49
LAPORAN PBL 4 BLOK DERMATO-MUSKULOSKELETAL KELOMPOK 10 Tutor : dr. Baskoro Adi Prabowo Anggota Kelompok : Luluk Kharisma S. G1A011104 Mirzania M. F. G1A011022 Athifa Muthmainnah G1A011063 Afika Fahmudita G1A011019 Sendyka Rinduwastuty G1A011038 Paramita Deniswara G1A011024 Muhammad Danantyo H. G1A011102 Jatmiko Edy Nugroho G1A011043 Pratiwi Ariefianti N. G1A011096 Laila Noviatin N. G1A011111 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

Trauma dan Fraktur

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Semoga membantu :D

Citation preview

Page 1: Trauma dan Fraktur

LAPORAN PBL 4 BLOK DERMATO-MUSKULOSKELETAL

KELOMPOK 10

Tutor : dr. Baskoro Adi Prabowo

Anggota Kelompok :

Luluk Kharisma S. G1A011104

Mirzania M. F. G1A011022

Athifa Muthmainnah G1A011063

Afika Fahmudita G1A011019

Sendyka Rinduwastuty G1A011038

Paramita Deniswara G1A011024

Muhammad Danantyo H. G1A011102

Jatmiko Edy Nugroho G1A011043

Pratiwi Ariefianti N. G1A011096

Laila Noviatin N. G1A011111

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

2012

Page 2: Trauma dan Fraktur

BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO

Pasien seorang laki-laki bernama sdr.Toki umur 28 tahun datang ke IGD RS anda

bekerja. 8 jam yang lalu sdr.Toki mengalami kecelakaan lalu lintas, motornya

menambrak motor lain sehingga dia terjatuh bersama motornya ke arah kanan dan

motor menekan paha kanannya selama 8 jam yang lalu sampai sekarang sdr.Toki

selalu sadar, dan mual, tidak muntah, helm nya tidak terlepas dan tetap terpasang.

Dia mengeluhkan nyeri di paha kanan, terlihat bengkak, tampak bengkok, memar,

dan mengeluarkan darah. Pasien kesakitan sampai tidak bisa berjalan.

INFO I

Tekanan darah : 120/95

Nadi : 84x/menit

Respiratory rate: 22x/menit

Suhu : 36,4c

Status generalis

Keadaan Umun : Tampak sakit sedang

Mata : Konjunctiva tidak pucat dan tidak ikhterik

Leher : Tidak terlihat kelainan

THT : Tidak terlihat kelainan

Paru : vesikuler,rhonki -/-,wheezing -/-

Jantung : BJI-II murni,mur-mur(-),gallop(-)

Page 3: Trauma dan Fraktur

Abdomen : Lemas,nyeri tekan(-),bising usus(+)normal

Ekstremitas : Akral hangat

Status Lokalis

Look : Swelling (+), deformitas (+), tampak luka sepanjang 3cm, hematom (-)

Feel : Nyeri tekan(+)suhu sekitar lebih tinggi,denyut arteri tibialis posterior

masih teraba

Move : Functio laesa < karena nyeri

INFO II

Tatalaksana Fraktur Terbuka

1. Cuci luka, debrimen dan hentikan pendarahan

2. Imobilisasi

3. IVFD RL

4. ATS

5. Antibiotik injeksi (cefotaksin/ceftriakson) 2x1 gr

6. Anti nyeri injeksi (ketorolak) 2x1 amp

INFO III

Pemeriksaan Radiologi

1. Foto femur dextra AP/Lateral:fraktur femur dekstra 1/3 distal

2. Foto pelvis AP dan genus AP/Lat:tidak ada kelainan

Page 4: Trauma dan Fraktur

Pemeriksaan Laboratorium

HB : 10,7 g/dl

HT : 32%

Leukosit : 15.800/uL

Trombosit : 260.000/uL

MCV : 73fl

MHC : 25pg

MCHC : 34 g/dL

Bleeding time : 03’00’’

Clothing time : 12’00’’

Ureum : 22 mg/dL

Creatinin : 1,2 mg/dL

GDS : 152 mg/dL

Na : 141 meq/L

K : 4,5 meq/L

Cl : 102 meq/L

Page 5: Trauma dan Fraktur

BAB II

PEMBAHASAN

A. Klarifikasi Istilah

Nyeri

Nyeri: spasme otot (respon perlindungan terhadap injury dan fraktur) akibat

reflek involunter pada otot, trauma langsung pada jaringan, peningkatan

tekanan pada saraf sensori, pergerakan pada daerah fraktur (Price dan Wilson,

2005).

B. Batasan Masalah

Identitas Pasien : Sdr.Toki, 28 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Keluhan Utama : Nyeri paha kanan,tampak bengkok,bengkak,mual

Lokasi : Paha kanan

Onset : >8 Jam

Kualitas : Sangat sakit, tidak bisa jalan

Kuantitas : Apakah sakit terus atau kadang-kadang?

Faktor memperberat : Apabila ditekan sakit atau tidak?, Keadaan ekstrimitas

bagaimana?

Faktor memperingan : Apabila dibiarkan tetap sakit atau tidak?

Kronologis : Naik motor, jatuh ke kanan, paha kanan terjepit

Keluhan penyerta : Mual, pendarahan

RPD : Apakah pernah trauma atau tidak?

