Upload
sendyka-rinduwastuty
View
71
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Semoga membantu :D
Citation preview
LAPORAN PBL 4 BLOK DERMATO-MUSKULOSKELETAL
KELOMPOK 10
Tutor : dr. Baskoro Adi Prabowo
Anggota Kelompok :
Luluk Kharisma S. G1A011104
Mirzania M. F. G1A011022
Athifa Muthmainnah G1A011063
Afika Fahmudita G1A011019
Sendyka Rinduwastuty G1A011038
Paramita Deniswara G1A011024
Muhammad Danantyo H. G1A011102
Jatmiko Edy Nugroho G1A011043
Pratiwi Ariefianti N. G1A011096
Laila Noviatin N. G1A011111
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO
Pasien seorang laki-laki bernama sdr.Toki umur 28 tahun datang ke IGD RS anda
bekerja. 8 jam yang lalu sdr.Toki mengalami kecelakaan lalu lintas, motornya
menambrak motor lain sehingga dia terjatuh bersama motornya ke arah kanan dan
motor menekan paha kanannya selama 8 jam yang lalu sampai sekarang sdr.Toki
selalu sadar, dan mual, tidak muntah, helm nya tidak terlepas dan tetap terpasang.
Dia mengeluhkan nyeri di paha kanan, terlihat bengkak, tampak bengkok, memar,
dan mengeluarkan darah. Pasien kesakitan sampai tidak bisa berjalan.
INFO I
Tekanan darah : 120/95
Nadi : 84x/menit
Respiratory rate: 22x/menit
Suhu : 36,4c
Status generalis
Keadaan Umun : Tampak sakit sedang
Mata : Konjunctiva tidak pucat dan tidak ikhterik
Leher : Tidak terlihat kelainan
THT : Tidak terlihat kelainan
Paru : vesikuler,rhonki -/-,wheezing -/-
Jantung : BJI-II murni,mur-mur(-),gallop(-)
Abdomen : Lemas,nyeri tekan(-),bising usus(+)normal
Ekstremitas : Akral hangat
Status Lokalis
Look : Swelling (+), deformitas (+), tampak luka sepanjang 3cm, hematom (-)
Feel : Nyeri tekan(+)suhu sekitar lebih tinggi,denyut arteri tibialis posterior
masih teraba
Move : Functio laesa < karena nyeri
INFO II
Tatalaksana Fraktur Terbuka
1. Cuci luka, debrimen dan hentikan pendarahan
2. Imobilisasi
3. IVFD RL
4. ATS
5. Antibiotik injeksi (cefotaksin/ceftriakson) 2x1 gr
6. Anti nyeri injeksi (ketorolak) 2x1 amp
INFO III
Pemeriksaan Radiologi
1. Foto femur dextra AP/Lateral:fraktur femur dekstra 1/3 distal
2. Foto pelvis AP dan genus AP/Lat:tidak ada kelainan
Pemeriksaan Laboratorium
HB : 10,7 g/dl
HT : 32%
Leukosit : 15.800/uL
Trombosit : 260.000/uL
MCV : 73fl
MHC : 25pg
MCHC : 34 g/dL
Bleeding time : 03’00’’
Clothing time : 12’00’’
Ureum : 22 mg/dL
Creatinin : 1,2 mg/dL
GDS : 152 mg/dL
Na : 141 meq/L
K : 4,5 meq/L
Cl : 102 meq/L
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klarifikasi Istilah
Nyeri
Nyeri: spasme otot (respon perlindungan terhadap injury dan fraktur) akibat
reflek involunter pada otot, trauma langsung pada jaringan, peningkatan
tekanan pada saraf sensori, pergerakan pada daerah fraktur (Price dan Wilson,
2005).
B. Batasan Masalah
Identitas Pasien : Sdr.Toki, 28 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Keluhan Utama : Nyeri paha kanan,tampak bengkok,bengkak,mual
Lokasi : Paha kanan
Onset : >8 Jam
Kualitas : Sangat sakit, tidak bisa jalan
Kuantitas : Apakah sakit terus atau kadang-kadang?
Faktor memperberat : Apabila ditekan sakit atau tidak?, Keadaan ekstrimitas
bagaimana?
Faktor memperingan : Apabila dibiarkan tetap sakit atau tidak?
Kronologis : Naik motor, jatuh ke kanan, paha kanan terjepit
Keluhan penyerta : Mual, pendarahan
RPD : Apakah pernah trauma atau tidak?
