102
Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi: Memprakkkan Nihil Deforestasi Versi 1.0 : Agustus 2015 WWW.HIGHCARBONSTOCK.ORG

Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

  • Upload
    ngodan

  • View
    244

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Toolkit Pendekatan SKT

Pendekatan Stok Karbon Tinggi: Mempraktikkan Nihil Deforestasi

Versi 1.0 : Agustus 2015

WWW.HIGHCARBONSTOCK.ORG

Page 2: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

“Mission statement related quote – the importance of the HCS concept cannot be overstated, etc, etc, Icatur susamet omnihilist re nos et in nos exces escid mint vention seipicim hillab ipsum ut quis cam sitis earum que omnis autemqui ut quam excea”

“Mission statement related quote – the importance of the HCS concept cannot be overstated, etc, etc, Icatur susamet omnihilist re nos et in nos exces escid mint vention seipicim hillab ipsum ut quis cam sitis earum que omnis autemqui ut quam excea”

Usulan sitiran: HCS Approach Steering Group, Eds. (2015). “The HCS Approach Toolkit.” Version 1.0. Kuala Lumpur: HCS Approach Steering Group.

Anggota Kelompok Pengarah Pendekatan SKT hingga tanggal 20 Maret 2015:Agropalma (Komite Eksekutif) Asia Pulp & Paper (Komite Eksekutif) Cargill Daemeter Forest Heroes Forest Peoples Programme (Komite Eksekutif) Golden Agri-Resources (Komite Eksekutif) Golden Veroleum (Liberia) Inc. Greenpeace (Komite Eksekutif) Musim Mas National Wildlife Federation New Britain Palm Oil Ltd. Proforest Rainforest Action Network(Komite Eksekutif) Rainforest Alliance TFT (Komite Eksekutif) Unilever (Komite Eksekutif) Union of Concerned Scientists Wilmar International Ltd. (Komite Eksekutif) WWF ((Komite Eksekutif)

Hak Cipta © Komite Pengarah Pendekatan SKT, Maret 2015

Proyek ini memiliki izin berdasarkan Creative Commons Attribution- NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License

Silakan mengunjungi laman berikut untuk melihat salinan izin. http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/

Laporan ini dapat digunakan, dicetak ulang atau didistribusikan secara keseluruhan atau sebagian dengan mencantumkan sumber. Laporan ini tidak diperbolehkan untuk dijual kembali atau digunakan untuk tujuan komersial apapun.

Page 3: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 1

Versi 1.0 : Agustus 2015

GAMBARAN UMUM DOKUMEN DAFTAR ISI

P2: Pendahuluan

P4: Singkatan dan Definisi

P6: Bab 1: Pendekatan Stok Karbon Tinggi dalam konteks dan kerangka Toolkit Pendekatan SKT

P11: Bab 2: Menghormati hak masyarakat atas tanah mereka dan atas Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan dalam Pendekatan Stok Karbon Tinggi

P28: Bab 3: Melakukan klasifikasi vegetasi awal melalui analisis citra

P54: Bab 4: Inventarisasi hutan dan estimasi stok karbon

P69: Bab 5: Konservasi Patch Hutan Ber-Stok Karbon Tinggi: Latar belakang dan prinsip

P77: Bab 6: Decision Tree Analisis Patch SKT

P93: Bab 7: Kesimpulan

P96: Daftar Pustaka

Daftar Isi

Gambaran Umum dokumen

Page 4: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

2

Versi 1.0 : Agustus 2015

PENDAHULUAN PENDAHULUAN DARI KOMITE EKSEKUTIF KOMITE PENGARAH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Pendahuluan

Telah ada kesepakatan umum global di antara berbagai kalangan, seperti perusahaan, lembaga penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang konservasi dan lingkungan, pemerintah, dan masyarakat yang bergantung pada hutan, mengenai perlunya menghentikan deforestasi di kawasan tropis. Hutan tropis memiliki keanekaragaman kehidupan tertinggi di Bumi dan memberikan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh penduduk Bumi. Tanpa hutan tropis, maka manusia, bidang usaha, dan planet Bumi tidak akan dapat bertahan.

Namun demikian, bagaimana cara perusahaan dan petani memastikan bahwa mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi hutan tropis melalui perkebunan baru untuk memproduksi pangan, bahan bakar, pakan dan serat yang kita perlukan seiring dengan peningkatan populasi penduduk? Bagaimana kita dapat membedakan lahan terdegradasi yang berpotensi sesuai untuk pengembangan perkebunan dan pertanian dengan kawasan hutan yang perlu dilindungi? Pendekatan yang ada saat ini, seperti misalnya proses Nilai Konservasi Tinggi (NKT), monitoring emisi gas rumah kaca, pemetaan partisipatif dan menghormati hak masyarakat atas tanah dan memberikan atau tidak memberikan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan - FPIC), memang dapat memperlambat deforestasi dan menjamin keberlangsungan mata pencaharian masyarakat, tetapi pendekatan tersebut tidak berhasil menghentikan pembukaan hutan secara keseluruhan. Walaupun tetap dianggap penting, pendekatan yang ada tidak mencakup semua kawasan hutan alami yang perlu dilindungi sehingga tidak memberikan panduan yang memadai untuk penerapan komitmen kebijakan ‘Nihil Deforestasi’. Sangat penting pula untuk memiliki definisi praktis mengenai ‘hutan alami’ yang dapat dimanfaatkan oleh konsesi

Untuk menanggapi tantangan tersebut dan mengikuti komitmen ‘Nol Deforestasi’ yang tegas, maka Golden Agri-Resources (GAR) bekerja sama dengan Greenpeace dan TFT telah merintis metodologi yang disebut dengan Pendekatan Stok Karbon Tinggi untuk mengidentifikasi kawasan hutan alami. Mulai tahun 2010 hingga 2014 berbagai proses untuk menentukan kawasan hutan tropis potensial yang layak serta lahan terdegradasi telah diujicobakan di Indonesia dan Liberia dengan mengombinasikan perhitungan simpanan karbon, konservasi keanekaragaman hayati, serta hak dan mata pencaharian masyarakat lokal. Pada bulan Agustus 2014, Komite Pengarah Pendekatan SKT dibentuk dari pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai kalangan dibentuk mengawasi penyusunan metodologi dan penggunaannya di lapangan.

Untuk menstandarisasi dan membuat metodologi ini tersedia bagi praktisi yang memerlukannya, maka Komite Pengarah mempublikasikan metodologi SKT sebagai Versi Pertama dari Toolkit Pendekatan SKT agar dapat digunakan dalam uji coba lebih lanjut dan untuk keperluan konsultasi yang lebih luas. Kami akan secara berkala memberikan pembaharuan terhadap toolkit ini beserta bab-bab

baru mengenai cara melestarikan, merestorasi dan memonitor hutan SKT. Kami sangat menerima berbagai umpan balik bagi pendekatan ini serta masukan kepada Komite Pengarah mengenai penerapan pendekatan di berbagai kawasan tropis untuk memperkuat dan menyempurnakan metodologi ini. Komite Pengarah Pendekatan SKT sedang menyusun serangkaian syarat ‘Kontrol Kualitas’ bagi para pengguna dan dalam waktu bersamaan meminta praktisi Pendekatan SKT untuk menerapkan metodologi ini sebagaimana dijelaskan di dalam toolkit.

Bagi para pengguna Pendekatan SKT, sangat penting untuk mengingat bahwa pengidentifikasian hutan SKT hanyalah salah satu dari beberapa aspek kritis perencanaan pemanfaatan lahan pada lanskap hutan. Lahan merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat lokal sehingga kawasan ber-Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan lahan gambut juga harus dilindungi. Selama proses SKT dan khususnya pada fase akhir metodologi, Pendekatan SKT ini terintegrasi dengan berbagai kategori pemanfaatan lahan tersebut. Maka dari itu, pendekatan ini mengandalkan adanya kajian NKT, pemetaan partisipatif, penghormatan terhadap hak-hak adat dan adanya FPIC pada rencana kawasan konservasi yang diusulkan, yang dilakukan dengan sangat baik.

Sebagai penutup, kami berterima kasih kepada para penulis dan pengulas yang telah berkontribusi dalam penyusunan toolkit ini dan semua pihak yang telah berbagi mengenai visi kami tentang Pendekatan SKT dan kontribusinya untuk mengakhiri deforestasi.

Marcus Colchester Forest Peoples Programme

Aida Greenbury Asia Pulp and Paper

Peter Heng Golden Agri-Resources

Scott Poynton TFT

Grant Rosoman Greenpeace

Komite Editorial Toolkit SKT mewakili Komite Pengarah Pendekatan SKT

“Bagaimana kita dapat membedakan lahan terdegradasi yang berpotensi cocok untuk mendirikan perkebunan dan pertanian dengan kawasan hutan yang perlu dilindungi?”

Page 5: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

3

Versi 1.0 : Agustus 2015

PENDAHULUAN PENDAHULUAN DARI KOMITE EKSEKUTIF KOMITE PENGARAH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Pendekatan Stok Karbon Tinggi: Pendekatan praktis menuju ‘Nihil Deforestasi’Disusun oleh Peter Heng (Golden Agri-Resources), Scott Poynton (TFT) dan Grant Rosoman (Greenpeace)

‘Nihil Deforestasi’ merupakan seruan bagi konsumen di seluruh dunia yang memiliki kepedulian. Para konsumen tersebut muak dengan gambar mengenai masyarakat terusir dari tanah mereka sendiri dan orang utan diselamatkan dari fragmen-fragmen hutan yang kecil di antara lahan luas yang dibuka demi perkebunan industri terbaru. Namun demikian, untuk mempraktikkan ‘Nihil Deforestasi’ beberapa pertanyaan kompleks berikut ini perlu untuk dijawab:

• Apa yang sebenarnya mencirikan suatu hutan? Saat ini sebagian besar lanskap hutan tropis tidak secara keseluruhan berupa tutupan hutan, tetapi memiliki campuran vegetasi yang dinamis, mulai dari padang rumput hingga belukar sampai hutan regenerasi hingga hutan dengan kerapatan dan tajuk yang tinggi. Dimana letak garis yang membedakan ‘hutan’ dan ‘bukan hutan’ dengan segala definisi internasional yang tidak praktis mengenai hutan?

• Atribut dan syarat apa saja yang dapat memungkinkan suatu hutan tropis untuk memelihara dan memulihkan fungsinya sebagai suatu hutan? Apakah ukuran suatu patch atau petak hutan penting untuk keberlangsungannya?

• Dapatkah kita merancang mosaik hutan yang sehat pada kawasan yang aktif secara ekonomi yang memelihara cadangan karbon dan keanekaragaman hayati dan mengintegrasikannya dengan alat konservasi yang lain? Haruskah Areal dengan nilai karbon rendah dan patch keanekaragaman hayati ‘dikorbankan’ demi pembangunan untuk memrioritaskan konservasi patch hutan yang terhubung dengan baik dan berukuran lebih besar? Bagaimana cara untuk mempertimbangkan jumlah hutan yang tersisa pada suatu lanskap?

• Bagaimana hak dan kebutuhan masyarakat lokal ditanggapi pada saat proses penghentian deforestasi? Dukungan dan keterlibatan masyarakat lokal pada tingkat mana yang diperlukan untuk mencapai konservasi hutan dalam jangka panjang dan jangka pendek? Apa peran pemerintah dalam pencapaian ‘Nihil Deforestasi’?

Pendekatan SKT merupakan suatu upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jika dibandingkan dengan kajian karbon, pendekatan SKT merupakan alat yang lebih pragmatis bagi perencanaan penggunaan lahan yang menyediakan metodologi untuk menerapkan konsep ‘Nihil Deforestasi’ di konsesi aktif yang direncanakan akan dibangun di negara-negara tropis. Pendekatan ini bertujuan untuk menghormati hak adat dan memenuhi kebutuhan masyarakat serta secara bersamaan mempertimbangkan realitas operasi perusahaan. Singkatnya, pendekatan ini menawarkan suatu pergeseran paradigma untuk menyertakan konservasi hutan sebagai dasar bagi ekspansi pertanian apapun pada lanskap hutan tropis.

Penyusunan Pendekatan SKT ini dimulai pada akhir tahun 2010 oleh Golden Agri-Resources (GAR), TFT dan Greenpeace pada saat penyusunan Kebijakan GAR mengenai Konservasi Hutan. Kegiatan penyusunan ini melewati berbagai tantangan untuk mendefinisikan ‘hutan’ dan untuk mencapai konservasi hutan-hutan tersebut dalam jangka panjang sebagaimana dijelaskan di atas. Karena pendekatan ini telah diuji coba di beberapa konsesi kelapa sawit yang berkaitan dengan GAR di Kalimantan Barat (Indonesia) dan Liberia serta melalui kajian SKT di perusahaan-perusahaan lain di berbagai wilayah Indonesia dan Papua Nugini. Dua fase dari pendekatan ini telah mendapatkan ulasan terpisah dari para ahli dan masukan dari berbagai pemangku kepentingan untuk menyusun metodologi yang dijelaskan dalam toolkit ini.

Pada tahun 2014, berbagai perusahaan di sektor kelapa minyak sawit dan pulp dan kertas serta perusahaan penghasil barang konsumsi kunci, berkomitmen untuk menggunakan Pendekatan SKT dalam penerapan ikrar ‘Nihil Deforestasi’-nya masing-masing. Ikrar dari berbagai pihak tersebut sangat memberikan dorongan dan desakan untuk penyelesaian toolkit versi pertama bagi para praktisi yang ingin membangun perkebunan secara bertanggung jawab di lanskap hutan tropis. Walaupun umpan balik dari penerapan pendekatan yang telah dilakukan akan meningkatkan kualitas metodologi ini, kami percaya bahwa Pendekatan SKT ini sudah merupakan suatu alat praktis yang dapat digunakan bagi produk apapun dan di negara manapun yang memiliki iklim tropis untuk menanggapi kebutuhan atas perlindungan hutan di dalam pembangunan pertanian. Kami mengharapkan adanya pembelajaran dari kajian SKT di kawasan-kawasan baru sebagaimana kita memulai perjalanan ‘Nihil Deforestasi’ ini secara bersama-sama.

“Pendekatan SKT ini sudah merupakan suatu alat praktis yang dapat digunakan untuk produk apapun dan di negara manapun yang memiliki iklim tropis lembab untuk menanggapi kebutuhan atas perlindungan hutan di dalam pembangunan pertanian”

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 6: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

4

Versi 1.0 : Agustus 2015

SUATU TOOLKIT BAGI PELAKSANA SKT SINGKATAN DAN DEFINISI

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Singkatan dan definisi

ISTILAH SINGKATAN DEFINISI

Diameter Setinggi Dada DBH Diameter pohon yang biasanya diukur pada ketinggian 1,3 m di atas permukaan tanah (lihat Bab 4)

Kajian Dampak Lingkungan KDLS dan Sosial

Free, Prior and Informed FPIC Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan. Consent Prinsip yang mengatur bahwa masyarakat memiliki

hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuannya atas proyek yang diusulkan yang dapat memberikan dampak terhadap tanah yang masyarakat tersebut miliki, duduki atau gunakan secara adat atau cara lainnya. (Sumber: FPP)

Geographic Information System GIS Sistem Informasi Geografis. Sistem komputer yang mampu menyusun, menyimpan dan menampilkan informasi yang diidentifikasi berdasarkan lokasinya di muka bumi (Dari USGS)

Global Positioning System GPS Sistem Pemosisi Global. Sistem yang menggunakan sinyal dari satelit untuk memberikan informasi mengenai keberadaan Anda serta menunjukkan arah untuk menuju lokasi lain (Dari Webster.com)

Stok Karbon Tinggi SKT Hutan SKT adalah hutan yang teridentifikasi melalui Pendekatan SKT sebagai kawasan berhutan dengan prioritas untuk dilindungi dari konversi

Nilai Konservasi Tinggi NKT Nilai Konservasi Tinggi (NKT) adalah nilai atau atribut biologis, ekologis, sosial atau budaya yang berkaitan dengan ekosistem alam atau yang dikelola secara tradisional, yang dianggap memiliki signifikansi luar biasa atau peranan yang sangat penting pada tingkat nasional, regional atau global. Kawasan pengelolaan NKT merupakan kawasan penting dalam lanskap yang perlu untuk dikelola secara baik untuk memelihara atau meningkatkan satu NKT atau lebih. Kawasan yang memiliki atribut demikian meliputi NKT 1: Kawasan yang memiliki konsentrasi nilai keanekaragaman hayati yang signifikan secara global, regional atau nasional (seperti contohnya endemisme, spesies terancam punah, refugia). NKT 2: Lanskap yang signifikan secara global, regional atau nasional di mana populasi yang layak dari sebagian besar atau seluruh spesies memiliki pola persebaran dan kelimpahan alami. NKT 3: Kawasan yang berada di dalam atau memiliki ekosistem langka, terancam atau terancam punah. NKT 4: Kawasan yang menyediakan jasa lingkungan mendasar pada situasi penting (seperti contohnya perlindungan daerah tangkapan air, kontrol erosi). NKT 5: Kawasan yang fundamental dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal (seperti misalnya subsisten, kesehatan)

Page 7: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

5

Versi 1.0 : Agustus 2015

SUATU TOOLKIT BAGI PELAKSANA SKT SINGKATAN DAN DEFINISI

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

ISTILAH SINGKATAN DEFINISI

NKT 6: Kawasan yang penting bagi identitas budaya tradisional masyarakat lokal (wilayah yang signifikan secara budaya, ekologis, ekonomi atau religi yang teridentifikasi melalui kerjasama dengan masyarakat lokal terkait (Sumber: HCV Network)

Hutan Kerapatan Tinggi HK3 Salah satu kelas vegetasi SKT

Lanskap tutupan hutan tinggi Lanskap dengan tutupan hutan alami lebih dari 80%

International Union for the IUCN Conservation of Nature

Lanskap Mosaik geografis yang terdiri dari berbagai ekosistem yang berinteraksi sebagai akibat dari pengaruh interaksi geologis, topografis, tanah, iklim, biotik dan manusia di kawasan tersebut (Sumber: IUCN)

Hutan Kerapatan Rendah HK1 Salah satu kelas vegetasi SKT

Lanskap Tutupan Hutan Rendah Lanskap dengan tutupan hutan alami kurang dari 30%

Hutan Kerapatan Menengah HK2 Salah satu kelas vegetasi SKT

Lanskap Tutupan Hutan Lanskap dengan tutupan hutan alami antara 30 Menengah hingga 80%

Hasil Hutan Non-Kayu HHNK Produk atau jasa apapun selain kayu yang dihasilkan di dalam hutan. HHNK meliputi buah dan kacang-kacangan, sayuran, ikan dan satwa buru, tumbuhan obat, resin, ekstrak dan berbagai jenis kulit kayu dan serat seperti misalnya bambu, rotan dan berbagai tumbuhan palem serta rumput-rumputan (Sumber: CIFOR)

Pengurangan Emisi dari REDD+ Suatu kerangka kerja yang sedang disusun oleh PBB di Deforestasi dan Degradasi mana melalui kerangka kerja tersebut negara-negara (PBB-REDD+) berkembang diberi penghargaan secara finansial atas

(a) Pengurangan emisi dari deforestasi; (b) Pengurangan emisi dari degradasi hutan; (c) Konservasi stok karbon hutan; (d) Pengelolaan hutan secara berkelanjutan; dan/atau (e) Peningkatan stok karbon hutan (Dari the REDD Desk, 2015)

Roundtable on Sustainable Palm Oil RSPO

Area yang dialokasikan agar tidak Sebidang lahan di dalam konsesi swasta atau lahan dipakai untuk aktifitas apapun pertanian yang tidak akan ditanami tanaman komersial (set-aside)

Hutan Regenerasi Muda HRM Salah satu kelas vegetasi SKT

Page 8: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

6

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 1 STOK KARBON TINGGI DALAM KONTEKS DAN GARIS BESAR PENDEKATAN SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Oleh Charlotte Opal, TFT

DAFTAR ISI BAB

P7: Pendahuluan

P8: Pendekatan SKT dalam konteks

P9: Gambaran umum Pendekatan SKT dan Toolkit Pendekatan SKT

P10: Tindak lanjut dari Toolkit Pendekatan SKT

Stok Karbon Tinggi dalam konteks dan garis besar Pendekatan SKT

Bab 1

Page 9: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

KLASIFIKASI SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 7

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 1 STOK KARBON TINGGI DALAM KONTEKS DAN GARIS BESAR PENDEKATAN SKT

Maka dari itu, diperlukan suatu metodologi yang praktis, kuat secara ilmiah dan hemat biaya yang dapat membedakan kawasan hutan yang layak dengan kawasan yang terdegradasi dan memiliki karbon dan nilai keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Pendekatan Stok Karbon Tinggi (SKT) ini merupakan metodologi praktis pertama yang telah diuji dan dikembangkan di berbagai konsesi aktif di Asia dan Afrika dengan masukan dari berbagai pemangku kepentingan. Pendekatan ini merupakan alat yang relatif sederhana sehingga perusahaan perkebunan dapat menggunakannya untuk melakukan pembangunan baru yang dalam waktu bersamaan dapat menjamin bahwa hutan dilindungi dari konversi.

Secara lebih luas Pendekatan SKT ini melakukan stratifikasi vegetasi yang terdapat pada suatu hamparan menjadi beberapa kelas. Setiap kelas vegetasi divalidasi melalui kalibrasi dengan estimasi stok karbon pada biomasa pepohonan di atas tanah. Diagram berikut ini menunjukkan empat kelas hutan SKT. Ambang batas bagi hutan SKT potensial berada di antara kelas Hutan Regenerasi Muda (HRM) dan Belukar (B).

Toolkit Pendekatan SKT ini akan memberikan panduan para praktisi melalui berbagai tahap pengidentifikasian hutan SKT, yaitu mulai dari stratifikasi awal terhadap vegetasi melalui citra satelit dan plot lapangan, melalui proses Decision Tree untuk mengkaji nilai konservasi patch hutan SKT pada lanskap dan memastikan hak dan mata pencaharian masyarakat dihormati, hingga proses pembuatan peta final mengenai konservasi dan pemanfaatan lahan. Bab ini menggambarkan secara singkat proses SKT dan garis besar toolkit ini, yang diawali dengan gambaran umum Pendekatan SKT dalam konteks yang lebih luas.

Dalam lima tahun terakhir, banyak perusahaan terkemuka di bidang industri kedelai, minyak sawit, pulp dan kertas, dan daging sapi setuju untuk menghapus deforestasi dari kegiatan dan rantai pasoknya. Sebagian besar bahkan telah setuju untuk melindungi kawasan ber-Nilai Konservasi Tinggi (kawasan NKT). Akan tetapi, banyak hutan sekunder yang berfungsi sebagai penyimpan karbon esensial, habitat bagi keanekaragaman hayati, dan penyedia hasil hutan bagi masyarakat lokal yang tidak dianggap sebagai kawasan NKT. Terdapat beberapa definisi yang lebih luas mengenai ‘hutan’, tetapi definisi tersebut tidak cukup praktis untuk dapat mengimplementasikan komitmen perusahaan terhadap ‘Nihil Deforestasi’ di kawasan tropis.

Pendahuluan

“Diperlukan suatu metodologi yang praktis, kuat secara ilmiah dan hemat biaya yang dapat membedakan kawasan hutan yang layak dengan kawasan yang terdegradasi dan memiliki karbon dan nilai keanekaragaman hayati yang lebih rendah”

Page 10: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TAHAPAN-TAHAPAN DALAM PROSES

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI8

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 1 STOK KARBON TINGGI DALAM KONTEKS DAN GARIS BESAR PENDEKATAN SKT

Konteks penerapan pendekatan SKT

Pertama, penting untuk dicatat bahwa metodologi SKT ini dirancang untuk penggunaan di lanskap dan mosaik hutan terfragmentasi di kawasan tropis lembab. Metodologi ini nantinya dapat diadaptasi untuk jenis vegetasi lain seperti sabana tropis atau hutan iklim atau boreal, tetapi pengulangan pertama ini dikembangkan untuk mengidentifikasi kawasan hutan alami di kawasan tropis lembab, dan toolkit ini akan menjelaskan bagaimana penggunaannya dalam konteks tersebut.

Kedua, walaupun konsep hutan ber-Stok Karbon Tinggi memiliki kata ‘karbon’ pada judulnya, konsep tersebut tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat ukur simpanan karbon ataupun berbagai jenis jejak atau penghitungan karbon lainnya. Terdapat berbagai alasan lain mengapa hutan harus dilindungi, bukan hanya karena hutan merupakan simpanan karbon yang sangat penting. Dalam Pendekatan SKT ini, estimasi kandungan karbon dalam vegetasi digunakan untuk membantu membedakan berbagai jenis vegetasi: secara umum semakin tinggi kandungan karbon mengindikasikan vegetasi yang lebih rapat dan struktur yang lebih kompleks. Maka dari itu, Pendekatan SKT ini hanya menggunakan pendugaan biomasa di atas tanah pada pohon dengan DBH lebih dari atau sama dengan 5 cm. Biomassa di atas tanah lainnya dan karbon di bawah tanah lainnya diperhitungkan. (Namun, tanah berkarbon tinggi seperti gambut dipertimbangkan dalam pendekatan ini dengan dimasukkan ke dalam kawasan yang akan dilindungi dan dikonservasi pada tahap final perencanaan pemanfaatan lahan yang terintegari.

Ketiga, Pendekatan SKT ini memang berdasarkan hasil interpretasi dan analisis GIS dan penginderaan jarak jauh, ilmu kehutanan dan konservasi, tetapi metodologi untuk menentukan hutan SKT dirancang untuk mempertimbangkan perbedaan tipe dan kondisi hutan setempat. Hal ini berarti bahwa walaupun metodologi yang sama digunakan untuk mengidentifikasi hutan SKT di setiap negara dan peraturan yang dijelaskan di dalam toolkit ini diterapkan secara konsisten, hasil setiap kajian dapat berbeda-beda tergantung pada konteks lanskap lokalnya. Nilai karbon di atas tanah rata-rata dihitung untuk kelas-kelas yang diidentifikasi, tetapi kemungkinan besar nilainya akan berbeda-beda antar negara dan bahkan pada negara yang sama.

Terakhir, Pendekatan SKT ini dirancang untuk digunakan secara paralel dan terintegrasi dengan strategi tata guna lahan dan konservasi lainnya. Hal-hal yang tercakup di dalamnya adalah Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (FPIC) dan perlindungan lahan gambut, zona riparian, kawasan NKT, dan kawasan yang penting bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat untuk kegiatan budaya dan ekonomi. Memang benar jika berbagai aspek lain ini belum dikaji dan dipetakan dengan baik, maka tahapan-tahapan yang diatur di dalam Pendekatan SKT ini tidak dapat terselesaikan sepenuhnya karena peta final mengenai pemanfaatan lahan dan konservasi yang terintegrasi tidak dapat disusun.

Page 11: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 9

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 1 STOK KARBON TINGGI DALAM KONTEKS DAN GARIS BESAR PENDEKATAN SKT

Agar proses SKT dapat berjalan dengan baik dan hutan dapat dikonservasi, maka masyarakat lokal harus diintegrasikan ke dalam proses ini mulai dari awal. Bab ini memberikan gambaran umum mengenai bagaimana cara melibatkan masyarakat dalam perencanaan pemanfaatan lahan dan mengintegrasikan proses SKT dengan FPIC, yaitu hak masyarakat lokal untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuannya terhadap proyek apapun yang memberikan dampak terhadap lahan, mata pencaharian dan lingkungan mereka.

Suatu studi kasus pendek mengenai bagaimana suatu perusahaan menangani konflik masyarakat selama studi percontohan SKT berlangsung juga disajikan dalam bab ini.

Tahap pertama dari Pendekatan SKT ini adalah untuk mengklasifikasikan vegetasi ke dalam kelas-kelas yang relatif homogen berdasarkan citra satelit. Teknik stratifikasi tak terbimbing (unsupervised) vs. terbimbing (supervised) vs. visual dibahas bersama beserta gambaran umum dari basis data citra dan alat yang tersedia.

Dalam bab ini, terdapat juga contoh citra satelit dari studi-studi SKT untuk menunjukkan bagaimana klasifikasi awal dilakukan.

Peta yang dibuat di Fase Pertama kemungkinan besar akan berisi beberapa kawasan hutan besar serta beberapa patch hutan kecil yang terisolasi. Bab ini akan memberikan ulasan mengenai penelitian dan literatur ilmiah mengenai konservasi yang berkaitan dengan analisis patch hutan dalam suatu lanskap, dan menjelaskan bagaimana parameter yang berbeda, termasuk di dalamnya bentuk, ukuran, konfigurasi, dan konektivitas mendukung keputusan mengenai konservasi patch di dalam Decision Tree SKT.

Patch hutan SKT dianalisis menggunakan parameter yang berbeda, yaitu dengan menggunakan perpaduan alat GIS, analisis manual dan pemeriksaan lapangan. Bab ini menjelaskan mengenai Pohon Keputusan SKT yang merupakan alat sederhana untuk menangani serangkaian keputusan kompleks yang harus dibuat mengenai setiap patch SKT. Panduan yang diberikan adalah mengenai bagaimana patch diklasifikasikan pada setiap tahap Decision Tree.

Tahap akhir Decision Tree mengintegrasikan hutan SKT dengan kawasan konservasi dan pengelolaan lainnya, termasuk lahan gambut, kawasan NKT dan kawasan yang penting bagi masyarakat, dan diikuti oleh penyusunan proposal kawasan pengembangan dan konservasi.

Pada tahapan selanjutnya dilakukan pengambilan contoh di lapangan atas kelas vegetasi yang diajukan dalam tahapan pertama. Bab ini menjelaskan bagaimana memilh plot sampel, mengukur vegetasi, memperkirakan biomassa di atas tanah dan menyempurnakan klasifikasi. Pada akhir Fase Pertama, peta indikatif kawasan hutan SKT akan dibuat dengan dilengkapi patch hutan SKT dari berbagai ukuran dan konektivitas yang teridentifikasi.

Gambaran umum Pendekatan SKT dan Toolkit Pendekatan SKT

Toolkit ini dimaksudkan untuk digunakan oleh praktisi yang hendak memastikan tidak dilakukannya pembukaan hutan di dalam konsesi yang diperuntukkan sebagai areal penanaman baru. Metodologi SKT ini akan mendapatkan hasil yang paling baik jika diterapkan oleh tim yang terdiri dari para ahli dengan berbagai keahlian. Keahlian tersebut dapat berbeda-beda, mulai dari analisis hak kepemilikan lahan dan pemetaan partisipatif hingga analisis citra satelit, inventarisasi hutan, kajian keanekaragaman hayati dan perencanaan lanskap. Maka dari itu, bab-bab berikut ini lebih bersifat teknis dengan tujuan praktisi terlatih dapat menggunakannya di lapangan untuk mengimplementasikan Pendekatan SKT dengan hanya sedikit panduan tambahan.Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pendekatan SKT ini dimaksudkan untuk diintegrasikan dengan perencanaan pemanfaatan lahan secara keseluruhan yang juga melindungi kawasan NKT, lahan gambut dan lahan-lahan lain yang penting untuk masyarakat. Karena proses-proses tersebut telah dijabarkan dengan baik oleh sumber lainnya, maka toolkit ini tidak membahas proses tersebut secara rinci dengan asumsi bahwa ketika studi SKT dimulai, maka kajian berkualitas tinggi mengenai nilai-nilai lain tersebut telah dilakukan. Meskipun demikian, para penulis telah berusaha sebaik mungkin untuk menyoroti tahapan-tahapan tersebut di dalam metodologi SKT dimana kajian-kajian lain diperlukan secara khusus.

Urutan bab dalam Toolkit SKT ini mengikuti urutan kajian SKT. Toolkit ini membawa penggunanya melalui tahapan pertama yaitu pelibatan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan ke dalam proses dan semua tahapannya, hingga tahap membuat proposal mengenai kawasan hutan SKT yang perlu untuk dikonservasi dan kawasan yang sesuai untuk dilakukannya pembangunan. Setiap tahapan dalam Pendekatan SKT dan bab pada Toolkit yang berkaitan diuraikan di sebelah kanan. Bab kesimpulan-kesimpulan pendek menyoroti bagian-bagian untuk pengkajian lebih lanjut.

“Pendekatan SKT ini dimaksudkan untuk diintegrasikan dengan perencanaan pemanfaatan lahan secara keseluruhan yang juga melindungi kawasan NKT, lahan gambut dan lahan-lahan lain yang penting untuk masyarakat”

BAB 2: MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

BAB 3: KLASIFIKASI VEGETASI AWAL MELALUI ANALISIS CITRA

BAB 5: KONSERVASI PATCH HUTAN SKT: LATAR BELAKANG DAN PRINSIP

BAB 6: DECISION TREE ANALISIS PETAK HUTAN SKT

BAB 4: INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Memasukkan Pendekatan SKT ke dalam konteks sosialnya

Fase Pertama: Pembuatan peta indikatif hutan SKT pertama

Fase Kedua: Analisis patch SKT dan pembuatan peta indikatif konservasi/pengembangan

Page 12: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI10

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 1 STOK KARBON TINGGI DALAM KONTEKS DAN GARIS BESAR PENDEKATAN SKT

Tindak lanjut dari Toolkit Pendekatan SKT

Toolkit Pendekatan SKT edisi pertama ini bertujuan untuk menyatukan pengetahuan yang didapat melalui gelombang pertama uji coba dan inovasi SKT, termasuk di dalamnya menguji metodologi yang digunakan dalam studi percontohan yang dilaksanakan pada tahun 2011 hingga 2014 di berbagai perkebunan kelapa sawit dan pulp dan kertas di Indonesia, Liberia dan Papua Nugini. Ketika menerbitkan metodologi ini, Komite Pengarah Pendekatan SKT berharap agar toolkit ini digunakan untuk mengimplementasikan kajian SKT pada ekspansi pertanian di semua wilayah tropis, termasuk pada transparansi proses dan hasil pembuatan keputusan.

Metodologi SKT ini dapat sedikit berubah sesuai dengan perkembangan pengetahuan mengenai konservasi yang menjadi dasarnya, dan pastinya berbagai pelajaran akan diambil melalui pengujian lebih lanjut. Maka dari itu metodologi edisi pertama ini dimaksudkan agar digunakan untuk keperluan konsultasi yang lebih luas dan untuk mendapatkan umpan balik lebih banyak. Tetapi, Komite Pengarah Pendekatan SKT tidak memprediksi adanya perubahan besar pada metodologi ini dan penyempurnaan apapun perlu disetujui oleh Komite Pengarah. Perusahaan yang berkomitmen terhadap Pendekatan SKT harus percaya bahwa hasil kajian SKT menggunakan toolkit ini merupakan hasil yang kokoh, relevan dan diterima dengan baik di masa mendatang, bahkan jika seiring dengan berjalannya waktu dilakukan berbagai penyempurnaan minor pada metodologi ini.

Akhir kata, toolkit versi pertama ini membawa para praktisi kepada hasil berupa peta kawasan konservasi/pengembangan yang diusulkan. Dengan demikian, kawasan hutan SKT (terintegrasi dengan kawasan konservasi lainnya) perlu untuk dikonservasi bersama dengan masyarakat lokal dan perlindungan hukumnya terjamin. Berbagai inovasi juga diperlukan untuk mendanai perlindungan hutan SKT serta untuk pengelolaan dan monitoringnya. Pada tahun 2015 Komite Pengarah Pendekatan SKT akan mengumpulkan berbagai pengalaman dan memimpin diskusi mengenai aspek-aspek tersebut dengan tujuan menyusun panduan dan modul tambahan untuk toolkit ini untuk menanggapi aspek-aspek tersebut.

Maka dari itu, Toolkit Pendekatan SKT ini seyogyanya dianggap sebagai dokumen ‘hidup’ yang akan diperbaharui dan diberi penambahan seiring berjalannya waktu dan penyempurnaan metodologi. Walaupun Pendekatan SKT ini sendiri merupakan pendekatan yang inovatif dan kolaboratif, toolkit ini akan beradaptasi dan berubah berdasarkan saran dan penelitian ilmiah serta inovasi dan pengalaman perusahaan, LSM, dan para pakar yang menggunakan toolkit ini untuk mengimplementasikan komitmen mereka dalam upaya menghapuskan deforesasi.

“Walaupun Pendekatan SKT ini sendiri merupakan pendekatan yang inovatif dan kolaboratif, toolkit ini akan beradaptasi dan berubah berdasarkan saran dan penelitian ilmiah serta inovasi dan pengalaman dari perusahaan, LSM, dan para pakar yang menggunakan toolkit ini”

Page 13: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

11TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Oleh Marcus Colchester, Patrick Anderson dan Sophie Chao, Forest Peoples Programme

Penulis bab ini ingin mengucapkan terima kasih kepada Tint Lwin Thaung dari The Center for People and Forests (RECOFTC), Janis Alcorn dari Rights and Resources Initiative, Erik Wakker dari AidEnvironment, Bill Barclay dan Brihannala Morgan dari Rainforest Action Network, dan anggota Komite Editorial Toolkit SKT atas masukan-masukannya yang berguna dalam draf dokumen. Penulis bertanggung jawab atas kesalahan yang masih ada dalam bab ini.

DAFTAR ISI BAB

P12: Pendahuluan: Menghormati hak dan menjamin mata pencaharian di dalam hutan

P16: Pembebasan Lahan dan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan

P19: Mengakomodasi hak dan mata pencaharian dalam Pendekatan Stok Karbon Tinggi

P21: Mengklarifikasi kepemilikan dan pengelolaan tanah

P23: Monitoring

P25: Memuat Pendekatan SKT ke dalam negosiasi yang sudah ada

P27: Kesimpulan: Mengintegrasikan rasa hormat untuk hak masyarakat atas tanah dan FPIC ke dalam Pendekatan SKT

P28: Studi Kasus: Pentingnya pelibatan masyarakat dalam Pendekatan SKT: Studi kasus di PT KPC Oleh Jana Nejedlá, TFT, dan Pi Li Lim, Golden-Agri Resources

Menghormati hak masyarakat atas tanah mereka dan atas Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan dalam Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Bab 2

Page 14: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

12

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Pendahuluan: Menghormati hak dan menjamin mata pencaharian di dalam hutan

“Sangat umum bagi masyarakat yang hidup di hutan untuk berpindah-pindah dalam wilayahnya, memindahkan lokasi desa mereka untuk memperoleh akses terhadap wilayah perburuan atau pertanian, sambil membiarkan wilayah lokasi bekas kampungnya untuk pulih kembali”

Sistem pemanfaatan lahan ini kompleks dan beragam. Banyak masyarakat yang hidup di hutan menerapkan sistem ekonomi campuran yang melibatkan, antara lain: kegiatan berburu dan meramu di wilayah yang luas untuk satwa buruan dan beragam jenis buah, tumbuhan liar, resin, obat-obatan, bahan bangunan; menangkap ikan di sungai, danau, anak sungai, kolam, dan hutan yang tergenang musiman; bertani dan membiakkan ternak di ladang, padang penggembalaan ternak, dan hutan berbukit yang dibuka secara bergilir; dan budi daya tanaman seperti rotan, tanaman buah, karet, dan kayu. Produk dari semua kegiatan tersebut dapat digunakan secara lokal, untuk tukarkan dengan tetangga atau diperdagangkan secara regional maupun global. Semua praktik ini menunjukkan adanya pengetahuan ekologi setempat yang terkandung dalam pengetahuan praktis, sistem kepercayaan, dan norma sosial yang menyertainya.

Terkait dengan sistem pemanfaatan lahan tersebut terdapat sistem lokal yang kompleks untuk membagikan hak dan mengatur pemakaian dan akses, yang diawasi oleh masyarakat, dan pada tingkat yang lebih tinggi, melalui lembaga. Merupakan hal yang biasa bagi masyarakat hutan untuk menemukan bahwa hak-hak atas berbagai aspek tanah, wilayah dan sumber daya mereka pada saat yang sama dipegang oleh berbagai lembaga lokal dengan cara-cara yang bertumpang tindih. Sebagai contoh, suatu wilayah mungkin dimiliki secara kolektif oleh suatu desa atau beberapa pemukiman, dan diawasi oleh suatu dewan tetua. Dalam area tersebut, beberapa pemburu atau kelompok pemburu mungkin memiliki jalur perburuan atau penjeratannya sendiri, pohon buah tertentu mungkin dimiliki oleh individu tertentu, lahan pertanian atau hutan yang ditinggalkan dalam kondisi bera bisa jadi dimiliki keluarga yang pertama membuka lahan atau hutan tersebut, dan wilayah penangkapan ikan untuk dijatahkan untuk kelompok-kelompok tertentu.

Selain itu, bentang alam masyarakat tidak hanya penting secara ekonomi bagi mereka, tetapi juga mengandung nilai sejarah, asosiasi, atau nilai tradisi penting, dan mendukung identitas masyarakat tersebut. Situs sakral mungkin dianggap tabu untuk individu-individu atau kondisi tertentu. Kawasan hutan tertentu mungkin diperuntukkan bagi tujuan religius, atau dialokasikan untuk berburu, untuk kegiatan pertanian generasi yang akan datang, atau dibiarkan agar pulih setelah dimanfaatkan. Biasanya ada norma-norma yang telah ditetapkan dan berlaku secara lokal yang dapat memutuskan sengketa dan menyelesaikan konflik yang muncul. Penetapan bentang alam sering kali tidak tampak bagi pengamat luar, bahkan bagi para ilmuwan.

