Upload
marcella-ismanto
View
9
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
film review
Citation preview
RANGKUMAN FILM TSDA
Marcella / 00000007368
The History of Home – Bathroom
Kamar mandi mungkin merupakan salah satu ruang fungsional di dalam rumah yang
telah berevolusi paling lama. Pada abad pertengahan di Inggris, konsep dari sebuah ‘kamar
mandi’ yang memiliki sebuah ruang tersendiri sama sekali belum ada. Pada era tersebut,
sebuah kamar mandi hadir dalam bentuk ruang publik yang dinamakan bathhouse.
Pertumbuhan bathhouse ini begitu pesat sehingga dibangun di tiap kota di Inggris. Namun,
akhirnya bathhouse pun ditinggalkan oleh masyarakat karena terlau berkaitan erat dengan
prostitusi. Selain bathhouse, terdapat juga toilet umum yang terletak tepat di London Bridge.
Orang dapat melakukan ‘urusannya’ sembari bercakap-cakap dengan tetangga dan kotoran
dapat langsung dibuang ke sungai. Sangat efektif.
Pada abad ke-16, mendadak mandi menjadi kegiatan yang berbahaya. Selain karena
kesediaan air bersih yang semakin sulit didapat, terdapat pula anggapan bahwa mandi air
panas dapat membuat tubuh lebih rentan terhadap penyakit. Akhirnya, alih-alih
membersihkan tubuh, membersihkan pakaian linen putih menjadi lebih populer. Pada era
itu, terdapat tiga tingkat toilet dari yang rendah sampai tertinggi : communal toilet, chamber
pot, dan stool. Pada tahun 1596, tercipta toilet flush pertama di Inggris, yang dinamakan
Ejax. Walaupun begitu, toilet jenis ini tidak terlalu diterima karena masyarakat Inggris masih
menggunakan konsep bahwa ‘toilet lah yang datang ke orang, bukan sebaliknya’—tidak lupa
bau yang masih tercium.
Pada akhir masa kepempinan Elizabeth I, sungai di London telah menjadi amat kotor
dan polluted, sehingga pada tahun 1613 Hugh Middleton memuat sebuah sungai baru yang
dinamakan New River. Lewat sungai ini, air bersih dapat disalurkan ke rumah-rumah lewat
sebuah pipa dari pohon elm. Mulai abad ke-18, muncullah Georgian’s toilet. Terletak di
dalam kamar tidur, lokasi ‘kamar mandi’ ini berada di pojok kamar berupa basin yang berisi
air bersih. Namun, kegiatan mandi lebih didominasi oleh kegiatan merias wajah dan
memakai parfum, bukannya membersihkan diri.
Revolusi Industri memainkan peran penting dalam perkembangan kamar mandi.
Berkembangnya teknologi akhirnya menciptakan kembali Ejax, sebuah toilet flush yang
diproduksi oleh Thomas Crapper. Selain toilet, pipa-pipa pembuangan toilet pun semakin
bervariatif untuk menghilangkan bau kotoran—seperti pipa leher angsa. Namun yang lebih
penting, sewage system pun diperkenalkan oleh Joseph Bazalgette. Sewage system ini
menjadi tempat penampungan kotoran umum yang membuat setiap rumah dapat memiliki
pipa-pipa pembuangan tersendiri. Pada akhir abad ke-18, kesadaran bahwa mandi
merupakan hal yang penting untuk kesahatan pun tumbuh. Terakhir, air panas pun akhirnya
memiliki akses langsung ke kamar mandi pada tahun 1910 (sebelumnya air panas harus
diantar ke kamar mandi dari dapur).
Air panas (yang bersih tentunya), kesadaran akan kesehatan, dan pipa pembuangan.
Tampaknya seluruh elemen sudah lengkap untuk sebuah konsep kamar mandi yang
sempurna. Namun ternyata setelah Perang Dunia ke 1 lah, konsep kamar mandi barulah
utuh lewat Hollywood. Hollywood memperkenalkan kepada masyarakat di dunia (termasuk
masyarakat Inggris) bahwa kegiatan mandi merupakan aktivitas privat yang dapat sangat
dinikmati. Setelah itu, hotel-hotel mewah pun memasukkan kamar mandi ke dalam tiap
kamar. Kamar mandi menjadi tempat yang ‘mewah’; mewah dalam artian merupakan satu-
satunya lokasi dimana kita dapat menjadi diri kita sendiri; terkunci dan privat.
La Galleria Umberto 1, Milan
Dirancang oleh Emanuele Rocco, La Galleria Umberto merupakan lokasi
perbelanjaan publik di sebuah kota di Itali, Naples. Naples merupakan kota terbesar di Itali
yang menjadi pusat ekonomi di Itali pada saat itu. Sayangnya, pada era tersebut terdapat
penyebaran wabah penyakit yang luas di kota tersebut. La Galleria Umberto ini pun menjadi
tempat bernaung masyarakat kota Naples untuk bersantai dan menghindari cuaca buruk.
Berlokasi dekat dengan pelabuhan, bangunan ini mengikuti sebuah konsep umum arsitektur
bahwa untuk menciptakan komposisi yang baik, bangunan harus mengikuti aksis bangunan
lain yang lebih tua umurnya. Walaupun begitu, karena kala itu bangunan telah begitu banyak
jumlahnya, lokasi galeri ini pun akhirnya ‘dipaksakan’ berada di perempatan jalan sehingga
memiliki bentuk tanda salib atau plus. Untuk menyembunyikan fakta mengenai lokasi buruk
ini, fasad bangunan ini dirancang semenarik mungkin dan monumental.