RPK : -
RPS : -
C. Analisis Masalah
1. Mekanisme nyeri
a. Transduksi nyeri
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas
listriok di reseptor nyeri .
b. Transmisi nyeri
Proses penyaluran impuls nyeri daritempat transduksi melewati saraf
perifer sampai ke terminal di medulla melewati saraf perifer sampai ke
terminal di medulla spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar
yang naik dari medulla spinalis ke otak .
c. Modulasi nyeri
Aktivitasi saraf melalui jalur – jalur desendens dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Medulasi
juga melibatkan factor – factor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer.
d. Persepsi nyeri
Pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh
aktivitas transmisi nyeri oleh saraf.
(Marry et al., 2006)
2. Diagnosis banding
a. Dislokasi
Permukaan sendi normal yang menanggung rawan sendi terpasang
satu dengan lainnya dengan sangat akurat. Sublukasi adalah istilah
yang dipakai untuk menunjukkan adanya deviasi hubungan normal
antara rawan yang satu dengan rawan lainnya yang masih menyentuh
berbagai bagian pasangannya. Jika kedua bagian tersebut tidak
menyinggung yang satu dengan yang lainnya maka disebut dislokasi.
Pada scenario kali ini, diagnosis pembanding yang ada yaitu
dislokasi panggul atau dislokasi articulation coxae yaitu persendian
antara caput femur dengan acetabulum os. Coxae. Kalau panggul yang
mengalami dislokasi tidak direduksi dalam beberapa jam setelah
cidera, maka kemungkinan pasien tersebut akan mengalami nekrosis
aseptik yang besar sekali. Dislokasi panggul biasanya dapat dikenal
dari adanya nyeri pada aderah glutea, lipat paha dan paha, disertai
posisi ekstremitas bawah yang kaku pada waktu adduksi, rotasi interna
dan fleksi.
b. Fraktur
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang sering disertai
dengan kerusakan dari jaringan ikat di sekitarnya. Jaringan yang ikut
rusak misalnya kulit dan pembuluh darah yang biasanya ditandai
dengan pendarahan. Fraktur pada tulang menimbulkan rasa nyeri yang
luar biasa. Hal ini dikarenakan adanya reseptor nyeri pada permukaan
tulang yang teraktivasi (Pearce, 2009).
Fraktur disertai dengan reaksi inflamasi sehingga terlihat bengkak.
Reaksi inflamasi ini menambah rasa nyeri. Selain inflamasi, fraktur
ditandai dengan keanehan bentuk pada lokasi cidera, yaitu bentuk
bengkok (Mohamad, 2005).
3. Diagonis Kerja
Fractur femoris
D. Sasaran Belajar
1. Kuantitas Nyeri
Untuk mengukur kuantitas nyeri, digunakan beberapa skala nyeri yaitu:
a. Visual Analog Scale
(Portenoy & Tanner, 1996).
b. Verbal Pain Intensity Scale
(Portenoy & Tanner, 1996).
c. 0 – 1 Numeric Pain Rating Scale
(McCaffery & Pasero, 1999).d. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale
(Wong et al., 2001).
2. Anatomi tulang
a. Bagian :
1) Caput femoris :
a) Bersendi dengan acetabulum os coxae
b) Terdapat fovea capitis feoris tempat melekatnya lig.Capitis femoris yang merupakan tempat dihantarkannya A.Obturatoria
2) Collum femoris
3) Corpus femoris
4) Trochanter mayor
5) Trochanter minor
6) Linea Intertrochanter
7) Crista intertrochanter
8) Linea aspera :
a) Pinggir medial melanjut ke distal menjadi crista supracondylaris menuju tuberculum adductorum
b) Pinggir lateral melanjut ke distal menjadi crista supracondylaris lateralis
9) Tuberositas Glutea
10) Epicondylus medialis
11) Epicondylus lateralis
12) Condylus medialis
13) Condylus lateralis
Gambar 1. Os. Femur
b. Facies:
1) Facies patellaris
2) Facies popliteal
c. Inervasi :
1) Cabang flexus sacralis
2) N.femoralis
d. Muskulus
1) M.Quadratus Femoris
2) M.Quadriceps Femoris
a) M.Rectus Femoris
b) M.Vastus Lateralis
c) M.Vastus medialis
d) M.Vastus intermedius
3) M. Psoas
4) M.Sartorius
5) Pectineus
Gambar 2. Muskulus-muskulus pada femur
3. Definisi
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang,
karena tekanan yang diterima tulang melebihi absorbsi tulang. Penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses
degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (De Jong,
2010).
4. Macam Fraktur
a. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan di sekitar
1) Fraktur tertutup (closed)
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar.
2) Fraktur terbuka (open/compound)
Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
karena adanya perlukaan di kulit.
Gambar 3. Fraktur berdasarkan Hubungan Tulang
b. Berdasarkan bentuk patahan tulang
1) Transversal
Merupakan fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur
semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian gips.