Selain itu, sangat sering bagi masyarakat yang tinggal di dalam hutan untuk berpindah-pindah dalam wilayahnya, memindahkan kampungnya untuk mendapatkan akses ke lokasi perburuan atau pertanian yang baru, serta peluang berdagang, sembari membiarkan kawasan yang lama pulih kembali. Hal ini bukan berarti bahwa kawasan yang lama tersebut ‘ditelantarkan’, tetapi kawasan tersebut sementara tidak dimanfaatkan atau dimanfaatkan dengan cara yang tidak seintensif biasanya. Penelitian menunjukkan bahwa sistem mobilitas perkampungan, pertanian berpin¬¬dah, dan zonasi pemanfaatan lahan dapat memastikan keberlanjutan jangka panjang bentang alam hutan.1

Istilah singkat yang kami gunakan untuk menjelaskan sistem kompleks tersebut adalah ‘pemanfaatan secara adat, ‘hak adat’, dan ‘hukum adat’. Hukum hak asasi manusia (HAM) dan hukum lingkungan internasional mewajibkan penghormatan atas sistem-sistem tersebut. Hukum ini mencakup kovenan-kovenan dan traktat-traktat pokok Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai

Hampir semua ekosistem terestrial di wilayah tropis berpenghuni dan menyediakan mata pencaharian untuk beragam kelompok sosial, yang sering kali disebut sebagai masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal. Sekitar 350 juta masyarakat hukum adat tinggal di hutan, sedangkan sebanyak 1,5 milyar penduduk, termasuk diantaranya setengah dari masyarakat termiskin dunia, bergantung langsung pada hutan sebagai mata pencaharian setiap harinya (Chao, 2012). Hasil penelitian memang menunjukkan bahwa banyak ekosistem tropis tampak seperti ekosistem ‘perawan’ namun namun telah dikonversi dengan adanya pendudukan dan pemanfaatan jangka panjang oleh manusia (Balée, 1994; Leach dan Mearns, 1996; Fairhead dan Leach, 1998; Posey dan Balick, 2006). Beberapa praktik-praktik adat justru meningkatkan simpanan karbon dalam vegetasi dan tanah, seperti terra pretasoil yang kaya akan humus di Brazil yang terbentuk akibat pertanian tradisional selama berabad-abad serta patch hutan yang dibentuk oleh pemukiman manusia di sabana Afrika Barat (Heckenberger, 2005). Hampir semua intervensi yang mempengaruhi ekosistem tersebut juga dapat mengganggu ekologi kawasan dan mempengaruhi masyarakat yang tergantung kepadanya, sehingga menyiratkan perlunya bentuk tanggung jawab untuk menghormati hak-hak mereka dan mempertimbangkan dampaknya terhadap mata pencaharian, budaya, dan peran masyarakat tersebut dalam membentuk ekosistemnya.

1. Untuk contoh, lihat: http://www.agriculturesnetwork.org/magazines/global/farming-in-the-forest/intensification-of-shifting-cultivation-editorial

Page 15: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

13

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Menurut HAM, Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat, dan Konvensi Keanekaragaman Hayati. Negara-negara wajib melindungi hak-hak tersebut, dan perusahaan harus menghormatinya bahkan apabila hukum atau praktik nasional tidak mengakui hak–hak tersebut. Prinsip Panduan PBB mengenai HAM dan Bisnis2 menyatakan bahwa kewajiban perusahaan bisnis untuk menghormati HAM tidak tergantung pada kemampuan dan/atau kemauan Negara-negara memenuhi kewajiban HAM mereka, dan kewajiban tersebut melebihi dan melampaui kepatuhan terhadap peraturan perundangan perlindungan HAM nasional. Kewajiban perusahaan tersebut juga disebutkan dalam berbagai standar keberlanjutan dan program sertifikasi.

Karena proses kajian Hutan dengan Stok Karbon Tinggi telah dikembangkan sebagai alat praktis yang digunakan perusahaan dalam perencanaan pemanfaatan lahan untuk konsesi hutan, proses SKT penting untuk dijustifikasi dalam kewajiban perusahaan untuk menghormati pemanfaatan secara adat, HAM, dan hukum internasional. Bab ini memberikan gambaran besar kewajiban tersebut serta tahapan yang perlu diambil oleh perusahaan untuk mengintegrasikan hal-hal tersebut dalam proses SKT.

Implikasi bagi konsesi perusahaan dan identifikasi hutan dengan Stok Karbon TinggiSaat perusahaan mencoba mendapatkan kawasan hutan melalui pembelian atau hak sewa (izin ‘konsesi’) dari pemerintah, mereka harus mengambil langkah guna memastikan keberlangsungan hak dan mata pencaharian masyarakat izin hutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan komersial yang direncanakan perusahaan perkebunan berpotensi melemahkan atau menggangu ekosistem setempat serta sistem pemanfaatan lahan sebelumnya. Hal ini disebabkan antara lain oleh:• Alokasi lahan dan sumber daya untuk perkebunan tidak dapat dipungkiri akan

mengurangi atau tumpang tindih dengan lahan yang tersedia bagi masyarakat lokal untuk pemanfaatan lainnya;

• Infrastruktur baru seperti jalan, jembatan dan desa membuka wilayah terhadap pemanfaatan sumber daya yang semakin intensif dan komersial, baik oleh masyarakat setempat maupun pendatang;

• Perusahaan baru menarik pekerja dan penduduk lainnya pindah ke lokasi tersebut untuk mendapatkan pekerjaan dan terlibat dalam kegiatan komersial lainnya, sehingga terjadi persaingan atas pekerjaan dan sumber daya dengan masyarakat lokal;

• Lebih jelas lagi, apabila tanah dan hutan masyarakat diambil alih tanpa perencanaan konsultatif yang memadai, tanpa menghormati hak masyarakat atau tanpa persetujuan dari mereka, maka perkebunan yang dipaksakan dapat mengancam mata pencaharian masyarakat, menciptakan konflik sosial yang serius, dan menyebabkan penyalahgunaan lingkungan.

“Proses SKT penting untuk dijadikan sebuah dasar dalam pemenuhan kewajiban sebuah perusahaan untuk menghormati pemanfaatan secara adat, HAM, dan hukum internasional”

2. Tersedia di: http://www.ohchr.org/Documents/Publications/GuidingPrinciplesBusinessHR_EN.pdf

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 16: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

14 TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Tujuan dari hasil pengkajian dampak lingkungan dan sosial serta perencanaan lahan, seperti perangkat yang digunakan untuk melindungi Nilai Konservasi Tinggi atau mengidentifikasi hutan menggunakan pendekatan Stok Karbon Tinggi, adalah untuk memitigasi dampak-dampak tersebut dan memastikan bahwa nilai dan jasa lingkungan penting ini dijaga atau ditingkatkan. Namun, apabila kajian dilakukan tanpa partisipasi yang sungguh-sungguh dan lahan direalokasikan untuk tujuan lingkungan tanpa keterlibatan masyarakat atau tanpa menghormati hak dan mata pencaharian mereka, maka bisa jadi tidak efektif atau menjadi semakin buruk. Hal ini disebabkan antara lain oleh:

• Asesor dan manajer perusahaan tidak memahami: cakupan hak-hak masyarakat lokal, bagaimana mereka memperoleh mata pencaharian, serta hak dan status apa yang terkandung dalam suatu hamparan tanah dan hutan dalam sistem kepemilikan dan pemanfaatan lahan secara adat;

• Klasifikasi yang diberlakukan mungkin juga mempengaruhi semua sistem pemanfaatan lahan setempat;

• Pencadangan untuk tujuan lingkungan dan pembatasan yang diberlakukan mungkin melanggar hak adat, menimbulkan kedongkolan atau sengketa dengan pengguna lokal;

• Pembatasan pemanfaatan bisa memiskinkan masyarakat lokal atau menggusur kegiatan pemanfaatan lahan yang mereka lakukan ke wilayah lain;

• Sistem pemanfaatan lahan yang terganggu bisa menjadi semakin tidak berkelanjutan dan memberikan tekanan yang lebih besar pada sumber daya yang tersisa, termasuk perkebunan dan area set-aside.

Hal ini bukan hanya kesulitan teoritis saja. Perkebunan pulp dan kertas serta kelapa sawit dan kawasan lindung yang diberlakukan telah menyebabkan konflik yang meluas (Colchester, 1994 dan Dowie, 2009). Di Malaysia terdapat ratusan kasus hukum di tingkat pengadilan di mana masyarakat mempersengketakan bagaimana lahan telah dialokasikan untuk perusahaan tanpa menghormati hak adat mereka (Colchester et al., 2007). Di Indonesia, di mana perlindungan hukum atas hak adat lebih lemah, lembaga pemerintah yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) memperkirakan ada sekitar 4.000 konflik tanah antara perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat. Sengketa yang tidak terselesaikan bisa berujung pada demonstrasi, penindasan oleh polisi, tindakan balasan berupa pencurian tanaman, perusakan properti, penindasan, kerusuhan, kekerasan oleh oknum polisi, luka dan kematian. Masalah-masalah seperti ini bisa menghentikan kegiatan operasional perkebunan, menyebabkan kerugian finansial yang signifikan dan berujung pada penderitaan yang dialami masyarakat lokal.

Namun, studi lapangan mendalam juga mengungkap permasalahan tentang perencanaan penggunaan kawasan NKT dan SKT. Dalam sejumlah kasus, masyarakat yang diambil tanah dan hutannya, pertama oleh perkebunan kemudian dengan adanya area yang dialokasikan ulang untuk tujuan lingkungan, merasa terpaksa membuka kebun di hutan tepi sungai yang merupakan kawasan yang tidak dikembangkan untuk memastikan keberlanjutan jasa lingkungan dalam NKT 4 atau merambah kawasan yang dialokasikan untuk spesies langka, terancam, hampir punah dalam NKT 2. Permasalahan utama berasal dari:

• Kegagalan perusahaan menemukenali hak masyarakat yang ada sebelumnya dan menghormati hak mereka memberikan atau tidak memberikan persetujuan atas kegiatan operasional di tanah mereka;

• Penggunaan toolkit yang tidak memadai dengan pemahaman yang tidak jelas mengenai bagaimana cara mengalokasikan lahan untuk mata pencaharian;

• Asesor yang tidak dilatih dengan baik yang tidak memahami kompleksitas sistem pemanfaatan tanah secara adat; dan

• Kurangnya partisipasi nyata masyarakat dalam menjalankan pengkajian dan mengembangkan rencana pengelolaan untuk menjaga nilai-nilai konservasi

Permasalahan juga muncul apabila masyarakat tidak diberikan informasi lengkap mengenai seberapa banyak lahan mereka yang akan diambil alih oleh perusahaan untuk perkebunan dan area yang dialokasikan ulang untuk tujuan lingkungan dan sosial atau secara gegabah setuju melepaskan tanah berukuran luas tanpa memikirkan kebutuhan masa depan mereka atau karena harapan-harapan palsu mengenai besarnya manfaat yang akan diperoleh dari perkebunan dan plasma. Untuk area di mana zonasi NKT dan SKT (sayangnya) telah ditentukan setelah tanah tersebut dilepaskan, adanya area set-aside bisa menimbulkan rasa sakit hati karena membuat masyarakat tersingkir dari lahan yang mereka harap akan disisakan untuk mata pencaharian mereka atau untuk plasma jenis tanaman komersial.

Panduan berikut dirancang untuk menanggapi semua masalah ini.

Semua foto: hak cipta TFT©

Pendahuluan: Menghormati hak masyarakat dan menjamin mata pencaharian di dalam hutan

Page 17: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

15TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Tantangan lebih besar

Penting untuk diketahui bahwa permasalahan yang disebutkan dalam bab ini bisa diperparah oleh hukum kepemilikan tanah yang tidak sesuai dan tata kelola lahan yang buruk oleh pemerintah. Seringkali, hukum tertulis tidak (sepenuhnya) mengakui tanah adat atau mewajibkan Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) dari masyarakat sebelum mengalokasikan lahan tersebut untuk perusahaan. Selain itu, hukum yang mengatur tanah, kehutanan dan perkebunan, mungkin menghambat perusahaan progresif untuk menerapkan sistem pengelolaan yang konsisten dengan praktik-praktik terbaik. Contohnya di Indonesia, perusahaan pulp dan kertas tidak dapat secara resmi mengakui dan mengalokasikan tanah untuk hak adat di dalam kawasan Hutan Negara yang telah dialokasikan kepada perusahaan untuk perkebunan, bahkan jika perusahaan ingin melakukannya. Beberapa perusahaan sawit yang beroperasi di Indonesia yang telah mengalokasikan kawasan yang luas bagi areal NKT, menemukan bahwa bagian dari kawasan perizinan mereka telah dibatalkan karena menyisakan terlalu banyak ‘lahan tidur’ dalam wilayah konsesinya, berlawanan dengan persyaratan hukum bahwa area tersebut harus ditanami dengan tanaman sawit.

Bahkan di saat perusahaan pulp dan kertas telah mencapai kesepakatan informal dengan masyarakat untuk mengalokasikan sebagian kawasan dalam konsesinya, hanya sebagian kecil kawasan yang boleh dialokasikan untuk pertanian atau untuk dimanfaatkan dan ditanami tanaman pilihan masyarakat seperti karet, hal ini disebabkan izin tanaman yang telah diberikan kepada perusahaan hanya berlaku untuk jenis tanaman untuk bahan pulp yang telah ditentukan. Menurut peraturan perundangan Indonesia, izin pengembangan perkebunan kelapa sawit burbur kertas hanya bisa dikeluarkan pada tanah milik Negara, dan perusahaan harus meyakinkan masyarakat untuk melepaskan hak mereka atas tanah tersebut agar izin perkebunan dapat dikeluarkan. Banyak masyarakat tidak diinformasikan bahwa dengan melepaskan tanah mereka untuk perkebunan sawit, tanah tersebut menjadi tanah Negara yang tidak dibebani hak dan tidak akan dikembalikan kepada mereka saat hak sewa konsesi tersebut berakhir. Di Malaysia, bahkan apabila suatu perusahaan anggota RSPO ingin menyelesaikan sengketa tanah dengan masyarakat lokal, Pemerintah Negara, yang terkadang merupakan pemegang saham perusahaan, terkadang menolak menyelesaikan kasus dan justru memilih jalur litigasi di pengadilan melawan pihak masyarakat.

Dalam kasus luar biasa, seperti kasus Wilmar di Kalimantan Tengah, perusahaan-perusahaan dapat menegosiasikan kesepakatan ad hoc dengan pemerintah daerah yang mengijinkan pihak perusahaan untuk tetap mempertahankan area yang dialokasikan untuk tujuan lingkungan dan sosial walaupun dilarang hukum nasional (Colchester et al., 2012), tetapi jika hak masyarakat dan area set-aside ingin dipertahankan dan diadopsi secara lebih luas maka dibutuhkan reformasi hukum.

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 18: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

16 TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Pembebasan Lahan dan Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan

Berbagai toolkit dan panduan sudah dikembangkan mengenai bagaimana hak-hak adat dan sistem pemanfaatan lahan yang telah ada sebelumnya harus diakui, dan bagaimana lahan yang akan dibebaskan untuk pemanfaatan pihak ketiga hanya dapat diperoleh berdasarkan Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan dari masyarakat. Ini mencakup panduan-panduan yang dikembangkan:

• Untuk skema sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil,3 Roundtable on Sustainable Biomaterials4 dan Forest Stewardship Council, 5

• Oleh Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk Program UN-REDD;6 • Oleh German Technical Assistance agency (GIZ) dan Centre for People

and Forests untuk digunakan dalam REDD+;7 • Oleh the Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (UNFAO) untuk digunakan oleh

pemerintah dalam tata kelola kepemilikan tanah, perikanan dan hutan;8 dan• Oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk memandu masyarakat

hukum adat dalam negosiasi dengan perusahaan.9

Berbagai ulasan telah mengkaji persyaratan-persyaratan dalam hukum internasional dan hambatan-hambatan praktis yang menghalangi implementasi efektif. Antara lain, adalah:

• Fergus MacKay (2004). “Indigenous Peoples’ Right to Free, Prior and Informed Consent and the World Bank’s Extractive Industries Review”. Sustainable Development Law and Policy, Volume IV (2): 43-65.

• First Peoples Worldwide, tanpa tanggal. Indigenous Peoples Guidebook for Free Prior Informed Consent and Corporation Standards. Tersedia di: http://firstpeoples.org/corporate-engagement/fpic-guidebook

• Marcus Colchester dan Fergus MacKay (2004). In Search of Middle Ground: Indigenous Peoples, Collective Representation and the Right to Free, Prior and Informed Consent. Moreton in Marsh, UK: Forest Peoples Programme. Tersedia di: http://www.forestpeoples.org/topics/legal-human-rights/publication/2010/search-middle-ground-indigenous-peoples-collective-repres

• Marcus Colchester dan Maurizio Ferrari (2007). Making FPIC Work: Challenges and Prospects for Indigenous Peoples. Moreton-in-Marsh, UK: Forest Peoples Programme. Tersedia di: http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2010/08/fpicsynthesisjun07eng.pdf

• Marcus Colchester (2010). Free, Prior and Informed Consent: Making FPIC work for forests and peoples. New Haven, CT: The Forests Dialogue. Tersedia di: http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2010/10/tfdfpicresearchpaper colchesterhi-res2.pdf

• Marcus Colchester dan Sophie Chao, Eds. (2013). Conflict or Consent? The palm oil sector at a crossroads. Moreton in Marsh, UK: Forest Peoples Programme. Tersedia di: http://www.forestpeoples.org/topics/palm-oil-rspo/publication/2013/conflict-or-consent-oil-palm-sector-crossroads

3. Lihat: http://www.rspo.org/resources/supplementary-materials 4. Lihat: http://rsb.org/pdfs/guidelines/12-05-02-RSB-GUI-01-012-01-RSB-Guidelines-for-Land-Rights.pdf 5. Lihat: https://ic.fsc.org/preview.fsc-fpic-guidelines-version-1.a-1243.pdf 6. Lihat: http://www.un-redd.org/Launch_of_FPIC_Guidlines/tabid/105976/Default.aspx7. Lihat: http://www.recoftc.org/basic-page/fpic 8. Lihat: http://www.fao.org/3/a-i3496e.pdf 9. Lihat Barsh (1995)

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 19: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

17TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Penerimaan oleh perusahaan bahwa, sesuai dengan hukum internasional, masyarakat hukum adat memiliki hak-hak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, tempati atau gunakan, dan memiliki hak untuk memberikan atau tidak memberikan FPIC mereka sebagaimana dinyatakan melalui lembaga perwakilan mereka sendiri, membutuhkan berbagai perubahan mendasar dalam cara perusahaan melakukan pembebasan lahan. Ini berarti menyusun ulang prosedur operasi standar, melatih ulang staf dan manajer lapangan, dan mengembangkan sistem komunikasi dengan masyarakat lokal yang lebih terbuka. Lebih dari itu, hal ini berarti menerima bahwa masyarakat yang terlibat akan memiliki suara dalam membuat keputusan apakah suatu kegiatan operasional bisa dilanjutkan atau tidak dan dalam penetapan persyaratan dan prosedur tentang bagaimana konsultasi dan negosiasi dilakukan dan bagaimana kesepakatan dicapai.

Semua bagian dalam istilah ‘Persetujuan’ ‘atas dasar informasi’ ‘di awal’ ‘tanpa paksaan’ sarat dengan nilai hukum. Kata-kata tersebut mengharuskan dalam proses pembuatan keputusan apapun, masyarakat menjalankannya tanpa paksaan (free), keharusan atau tekanan; proses ini dilakukan di awal (prior) sebelum adanya izin konsesi yang diterbitkan dan sebelum ada tanah yang diambil tanpa persetujuan masyarakat; bahwa masyarakat diberikan informasi sepenuhnya tentang bagaimana hak-hak mereka bisa terpengaruhi, dampak dapat dimitigasi dan manfaat dibagikan; dan prosedur mengenai negosiasi kesepakatan dan pemberian persetujuan (consent) atau izin tersebut diberikan atau tidak diberikan disetujui oleh masyarakat. Semua panduan yang disebutkan di atas menekankan bahwa FPIC mewajibkan pelibatan berulang kali antara operator dan masyarakat. FPIC bukanlah prosedur mencentang kotak pilihan oleh staf perusahaan, tetapi suatu pelibatan dua arah yang berulang dan proses pembelajaran untuk kedua pihak. Karena setiap komunitas bersifat unik dan semua orang memiliki budaya dan norma yang berbeda, maka setiap prosedur FPIC bisa jadi berbeda.

Daftar berikut menyajikan tahapan utama dalam proses FPIC, sebagian besar diambil dari Panduan RSPO yang bisa dibaca lebih lanjut untuk informasi selengkapnya. Detil lebih lanjut mengenai bagaimana menangani klaim yang sah vs. tidak sah, bagaimana masyarakat dapat direpresentasikan, bagaimana klaim yang bertentangan dapat diselesaikan, bagaimana konsensus harus didokumentasikan, dan faktor kunci lainnya diuraikan dalam panduan RSPO dan panduan lainnya di atas.

Siapkan• Operator-operator menyampaikan informasi ke masyarakat tentang rencana

mereka mengembangkan suatu wilayah dan menjelaskan kepada masyarakat tentang hak masyarakat atas FPIC dan hak untuk mengontrol apa yang terjadi di tanah mereka.

• Masyarakat memutuskan apakah mereka ingin mempertimbangkan usulan perusahaan dan jika ingin, bagaimana mereka ingin direpresentasikan dalam urusan dengan operator, dalam diskusi tentang bagaimana kepentingan perempuan, anak, pemuda, kelompok-kelompok terpinggirkan berdasarkan kelas maupun kasta, dan para pengguna lahan akan dipertimbangkan.

• Prosedur dan tahapan proses FPIC yang berulang untuk pelibatan masyarakat dan operator disepakati bersama, dengan mempertimbangkan semua tahapan yang diuraikan di bawah serta norma dan usulan masyarakat. Ini mencakup menjelaskan bagaimana proses tersebut akan didokumentasikan dan divalidasikan, dan bentuk dari informasi tersebut guna memastikan informasi dapat diakses masyarakat.

“Karena setiap komunitas bersifat unik dan semua masyarakat memiliki budaya dan norma yang berbeda, maka setiap prosedur FPIC bisa jadi berbeda”

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 20: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

18 TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Kaji dan petakan• Pengkajian kepemilikan lahan dan pemanfaatan lahan secara partisipatif

dilakukan untuk mengklarifikasi bagaimana hak adat dialokasikan dan lahan dimanfaatkan oleh masyarakat terkait.

• Pemetaan partisipatif dilakukan bersama untuk sepenuhnya memetakan hak-hak dan pemanfaatan secara adat, termasuk lahan pertanian, hutan yang ditinggalkan dalam kondisi bera, kawasan penangkapan ikan dan meramu, kawasan suaka, situs sakral dan wilayah kolektif.

• Pengkajian Dampak Sosial dan Lingkungan dan Nilai Konservasi Tinggi , serta stratifikasi dan analisis hutan dengan Stok Karbon Tinggi dilakukan. Semua pengkajian ini mengklarifikasi kawasan apa saja yang akan dibebaskan perusahaan untuk penanaman, kawasan mana saja yang diusulkan untuk dikelola dengan tujuan konservasi dan kawasan mana yang akan tetap aman untuk masyarakat melanjutkan kegiatan mata pencaharian mereka.

• Informasi ini akan membantu masyarakat mengkaji manfaat dan biaya menerima pembangunan kelapa sawit dan zonasi konservasi terkait dalam wilayah mereka.

Apa yang disebut pemetaan partisipatif?

Pemetaan partisipatif adalah suatu alat mengidentifikasi dan memetakan kepemilikan tanah dan sumber daya masyarakat hukum adat dan lokal, serta pemanfaatan lahan. Ini merupakan metode pemetaan berdasarkan pengetahuan setempat yang menetapkan masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan utama dalam memetakan suatu wilayah. Masyarakat mengidentifikasi area-area di mana mereka memiliki hak adat dan area penting bagi mata pencaharian, nilai budaya dan penyediaan jasa lingkungan baik di masa lampau, masa kini dan masa depan. Hasil pemetaan dapat digunakan masyarakat sebagai dasar untuk negosiasi perencanaan pemanfaatan lahan dengan perusahaan. Hasil ini bermanfaat bagi masyarakat tidak hanya dalam berdialog dengan perusahaan, tetapi juga antara lain untuk mendukung pembangunan desa dan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Ini merupakan alat penting bagi masyarakat melakukan perencanaan pemanfaatan lahan untuk mengakomodasi pengembangan kelapa sawit dan kawasan SKT ke dalam wilayah mereka.

Negosiasikan suatu kesepakatan• Masyarakat memilih siapa yang mereka inginkan untuk bertindak sebagai

pendamping dan atau penasihat hukum atau penasihat lainnya, maupun sebagai pengamat independen. Diperlukan adanya pendanaan untuk membayar biaya yang diperlukan untuk membantu memastikan masyarakat mendapatkan informasi memadai.

• Saat semua elemen ini sudah berada di tempatnya, masyarakat diberi waktu untuk mengakses informasi mengenai opsi pembangunan alternatif dan apa arti pengelolaan kawasan hutan SKT untuk tujuan konservasi, mengkaji semua informasi yang diberikan, membahas implikasinya di antara mereka sendiri dan dengan penasihat yang mereka pilih, dan memutuskan apakah mereka ingin melakukan negosiasi.

• Jika demikian, negosiasi dilakukan antara perwakilan masyarakat dan pihak operator untuk memperjelas persyaratan pelepasan hak apapun. Waktu dan ruang lingkup harus disediakan untuk pertemuan dengan masyarakat untuk membahas tawaran sementara dan menyusun usulan balasan untuk negosiasi tahap berikutnya.

• Apabila pada dasarnya telah dicapai suatu persetujuan maka kesepakatan dapat diselesaikan dengan ketentuan terkait pemanfaatan, konservasi dan pengelolaan tanah, kawasan ter-enclave (dari pembangunan dan konservasi) untuk produksi pangan, pembagian manfaat, mitigasi, mekanisme pengaduan, dll.

• Identifikasi dan sepakati mekanisme dan alat untuk menetapkan dan mengelola kawasan konservasi seperti kesepakatan dan pengelolaan konservasi bersama, serta kompensasi yang adil atas hilangnya pemanfaatan kawasan konservasi.

• Legalisir atau sahkan kesepakatan.

Laksanakan, Pantau dan Perbarui kesepakatan • Pelaksanaan kesepakatan: ini bisa mencakup penyerahan hak dan

pembebasan lahan secara bertahap dari pemegang hak dalam wilayah kolektif.

• Pantau pelaksanaan kesepakatan secara partisipatif.

• Menjalankan mekanisme pengaduan di mana dan kapan diperlukan.

• Atur sistem pengelolaan apabila mekanisme pengawasan atau pengaduan mengidentifikasi kekurangan dalam penerapan atau masalah yang tidak diduga.

Semua foto: hak cipta TFT©

Pembebasan Lahan dan Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan

Page 21: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

19TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

• Apabila nantinya akan terjadi pelepasan hak atau pembatasan mata pencaharian, maka mitigasi, kompensasi, atau alternatif apa yang akan ditawarkan?

• Bagaimana biaya dan manfaat akan dibagi, termasuk dampak dari kawasan konservasi dan manfaat yang hilang dengan adanya pembatasan area yang tersedia untuk plasma dan perkebunan terhadap mata pencaharian?

Untuk area yang berada dalam siklus jangka panjang pertanian berpindah dan hutan bera, dan di mana masyarakat berharap dapat terus melanjutkan mata pencaharian dari pertanian, maka survey lapangan harus dilakukan untuk memperkirakan jangka waktu hutan dibiarkan bera dan menghitung luas lahan total yang dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan mata pencaharian saat ini dari kegiatan pertanian. Hal ini bisa dipertimbangkan dalam perencanaan pemanfaatan lahan masyarakat.

Perencanaan pemanfaatan lahan masyarakatUntuk membantu masyarakat merencanakan mata pencaharian layak jangka panjang dan memastikan ketahanan pangan setempat, perlu dihasilkan informasi dari pemetaan partisipatif dan zonasi NKT dan SKT, untuk memperjelas lokasi dan luasan kawasan:

• yang saat ini dialokasikan untuk berbagai pemanfaatan masyarakat

• yang dibutuhkan oleh perusahaan untuk usulan perkebunan

• yang dialokasikan untuk plasma atau pembangunan dengan pembagian manfaat lainnya

• untuk dilindungi sebagai NKT dan area mana saja yang akan membatasi pemanfaatan yang dilakukan saat ini

• diusulkan dilindungi sebagai hutan SKT dan kawasan mana saja yang akan membatasi pemanfaatan yang dilakukan saat ini

• area yang akan tetap untuk berbagai pemanfaatan masyarakat, termasuk kebutuhan generasi yang akan datang, apabila semua alokasi lainnya disetujui.

Perencanaan pemanfaatan lahan partisipatif masyarakat sebaiknya dilakukan melalui pertemuan masyarakat yang terbuka dan berulang (beberapa diantaranya dengan operator, beberapa hanya dengan penasihat, dan beberapa pertemuan tanpa kehadiran pihak luar) untuk mengkaji kebutuhan masyarakat, mengevaluasi usulan dari operator dan asesor, dan apabila perlu, menyusun usulan tanggapan untuk alokasi, pemanfaatan, pengelolaan dan kepemilikan lahan. Usulan-usulan ini menjadi bagian dari informasi yang akan mendukung negosiasi FPIC (di atas).

Mengakomodasi hak dan mata pencaharian dalam Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

Tujuan utama Pendekatan Stok Karbon Tinggi adalah mengidentifikasi kawasan hutan yang perlu dilindungi karena bernilai sebagai penyimpan karbon, untuk konservasi keanekaragaman hayati, dan sebagai area pemanfaatan secara adat. Sebagaimana dijelaskan dalam toolkit ini, area bervegetasi dalam suatu kawasan pembangunan lahan komersial dipilih melalui serangkaian analisis citra satelit dan plot sampel lapangan untuk mengestimasi biomasa di atas tanah dari pohon berdiamater lebih dari 5 cm untuk menstratifikasikan vegetasi menjadi enam kategori: lahan terbuka, belukar, hutan regenerasi muda, hutan kerapatan menengah, dan hutan kerapatan tinggi.

Dalam pengalaman percobaan, yang disebut sebagai area hutan SKT adalah empat kategori teratas – hutan regenerasi muda, kerapatan rendah, menengah dan tinggi, yang kemudian dianalisis lebih lanjut untuk mengidentifikasi kawasan hutan yang memungkinkan diusulkan untuk dikonservasi. Lahan terbuka, padang rumput dan belukar tidak ditetapkan sebagai kawasan SKT (Greenpeace, 2013). Semua lahan gambut dan NKT juga diidentifikasi dan dikelola untuk konservasi.

Guna mengakomodasikan pemanfaatan lahan dan hutan yang dinamis oleh masyarakat, peta stratifikasi hutan di lahan yang sedang dipertimbangkan harus dilapisi peta hasil pemetaan partisipatif yang sudah disusun untuk menunjukkan wilayah mana saja yang memiliki hak dan pemanfaatan secara adat. Tujuannya adalah memastikan proses SKT, NKT dan FPIC berjalan bersama dan tidak saling bertentangan. Area yang tumpang tindih harus dicek dengan keterlibatan para pemegang hak untuk memastikan pemanfaatan yang diusulkan dan ada saat ini di area tersebut, seperti kawasan berburu, menangkap ikan dan meramu, suaka hutan, situs sakral, lahan pertanian, penggembalaan, hutan tanaman, lahan pertanian berpindah, dan kawasan suaka pertanian untuk masa depan. Dengan demikian banyak kawasan tersebut, khususnya hutan tanaman dan kawasan pertanian, dapat dikeluarkan dari kawasan yang dipertimbangkan untuk hutan SKT.

Apabila kawasan hutan SKT yang diusulkan untuk konservasi bisa menyebabkan dampak terhadap hak atau akses dan pemanfaatan baik di masa kini maupun masa yang akan datang, maka FPIC juga dibutuhkan. Sebelumnya, dan untuk memastikan izin diberikan berdasarkan informasi, diperlukan diskusi untuk memperjelas:

• Tujuan dan prosedur Pendekatan Stok Karbon Tinggi, yang disampaikan dalam bentuk dan bahasa yang dapat dipahami masyakarat

• Batasan-batasan apa yang mungkin ada terhadap hak dan pemanfaatan sumber daya, termasuk pemanfaatan apa yang mungkin akan dilarang, di dalam kawasan konservasi yang diusulkan untuk pengelolaan hutan SKT dan NKT?

• Kesepakatan tenurial apa yang akan diterapkan di kawasan konservasi: apakah kesepakatan tersebut akan mengamankan atau mengurangi hak masyarakat?

• Siapa yang akan mengelola dan mengawasi kawasan konservasi yang diusulkan dan memastikan mereka tetap memiliki nilai-nilai yang sudah dimiliki?

Page 22: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

20 TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Mengklarifikasi hak-hak atas tanah tanah dan pengelolaan

“Kawasan yang akan dilindungi sebagai NKT dan SKT dan yang bertumpang tindih dengan hak adat harus dipertahankan sebagai tanah masyarakat”

Mengklarifikasi hak-hak atas tanah

Perlu menggali cara-cara kreatif penggunakan hukum adat dan hukum tertulis dalam mengidentifikasi hak-hak atas tanah yang dapat meminimalisasi dampak pengalokasian lahan terhadap pembatasan atau pengurangan hak-hak dan pemanfaatan lahan.Tanah tidak harus diserahkan selamanya kepada operator untuk perkebunan melalui penjualan atau transfer tetapi bisa disewakan atau dikontrakkan dengan kesepakatan yang disetujui. Tanah masyarakat yang tidak diserahkan ke perusahaan harus dikeluarkan dari konsesi dan diberikan hak kepemilikan atau didaftarkan sebagai tanah masyarakat. Kawasan yang akan dilindungi sebagai NKT dan SKT dan yang bertumpang tindih dengan hak adat harus dipertahankan sebagai tanah masyarakat, sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Demikian juga kawasan yang masih tetap dikuasai masyarakat juga harus dipertahankan.

Pengelolaan

Klarifikasi entitas apa yang akan bertanggung jawab mengelola kawasan konservasi tertentu perlu dilakukan secara hati-hati, mengingat berbagai opsi termasuk: • Area yang dikelola perusahaan di dalam konsesi

• Area yang dimiliki dan dikelola masyarakat

• Area yang dikelola pemerintah yang dikenakan pajak dari konsesi

• Area yang dikelola bersama (masyarakat & pemerintah atau masyarakat & perusahaan)

Kawasan konservasi yang diusulkan namun tumpang tindih dengan tanah dan wilayah masyarakat tidak boleh diambil alih dan dikelola oleh pihak lain maupun dikelola bersama tanpa persetujuan melalui proses FPIC yang dijelaskan di atas. Saat entitas yang akan mengemban tanggung jawab pengelolaan telah disetujui, maka orang (atau pemegang jabatan) serta lembaga dengan tanggung jawab tersebut harus diberikan wewenang, dilatih dan disediakan dana untuk menjalankan perannya sebagai pengelola. Pengamanan dan perlindungan semua kawasan hutan yang mempunyai simpanan karbon tinggi biasanya membutuhkan serangkaian sistem pengelolaan dan kepemilikan tanah.

Karena hukum nasional terlalu berubah-ubah untuk membuat rekomendasi sederhana, maka kajian hukum akan dibutuhkan untuk memastikan opsi terbaik yang ada di berbagai negara dan daerah, dan ini perlu dieksplorasi dengan masyarakat dan penasihat hukum mereka sebelum mereka memberikan izin.

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 23: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

21TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Monitoring

Perencanaan pemanfaatan lahan, zonasi dan pengelolaan merupakan proses yang selalu dinamis, dan tidak bisa diharapkan untuk memprediksi setiap hal yang mungkin terjadi. Pemastian fungsi efektif dari sistem hutan SKT dan NKT membutuhkan sistem pengawasan partisipatif dan terintegrasi yang menggabungkan (a) penginderaan jarak jauh rutin untuk meninjau pembukaan lahan secara besar-besaran dilakukan hanya di lokasi yang telah disepakati dengan (b) patroli lapangan di waktu nyata melibatkan anggota masyarakat setempat yang mampu mengidentifikasi pelaku yang bertanggung jawab atas pembukaan lahan dan juga dapat mengidentifikasi ancaman atau risiko lainnya berkaitan dengan kesepakatan dan pemanfaatan lahan.

Alat-alat inovatif juga telah dikembangkan untuk pengawasan NKT secara partisipatif yang dapat disesuaikan untuk monitoring kawasan konservasi SKT. Alat ini mempertimbangkan antara lain: pembentukan tim lokal yang secara rutin menyusuri jalan setapak guna meninjau kepatuhan dan mengidentifikasi ancaman, sistem pelaporan SMART dengan penandaan titik secara geografis (geo-tag) menggunakan software sederhana yang mengintegrasikan laporan lapangan pada waktu nyata dengan pemetaan terkomputerisasi, dan sistem untuk memastikan validasi hasil temuan oleh masyarakat.1

Sistem umpan balikGuna memastikan kesalahpahaman tidak meningkat menjadi sengketa, mekanisme pengaduan perlu disetujui terlebih dahulu dengan prosedur yang sesuai untuk meninjau dan menindaklanjuti keluhan. Selain itu dibutuhkan prosedur untuk menerapkan rekomendasi yang berasal dari proses monitoring dan pengaduan untuk menyesuaikan praktik pengelolaan, alokasi lahan dan tanggung jawab. Dalam kasus ketidaksetujuan, kesepakatan harus dikaji ulang dan direvisi.

“Alat inovatif juga telah dikembangkan untuk pengawasan partisipatif NKT yang dapat disesuaikan untuk monitoring kawasan konservasi SKT”

10. Sebagai contoh lihat: http://www.forestpeoples.org/topics/palm-oil-rspo/publication/2013/monitoring-protocol-high-conservation-values-5-and-6-guideline

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 24: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

BAGIAN 1 RINGKASAN TAHAPAN PENDEKATAN SKT DAN FPIC TERINTEGRASI

22 TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Menyertakan Pendekatan SKT ke dalam negosiasi yang sudah ada

“Saat membangun perkebunan baru, Pendekatan SKT harus diintegrasikan ke dalam proses lain seperti perlindungan NKT dan pertimbangan FPIC dari tahap awal”

Saat membangun perkebunan baru, Pendekatan SKT harus diintegrasikan ke dalam proses lain seperti perlindungan NKT dan pertimbangan FPIC dari tahap awal. Bagian utama dari bab ini telah mengusulkan pendekatan terintegrasi yang menggabungkan proses SKT dan FPIC. Namun di lokasi di mana operator telah membebaskan lahan dan mulai membangun perkebunan sebelum mengadopsi pendekatan SKT, suatu ulasan partisipatif dengan penasihat independen harus dilakukan untuk meninjau kembali kepatuhan dengan prinsip-prinsip yang dijelaskan dalam bab ini. Khususnya, karena perlindungan kawasan hutan SKT menyiratkan bahwa kawasan lainnya tidak akan tersedia untuk pembangunan atau pemanfaatannya akan dibatasi, dan hal ini mungkin secara langsung mempengaruhi luasan lahan yang tersedia untuk masyarakat lokal, dan dengan demikian mengurangi lahan yang tersedia untuk mata pencaharian tradisional, perkebunan plasma baru dan generasi berikutnya. Ini juga bisa mengurangi manfaat yang diantisipasi masyarakat lokal secara signifikan saat memberi izin mereka untuk keberadaan pihak developer dan, sebagai contoh, area yang dialokasikan untuk NKT.Pihak operator mungkin akan perlu merevisi dan mengulangi beberapa tahapan untuk mencapai kepatuhan, yang mungkin berupa negosiasi ulang kesepakatan dan rencana pengelolaan dengan masyarakat sehingga kawasan yang dialokasikan untuk tujuan lingkungan dan sosial yang baru tidak mengurangi manfaat, tanah dan mata pencaharian yang diperoleh masyarakat, atau mempersempit sistem pertanian berpindah atau sistem pemanfaatan lahan masyarakat lainnya ke lahan-lahan yang terlalu kecil sehingga bentuk pemanfaatan lahan tersebut tidak berkelanjutan. Studi kasus yang disajikan di akhir bab ini menggambarkan tantangan yang ada dalam proses penyertaan SKT ke konsesi yang sudah ada di mana pendekatan inklusif dan terintegrasi tidak dilakukan sejak awal.

