Upload
syifta-kusuma
View
237
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
unyuu
Citation preview
LAPORAN PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLAMBATAN
DIAGNOSIS HIV DAN AIDS DI YOGYAKARTA, SOLO DAN SEMARANG
Sigit Riyarto, Yanri Wijayanti, Citra Indriani, Nandy Wilasto, Elan Lazuardi, Yodi
Mahendradatta
Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Permasalahan
Epidemi AIDS di Indonesia telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan.
Jumlah penderita telah meningkat tajam selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2004
baru tercatat 2.682 kasus AIDS, namun pada tahun 2009 telah terdapat 19.973 kasus
(KPA, 2009). Hal ini tampak pada grafik berikut ini:
Gambar 1. Trend kenaikan kasus AIDS di Indonesia
Peningkatan kasus AIDS dapat disebabkan salah satunya oleh keterlambatan
penderita memeriksakan diri atau terlambat didiagnosis dini.
Riyarto et al (2007) menemukan bahwa di Jakarta, Merauke dan Yogyakarta
rata rata terdapat keterlambatan selama 4,77 bulan sejak pertama kali dirasakan gejala
sampai dengan waktu kedatangan ke tempat pelayanan kesehatan.
Keterlambatan diagnosis ini disayangkan karena sebenarnya telah tersedia
tempat pelayanan yang memadai bahkan sampai di puskesmas. Selain itu kelompok
populasi kunci (key population) juga telah banyak dilatih. (KPA ,2009)
Kondisi ini juga diduga terjadi di Jawa Tengah dan DIY. Data terakhir menunjukkan
banyak penyandang HIV positif berkembang menjadi penderita AIDS, seperti tampak
pada tabel berikut ini:
Tabel 1: Penderita HIV positif dan Kasus AIDS di Jateng dan DIY
HIV positif di VCT Kasus AIDS Meninggal
Jawa Tengah 1,348 629 236
DI Yogyakarta 663 246 70
Sumber: Laporan Surveillance AIDS Depkes 2009
Di Indonesia dan terutama di Jawa Tengah dan DIY, faktor faktor penyebab
keterlambatan ini belum diselidiki secara mendalam, untuk itu perlu sebuah penelitian
operasional yang dapat menjelaskan faktor faktor ini. Dengan penelitian ini
diharapkan diketahui faktor penentu keterlambatan diagnosis yang akhirnya dapat
menyebabkan seseorang penderita HIV positif terlambat mendapatkan penanganan
secara cepat dan tepat.
Rumusan Permasalahan
Faktor apa saja yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis HIV di Jogjakarta, Solo,
Semarang?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Human Immuno Deficiency Virus dan Aquired Immuno Deficiency Syndrome
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan penyakit dari
sistem kekebalan tubuh manusia yang disebabkan oleh human immunodeficiency
virus (HIV). (Sepkowitz, 2001; Weiss, 1993; Russell, 1988)
Kondisi ini semakin mengurangi efektivitas sistem kekebalan tubuh dan
membuat seseorang rentan terhadap infeksi oportunistik dan tumor. HIV ditularkan
melalui kontak langsung antara membran mukosa atau aliran darah dengan cairan
tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan
preseminal, dan air susu ibu. (CDC, 2003)
Transmisi penyakit ini dapat terjadi akibat sex lewat dubur, vagina, transfusi
darah, jarum suntik yang terkontaminasi, pertukaran antara ibu dan bayi selama
kehamilan, melahirkan, menyusui, atau kontak lain dengan salah satu cairan tubuh
tersebut.
AIDS sekarang menjadi pandemi. Pada tahun 2007, diperkirakan bahwa 33.2
juta orang hidup dengan penyakit ini di seluruh dunia, dan AIDS telah menewaskan
2,1 juta orang, termasuk 330.000 anak-anak. Lebih dari tiga perempat dari kematian
ini terjadi di sub-Sahara Afrika, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan
menghancurkan potensi masyarakat untuk produktif. (Kallings, 2008; UNAIDS,
2007; Devarajan and Gersbach H, 2003)
Penelitian genetika menunjukkan bahwa AIDS berasal dari Afrika barat-
tengah pada akhir akhir abad kesembilan belas atau awal abad kedua puluh. AIDS
pertama kali diakui oleh US Centers for Disease Control dan Prevention pada tahun
1981 dan penyebabnya, HIV, diidentifikasi dalam awal 1980-an. (Gao et al 1999;
Worobey et al, 2008; Gallo, 2006; Palella, 1998).
Epidemiologi HIV dan AIDS di Indonesia
Di Indonesia kasus pertama diidentifikasi pada tahun 1987. Seorang turis di
Bali meninggal pada April 1987. Tujuh tahun kemudian (Maret 1994) terdapat 55
kasus AIDS, dan 213 HIV +. Namun, WHO memperkirakan jumlah yang sebenarnya
mendekati ± 35,000-50,000 kasus, suatu peningkatan proporsi yang luar biasa. Pada
tahun 2000 kasus HIV / AIDS telah dilaporkan oleh seluruh provinsi di Indonesia
(KPA, 2004).
Perkembangan penyakit ini di Indonesia mengikuti pola negara-negara lainnya
yang muncul pertama di komunitas homoseksual, kemudian di sejumlah kecil orang
dengan perilaku berisiko tinggi untuk penularan HIV, seperti pengguna narkoba
suntikan, pekerja seks laki-laki dan perempuan dan klien mereka. Akhirnya menyebar
ke populasi umum, laki-laki dan perempuan dan akhirnya anak yang dilahirkan dari
orangtua yang terinfeksi. Direktorat Pemberantasan Penyakit Departemen Kesehatan
(2009) melaporkan bahwa persentase terbesar dari orang yang terinfeksi (49,07%)
ditemukan pada kelompok usia produktif (20-29 tahun). Modus penularan yang utama
adalah heteroseksual (50,3%) disusul penularan lewat jarum suntik (IDU) (40,2%),
sedangkan hubungan seks antara lelaki (MSM) adalah 3,3%. Tiga provinsi dengan
prevalensi AIDS tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta sedangkan
rate kumulatif tertinggi adalah Papua, Bali dan DKI Jakarta.