Dengan kubah atap berupa kaca, ternyata teknik penopangnya masih tergolong
ketinggalan jaman. Keberadaan kubah ini sebenarnya tidak direncanakan; galeri ini
seharusnya tidak memiliki atap seperti galeri-galeri perbelenjaan lainnya di Itali pada saat
itu, yaitu tanpa adanya atap. Selain itu, galeri ini dimaksudkan untuk memiliki dualisme
fungsi : yaitu sebagai sebuah pusat perbelanjaan dan juga tempat tinggal / residence.
Sayangnya, konsep menggabungkan fungsi publik dan privat pun gagal karena banyaknya
keluhan mengenai ketiadaan teras (hanya terdapat satu sisi galeri yang mendapat sinar
matahari, sedangkan sisi lainnya menghadap ke dalam galeri yang bernaung kanopi kaca).
Selain itu, terdapat pula masalah lain seperti masalah kebocoran atap sehingga membuat
galeri ini akhirnya berfungsi sebagai perkantoran.
Berbentuk salib, lantai dari La Galleria Umberto dilapisi dengan mozaik di bagian
tengah dan berbentuk kompas yang menunjukkan arah orientasi. Atap berubah kubah kaca
pun memberi kesan transparansi dan sumber sinar natural, namun tetap dapat melindungi
pengunjung dari hujan yang bisa kapan saja datang. Untuk bagian interior, terdapat banyak
dekorasi di dinding-dindingnya untuk memberi kesan modern. Walaupun gagal mewujudkan
sebuah galeri yang multifungsi dan mewah, galeri ini tetap menjadi tujuan wisatawan
sampai sekarang karena keindahan kanopi kacanya.
Opera Garnier, Paris, Charles Garnier
Pada tahun 1858, terjadi sebuah ledakan teater opera bernama Rue Le Peletier di
Paris yang dilakukan oleh revolusioner Itali. Targetnya adalah Napoleon, dan untunglah
ledakan itu tidak mencederainya. Namun karena tragedi terebut, Napoleon pun
memutuskan untuk mengadakan kompetisi arsitektur untuk membangun sebuah gedung
opera baru di tahun 1860. Di antara 177 kontestan, rancangan Charles Garnier yang terpilih.
Hanya bekerja di sebuah tim arsitek yang memiliki relasi dekat dengannya, nama Garnier
sebenarnya sama sekali tidak dikenali di dunia arsitektur pada kala itu.
Pembangunan gedung opera ini diawasi dengan sangat ketat karena merupakan salah
satu projek terbesar dan juga merupakan isu politik yang cukup sensitif. Tekanan untuk
Garnier pun semakin besar karena terdapat tuntutan untuk menyelesaikan bangunan ini
pada World’s fare tahun 1867. Opera Garnier selesai tepat waktu, sayangnya haya bagian
fasadnya saja. Untungnya, tampak bangunan ini sangat mencengangkan dan monumental
sehingga hal ini tidak dipermasalahkan.
Lokasi opera ini dikelilingi oleh jalan raya yang berbentuk seperti berlian sehingga
merupakan lokasi yang amat tidak pantas untuk bangunan penting seperti ini. Selain itu,
tampak opera ini tidak dapat dinikmati karena tertutup oleh gedung-gedung yang berada di
sekitar opera ini. Rancangan Garnier ini banyak dikritisi karena tidak mengikuti aturan
paralelisme oleh banyak arsitek. Terdapat masalah lain yang tidak diprediksi oleh Granier,
yakni ketinggian gedung di sekitarnya. Ia memiliki visi untuk menjadikan gedung ini sangat
monumental, sehingga harus lebih tinggi dari bangunan lainnya. Namun, terdapat bangunan
lain di sebelahnya yang rupanya lebih tinggi sehingga Garnier terpaksa ‘meninggikan’ fasad
bangunan ini secara mendadak.
Secara bentuk, Opera Garnier memiliki volume yang saling bertabrakan juga kubah
yang cenderung rata sehingga tidak mengikuti prinsip arsitektur klasik. Walaupun begitu,
Garnier berpendapat bahwa seluruh rancangan eksterior dan bentuknya memiliki tujuan
untuk menunjukkan fungsi interior bangunan. Contohnya dalah kubah bangunan ini yang
dimaksudkan untuk menunjukkan lokasi auditorium.
Ukuran auditorium di opera ini termasuk kecil jika dibandingkan dengan opera lain
pada jaman itu. Untuk struktur auditorium ini, Garnier menggunakan struktur logam yang
dapat menghindari kemungkinan terjadinya kebakaran. Sedangkan dari segi akustik (opera),
Garnier memutuskan untuk tidak melakukan rancangan apa-apa terhadap gedung untuk
meredam suara. Ternyata, efeknya sungguh luar biasa; yaitu jatuhnya kandil (chandelier)di
langit-langit akibat suara nyanyian opera yang begitu besar. Tidak hanya itu, bagian bawah
panggung memiliki jarak yang begitu tinggi sebagai tempat penyimpanan mekanisme yang
didukung oleh perkembangan teknologi pada jaman tersebut.