Page 25: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

BAGIAN 2 RINGKASAN TAHAPAN PENDEKATAN SKT DAN FPIC TERINTEGRASI

23TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Kesimpulan: Mengintegrasikan penghormatan hak masyarakat atas tanah dan FPIC ke dalam Pendekatan SKT

Karena penghormatan hak masyarakat atas tanah dan FPIC adalah persyaratan berlanjut dan bukan kegiatan sekali saja, elemen-elemen FPIC harus diintegrasikan sepenuhnya ke dalam Pendekatan SKT. Komite Pengarah Pendekatan SKT memimpin diskusi antara para praktisi tentang urutan ideal dari setiap tahap proses SKT dan FPIC, termasuk bagaimana mengintegrasikan Pengkajian Nilai Konservasi Tinggi. Diagram awal pendekatan terintegrasi ditampilkan di diagram di sebelah kiri dan kanan. Namun perlu dipahami bahwa proses FPIC akan selalu berbeda pada setiap tempat dan urutan yang ditetapkan belum tentu sesuai untuk semua kebudayaan, masyarakat atau kedaerahan.

Page 26: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Studi Kasus

24 TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

“Sebagaimana di daerah lain di Kalimantan Barat, perubahan pemanfaatan lahan dalam skala besar juga terdapat di Kabupaten Kapuas Hulu karena pengembangan kelapa sawit oleh perusahaan swasta”

Pentingnya pelibatan masyarakat dalam Pendekatan SKT: Studi kasus di PT KPCOleh Jana Nejedlá, TFT, dan Pi Li Lim, Golden-Agri ResourcesPenulis berterima kasih kepada Agung Wiyono, Guntur Tua Aritonang, dan Stephany Iriana Pasaribu dari TFT atas penyediaan informasi latar belakang yang sangat membantu dalam penyusunan studi kasus ini.

Pendahuluan

Studi kasus ini berfokus pada pentingnya pelibatan masyarakat dalam Pendekatan SKT melalui pembelajaran yang didapat dari proyek pendahuluan SKT di konsesi sawit PT Kartika Prima Cipta (PT KPC), anak perusahaan Golden Agri-Resources Ltd (GAR), di Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia . Tujuan proyek pendahuluan ini adalah untuk menguji implementasi Kebijakan Konservasi Hutan GAR dan mendukung pembuatan kerangka kerja bagi keberhasilan implementasi konservasi SKT dan kebijakan ‘Nihil Deforestasi’ di industri perkebunan kelapa sawit yang lebih luas.

Page 27: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

25TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Latar belakangKabupaten Kapuas Hulu merupakan kawasan dataran tinggi yang terkenal akan danau-danaunya yang besar, rawa gambutnya yang luas dan perikanan darat yang produktif. Jika dibandingkan dengan kabupaten lain, Kapuas Hulu telah memiliki kawasan luas yang dialokasikan untuk konservasi. Seperti di wilayah Kalimantan Barat yang lain, perubahan pemanfaatan lahan dalam skala besar juga terdapat di Kabupaten Kapuas Hulu karena pengembangan kelapa sawit oleh perusahaan swasta. Sejak PT KPC memulai kegiatan operasionalnya di kawasan tersebut pada tahun 2007, perusahaan tersebut telah menghadapi berbagai reaksi ‘pro’ dan ‘kontra’ terhadap budidaya kelapa sawitnya dari masyarakat Dayak dan Melayu setempat di beberapa desa. Baru-baru ini perusahaan tersebut mulai menangani sengketa dan pengaduan dari masyarakat yang awalnya mendukung pengembangan sawit dan menyerahkan lahan mereka. Masyarakat tersebut merasa bahwa manfaat pengembangan yang dijanjikan lambat untuk terwujud dan bahwa kawasan yang ditanami untuk kebun petani tidak seluas yang diharapkan.

Adanya isu-isu sosial tersebut bersama dengan pemahaman yang berbeda-beda dari masyarakat mengenai implikasi area set-aside ber-Nilai Konservasi Tinggi (NKT) menyebabkan sulitnya menjelaskan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk konsep SKT yang baru. Banyak anggota masyarakat yang takut bahwa konservasi SKT akan menyebabkan lebih banyak lagi lahan yang tidak boleh masyarakat gunakan sehingga membatasi kesempatan mereka untuk memperoleh mata pencaharian dari Hasil Hutan Non-Kayu (HHNK) seperti karet dan perikanan.

Pihak perusahaan dan TFT berupaya menjelaskan konsep SKT kepada pemangku kepentingan utama sejak September 2012 sebagai bagian dari proses sosialisasi. Masyarakat memiliki kekhawatiran kuat mengenai proyek pendahuluan SKT. Kekhawatiran itu mencakup ketidakpastian mengenai hilangnya mata pencaharian jika mereka tidak lagi dapat mengakses kawasan yang telah diidentifikasi sebagai hutan perlindungan SKT, apakah perusahaan akan mengembangkan perkebunan plasma (perkebunan yang berada di bawah skema yang diatur pemerintah) untuk mereka, dan apakah perusahaan akan mengambil alih hutan adat mereka. Masyarakat memiliki ketakutan khusus bahwa zonasi SKT tidak akan memperbolehkan mereka untuk melanjutkan praktik tradisional ladang berpindah, suatu sistem pertanian termobilisasi di mana suatu kawasan hutan dimanfaatkan dalam waktu singkat dan kemudian dibiarkan dalam kondisi bera untuk memungkinkan regenerasi tumbuhan dan pemulihan kesuburan tanah sebelum siklus pembukaan dan pemanfaatan lahan berikutnya dimulai.

Mendapatkan persetujuan masyarakat Untuk menanggapi permasalahan tersebut, PT KPC dan TFT telah mengembangkan rencana untuk meningkatkan hubungan dengan masyarakat dan mendapatkan persetujuan mereka mengenai proyek pendahuluan SKT. Tahap pertama yang dilakukan sebagai bagian dari rencana ini adalah studi HHNK dan proses pemetaan partisipatif. Studi kasus ini berfokus pada proses pemetaan partisipatif karena pentingnya proses tersebut dalam Pendekatan SKT.

Persiapan merupakan tahap penting untuk memastikan proses pemetaan partisipatif dilakukan secara efektif. Kegiatan yang dilakukan sebelum pemetaan partisipatif mencakup:

1. Peningkatan kapasitas bagi pihak manajemen PT KPC sehingga mereka dapat memberikan panduan mengenai kegiatan pemetaan partisipatif kepada masyarakat.

Semua Foto: Foto dari kegiatan pemetaan partisipatif di PT KPC. Hak cipta TFT©

Page 28: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

26 TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Kemajuan yang telah dicapai hingga sekarangUntuk menyiapkan proses pemetaan partisipatif, karyawan PT KPC yang terlibat di dalam proses tersebut mendapatkan pelatihan (mulai bulan Januari 2014) mengenai konsep pemetaan partisipatif dan identifikasi HHNK, FPIC dan kompetensi dasar mengenai pemetaan. TFT juga melaksanakan diskusi intensif dengan berbagai kelompok LSM lokal dan internasional yang bergerak di kawasan Kapuas Hulu dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai masyarakat lokal.

Hal menarik yang terjadi adalah proses sosialisasi yang lebih menantang dan memakan waktu terjadi dengan pemerintah daerah, termasuk pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, Kecamatan Suhaid dan pemerintah desa (kantor desa dan Badan Perwakilan Desa). Pemerintah daerah mengkhawatirkan adanya alokasi lahan yang lebih luas lagi untuk konservasi yang dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi potensial di kabupaten tersebut. Proyek pendahuluan ini menunjukkan bahwa pelibatan pemerintah daerah merupakan faktor keberhasilan kunci bagi proses pemetaan partisipatif. Pemetaan partisipatif dan pengembangan konsensus yang mengikutinya merupakan proses penting dalam memperoleh dukungan pemangku kepentingan.

Tim dari PT KPC dan TFT menghadapi berbagai tantangan ketika mencoba memperoleh FPIC untuk proses SKT dari desa dan pemerintah daerah karena:

• Kenyataan bahwa SKT merupakan konsep baru dan pemetaan partisipatif baru pertama kali dilakukan di desa-desa tersebut sehingga hanya ada tingkat pemahaman yang rendah mengenai kedua topik ini.

• Adanya keberatan dan keraguan dari warga desa yang sebelumnya telah diberi pendekatan oleh berbagai LSM dan pihak lain untuk membicarakan isu kepemilikan lahan mereka dan para warga tersebut tidak mau percaya bahwa proses yang sedang berjalan ini bisa manfaat bagi mereka. Selain itu, perusahaan masih terus melakukan pendekatan terhadap masyarakat yang sebelumnya tidak memberikan persetujuannya atas pengembangan kelapa sawit.

• Masyarakat ragu untuk bekerja sama dengan perusahaan dan memberikan informasi.

Untuk melewati rintangan tersebut, penting bagi PT KPC untuk merencanakan dan mengatur interaksi dengan masyarakat lokal dengan hati-hati dan peka. PT KPC dan TFT telah memimpin serangkaian kegiatan yang mencakup pelatihan bagi masyarakat mengenai proses pemetaan partisipatif dan konservasi NKT, serta diskusi dengan pemerintah untuk memberikan jawaban dan informasi yang obyektif terhadap pertanyaan atau hal yang menjadi perhatiannya. Kegiatan tersebut diawali dengan Pemerintah Kecamatan Suhaid yang memberikan izin pada bulan Februari 2014 untuk melanjutkan kegiatan di tingkat kecamatan dengan pemerintah daerah dan perwakilan desa. Setelah sosialisasi di tingkat kecamatan dilakukan, kegiatan di desa-desa target mulai dilakukan.

2. Sosialisasi menyeluruh bagi berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan kepedulian dan mendapatkan dukungan terhadap proses SKT dari masyarakat

3. Kapasitas teknis masyarakat yang terlibat dalam proses pemetaan dikembangkan melalui pelatihan dan fasilitasi.

Latihan pemetaan partisipatif yang dijelaskan di atas dilaksanakan mulai bulan Januari hingga Agustus 2014 di tiga desa, yaitu Desa Mensusai, Desa Kerangas, dan Desa Mantan. Pendekatan dilakukan terhadap semua desa yang berada di kawasan konsesi PT KPC untuk terlibat dalam proses pemetaan partisipatif, namun ketiga desa tersebut dipilih karena memiliki sumber daya dan kemauan untuk berkolaborasi dengan PT KPC dan TFT. Desa Menapar juga bersedia untuk bekerja sama dalam proses pemetaan partisipatif dan desa tersebut kemudian dimasukkan ke dalam cakupan proyek. Desa tersebut memulai proses pemetaan partisipatif dengan didukung oleh PT KPC dan TFT sebagai kisah dan contoh keberhasilan bagi terhadap desa yang lain.

Kepala Desa Kerangas memberikan pernyataan berikut ini terkait dengan proses pemetaan partisipatif:

“Semua hal akan menjadi lebih baik dengan adanya pemetaan partisipatif, karena tujuannya adalah untuk melindungi generasi mendatang. Kini batas desa lebih jelas bagi kami. Contohnya, walaupun warga desa selalu memiliki pemahaman mengenai desa lain di sekeliling desa kami, sekarang warga mengetahui batas sebelah utara dan timur. Selain itu, semua aset desa seperti perkebunan karet dan hutan keramat telah teridentifikasi. Proses ini berdampak pada terlindunginya kepentingan generasi mendatang untuk masa depan yang lebih baik.”

Semua Foto: Foto dari kegiatan pemetaan partisipatif di PT KPC. Hak cipta TFT©

Studi Kasus

Page 29: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

27TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NOL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 2 MENGHORMATI HAK MASYARAKAT ATAS TANAH MEREKA DAN ATAS PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI DI AWAL TANPA PAKSAAN DALAM PENDEKATAN STOK KARBON TINGGI

Untuk menjelaskan proses pemetaan partisipatif dan manfaat kepada masyarakat lokal, maka bahasa lokal dan berbagai jenis media (seperti misalnya gambar dan presentasi) digunakan untuk memastikan bahwa informasi yang disosialisasikan dengan masyarakat lokal dapat diterima dan dimengerti dengan baik. Seringkali, penting untuk melibatkan kelompok dengan kepentingan khusus dalam pembicaraan seperti ini (seperti misalnya kelompok perempuan) karena pendapat mereka mengenai sawit dan kemauan untuk terlibat dalam pemetaan partisipatif berbeda-beda. Terakhir, penting untuk memahami proses pengambilan keputusan di tingkat masyarakat desa dan membuat masyarakat tersebut menjadi pertimbangan pada setiap kegiatan yang dilaksanakan.

Alat GPS dan pelatihan diberikan oleh PT KPC dan TFT kepada masyarakat yang turut berpartisipasi, dan masyarakat tersebut memilih warganya untuk menjadi perwakilan. Tim dari setiap empat desa terdiri dari perangkat desa, warga desa dengan pemahaman baik mengenai batas desa, perwakilan kelompok adat, dan juga perwakilan desa-desa tetangga. Tim pemetaan juga menggunakan catatan dari diskusi dengan masyarakat dan masukan dari pemimpin masyarakat yang mengetahui mengenai batas desa dan memahami kesepakatan dengan desa-desa tetangga.

Walaupun PT KPC dan TFT telah mengembangkan cakupan yang komprehensif bagi latihan pemetaan partisipatif, hasil sebenarnya dari kegiatan pemetaan ini berasal dari partisipasi masyarakat bagi mereka. Pemetaan lapangan menghasilkan koordinat GPS bagi batas desa, jalan, dan pemukiman, serta tempat-tempat penting bagi fungsi sosial budaya masyarakat lokal seperti pemakaman, sumber air, fasilitas pendidikan dan lokasi budaya setempat. Kawasan yang ditetapkan untuk penanaman di kemudian hari dan pengembangan masyarakat desa juga ikut dimasukkan. Tim ahli pemetaan dari TFT menggabungkan data yang diperoleh dalam peta draf yang kemudian disosialisasikan kepada tim pemetaan lain di setiap desa untuk validasi ulang data tim lain, dengan foto yang disajikan sebagai rujukan.

Hingga saat ini kegiatan pemetaan telah mengidentifikasi batas desa dan beberapa kawasan penting bagi masyarakat lokal seperti infrastruktur dan kawasan sumber daya. Pemetaan akan dilanjutkan pada bulan Februari 2015 di empat desa tersebut untuk mengklarifikasi perencanaan pemanfaatan lahan oleh masyarakat di masa sekarang dan mendatang. Peta draf akhir akan didiskusikan dengan perwakilan desa-desa tetangga dan pemerintah kecamatan untuk memastikan bahwa data yang diberikan oleh masyarakat sesuai dengan yang telah diketahui oleh pihak kecamatan.

Setelah semua pihak yang terlibat menyetujui peta versi akhir, maka peta akan diberikan kepada setiap desa untuk ditandatangani oleh pemerintah desa dan pengurus desa, termasuk perwakilan dari kelompok adat. Peta akhir akan mengindikasikan batas-batas lahan dan aspek pemanfaatan lahan tertentu milik masyarakat (seperti untuk pertanian, hutan adat, pemukiman, fasilitas umum), serta fitur-fitur penting bagi masyarakat seperti kawasan sumber daya alam dan tempat keramat.

KesimpulanKasus PT KPC memberikan gambaran pentingnya pemetaan partisipatif sebagai langkah penting dalam proses perencanaan pemanfaatan lahan, serta sebagai dasar untuk memenuhi hak-hak masyarakat lokal dan adat terhadap FPIC. Demikian juga, hak dan mata pencaharian masyarakat lokal tersebut harus ditanamkan ke dalam metodologi SKT untuk memastikan bahwa keduanya diakui dan dijamin.

Hal ini mencakup diskusi mengenai bagaimana kawasan SKT akan dilindungi dan dikelola, serta peran dan partisipasi masyarakat di dalam proses tersebut. Hasil penting dari proyek pendahuluan SKT ini adalah kini pemetaan partisipatif dimasukkan ke dalam Pendekatan SKT.

Studi kasus ini menunjukkan bahwa hubungan dengan dan perolehan dukungan dari masyarakat merupakan hal yang sangat penting bagi konservasi SKT. Semua pemangku kepentingan perlu memahami hal-hal yang ingin dicapai dan perlu untuk dilibatkan agar membantu membentuk kebijakan dan praktik di lapangan. Pelibatan konstruktif seperti itu hanya dapat dibangun dengan dasar kepercayaan dan komunikasi terbuka. Proses pelibatan ini mensyaratkan pemangku kepentingan untuk memiliki kesabaran dan kemauan untuk berupaya berkomunikasi secara konstruktif dan terbuka serta untuk mencari penyelesaian yang menguntungkan semua pemangku kepentingan.

Daftar Pustaka (studi kasus)Forest Peoples Programme (2014). “Independent review of the social impacts of Golden Agri Resources’ Policy in Kapuas Hulu District, West Kalimantan.” Available at:http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/publication/2014/01/pt-kpc-report-january-2014final.pdf

Golden-Agri Resources (2013). “GAR and SMART implement pilot on High Carbon Stock forest conservation.” Press Release March 13, 2013. Available at:http://www.smart-tbk.com/pdfs/Announcements/GAR13-03-2013-PressReleaseAndPreso-GARandSMARTimplementpilotonHCS-inEnglish%20final.pdf

Golden-Agri Resources (2014). “Response from GAR regarding FPP’s Independent Review of the Social Impacts of Golden Agri-Resources’ Forest Conservation Policy in Kapuas Hulu District, West Kalimantan.” Available at:http://www.goldenagri.com.sg/pdfs/News%20Releases/2014/Media%20Statement%20170114%20-%20Response%20from%20GAR%20regarding%20FPP.pdf

“Studi kasus ini menunjukkan bahwa hubungan dengan dan perolehan dukungan dari masyarakat merupakan hal yang sangat penting bagi konservasi SKT. Pelibatan konstruktif seperti itu hanya dapat dibangun dengan dasar kepercayaan dan komunikasi terbuka”

Page 30: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

28

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Klasifikasi tutupan lahan berbasis citra satelit

Bab 3

P29: Pendahuluan

P30: Pemilihan citra satelit

P31: Pra-pemrosesan dan perbaikan radiometrik terhadap citra satelit

P33: Indeks vegetasi

P34: Analisis komponen utama

P35: Pemilihan kombinasi saluran untuk klasifikasi

P36: Penentuan jumlah dan tipe kelas

P38: Pendekatan klasifikasi

P39: Klasifikasi tak terbimbing

P40: Klasifikasi terbimbing

P43: Klasifikasi visual

P44: Kajian akurasi terhadap citra terklasifikasi

P46: Statistik Nilai Khat

P47: Kontrol kualitas, finalisasi klasifikasi tutupan lahan awal serta tahap berikutnya

P48: Lampiran A: Gambaran umum opsi citra satelit

P53: Lampiran B: Transformasi Tasseled Cap

Oleh Sapta Ananda Proklamasi, Greenpeace Indonesia; Moe Myint, Mapping and Natural Resources Information Integration; Ihwan Rafina, TFT; dan Tri A. Sugiyanto, PT SMART/TFT.

Para penulis sangat berterima kasih kepada Ario Bhriowo, TFT; Yves Laumonier, CIFOR; Arturo Sanchez-Asofeifa, University of Alberta; Chue Poh Tan, ETH-Zurich dan para kolega di World Resources Institute atas komentarnya yang bermanfaat dalam versi-versi awal bab ini.

DAFTAR ISI BAB

Page 31: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

29

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Pendahuluan

“Metodologi ini diharapkan dapat diterapkan di semua hutan tropis lembab di tanah mineral”

Tujuan dari Fase Pertama dalam kajian SKT adalah membuat suatu peta indikatif kawasan hutan SKT potensial dalam suatu konsesi dan lanskap yang mengelilinginya, menggunakan kombinasi citra satelit dan data di lapangan. Bab ini membahas tahap pertama dari Fase Pertama: penggunaan citra dan data set untuk mengklasifikasi vegetasi ke dalam kategori yang seragam. Kami akan mengajak para pembaca mendalami metodologi untuk tahap pertama ini, termasuk memilih basis data citra, menentukan jumlah kelas tutupan lahan dan melakukan klasifikasi.

Metodologi yang dijelaskan dalam bab ini telah diuji dan disempurnakan melalui studi percobaan di kawasan konsesi di Indonesia, Liberia dan Papua Nugini. Metodologi ini diharapkan dapat diterapkan di semua hutan tropis lembab di tanah mineral . Karena itu kami telah mencantumkan rincian variasi dalam metodologi ini. Ini mungkin dibutuhkan untuk menanggapi isu-isu yang mungkin ada berkaitan dengan kualitas citra yang tersedia serta macam pemanfaatan lahan dan tutupan lahan di berbagai wilayah yang berbeda.

Bab ini ditujukan untuk pakar teknis dengan pengalaman dalam analisis penginderaan jarak jauh yang mampu menggunakan dokumen ini untuk memandu pekerjaan mereka dan menyusun peta indikatif kawasan hutan SKT potensial tanpa memerlukan panduan lainnya. Dengan demikian kami berasumsi bahwa para pembaca memiliki pengetahuan tingkat lanjut mengenai teknik-teknik analisis dan normalisasi, namun kami telah menyediakan referensi sebagai panduan lebih detail yang bisa bermanfaat.

FASE 1: DIAGRAM TAHAPAN

Page 32: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Atas: Foto hak cipta USGS ©Kiri: Corozal Sustainable Future Initiative, Belize ©

30

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Pemilahan citra satelit

Pemilahan citra satelit yang akan digunakan dalam proses klasifikasi vegetasi harus dipastikan bahwa citra tersebut sesuai dengan cakupan kawasan yang dikaji, serta memperhatikan resolusi yang tepat baik temporal maupun spasial berkaitan dengan kajian yang dilakukan. Secara khusus:• Citra tidak boleh berumur lebih dari 12 bulan dan harus memiliki

resolusi setidaknya 30 meter.

• Data harus memiliki kualitas yang memadai untuk analisis, dengan penutupan awan kurang dari 5% dalam batas area kajian, tanpa atau dengan kabut yang sangat minimal dan terlokalisir.

• Ketersediaan saluran (band) spektra hijau, merah, inframerah dekat dan inframerah menengah yang berperan dalam penentuan tutupan vegetasi, kesehatan tutupan vegetasi dan kerapatan vegetasi di lapangan harus dipertimbangkan.

Pengguna harus mengunduh dan mengevaluasi beberapa citra quick-look dengan geo-referensi beserta metadatanya dari beberapa baris (path) dan deretan (row) satelit. Ini akan membantu mendapatkan cara tepat untuk menyusun subset spasial dari citra tanpa awan. Untuk mencapai tujuan ini, pengguna harus mendapatkan satu citra satelit atau lebih dan kemudian menyusun katalog citra dari citra multi-temporal untuk mendapatkan serangkaian subset citra berkualitas baik untuk analisis dalam wilayah kajian. Disarankan untuk mendapatkan citra Landsat-8 multi-temporal dalam waktu berdekatan (dalam satu atau dua periode kunjungan satelit di lokasi yang sama). Untuk menghindari pengaruh sudut matahari atau kondisi atmosfer dari citra multi-temporal, setiap subset citra harus dianalisis dan diklasifikasi secara terpisah.

Ada berbagai tipe dan penyedia citra satelit yang memiliki informasi spektral tampak, inframerah dan gelombang mikro yang sesuai. Tabel yang merangkum berbagai pilihan basis data serta biaya dan manfaatnya, serta peralatan baru seperti kendaraan udara tanpa awak, disajikan dalam Lampiran A. Pengguna perlu mengingat bahwa karena citra Landsat-7 bermasalah dengan Scan Line Corrector Off sejak Mei 2003, penggunaan citra Landsat 7 sejak tanggal tersebut tidak direkomendasikan untuk analisis dan klasifikasi citra karena striping. Walaupun Landsat 7 SLC OFF strip dapat diisi, hal ini sebaiknya hanya dilakukan untuk memperbaiki visualisasi dan interpretasi visual.

Setelah citra yang paling baik telah dipilih, citra tersebut dipotong agar mencakup hanya wilayah kajian saja. Untuk mengklasifikasi hutan yang dijumpai di dalam konsesi dengan cara terbaik, wilayah kajian sebaiknya mencakup lanskap seluas mungkin karena klasifikasi dilakukan menggunakan jumlah penutupan tajuk dan perhitungan stok karbon relatif dalam konteks lanskap. Seperti misalnya patch hutan dalam suatu konsesi yang sebagian besar terdegradasi dengan keberadaan SKT potensial yang kecil harus dibandingkan dengan lanskap hutan lain yang lebih luas untuk menempatkannya dalam konteksnya.

Dibutuhkan setidaknya radius 1 km dari batas konsesi untuk memastikan dipertimbangkannya tutupan hutan dalam lanskap tersebut. Praktik terbaik adalah dengan memasukkan lebih banyak lagi dari lanskap yang mengelilinginya, seperti pada level daerah tangkapan air untuk daerah aliran sungai atau sungai dalam wilayah kajian. Bentuk persegi empat wilayah kajian dapat dibuat dan diunggah ke USGS Earth Explorer untuk memilih citra yang akan diunduh.

Page 33: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

31

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Pengurangan Gangguan (Noise): Pengurangan tingkat gangguan dalam lapisan raster. Teknik ini mempertahankan detil halus dalam suatu citra, seperti garis-garis tipis, sambil menghilangkan gangguan sepanjang tepi dan wilayah datar.

Penghapusan Gangguan Periodik: Apabila gangguan periodik berasal dari masalah non-sensor seperti kondisi atmosfer yang sesaat, noise tersebut bisa dihapus dari citra dengan meningkatkan transformasi Fourier citra secara otomatis.

Pertama, citra input dibagikan menjadi blok-blok 128 x 128 piksel yang tumpang tindih. Transformasi Fourier dihitung untuk setiap blok dan nilai log dari setiap blok fast Fourier Transform (FFT) diambil nilai rata-ratanya. Perhitungan nilai rata-rata menghilangkan semua kuantitas domain frekuensi kecuali kuantitas yang ada di setiap blok (antara lain, interferensi periodik). Nilai rata-rata spektral kemudian digunakan sebagai filter untuk menyesuaikan FFT dari seluruh citra. Saat dilakukan kebalikan dari transformasi Fourier, hasilnya berupa citra dengan gangguan periodik yang telah dihapus atau dikurangi secara signifikan. Metode ini sebagian berdasarkan algoritma yang diuraikan dalam Cannon, Lehar, dan Preston (1983) serta Srinivasan, Cannon dan White (1988).

Level minimal frekuensi yang terpengaruh harus ditetapkan setinggi mungkin untuk memperoleh hasil terbaik. Nilai yang rendah mempengaruhi frekuensi transformasi Fourier yang lebih rendah yang mewakili fitur global dari lembar (scene) tersebut seperti kecerahan dan kontras, sedangkan nilai yang sangat tinggi mempengaruhi frekuensi yang mewakili detil dalam citra.

Penggantian garis/kolom yang rusak: Penghapusan garis/kolom yang rusak atau kolom dalam citra raster.

Pencocokkan Histogram: Fungsi ini secara matematis menentukan lookup table yang mengkonversi histogram dari satu citra hingga menyerupai histogram citra lainnya.

Konversi Kecerahan: Membalikkan kisaran intensitas linear dan nonlinear dari suatu citra, menghasilkan citra yang memiliki kontras berlawanan dengan citra yang original. Detil yang gelap menjadi terang dan detil yang terang menjadi gelap.

Persamaan Histogram: Gunakan rentang kontras nonlinear (nonlinear contrast stretch) yang mendistribusikan ulang nilai piksel sehingga terdapat jumlah piksel yang kira-kira sama dengan setiap nilai dalam suatu kisaran.

Normalisasi Topografik (Model Reflektan Lambertian): Gunakan model reflektan Lambertian untuk mengurangi efek topografik dalam citra digital. Efek topografik adalah perbedaan pencahayaan yang penyebabnya hanya karena kelerengan dan aspek kondisi medan berkaitan dengan ketinggian dan azimut matahari. Hasil akhirnya adalah citra kondisi medan dengan pencahayaan yang lebih seragam. Ketinggian dan azimut informasi matahari untuk normalisasi topografik setiap citra tersedia saat analis mengunduh metadata citra tersebut. Analis harus memilih Digital Elevation Model yang baik sebagai input data untuk normalisasi topografik.

Pra-pemrosesan dan koreksi radiometrik terhadap citra satelit

Salah satu tantangan terbesar dalam kegiatan klasifikasi tutupan lahan adalah proses standarisasi, yang dilakukan sebelum analisis untuk memastikan kualitas hasil yang baik. Standarisasi mengkonversikan berbagai sumber citra dengan tanggal dan kondisi atmosfer yang berbeda menjadi serangkaian citra dengan properti citra yang serupa yang dapat digunakan bersamaan; ini juga disebut sebagai Koreksi Radiometrik sebelum data diproses. Perlu dicatat bahwa bahkan dengan standarisasi, beberapa citra sumber akan masih memiliki keterbatasan, antara lain dengan masalah garis perekaman (striping) dengan citra Landsat setelah tahun 2003 sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Standarisasi dapat melibatkan beberapa tahap pra-pemrosesan citra. Beberapa fungsi pra-pemrosesan standar berdasarkan Erdas Imagine Image Processing System dijelaskan di bawah; sistem pemrosesan citra standar lainnya akan memiliki fungsi-fungsi yang serupa. Pra-pemrosesan citra, koreksi radiometrik atau prosedur standarisasi yang dijelaskan di sini belum tentu semuanya harus dilakukan atau diikuti. Analis harus mengevaluasi kualitas citra dan melakukan prosedur pra-pemrosesan hanya jika dibutuhkan untuk memperbaiki klasifikasi..

Rentang LUT: Mentransformasi nomer piksel citra melalui rentang lookup table (LUT) yang sudah ada.

Pengaturan ulang skala: Atur ulang skala data dalam format bit apa pun sebagai input dan output. Pengaturan ulang skala menyesuaikan skala nilai bit agar mencakup semua nilai file data, menjaga nilai relatif dan mempertahankan bentuk histogram yang sama.

Pengurangan kabut: Efek atmosfer dapat menyebabkan citra memiliki kisaran dinamis terbatas, tampak seperti kabut atau memiliki kontras rendah. Pengurangan kabut memungkinkan dilakukan penajaman citra menggunakan Tasseled Cap atau Point Spread Convolution. Untuk citra multispektral, metode ini didasari oleh transformasi Tasseled Cap, yang menghasilkan suatu komponen yang berkorelasi dengan kabut. Komponen ini dihilangkan dan citra ditransformasi kembali ke format RGB. Untuk citra pankromatik, digunakan kebalikan konvolusi sebaran titik (inverse point spread convolution).

“Salah satu tantangan terbesar dalam kegiatan klasifikasi tutupan lahan adalah proses standarisasi, yang dilakukan sebelum analisis untuk memastikan kualitas hasil yang baik”

Page 34: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

32

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi adalah penghitungan radiometrik tanpa dimensi yang mengindikasikan kelimpahan relatif dan bentuk vegetasi hijau. Ini mencakup indeks-area-daun (leaf-area-index atau LAI), persentase tutupan warna hijau, dan konten klorofil dalam biomassa hijau serta radiasi aktif fotosintesis terserap (absorbed photosynthetically active radiation atau APAR). Berdasarkan Running et al. (1994) dan Huete dan Justice (1999), indeks vegetasi seharusnya:

Indeks vegetasi adalah untuk digunakan sebagai indikatif tutupan vegetasi, untuk menunjukkan tutupan vegetasi dan non-vegetasi yang akan digunakan dengan kelas hutan dan tutupan lahan non-hutan tak terbimbing.

• Memaksimalkan sensitivitas terhadap parameter biofisik tumbuhan, lebih diutamakan yang memiliki respon linear agar terdapat sensitivitas untuk berbagai kondisi vegetasi yang beragam, dan untuk memfasilitasi validasi dan kalibrasi indeks;

• Normalisasi efek eksternal modal seperti sudut matahari, sudut penglihatan, dan atmosfer untuk perbandingan spasial dan temporal yang lebih konsisten;

• Normalisasi efek internal seperti variasi latar belakang tajuk, termasuk topografi (kelerengan dan hadapan lereng), variasi tanah dan perbedaan pada tumbuhan tua atau berkayu (komponen tajuk non-fotosintetik); dan

• Gabungkan dengan beberapa parameter biofisik terukur khusus seperti biomassa, LAI atau APAR sebagai bagian dari upaya validasi dan kontrol kualitas.

Ada banyak indeks vegetasi yang dapat digunakan dalam analisis SKT. Toolkit SKT ini menitikberatkan NDVI dan transformasi Kauth-Thomas Tasseled Cap, yang merupakan indeks yang direkomendasikan untuk Pendekatan SKT.

“Indeks vegetasi adalah penghitungan radiometrik tanpa dimensi yang mengindikasikan kelimpahan relatif dan bentuk vegetasi hijau”

Normalisasi Perbedaan Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi sebenarnya yang pertama adalah Rasio Sederhana (SR), yaitu rasio kekuatan pancaran gelombang merah (red reflected radiant flux atau Pred) sampai kekuatan pancaran gelombang inframerah dekat (near-infrared reflectance flux atau Pnir) sebagaimana dijelaskan dalam Birth dan McVey (1968):

SR = Pred / Pnir

Rasio Sederhana (Simple Ratio or SR) menyampaikan informasi penting mengenai biomassa vegetasi atau Indeks Area Daun (LAI) (Schlerf et al., 2005). Rasio ini sangat sensitif terhadap variasi biomassa dan/atau LAI dalam vegetasi berbiomassa tinggi seperti hutan (Huete et al., 2002).

Rouse et al. (1974) mengembangkan Normalised Difference Vegetation Index (NDVI) generik sebagai indikator grafik yang dapat digunakan untuk menganalisis tutupan vegetasi. NDVI dihitung sebagai rasio (inframerah dekat –saluran merah) dengan (saluran inframerah dekat + saluran merah):

NDVI = (Pnir – Pred) / (Pnir + Pred)Hasil NDVI akan berkisar antara -1 dan +1.

NDVI secara fungsional adalah sama dengan SR. NDVI pada dasarnya adalah transformasi linear untuk Rasio Sederhana. Tidak ada persebaran dalam SR jika dibandingkan dengan plot NDVI, dan setiap nilai SR memiliki nilai NDVI tetap.

NDVI adalah indeks vegetasi yang penting karena:

• Perubahan musiman dan tahunan pada pertumbuhan dan aktivitas vegetasi bisa dimonitor.

• NDVI menreduksi berbagai bentuk gangguan perbanyakan (perbedaan pencahayaan matahari, bayangan dari awan, beberapa penipisan atmosfer, dan beberapa variasi topografi) yang ada di berbagai saluran dari citra multi-temporal.

Namun, ada beberapa kelemahan pada NDVI yang harus dipertimbangkan analis, termasuk:

• Rasio berdasarkan indeks bersifat nonlinear dan bisa dipengaruhi oleh efek gangguan tambahan seperti hamburan cahaya atmosferik (atmospheric path radiance).

• NDVI berkorelasi erat dengan LAI. Namun hubungannya mungkin tidak terlalu kuat pada saat LAI maksimal, tampaknya karena saturasi NDVI saat LAI sangat tinggi (Wang et al. 2005). Kisaran dinamis NDVI direntangkan demi kondisi biomassa rendah dan terkompresi di kawasan berhutan dengan biomassa tinggi. Karena itu hutan kerapatan tinggi dan kerapatan menengah sulit dibedakan dalam NDVI. Hal yang sebaliknya berlaku untuk Rasio Sederhana, di mana sebagian besar kisaran dinamis meliputi hutan dengan biomassa tinggi dengan sedikit variasi yang berlaku untuk wilayah dengan biomassa rendah (contohnya padang rumput serta bioma kering dan semi-kering).

• NDVI sangat sensitif terhadap variasi pada latar belakang tajuk, seperti apabila tanah terlihat melalui tajuk. Nilai NDVI akan sangat tinggi dengan latar belakang tajuk yang gelap.

Page 35: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

33

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Transformasi Kauth-Thomas Tasseled Cap

Transformasi Tasseled Cap (TC) adalah indeks vegetasi global yang memisahkan nilai kecerahan tanah, vegetasi dan kandungan kelembaban dalam setiap satuan piksel. Dengan metode ini, setiap citra ditransformasi menggunakan koefisien TC yang spesifik untuk satelit tersebut untuk menciptakan indeks vegetasi. Nilai TC dihasilkan dengan mengkonversi saluran original menjadi serangkaian saluran baru dengan interpretasi terdefinisi yang bermanfaat dalam pemetaan vegetasi. Wilayah urban adalah salah satu yang paling terlihat dalam citra terang. Saluran TC yang kedua berkaitan dengan “kehijauan” dan biasanya digunakan sebagai indeks vegetasi aktif fotosintetis, yaitu semakin besar biomassa yang terdapat, maka semakin terang nilai piksel dalam citra kehijauan tersebut.

Saluran TC yang ketiga sering kali diinterpretasikan sebagai indeks kelembaban (sebagai contoh, kelembaban tanah atau permukaan) atau kekuningan vegetasi (antara lain, jumlah vegetasi mati/kering). Parameter TC keempat adalah awan/kabut. Perlu diperhatikan bahwa koefisien TC dapat dihitung berdasarkan kondisi setempat; Jackson (1983) menjelaskan algoritma dan prosedur matematika untuk tujuan ini.

Persamaan dan koefisien yang dibutuhkan untuk menghasilkan Indeks Kecerahan, Kehijauan dan Kelembaban dari citra Landsat MSS, Landsat TM, Landsat 7 ETM + dan Landsat 8 terdapat di Lampiran B.

“Transformasi Tasseled Cap (TC) adalah indeks vegetasi global yang memisahkan nilai kecerahan tanah, vegetasi dan kandungan kelembaban dalam setiap satuan piksel”

Page 36: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

34

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Untuk Landsat MSS, dua komponen utama yang pertama (PC1 dan PC2) menjelaskan hampir semua varian dalam lembar tersebut. Dalam hal ini, dimensionalitas intrinsik dari data Landsat MSS disebutkan secara efektif sebagai 2. Serupa dengan ini, tiga komponen utama yang pertama (PC1, PC2, dan PC3) menjelaskan bahwa hampir semua varian dalam lembar dan dimensionalitas intrinsik Landsat TM adalah 3. Dengan demikian Landsat TM atau ETM+ atau Landsat 8 atau data satelit serupa lainnya sering kali dapat direduksi menjadi hanya tiga citra komponen utama untuk tujuan klasifikasi.

Deskripsi rinci mengenai prosedur statistik yang digunakan untuk memperoleh transformasi komponen utama memang melebihi cakupan toolkit ini, namun dijelaskan dengan baik pada halaman 60-65 dalam Classification Methods for Remotely Sensed Data oleh Brandt Tso dan Paul M. Mather (2001). Hal yang terakhir, penting untuk dicatat bahwa PCA harus dihitung dari saluran biru, hijau, merah, inframerah dekat, inframerah I gelombang pendek, dan inframerah II gelombang pendek dengan resolusi spasial yang serupa (contohnya adalah Landsat 8), karena saluran tersebut memiliki informasi serupa yang diulangi berkaitan dengan tutupan vegetasi dan lahan.

Analisis komponen utama (Principle Component Analysis atau PCA) adalah alat lain untuk mengidentifikasi data yang berulang dan menghasilkan serangkaian informasi baru yang menggabungkan data-data yang berkorelasi. Data set komponen utama yang dihasilkan umumnya lebih kecil daripada data set original, sehingga mempercepat waktu pemrosesan. Namun, berbeda dengan Tasseled Cap, aksis baru yang dihasilkan PCA tidak dispesifikasikan oleh definisi matriks transformasi analis yang sebelumnya, tetapi diperoleh dari varian-kovarian atau matriks korelasi yang dihitung dari analisis data.

Korelasi antar pita saluran yang luas adalah suatu masalah yang sering dijumpai dalam analisis data citra multispektral, atau dengan kata lain, citra yang dihasilkan oleh data digital dari berbagai pita panjang gelombang sering terlihat serupa dan menyajikan data yang pada dasarnya sama. Transformasi komponen utama dan kanonikal merupakan dua teknik yang dirancang untuk mengurangi pengulangan seperti ini pada data multispektrum. Transformasi ini bisa diaplikasikan sebagai tindakan koreksi sebelum interpretasi visual data, atau sebagai prosedur pra-pemrosesan klasifikasi digital data. Jika teknik ini digunakan untuk konteks yang kedua, maka transformasi biasanya akan meningkatkan efisiensi komputasional proses klasifikasi karena reduksi dimensionalitas dari data set original. Tujuan prosedur ini adalah untuk mengompres semua informasi yang terkandung dalam data set saluran-n original menjadi kurang dari n saluran baru. Saluran baru digunakan untuk menggantikan data original.

Prosedur umum PCA dapat dibagikan menjadi tiga tahap:

1. Perhitungan matriks varian-kovarian (atau korelasi) yang terdiri dari citra multi-saluran (multiband) (sebagai contoh pada citra enam-saluran, matriks varian-kovarian memiliki dimensi 6 x 6)

2. Ekstraksi eigenvalue dan eigenvektor matriks, dan

3. Transformasi fitur bentuk koordinat menggunakan eigenvektor tersebut

Singkatnya, nilai data citra komponen utama pada dasarnya berupa kombinasi linear dari nilai data original dikalikan dengan koefisien transformasi yang tepat yang disebut eigenvektor. Dengan demikian, citra komponen utama dihasilkan dari kombinasi linier data original serta eigenvektor pada basis piksel kali piksel pada keseluruhan citra.

