28
LAPORAN PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLAMBATAN DIAGNOSIS HIV DAN AIDS DI YOGYAKARTA, SOLO DAN SEMARANG Sigit Riyarto, Yanri Wijayanti, Citra Indriani, Nandy Wilasto, Elan Lazuardi, Yodi Mahendradatta Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

tugas unyu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

unyuu

Citation preview

Page 1: tugas unyu

LAPORAN PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERLAMBATAN

DIAGNOSIS HIV DAN AIDS DI YOGYAKARTA, SOLO DAN SEMARANG

Sigit Riyarto, Yanri Wijayanti, Citra Indriani, Nandy Wilasto, Elan Lazuardi, Yodi

Mahendradatta

Fakultas Kedokteran

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

Page 2: tugas unyu

2

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Permasalahan

Epidemi AIDS di Indonesia telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan.

Jumlah penderita telah meningkat tajam selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2004

baru tercatat 2.682 kasus AIDS, namun pada tahun 2009 telah terdapat 19.973 kasus

(KPA, 2009). Hal ini tampak pada grafik berikut ini:

Gambar 1. Trend kenaikan kasus AIDS di Indonesia

Peningkatan kasus AIDS dapat disebabkan salah satunya oleh keterlambatan

penderita memeriksakan diri atau terlambat didiagnosis dini.

Riyarto et al (2007) menemukan bahwa di Jakarta, Merauke dan Yogyakarta

rata rata terdapat keterlambatan selama 4,77 bulan sejak pertama kali dirasakan gejala

sampai dengan waktu kedatangan ke tempat pelayanan kesehatan.

Keterlambatan diagnosis ini disayangkan karena sebenarnya telah tersedia

tempat pelayanan yang memadai bahkan sampai di puskesmas. Selain itu kelompok

populasi kunci (key population) juga telah banyak dilatih. (KPA ,2009)

Page 3: tugas unyu

Kondisi ini juga diduga terjadi di Jawa Tengah dan DIY. Data terakhir menunjukkan

banyak penyandang HIV positif berkembang menjadi penderita AIDS, seperti tampak

pada tabel berikut ini:

Tabel 1: Penderita HIV positif dan Kasus AIDS di Jateng dan DIY

HIV positif di VCT Kasus AIDS Meninggal

Jawa Tengah 1,348 629 236

DI Yogyakarta 663 246 70

Sumber: Laporan Surveillance AIDS Depkes 2009

Di Indonesia dan terutama di Jawa Tengah dan DIY, faktor faktor penyebab

keterlambatan ini belum diselidiki secara mendalam, untuk itu perlu sebuah penelitian

operasional yang dapat menjelaskan faktor faktor ini. Dengan penelitian ini

diharapkan diketahui faktor penentu keterlambatan diagnosis yang akhirnya dapat

menyebabkan seseorang penderita HIV positif terlambat mendapatkan penanganan

secara cepat dan tepat.

Rumusan Permasalahan

Faktor apa saja yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis HIV di Jogjakarta, Solo,

Semarang?

Page 4: tugas unyu

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Human Immuno Deficiency Virus dan Aquired Immuno Deficiency Syndrome

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) merupakan penyakit dari

sistem kekebalan tubuh manusia yang disebabkan oleh human immunodeficiency

virus (HIV). (Sepkowitz, 2001; Weiss, 1993; Russell, 1988)

Kondisi ini semakin mengurangi efektivitas sistem kekebalan tubuh dan

membuat seseorang rentan terhadap infeksi oportunistik dan tumor. HIV ditularkan

melalui kontak langsung antara membran mukosa atau aliran darah dengan cairan

tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan

preseminal, dan air susu ibu. (CDC, 2003)

Transmisi penyakit ini dapat terjadi akibat sex lewat dubur, vagina, transfusi

darah, jarum suntik yang terkontaminasi, pertukaran antara ibu dan bayi selama

kehamilan, melahirkan, menyusui, atau kontak lain dengan salah satu cairan tubuh

tersebut.

AIDS sekarang menjadi pandemi. Pada tahun 2007, diperkirakan bahwa 33.2

juta orang hidup dengan penyakit ini di seluruh dunia, dan AIDS telah menewaskan

2,1 juta orang, termasuk 330.000 anak-anak. Lebih dari tiga perempat dari kematian

ini terjadi di sub-Sahara Afrika, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan

menghancurkan potensi masyarakat untuk produktif. (Kallings, 2008; UNAIDS,

2007; Devarajan and Gersbach H, 2003)

Penelitian genetika menunjukkan bahwa AIDS berasal dari Afrika barat-

tengah pada akhir akhir abad kesembilan belas atau awal abad kedua puluh. AIDS

pertama kali diakui oleh US Centers for Disease Control dan Prevention pada tahun

1981 dan penyebabnya, HIV, diidentifikasi dalam awal 1980-an. (Gao et al 1999;

Worobey et al, 2008; Gallo, 2006; Palella, 1998).

Page 5: tugas unyu

Epidemiologi HIV dan AIDS di Indonesia

Di Indonesia kasus pertama diidentifikasi pada tahun 1987. Seorang turis di

Bali meninggal pada April 1987. Tujuh tahun kemudian (Maret 1994) terdapat 55

kasus AIDS, dan 213 HIV +. Namun, WHO memperkirakan jumlah yang sebenarnya

mendekati ± 35,000-50,000 kasus, suatu peningkatan proporsi yang luar biasa. Pada

tahun 2000 kasus HIV / AIDS telah dilaporkan oleh seluruh provinsi di Indonesia

(KPA, 2004).

Perkembangan penyakit ini di Indonesia mengikuti pola negara-negara lainnya

yang muncul pertama di komunitas homoseksual, kemudian di sejumlah kecil orang

dengan perilaku berisiko tinggi untuk penularan HIV, seperti pengguna narkoba

suntikan, pekerja seks laki-laki dan perempuan dan klien mereka. Akhirnya menyebar

ke populasi umum, laki-laki dan perempuan dan akhirnya anak yang dilahirkan dari

orangtua yang terinfeksi. Direktorat Pemberantasan Penyakit Departemen Kesehatan

(2009) melaporkan bahwa persentase terbesar dari orang yang terinfeksi (49,07%)

ditemukan pada kelompok usia produktif (20-29 tahun). Modus penularan yang utama

adalah heteroseksual (50,3%) disusul penularan lewat jarum suntik (IDU) (40,2%),

sedangkan hubungan seks antara lelaki (MSM) adalah 3,3%. Tiga provinsi dengan

prevalensi AIDS tertinggi adalah Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta sedangkan

rate kumulatif tertinggi adalah Papua, Bali dan DKI Jakarta.