2) Spiral
Merupakan fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul
akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya
menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.
3) Oblik
Merupakan fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana
garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
4) Segmental
Merupakan dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen
tulang yang retak dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya
segmen sentral dari suplai darah.
5) Kominuta
Merupakan fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau
terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen
tulang.
6) Greenstick
Merupakan fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak
lengkap dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga
periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak-anak.
7) Fraktur Impaksi
Merupakan fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang
ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan
dua vertebra lainnya.
8) Fraktur Fissura
Merupakan fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang
berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan
reduksi.
Gambar 4. Fraktur Berdasarkan Bentuk Patahan Tulang
c. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis
Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng
pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat
berakibat pemisahan fisis pada anak-anak. Fraktur fisis dapat terjadi
akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi
karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga.
Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur
fisis adalah klasifikasi fraktur menurut Salter-Harris:
1) Tipe I:
Fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng
pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi
tertutup.
2) Tipe II:
Fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui
tulang metafisis, prognosis juga sangat baik dengan reduksi
tertutup.
3) Tipe III:
Fraktur epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi
metafisis dari lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik
meskipun hanya dengan reduksi anatomi.
4) Tipe IV:
Fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan
terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting
dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih
besar.
5) Tipe V:
Cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan
pertumbuhan lanjut adalah tinggi.
Gambar 5. Fraktur Menurut Salter-Harris
5. Klasifikasi Open Fracture
Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat menurut R. Gustillo, yaitu (De
Jong, 2010):
a. Derajat I:
1) Luka <1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
4) Kontaminasi minimal
b. Derajat II:
1) Laserasi >1 cm
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
3) Fraktur kominutif sedang
4) Kontaminasi sedang
c. Derajat III:
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur terbuka derajat III terbagi atas (De Jong, 2010):
a) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa
melihat besarnya ukuran luka.
b) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
c) Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki
tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
6. Epidemiologi
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan, tingginya angka kecelakaan menyebabkan insiden fraktur yang
tinggi yang serig terjadi adalah fraktur femur, disebabkan benturan yang
sangat tinggi akibat kecelakaan mobil atau motor (Rinanto, 2010).
Insiden fraktur di indonesia dikumpulkan oleh Unit Pelaksana Teknis
Makmal Terpadu FKUI pada tahun 2006 dari 1690 kasus kecelakaan lalu
lintas ternyata yang mengalami fraktur femur 249 kasus atau 14,7,
sedangkan berdasarkan data sari RSPAD Gatot soebroto pada tahun 2011
adalah 178 orang (Rinanto, 2010).
7. Etiologi
a. Peristiwa Trauma Tunggal
Peristiwa trauma tunggal biasanya terjadi pada tulang panjang. Terbagi
menjadi dua berdasarkan kekuatannya, Kekuatan langsung dan
Kekuatan tidak langsung.
1) Kekuatan Langsung
Peristiwa trauma terjadi pada tempat yang mengalami kerusakaan.
Pada kekuatan langsung ini ada dua contoh tindakaannya, yaitu
pemukulan, yang menyebabkan fraktur melintang disertai
kerusakkan kulit dan jaringan disekitarnya, dan penghancuran, yang
menyebabkan fraktur kominutif, yang disertai pula dengan
kerusakan jaringan lunak yang luas.
2) Kekuatan Tidak Langsung
Peristiwa trauma terjadi pada jarak yang jauh dengan daerah yang
mengalami kerusakan. Trauma yang disebabkan kekautan tidak
langsung bisa terjadi karena bebrapa tindakan seperti, pemuntiran
yang menybabkan fraktur spiral, penekukkan yang menyebabkan
fraktur melintang, penekukkan dan penekanan yang menyebabkan
fraktur sebagian melintang yang disertai dengan fragmen kupu-kupu
berbentuk segitiga terpisah. Selain itu juga trauma tidak langsung
juga bisa dikarenakan kombinasi dari tindakan pemuntiran,
penekukkan, dan penekanan, yang mengakibatkan fraktur oblique
pendek. Selain itu juga bisa disebabkan oleh penarikkan yang
menyebabkan tendon atau ligament yang tertarik hingga tulang
memisah.
b. Fraktur Kelelehan
Fraktur kelelahan biasanya diawali dengan retak yang dapat terjadi pada
tulang yang diakibatkan oleh adanya tekanan yang dating secara
berulang-ulang. Kasus tersebut sering ditemukan pada os.Tibia dan
os.Fibula, atau bisa juga terjadi pada os.Metatarsal. Biasanya penderita
fraktur kelelahan antara lain atlet, penari, dan calon tentara yang sedang
berbaris dalam perjalanan jarak ajuh.
c. Fraktur patologi
Fraktur yang terjadi karena adanya kelainan pada tulang seperti
kelainan karena adanya tumor, dan keadaan tulang yang sangat rapuh
seperti pada penyakit paget.