Ciri penting dari citra komponen PCA adalah bahwa citra komponen utama yang pertama (PC1) mencakup persentase terbesar dari varian lembar total dan citra-citra komponen berikutnya (PC2, PC3, PC4, ... PCn) masing-masing memiliki varian lembar dengan persentase yang semakin menurun. Selain itu, karena komponen-komponen berikutnya dipilih untuk menjadi ortogonal terhadap semua komponen sebelumnya, maka data yang dimiliki tidak berkorelasi.

Analisis komponen utama

Page 37: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta USGS ©

35

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Beberapa opsi kombinasi saluran dapat dipilih dari saluran original, menggunakan berbagai hasil transformasi (NDVI, PCA dan Tasseled Cap) untuk menghasilkan data set saluran yang baru. Analis akan mencari atau memodifikasi kombinasi saluran yang sesuai berdasarkan wilayah kajian, ciri tutupan lahan dan sifat spektralnya. Sebagai contoh, suatu model elevasi digital bisa dimasukkan secara opsional dalam data set saluran yang baru untuk menyediakan informasi topografi. Hal ini dapat mencegah kesalahan klasifikasi lahan pertanian di atas pegunungan. Prosesor komputer modern (multicore) dapat memproses data multispektrum tanpa membutuhkan banyak waktu tambahan bahkan jika saluran tambahan dimasukkan dalam klasifikasi.

Opsi berikut ini memberikan beberapa gambaran umum bagi analis berkaitan dengan pilihan kombinasi saluran untuk klasifikasi. .

Opsi 1

Saluran1 = Saluran Spektral Biru

Saluran2 = Saluran Spektral Hijau

Saluran3 = Saluran Spektral Merah

Saluran4 = Saluran Spektral Inframerah Dekat

Saluran5 = Saluran Spektral Inframerah Menengah

Saluran6 = Saluran Spektral Inframerah Menengah II

Saluran7 = Tasseled Cap Kecerahan

Saluran8 = Tasseled Cap Kehijauan

Saluran9 = Tasseled Cap Kelembaban

Saluran10 = NDVI (Diatur ulang skalanya menjadi bit data dari saluran yang telah disebutkan)

Saluran11 = SR (Diatur ulang skalanya menjadi bit data dari saluran spektral yang telah disebutkan – opsional)

Saluran12 = Digital Elevation Model (opsional

Opsi 2

Saluran1 = Komponen Utama 1 (PC1)

Saluran2 = Komponen Utama 2 (PC2)

Saluran3 = Komponen Utama 3 (PC3)

Saluran4 = Nilai Kecerahan Tasseled Cap

Saluran5 = Tasseled Cap Kehijauan

Saluran6 = Tasseled Cap Kelembaban

Saluran7 = NDVI (Diatur ulang skalanya menjadi bit data dari saluran yang telah disebutkan)

Saluran8 = SR (Diatur ulang skalanya menjadi bit data dari saluran spektral yang telah disebutkan – opsional)

Saluran9 = Digital Elevation Model (opsional)

Opsi 3

Data gelombang mikro seperti data Sentinel-1 dapat dimasukkan sebagai saluran tambahan di opsi 1 dan opsi 2. Walaupun data opsi 1 dan 2 adalah sangat baik untuk pendeteksian berdasarkan ciri kimiawi obyek spasial, data gelombang mikro mungkin dapat menyediakan ciri fisik obyek spasial seperti seberapa kasar permukaan (struktur vegetasi), konstanta dielektrik (kandungan air) dan orientasi spasial dari obyek spasial relatif terhadap arah sensor. Data Sentinel-1 dapat diunduh gratis untuk penelitian ilmiah dan tujuan nirlaba.

Pemilahan kombinasi saluran untuk klasifikasi

Page 38: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

36

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

KLASIFIKASI SKT

Penentuan jumlah dan tipe kelas

“Proses akhir dari negosiasi dan pelepasan hak masyarakat untuk memanfaatkan hutan SKT terjadi setelah proses klasifikasi SKT diselesaikan”

Saat citra telah dipilih dan distandarisasikan, tahap berikutnya adalah mengelompokkan tutupan lahan menjadi kelas-kelas homogen untuk mengindikasikan kawasan hutan SKT potensial. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk membedakan:

• Hutan kerapatan rendah, medium dan tinggi (HK1, HK2, HK3);

• Hutan Regenerasi Muda (HRM);

• Lahan bekas hutan yang telah dibuka atau terdegradasi termasuk Belukar (B) dan Lahan Terbuka (LT); dan

• Kawasan non-SKT seperti jalan, badan air dan pemukiman.

Seperti yang ditampilkan pada diagram berikut, batas penentuan hutan SKT potensial adalah antara kategori Belukar dan Hutan Regenerasi Muda, di mana HRM, HK1, HK2 dan HK3 dianggap sebagai hutan SKT potensial dan B serta LT tidak termasuk hutan SKT. Dalam Fase Dua dari metodologi ini akan ada penyesuaian terhadap HRM dan B setelah dilakukan analisis melalui Decision Tree Analisis Pe Patch tak SKT dan perencanaan konservasi.

Dalam tahap klasifikasi berbasis-citra ini, kawasan hutan non-SKT lainnya yang memiliki tutupan vegetasi signifikan juga dapat diidentifikasi, dengan contoh berupa kawasan yang digunakan masyarakat untuk kegiatan agroforestri yang mungkin terdiri dari campuran vegetasi alami; pohon buah; tanaman hasil bumi yang diperdagangkan seperti karet, kopi, kakao, atau sawit; dan tanaman pangan. Kawasan tersebut biasanya telah diidentifikasi melalui proses pemetaan partisipatif dan FPIC yang digarisbawahi dalam Bab 2. Jika kawasan tersebut terindikasi pada citra satelit tetapi tidak dimasukkan ke dalam kawasan yang peta kawasan masyarakat, maka kualitas pemetaan partisipatif pemanfaatan lahan perlu dipertanyakan, dan tahap tersebut mungkin perlu diulangi.

Kelas tutupan lahan yang didefinisikan dalam proses ini akan beragam berdasarkan lanskap dan tipe tutupan lahan dalam wilayah konsesi. Penjelasan mengenai klasifikasi yang umum digunakan disajikan dalam tabel di halaman berikut. Kategori yang termasuk dalam kategori SKT diindikasikan sebagai warna hijau. Perhatikan bahwa tabel ini turut menyajikan faktor kualitatif yang akan tampak jelas saat survey lapangan telah diselesaikan. Untuk mengingatkan, hutan SKT mungkin akan tumpang tindih dengan kawasan pemanfaatan masyarakat, seperti pada hutan yang dimanfaatkan untuk pengumpulan hasil hutan non-kayu atau untuk berburu. Proses akhir dari negosiasi dan pelepasan hak masyarakat untuk memanfaatkan hutan SKT terjadi setelah proses klasifikasi SKT diselesaikan.

Page 39: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

37

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Di lokasi di mana tegakan hutan homogen atau hampir homogen dapat diidentifikasi dan dipetakan, contohnya hutan Gelam (Melaleuca spp.) di Indonesia, perlu dipertimbangkan apakah kawasan tersebut harus diberlakukan sebagai kelas vegetasi terpisah (non-standar). Jika keputusan yang dibuat adalah untuk memisahkan kawasan homogen, maka pendekatan SKT untuk menstratifikasi kawasan vegetasi ke dalam kelas stok karbon tinggi dan rendah masih berlaku.

Perlu diingat bahwa kisaran dinamis Rasio Sederhana (SR) direntangkan untuk mendukung kondisi biomassa tinggi seperti kawasan berhutan dan dikompresi di kawasan dengan biomassa rendah, kawasan dengan vegetasi yang baru tumbuh dan hutan alami bisa dideteksi dengan metode ini. Selain itu, data Gelombang Mikro Sentinel-1 bisa dimasukkan untuk mendeteksi kawasan hutan alami dan kawasan pertumbuhan baru, karena struktur dinamis tegakan berbeda dan bisa disimpulkan dari kekasaran permukaan.

TABEL: KATEGORI UMUM TUTUPAN LAHAN

KATEGORI TUTUPAN DESKRIPSI VEGETASI

HK3, HK2, HK1 Hutan Kerapatan Tinggi, Hutan Kerapatan Menengah, dan Hutan Kerapatan Rendah

Hutan alam dengan tajuk tertutup beragam dari hutan kerapatan tinggi

sampai rendah. Data inventarisasi menunjukkan keberadaan pohon

dengan diameter >30 cm dan didominasi oleh spesies klimaks.

HRM: Hutan Regenerasi Muda Hutan yang sangat terganggu atau kawasan hutan dalam tahap

regenerasi menuju struktur aslinya. Distribusi diameter didominasi oleh

pohon dengan DBH 10-30 cm dengan frekuensi spesies pionir yang lebih

tinggi dibandingkan dengan HK1. Dalam kelas tutupan lahan ini mungkin

terdapat kawasan-kawasan kecil yang berupa kawasan pertanian atau

plasma.

Catatan: Perkebunan yang ditelantarkan dengan kurang dari 50% luas

bidang dasar terdiri dari tanaman pohon bisa termasuk dalam kategori

ini atau kategori di atas. Tegakan dengan luas bidang dasar > 50% tidak

dianggap sebagai hutan SKT melainkan lahan perkebunan dan harus

diklasifikasi secara terpisah.

B: Belukar Lahan yang dulunya berupa hutan tetapi telah dibuka dalam waktu yang

belum terlalu lama. Didominasi oleh belukar rendah dengan penutupan

tajuk yang terbatas. Mencakup lahan dengan rerumputan tinggi dan

tumbuhan paku-pakuan dan spesies pohon pionir yang tersebar.

Beberapa patch hutan tua juga mungkin dijumpai dalam kategori lahan ini.

LT: Lahan Terbuka Lahan yang baru dibuka dan sebagian besar terdiri dari rerumputan

atau tanaman. Sedikit tumbuhan berkayu.

CONTOH KATEGORI NON-SKT LAINNYA

HT: Hutan Tanaman Kawasan luas yang ditanami pohon (seperti karet, Akasia).

AGRI: Perkebunan Pertanian Sebagai contoh, perkebunan kelapa sawit skala besar yang tumpang

tindih dengan wilayah konsesi.

TAMB: Kawasan Pertambangan Kawasan ini bisa dibedakan lebih lanjut antara kawasan pertambangan

legal/berizin dengan kawasan pertambangan ilegal/tidak sesuai aturan.

PL: Petani Perkebunan Plasma dan Pemanfaatan Plasma Kawasan ini bisa dibedakan lebih lanjut sebagai sistem hutan

tanaman/agroforestri campuran yang memiliki peran potensial

sebagai koridor satwa liar, sistem pertanian berpindah untuk produksi

pangan subsisten, dll.

(Lainnya) Badan air seperti sungai dan danau.

Kawasan pembangunan, pemukiman, jalan, dll.

Page 40: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta USGS ©

38

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Pendekatan klasifikasi

“Pemilihan metode yang digunakan untuk menginterpretasikan citra biasanya ditentukan oleh tingkat keahlian dan sejauh mana interpreter familiar dengan lanskap tertentu”

Saat citra telah dipilih dan disempurnakan, tutupan lahan dikelompokkan menjadi kelas-kelas yang relatif homogen seperti yang dijelaskan di atas untuk mendelineasi hutan SKT dari hutan non-SKT. Proses tersebut sebagian besar terdiri dari analisis citra satelit menggunaan Penginderaan Jarak Jauh dan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (GIS), yang menyediakan alat untuk interpretasi tutupan lahan. Beberapa paket perangkat lunak menyediakan alat untuk mendukung analisis tutupan lahan, seperti perangkat lunak Erdas Imagine, ENVI, ESRI Image Analysis dan OpenSource (Quantum GIS).

Klasifikasi tutupan lahan diterapkan untuk beberapa alasan:

1. Klasifikasi tutupan lahan memungkinkan dilakukannya identifikasi kelas tutupan lahan yang berbeda dengan kondisi hutan dan non-hutan yang dapat digunakan dalam analisis citra (sebagai contoh, tutupan tajuk dan kekasaran lapisan tajuk).

2. Kondisi hutan sering kali (tetapi tidak selalu) berkorelasi dengan stok karbon hutan dan keanekaragaman hayati. Sebagai contoh, hutan dengan kerapatan baik biasanya berasosiasi dengan stok karbon tinggi (dan juga sering kali dengan keanekaragaman hayati yang lebih tinggi) dibandingkan hutan terdegradasi dengan kerapatan rendah.

3. Pemisahan tutupan lahan menjadi beberapa kelas memungkinkan rancangan sampel yang lebih efisien untuk survey lapangan (lihat Bab 4), dan pengkajian hasil inventarisasi hutan dan survei udara yang lebih sederhana.

Kajian SKT umumnya menggunakan kombinasi dari berbagai fase metodologi untuk memastikan perwakilan tutupan lahan yang akurat, yaitu analisis berbasis-piksel menggunakan metode tak terbimbing dan terbimbing, serta metode visual dalam fase lainnya. Apa pun teknik klasifikasi citra yang digunakan, pengetahuan kondisi lapangan setempat seperti pemanfaatan lahan, tutupan lahan, tipe hutan dan komposisi jenis, tipe tanaman pertanian, dan fenologi vegetasi berkaitan dengan ciri spektral dari data set citra terpilih juga tidak kalah pentingnya.

Pemilihan metode yang digunakan untuk menginterpretasikan citra biasanya ditentukan oleh tingkat keahlian dan sejauh mana interpreter familiar dengan lanskap dan tutupan lahan tertentu yang dianalisis. Sebagai contoh, jika interpreter memiliki pemahaman yang memadai atas teknik penginderaan jarak jauh mutakhir serta pemahaman baik tentang kawasan sampel, maka penggunaan teknik klasifikasi terbimbing dan/atau pengkelasan secara hierarki/bertingkat perangkat yang mirip seperti Knowledge Engineer & Knowledge Classifier milik ERDAS . Untuk kawasan tanpa informasi tutupan lahan yang tersedia, interpreter atau analis dapat memulai analisis menggunakan teknik klasifikasi tak terbimbing untuk melihat obyek atau fenomena spasial yang serupa secara spektral atau berdekatan secara spasial.

Pada umumnya, teknik klasifikasi tak terbimbing, terbimbing, dan klasifikasi Decision Tree hierarkis akan saling melengkapi untuk menentukan kelas tutupan lahan dalam wilayah kajian.

Page 41: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

39

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Klasifikasi tak terbimbing

Klasifikasi tak terbimbing menggunakan perangkat lunak pemrosesan citra untuk mengelompokkan piksel berdasarkan ciri umum tanpa menggunakan kelas sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Klasifikasi tak terbimbing menerapkan algoritma segmentasi citra nilai rata-rata K atau suatu algoritma ISODATA (Iterative Self-Organising Data Analysis) untuk menentukan piksel mana yang memiliki spektral serupa dengan piksel lain dan kemudian mengelompokkannya ke dalam berbagai kelas-kelas homogen. Pengguna dapat menentukan algoritma mana yang akan digunakan oleh perangkat lunak dan jumlah kelas output yang diinginkan, tetapi selain itu tidak mengintervensi proses klasifikasi. Namun pengguna harus memiliki pemahaman tentang kawasan yang diklasifikasi, karena pengelompokkan piksel berdasarkan ciri serupa yang dihasilkan oleh klasifikasi tak terbimbing harus berkaitan dengan fitur nyata di lapangan (seperti lahan basah, kawasan yang telah dikembangkan, hutan konifer, dll.).

Kelas-kelas yang dihasilkan oleh klasifikasi tak terbimbing merupakan kelas spektral. Karena ini tidak hanya didasarkan pengelompokkan alami dari nilai citra, identitas kelas spektral tidak akan diketahui dari awal. Analis harus membandingkan kelas spektral yang diklasifikasi dengan beberapa bentuk data referensi seperti peta yang sudah ada atau kunjungan lapangan untuk menentukan identitas dan nilai informasi atau kelas informasi kelas spektral.

Saat analis telah menentukan kelas yang dapat dipisahkan secara spektral dan mendefinisikan kegunaan informasinya, kelas spektral dapat dikelompokkan menjadi sekumpulan kategori sebagaimana diinginkan oleh analis.

Kadang analis akan menjumpai bahwa beberapa kelas spektral berkaitan dengan lebih dari satu kategori informasi. Contohnya, kelas spektral 3 mungkin dijumpai berkaitan dengan Hutan Regenerasi Muda di beberapa lokasi dan Hutan Kerapatan Rendah di lokasi lainnya. Demikian juga kelas spektral 6 mungkin mencakup Hutan Kerapatan Menengah dan Hutan Kerapatan Tinggi. Ini menunjukkan bahwa kategori informasi tersebut serupa secara spektral dan tidak dapat dibedakan dalam suatu data set tertentu. Untuk kasus seperti ini, analis mungkin bisa mempertimbangkan mencakup saluran-saluran tambahan ke dalam data set tersebut, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

Secara keseluruhan, kualitas klasifikasi tak terbimbing akan tergantung kepada pemahaman analis mengenai konsep pengklasifikian yang ada dan pengetahuannya mengenai tipe tutupan lahan yang dianalisis. Saat menggunakan klasifikasi tak terbimbing dalam proses SKT, umumnya 16 kelas sudah cukup untuk menentukan kelas hutan dan non-hutan, yang kemudian akan dikombinasikan dengan tutupan vegetasi, dan dapat dijadikan referensi untuk menentukan lokasi plot lapangan (lihat Bab 4).

Page 42: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

40

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Klasifikasi terbimbing

“Klasifikasi terbimbing didasari konsep bahwa pengguna dapat memilih sampel piksel dalam suatu citra yang mewakili kelas-kelas tertentu dan kemudian menjadi referensi klasifikasi piksel lain dalam citra tersebut”

Klasifikasi terbimbing didasari konsep bahwa pengguna dapat memilih sampel piksel dalam suatu citra yang mewakili kelas-kelas tertentu dan kemudian menginstruksikan perangkat lunak pemrosesan untuk menggunakan areal contoh sebagai referensi klasifikasi piksel lain dalam citra tersebut. Areal contoh (juga disebut set atau kelas input percontohan) dipilih berdasarkan pengetahuan pengguna. Pengguna juga menetapkan batasan seberapa mirip piksel lain untuk dapat dikelompokkan bersama. Batasan ini sering kali ditetapkan berdasarkan ciri spektral dari areal contoh, plus minus rentang tertentu (sering kali berdasarkan “kecerahan” atau kekuatan pantulan dalam saluran spektral tertentu). Pengguna juga menentukan jumlah kelas untuk klasifikasi citra.

Terdapat tiga tahap dasar dalam prosedur klasifikasi terbimbing umum:

1. Dalam tahap contoh, analis mendefinisikan areal contoh yang mewakili dan mengembangkan deskripsi numerik untuk atribut spektral setiap tipe tutupan lahan yang dikaji dalam lembar tersebut.

2. Dalam tahap klasifikasi, setiap piksel dalam data set citra dikategorikan ke dalam kelas tutupan lahan yang paling serupa. Apabila piksel tidak cukup menyerupai data set contoh apa pun, maka biasanya Piksel tersebut diklasifikasikan atau diberi label ‘tidak diketahui’.

3. Setelah semua data set telah dikategorikan, hasilnya kemudian disajikan pada tahap output. Output terklasifikasi kemudian menjadi input GIS.

Setiap tahapan di atas dijelaskan lebih lanjut dalam halaman-halaman berikut.

Tahap Contoh

Tujuan keseluruhan dari tahap contoh adalah menyusun serangkaian statistik yang menjelaskan pola respon spektral untuk semua tipe tutupan lahan yang akan diklasifikasikan dalam suatu citra. Perlu dicatat bahwa semua kelas spektral yang membentuk setiap kelas informasi harus diwakili secara memadai dalam statistik contoh yang digunakan untuk mengklasifikasi suatu citra. Tidak jarang dilakukan pengumpulan data dari 100 areal contoh atau lebih untuk mewakili variabilitas spektral dalam suatu citra secara memadai. Output histogram dari setiap areal contoh sangat penting khususnya saat klasifikasi kemungkinan maksimal (Maximum Likelihood) digunakan, karena berfungsi mengecek formalitas distribusi respon spektral. Remote Sensing and Image Interpretation oleh Liliesand dan Kiefer (Edisi kelima, 2004) memberikan informasi lengkap dan contoh bagaimana mengidentifikasi areal contoh yang valid secara statistik.

Bagian areal contoh dan evaluasi statistik sampel contoh membutuhkan waktu yang banyak, tetapi merupakah tahap penting untuk klasifikasi berkualitas baik. Analis perlu menghabiskan waktu yang cukup untuk mengembangkan sampel contoh yang representatif dan terpisah secara statistik yang mewakili kelas-kelas informasi. Matriks galat klasifikasi (dijelaskan kemudian dalam bab ini) dapat disusun pada rangkaian contoh piksel dan hasil klasifikasi terbimbing.

Page 43: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Foto: hak cipta USGS ©

41

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Tahap klasifikasi

Walaupun banyak teknik dapat digunakan untuk tahap klasifikasi terbimbing, toolkit ini terfokus pada detil klasifikasi Kemungkinan Maksimal Gaussian dan juga secara singkat menjelaskan penggunaan decision tree untuk klasifikasi terbimbing hierarkis.

Klasifikasi Kemungkinan Maksimal Gaussian mengevaluasi secara kuantitatif varian dan kovarian dari pola respon kategori (dari statistik sampel contoh) saat pengklasifikasian piksel yang tidak diketahui. Suatu asumsi dibuat bahwa distribusi titik awan yang menyusun kategori data contoh adalah Gaussian, atau dengan lain kata, memiliki distribusi normal. Dalam asumsi ini, distribusi pola respon kategori dapat dijelaskan secara lengkap oleh vektor rataan dan matriks kovarian. Dengan parameter ini, klasifikasi menghitung peluang statistik suatu nilai piksel tergolong dalam suatu kelas tutupan lahan atau kelas SKT tertentu. Setelah mengevaluasi peluang dalam setiap kategori, piksel tersebut akan ditetapkan sebagai kelas yang paling memungkinkan (dengan nilai peluang terbesar) atau diberi label sebagai ‘tidak diketahui’ jika semua nilai peluangnya berada di bawah ambang batas yang telah ditentukan oleh analis.

“Banyak analis menggunakan kombinasi metode klasifikasi terbimbing dan tak terbimbing untuk mengembangkan analisis dan klasifikasi akhir untuk peta indikatif”

1. Halaman 271-277 dalam Resource Management Information Systems: Remote Sensing, GIS and Modelling (edisi kedua) oleh Keith R. McCloy memberi penjelasan lebih lanjut mengenai Klasifikasi Kemungkinan Maksimal.

Suatu ekstensi pendekatan kemungkinan maksimal adalah klasifikasi Bayes, yang memberlakukan dua rata-rata terbobot untuk estimasi peluang. Pertama, analis menentukan “peluang a priori” atau peluang yang diantisipasi atas munculnya setiap kelas dalam suatu lembar atau citra tertentu. Kedua, bobot terkait biaya kesalahan klasifikasi diterapkan pada setiap kelas. Dengan digabungkannya kedua faktor tersebut maka akan meminimalkan biaya kesalahan klasifikasi, dan secara teori akan menghasilkan klasifikasi optimal. Pada kenyataannya, klasifikasi kemungkinan maksimal dilakukan dengan asumsi peluang yang sama antara munculnya setiap kelas dalam suatu lembar atau citra dengan biaya kesalahan klasifikasi untuk semua kelas.

Klasifikasi kemungkinan maksimal memiliki penghitungan intensif untuk mengklasifikasi setiap piksel, khususnya jika melibatkan jumlah saluran spektral yang besar atau jika sejumlah besar kelas spektral harus dibedakan, namun prosesor komputer multi-core modern mampu memproses tahap klasifikasi ini dengan relatif cepat. Cara lain untuk mengoptimalisasi klasifikasi kemungkinan maksimal adalah dengan menggunakan Komponen Utama (PC1, PC2 dan PC3) daripada saluran originalnya untuk melakukan klasifikasi.

Suatu alternatif dari Klasifikasi Kemungkinan Maksimal adalah penggunaan decision tree, yang memberlakukan klasifikasi stratifikasi atau stratifikasi berlapis untuk menyederhanakan penghitungan dan menjaga akurasi klasifikasi. Klasifikasi ini diterapkan dalam serangkaian tahapan, dengan beberapa kelas tertentu dibedakan dalam setiap tahapnya dengan cara yang paling sederhana. Sebagai contoh, air bisa dibedakan dari saluran inframerah dekat berdasarkan nilai ambang batas sederhana. Kelas-kelas tertentu mungkin membutuhkan kombinasi dua atau tiga saluran untuk dikategorikan menggunakan algoritma klasifikasi sederhana seperti Klasifikasi Jarak Minimal hingga Rata-rata atau Klasifikasi Parallelepiped. Penggunaan jumlah saluran yang lebih banyak atau Klasifikasi Kemungkinan Maksimal hanya akan diterapkan untuk kategori tutupan lahan di mana masih terdapat sisa ambiguitas antar kelas yang tumpang tindih dalam bentuk penghitungan. Kemudian, regresi logis multinomial dapat diterapkan dengan statistik sampling contoh untuk menghasilkan peluang setiap piksel dalam kelas informasi dibandingkan menggunakan Klasifikasi Kemungkinan Maksimal.

Banyak analis menggunakan kombinasi metode klasifikasi terbimbing dan tak terbimbing untuk mengembangkan analisis dan klasifikasi akhir untuk peta indikatif.

Page 44: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Studi kasus: Kalimantan Barat

Dalam kasus berikut dari Kalimantan Barat, Indonesia, citra satelit Landsat 8 diproses dengan ArcGIS 10.1 dengan Analisis Citra tambahan untuk mengklasifikasikan tutupan lahan. Pertama dilakukan pra-pemrosesan terhadap citra satelit sebagaimana dibutuhkan untuk menghasilkan citra batas area kajian seperti yang ditampilkan di sebelah kanan.

Dengan alat perangkat lunak pemrosesan citra yang ada, enam lokasi contoh dipilih, mewakili enam kelas tutupan lahan SKT sebagaimana terlihat pada gambar tengah.

Setelah sampel contoh dianggap memadai dan mewakili, klasifikasi terbimbing menggunakan pendekatan klasifikasi kemungkinan maksimal dilakukan menggunakan perangkat lunak pemrosesan. Hasil dari ini adalah peta vegetasi sementara berdasarkan analisis citra yang terlihat pada gambar paling bawah.

42

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 45: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

FASE STRATIFIKASI VEGETASI VISUAL

43

Proses klasifikasi visual atau digitasi manual lanjut mungkin untuk dilakukan oleh analis berpengalaman dengan pengetahuan yang baik tentang kondisi tutupan lahan di kawasan yang dikaji. Analis mampu menentukan setiap kelas tutupan lahan melalui analisis citra satelit di layar. Citra sering kali diperbaiki untuk membantu identifikasi kelas-kelas yang ada. Interpreter harus memiliki pemahaman tentang kunci-kunci interpretasi dari tutupan lahan di lokasi kajian, nilai integritas, serta pengalaman profesional dan lapangan dari lokasi kajian.

Klasifikasi visual digunakan setelah citra sudah dikalibrasi dan standarisasi apabila digunakan berbagai citra dalam suatu mosaik. Apabila digunakan sebagai teknik tersendiri, klasifikasi visual biasanya merupakan teknik paling akurat jika pengguna memiliki pemahaman baik tentang lokasi kajian. Namun, akurasi memiliki sisi lain, yaitu teknik ini membutuhkan waktu banyak untuk digitasi. Selain itu teknik ini bisa bersifat bias, dan maka dari itu hanya dapat digunakan sebagai proses tersendiri dengan penggunaan data citra beresolusi tinggi dan dengan pengguna yang memahami lokasi kajian dengan baik.

Alternatifnya, klasifikasi visual dapat digunakan untuk mendukung proses terbimbing dan tak terbimbing, karena dapat menghasilkan eror atau bias, khususnya pada kawasan dengan kualitas citra yang tidak memadai karena kabut, asap, bayangan akibat topografi atau awan. Galat atau bias ini dapat diminimalisasikan melalui pengendalian kualitas visual oleh interpreter. Untuk kawasan dengan interpretasi yang tidak tepat, perlu dilakukan koreksi untuk mencocokkan kondisi yang diketahui. Dalam fase ini, hasil interpretasi tak terbimbing atau terbimbing (jika ada) digabungkan dengan elemen lain seperti informasi mengenai tipe tahan dan curah hujan. Pemahaman lokasi kajian adalah kunci untuk menghasilkan klasifikasi yang baik dan akurat. Dengan demikian, semakin baik pengetahuan interpreter mengenai suatu lokasi tertentu, maka semakin kecil bias galat yang dihasilkan.

Fase stratifikasi vegetasi visual dapat dilihat pada diagram di sebelah kanan.

Informasi numerik lainnya seperti suhu, curah hujan, kelembaban, radiasi matahari, grid kecepatan angin, digital elevation model dan digital terrain model dapat ditambahkan sebagai saluran tambahan untuk klasifikasi hanya jika data tersebut menyediakan informasi tambahan untuk membedakan kelas-kelas spektral. Informasi tambahan seperti tipe tanah, geologi, geomorfologi dan lokasi vegetasi dapat diterapkan untuk menyempurnakan interpretasi tanpa bias.

Untuk kajian SKT, penulis merekomendasikan agar stratifikasi visual tidak digunakan praktisi penginderaan jarak jauh sampai pengalaman yang cukup banyak telah diperoleh melalui percobaan metodologi SKT dengan klasifikasi terbimbing atau tak terbimbing yang digabungkan dengan analisis lapangan sebagaimana dijelaskan pada bab berikutnya.

Klasifikasi visual

“Pemahaman lokasi kajian adalah kunci untuk menghasilkan klasifikasi yang baik dan akurat. Dengan demikian, semakin baik pengetahuan interpreter mengenai suatu lokasi tertentu, maka semakin kecil bias galat yang dihasilkan”

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 46: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

MATRIKS GALAT KLASIFIKASI BERDASARKAN DATA SET SAMPEL CONTOH

44

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Kajian akurasi terhadap citra terklasifikasi

Bagian ini menjelaskan tentang pengkajian akurasi yang dilakukan untuk meninjau klasifikasi. Untuk informasi lebih lanjut tentang pengkajian akurasi, Remote Sensing Thematic Accuracy Assessment: A Compendium (1994) oleh ASPRS dan Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data: Principle and Practices (Congalton dan Green, 1999) adalah referensi yang baik.

Matriks galat klasifikasi berdasarkan data set sampel contoh

Penyusunan matriks galat klasifikasi, confusion matrix atau tabel kontingensi adalam metode yang umum dilakukan untuk menyatakan akurasi klasifikasi. Matriks galah membandingkan, berdasarkan kategori, hubungan antara data referensi yang diketahui (hasil pengecekan lapangan) dan hasil terkait dari klasifikasi citra.

Tabel berikut merupakan contoh matriks galat berdasarkan sampel contoh dan hasil klasifikasi berdasarkan Liliesand dan Kiefer (2004). Tabel ini menyajikan contoh bagaimana suatu proses klasifikasi telah mengategorikan perwakilan subset piksel menggunakan proses contoh dalam klasifikasi terbimbing dengan baik. Matriks ini berasal dari pengklasifian sampel yang diklasifikasi menjadi kategori tutupan lahan yang diinginkan dalam sebuah diagonal utama (warna kuning) dari matriks galat. Semua elemen non-diagonal matriks ini mewakili galat omisi (dikecualikan) dan komisi (disertakan).

Galat omisi berkaitan dengan elemen KOLOM non-diagonal, contohnya adalah 16 piksel yang telah diklasifikasikan sebagai “P” untuk Pasir dikeluarkan dari kategori. Akurasi produser dihitung dengan membagi jumlah piksel yang diklasifikasikan dengan benar di setiap kategori (di diagonal utama) dengan jumlah piksel rangkaian contoh yang digunakan untuk kategori tersebut (total kolom). Dalam hal ini akurasi produser berkisar dari 51% sampai 100% dan merupakan suatu ukuran galat omisi dan mengindikasikan sebaik apa piksel rangkaian contoh untuk tipe tutupan lahan tertentu telah diklasifikasikan.

Galat komisi diwakili oleh elemen baris non-diagonal, contohnya yaitu 38 piksel urban (U) dan 79 piksel jerami (Jr) dengan salah dimasukkan dalam kategori jagung (Jg). Akurasi pengguna dihitung dengan cara membagi jumlah piksel yang diklasifikasi dengan benar dengan jumlah total piksel yang diklasifikasikan dalam kategori tersebut (total baris). Akurasi pengguna merupakan suatu perhitungan galat komisi dan mengindikasikan peluang bahwa suatu piksel yang diklasifikasikan ke dalam suatu kategori memang sebenarnya mewakili kategori terebut di lapangan. Dalam contoh ini, akurasi pengguna berkisar dari 72% sampai 99%.

Akurasi keseluruhan dihitung dengan membagi jumlah piksel yang diklasifikasi dengan benar (jumlah elemen sepanjang diagonal utama) dengan jumlah total piksel referensi. Akurasi keseluruhan dalam tabel kontingensi adalah 84%.

Penting untuk mencatat bahwa matriks galat contoh didasari data contoh, dan prosedur tersebut hanya mengindikasikan sebagaimana baik statistik yang diekstraksi dari area tersebut dapat digunakan untuk mengkategorisasikan area yang sama. Jika hasilnya baik, maka artinya tidak lebih dari bahwa area contoh adalah homogen, kelas contoh terpisah secara spektral, dan bahwa strategi klasifikasi yang digunakan berjalan baik di area contoh. Hal ini tidak mengindikasikan banyak tentang bagaimana performa klasifikasi tersebut pada lembar lainnya. Akurasi area contoh sebaiknya tidak digunakan sebagai indikasi dari akurasi keseluruhan.

Data Rangkaian Contoh (Tipe tutupan lahan yang diketahui) W S F U C H Total BarisData klasifikasiW 480 0 5 0 0 0 485S 0 52 0 20 0 0 72F 0 0 313 40 0 0 353 U 0 16 0 126 0 0 142C 0 0 0 38 342 79 459H 0 0 38 246 60 359 481Total Kolom 480 68 356 248 402 438 1992

Akurasi keseluruhan = (480 + 52 + 313 +126 + 342 +359) / 1992 = 84%

Akurasi Produser:W = 480/480 = 100%S = 52/68 = 76%F = 313/356 = 88%U = 126/248 = 51%C = 342/402 = 85%H = 359/438 = 82%

Akurasi Pengguna:  W = 480/485 = 99%S = 52/72 = 72% F = 313/353 = 87% U = 126/142 = 89% C = 342/459 = 74% H = 359/481 = 75%

Page 47: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

MATRIKS GALAT BERDASARKAN PIXEL TEST

45

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Pertimbangan sampling di area uji coba

Untuk menilai akurasi klasifikasi lembar, harus dipilih area uji coba yang mewakili dengan tutupan lahan yang seragam. Area uji coba bisa dipilih berdasarkan kerangka pengambilan contoh yang acak, acak terstratifikasi, atau sistematis. Area contoh dapat dipilih pada saat tahap seleksi sampel contoh, dengan menyisihkan sedikit sampel contoh sebagai area uji coba yang tidak akan digunakan sebagai bagian rangkaian sampel contoh. Unit sampling yang tepat bisa jadi merupakan satuan piksel, sekelompok piksel atau poligon. Sampling poligon merupakan pendekatan yang paling umum digunakan.

Sebagai panduan umum, setidaknya 50 sampel dari setiap kategori vegetasi atau tutupan lahan harus dimasukkan sebagai area uji coba ke dalam matriks galat untuk penilaian akurasi lembar klasifikasi secara keseluruhan. Jika area tersebut cukup luas (misalnya, lebih dari 400 ha) atau banyak jumlah vegetasi atau kategori tipe tutupan dan pemanfaatan lahan (lebih dari 12 kategori) yang digunakan dalam klasifikasi maka jumlah sampel minimal harus diperbanyak dari 75 menjadi 100 sampel untuk setiap kategori (Congalton dan Green, 1999, hal. 18). Sampel yang lebih banyak harus dipilih untuk kategori yang lebih penting atau lebih bervariasi.

“Sebagai panduan umum, setidaknya 50 sampel dari setiap kategori vegetasi atau tutupan lahan harus dimasukkan sebagai area uji coba ke dalam matriks galat untuk penilaian akurasi lembar klasifikasi secara keseluruhan”

1. Halaman 271-277 dari Resource Management Information Systems: Remote Sensing, GIS and Modelling (edisi kedua) oleh Keith R. McCloy menyajikan lebih banyak detil mengenai Klasifikasi Kemungkinan Maksimal.

Mengevaluasi matriks galat klasifikasi berdasarkan area uji coba atau pixel test

Saat data akurasi dikumpulkan berdasarkan area uji coba (dalam bentuk piksel, sekelompok piksel, atau poligon) dan dirangkum dalam matriks galat, maka data tersebut akan melalui interpretasi mendetil serta analisis statistik lanjutan. Matriks galat di bawah ini disusun berdasarkan pixel test yang diambil secara acak, juga dari Liliesand dan Kiefer (2004):

Akurasi keseluruhan hanya 65%. Jika tujuan dari pemetaan ini adalah untuk menentukan lokasi hutan (H), maka akurasi produsernya cukup baik dengan 84%. Kita dapat menyimpulkan bahwa walaupun akurasi keseluruhan buruh (65%), tetapi cukup jika untuk tujuan pemetaan hutan. Masalah dengan kesimpulan ini adalah bahwa akurasi pengguna untuk hutan adalah hanya 60%. Dengan kata lain, walaupun 84% dari kawasan berhutan telah diidentifikasi dengan benar sebagai hutan, hanya 60% area yang telah diidentifikasi sebagai hutan dalam proses klasifikasi merupakan benar-benar kategori itu. Pengguna klasifikasi ini akan menjumpai bahwa area yang diidentifikasi sebagai hutan dari proses klasifikasi akan terbukti merupakan hutan berdasarkan hanya 60% dari kunjungan lapangan.

Pengecekan matriks galat yang lebih teliti akan menunjukkan bahwa ada kekeliruan yang lebih besar antara hutan dan kawasan urban (U). Dalam matriks contoh ini, satu-satunya kategori yang tepercaya berkaitan dengan klasifikasi tersebut dari sudut pandang produser dan pengguna adalah kategori air (A).

Data Referensi untuk Pixel Test yang Dipilih Secara Acak W S F U C H Total BarisData klasifikasiW 226 0 0 12 0 1 239S 0 216 0 92 1 0 309F 3 0 360 228 3 5 599 U 2 108 2 397 8 4 521C 1 4 48 132 190 78 453H 1 0 19 84 36 219 359Total Baris 233 238 429 945 238 307 2480

Akurasi keseluruhan = (226 + 216 + 360 + 397 + 190 + 219) / 2480 = 65%

Galat Omisi:W = 226/233 = 97%S = 216/328 = 66%F = 360/429 = 84%U = 397/945 = 42%C = 190/238 = 80%H = 219/307 = 71%

Galat Komisi: W = 226/239 = 94%S = 216/309 = 70% F = 360/599 = 60% U = 397/521 = 76% C = 190/453 = 42% H = 219/359 = 75%

Page 48: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

46

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Statistik Nilai Khat

Statistik Khat adalah ukuran perbedaan antara kejadian sebenarnya (actual agreement) antara data referensi dan klasifikasi otomatis dengan peluang terjadi antara data referensi dan klasifikasi acak. Secara konsep statistik Khat didefinisikan sebagai berikut:

Khat = frekuensi teramati – peluang terjadi) / (1 – peluang terjadi)

Statistik ini berperan sebagai indikator sejauh mana persentase nilai benar dari suatu matriks galat berasal dari kejadian “sebenarnya” dibandingkan dengan “peluang” kejadian. Saat kejadian sebenarnya (teramati) mendekati 1 dan peluang terjadi mendekati 0, nilai Khat mendekati 1. Pada kenyataanya, nilai Khat berkisar antara 0 sampai 1. Sebagai contoh, nilai Khat sebesar 0,67 dapat diinterpretasikan sebagai suatu indikasi bahwa klasifikasi teramati sebesar 67% adalah lebih baik dibandingkan sesuatu yang didasari peluang. Nilai Khat sebesar nol menunjukkan bahwa klasifikasi tersebut tidak lebih baik dibandingkan penunjukkan piksel secara acak. Jika peluang terjadi memiliki nilai lebih besar, Khat bisa jadi bernilai negatif, yang merupakan indikasi kinerja klasifikasi yang sangat buruk.