Jumlah kasus HIV / AIDS yang telah dilaporkan di Indonesia dapat dianggap kecil

dibandingkan dengan jumlah penduduk dan masalah kesehatan lainnya. Meskipun

demikian, mungkin ini akibat pelaporan yang kurang akurat. Menurut laporan terakhir

prevalensi AIDS saat ini adalah 19.973 kasus, dan diperkirakan pada tahun 2009

terdapat 193.000 penyandang HIV positif. (Ditjen PP & PL, 2009)

Biaya kesehatan bagi mereka yang menderita AIDS juga merupakan beban

yang cukup besar. Riyarto et al (2010) menemukan bahwa penyandang HIV positif

yang belum memerlukan terapi ARV hanya mengeluarkan rata-rata 17% dari

pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan. Namun bila mereka sudah harus

menjalani terapi ARV (yang berarti sudah menderita AIDS) maka biaya kesehatan

yang harus dikeluarkan melonjak menjadi 96% dari pengeluaran rumah tangga.

Page 6: tugas unyu

6

Diagnosis dan Terapi HIV dan AIDS

Tes darah dapat menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV, tetapi jika tes

seseorang positif HIV, tidak selalu berarti bahwa orang tersebut mengalami AIDS.

Sebuah diagnosis AIDS dibuat oleh dokter sesuai dengan Definisi Kasus AIDS

menurut CDC (Centre for Disease Control, USA). Seseorang yang terinfeksi dengan

HIV dapat menjadi AIDS setelah menderita salah satu penyakit AIDS yang

ditentukan menurut indikator CDC. Orang dengan HIV juga dapat menerima

diagnosis AIDS berdasarkan tes darah tertentu (jumlah CD4), mungkin tidak

mengalami penyakit yang serius apapun.

Ada lebih dari satu jenis tes HIV yang digunakan untuk menentukan apakah

seseorang telah terinfeksi HIV. Tes-tes ini mendeteksi zat yang berbeda dalam darah

yang muncul ketika seseorang telah terinfeksi HIV. Satu tes mendeteksi protein HIV

yang beredar dalam tubuh setelah seseorang telah terinfeksi. Dua tes lain mendeteksi

antibodi HIV yang telah diproduksi oleh tubuh setelah infeksi HIV terjadi. Tes-tes

tersebut adalah:

Elisa

Tes ini mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah. Jika tes ini negatif maka orang

tersebut pasti tidak terinfeksi HIV dan tes lanjutan tidak diperlukan lagi.. Jika tes ini

positif langkah kedua dijalankan untuk mengkonfirmasi hasil yang positif dari tes

pertama.

Blot Western

Tes ini digunakan untuk mengkonfirmasi hasil positif tes Elisa. Uji Blot Western

mendeteksi pita protein spesifik yang hadir dalam individu yang terinfeksi HIV. Bila

tes Elisa positif serta Western Blot positif maka hasilnya adalah 99,9 persen akurat

dalam mendeteksi bahwa infeksi HIV telah terjadi.

HIV PCR

Tes PCR mendeteksi spesifik Asam deoksiribonukleat (DNA) HIV, Asam

Page 7: tugas unyu

ribonukleat (RNA) dan sekuens yang menunjukkan adanya HIV dalam struktur

genetik orang yang terinfeksi HIV. Setelah terjadi infeksi HIV, RNA dan DNA dari

virus HIV beredar dalam darah. Kehadiran dari DNA dan RNA "potongan"

menunjukkan adanya virus HIV.

Diagnosis AIDS ditentukan apabila jumlah CD4 penderita turun di bawah

200 sel per milimeter kubik darah, tingkat di mana sistem kekebalan tubuh tidak lagi

dapat melindungi seseorang dari penyakit terdefinisi AIDS dan infeksi oportunistik.

CD4 adalah reseptor utama yang digunakan oleh HIV-1 untuk dapat masuk ke dalam

sel inang T. HIV-1 menempel pada CD4 dengan protein dalam amplop virus yang

dikenal sebagai gp120. Infeksi HIV menyebabkan penurunan progresif jumlah sel T

yang memiliki reseptor CD4. Oleh karena itu, profesional medis mengacu pada

jumlah CD4 untuk memutuskan kapan harus memulai perawatan untuk pasien

terinfeksi HIV. Kadar CD4 darah normal adalah lebih dari 1x109 / L.

Sejak ditemukan ARV, penderita HIV positif sebenarnya memiliki harapan

hidup yang baik. Dengan tidak adanya vaksin, Anti Retroviral Therapy adalah pilihan

satu-satunya untuk mengontrol perjalanan penyakit AIDS. Obat ini terdiri dari 4 kelas

berbasis pada enzim yang diperlukan oleh virus untuk replikasi yaitu Protease

Inhibitor (PI), Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs), Non Nucleoside

Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs) dan fusion inhibitors (Laurence dan

Coffey, 2003). Obat ini tidak mengobati penyakit tetapi memperpanjang harapan

hidup dan harus diminum seumur hidup. Bila tidak teratur diminum maka akan

menghasilkan kekambuhan dan mengakibatkan intervensi yang lebih jauh tidak akan

efektif.

Keterlambatan Diagnosis HIV

Keterlambatan diagnosis memberikan kontribusi terhadap banyak kematian

yang terkait HIV. Oleh karena itu, diagnosis dini HIV akan membantu mengurangi

kesakitan (morbiditas) dan kematian yang terkait HIV. Dengan demikian, hal ini juga

akan menguntungkan dari segi kesehatan masyarakat karena dengan diagnosis dini

Page 8: tugas unyu

8

akan dapat dideteksi individu yang memiliki viral load yang tinggi dan lebih infeksius

(Carter, 2010).

Seandainya penderita HIV positif memahami perjalanan penyakitnya dan

segera memeriksakan diri sedini mungkin maka sebenarnya beban penyakit ini dapat

dikurangi. Namun justru di situ permasalahannya. Banyak penderita HIV positif yang

terlambat memeriksakan diri karena berbagai alasan. Berikut ini beberapa faktor yang

mungkin menjadi penyebab keterlambatan diagnosis

1. Ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan serta faktor sosial ekonomi.