RPK : -

RPS : -

Page 6: Trauma dan Fraktur

C. Analisis Masalah

1. Mekanisme nyeri

a. Transduksi nyeri

Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas

listriok di reseptor nyeri .

b. Transmisi nyeri

Proses penyaluran impuls nyeri daritempat transduksi melewati saraf

perifer sampai ke terminal di medulla melewati saraf perifer sampai ke

terminal di medulla spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar

yang naik dari medulla spinalis ke otak .

c. Modulasi nyeri

Aktivitasi saraf melalui jalur – jalur desendens dari otak yang dapat

mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Medulasi

juga melibatkan factor – factor kimiawi yang menimbulkan atau

meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri aferen primer.

d. Persepsi nyeri

Pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh

aktivitas transmisi nyeri oleh saraf.

(Marry et al., 2006)

2. Diagnosis banding

a. Dislokasi

Permukaan sendi normal yang menanggung rawan sendi terpasang

satu dengan lainnya dengan sangat akurat. Sublukasi adalah istilah

yang dipakai untuk menunjukkan adanya deviasi hubungan normal

antara rawan yang satu dengan rawan lainnya yang masih menyentuh

berbagai bagian pasangannya. Jika kedua bagian tersebut tidak

menyinggung yang satu dengan yang lainnya maka disebut dislokasi.

Pada scenario kali ini, diagnosis pembanding yang ada yaitu

dislokasi panggul atau dislokasi articulation coxae yaitu persendian

antara caput femur dengan acetabulum os. Coxae. Kalau panggul yang

Page 7: Trauma dan Fraktur

mengalami dislokasi tidak direduksi dalam beberapa jam setelah

cidera, maka kemungkinan pasien tersebut akan mengalami nekrosis

aseptik yang besar sekali. Dislokasi panggul biasanya dapat dikenal

dari adanya nyeri pada aderah glutea, lipat paha dan paha, disertai

posisi ekstremitas bawah yang kaku pada waktu adduksi, rotasi interna

dan fleksi.

b. Fraktur

Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang sering disertai

dengan kerusakan dari jaringan ikat di sekitarnya. Jaringan yang ikut

rusak misalnya kulit dan pembuluh darah yang biasanya ditandai

dengan pendarahan. Fraktur pada tulang menimbulkan rasa nyeri yang

luar biasa. Hal ini dikarenakan adanya reseptor nyeri pada permukaan

tulang yang teraktivasi (Pearce, 2009).

Fraktur disertai dengan reaksi inflamasi sehingga terlihat bengkak.

Reaksi inflamasi ini menambah rasa nyeri. Selain inflamasi, fraktur

ditandai dengan keanehan bentuk pada lokasi cidera, yaitu bentuk

bengkok (Mohamad, 2005).

3. Diagonis Kerja

Fractur femoris

D. Sasaran Belajar

1. Kuantitas Nyeri

Untuk mengukur kuantitas nyeri, digunakan beberapa skala nyeri yaitu:

a. Visual Analog Scale

(Portenoy & Tanner, 1996).

Page 8: Trauma dan Fraktur

b. Verbal Pain Intensity Scale

(Portenoy & Tanner, 1996).

c. 0 – 1 Numeric Pain Rating Scale

(McCaffery & Pasero, 1999).d. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale

(Wong et al., 2001).

2. Anatomi tulang

a. Bagian :

1) Caput femoris :

a) Bersendi dengan acetabulum os coxae

b) Terdapat fovea capitis feoris tempat melekatnya lig.Capitis femoris yang merupakan tempat dihantarkannya A.Obturatoria

2) Collum femoris

3) Corpus femoris

4) Trochanter mayor

5) Trochanter minor

Page 9: Trauma dan Fraktur

6) Linea Intertrochanter

7) Crista intertrochanter

8) Linea aspera :

a) Pinggir medial melanjut ke distal menjadi crista supracondylaris menuju tuberculum adductorum

b) Pinggir lateral melanjut ke distal menjadi crista supracondylaris lateralis

9) Tuberositas Glutea

10) Epicondylus medialis

11) Epicondylus lateralis

12) Condylus medialis

13) Condylus lateralis

Gambar 1. Os. Femur

Page 10: Trauma dan Fraktur

b. Facies:

1) Facies patellaris

2) Facies popliteal

c. Inervasi :

1) Cabang flexus sacralis

2) N.femoralis

d. Muskulus

1) M.Quadratus Femoris

2) M.Quadriceps Femoris

a) M.Rectus Femoris

b) M.Vastus Lateralis

c) M.Vastus medialis

d) M.Vastus intermedius

3) M. Psoas

4) M.Sartorius

5) Pectineus

Page 11: Trauma dan Fraktur

Gambar 2. Muskulus-muskulus pada femur

3. Definisi

Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang,

karena tekanan yang diterima tulang melebihi absorbsi tulang. Penyebab

terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses

degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (De Jong,

2010).

4. Macam Fraktur

a. Berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan di sekitar

1) Fraktur tertutup (closed)

Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia

luar.

2) Fraktur terbuka (open/compound)

Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar

karena adanya perlukaan di kulit.

Page 12: Trauma dan Fraktur

Gambar 3. Fraktur berdasarkan Hubungan Tulang

b. Berdasarkan bentuk patahan tulang

1) Transversal

Merupakan fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu

panjang tulang atau bentuknya melintang dari tulang. Fraktur

semacam ini biasanya mudah dikontrol dengan pembidaian gips.