Opera Garnier merupakan bangunan yang memainkan andil besar dalam pemahaman
arsitektur di Eropa pada saat itu. Charles Garnier jelas telah memanfaatkan kesempatan
sebaik-baiknya dalam menciptakan karya arsitektur yang menginspirasi dunia sekarang.
Palladio : The Architect and His Influence in America
Lahir di Padua, sebuah kota di Itali yang berdekatan dengan Venice, Andrea Palladio
merupakan salah satu arsitek yang karyanya paling sering diimitasi oleh arsitek-arsitek di
Eropa dan Amerika. Ia memiliki ciri khas dalam merancang arsitektur yang menghubungkan
rancangan bangunan dengan lokasi di mana bangunan itu berada. Rancangan-rancangan
Palladio memiliki ciri-ciri seperti : kesederhanaan dalam bentuk geometri, keseimbangan dan
simetri, juga proporsi bangunan yang sempurna, seperti rasio antar tinggi dan berat yang
diukur secara tepat. Palladio sendiri memiliki pengetahuan yang luas terhadap arsitektur
kuno dan hal tersebut menjadi berpengaruh terhadap rancangan bangunannya.
Pada tahun 1508, ia pun meninggalkan Padua menuju Venice. Tidak lama pada tahun
1524, Palladio pergi ke Vicenza. Vicenza merupakan kota yang memiliki jalan-jalan sempit
dengan arkade-arkade pada bangunannya. Kemudian, ia pun pindah ke kota Roma dimana ia
mengalami sendiri untuk pertama kalinya arsitektur-arsitektur kuno di kota tersebut. Pada
tahun 1949, kumpulan aristrokat meminta Palladio untuk merestorasi sebuah bangunan tua
di tengah kota untuk dijadikan palace dan juga sebuah teater permanen. Ia pun
menghadapi keberadaan dinding-dinding tua dan memutuskan untuk membuat sebuah
arkade dan sebuah busur yang terletak di antara kolom (ialah pencetus bentuk arkade
dengan busur yang kita kenal sekarang). Dinamakan Vicenza Piazza, bangunan ini baginya
merupakan the most elegant building since antiquity. Setelah itu, Palladio mendapat banyak
permintaan dari bangsawan untuk merancang palace mereka sendiri. Ia pun merancang
tiap-tiap palace untuk memiliki ciri khas yang unik dan berbeda satu sama lain sesuai dengan
pemiliknya juga dengan lokasi bangunan terebut berada.
Setelah banyak merancang bangunan untuk bangsawan, Palladio pun mendapatkan
projek pertamanya untuk merancang sebuah gereja di tahun 1562. Hanya saja, keputusan
Palladio untuk merancang bangunan dnegan konsep sebuah kuil Romawi membawa masalah
kompleks. Di Venice pada saat itu, fasad bangunan mengikuti tradisi untuk memiliki banyak
dekorasi terutama yang berbatasan dengan kanal. Untuk Gereja bernama San Giorgio
Maggiore ini pun, ia masih mengikuti tradisi. Fasad bangunan gereja ini dirancang untuk
menarik perhatian, sedangkan badan bangunan cenderung polos dan tidak memiliki banyak
dekorasi. Bagian interior gereja San Giorgio didominasi oleh dinding putih dan marmer abu-
abu yang menghubungkan bagian-bagian dari gereja. ‘A wall colors none is more suitable to
temple than white’. Ia meyakini bahwa keberadaan Tuhan tidak dihadirkan melalui lukisan
atau ornament, melainkan melalui persepsi ruang yang bersifat abstrak.
Venice kemudian berubah peran menjadi kota pertanian di abad pertengahan untuk
mendapat penghasilan. Awalnya, arsitek tidak dibutuhkan untuk merancang farm house.
Namun seiring berjalannya waktu, rancangan farm house yang terencana dengan baik
menjadi suatu keharusan. Tentu saja, Palladio pun menangani arsitektur jenis ini dengan
metode yang sama sebagaimana ia merancang bangunan lain di Venice sebelumnya. Ia
merancang dengan mempertimbangkan lokasi bangunan baru kemudian menentukan
konsep dari bangunan tersebut.
Berbeda dengan arsitek lain, Palladio menulis buku untuk menyampaikan hasil pikiran
dan rancangannya ke seluruh dunia, bahkan sampai ke Amerika. Dari situlah, ide-idenya
menjadi inspirasi banyak arsitek dan menyebar luas ke seluruh penjuru dunia.
Architecture and the Russian Avant – Garde
Pada awal abad ke-19 (masa-masa terjadinya Evolusi Rusia), gaya arsitektur yang
paling dominan merupakan moderenisme, yang menjadi gaya nasional arsitektur di Rusia
pada masa itu. Revolusi Industri juga memainkan peran yang besar pada arsitektur Rusia.
Para arsitek menjadi sulit menemukan ‘gaya’ yang unik dan khas pada masa itu karena
perkembangan yang pesat di segala bidang kehidupan, termasuk teknologi. Di tengah-
tengah perubahan ini, muncullah konsep sebuah arsitektur yang ‘baru’, dengan ciri khas
seperti minim dekorasi, struktur menggunakan bentuk-bentuk geometris sederhana, serta
material dan metode konstruksi yang baru.