(Apley, 1995)
8. Patofisiologi
a. Nyeri
Nyeri merupakan mekanisme protektif untuk menimbulkan
kesadaran akan kenyataan bahwa sedang atau akan terjadi kerusakan
jaringan. selain itu, simpanan pengalaman yang menimbulkan nyeri
dalam ingatan membantu kita menghindari kejadian-kejadian yang
berpotensi membahayakan dimasa datang. (Sherwood, 2011)
Terdapat tiga kategori reseptor nyeri, atau nosiseptor. Nosiseptor
mekanis berespon terhadap kerusakan mekanis, misalnya tersayat,
terpukul, atau cubitan ; nosiseptor suhu berespon terhadap suhu ekstrim,
terutama panas; dan nosiseptor polimodal yang berespon sama kuat
terhadap semua jenis rangsangan yang merusak, termasuk bahan kimia
iritan yang dikeluarkan oleh jaringan yang cedera. Karena manfaatnya
digunakan untuk kelangsungan hidup maka nosiseptor juga tidak
beradaptasi terhadap rangsangan yang menetap atau berulang.
Perjalanan Nyeri : (Sherwood, 2011)
Otak
Yang
lebih
Tinggi
Batang
Otak
Medula
Spinalis
substansi P serat nyeri aferen
Gambar 6. Mekanisme nyeri
Korteks somatosensorik
Talamus
Hipotalamus ; Sistem Limbik
Formatio retikularis
Rangsangan yang mengganggu
b. Mual dan muntah
Mekanisme mual merupakan mata rantai panjang yang dikendalikan
oleh keseimbangan antara dopamine, serotonin, histamine, dan
asetilkolin. ( Ida, 2009)
Gambar 6. Mekanisme mual dan munta
Sistem Viseral
Infeksi bakteri Infeksi Virus
Lambung Esofagus
Pengeluaran Histamin dan Asetilkolin
Pengeluaran dopamine dan
serotonin
Terjadi mual dan muntah
(kontraksibersama)
Pusat mual muntah :
Pusat saliva Pusat vasomotor Pusat pernafasan Nervus cranial
Nervus spinalis
Nervus frenikus
Nervus Vagus
DiafragmaDinding Abdomen
9. Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka dibagai menjadi 3 fase, antara lain :
a. Fase Inflamasi
Fase inflamasi ini akan berlangsung sejak terjadinya luka sampai
kira – kira hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka yang
diderita tersebut akan menyebabkan perdarahan dan tubuh dalam hal ini
akan berusaha menghentikannya dengan cara vasokonstriksi,
pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi
hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari
pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang
terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.
Sementara itu terjadi reaksi inflamasi. Sel mast dalam jaringan ikat
menghasilkan serotonin dan histamine yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel
radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan
pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas
berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat
(kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus
dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya
kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu
mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang
kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan
bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi
pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh
fibrin yang amat lemah.
b. Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira – kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari
sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asama aminoglisin, dan prolin yang merupakan
bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada
fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri
dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini,
bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan
pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai
25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan
serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan
kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan
yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka
yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi
permukaan luka.
c. Fase Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya
gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk.
Fase ini dapat berlangsung berbulan – bulan dan dinyatakan berkahir
kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan
kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan.
Odema dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru
menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan
sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini
dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah
digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada
akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira
80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-6 bulan
setelah penyembuhan
( Guyton, 2007).
10. Proses Penyembuhan Tulang
Proses penyembuhan fraktur dibagai menjadi 5 fase, antara lain :
a. Fase Hematoma
Pada fase Hematoma terjadi suatu proses perdarahan karena kerusakan
pada kanalis havers dan jaringan lunak dimana darah pada pembuluh
darah tidak sampai pada jaringan sehingga osteocyt mati, akibatnya
terjadi necrose. Hematoma yang banyak mengandung fibrin melindungi
tulang yang rusak. Setelah 24 jam akan terbentuk bekuan darah dan
fibrin yang masuk ke area fraktur sehingga suplai darah ke area fraktur
mulai meningkat. Kemudian akan membentuk hematoma sampai
berkembang menjadi jaringan granulasi. Stadium ini berlangsung 1
sampai 3 hari.