2) Spiral

Merupakan fraktur meluas yang mengelilingi tulang yang timbul

akibat torsi ekstremitas atau pada alat gerak. Fraktur jenis ini hanya

menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.

3) Oblik

Merupakan fraktur yang memiliki patahan arahnya miring dimana

garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.

4) Segmental

Merupakan dua fraktur berdekatan pada satu tulang, ada segmen

tulang yang retak dan ada yang terlepas menyebabkan terpisahnya

segmen sentral dari suplai darah.

5) Kominuta

Merupakan fraktur yang mencakup beberapa fragmen, atau

terputusnya keutuhan jaringan dengan lebih dari dua fragmen

tulang.

Page 13: Trauma dan Fraktur

6) Greenstick

Merupakan fraktur tidak sempurna atau garis patahnya tidak

lengkap dimana korteks tulang sebagian masih utuh demikian juga

periosterum. Fraktur jenis ini sering terjadi pada anak-anak.

7) Fraktur Impaksi

Merupakan fraktur yang terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang

ketiga yang berada diantaranya, seperti pada satu vertebra dengan

dua vertebra lainnya.

8) Fraktur Fissura

Merupakan fraktur yang tidak disertai perubahan letak tulang yang

berarti, fragmen biasanya tetap di tempatnya setelah tindakan

reduksi.

Gambar 4. Fraktur Berdasarkan Bentuk Patahan Tulang

Page 14: Trauma dan Fraktur

c. Berdasarkan lokasi pada tulang fisis

Tulang fisis adalah bagian tulang yang merupakan lempeng

pertumbuhan, bagian ini relatif lemah sehingga strain pada sendi dapat

berakibat pemisahan fisis pada anak-anak. Fraktur fisis dapat terjadi

akibat jatuh atau cedera traksi. Fraktur fisis juga kebanyakan terjadi

karena kecelakaan lalu lintas atau pada saat aktivitas olahraga.

Klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk cedera atau fraktur

fisis adalah klasifikasi fraktur menurut Salter-Harris:

1) Tipe I:

Fraktur transversal melalui sisi metafisis dari lempeng

pertumbuhan, prognosis sangat baik setelah dilakukan reduksi

tertutup.

2) Tipe II:

Fraktur melalui sebagian lempeng pertumbuhan, timbul melalui

tulang metafisis, prognosis juga sangat baik dengan reduksi

tertutup.

3) Tipe III:

Fraktur epifisis dan kemudian secara transversal melalui sisi

metafisis dari lempeng pertumbuhan. Prognosis cukup baik

meskipun hanya dengan reduksi anatomi.

4) Tipe IV:

Fraktur longitudinal melalui epifisis, lempeng pertumbuhan dan

terjadi melalui tulang metafisis. Reduksi terbuka biasanya penting

dan mempunyai resiko gangguan pertumbuhan lanjut yang lebih

besar.

5) Tipe V:

Cedera remuk dari lempeng pertumbuhan, insidens dari gangguan

pertumbuhan lanjut adalah tinggi.

Page 15: Trauma dan Fraktur

Gambar 5. Fraktur Menurut Salter-Harris

5. Klasifikasi Open Fracture

Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat menurut R. Gustillo, yaitu (De

Jong, 2010):

a. Derajat I:

1) Luka <1 cm

2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk

3) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan

4) Kontaminasi minimal

b. Derajat II:

1) Laserasi >1 cm

2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi

3) Fraktur kominutif sedang

4) Kontaminasi sedang

c. Derajat III:

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,

dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi.

Fraktur terbuka derajat III terbagi atas (De Jong, 2010):

a) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun

terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat

kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa

melihat besarnya ukuran luka.

Page 16: Trauma dan Fraktur

b) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau

kontaminasi masif.

c) Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki

tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

6. Epidemiologi

Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan

umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,

pekerjaan, tingginya angka kecelakaan menyebabkan insiden fraktur yang

tinggi yang serig terjadi adalah fraktur femur, disebabkan benturan yang

sangat tinggi akibat kecelakaan mobil atau motor (Rinanto, 2010).

Insiden fraktur di indonesia dikumpulkan oleh Unit Pelaksana Teknis

Makmal Terpadu FKUI pada tahun 2006 dari 1690 kasus kecelakaan lalu

lintas ternyata yang mengalami fraktur femur 249 kasus atau 14,7,

sedangkan berdasarkan data sari RSPAD Gatot soebroto pada tahun 2011

adalah 178 orang (Rinanto, 2010).

7. Etiologi

a. Peristiwa Trauma Tunggal

Peristiwa trauma tunggal biasanya terjadi pada tulang panjang. Terbagi

menjadi dua berdasarkan kekuatannya, Kekuatan langsung dan

Kekuatan tidak langsung.

1) Kekuatan Langsung

Peristiwa trauma terjadi pada tempat yang mengalami kerusakaan.

Pada kekuatan langsung ini ada dua contoh tindakaannya, yaitu

pemukulan, yang menyebabkan fraktur melintang disertai

kerusakkan kulit dan jaringan disekitarnya, dan penghancuran, yang

menyebabkan fraktur kominutif, yang disertai pula dengan

kerusakan jaringan lunak yang luas.