Nilai Khat dihitung sebagai beriku

Khat =

Keterangan:

r = jumlah baris dalam matriks galat

xii = jumlah pengamatan dalam baris i dan kolom i (pada diagonal utama)

xi+ = jumlah pengamatan total dalam baris i (ditunjukkan sebagai total marginal di sebelah kanan matriks

x+i = umlah pengamatan total dalam kolom i (ditunjukkan sebagai total marginal di bagian bawah matriks)

N = jumlah total pengamatan dalam matriks

Untuk matriks galat yang ditampilkan di atas, nilai Khat dihitung sebagai berikut:

∑i=1xii = 226 + 216 + 360 + 397 +190 + 219 = 1608

∑i=1(xi+*x+i) = (239 * 233) + (309 * 328) + (599 * 429) + (521 * 945) + (453 * 238) + (359 * 307) = 1,124, 382

Khat = (2480 (1608) - 1124382) 24802 - 1124382)

Khat = 0.57

Nilai Khat (0,57) lebih rendah dibandingkan akurasi keseluruhan (0,67) yang dihitung sebelumnya. Untuk mengingatkan, akurasi keseluruhan hanya mencakup data sepanjang diagonal utama dan tidak termasuk galat omisi dan komisi. Khat melibatkan elemen diagonal dan non-diagonal matriks galat sebagai hasil perkalian marginal baris dan kolom. Salah satu keuntungan perhitungan Khat adalah kemampuan menggunakan nilai ini sebagai basis penentuan perbedaan nyata secara statistik dari suatu matriks tertentu atau perbedaan antar matriks.

Biasanya hal yang lebih diinginkan adalah menghitung dan menganalisis akurasi keseluruhan dan statistik Khat. Analis harus menyajikan matriks galat berdasarkan sampel contoh, matriks galat area uji coba atau piksel contoh, akurasi keseluruhan, akurasi produser, akurasi pengguna dan statistik Khat dari matriks galat yang diberikan untuk mengontrol kualitas dari klasifikasi SKT.

Atas: Foto hak cipta USGS ©Kiri: Foto hak cipta TFT ©

Page 49: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

47

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Kontrol kualitas, finalisasi klasifikasi tutupan lahan awal serta tahap berikutnya

Tahap-tahap finalisasi klasifikasi tutupan lahan awal dijelaskan sebagai berikut.

Konversi raster ke vektor

Konversi citra raster menjadi format vektor untuk memudahkan pengeditan batas kelas tutupan lahan.

Menghapus patch kecil

Penghapusan poligon kecil (4 piksel atau kurang) dilakukan dengan cara menggabungkannya dengan poligon terdekat yang lebih besar dengan properti serupa; menghapus kepingan poligon (poligon kecil memanjang) dilakukan dengan rasio area/perimeter. Area atau unit pemetaan minimal harus ditetapkan untuk menghapus kepingan poligon kecil.

Menginkorporasikan informasi tutupan lahan lainnya

Dalam tahap finalisasi peta awal, informasi mengenai tutupan lahan yang ada saat ini dimasukkan ke dalam analisis. Sebagai contoh, lahan yang sudah dibangun dikeluarkan dari kawasan hutan SKT potensial.

Mengedit kelas vegetasi menggunakan citra 654 saluran-Landsat 8 (LDCM) komposit

Dalam tahap ini, data vektor kelas tutupan lahan di-overlay pada Citra Landsat (654 saluran) komposit dan dilakukan perbandingan visual, dengan editing sebagaimana dibutuhkan.

Hasil pengeditan vektor QC diklasifikasi ulang ke dalam kelas SKT

Strata tutupan lahan diklasifikasi ulang ke dalam kelas vegetasi SKT standar: LT, B, HRM, HK1, HK1, dan HK3

Pencocokkan tepi data vektor

Jika digunakan lebih dari satu citra Landsat, data vektor klasifikasi yang dihasilkan harus digabungkan menggunakan proses pencocokkan tepi.

Lakukan survei udara jika memungkinkan

Apabila memungkinkan, survei udara harus dilakukan pada kawasan hutan alami yang bersebelahan. Basis data geografis kemudian dapat diciptakan untuk memungkinkan melihat foto dengan GIS. Hal ini memungkinkan pengecekan silang klasifikasi tutupan lahan.

Persiapkan draf peta tutupan lahan

Draf peta tutupan lahan, dikategorisasikan oleh berbagai kelas yang diidentifikasi dalam proses yang digaribawahi di atas, disusun untuk digunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan lapangan, termasuk survei udara dan inventarisasi hutan.

“Tahap berikutnya adalah membandingkan hasil interpretasi citra dengan pengukuran di lapangan, yang memungkinkan perhitungan perkiraan nilai karbon untuk setiap kelas”

Tahap-tahap selanjutnya

Tahap berikutnya dari proses klasifikasi SKT adalah pengujian akurasi hasil interpretasi, karena akurasi akan sangat mempengaruhi kepercayaan pengguna terhadap data dan metode analisis. Laporan akurasi klasifikasi awal mengenai klasifikasi citra satelit untuk stratifikasi vegetasi SKT dari perspektif tabel kontigensi (matriks galat atau confusion table), akurasi produser, akurasi pengguna, akurasi keseluruhan, statistik Khat dan interpretasi laporan penilaian akurasi telah dibahas di sini. Tahap berikutnya adalah membandingkan hasil interpretasi citra dengan pengukuran di lapangan. Hal ini juga memungkinkan perhitungan perkiraan nilai karbon untuk setiap kelas.

Bab berikut akan menjelaskan bagaimana mengumpulkan sampel data lapangan yang dibutuhkan untuk menduga biomassa di atas tanah serta simpanan karbon, menentukan tingkat karbon rata-rata untuk setiap kategori (dengan catatan bahwa tujuannya adalah bukan untuk menghitung jumlah karbon secara pasti melainkan untuk membedakan tipe tutupan lahan melalui estimasi nilai karbon), dan lebih jauh menyempurnakan klasifikasi untuk menghasilkan peta tutupan lahan di tempat kawasan hutan SKT potensial didelineasi.

Page 50: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

48

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Lampiran

Nam

a sa

telit

Gam

bara

n um

um

Reso

lusi

spas

ial (

m)

Reso

lusi

tem

pora

l

Tang

gal p

enga

mbi

lan

citr

a

Harg

a pe

r lem

bar

(USD

)

Salu

ran

yang

te

rsed

ia

Uku

ran

citr

a

Cata

tan

Landsat 8

ALOS (AVNIR-2, PRISM)

IKONOS

http://landsat.usgs.gov/landsat8.php

http://www.alos-restec.jp/en/

http://geofuse.geoeye.com/landing/

http://glcf.umd.edu/data/

30m

10 m

4 m

16 hari

46 hari

14 hari

Feb 2013 – Saat ini

Jan 2006 – May 2011

2000 –

Gratis

$16-56/Km2

11 Saluran:1. 0.433–0.453 30 m

2. 0.450–0.515 30 m3. 0.525–0.600 30 m4. 0.630–0.680 30 m5. 0.845–0.885 30 m6. 1.560–1.660 30 m

1270 MHz (L-band), Polarization HH+VV

1 (Biru)2 (Hijau)3 (Merah)4 (Infra dekat)

185 km x 180 km

14 km x 14 km

Lampiran A: Gambaran umum opsi citra satelit

Landsat 7 Misi satelit pengamat Bumi milik pemerintah Amerika Serikat, dikelola oleh NASA dan USGS. Saluran mencakup:

• Multi-spectrum Scanner (MSS)

• Thematic Mapper (TM)

• Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+)

http://landsat.gsfc.nasa.gov/

http://glcf.umd.edu/data/

Sejak 2003, data citra Landsat 7 dipengaruhi masalah garis perekaman yang mengurangi kualitas citra tersebut.

30 m 16 hari

April 1999 – Saat ini

Gratis 8 Saluran:1. 0.45 - 0.515 30 m2. 0.525 - 0.605 30 m3. 0.63 - 0.69 30 m4. 0.75 - 0.90 30 m5. 1.55 - 1.75 30 m6. 10.40 - 12.5 60 m 7. 2.09 - 2.35 30 mPan Band. 0.52 - 0.90 15 m

170 km x 183 km

Lanjut ...

Page 51: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

49

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Nam

a sa

telit

Gam

bara

n um

um

Reso

lusi

spas

ial (

m)

Reso

lusi

tem

pora

l

Tang

gal p

enga

mbi

lan

citr

a

Harg

a pe

r lem

bar

(USD

)

Salu

ran

yang

te

rsed

ia

Uku

ran

citr

a

Cata

tan

Landsat 8 Lanjut ...

Quickbird

Radarsat 2

http://www.digitalglobe.com

http://glcf.umd.edu/data/

http://www.asc-csa.gc.ca/eng/satellites/radarsat2/

Walaupun data radar tidak memiliki saluran inframerah, data tersebut memiliki informasi backscattering penting lainnya. Satelit ini juga mampu menembus tutupan awan dan beroperasi siang dan malam. Namun, pemrosesan datanya lebih melelahkan dibangkan dengan data optik.

2.4m

3m – 100m*

4 hari

24 hari

2001 – Saat ini

Dec 2007 - Saat ini

$5,000 -11, 500/ lembar $16-45 /km2

$3,300 – $7,700

7. 2.100–2.300 30 m8. 0.500–0.680 15 m9. 1.360–1.390 30 m10. 10.6-11.2 100 m11. 11.5-12.5 100 m

Multispektral1 = Biru2 = Hijau3 = Merah4 = Inframerah

dekat• Pankromatik

C Band SAR Antenna-Transmit & Receive Channel: 5405.0000 MHz (dengan lebar saluran 100.540 kHz)

16.5 km x 16.5 km

Data radar tidak memiliki saluran inframerah dan karena itu membutuhkan kehati-hatian lebih untuk mengklasifikasi kelas vegetasi yang berbeda.

Lampiran A: Gambaran umum opsi citra satelit

RapidEye http://www.rapideye.de/ 5m 5.5 hari

2009 $1.5 / km2

1. 440 – 510 nm (Biru)

2. 520 – 590 nm (Hijau)

3. 630 – 685 nm (Merah)

4. 690 – 730 nm (Tepi merah)

5. 760 – 850 nm (Inframerah dekat)

25 km x 25 km

Data radar tidak memiliki saluran inframerah dan karena itu membutuhkan kehati-hatian lebih untuk mengklasifikasi kelas vegetasi yang berbeda.

Lanjut ...

Page 52: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

50

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Worldview-1

Worldview-2

http://www.alos-restec.jp/en/

http://www.satimagingcorp.com/satellite-sensors/worldview-2/

0,50 meter GSD pada Nadir

0,55 meter GSD pada 20˚ di luar nadir

GSD Pankro matik: 0,46 m GSD pada Nadir, 0,52 m GSD pada 20° di luar Nadir

Multis pektral: 1,84 m GSD pada Nadir, 2,4 m GSD pada 20°

1,7 hari pada 1 meter GSD atau kurang

5,9 hari pada 20˚ di luar nadir atau kurang dari 0,51 meter GSD

1,1 hari pada 1 m GSD atau kurang

3,7 hari pada 20° di luar nadir atau kurang (0,52 m GSD)

Sept 2007 - Saat ini

August 2014 to Saat ini

Pankromatik

Pankromatik8 Multispektral (4 warna standar: merah, biru, hijau, inframerah dekat), 4 warna baru: tepi merah, coastal, kuning, inframerah dekat 2

17.6 km pada Nadir

17.6 km X 14 km atau 246,4 km2

pada Nadir

16,4 km pada nadir

Sudut Penglihatan Maksimal atau Swath lapangan yang dapat diperoleh

60 km x 110 km

atau

30 km x 110 km perolehan Citra Stereo

Maksimal wilayah tersambung yang diperoleh dalam sekali pengambilan (sudut 30˚ di luar nadir)

Mono: 66.5km x 112 km (5 strip)

Stereo: 26.6km x 112 km (2 pasang)

SPOT-5 Jaringan satelit yang dioperasikan oleh Lembaga Antariksa Perancis.

http://www.satimagingcorp.com/satellite-sensors/other-satellite-sensors/spot-5/

2.5 m sampai 10 m

24 hari

1986 - Saat ini

$1,500 - $2,500

5 saluran:Pankromatik (450 – 745 nm)Biru (450-525 nm)Hijau (530 – 590 nm)Merah (625 - 695 nm)Inframerah dekat (760 – 890 nm)

60 km x 60 km

Lanjut ...

Lampiran

Nam

a sa

telit

Gam

bara

n um

um

Reso

lusi

spas

ial (

m)

Reso

lusi

tem

pora

l

Tang

gal p

enga

mbi

lan

citr

a

Harg

a pe

r lem

bar

(USD

)

Salu

ran

yang

te

rsed

ia

Uku

ran

citr

a

Cata

tan

Lampiran A: Gambaran umum opsi citra satelit

Page 53: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

51

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Worldview-2 Lanjut ...

Worldview-3 http://www.satimagingcorp.com/satellite-sensors/worldview-3/

di luar Nadir

Pankro-matik Nadir: 0,31 m GSD pada Nadir

0,34 m pada 20° di luar Nadir

Mul-tispek-tral Nadir: 1,24 m pada Nadir,

1,38 m pada 20° di luar Nadir

SWIR Nadir: 3,70 m pada Nadir,

4,10 m pada 20° di luar Nadir

CAVIS Nadir: 30,00 m

1 m GSD: <1.0 hari

4,5 hari pada 20° di luar nadir atau kurang

Agustus 2014 – Saat ini

Pankromatik @ 450-800nm8 saluran Multispektral @ 400 – 1040 nm8 saluran SWIR @ 1195 – 2365 nm12 saluran CAVIS @405 – 2245 nm

Pada nadir: 13,1 km

Maksimal wilayah tersambung yang diperoleh dalam sekali pengambilan (sudut 30˚ di luar nadir)

Mono: 66.5 km x 112 km (5 strip)

Stereo: 26.6 km x 112 km (2 pasang)

Lanjut ...

Gam

bara

n um

um

Reso

lusi

spas

ial (

m)

Reso

lusi

tem

pora

l

Tang

gal p

enga

mbi

lan

citr

a

Harg

a pe

r lem

bar

(USD

)

Salu

ran

yang

te

rsed

ia

Uku

ran

citr

a

Cata

tan

Lampiran A: Gambaran umum opsi citra satelit

Nam

a sa

telit

Page 54: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Sens

or

Web

site

Reso

lusi

spas

ial

Reso

lusi

tem

pora

l

Tang

gal p

enga

mbi

lan

citr

a

Harg

a pe

r lem

bar (

USD)

Salu

ran

yang

ters

edia

Swat

h

52 TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

LiDAR dataAirborne LiDAR

EbeeKendaraan udara tanpa awak

Gelombang Mikro atau SAR – Synthetic Aperture Radar ERS, ENVISAT (sudah tidak beroperasi) dan Sentinel-1, beroperasi April 2014

http://www.lidarbasemaps.org/

Untuk pemetaan topografi, DTM

Membuat kontur. Tidak untuk pemetaan pemanfaatan lahan atau tutupan lahan dan deteksi perubahan lahan

https://earth.esa.int/web/guest/ missions/esa-future-missions

https://earth.esa.int/web/guest/ missions/esa-future-missions/ sentinel-1

https://sentinel.esa.int/web/sentinel/ sentinel-data-access

Arsip data ERS dan ENVISATS lama tersedia sampai tahun 2012

Sub meter hingga 5 m

Lihat website

30000 poin per detik dengan akurasi 15 m

Sentine l-1:

Res- olusi 20 m

Kapan saja saat cuaca bagus

Lihat website

Kapan saja saat cuaca bagus

Sentinel-1:

Kunjungan ulang 12 hari

Kapan saja tim memilih terbang

Lihat website

Pilihan analis

Sentinel-1: Sejak April 2014

$35/km2 untuk Perolehan citra stereo

700 citra dalam satu penerbangan

10/km2 setiap 45 menit dalam satu penerbangan

Waktu pemrosesan 12 jam per 100 citra dengan ±$800 per hari kerja

Lihat website

Sentinel-1:

Dapat diunduh gratis setelah registrasi

Tampak (biru, hijau, merah) dan kamera tampak

Inframerah dekat dengan kamera inframerah

Lihat website

Sentinel-1:

C-Band SAR

10 km x 10 km

Lihat website

Sentinel

-1:

Swath 250 km

Lampiran

Lampiran A: Gambaran umum opsi citra satelit

Page 55: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

53TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 3 KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT

Kauth dan Thomas (1976) menghasilkan transformasi ortogonal dari bentuk data Landsat MSS original menjadi bentuk fitur empat dimensi baru. Transformasi ini disebut Transformasi Tasseled Cap atau Kauth-Thomas. Nama ‘Tasseled Cap’ berasal dari bentuk topi pada plot Kehijauan (sebagai Y) dan Kecerahan (X). Empat aksis baru dihasilkan: indeks kecerahan tanah (B), indeks kehijauan vegetasi (G), indeks kekuningan vegetasi (Y) dan tidak ada (N). Nama yang dibuat untuk aksis yang baru mengindikasikan karakteristik yang ditujukan untuk dihitung oleh indeks tersebut.

Koefisien Landsat MSS adalah (Kauth et al., 1979):

B = 0.322*MSS1 + 0.603*MSS2 + 0.675*MSS3 + 0.262*MSS4

G= - -0.283*MSS1 -0.660*MSS2 + 0.577*MSS3 + 0.388*MSS4

Y = -0.899*MSS1 + 0.428*MSS2 + 0.076*MSS3 – 0.041*MSS4

N = -0.061*MSS1 +0.131*MSS2 - 0.452 * MSS3 + 0.882 * MSS4

Crist dan Kauth (1986) menghasilkan koefisien tampak, inframerah dekat dan inframerah menengah dengan melakukan transformasi citra Landsat Thematic Mapper (TM) menjadi variabel brightness (B), greenness (G) and wetness (W) variables (kecerahan (B), kehijauan (G), dan kelembaban (W)).

B = 0.2909*TM1 + 0.2493*TM2 + 0.4806*TM3 + 0.5568*TM4 + 0.4438*TM5 + 0.1706*TM7

G = -0.2728*TM1 – 0.2174*TM2 – 0.5508*TM3 +0.7221*TM4 + 0.0733*TM5 – 0.1648*TM7

W = 0.1446 * TM1 + 0.1761*TM2 +0.3322*TM3 +0.3396*TM4 – 0.6210*TM5 – 0.4186*TM7

Koefisien Tasseled Cap untuk Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) adalah (Huang et al., 2002)

B = 0.3561*TM1 + 0.3972*TM2 + 0.3904*TM3 + 0.6966*TM4 + 0.2286*TM5 + 0.1596*TM7

G = -0.334*TM1 – 0.354*TM2 -0.456*TM3 + 0.6966*TM4 – 0.24*TM5 – 0.263* TM7

W = 0.2626*TM1 + 0.2141*TM2 + 0.0926*TM3 + 0.0656*TM4 – 0.763*TM5 – 0.539*TM7

Keempat = 0.0805*TM1 – 0.050*TM2 + 0.1950*TM3 – 0.133*TM4 + 0.5752*TM5 – 0.777*TM7

Kelima = -0.725*TM1 – 0.020*TM2 + 0.6683*TM3 + 0.0631*TM4 - 0.149*TM5 – 0.027*TM7

Keenam = -0.400*TM1 – 0.817*TM2 + 0.3832*TM3 + 0.0602*TM4 – 0.109*TM5 + 0.0985*TM7

Koefisien Tasseled Cap untuk transformasi Landsat 8 imagery (Baig et al., 2014) adalah:

B = 0.3029*TM2 + 0.2786*TM3 + 0.4733*TM4 + 0.5599*TM5 + 0.508*TM6 + 0.1872*TM7

G = -0.2941*TM2 – 0.243*TM3 – 0.5424*TM4 + 0.7276*TM5 + 0.0713*TM6 – 0.1608*TM7

W = 0.1511*TM2 + 0.1973*TM3 + 0.3283*TM4 + 0.3407*TM5 - 0.7117*TM6 - 0.4559*TM7

Keempat = -0.8239*TM2 + 0.0849*TM3 + 0.4396*TM4 - 0.058*TM5 + 0.2013*TM6 - 0.2773*TM7

Kelima = -0.3294*TM2 + 0.0557*TM3 + 0.1056*TM4 + 0.1855*TM5 - 0.4349*TM6 + 0.8085*TM7

Keenam = 0.1079*TM2 - 0.9023*TM3 + 0.4119*TM4 + 0.0575*TM5 - 0.0259*TM6 + 0.0252*TM7

Lampiran B: Transformasi Tasseled Cap

Page 56: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI54

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

P55: Persiapan kerja lapang

P58: Pembuatan plot

P60: Pengukuran vegetasi

P62: Foto plot

P65: Entri dan pengelolaan data

P66: Memperoleh stok karbon rata-rata per kelas vegetasi

P67: Menyelesaikan klasifikasi

P68: Lampiran 1: Lembar Inventarisasi dan Daftar Peralatan Tim Inventarisasi

Oleh George Kuru dan Alex Thorp, Ata Marie Group Ltd.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Jaboury Ghazoul dan Chue Poh Tan dari ETH-Zurich; Michael Pescott dan Rob McWilliam dari TFT; dan Yves Laumonier dari CIFOR atas masukan-masukan pentingnya terhadap draf sebelumnya.

DAFTAR ISI BAB

Inventarisasi hutan dan estimasi stok karbon

Bab 4

Page 57: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 55

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Persiapan kerja lapang

“Karena kegiatan pengambilan sampel lapangan ini kemungkinan besar akan mengarah pada interaksi langsung dengan anggota masyarakat, maka masyarakat lokal harus sudah diberikan informasi mengenai Pendekatan dan proses SKT sebelum dimulainya kegiatan inventarisasi hutan”

Sebagaimana telah di bahas pada bab sebelumnya, tahap pertama kegiatan klasifikasi vegetasi dalam proses SKT adalah membuat klasifikasi vegetasi (tutupan lahan) dengan menggunakan citra satelit untuk mengidentifikasi kawasan hutan dengan potensi SKT. Tahap berikutnya dalam kajian SKT ini adalah melakukan pengambilan sampel hasil klasifikasi di lapangan dan menetapkan nilai karbon rata-rata dengan cara mengukur vegetasi di dalam plot sampel. Bab ini menjelaskan cara memilih dan membuat plot sampel, melakukan pengukuran, menghitung karbon dan menyelesaikan klasifikasi vegetasi. Bab ini ditujukan untuk para praktisi yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai penggunaan dan analisis statistik dalam menentukan teknik pengambilan sampel.

Pemetaan masyarakat dan proses FPIC

Karena kegiatan pengambilan sampel lapangan ini kemungkinan besar akan mengarah pada interaksi langsung dengan anggota masyarakat, maka masyarakat lokal harus sudah diberikan informasi mengenai pendekatan dan proses SKT sebelum dimulainya kegiatan inventarisasi hutan. Kegiatan ini idealnya sudah mulai dilakukan pada saat pelibatan masyarakat pada tahap awal proses FPIC yang dijabarkan di Bab 2 toolkit ini. Masyarakat juga perlu memberikan izin untuk kegiatan sampling apapun yang dilakukan pada lahan mereka.

Kegiatan pemetaan partisipatif dan pelibatan masyarakat harus sudah memiliki indikasi kawasan yang diidentifikasi oleh masyarakat sebagai kawasan penting untuk mata pencaharian mereka pada saat ini dan masa datang serta untuk kebutuhan sosial-budaya. Kawasan tersebut dapat mencakup kawasan hutan dengan SKT, sebagai contoh kawasan yang digunakan untuk mengumpulkan hasil hutan non-kayu atau untuk kegiatan berburu serta kawasan non-SKT seperti ladang kecil, kebun atau plot agroforestri. Penting untuk diingat bahwa jika kawasan bukan SKT tersebut teridentifikasi pada saat klasifikasi berbasis citra atau pada saat pengambilan sampel lapangan tetapi tidak teridentifikasi pada saat proses pemetaan partisipatif, maka hal tersebut dapat menjadi indikator bahwa pemetaan partisipatif/proses FPIC tidak terselenggara dengan baik dan oleh karenanya perlu dilakukan perbaikan sebelum proses SKT dapat diselesaikan.

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 58: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI56

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Persiapan kerja lapang

Penentuan jumlah dan jenis plot sampel

Sampel lapangan untuk kajian SKT berfokus pada pengkajian biomassa pohon di dalam kelas hutan SKT potensial. Proporsi terbesar sampel lapangan tersebar di kelas-kelas tersebut dan didefinisikan sebagai Hutan Regenerasi Muda (HRM) dan hutan kerapatan rendah (HK1). Walaupun Belukar (B) dan Lahan Terbuka (LT) kemungkinan besar mengandung karbon dalam jumlah yang sangat sedikit, dalam proses kajian SKT, sebaiknya tetap berupaya untuk melakukan pengambilan sampel lapangan terhadap plot B dan LT, meskipun dalam jumlah terbatas untuk mendapatkan konfirmasi mengenai dugaan tersebut. Kelas-kelas lain seperti kawasan perkebunan yang ada (seperti misalnya kelapa sawit dan tanaman pangan lainnya) dan kawasan enclave, termasuk di dalamnya kawasan masyarakat, lahan gambut, dan kawasan NKT secara umum tidak dikaji karena kawasan-kawasan tersebut diharapkan didemarkasi secara terpisah.

Sulit untuk memprediksi jumlah sampel yang sesuai untuk diukur di setiap kelas pada awal kajian lapangan, kecuali jika terdapat data setempat mengenai variabilitas. Jika data tersebut tidak ada, maka waktu kajian lapangan yang cukup (lebih banyak) harus dialokasikan untuk menambah jumlah sampel untuk memperoleh target akurasi. Hali ini lebih baik dilakukan, mengingat kebutuhan biaya yang lebih besar apabila tim harus kembali melakukan pengambilan sampel ke lokasi tersebut pada waktu lain.

Target akurasi yang direkomendasikan untuk kajian SKT adalah:

• Inventarisasi stok karbon hutan harus direncanakan untuk tujuan pencapaian dugaan stok karbon pada selang kepercayaan 90% dari total stok karbon. Suatu proses adaptif mungkin akan diperlukan untuk menyempurnakan jumlah sampel untuk memperoleh tingkat kepercayaan 90%.

• Variabilitas dalam satu kelas vegetasi (seperti misalnya di dalam kategori Hutan Kerapatan Tinggi) dapat melebihi target akurasi 90% asalkan pada analisis akhir kelas-kelas tersebut berbeda satu sama lain secara statistik.

Jumlah plot yang direncanakan harus cukup untuk memenuhi target akurasi bagi setiap kelas besar (major) di setiap kawasan. Persamaan sederhana untuk menduga jumlah sampel tersebut adalah sebagai berikut.

N = t2 s2 / E2

Keterangan:

N = jumlah sampel untuk pendugaan rata-rata ± E

t = nilai t dari tabel uji t student untuk selang kepercayaan 90%

s = standar deviasi yang diduga berdasarkan data set yang ada dari tipe hutan yang serupa. Departemen Kehutanan biasanya memiliki data yang relevan.

E = kemungkinan galat, dituliskan sebagai persentase dugaan nilai rata-rata

Angka yang dihasilkan harus dibulatkan ke bilangan cacah terdekat.

Sebagai contoh, untuk melakukan survei kelas vegetasi SKT dengan estimasi tingkat stok karbon 57 ton/Ha dan estimasi standar deviasi 35 ton/Ha dengan galat sampel yang diperbolehkan sebesar +/- 10% dari stok karbon rata-rata dan batas kepercayaan 90%, maka jumlah plot sampel dihitung sebagai berikut:

N = tst 0.9

2 * s2 / E2 = 1.662 * 352 / (57*10%)2 = 62.6

Dibulatkan menjadi N=63

“Proporsi terbesar sampel lapangan tersebar di kelas-kelas tersebut dan didefinisikan sebagai Hutan Regenerasi Muda (HRM) dan hutan kerapatan rendah (HK1)”

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 59: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 57

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Penyeleksian tim survei

Satu tim survei umumnya terdiri dari 6-8 orang sebagaimana dijabarkan berikut ini: :

Peralatan yang diperlukan untuk kerja lapangan

Data pengukuran pohon plot dicatat secara manual di dalam buku lapangan (tallysheet). Contoh layout tallysheet terdapat di Lampiran dengan disertai daftar peralatan bagi tim inventarisasi.

“Untuk pengukuran yang efisien, maka tim perlu untuk dapat bergerak dengan cepat ke lokasi pengukuran dan menghabiskan waktu sehari penuh untuk bekerja tanpa gangguan”

Jumlah anggota tim bervariasi tergantung pada tingkat keterampilan dan kondisi anggota tim di dalam hutan. Ketua tim akan memutuskan komposisi tim.

Untuk pengukuran yang efisien, maka tim perlu untuk dapat bergerak secara cepat ke lokasi pengukuran dan menghabiskan waktu sehari penuh untuk bekerja tanpa gangguan. Maka dari itu, dukungan logistik dalam bentuk pemandu lokal dan transportasi yang memadai untuk seluruh anggota tim merupakan hal yang sangat penting.

Jika terdapat akses yang sulit, maka akan lebih efisien bagi tim untuk mendirikan kemah sehingga perlengkapan perkemahan perlu disediakan dan seorang juru masak harus ditambahkan ke dalam tim.

Sebagian besar survei memerlukan lebih dari satu tim. Manajer logistik harus ditunjuk untuk memastikan tim menerima dukungan logistik yang diperlukan. Manajer data harus ditunjuk untuk melakukan entri data dan pengelolaan data secara umum. Latihan pengambilan sampel bersama harus dilaksanakan di awal periode inventarisasi untuk memastikan bahwa semua ketua tim mengerti dan menerapkan prosedur dengan cara yang sama.

Jabatan Jumlah Deskripsi dan peran orang

Ketua Tim 1 Lulusan kehutanan dengan pengalaman melakukan inventarisasi

Bertanggung jawab atas kinerja organisasi dan tim, khususnya sebagai berikut:

• melakukan navigasi menuju titik awal transek • mengelola buku catatan lapangan • mengoperasikan GPS • mengukur tinggi pohon • mengambil foto plot • mengelola dan meneruskan data

Asisten 2 Teknisi berpengalamanpengukuran Peran utama asisten pengukuran adalah untuk

mengukur diameter, memberikan label pohon, dan mengidentifikasi spesies. Penting bahwa paling tidak salah satu asisten memahami nama lokal spesies pohon

Petugas pembersih 1 Pekerja yang bertanggung jawab untuk plot membersihkan tumbuhan merambat dan memanjat

dari pohon agar pengukuran diameter dan tinggi pohon dapat dilakukan dengan lebih mudah

Operator hip chain 1 Peran: mengukur panjang transek dan lokasi titik tengah plot sepanjang transek

Pemegang kompas 1 Peran: memastikan jalur transek dibuat secara tepat pada sudut kompas yang telah ditentukan sebelumnya

Pembuka jalur 2 Peran: membersihkan jalur transek agar memudahkan pergerakan cepat menuju titik plot

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 60: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI58

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Pembuatan plot

Rancangan pengambilan sample plot

Plot-plot dapat ditempatkan secara acak atau sistematis di dalam suatu kelas. Pengambilan sampel secara acak merupakan pendekatan yang lebih menyeluruh dan kuat secara statistik. Pengambilan sampel secara acak biasanya lebih lambat dan biayanya lebih besar daripada pengambilan sampel sistematis. Penempatan plot sistematis biasanya membutuhkan biaya lebih sedikit dan lebih mudah untuk diimplementasikan di lapangan serta memungkinkan lebih banyak plot dapat diukur dalam suatu waktu tertentu. Plot dapat ditempatkan dalam formasi grid atau sepanjang jalur transek dengan jarak teratur pada semua kelas tanpa bias. Kombinasi antara pengambilan contoh secara sistematis dan acak juga dapat digunakan untuk meningkatkan keakuratan.

Metode untuk pembuatan plot secara sistematis dan acak dijelaskan di bawah ini. Kedua rancangan pengambilan contoh diterima dalam Pendekatan SKT ini.

Sebelum dilakukannya kerja lapang, untuk rancangan pengambilan sampel apapun, suatu rencana navigasi harus dibentuk yang mencatat urutan pengukuran plot. Rencana tersebut harus mendeskripsikan:

• Titik akses awal yang memberikan akses termudah menuju plot pertama. Titik akses awal biasanya berada di titik-titik yang paling memudahkan sepanjang jalan atau akses lain.

• Koordinat setiap plot (diunggah ke GPS) berdasarkan urutan pengukuran.

• Sudut atau azimuth kompas dari satu plot ke plot selanjutnya.

• Jarak antar plot.

Navigasi dan pembuatan plot yang ditempatkan secara sistematis menggunakan transek

Ketua tim lapangan harus diberikan instruksi untuk setiap transek, termasuk di dalamnya:

• Peta

• Koordinat titik awal (diunggah ke perangkat GPS). Titik awal transek biasanya bertempat pada titik-titik yang paling memudahkan di sepanjang jalan, sungai, kanal atau rute akses lainnya.

• Sudut kompas transek

• Panjang transek dalam satuan kilometer

• Jumlah plot yang akan diukur

Transek harus didirikan berdasarkan tahap-tahap berikut:

1. Tim bergerak menuju titik awal jalur transek yang diusulkan menggunakan perangkat GPS dan mencatat waypoint tepat pada lokasi titik awal. Berdasarkan pengalaman terkini, perangkat receiver Garmin GPS lebih diutamakan karena memiliki frekuensi tunggal dan biasanya tidak bermasalah untuk beroperasi di bawah tajuk hutan yang rapat. Receiver tersebut akurat hingga jarak lima meter dan merupakan perangkat yang cocok untuk jenis survei seperti ini.

2. Tempatkan satu tiang atau tongkat di titik awal. Berikan label pada tiang menggunakan pita penanda. Tuliskan nomor dan sudut kompas transek pada pita penanda.

3. Lintasi jalur sepanjang sudut kompas yang telah direncanakan. Transek harus ditempatkan secara tepat di sepanjang rute sudut kompas yang telah direncanakan. Ketika tim lapang menemui halangan yang besar seperti misalnya jurang atau aliran air, maka jika memungkinkan tim survei harus mengambil jalan memutar dan memulai survei kembali pada titik terdekat yang paling memungkinkan di sepanjang jalur transek. Jika tidak, maka tim survei harus menghentikan kegiatan survei pada transek tersebut.

4. Titik pusat plot harus diletakkan secara sistematis setiap 100 meter sepanjang transek. Untuk plot-plot yang berada di antara batas kelas SKT, maka pendekatan pragmatis yang dilakukan adalah dengan cara mengklasifikasikan plot berdasarkan jenis tutupan vegetasi yang paling banyak dijumpai, serta dengan mempertimbangkan klasifikasi penginderaan jarak jauh. Jika terdapat isu yang luar biasa mengenai batas, seperti misalnya hutan yang rapat berbatasan dengan lahan terbuka, maka plot yang terdapat di sana harus dicatat sebagai ‘tidak diukur’.

Perlu diingat bahwa lokasi plot tidak memerlukan penyesuaian untuk kemiringan pada jalur transek sepanjang lokasi plot diukur secara akurat menggunakan GPS. Hip chain hanya boleh digunakan untuk mengukur jarak antar plot pada medan yang rata.

Plot tidak boleh dipindahkan dengan alasan apa pun. Jika suatu plot tidak dapat diukur karena alasan keselamatan seperti misalnya plot memiliki kemiringan ekstrim, terdapat cabang pohon yang menggantung, atau plot berada di daerah aliran air (sungai atau kali), maka plot tersebut harus dicatat sebagai ‘tidak diukur’ dan pengambilan sampel harus dilanjutkan kembali pada titik pusat plot berikutnya. Pengamatan tersebut harus dicatat pada peta plot dan disampaikan kepada pihak perusahaan.

Semua foto: hak cipta Corozal Sustainable Future Initiative, Belize ©

Page 61: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 59

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Navigasi dan pembuatan plot tanpa transek

Lokasi plot secara acak ditentukan menggunakan perangkat lunak GIS, sedangkan plot sistematis biasanya ditempatkan menggunakan formasi grid. Plot harus didirikan berdasarkan tahap-tahap berikut:

1. Menuju titik akses awal menggunakan GPS.

2. Melintasi jalur menuju titik pusat plot dengan menggunakan GPS untuk navigasi.

3. Mengidentifikasi lokasi plot yang sebenarnya menggunakan GPS.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, plot tidak boleh dipindahkan atas alasan apa pun. Jika suatu plot tidak dapat diukur karena alasan keselamatan, maka plot tersebut harus dicatat sebagai ‘tidak diukur’ dan pengambilan sampel harus dilanjutkan pada titik pusat plot berikutnya.

Ukuran dan bentuk plot sampel

Plot dengan ukuran dan bentuk yang sama digunakan untuk pengambilan sampel secara acak, sistematis dan transek. Desain plot sampel yang direkomendasikan adalah dua lingkaran konsentris dari suatu titik pusat dengan luas total 500 m2 atau 0,05 ha. Plot lingkaran lebih direkomendasikan daripada plot persegi untuk meminimalisasi potensi galat karena faktor kemiringan dan halangan fisik yang dapat garis batas plot menjadi tidak lurus.

Demarkasi plot

1. Tempatkan suatu tiang/tongkat pada pusat plot. Berikan label pada tiang/tongkat tersebut dengan menggunakan pita penanda. Tuliskan identitas plot pada pita penanda. Pohon berdiri tidak boleh dijadikan sebagai penanda plot.

2. Rekam waypoint GPS pada titik pusat plot dan tuliskan waypoint tersebut dalam buku catatan lapangan. Angka waypoint harus merupakan nomor urut yang ditentukan perangkat GPS. Jangan melakukan pengeditan terhadap angka ini.

3. Dari titik pusat, sub plot pertama diukur menggunakan pita ukur atau tali yang sudah diukur sebelumnya yang dapat ditarik dengan kencang pada jarak horizontal sejauh 5,64 m. Sub plot kedua kemudian dibuat dengan mengukur jarak horizontal sejauh 12,61 m dengan pita ukur atau tali yang sudah diukur sebelumnya yang ditarik dengan kencang. Jika yang digunakan adalah tali yang sudah diukur sebelumnya, maka penting untuk menggunakan tali yang tidak elastis untuk membatasi galat yang dihasilkan oleh peregangan tali.

4. Informasi identifikasi berikut ini harus dicatat dalam buku catatan lapangan untuk semua plot.

• Nama perusahaan/konsesi

• Tanggal

• Nama ketua tim lapangan

• Nomor transek dan plot

• Waypoint GPS untuk titik pusat plot

• Kelas SKT pada plot berdasarkan definisi umum yang diberikan

• Kondisi tanah/bawah tanah, seperti contohnya tanah organik/gambut, tanah mineral, tanah lempung marine, genangan air

• Deskripsi umum mengenai plot dan kawasan sekitar, termasuk bukti adanya pembakaran, penebangan, dan kegiatan manusia lainnya, seperti misalnya tanaman karet atau tanaman agrikultur lainnya.

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 62: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI60

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Pengukuran vegetasi

Fokus pengukuran vegetasi ini adalah untuk jenis tumbuhan besar yang biasanya merupakan penyusun sebagian besar biomassa di atas tanah. Sumber karbon hutan yang lain tidak diukur karena ukurannya relatif kecil (seperti misalnya tumbuhan bawah) atau pengkajiannya sulit dan menghabiskan biaya yang tinggi (seperti misalnya biomassa di bawah tanah, kayu mati, bahan organik tanah).

Spesies tumbuhan besar didefinisikan sebagai tumbuhan yang memiliki diameter setinggi dada (DBH) lebih dari atau sama dengan 5 cm. Definisi ini mencakup spesies pohon dan tumbuhan bukan pohon. Tinggi dada yang dimaksud dalam DBH ini adalah 1,3 meter.

Spesies tumbuhan besar (secara keseluruhan disebut sebagai ‘pohon’ walaupun dapat mencakup spesies selain pohon seperti beberapa spesies palem) diukur dengan mengikuti tahap-tahap berikut.

1. Identifikasi pohon ‘Di dalam’: Pohon ‘di dalam’ didefinisikan sebagai pohon yang memiliki pusat batang pada DBH berada di dalam batas plot. Pohon yang berada di tepi plot akan diperiksa menggunakan tali nilon yang ditandai pada radius-radius plot yang benar.

2. Pita penanda: Setiap pohon harus diberi label dengan menggunakan pita penanda. Label tersebut harus bertuliskan nomor pohon sesuai dengan yang tercatat di buku lapang.

3. Pengukuran DBH: Semua pohon dengan DBH lebih dari atau sama dengan 15 cm harus diukur di dalam plot besar. Selain itu, semua pohon dengan DBH lebih dari atau sama dengan 5 cm dan kurang dari 15 cm harus diukur di dalam plot kecil.

4. Pengukuran tinggi: Tergantung pada persamaan alometrik eventual yang digunakan, maka mungkin akan perlu dilakukan pengukuran tinggi pohon. Tinggi pohon harus diukur dengan menggunakan klinometer dengan cara sebagai berikut:

• Dua operator mengukur 10 meter dari dasar pohon menggunakan klinometer.

• Pada jarak 10 meter, pengukuran dalam satuan persen dilakukan terhadap dasar pohon. Operator yang berada di pohon dapat membantu dengan menyingkirkan pohon dan semak dari garis pandang klinometer dan dengan menggunakan rompi berwarna cerah (rompi keselamatan) untuk menentukan pangkal pohon.

• Pengukuran lain dalam satuan persen dilakukan di bagian atas batang pohon pada volume yang dapat diperdagangkan. Volume yang dapat diperdagangkan adalah titik transisi batang utama pohon menjadi tajuk, atau titik di mana percabangan utama pertama berada.