b. Fase Proliferasi
Proliferasi adalah proses dimana jaringan seluler yang berisi cartilage
keluar dari ujung – ujung fragmen sehingga tampak di beberapa tempat
bentukan pulau – pulau cartilage. Pada stadium ini terjadi pembentukan
granulasi jaringan yang banyak mengandung pembuluh darah,
fibroblast dan osteoblast yang akan berproliferasi membentuk
fibrokartilago, kartilago hialin dan jaringan penunjang fibrosa, akan
selanjutnya terbentuk fiber-fiber kartilago dan matriks tulang yang
menghubungkan dua sisi fragmen tulang yang rusak sehingga terjadi
osteogenesis dengan cepat. Haematoma merupakan dasar untuk proses
penggantian dan penyembuhan tulang, yang berlangsung 3 hari sampai
2 minggu.
c. Fase pembentukan Kalus
Pada pembentukan kalus atau kalsifikasi adalah proses dimana setelah
terjadi bentukan kartilago yang kemudian berkembang menjadi fibrosa
kalus sehingga tulang akan menjadi sedikit osteoporotik. Pembentukan
ini terjadi setelah granulasi jaringan menjadi matang. Jika stadium
putus maka proses penyembuhan luka menjadi lama. Fase ini
berlangsung 2 sampai 6 minggu.
d. Stadium Konsolidasi
Konsolidasi adalah suatu proses dimana terjadi proses transformasi
metaplastik yaitu penyatuan pada kedua ujung tulang menjadi lebih
kuat dan lebih terorganisasi. Kalus yang tidak diperlukan mulai
diabsorbsi dan membentuk tulang baru, sementara osteoclas akan
menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk
tulang yang menyerupai keadaan tulang yang aslinya. Pada tahap ini
tulang sudah kuat tapi masih berongga. Fase ini biasanya butuh waktu 3
minggu sampai 6 bulan.
Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut
berada terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi
dalam waktu 2 minggu Bridging (soft) kalus terjadi bila tepi-tepi tulang
yang fraktur tidak bersambung. Medullary (hard) kalus akan
melengkapi bridging kalus secara perlahan-lahan. Kalus eksternal
berada paling luar daerah fraktur di bawah periosteum periosteal kalus
terbentuk di antara periosteum dan tulang yang fraktur.
Interfragmentary kalus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi
celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary kalus terbentuk di
dalam medulla tulang di sekitar daerah fraktur.
e. Stadium Remodelling
Remodeling adalah proses dimana tulang sudah terbentuk kembali atau
tersambung dengan baik. Pada tahap ini tulang semakin menguat secara
perlahan- lahan terabsorbsi dan terbentuk canalis medularis Tahap ini
berlangsung selama 6 minggu sampai 1 tahun. Pada sebagian besar
fraktur non-comminuted latihan diawali pada fase kalsifikasi.
( Rasjad, 2003)
Hematoma Proliferasi Kalsifikasi Konsolidasi Remodelling
Tulan
g
Tulang patah
mengenai
pembuluh
darah
Terbentukny
a
hematoma
Sel-sel
periosteum
dan
endosteum
paling
menonjol
pada tahap
Jaringan
seluler
yang keluar
dari
masing–
masing
fragmen
Callus yang
belum
masak
akan
membentuk
callus
berlangsung
Tulang
menyambun
g
baik dari luar
maupun
dari dalam
canalis
disekitar
perpatahan
Hematoma
dibentuk dari
jaringan
lunak
disekitarnya
Permukaan
tulang
yang patah
tidak
mendapatkan
suplay
Berlangsung
selama 24
jam
setelah
terjadi
perpatahan
poliferasi
Poliferasi
dari selsel
periosteum
yang
menutupi
fraktur, sel-
sel ini
merupakan
tempat
tumbuhnya
osteoblas
akan
melepaskan
unsurunsur
intraseluler
dan
kemudian
menjadi
fragmen
lain
Berlangsun
g
selama 3-4
hari
yang sudah
matang
Sel-sel
memberi
perlengkapa
n untuk
osteoblas
condroblas
membentuk
callus
yang belum
masak
dan
membentuk
jendolan.
Adanya
rigiditas
pada fraktur
Berlangsung
selama
6-12
minggu.
bertahap
dan
berubah-
ubah.
Adanya
aktifitas
osteoblas
menjadi
tulang
yang lebih
kuat dan
massa
strukturnya
belapis –
lapis
Berlangsun
g
selama 12-
14
minggu
medularis
Osteoblas
mengabsorbs
i
pembentukan
tulang
yang lebih.
Tulang
ekstravasi
untuk
sembuh
berlangsung
selama
24 minggu
sampai 1
tahun.
11. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesa
Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus
diperinci kapan terjadinya, dimana terjadinya jenisnya, berat ringan
trauma, arah trauma dan posisi pasien atau ekstrem itas yang
bersangkutan. Jangan lupa untuk meneliti kembali trauma ditempat
lain secara sistematik dari kepala, muka, leher, dada dan perut (Harry
B. 2006).
Dari kasus pada pbl 4 dapat ditemukan:
1) Identitas pasien : Sdr, Toki 28 tahun (laki-laki)
2) Keluhan utama : Nyeri di paha kanan
3) RPS
a) Lokasi : Paha kanan
b) Onset : 8 jam
c) Kuantitas : Tidak ada
d) Kualitas : Kesakitan sampai tidak bisa berjalan
e) Faktor memperberat : Tidak ada
f) Faktor memperingan: Tidak ada
g) Gejala penyerta : Mual, pendarahan
h) Kronologi : Karena trauma, kecelakaan lalu lintas, 8
jam yang lalu, terjatuh bersama motor
kearah kanan, motor menekan paha
kanannya.
4) RPD : tidak ada
5) RPK : tidak ada
6) RES : tidak ada
b. Pemeriksaan umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada fraktur
multipel , fraktur pelfis, fraktur terbuka ; Tanda – tanda sepsis pada
fraktur terbuka yang mengalami infeksi (Harry B. 2006).
c. Pemeriksaan status lokasi
Tanda – tanda klinis pada fraktur tulang panjang (Rasjad, 2007):
1) Look, cari apakah terdapat :
a) Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal ( misalnya
pada fraktur kondilus lateralis humerus ), angulasi, rotasi, dan
pemendekan.
b) Functio laesa ( hilangnya fungsi ), misalnya pada fraktur kruris
tidak bisa berjalan
c) Lihat juga ukuran panjang tulang, bandingkan kiri dan kanan,
misalnya, pada tungkai bawah meliputi apparenth length ( jarak
antara ubilikus dengan maleolus medialis ) dan true lenght
( jarak antara SIAS dengan maleolus medialis )
2) Feel, cari apakah terdapat :
a) Adanya nyeri tekan (tenderness),
b) Krepitasi,
c) Pemeriksaan status neurologis dan vaskuler di bagian distal
fraktur.
d) Palpasi daerah ektremitas tempat fraktur tersebut, di bagian
distal cedera meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill
test.
e) Suhu kulit, denyutan arteri
f) Jaringan lunak, mengetahui adanya spasme otot, atrofi otot
Tapi pada Pemeriksaan nyeri sumbu tidak dilakukan lagi karena
akan menambah trauma.
3) Move, untuk mencari :
a) Krepitasi, terasa bila fraktur digerakan. Tetapi pada tulang
spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi.
Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena akan
menambah trauma.
b) Nyeri bila digerakan, baik pada gerakan aktif maupun pasif
c) Seberapa jauh gangguan – gangguan fungsi, gerakan – gerakan
yang tidak mampu digerakan, range of motion ( derajat dari
ruang lingkup gerakan sendi ), dan kekuatan.
d) Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif, apakah gerakan
menimbulkan sakit dan disertai krepitasi
e) Stabilitas sendi
f) ROM, abduksi, adduksi, ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi
interna, pronasi, supinasi, fleksi lateral, dorsofleksi, plantar
fleksi, inversi, eversi
d. Pemeriksaan Penunjang :
1) Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai
fraktur, harus mengikutiaturan role of two, yang terdiri dari :
a) Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.
b) Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan
distal.
c) Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang
cidera maupun yangtidak terkena cidera (untuk membandingkan
dengan yang normal)
d) Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah
tindakan.
2) Pemeriksaan laboratorium, meliputi
a) Darah rutin, untuk hematokrit dan leukosit meningkat.
b) Faktor pembekuan darah,
c) Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan
operasi),
d) Urinalisa,
e) Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin
untuk kliren ginjal)
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis
fraktur femur dextra terbuka 1/3 distal grade 2 ditegakkan.
12. Penatalaksanaan Fraktur
a. Pembidaian
Penanganan pertama pada cidera dapat dilakukan prosedur balut
dan bidai. Balut adalah proses membebat cidera menggunakan kain
ataupun kassa. Bidai adalah prosedur untuk membuat tempat cidera
dalam posisi immobile.
Balut memiliki banyak tujuan dan fungsi teraupetik. Tujuan dan
fungsi teraupetik tersebut yaitu (Kowalsky, et al., 2008):
1) Menahan lengan dan sendi
2) Menahan tempat luka
3) Mengikat bidai
4) Melindungi atau mempertahankan dressing pada lokasi cidera
5) Menahan bagian cidera agar tidak bergeser
6) Menahan pembengkakan
7) Menutup luka
Pemasangan balut harus memperhatikan beberapa hal, yaitu
(Kowalsky, et al., 2008):
1) Warna kulit bagian distal
2) Gerakan di region lebih distal
3) Edema
4) Nyeri
5) Temperature tempat bidai.