2) Kekuatan Tidak Langsung

Peristiwa trauma terjadi pada jarak yang jauh dengan daerah yang

mengalami kerusakan. Trauma yang disebabkan kekautan tidak

langsung bisa terjadi karena bebrapa tindakan seperti, pemuntiran

yang menybabkan fraktur spiral, penekukkan yang menyebabkan

Page 17: Trauma dan Fraktur

fraktur melintang, penekukkan dan penekanan yang menyebabkan

fraktur sebagian melintang yang disertai dengan fragmen kupu-kupu

berbentuk segitiga terpisah. Selain itu juga trauma tidak langsung

juga bisa dikarenakan kombinasi dari tindakan pemuntiran,

penekukkan, dan penekanan, yang mengakibatkan fraktur oblique

pendek. Selain itu juga bisa disebabkan oleh penarikkan yang

menyebabkan tendon atau ligament yang tertarik hingga tulang

memisah.

b. Fraktur Kelelehan

Fraktur kelelahan biasanya diawali dengan retak yang dapat terjadi pada

tulang yang diakibatkan oleh adanya tekanan yang dating secara

berulang-ulang. Kasus tersebut sering ditemukan pada os.Tibia dan

os.Fibula, atau bisa juga terjadi pada os.Metatarsal. Biasanya penderita

fraktur kelelahan antara lain atlet, penari, dan calon tentara yang sedang

berbaris dalam perjalanan jarak ajuh.

c. Fraktur patologi

Fraktur yang terjadi karena adanya kelainan pada tulang seperti

kelainan karena adanya tumor, dan keadaan tulang yang sangat rapuh

seperti pada penyakit paget.

(Apley, 1995)

8. Patofisiologi

a. Nyeri

Nyeri merupakan mekanisme protektif untuk menimbulkan

kesadaran akan kenyataan bahwa sedang atau akan terjadi kerusakan

jaringan. selain itu, simpanan pengalaman yang menimbulkan nyeri

dalam ingatan membantu kita menghindari kejadian-kejadian yang

berpotensi membahayakan dimasa datang. (Sherwood, 2011)

Terdapat tiga kategori reseptor nyeri, atau nosiseptor. Nosiseptor

mekanis berespon terhadap kerusakan mekanis, misalnya tersayat,

terpukul, atau cubitan ; nosiseptor suhu berespon terhadap suhu ekstrim,

terutama panas; dan nosiseptor polimodal yang berespon sama kuat

terhadap semua jenis rangsangan yang merusak, termasuk bahan kimia

Page 18: Trauma dan Fraktur

iritan yang dikeluarkan oleh jaringan yang cedera. Karena manfaatnya

digunakan untuk kelangsungan hidup maka nosiseptor juga tidak

beradaptasi terhadap rangsangan yang menetap atau berulang.

Perjalanan Nyeri : (Sherwood, 2011)

Otak

Yang

lebih

Tinggi

Batang

Otak

Medula

Spinalis

substansi P serat nyeri aferen

Gambar 6. Mekanisme nyeri

Korteks somatosensorik

Talamus

Hipotalamus ; Sistem Limbik

Formatio retikularis

Rangsangan yang mengganggu

Page 19: Trauma dan Fraktur

b. Mual dan muntah

Mekanisme mual merupakan mata rantai panjang yang dikendalikan

oleh keseimbangan antara dopamine, serotonin, histamine, dan

asetilkolin. ( Ida, 2009)

Gambar 6. Mekanisme mual dan munta

Sistem Viseral

Infeksi bakteri Infeksi Virus

Lambung Esofagus

Pengeluaran Histamin dan Asetilkolin

Pengeluaran dopamine dan

serotonin

Terjadi mual dan muntah

(kontraksibersama)

Pusat mual muntah :

Pusat saliva Pusat vasomotor Pusat pernafasan Nervus cranial

Nervus spinalis

Nervus frenikus

Nervus Vagus

DiafragmaDinding Abdomen

Page 20: Trauma dan Fraktur

9. Proses Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka dibagai menjadi 3 fase, antara lain :

a. Fase Inflamasi

Fase inflamasi ini akan berlangsung sejak terjadinya luka sampai

kira – kira hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka yang

diderita tersebut akan menyebabkan perdarahan dan tubuh dalam hal ini

akan berusaha menghentikannya dengan cara vasokonstriksi,

pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi

hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari

pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang

terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah.

Sementara itu terjadi reaksi inflamasi. Sel mast dalam jaringan ikat

menghasilkan serotonin dan histamine yang meningkatkan

permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel

radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan

pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi jelas

berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat

(kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).

Aktifitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus

dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya

kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu

mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang

kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan

bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi

pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh

fibrin yang amat lemah.

b. Fase Proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol

adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase

inflamasi sampai kira – kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari

sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan

mukopolisakarida, asama aminoglisin, dan prolin yang merupakan

Page 21: Trauma dan Fraktur

bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada

fase ini serat dibentuk dan dihancurkan kembali untuk penyesuaian diri

dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini,

bersama dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan

pada tepi luka. Pada akhir fase ini kekuatan regangan luka mencapai

25% jaringan normal. Nantinya, dalam proses penyudahan kekuatan

serat kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antar molekul.

Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan

kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan

yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka

yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi

permukaan luka.

c. Fase Remodelling

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan

kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya

gravitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk.

Fase ini dapat berlangsung berbulan – bulan dan dinyatakan berkahir

kalau semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan

kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan.