Penyandang HIV positif tidak tahu bahwa mereka sebenarnya memerlukan

pemeriksaan dini. Akibatnya mereka baru datang ke pusat layanan kesehatan

ketika penyakit mereka sudah lanjut dan sudah pada tahap AIDS. Beberapa

penelitan mengkonfirmasi fenomena ini. Msellati et al (2003), Katzenstein, (2003)

dan Himedan, (2005) mendapatkan bahwa rendahnya pengetahuan dari penderita

HIV positif mengenai status HIV mereka dan ketidaktahuan mengenai

ketersediaan ART memberi dampak negatif sehingga pasien terlambat datang ke

pelayanan kesehatan. Di Venezuela Bonjour et al (2008) menemukan bahwa

kemiskinan dan kurangnya pengetahuan berpengaruh pada keterlambatan. Louis

et al (2007) menemukan bahwa keterlambatan pemeriksaan diri di Haiti

berhubungan dengan faktor sosial ekonomi.

2. Stigma. Sebagian penderita AIDS adalah golongan masyarakat marginal

(pengguna narkoba, pekerja seks komersial dll). Mereka memiliki hambatan

psikologis untuk datang ke fasilitas kesehatan umum karena khawatir didiskrimasi

atau diperlakukan tidak manusiawi. Selain itu mereka juga merasa takut apabila

hasil tes positif maka akan mengakibatkan mata pencaharian utama terganggu.

Mounier-Jack et al (2008) menemukan bahwa ketakutan, stigma, serta

ketidaktahuan tentang risiko mempengaruhi orang untuk mencari atau tidak

mencari diagnosis HIV.

3. Adanya hambatan keuangan/finansial. Hambatan finansial terjadi karena biaya

pelayanan kesehatan masih sebagian besar ditanggung oleh pasien sendiri (out of

pocket) yang seringkali membebani. Seseorang yang mengalami gangguan

kesehatan berkali kali (akibat AIDS yang tidak atau terlambat terdiagnosis) akan

enggan untuk mencari layanan kesehatan karena khawatir akan biaya yang timbul.

Page 9: tugas unyu

Sampai akhirnya orang tersebut sakit berat sehingga terpaksa mencari layanan

kesehatan. Beban finansial ini dapat mencapai 96% dari pengeluaran rumah

tangga (Riyarto, et al, 2010)

4. Pengetahuan dari Penyedia pelayanan kesehatan (PPK/Health Provider).

Apabila health provider tidak mengetahui bahwa pasien memerlukan tes

laboratorium untuk menentukan status HIVnya, tentunya akan membuat pasien

tersebut terlambat didiagnosis dan baru datang setelah mereka sakit berat. Dengan

demikian peran PPK dalam mendorong seseorang yang dicurigai menderita HIV

positif atau AIDS untuk segera melakukan tes laboratorium sangat besar, dan

untuk itulah saat ini dikenal program provider initiated testing. Di Haiti, Ivers et

al (2007) menemukan bahwa program provider initiated testing berhubungan

dengan banyaknya tes HIV yang dilakukan dan meminimalkan angka

keterlambatan diagnosis.

5. Faktor-faktor lain yang belum diketahui.

Kerangka Konsep

Pertanyaan Penelitian

1. Apa faktor-faktor yang mungkin berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis?

2. Faktor apa yang paling berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis?

Terlambat

diagnosis

Pengetahuan

Sosial

ekonomi

Pengetahuan

PPK

Stigma

Hambatan

finansial

Faktor lain

Page 10: tugas unyu

10

(dikelompokkan ke factor sendiri atau ppk)

Kriteria inklusi: tidak pernah dirawat di RS lain.

Tujuan

1. Mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi keterlambatan diagnosis HIV

di Jogjakarta, Solo dan Semarang.

2. Menentukan factor yang paling berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis HIV

di Jogjakarta, Solo dan Semarang.

Manfaat

Dengan diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh dan faktor yang paling

berpengaruh maka diharapkan para pemegang kebijakan dan pelaksana di lapangan

akan dapat menetapkan strategi pencegahan keterlambatan yang paling tepat.

Page 11: tugas unyu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Penelitian ini akan merupakan penelitian non eksperimental dan data dikumpulkan

secara cross sectional. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan

kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah pasien baru di klinik HIV dan AIDS di 3 RS

yaitu RS Moewardi di Solo, RS Sardjito di Yogyakarta, dan RS Kariadi Semarang.

Sampling

Pemilihan sample dilakukan secara sengaja sampai jumlah sample memenuhi angka

yang telah ditetapkan (puposive quota sampling) yaitu mereka yang datang ke ketiga

rumah sakit tersebut dalam kurun waktu 3 bulan (antara tanggal 1 Juni 2010 sampai

dengan 30 Agustus 2010). Jumlah sample ditentukan dengan melihat table sample

yang dikeluarkan oleh The Research Advisors (www.research-advisors.com). Dari

tabel tersebut maka diketahui bahwa dengan populasi sekitar 2.000 orang (jumlah

penyandang HIV positif yang terdeteksi di klinik VCT seluruh Jateng dan DIY) maka

jumlah samplenya adalah 322 orang (CI 0.95 dan margin of error 0.05). Dari 322

orang tersebut maka subyek akan dipilah menjadi dua kelompok yaitu yang

mengalami keterlambatan diagnosis dan yang tidak. Kriteria “terlambat didiagnosis”

adalah mereka yang pada saat pertama kali datang ke RS jumlah CD4nya kurang dari

200.

Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner terstruktur untuk semua responden.

Khusus untuk responden yang merupakan pasien yang terlambat didiagnosis maka

akan dilakukan wawancara mendalam dengan panduan wawancara dan penelusuran

dokumen rekam medik.

Analisis

Karakteristik responden dari masing-masing kelompok subyek (“terlambat” dan

“tidak terlambat”) dianalisis secara deskriptif. Variabel pengetahuan, stigma serta

Page 12: tugas unyu

12

faktor lain yang berhasil diidentifikasi dikorelasikan dengan variabel keterlambatan.