Jumlah kasus HIV / AIDS yang telah dilaporkan di Indonesia dapat dianggap kecil
dibandingkan dengan jumlah penduduk dan masalah kesehatan lainnya. Meskipun
demikian, mungkin ini akibat pelaporan yang kurang akurat. Menurut laporan terakhir
prevalensi AIDS saat ini adalah 19.973 kasus, dan diperkirakan pada tahun 2009
terdapat 193.000 penyandang HIV positif. (Ditjen PP & PL, 2009)
Biaya kesehatan bagi mereka yang menderita AIDS juga merupakan beban
yang cukup besar. Riyarto et al (2010) menemukan bahwa penyandang HIV positif
yang belum memerlukan terapi ARV hanya mengeluarkan rata-rata 17% dari
pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan. Namun bila mereka sudah harus
menjalani terapi ARV (yang berarti sudah menderita AIDS) maka biaya kesehatan
yang harus dikeluarkan melonjak menjadi 96% dari pengeluaran rumah tangga.
6
Diagnosis dan Terapi HIV dan AIDS
Tes darah dapat menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV, tetapi jika tes
seseorang positif HIV, tidak selalu berarti bahwa orang tersebut mengalami AIDS.
Sebuah diagnosis AIDS dibuat oleh dokter sesuai dengan Definisi Kasus AIDS
menurut CDC (Centre for Disease Control, USA). Seseorang yang terinfeksi dengan
HIV dapat menjadi AIDS setelah menderita salah satu penyakit AIDS yang
ditentukan menurut indikator CDC. Orang dengan HIV juga dapat menerima
diagnosis AIDS berdasarkan tes darah tertentu (jumlah CD4), mungkin tidak
mengalami penyakit yang serius apapun.
Ada lebih dari satu jenis tes HIV yang digunakan untuk menentukan apakah
seseorang telah terinfeksi HIV. Tes-tes ini mendeteksi zat yang berbeda dalam darah
yang muncul ketika seseorang telah terinfeksi HIV. Satu tes mendeteksi protein HIV
yang beredar dalam tubuh setelah seseorang telah terinfeksi. Dua tes lain mendeteksi
antibodi HIV yang telah diproduksi oleh tubuh setelah infeksi HIV terjadi. Tes-tes
tersebut adalah:
Elisa
Tes ini mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah. Jika tes ini negatif maka orang
tersebut pasti tidak terinfeksi HIV dan tes lanjutan tidak diperlukan lagi.. Jika tes ini
positif langkah kedua dijalankan untuk mengkonfirmasi hasil yang positif dari tes
pertama.
Blot Western
Tes ini digunakan untuk mengkonfirmasi hasil positif tes Elisa. Uji Blot Western
mendeteksi pita protein spesifik yang hadir dalam individu yang terinfeksi HIV. Bila
tes Elisa positif serta Western Blot positif maka hasilnya adalah 99,9 persen akurat
dalam mendeteksi bahwa infeksi HIV telah terjadi.
HIV PCR
Tes PCR mendeteksi spesifik Asam deoksiribonukleat (DNA) HIV, Asam
ribonukleat (RNA) dan sekuens yang menunjukkan adanya HIV dalam struktur
genetik orang yang terinfeksi HIV. Setelah terjadi infeksi HIV, RNA dan DNA dari
virus HIV beredar dalam darah. Kehadiran dari DNA dan RNA "potongan"
menunjukkan adanya virus HIV.
Diagnosis AIDS ditentukan apabila jumlah CD4 penderita turun di bawah
200 sel per milimeter kubik darah, tingkat di mana sistem kekebalan tubuh tidak lagi
dapat melindungi seseorang dari penyakit terdefinisi AIDS dan infeksi oportunistik.
CD4 adalah reseptor utama yang digunakan oleh HIV-1 untuk dapat masuk ke dalam
sel inang T. HIV-1 menempel pada CD4 dengan protein dalam amplop virus yang
dikenal sebagai gp120. Infeksi HIV menyebabkan penurunan progresif jumlah sel T
yang memiliki reseptor CD4. Oleh karena itu, profesional medis mengacu pada
jumlah CD4 untuk memutuskan kapan harus memulai perawatan untuk pasien
terinfeksi HIV. Kadar CD4 darah normal adalah lebih dari 1x109 / L.
Sejak ditemukan ARV, penderita HIV positif sebenarnya memiliki harapan
hidup yang baik. Dengan tidak adanya vaksin, Anti Retroviral Therapy adalah pilihan
satu-satunya untuk mengontrol perjalanan penyakit AIDS. Obat ini terdiri dari 4 kelas
berbasis pada enzim yang diperlukan oleh virus untuk replikasi yaitu Protease
Inhibitor (PI), Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs), Non Nucleoside
Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs) dan fusion inhibitors (Laurence dan
Coffey, 2003). Obat ini tidak mengobati penyakit tetapi memperpanjang harapan
hidup dan harus diminum seumur hidup. Bila tidak teratur diminum maka akan
menghasilkan kekambuhan dan mengakibatkan intervensi yang lebih jauh tidak akan
efektif.
Keterlambatan Diagnosis HIV
Keterlambatan diagnosis memberikan kontribusi terhadap banyak kematian
yang terkait HIV. Oleh karena itu, diagnosis dini HIV akan membantu mengurangi
kesakitan (morbiditas) dan kematian yang terkait HIV. Dengan demikian, hal ini juga
akan menguntungkan dari segi kesehatan masyarakat karena dengan diagnosis dini
8
akan dapat dideteksi individu yang memiliki viral load yang tinggi dan lebih infeksius
(Carter, 2010).
Seandainya penderita HIV positif memahami perjalanan penyakitnya dan
segera memeriksakan diri sedini mungkin maka sebenarnya beban penyakit ini dapat
dikurangi. Namun justru di situ permasalahannya. Banyak penderita HIV positif yang
terlambat memeriksakan diri karena berbagai alasan. Berikut ini beberapa faktor yang
mungkin menjadi penyebab keterlambatan diagnosis
1. Ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan serta faktor sosial ekonomi.