Odema dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru

menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan

sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini

dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas serta mudah

digerakkan dari dasar. Terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada

akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira – kira

80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira – kira 3-6 bulan

setelah penyembuhan

( Guyton, 2007).

10. Proses Penyembuhan Tulang

Proses penyembuhan fraktur dibagai menjadi 5 fase, antara lain :

a. Fase Hematoma

Page 22: Trauma dan Fraktur

Pada fase Hematoma terjadi suatu proses perdarahan karena kerusakan

pada kanalis havers dan jaringan lunak dimana darah pada pembuluh

darah tidak sampai pada jaringan sehingga osteocyt mati, akibatnya

terjadi necrose. Hematoma yang banyak mengandung fibrin melindungi

tulang yang rusak. Setelah 24 jam akan terbentuk bekuan darah dan

fibrin yang masuk ke area fraktur sehingga suplai darah ke area fraktur

mulai meningkat. Kemudian akan membentuk hematoma sampai

berkembang menjadi jaringan granulasi. Stadium ini berlangsung 1

sampai 3 hari.

b. Fase Proliferasi

Proliferasi adalah proses dimana jaringan seluler yang berisi cartilage

keluar dari ujung – ujung fragmen sehingga tampak di beberapa tempat

bentukan pulau – pulau cartilage. Pada stadium ini terjadi pembentukan

granulasi jaringan yang banyak mengandung pembuluh darah,

fibroblast dan osteoblast yang akan berproliferasi membentuk

fibrokartilago, kartilago hialin dan jaringan penunjang fibrosa, akan

selanjutnya terbentuk fiber-fiber kartilago dan matriks tulang yang

menghubungkan dua sisi fragmen tulang yang rusak sehingga terjadi

osteogenesis dengan cepat. Haematoma merupakan dasar untuk proses

penggantian dan penyembuhan tulang, yang berlangsung 3 hari sampai

2 minggu.

c. Fase pembentukan Kalus

Pada pembentukan kalus atau kalsifikasi adalah proses dimana setelah

terjadi bentukan kartilago yang kemudian berkembang menjadi fibrosa

kalus sehingga tulang akan menjadi sedikit osteoporotik. Pembentukan

ini terjadi setelah granulasi jaringan menjadi matang. Jika stadium

putus maka proses penyembuhan luka menjadi lama. Fase ini

berlangsung 2 sampai 6 minggu.

d. Stadium Konsolidasi

Konsolidasi adalah suatu proses dimana terjadi proses transformasi

metaplastik yaitu penyatuan pada kedua ujung tulang menjadi lebih

Page 23: Trauma dan Fraktur

kuat dan lebih terorganisasi. Kalus yang tidak diperlukan mulai

diabsorbsi dan membentuk tulang baru, sementara osteoclas akan

menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk

tulang yang menyerupai keadaan tulang yang aslinya. Pada tahap ini

tulang sudah kuat tapi masih berongga. Fase ini biasanya butuh waktu 3

minggu sampai 6 bulan.

Dikenal beberapa jenis kalus sesuai dengan letak kalus tersebut

berada terbentuk kalus primer sebagai akibat adanya fraktur terjadi

dalam waktu 2 minggu Bridging (soft) kalus terjadi bila tepi-tepi tulang

yang fraktur tidak bersambung. Medullary (hard) kalus akan

melengkapi bridging kalus secara perlahan-lahan. Kalus eksternal

berada paling luar daerah fraktur di bawah periosteum periosteal kalus

terbentuk di antara periosteum dan tulang yang fraktur.

Interfragmentary kalus merupakan kalus yang terbentuk dan mengisi

celah fraktur di antara tulang yang fraktur. Medullary kalus terbentuk di

dalam medulla tulang di sekitar daerah fraktur.

e. Stadium Remodelling

Remodeling adalah proses dimana tulang sudah terbentuk kembali atau

tersambung dengan baik. Pada tahap ini tulang semakin menguat secara

perlahan- lahan terabsorbsi dan terbentuk canalis medularis Tahap ini

berlangsung selama 6 minggu sampai 1 tahun. Pada sebagian besar

fraktur non-comminuted latihan diawali pada fase kalsifikasi.

( Rasjad, 2003)

Hematoma Proliferasi Kalsifikasi Konsolidasi Remodelling

Tulan

g

Tulang patah

mengenai

pembuluh

darah

Terbentukny

a

hematoma

Sel-sel

periosteum

dan

endosteum

paling

menonjol

pada tahap

Jaringan

seluler

yang keluar

dari

masing–

masing

fragmen

Callus yang

belum

masak

akan

membentuk

callus

berlangsung

Tulang

menyambun

g

baik dari luar

maupun

dari dalam

canalis

Page 24: Trauma dan Fraktur

disekitar

perpatahan

Hematoma

dibentuk dari

jaringan

lunak

disekitarnya

Permukaan

tulang

yang patah

tidak

mendapatkan

suplay

Berlangsung

selama 24

jam

setelah

terjadi

perpatahan

poliferasi

Poliferasi

dari selsel

periosteum

yang

menutupi

fraktur, sel-

sel ini

merupakan

tempat

tumbuhnya

osteoblas

akan

melepaskan

unsurunsur

intraseluler

dan

kemudian

menjadi

fragmen

lain

Berlangsun

g

selama 3-4

hari

yang sudah

matang

Sel-sel

memberi

perlengkapa

n untuk

osteoblas

condroblas

membentuk

callus

yang belum

masak

dan

membentuk

jendolan.