• Jumlahdari kedua pengukuran (terhadap bagian bawah dan bagian atas volume yang dapat diperdagangkan) kemudian dibagi 10 untuk mendapatkan panjang batang dalam satuan meter (seperti misalnya 15% ke bawah ditambah 110% ke atas sama dengan 125%; tinggi batang yang didapatkan adalah 12,5 m).

Dengan mengetahui tinggi batang, maka estimasi panjang dan kualitas berbagai bagian sepanjang batang pohon mungkin untuk dilakukan.

“Fokus pengukuran vegetasi ini adalah untuk jenis tumbuhan besar yang biasanya merupakan penyusun sebagian besar biomassa di atas tanah”

GAMBAR 1: MENENTUKAN POHON-POHON YANG BERADA DI BATAS PLOT

Diameter setinggi dada didefinisikan sebagai berikut:

Bentuk Pohon Metode Pengukuran

Pohon dengan Diameter batang diukur pada ketinggian 1,3 m dar

bentuk baik permukaan tanah pada sisi tanah yang lebih tinggi

Pohon bercabang Diameter setiap batang diukur secara terpisah

di bawah 1,3 m pada ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah pada

sisi tanah yang lebih tinggi

Pohon memiliki kelainan TDiameter batang diukur pada ketinggian 0,5 m di

bentuk pada ketinggian atas titik berakhirnya kelainan bentuk

1,3 m

Akar banir berada di Diameter batang diukur pada ketinggian 0,5 m di

atas ketinggian 1,3 m atas titik berakhirnya akar banir

TABEL: METODE PENGUKURAN DIAMETER

Page 63: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 61

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

5. Spesies: Semua pohon yang diukur di dalam plot harus diidentifikasi berdasarkan genus dan jika memungkinkan sampai tingkat spesies karena informasi tersebut kemungkinan diperlukan untuk persamaan alometrik dan agar deskripsi komposisi dan struktur hutan secara umum dapat dibuat. Sebagaimana dijelaskan di atas, ahli botani atau rimbawan dengan pengetahuan konteks lokal idealnya harus menjadi bagian dari tim lapangan; nama lokal dapat dicatat di buku lapangan dan kemudian dicari nama spesiesnya. Jika spesies tertentu tidak dapat diidentifikasi walaupun dengan menggunakan nama lokalnya, maka harus dilakukan pengambilan foto dan sampel botani yang diberi tanda sehingga selanjutnya identifikasi dapat dilakukan oleh ahli.

Gambar di sebelah kanan memberikan ilustrasi mengenai desain plot.

GAMBAR 3: METODE PENGUKURAN DIAMETER Catatan: Dilakukan perbaikan minor terhadap diagram ini tanggal 13.04.2015 untuk menyesuaikan dengan teks

“Semua pohon yang diukur di dalam plot harus diidentifikasi berdasarkan genus dan jika memungkinkan sampai tingkat spesies“

GAMBAR 2: LAYOUT PLOT INVENTARISASI SKT

Semua foto: hak cipta TFT©

Page 64: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI62

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Foto plot

“Fungsi tracking GPS harus digunakan secara terus-menerus selama pengukuran lapangan untuk memungkinkan geo-referensi pada foto yang diambil”

Untuk semua plot di hutan, lima foto digital harus diambil di pusat plot. Empat foto menghadap ke arah utara, selatan, timur dan barat serta satu foto lainnya menghadap lurus ke atas untuk menunjukkan kerapatan tajuk. Foto tersebut harus menggambarkan struktur dan kerapatan dasar vegetasi di setiap plot. Fungsi tracking GPS harus digunakan secara terus-menerus selama pengukuran lapangan untuk memungkinkan geo-referensi pada foto yang diambil.

Gambar berikut ini menunjukkan perbandingan antara foto tutupan lahan yang diambil dari permukaan tanah dengan piksel dari citra satelit. Foto langit dan tajuk menggambarkan kerapatan tutupan tanah.

Citra satelit berasal dari Landsat 8 dengan kombinasi RGB 6,4,2.

GAMBAR 4: CONTOH CITRA SATELIT DAN FOTO-FOTO LAPANGAN TERKAIT (TAJUK, MENGHADAP UTARA, MENGHADAP SELATAN, MENGHADAP TIMUR, MENGHADAP BARAT)

Lahan terbuka

Page 65: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

Semua foto: hak cipta TFT©

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 63

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Hutan Regenerasi Muda

Belukar

Page 66: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI64

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Foto plot

GAMBAR 4: CONTOH CITRA SATELIT DAN FOTO-FOTO LAPANGAN TERKAIT (TAJUK, MENGHADAP UTARA, MENGHADAP SELATAN, MENGHADAP TIMUR, MENGHADAP BARAT)

Hutan Kerapatan Rendah (HK1)

Page 67: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 65

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Entri dan pengelolaan data

Ketua tim harus mengunduh data track dan waypoint GPS dan disimpan di komputer pribadi dalam format Ozi/Garmin setiap petang jika memungkinkan. Selain data dan foto, ketua tim harus menulis dua hingga tiga paragraf deskripsi singkat mengenai kondisi hutan dan komentar lain yang berkaitan dengan setiap transek.

Buku catatan lapangan yang sudah lengkap, data GPS, dan foto harus diberikan kepada Manajer Inventarisasi Data yang akan memasukkan data plot ke dalam spreadsheet dan menggabungkan semua informasi dalam format logis untuk dilimpahkan kepada tim GIS. Ketua tim harus memeriksa data yang dimasukkan apabila ada data yang tidak konsisten.

“Selain data dan foto, ketua tim harus menulis dua hingga tiga paragraf deskripsi singkat mengenai kondisi hutan dan komentar lain yang berkaitan”

Page 68: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI66

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Memperoleh stok karbon rata-rata per kelas vegetasi

“Penting untuk diketahui bahwa persamaan tersebut biasanya telah disusun untuk hutan-hutan yang tidak terdegradasi dan mungkin kurang tepat apabila digunakan untuk hutan terdegradasi di mana lingkungan yang tumbuh pada dasarnya telah diubah”

Setelah data dimasukkan, maka setiap plot kemudian dianalisis untuk mendapatkan estimasi batang per hektar dan stok karbon sebagai berikut.

Batang per hektareJumlah rata-rata batang per hektar dihitung dari ukuran plot. Persamaan yang digunakan adalah:

Batang per hektar = (jumlah pohon dalam plot)/(ukuran plot dalam satuan hektar)

Kandungan karbonProses kajian SKT menggunakan persamaan alometrik untuk menduga biomassa. Persamaan alometrik membantu menduga karakteristik pohon yang sulit diukur dengan cara mengukur atribut yang berkorelasi dari pohon yang sama seperti misalnya, diameter setinggi dada dapat diukur dan kemudian digunakan untuk menentukan biomassa di atas tanah dari tumbuhan tersebut secara keseluruhan.

Banyak persamaan alometrik yang ada di seluruh dunia. Beberapa diantaranya spesifik untuk satu tipe hutan atau spesies pohon, sedangkan yang lain lebih bersifat umum untuk mencakup situasi yang lebih beragam. Persamaan alometrik biasanya disusun dari sampel berukuran besar untuk meningkatkan akurasi, walaupun penting untuk diketahui bahwa persamaan tersebut biasanya telah disusun untuk hutan-hutan yang tidak terdegradasi dan mungkin kurang tepat apabila digunakan untuk hutan terdegradasi di mana lingkungannya pada dasarnya telah diubah. Daftar persamaan alometrik dapat diperoleh di laman http://www.globallometree.org/. Komite Penasihat Ilmiah dari Komite Pengarah Pendekatan SKT akan memberikan masukan mengenai daftar persamaan alometrik yang disetujui untuk kawasan dengan berbagai kepentingan yang berbeda sekaligus menerima saran dan masukan mengenai topik ini.

Harus diperhatikan bahwa:

• Berat jenis adalah pengukuran kekerasan kayu. Jika spesies suatu kayu diketahui, maka berat jenis sebagaimana tercatat dalam Basis Data Kekerasan Kayu pada Pusat Agroforestri Dunia (World Agroforestry Centre - WAC) (http:// db.worldagroforestry.org/wd) harus digunakan, dan jika hanya genus yang diketahui, maka nilai yang digunakan adalah nilai rata-rata di tingkat genus. Jika tidak diketahui, maka yang harus digunakan adalah nilai standar 0,55 ton/m3 untuk spesies pohon tropis dan 0,247 ton/m3 untuk spesies palem, berdasarkan nilai rata-rata yang dikeluarkan oleh Panel antar Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (2006), Panduan untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, Volume 4. Pertanian, Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Lainnya, serta basis data kekerasan kayu dari WAC.

• Faktor konversi karbon mengestimasi komponen karbon biomassa vegetasi. Faktor ini dapat dihasilkan untuk tipe hutan tertentu, atau nilai standar IPCC sebesar 0,47 dapat digunakan.

• Persamaan untuk menghitung massa karbon pohon per hektar adalah:

Karbon Total (ton/ha) = Σ ([Karbon Pohon]) / [Ukuran plot dalam satuan hektar]

• Pendugaan volume pohon dalam sub plot memerlukan penghitungan volume yang terpisah karena ukuran plot utama dan sub plot berbeda.

Setelah menyelesaikan pemrosesan data mentah dan estimasi stok karbon per kelas vegetasi, maka uji ANOVA harus dilakukan untuk menentukan adanya perbedaan nyata pada estimasi karbon per kelas. Uji tersebut dilanjutkan dengan Scheffé pairwise multiple comparison test untuk menentukan kelompok mana yang berbeda secara nyata.

Hasil uji dapat dituliskan dalam format tabel di bawah ini.

Tutupan lahan Jumlah plot Batang per Luas Bidang Stok Karbon Galat standar Batas kepercayaan (90%) hektar Dasar Rata-rata dari stok karbon rata-rata Batas Atas Batas Bawah

Lahan terbuka

Belukar

Hutan regenerasi muda

Hutan kerapatan rendah

Hutan kerapatan menengah

Hutan kerapatan tinggi

Page 69: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Semua foto: hak cipta TFT©

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI 67

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Menyelesaikan klasifikasi

Setelah kegiatan lapangan selesai, maka data lapangan digunakan untuk membandingkan dan merevisi klasifikasi vegetasi secara manual dengan menggunakan hasil survey lapangan. Secara khusus, yang digunakan adalah data berikut ini:

Hasil Survei Udara:

• Jika survei udara dilakukan, maka basis data dari foto udara dengan geo-referensi dapat dikompilasikan menjadi suatu file *.gdb untuk setiap kawasan. Basis data tersebut kemudian dimuat ke dalam GIS sehingga foto-foto tersebut dapat dilihat dan dibandingkan dengan hasil klasifikasi.

• Pengamatan tertulis dicatat selama survei udara.

Hasil Inventarisasi Hutan

• Inventarisasi hutan yang dijelaskan di dalam bab ini menghasilkan basis data titik plot inventarisasi dan masing-masing plot memiliki nilai stok karbon per hektar. Titik-titik plot distratifikasikan menjadi kelas-kelas karbon sebagaimana ditentukan dan di-overlay di atas citra.

• Inventarisasi hutan menghasilkan basis data foto plot dengan geo-referensi (lima foto per plot) yang dikompilasikan menjadi suatu file *.gdb untuk setiap kawasan. Basis data tersebut kemudian dimuat ke dalam GIS sehingga foto tersebut dapat dilihat dan dibandingkan dengan hasil klasifikasi.

• Campuran spesies seperti misalnya banyaknya spesies pionir seperti Macaranga spp., keberadaan pohon yang ditanam (karet, pohon buah).

• Penyebaran diameter, khususnya banyaknya pohon berdiameter besar (DBH 30 cm atau lebih).

• Jika data tinggi juga dikumpulkan, maka indeks struktural yang menggambarkan persentase spesies berdasarkan kelas tinggi dapat dihitung.

• Deskripsi jenis dan tahap perkembangan seperti contohnya hutan pionir, hutan terdegradasi berat yang beregenerasi, hutan terdegradasi, hutan primer, dll. Indeks pertumbuhan hutan, suksesi, dan atau maturitas hutan juga dapat dihitung. Indeks-indeks tersebut dapat membantu menentukan rencana konservasi dan pengelolaan.

• Deskripsi plot dan transek yang dicatat oleh tim inventarisasi di lapangan.

“Fase Dua yang berisi tentang... mengintegrasikan kawasan hutan SKT potensial dengan kawasan NKT, kawasan yang penting bagi kebutuhan masyarakat, sempadan sungai, lahan gambut, dan kategori lahan lain yang berkaitan untuk membuat rencana final kegiatan pengembangan dan konservasi”

Harus diingat bahwa revisi batas kelas vegetasi tidak bertujuan mencocokkan masing-masing angka karbon plot. Revisi tersebut hanya boleh dilakukan jika kedua syarat di bawah ini terpenuhi.

• Plot inventarisasi menunjukkan bias yang jelas dalam klasifikasinya, yaitu kelompok plot yang berdekatan memiliki nilai karbon yang berada jauh di luar kisaran kelas vegetasi.

• Analisis ulang citra mendukung dilakukannya revisi batas kelas vegetasi.

Revisi apapun yang dilakukan harus didokumentasikan dan didukung justifikasi kuat sehingga peninjau eksternal yang mengkaji kualitas proses SKT dapat memahami alasan dilakukannya perubahan tersebut.

Klasifikasi akhir menghasilkan peta kawasan hutan SKT indikatif, termasuk di dalamnya nilai karbon rata-rata untuk setiap kelas vegetasi serta deskripsi fisik mengenai vegetasi di setiap kelas. Paruh kedua dari toolkit ini menjelaskan Fase Dua yang berisi mengenai pembuatan keputusan perihal pentingnya patch hutan kecil yang terisolasi dan mengintegrasikan kawasan hutan SKT potensial dengan kawasan NKT, kawasan yang penting bagi kebutuhan masyarakat, sempadan sungai, lahan gambut, dan kategori lahan lain yang berkaitan untuk membuat rencana final kegiatan pengembangan dan konservasi.

Page 70: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI68

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 4 INVENTARISASI HUTAN DAN ESTIMASI STOK KARBON

Lampiran 1: Lembar Inventarisasi dan Daftar Peralatan Tim Inventarisasi

Layout Buku Lapangan:

Nama perusahaan/konsesi:

Ketua Tim Lapangan: Tanggal:

Jalur/plot: No: waypoint

Tutupan Lahan:

Pohon DBH Nama spesies atau nama lokal

1

2

3

4

5

6

7

8

Dll.

Deskripsi umum mengenai plot dan kawasan sekitarnya, seperti misalnya Bukti kebakaran, Pohon karet tua di luar plot

Daftar Peralatan yang Direkomendasikan untuk Tim Inventarisasi:

Tipe Model Jumlah KeteranganPeralatan

GPS

Baterai

Kamera

Pita ukur/

meteran

Hip chain

Benang

Kompas

1

1 kotak

1

1

2

1

1

20

1

3 km

1

1

1

1 kotak

1 kotak

2

1

2

4

Alternatif: GPS MAP model 62

Baterai cadangan untuk GPS dan

kamera

Coated fiberglass

Coated fiberglass

Alternatif: kompas Suunto

Untuk menulis label pohon

Untuk memotong label pohon

Untuk menempelkan label ke pohon

Buku catatan anti air

Untuk menjaga peralatan seluler,

peta, dll. tetap kering

Garmin GPSMAP 60CSx

AA

Kamera digital

Pita ukur diameter – 5 m

Pita ukur diameter – 1,8 m

Pita ukur 50m -

TajimaYSR-50

Pita ukur 20m -

TajimaYSR-20

Pita penanda

Chainman II dengan sabuk

Benang untuk hip chain

SILVA® Starter Tipe 1-2-3

Kotak P3K

Ransel

Pensil dan pulpen

Spidol permanen anti air

1 kotak cutter KENKO

1 penggaris 30 cm

Stapler dan isi

Buku catatan lapangan

Kantong plastik tipe zip

lock

Page 71: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

69

Konservasi Patch Hutan Ber-Stok Karbon Tinggi: Latar belakang dan prinsip

Bab 5

Oleh Grant Rosoman, Greenpeace

Ucapan terima kasih: Penulis mengucapkan terima kasih kepada Robert Ewers dari Imperial College London,Neville Kemp dari Ekologika, Rob McWilliam dari TFT, Matthew Struebig dari University of Kent dan Jaboury Ghazoul dari ETH-Zurich, serta kolega dari Golden Agri-Resources dan Rainforest Alliance, atas atas masukan-masukan pentingnya terhadap draf bab ini.

DAFTAR ISI BAB

P70: Pendahuluan: Mengintegrasikan kaidah konservasi ke dalam analisis patch hutan SKT

P71: Pengaruh fragmentasi dan efek tepi terhadap bagian inti suatu patch hutan

P72: Pentingnya ukuran dan patch hutan

P73: Konektivitas

P74: Mengembangkan indikator dan ambang batas dalam Analisis Decision Tree Patch SKT

P76: Kesimpulan

Versi 1.0, Agustus 2015

BAB 5 KONSERVASI PATCH HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI: LATAR BELAKANG DAN PRINSIP

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 72: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

70

Versi 1.0, Agustus 2015

BAB 5 KONSERVASI PATCH HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI: LATAR BELAKANG DAN PRINSIP

Pendahuluan: Mengintegrasikan ilmu kon-servasi ke dalam analisis patch hutan SKT

Sebagian besar pengembangan perkebunan di daerah tropis terjadi di lanskap hutan yang mencakup campuran kawasan hutan, kawasan terdegradasi dan lahan terbuka, serta tipe ekosistem lainnya seperti lahan basah. Analisis citra dan plot lapangan dilakukan pada fase stratifikasi vegetasi pertama dari kajian SKT secara umum menghasilkan identifikasi patch kawasan hutan SKT dengan ukuran, bentuk dan kualitas yang beragam.

Tujuan besar dari perlindungan kawasan hutan SKT (selain integrasi dengan kawasan NKT, lahan gambut dan kawasan penting bagi masyarakat) adalah perlindungan kawasan hutan yang layak dalam lansekap produksi dengan dukungan masyarakat lokal serta perlindungan hukum.1 Hal ini berarti bahwa pemrakarsa Pendekatan SKT harus menentukan cara untuk menentukan nilai dan kelayakan patch hutan SKT walaupun dari segi praktis tidak semua patch hutan berukuran kecil dapat dilindungi dalam jangka menengah atau panjang. Di saat yang bersamaan, mereka harus mengakui bahwa bahkan patch hutan berukuran kecil sekalipun dapat berperan sebagai habitat atau konektivitas penting ke habitat lain serta sebagai penyimpan karbon, khususnya pada lanskap dengan tutupan-tutupan hutan yang rendah.

Karena ini merupakan metodologi berbasis ilmiah, pihak pemangku kepentingan terhadap Pendekatan SKT mengacu ke arah penelitian ilmu konservasi untuk memberikan informasi mengenai indikator kualitas patch hutan. Dalam waktu 30 tahun terakhir telah dilakukan penelitian yang cukup banyak mengenai fragmentasi hutan dan patch hutan, khususnya berkaitan dengan dampaknya terhadap spesies dan habitat.2 Dalam suatu penelitian fragmentasi yang mungkin merupakan penelitian fragmentasi terpanjang di Amazon, dijumpai bahwa dalam lanskap yang sangat terfragmentasi, perlindungan fragmen hutan yang tersisa merupakan hal yang sangat diinginkan karena fragmen tersebut cenderung merupakan sumber utama bagi reproduksi tumbuhan dan satwa serta sebagai ‘batu loncatan’ untuk pergerakan satwa dalam suatu lanskap (Laurance et al., 2011). Namun disayangkan bahwa di tingkat global penelitian ini masih jauh dari konklusif, khususnya mengingat bahwa keaneragaman hutan tropis dunia yang sangat tinggi, dan terdapat banyak faktor mengejutkan yang dapat menutupi efek fragmentasi (Ewers dan Didham, 2006) dan yang dimediasi oleh matriks lansekap sekelilingnya (Laurance dan Vasconcelos, 2004). Saat ini masih sulit mengukur dampak sepenuhnya dari fragmentasi terhadap populasi (Ewers et al., 2010).

Maka dari itu pedoman mutlak tentang faktor utama fragmentasi dan patch hutan belum dapat disusun, seperti ambang batas minimal ukuran, efek tepi (edge effect), konektivitas, bentuk dan konfigurasi patch hutan yang akan memastikan viabilitas hutan jangka panjang. Namun pembaca masih dapat mengambil pemahaman prinsip umum tentang pentingnya patch hutan tertentu dalam suatu lansekap. Bab ini menyajikan penjelasan singkat tentang pertimbangan ilmu konservasi yang digunakan untuk menarik prinsip dan atribut untuk dianalisis dalam proses SKT untuk menentukan pentingnya perlindungan satuan patch hutan SKT dalam lanskap bersamaan dengan NKT, lahan gambut, sempadan sungai, dan kawasan perlindungan lainnya. Walaupun prinsip dan atribut ini tidak dijelaskan dengan mendalam di sini, perlu dicatat bahwa ada berbagai alat GIS yang telah dikembangkan untuk menganalisis patch hutan.3

“Tujuan besar dari perlindungan kawasan hutan SKT ... adalah perlindungan areal hutan yang layak dalam suatu lansekap dengan dukungan masyarakat lokal serta perlindungan hukum”

1. Lihat komitmen kebijakan ‘Nihil Deforestasi’ atau ‘Bebas Deforestasi, antara lain dari Golden Agri- Resources: “Pada akhirnya, kawasan hutan SKT yang dikonservasi bisa kembali ke fungsi ekologis alaminya sebagai suatu kawasan.” Dalam Golden Agri-Resources (2012).“High Carbon Stock Forest Study Report”, halaman 3.

2. Sebagai contoh,Laurance dan Bierregaard (1997); Ewers danDidham (2006); Laurence et al. (2011) dan Fahrig(2003)

3. Contohnya adalah Fragstats, yang dapat dilihat di: http://www.umass.edu/landeco/research/fragstats/fragstats.html

Semua foto hak cipta TFT ©

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 73: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

71

Versi 1.0, Agustus 2015

BAB 5 KONSERVASI PATCH HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI: LATAR BELAKANG DAN PRINSIP

Pengaruh fragmentasi dan efek tepi terhadap kawasan inti suatu patch hutan

“Kawasan tepi hutan memiliki kondisi lebih kering dibandingkan kawasan dalam hutan karena berbagai faktor, termasuk kondisi atmosfer setempat. Bahkan lahan terbuka berbentuk memanjang bisa berbahaya”

PAR

AM

ETER

TEP

I

JARAK PENETRASI TEPI (m)

Suatu mosaik areal berhutan sangat berbeda dengan kawasan hutan yang saling bersinggungan baik dari segi komposisi maupun ekologi (Noss dan Cooperrider, 1994; Laurance dan Bierregard, 1997). Fragmentasi menyebabkan isolasi genetik spesies tumbuhan dan satwa, menurunkan keaneragaman genetik dan pada akhirnya, hilang atau menyempitnya habitat yang dibutuhkan suatu spesies akan berujung pada kepunahan lokal spesies. Jika spesies tersebut merupakan ‘keystone species’ atau spesies kunci dalam definisi ekologis (misalnya, memiliki peran utama sebagai mata rantai dalam jaring makanan atau sebagai penyebar biji), maka kepunahannya akan menyebabkan efek domino kepunahan lain yang saling terkait, dan mengubah jaringan makanan (Myers, 1993).

Konsekuensi penting lainnya dari fragmentasi hutan adalah perluasan tepi hutan. Sepanjang kawasan tepi ada gradien mikro iklim kuat yang menyebabkan ‘efek tepi’. Gradien tersebut sangat beragam tetapi mencakup cahaya, suhu, kandungan kelembaban tanah, dan kecepatan angin, yang berdampak terhadap ekologi hutan terfragmentasi (Thies et al., 2011). Kawasan tepi hutan memiliki kondisi lebih kering dibandingkan kawasan dalam hutan karena berbagai faktor, termasuk kondisi atmosfer setempat yang menarik kelembaban dari hutan. Bahkan lahan terbuka berbentuk memanjang bisa berbahaya (Laurence et al., 2011).

Efek tepi memiliki berbagai dampak biologis, termasuk:

• penurunan keanekaragaman hayati, khususnya spesies dengan nilai konservasi (Fitzherbert et al. 2008);

• peningkatan kematian pohon, khususnya pohon-pohon besar (Laurance et al. 2000);

• peningkatan iklim mikro sepanjang tepi yang dapat mengancam regenerasi, mengganggu proses perkecambahan benih di fragmen hutan hujan (Bruna, 1999);

• perubahan struktur hutan, gugurnya daun, dan kolonisasi pergantian komunitas tumbuhan; dan

• pergeseran komposisi pohon dan tumbuhan lain secara tiba-tiba.

Sebagaimana disebutkan oleh Laurance et al. (2011):

“Fenomena tepi sangat beragam. Fenomena ini mencakup stres akibat kekeringan, perubahan arah dan kecepatan angin dalam waktu singkat, dan turbulensi angin yang dapat miningkatkan laju mortalitas dan kerusakan pada pohon secara drastis. Hal ini menyebabkan berbagai perubahan dalam komposisi komunitas pohon dan liana. Stres ini juga bisa menurunkan perkecambahan dan pertumbuhan spesies toleran naungan di fragmen hutan, yang mengakibatkan perubahan dramatis dalam komposisi dan kelimpahan bibit pohon.”

Gambar 1 (kiri) menunjukkan dampak yang dapat diamati jauh ke dalam patch hutan Amazon dari tepi, dengan peningkatan gangguan angin yang dapat mencapai 350m dari tepi patch hutan. Baca Ellis-Cockcroft dan Cotter (2014) untuk kajian pustaka mengenai dampak fragmentasi terhadap proses-proses ekosistem.

GAMBAR 1: HASIL DARI PENELITIAN SELAMA 22 TAHUN MENGENAI DAMPAK FRAGMENTASI TERHADAP HUTAN HUJAN AMAZON DAN BIOTA MENUNJUK-KAN JARAK PENETRASI BERBAGAI EFEK TEPI (DARI LAURANCE ET AL., 2002)

Peningkatan gangguan angin

Peningkatan mortalitas pohon

Invasi kupu-kupu yang teradaptasi dengan gangguan

Perubahan komposisi spesies semut serasah

Invasi kumbang yang teradaptasi dengan gangguan

Perubahan komposisi spesies invertebrata serasah

Perubahan kelimpahan dan keanekaragaman invertebrata serasah

Perubahan ketinggian kerapatan dedaunan tertinggi

Penurunan kelembaban relatif

Percepatan peningkatan populasi pohon yang teradaptasi dengan gangguan

Penurunan tinggi tajuk

Penurunan kelembaban tanah

Kerapatan dedaunan tajuk yang lebih rendah

Peningkatan suhu udara

Peningkatan suhu dan defisit tekanan uap

Penurunan kelimpahan burung yang hidup di lapisan bawah tajuk

Peningkatan serasah

Peningkatan radiasi aktif fotosintesis di lapisan bawah tajuk

Kelembaban relatif yang lebih rendah

Peningkatan jumlah bukaan hutan karena pohon tumbang

Kerapatan dedaunan lapisan bawah tajuk yang lebih tinggi

Peningkatan pertumbuhan bibit

Invasi tumbuhan yang teradaptasi dengan gangguan

Kandungan air relatif daun lebih rendah

Kandungan kelembaban yang leih lebih rendah

Invasi tumbuhan yang teradaptasi dengan gangguan

Penurunan kepadatan badan penghasil spora jamur

0 100 200 300 400

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 74: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

72

“Bentuk setiap patch juga mempengaruhi efek tepi, di mana efek tepi menjadi semakin parah dengan meningkatnya kedekatan dengan dua tepi atau lebih”

Pentingnya ukuran dan bentuk patch hutan

4. Berbagai referensi sebagai contoh terdapat dalam Ewers dan Didham, 2006

GAMBAR 2: PENGARUH BENTUK TERHADAP PROPORSI TEPI SUATU PATCH (DIADAPTASI DARI PEMERINTAH MALAYSIA, 2009)

Salah satu aspek penting dari efek tepi hutan adalah bahwa efek tersebut meningkat secara drastis seiring dengan fragmentasi. Hal ini sangat relevan untuk patch hutan yang dikelilingi lahan terdegradasi, yang merupakan gambaran tipikal di berbagai konsesi perkebunan yang merupakan tujuan dirancangnya Pendekatan SKT. Dengan meningkatnya fragmentasi, maka persentase luas total hutan tersisa yang terkena dampak fragmentasi juga meningkat karena proporsi tepi yang semakin tinggi pada setiap patch.

Dengan kondisi hutan yang secara umum telah terdegradasi di banyak area konsesi, sebagian besar dikarenakan kegiatan penebangan, pembangunan jalan dan pertanian berpindah di masa lampau, maka terdapat berbagai patch hutan dengan ukuran dan tingkat isolasi yang beragam, banyak diantaranya dengan proporsi tepi yang tinggi dibandingkan dengan luasan keseluruhan. Faktor utama untuk meminimalkan ‘efek tepi’ patch hutan terfragmentasi adalah ukuran patch tersebut. Telah terdokumentasi baik bahwa area lebih besar menyediakan habitat, perlindungan karbon hutan dan viabilitas jangka panjang yang lebih baik dibandingkan area yang lebih kecil atau lebih terfragmentasi. Hal ini dikarenakan efek tepi yang lebih kecil dan kawasan inti (core area) yang lebih besar dan relatif tidak terganggu (Laurance et al., 2011; Ewers dan Didham, 2006; Laurance dan Yensen, 1991). Ini berarti bahwa luas kawasan inti, atau bagian dalam dari suatu patch yang relatif tidak terganggu oleh tepi, merupakan faktor kunci untuk menganalisis pentingnya setiap patch dalam konservasi hutan.

Bentuk setiap patch juga mempengaruhi efek tepi, di mana efek tepi menjadi semakin parah dengan meningkatnya kedekatan dengan dua tepi atau lebih (Laurance et al., 2011). Kompleksitas bentuk juga berdampak besar, dengan bentuk patch yang lebih membulat lebih baik dibandingkan bentuk ireguler atau kompleks karena tidak banyak kolonisasi dan gangguan terhadap pola penyebaran habitat dan spesies.4 Gambar 2 menunjukkan bagaimana kawasan inti (>100m dari tepi patch) dipengaruhi oleh bentuk patch: setiap patch memiliki luas total sebesar 100 ha, tetapi ukuran kawasan inti sangat bervariasi tergantung pada bentuk patch tersebut. Dengan menggunakan kawasan inti sebagai faktor analisis utama maka patch hutan dengan bentuk yang lebih reguler dan tidak rumit akan menjadi prioritas.

Versi 1.0, Agustus 2015

BAB 5 KONSERVASI PATCH HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI: LATAR BELAKANG DAN PRINSIP

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 75: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

73

Konektivitas

GAMBAR 3: KORIDOR DAN BATU LONCATAN (DIADAPTASI DARI PEMERINTAH MALAYSIA, 2009)

Konektivitas fisik dipilih sebagai faktor utama kedua untuk menilai pentingnya setiap patch. Hal ini dikarenakan kawasan koridor, ketersambungan dan ‘batu loncatan’ adalah kritis untuk memungkinkan pergerakan flora dan fauna melalui lanskapnya dan memfasilitasi penyebaran biji, pengembangbiakkan, dan interaksi antara satwa pemangsa-mangsa, serta mengamankan habitat untuk spesies yang menjadi penghuni (Laurance, 2004). Fitur koridor utama yang memfasilitasi pergerakan fauna dan penyebaran tumbuhan antara lain adalah kualitas habitat, lebar koridor, panjang koridor, kerapatan tajuk dan konektivitas koridor (Laurance, 2004). Bahkan apabila tidak ada koridor yang utuh, jika spesies dapat bergerak melalui suatu perkebunan, fragmen hutan dapat berperan sebagai ‘batu loncatan’ untuk penyebaran dan bisa lebih bermanfaat dibandingkan koridor habitat (Falcy dan Estades, 2007).

Saat mempertimbangkan konektivitas, penting untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan patch yang banyak di waktu yang bersamaan serta penghubung ke lanskap yang lebih luas untuk memastikan bahwa keputusan yang dibuat bukan saja untuk satuan patch atau terpisah dari patch atau sekumpulan patch lainnya. Walaupun Pendekatan SKT menitikberatkan perlindungan hutan yang masih tersisa, pada akhirnya menggabungkan kembali fragmen yang terisolasi melalui restorasi hutan akan menjadi langkah efektif untuk menciptakan kawasan yang cukup besar untuk memperlambat kepunahan spesies.5

Koridor dan batu loncatan

Koridor keanekaragaman hayati atau satwa liar adalah habitat yang menyambungkan populasi satwa liar yang terpisah karena aktivitas manusia seperti pembangunan pertanian atau pemukiman. Koridor memungkinkan pertukaran individu antar populasi yang dalam kondisi lain terisolir, mengurangi peluang perkawinan kerabat (inbreeding) dan mendukung keanekaragaman genetik serta fleksibilitas spesies. Koridor juga memfasilitasi migrasi dengan memungkinkan satwa liar menghindari risiko akibat melintasi jalan, pemukiman atau kawasan pertanian.

Patch habitat yang saling berdekatan dan dapat dimanfaatkan satwa liar untuk bergerak melalui suatu lanskap disebut ‘batu loncatan’ dan memiliki peran ekologis serupa dengan koridor yang terhubung sepenuhnya. Koridor atau batu loncatan juga mungkin berperan sebagai habitat untuk spesies kunci atau lokasi persinggahan, tergantung pada ukurannya.

Diagram berikut menggambarkan fungsionalitas koridor dan batu loncatan dalam suatu lanskap hutan terfragmentasi.

5. Berbagai referensi dikutip dalam Laurance, 2011. Baca juga Bentrup, G. (2008), The Woodland Trust (2000), Peres (2001), dan Wearn et al. (2013)

Versi 1.0, Agustus 2015

BAB 5 KONSERVASI PATCH HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI: LATAR BELAKANG DAN PRINSIP

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 76: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

74

Mengembangkan indikator dan ambang batas untuk Decision Tree Analisis Patch SKT

Dengan memperhatikan pertimbangan konservasi yang diuraikan dalam bab ini, ambang batas umum untuk ukuran, kualitas dan konektivitas patch dapat dikembangkan untuk menghasilkan alat praktis menentukan pentingnya setiap patch dalam kawasan konsesi. Proses SKT menggunakan ambang batas ini dalam suatu Pohon Keputusan sederhana (dijelaskan dalam Bab Enam) untuk mengkaji nilai dari setiap patch SKT, berdasarkan nilainya dalam suatu konsesi dan dalam lanskap yang lebih luas.

Mendefinisikan kawasan inti dan memprioritaskan patch SKT berdasarkan ukuran

Pertama, Pohon Keputusan SKT menetapkan prioritas bagisetiap patch sebagai Tinggi, Sedang atau Rendah, berdasarkan area kawasan intinya. Untuk menentukan kawasan inti dari setiap patch, ‘daerah penyangga negatif’ ditempatkan untuk mengeluarkan area yang paling terpengaruh oleh tepi patch tersebut. Efek tepi dijumpai pada jarak 10 m sampai 1 km dari tepi patch dan sangat bervariasi (lihat di bawah), sehingga penentuan ambang batas yang tepat tidak mudah. Namun, untuk Decision Tree dan tujuan praktis, ambang batas harus berupa bilangan bulat sederhana, makajarak 50 m, 100 m, atau 200 m dapat digunakan. Berdasarkan kisaran jarak untuk berbagai efek tepi yang berbeda, khususnya dari wilayah Amazon di Brazil (Broadbent et al., 2008; Laurance, 2011; Ries et al., 2004), diadopsi jarak efek tepi dan ‘daerah penyangga negatif’ sejauh 100m.

Saat kawasan inti telah ditentukan, tingkat prioritas setiap patch dapat ditentukan. Sekali lagi, karena Pendekatan SKT dirancang untuk digunakan di lanskap hutan yang sangat beragam, nilai umum dan bilangan bulat perlu digunakan walaupun luas habitat minimal bervariasi pada tipe spesies, kebutuhan spesies, kualitas habitat, dan matriks lanskap sekelilingnya. Ukuran habitat minimal bisa sekecil satu hektar untuk spesies vertebrata dan tumbuhan tertentu, hingga ribuan kilometer persegi untuk satwa pemangsa dengan wilayah jelajah luas untuk memastikan keberlangsungan hidup jangka panjang spesies tersebut (Bryant et al., 1997).

Penelitian mengenai berbagai kawasan inti masih terbatas, namun terdapat beberapa penelitian tentang luas total patch hutan. Salah satu penelitian menjumpai bahwa di fragmen hutan Amazon berukuran lebih kecil dari 25 ha (termasuk area tepi) maka kemungkinan besar hanya ada sedikit spesies yang bertahan hidup.6 Bierregaard dan Dale (2006) menyarankan bahwa di Amazon, “ukuran patch hutan minimal mutlak yang dapat dianggap layak untuk spesies dalam persentase besar … adalah 100 ha”. Suatu meta-analisis dari 53 penelitian tentang laju kepunahan spesies dalam fragmen hutan menemukan bahwa patch hutan berukuran hingga 60 ha memiliki laju kepunahan tinggi (Wearn et al., 2013). Selain itu, suatu kompilasi berbagai kelompok spesies menunjukkan bahwa dibutuhkan patch hutan dengan luas minimal rata-rata 10 ha untuk melindungi spesies (Bentrup, 2008).

Karena kurangnya bukti konklusif mengenai ukuran patch hutan minimal dan beragamnya tipe hutan di mana Pendekatan SKT akan digunakan, maka diambil pendekatan kehati-hatian dalam mendefinisikan luas minimal area inti hutan. Walaupun patch hutan apapun yang memiliki kawasan ‘inti’ dianggap memiliki nilai, kawasan inti dengan luas minimal 10 ha (bagian dari patch berbentuk membulat seluas 25 ha termasuk tepi) dipilih sebagai prioritas sedang dan tinggi untuk konservasi karena merupakan kisaran di tengah dan juga sebagai nilai yang dipilih dengan kehati-hatian yang masuk akal untuk berbagai spesies berbeda, dan merupakan luas yang didukung oleh penelitian. Angka ini menunjukkan bahwa patch hutan dengan kawasan inti kurang dari 10 ha dianggap sebagai Prioritas Rendah, namun tetap mengingat bahwa bahkan fragmen kecil dan terdegradasi sekalipun bisa mengandung nilai keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, khususnya pada lanskap dengan tutupan hutan yang rendah, dan dapat mendukung dan meningkatkan habitat spesies di kawasan cagar yang lebih luas (Fitzherbert et al., 2008). Ambang batas untuk patch hutan Prioritas Tinggi didefinisikan sebagai patch dengan luas kawasan inti lebih dari 100 ha, dan patch dengan kawasan inti antara 10 dan 100 ha termasuk dalam Prioritas Menengah.

“Ukuran habitat minimal bisa sekecil satu hektar untuk spesies vertebrata dan tumbuhan tertentu, hingga ribuan kilometer persegi untuk satwa pemangsa dengan wilayah jelajah luas untuk memastikan keberlangsungan hidup jangka panjang spesies tersebut”

6. Berdasarkan kepunahan 46 spesies vertebrata, Peres et al. (2001)

Atas: Foto hak cipta G. Rosoman, Greenpeace © Bawah: Corozal Sustainable Future Initiative, Belize ©

Version 1.0, August 2015

BAB 5 KONSERVASI PATCH HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI: LATAR BELAKANG DAN PRINSIP

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 77: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

75

KonektivitasUntuk menilai konektivitas patch hutan SKT, digunakan proksimitas atau jarak 200 m antar patch (untuk penyangga positif sebesar 100 m sekeliling patch hutan), berdasarkan penelitian di Amazon yang menunjukkan laju dispersal mulai menurun tajam jika jarak antar patch mencapai lebih dari 200 m dari tepi hutan (Laurance, et al. 2006). Maka dari itu, jika jarak antar patch hutan adalah kurang dari 200 m (diukur dari tepi ke tepi), diasumsikan bahwa letak patch cukup dekat untuk dianggap saling terhubung. Jika konfigurasinya kondusif, maka patch tersebut dianggap sebagai sekumpulan patch yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan menuju patch yang lebih besar. Sebagai contoh, satwa dapat bergerak melalui suatu perkebunan jika mereka bisa melihat adanya patch hutan alami sejauh 200 m. Batas yang digunakan untuk menentukan konektivitas patch ke area NKT, seperti sempadan sungai atau kawasan lindung, juga sejauh 200 m.

Mendefinisikan Lanskap Tutupan Hutan yang Tinggi dan RendahTingkat tutupan hutan bervariasi luas pada berbagai lansekap di mana Pendekatan SKT akan diterapkan. Penting untuk mempertimbangkan tutupan hutan pada tingkat lanskap karena akan berdampak pada tingkat pentingnya fragmen-fragmen hutan berukuran kecil. Penelitian mengenai dampak deforestasi pada tingkat lanskap di Amazon menunjukkan bahwa apabila sekitar 20% tutupan hutan telah dihilangkan, atau hanya kurang dari 80% tutupan hutan yang tersisa, maka ukuran patch hutan rata-rata menurun drastis dan patch hutan menjadi semakin terisolasi (Oliveira de Filho dan Metzger, 2006). Saat luas habitat total menurun di bawah 30%, maka dampak fragmentasi habitat (ukuran dan isolasi patch hutan) mulai menjadi lebih besar dibandingkan pengaruh langsung dari hilangnya habitat (Andren, 1994). Dengan kata lain, 70% habitat telah hilang, namun sebenarnya kehilangan yang terjadi jauh lebih besar karena hutan yang tersisa memiliki kualitas yang jauh lebih rendah karena dampak eksponensial dari fragmentasi hutan.