Penyandang HIV positif tidak tahu bahwa mereka sebenarnya memerlukan
pemeriksaan dini. Akibatnya mereka baru datang ke pusat layanan kesehatan
ketika penyakit mereka sudah lanjut dan sudah pada tahap AIDS. Beberapa
penelitan mengkonfirmasi fenomena ini. Msellati et al (2003), Katzenstein, (2003)
dan Himedan, (2005) mendapatkan bahwa rendahnya pengetahuan dari penderita
HIV positif mengenai status HIV mereka dan ketidaktahuan mengenai
ketersediaan ART memberi dampak negatif sehingga pasien terlambat datang ke
pelayanan kesehatan. Di Venezuela Bonjour et al (2008) menemukan bahwa
kemiskinan dan kurangnya pengetahuan berpengaruh pada keterlambatan. Louis
et al (2007) menemukan bahwa keterlambatan pemeriksaan diri di Haiti
berhubungan dengan faktor sosial ekonomi.
2. Stigma. Sebagian penderita AIDS adalah golongan masyarakat marginal
(pengguna narkoba, pekerja seks komersial dll). Mereka memiliki hambatan
psikologis untuk datang ke fasilitas kesehatan umum karena khawatir didiskrimasi
atau diperlakukan tidak manusiawi. Selain itu mereka juga merasa takut apabila
hasil tes positif maka akan mengakibatkan mata pencaharian utama terganggu.
Mounier-Jack et al (2008) menemukan bahwa ketakutan, stigma, serta
ketidaktahuan tentang risiko mempengaruhi orang untuk mencari atau tidak
mencari diagnosis HIV.
3. Adanya hambatan keuangan/finansial. Hambatan finansial terjadi karena biaya
pelayanan kesehatan masih sebagian besar ditanggung oleh pasien sendiri (out of
pocket) yang seringkali membebani. Seseorang yang mengalami gangguan
kesehatan berkali kali (akibat AIDS yang tidak atau terlambat terdiagnosis) akan
enggan untuk mencari layanan kesehatan karena khawatir akan biaya yang timbul.
Sampai akhirnya orang tersebut sakit berat sehingga terpaksa mencari layanan
kesehatan. Beban finansial ini dapat mencapai 96% dari pengeluaran rumah
tangga (Riyarto, et al, 2010)
4. Pengetahuan dari Penyedia pelayanan kesehatan (PPK/Health Provider).
Apabila health provider tidak mengetahui bahwa pasien memerlukan tes
laboratorium untuk menentukan status HIVnya, tentunya akan membuat pasien
tersebut terlambat didiagnosis dan baru datang setelah mereka sakit berat. Dengan
demikian peran PPK dalam mendorong seseorang yang dicurigai menderita HIV
positif atau AIDS untuk segera melakukan tes laboratorium sangat besar, dan
untuk itulah saat ini dikenal program provider initiated testing. Di Haiti, Ivers et
al (2007) menemukan bahwa program provider initiated testing berhubungan
dengan banyaknya tes HIV yang dilakukan dan meminimalkan angka
keterlambatan diagnosis.
5. Faktor-faktor lain yang belum diketahui.
Kerangka Konsep
Pertanyaan Penelitian
1. Apa faktor-faktor yang mungkin berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis?
2. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis?
Terlambat
diagnosis
Pengetahuan
Sosial
ekonomi
Pengetahuan
PPK
Stigma
Hambatan
finansial
Faktor lain
10
(dikelompokkan ke factor sendiri atau ppk)
Kriteria inklusi: tidak pernah dirawat di RS lain.
Tujuan
1. Mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis HIV
di Jogjakarta, Solo dan Semarang.
2. Menentukan factor yang paling berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis HIV
di Jogjakarta, Solo dan Semarang.
Manfaat
Dengan diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh dan faktor yang paling
berpengaruh maka diharapkan para pemegang kebijakan dan pelaksana di lapangan
akan dapat menetapkan strategi pencegahan keterlambatan yang paling tepat.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan merupakan penelitian non eksperimental dan data dikumpulkan
secara cross sectional. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah pasien baru di klinik HIV dan AIDS di 3 RS
yaitu RS Moewardi di Solo, RS Sardjito di Yogyakarta, dan RS Kariadi Semarang.
Sampling
Pemilihan sample dilakukan secara sengaja sampai jumlah sample memenuhi angka
yang telah ditetapkan (puposive quota sampling) yaitu mereka yang datang ke ketiga
rumah sakit tersebut dalam kurun waktu 3 bulan (antara tanggal 1 Juni 2010 sampai
dengan 30 Agustus 2010). Jumlah sample ditentukan dengan melihat table sample
yang dikeluarkan oleh The Research Advisors (www.research-advisors.com). Dari
tabel tersebut maka diketahui bahwa dengan populasi sekitar 2.000 orang (jumlah
penyandang HIV positif yang terdeteksi di klinik VCT seluruh Jateng dan DIY) maka
jumlah samplenya adalah 322 orang (CI 0.95 dan margin of error 0.05). Dari 322
orang tersebut maka subyek akan dipilah menjadi dua kelompok yaitu yang
mengalami keterlambatan diagnosis dan yang tidak. Kriteria “terlambat didiagnosis”
adalah mereka yang pada saat pertama kali datang ke RS jumlah CD4nya kurang dari
200.
Instrumen Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner terstruktur untuk semua responden.
Khusus untuk responden yang merupakan pasien yang terlambat didiagnosis maka
akan dilakukan wawancara mendalam dengan panduan wawancara dan penelusuran
dokumen rekam medik.
Analisis
Karakteristik responden dari masing-masing kelompok subyek (“terlambat” dan
“tidak terlambat”) dianalisis secara deskriptif. Variabel pengetahuan, stigma serta
12
faktor lain yang berhasil diidentifikasi dikorelasikan dengan variabel keterlambatan.
Selanjutnya dengan analisis bivariate dan multivariate ditentukan faktor yang paling
berpengaruh. Dari kelompok subyek “terlambat” telah dipilih secara acak sebanyak
10 orang untuk diwawancarai secara mendalam. Dari hasil wawancara mendalam ini
dieksplorasi kemungkinan penyebab keterlambatan. Hasil wawancara mendalam
dianalisis secara kualitatif
Pelaksanaan dan Etika
Penelitian ini melibatkan jajaran Komisi Penanggulangan AIDS Pusat dan Daerah,
Dinas kesehatan setempat, dan Rumah sakit. Penelitian dilakukan setelah
mendapatkan ijin dari instansi yang berwenang, dan setelah mendapatkan ijin dari
komisi etik Fakultas Kedokteran UGM. Responden penelitian dijaga kerahasiaan
identitasnya. Responden menandatangani “informed consent” sebelum dilakukan
wawancara. Penelitian dilakukan dalam waktu 6 bulan.