Adanya

rigiditas

pada fraktur

Berlangsung

selama

6-12

minggu.

bertahap

dan

berubah-

ubah.

Adanya

aktifitas

osteoblas

menjadi

tulang

yang lebih

kuat dan

massa

strukturnya

belapis –

lapis

Berlangsun

g

selama 12-

14

minggu

medularis

Osteoblas

mengabsorbs

i

pembentukan

tulang

yang lebih.

Tulang

ekstravasi

untuk

sembuh

berlangsung

selama

24 minggu

sampai 1

tahun.

11. Penegakan Diagnosis

a. Anamnesa

Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus

diperinci kapan terjadinya, dimana terjadinya jenisnya, berat ringan

trauma, arah trauma dan posisi pasien atau ekstrem itas yang

Page 25: Trauma dan Fraktur

bersangkutan. Jangan lupa untuk meneliti kembali trauma ditempat

lain secara sistematik dari kepala, muka, leher, dada dan perut (Harry

B. 2006).

Dari kasus pada pbl 4 dapat ditemukan:

1) Identitas pasien : Sdr, Toki 28 tahun (laki-laki)

2) Keluhan utama : Nyeri di paha kanan

3) RPS

a) Lokasi : Paha kanan

b) Onset : 8 jam

c) Kuantitas : Tidak ada

d) Kualitas : Kesakitan sampai tidak bisa berjalan

e) Faktor memperberat : Tidak ada

f) Faktor memperingan: Tidak ada

g) Gejala penyerta : Mual, pendarahan

h) Kronologi : Karena trauma, kecelakaan lalu lintas, 8

jam yang lalu, terjatuh bersama motor

kearah kanan, motor menekan paha

kanannya.

4) RPD : tidak ada

5) RPK : tidak ada

6) RES : tidak ada

b. Pemeriksaan umum

Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada fraktur

multipel , fraktur pelfis, fraktur terbuka ; Tanda – tanda sepsis pada

fraktur terbuka yang mengalami infeksi (Harry B. 2006).

c. Pemeriksaan status lokasi

Tanda – tanda klinis pada fraktur tulang panjang (Rasjad, 2007):

1) Look, cari apakah terdapat :

Page 26: Trauma dan Fraktur

a) Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal ( misalnya

pada fraktur kondilus lateralis humerus ), angulasi, rotasi, dan

pemendekan.

b) Functio laesa ( hilangnya fungsi ), misalnya pada fraktur kruris

tidak bisa berjalan

c) Lihat juga ukuran panjang tulang, bandingkan kiri dan kanan,

misalnya, pada tungkai bawah meliputi apparenth length ( jarak

antara ubilikus dengan maleolus medialis ) dan true lenght

( jarak antara SIAS dengan maleolus medialis )

2) Feel, cari apakah terdapat :

a) Adanya nyeri tekan (tenderness),

b) Krepitasi,

c) Pemeriksaan status neurologis dan vaskuler di bagian distal

fraktur.

d) Palpasi daerah ektremitas tempat fraktur tersebut, di bagian

distal cedera meliputi pulsasi arteri, warna kulit, capillary refill

test.

e) Suhu kulit, denyutan arteri

f) Jaringan lunak, mengetahui adanya spasme otot, atrofi otot

Tapi pada Pemeriksaan nyeri sumbu tidak dilakukan lagi karena

akan menambah trauma.

3) Move, untuk mencari :

a) Krepitasi, terasa bila fraktur digerakan. Tetapi pada tulang

spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi.

Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena akan

menambah trauma.

b) Nyeri bila digerakan, baik pada gerakan aktif maupun pasif

c) Seberapa jauh gangguan – gangguan fungsi, gerakan – gerakan

yang tidak mampu digerakan, range of motion ( derajat dari

ruang lingkup gerakan sendi ), dan kekuatan.

d) Evaluasi gerakan sendi secara aktif dan pasif, apakah gerakan

menimbulkan sakit dan disertai krepitasi

Page 27: Trauma dan Fraktur

e) Stabilitas sendi

f) ROM, abduksi, adduksi, ekstensi, fleksi, rotasi eksterna, rotasi

interna, pronasi, supinasi, fleksi lateral, dorsofleksi, plantar

fleksi, inversi, eversi

d. Pemeriksaan Penunjang :

1) Pemeriksaan radiologis (rontgen), pada daerah yang dicurigai

fraktur, harus mengikutiaturan role of two, yang terdiri dari :

a) Mencakup dua gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral.

b) Memuat dua sendi antara fraktur yaitu bagian proximal dan

distal.

c) Memuat dua extremitas (terutama pada anak-anak) baik yang

cidera maupun yangtidak terkena cidera (untuk membandingkan

dengan yang normal)

d) Dilakukan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah

tindakan.

2) Pemeriksaan laboratorium, meliputi

a) Darah rutin, untuk hematokrit dan leukosit meningkat.

b) Faktor pembekuan darah,

c) Golongan darah (terutama jika akan dilakukan tindakan

operasi),

d) Urinalisa,

e) Kreatinin (trauma otot dapat meningkatkan beban kreatinin

untuk kliren ginjal)

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis

fraktur femur dextra terbuka 1/3 distal grade 2 ditegakkan.

