Click here to load reader
Upload
vunga
View
293
Download
21
Embed Size (px)
Citation preview
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI STABILITAS FISIK DAN KIMIA SEDIAAN GEL
SEMPROT EKSTRAK ETANOL TUMBUHAN PAKU
(Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)
SKRIPSI
KHOIRUN NISAK
1112102000069
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2016
ii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI STABILITAS FISIK DAN KIMIA SEDIAAN GEL
SEMPROT EKSTRAK ETANOL TUMBUHAN PAKU
(Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
KHOIRUN NISAK
1112102000069
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
AGUSTUS 2016
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Nama : Khoirun Nisak
Program Studi : Farmasi
Judul Skripsi : Uji Stabilitas Fisik dan Kimia Sediaan Gel Semprot
Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku (Nephrolepis falcata (Cav.)
C. Chr.)
Ekstrak metanol dari tumbuhan paku spesies Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
memiliki potensi aktivitas antiinflamasi yang signifikan dengan adanya
kandungan senyawa flavonoid dan fenolat (Komala, dkk.,2015). Pada penelitian
ini ekstrak etanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. diformulasi menjadi sediaan
gel semprot dengan variasi konsentrasi bahan pembentuk gel karbopol yaitu F1
(0,2%), F2 (0,3%), dan F3 (0,4%). Dilakukan evaluasi stabilitas fisik pada
penyimpanan suhu ruang selama 21 hari, yaitu hari ke-0, 7, 14, dan 21. Gel
semprot dievaluasi fisik meliputi organoleptik, homogenitas, viskositas, pH, pola
semprot, daya sebar lekat, uji sentrifugasi, dan cycling test. Evaluasi stabilitas
kimia dilakukan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi. Hasil evaluasi
fisik menunjukkan semua formula stabil dari segi organoleptik, homogenitas, pH
berada pada kisaran 7,20-7,29 , bobot per semprot seragam serta relatif stabil pada
pengujian sentrifugasi dan cycling test. Viskositas pada formula 1 dan 2 berturut-
turut sebesar 700 dan 3410, dimana masih memenuhi kisaran viskositas untuk
sediaan gel semprot, dengan pola semprot menyebar. Sedangkan formula 3,
viskositas tidak memenuhi syarat. Hasil evaluasi stabilitas kimia menunjukkan
pola kromatogram formula 1, 2, dan 3 terdapat perubahan pola pada hari ke-21
dan berdasarkan besarnya perubahan luas area puncak pada hari ke-21 yang
terjadi pada semua formula menunjukkan adanya penurunan stabilitas.
Kata kunci : ekstrak etanol Nephrolepis falcata, gel semprot, karbopol,
kromatografi cair kinerja tinggi.
vii
ABSTRACT
Name : Khoirun Nisak
Title : Stability Test of Physical and Chemical Spray Gel Ethanol
Extracts Fern (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)
Methanol extract of fern Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. showed significant
anti-inflammatory because it contains flavonoid and phenolic compounds
(Komala, et al.,2015). In this research ethanolic extract of Nephrolepis falcata was
formulated into spray gel in a variation of carbophol as a gelling agent, F1 (0,2%),
F2 (0,3%), and F3 (0,4%). Physical stability testing was conducted by keeping
those three concentrations of spray gel at room temperature during 21 days, and
monitoring was scheduled at day 0, 7th day, 14th day, and 21st day. Evaluation of
physical characteristics was carried out based on an organoleptic test,
homogeneity, viscosity, pH, spray pattern, spread-stick properties, mechanical test
(centrifugation) and cycling test. Evaluation of chemical characteristics was
evaluated by using high-performance liquid chromatography. The results showed
that all formulas are stable in term of organoleptic, homogeneity, have a pH range
7,20-7,29, it has similar of weight per spray and relatively stable in the centrifuge
test and a cycling test. The viscosity of the formula 1 and 2 are 700 and 3410
respectively. This condition is still within the range of viscosity for spray gel
formulation, and have a spread pattern. While the formula 3, the viscosity is not
eligible. The chemical stability results showed that there is a change in the
chromatogram pattern of formula 1, 2, dan 3 at day 21st and based on the
magnitude of changes in the area of the peak on day 21st which occurs in all
formulas showed a decrease in stability.
Keywords : ethanol extract Nephrolepis falcata, spray gel, carbophol, high-
performance liquid chromatography.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Uji Stabilitas Fisik dan Kimia Sediaan Gel Semprot
Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)”.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
Rasulullah SAW. Skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian sampai penyusunan skripsi ini
tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis secara khusus
mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda A.Mirza, Ibunda Asmawati yang
senantiasa mencurahkan cinta, kasih sayang, do’a, nasihat, serta dukungan
baik moral maupun materil.
2. Kakak dan Adik Tercinta, Nurbaiti araswati, Muhammad Dzikri serta
Muhammad Gholib yang dengan doa serta dukungan yang diberikan.
3. Ibu Nelly Suryani, Ph.D. Apt, dan Ismiarni Komala, M.Sc., Ph.D. Apt,
selaku pembimbing yang dengan sabar memberikan bimbingan, ilmu,
masukan, dukungan, dan semangat kepada penulis.
4. Dr. Arif Sumantri, M.KM selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Supandi, M.Si., Apt selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
telah membimbing dan menerima keluh kesah selama perkuliahan.
7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan yang telah bersedia memberikan ilmunya kepada penulis
selama masa perkuliahan.
8. Teman-teman seperjuangan di laboratorium Putri Wulandari, Risha
Natasha, Annisa Fadillah, Nisa Utami, Fenny, Nurul, Elsa, Echa, Ani,
Addina, Rifa, Fakhrun yang telah memberikan motivasi dan bantuan
selama penelitian.
9. Muh. Tsabit Al-Mutawally yang telah memberi motivasi, dukungan, pelajaran
dan doa dalam setiap kegiatan hingga membantu dalam selesainya penelitian ini.
10. Ismi Febriani dan Inayah Maula, sahabat tersayang yang telah memberikan
motivasi, dukungan dan doa kepada penulis.
ix
11. Sahabat Cera Alba : Pepew, Risha, Ibu Nunud, Icha, Jeki, Laila, Ami,
Endang, Muti, Dian, Intan, Lilis, Teh Afina dan Windi yang telah menjadi
sahabat sejak awal perkuliahan hingga membantu dalam selesainya
penelitian ini.
12. Kawan-kawan Kos Al-Muna : Kresna (partner sekamar tersayang), Dimut,
Icha, Hana, Nusa, Teh Put, Intan, dan Azizah yang telah menemani
keseharian penulis selama dikosan, memberikan motivasi, dan doa.
13. Teman-teman dari Cibeng diantaranya Rico, Cory, Astrid, Widy, Nopaco,
Agin beserta Lukman juga Lina
14. Sahabat Twellepp : Iis bulet, Yuly, Tanis, Indri, Lulu, Tiwi, Melvin,
Manda, Atul, Arin, dan Afifah
15. Teman-teman program studi Farmasi UIN Jakarta angkatan 2012
(khususnya kelas AC) atas persaudaraan dan kebersamaan yang telah
terjalin dan memotivasi penulis baik selama pengerjaan skripsi ini maupun
selama di bangku perkuliahan.
16. Seluruh laboran Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Jakarta atas kerjasamanya selama melakukan penelitian di
laboratorium.
17. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian
naskah skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua
bantuan dan dukungan yang diberikan. Penulis menyadari bahwa penyusunan
skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran
serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat
bagi penulis dan pembaca. Aamiin Ya Rabbal’alamiin.
