Upload
dera-fakhrunnisa-rukmana
View
74
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS PRESENTASI KASUS
TB PARU BTA POSITIF LESI LUAS KASUS BARU
Tutor:
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
Kelompok B.2 :
Dikodemus Ginting G1A009019
Dera Fakhrunnisa G1A009020
Rostikawaty Azizah G1A009022
Prasastie Gita W. G1A009023
Gizza Dandy Pradana G1A009024
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
Telah dipresentasikan dan disahkan presentasi kasus dengan judul:
“TB PARU BTA POSITIF”
Disusun Oleh :
Kelompok B.2
Dikodemus Ginting G1A009019
Dera Fakhrunnisa G1A009020
Rostikawaty Azizah G1A009022
Prasastie Gita W. G1A009023
Gizza Dandy Pradana G1A009024
Pada tanggal , Desember 2012
Pembimbing
dr. Indah R ahmawati , Sp.P
STATUS PRESENTASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 21 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Supir
Agama : Islam
Alamat : Banjar Parakan 02/11 Rawalo, Banyumas
Pembiayaan : Jamkesda
Pasien tiba di : IGD
Tanggal masuk RS : 7 Desember 2012
Tanggal periksa : 10 Desember 2012
Nomor CM : 793512
Ruang rawat : Cendana
SUBJEKTIF
A. Keluhan Utama
Nyeri dada
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan nyeri dada sebelah kanan semenjak 5 hari sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri dadanya semakin hari semakin berat sampai pasien tidak dapat
melakukan aktivitas. Nyeri dada yang dirasakan semakin berat apabila pasien sedang
batuk, stres, cuaca yang dingin, tidur dengan posisi miring. Dan merasa agak ringan
apabila pasien mengkonsumsi obat serta beristirahat. Selain nyeri dada, pasien juga
mengeluhkan lemas, demam, menggigil, keringat malam hari, nyeri perut, nafsu makan
menurun, muntah apabila makan serta berat badan menurun hingga 17,5 kg.
Pasien mengeluhkan sebelumnya menderita batuk tidak berdahak sejak 4 bulan
yang lalu, batuk yang dideritanya tidak sembuh-sembuh walaupun pasien sudah berusaha
untuk melakukan pengobatan di puskesmas Rawalo. Di puskesmas Rawalo pasien
sempat mondok selama 2 hari 2 malam. Setelah itu, 2 bulan kemudian penyakit batuk
pasien kambuh lagi dan mondok di RSMS selama 4 hari atas rujukan dari puskesmas dan
didiagnosis klinis sebagai pasien bronkopneumonia. Saat itu pasien seharusnya kontrol
namun karena masalah administrasi jadi pasien selama 1 bulan tidak kontrol. Lalu ada
tetangga pasien yang menyarankan untuk memeriksa ke RS DKT, pasien pun akhirnya
rawat jalan di RS DKT dan diberikan OAT selama 14 hari yang diminum setiap pagi.
Pasien hanya 2 kali kontrol, hari ke-11 kondisi pasien drop dan pasien masuk ke IGD RS
DKT, mondok selama 7 hari. Saat itu, pengobatan OAT pasien dihentikan dan saat
pasien mau keluar dari RS, obat yang berbeda dan sisa 3 OATnya itu baru diberikan
kepada pasien. Karena keluarga pasien cemas, pada hari itu juga pasien dibawa ke
RSMS. Pasien dirawat jalan dan diberikan OAT lagi dari awal dan disarankan untuk
diminum saat malam hari. Beberapa hari berikutnya, pasien sempat kecelakaan,
mengeluhkan kedua anggota geraknya sakit serta dada sebelah kanannya sakit walaupun
dadanya tidak terkena apa-apa. 5 hari setelah pasien ke RSMS akhirnya pasien masuk
lagi ke RSMS karena keadaan pasien yang nyeri dada dan drop.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi. Riwayat transfusi darah disangkal dan
pengobatan OAT sebelumnya disangkal.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien sempat mengeluhkan batuk yang sama namun telah sembuh.
E. Riwayat Sosial-Ekonomi
Pasien bekerja sebagai supir pengganti truk antar provinsi. Keseharian pasien
bergaul dengan teman-temannya yang biasa menderita batuk-batuk namun tidak
dihiraukannya. Pasien memiliki gaya hidup yaitu merokok 15 batang per hari, biasa
mengkonsumsi alkohol, begadang dan keluar malam. Pasien memiliki kebiasaan makan
di warung karena jarang di rumah, makan biasanya 2 kali sehari bahkan biasa hanya 1
kali sehari.