Selanjutnya dengan analisis bivariate dan multivariate ditentukan faktor yang paling

berpengaruh. Dari kelompok subyek “terlambat” telah dipilih secara acak sebanyak

10 orang untuk diwawancarai secara mendalam. Dari hasil wawancara mendalam ini

dieksplorasi kemungkinan penyebab keterlambatan. Hasil wawancara mendalam

dianalisis secara kualitatif

Pelaksanaan dan Etika

Penelitian ini melibatkan jajaran Komisi Penanggulangan AIDS Pusat dan Daerah,

Dinas kesehatan setempat, dan Rumah sakit. Penelitian dilakukan setelah

mendapatkan ijin dari instansi yang berwenang, dan setelah mendapatkan ijin dari

komisi etik Fakultas Kedokteran UGM. Responden penelitian dijaga kerahasiaan

identitasnya. Responden menandatangani “informed consent” sebelum dilakukan

wawancara. Penelitian dilakukan dalam waktu 6 bulan.

Page 13: tugas unyu

BAB IV HASIL PENELITIAN

1. Karakteristik Responden

Penelitian ini telah berhasil mewawancarai 283(87.89%) responden dari yang

direncanakan sebesar 322 orang. Sebanyak 29 orang tidak bersedia menjadi

responden. Sebagian besar responden berusia muda dengan umur rata-rata 34.39

tahun. Jenis kelamin berimbang antara laki-laki dan perempuan (56.2% dan 43.8%),

namun tidak ada yang mengaku waria atau transgender. Pekerjaan responden

kebanyakan adalah pegawai swasta (30.4%), diikuti oleh ibu rumah tangga (22.3%).

Tingkat pendidikan sebagian besar responden adalah SMU (33.9%) disusul SMP

(25.1%). Sebanyak 243 orang (85.9%) responden beragama Islam, sedangkan lainnya

beragama Kristen Protestan(7.4%) Katolik(5.3%) dan 4 orang tidak mau menjawab

agama yang dianut.

Tabel berikut menggambarkan karakteristik responden.

Karakteristik Responden Frekuensi Prosentase

N=283 %

Umur 0 - 15 Thn 7 2.5

16 - 25 Thn 29 10.2

26 - 35 Thn 138 48.8

36 - 45 Thn 74 26.1

46 - 55 Thn 30 10.6

56 - 65 Thn 4 1.4

≥66 Thn 1 0.4

Jenis Kelamin Lelaki 159 56.2

Perempuan 124 43.8

Agama Islam 243 85.9

Katolik 15 5.3

Kristen Protestan 21 7.4

Tidak tahu/tidak jawab 4 1.4

Pendidikan Tidak sekolah 14 4.9

SD 58 20.5

SMP 71 25.1

SMU 96 33.9

Sarjana 41 14.5

Pasca Sarjana 3 1.1

Page 14: tugas unyu

14

Status pernikahan bercerai 3 1.1

duda/janda 61 21.6

menikah 147 51.9

pasangan tetap 4 1.4

tidak menikah 68 24

Pekerjaan Tidak bekerja 31 11

PNS 7 2.5

TNI 2 0.7

Pegawai Swasta 86 30.4

Petani 13 4.6

Ibu rumah tangga 63 22.3

Pelajar/Mahasiswa 6 2.1

Punya usaha sendiri 54 19.1

Bekerja sendiri (PSK) 2 0.7

Bekerja sendiri (pendamping ODHA) 7 2.5

Lainnya 12 4.2

Karekteristik responden ini tidak berbeda jauh di masing masing daerah penelitian

Sebagian besar responden tidak memiliki asuransi kesehatan yaitu sebanyak 150

(53%) sedangkan pemilik kartu Jamkesmas menduduki peringkat kedua sebanyak 65

orang (23%) disusul oleh pemilik kartu Jamkesda/JPKM sebanyak 35 (12.4%) seperti

tampak pada tabel berikut ini.

Kepemilikan asuransi Frekuensi Prosentase

n=283 %

Askes 14 4.9

Asuransi Komersial 9 3.2

Jamkesda/JPKM 35 12.4

Jamkesmas 65 23

Jamsostek 10 3.5

Tidak punya 150 53

Kepemilikan asuransi ini juga tidak berbeda jauh di antara daerah penelitian, seperti

tampak pada tabel berikut:

Jenis asuransi

RSSardjito RSMuwardi RS Kariadi

N=101 N=81 N=101

n % n % n %

Askes 5 5 4 4.9 5 5

Asuransi Komersial 1 1 2 2.5 6 5.9

Jamkesda/JPKM 28 27.7 3 3.7 4 4

Jamkesmas 17 16.8 20 24.7 28 27.7

Page 15: tugas unyu

Jamsostek 3 3 5 6.2 2 2

Tidak Punya 47 46.5 47 58 56 55.4

2. Pengetahuan Responden

Sebanyak 64(22.6%) responden mengaku tidak tahu sumber penularan penyakit

mereka, dan sebagian besar responden baru tahu bahwa mereka menderita HIV positif

setelah datang ke RS tempat penelitian, seperti tampak pada table berikut ini:

Sumber Informasi HIV positif Frekuensi Prosentase

n=283 (%)

RS tempat berobat sekarang 116 41

Dokter langganan sebelumnya 78 27.6

Fasilitas Kesehatan lain sebelum berobat ke RS ini 39 13.8

LSM yang mendampingi 21 7.4

Lay Counsellor 10 3.5

Lainnya 6 2.1

Teman 4 1.4

Puskesmas 3 1.1

Pasangan(suami/istri) 3 1.1

Keluarga(adik/orangtua) 2 0.7

Peer group 1 0.4

Dengan demikian, sebagian besar responden ketika tes HIV yang pertama kali adalah

ketika mereka sudah menderita AIDS. Selain itu, sebagian besar responden tidak tahu

kalau penyakit AIDS, walaupun tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan

dengan obat. Hanya 34.4% responden yang tahu mengenai hal tersebut. Sebagian

beranggapan bahwa AIDS tidak dapat disembuhkan (11.7%), atau malah AIDS dapat

disembuhkan (10.3%) sedangkan yang tidak tahu sama sekali sejumlah 128(45.4%).

Sumber pengetahuan mereka mengenai HIV dan AIDS juga berasal dari Rumah sakit

tempat penelitian. Sebanyak 214 (75.9%) orang menjawab mengetahui mengenai

perawatan penyakit HIV dan AIDS dari RS lokasi penelitian. Diantara 214 responden

tersebut, 178 diantaranya mengetahui perawatan HIV dan AIDS setelah mereka

datang di RS tempat penelitian, tempat mereka melakukan tes HIV pertama kali.