Contemporary architecture pun berkembang, dan inspirasi utamanya adalah dari
lukisan modernisme. Tidak dapat dipungkiri, arsitektur memang berkaitan erat dengan
inovasi dari lukisan dan seni. Terdapat dua arsitek yang bergelut di bidang tersebut, yaitu
Kandinsky dan Malevich. Tidak jelas siapa yang menginspirasi siapa, namun dua-duanya
mengaplikasikan hubungan antara volume dan ruang, serta gerak suprematism pada
arsitektur.
Salah satu projek arsitektur paling terkenal di Rusia adalah Tatlin’s Tower (walaupun
tidak pernah terwujud). Dengan bentuk volume dasar kubus, silinder, dan setengah bola,
Tatlin’s Tower ini pun dirancang hanya menggunakan tiga material yaitu besi, baja, dan kaca
(dikatakan menyerupai struktur sebuah gereja). Projek ini pun berhasil membuat banyak
arsitek memberanikan diri membuat sebuah bentuk baru arsitektur dan melawan batas-
batas psikologis.
Saat lukisan tidak dapat benar-benar menginspirasi arsitektur dari segi volume,
metode baru diperkenalkan oleh Rudolfski, yaitu dengan seni pahat. Lewat metode ini,
arsitek dapat bereksperimen dengan bentuk dan ruang dengan lebih fleksibel.
Utilitarianisme dan kontruktifisme pun berkembang pada era ini. Karya-karya
arsitektur Vesnin brother pun menerapkan konsep ini yang menggabungkan fungsi utilitas
sebuah bangunan dengan bentuk bangunan bersifat geometris. Nilai sebuah karya arsitektur
tidak seharusnya dinilai dari dekorasi ataupun keindahannya, melainkan dari fungsinya.
Di Rusia pada era tersebut terjadi sebuah revolusi sosial yaitu gerak Proletarian. Hal ini
menimbulkan perubahan pada arsitektur yang kini banyak berkontribusi terhadap
konstruksi-konstruksi cultural dan educational. Melnikov merupakan arsitek yang banyak
bergelut pada arsitektur-arsitektur jenis ini—yaitu sebuah bangunan dengan fungsi khusus.
Ia pernah sekali merancang sebuah garasi untuk bus di Moscow oleh karena kebutuhan
untuk menampung bus-bus yang jumlahnya bertambah banyak. Berbeda dengan arsitek-
arsitek lainnya pada masa itu, Melnikov berhasil menghasilkan sebuah bentuk arsitektur
yang rumit yang berasal dari konsep sederhana mengenai volume.
Melnikov juga melakukan eksperimen terhadap rumahnya sendiri untuk menghasilkan
sebuah hubungan antara ruang-volume yang inovatif—layaknya seorang dokter yang
bereksperimen pada tubuhnya sendiri untuk menguji coba obat baru. Tapi memang, di Rusia
pada masa itu memang dituntut seperti itu. Arsitektur yang fungsional, inovatif, efektif dan
murah adalah keharusan.
Arsitektur di dunia terus berubah; berevolusi. Dan arsitektur Rusia memilih
bereksperimen, dengan bentuk, volume dan ruang.
Centre du Pompidou
Centre Georges Pompidou merupakan bangunan arsitektur paling radikal di Paris,
Perancis pada tahun 1970-an. Seluruh bagian strukturnya ditampilkan secara gamblang;
seperti sebuah skeleton. Tidak aneh jika warga Paris pada masa itu membenci bangunan itu
pada masa pembangunan—walaupun beda kasusnya setelah museum ini dibuka untuk
publik. Bermula dari sebuah kompetisi yang dibuka untuk seluruh arsitek untuk merancang
sebuah museum modern art, hadir dengan rancangan yang unik. Di antara rancangan-
rancangan kompetitor lainnya, hanya rancangan merekalah yang menempatkan bangunan di
‘sisi’ lahan yang diberikan. Sedangkan setengah lahannya dijadikan sebuah piazza (lahan luas
untuk tempat berkumpul).
Pada masa-masa ini, perkembangan baik dari segi teknologi, seni, dan politik
berlangsung dengan cepat dan dinamis, sesuai dengan kondisi Eropa pada masa itu
(terutama berkat Revolusi Industri). Dan bangunan ini ingin menangkap hal tersebut, untuk
menghasilkan ruangan yang fleksibel dan cair. Untuk mewujudkan hal tersebut, hadirlah
rancangan Centre Georges Pompidou. Telanjang dan terus terang, amat berbeda dengan
bangunan-bangunan di sekitarnya.
Bentuk paling mencolok dari bangunan ini mungkin adalah eskalator yang terletak
tepat di depan fasad bangunan. Memang sengaja dirancang seperti ini, karena hal-hal yang
bersifat fungsional, seperti eskalator dan lift diletakkan di luar fasad bangunan. Tujuannya
agar ruang di dalam bangunan bersifat fleksibel dan lapang. Lewat struktur baja yang
dirancang sedemikian rupa, ruang yang dihasilkan di dalam bangunan ini mencapai 2 football
pitch, tanpa adanya sekat berupa tembok ataupun struktur interior. Hanya ruang-ruang
seperti kamar mandi dan kantor yang memiliki dinding permanen. Melalui pergerakan ruang
yang fleksibel inilah, eksebisi-eksebisi dan pameran dilakuan dengan partisi dinding yang
dapat dibongkar-pasang.