Ciputat, Agustus 2016
Penulis
x
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
ABSTRACT ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................. x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4
2.1. Tumbuhan Paku .......................................................................... 4
2.1.1. Habitat Tumbuhan Paku .................................................. 4
2.1.2. Penggunaan Tumbuhan Paku .......................................... 5
2.2. Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr .............................................. 5
2.2.1. Klasifikasi Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr................. 6
2.2.2. Sinonim Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr .................... 6
2.2.3. Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologi ........................ 6
2.3. Simplisia ...................................................................................... 7
2.4. Ekstraksi dan Ekstrak .................................................................. 7
2.4.1. Metode Ekstraksi ............................................................. 8
2.5. Penapisan Fitokimia .................................................................... 9
2.5.1. Alkaloid ........................................................................... 10
2.5.2. Flavonoid ......................................................................... 10
2.5.3. Tanin ................................................................................ 11
2.5.4. Saponin ............................................................................ 11
2.5.5. Fenol ................................................................................ 11
2.5.6. Terpen .............................................................................. 12
2.5.7. Kuinon ............................................................................. 12
2.6. Gel ............................................................................................... 12
2.7. Gel Semprot (Spray Gel) ............................................................. 14
2.8. Stabilitas ...................................................................................... 16
2.9. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ................................ 18
2.9.1. Prinsip Kerja KCKT ........................................................ 18
2.10. Studi Preformulasi Sediaan Gel Semprot .................................... 19
2.10.1. Karbopol .......................................................................... 19
2.10.2. Poloxamer ........................................................................ 21
xii
2.10.3. Trietanolamin .................................................................. 24
2.10.4. Propilenglikol .................................................................. 25
2.10.5. Etanol ............................................................................... 25
2.10.6. Metil Paraben................................................................... 26
2.10.7. Propil Paraben ................................................................. 27
2.10.8. Vitamin E......................................................................... 28
BAB 3 METODE PENELITIAN .................................................................... 29
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 29
3.2. Alat dan Bahan Penelitian .............................................................. 29
3.2.1. Alat .................................................................................... 29
3.2.2. Bahan ................................................................................. 29
3.3. Prosedur Kerja ............................................................................... 30
3.3.1. Determinasi Tumbuhan Paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ................................... 30
3.3.2. Penyiapan Simplisia Paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ................................... 30
3.3.3. Pembuatan Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku (EETP)
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ................................... 30
3.3.4. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum EETP ........... 31
3.3.5. Pemeriksaan Profil Kromatogram EETP Menggunakan
KCKT .............................................................................. 31
3.3.6. Pembuatan Sediaan Gel Semprot EETP ............................ 32
3.3.7. Evaluasi Fisik Gel Semprot EETP Selama Penyimpanan . 33
3.3.7.1. Pemeriksaan Organoleptik .................................. 33
3.3.7.2. Pemeriksaan Homogenitas.................................. 33
3.3.7.3. Pemeriksaan pH .................................................. 33
3.3.7.4. Pemeriksaan Viskositas ...................................... 33
3.3.7.5. Pemeriksaan Pola Penyemprotan dan
Bobot per Semprot ............................................. 34
3.3.7.6. Pemeriksaan Daya Sebar Lekat .......................... 34
3.3.7.7. Uji Sentrifugasi ................................................... 34
3.3.7.8. Cycling Test ........................................................ 34
3.3.8. Pemeriksaan Pola Kromatogram EETP dalam
Sediaan Gel Semprot Selama Penyimpanan .................... 35
3.3.8.1. Pembuatan Larutan Sampel ................................ 35
3.3.8.2. Analisis EETP dalam Gel Semprot .................... 35
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 36
4.1. Ekstraksi Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ...... 36
4.2. Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum EETP .............. 38
4.3. Hasil Pemeriksaan Pola Kromatogram EETP
Menggunakan KCKT .................................................................. 38
4.4. Pembuatan Sediaan Gel Semprot EETP ........................................ 40
4.5. Hasil Evaluasi Fisik Gel Semprot EETP Selama Penyimpanan .... 42
4.5.1. Hasil Pemeriksaan Organoleptik ....................................... 42
4.5.2. Hasil Pemeriksaan Homogenitas ....................................... 45
4.5.3. Hasil Pemeriksaan pH ....................................................... 45
4.5.4. Hasil Pengukuran Viskositas ............................................. 46
xiii
4.5.5. Hasil Pemeriksaan Pola Penyemprotan dan
Bobot per Semprot ........................................................... 48
4.5.6. Hasil Pemeriksaan Daya Sebar Lekat ................................ 49
4.5.7. Hasil Pengujian Sentrifugasi ............................................. 50
4.5.8. Hasil Cycling Test.............................................................. 50
4.5.9. Hasil Pemeriksaan Pola Kromatogram EETP dalam
Sediaan Gel Semprot Selama Penyimpanan .................... 53
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 61
5.1. Kesimpulan .................................................................................... 61
5.2. Saran .............................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 62
LAMPIRAN ....................................................................................................... 67
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Tipe Poloxamer ................................................................................ 22
Tabel 3.1 Tabel Formulasi Gel Semprot EETP ................................................ 32
Tabel 4.1 Hasil Rendemen dan Kadar Air Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr .................................................... 37
Tabel 4.2 Tabel Komposisi Formula Gel Semprot EETP ................................ 40
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Organoleptik ...................................................... 42
Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan Kekeruhan dan Gelembung Udara .................... 43
Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan pH ...................................................................... 45
Tabel 4.6 Hasil Pemerikaan Viskositas ............................................................ 47
Tabel 4.7 Tabel Bobot per Semprot ................................................................. 49
Tabel 4.8 Hasil Pemeriksaan Organoleptis metode Cycling Test .................... 50
Tabel 4.9 Hasil Pemeriksaan Kekeruhan dan Gelembung Udara
metode Cycling Test ......................................................................... 51
Tabel 4.10 Hasil Pemeriksaan pH metode Cycling Test .................................... 52
Tabel 4.11 Hasil Pemeriksaan Viskositas metode Cycling Test ........................ 52
Tabel 4.12 Profil Kromatogram Sediaan Gel Semprot EETP Formula 1 .......... 53
Tabel 4.13 Profil Kromatogram Sediaan Gel Semprot EETP Formula 2 .......... 55
Tabel 4.14 Profil Kromatogram Sediaan Gel Semprot EETP Formula 3 .......... 57
Tabel 4.15 Perbandingan Komponen Senyawa
Berdasarkan Luas Puncak Area........................................................ 59
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ............................................... 5
Gambar 2.2 Struktur Karbopol ........................................................................ 19
Gambar 2.3 Dispersi Karbopol dalam Air ....................................................... 20
Gambar 2.4 Struktur Poloxamer ...................................................................... 21
Gambar 2.5 Fase Miselar Poloxamer dengan Peningkatan Suhu .................... 23
Gambar 2.6 Ilustrasi Mekanisme Miselar dari Poloxamer .............................. 23
Gambar 2.7 Struktur Trietanolamin ................................................................ 24
Gambar 2.8 Struktur Propilenglikol ................................................................ 25
Gambar 2.9 Struktur Etanol............................................................................. 25
Gambar 2.10 Struktur Metil Paraben ................................................................ 26
Gambar 2.11 Struktur Propil Paraben ............................................................... 27
Gambar 2.12 Struktur Vitamin E ...................................................................... 28
Gambar 4.1 Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ............................................... 37
Gambar 4.2 Panjang Gelombang Maksimum EETP ....................................... 38
Gambar 4.3 Pola Kromatogram Blanko (tanpa ekstrak) ................................. 39
Gambar 4.4 Profil Kromatogram EETP Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ... 39
Gambar 4.5 Grafik Nilai pH Rata-rata ............................................................ 46
Gambar 4.6 Grafik Nilai Viskositas ................................................................ 47
Gambar 4.7 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 1
pada Hari ke-0 ............................................................................. 54
Gambar 4.8 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 1
pada Hari ke-7 ............................................................................. 54
Gambar 4.9 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 1
pada Hari ke-14 ........................................................................... 54
Gambar 4.10 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 1
pada Hari ke-21 ........................................................................... 55
Gambar 4.11 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 2
pada Hari ke-0 ............................................................................. 55
Gambar 4.12 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 2
pada Hari ke-7 ............................................................................. 56
Gambar 4.13 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 2
pada Hari ke-14 ........................................................................... 56
Gambar 4.14 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 2
pada Hari ke-21 ........................................................................... 56
Gambar 4.15 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 3
pada Hari ke-0 ............................................................................. 57
Gambar 4.16 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 3
pada Hari ke-7 ............................................................................. 57
Gambar 4.17 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 3
pada Hari ke-14 ........................................................................... 58
Gambar 4.18 Pola Kromatogram Sediaan Gel Semprot Formula 3
pada Hari ke-21 ........................................................................... 58
Gambar 4.19 Grafik Profil Kromatogram Selama Penyimpanan...................... 59
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Alur Penelitian ............................................................................... 67
Lampiran 2 Gambar Hasil Pemeriksaan Organoleptik ..................................... 68
Lampiran 3 Gambar Hasil Pemeriksaan Homogenitas ..................................... 69
Lampiran 4 Evaluasi Pola Penyemprotan dan Bobot per Semprot ................... 70
Lampiran 5 Gambar Pola Penyemprotan Formula 1......................................... 72
Lampiran 6 Gambar Pola Penyemprotan Formula 2......................................... 73
Lampiran 7 Gambar Pola Penyemprotan Formula 3......................................... 74
Lampiran 8 Evaluasi Daya Sebar Lekat ............................................................ 75
Lampiran 9 Gambar Hasil Uji Sentrifugasi ...................................................... 76
Lampiran 10 Surat Determinasi Tumbuhan Paku ............................................... 77
Lampiran 11 Sertifikat Analisa Karbopol ........................................................... 78
Lampiran 12 Sertifikat Analisa Poloxamer ......................................................... 79
Lampiran 13 Sertifikat Analisa Methanol HPLC Grade .................................... 80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu golongan
tumbuhan yang sering dijumpai hampir diseluruh wilayah di Indonesia.