Secara lengkap sumber pengetahuan mengenai HIV dan AIDS tampak pada table

berikut:

Sumber Pengetahuan Perawatan HIV dan AIDS Frekuensi Prosentase

n=282 (%)

Page 16: tugas unyu

16

RS tempat penelitian 214 75.9

LSM 61 21.6

Media, brosur, selebaran, internet 47 16.7

Lainnya 20 7.1

Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden baru tahu tentang perawatan

AIDS setelah terlambat. Dari wawancara mendalam dengan beberapa orang

responden terungkap bahwa memang pengetahuan mereka tentang perawatan

penyakit HIV dan AIDS sebelum menjalani terapi sangat kurang. Salah seorang

responden mengatakan:

“sama sekali belum pernah mendengar tentang HIV, pernah dengar tentang AIDS, tetapi

hanya sekilas. Informasi didapat dari PPK setelah didiagnosa HIV positif”

Terdapat variasi pengetahuan responden antar daerah. Di RS Sardjito lebih banyak

responden yang menjawab “tahu” (93.1%) ketika ditanya mengenai sumber penularan

penyakit mereka dibandingkan di RS Kariadi (79.2%) dan RS Muwardi (55.6%).

3. Pengetahuan PPK

Dari 230 responden yang pernah berobat ke dokter sebelum ke RS tempat penelitian,

hanya 127(55.2%) orang yang disarankan untuk segera melakukan pemeriksaan

lanjutan di RS tempat penelitian. Pasien-pasien di RS Kariadi (60%) dan RS

Moewardi (63.2%) lebih banyak yang segera dirujuk daripada di RS Sardjito (40.8%).

Sebanyak 51 orang (22.2%) disarankan untuk kontrol teratur, dan 62 orang (27%)

disarankan untuk makan/minuman tertentu. Secara lengkap tampak pada table berikut

ini:

Saran dari dokter sebelumnya Frekuensi Prosentase

N=230 %

Segera memeriksakan ke RS ini 127 55.2

Kontrol teratur 51 22.2

Meminum obat/jamu yang diberikan secara teratur 62 27.0

Mengkonsumsi makanan/minuman tertentu 7 3.0

Tidak mengkonsumsi makanan/minuman tertentu 3 1.3

Tidak ada saran sama sekali 6 2.6

Lainnya(dirujuk ke LSM,menjaga kondisi, olahraga,

tes laboratorium, operasi mata) 9 3.9

Page 17: tugas unyu

Beberapa pasien yang diwawancarai secara mendalam juga mengatakan bahwa dokter

yang merawat sebelum berobat ke RS tempat penelitian tidak memberi petunjuk atau

nasihat yang mengindikasikan bahwa mereka menderita HIV positif.

“awalnya, sekitar sebulan yang lalu, merasakan demam, migran, dan kalau malam sampai

menggigil, akhirnya oleh istri dibawa ke dokter umum dan puskesmas, tapi hingga 2 kali

obatnya habis, tidak sembuh-sembuh. Lalu dibawa ke dkter spesialis di rumah sakit

swasta, sempat didiagnosa malaria, diinfus tapi tetap saja tidak sembuh-sembuh. akhirnya

karena mendengar tetangga ada yang sakit parah bisa sembuh dengan pengobatan

alternatif, keluarga pun mencoba”

Data juga menunjukkan bahwa terdapat 52 orang yang, walaupun sudah merasakan

gejala yang mengarah ke AIDS, mereka baru datang memeriksakan diri pertama

kali lebih dari 2 minggu kemudian. Terdapat berbagai alasan yang dikemukakan

seperti tampak pada table berikut:

Alasan menunda pemeriksaan/perawatan Frekuensi Prosentase

n=52 %

belum siap/ingin/malas/merasa masih sehat 15 28.8

karena kondisi(pembengkakan hati, anemia,

opname,TB) 10 19.2

menunggu hasil lab (darah, CD4) 8 15.4

belum masuk kriteria 7 13.5

tidak ada dana 5 9.6

sibuk 3 5.8

tidak tahu kemana 2 3.8

menunggu yang mengantar 1 1.9

tidak ada info 1 1.9

mencari informasi lebih 0 0.0

Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa 29 orang sebenarnya sudah tahu bahwa

dirinya HIV positif, namun baru datang lagi setelah merasakan gejala yang mengarah

ke AIDS atau setelah CD4 mereka turun di bawah 250 dan tidak memeriksakan diri

secara teratur ke pusat VCT.

Terdapat 51 orang yang berhenti berobat karena berbagai alasan mulai dari pelayanan

kurang baik sampai dengan keluhan adanya efek samping seperti tampak pada table

berikut ini:

Alasan berhenti minum obat Frekuensi Prosentase

n=51 %

Tidak diberitahu dokter 1 1.96078431

Page 18: tugas unyu

18

Tidak mendapat layanan memuaskan 1 1.96078431

Tidak merasa sembuh 2 3.92156863

Lainnya 47 92.1568627

tidak menjawab alasan 6 12.7659574

efek samping(alergi, anemia,dll) 9 19.1489362

lupa minum obat/terlambat minum obat 8 17.0212766

malas mengambil obat/minum obat 5 10.6382979

terapi lain/opname (TB, dll, obat yang diminum

banyak) 4 8.5106383

bosan minum obat 3 6.38297872

karena biaya 3 6.38297872

merasa sehat 2 4.25531915

pengobatan alternatif 2 4.25531915

sibuk 2 4.25531915

khawatir efek samping 1 2.12765957

program dari RS diluarnegeri 1 2.12765957

tidak bisa ambil obat sendiri 1 2.12765957

4. Faktor Hambatan Finansial

Sebagian besar Responden penelitian ini menganggap bahwa terdapat hambatan

financial untuk mengobati penyakitnya, seperti tampak pada grafik berikut ini.

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

1 2 3 4 5

pers

en

netral

sangat setuju

sangat tidak setuju

setuju

tidak setuju

Keterangan:

1. Saya khawatir mengenai biaya pengobatan penyakit saya

2. Saya harus menyediakan dana besar untuk mengobati penyakit saya

3. Saya siap menjual barang untuk mengobati penyakit saya

4. Saya akan meminta bantuan pemerintah untuk biaya pengobatan penyakit saya

5. Saya akan meminta bantuan saudara/teman untuk biaya pengobatan penyakit saya

Pernyataan yang paling banyak disetujui adalah: “Saya akan meminta bantuan

Page 19: tugas unyu

pemerintah untuk biaya pengobatan penyakit saya” sedangkan yang paling sedikit

disetujui adalah “Saya siap menjual barang untuk mengobati penyakit saya”.