Tidak hanya sebagai tempat pameran atau pusat seni, Centre du Pompidou pun
menjadi sebuah ruang publik untuk orang publik yang dihadirkan lewat piazza di depan
bangunan. Aktivitas orang-orang di luar dan di dalam bangunan ini menjadi ‘nyawa’ dari
bangunan ini dengan sifatnya yang dinamis dan mengalir. Nilai fungsional bangunan ini pun
bertambah dengan warna-warna yang diaplikasikan menurut fungsinya. Contohnya ialah
pipa-pipa yang dicat terang untuk menjelaskan kegunaan pipa itu; apakah untuk saluran air,
udara, dsb.
Karena ukurannya yang besar, bangunan ini memang monumental; walaupun
sebenarnya Richard Rogers dan Renzo Piano tidak menginginkan hal tersebut. Mereka
memvisikan museum ini sebagai ruang public yang bersahabat bagi warga Paris. Hal yang
menakjubkan dari Centre du Pompidou bukanlah strukturnya, bukan pula luas area interior
yang dihasilkannya; melainkan pergerakan ruangnya yang begitu mengalir, seolah tanpa
beban. Lewat bangunan ini, semuanya menjadi terlihat lebih positif, terbuka, dan hidup.
Tidak banyak orang yang langsung mencintai bangunan ini saat pertama kali melihatnya,
namun setelah berkali-kali beraktivitas di dalam dan di luarnya, barulah orang dapat
merasakannya.
Centre du Pompidou itu hidup. Seiring masyarakat dan zaman yang terus
berkembang, ia pun turut tumbuh.
The Vienna Saving Bank
Austrian Postal Savings Bank, yang dirancang oleh Otto Wagner, merupakan salah
satu arsitektur khas modernisme yang amat penting di Vienna, bahkan hingga kini. Otto
Wagner sendiri merupakan arsitek yang sangat berpengaruh pada saat itu dan banyak
berkontribusi terhadap arsitektur Renaissance (sebelum akhirnya merambah ke arsitektur
modernisme). Konstruksi bangunan ini dibagi menjadi 2 tahap, bagian pertama bangunan
dibangun pada tahun 1903-1906, sedangkan bagian dua dibangun pada tahun 1910-1912.
Bangunan ini memiliki massa yang besar, garis-garis yang tegas juga bentuk geometris yang
sederhana; seluruhnya sesuai dengan prinsip arsitektur modernisme. Denah bangunan ini
berbentuk trapesium dan bersifat simetris. Untuk menghemat biaya, dinding bangunan ini
tersusun dari batu bata kemudian dilapisi oleh pelat-pelat marmer dan granit setebal 1 inchi.
Walaupun begitu, tampilan bangunan ini secara visual tetap terlihat mengesankan.
Pada masa itu, arsitektur modern amat mendominasi; dengan ciri-ciri : arsitek terus
diharapkan untuk menciptakan bentuk baru, bangunan yang memiliki gaya bersih (minim
dekorasi), dan bangunan yang menampilkan material aslinya. Walaupun begitu, Otto
Wagner tidak 100% mengikuti aturan-aturan itu. Beberapa elemen pada Austrial Postal
Savings Bank tidak memiliki nilai fungsional sama sekali. Salah satu contohnya ialah dekorasi
baut-baut besi yang tersusun menjadi pola pada fasad bangunan. Terdapat beberapa
argumen bahwa keberadaan baut tersebut menciptakan kesan stabilitas, dan beberapa yang
lain menyatakan bahwa Otto tidak dapat benar-benar meninggalkan arsitektur Renaisance
yang marak dekorasi. Walaupun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan dekorasi
baut-baut tersebut membuat tampilan bangunan terasa lebih hidup tanpa menjadi ditraksi
terhadap dinding marmer yang mulus.
Aula bank ini memiliki atap kaca berbentuk arch. Keberadaan kaca ini tidak dapat
terlihat dari luar karena memiliki ketinggian yang jauh lebih rendah dibandingkan bangunan
utama bank ini. Alasannya ternyata sangatlah ekonomis; yaitu agar biaya konstruksinya
lebih murah. Walaupun begitu, atap yang rendah ini memungkinkan cahaya natural yang
masuk dapat lebih banyak dan berlimpah. Cast-iron pun digunakan sebagai penopang atap
kaca ini dan memberi kesan industrial. Konstruksi atap seperti ini biasa ditemukan sebagai
atap sebuah stasiun kereta api dan pabrik-pabrik karena memiliki nilai fungsional dan
ekonomis. Yang menarik dari konstruksi ini ialah pilar-pilar penopang yang terus berlanjut
melewati atap kaca sehingga jika dilhat dari aula, bayangan pilar akan terlihat dan memberi
kesan misterius. Walaupun menambah kesan visual, pilar-pilar ini sebenarnya memiliki
fungsi tambahan, yakni menopang atap kedua yang berfungsi sebagai pelindung dan isolasi,
yang sebenarnya tidak ditujukan sebagai nilai keindahan.
