Upload
lourensia-lim
View
1.883
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
ETIKA BISNIS
ETIKA KONSUMEN
Disusun Oleh:
Lourensia 31080225
Elisa 36040028
Mutia Vidia Safitri 37080546
Kelas: C
Dosen: Bpk. Ngorang Philipus,Drs.,M
Institut Bisnis dan Informatika Indonesia
Jakarta 2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Latar belakang dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai tugas harian mata kuliah
etika bisnis dan sebagai bentuk pembelajaran bagi mahasiswa untuk menambah pengetahuan
mengenai topik ini.
Objek yang disajikan sudah jelas adalah mengenai kasus – kasus etika konsumen yang
merupakan bagian dari permasalahan dalam etika bisnis diantara pelaku bisnis.
Cara pengumpulan data yang penulis pakai adalah mengumpulkan data – data dari buku acuan
dan sumber-sumber dari website-website yang ada di internet dan tentunya berhubungan dengan
objek yang dipilih.
B. PERMASALAHAN
Permasalahan yang kami ambil adalah mengenai kasus –kasus masalah etika bisnis menyangkut
konsumen yaitu :
1. Kasus Ledakan gas elpiji yang beberapa waktu lalu ramai menjadi berita.
2. Kasus Indomie yang baru-baru ini terjadi di Taiwan
C. PAPARAN TEORI
I. Special Message on Protecting the Consumer Interest
Pernyataan ini merupakan focus dari Presiden John F.Kennedy pada tahun 1962 yang dinyatakan
olehnya kepada Kongres (DPR) Amerika. Ia menetapkan empat hak yang dimiliki setiap konsumen
yaitu : the right to safety, the right to be informed, the right to choose, the right to be heard. Perumusan hak
konsumen yang termasyhur ini agaknya tidak lengkap, tetapi dapat dipandang sebagai jalan masuk yang
tepat masalah etis sekitar konsumen.
Hak atas Keamanan
Banyak produk mengandung risiko tertentu untuk konsumen, khususnya risiko untuk kesehatan
dan keselamatan. Sebagai contoh dapat disebut pestisida, obat-obatan, makanan, dan lainnya.
Salah satu contohnya, Pestisida yang dipakai oleh petani bisa menimbulkan risiko untuk
kesehatan untuk si petani apabila menghirup bahan kimia tersebut. Obat bisa mempunyai efek
samping yang tidak terduga oleh konsumen. Makanan bisa mengandung zat pengawet atau zat
pewarna yang dapat merugikan kesehatan konsumen dengan misalnya—mengakibatkan
penyakit kanker. Oleh karena itu, konsumen memiliki hak atas produk yang aman, artinya
produk yang tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan
kesehatannya atau bahkan membahayakan hidupnya. Bila sebuah produk karena hakikatnya
selalu mengandung risiko, maka risiko itu harus dibatasi sampai tingkat seminimal mungkin.
Hak atas Informasi
Konsumen berhak mengetahui segala informasi yang relevan yang mengenai produk yang
dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu (bahan bakunya, umpamanya), maupun
bagaimana cara memakainya, maupun juga risiko yang menyertai pemakaiannya. Hak ini
meliputi segala aspek pemasaran dan periklanan. Jika suatu produk diberi garansi untuk jangka
waktu tertentu, segala syarat dan konsekuensinya harus dijelaskan secara lengkap. Semua
informasi yang disebut pada label sebuah produk haruslah benar: isinya, beratnya, tanggal
kadaluarsa, ciri-ciri khusus, dan sebagainnya. Informasi yang relevan seperti “Makanan ini halal
untuk umat Islam” atau “Makanan ini tidak mengandung kolesterol” harus sesuai dengan
kebenaran.
Hak untuk memilih
Walaupun hak pertama dan kedua tadi bisa dianggap paling penting, masih ada hak lain yang
pantas dimiliki konsumen. Dalam sistem ekonomi pasar bebas, di mana kompetisi merupakan
unsure hakiki, konsumen berhak untuk memilih antara pembagai produk dan jasa yang
ditawarkan. Kualitas dan harga produk bisa berbeda. Konsumen berhak untuk
membandingkannya, sebelum mengambil keputusan untuk membeli.
Hak untuk didengarkan
Karena konsumen adalah orang yang menggunakan produk dan jasa, ia berhak bahwa
keinginannya tentang produk dan jasa itu didengarkan dan dipertimbangkan, terutama
keluhannya. Hal itu berarti juga bahwa para konsumen harus dikonsultasikan, jika pemerintah
ingin membuat peraturan atau UU yang menyangkut produk dan jasa tersebut.
Hak konsumen ini tidak boleh dimengerti sebagai hak dalam arti sempit. Hak-hak ini bukan merupakan
hak legal yang dapat dituntut di pengadilan. Hak – hak konsumen ini hendaknya dipahami sebagai cita-
cita atau tujuan yang harus direalisasikan dalam masyarakat. Dapat dikatakan pula bahwa empat hak tadi
menggambarkan secara lengkap posisi konsumen terhadap produsen. Sedikitnya dua hak telah
ditambahkan dari pernyataan oleh Presiden John F.Kennedy antara lain adalah:
Hak lingkungan hidup
Melalui produk yang digunakannya, konsumen memanfaatkan sumber daya alam. Ia berhak
bahwa produk yang dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak mengakibatkan pencemaran
lingkungan atau merugikan keberlanjutan proses-proses alam. Konsumen boleh menuntut
bahwa dengan memanfaatkan produk ia tidak akan mengurangi kualitas kehidupan di bumi ini.
Dengan kata lain, konsumen berhak akan produk yang ramah lingkungan.
Hak konsumen atas pendidikan
Tidak cukup hanya dengan konsumen memiliki hak, tetapi konsumen tersebut juga harus
menyadari haknya. Bahkan menyadari hak saja belum cukup, karena konsumen harus
mengemukakan kritik atau keluhannya, bila haknya dilanggar. Karena itu konsumen
mempunyai hak juga untuk secara positif dididik kearah itu. Terutama di sekolah dan media
massa, masyarakat harus dipersiapkan menjadi konsumen kritis dan sadar akan haknya. Dengan
demikian ia sanggup memberikan sumbangan yang bearti kepada mutu kehidupan ekonomi dan
mutu bisnis pada umumnya.
Semua hak ini juga ada terdapat pada UU tentang perlindungan konsumen yang dimiliki Indonesia
semenjak April 1999, ditambah dengan beberapa hak lain seperti hak untuk mendapatkan advokasi serta
perlindungan dan hak untuk mendapatkan ganti rugi atau penggantian bila produk tidak dalam keadaan
semestinya. Hanya bisa disayangkan bahwa hak lingkungan hidup tidak disebut. Mungkin hal itu
menunjukkan masih rendahnya kesadaran lingkungan hidup di masyarakat kita. Seharusnya hak
lingkungan hidup menjadi salah satu hak konsumen yang paling mendesak, sebab hak-hak lain lebih
mudah terlindungi, padahal hak ini menyangkut masa depan kita bersama.