5. Faktor Stigma Diri dan Masyarakat

Ternyata sebagian besar responden tidak mendapat stigmatisasi masyarakat dan tidak

merasakan stigma diri seperti tergambar pada grafik berikut:

a. Stigma diri

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

100.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

pe

rse

n

jarang

kadang-kadang

netral

selalu

sering

tidak sama sekali

Keterangan:

1. saya merasa disalahkan orang lain karena penyakit saya

2. saya merasa malu akan penyakit saya.

3. saya berpikir penyakit saya adalah hukuman akan tindakan saya di masa lalu.

4. saya takut akan kehilangan pekerjaan saya jika seseorang mengetahui penyakit saya

5. saya merasa terpaksa mengubah alamat saya karena penyakit saya.

6. saya menghindar dari pengobatan karena takut seseorang mungkin dapat mengetahui penyakit saya.

7. saya takut orang-orang akan menyakiti keluarga saya jika mereka mengetahui tentang penyakit saya.

8. saya berpikir orang lain menjadi tidak nyaman ketika bersama saya.

9. saya merasa orang-orang akan menghindari saya karena penyakit saya.

10. saya takut saya akan kehilangan teman-teman saya jika mereka tahu penyakit saya.

11. saya takut kelurga saya akan menolak saya jika mereka tahu penyakit saya.

12. saya merasa tidak akan mendapat pelayanan kesehatan yang baik jika orang-orang tahu tentang penyakit

saya.

13. orang-orang yang mengetahui bahwa saya HIV positif memperlakukan saya dengan sangat protektif

Dari 13 pernyataan tersebut yang paling “jarang” dan “tidak sama sekali” dirasakan

adalah “saya merasa terpaksa mengubah alamat saya karena penyakit saya” dan ”saya

Page 20: tugas unyu

20

menghindar dari pengobatan karena takut seseorang mungkin dapat mengetahui

penyakit saya”. Namun perasaan bahwa ”malu akan penyakit saya” dan ”penyakit

saya adalah hukuman akan tindakan saya di masa lalu” adalah stigma diri yang paling

banyak dirasakan, atau yang menghasilkan jawaban “sering” yang paling banyak.

Rupanya sebagian besar responden juga tidak mendapat stigmatisasi langsung dari

masyarakat, seperti tampak pada grafik berikut ini:

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

70.0

80.0

90.0

100.0

1 2 3 4 5 6 7 8

pers

en

jarang

kadang-kadang

selalu

sering

tidak sama sekali

Keterangan:

1. Orang lain memperlakukan saya secara berbeda (misalnya tidak mau berjabat tangan, tidak mau makan satu meja dll)

2. Dikeluarkan dari pekerjaan/sekolah

3. Diturunkan jabatan

4. Dipaksa pindah oleh lingkungan saya

5. Tidak boleh masuk ruangan

6. Ditinggalkan teman

7. Ditinggalkan keluarga

8. Dokter atau petugas kesehatan lain memperlakukan saya dengan terlalu hati-hati (misalnya selalu memakai penutup

mulut dan hidung, sarung tangan, tidak mau bersinggungan langsung dll)

Walaupun demikian, terdapat 46 (16.4%) responden yang menganggap bahwa dokter

dan petugas kesehatan memperlakukan mereka dengan terlalu hati-hati. Pernyataan

ini adalah pernyataan yang paling banyak mendapat jawaban “selalu”.

Page 21: tugas unyu

BAB V PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan kaitan yang kompleks antar faktor yang berperan

terhadap keterlambatan pasien HIV dan AIDS di tiga tempat penelitian. Yang cukup

menonjol adalah rendahnya tingkat pengetahuan dari pasien sendiri terutama sebelum

mereka datang memeriksakan diri. Fenomena serupa juga nampak di beberapa Negara

lain seperti di Wollo Selatan, Ethiopia dan Thailand bagian selatan, menunjukan

bahwa tingkat pengetahuan yang tidak memadai terhadap HIV/AIDS maupun

perawatan HIV, memberikan kontribusi terhadap keterlambatan diagnosis (Abaynew

et al, 2009; Thanawuth & Chongsuvivatwong, 2 00 8 ). Menurut Sobrino-Vegas et al

(2009) hal ini terkait dengan tingkat pendidikan, dimana pada penelitian mereka

semakin rendah tingkat pendidikan, maka prosentase keterlambatan diagnosis

semakin besar. Hasil tersebut juga sesuai pada penelitian ini yang menemukan bahwa

hanya kurang dari 50% responden yang berpendidikan SMA ke atas.

Menarik untuk mengkaitkan hal ini dengan peran peer group atau kelompok

dukungan sebaya. Menurut UNAIDS (1999) kelompok dukungan sebaya mempunyai

peran penting dalam memberikan penyuluhan dan menyebarkan informasi mengenai

HIV positif dan AIDS karena penderita HIV dan AIDS adalah kelompok marginal

yang biasanya tidak terbuka untuk mengemukakan identitas pekerjaan atau

aktifitasnya. Dalam penelitian ini ternyata sumber pengetahuan mengenai HIV dan

AIDS hanya 21,6% yang berasal dari peer group. Di Indonesia saat ini sebenarnya

terdapat banyak lembaga yang terlibat dalam kegiatan penanganan HIV-AIDS.

Berdasarkan data aids-ina.org saat ini terdapat 143 LSM-Institusi yang mempunyai

kegiatan Penjangkauan dan Pendampingan dari 1608 LSM-Institusi yang ada. Ini

berarti hanya sedikit peer group yang melakukan pencarian kasus aktif (active case

finding). Dengan active case finding sebenarnya diharapkan akan lebih banyak

ditemukan kasus HIV positif. Setelah itu, peer group melakukan pendampingan aktif

untuk mencegah penderita HIV positif jatuh ke status AIDS atau kalaupun mengalami

gejala-gejala AIDS segera melakukan terapi secara dini.