BAB IV HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik Responden
Penelitian ini telah berhasil mewawancarai 283(87.89%) responden dari yang
direncanakan sebesar 322 orang. Sebanyak 29 orang tidak bersedia menjadi
responden. Sebagian besar responden berusia muda dengan umur rata-rata 34.39
tahun. Jenis kelamin berimbang antara laki-laki dan perempuan (56.2% dan 43.8%),
namun tidak ada yang mengaku waria atau transgender. Pekerjaan responden
kebanyakan adalah pegawai swasta (30.4%), diikuti oleh ibu rumah tangga (22.3%).
Tingkat pendidikan sebagian besar responden adalah SMU (33.9%) disusul SMP
(25.1%). Sebanyak 243 orang (85.9%) responden beragama Islam, sedangkan lainnya
beragama Kristen Protestan(7.4%) Katolik(5.3%) dan 4 orang tidak mau menjawab
agama yang dianut.
Tabel berikut menggambarkan karakteristik responden.
Karakteristik Responden Frekuensi Prosentase
N=283 %
Umur 0 - 15 Thn 7 2.5
16 - 25 Thn 29 10.2
26 - 35 Thn 138 48.8
36 - 45 Thn 74 26.1
46 - 55 Thn 30 10.6
56 - 65 Thn 4 1.4
≥66 Thn 1 0.4
Jenis Kelamin Lelaki 159 56.2
Perempuan 124 43.8
Agama Islam 243 85.9
Katolik 15 5.3
Kristen Protestan 21 7.4
Tidak tahu/tidak jawab 4 1.4
Pendidikan Tidak sekolah 14 4.9
SD 58 20.5
SMP 71 25.1
SMU 96 33.9
Sarjana 41 14.5
Pasca Sarjana 3 1.1
14
Status pernikahan bercerai 3 1.1
duda/janda 61 21.6
menikah 147 51.9
pasangan tetap 4 1.4
tidak menikah 68 24
Pekerjaan Tidak bekerja 31 11
PNS 7 2.5
TNI 2 0.7
Pegawai Swasta 86 30.4
Petani 13 4.6
Ibu rumah tangga 63 22.3
Pelajar/Mahasiswa 6 2.1
Punya usaha sendiri 54 19.1
Bekerja sendiri (PSK) 2 0.7
Bekerja sendiri (pendamping ODHA) 7 2.5
Lainnya 12 4.2
Karekteristik responden ini tidak berbeda jauh di masing masing daerah penelitian
Sebagian besar responden tidak memiliki asuransi kesehatan yaitu sebanyak 150
(53%) sedangkan pemilik kartu Jamkesmas menduduki peringkat kedua sebanyak 65
orang (23%) disusul oleh pemilik kartu Jamkesda/JPKM sebanyak 35 (12.4%) seperti
tampak pada tabel berikut ini.
Kepemilikan asuransi Frekuensi Prosentase
n=283 %
Askes 14 4.9
Asuransi Komersial 9 3.2
Jamkesda/JPKM 35 12.4
Jamkesmas 65 23
Jamsostek 10 3.5
Tidak punya 150 53
Kepemilikan asuransi ini juga tidak berbeda jauh di antara daerah penelitian, seperti
tampak pada tabel berikut:
Jenis asuransi
RSSardjito RSMuwardi RS Kariadi
N=101 N=81 N=101
n % n % n %
Askes 5 5 4 4.9 5 5
Asuransi Komersial 1 1 2 2.5 6 5.9
Jamkesda/JPKM 28 27.7 3 3.7 4 4
Jamkesmas 17 16.8 20 24.7 28 27.7
Jamsostek 3 3 5 6.2 2 2
Tidak Punya 47 46.5 47 58 56 55.4
2. Pengetahuan Responden
Sebanyak 64(22.6%) responden mengaku tidak tahu sumber penularan penyakit
mereka, dan sebagian besar responden baru tahu bahwa mereka menderita HIV positif
setelah datang ke RS tempat penelitian, seperti tampak pada table berikut ini:
Sumber Informasi HIV positif Frekuensi Prosentase
n=283 (%)
RS tempat berobat sekarang 116 41
Dokter langganan sebelumnya 78 27.6
Fasilitas Kesehatan lain sebelum berobat ke RS ini 39 13.8
LSM yang mendampingi 21 7.4
Lay Counsellor 10 3.5
Lainnya 6 2.1
Teman 4 1.4
Puskesmas 3 1.1
Pasangan(suami/istri) 3 1.1
Keluarga(adik/orangtua) 2 0.7
Peer group 1 0.4
Dengan demikian, sebagian besar responden ketika tes HIV yang pertama kali adalah
ketika mereka sudah menderita AIDS. Selain itu, sebagian besar responden tidak tahu
kalau penyakit AIDS, walaupun tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan
dengan obat. Hanya 34.4% responden yang tahu mengenai hal tersebut. Sebagian
beranggapan bahwa AIDS tidak dapat disembuhkan (11.7%), atau malah AIDS dapat
disembuhkan (10.3%) sedangkan yang tidak tahu sama sekali sejumlah 128(45.4%).
Sumber pengetahuan mereka mengenai HIV dan AIDS juga berasal dari Rumah sakit
tempat penelitian. Sebanyak 214 (75.9%) orang menjawab mengetahui mengenai
perawatan penyakit HIV dan AIDS dari RS lokasi penelitian. Diantara 214 responden
tersebut, 178 diantaranya mengetahui perawatan HIV dan AIDS setelah mereka
datang di RS tempat penelitian, tempat mereka melakukan tes HIV pertama kali.