12. Penatalaksanaan Fraktur

a. Pembidaian

Penanganan pertama pada cidera dapat dilakukan prosedur balut

dan bidai. Balut adalah proses membebat cidera menggunakan kain

ataupun kassa. Bidai adalah prosedur untuk membuat tempat cidera

dalam posisi immobile.

Page 28: Trauma dan Fraktur

Balut memiliki banyak tujuan dan fungsi teraupetik. Tujuan dan

fungsi teraupetik tersebut yaitu (Kowalsky, et al., 2008):

1) Menahan lengan dan sendi

2) Menahan tempat luka

3) Mengikat bidai

4) Melindungi atau mempertahankan dressing pada lokasi cidera

5) Menahan bagian cidera agar tidak bergeser

6) Menahan pembengkakan

7) Menutup luka

Pemasangan balut harus memperhatikan beberapa hal, yaitu

(Kowalsky, et al., 2008):

1) Warna kulit bagian distal

2) Gerakan di region lebih distal

3) Edema

4) Nyeri

5) Temperature tempat bidai.

Bidai digunakan untuk membuat lokasi cidera dalam keadaan

immobile. Tujuan imobilisasi lokasi cidera yaitu (Schoen, 2000):

1) Mengurangi nyeri

2) Mencegah gerakan segmen fraktur yang memungkinkan

melukai kulit dan pembuluh darah

3) Memudahkan transportasi

4) Memastikan vaskularisasi ke bagian distal

Dalam pelaksanaannya, bidai memiliki tiga prinsip, yaitu

melakkukan bidai di tempat cidera, tetap dilakukan bidai jika dicurigai

terjadi fraktur, dan bidai melalui minimal dua sendi (Schoen, 2000).

b. Medikamentosa

Penanganan fraktur yang kedua adalah dengan memberikannya

penatalaksanaan secara medikamentosa, seperti :

1) Obat antibiotic:

Cefotaksim/ ceftriakson (Istiantoro, et al., 2011)

Golongan : Chepalosporin generasi ketiga

Page 29: Trauma dan Fraktur

Sifat : Bakteriosid

Cara kerja : Menghambat pembentukkan dinding sel

Efek samping : Reaksi alergi

Alasan pakai : Cefotaksim/ ceftriakson merupakan

antibiotic spectrum luas

2) Obat analgesic:

Keterolak (Wilmana, et al., 2011)

Golongan : Analgesic non-opiat

Cara kerja : Selektif menghambat COX-1

Efek samping : Gangguan saluran cerna jika digunakan

jangka panjang, kantuk, sakit kepala dan

gangguan hematologi

Alasan pakai :Memiliki efektivitas yang sebanding dengan

morfin, masa kerja lebih panjang, dan efek

samping lebih ringan

3) Resusitasi cairan

Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik,

dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus

segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi

sebelum induksi anestesi. Jumlah penggantian cairan selama

pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar ditambah

dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan,

translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang

diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah

darah yang hilang.

1) Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu

traumatis misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup

hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.

2) Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi

dapat diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk

kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti

akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6

Page 30: Trauma dan Fraktur

ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer

Laktat atau Normosol-R.

3) Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan

sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8

ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10

ml/kgBB/jam (Sunatrio, 2000).

4) IV FDRL

RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan

pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan

sebagai replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik,

diare, trauma, dan luka bakar. Laktat yang terdapat di dalam larutan

RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna

untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik. Kalium yang

terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan sehari-hari,

apalagi untuk kasus defisit kalium. Larutan RL tidak mengandung

glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai cairan rumatan, dapat

ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah terjadinya

ketosis. Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran

memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L),

Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273

mOsm/L. Sediaannya adalah 500 ml dan 1.000 ml ( Sunatrio, 2000).

5) Debridement

Debridement dilakukan dengan anastesi umum. Tindakan bertujuan

untuk membersihkan luka dari bahan asing dan jaringan mati,

memberikan persedian darah yang baik. Pembersihan luka

menggunakan garam fisiologis (Nugroho, 1995).

6) Terapi Definitif

Metode yang paling aman untuk kasus fraktur terbuka adalah

menggunakan fiksasi eksternal dengan menggunakan sekrup pengikat atau

kawat transfiksi yang diletakkan di proksimal dan di distal fraktur,

kemudian keduanya dihubungkan dengan kawat kaku. Open Reduction

Page 31: Trauma dan Fraktur

Internal Fixation (ORIF) tidak dianjurkan dan sebisa mungkin dihindari

pada kasus fraktur terbuka (Apley & Solomon, 1995).

Luka dapat dibalut sekadarnya dengan kassa steril, kemudian

diperiksa setelah 5 hari. Jika luka bersih, luka tersebut dapat langsung

dijahit atau dilakukan pencangkokkan kulit apabila terdapat kehilangan

kulit atau kontraktur. Bila pada luka tersebut terjadi toksemia atau

septikemia meskipun telah diberi kemoterapi, maka luka tersebut

didrainase (Apley & Solomon, 1995).

13. Rehabilitasi Medik

Fraktur pada femur melibatkan rehabilitasi yang luas berkaitan

dengan waktu penyembuhan dan kerusakan muskulus yang terlibat.

Rehabilitasi biasanya melibatkan physical therapist untuk melatih

kekuatan dan range of motion (ROM). Kesembuhan total dapat dicapai

dalam waktu mencapai 9 bulan (Walker, 2007).