Nothing can be beautiful if not functional, menurut Otto. Lewat prinsip tersebut,
elemen-elemen interior di dalam bangunan ini dirancang sedemikian rupa agar memiliki
nilai fungsi yang lebih. Untuk tangga, bahan linoleum digunakan sebagai pelapis lantai alih-
alih keramik biasa karena lebih tahan lama, mudah dibersihkan dan diganti. Selain itu, kursi
yang terdapat di bank ini pun berbeda-beda tergantung dengan kedudukan / pangkat orang
yang mendudukinya. Misalnya saja, bangku di ruang direktur memiliki sandaran tangan dan
empuk, sedangkan bangku untuk pegawai berpangkat rendah dan pelanggan adalah kursi
kayu yang keras dan sederhana.Tidak hanya itu, permainan warna pun memainkan peran
yang penting pula. Merah menjadi warna yang dominan untuk ruang direktur. Warna ini
dimaksudkan untuk menandai bagian-bagian yang memiliki nilai lebih tinggi. Tangga menuju
ruang direktur pun dilapisi karpet berwarna merah menyala. Tidak lupa, ia juga member
perhatian khusus terhadap pola keramik sehingga dapat menunjukkan arah gerakan dan
orientasi di Austrian Portal Savings Bank.
Bagian kedua dari bangunan ini dibangun lama setelah bagian pertama dibangun.
Uniknya, alih-alih ingin agar kedua bagian tersebut terlihat ‘menyatu’, Otto justru ingin
memperlihatkan bahwa dua bagian ini sama sekali terpisah dengan cara memberi jarak
antar gedung. Tidak hanya itu, tidak terdapat jalur khusus di dalam gedung yang
menghubungkan kedua bagian bank ini. Satu-satunya akses hanyalah pintu utama.
The salne of Arc-et-Senans
Vision of Space : Mies van der Rohe
Amerika. Negara yang identik dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi
sampai ke langit. Bentuk kotak-kotak dengan jendela besar yang berjejer rapi merupakan
arsitektur khas New York dan Chicago yang kita kenal sekarang. Yang mengejutkan, ternyata
bukan orang Amerika-lah yang mengenalkan konsep modernisme ke arsitektur negeri
Paman Sam ini. Ludwig Mies van der Rohe lah biang keladinya, dan jelas ia bukan arsitek
biasa.
Less is more, merupakan ungkapan paling terkenal dari sosok kelahiran Jerman ini.
Dari kesederhanaan itu, barulah kita dapat merasakan pengalaman arsitektur yang
sebenarnya. Arsitek-arsitek pada zaman sekarang sudah menganggap modernisme sebagai
hal yang amat normal; selumrah manusia bernapas. Namun pada masa kehidupan Mies van
der Rohe, konsep modernisme masih belum matang. Pada tahun 1929, lahirlah Barcelona
Pavilion sebagai pavilion nasional Jerman di Barcelona international Exhibition. Hanya
menggunakan material kaca, baja dan marmer, pavilion ini menghadirkan suatu
pengalaman ruang yang amat berbeda dari arsitektur-arsitektur lain di Barcelona. Di antara
bangunan-bangunan lain yang penuh dekorasi, Barcelona Pavillion hadir dengan
kesederhanaannya. Walaupun terkesan simpel, Mies van der Rohe tetap mengapresiasi
detail; seperti pola marmer yang ia susun saling berhubungan satu sama lain dan berasal
dari sumber yang sama. Saat malam tiba, kesan misterius dari bangunan ini pun muncul.
Dengan banyaknya jumlah jendela, realita dan refleksi jendela saling mengaburkan.
Menakutkan, misterius, indah−semuanya terangkum pada pavilion ini. Lewat Barcelona
Pavilion, karya Mies van der Rohe menjadi lingua franca dalam arsitektur modern.
Mies van der Rohe bukan merupakan arsitek teoritis. Ia percaya bahwa ‘making’
atau membuat adalah akar dari segala-galanya. Arsitektur pun dapat dihasilkan lewat
eksperimen-eksperimen dan pendekatan dengan material. Ia pun kemudian menjadi
direktur Bauhaus; sebuah sekolah seni di Jerman yang sangat terkenal dengan hasil-hasil
karyanya yang inovatif dan bersifat eksperimental. Sayangnya, Bauhaus ditutup pada tahun
1933 atas desakan Rezim Nazi. Karena kondisi Jerman yang menentang modernisme dan
eksperimen-eksperimen terhadap arsitektur seperti yang telah dilakukannya, Mies van der
Rohe pun menghasilkan karya yang amat sedikit sampai umurnya yang ke-33. Pada tahun
1938, ia akhirnya meninggalkan Jerman dan memulai lembar baru di Amerika.
Mies van der Rohe rupanya berada di lokasi yang tepat dan pada waktu yang tepat
pula. Chicago mendadak mengalami kebakaran besar-besaran yang meluluh-lantakkan
bangunan-bangunan yang ada. Kota ini menjadi lahan rata yang menjadi kanvas putih bagi
Mies van der Rohe. Karirnya dimulai setelah ia menjadi kepala sebuah sekolah arsitektur di
Chicago, IIT, juga sebagai seorang guru dan master plan untuk kampus tersebut. Selain
menghasilkan bangunan pencakar langit seperti apartemen, ia juga merancang sebuah
rumah tinggal yang terletak di pinggiran kota Chicago, sekarang dinamakan Fransworth
House. Tidak hanya merengkuh material, bangunan ini juga merengkuh alam. Belum pernah,
dikatakan oleh orang banyak, sebuah bangunan dapat ‘merespon’ kepada lingkungan di
sekitarnya selayaknya manusia.