Bidai digunakan untuk membuat lokasi cidera dalam keadaan
immobile. Tujuan imobilisasi lokasi cidera yaitu (Schoen, 2000):
1) Mengurangi nyeri
2) Mencegah gerakan segmen fraktur yang memungkinkan
melukai kulit dan pembuluh darah
3) Memudahkan transportasi
4) Memastikan vaskularisasi ke bagian distal
Dalam pelaksanaannya, bidai memiliki tiga prinsip, yaitu
melakkukan bidai di tempat cidera, tetap dilakukan bidai jika dicurigai
terjadi fraktur, dan bidai melalui minimal dua sendi (Schoen, 2000).
b. Medikamentosa
Penanganan fraktur yang kedua adalah dengan memberikannya
penatalaksanaan secara medikamentosa, seperti :
1) Obat antibiotic:
Cefotaksim/ ceftriakson (Istiantoro, et al., 2011)
Golongan : Chepalosporin generasi ketiga
Sifat : Bakteriosid
Cara kerja : Menghambat pembentukkan dinding sel
Efek samping : Reaksi alergi
Alasan pakai : Cefotaksim/ ceftriakson merupakan
antibiotic spectrum luas
2) Obat analgesic:
Keterolak (Wilmana, et al., 2011)
Golongan : Analgesic non-opiat
Cara kerja : Selektif menghambat COX-1
Efek samping : Gangguan saluran cerna jika digunakan
jangka panjang, kantuk, sakit kepala dan
gangguan hematologi
Alasan pakai :Memiliki efektivitas yang sebanding dengan
morfin, masa kerja lebih panjang, dan efek
samping lebih ringan
3) Resusitasi cairan
Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik,
dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus
segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi
sebelum induksi anestesi. Jumlah penggantian cairan selama
pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar ditambah
dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan,
translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang
diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah
darah yang hilang.
1) Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu
traumatis misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup
hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.
2) Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi
dapat diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk
kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti
akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6
ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer
Laktat atau Normosol-R.
3) Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8
ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10
ml/kgBB/jam (Sunatrio, 2000).
4) IV FDRL
RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan
pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan
sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik,
diare, trauma, dan luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam larutan
RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna
untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik. Kalium yang
terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan sehari-hari,
apalagi untuk kasus defisit kalium. Larutan RL tidak mengandung
glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai cairan rumatan, dapat
ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah terjadinya
ketosis. Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran
memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L),
Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273
mOsm/L. Sediaannya adalah 500 ml dan 1.000 ml ( Sunatrio, 2000).
5) Debridement
Debridement dilakukan dengan anastesi umum. Tindakan bertujuan
untuk membersihkan luka dari bahan asing dan jaringan mati,
memberikan persedian darah yang baik. Pembersihan luka
menggunakan garam fisiologis (Nugroho, 1995).
6) Terapi Definitif
Metode yang paling aman untuk kasus fraktur terbuka adalah
menggunakan fiksasi eksternal dengan menggunakan sekrup pengikat atau
kawat transfiksi yang diletakkan di proksimal dan di distal fraktur,
kemudian keduanya dihubungkan dengan kawat kaku. Open Reduction
Internal Fixation (ORIF) tidak dianjurkan dan sebisa mungkin dihindari
pada kasus fraktur terbuka (Apley & Solomon, 1995).
Luka dapat dibalut sekadarnya dengan kassa steril, kemudian
diperiksa setelah 5 hari. Jika luka bersih, luka tersebut dapat langsung
dijahit atau dilakukan pencangkokkan kulit apabila terdapat kehilangan
kulit atau kontraktur. Bila pada luka tersebut terjadi toksemia atau
septikemia meskipun telah diberi kemoterapi, maka luka tersebut
didrainase (Apley & Solomon, 1995).
13. Rehabilitasi Medik
Fraktur pada femur melibatkan rehabilitasi yang luas berkaitan
dengan waktu penyembuhan dan kerusakan muskulus yang terlibat.
Rehabilitasi biasanya melibatkan physical therapist untuk melatih
kekuatan dan range of motion (ROM). Kesembuhan total dapat dicapai
dalam waktu mencapai 9 bulan (Walker, 2007).
Terapi rehabilitatif yang dilakukan meliputi (Frontera et al., 2006):
a. Latihan kekuatan
Ada tiga macam latihan kekuatan, yaitu:
1) Latihan isometrik
Pada latihan ini terjadi kontraksi otot tanpa pergerakan sendi.
Latihan ini dapat dilakukan saat rehabilitasi tahap awal dan
sangat bermanfaat untuk menjaga atau meningkatkan penguatan
otot.