Pasien tinggal di rumah yang tidak tetap, yaitu rumah yang dikelilingi dengan
tembok tinggi. lantainya dari tehel yang lembab dan tembok rumah hanya bersisa tembok
bata saja. Ventilasi rumah cukup namun jendela jarang dibuka serta posisi rumah yang
jarang terkena sinar matahari karena terhalang tembok tinggi.
Pasien adalah anak pertama dari 3 bersaudara, anak kedua laki-laki SMP dan anak
terakhir perempuan MTS. Ibu pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan ayah pasien
bekerja di penggilingan padi. Pasien sewaktu kecil telah mendapatkan vaksinasi dasar
yang lengkap. Pasien menggunakan fasilitas Jamkesda selama pengobatan.
OBJEKTIF
A. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital Sign :
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 120x/menit
Respirasi : 40x/menit
Suhu : 380 C per axilla
4. Status Generalis :
a. Kepala : Simetris, mesocephal, rambut warna hitam merata, venektasi
temporal (-)
b. Mata : Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), reflek cahaya (+/+)
c. Hidung : Discharge (-/-), NCH (-/-), deformitas (-/-)
d. Telinga : Simetris kanan kiri, otore (-/-), nyeri tekan (-/-)
e. Mulut : Bibir sianosis (-), hiperemis (-), bibir kering (-) lidah pucat (-),
tremor (-), ikterik (-)
f. Leher :
Inspeksi : Deviasi trakea (-)
Palpasi : Pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe (-)
g. Kulit : Ikterus (-)
h. Paru
Inspeksi : Dinding dada tidak simetris, ketinggalan gerak pada dinding
dada kanan
Palpasi : Vokal fremitus kanan lebih menurun dari pada kiri
Perkusi :Sonor di hampir seluruh lapang paru, redup di basal paru
kanan, batas paru-hepar SIC V linea midclavicularis dextra.
Auskultasi : Apex dextra suara dasar vesikuler +/+,
Apex sinistra suara dasar vesikuler +/+
Basal dextra suara dasar vesikuler ↓/+
Basal sinistra suara dasar vesikuler +/+
Rbh (+/-), Rbk (+/-), Wheezing (-/-)
i. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V LMC sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra, kuat angkat (-)
Pulsasi parasternal (-), Pulsasi epigastrica (-)
Perkusi : Batas jantung
Batas kanan atas SIC II LPS dekstra
Batas kanan bawah SIC IV LPS dekstra
Batas kiri atas SIC II LPS sinistra
Batas kiri bawah SIC V LMC sinistra
Auskultasi : S1 > S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
j. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, undulasi (-), pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) hipokondriaka dekstra, lien tidak
teraba, hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae
dekstra,permukaan rata, tidak berbenjol-benjol, tepi tumpul,
konsistensi kenyal.
k. Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+), Deformitas (-), ikterik (-/-), edema (-/-),
clubbing finger (-/-)
Inferior : Akral hangat (+) Deformitas (-), ikterik (-/-), edema (-/-),
clubbing finger (-/-)
B. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium pada tanggal 7 Desember 2012
Darah Lengkap
Hb 10,6 gr/dl (L) (14 – 18g/dl)
Leukosit 23010/ uL (H) (4.800-10.800 /mL)
Ht 31 % (L) (42 – 52 %)
Eritrosit 4,1 (4,7-6,1 /mL)
Trombosit 357000/uL (150.000 – 450.000 /mL)
MCV 75,3 fl (79,0-99,0 pq)
MCH 25,7 pg (27-31 %)
MCHC 34,1 % (33-37 gr/dl)
Hitung Jenis
Basofil 0,24 % (0,0-1,0 %)
Eosinofil 0,0 % (L) (2,0-4,0 %)
Batang 0,00 % (L) (2,00-5,00 %)
Segmen 79,3 % (H) (40-70 %)
Limfosit 4,8 %(L) (25-40 %)
Monosit 15,7 % (H) (2-9 %)
Kimia Klinik
Bilirubin
Total 1,36 (H)
Direk 1,15
Indirek 0,21
SGOT 76 uL (H) (15-37 uL)
SGPT 74 uL (H) (30-65 uL)
Kreatinin 1,6 (0,8-1,3)
GDS 88 gr/dl (<200 gr/dl)
Natrium 126 (L)
Kalium 3,3 (L)
Klorida 83 (L)
Pemeriksaan sputum
Didapatkan hasil BTA (+3)
Foto Thorax
Infiltrat luas di seluruh lapang paru dextra, deviasi trakhea (-), pelebaran sela iga (-).