Dengan atap rata dan bentuk bangunan grid, apartemen hasil rancangan Mies van
der Rohe berhasil memunculkan rasa kebebasan kepada para penghuninya. Struktur
apartemen ini menggunakan rangka baja dan kaca sebagai material utama sehingga
menghasilkan kesan transparan. Tampaknya pun, Mies van der Rohe memiliki prinsip yang
sama dalam segala jenis bangunan alih-alih fungsinya yang berbeda, yaitu konsep universal
space. Ia meyakini bahwa sebuah geraja sudah seharusnya memiliki prinsip ruang yang sama
dengan sebuah garasi. Prinsip ini dituangkannya ke bangunan Carr Memorial Chapel,
merupakan satu-satunya bangunan religius yang pernah ia rancang. Ia membuktikan bahwa
sebuah gereja tidak harus marak dekorasi ataupun mewah; bahwa bangunan sederhana pun
masih dapat menjadi ruang tempat orang berdoa.
Claude Nicolas Ledoux (The Saline of Arc-et-Senans)
Sebagai seorang yang pragmatis dan visioner, Claude Nicholas Ledoux merupakan
royal architect, dimana jasanya sering digunakan oleh kaum bangsawan untuk merancang
bangunan. Sebagai seorang philosopher architect, ia menganggap bahwa arsitektur dapat
menghilangkan penderitaan manusia. Pada tahun 1771, ia pun diberi tugas untuk menjadi
inspektur produksi garam, yang merupakan monopoli terbesar di Prancis pada saat itu.
Namun, produksi garam harus berkurang karena terjadi eksploitasi kayu yang penting dalam
pembuatan garam di area Arc-e-Senans sehingga Ledoux pun merancang sebuah pabrik
garam di area tersebut.
Dinamakan Saline Royale, bangunan nini bersifat praktikal namun juga monumental
karena dibuat dengan mewah dan besar-besaran. Pabrik garam ini terdiri dari satu gedung
utama yang memilii fungsi administrative, dua workshop sebagai tempat produski garam dan
2 pavilion. Sedangkan terdapat empat bangunan di area yang sama sebagai tempat tinggal
pekerja. Sedangkan tempat masuk dikelilingi oleh tempat pencucian, took kue, pos penjaga,
dan penjara. Seluruh bangunan disusun secara semi lingkaran, di mana tempat produksi
terletak tepat di pusat. Jika dilihat secara denah, pabrik garam ini terlihat amat simbolik dan
bahkan mistis. Menurut Ledoux, pola semi lingkaran ini menyerupai bentuk dari inti
matahari di bidang astronomi.
Berbeda dengan bangunan klasik yang cenderung memasukkan semua fungsi ke
dalam satu gedung, Saline Royale menaruh fungsi-fungsi tertentu pada gedung yang
berbeda. Selain itu, ia juga memberi jarak antar bangunan untuk menghindari kebakaran
juga memberi akses angin untuk mengalir melewati bangunan. Sebuah dinding pembatas
menutupi ke-11 bangunan ini untuk menjaga keutuhan bentuk semi-lingkaran dan menjadi
batas pelindung dari penjahat.
Walaupun bersifat tertutup, pintu masuk dari pabrik garam ini amat mengundang
dengan dekorasinya yang mewah juga ukurannya yang monumental. Walaupun begitu,
bagian ini memang hanya ditujukan untuk keindahan visual, sedangkan bagian utamanya
memiliki warna dan material yang berbeda dengan pintu masuk yang mewah ini sehingga
disebut sebagai juxtaposition. Namun, Ledous membela diri dengan mengatakan bahwa
arsitektur itu adalah proses menyatukan, bukan modeling.
Setelah bagian pintu masuk yang merupakan kolom-kolom putih, bagian kedua dari
pintu masuk merupakan grotto yang ingin menimbulkan efek ‘discovery’. Setelah melewati
grotto, pengunjung pun dihadapkan dengan halaman luas di tengah-tengah semi lingkaran
ini. Hal ini akan membuat pengunjung mendapat ekspresi pengawasan yang ketat dari para
otoritas. Ledous, lewat rancangannya, ingin menghindari penculikan garam dari wilayah
pabrik ini. Sifat ‘pengawasan’ ini lebih bersifat simbolik daripada realistis, namun Ledoux
menganggap bahwa konsep ini memainkan peran penting dalam rancangan pabrik garam
ini.
Kepemilikan pabrik garam ini pun kemudian terus berpindah tangan sampai akhirnya
ditutup pada tahun 1926. Sekarang, tempat ini menjadi sebulah tujuan edukasional dan
tidak digunakan lagi sebagai pabrik. Sebagai sebuah pabrik garam, Saline Royale lebih terasa
seperti penjara. Dengan penjagaan yang ketat dan konsep arsitektur yang dikurung tembok.
Walaupun begitu, dari segi fungsionalitas, bangunan ini berhasil mencapai harapannya;
untuk menjadi pabrik garam yang professional dan memiliki fungsi yang tepat untuk hal
tersebut.
The Art of Germany
Sebuah negara bernama Jerman bermua dari sebuah pemerintahan Romawi. Namun,
imajinasi dan visi mengenai negra Jerman sudah ada sejak jaman dulu yang akhirnya
membentuk variasi karya seni yang bervarias mengenai sebuah hutan di Jerman. Setelah itu
pun, terdapat banyak lukisan yang menggambarkan hutan ini dan harapan orang-orang
untuk sebuah negara yang baru.