II. Tanggung jawab bisnis untuk menyediakan produk yang aman.
Topik ini disebut juga sebagai product liability pada literature etika bisnis Amerika. Hal ini menyinggung
mengenai apakah produsen bertanggung jawab, bila produknya mengakibatkan kerugian bagi konsumen
dan kalau memang begitu, apa yang menjadi dasar teoritis untuk tanggung jawab tersebut. Untuk
mendasarkan tanggung jawab produsen, telah dikemukakan tiga teori yang mengandung nuansa yang
berbeda: teori kontrak, teori perhatian semestinya, dan teori biaya social. Tiga pandangan ini
menyediakan dasar teoritis bagi pendekatan etis maupun yuridis mengenai hubungan produsen-
konsumen, khusus dalam hal tanggung jawab atas produk yang ditawarkan oleh produsen dan dibeli oleh
konsumen.
Teori Kontrak
Menurut pandangan ini hubungan antara produsen dan konsumen sebaiknya dilihat sebagai
semacam kontrak dan kewajiban produsen terhadap konsumen didasarkan atas kontrak itu.
Dimana konsumen membeli produk, ia seolah-olah mengadakan kontrak dengan perusahaan
yang menjualnya. Perusahaan dengan tahu dan mau menyerahkan produk dengan ciri-ciri
tertentu kepada si pembeli dan si pembeli membayar jumlah uang yang disetujui. Karena
kontrak diadakan secara bebas, produsen berkewajiban menyampaikan produk dengan ciri-ciri
tersebut (bukan sesuatu yang berbeda) dan si konsumen berhak memperoleh produk itu setelah
sejumlah uang dilunasi menurut cara pembayaran yang telah disepakati.
Kontrak yang dibuat antara si produsen dengan konsumen harus sah dan untuk menjadi sah,
kontrak harus memenuhi beberapa syarat. Ada tiga syarat yaitu pertama, kedua belah pihak
harus mengetahui betul baik arti kontrak maupun sifat-sifat kontrak. Kedua, antara kedua belah
pihak harus melukiskan dengan benar fakta yang menjadi objek kontrak. Ketiga, tidak boleh
terjadi, kedua belah pihak mengadakan kontrak karena dipaksa atau karena pengaruh yang
kurang wajar seperti ancaman.
Karena merupakan kontrak, transaksi jual-beli mengandung hak dan kewajiban untuk kedua
belah pihak, baik produsen maupun konsumen. Jika dipandang khusus dari segi produsen, bisa
dikatakan bahwa bisnis mempunyai kewajiban-kewajiban berikut. Kewajiban paling penting
adalah melaksanakan kontrak sesuai dengan ketentuannya. Lalu kewajiban lainnya adalah
menjamin agar produk mempunyai ciri-ciri yang diharapkan konsumen dimana produk: harus
bisa diandalkan, berarti berfungsi seperti semestinya; dapat digunakan selama periode waktu
yang diharapkan; dapat dipelihara atau diperbaiki bila rusak; aman dan tidak membahayakan
kesehatan atau keselamatan si pemakai.
Tidak seluruhnya hubungan produsen-konsumen selalu berlangsung dalam kerangka kontrak.
Sehingga ada tiga keberatan menyangkut teori ini:
a) Teori kontrak mengandaikan bahwa produsen dan konsumen berada pada taraf yang
sama. Tetapi pada kenyataannya tidak terdapat persamaan antara produsen dan
konsumen, khususnya dalam konteks bisnis modern. Produsen mengenal seluk-beluk
dari satu produk saja atau sejumlah produk. Sedangkan konsumen menghadapi banyak
sekali produk sejenis sekaligus. Ia tidak mempunyai keahlian maupun waktu untuk
membandingkan dan memeriksa semua produk itu satu demi satu dan bergantung pada
informasi dan bonafiditas pihak produsen. Prinsip “hendaklah si pembeli berhati-hati”
tidak mungkin berfungsi sebagai satu-satunya prinsip dalam relasi produsen-konsumen.
b) Kritik kedua menegaskan bahwa teori kontrak mengandaikan hubungan langsung
antara produsen dan konsumen padahal konsumen pada kenyataannya jarang sekali
berhubungan langsung dengan produsen. Hampir selalu antara produsen dan konsumen
terdapat jaringan luas yang terdiri atas pemasok, distributor, dan pengecer.
c) Konsepsi kontrak tidak cukup untuk melindungi konsumen dengan baik. Kalau
perlindungan terhadap konsumen hanya bergantung pada ketentuan dalam kontrak,
maka bisa saja terjadi bahwa konsumen terlanjur menyetujui kontrak jual-beli, padahal
di situ tidak terjamin bahwa produk bisa diandalkan, akan berumur lama, akan bersifat
aman, dan sebagainya. Bila konsumen dengan “bebas” mengadakan kontrak jual-beli,
hal itu belum berarti juga bahwa perlindungan konsumen sudah terlaksana.
Teori Perhatian Semestinya
Pandangan ini disebut juga sebagai the due care theory dan diartikan dengan penekanan pada
kata perhatian yang harus dipahami sebagai perhatian yang efektif dan bersedia mengambil
tindakan seperlunya. Pandangan ini menyatakan bahwa konsumen selalu berada pada posisi
lemah, karena produsen mempunyai jauh lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang
produk yang tidak dimiliki oleh konsumen. Kepentingan konsumen di sini dinomorsatukan.
Karena produsen berada dalam posisi yang lebih kuat dalam menilai produk, ia mempunyai
kewajiban menjaga agar si konsumen tidak mengalami kerugian dari produk yang dibelinya.
Produsen bertanggung jawab atas kerugian yang dialami si konsumen dengan memakai produk,
walaupun tanggung jawab itu tidak tertera dalam kontrak jual-beli atau bahkan disangkal secara
eksplisit.
Teori ini memfokuskan pada kualitas produk serta tanggung jawab produsen. Karena itu
tekanannya bukan pada segi hukum saja tetapi juga pada etika dalam arti luas. Norma dasar
yang melandasi pandangan ini adalah bahwa seseorang tidak boleh merugikan orang lain
dengan kegiatannya. Norma ini dapat diberi fondasi lagi, baik dalam teori etika yang disebut
deontology (dan teori hak) , utilitarianisme, maupun teori keadilan. Semua usaha untuk
membenarkan norma “tidak merugikan” ini dapat diterima, sehungga teori ini memiliki basis
yang teguh. Pendasaran berbeda-beda itu dapat di uraikan sebagai berikut :
a) Norma “tidak merugikan” bisa didasarkan atas teori deontology (dan teori hak). Sebab,
kita selalu harus memperlakukan orang lain sebagai tujuan pada dirinya dan tidak
pernah boleh memperlakukan dia sebagai sarana belaka. Karena itu orang lain
mempunyai hak positif untuk dibantu, jika ia tidak bisa membantu dirinya. Produsen
yang tidak memperhatikan konsumen, akan mengorbankan dia pada tujuannya sendiri.
b) Norma “tidak merugikan” bisa didasarkan pula atas teori utilitarianisme, khususnya
utilitarianisme aturan, karena jika norma ini diterima, setiap orang dalam masyarakat
akan beruntung.
c) Akhirnya, norma ini didasarkan juga atas teori keadilan, khususnya menurut pandangan
John Rawls. Sebab, dalam original position di mana kita berada dibalik veil of
ignorance kita akan memilih norma ini demi kepentingan diri sendiri.