ASSESMENT
TB paru BTA (+) lesi luas kasus baru dalam terapi OAT 2 minggu
CAP (dikarenakan hiponatremi, hipokalsemi, hipoklorida dan insufisiensi hepar)
PLANNING
A. Terapi
IVFD RL 20 tpm
O2 4L/menit
Inj.Rantin 2x1 amp IV
Inj.Antrain 2x1 amp IV
Po Curcuma 3x1 tab
Po Fartolyn syr 3 X 1 c
Po vit.B6 1x1 tab
Po 4FDC n.IV tab
Po Asam Mefenamat 2 x 1 tab
Po Sulfas Ferosus 2 x 1 tab
B. Monitoring
1. Keadaan umum dan vital sign
2. Evaluasi klinis: keluhan batuk, nafsu makan, BB.
3. Evaluasi bakteriologis: konversi sputum
Pemeriksaan sputum pada kasus kategori I dilakukan pada satu minggu akhir fase
intensif, satu bulan sebelum akhir pengobatan (bulan kelima) dan pada akhir
pengobatan.
4. Evaluasi radiologis
5. Evaluasi efek samping obat: alergi, hepatitis, dll.
6. Kepatuhan minum obat
C. Edukasi
1. Jauhi dan bentuk lingkungan yang dapat meminimalisir faktor-faktor risiko penyebab
TB dan penyulit untuk penyembuhan TB, seperti keadaan rumah yang lembab, asupan
makanan yang bergizi, dsb.
2. Kepatuhan minum obat
3. Pencegahan penularan
4. Edukasi PMO
D. Prognosis
Advitam : ad bonam
Adsanastionam : ad bonam
Adfungsionam : ad bonam
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkolosis paru (TB) adalah seuatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama
dikenal pada manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban,
lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan tulang vertebra torak
yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari kuburan zaman neolitikum, begitu
juga penemuan yang berasal dari mumi dan ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun
2000-4000SM. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat dari
bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru ini (Amin & Bahar, 2009). TB paru
adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tubercolosis. Kuman
batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit.
Basil tuberkel ini berukuran 0,3x2 sampai 4mm, ukuran ini lebih kecil daripada sel darah
merah (Price, 2006).
Pada permulaan abad 19, insidensi penyakit tuberkolosis di Eropa dan Amerika Serikat
sangat besar. Angka kematian cukup tinggi yakni 400 per 100.000 penduduk, dan angka
kematian berkisar 15-30% dari semua kematian. Robert Koch mengidentifikasi basil tahan
asam M. tuberculosis untuk pertama kali sebagai bakteri penyebab TB dan
mendemonstrasikan bahwa basil ini bisa dipindahkan kepada binatang yang rentan, yang
akan memenuhi kriteria postulat Koch yang merupakan prinsip utama dari patogenesis
mikrobial (Amin & Bahar, 2009).
Pada tahun 1998, terdapat 18.361 kasus baru TB yang dilaporkan ke CDC.
Diperkirakan 10-15 juta orang akan terinfeksi TB. Lebih dari 80% kasus paru TB yang
dilaporkan pada tahun 1998 adalah berusia lebih dari 25 tahun, dan kebanyakan dari mereka
terinfeksi di masa lalu. Kira-kira 5-100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang
menjadi TB paru 1-2 tahun setelah terinfeksi (Price, 2006). Angka kejadian TB di Indonesia
menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap
tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB
di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih
dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis (Depkes, 2007). Menurut Bahar (2001) tuberkulosis paru adalah
tuberkulosis yang menyerang paru termasuk pleura dan merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis kompleks (Bahar, 2001).
B. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI
Penyakit TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis
berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul.
Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis
sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding
sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa
dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam
virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang
dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan
oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut
adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut
dengan larutan asam–alkohol (Jawetz, 2008).