Berdasarkan tinjauan awal dari penelitian yang mendefinisikan skala lanskap, diusulkan agar penggunaan pendekatan luas atau radius dapat diterima. Untuk penetapan kategori tutupan hutan diusulkan bahwa tutupan hutan lebih dari 80% dalam suatu lanskap akan dianggap sebagai tutupan hutan yang tinggi dan kurang dari 30% dianggap sebagai tutupan hutan yang rendah.

Dokumen ini mendefinisikan lanskap berdasarkan definisi IUCN7 sebagai “suatu mosaik geografis terdiri dari ekosistem yang saling berinteraksi sebagai pengaruh dari interaksi geologis, topografis, tanah, iklim, biotik dan manusia pada suatu wilayah tertentu.”Definisi ‘lanskap’ yang telah dipublikasi beragam dari kurang dari satu ha sampai lebih dari 200.000 ha (Ahmed, 2009). Namun, secara umum lanskap dianggap sebagai suatu satuan lahan dengan skala yang lebih besar8. Salah satu opsi untuk menentukan ukuran lanskap adalah dengan cara mengambil satu bentang lahan yang mencakup konsesi perkebunan dan penyangga sekelilingnya, misalnya seluas 50.000 sampai 100.000 ha. Alternatif lain pendefinisian lanskap adalah dengan menggunakan suatu cara sederhana dan praktis berdasarkan radius dari batas area kajian (misalnya, suatu konsesi yang akan dikembangkan) berdasarkan jarak maksimal penyebaran kunci. Sebagai contoh, ditemukan bahwa spesies burung hutan di Amazon jarang tersebar melebihi jarak sekitar lima kilometer(Van Houtan et al., 2007).

“Penting untuk mempertimbangkan tutupan hutan pada tingkat lanskap karena akan berdampak pada tingkat pentingnya fragmen-fragmen hutan berukuran kecil”

7. http://cmsdata.iucn.org/downloads/en_iucn__glossary_definitions.pdf 8. Contoh: TELSA: Alat perencanaan strategis untuk pengelolaan ekosistem menggunakan 10.000 sampai

200.000 ha. Tersedia di: http://proceedings.esri.com/library/userconf/proc00/professional/papers/PAP329/p329.htm

Atas: Hak cipta G. Rosoman, Greenpeace ©

Pertimbangan lainSejumlah faktor fisik patch hutan lainnya sebagaimana digarisbawahi dalam Noss (1999) juga dipertimbangkan, antara lain indeks kerapatan patch hutan, panjang tepi patch hutan, dan bentuk patch, tetapi agar efisien dan praktis maka dua faktor kritis patch hutan dipilih, yaitu ukuran areal inti dan konektivitas. Faktor kualitatif lainnya juga dipertimbangkan, diantaranya kualitas habitat, tingkat keanekaragaman termasuk keberadaan spesies langka dan terancam, keterwakilan dan kealamian (Ross dan Cooperrider, 1994).Namun karena banyak faktor tersebut sudah dipertimbangkan dalam kajian NKT, dan karena tingginya biaya pengkajian hanya untuk beberapa faktor yang nilai tambahnya masih dipertanyakan, pendekatan ini hanya dilakukan untuk mengkaji kualitas patch hutan hanya untuk proses penentuan tahap akhir bagi beberapa patch prioritas rendah/menengah dan berisiko tinggi sebelum patch-patch tersebut masuk daftar pendek untuk dikonversi menjadi perkebunan. Decision tree membutuhkan Kajian Keanekaragaman Hayati Secara Cepat (Rapid Biodiversity Assessment - RBA) di patch tersebut, yang memungkinkan dilakukannya pengecekan awal keanekaragaman hayati serta pertimbangan atas kualitas dan keterwakilan habitat. Tahap dan metodologi RBA dijelaskan dalam bab berikutnya.

Version 1.0, August 2015

BAB 5 KONSERVASI PATCH HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI: LATAR BELAKANG DAN PRINSIP

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 78: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

76

Versi 1.0, Agustus 2015

BAB 5 KONSERVASI PATCH HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI: LATAR BELAKANG DAN PRINSIP

Kesimpulan

“Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengkonfirmasi asumsi bahwa patch dengan ukuran areal inti yang lebih besar merupakan perwakilan untuk nilai keaneragaman hayati yang lebih tinggi”

Meskipun penjelasan dalam bab ini masih bersifat umum untuk dapat diterapkan di berbagai tipe hutan tropis basah, namun pertimbangan tersebut menyampaikan basis ilmu konservasi dasar untuk menganalisis patch hutan yang dihasilkan pada Fase Satu dari Kajian SKT untuk mengusulkan rencana konservasi dan penggunaan lahan. Pertimbangan ilmu konservasi ini telah diintegrasikan dalam suatu Pohon Keputusan untuk menentukan kebutuhan melindungi setiap satuan patch hutan. Ini merupakan fase kedua dalam Pendekatan SKT, yang dijelaskan dalam bab berikutnya.

Setelah itu, perlu dicatat bahwa banyak generalisasi dan perkiraan yang dilakukan untuk menyusun suatu alat praktis untuk mengidentifikasi patch hutan yang layak dan dapat segera diterapkan di areal konsesi di seluruh wilayah tropis dunia. Sains yang mendasari sebagian besar parameter dan ambang batas ini masih kurang kuat dan membutuhkan tes dan uji coba untuk memastikan bahwa yang digunakan untuk mencapai tujuan adalah pendekatan terbaik. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengkonfirmasi asumsi bahwa patch dengan ukuran areal inti yang lebih besar merupakan perwakilan untuk nilai keaneragaman hayati yang lebih tinggi. Selain itu, elemen-elemen lainnya mungkin masih perlu ditambahkan. Komite Penasihat Ilmiah dari Komite Pengarah Pendekatan SKT akan memberi masukan mengenai penyempurnaan parameter dan ambang batas tersebut untuk tipe ekosistem hutan yang ingin diketahui, dan Komite Pengarah sangat terbuka untuk menerima masukan dan input dari para pakar ilmu konservasi untuk memperbarui metodologi ini.

Semua foto hak cipta Corozal Sustainable Future Initiative, Belize ©

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 79: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

77 TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Decision Tree Analisis Patch Hutan SKT

Bab 6

Oleh Grant Rosoman dari Greenpeace dan Rob McWilliam dari TFT

Penulis memberikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Geoff Roberts (dulunya) dari TFT serta Williem Cahyadi dan Tara Rukmantara dari PT SMART atas pengembangan Decision tree selama tiga tahun terakhir serta kepada Robert Ewers dari Imperial College London, Matt Struebig dari Universitas Kent, Neville Kemp dari Ekologika dan Annette Olson dari Conservation International atas umpan baliknya yang sangat membantu mengenai Decision tree versi sebelumnya dan bagian-bagian dalam bab ini.

DAFTAR ISI BAB

P78: Pendahuluan

P80: Pohon Keputusan Analisis Kantong SKT

P88: Konservasi hutan SKT

P89: Lampiran: Metodologi Pengecekan Pra-RBA

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

Page 80: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

78

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

Pendahuluan

Fase Satu dari Pendekatan SKT ini menggunakan citra satelit dan plot lapangan untuk mengembangkan peta kawasan hutan SKT potensial pada konsesi tertentu. Pada sebagian besar lanskap, hutan SKT terdapat dalam bentuk patch hutan dengan berbagai ukuran dan jarak, yang bercampur di antara perkebunan dan pemanfaatan lahan lain. Pendekatan SKT menggunakan Decision tree Analisis Patch Hutan SKT untuk menentukan pentingnya setiap patch dan apakah patch tersebut perlu dimasukkan ke dalam rencana konservasi berdasarkan ukuran, bentuk, dan konektivitasnya dengan patch yang lain, sempadan sungai, lahan gambut, atau kawasan ber-Nilai Konservasi Tinggi (kawasan NKT). Decision tree juga memberikan sedikit kelonggaran untuk tingkat tutupan hutan pada lanskap.

Bab ini membawa pembaca untuk memahami Decision tree yang merupakan fase kedua dan terakhir dari Pendekatan SKT terhadap rencana pemanfaatan lahan pada lanskap tropis yang diusulkan untuk pengembangan agrikultur.

Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam Decision tree

Bab sebelumnya memberikan gambaran umum tentang beberapa literatur ilmu konservasi mengenai fragmentasi hutan. Penerapan gambaran tersebut ke dalam pendekatan perencanaan terintegrasi untuk melindungi kawasan NKT, lahan gambut, dan kawasan yang penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menghasilkan prinsip-prinsip berikut ini yang digunakan untuk menganalisis nilai setiap patch hutan SKT:

1. Pastikan bahwa kawasan yang merupakan bagian dari siklus produksi pangan subsisten aktif untuk memenuhi kebutuhan keamanan pangan masyarakat adat lokal dipisahkan sebagai enclave dari area yang dipertimbangkan sebagai hutan SKT (atau untuk pengembangan perkebunan).

2. Prioritaskan patch hutan yang luas.

3. Prioritaskan konservasi kawasan hutan primer dan hutan sekunder tua.

4. Prioritaskan bentuk patch hutan yang memaksimalkan ‘kawasan inti’ dan oleh karenanya meminimalkan kawasan hutan yang terdegradasi di bagian tepi.

5. Maksimalkan konektivitas antar patch untuk menciptakan koridor, keterhubungan dan batu loncatan pada lanskap.

6. Prioritaskan patch yang berada jauh dari ancaman dan faktor risiko yang dapat menyebabkan degradasi.

7. Pastikan bahwa konservasi hutan SKT terintegrasi dengan perlindungan kawasan NKT, kawasan lahan gambut dan perlindungan sempadan sungai, serta mempertimbangkan matriks lanskap dalam proses finalisasi rencana konservasi.

8. Pastikan bahwa kawasan hutan SKT untuk konservasi memiliki FPIC dari masyarakat hukum adat dan masyarakat tersebut merupakan partisipan aktif dan mitra pengelola kegiatan konservasi hutan SKT.

9. Pastikan bahwa rencana konservasi hutan SKT mempertimbangkan desain praktis dan isu manajemen untuk pengembangan perkebunan, termasuk di dalamnya akses dan ukuran minimal serta bentuk blok untuk ditanami.

Definisi lanskap tutupan hutan tinggi, menengah, dan rendah

Lanskap tutupan hutan tinggi didefinisikan sebagai suatu lanskap yang memiliki tutupan hutan alami melebihi 80%. Lanskap tutupan hutan menengah didefinisikan sebagai suatu lanskap yang memiliki tutupan hutan alami antara 30 hingga 80%. Lanskap tutupan hutan rendah memiliki tutupan hutan alami kurang dari 30%.

TAHAP-TAHAP DALAM PROSES SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 81: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

79

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

“Kebun dan lahan pertanian untuk masa depan yang merupakan kawasan fundamental terhadap pemenuhan kebutuhan pangan pokok... akan ditetapkan sebagai enclave dan dikeluarkan dari analisis SKT”

1. Untuk sementara, kawasan ini harus berada dalam kisaran minimum 0,5 hingga 4 ha per orang yang berada di dalam masyarakat tergantung pada konteks lokal.

Pada lanskap tutupan hutan menengah, beberapa asumsi tambahan berikut ini dapat dibuat:

10. Fokus pada patch hutan yang lebih besar (artinya patch berukuran kecil biasanya kurang penting pada kawasan yang memiliki tutupan hutan relatif tinggi).

11. Semakin tidak terfragmentasi suatu lanskap, maka setiap patch hutan juga semakin tidak penting, dan fokus semakin bergeser ke arah konservasi hutan di tingkat lanskap.

Prinsip-prinsip ini dari awal telah diintegrasikan ke dalam Decision tree yang disajikan dalam bab ini. Prinsip-prinsip tersebut juga memberikan konteks yang penting untuk membentuk rencana final mengenai pemanfaatan lahan untuk tujuan konservasi dan pengelolaan di dalam konsesi.

Mengintegrasikan informasi di luar SKT ke dalam Decision tree

Sebagaimana telah disebutkan di bagian awal toolkit, Pendekatan SKT tidak hanya mengintegrasikan hutan SKT tetapi juga sejumlah kawasan lain untuk konservasi, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap kawasan NKT, lahan gambut, dan kawasan yang penting bagi kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat. Sebelum analisis Decision tree dapat diselesaikan, layer peta yang harus dibuat mencakup hal-hal berikut ini.

• Setiap kawasan NKT, antara lain sempadan sungai di dalam konsesi dan kawasan yang bersebelahan pada lanskap yang lebih luas, sebagai contohnya kawasan lindung. Setidaknya gambaran umum kawasan NKT dalam jarak 200 meter dari batas konsesi dibutuhkan dalam penggunaan Decision tree karena jarak tersebut merupakan jarak standar yang digunakan untuk mengkaji konektivitas patch hutan SKT terhadap kawasan konservasi di sekitarnya. Isi dari analisis NKT, yaitu Nilai Konservasi Tinggi yang telah teridentifikasi yaitu NKT 1-4, akan menjadi penting pada tahap-tahap tertentu dalam Decision tree.

• Peta lahan gambut. Karena peta tanah gambut yang ada masih belum sempurna, jika tanah gambut diketahui terdapat pada wilayah kajian, maka pihak pengelola konsesi harus juga mempunyai prosedur identifikasi terperinci mengenai gambut pada berbagai kedalaman serta prosedur untuk mengubah hasil identifikasi menjadi data spasial (berupa peta). Walaupun dalam praktiknya beberapa kawasan hutan lahan gambut kemungkinan teridentifikasi sebagai hutan SKT, metodologi yang ada saat ini tidak terkalibrasi untuk tipe vegetasi lahan gambut. Decision tree sebagaimana telah dirumuskan ini tidak dapat digunakan untuk menganalisis kawasan lahan gambut (serangkaian atribut yang berbeda, termasuk hidrologi, perlu untuk dipertimbangkan). Akan tetapi, peta lahan gambut tetap merupakan informasi yang berguna untuk mengidentifikasi kawasan lahan gambut berhutan yang mungkin merupakan kawasan berpotensi dilestarikan dan yang mungkin merupakan prioritas tinggi untuk dilindungi. Informasi ini dapat diintegrasikan ke dalam Tahap 12 yang merupakan tahap perencanaan konservasi.

• Peta batas dan pemanfaatan lahan adat oleh masyarakat lokal, yang dibuat melalui kegiatan partisipatif sebagaimana dijelaskan pada Bab 2 toolkit ini. Secara khusus, kebun dan lahan pertanian untuk masa depan yang merupakan kawasan fundamental terhadap pemenuhan kebutuhan pangan pokok1 dilengkapi dan dicatat pada peta, termasuk di dalamnya lahan milik bersama dan kawasan yang diklaim dan dimanfaatkan secara

perorangan. Jika kawasan tersebut berada di dalam konsesi, maka kawasan tersebut akan ditetapkan sebagai enclave dan dikeluarkan dari analisis SKT dan pengembangan perkebunan.

• Peta kawasan lain yang perlu dilindungi secara hukum.

Semua kawasan tersebut akan ditetapkan sebagai enclave dan dikeluarkan dari analisis SKT dan pengembangan perkebunan, tetapi peta kawasan tersebut masih perlu di-overlay dengan dalam peta patch SKT untuk keperluan penggunaan Decision tree. Jika proses analisis dan pemetaan tersebut belum dilaksanakan atau ternyata diketahui pada kunjungan lapangan bahwa pemetaan partisipatif atau kajian NKT yang telah dilakukan memiliki kualitas yang tidak memadai, maka proses Decision tree tidak akan dapat difinalisasi sebelum proses-proses lainnya diselesaikan. Penyelesaian rencana pemanfaatan lahan terintegrasi dalam Decision tree memerlukan tersedianya semua layer informasi penting. Sebagai contoh, penting untuk memastikan bahwa kawasan kebun masyarakat tidak diklasifikasikan sebagai hutan SKT, atau bahwa perencanaan konservasi mengoptimalkan bentuk dan konektivitas kawasan konservasi.

Kawasan lahan masyarakat yang teridentifikasi memiliki hutan SKT akan diusulkan untuk dikonservasi sebagai bagian dari rencana konservasi terpadu konsesi. Kawasan-kawasan tersebut memerlukan negosiasi FPIC dan dukungan serta partisipasi dari masyarakat untuk mencapai tujuan konservasi (serupa dengan kawasan NKT). Maka dari itu, masyarakat lokal pemegang hak adat memiliki hak untuk menolak berubahnya tanah hutan mereka menjadi kawasan konservasi. Akan tetapi, kawasan hutan tetap dimasukkan ke dalam kategori hutan SKT.

Mendokumentasikan tahap-tahap dalam Decision tree

Terakhir, setiap tahap yang jelas dan keputusan yang diambil pada proses ini harus didokumentasikan oleh pemilik konsesi. Hasilnya harus transparan dan dapat ditinjau kembali oleh para ahli dari pihak luar. Komite Pengarah Pendekatan SKT sedang mengembangkan proses pengontrolan kualitas untuk memberikan tinjauan ahli terhadap hasil Decision tree. Proses tersebut akan memastikan bahwa interpretasi dan keputusan yang diambil sesuai dengan proses SKT secara keseluruhan. Rencana final konservasi dan pemanfaatan lahan harus mencerminkan pendekatan perencanaan terintegrasi yang memerlukan konektivitas habitat dan arti penting setiap patch hutan untuk dikaji pada lanskap yang lebih luas.

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 82: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

80

Decision tree Analisis Patch SKT

GAMBAR 1: CONTOH KONSESI PERKEBUNAN (BATAS JINGGA). PATCH HUTAN SKT DITUNJUKKAN OLEH WARNA HIJAU MUDA, DENGAN AREA INTI BERWARNA LEBIH GELAP

Decision tree secara keseluruhan disajikan pada halaman berikut. Secara umum, Decision tree menunjukkan cara analisis nilai konservasi setiap patch hutan SKT berdasarkan prinsip konservasi yang dijelaskan di atas, mencantumkan setiap patch dalam daftar pendek untuk konservasi (‘indikatif konservasi’ dalam diagram) atau pengembangan (‘indikatif pengembangan’). Beberapa patch dapat mengalami perubahan kategori atau batas pada tahap akhir proses pengambilan keputusan.

Setiap tahap dalam Decision tree akan dijelaskan secara rinci di dalam bab ini. Untuk memberikan ilustrasi mengenai konsep tersebut, maka suatu peta konsesi yang digambarkan secara sederhana (di bawah) telah dibuat dengan 17 patch hutan SKT dalam berbagai ukuran dan bentuk.

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 83: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

81

GAMBAR 2: DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT (RBA = KAJIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI SECARA CEPAT – RAPID BIODIVERSITY ASSESSMENT)

YA

TAHAP

1 1. Pemetaan Partisipatif untuk mengidentifikasi Lahan Kebun

TAHAP

2 2. Gabungkan patch SKT yang terhubung secara fisik (HRM, HK1, HK2, HK3)

TAHAP

6

TAHAP

7

LANSKAP HUTAN MENENGAH DAN

TINGGI (>30% TUTUPAN HUTAN)

7a. Risiko Rendah 7b. Risiko Tinggi

7. Kajian Risiko

TAHAP

44b. Patch menyediakan fungsi konektivitas

antar patch PRIORITAS TINGGIYA

TAHAP

5 5. Patch terhubung dengan patch PRIORITAS TINGGI

TAHAP

11

PETA KONSERVASI YANG DIUSULKAN

11. Pemeriksaan Lapangan

TAHAP

12

TAHAP

9 TINDAKAN MITIGASI RISIKO DIPERLUKAN

TINDAKAN MITIGASI RISIKO DIPERLUKAN

TAHAP

8

LANSKAP HUTAN RENDAH (<30%

TUTUPAN HUTAN)

8a. Patch >10 ha merupakan HK1, HK2 atau HK3

TAHAP

10

TAHAP

33b. Kawasan Inti Patch < 100 ha

(PRIORITAS MENENGAH DAN RENDAH)Kawasan Inti Patch > 100 ha

(PRIORITAS TINGGI)

PATCH PRIORITAS RENDAH(kawasan inti <10 ha)

PATCH PRIORITAS MENENGAH(kawasan inti <100 ha, tetapi >10 ha)

TINDAKAN MITIGASI DIPERLUKANYA

INDIKATIF KONSERVASI

9a. TIDAK layak secara operasional

9. Pengecekan Pra-RBA

9b. Layak secara operasional

10. RBA

10b. Patch hutan TIDAK signifikan untuk keanekaragaman hayati

10a. Patch hutan signifikan untuk keanekaragaman hayati

INDIKATIF PENGEMBANGAN

11. Pemeriksaan Lapangan

KAWASAN PENGEMBANGAN YANG DIUSULKAN, TERMASUK DI DALAMNYA

BEBERAPA PATCH PRIORITAS MENENGAH DAN TINGGI

12. Penyesuaian Batas; integrasi dengan NKT, lahan gambut, sempadan sungai; dan pemetaan dan

perencanaan konservasi final dengan kawasan hutan SKT

Pemeriksaan lapangan akhir ini dilakukan untuk mengonfirmasi kelayakan indikatif konservasi/

pengembangan. Perubahan yang dihasilkan hanya boleh berupa keadaan-keadaan luar biasa

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 84: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

82

TAHAP 1 Identifikasi kawasan yang digunakan secara adat, tetapkan lahan kebun masyarakat sebagai enclave dan overlay kawasan NKT, lahan gambut dan kawasan lain yang berkaitan

Peta konsesi yang berisi kawasan hutan SKT harus mengandung data lain yang mendelineasi secara spasial menjadi kawasan enclave (seperti contohnya kawasan kebun masyarakat yang dikelola untuk subsistensi masyarakat) atau kawasan terlindungi, termasuk di dalamnya kawasan terlindungi milik masyarakat, kawasan NKT (dipisahkan berdasarkan NKT 1-3, NKT 4 dan NKT 5-6), lahan gambut dan kawasan yang tidak dapat dibangun karena peraturan pemerintah atau komitmen perusahaan. Lahan kebun/sawah dan kawasan yang digunakan secara ekonomis (seperti misalnya perkebunan karet atau kakao) tidak dipertimbangkan sebagai hutan SKT potensial dan karena itu tidak ditindaklanjuti menggunakan Decision tree. Kawasan-kawasan lain hanya dimasukkan sebatas untuk informasi, untuk menunjukkan mosaik keseluruhan kawasan yang sudah/dapat dilindungi berkaitan dengan setiap kawasan hutan SKT potensial. Tahap 12 akan secara penuh mengintegrasikan patch SKT dengan kawasan NKT dan kawasan lain yang akan dikonservasi.

Terdapat pertimbangan yang dibuat di luar konsesi. Bila ada kawasan hutan SKT yang luas dari citra satelit dan ada kawasan NKT yang diketahui, seperti misalnya kawasan dilindungi, yang teridentifikasi di dalam jarak 200 meter dari batas konsesi juga dipertimbangkan di dalam proses Decision tree.

Hal ini memungkinkan pengguna untuk mengkaji ukuran patch hutan dengan baik dan mempertimbangkan peluang konektivitas tingkat lanskap ketika mengkaji setiap patch. Pada konsesi contoh, Kawasan Lindung yang ada merupakan kawasan NKT yang berbatasan dengan konsesi dan perlu untuk dipertimbangkan di dalam proses Decision tree.

TAHAP 2 Ekstrak semua kelas hutan SKT dan gabungkan patch yang terkoneksi secara fisik

Kawasan Hutan Kerapatan Tinggi (HK3) hingga kawasan Hutan Regenerasi Muda (HRM) yang teridentifikasi pada Fase Satu diekstraksi dari kelas-kelas non- KT untuk membentuk satu lapisan SKT yang dalam waktu bersamaan mempertahankan perbedaan mengenai tipe kelas (HK3, HK2, HK1 atau HRM) untuk kemudian dipertimbangkan pada Decision tree. Jika patch SKT tersambung secara fisik satu sama lain, maka patch tersebut digabungkan untuk membentuk satu patch.

Decision tree Analisis Patch SKT

Semua foto: Sumber G. Rosoman, Greenpeace ©

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 85: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

83

TAHAP 4 Hubungkan Patch Prioritas Tinggi

Konektivitas merupakan hal yang penting untuk memfasilitasi penyebaran fauna dan flora antar patch serta keberlangsungan hutan jangka menengah dan jangka panjang. Tahap pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi patch Prioritas Rendah dan Menengah yang menciptakan konektivitas antar Patch Prioritas Tinggi.

Konektivitas didefinisikan sebagai dua tepi patch hutan yang berjarak kurang dari 200 meter ketika diukur dari tepi yang satu terhadap tepi lainnya. Patch Prioritas Menengah dan Rendah ditandai untuk konservasi. Konektivitas bisa berupa berbagai patch antar patch Prioritas Tinggi. Alat ‘agregat’ GIS dapat digunakan untuk membuat pengidentifikasian konektivitas.

Patch 17, 14, 13, dan 12 pada konsesi contoh merupakan Prioritas Rendah tetapi sekaligus berfungsi sebagai konektivitas antara patch Prioritas Tinggi 11 dan 1. Hal ini berarti patch-patch tersebut ditetapkan untuk konservasi. Patch 15 dan 16 merupakan Prioritas Rendah dan tidak menjadi peran sebagai konektivitas sehingga tetap tidak dimasukkan ke dalam klasifikasi untuk sementara.

Gambar berikut ini menunjukkan peta konsesi sampel dengan patch yang teridentifikasi sebagai Prioritas Tinggi, Menengah, atau Rendah berdasarkan ukuran kawasan intinya. Patch Prioritas Tinggi dan patch tambahan yang diprioritaskan pada Tahap 4 telah ditandai untuk dikonservasi.

GAMBAR 3: CONTOH KONSESI PERKEBUNAN DARI GAMBAR 2 DENGAN PRIORITAS-PRIORITAS SKT DITANDAI PADA PATCH (SETELAH TAHAP 4)

TAHAP 3 Identifikasi inti patch hutan dan prioritisasi patch

Pada tahap ini setiap patch SKT dapat dikaji menurut prinsip-prinsip ilmu konservasi yang dijelaskan pada Bab 5 toolkit ini. Pertama, patch hutan SKT dikaji atas kawasan intinya dengan menggunakan kawasan penyangga internal (negatif) 100 meter. Penyangga tersebut merupakan filter utama untuk menyeleksi patch konservasi. Patch dengan kawasan inti yang lebih besar akan lebih layak dalam jangka waktu lama karena patch tersebut memiliki efek tepi yang lebih sedikit. Semakin besar kawasan inti patch hutan, maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk dapat memelihara atau memulihkan kembali fungsi ekologisnya sebagai hutan, termasuk di dalamnya mengkonservasi nilai karbon dan keanekaragaman hayatinya. Maka dari itu, patch diprioritaskan berdasarkan:

3a. Patch yang memiliki kawasan inti lebih dari 100 ha hutan SKT dianggap sebagai Prioritas Tinggi (PT) dan akan ditandai untuk konservasi. Patch hutan SKT yang melampaui batas konsesi dikaji ukuran keseluruhannya terlepas dari batas konsesi dan juga dianggap sebagai patch Prioritas Tinggi jika luas kawasan intinya lebih dari 100 ha dan paling tidak 10 ha kawasan inti patch tersebut berada di dalam wilayah konsesi.

3b. Patch yang memiliki kawasan inti 10-100 ha hutan SKT dianggap sebagai Prioritas Menengah (PM) dan patch yang memiliki inti kurang dari 10 ha hutan SKT dianggap sebagai Prioritas Rendah (PR). Kedua jenis patch tersebut akan dikaji lebih lanjut mengenai konektivitas antar patch Prioritas Tinggi (Tahap 4) dan jarak terhadap patch berukuran besar (Tahap 5).

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 86: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

84

“Pada lansekap tutupan hutan rendah, patch-patch kecil memiliki arti penting yang lebih tinggi bagi konservasi karbon dan keanekaragaman hayati”

TAHAP 5 Hubungkan Patch Prioritas Menengah dan Rendah dengan Patch Prioritas Tinggi

Pada tahap ini, hal-hal yang ditandai untuk konservasi adalah patch Prioritas Menengah dan Rendah yang tidak menyediakan fungsi konektivitas antar patch Prioritas Tinggi tetapi terhubung dengan patch Prioritas Tinggi (yaitu berada dalam jarak 200 meter yang diukur dari satu tepi patch ke tepi patch lain) dan setiap kawasan hutan SKT atau NKT besar yang bersebelahan dengan konsesi. Pada konsesi contoh, patch dua dan enam masuk ke dalam kategori ini.

Patch Prioritas Menengah yang tidak tersambung secara langsung dengan patch Prioritas Tinggi, contohnya patch tiga dan tujuh pada konsesi contoh, ditinjau ulang pada Tahap 8 (kajian risiko). Patch Prioritas rendah yang tidak memiliki konektivitas langsung dengan patch Prioritas Tinggi, contohnya patch empat, lima, delapan, sembilan, dan sepuluh pada konsesi sampel dimasukkan dalam daftar pendek untuk pengembangan dan ditinjau ulang pada Tahap 14 (Perencanaan Integrasi dan Konservasi).

Diagram di bawah ini menunjukkan konsesi contoh pada akhir Tahap Lima dengan sebagian besar patch telah terklasifikasi.

Decision tree Analisis Patch SKT

GAMBAR 4: HASIL DECISION TREE PADA KONSESI SAMPEL SETELAH TAHAP LIMA

TAHAP 6 Pisahkan Patch Prioritas Menengah dan Rendah

Semua patch Prioritas Menengah (yaitu patch dengan kawasan inti 10-100 ha) yang belum ditunjuk untuk konservasi harus melalui proses kajian risiko (Tahap 7).

Patch Prioritas Rendah lainnya dikaji dalam konteks lanskap:

• Pada lanskap tutupan hutan tinggi, patch Prioritas Rendah tidak dianalisis lebih lanjut dan tidak dimasukkan daftar pendek untuk konservasi, akan tetapi patch tersebut dimasukkan ke dalam kelas ‘indikatif pengembangan’ dan tetap dipertimbangkanan pada fase penyesuaian batas dan perencanaan pemanfaatan lahan final.

• Pada lanskap tutupan hutan rendah, patch kecil memiliki arti penting yang lebih tinggi bagi konservasi karbon dan keanekaragaman hayati. Dalam hal ini, patch prioritas rendah kemudian dikaji dengan pra-RBA (Tahap 9).

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 87: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

85

TAHAP 7 Kajian risiko

Tahap ini berisi kajian risiko patch Prioritas Menengah yang belum teridentifikasi untuk konservasi. Kajian risiko ini berdasarkan jarak kawasan hutan dengan jalan umum, pemukiman penduduk, aliran air yang digunakan untuk navigasi/transportasi, dan kegiatan antropogenik lainnya seperti pertambangan, penebangan, atau perkebunan. Serangkaian penyangga sejauh dua kilometer dari pemukiman penduduk dan satu kilometer dari faktor risiko lainnya diletakkan di dalam peta menggunakan perangkat lunak GIS untuk mengkaji tingkat indikatif ancaman potensial yang muncul dari kegiatan manusia. Penulis menyadari bahwa risiko-risiko yang ada sebenarnya jauh lebih luas daripada jarak-jarak tersebut, akan tetapi jarak yang dekat tersebut memunculkan ‘risiko tinggi’ dari degradasi atau pembukaan lahan. Klasifikasi risiko tersebut adalah:

7a. Patch Prioritas Menengah di luar zona-zona risiko tinggi tersebut diidentifikasi sebagai kawasan berisiko rendah dan ditandai sebagai ‘indikatif konservasi’.

7b. Patch Prioritas Menengah yang berada di dalam zona-zona risiko tersebut diidentifikasi sebagai kawasan berisiko tinggi dan kemungkinan besar tidak akan dilindungi secara berkelanjutan. Patch tersebut kemudian dikaji lebih lanjut pada Tahap 8 (tinjauan mengenai Hutan Kerapatan Tinggi/Menengah/Rendah).

Jika suatu patch merupakan bagian dari tingkat risiko tinggi sekaligus risiko rendah, maka klasifikasi risikonya ditentukan berdasarkan tingkat risiko yang dominan.

Patch tujuh pada konsesi contoh yang berada pada jarak kurang dari satu kilometer dari desa merupakan contoh patch berisiko tinggi.

TAHAP 8 Tinjauan keberadaan HK1, HK2 atau HK3 pada patch Prioritas Menengah

Tinjauan keberadaan HK1, HK2, atau HK3 dilakukan untuk setiap Prioritas Menengah, yaitu patchberisiko tinggi yang teridentifikasi pada tahap 7b. Jika suatu patch memiliki lebih dari 10 hektar kawasan inti yang berisi HK1, HK2 atau HK3, dengan kata lain bukan HRM tetapi merupakan hutan sekunder dengan kondisi lebih baik, maka patch tersebut ditetapkan berpotensi untuk konservasi dengan menggunakan langkah-langkah mitigasi untuk menangani ancaman terhadap hutan tersebut. Langkah-langkah mitigasi tersebut dapat mencakup pengelolaan bersama dengan masyarakat lokal, mempekerjakan jagawana atau ‘penjaga’ dan mendukung insentif yang memberikan nilai terhadap hutan seperti misalnya pemanenan hasil hutan non-kayu atau pembayaran kompensasi terkait konservasi.

TAHAP 9 Pengecekan Pra Kajian Keanekaragaman Hayati Secara Cepat (pre-Rapid Biodiversity Assessment)

Tahap-tahap yang dijelaskan hingga bagian ini akan telah berhasil mengidentifikasi patch hutan yang perlu untuk dikonservasi dan beberapa yang dapat ditetapkan sebagai kandidat untuk pengembangan. Untuk patch yang masih akan diklasifikasikan, maka suatu RBA perlu untuk dilakukan sebelum menentukan patch tersebut untuk kegiatan pengembangan. Pengecekan singkat (Pra-RBA) dilakukan sebelum RBA keseluruhan untuk secara cepat mendiskualifikasi kawasan-kawasan yang tidak layak untuk pengembangan dan menghindari diperlukannya RBA keseluruhan.

Tujuan Pra-RBA ini adalah untuk mengidentifikasi segala rintangan bagi kegiatan pengembangan dan operasional, seperti misalnya lereng yang curam, serta berbagai karakteristik yang dengan mudah dapat teridentifikasi dan mengindikasikan diperlukannya konservasi terhadap suatu kawasan, seperti contohnya keberadaan sungai atau lahan basah permanen. Metodologi untuk pra-RBA ini tersedia di bagian Lampiran.

Setiap kawasan yang ternyata memiliki rintangan dipindahkan untuk menjadi kawasan konservasi (seperti misalnya kawasan sempadan sungai, rawa, lereng curam) atau kawasan ditetapkan sebagai enclave dari pengembangan (seperti misalnya kawasan tambang emas, kawasan kebun masyarakat, dsb.).

“Tujuan Pra-RBA ini adalah untuk mengidentifikasi segala rintangan bagi kegiatan pengembangan dan operasional, serta karakteristik yang dengan mudah dapat teridentifikasi dan mengindikasikan diperlukannya konservasi terhadap suatu kawasan”

Semua foto: hak cipta TFT©

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 88: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

86

TAHAP 10 Kajian Keanekaragaman Hayati Secara Cepat (RBA)

RBA merupakan tahap terakhir untuk mengkaji patch Prioritas Menengah dan Rendah yang belum dijadikan kandidat untuk konservasi dan namun diindikasikan untuk pengembangan. Tujuan RBA ini adalah untuk memastikan bahwa patch hutan yang ada tidak memiliki populasi atau habitat penting yang tidak teridentifikasi pada kajian NKT tetapi tetap harus dikonservasi.

RBA ini sangat mengandalkan kajian NKT yang telah dilakukan sebelumnya untuk mengetahui spesies dan habitat langka dan terancam yang relevan. Jika kajian NKT belum dilakukan, maka kesimpulan mengenai spesies dan habitat tersebut harus dibuat sebelum atau ketika RBA dilakukan. Hal tersebut dapat terjadi jika pengambilan data lapangan yang dilakukan selama RBA menemukan NKT penting yang tidak ditemukan pada kajian NKT yang dilakukan sebelumnya di mana hal ini dapat menyebabkan dilakukannya pemeriksaan terhadap kajian NKT jika kajian awal tersebut terindikasi tidak dilakukan dengan semestinya.

Tujuan RBA ini adalah untuk menentukan keberadaan unsur-unsur berikut ini pada patch:

1. Spesies yang:

1.1. Termasuk dalam Daftar Merah IUCN sebagai spesies yang Hampir Terancam, Terancam, Genting, atau Kritis;

1.2. termasuk dalam konvensi CITES;

1.3. termasuk dalam daftar nasional atau regional mengenai spesies langka, terancam atau genting; dan

1.4. teridentifikasi di dalam kajian NKT sebagai spesies yang berisiko

2. Habitat yang biasanya memiliki salah satu spesies yang terdaftar pada poin 1 walaupun spesies tersebut tidak teramati selama kajian NKT atau bahkan RBA;

3. Setiap tempat terkonsentrasinya atau habitat dari spesies langka atau spesies yang jarang secara regional atau lokal, atau kawasan representatif yang memiliki konsentrasi atau kombinasi spesies lokal dengan habitatnya; dan

4. Habitat langka yang teridentifikasi pada kajian NKT.

TRBA ini bukan merupakan kajian keanekaragaman hayati secara keseluruhan mengenai semua tumbuhan dan hewan di dalam patch hutan, tetapi lebih merupakan kajian terfokus mengenai ditemukannya spesies dan habitat penting di dalam patch. Kajian ini harus dilakukan oleh ahli keanekaragaman hayati yang memiliki kualifikasi untuk menggunakan teknik pengambilan sampel yang sesuai berdasarkan spesies yang dikaji. Teknik tersebut dapat bervariasi berdasarkan relevansinya terhadap mamalia, burung, flora, reptil atau invertebrata. Walaupun tidak ada metodologi RBA yang ditentukan, The Zoological Society of London telah mengembangkan toolkit yang mencakup panduan melaksanakan RBA pada lanskap kelapa sawit yang relevan untuk berbagai kajian SKT.2

Jika RBA tidak mengidentifikasi nilai-nilai di atas, maka patch hutan boleh dikembangkan (Tahap 10b Decision tree pada Gambar Satu). Jika terdapat nilai keanekaragaman hayati tinggi, maka akan dilakukan proses perlindungan NKT jika patch tersebut terkualifikasi sebagai NKT 1-3. Jika bukan merupakan NKT, maka kawasan tersebut akan dilindungi, kecuali jika ada isu viabilitas yang fundamental (seperti misalnya adanya isolasi, kedekatan dengan risiko, ukuran yang kecil, dsb). Proses terakhir tersebut dapat dimasukkan ke dalam proses perencanaan konservasi final setelah adanya masukan dari para ahli yang kompeten, termasuk di dalamnya perwakilan masyarakat lokal.

TAHAP 11 Pemeriksaan lapangan

Bahkan setelah dilakukannya analisis citra satelit, pengambilan sampel di hutan, dan RBA, beberapa kawasan penting masih mungkin untuk terlewatkan, terutama jika pemetaan partisipatif yang dilakukan berkualitas rendah. Maka setelah melakukan tahap-tahap yang telah dijelaskan sebelumnya, perlu dilakukan pengecekan lapang akhir untuk:

1. melakukan pengecekan tambahan di setiap kawasan hutan SKT potensial untuk konservasi dan mengeluarkan kebun buah, perkebunan atau kebun masyarakat yang sebelumnya tidak teridentifikasi dari kawasan SKT;

2. melakukan pengecekan lokasi dan batas setiap kawasan yang dilindungi milik masyarakat dan kemudian menggabungkannya ke dalam rencana konservasi final; dan

3. melakukan pengecekan hambatan pengembangan lainnya terhadap kawasan yang ditandai untuk ‘dikembangkan’ seperti contohnya kegiatan pertambangan atau keadaan lain yang tidak mendukung pengembangan perkebunan, seperti sempadan sungai, kawasan banjir, lereng curam, dan tanah yang tidak sesuai untuk perkebunan, termasuk lahan gambut.

Pengecekan lapang ini dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi pesawat tanpa awak yang terbang rendah atau drone, dan dengan pengecekan langsung ke konsesi.