Pandangan ini bukannya tidak memiliki kelemahan. Ada dua kelemahan yaitu pertama,
tidak gampang untuk menentukan apa artinya “semestinya”, bila kita katakan bahwa
produsen harus memberikan “perhatian semestinya”. Kedua, produsen memang tahu lebih
banyak tentang suatu produk daripada konsumen, tetapi pada akhirnya pengetahuannya
terbatas juga. Produsen tidak selalu mengetahui semua akibat negative sebuah produk.
Kadang-kadang terjadi, akibat negative sebuah produk baru tampak setelah lama dipakai.
Teori Biaya Sosial
Teori ini menegaskan bahwa produsen bertanggung jawab atas semua kekurangan produk dan
setiap kerugian yang dialami konsumen dalam memakai produk tersebut. Hal itu berlaku juga,
jika produsen sudah mengambil semua tindakan yang semestinya dalam merancang serta
memproduksi produk bersangkutan atau jika mereka sudah memperingatkan konsumen tentang
risiko yang berkaitan dengan pemakaian produk. Menurut para pendukung teori ini semua
akibat negative dari produk harus dibebankan kepada produsen. Hal itu mereka lihat sebagai
satu-satunya cara untuk memaksakan para produsen membuat produk-produk yang aman saja.
Teori ini merupakan dasar bagi ajaran hukum ynag disebut strict liability (tanggung jawab
ketat).
Ada beberapa kritik yang dikemukakan terhadap teori ini yaitu pertama, teori ini tampaknya
kurang adil, karena mengganggap orang bertanggung jawab atas hal-hal yang tidak diketahui
atau tidak bisa dihindarkan. Menurut keadilan kompensatoris, orang harus bertanggung jawab
atas akibat perbuatannya yang diketahui dapat terjadi dan bisa dicegah olehnya. Hanya atas
syarat ini orang harus memberi ganti rugi. Kedua, teori ini membawa kerugian ekonomis. Bila
dipraktekkan, produsen terpaksa harus mengambil asuransi terhadap klaim kerugian dan biaya
asuransi itu bisa menjadi begitu tinggi, sehingga tidak terpikul lagi oleh banyak perusahaan.
Ketiga, sepintas memang teori ini merupakan teori terbaik untuk melindungi konsumen tetapi
pada kenyataannya, konsumen malah dirugikan kalau teori ini dipraktekkan. Akan banyak
tuntutan ganti rugi sehingga produk jadi mahal dan juga teori ini kurang memperhatikan
tanggung jawab konsumen sendiri, padahal konsumen juga semestinya bertanggung jawab atas
perbuatannya sendiri atas pemakaian produk yang misalnya telah diperingatkan sebelumnya
oleh produsen.
III. Tanggung jawab bisnis lainnya terhadap konsumen.
Ada tiga kewajiban moral lainnya pada konsumen yang berkaitan dengan kualitas produk, harga, dan
pemberian label serta pengemasan.
Kualitas produk
Kualitas produk yang dimaksudkan adalah bahwa produk sesuai dengan apa yang dijanjikan
oleh produsen dan apa yang secara wajar boleh diharapkan oleh konsumen. Konsumen berhak
atas produk yang berkualitas, karena mereka membayar lebih untuk itu. Produsen berkewajiban
untuk menyampaikan produk yang berkualitas , misalnya produk yang tidak kadaluarsa. Salah
satu cara yang biasa ditempuh untuk menjamin kualitas adalah memberikan garansi: garansi
eksplisit dan garansi implicit.
Garansi eksplisit kalau terjamin begitu saja dalam keterangan yang menyertai produk. Biasanya
garansi ini menyangkut cirri-ciri produk, masa pemakaian, kemampuannya, dan sebagainya.
Bila produk rusak dalam jangka waktu tertentu, si penjual melibatkan diri untuk
memperbaikinya atau menggantikannya dengan produk baru. Garansi bersifat implicit, kalau
secara wajar bisa diandaikan, sekalipun tidak dirumuskan dengan terang-terangan. Hal ini terjadi,
bila dalam iklan atau promosi tentang produk dibuat janji tertentu atau bila konsumen
mempunyai harapan sesuai dengan hakikat produk.
Harga
Harga yang ditekankan disini adalah harga yang adil dimana sudah merupakan kenyataan
ekonomis yang sangat kompleks dan ditentukan oleh banyak faktor sekaligus. Harga merupakan
buah hasil perhitungan faktor-faktor seperti biaya produksi, biaya investasi, promosi, pajak,
ditambah tentu laba yang wajar. Dalam sistem ekonomi pasar bebas, sepintas lalu rupanya harga
yang adil adalah hasil akhir dari perkembangan daya-daya pasar. Tapi bukan hanya pasar jaga
merupakan satu-satunya prinsip untuk menetapkan harga yang adil, sebagaimana yang
dipikirkan pada liberalism. Agar menjadi adil, harga tidak boleh merupakan buah hasil
mekanisme pasar yang murni. Ada beberapa alasan, pertama, pasar praktis tidak pernah
sempurna. Kedua, disini juga para konsumen sering kali dalam posisi lemah untuk
membandingkan harga serta menganalisis semua faktor yang turut menentukan turunnya harga.
Ketiga, alasan terpenting adalah bahwa cara menentukan harga menurut mekanisme pasar saja
bisa mengakibatkan fluktuasi harga terlalu besar sehingga stabilitas harga tidak terjaga padahal
hal tersebut penting.
Dalam situasi modern, harga yang adil terutama merupakan hasil dari penerapan dua prinsip
tersebut: pengaruh pasar dan stabilitas harga. Secara khusus menjadi tugas pemerintah untuk
mencari keseimbangan antara harga pasar bebas dan perlunya stabilitas. Yang jelas bahwa
kompetisi bebas dalam hal harga dengan demikian cukup dibatasi. Menurut Garrett dan
Klonoski, ada empat faktor yang membuat harga menjadi tidak adil yaitu penipuan,
ketidaktahuan, penyalahgunaan, dan manipulasi emosi.