Tumbuhan paku merupakan tumbuhan kormophyta berspora yang dapat
hidup di mana saja (kosmopolitan) (Ewusie, 1990). Berdasarkan hasil
penelitian fitokimia, dilaporkan bahwa terdapat beberapa spesies tumbuhan
paku yang mengandung berbagai macam senyawa bioaktif golongan
terpenoid, steroid, fenilpropanoid, poliketida, flavonoid, alkaloid, stilben,
santon, turunan asam benzoat, lipid dan senyawa belerang. Sehingga dapat
diketahui tumbuhan paku memiliki potensi sebagai sumber bahan kimia
yang dapat dikembangkan sebagai bahan obat-obatan, bahan agrokimia serta
bahan-bahan lain yang bermanfaat bagi kehidupan manusia (Pranoto, 1999).
Beberapa tumbuhan paku juga telah dilaporkan memiliki aktivitas biologis
seperti antiinflamasi dan antinosiseptif (Zakaria, dkk., 2006). Hasil
penelitian fitokimia terhadap tumbuhan paku yang berasal dari spesies
Nephrolepis seperti N. exaltata dan N. occidentalis, telah dilaporkan
keduanya mengandung C-glycosyl xanthones, mangiferin, dan iso-
mangiferin (Richardson, 1983)
Dalam penelitian sebelumnya, skrining fitokimia dari ekstrak
metanol Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. mengandung flavonoid, fenol,
dan saponin. Peneliti juga telah melaporkan bahwa ekstrak metanol dari
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. menunjukkan potensi
aktivitas antiinflamasi yang signifikan. Aktivitas antiinflamasinya dilihat
dari persentase inhibisi terhadap denaturasi BSA assay, dimana nilai
persentase inhibisi ekstrak metanol 10 μg/ml (48,192%) tidak berbeda
bermakna (p > 0,05) dengan persen inhibisi natrium diklofenak 10 μg/ml
(Komala, dkk., 2015).
1
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perkembangan bentuk sediaan farmasi yang memiliki khasiat
antiinflamasi semakin pesat, mulai dari bentuk sediaan topikal sederhana
seperti salep, krim, maupun gel hingga pada pemanfaatan polimer
pembentuk film untuk membalut sekaligus penetrasi ke dalam kulit. Bentuk
pengembangan sediaan topikal untuk penggunaan pada kulit ini, salah
satunya sediaan gel semprot, dimana bentuk sediaan gel semprot ini
memiliki kelebihan diantaranya lebih aman karena tingkat kontaminasi
mikroorganisme lebih rendah, waktu kontak obat yang relatif lebih lama
dibanding sediaan lainnya dan lebih praktis dalam penggunaannya (Shafira,
dkk., 2015).
Sediaan topikal atau sediaan setengah padat relatif tidak stabil zat
aktifnya dibandingkan sediaan padat. Stabilitas sediaan setengah padat
tergantung pada beberapa faktor antara lain, sifat fisika kimia zat aktif dan
basis yang digunakan, sistem dispersi zat aktif-pembawa, bahan pendispersi
zat aktif, penyimpanan, kemasan, dan bahan tambahan lain (Cartensen dan
Rhodes, 2000). Bahan tambahan ini dapat mengalami degradasi secara
perlahan dan bahkan bisa sampai menghilangkan aktivitasnya kerena adanya
proses oksidasi, terjadinya reaksi dengan komponen yang ada dalam sistem
sehingga dapat membatasi bioavailabilitas, atau mengubah warna dan rasa
produk, dimana hal ini akan mempengaruhi keamanan dan efektivitas dari
sediaan yang dibuat (Achouri, Zamani, dan Boye., 2012).
Dalam penelitian ini, dilakukan studi preformulasi dan pengujian
stabilitas komponen senyawa pada ekstrak etanol paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr ketika diformulasi menjadi sediaan gel semprot berdasarkan
sifat fisik dan sifat kimia sediaan melalui perubahan komponen penyusun
ekstrak yang terkandung dalam sediaan. Kestabilan ini merupakan salah satu
hal penting untuk mengetahui kualitas dari suatu produk obat (Lopez, dkk.,
2012).
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana evaluasi fisik dari studi preformulasi sediaan gel semprot
yang mengandung ekstrak etanol paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr?
2. Bagaimana stabilitas fisik gel semprot ekstrak etanol paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr?
3. Bagaimana stabilitas kimia gel semprot ekstrak etanol paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr selama waktu penyimpanan 21 hari pada suhu
ruang?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji stabilitas fisik dan
komponen kimia dari ekstrak etanol paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
dalam sediaan gel semprot.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui stabilitas fisik
dan komponen kimia zat aktif yang terkandung di dalam ekstrak etanol paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. dalam sediaan gel semprot.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu golongan
tumbuhan yang banyak dijumpai di berbagai wilayah di Indonesia.
Tumbuhan paku merupakan tumbuhan kormophyta berspora yang dapat
hidup di mana saja (kosmopolitan) (Ewusie, 1990). Dari sekitar 10.000
spesies tumbuhan paku yang terdapat di dunia, diperkirakan sebanyak
1.300 spesies di antaranya tumbuh di kawasan Indonesia (Sastrapradja,
1980).
Tumbuhan paku merupakan suatu divisi tumbuhan yang memiliki
sistem pembuluh sejati (kormus), tumbuhan paku dapat dibedakan menjadi
tiga bagian pokok yaitu akar, batang dan daun (Tjitrosoepome,2005).
Tumbuhan paku secara taksonomi berada diantara tumbuhan lumut
(bryophyta) dan tumbuhan tingkat tinggi (gimnosperma dan angiosperma).
Tidak seperti ganggang dan bryophytes, tumbuhan paku (pteridophytes)
memiliki jaringan vaskular dan jaringan pengangkut seperti xilem dan
floem, tetapi tidak menghasilkan biji dalam sistem reproduksinya (Pooja,
2004).