Karena tanah Jerman masih diduduki oleh Roma, lukisan-lukisan Jerman pun
didoniminasi oleh ciri khas Renaissance dengan fitur tubuh yang tegap dan kulit berwarna
putih. Selain itu, terdapat pula lukisan-lukisan mengenai keberadaan iblis-iblis yang
berkaitan dengan hutan tersebut. Keberadaan iblis-iblis ini pada lukisan menunjukkan bahwa
warga Jerman masih mempercayai takhayul-takhayul.
Lukisan Jerman pun semakn beralih ke gambar-gambar manusia yang penyakitan atau
penyaliban Kristus, yang ingin menunjukkan penderitaan dan kerapuhan. Lewat hal ini,
orang-orang pun mulai mempercayai mengenai kiamat. Walaupun begitu, sejak era
reformasi, lukisan pun berubah dari yang penuh mitos menjadi lukisan yang intelektual. Seni
Jerman memang terus berubah dan mengikuti zamannya, pun dengan menarik
menggambarkan sejarahnya lewat media lukisan ataupun patung.
Pasca Perang Dunia I, Jerman mengalami masa-masa yang ‘memalukan’ setelah
merasakan kekalahan. Di balik penyamaran lewat teater-teater panggung dan musik, sebuah
eksperimen dalam seni rupa berlangsung. Menyorot keputusasaan dan kondisi sosial yang
pincang, wujud lukisan modern pun berkembang. Bauhaus merupakan salah satu simbol
modernisme di Jerman pada saat itu. Rancangan bangunan yang berbentuk minimalis dan
bersegi-segi, juga jendela-jendela besar yang dominan sangat menekankan hal tersebut.
Sebagai sebuah sekolah seni, Bauhaus merupakan yang tersukses dalam menghasilkan
seniman-seniman terkenal. Tidak hanya menghasilkan produk-produk seni, rancangan
industrial seperti kursi pun digeluti.
Pada saat-saat inilah Rudolf Hitler menjajakkan dirinya di kancah politik, yang
merupakan seorang pemuda Jerman ambisius dengan konsep idealismenya mengenai
sebuah negara Jerman yang baru. Memiliki gairah yang tinggi terhadap seni lukis dan
arsitektur (walaupun ia sering disebut sebagai ‘seniman gagal’), Hitler memiliki pandangan
sendiri mengenai seni modern—mungkin kata benci belum cukup merangkum perasaannya.
Akhirnya, lewat selera seninya yang cenderung konservatif, Bauhaus pun ditutup pada tahun
1932 oleh Nazi. 6 tahun kemudian, pada tahun 1937, Nazi menggelar sebuah eksebisi seni
yang memajang lukisan dan karya seni moderenisme dari seluruh penjuru Jerman. Tujuan
eksebisi ini hanya satu : menunjukkan kepada warga Jerman mengenai kebencian Hitler
dengan seni moderenisme.
Dalam ambisinya untuk membangun ulang Jerman, pada tahun 1940 Hitler berangan
menjadikan Linz—kota yang ia anggap sebagai kampung halamannya—sebagai city of culture
—dan menghabiskan banyak waktu dalam perancangannya, bahkan walaupun saat itu
sedang berlangsung Perang Dunia II. Perang ini lagi-lagi mendatangkan keputusasaan kepada
warga Jerman, yang mencari identitas juga semangat untuk membangun ulang negaranya.
Pada masa ini, Cold War pun terjadi, yang menghasilkan salah satu sejarah terpahit bagi
warga Jerman sampai sekarang; Tembok Berlin. Lukisan-lukisan kembali bermunculan;
bertambah brutal dan frontal. Seluruhnya menyiratkan Hitler—führer; apa yang telah ia
perbuat terhadap Jerman dan bagaimana masa lalu tetap harus diingat agar tidak kembali
terulang.
Masa lalu boleh saja diingat dan menjadi pelajaran berharga, namun trauma tetaplah
trauma. Di sinilah Joseph Beuys memainkan perannya dengan sangat luar biasa. Saat puncak
terjadinya Cold War, ia memilih untuk menghasilkan ‘warm art’ untuk menyembuhkan
warga Jerman; dan ia berhasil. Tidak dapat dipungkiri, karya-karyanya telah mengubah
Jerman dan efeknya masih terasa hingga kini. Salah satu projek Beuys yang terkenal ialah
7000 oaks tree; dimana ia berencana menanam 7000 pohon oak (dan sebuah batu basalt
tepat di sebelah masing-masing pohon) di kota Kassel, Jerman. Ia meninggal sebelum
berhasil menuntaskan projek itu, namun projek itu telah berhasil dilaksanakan dan 7000
pohon oak dan batu basalt tersebut masih berdiri kokoh di kota Kassel sekarang. Dinamakan
society sculpture, 7000 pohon oak ini melambangkan regenerasi masyarakat; masyarakat
yang berkembang dan hidup berharmonisasi dengan dunia. Masa lalu tidak dapat diubah,
namun Beuys memandangnya sebagai sebuah proses yang memang harus ditempuh; bahwa
inilah wajah Jerman sekarang yang akan terus diperbaharui sampai selama-lamanya.