Pengemasan dan pemberian label
Pengemasan produk dan label yang ditempelkan pada produk merupakan aspek bisnis yang
semakin penting. Selain bertujuan melindungi produk dan memungkinkan mempergunakan
produk dengan mudah, kemasan berfungsi juga untuk mempromosikan produk, terutama di era
modern ini. Pengemasan dibuat semenarik mungkin untuk meraih banyak pembeli, selain itu
pengemasan dan label juga memberi informasi tentang produk sehingga pengemasan dan label
dapat menimbulkan masalah etis. Dalm konteks ini tuntutan etis yang pertama ialah bahwa
informasi yang disebut pada kemasan itu benar. Tuntutan etis lainnya adalah bahwa pengemasan
tidak boleh menyesatkan konsumen. Misalnya, kemasannya terlihat besar tapi isinya tidak
banyak / kecil/ tidak sesuai kemasannya. Tidak selalu dapat dipastikan dengan tepat kapan cara
pengemasan bisa dianggap menyesatkan. Karena sulit menarik garis batas toleransi akan
kemasan yang menyesatkan, konsumen tetap kritis dalam memantau masalah etis ini dan
instansi pemerintah selalu mendukung pengembangan sikap kritis konsumen.
BAB II
Deskripsi Kasus
1. Kasus Ledakan Tabung Gas Elpiji
Cara Aman Penggunaan ElpijiKamis, 27 Mei 2010 | 12:35 WIB
YUNI IKAWATI
KOMPAS.com — Ledakan elpiji pada penggunaan tabung gas berukuran tiga kilogram masih
kerap kali terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Kasus itu muncul sejak penggunaan sarana
penunjang kompor gas itu diperkenalkan tahun 2008. Apakah yang salah dengan sistem tabung
tersebut?
Introduksi penggunaan gas petroleum cair (LPG atau elpiji) dua tahun lalu ditargetkan dapat
mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) terutama minyak tanah dalam jumlah yang
signifikan, yaitu sekitar Rp 30 triliun per tahun. Semula subsidi Rp 54 triliun per tahun.
Untuk program konversi energi itu, menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
pemerintah telah membagikan lebih kurang dari 44 juta tabung gas ukuran 3 kilogram.
"Survei di lapangan menemukan banyak selang dan sistem regulator yang cacat. Adapun dari sisi
tabung gas tidak ditemukan masalah," ungkap Tulus Abadi, Pengurus Harian YLKI. Regulator
adalah penghubung selang dan tabung gas yang berfungsi mengatur keluarnya gas ke kompor.
Oleh karena itu, menurut Tulus, pemerintah harus mengevaluasi dan memeriksa kondisi sistem
kompor dan tabung gas itu. Bila ada bagian cacat yang ditemui, maka produk tersebut harus
segera ditarik dan diganti dengan yang sesuai standar.
Tidak sesuai SNI
Munculnya kasus ledakan tabung elpiji akibat kebocoran di selang dan regulator tabung gas
mendorong Badan Standardisasi Nasional melakukan survei dan kajian penggunaan Standar
Nasional Indonesia (SNI) pada produk tersebut.
Kepala BSN Bambang Setiadi menjelaskan, kajian pada tahun 2008 itu meliputi penelitian
kelayakan tabung gas, selang, regulator, katup, dan kompor gas. Hasilnya, sebagian besar (66
persen) katup tabung gas baja tidak sesuai SNI.
Data mendetail dipaparkan oleh B Dulbert Tampubolon, peneliti di Pusat Penelitian dan
Pengembangan BSN. Pengujian selang karet dilakukan untuk mengetahui parameter uji tegangan
putus dan uji perpanjangan putus. ”Tidak ada sampel yang memenuhi syarat SNI,” ujarnya.
Menurut Dulbert, risiko kebocoran pada selang terjadi karena faktor cuaca dan kelembaban.
Karet di wilayah tropis lebih cepat rusak dibanding di iklim subtropis. Kelenturan karet
berkurang dalam suhu panas. Padahal, banyak karet yang ada di pasaran berasal dari negara
subtropis, seperti China dan Korea. Banyak yang tak berstandar dan di bawah SNI.
Kajian pada katup tabung gas adalah pengujian syarat konstruksi dan dimensi selain uji visual.
Pada kompor gas, 50 persen di antaranya tidak memenuhi syarat SNI untuk ketahanan material
pemantik (burner). Untuk regulator dan tabung gas, hanya 20 persen dan 7 persen yang tidak
penuhi standar.
SNI untuk lima komponen pada tabung dan kompor gas itu, ujar Dulbert, ditetapkan dengan
mengacu pada standar Jerman dan Amerika Serikat.
Pihak BSN meminta produsen bersangkutan melakukan evaluasi pada tingkat mutu bahan baku
dan proses produksi terkait parameter uji yang tidak memenuhi persyaratan mutu SNI.
Saat ini BSN tengah mengkaji kembali di lapangan, antara lain di Yogyakarta, Semarang, dan
Samarinda. ”Akhir Agustus mendatang kajian ini selesai,” kata Dulbert.
Faktor lain penyebab ledakan, menurut Tulus, adalah perilaku konsumen yang keliru. ”Ketika
mencium bau gas, banyak konsumen malah menyalakan kompor untuk mengetes,” ujarnya.
Padahal, saat tercium bau khas gas, langkah pertama adalah memadamkan semua yang berapi,
seperti kompor, korek api, lampu penerangan, lampu senter, bahkan tombol listrik yang dalam
posisi ”on”.
Tahap kedua, melepas regulator dari lubang tabung agar klep atau katup di ujung tabung itu
tertutup otomatis. Berikutnya, membuka akses ke udara luar, seperti pintu, jendela, dan terutama
ventilasi di bawah.
Tiga hal itu perlu dilakukan karena sifat elpiji mudah meledak ketika terkena percikan api. Hal
itu karena berat jenisnya lebih berat daripada udara. Dengan demikian, elpiji yang keluar dari
regulator atau selang yang bocor akan mengendap ke lantai.
Untuk menekan bertambahnya kasus elpiji meledak, pengetahuan mengenai cara penggunaan
tabung dan kompor gas yang aman perlu lebih disosialisasikan.
Selain itu, Tulus juga mengharapkan agar program konversi ini dilakukan secara terintegrasi oleh
instansi terkait, bukan hanya oleh Pertamina.
2. Kasus Indomie di Taiwan
Info BPOM : Kasus Indomie Di Taiwan Klarifikasi Penarikan Mie
Instant Indomie.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI meminta klarifikasi Taiwan soal
kabar penarikan mie instant Indomie. Kadar zat pengawet makanan produksi Indonesia sesuai
batas aman standar sesuai dengan Internasional.
Demikian kata Ketua BPOM Dra Kustantinah menanggapi kabar bahwa Indomie ditarik dari
pasaran Taiwan. Pernyataan ini disampaikan di kantornya, Jl Percetakan Negara, Jakarta.