Terapi rehabilitatif yang dilakukan meliputi (Frontera et al., 2006):

a. Latihan kekuatan

Ada tiga macam latihan kekuatan, yaitu:

1) Latihan isometrik

Pada latihan ini terjadi kontraksi otot tanpa pergerakan sendi.

Latihan ini dapat dilakukan saat rehabilitasi tahap awal dan

sangat bermanfaat untuk menjaga atau meningkatkan penguatan

otot.

2) Latihan isokinetik

Pada latihan ini kecepatan gerakan sendi konstan. Latihan ini

digunakan pada rehabilitasi tahap akhir ketika sudah terjadi

kestabilan yang baik pada bagian fraktur dan memerlukan alat

khusus.

3) Latihan isotonik

Merupakan latihan dinamis menggunakan beban statis, tetapi

tidak mengontrol kecepatan gerakan. Terjadi kontraksi otot

bersamaan dengan gerak sendi. Latihan ini digunakan untuk

Page 32: Trauma dan Fraktur

meningkatkan kekuatan pada tahap pertengahan dan tahap akhir

dari rehabilitasi fraktur.

b. Range of Motion (ROM)

Tujuan melatih gerakan ROM adalah untuk menjaga atau

meningkatkan jangkauan dari sebuah sendi. ROM merupakan

latihan dasar yang paling banyak digunakan pada kasus rehabilitasi

fraktur. Berikut macam-macam bentuk dari ROM:

1) ROM penuh (full ROM)

Latihan menggerakan sendi yang sesuai dengan dasar anatomi

dari sendi tersebut.

2) ROM fungsional

Latihan menggerakkan sendi yang diperlukan dalam melakukan

aktivitas sehari-hari.

3) ROM aktif

Latihan menggerakan sendi oleh pasien sendiri tanpa bantuan

orang lain. Tujuannya memelihara ROM dan kekuatan minimal

akibat kurang aktivitas dan menstimulasi sistem

kardiopulmoner. Gerakan ROM dapat berupa gerakan sendi

penuh atau parsial.

4) ROM pasif

Latihan menggerakkan sendi tanpa kontraksi otot pasien.

Tujuannya adalah untuk memelihara mobilitas sendi ketika

kontrol dari otot sendi hilang atau pasien tidak sadar. Seluruh

gerakan dibantu oleh terapis

c. Latihan daya tahan

1) Reconditioning

Latihan yang ditujukan kepada pasien yang sakit dengan tujuan

mengembalikan daya tahan tubuh. Pada fraktur femur misalnya

latihan menaiki tangga.

2) Conditioning

Latihan yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh

yang secara keseluruhan meningkatkan fungsi kardiopulmonari.

Page 33: Trauma dan Fraktur

BAB III

KESIMPULAN

1. Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang yang sering disertai dengan

kerusakan dari jaringan ikat di sekitarnya

2. Manifestasi klinis fraktur seperti nyeri, bengkak, dan mual

3. Klasifikasi fraktur dibedakan menurut ; lokasi patahan pada tulang fisi ,

hubungan tulang dengan jaringan sekitar, bentuk patahan tulang

4. Penanganan pertama pada cidera fraktur menggunakan balut dan bidai

untuk mengurangi mobilisasi dan tidak memperburuk keadaan.

5. Terapi rehabilitasi meliputi latihan kekuatan (latihan isometrik, latihan

isotonik, dan latihan isokinetik) dan juga Range of Motion (ROM)

Page 34: Trauma dan Fraktur

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A Graham dan Louis Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, edisi ketujuh. Jakarta: Widya Medika.

De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Frontera, Walter R, David M Slovik, dan David Michael Dawson. 2006. Exercise in Rehabilitation Medicine, 2nd edition. Champaign: Human Kinetics.

Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC

Kowalsky, Mary T., and Caroline Bunker Rosdahl. 2008. Textbook of Basic

Nursing. 9th edition . Unit 8. Philadelphia: Lippincot William and Wilkins

McCaffery dan Pasero. Pain: Clinical Manual. St. Louis: Mosby.

Mohamad, Kartono. 2005. Pertolongan Pertama. Bab XIX. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama

Nugroho, Edi. 1995. Buku Ajar Orthopedi fraktur sistem apley edisi ke tujuh.

Jakarta ; Widya Medika

Patel, Pradip R. 2007. Radiology. Jakarta : EMS

Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Bab 6. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

Portenoy, RK dan RM Tanner. 1996. Pain Management: Theory and Practice. Oxford: Oxford University Press.

Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC

Rasjad, Chairuddin, 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Penerbit Bintang

Lamumpatue Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar

Rinanto, Febri S. 2010. Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Pelaksanaan

Mobilisasi pada Pasien Post Operasi Fraktur

Page 35: Trauma dan Fraktur

Schoen, Delores C. 2000. Adult Orthopaedic Nursing: An Illustrated Guide.

Chapter 5. Philadelphia: Lippincot William and Wilkins

Skinner, Harry B. 2006. Current Diagnosis & Treatment In Orthopedics. USA:

The McGraw-Hill Companies.

Sunatrio, S. 2000. Resusitasi Cairan. Jakarta : Media Aesculapius

Walker, Brad. 2007. The Anatomy of Sport Injuries. Berkeley: Lotus Publishing.

Wilmana, P., et al. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5 Seksi III dan XII.

Jakarta: Badan Penerbit FKUI

Wong, DL et al. 2001. Wong’s Essentials of Pediatric Nursing. St. Louis: Mosby.