2) Latihan isokinetik
Pada latihan ini kecepatan gerakan sendi konstan. Latihan ini
digunakan pada rehabilitasi tahap akhir ketika sudah terjadi
kestabilan yang baik pada bagian fraktur dan memerlukan alat
khusus.
3) Latihan isotonik
Merupakan latihan dinamis menggunakan beban statis, tetapi
tidak mengontrol kecepatan gerakan. Terjadi kontraksi otot
bersamaan dengan gerak sendi. Latihan ini digunakan untuk
meningkatkan kekuatan pada tahap pertengahan dan tahap akhir
dari rehabilitasi fraktur.
b. Range of Motion (ROM)
Tujuan melatih gerakan ROM adalah untuk menjaga atau
meningkatkan jangkauan dari sebuah sendi. ROM merupakan
latihan dasar yang paling banyak digunakan pada kasus rehabilitasi
fraktur. Berikut macam-macam bentuk dari ROM:
1) ROM penuh (full ROM)
Latihan menggerakan sendi yang sesuai dengan dasar anatomi
dari sendi tersebut.
2) ROM fungsional
Latihan menggerakkan sendi yang diperlukan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
3) ROM aktif
Latihan menggerakan sendi oleh pasien sendiri tanpa bantuan
orang lain. Tujuannya memelihara ROM dan kekuatan minimal
akibat kurang aktivitas dan menstimulasi sistem
kardiopulmoner. Gerakan ROM dapat berupa gerakan sendi
penuh atau parsial.
4) ROM pasif
Latihan menggerakkan sendi tanpa kontraksi otot pasien.
Tujuannya adalah untuk memelihara mobilitas sendi ketika
kontrol dari otot sendi hilang atau pasien tidak sadar. Seluruh
gerakan dibantu oleh terapis
c. Latihan daya tahan
1) Reconditioning
Latihan yang ditujukan kepada pasien yang sakit dengan tujuan
mengembalikan daya tahan tubuh. Pada fraktur femur misalnya
latihan menaiki tangga.
2) Conditioning
Latihan yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
yang secara keseluruhan meningkatkan fungsi kardiopulmonari.
BAB III
KESIMPULAN
1. Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang sering disertai dengan
kerusakan dari jaringan ikat di sekitarnya
2. Manifestasi klinis fraktur seperti nyeri, bengkak, dan mual
3. Klasifikasi fraktur dibedakan menurut ; lokasi patahan pada tulang fisi ,
hubungan tulang dengan jaringan sekitar, bentuk patahan tulang
4. Penanganan pertama pada cidera fraktur menggunakan balut dan bidai
untuk mengurangi mobilisasi dan tidak memperburuk keadaan.
5. Terapi rehabilitasi meliputi latihan kekuatan (latihan isometrik, latihan
isotonik, dan latihan isokinetik) dan juga Range of Motion (ROM)
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A Graham dan Louis Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, edisi ketujuh. Jakarta: Widya Medika.
De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Frontera, Walter R, David M Slovik, dan David Michael Dawson. 2006. Exercise in Rehabilitation Medicine, 2nd edition. Champaign: Human Kinetics.
Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC
Kowalsky, Mary T., and Caroline Bunker Rosdahl. 2008. Textbook of Basic
Nursing. 9th edition . Unit 8. Philadelphia: Lippincot William and Wilkins
McCaffery dan Pasero. Pain: Clinical Manual. St. Louis: Mosby.
Mohamad, Kartono. 2005. Pertolongan Pertama. Bab XIX. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Nugroho, Edi. 1995. Buku Ajar Orthopedi fraktur sistem apley edisi ke tujuh.
Jakarta ; Widya Medika
Patel, Pradip R. 2007. Radiology. Jakarta : EMS
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Bab 6. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Portenoy, RK dan RM Tanner. 1996. Pain Management: Theory and Practice. Oxford: Oxford University Press.
Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC
Rasjad, Chairuddin, 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Penerbit Bintang
Lamumpatue Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar
Rinanto, Febri S. 2010. Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan
Mobilisasi pada Pasien Post Operasi Fraktur
Schoen, Delores C. 2000. Adult Orthopaedic Nursing: An Illustrated Guide.
Chapter 5. Philadelphia: Lippincot William and Wilkins
Skinner, Harry B. 2006. Current Diagnosis & Treatment In Orthopedics. USA:
The McGraw-Hill Companies.
Sunatrio, S. 2000. Resusitasi Cairan. Jakarta : Media Aesculapius
Walker, Brad. 2007. The Anatomy of Sport Injuries. Berkeley: Lotus Publishing.
Wilmana, P., et al. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5 Seksi III dan XII.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Wong, DL et al. 2001. Wong’s Essentials of Pediatric Nursing. St. Louis: Mosby.