2.1.1 Habitat Tumbuhan Paku
Tumbuhan paku dalam jumlah besar terdapat baik di daerah hutan
tropis maupun subtropis (Dudani, dkk., 2012). Habitat tumbuhan paku di
kawasan hutan hujan tropis dikelompokkan mulai dari hutan dataran rendah,
hutan ketinggian sedang, sampai hutan dataran tinggi. Di hutan hujan tropis
beberapa jenis tumbuhan paku ditemukan pada bagian lantai hutan tetapi
sebagian besar lainnya ditemukan sebagai epifit pada batang atau
percabangan (Jones dalam Hariyadi, 2000). Sehingga tumbuhan paku dapat
memperoleh cahaya, dimana bagian akarnya melilit di batang untuk
menyerap nutrien dan kelembaban dari permukaan sekitarnya akan tetapi
bukan sebagai parasit.
4
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keberagaman tumbuhan paku lebih banyak di daerah pegunungan daripada
di dataran rendah. Beberapa faktor lingkungan seperti kelembaban yang
tinggi, kadar aliran air yang banyak, adanya kabut dan curah hujan yang
tinggi mempengaruhi banyaknya jumlah tumbuhan paku yang tumbuh
(Sastrapradja, dkk.,1980).
2.1.2 Penggunaan Tumbuhan Paku
Manfaat tumbuhan paku terhadap alam dalam memelihara ekosistem
hutan antara lain dalam pembentukan tanah, pengamanan tanah terhadap
erosi, serta membantu proses pelapukan serasah hutan. Berbagai jenis
spesies tumbuhan paku telah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia sebagai tanaman hias, tanaman pelindung, pupuk hijau, hingga
bahan obat. (Arini, dan Julianus, 2012).
Hasil penelitian fitokimia terhadap beberapa spesies tumbuhan paku
dilaporkan bahwa tumbuhan ini memiliki potensi sebagai sumber bahan-
bahan kimia yang masih dapat dikembangkan sebagai bahan obat-obatan,
bahan agrokima serta bahan-bahan lain yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Telah ditemukan berbagai macam senyawa bioaktif golongan
terpenoid, steroid, fenilpropanoid, poliketida, flavonoid, alkaloid, stilben,
santon, turunan asam benzoat, lipid dan senyawa belerang pada tumbuhan
paku (Pranoto, 1999). Beberapa tumbuhan paku juga dilaporkan memiliki
aktivitas biologis seperti antiinflamasi dan antinosiseptif (Zakaria, dkk.,
2006).
2.2 Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Gambar 2.1 Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2.1 Klasifikasi Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Domain : Eukaryota
Kingdom : Plantae
Phylum : Pteridophyta
Class : Filicopsida
Family : Nephrolepidaceae
Genus : Nephrolepis
Species : Nephrolepis falcata
(CABI, 2016)
2.2.2 Sinonim Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
Berdasarkan The Invasive Compendium (2016),
Nama lain :Fishtail swordfern
Nama tanaman asal :Aspidium biserratum var. Furcans
Nephrolepis barbata Copel.
Nephrolepis biserrata var. furcans Hort. ex Bailey
Nephrolepis falcata f. Furcans
Tectaria falcata Cav
2.2.3 Kandungan Kimia dan Aktivitas Biologi
Hasil penelitian fitokimia terhadap tumbuhan paku yang berasal dari
spesies Nephrolepis seperti N. exaltata dan N. occidentalis, telah dilaporkan
keduanya mengandung C-glycosyl xanthones, mangiferin, dan iso-
mangiferin (Richardson, 1983).
Berdasarkan hasil penelitian, skrining fitokimia dari Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr. dilaporkan bahwa ekstrak metanol dari daun tersebut
mengandung flavonoid, fenol, dan saponin, serta menunjukkan aktivitas
biologi berupa aktivitas antiinflamasi yang signifikan pada konsentrasi 1
dan 10 μg/ml, dan menjadi tidak aktif pada konsentrasi 100 μg/ml, aktivitas
antiinflamasi nya dilihat dari persentase inhibisinya terhadap denaturasi
BSA assay. Nilai persentase inhibisi ekstrak metanolnya 10 μg/ml
(48,192%) tidak berbeda bermakna (p > 0,05) dengan persen inhibisi
natrium diklofenak 10 μg/ml. Peneliti juga melaporkan bahwa ekstrak
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
etanol dari daun Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. menunjukkan aktivitas
antioksidan yang sangat kuat dengan nilai aktivitas antioksidan indeks
(AAI) sebesar 3,8±0,5 dan nilai IC50 sebesar 25,8±3,5 µg/ml (Komala, dkk.,
2015).
2.3 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain
berupa bahan yang dikeringkan (Dirjen POM, 1999).
Menurut Materia Medika (Depkes RI, 1995), simplisia dapat
digolongkan dalam tiga kategori, yaitu:
a. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat adalah isi sel yang secara spontan
keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari
tanamannya dan belum berupa zat kimia.
b. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan atau bagian hewan
zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia
murni.
c. Simplisia pelikan (mineral)
Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan pelikan (mineral)
yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum
berupa zat kimia.
2.4 Ekstraksi dan Ekstrak
Ekstraksi adalah pemisahan bahan aktif obat dari jaringan tanaman
(dan hewan) menggunakan pelarut yang selektif melalui prosedur standar
(Tiwari, et al., 2011). Prinsip dasar ekstraksi adalah melarutkan senyawa
polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam pelarut non-polar
(Harborne, 1996).
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV (Depkes RI, 1995), ekstrak
merupakan sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku
yang telah ditetapkan.
Senyawa aktif yang terkandung dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan ke dalam berbagai golongan seperti minyak atsiri, alkaloid,
flavonoid, dan lain-lain. Sehingga dapat mempermudah pemilihan pelarut
dan cara ekstraksi yang tepat dengan diketahuinya senyawa aktif yang
dikandung simplisia (Ditjen POM, 2000).
Beberapa parameter yang mempengaruhi kualitas dari sebuah
ekstrak, sebagai berikut (Tiwari, et al., 2011) :
a. Bagian dari tumbuhan yang digunakan
b. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi
c. Prosedur ekstraksi
2.4.1 Metode Ekstraksi
Pembagian metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) terbagi menjadi
dua, yaitu :
1) Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut yang sesuai dengan beberapa kali pengocokan
atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, sehingga zat aktif akan larut, karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar
sel maka larutan terpekat didesak keluar.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada suhu kamar. Proses
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
perkolasi ini terdiri dari tahapan pengembangan, tahap maserasi antara,
dan tahap perkolasi sebenarnya terus-menerus sampai diperoleh ekstrak
(perkolat). Perkolasi ini merupakan prosedur yang paling sering
digunakan untuk mengekstraksi bahan aktif dalam penyusunan tingtur
dan ekstrak cairan (Tiwari et a.l, 2011).
2) Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah proses ekstraksi menggunakan pelarut pada temperatur
titik didihnya, selama waktu tertentu dan dengan jumlah pelarut terbatas
yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru dan
umumnya cara ini dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi
ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah ekstraksi dengan cara maserasi kinetik (dengan
pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur
ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50ºC.
d. Infundasi
Infundasi adalah cara ekstraksi yang umumnya dilakukan untuk
menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan
nabati. Proses ini dilakukan pada suhu 90ºC selama 15 menit.
e. Dekok
Dekok adalah proses ekstraksi seperti infus hanya saja pada waktu yang
lebih lama dan temperatur sampai titik didih air, yaitu pada suhu 90-
100ºC selama 30 menit.
2.5 Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri komponen
bioaktif yang terdapat pada suatu ekstrak kasar yang memiliki efek racun
maupun efek farmakologi lainnya yang bermanfaat bila diujikan terhadap
sistem biologi atau bioassay. Penapisan fitokimia merupakan pemeriksaan
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kandungan kimia secara kualitatif untuk mengetahui adanya kandungan
golongan senyawa dalam suatu tumbuhan. Pemeriksaan diarahkan terhadap
senyawa metabolit sekunder yang memiliki manfaat/ khasiat bagi kesehatan
seperti, alkaloid, flavonoid, terpen, tanin, saponin, glikosida, kuinon, dan
antraquinon (Harborne, 1987). Namun, pada penelitian ini tidak dilakukan
kembali penapisan fitokimia terhadap ekstrak etanol daun paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr. karena sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya
yaitu Komala, dkk., (2015) yang menguraikan bahwa ekstrak metanol nya
mengandung metabolit sekunder seperti, flavonoid, fenol, dan saponin.