"Indonesia telah menggunakan (zat pengawet) sesuai standar internasional, yaitu 250mg/kg.
Tidak ada penambahan zat pengawet yang berlebihan," tegas Kustantinah.
Standar internasional itu adalah International Codex Alumentarius Commission (ICAC) yang
merupakan persyaratan mengenai keamanan mutu gizi dan produk makanan olahan. Indonesia
telah ikut meratifikasinya dan menjadikannya acuan dalam penyusunan regulasi Permenkes
nomer 722/Menkes/Per/IX/88 mengenai batas maksimal penggunaan nipagin (zat pengawet)
methylphydroxy benzoate sebagai bahan tambahan makanan yang berfungsi sebagai pengawet.
Penerapan ICAC di sejumlah negara, memang berbeda-beda tergantung pada kebijakan masing-
masing. Contohnya adalah Kanada dan AS yang menetapkan batas 1000mg/kg untuk produk
makanan selain daging ikan dan unggas serta 250mg/kg untuk kecap.
Standar lebih ketat diberlakukan oleh Brunei dan Jepang dengan 250mg/kg untuk semua jenis
produk bahan makanan. Indonesia menerapkan batas aman serupa dengan yang diberlakukan
oleh dua negara itu, yakni 250mg/kg termasuk untuk produk mie instant.
Secara berkala BPOM mengadakan pengujian contoh produk mie instant yang diambil secara
acak dari berbagai pasar. Sejauh ini belum ada temuan pelanggaran ambang batas aman zat
nipagin dalam mie instant maupun kecap dan zat penyedap lain yang menjadi bagian produk
bersangkutan.
Kustantinah membenarkan, zat nipagin juga digunakan sebagai bahan pengawet untuk kosmetika
dan obat-obatan. Tetapi tentu saja penggunaannya dalam kadar yang sangat berbeda dibanding
dengan yang diterapkan pada produk makanan.
"Pengujian terkahir terhadap mie instant termasuk kecap dalam produk mie instant tidak
ditemukan kandungan nipagin melebihi ambang batas aman yang diizinkan. Dengan demikian
kami menegaskan produk-produk mie instant yang terdapat di Indonesia dinyatakan aman
dikonsumsi oleh masyarakat," tegas Kustantinah.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, sejauh ini Taiwan belum meratifikasi ICAC. Maka bisa jadi
ada patokan berbeda mengenai ambang batas aman penggunaan zat pengawet makanan yang
Taiwan terapkan untuk produk mie instant dan kecap.
"Kita akan coba komunikasikan masalah ini melalui Kadin, sebab RI kan tidak punya hubungan
diplomatik dengan Taiwan," sambung Kustantiah.(detik.com)
BAB III
Pembahasan dan Analisis
a. Kasus ledakan tabung gas elpiji.
Kasus ledakan gas yang marak beberapa waktu lalu merupakan salah satu bentuk kasus masalah
etis seputar konsumen. Pemerintah, walau sudah berusaha untuk mengurangi kejadian ini, tapi
masih belum bisa meredam kejadian yang ada. Bukannya masyarakat semakin terpacu untuk
mengkonversi energy tapi malah menjadi takut untuk melakukan konversi ini. Para pemasok gas
tidak memperhatikan hal yang terjadi ini padahal ini sangat berdampak besar pada bisnis mereka
juga. Para pelaku bisnis dalam kaitan kasus ini masih mencurahkan perhatiannya terhadap
produk dan mendapatkan laba, dan bukan kepada konsumennya. Padahal konsumen adalah
pemicu faktor terjualnya produk, tidak ada konsumen maka tidak akan ada penjualan yang terjadi
dan perusahaan tidak akan mendapat laba jika tidak ada konsumen yang membeli produk
mereka. Maka hendaknya perusahaan makin memperhatikan konsumennya dan tentunya
memberikan hak yang sesuai kepada konsumennya.
Seperti yang diucapkan oleh Presiden John F.Kennedy pada tahun 1962 kepada Kongres
Amerika yang disebut “Special Message on Protecting the Consumer Interest”, dimana
menetapkan 4 hak yang dimiliki setiap konsumen: the right to safety, the right to be informed,
the right to choose, the right to be heard. Namun hak harus dimengerti secara luas sehingga ada
2 hak lagi yang dikemukan olehnya yaitu hak lingkungan hidup dan hak atas pendidikan.
The right to safety (Hak atas keamanan)
Dalam kasus ini, pemerintah dan pelaku bisnis telah gagal memberikan hak atas
keamanan kepada para konsumennya. Tabung gas yang berbahaya hingga menimbulkan
ledakan dan dapat menyebabkan kematian. Mereka masih luput untuk memperkecil risiko
atas keselamatan dari konsumen. Padahal konsumen berhak mendapatkan keamanan saat
membeli produk dimana produk tersebut adalah produk yang tidak mempunyai kesalahan
teknis atau kesalahan lainnya yang bisa merugikan kesehatannya atau bahkan
membahayakan hidupnya. Maka itu dalam kasus ini, pelaku bisnis masih termasuk gagal
dalam memberikan hak ini kepada konsumen dan hanya mementingkan laba semata.
The right to be informed (Hak atas informasi)
Pemerintah sudah memenuhi hal ini tapi sayangnya kurang maksimal. Informasi yang
diberikan kepada masyarakat mencakup segala informasi yang relevan mengenai produk
yang dibelinya, baik apa sesungguhnya produk itu, maupun bagaimana cara memakainya,
maupun resiko yang menyertai pemakaiannya. Oleh karena itu, konsumen harus
mendapat semua informasi yang benar. Sayangnya, sosialisasi pemerintah ke masyarakat
masih belum dilakukan dengan baik karena banyaknya masyarakat yang tidak tahu cara
penanganan terhadap gas elpiji yang benar terutama saat menemukan kebocoran pada
tabung gas.
The right to choose (Hak untuk memilih)
Dalam kasus ini, sebagai konsumen, mereka berhak memilih produk yang mereka beli
sehingga konsumen semestinya boleh memilih dan meminta untuk mengecek tabung gas
yang mereka beli, apakah mengalami kebocoran atau tidak.
The right to be heard (Hak untuk didengarkan)
Tentunya akibat maraknya kasus tabung gas meledak, maka keluhan dari masyarakat
tentunya harus ditanggapi dengan cepat oleh pemerintah. Pemerintah harus benar-benar
mendengarkan apa yang diinginkan oleh si konsumen sehingga pemerintah dapat
menentukan tindakan yang tepat dan cepat terhadap penanganan kasus ini.
Hak lingkungan hidup
Konsumen tentunya berhak untuk mendapatkan produk yang ramah terhadap lingkungan.
