu 1 tahun sejak penghinaan tersebut dilakukan dan penghinaan

tersebut diketahui oleh orang yang dihina. Jika si Terhina harus menunggu

putusan pidana yang menyatakan si Penghina bersalah, tentunya akan

memerlukan waktu yang tidak sebentar dan bisa lewat 1 tahun sebagaimana

yang diatur dalam pasal 1380 KUH Perdata. Maka sudah menjadi konsekuensi

logis jika dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum karena

pencemeran nama baik tidak harus ada putusan pidana.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa putusan majelis hakim untuk tidak

menerima gugatan pada putusan kedua karena tidak disertakannya putusan pidana yang

menyatakan bahwa si Penghina bersalah adalah tidak tepat. Dalam mengajukan gugatan

pencemaran nama baik tidak harus menunggu adanya putusan pidana yang menyatakan

bahwa si Penghina bersalah.

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 18: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

Kesimpulan

1. Pengaturan mengenai perbuatan melawan hukum perdata di Indonesia diatur di

dalam Pasal 1365 sampai Pasal 1380 KUH Perdata Indonesia. Sebelum tahun 1919

unsur-unsur perbuatan melawan hukum terdiri dari 5 unsur, yaitu adanya suatu

perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum, adanya kesalahan dari pihak

pelaku, adanya kerugian bagi korban, adanya hubungan kausal antara perbuatan

dengan kerugian. Kelima unsur tersebut harus terpenuhi secara bersamaan. Namun

setelah tahun 1919, pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dan

terdapat 5 kriteria, yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku,

yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum, perbuatan yang

bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, perbuatan yang bertentangan

dengan kesusilaan, perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam

bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. Kelima kriteria

tersebut dapat berdiri sendiri-sendiri tanpa harus diikuti kriteria lainnya.

Pengaturan mengenai pencemaran nama baik diatur menurut hukum perdata dan

hukum pidana Indonesia. Pencemaran nama baik menurut Judicial Review

Mahkamah Konstitusi adalah suatu tindakan penyerangan terhadap kehormatan dan

nama baik. Pengaturan menurut hukum Pidana Indonesia terdapat pada KUH

Pidana dan UU ITE. Pengaturan mengenai tindakan penyerangan terhadap

kehormatan dan nama baik menurut KUH Pidana antara lain :

pencemaran/penistaan (Pasal 310 ayat 1), pencemaran/penistaan tertulis (Pasal 310

ayat 2), fitnah (Pasal 311), penghinaan ringan (Pasal 315), pengaduan fitnah (Pasal

317), persangkaan palsu (Pasal 318) dan penistaan terhadap orang yang meninggal

(Pasal 320) yang mana kesemua pasal tersebut ditujukan kepada semua orang yang

melanggar dan dengan ancaman hukuman 4 bulan hingga 4 tahun penjara.

Pencemaran nama baik menurut KUH Pidana ini dilakukan tanpa melalui media

internet. Di dalam UU ITE, pengaturan mengenai pencemaran nama baik diatur di

dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan ancaman hukuman pidana 6 tahun penjara.

Pencemaran nama baik menurut UU ITE ini harus melalui media internet.

Perbedaan antara kedua undang-undang tersebut adalah dari ancaman hukuman,

media, serta unsur-unsurnya. Kemudian, pengaturan menurut hukum Perdata diatur

di dalam Pasal 1372 sampai 1380 KUH Perdata. Si terhina dapat meminta ganti

kerugian materiil dan imateriil, rehabilitasi berupa uang serta penempelan

keterangan bahwa si terhina merupakan orang yang terhormat. Namun KUH

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 19: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

Perdata tidak mendefinisikan unsur-unsur pencemaran nama baik sehingga

memerlukan terminologi pidana untuk menentukan suatu perbuatan dapat

dikatakan pencemaran nama baik atau tidak.

2. Ketika mengajukan gugatan pencemaran nama baik tidak harus ada putusan pidana

terlebih dahulu. Alasannya antara lain:

1. Penghinaan yang digunakan dalam menggugat pencemaran nama baik dalam

perdata hanya berupa terminologi dari hukum pidana saja.

2. Tanpa adanya putusan pidana yang menyatakan bersalahnya si Penghina, pada

dasarnya pencemaran nama baik yang dilakukan sudah termasuk ke dalam

pelanggaran hak subyektif sebagaimana perluasan makna yang terkandung di

dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

3. Hukum pidana dan hukum perdata memiliki ranah hukum yang berbeda.

Hukum pidana merupakan hukum publik yang bertujuan mempidanakan

seseorang yang melanggar ketentuan hukum pidana. Sedangkan hukum perdata

merupakan hukum privat yang bertujuan untuk meminta ganti kerugian atas

perbuatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain.