Sedangkan ekstrak etil asetat nya mengandung flavonoid dan triterpenoid.
2.5.1 Alkaloid
Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang banyak ditemukan pda
tumbuhan tingkat tinggi, yang bersifat basa, mengandung satu atau lebih
atom nitrogen biasanya berbentuk siklik, alkaloid memiliki efek fisiologis
yang menonjol, sehingga sering digunakan untuk pengobatan, serta senyawa
ini dapat dideteksi dengan cara pengendapan menggunakan pereaksi Mayer,
Dragendorff, dan Bouchardat. Sebagian besar alkaloid berbentuk kristal dan
berbentuk cairan pada suhu kamar, dan memiliki rasa yang pahit. Alkaloid
dapat berfungsi sebagai pengatur tumbuh dan penghalau atau penarik
serangga pada tumbuhan (Harborne, 1987).
2.5.2 Flavonoid
Flavoniod merupakan senyawa metabolit sekunder yang disintesis dari
asam piruvat melalui metabolisme asam amino. Penamaan flavonoid berasal
dari bahasa latin yang menunjukan warna kuning dan sebagian besar
senyawa flavonoid berwarna kuning, sering ditemukan sebagai pigmen dan
ko-pigmen. Flavonoid adalah golongan pigmen organik yang tidak
mengandung unsur nitrogen, kombinasi pigmen ini membentuk pigmentasi
pada daun, bunga, buah dan biji tanaman. Pigmen ini memiliki manfaat
atraktan bagi serangga dan sebagai antioksidan (Bhat, dkk., 2009).
Dalam tumbuhan, flavonoid sebagai glikosida dan aglikon flavonoid.
Umumnya yang bagian yang diperiksa dalam analisis flavonoid adalah
aglikon dalam ekstrak tumbuhan yang sudah dihidrolisis. Proses ekstraksi
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
senyawa flavonoid dilakukan dengan etanol mendidih untuk menghindari
terjadinya oksidasi enzim (Harborne, 1987). Deteksi senyawa flavonoid
dilakukan dengan menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau
etanol sehingga tebentuknya warna hijau atau hitam kuat (Susanti, 2012).
2.5.3 Tanin
Tanin merupakan senyawa yang umum terdapat dalam tumbuhan
berpembuluh, memiliki gugus fenol, dengan rasa sepat dan memiliki zat
penyamak kulit. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer
mantap yang tak larut dalam air. Tanin dikelompokkan menjadi dua
golongan yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin
terkondensasi secara biosintesis terbentuk dengan cara kondensasi katekin
tunggal membentuk senyawa dimer dan membentuk oligomer yang lebih
tinggi. Sedangkan tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang akan
terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer (Harbone, 1987).
Deteksi senyawa tanin dengan cara pengendapan menggunakan pereaksi
besi (III) klorida, larutan gelatin 10%, campuran natrium klorida-gelatin,
dan timbal (II) asetat 25 % (Susanti, 2012).
2.5.4 Saponin
Saponin merupakan golongan senyawa aktif permukaan glikosida
triterpen yang dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air atau dalam
tumbuhan ditunjukan dengan pembentukan busa yang mantap sewaktu
mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak. Banyak saponin yang
mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum yaitu asam
glukuronat (Harborne, 1987). Identifikasi senyawa saponin dilakukan
dengan mengocok ekstrak dengan air hangat dalam tabung reaksi sehingga
timbul busa yang dapat bertahan lama, setelah penambahan asam klorida 2
N busa tidak hilang (Susanti, 2012).
2.5.5 Fenol
Fenol merupakan senyawa yang berasal dari tumbuhan yang
mengandung cincin aromatik dengan satu atau dua gugus hidroksil.
Senyawa ini cenderung mudah larut dalam air karena berikatan dengan gula
sebagai glikosida atau terdapat dalam vakuola sel tumbuhan (Harborne,
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1987). Senyawa fenol disintesis melalui jalur sikimat dan metabolisme fenil
propanoid (Apak, dkk., 2007).
2.5.6 Terpen
Terpen merupakan suatu senyawa yang terdiri dari isopren
CH2=C(CH3)-CH=CH2 dan meiliki kerangka karbon yang dibangun oleh
gabungan dua atau lebih satuan unit isopren ini. Terpenoid terdiri atas
berbagai macam senyawa seperti monoterpen dan seskuiterpen yang mudah
menguap, diterpen yang sukar menguap dan yang tidak menguap, triterpen,
dan sterol. Triterpenoid adalah senyawa tidak berwarna yang berbentuk
kristal, yang mempunyai titik leleh tinggi. Umumnya terpen larut dalam
lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan. Senyawa ini diekstraksi
menggunakan eter dan kloroform (Harborne, 1987). Identifikasi senyawa
terpen menggunakan reaksi Lieberman-Bouchardat (anhidrat asetat-asam
sulfat) sehingga menghasilkan warna hijau kehitaman sampai biru (Susanti,
2012).
2.5.7 Kuinon
Kuinon merupakan senyawa berwarna dan mempunyai gugus
kromofor dasar. Kuinon untuk tujuan identifikasi terbagi menjadi empat
kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan isoprenoid.
Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan memiliki siat senyawa
fenol serta terdapat dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida
atau dalam bentuk kuinon tanpa warna dan dapat juga dalam bentuk dimer,
sehingga diperlukan hidrolisis asam untuk dapat melepaskan kuinon
bebasnya. Sedangkan kuinon isoprenoid terlibat dalam proses respirasi sel
dan fotosintesis yang memerlukan cara khusus untuk memisahkannya.
Umumnya senyawa kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan
terdeteksi dalam tumbuhan bersamaan dengan senyawa karotenoid dan
klorofil (Harborne, 1987).
2.6 Gel
Gel adalah suatu sediaan semipadat yang jernih, yang dapat di tembus
cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid mempunyai
kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan pada fase
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terdispersi (Ansel, 1989). Gel membentuk sistem satu fasa dimana
makromolekul disebarkan ke seluruh cairan sampai tidak terlihat ada batas
di antaranya (Ansel, Howard C., 2011).
Sistem dispersi gel merupakan sistem koloid, yang terbagi menjadi gel
sistem fasa tunggal dan gel sistem fasa rangkap. Suatu gel digolongkan
sebagai sistem dua fasa apabila massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil
yang terpisah. Pada sistem dua fasa, ukuran partikel dari fase terdispersi
relatif besar, sehingga massa gel terkadang disebut sebagai magma.
Sedangkan gel fasa tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar
rata dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan
antara molekul makro yang terdispersi dalam cairan. Gel fasa tunggal dapat
dibuat dari suatu makromolekul sintetik atau dari gom alam. Gel dapat
digunakan sebagai obat yang diberikan secara topikal pada kulit atau
dimasukkan ke dalam lubang tubuh (Depkes, 1995).
Struktur yang kaku yang dihasilkan dari pembentukan gel disebabkan
terbentuknya jaringan tiga dimensi melalui penjeratan medium pendispersi
oleh fase terdispersi. Perubahan suatu menjadi bentuk sol atau bentuk
cairnya dapat terjadi dengan adanya perubahan temperatur. Disamping itu,
adanya pengocokan juga dapat mempengaruhi bentuk gel menjadi bentuk
yang mudah mengalir atau memadat kembali setelah dibiarkan untuk
beberapa waktu (Ansel, Giward, 1989). Berdasarkan sifat pelarutnya, gel
terbagi menjadi organel gel (pelarut bukan air/pelarut organik), hidrogel
(pelarut air), xerogel dan gel yang dengan konsentrasi pelarut yang rendah
telah membentuk massa padat. Contoh: gelatin kering (Lachman, 1993).