Dalam konteks kasus, tabung gas yang meledak dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan selain menghancurkan lingkungan sekitarnya. Semestinya pemerintah dan
pelaku bisnis juga mempertimbangkan efek samping ini, karena kalau tidak ditangani
secara cepat akan berbahaya bagi masyarakat luas.
Hak konsumen atas pendidikan
Konsumen memiliki hak, tapi ia juga harus menyadari akan hak tersebut. Bahkan
menyadari hak saja belum cukup, karena konsumen harus mengemukakan kritik dan
keluhannya, bila haknya dilanggar. Karena itu, konsumen punya hak untuk dididik secara
positif ke arah itu. Dengan demikian, konsumen akan menjadi individu yang sadar dan
kritis akan haknya. Dalam konteks ini, konsumen termasuk sudah menyadari hak mereka
untuk menyatakan keluhan dan tuntutan terhadap pelaku bisnis akan hak yang semestinya
mereka dapatkan. Konsumen Indonesia termasuk kritis dalam menuntut haknya walau
tidak sepenuhnya dalam bentuk yang positif bahkan ada juga respon dalam bentuk yang
negatif.
Dalam kaitannya dengan masalah tanggung jawab bisnis untuk menyediakan produk yang aman,
baik produsen dan konsumen memiliki tanggung jawab mereka masing-masing dalam hal
penyediaan dan pemakaian produk. Oleh Karena itu, dalam konteks kasus tabung gas meledak
ini, teori yang sesuai adalah teori perhatian semestinya.
Teori perhatian semestinya memposisikan konsumen pada posisi yang lemah dan ini sesuai
dengan kasus dimana konsumen memiliki pengetahuan yang lebih terbatas terhadap produk
dibandingkan dengan produsen atau pelaku bisnis. Oleh karena itu, kepentingan konsumen harus
selalu dinomorsatukan karena produsen atau pelaku bisnis berada dalam posisi yang lebih kuat
sehingga mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga konsumen supaya tidak mengalami
kerugaian dari produk yang dibelinya walau tanggung jawab ini tidak tertera secara eksplisit.
Pada kasus ini, konsumen yang membeli tabung gas dalam kemasan tabung 3 kg kebanyakan
adalah masyarakat kecil yang notabene adalah masyarakat yang kebanyakan masih
berpendidikan rendah. Mereka tentunya ada dalam posisi yang lemah karena ketidaktahuan
mereka lebih tinggi dibanding masyarakat yang berpendidikan tinggi dan tentunya dibandingkan
dengan para produsen yang tahu dengan baik mengenai produk tabung gas mereka. Oleh karena
itu, produsen / pelaku bisnis harusnya memperhatikan dengan baik kualitas daripada tabung
tersebut karena merupakan tanggung jawab mereka karena mereka punya pengetahuan yang
lebih.
Teori ini dapat dikaitkan pula dengan norma-norma karena memiliki pandangan etika secara
meluas. Antara lain norma-norma yang berhubungan adalah :
1. Norma “tidak merugikan” bisa didasarkan atas teori deontologi. Konsumen harus
diperlakukan sebagai tujuan bukan sarana. Dalam konteks ini, konsumen jangan
diperlakukan sebagai sarana untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya, melainkan
produsen/pelaku bisnis/pemerintah memperlakukan konsumen dan juga masyarakat
sebagai sesuatu yang penting dan harus diperhatikan karena mereka punya hak untuk
dibantu jika mereka tidak bisa membantu dirinya sendiri karena posisi mereka yang lebih
lemah. Dalam hal ini, produsen/pelaku bisnis/pemerintah masih kurang maksimal dalam
menjalankan norma ini.
2. Norma “tidak merugikan” bisa didasarkan pula atas teori utilitarianisme dimana
apabila produsen/pelaku bisnis menjalankan kegiatan usahanya dengan benar termasuk
pemberian hak kepada konsumen secara benar maka setiap masyarakat yang merupakan
konsumen akan beruntung dan tentunya senang (the greatest happiness of greatest
numbers.)
3. Norma ini bisa juga dihubungkan dengan teori keadilan, khususnya menurut
pandangan John Rawls bahwa sebagai produsen/pelaku bisnis, kalau ada di posisi asali
mereka dimana mereka dibalik selubung ketidaktahuan maka mereka akan memilih
norma ini demi kepentingan diri sendiri = menempatkan pandangan mereka jika mereka
merupakan konsumen sehingga mereka dapat secara adil menangani kasus tabung gas
meledak itu.
Tanggung jawab bisnis lainnya yang harus diperhatikan produsen terhadap konsumen adalah
bahwa produsen harus bertanggung jawab terhadap harga dan kualitas produknya. Tabung gas di
masyarakat tidak bisa dibilang murah ataupun mahal tapi bukan dengan begitu kualitasnya juga
setengah-setengah. Malah mereka harus memperhatikan dengan baik kualitas dari produknya
yang nantinya akan disampaikan ke masyarakat.
Dalam konteks kasus, pemerintah menyatakan bahwa mereka menyesuaikan dengan standar
Jerman dan Amerika Serikat tapi lucunya, yang terlihat secara nyata adalah kualitas standar dari
produk tersebut adalah jauh dibawah kedua negara tersebut. Tabung gas yang meledak
merupakan bukti nyata bahwa pemerintah gagal dalam memperhatikan kualitas produk yaitu
tabung gas yang justru sedang mereka sosialisasikan sebagai program konversi energi. Bahkan
ketika sampai di pelaku bisnis atau agen gas, perlakuan si agen gas terhadap produk tidak
perhatikan secara baik sehingga malah mengurangi kualitas dari produk tabung gas itu sendiri
seperti misalnya, tabung gas yang sampai didepot agen gas dipindahkan secara kasar dengan
digulingkan saat dipindahkan dan penempatannya tidak tepat yang justru membahayakan bagi si
produsen maupun konsumen itu sendiri. Padahal kualitaslah yang menentukan kesuksesan dari
program pemerintah dan si pelaku bisnis itu sendiri. Oleh karena itu, baik harga dan kualitas
yang didapat masyarakat akan tabung gas tersebut tidaklah imbang/adil dan bahkan bermasalah
sehingga pemerintah perlu lebih giat lagi untuk memacu perlakuan standar yang nyata secara
benar.
b. Kasus Indomie
Dalam konteks kasus Indomie ini, dengan menggunakan perumusan hak konsumen yang
dinyatakan oleh Presiden John F.Kennedy yang disebut “Special Message on Protecting the
Consumer Interest” antara lain mencakup:
The right to safety (Hak atas keamanan)
Konsumen berhak mendapatkan keamanan saat membeli produk dimana produk tersebut
adalah produk yang tidak mempunyai kesalahan teknis atau kesalahan lainnya yang bisa
merugikan kesehatannya atau bahkan membahayakan hidupnya. Kasus Indomie di
Taiwan ini memang menimbulkan banyak pro dan kontra. Perusahaan menyatakan bahwa
mereka telah menyesuaikan kandungan nipagin pada indomie tersebut sesuai dengan
standar yang berlaku secara internasional yang mana juga berlaku di Brunei dan Jepang
dimana tidak melebih batas 250mg/kg sehingga dari segi pernyataan ini, produsen telah
memenuhi hak konsumen untuk mendapatkan keamanan untuk mengkonsumsi Indomie
walau disatu sisi, konsumen sendiri juga harus tahu batas dalam mengkonsumsi Indomie
karena disetiap produk yang memiliki bahan pengawet walau sudah disesuaikan dengan
standar, apabila si konsumennya mengkonsumsi secara berlebihan bukanlah salah
produsen jika konsumennya mengalami gangguan kesehatan.