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi
dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens
dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan
sensitifitas dan spesifisitas yang berfariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang
menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan
yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang
hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain (PDPI, 2002).
C. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
1. Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB
dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang
biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni
kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN (Werdhani, 2002).
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran
limfe yang meradang (limfangitis) (Werdhani, 2002).
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini (Werdhani, 2002).
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (Werdhani, 2002).
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik (Werdhani, 2002).
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru
atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan
membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya (Werdhani, 2002).
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB
ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya
meningitis, TB tulang, dan lain-lain (Werdhani, 2002).
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita (Werdhani, 2002).
Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis (Widodo, 2004).
2. Patofisiologi
a. Batuk Berdarah
Mekanisme pembersihan tidak efektif
Penggunaan otot abdomen
Reaksi radang
Inhalasi droplet
Bakteri ke alveolus
Sekret >>>
Reflek batuk
Nafsu makan ↓kenyang
↑ hormon leptin Mual, muntah
Reflek vagal
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi
dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk memberikan nutrisi
pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan
fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna
tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih
diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen
ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa
terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri
bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe (Rab,
2006).
b. Berkeringat malam hari
Keluarnya mediator-mediator inflamasi seperti TNF α yang berlabihan
dikarenakan ada infeksi bakteri akan menyebabkan hipotalamus meningkatkan set
point suhu tubuh sesaat, terjadilah demam. Untuk mempertahankan panas supaya
tidak keluar terjadi vasokonstriksi PD, tubuh menahan panas dengan cara menggigil
untuk menghasilkan panas tambahan. Gigil berhenti, set point suhu tubuh kembali
normal, kemudian terjadi vasodilatasi. Hilangnya panas ke lingkungan dikeluarkan
melalui keringat (Dinarello and Bunn, 1997).
N. I
3. Penurunan Nafsu Makan
4. Berat Badan Menurun
Mikroba masuk
Antigen dari mikroba dipresentasikan sel T
5. Suhu subfebris
M. tubercusosis
Inhalasi droplet
Bakteri mencapai alveolus
Basil berdistribusi (bakterimia)
Merangsang IL-1
Zat endogenpirogen
Prostaglandin
Berdistribusi ke hipotalamus
Menggeser set point anterior dari titik normal
Respon menggigil
Peningkatan suhu tubuh
Inefektif termoregulator
Peningkatan metabolisme tubuh pada penderita TB
Pemecahan cadangan makanan
Kebutuhan sel meningkat, nutrisi kurang dari tubuh
BB turun
6. Suara ronkhi basah halus
Crackles halus atau ronki basah halus, disebabkan oleh terbukanya alveoli
yang tertutup waktu ekspirasi sebelumnya secara tiba-tiba, mungkin disebabkan
tekanan antara jalan nafas yang terbuka dengan yang menutup dengan cepat
menjadi sama sehingga jalan nafas perifer mendadak terbuka. Bunyi ini terjadi
saat inspirasi, yang dapat terjadi saat jalan nafas perifer mendadak terbuka pada
waktu daerah-daerah kolaps (atelektasis) terinflasi. Ronki basah halus yang
terdengar pada daerah basal paru menunjukkan adanya edema paru. Pada
pneumonia lebih spesifik bila bunyi gemereletak ini didapatkan pada akhir
inspirasi (atau yang disebut krepitasi).
7. Suara ronkhi basah kasar
Crackles kasar atau ronki basah kasar khas terjadi karena disebabkan oleh
tekanan inspirasi yang tinggi yang menyebabkan terjadinya pemasukan udara
yang cepat ke dalam unit-unit udara distal sehingga terjadi pembukaan yang cepat
dari alveoli dan bronkus yang mengandung sekret yang tertahan.
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi TB Paru berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu:
1. TB paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran TB.
c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
2. TB paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran TB.
c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, dibagi menjadi:
1. Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah minum
kurang dari 1 bulan
2. Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
positif (apusan atau kultur).
3. Pengobatan setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
4. Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
8. Lain-lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini
termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan.
9. TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal,
default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan
secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis
spesialistik. (Permenkes RI, 2009).