Berikut beberapa sifat gel yang utama, antara lain:
a. Hidrasi
Gel non-elastis yang terdehidrasi tidak dapat diubah kembali ke bentuk
awalnya, tetapi sebaliknya, gel yang elastis yang terdehidrasi dapat
diubah kembali menjadi gel elastis dengan menambahkan zat cair
(Nurdiani, dkk., 2011).
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Menggembung (swelling)
Gel elastis yang terdehidrasi sebagian akan menyerap air jika dicelupkan
ke dalam zat cair. Sehingga volume gel akan bertambah dan
menggembung (Nurdiani, dkk., 2011).
c. Sineresis
Gel organik akan mengerut jika dibiarkan dan tambahkan penetesan
pelarut, proses ini disebut sineresis (Nurdiani, dkk., 2011).
Kelebihan bentuk gel dibandingkan dengan sediaan lainnya antara lain
bentuk gel tidak lengket, gel memiliki aliran tiksotropik dan pseudoplastik,
dimana gel berbentuk padat apabila disimpan dan akan segera mencair
apabila dikocok, konsentrasi bahan pembentuk gel hanya sedikit yang
dibutuhkan untuk membentuk massa gel yang baik, viskositas gel tidak
mengalami perubahan yang berarti pada suhu penyimpanan (Lieberman,
1989).
2.7 Gel semprot (Spray Gel)
Menurut Holland, Troy, dkk., (2002), gel semprot berdasarkan pada
dua istilah, yaitu istilah “gel atau hidrogel” yang merupakan suatu sistem
berbasis fase berair dengan setidaknya 10% sampai 90% dari berat sediaan,
dan istilah “spray atau semprot” merupakan suatu komposisi yang
dikabutkan, yang terdiri dalam bentuk tetesan cairan berukuran kecil atau
besar yang diterapkan menggunakan aplikator, seperti aerosol atau pompa
semprot.
Selama ini bentuk sediaan semprot yang telah banyak diketahui yaitu
seperti sediaan aerosol yang menggunakan hidrokarbon fluorida (seperti
Freon) sebagai propelan, kemudian menggunakan alat yang dioperasikan
sehingga menyemprotkan larutan berisi zat aktif tertentu. Namun,
penggunaan propelan dalam aerosol memiliki kekurangan, dimana
penghantaran obat ke kulit tidak maksimal karena sifat lekatnya dan zat
aktif obat yang larut dalam lemak belum dapat digunakan dalam bentuk
sediaan aerosol, serta penggunaan propelan dapat menghasilkan dampak
negatif terhadap lapisan ozon. Sedangkan, suatu sediaan semprot bukan
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
aerosol yang tidak menggunakan propelan didalamnya juga memiliki
beberapa kekurangan yaitu menyebabkan sifat lekat yang berlebihan pada
kulit dan pada saat penggunaan dapat menimbulkan rasa tidak nyaman
karena ketika disemprotkan, larutan yang berisi zat aktif akan menetes atau
tidak menetap di tempat penyemprotan. Sehingga untuk mengatasi
kekurangan dari bentuk sediaan aerosol maupun sediaan semprot lainnya
seperti yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dibuat suatu sediaan gel
semprot yang mengandung komposisi bahan peningkat viskositas larutan
dan tanpa penggunaan propelan yang berbahaya (Kamishita, dkk., 1992).
Bentuk sediaan gel semprot (spray gel) dapat menjadi pilihan sebagai
bentuk pengembangan sediaan farmasi terutama bentuk sediaan topikal
untuk penggunaan pada kulit, dimana bentuk sediaan gel semprot ini
memiliki kelebihan diantaranya lebih aman karena tingkat kontaminasi
mikroorganisme lebih rendah, waktu kontak obat yang relatif lebih lama
dibanding sediaan lainnya dan lebih praktis dalam penggunaannya (Shafira,
dkk., 2015). dan juga dapat meminimalisir limbah, serta mengurangi trauma
pasien. Hal ini yang menyebabkan sediaan topikal dengan teknik semprot
lebih disukai dibandingkan salep atau gel, dengan cara pengolesan, terutama
untuk luka di kulit (Jáuregui, dkk., 2009).
Formulasi sediaan gel semprot dapat mengandung obat yang larut
maupun tidak larut dalam air. Dalam memformulasikan gel semprot yang
terdapat obat yang tidak larut dalam air, dengan cara mendispersikan zat
aktif terlebih dahulu dalam pelarut organik atau pelarut yang dapat
melarutkan zat aktif tersebut, namun pelarut organik yang digunakan harus
dapat larut dalam air (water-soluble organic solvent), seperti surfaktan,
alkohol dengan rumus molekul rendah (misal etanol dan isopropanol), dan
golongan glikol (propilen glikol, 1-2 butilen glikol, polietilen glikol dengan
berat molekul 300-500) (Kamishita, dkk., 1992).
Teknik penyemprotan secara mekanik dapat menyebabkan penurunan
viskositas dari formulasi sediaan yang menimbulkan keadaan stress atau
dibawah tekanan. Setelah sediaan selesai disemprotkan, konsistensi sediaan
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kembali ke bentuk semula karena keadaan kembali bebas dari stress atau
tekanan (Porzio, dkk., 1998).
Pemilihan polimer dan plasticizer dalam formulasi gel semprot
merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan formulasi
sehingga menghasilkan film yang kontinu, elastis, mudah kering dan tidak
lengket (Shafira, dkk., 2015). Selain itu, vikositas juga merupakan hal
penting pada formulasi sediaan spray gel. Viskositas yang dimiliki oleh
sediaan ini harus cukup rendah agar dapat disemprotkan menggunakan
aplikator semprot (Holland, Troy, dkk., 2002). Beberapa polimer yang
digunakan sebagai basis gel semprot seperti hidroksipropil metil selulosa,
hidroksipropil selulosa, polivinil alkohol, polivinilpirolidon, gelatin, natrium
alginat, hingga karbopol. Namun, sediaan gel semprot yang dihasilkan dari
polimer karbopol belum optimal ketika disemprotkan karena viskositas yang
dimiliki tinggi, yaitu berada pada kisaran 1000 hingga 11000 cPs
(Kamishita, dkk., 1992; Suyudi, 2014). Menurut Kamishita, dkk., (1992),
viskositas untuk basis gel semprot berkisar dari 500-5000 cPs, dimana
distribusi ukuran partikel sediaan gel semprot ketika disemprotkan adalah
lebih dari 80% serta mempunyai daya sebar yang bagus.
Penggunaan gel semprot ekstrak etanol paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr. ini berkhasiat untuk digunakan dalam sistem penghantaran
obat sediaan topikal sebagai antioksidan dan anti inflamasi sehingga juga
berpotensi digunakan dalam sediaan untuk mempercepat proses
penyembuhan luka bakar (Hamalainen, dkk., 2007).
2.8 Stabilitas
Stabilitas sediaan farmasi merupakan kemampuan suatu
produk/sediaan untuk bertahan dalam batas yang ditetapkan selama periode
penyimpanan dan penggunaan, sifat, dan karakteristiknya sama dengan yang
dimilikinya pada saat dibuat (Vadas, 2010).
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas produk
farmasi, seperti stabilitas dari bahan aktif, interaksi antara bahan aktif
dengan bahan tambahan, proses pembuatan, proses pengemasan, serta
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kondisi lingkungan selama pengangkutan produk, penyimpanan,
penanganan, dan jangka waktu produk antara pembuatan hingga pemakaian.
Faktor lingkungan seperti temperatur, radiasi, cahaya, dan udara (khususnya
oksigen, karbon dioksida, dan uap air) juga mempengaruhi stabilitas.
Demikian juga faktor formulasi seperti ukuran partikel, pH, sifat dari air dan
sifat pelarutnya yang dapat mempengaruhi stabilitas produk farmasi (Vadas,
2010; USP, 1990).