Secara lengkap sumber pengetahuan mengenai HIV dan AIDS tampak pada table
berikut:
Sumber Pengetahuan Perawatan HIV dan AIDS Frekuensi Prosentase
n=282 (%)
16
RS tempat penelitian 214 75.9
LSM 61 21.6
Media, brosur, selebaran, internet 47 16.7
Lainnya 20 7.1
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden baru tahu tentang perawatan
AIDS setelah terlambat. Dari wawancara mendalam dengan beberapa orang
responden terungkap bahwa memang pengetahuan mereka tentang perawatan
penyakit HIV dan AIDS sebelum menjalani terapi sangat kurang. Salah seorang
responden mengatakan:
“sama sekali belum pernah mendengar tentang HIV, pernah dengar tentang AIDS, tetapi
hanya sekilas. Informasi didapat dari PPK setelah didiagnosa HIV positif”
Terdapat variasi pengetahuan responden antar daerah. Di RS Sardjito lebih banyak
responden yang menjawab “tahu” (93.1%) ketika ditanya mengenai sumber penularan
penyakit mereka dibandingkan di RS Kariadi (79.2%) dan RS Muwardi (55.6%).
3. Pengetahuan PPK
Dari 230 responden yang pernah berobat ke dokter sebelum ke RS tempat penelitian,
hanya 127(55.2%) orang yang disarankan untuk segera melakukan pemeriksaan
lanjutan di RS tempat penelitian. Pasien-pasien di RS Kariadi (60%) dan RS
Moewardi (63.2%) lebih banyak yang segera dirujuk daripada di RS Sardjito (40.8%).
Sebanyak 51 orang (22.2%) disarankan untuk kontrol teratur, dan 62 orang (27%)
disarankan untuk makan/minuman tertentu. Secara lengkap tampak pada table berikut
ini:
Saran dari dokter sebelumnya Frekuensi Prosentase
N=230 %
Segera memeriksakan ke RS ini 127 55.2
Kontrol teratur 51 22.2
Meminum obat/jamu yang diberikan secara teratur 62 27.0
Mengkonsumsi makanan/minuman tertentu 7 3.0
Tidak mengkonsumsi makanan/minuman tertentu 3 1.3
Tidak ada saran sama sekali 6 2.6
Lainnya(dirujuk ke LSM,menjaga kondisi, olahraga,
tes laboratorium, operasi mata) 9 3.9
Beberapa pasien yang diwawancarai secara mendalam juga mengatakan bahwa dokter
yang merawat sebelum berobat ke RS tempat penelitian tidak memberi petunjuk atau
nasihat yang mengindikasikan bahwa mereka menderita HIV positif.
“awalnya, sekitar sebulan yang lalu, merasakan demam, migran, dan kalau malam sampai
menggigil, akhirnya oleh istri dibawa ke dokter umum dan puskesmas, tapi hingga 2 kali
obatnya habis, tidak sembuh-sembuh. Lalu dibawa ke dkter spesialis di rumah sakit
swasta, sempat didiagnosa malaria, diinfus tapi tetap saja tidak sembuh-sembuh. akhirnya
karena mendengar tetangga ada yang sakit parah bisa sembuh dengan pengobatan
alternatif, keluarga pun mencoba”
Data juga menunjukkan bahwa terdapat 52 orang yang, walaupun sudah merasakan
gejala yang mengarah ke AIDS, mereka baru datang memeriksakan diri pertama
kali lebih dari 2 minggu kemudian. Terdapat berbagai alasan yang dikemukakan
seperti tampak pada table berikut:
Alasan menunda pemeriksaan/perawatan Frekuensi Prosentase
n=52 %
belum siap/ingin/malas/merasa masih sehat 15 28.8
karena kondisi(pembengkakan hati, anemia,
opname,TB) 10 19.2
menunggu hasil lab (darah, CD4) 8 15.4
belum masuk kriteria 7 13.5
tidak ada dana 5 9.6
sibuk 3 5.8
tidak tahu kemana 2 3.8
menunggu yang mengantar 1 1.9
tidak ada info 1 1.9
mencari informasi lebih 0 0.0
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa 29 orang sebenarnya sudah tahu bahwa
dirinya HIV positif, namun baru datang lagi setelah merasakan gejala yang mengarah
ke AIDS atau setelah CD4 mereka turun di bawah 250 dan tidak memeriksakan diri
secara teratur ke pusat VCT.
Terdapat 51 orang yang berhenti berobat karena berbagai alasan mulai dari pelayanan
kurang baik sampai dengan keluhan adanya efek samping seperti tampak pada table
berikut ini:
Alasan berhenti minum obat Frekuensi Prosentase
n=51 %
Tidak diberitahu dokter 1 1.96078431
18
Tidak mendapat layanan memuaskan 1 1.96078431
Tidak merasa sembuh 2 3.92156863
Lainnya 47 92.1568627
tidak menjawab alasan 6 12.7659574
efek samping(alergi, anemia,dll) 9 19.1489362
lupa minum obat/terlambat minum obat 8 17.0212766
malas mengambil obat/minum obat 5 10.6382979
terapi lain/opname (TB, dll, obat yang diminum
banyak) 4 8.5106383
bosan minum obat 3 6.38297872
karena biaya 3 6.38297872
merasa sehat 2 4.25531915
pengobatan alternatif 2 4.25531915
sibuk 2 4.25531915
khawatir efek samping 1 2.12765957
program dari RS diluarnegeri 1 2.12765957
tidak bisa ambil obat sendiri 1 2.12765957
4. Faktor Hambatan Finansial
Sebagian besar Responden penelitian ini menganggap bahwa terdapat hambatan
financial untuk mengobati penyakitnya, seperti tampak pada grafik berikut ini.
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
1 2 3 4 5
pers
en
netral
sangat setuju
sangat tidak setuju
setuju
tidak setuju
Keterangan:
1. Saya khawatir mengenai biaya pengobatan penyakit saya
2. Saya harus menyediakan dana besar untuk mengobati penyakit saya
3. Saya siap menjual barang untuk mengobati penyakit saya
4. Saya akan meminta bantuan pemerintah untuk biaya pengobatan penyakit saya
5. Saya akan meminta bantuan saudara/teman untuk biaya pengobatan penyakit saya
Pernyataan yang paling banyak disetujui adalah: “Saya akan meminta bantuan
pemerintah untuk biaya pengobatan penyakit saya” sedangkan yang paling sedikit
disetujui adalah “Saya siap menjual barang untuk mengobati penyakit saya”.