The right to be informed (Hak atas informasi)
Pada kemasan Indomie, produsen sudah mencantumkan informasi mengenai bahan dari
Indomie. Namun kebanyakan masyarakat tentunya tidak paham dengan istilah-istilah
kimia yang ada pada kemasan Indomie tersebut. Masyarakat tentunya tidak akan tahu apa
itu Nipagin sampai ada kasus seperti ini. Sehingga, mulai sekarang produsen Indomie
atau produk dengan bahan pengawet harus mulai memberi informasi yang lebih detail
dengan melalui media untuk mensosialisasikan sehingga masyarakat tidak panik/takut
untuk mengkonsumsi dan tahu apa yang harus mereka lakukan dan seberapa banyak yang
boleh mereka konsumsi sehingga tidak membahayakan kesehatan si konsumen.
The right to choose (Hak untuk memilih)
Dalam kasus ini, sebagai konsumen, mereka berhak memilih produk yang mereka beli
sehingga jika konsumen merasa untuk tidak aman mengkonsumsi Indomie, mereka dapat
memilih untuk tidak membeli dan mengkonsumsi produk Indomie dan sejenisnya atau
beralih ke produk lain yang kiranya lebih aman untuk dikonsumsi.
The right to be heard (Hak untuk didengarkan)
Konsumen memiliki hak untuk mengungkapkan kritik dan keluhan terhadap Indomie dan
produsen harus menampung hal tersebut supaya mereka mengerti apa yang dibutuhkan
dan tentunya diharapkan oleh para konsumen sekarang.
Hak lingkungan hidup
Konsumen tentunya berhak untuk mendapatkan produk yang ramah terhadap lingkungan
dan juga kesehatan masyarakat. Produsen Indomie harusnya sadar betul bahwa produk
mereka juga tidak bermasalah dengan lingkungan dan tidak mencemari lingkungan secara
berbahaya dan juga bagi masyarakat.
Hak konsumen atas pendidikan
Konsumen memiliki hak, tapi ia juga harus menyadari akan hak tersebut. Bahkan
menyadari hak saja belum cukup, karena konsumen harus mengemukakan kritik dan
keluhannya, bila haknya dilanggar. Karena itu, konsumen punya hak untuk dididik secara
positif ke arah itu. Dengan demikian, konsumen akan menjadi individu yang sadar dan
kritis akan haknya. Dalam konteks ini, konsumen termasuk sudah menyadari hak mereka
untuk menyatakan keluhan dan tuntutan terhadap pelaku bisnis akan hak yang semestinya
mereka dapatkan. Konsumen Indonesia termasuk kritis dalam menuntut haknya walau
tidak sepenuhnya dalam bentuk yang positif bahkan ada juga respon dalam bentuk yang
negatif.
Dalam kaitannya dengan masalah tanggung jawab bisnis untuk menyediakan produk yang aman,
baik produsen dan konsumen memiliki tanggung jawab mereka masing-masing dalam hal
penyediaan dan pemakaian produk. Oleh Karena itu, dalam konteks kasus Indomie ini, teori yang
sesuai adalah teori perhatian semestinya.
Teori perhatian semestinya memposisikan konsumen pada posisi yang lemah dan ini sesuai
dengan kasus dimana konsumen memiliki pengetahuan yang lebih terbatas terhadap produk
dibandingkan dengan produsen atau pelaku bisnis. Oleh karena itu, kepentingan konsumen harus
selalu dinomorsatukan karena produsen atau pelaku bisnis berada dalam posisi yang lebih kuat
sehingga mereka memiliki tanggung jawab untuk menjaga konsumen supaya tidak mengalami
kerugian dari produk yang dibelinya walau tanggung jawab ini tidak tertera secara eksplisit.
Pada kasus ini, konsumen yang membeli Indomie bukanlah masyarakat yang paham benar akan
istilah-istilah kimia dan kandungan daripada yang mereka makan terutama konsumen yang
memiliki pendidikan rendah. Sehingga posisi kebanyakan masyarakat yang mengkonsumsi
Indomie menjadi lebih lemah dibandingkan dengan para produsen yang tahu dengan baik
mengenai produk mereka. Oleh karena itu, produsen / pelaku bisnis harusnya memperhatikan
dengan baik kualitas daripada indomie tersebut karena merupakan tanggung jawab mereka
karena mereka punya pengetahuan yang lebih.
Teori ini dapat dikaitkan pula dengan norma-norma karena memiliki pandangan etika secara
meluas. Antara lain norma-norma yang berhubungan adalah :
1. Norma “tidak merugikan” bisa didasarkan atas teori deontologi. Konsumen harus
diperlakukan sebagai tujuan bukan sarana. Dalam konteks ini, konsumen jangan
diperlakukan sebagai sarana untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya, melainkan
produsen/pelaku bisnis/pemerintah memperlakukan konsumen dan juga masyarakat
sebagai sesuatu yang penting dan harus diperhatikan karena mereka punya hak untuk
dibantu jika mereka tidak bisa membantu dirinya sendiri karena posisi mereka yang lebih
lemah. Dalam hal ini, produsen/pelaku bisnis/pemerintah masih kurang maksimal dalam
menjalankan norma ini.
2. Norma “tidak merugikan” bisa didasarkan pula atas teori utilitarianisme dimana
apabila produsen/pelaku bisnis menjalankan kegiatan usahanya dengan benar termasuk
pemberian hak kepada konsumen secara benar maka setiap masyarakat yang merupakan
konsumen akan beruntung dan tentunya senang (the greatest happiness of greatest
numbers.)
3. Norma ini bisa juga dihubungkan dengan teori keadilan, khususnya menurut
pandangan John Rawls bahwa sebagai produsen/pelaku bisnis, kalau ada di posisi asali
mereka dimana mereka dibalik selubung ketidaktahuan maka mereka akan memilih
norma ini demi kepentingan diri sendiri = menempatkan pandangan mereka jika mereka
merupakan konsumen sehingga mereka dapat secara adil menangani kasus indomie.