Ketidakstabilan produk obat dapat menyebabkan penurunan hingga
hilangnya khasiat, obat dapat berubah menjadi toksis, atau terjadi perubahan
penampilan dari sediaan farmasi (warna, bau, rasa, konsistensi, dan lain-
lain) sehingga dapat merugikan pengguna. Ketidakstabilan suatu sediaan
farmasi dapat dideteksi melalui perubahan fisika, kimia serta penampilan
dari suatu sediaan farmasi. Kisaran perubahan kimia yang terjadi ditentukan
dari laju penguraian obat melalui hubungan antara kadar obat dengan waktu,
atau berdasarkan derajat degradasi suatu obat yang jika dilihat dari segi
kimia, stabilitas obat dapat diketahui dari ada atau tidaknya penurunan kadar
selama penyimpanan (Lachman dkk, 1986; Ansel, 1989).
Selain perubahan kimia, perlu juga menentukan perubahan suatu
sediaan secara fisika. Faktor-faktor fisika seperti panas, cahaya, dan
kelembaban, mungkin akan menyebabkan atau mempercepat reaksi kimia.
Stabilitas fisika merupakan evaluasi perubahan sifat fisika dari suatu produk
yang tergantung waktu (periode penyimpanan). Evaluasi dari uji stabilitas
fisika meliputi pemeriksaan organoleptis, homogenitas, pH, bobot jenis
(Vadas, 2010). Sedangkan stabilitas mikrobiologi adalah keadaan tetap
dimana suatu sediaan bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat
batas mikroorganisme hingga batas waktu tertentu. Ada berbagai macam zat
aktif obat, zat tambahan serta berbagai bentuk sediaan memiliki sifat
fisikokimia masing-masing dan umumnya rentan terhadap kontaminasi
mikroorganisme atau memang sudah mengandung mikroorganisme yang
dapat mempengaruhi mutu sediaan karena berpotensi menyebabkan
penyakit, efek yang tidak diharapkan pada terapi atau penggunaan obat dan
kosmetik. Sehingga stabilitas ini diperlukan untuk menjaga atau
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mempertahankan jumlah dan menekan pertumbuhan mikroorganisme yang
terdapat dalam sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu yang
diharapkan.
2.9 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Teknik pemisahan kromatografi didasarkan pada perbedaan distribusi
molekul-molekul komponen diantara dua fasa (fasa gerak dan fasa diam)
yang memiliki kepolaran berbeda. Apabila interaksi antara molekul-molekul
dengan fasa diam lemah maka komponen tersebut akan bergerak lebih cepat
meninggalkan fasa diam. Keberhasilan pemisahan kromatografi bergantung
pada daya interaksi komponen-komponen campuran dengan fasa diam dan
fasa gerak (Effendy, 2004).
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) adalah sistem pemisahan
yang memiliki kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh
kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi dan detektor
yang sangat sensitif dan beragam sehingga mampu menganalisis berbagai
analit baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dan dalam komponen
tunggal maupun campuran (Depkes, 1995).
Umumnya KCKT digunakan unuk pemisahan sejumlah senyawa
organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian
(impurities) dan analisis senyawa- senyawa yag tidak mudah menguap
(nonvolatile). Penggunaan KCKT seringkali untuk menetapkan kadar
senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat
dan protein-protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa aktif
obat dan lain-lain (Rohman, 2007).
2.9.1 Prinsip Kerja KCKT
Teknik pemisahan kromatografi dimana analit atau zat-zat terlarut
dapat terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan analit-analit
tersebut melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan analit diatur
melalui distribusi dalam fase gerak da fase diam. Aagar didapatkan hasil
analisis yang baik, diperlukan penggabungan secara tepat dari kondisi
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom,
kecepatan alir fase gerak, suhu kolom dan ukuran sampel (Rohman, 2007).
Pada prinsipnya fase gerak cair dialirkan dengan bantuan pompa
melalui kolom ke detektor. Cuplikan dimasukan ke dalam aliran fase gerak
dengan cara penyuntikkan. Di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-
komponen cairan. Adanya perbedaan kekuatan interaksi antara solut-solut
terhadap fasa diam, sehingga solut-solut yang kurang kuat interaksinya
dengan fase diam akan keluar dari kolom lebih dahulu dan sebaliknya.
Setiap komponen yang keluar dari kolom akan dideteksi oleh detektor
kemudian direkam dalam bentuk kromatogram. Jumlah kromatogram atau
peak menggambarkan jumlah komponen, sedangkan luas peak menyatakan
konsentrasi komponen dalam campuran (Lestari,Sri., 2014).
2.10 Studi Preformulasi Sediaan Gel Semprot
2.10.1 Karbopol
(Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009)
Gambar 2.2 Struktur karbopol
Karbopol atau karbomer merupakan serbuk berwarna putih, fluffy,
asam, bersifat higroskopis dengan sedikit memiliki bau yang khas. Karbopol
stabil dan dapat dipanaskan dibawah 104ºC selama sampai 2 jam tanpa
mempengaruhi efisiensinya sebagai thickening agent, tetapi paparan suhu
yang berlebih dapat menyebabkan perubahan warna dan menurunkan
stabilitasnya. Karbopol dapat mengembang dan stabil dalam air, gliserin,
setelah dinetralkan, dan dalam etanol 95%. Karbopol merupakan mikrogel
silang tiga dimensi sehingga bersifat tidak melarut tetapi mengembang.
Umumnya karbopol digunakan dalam sedian farmasi dalam bentuk cairan
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
maupun setengah padat sebagai agen pensuspensi atau peningkat viskositas,
seperti dalam sediaan krim, gel, salep dalam sediaan mata, rektal dan topikal
lainnya. Karbopol dapat digunakan sebagai material bioadesif, controlled-
release agent, agen pengemulsi, penstabil emulsi, agen modifikasi reologi,
zat penstabil, agen pensuspensi, dan bahan pengikat tablet. Konsentrasi
karbomer sebagai zat pengemulsi sebesar 0,1-0,5%, sebagai gelling agent
0,5-2,0%, zat pensuspensi sebesar 0,5-1,0%, sebagai bahan pengikat tablet
sebesar 0,75-3,0%, dan sebagai controlled release agent 4,0-30,0%. (Rowe,
R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009)
Karbopol adalah asam poliakrilik hidrofilik dan gugus karboksinya
menjadi mudah terionisasi setelah dinetralisasi, membentuk gel selama
reaksi elektrostatik di antara perubahan rantai polimer (Flory,1953 cit Lu
dan Jun, 1998). Karbopol bersifat asam lemah sehingga dinetralkan
menggunakan basa seperti amina organik sebagai agen penetral,
ketercampuran suatu polimer seperti karbopol dengan pelarut yang
digunakan bergantung pada formasi dari pasangan ion dengan amina (Islam,
Mohammad T, dkk., 2004). Adanya gaya tolak menolak antara gugus
karboksil yang terionisasi pada saat dinetralkan dengan basa, menyebabkan
ikatan hidrogen pada gugus karboksilnya menjadi meregang sehingga
terjadi peningkatan viskositas (Florence dan Attwood, 1998 dalam Tristiana,
Erawati., 2005)
(Jeon, Frau Im-Jak, 2007)
Gambar 2.3 Dispersi karbopol dalam air. (a) Struktur sebelum dinetralisasi
(b) Struktur setelah dinetralisasi
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Umumnya karbomer yang sering digunakan sebagai peningkat
viskositas dalan sediaan kosmetik dan toiletries adalah karbomer 941,
karbomer 934, dan karbomer 940 (Knowlton, John dan Steven Pearce,
1993). Karbopol 941 dan alternatif kosolvennya yaitu karbopol 981
mempunyai kemampuan untuk menstabilisasi suspensi dengan viskositas
rendah dan dapat membentuk gel yang bening. Karbopol 941 dan karbopol
981 menghasilkan sediaan dengan viskositas yang lebih tinggi daripada
karbopol 934 dan karbopol 940/980 pada konsentrasi 0,1% dalam sistem
cair dan konsentrasi 1,5% dalam sistem pelarut. Karbopol 934 sangat efektif
untuk meningkatkan viskositas suatu sediaan seperti, gel, emulsi, dan
suspensi. Sedangkan karbopol 940 dan alternatif kosolvennya yaitu
karbopol 980 dapat membentuk gel yang sangat jernih atau gel
hidroalkohol, dan juga merupakan thickener agent yang paling efisien dari
seluruh jenis karbopol, serta mempunyai sifat alir yang pendek (tidak
menetes) yang sesuai pada penggunaan dengan disemprot (Anonim, 2011).