Decision tree Analisis Patch SKT

2. Imanuddin, S. P., D. Priatna, L. D’Arcy, L. Sadikin dan M. Zrust (2013). ‘A practical toolkit for identifying and monitoring biodiversity in oil palm landscapes’, Zoological Society of London, tersedia di: https://www.hcvnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415/ZSL%20Practical%20Toolkit%20for%20identifying%20and%20monitoring%20biodiversity%20within%20oil%20palm%20landscapes.pdf, lterakhir diakses pada tanggal 14 Desember 2014 Semua foto: hak cipta TFT©

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 89: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

87

TAHAP 12 Integrasi dan perencanaan konservasi: Penyesuaian Batas; integrasi dengan NKT, lahan gambut, dan sempadan sungai; dan pemetaan dan perencanaan konservasi final dengan kawasan hutan SKT

Pada langkah terakhir ini, kawasan konservasi potensial dievaluasi berdasarkan perspektif lanskap. Hal ini dilakukan untuk memastikan konektivitas patch, koridor antar kawasan hutan (termasuk kawasan yang berada di luar konsesi), patch hutan sebagai batu loncatan yang berfungsi sebagai konektivitas, dan koherensi bentuk. Tujuan langkah ini adalah untuk membuat rencana konservasi yang mengintegrasikan semua kategori set-aside (kawasan dilindungi milik masyarakat, NKT, SKT, sempadan sungai, lahan gambut, dll) dan memiliki peluang keberlanjutan ekologis terbesar. Pertimbangan operasional juga ikut diperhatikan seperti misalnya apakah konservasi suatu patch hutan akan membahayakan kegiatan operasional perkebunan secara fundamental melalui pemblokiran titik akses kritis menuju kawasan penting dalam konsesi, atau jika suatu patch memiliki konfigurasi dan bentuk yang menyebabkan tidak mungkin dilakukannya pembangunan blok-blok penanaman. Panduan umum proses ini adalah sebagai berikut.

1. Integrasi dengan NKT, lahan gambut, sempadan sungai: Kawasan hutan SKT yang diusulkan kemudian digabungkan dan diintegrasikan dengan lapisan perlindungan lainnya pada lanskap. Langkah ini dapat dikombinasikan atau dilakukan bersama dengan penyesuaian batas dan keputusan final mengenai konektivitas yang mengikuti pertimbangan matriks lanskap.

2. Penyesuaian Batas: Batas-batas patch dapat dibulatkan untuk menghilangkan bagian-bagian kecil yang tidak reguler atau yang berbentuk seperti ‘jari-jari’ pada belukar tua yang tidak memiliki kawasan inti, yaitu patch dengan lebar kurang dari 200 meter, atau untuk menjembatani celah-celah agar batas perkebunan menjadi lebih praktis dan menghasilkan tepi yang lebih merata untuk konservasi hutan. Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan ‘saling memberi dan menerima’ untuk merasionalkan batas bagi pengelolaan.

3. Patch Prioritas Menengah berisiko tinggi dengan inti terfragmentasi: Kawasan pencilan kecil dari patch (dengan kawasan sub-inti <10 ha) dapat dikeluarkan dari SKT jika kawasan tersebut tidak memberikan fungsi konektivitas atau tidak berfungsi sebagai batu loncatan. Jika tidak, kawasan-kawasan tersebut dapat diperluas untuk mendukung keberadaan patch tersebut dengan menggunakan pendekatan yang sama, yaitu pendekatan ‘saling memberi dan menerima’.

4. Temuan RBA: Temuan-temuan tersebut harus dipertimbangkan bersamaan dengan berbagai tingkat ekosistem hutan dilindungi pada lanskap (keterwakilan), dan secara khusus tingkat di mana patch berukuran besar dapat dikonservasi oleh perusahaan bersama dengan masyarakat.

5. Tingkat tutupan hutan pada lanskap: Semakin terfragmentasi dan semakin sedikit jumlah hutan pada lanskap, maka semakin penting keberadaan patch hutan berukuran kecil. Pada lanskap tutupan hutan rendah (tutupan hutan <30%), patch hutan berukuran kecil semakin dipertimbangkan dalam Decision tree, dan pada tahap akhir perencanaan konservasi ini patch kecil tambahan (bukan prioritas) dapat juga dilindungi untuk memberikan tutupan hutan alami dan meningkatkan konektivitas. Pada lanskap dengan tutupan hutan tinggi (lebih dari 80%), fokus perencanaan akan bergeser ke arah konservasi patch besar yang saling bersinggungan.

6. Konektivitas: Jika memungkinkan, patch harus dikombinasikan dengan sempadan sungai dan letaknya berkaitan dengan patch lainnya juga perlu dipertimbangkan untuk membentuk ketersambungan dan koridor dalam lanskap. Hal ini dapat mencakup patch berupa batu loncatan yang dapat berfungsi sebagai kawasan refugia bagi burung-burung migran yang lemah atau satwa kecil yang melintasi lanskap.

Proposal final rencana konservasi SKT harus diperiksa oleh pakar ilmu konservasi independen serta Komite Pengarah Pendekatan SKT yang sedang mengembangkan prosedur kontrol kualitas untuk memastikan bahwa tahap-tahap yang dijelaskan pada bab ini diikuti dengan semestinya. Banyak sumber-sumber yang dapat membantu mengembangkan rencana konservasi, diantaranya adalah:

• G. Bentrup (2008). “Conservation buffers: design guidelines for buffers, corridors, and greenways.” General Technical Report SRS-109. Asheville, NC: Department of Agriculture, Forest Service, Southern Research Station. Tersedia di: http://www.srs.fs.usda.gov/pubs/33522

• Ministry of Natural Resources and Environment of the Government of Malaysia (2009). “Managing biodiversity in the Landscape: Guidelines for planners, decision-makers and practitioners”. Tersedia di: https://www.hcvnetwork.org/resources/folder.2006-09- 29.6584228415/Guideline_Man_BioD_landscape_090519.pdf

• Zoological Society of London (2011).“A practical handbook for conserving High Conservation Value species and habitats within oil palm landscapes.” Tersedia di: https://www.hcvnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415/ZSL%20Practical%20Handbook%20for%20Conserving%20HCV%20species%20-%20habitats%20within%20oil%20palm%20landscapes_Dec%202011.pdf

“Tujuan langkah ini adalah untuk membuat rencana konservasi yang mengintegrasikan semua kategori set-aside dan memiliki peluang keberlanjutan ekologis terbesar”

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 90: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

88

Konservasi hutan SKT

“Untuk mencapai tujuan konservasi hutan SKT bersama masyarakat, maka manfaat dan insentif perlu untuk diberikan, seperti misalnya melalui kompensasi, insentif atau pembayaran jasa lingkungan”

Setelah Decision tree selesai dan batas kawasan lahan yang akan dikonservasi atau dikembangkan telah dilakukan finalisasi, maka kawasan konservasi yang diusulkan sebagai hasil tahap tersebut harus diintegrasikan dengan peta partisipatif pemanfaatan lahan dari masyarakat. Langkah-langkah penting kemudian harus diambil untuk memastikan keberlangsungan kawasan tersebut dalam jangka panjang. Kawasan konservasi hutan SKT yang tumpang tindih dengan lahan masyarakat akan diutamakan untuk ditetapkan sebagai kawasan konservasi masyarakat kategori IV IUCN. Finalisasi rencana kawasan konservasi perlu untuk dilakukan sebagai proses partisipatif dengan masyarakat pemegang hak adat. Dengan dilakukannya hal tersebut, maka FPIC dari pemegang hak adat dianggap telah dihormati. Jika FPIC tidak diperoleh dan pemilik tanah adat tidak berkehendak lahannya menjadi bagian kawasan konservasi, maka kawasan tersebut tidak ditetapkan sebagai kawasan konservasi walaupun kawasan tersebut masih tetap berstatus sebagai hutan SKT berdasarkan sudut pandang perusahaan.

Semua foto: hak cipta TFT©

Untuk mencapai tujuan konservasi hutan SKT bersama masyarakat, maka manfaat dan insentif perlu untuk diberikan, seperti misalnya melalui kompensasi, insentif atau pembayaran jasa lingkungan. Hal ini juga dapat mencakup negosiasi kesepakatan dan pengaturan pengelolaan bersama dengan pemerintah lokal, provinsi atau nasional untuk memastikan status konservasi kawasan tersebut. Salah satu tantangan ke depan bagi para pemangku kepentingan yang terlibat dalam Pendekatan SKT ini adalah penyediaan panduan mengenai bagaimana cara mengembangkan dan mengintegrasikan rencana konservasi. Tantangan tersebut akan didiskusikan pada kesimpulan akhir toolkit ini.

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 91: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

89

Pendahuluan

Kajian Keanekaragaman Hayati Secara Cepat (RBA) sebagaimana telah dijelaskan pada Tahap 10 Decision tree dirancang sebagai suatu proses kehati-hatian terhadap nilai keanekaragaman hayati penting yang kemungkinan tidak terekam pada suatu patch hutan melalui Kajian NKT atau berdasarkan ambang batas yang digunakan pada Decision tree. Kajian ini membantu memutuskan apakah patch hutan yang lebih kecil harus dikonservasi atau disiapkan untuk kegiatan pengembangan. Karena untuk melakukan RBA secara keseluruhan diperlukan sumber daya dengan tingkat spesialisasi tertentu, maka sebelum melakukan RBA para pengkaji disarankan untuk melakukan pra-RBA secara cepat untuk menentukan apakan ada hambatan lingkungan atau sosial terhadap kegiatan pengembangan di patch hutan yang dikaji. Jika terdapat hambatan seperti itu, maka patch yang bersangkutan akan dicatat untuk dikonservasi dan tidak diperlukan kajian lebih lanjut lagi. Maka dari itu tujuan utama pengecekan Pra-RBA ini adalah untuk memastikan bahwa hanya patch kunci yang melalui proses RBA secara keseluruhan.

Garis besar mengenai bagaimana Pra-RBA dimuat ke dalam proses Decision tree ditunjukkan oleh ilustrasi berikut.

Lampiran: Metodologi Pengecekan Pra-RBA

“Karena untuk melakukan RBA secara keseluruhan diperlukan sumber daya dengan tingkat spesialisasi tertentu, maka sebelum melakukan RBA para pengkaji disarankan untuk melakukan pra-RBA secara cepat”

GAMBA 5: PROSES PENGKAJIAN PRA-RBA

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 92: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

90

Lampiran: Metodologi Pengecekan Pra-RBA

“Atribut yang dipilih untuk dikaji ulang selama Pra-RBA dapat teridentifikasi dengan mudah dan maka dari itu pelaksanaan kajian ini tidak perlu dilakukan oleh ahli”

Melaksanakan Pengecekan Pra-RBA

Pra-RBA ini dilaksanakan oleh staf operasional biasanya yang ditempatkan pada lokasi pengembangan. Atribut yang dipilih untuk dikaji ulang selama Pra-RBA dapat teridentifikasi dengan mudah dan maka dari itu pelaksanaan kajian ini tidak perlu dilakukan oleh ahli.

Pra-RBA ini dilaksanakan dengan cara berjalan melintasi patch hutan di sepanjang aksis jarak terpanjang pada patch hutan untuk meningkatkan peluang mendapatkan variasi terbesar sebagaimana ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Rute jalur lintasan harus ditentukan menggunakan SIG dan harus diunggah ke alat GPS agar dapat diikuti oleh pengkaji.

Mengidentifikasi dan mendokumentasikan atribut-atribut kunci

Selama melintasi jalur pengkaji mengamati dan mendokumentasikan keberadaan atribut kunci yang mencakup:

• Karakteristik lingkungan di dalam kawasan patch hutan, termasuk keberadaan badan air atau lereng;

• Bukti adanya aktivitas masyarakat lokal yang belum lama dilakukan, seperti misalnya pengambilan hasil hutan;

• Keberadaan jalur-jalur akses, seperti misalnya jalan atau jalur setapak yang digunakan sehari-hari;

• Infrastruktur seperti misalnya pemukiman penduduk;

• Pemanfaatan lahan yang lain, misalnya pemanfaatan semi permanen seperti ladang atau kebun; dan

• Isu mengenai aksesibilitas.

Selama melakukan pengamatan para pengkaji harus mengambil foto setiap atribut kunci dan mencatat koordinat GPS setiap pengamatan yang ada pada formulir yang terdapat pada bagian akhir lampiran ini.GAMBAR 6: CONTOH SELEKSI AKSIS PANJANG MELALUI SUATU PATCH HUTAN

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 93: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

91

Menganalisis hasil Pra-RBA

Proses keputusan yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini digunakan untuk memproses temuan-temuan yang didokumentasikan selama Pra-RBA. Atribut yang ditunjukkan pada setiap tahap diurutkan berdasarkan arti pentingnya. Sebagai contoh, jika suatu patch memiliki sungai yang melintasi kawasan tersebut, maka patch tersebut memiliki arti penting tertinggi dan harus dilindungi.

GAMBAR 7: PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN PRA-RBA

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 94: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

92

Lampiran: Metodologi pengecekan Pra-RBA

Formulir Kajian Pengecekan Pra-RBA

Atribut

Keberadaan sungai permanen dengan lebar > 2 m

Keberadaan sungai musiman dengan lebar > 2 m

Keberadaan mata air

Keberadaan rawa atau kawasan yang tergenang air secara permanen

Keberadaan lereng curam yang membatasi pengembangan

Bukti pemanfaatan lahan oleh masyarakat selama 12 bulan terakhir

Keberadaan jalur akses yang digunakan secara teratur

Keberadaan pemanfaatan lahan lain yang mengganggu konservasi atau pengembangan

Aspek lokasi dan aksesibilitas

Pengamatan lain (termasuk satwa liar dan tumbuhan)

Keberadaan(Ya/Tidak)

Lokasi GPSLintang

Bujur

Nomor Foto

Keterangan dan Pengamatan

Sungai permanen adalah sungai yang memiliki aliran terus-menerus di sebagian badan sungainya setidaknya selama enam bulan setiap tahun.

Sungai musiman merupakan sungai yang hanya ada pada jangka waktu pendek setelah terjadi hujan.

Mata air didefinisikan sebagai kondisi alami di mana air mengalir menuju permukaan tanah dari dalam tanah.

Rawa merupakan kawasan yang penuh dengan air secara permanen atau musiman dan dikelilingi oleh hutan.

‘Lereng curam’ memiliki definisi yang beragam berdasarkan jenis tanamannya dan harus ditentukan berdasarkan masukan dari pemilik konsesi. Untuk tanaman kelapa sawit, standar RSPO mengenai lereng curam adalah yang memiliki kemiringan 25 derajat atau lebih.

Contohnya adalah kawasan yang telah digunakan oleh masyarakat sebagai kebun atau pengumpulan bahan untuk mendirikan pemukiman.

Sebagai contohnya adalah jalan dan jalan setapak yang sering digunakan untuk menuju kawasan tersebut atau kawasan lain.

Sebagai contoh jika patch tersebut berada di tengah-tengah kawasan tambang.

Jika patch tersebut tidak dapat dijangkau dan oleh karenanya tidak dapat dikembangkan, maka pengkajian tidak perlu dilakukan. Lebih baik patch tersebut ditetapkan untuk dikonservasi atau biarkan saja sebagai lahan masyarakat jika telah teridentifikasi demikian.

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 6 DECISION TREE ANALISIS PATCH SKT

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 95: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

93

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 7 KESIMPULAN

Bab 7

Kesimpulan

Oleh Charlotte Opal, TFT

DAFTAR ISI BAB

P94: Pengembangan Toolkit SKT di masa depan

P95: Pertanyaan lebih lanjut mengenai Pendekatan SKT

P96: Daftar pustaka

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 96: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

94

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 7 KESIMPULAN

Pengembangan Toolkit SKT di masa depan

Pada tahun 2010, beberapa organisasi berkumpul bersama untuk membangun metode dan pendekatan praktis untuk melindungi hutan alam yang berkelanjutan dengan menentukan batasan antara hutan alam, area yang dibutuhkan sebagai mata pencaharian masyarakat, dengan lahan terdegradasi yang mungkin sesuai untuk pembangunan perkebunan. Hasilnya adalah Pendekatan Stok Karbon Tinggi seperti yang dijelaskan dalam toolkit ini. Toolkit ini telah diuji coba di Indonesia, Papua Nugini dan Liberia dan akan diterapkan oleh lebih banyak perusahaan di negara lain pada luasan jutaan hektar di kawasan tropis pada tahun 2015.

Toolkit ini telah ditulis untuk praktisi GIS, kehutanan dan konservasi berpengalaman agar mampu melakukan kajian SKT secara mandiri dengan panduan terbatas/minimal. Dengan proses pemetaan partisipatif berkualitas tinggi dengan masyarakat lokal, kajian NKT dan peta lahan gambut, suatu tim kecil yang terdiri dari pakar GIS, rimbawan dan keanekaragaman hayati/konservasi seharusnya dapat menggunakan toolkit ini untuk mengawasi implementasi Pendekatan SKT dan menyusun proposal untuk rencana pemanfaatan lahan terintegrasi untuk konsesi perkebunan dalam suatu lanskap hutan. Sebagai dukungan tambahan, pada tahun 2015 anggota Komite Pengarah Pendekatan SKT dengan pengalaman melakukan kajian SKT akan mengadakan pelatihan bagi para praktisi berdasarkan toolkit ini, dan Komite Pengarah akan mengembangkan proses pengontrolan kualitastermasuk pelibatan ulasan pakar independen untuk kajian SKT dan transparansi.

Pada saat proses pengontrolan kualitas dan ulasan dilakukan, perusahaan yang sedang menjalankan kajian SKT harus berupaya melakukan pelaporan umum (publikasi global_ yang transparan atas kajian SKT mereka, termasuk hasil stratifikasi vegetasi serta detil bagaimana pelaksanaan Decision Tree untuk SKT dan FPIC telah mereka terapkan untuk setiap patch hutan SKT yang teridentifikasi. Praktisi juga diundang menyampaikan umpan balik mengenai metodologi melalui situs Komite Pengarah Pendekatan SKT, www.highcarbonstock.org. Walaupun Komite Pengarah belum mempersiapkan perubahan besar dalam metodologi identifikasi hutan SKT, toolkit ini akan diperbarui dengan bertambahnya pembelajaran melalui kajian-kajian SKT baru, dengan dikembangkannya panduan lebih lanjut mengenai cara mengembangkan rencana konservasi terintegrasi dan semakin banyak panduan dari ilmu konservasi mengenai aspek-aspek berkaitan dengan viabilitas ekologi patch hutan.

Semua foto: hak cipta TFT ©

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 97: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

95

Versi 1.0 : Agustus 2015

BAB 7 KESIMPULAN

Pertanyaan lebih lanjut mengenai Pendekatan SKT

“Tahap-tahap yang digarisbawahi dalam toolkit ini memungkinkan bagi perusahaan untuk menyusun rencana pemanfaatan lahan terintegrasi yang mencakup kawasan yang perlu dilindungi dan dikelola untuk kebutuhan keanekaragaman hayati, ekosistem, dan masyarakat”

Toolkit ini menyajikan cara praktis bagi perusahaan rencana pemanfaatan lahan yang bertanggung jawab dan terintegrasi dalam suatu lanskap hutan. Akan tetapi masih terdapat beberapa pertanyaan untuk implementasi Pendekatan SKT yang berhasil, termasuk memastikan perlindungan jangka panjang atas kawasan hutan SKT:

1. Bagaimana cara proses FPIC, NKT dan kajian SKT dapat diintegrasikan dengan lebih baik? Sampai saat ini, kajian SKT telah diperbaiki dan dimuat kembali ke dalam kajian dan proses NKT yang sudah berlangsung untuk memastikan hak atas FPIC, dan beberapa komponen dalam toolkit sudah menunjukkan hal tersebut. Bagi konsesi baru, akan lebih efisien dan tidak terlalu mengganggu masyarakat lokal apabila kajian ini diterapkan sejak awal. Bab Dua dari toolkit ini merupakan sebuah pendekatan terintegrasi atas proses FPIC dan kajian SKT. Integrasi kajian SKT, FPIC dan NKT akan ditelusuri lebih jauh pada tahun 2015 melalui serangkaian lokakarya teknis untuk mengembangkan panduan tambahan yang dapat dimasukkan ke dalam versi Toolkit Pendekatan SKT yang baru.

2. Apa saja prosesnya dan alat apa yang tersedia untuk bekerja dengan masyarakat lokal guna mencapai konservasi dan perlindungan kawasan hutan SKT? Tahap-tahap yang digaris bawahi dalam toolkit ini memungkinkan bagi perusahaan untuk menyusun rencana pemanfaatan lahan terintegrasi yang mencakup kawasan yang perlu dilindungi dan dikelola untuk kebutuhan keanekaragaman hayati, ekosistem, dan masyarakat. Kawasan hutan SKT, NKT dan area lainnya akan diwajibkan untuk menempuh kajian FPIC dari masyarakat lokal untuk mencapai suatu rencana pengelolaan yang disetujui bersama.

3. Bagaimana cara memastikan perlindungan hukum atas kawasan hutan SKT di konsesi perkebunan? Pengalaman dalam NKT telah menunjukkan bahwa pada kasus-kasus tanpa spasi dukungan atau kerangka hukum untuk memastikan konservasi kawasan perlindungan dalam konsesi, pemerintah dapat mencabut izin untuk area pencadangan dan mengeluarkan lagi izin untuk pihak pengembang lainnya yang bersedia mengembangkan lahan tersebut1.

4. Opsi apa yang tersedia untuk mendanai perlindungan dan pengelolaan kawasan hutan SKT? Perlindungan efektif membutuhkan sumber daya khusus, termasuk jagawana dan staf bagian hubungan masyarakat. Opsi pendanaan untuk melindungi kawasan hutan SKT secara maksimal, termasuk mekanisme REDD+, Pembayaran untuk Jasa Lingkungan (Payments for Ecosystem Services atau PES), dan mekanisme pendanaan lainnya masih perlu ditelusuri lebih lanjut.

5. Bagaimana petani plasma dan masyarakat dapat diberikan kompensasi karena tidak melakukan konversi di kawasan hutan SKT? Dengan semakin banyak perusahaan menyetujui untuk mengeliminasi deforestasi dari rantai pasoknya, petani di lanskap hutan akan semakin tidak dapat mengkonversi lahan untuk perkebunan baru. Opsi pengelolaan ramah hutan perlu diteliti, termasuk reformasi lahan dan opsi yang memastikan manfaat yang adil bagi masyarakat lokal, mungkin dengan dukungan REDD+ atau mekanisme keuangan lainnya.

6. Bagaimana cara terbaik monitoring kawasan hutan SKT? Teknologi baru yang dikembangkan memungkinkan dilakukannya monitoring terhadap perubahan pemanfaatan lahan di lanskap hutan. Selain itu terdapat tool yang tersedia untuk monitoring kawasan NKT, yang mungkin berlaku dalam penerapan hutan SKT. Terdapat berbagai peluang menjalankan monitoring oleh masyarakat lokal, informasi ari pesawat tanpa awak (drone), dan sumber lainnya.

Sangat jelas bahwa masih banyak pertanyaan kompleks lainnya. Namun, saat tantangan ini akan terus dikaji oleh Komite Pengarah Pendekatan SKT dan pemangku kepentingan lain, toolkit ini memberikan panduan untuk langkah-langkah pertama yang kritis dalam memisahkan deforestasi dari pembangunan pertanian. Esensi dari Pendekatan SKT adalah untuk menemukan langkah maju yang praktis di saat menghadapi tantangan untuk tujuan perlindungan hutan, hak dan mata pencaharian masyarakat, dan pertumbuhan bisnis yang terkadang saling berlawanan, serta ketidakpastian dan pengetahuan yang tidak komprehensif. Edisi pertama toolkit ini akan terus diperbarui seiring dengan implementasi yang meluas, uji coba dan konsultasi, dengan terus mendokumentasikan sejauh mana upaya kita menuju Nihil Deforestasi.

Semua foto: hak cipta TFT ©

1. Lihat, Forest Peoples Programme, SawitWatch, HuMa, and Wild Asia (2009), “HCV and the RSPO: Report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High Conservation Value zoning in palm oil development in Indonesia,” available at: http://www.forestpeoples.org/partners/publication/2010/hcv-and-rspo-report-independent-investigation-effectiveness-application-hi.

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 98: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

96

Versi 1.0 : Agustus 2015

SUATU TOOLKIT BAGI PELAKSANA SKT DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka

Ahmed, S. (2009). “Landscape ecology: metrics, scale, habitat and a mini-review.” Tesis Master, Forest Ecology and Conservation Group, Imperial College London.

Andren, H. (1994). “Effects of Habitat Fragmentation on Birds and Mammals in Landscapes with Different Proportions of Suitable Habitat: A Review.” Oikos. Vol. 71, Fasc. 3 (Dec., 1994), halaman 355-366.

ASPRS (1994). Remote Sensing Thematic Accuracy Assessment: A Compendium. American Society of Photogrammetry and Remote Sensing.

Baig, M.H.A., L.T. Zhang, T. Shuai dan Q. Tong (2014). “Derivation of a Tasseled Cap Transformation Based on Landsat-8 at-satellite Reflectance.” Remote Sensing Letters, 5(5):423-431.

Balée, W. (1994). Footprints in the Forest: Ka’apor Ethnobotany – The Historical Ecology of Plant Utilization by an Amazonian People. New York: Columbia University Press.

Barsh, R. (1995). Effective Negotiation by Indigenous Peoples: an action guide with special reference to North America. Geneva: International Labour Organisation. Tersedia di: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_norm/---normes/documents/publication/wcms_100796.pdf.

Basuki, T.M., P.E. van Laake, A.K. Skidmore dan Y. A. Hussin (2009). “Allometric equations for estimating the above-ground biomass in tropical lowland Dipterocarp forests.” Forest Ecology and Management. 257: 1684–1694.

Bentrup, G. (2008). Conservation Buffers: Design Guidelines for Buffers, Corridors, and Greenways. Asheville, NC: Department of Agriculture, Forest Service, Southern Research Station. Tautan: www.unl.edu/nac/bufferguidelines/docs/conservation_buffers.pdf (accessed 21/1/2014.)

Bierregaard Jr., R.O. and V.H. Dale (1996).” “Islands in an Ever-Changing Sea: The Ecological and Socioeconomic Dynamics of Amazon Rainforest Fragments.” In: Schelhas, J. and R. Greenburg, R., Eds. (1996). Forest Patches in Tropical Landscapes. Washington, DC: Island Press.

Birth, G.S dan G. McVey (1968). “Measuring the Color of Growing Turf with a Reflectance Spectrophotometer.” Agronomy Journal, 60:640-643.

Broadbent, E.N., G.P. Asner, M. Keller, D.E. Knapp, P.J.C. Oliveira dan J.N. Silva (2008). “Forest fragmentation and edge effects from deforestation and selective logging in the Brazilian Amazon.” Biological Conservation. 141: 1745-1757.

Brown, S. (1997). “Estimating biomass and biomass change of tropical forests: A primer.” Rome: FAO. Forest Resources Assessment Publication No.134.

Bruna, E.M. (1999). “Seed germination in rainforest fragments.” Nature 402:139.

Bryan, J., P. Shearman, J. Ash dan J.B. Kirkpatrick (2010). “Estimating rainforest biomass stocks and carbon loss from deforestation and degradation in Papua New Guinea 1972–2002: Best estimates, uncertainties and research needs.” Journal of Environmental Management 91: 995–1001.

Bryant, D., D. Nielsen dan L. Tangley (1997). The Last Frontier Forests: Ecosystems and Economies on the Edge. New York: World Resources Institute. Tersedia di: http://pdf.wri.org/lastfrontierforests.pdf

Cannon, M., A. Lehar dan F. Preston (1983). “Background Pattern Removal by power spectral filtering.” Applied Optics. 15:22(6):777-9.

Chao, S. (2012). Forest Peoples’ Numbers Across the World. Moreton in Marsh, UK: Forest Peoples Programme. Tersedia di: http://www.forestpeoples.org/topics/climate-forests/publication/2012/new-publication-forest-peoples-numbers-across-world

Chave, J., C. Andalo, S. Brown, M. A. Cairns, J. Q. Chambers, D. Eamus, H. Folster, F. Fromard, N. Higuchi, T. Kira, J. P. Lescure, B. W. Nelson, H. Ogawa, H. Puig, B. Riera dan T. Yamakura (2005). “Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests.” Oecologia. 145: 87–99.

Colchester, M., N. Jiwan, P. Anderson, A. Darussamin dan A. Kiky (2012). “Securing High Conservation Values in Central Kalimantan: Report of the Field Investigation in Central Kalimantan of the RSPO Ad Hoc Working Group on High Conservation Values in Indonesia”. Kuala Lumpur: Roundtable on Sustainable Palm Oil. Tersedia di: http://www.forestpeoples.org/topics/palm-oil-rspo/publication/2012/securing-high-conservation-values-central-kalimantan-report-fi

Colchester, M., W. A. Pang, W. M. Chuo dan T. Jalong (2007). “Land is life: Land rights and oil palm development in Sarawak.” Forest Peoples Programme and Perkumpulan SawitWatch. Tersedia di: http://www.forestpeoples.org/topics/palm-oil-rspo/publication/2010/land-life-land-rights-and-oil-palm-development-sarawak.

Colchester, M. (1994). “Salvaging Nature: indigenous peoples, protected areas and biodiversity conservation.” Moreton in Marsh, UK: Forest Peoples Programme.

Congalton, R.G. dan K. Green (1999). “Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data: Principle and Practices.” Boca Raton, FL, USA: Lewis Publishers.

Crist, E.P. dan R.J. Kauth (1986). “The tasseled cap de-mystified”. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. 52:81-86.

Deering, D.W., J.W. Rouse, R.H. Haas dan J.A. Schell (1975). “Measuring Forage Production of Grazing Units from Landsat MSS Data.” Proceedings, 10th International Symposium on Remote Sensing of Environment, Ann Arbor. ERIM. 2:1169-1178.

Dowie, M. (2009). “Conservation Refugees: the one hundred year conflict between global conservation and native peoples.” Cambridge, MA: MIT Press.

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 99: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

97

Versi 1.0 : Agustus 2015

SUATU TOOLKIT BAGI PELAKSANA SKT DAFTAR PUSTAKA

Ellis-Cockcroft, I. dan J. Cotter (2014). “Tropical Forest Fragmentation; Implications for Ecosystem Function.” Greenpeace Research Laboratories Technical Report (Review) 02-2014.

Ewers, R.M., C.J. Marsh dan O.R. Wearn (2010).“Making Statistics Biologically Relevant in Fragmented Landscapes.” Trends in Ecology and Evolution. December 2010, 25 (12).

Ewers, R. M. dan R.K. Didham (2006). “Confounding factors in the detection of species responses to habitat fragmentation.” Biological Reviews. 81:117-142.

Fahrig, L. (2003). “Effects of habitat fragmentation on biodiversity.” Annual Review of Ecology, Evolution and Systematics. 34:487–515.

Fairhead, J. dan M. Leach (1998). Reframing Deforestation. Global Analysis and local realities: Studies in West Africa. London: Routledge.

Falcy, M.R. dan M.F. Estades (2007). “Effectiveness of corridors relative to enlargement of habitat patches.”, Conservation Biology, 21:1341-1346. Cited in Fitzherbert et al. (2008).

Fitzherbert, E. B., M. J. Struebig, A. Morel, F. Danielsen, C.A. Bruhl, P.F. Donald dan B. Phalan (2008). “How will oil palm expansion affect biodiversity?” Trends in Ecology and Evolution. 23(10): 538-545.

Forman, R. T. T. dan M. Godron (1986). Landscape ecology. New York: Wiley.

Gibbs, H.K., S. Brown, J.O. Niles dan J.A. Foley (2007). “Monitoring and estimating tropical forest carbon stocks: making REDD a reality”. Environmental Research Letters. 2(4): 045023.

Golden Agri-Resources dan PT SMART (2012). “High Carbon Stock Forest Study Report.” Tersedia di: http://www.goldenagri.com.sg/pdfs/misc/High_Carbon_Stock_Forest_Study_Report.pdf

Government of Malaysia, Ministry of Natural Resources and Environment (2009). “Managing biodiversity in the Landscape: Guidelines for planners, decision makers and practitioners.” Tersedia di: https://www.hcvnetwork.org/resources/folder.2006-09-29.6584228415/Guideline_Man_BioD_landscape_090519.pdf/view

Greenpeace (2013). “The High Carbon Stock Approach No Deforestation in Practice.” Tersedia di: http://www.greenpeace.org/international/Global/international/briefings/forests/2014/HCS%20Approach_Breifer_March2014.pdf.

Heckenberger, M. J. (2005). The Ecology of Power: Culture, Place and Personhood in the Southern Amazon AD 1000-2000. London: Routledge.

Huang, C., B. Wylie, L. Yang, C. Homer dan G. Zylstra (2002). “Derivation of a Tasseled Cap Transformation Based on Landsat 7 at-satellite Reflectance.” International Journal of Remote Sensing. 23(8):1741-1748.

Huete, A., K. Didan, T. Miura, E.P. Rodriguez, X. Gao dan L.G. Ferreira (2002). “Overview of the radiometric and biophysical performance of the Modis vegetation indices.” Remote Sensing of the Environment. 83: 195–213.

Huete, A., C. Justice dan W. Van Leuwenn (1999). “Modis vegetation index (MOD 13): Algorithm theoretical basis document.” Tersedia di: http://modis.gsfc.nasa.gov/data/atbd/atbd_mod13.pdf

Jackson, R.D. (1983). “Spectral Indices in n-Space.” Remote Sensing of Environment. 13:409-421.

Jensen, J. R. (2007). Remote sensing of Environment: An Earth Resource Perspective (Second Edition). Pearson Prentice Hall.

Kauth, R.J., P.F. Lambeck, W. Richardson, G.S. Thomas dan A.P. Pentland (1979). “Feature Extraction Applied to Agricultural Crops as Seen by Landsat.” Proceedings, LACIE Symposium. Houston: NASA, 705-721.

Kauth, R. J. dan G.S. Thomas (1976). “The Tasseled Cap—A Graphic Description of the Spectral-Temporal Development of Agriculture Crops as Seen by Landsat.” Proceedings, Machine Processing of Remote Sensing Data. West Lafayette: Laboratory for the Applications of Remote Sensing, 41-51.

Ketterings, Q.M., R. Coe, M. van Noordwijk, Y. Ambagau dan C.A. Palm (2001). “Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests.” Forest Ecology and Management. 120: 199-209.

Laurance, S.G.W. (2004). “Landscape Connectivity and Biological Corridors.” Pages 50-63 in Schroth, G. et al. (2004).

Laurance W.F., J.L.C. Camargo, R.C.C. Luizao, S.G. Laurance, S.L. Pimm, E.M. Bruna, P.C. Stouffer, B. Williamson, J. Benítez-Malvido, H.L. Vasconcelos, K.S. Van Houtan, C.E. Zartman, S.A. Boyle, R.L. Didham, A. Andrade dan T.E. Lovejoy (2011). “The fate of Amazonian forest fragments: a 32-year investigation.” Biological Conservation. 14: 56-67.

Laurance, W.F. dan H.L. Vasconcelos (2004). “Ecological Effects of Habitat Fragmentation in the Tropics.” Halaman 33-49 dalam Schroth, G. et al. (2004).

Laurance W.F., T.E. Lovejoy, H.L. Vasconcelos, E.M. Bruna, R.K. Didham, P.C. Stouffer, C. Gascon, R.O. Bierregaard, S.G. Laurance dan E. Sampiao (2002). “Ecosystem decay of Amazonian forest fragments: a 22-year investigation.” Conservation Biology. 16:605-618.

Laurance, W.F., P. Delamônica, S.G. Laurance, L. Vasconcelos dan T.E. Lovejoy (2000). “Rainforest fragmentation kills big trees.” Nature. 404: 836.

Laurance, W. F. dan R.O. Bierregaard, Eds. (1997). Tropical Forest Remnants: Ecology, management and conservation of fragmented communities. Chicago: University of Chicago Press.

Laurance, W. F. dan E. Jensen (1991). “Predicting the impacts of edge effects in fragmented habitats.” Biological Conservation. 55:77-92.

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 100: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

98

Leach, M. Halaman dan R. Mearns, Eds. (1996). The Lie of the Land: challenging received wisdom on the African environment. London: International African Institute.

Lillesand M.T. Halaman 33-49 dalam W.R. Kiefer (2004). Remote Sensing and Image Interpretation (Fifth Edition). New York: Wiley.

McCloy, K.R. (2006). Resource Management Information Systems: Remote Sensing, GIS and Modelling (Second Edition). CRC Taylor & Francis.

Myers, N. (1993). “Biodiversity and the precautionary principle.” Ambio. 22:74-79.

Myint, M. (2014). “Multinomial Logistics Regression for Digital Image Classification.” Prosiding, ACRS 2014.

Noss, R.F. (1999). “Assessing and Monitoring forest biodiversity: A suggested framework and indicators.” Forest Ecology and Management. 115: 135-146.

Noss, R.F. Halaman dan A.Y. Cooperrider (1994). Saving Nature’s Legacy: Protecting and Restoring Biodiversity. Washington, DC: Island Press.

Oliveira de Filho, F.J.B. dan J.P. Metzger (2006). “Thresholds in landscape structure for three common deforestation patterns in the Brazilian Amazon.” Landscape Ecology (2006) 21:1061–1073.

Peres, C. A. (2001). “Synergistic effects of subsistence hunting and habitat fragmentation on Amazonian forest vertebrates.” Conservation Biology. 15:1490-1505.

Posey, D. dan M. Balick, Eds. (2006). Human Impacts on Amazonia: the role of traditional knowledge in conservation and development. New York: Columbia University Press.

The REDD Desk (2015). “What is REDD+?” Tersedia di: http://theredddesk.org/what-is-redd#toc-3. Terakhir diakses tanggal 9 Maret 2015.

Ries, L., R.J. Fletcher Jr., J. Battin dan T.D. Sisk (2004). “Ecological Responses to Habitat Edges: Mechanisms, Models, and Variability Explained.” Annual Rev. Ecol. Syst. 35:491-522. Halaman 512 dan Lampiran 1d.

Rouse, J.W., R.H. Haas, J.A. Schell dan D.W. Deering (1974). “Monitoring Vegetation Systems in the Great Plains with ERTS.” Proceedings, Third Earth Resources Technology Satellite-1 Symposium. Greenbelt, MD: NASA SP-351, halaman 3010-3017.

Running, S.W., C.O. Justice, V. Solomonson, D. Hall, J. Barker, Y.J. Kaufmann, A.H. Strahler, A.R. Huete, J.P. Muller, V. Vanderbilt, Z.M. Wan, P. Teillet dan D. Carneggie (1994). “Terrestrial Remote Sensing Science and Algorithms Planned for EOS/MODIS.” International Journal of Remote Sensing. 15(17):3587-3620.

Schlerf, M., C. Atzberger dan J. Hill (2005). “Remote Sensing of Forest Biophysical Variables Using HyMap Imaging Spectrometer Data.” Remote Sensing of Environment. 95:177-194.

Versi 1.0 : Agustus 2015

SUATU TOOLKIT BAGI PELAKSANA SKTS DAFTAR PUSTAKA

Daftar Pustaka

Schroth, G., G.A.B. da Fonseca, C.A. Harvey, C. Gascon, H.L. Vasconcelos dan A.N. Izac, Eds. (2004). Agroforestry and Biodiversity Conservation in Tropical Landscapes. Washington, DC: Island Press.

Srinivasan, R., M. Cannon dan J. White (1988). “Landsat Data Destriping Using Power Spectral Filtering.” Optical Engineering. 27(11), 271193 (Nov. 1).

Thies, C., G. Rosoman, J. Cotter dan S. Meaden, S. (2011). “Intact Forest Landscapes: why it is crucial to protect them from industrial exploitation.” Greenpeace Research Laboratories Technical Note no.5. p6.

Tso, B. dan P.M. Mather (2001). Classification Methods for Remotely Sensed Data. CRC Press.

Van Houtan, K.S., Pimm, S. L., Halley, J.M., Bierregaard Jr, R.O. dan T.E. Lovejoy (2007). “Dispersal of Amazon birds in continuous and fragmented forest.” Ecology Letters. 10:219-229.

Wang, Q., S. Adiku, J. Tenhunen dan A. Granier (2005). “On the Relationship of NDVI and Leaf Area Index in a Deciduous Forest Site.” Remote Sensing of Environment. 94:244-255.

Wearn, O. R., D. C. Reuman dan R. M. Ewers (2013). “Response to ‘Comment on Extinction debt and windows of conservation opportunity in the Brazilian Amazon’.” Science. 339:271.

The Woodland Trust (2000). “Woodland biodiversity: expanding our horizons.” Grantham, UK: The Woodland Trust.

TOOLKIT PENDEKATAN SKTPENDEKATAN STOK KARBON TINGGI: PRAKTIK NIHIL DEFORESTASI

Page 101: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi
Page 102: Toolkit Pendekatan SKT Pendekatan Stok Karbon Tinggi

Informasi lebih jauh

HCS Approach Steering Group Secretariat C/O Helikonia Advisory Sdn Bhd Suite 15-02-A, 15th Floor Plaza See Hoy Chan Jalan Raja Chulan 50200 Kuala Lumpur Malaysia

Email: [email protected]

Telepon: +60 3 2072 2130 +60 3 2070 0130

Versi 1.0 : Agustus 2015 (Bahasa Inggris)

Bahasa Indonesia: Agustus 2015 Hak Cipta © HCS Approach Steering Group

Desain oleh Open Air Design Terjemahan ke Bahasa Indonesia oleh: Owlingua Translation Services

Penyusunan toolkit ini didanai dan didukung oleh:

WWW.HIGHCARBONSTOCK.ORG