Penelitian ini juga masih menunjukkan adanya kesenjangan pengetahuan penyedia

layanan kesehatan sendiri mengenai HIV dan AIDS. Ini mungkin akibat kurangnya

pemahaman sejak kuliah di fakultas kedokteran. Menurut survei yang dilakukan oleh

Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya Jakarta terhadap mahasiswa baru angkatan

Page 22: tugas unyu

22

2007/2008, sebesar 99% mahasiswa memahami cara pencegahan HIV/AIDS, namun

dari 142 orang calon dokter tersebut, hanya 76% yang mengetahui cara pencegahan

lebih dari tiga, dan ada satu orang yang tidak tahu sama sekali (Arif, 2009). Mungkin,

mengingat Indonesia adalah Negara yang sangat luas dan tingkat epidemi di Indonesia

secara umum masih concentrated epidemic, pendidikan dan pelatihan khusus bagi

dokter atau mahasiswa kedokteran masih dianggap belum prioritas di daerah yang

epideminya rendah.

Peran dokter tingkat pertama (primary care physician) dalam identifikasi dini

suatu penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan, seperti AIDS, sangat penting.

Hal ini yang menyebabkan adanya program Provider Initiated Testing sebagai

alternatif Voluntary Counseling and Testing (VCT). Dan terbukti provider initiated

testing meningkatkan kemauan untuk tes. Provider initiated testing juga berperan

menurunkan angka keterlambatan (Ivers et al, 2007). Mahendradhata et al (2008)

menemukan peningkatan tes HIV oleh pasien TB yang disarankan untuk tes. Dari

1269 pasien TB yang disarankan tes, 989 (77.9%; 95% CI 75.6-80.1%) menerima

saran tersebut.

Kebanyakan penderita yang diteliti tidak memiliki asuransi kesehatan. Hal ini

dapat menjelaskan mengapa responden memiliki kekhawatiran akan biaya layanan

kesehatan yang harus dikeluarkan. Akses terhadap layanan kesehatan memang

dipengaruhi oleh kepemilikan asuransi kesehatan seperti dibuktikan oleh Hidayat et al

(2009). Oleh karena itu, dapat diduga bahwa mereka yang tidak memiliki asuransi

kesehatan cenderung menunda memanfatkan pelayanan kesehatan.

Mengenai factor stigma, baik stigma masyarakat maupun stigma diri, di penelitian ini

tampak bahwa sebagian besar responden tampak tidak merasakan stigma diri maupun

masyarakat. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian di Botswana. Sebuah

survey terhadap pasien HIV yang menerima ART menemukan bahwa 40% terlambat

di tes HIV terutama karena stigma. (Wolfe et al, 2006). Namun demikian, hasil

penelitian ini masih dapat diperdebatkan karena beberapa alasan:

1. Tidak ada informasi bahwa masyarakat sekitar, rekan kerja atau

atasan mengetahui bahwa responden menderita HIV positif dan/atau

AIDS.

2. Tidak ada seorangpun responden yang mengaku waria walaupun

Page 23: tugas unyu

menurut pengamatan surveyor sebagian dari mereka menunjukkan

kecenderungan waria.

3. Hanya dua orang yang mengaku pernah menjadi wanita pekerja

seks, dan kebanyakan pekerjaan dari wanita adalah “ibu rumah

tangga”.

Walaupun tidak dapat disimpulkan, namun temuan diatas menunjukkan bahwa

validitas pengukuran stigma diri dan masyarakat masih dapat dipertanyakan.

Masing-masing pengaruh dari faktor-faktor tersebut kemudian dianalisis secara

bivariate seperti tampak pada tabel berikut ini:

Faktor

Terlambat

Tidak

Terlambat

RR X2

95%

CI

p

value Frek % Frek %

pengetahuan

individu

tidak baik 145 70.39% 40 51.95%

1.3 6.4

1.03 -

1.41 0.11 baik 61 29.61% 36 46.75%

pengetahuan

ppk

tidak baik 109 52.91% 46 59.74%

0.9 0.6

0.82 -

1.09 0.42 baik 97 47.09% 31 40.26%

hambatan

finansial

ada 157 76.21% 63 81.82%

0.9 1.2

0.79 -

1.06 0.27 tidak ada 49 23.79% 14 18.18%

stigma diri

tinggi 91 44.17% 40 51.95%

0.9 0

0.99 -

1.18 0.87 rendah 115 55.83% 37 48.05%

stigma

masyarakat

tinggi 6 2.91% 1 1.30%

1.2 1

0.93-

1.36 0.42 rendah 200 97.09% 77 100.00%

Dari tabel di atas tampak bahwa hanya ada dua faktor yang memiliki pengaruh, yaitu

pengetahuan pasien dalam hal perawatan HIV/AIDS dan stigma masyarkat. Seorang

yang tidak mengetahui perawatan HIV dan AIDS mempunyai kemungkinan lebih

besar 30% untuk terlambat dan yang distigmasi oleh masyarakat mempunyai

Page 24: tugas unyu

24

kemungkinan terlambat sebanyak 20%.

Dalam penelitian ini belum dapat ditemukan faktor-faktor lain. Namun beberapa

peneliti menduga ada beberapa faktor yang perlu diteliti lebih lanjut. Menurut

Couturier et al (1998) justru mereka yang memiliki risiko rendah lebih tinggi

kemungkinan untuk terlambat diagnosis. Juga ditemukan bahwa mereka yang

berpenghasilan tetap dan berpasangan stabil lebih banyak yang terlambat. Adapun Paz

Sobrino-Vegas (2009) menemukan bahwa keterlambatan diagnosis lebih banyak

ditemukan di kalangan heteroseksual dan IDU

Berdasarkan termuan penelitian ini maka dapat dikonstruksikan hubungan berbagai

variable yang berpengaruh terhadap keterlambatan diagnosis AIDS seperti tampak

pada model berikut ini:

Ldx = f { Kn, StM,p }

Dalam hal ini:

Ldx = Keterlambatan diagnosis

Kn = pengetahuan pasien

StM = Stigma Masyarakat

p = factor lain yang belum diketahui

Page 25: tugas unyu

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Faktor yang berpengaruh terhadap keterlambatan hanya pengetahuan individu

dan stigma masyarakat

2. Rendahnya pengetahuan pasien terhadap perawatan AIDS akan

mengakibatkan 1,3 kali lebih banyak kemungkinan untuk terlambat

didiagnosis

3. Tingginya stigma masyarakat mengakibatkan 1,2 kali lebih banyak

kemungkinan untuk terlambat didiagonis

Saran

1. Tingkat pengetahuan penderita HIV positif dan AIDS perlu ditingkatkan

terutama dalam hal memahami bahwa AIDS dapat dirawat

2. Peer group diharapkan lebih dapat menjangkau penderita karena stigma

masyarakat

3. Peran para stakeholder, terutama peer group ditingkatkan terutama untuk

memberikan pemahamanan mengenai perawatan AIDS kepada para penderita.