Tanggung jawab bisnis lainnya yang harus diperhatikan produsen terhadap konsumen adalah
bahwa produsen harus bertanggung jawab terhadap harga dan kualitas produknya. Indomie
adalah produk yang sudah dikonsumsi masyarakat sejak lama karena ekonomis dan sesuai
dengan kebutuhan dan selera masyarakat Indonesia. PT. Indofood yang telah dikenal luas oleh
masyarakat sudah berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Namun dengan
merebaknya kasus ini, kualitas Indomie pun kembali dipertanyakan. Sudah semestinya para
pelaku bisnis semakin cerdas dan sadar akan betapa pentingnya peranan kualitas terhadap
konsumen pada saat ini. Konsumen sekarang juga semakin cerdas dan semakin ingin tahu,
sehingga perusahaan harus menginformasikan secara benar mengenai produknya sehingga
masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana kualitas daripada Indomie yang sekarang beredar.
Dan PT. Indofood sendiri harus sadar dengan kasus ini, berarti kualitas mereka harus kembali
dibenahi dan tentunya tetap ekonomis karena dikonsumsi oleh range masyarakat yang luas
sehingga Indomie tetap bisa mendapatkan kembali kepercayaan konsumen yang notabene bukan
hanya konsumen didalam negeri tapi juga luar negeri dan menjaga kepercayaan itu dengan
perbaikan kualitas yang berkala seiring ketentuan yang berlaku dan harapan masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan :
1. Kasus ledakan tabung gas elpiji
Dalam kasus ini, pemerintah dan pelaku bisnis telah gagal memberikan hak atas
keamanan kepada para konsumennya. Pemerintah, walau sudah berusaha untuk
mengurangi kejadian ini, tapi masih belum bisa meredam kejadian yang ada
seperti ledakan tabung gas elpiji yang bocor dan pemasok juga kurang
memperhatikan masalah ini yang menimbulkan keresahan masyarakat yang
memakai tabung gas tersebut.
Maka hendaknya perusahaan makin memperhatikan konsumennya dan tentunya
memberikan hak yang sesuai kepada konsumennya. Hak-hak tersebut terdiri dari
hak atas keamanan, hak atas informasi, hak untuk memilih, hak untuk
didengarkan, hak lingkungan hidup dan hak konsumen atas pendidikan.
Dalam kasus ini teori yang sesuai adalah teori perhatian semestinya dan teori ini
juga dapat dikaitkan dengan norma-norma karena memiliki pandangan etika
secara meluas.
Norma-norma tersebut terdiri dari norma “tidak merugikan” bisa didasarkan atas
teori deontology, norma “tidak merugikan” bisa didasarkan pula atas teori
utilitarianisme dan norma ini bisa juga dihubungkan dengan teori keadilan,
khususnya menurut pandangan John Rawls.
Dalam konteks kasus, pemerintah menyatakana bahwa mereka menyesuaikan
dengan standar Jerman dan Amerika Serikat tapi ternyata yang terlihat secara
nyata adalah kualitas standar dari produk tersebut adalah jauh dibawah keuda
Negara tersebut. Tabung gas yang meledak merupakan bukti nyata bahwa
pemerintah gagal dalam memperhatikan kualitas produk yaitu tabung gas yang
justru sedang mereka sosialisasikan sebagai program konversi energi telah gagal
di sosialisasikan ke masyarakat.
2. Kasus Indomie
Dalam kasus ini PT. Indofood juga harus memperhatikan hak konsumen. Hak
tersebut terdiri dari hak atas keamanan, hak atas informasi, hak untuk memilih,
hak untuk didengarkan, hak lingkungan hidup dan hak konsumen atas pendidikan.
Hak tersebut juga terkait dengan norma-norma yang ada yaitu norma “tidak
merugikan” bisa didasarkan atas teori deontology, norma “tidak merugikan” bisa
didasarkan pula atas teori utilitarianisme dan norma ini bisa juga dihubungkan
dengan teori keadilan, khususnya menurut pandangan John Rawls.
Tanggung jawab bisnis lainnya yang harus diperhatikan produsen terhadap
konsumen adalah bahwa produsen harus bertanggung jawab terhadap harga dan
kualitas produknya. Indomie adalah produk yang sudah dikonsumsi masyarakat
sejak lama karena ekonomis dan sesuai dengan kebutuhan dan selera masyarakat
Indonesia. PT. Indofood yang telah dikenal luas oleh masyarakat sudah berusaha
untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Namun dengan merebaknya
kasus ini, kualitas Indomie pun kembali dipertanyakan. Sudah semestinya para
pelaku bisnis semakin cerdas dan sadar akan betapa pentingnya peranan kualitas
terhadap konsumen pada saat ini.
Konsumen sekarang juga semakin cerdas dan semakin ingin tahu, sehingga
perusahaan harus menginformasikan secara benar mengenai produknya sehingga
masyarakat dapat menilai sendiri bagaimana kualitas daripada Indomie yang
sekarang beredar. Dan PT. Indofood sendiri harus sadar dengan kasus ini, berarti
kualitas mereka harus kembali dibenahi dan tentunya tetap ekonomis karena
dikonsumsi oleh range masyarakat yang luas sehingga Indomie tetap bisa
mendapatkan kembali kepercayaan konsumen yang notabene bukan hanya
konsumen didalam negeri tapi juga luar negeri dan menjaga kepercayaan itu
dengan perbaikan kualitas yang berkala seiring ketentuan yang berlaku dan
harapan masyarakat.
b. Saran :
1. Kasus ledakan tabung gas elpiji
Seharusnya pemerintah bisa menindak lanjuti kasus ini dengan baik demi
keselamatan konsumen tabung gas elpiji yang membelinya, dengan cara sebelum
produsen tabung gas elpiji memasarkan produknya di tempat-tempat yang
biasanya menjual tabung gas elpiji tersebut, pemerintah dan produsen harus
memastikan tabung gas yg dipasarkan aman untuk di jual.
Mereka pun juga bisa memberikan informasi yang benar dalam mengenali
bagaimana tabung gas elpiji yang tidak bocor kepada masyarakat yang
membelinya. Mereka pun juga bisa memeriksa bagaimana tabung gas elpiji
tersebut bisa mengalami kebocoran saat di jual di pasaran. Produsen pun juga
harus memikirkan apa yang akan di akibatkan di lingkungan sekitar.
2. Kasus Indomie
Seharusnya produsen indomie yaitu PT. Indofood memerhatikan takaran
produknya sudah sesuai dengan takaran yang tertera di kemasan produknya atau
tidak dan apakah takaran tersebut sudah sesuai dengan takaran yang telah di
tentukan di negara tersebut. Karena takaran suatu produk sangatlah penting untuk
kesehatan konsumen produk tersebut.
Pemerintah juga seharusnya membantu untuk mengawasi hal tersebut, pemerintah
juga bisa mengukur takaran produk makanan tersebut baik bagi kesehatan
konsumen yang mengkonsumsinya atau tidak.