5. Faktor Stigma Diri dan Masyarakat
Ternyata sebagian besar responden tidak mendapat stigmatisasi masyarakat dan tidak
merasakan stigma diri seperti tergambar pada grafik berikut:
a. Stigma diri
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
pe
rse
n
jarang
kadang-kadang
netral
selalu
sering
tidak sama sekali
Keterangan:
1. saya merasa disalahkan orang lain karena penyakit saya
2. saya merasa malu akan penyakit saya.
3. saya berpikir penyakit saya adalah hukuman akan tindakan saya di masa lalu.
4. saya takut akan kehilangan pekerjaan saya jika seseorang mengetahui penyakit saya
5. saya merasa terpaksa mengubah alamat saya karena penyakit saya.
6. saya menghindar dari pengobatan karena takut seseorang mungkin dapat mengetahui penyakit saya.
7. saya takut orang-orang akan menyakiti keluarga saya jika mereka mengetahui tentang penyakit saya.
8. saya berpikir orang lain menjadi tidak nyaman ketika bersama saya.
9. saya merasa orang-orang akan menghindari saya karena penyakit saya.
10. saya takut saya akan kehilangan teman-teman saya jika mereka tahu penyakit saya.
11. saya takut kelurga saya akan menolak saya jika mereka tahu penyakit saya.
12. saya merasa tidak akan mendapat pelayanan kesehatan yang baik jika orang-orang tahu tentang penyakit
saya.
13. orang-orang yang mengetahui bahwa saya HIV positif memperlakukan saya dengan sangat protektif
Dari 13 pernyataan tersebut yang paling “jarang” dan “tidak sama sekali” dirasakan
adalah “saya merasa terpaksa mengubah alamat saya karena penyakit saya” dan ”saya
20
menghindar dari pengobatan karena takut seseorang mungkin dapat mengetahui
penyakit saya”. Namun perasaan bahwa ”malu akan penyakit saya” dan ”penyakit
saya adalah hukuman akan tindakan saya di masa lalu” adalah stigma diri yang paling
banyak dirasakan, atau yang menghasilkan jawaban “sering” yang paling banyak.
Rupanya sebagian besar responden juga tidak mendapat stigmatisasi langsung dari
masyarakat, seperti tampak pada grafik berikut ini:
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
80.0
90.0
100.0
1 2 3 4 5 6 7 8
pers
en
jarang
kadang-kadang
selalu
sering
tidak sama sekali
Keterangan:
1. Orang lain memperlakukan saya secara berbeda (misalnya tidak mau berjabat tangan, tidak mau makan satu meja dll)
2. Dikeluarkan dari pekerjaan/sekolah
3. Diturunkan jabatan
4. Dipaksa pindah oleh lingkungan saya
5. Tidak boleh masuk ruangan
6. Ditinggalkan teman
7. Ditinggalkan keluarga
8. Dokter atau petugas kesehatan lain memperlakukan saya dengan terlalu hati-hati (misalnya selalu memakai penutup
mulut dan hidung, sarung tangan, tidak mau bersinggungan langsung dll)
Walaupun demikian, terdapat 46 (16.4%) responden yang menganggap bahwa dokter
dan petugas kesehatan memperlakukan mereka dengan terlalu hati-hati. Pernyataan
ini adalah pernyataan yang paling banyak mendapat jawaban “selalu”.
BAB V PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan kaitan yang kompleks antar faktor yang berperan
terhadap keterlambatan pasien HIV dan AIDS di tiga tempat penelitian. Yang cukup
menonjol adalah rendahnya tingkat pengetahuan dari pasien sendiri terutama sebelum
mereka datang memeriksakan diri. Fenomena serupa juga nampak di beberapa Negara
lain seperti di Wollo Selatan, Ethiopia dan Thailand bagian selatan, menunjukan
bahwa tingkat pengetahuan yang tidak memadai terhadap HIV/AIDS maupun
perawatan HIV, memberikan kontribusi terhadap keterlambatan diagnosis (Abaynew
et al, 2009; Thanawuth & Chongsuvivatwong, 2 00 8 ). Menurut Sobrino-Vegas et al
(2009) hal ini terkait dengan tingkat pendidikan, dimana pada penelitian mereka
semakin rendah tingkat pendidikan, maka prosentase keterlambatan diagnosis
semakin besar. Hasil tersebut juga sesuai pada penelitian ini yang menemukan bahwa
hanya kurang dari 50% responden yang berpendidikan SMA ke atas.
Menarik untuk mengkaitkan hal ini dengan peran peer group atau kelompok
dukungan sebaya. Menurut UNAIDS (1999) kelompok dukungan sebaya mempunyai
peran penting dalam memberikan penyuluhan dan menyebarkan informasi mengenai
HIV positif dan AIDS karena penderita HIV dan AIDS adalah kelompok marginal
yang biasanya tidak terbuka untuk mengemukakan identitas pekerjaan atau
aktifitasnya. Dalam penelitian ini ternyata sumber pengetahuan mengenai HIV dan
AIDS hanya 21,6% yang berasal dari peer group. Di Indonesia saat ini sebenarnya
terdapat banyak lembaga yang terlibat dalam kegiatan penanganan HIV-AIDS.
Berdasarkan data aids-ina.org saat ini terdapat 143 LSM-Institusi yang mempunyai
kegiatan Penjangkauan dan Pendampingan dari 1608 LSM-Institusi yang ada. Ini
berarti hanya sedikit peer group yang melakukan pencarian kasus aktif (active case
finding). Dengan active case finding sebenarnya diharapkan akan lebih banyak
ditemukan kasus HIV positif. Setelah itu, peer group melakukan pendampingan aktif
untuk mencegah penderita HIV positif jatuh ke status AIDS atau kalaupun mengalami
gejala-gejala AIDS segera melakukan terapi secara dini.