Page 26: tugas unyu

26

Rujukan

Abaynew Y, Deribew A, Deribe K. 2011. Factors associated with late presentation

to HIV/AIDS care in South Wollo ZoneEthiopia: a case-control study.

AIDS Research and Therapy 8:8.

Arif H (2009). Pengetahuan dan Persepsi Mahasiswa tentang Pencegahan

HIV/AIDS: Studi Kasus di Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya pada

Mahasiswa Baru Angkatan 2007/2008. Majalah Kedokteran Damianus 8 (2): 69-78.

Bell C, Devarajan S, Gersbach H (2003) (PDF). The long-run economic costs of

AIDS: theory and an application to South Africa. World Bank Policy

Research Working Paper No. 3152.

Bonjour, M.A; Montagne M, Zambrano M; Molina, G; Lippuner, C, Wadskier F. G,

Castrillo, M, Incani, R. N and Tami, A (2008) Determinants of late disease-

stage presentation at diagnosis of HIV infection in Venezuela: A case-case

comparison, AIDS Research and Therapy

Divisions of HIV/AIDS Prevention (2003). "HIV and Its Transmission". Centers for

Disease Control & Prevention

http://www.cdc.gov/HIV/pubs/facts/transmission.htm. Retrieved 2006-05-

23.

Gallo RC (2006). "A reflection on HIV/AIDS research after 25 years".

Retrovirology 3: 72.

Gao F, Bailes E, Robertson DL, et al. (1999). "Origin of HIV-1 in the Chimpanzee

Pan troglodytes". Nature 397 (6718): 436–441.

Himedan, H, 2005, Survey on Knowledge Attitudes and Behaviour of HIV/AIDS

Risk among Population of Tanah Miring, Semangga and Merauke town ,

MSF papua

Ivers, L.C; Freedberg, K.A and Mukherjee, J S (2007) Provider-initiated HIV

testing in rural Haiti: low rate of missed opportunities for diagnosis of HIV

in a primary care clinic. AIDS Research and Therapy

Kumarasamy N, Safren SA, Raminani SR, Pickard R, James R, Krishnan AK, et al. 2005. Barriers and Facilitators to Antiretroviral Medication Adherence

Among Patients with HIV in Chennai, India: A Qualitative Study. AIDS Patient Care STDS. Aug;19(8):526-37.

Page 27: tugas unyu

Msellati P, Juillet-Amari A, Prudhomme J, et. al. 2003. Socio-economic and

health characteristic of HIV-infected patients seeking care in relation to

access to the Drug Acess Initiative and to antiretroviral treatment in Cote

d’Ivoire. AIDS 17 (suppl 3):S63-S68

Kallings LO (2008). "The first postmodern pandemic: 25 years of HIV/AIDS". J

Intern Med 263 (3): 218–43.

Katzenstein D, Laga M, Moatti JP. 2003. The evaluation of the HIV/AIDS Drug

Access Initiatives in Côte D’Ivoire, Senegal and Uganda: how access to

antiretroviral treatment can become feasible in Africa. AIDS. 17(suppl

3):S1–S4.

Komisi Penanggulanan AIDS, 2009, Laporan KPA Nasional

Louis C, Ivers LC, Smith Fawzi MC, Freedberg KA, Castro A. 2007. Late

presentation for HIV care in central Haiti: factors limiting access to care.

AIDS Care 19: 487–91.

Mounier-Jack, S, Adler, A, Coker, R. 2008 Late diagnosis for HIV/AIDS in

EUROPE, CDPRG Briefing Note

Msellati P, Juillet-Amari A, Prudhomme J, et. al. 2003. Socio-economic and

health characteristic of HIV-infected patients seeking care in relation to

access to the Drug Acess Initiative and to antiretroviral treatment in Cote

d’Ivoire. AIDS 17 (suppl 3):S63-S68

Palella FJ Jr, Delaney KM, Moorman AC, et al. (1998). "Declining morbidity and

mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus

infection. HIV Outpatient Study Investigators". N. Engl. J. Med 338 (13):

853–860.

Russell, 1988. Textbook of Medicine. Philadelphia: Saunders. pp. 1523, 1799.

ISBN 0721618480.

Riyarto, S, Hidayat, B, Johns, B, Probandari, A, Mahendradhata, Y, Utarini, A,

Trisnantoro, L, Flessenkaempee, S. 2010, The financial burden of HIV

care, including antiretroviral therapy, on patients in three sites in

Indonesia, Health Policy and Planning

San Francisco AIDS Foundation (2006). "How HIV is spread".

http://www.sfaf.org/aids101/transmission.html. Retrieved 2006-05-23.

Sepkowitz KA, 2001. "AIDS--the first 20 years". N. Engl. J. Med. 344 (23): 1764–

72.

Sobrino-Vegas P, Garcia-San Miguel L, Caro-Murilo AM, et al. 2009. Delayed

Diagnosis of HIV Infection in a Multicenter Cohort: Prevalence, Risk

Page 28: tugas unyu

28

Factors, Response to HAART and Impact on Mortality. Current HIV Research (7): 224-230.

Thanawuth N, Chongsuvivatwong V. 2008. Late HIV diagnosis and delay in CD4

count measurement among HIV-infected patients in Southern Thailand.

AIDS Care 20(1): 43-50.

UNAIDS (1999). Peer Education and HIV/AIDS: Concepts, Uses, and Challenges.

UNAIDS: Geneva, Switzerland.

UNAIDS, WHO (2007). "2007 AIDS epidemic update" (PDF).

http://data.unaids.org/pub/EPISlides/2007/2007_epiupdate_en.pdf.

Retrieved 2008-03-12.

Weiss RA, 1993. "How does HIV cause AIDS?". Science (journal) 260 (5112):

1273–9.

Worobey M, Gemmel M, Teuwen DE, et al. (2008). "Direct evidence of extensive

diversity of HIV-1 in Kinshasa by 1960". Nature 455 (7213)