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Dari anamnesis bisa didapatkan gejala sebagai berikut:
a. Batuk > 2 minggu
b. Rasa nyeri pada dada
c. Sesak nafas
d. Batuk darah
e. Dahak berwarna kuning-kehijauan
f. Keringat pada malam hari
g. Demam
h. Malaise
i. Keringat malam
j. Anoreksia
k. Berat badan menurun
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak
menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah
terinfiltrasi secara asimtomatik. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru
sulit dibedakan dengan pneumonia biasa (Amin & Bahar, 2009).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakeriologik merupakan salah satu hal yang penting dalam
penegakan diagnosis TB. Bahan untuk pemeriksaan ini dapat menggunakan dahak,
cairan pleura,dan bilasan bronkus. Cara pengambilan dahak dilakukan 3 kali yaitu
sewaktu, pagi, sewaktu (SPS). Penilaian tingkat infeksi TB berdasarkan hasil
pemeriksaan sputum menurut IUAT (International Union Against Tuberculosis)
adalah sebagai berikut:
1) Positif 1 (+) : ditemukan 10 – 99 sel BTA / 100 LP
2) Positif 2 (+ +) : ditemukan 1 – 10 sel BTA / 1 LP
3) Positif 3 (+ + +) : ditemukan lebih dari 10 sel BTA / 1 LP
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkolosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemeriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal ia memberikan
keuntungan. Pada kasus TB anak dan TB milier, diagnosis dapat diperoleh melalui
pemeriksaan radiologis thorax, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu
negatif (Amin & Bahar, 2009).
Secara patologis, manifestasi dini TB paru biasanya berupa suatu kompleks
kelenjar getah bening parenkim. Pada orang dewasa, segmen apeks dan posterior
lobus atas atau segmen superior lobus bawah merupakan tempat-tempat yang
sering menimbulkan lesi yang terlihat homogen dengan densitas yang lebih pekat
(Price, 2006).
c. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)
Teknik standar (tes Mantoux) adalan dengan menyuntikkan tuberkulin (PPD)
sebanyak 0,1ml yang mengandung 5 unit (TU) tuberkulin secara intrakutan, pada
sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan
dengan alkohol. Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu
antara 48-72jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam periode
tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk
(Price, 2006).
d. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pada saat tuberkolosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit
masih di bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat (Amin & Bahar, 2009).
Hasil dari pemeriksaan lab darah juga bisa didapatkan (namun nilainya tidak
spesifik):
1) Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan normositer
2) Gama globulin meningkat
3) Kadar natrium darah menurun
4. Gold Standar Diagnosis
Gold standar untuk TB aktif adalah pemeriksaan biakan karena masih sangat
sensitif. Pemeriksaan biakan harus dilakukan pada semua sediaan. Mikobakteri
tumbuh lambat dan membutuhkan suatu media yang kompleks. Koloni matur, akan
berwarna krem atau kekuningan, seperti kutil dan bentuknya seperti kembang kol.
Jumlah sekecil 10 bakteri/ml media konsentrat yang telah diolah dapat dideteksi oleh
media biakan ini (Price, 2006).
Gambar 1. Alur Diagnosis TB (PDPI, 2006).
E. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan TB adalah sebagai berikut:
1. Menyembuhkan penderita
2. Mencegah kematian
3. Mencegah kekambuhan
4. Menurunkan risiko penularan
Prinsip pengobatan TB adalah sebagai berikut:
1. Tahap Intensif
Diberikan tiap hari dengan pengawasan yang sangat ketat untuk mencegah adanya
kekebalan obat
2. Tahap lanjutan
Diberikan setiap 3x/minggu untuk membunuh kuman agar tidak kambuh
Berdasarkan penggunaanya OAT dibedakan menjadi dua :
1. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,
sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini.
2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin
dan Kanamisin.
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
a. 2 RHZE / 4 RH atau
b. 2 RHZE / 4R3H3 atau
c. 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk:
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas.
2. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase intensif
selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji
resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau lebih, sehingga paduan obat
yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat
diberikan lebih lama tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak
dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5
R3H3E3 (P2 TB).
3. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan menggunakan
minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif), seandainya H resisten tetap
diberikan. Lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji
resistensi dapat diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi.
a. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat
: 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
4. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai
dengan kriteria sebagai berikut :
a. Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak aktif / perbaikan,
pengobatan OAT STOP. Bila gambaran radiologik aktif, lakukan analisis lebih
lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama. Jika telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang
dari awal.
b. Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama. Jika
telah diobati dengan kategori II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
c. Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik dan radiologik
positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Pemantauan Hasil Pengobatan TB:
1. Akhir fase intensif :
Kategori I & III 1 minggu sebelum akhir bulan ke-2
Kategori II 1 minggu sebelum akhir bulan ke-3
2. Sebulan sebelum akhir pengobatan :
Untuk menilai hasil pengobatan pada kategori I & II
3. Akhir pengobatan :
Untuk menilai hasil pengobatan pada kategori I & II
Pemeriksaan ulang BTA 2 X (SP)
Hasil BTA 2x (-) : disebut negatif
Hasil BTA 1x / 2x (+) : disebut positif
Edukasi yang perlu diberikan pada pasien dan keluarga adalah sebagai berikut:
1. Jauhi dan bentuk lingkungan yang dapat meminimalisir faktor-faktor risiko penyebab
TB dan penyulit untuk penyembuhan TB, seperti keadaan rumah yang lembab,
asupan makanan yang bergizi, dsb.
2. Edukasi pasien agar selalu rutin meminum obat secara teratur untuk proses
kesembuhan yang maksimal.
3. Himbau pasien untuk tidak menularkan penyakitnya ke orang sekitarnya dengan cara
tidak batuk sembarangan, menutup mulut disaat batuk, dan tidak membuang dahak
ke sembarang tempat.
4. Edukasi PMO untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Pengawas Minum Obat
(PMO) sendiri adalah salah satu komponen dari DOTS yang berfungsi sebagai
pengawasan langsung kepada pasien untuk menjamin keteraturan pengobatan pasien.
Persyaratan PMO antara lain sebagai berikut:
a. Seseorang yang dikenal, dipercayai dan disetujui petugas/ penderita juga disegani,
dihormati oleh penderita
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita
c. Bersedia membantu penderita dengan sukarela
d. Bersedia dilatih atau mendapat penyuluhan bersama penderita
Tugas PMO adalah:
a. Mengawasi penderita rutin minum obat sampai sembuh
b. Memotivasi penderita agar minum obat teratur
c. Mengingatkan penderita untuk control/ periksa dahak
d. Memberikan penyuluhan, mencari suspek TB, dan menganjurkan/ membawa ke
petugas kesehatan
Informasi yang disampaikan PMO ke pasien dan orang sekitarnya adalah:
a. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan
b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c. Pengobatan tahap intensif dan lanjutan
d. Pentingnya berobat secara teratur
e. Efek samping, dan tindakannya
f. Cara penularan dan pencegahan.
F. PROGNOSIS
Pasien yang tidak diobati setelah 5 tahun akan (Depkes, 2005):
1. 50% meninggal
2. 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
3. 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi seperti: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis,TB usus. Menurut Dep.Kes
(2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut:
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkiectasis dan fribosis pada Paru.
4. Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner.
BAB III
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum TB diklasifikasikan menjadi TB BTA positif dan
negatif.
3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya TB diklasifikasikan menjadi TB kasus baru,
kambuh (relaps), putus berobat (default), gagal (failure), pindahan (transfer in) dan lain-
lain yang tidak memenuhi kriteria sebelumnya.
4. Penegakkan diagnosis TB dapat dilakukan melalui anamnesi, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
5. Gold standar untuk penegakkan diagnosis TB adalah pemeriksaan biakan.
6. Tujuan pengobatan kasus TB adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan dan menurunkan risiko penularan.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z., A. Bahar. 2009. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Bahar, A. 2001. Tuberkulosis Paru dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3.Jakarta: FKUI
Depkes R.I. 2003. Prosedur Tetap Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis pada Orang
dengan HIV/AIDS. Depkes. RI. Jakarta.
Depkes RI, Ditjen PP & PL. 2005. Manual Pemberatasan Penyakit Menular.
Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Jawetz. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23. Jakarta: EGC.
PDPI. 2002. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
PDPI. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
Price, A. Wilson. L. 2006. M. Tuberkulosis Paru dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi VI. Jakarta: EGC.
Werdhani, Retno Asti. 2002. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga. Jakarta: FKUI
Widodo, Eddy. 2004. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam
Pemberantasan Tuberkulosis. Bogor: IPB.
.
.