Penelitian ini juga masih menunjukkan adanya kesenjangan pengetahuan penyedia
layanan kesehatan sendiri mengenai HIV dan AIDS. Ini mungkin akibat kurangnya
pemahaman sejak kuliah di fakultas kedokteran. Menurut survei yang dilakukan oleh
Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya Jakarta terhadap mahasiswa baru angkatan
22
2007/2008, sebesar 99% mahasiswa memahami cara pencegahan HIV/AIDS, namun
dari 142 orang calon dokter tersebut, hanya 76% yang mengetahui cara pencegahan
lebih dari tiga, dan ada satu orang yang tidak tahu sama sekali (Arif, 2009). Mungkin,
mengingat Indonesia adalah Negara yang sangat luas dan tingkat epidemi di Indonesia
secara umum masih concentrated epidemic, pendidikan dan pelatihan khusus bagi
dokter atau mahasiswa kedokteran masih dianggap belum prioritas di daerah yang
epideminya rendah.
Peran dokter tingkat pertama (primary care physician) dalam identifikasi dini
suatu penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan, seperti AIDS, sangat penting.
Hal ini yang menyebabkan adanya program Provider Initiated Testing sebagai
alternatif Voluntary Counseling and Testing (VCT). Dan terbukti provider initiated
testing meningkatkan kemauan untuk tes. Provider initiated testing juga berperan
menurunkan angka keterlambatan (Ivers et al, 2007). Mahendradhata et al (2008)
menemukan peningkatan tes HIV oleh pasien TB yang disarankan untuk tes. Dari
1269 pasien TB yang disarankan tes, 989 (77.9%; 95% CI 75.6-80.1%) menerima
saran tersebut.
Kebanyakan penderita yang diteliti tidak memiliki asuransi kesehatan. Hal ini
dapat menjelaskan mengapa responden memiliki kekhawatiran akan biaya layanan
kesehatan yang harus dikeluarkan. Akses terhadap layanan kesehatan memang
dipengaruhi oleh kepemilikan asuransi kesehatan seperti dibuktikan oleh Hidayat et al
(2009). Oleh karena itu, dapat diduga bahwa mereka yang tidak memiliki asuransi
kesehatan cenderung menunda memanfatkan pelayanan kesehatan.
Mengenai factor stigma, baik stigma masyarakat maupun stigma diri, di penelitian ini
tampak bahwa sebagian besar responden tampak tidak merasakan stigma diri maupun
masyarakat. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian di Botswana. Sebuah
survey terhadap pasien HIV yang menerima ART menemukan bahwa 40% terlambat
di tes HIV terutama karena stigma. (Wolfe et al, 2006). Namun demikian, hasil
penelitian ini masih dapat diperdebatkan karena beberapa alasan:
1. Tidak ada informasi bahwa masyarakat sekitar, rekan kerja atau
atasan mengetahui bahwa responden menderita HIV positif dan/atau
AIDS.
2. Tidak ada seorangpun responden yang mengaku waria walaupun
menurut pengamatan surveyor sebagian dari mereka menunjukkan
kecenderungan waria.
3. Hanya dua orang yang mengaku pernah menjadi wanita pekerja
seks, dan kebanyakan pekerjaan dari wanita adalah “ibu rumah
tangga”.
Walaupun tidak dapat disimpulkan, namun temuan diatas menunjukkan bahwa
validitas pengukuran stigma diri dan masyarakat masih dapat dipertanyakan.
Masing-masing pengaruh dari faktor-faktor tersebut kemudian dianalisis secara
bivariate seperti tampak pada tabel berikut ini:
Faktor
Terlambat
Tidak
Terlambat
RR X2
95%
CI
p
value Frek % Frek %
pengetahuan
individu
tidak baik 145 70.39% 40 51.95%
1.3 6.4
1.03 -
1.41 0.11 baik 61 29.61% 36 46.75%
pengetahuan
ppk
tidak baik 109 52.91% 46 59.74%
0.9 0.6
0.82 -
1.09 0.42 baik 97 47.09% 31 40.26%
hambatan
finansial
ada 157 76.21% 63 81.82%
0.9 1.2
0.79 -
1.06 0.27 tidak ada 49 23.79% 14 18.18%
stigma diri
tinggi 91 44.17% 40 51.95%
0.9 0
0.99 -
1.18 0.87 rendah 115 55.83% 37 48.05%
stigma
masyarakat
tinggi 6 2.91% 1 1.30%
1.2 1
0.93-
1.36 0.42 rendah 200 97.09% 77 100.00%
Dari tabel di atas tampak bahwa hanya ada dua faktor yang memiliki pengaruh, yaitu
pengetahuan pasien dalam hal perawatan HIV/AIDS dan stigma masyarkat. Seorang
yang tidak mengetahui perawatan HIV dan AIDS mempunyai kemungkinan lebih
besar 30% untuk terlambat dan yang distigmasi oleh masyarakat mempunyai
24
kemungkinan terlambat sebanyak 20%.
Dalam penelitian ini belum dapat ditemukan faktor-faktor lain. Namun beberapa
peneliti menduga ada beberapa faktor yang perlu diteliti lebih lanjut. Menurut
Couturier et al (1998) justru mereka yang memiliki risiko rendah lebih tinggi
kemungkinan untuk terlambat diagnosis. Juga ditemukan bahwa mereka yang
berpenghasilan tetap dan berpasangan stabil lebih banyak yang terlambat. Adapun Paz
Sobrino-Vegas (2009) menemukan bahwa keterlambatan diagnosis lebih banyak
ditemukan di kalangan heteroseksual dan IDU
Berdasarkan termuan penelitian ini maka dapat dikonstruksikan hubungan berbagai
variable yang berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis AIDS seperti tampak
pada model berikut ini:
Ldx = f { Kn, StM,p }
Dalam hal ini:
Ldx = Keterlambatan diagnosis
Kn = pengetahuan pasien
StM = Stigma Masyarakat
p = factor lain yang belum diketahui
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Faktor yang berpengaruh terhadap keterlambatan hanya pengetahuan individu
dan stigma masyarakat
2. Rendahnya pengetahuan pasien terhadap perawatan AIDS akan
mengakibatkan 1,3 kali lebih banyak kemungkinan untuk terlambat
didiagnosis
3. Tingginya stigma masyarakat mengakibatkan 1,2 kali lebih banyak
kemungkinan untuk terlambat didiagonis
Saran
1. Tingkat pengetahuan penderita HIV positif dan AIDS perlu ditingkatkan
terutama dalam hal memahami bahwa AIDS dapat dirawat
2. Peer group diharapkan lebih dapat menjangkau penderita karena stigma
masyarakat
3. Peran para stakeholder, terutama peer group ditingkatkan terutama untuk
memberikan pemahamanan mengenai perawatan AIDS kepada para penderita.