4. Berdasarkan Pasal 1380 KUH Perdata, dalam mengajukan gugatan pencemaran

nama baik dalam perdata hanya memiliki jangka waktu 1 tahun sejak

penghinaan tersebut dilakukan dan penghinaan tersebut diketahui oleh orang

yang dihina.

3. Pertimbangan hakim untuk menerima gugatan tersebut meskipun tanpa perlu

membuktikan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum yang salah satunya adalah

unsur melawan hukum, sudah tepat. Tergugat telah melanggar hak subyektif

Penggugat sehingga tidak perlu membuktikan unsur-unsur Perbuatan Melawan

Hukum. Hal ini dikarenakan sejak tahun 1919, Hoge Raad memperluas arti dari

Perbuatan Melawan Hukum yang salah satunya adalah perbuatan yang melanggar

hak subyektif orang lain. Hak-hak subyektif yang penting berkenaan dengan

perbuatan melawan hukum yang diakui oleh yurisprudensi ialah hak-hak pribadi

seperti hak atas kebebasan, nama baik dan kehormatan, dan hak-hak harta

kekayaan. Namun Penggugat tidak meminta rehabilitasi nama baik dan kehormatan

yang telah diatur hak tersebut di dalam Pasal 1373 KUH Perdata.

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 20: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

Saran

Berikut adalah saran yang Penulis rekomendasikan berdasarkan analisis masalah dan

pembahasan dalam penjabaran bab-bab sebelumnya:

1. Menurut penulis perlu definisi tersendiri mengenai pencemaran nama baik

menurut hukum perdata. Hal ini dikarenakan sering kali terjadi ambiguitas

mengenai arti dari kata “penghinaan” yang tercantum di dalam Pasal 1372

KUH Perdata. Ambiguitas ini berdampak kepada penggunaan terminologi

serta unsur-unsur di dalam KUH Pidana untuk menentukan apakah seseorang

telah melakukan pencemaran nama baik atau tidak. Jadi definisi tersendiri

mengenai pencemaran nama baik menurut hukum perdata sangat diperlukan.

2. Menurut penulis perlu diatur mengenai tidak perlunya putusan pidana dalam

menerima gugatan pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan menimbulkan

ketidakpastian hukum karena seringkali terjadi perbedaan pendapat antara para

hakim dalam menerima gugatan pencemaran nama baik tanpa putusan pidana

yang telah berkuatan hukum tetap. Padahal sudah disebutkan di dalam Pasal

1380 KUH Perdata untuk gugatan pencemaran nama baik hanya memiliki

jangka waktu 1 tahun, sehingga jika menunggu putusan pidana akan

memerlukan waktu yang lama dan dapat melebihi jangka waktu daluarsa.

3. Menurut penulis, Penggugat seharusnya juga meminta rehabilitasi kepada

Hakim dengan cara penempelan putusan di muka umum dan agar Tergugat

membuat pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah fitnah. Hal

ini dimaksudkan untuk mengembalikan derajat dari nama baik dan kehormatan

si Penggugat, sehingga khalayak umum mengetahui bahwa yang dilakukan

oleh Tergugat merupakan kebohongan dan nama baik Penggugat menjadi

“bersih”.

Kepustakaan

Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Agustina, Rosa dkk. Dictum Jurnal Kajian Putusan Pengadilan. Jakarta: LEIP, 2004.

Ali, Mahrus. Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik Kajian Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010.

C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013

Page 21: TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN MELAWAN …

Djojodirdjo, A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta Pusat : Pradnya Paramita, 1979.

Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Halim, A. Ridwan. Pengantar Hukum Indonesia Dalam Tanya Jawab. Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.

Hasan, Djuhaendah. Istilah dan Pengertian Perbuatan Melawan Hukum dalam Laporan Akhir Kompendium Bidang Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996/1997.

Mamuji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Prakoso, Djoko. Hukum Penitentiere di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1988.

Senoadji, Oemar. Perkembangan Delik Pers di Indonesia: Profesi Wartawan. Jakarta: Erlangga, 1991.

Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta, 1991.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi UI, 1979.

"Belum jelas landasan hukumnya,"

//www.hukumonline.com/berita/baca/hol18172/belum-jelas-landasan-hukumnya. pada tanggal 24 Juni 2013

Putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia Nomor 2/PUU-VII/2009

Undang-undang

Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia

Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia

Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Tinjauan Yuridis..., Rizky Adhyaksa Prabowo, FH UI , 2013