26
Rujukan
Abaynew Y, Deribew A, Deribe K. 2011. Factors associated with late presentation
to HIV/AIDS care in South Wollo ZoneEthiopia: a case-control study.
AIDS Research and Therapy 8:8.
Arif H (2009). Pengetahuan dan Persepsi Mahasiswa tentang Pencegahan
HIV/AIDS: Studi Kasus di Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya pada
Mahasiswa Baru Angkatan 2007/2008. Majalah Kedokteran Damianus 8 (2): 69-78.
Bell C, Devarajan S, Gersbach H (2003) (PDF). The long-run economic costs of
AIDS: theory and an application to South Africa. World Bank Policy
Research Working Paper No. 3152.
Bonjour, M.A; Montagne M, Zambrano M; Molina, G; Lippuner, C, Wadskier F. G,
Castrillo, M, Incani, R. N and Tami, A (2008) Determinants of late disease-
stage presentation at diagnosis of HIV infection in Venezuela: A case-case
comparison, AIDS Research and Therapy
Divisions of HIV/AIDS Prevention (2003). "HIV and Its Transmission". Centers for
Disease Control & Prevention
http://www.cdc.gov/HIV/pubs/facts/transmission.htm. Retrieved 2006-05-
23.
Gallo RC (2006). "A reflection on HIV/AIDS research after 25 years".
Retrovirology 3: 72.
Gao F, Bailes E, Robertson DL, et al. (1999). "Origin of HIV-1 in the Chimpanzee
Pan troglodytes". Nature 397 (6718): 436–441.
Himedan, H, 2005, Survey on Knowledge Attitudes and Behaviour of HIV/AIDS
Risk among Population of Tanah Miring, Semangga and Merauke town ,
MSF papua
Ivers, L.C; Freedberg, K.A and Mukherjee, J S (2007) Provider-initiated HIV
testing in rural Haiti: low rate of missed opportunities for diagnosis of HIV
in a primary care clinic. AIDS Research and Therapy
Kumarasamy N, Safren SA, Raminani SR, Pickard R, James R, Krishnan AK, et al. 2005. Barriers and Facilitators to Antiretroviral Medication Adherence
Among Patients with HIV in Chennai, India: A Qualitative Study. AIDS Patient Care STDS. Aug;19(8):526-37.
Msellati P, Juillet-Amari A, Prudhomme J, et. al. 2003. Socio-economic and
health characteristic of HIV-infected patients seeking care in relation to
access to the Drug Acess Initiative and to antiretroviral treatment in Cote
d’Ivoire. AIDS 17 (suppl 3):S63-S68
Kallings LO (2008). "The first postmodern pandemic: 25 years of HIV/AIDS". J
Intern Med 263 (3): 218–43.
Katzenstein D, Laga M, Moatti JP. 2003. The evaluation of the HIV/AIDS Drug
Access Initiatives in Côte D’Ivoire, Senegal and Uganda: how access to
antiretroviral treatment can become feasible in Africa. AIDS. 17(suppl
3):S1–S4.
Komisi Penanggulanan AIDS, 2009, Laporan KPA Nasional
Louis C, Ivers LC, Smith Fawzi MC, Freedberg KA, Castro A. 2007. Late
presentation for HIV care in central Haiti: factors limiting access to care.
AIDS Care 19: 487–91.
Mounier-Jack, S, Adler, A, Coker, R. 2008 Late diagnosis for HIV/AIDS in
EUROPE, CDPRG Briefing Note
Msellati P, Juillet-Amari A, Prudhomme J, et. al. 2003. Socio-economic and
health characteristic of HIV-infected patients seeking care in relation to
access to the Drug Acess Initiative and to antiretroviral treatment in Cote
d’Ivoire. AIDS 17 (suppl 3):S63-S68
Palella FJ Jr, Delaney KM, Moorman AC, et al. (1998). "Declining morbidity and
mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus
infection. HIV Outpatient Study Investigators". N. Engl. J. Med 338 (13):
853–860.
Russell, 1988. Textbook of Medicine. Philadelphia: Saunders. pp. 1523, 1799.
ISBN 0721618480.
Riyarto, S, Hidayat, B, Johns, B, Probandari, A, Mahendradhata, Y, Utarini, A,
Trisnantoro, L, Flessenkaempee, S. 2010, The financial burden of HIV
care, including antiretroviral therapy, on patients in three sites in
Indonesia, Health Policy and Planning
San Francisco AIDS Foundation (2006). "How HIV is spread".
http://www.sfaf.org/aids101/transmission.html. Retrieved 2006-05-23.
Sepkowitz KA, 2001. "AIDS--the first 20 years". N. Engl. J. Med. 344 (23): 1764–
72.
Sobrino-Vegas P, Garcia-San Miguel L, Caro-Murilo AM, et al. 2009. Delayed
Diagnosis of HIV Infection in a Multicenter Cohort: Prevalence, Risk
28
Factors, Response to HAART and Impact on Mortality. Current HIV Research (7): 224-230.
Thanawuth N, Chongsuvivatwong V. 2008. Late HIV diagnosis and delay in CD4
count measurement among HIV-infected patients in Southern Thailand.
AIDS Care 20(1): 43-50.
UNAIDS (1999). Peer Education and HIV/AIDS: Concepts, Uses, and Challenges.
UNAIDS: Geneva, Switzerland.
UNAIDS, WHO (2007). "2007 AIDS epidemic update" (PDF).
http://data.unaids.org/pub/EPISlides/2007/2007_epiupdate_en.pdf.
Retrieved 2008-03-12.
Weiss RA, 1993. "How does HIV cause AIDS?". Science (journal) 260 (5112):
1273–9.
Worobey M, Gemmel M, Teuwen DE, et al. (2008). "Direct evidence of extensive
diversity of HIV-1 in Kinshasa by 1960". Nature 455 (7213)