2.10.2 Poloxamer
(Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009)
Gambar 2.4 Struktur poloxamer (a, gugus etilen oksida b, gugus propilen
oksida)
Poloxamer mempunyai sinonim seperti, lutrol, monolan, pluronic,
poloxalkol, polietilenpropilen glikol kopolimer, supronic, synperonic,
kolliphor P (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009). Poloxamer
umumnya berwarna putih, lilin, berbentuk granul yang mudah mengalir,
atau berbentuk padatan, tidak berbau dan tidak berasa. Poloxamer
merupakan kopolimer polioksietilen-polioksipropilen nonionik yang biasa
digunakan dalam sediaan farmasi sebagai zat pengemulsi dan solubilizing
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
agent. Poloxamer juga merupakan material yang stabil, termasuk di dalam
larutan berair dengan adanya asam, basa, dan ion metal, walaupun larutan
berair rentan ditumbuhi jamur. Disimpan dalam wadah tertutup rapat di
tempat dengan udara sejuk maupun kering. Penggunaan poloxamer dalam
sediaan farmasi seperti dalam salep, basis suppositoria, dan gel, juga sebagai
zat pembasah dan sebagai bahan pengikat dan salut dalam tablet.
Konsentrasi poloxamer sesuai dengan penggunaannya sebagai gelling agent
sebesar 15-50%, agen penyebaran 1%, zat penstabil 1-5%, dan sebagai zat
pembasah 0,01-5% (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2006).
Tabel 2.1 Tipe poloxamer
(Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009)
Berdasarkan BASF (2013), Penggunaan poloxamer 188 dan
poloxamer 237 sebagai agen pembasah, agen pengemulsi dan solubilizer.
Keduanya cocok dalam pembuatan sediaan dispersi padat, dan untuk
meningkatkan kelarutan, absorbsi dan bioavailabilitas zat yang kelarutannya
rendah dalam sediaan solid oral. Poloxamer 188 juga digunakan sebagai ko-
emulsifier dalam krim dan emulsi. Poloxamer 338 dan poloxamer 407 biasa
digunakan sebagai pembentuk gel dan thickening agent, tetapi juga
digunakan sebagai ko-emulsifier dan peningkat konsistensi dalam sediaan
krim dan emulsi cair. Poloxamer 407 sesuai dalam formulasi sediaan dengan
zat aktif yang mempunyai kelarutan rendah dan stabilitas rendah yang
diakibatkan dari netralisasi sediaan gel. Berdasarkan kemampuannya dalam
mempengaruhi viskositas, poloxamer 338 dan poloxamer 407 sesuai
digunakan sebagai stabilizer untuk sediaan suspensi topikal. Pada penelitian
ini digunakan poloxamer 407 sebagai bahan pembentuk gel dan pembentuk
film.
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Poloxamer 407 (Lutrol F 127) juga digunakan sebagai solubilizer pada
beberapa zat aktif. Sifatnya yang halus (non greasy), memungkinkan
poloxamer berfungsi sebagai pembentuk film/lapisan yang mudah dicuci
pada kulit. Poloxamer 407 mempunyai nilai HLB 18-23 dan pH 6-7,4 di
dalam 2,5% larutan berair (Nagariya, K, dkk., 2010).
Terdapat peningkatan stabilitas dari formulasi gel yang menggunakan
poloxamer dengan pelarut organik seperti, etanol, propilen glikol, gliserol,
dan PEG 400. Adanya poloxamer 407 dalam pelarut organik ini
menyebabkan terbentuknya dua struktur kristal cair yang disebut struktur
kubik misel dan struktur heksagonal yang secara termodinamik stabil.
Kisaran stabilitas fase gel yang terbentuk berbeda tergantung dari pelarut
organik yang digunakan (Devi, D.Ramya, dkk., 2013).
(Chavez, J.J Escobar, dkk., 2006)
Gambar 2.5 Fase miselar poloxamer dengan peningkatan suhu
(Devi, D.Ramya, dkk., 2013)
Gambar 2.6 Ilustrasi mekanisme miselar dari poloxamer
Polimer pluronic F-127 (Poloxamer 407) ini diproduksi dengan
kondensasi dari etilen oksida dan propilen oksida. PF-127 lebih larut dalam
air dingin daripada air panas, yang dapat meningkatkan solvasi dan
pengikatan hidrogen pada tempertur rendah. Larutan cair 20-30% w/w PF-
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
127 mempunyai karakteristik khusus berdasarkan pada gelasi termal,
misalnya ia berbentuk cair pada suhu rendah (4-5ºC), tetapi menjadi gel jika
dihangatkan pada suhu ruangan. Proses gelasi ini reversibel terhadap
pendinginan. PF-127 banyak disarankan dalam formulasi gel karena
potensinya sebagai sistem penghantaran obat topikal, dimana lebih mudah
diaplikasikan dan mempunyai karakteristik pelepasan obat, seperti dalam
formulasi sediaan topikal yang mengandung obat analgesik atau
antiinflamasi. Beberapa tahun sebelumnya dilaporkan PF-127 menarik
perhatian dalam desain sistem penghantaran dermal dan transdermal dengan
tujuan mempromosikan, meningkatkan atau memperlambat permeasi obat
melalui kulit (Chavez, J.J Escobar, dkk., 2006). Poloxamer 407 ini juga
dilaporkan menunjukkan karakteristik yang sesuai untuk penggunaan
sebagai penutup luka (burn dressing) (Patel, Hitesh R, dkk., 2009).
2.10.3 Trietanolamin (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009)
Gambar 2.7 Struktur Trietanolamin
Trietanolamin merupakan cairan kental jernih, tidak berwarna sampai
berwarna kuning pucat dengan sedikit berbau amoniak. Trietanolamin
digunakan sebagai agen pembasa dan agen pengemulsi. Terjadinya
perubahan warna menjadi kecoklatan jika terpapar udara dan cahaya.
Penyimpanan trietanolamin dalam wadah kedap udara, terlindung dari
cahaya, di tempat sejuk dan kering. Trietanolamin dapat bercampur dengan
air, metanol, karbon tetraklorida, aseton, dan dapat larut di dalam benzena
dengan perbandingan 1:20, etil eter dengan perbandingan 1:63 pada suhu
20ºC. Trietanolamin juga banyak digunakan dalam sediaan farmasi lainnya
antara lain sebagai buffer, pelarut, polymer plasticizer dan sebagai
humektan.
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.10.4 Propilen glikol (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009)
Gambar 2.8 Struktur Propilen glikol
Propilen glikol (C3H8O) dengan berat molekul 76,09 merupakan
cairan kental yang jernih, cairan yang praktis tidak berbau, dengan rasa
manis, dan memiliki rasa yang sedikit tajam menyerupai gliserin. Pada suhu
dingin, propilen glikol stabil dalam wadah tertutup rapat, tetapi pada suhu
yang tinggi, keadaan terbuka, akan cenderung teroksidasi. Secara kimia
stabil jika dicampur dengan etanol 95%, gliserin, atau air. Propilen glikol
bersifat higroskopis dan seharusnya disimpan dalam wadah tertutup rapat,
terlindung dari cahaya, disimpan ditempat sejuk atau kering. Tidak
kompatibel dengan reagen pengoksidasi seperti kalium permanganat.
Propilenglikol biasa digunakan sebagai pengawet antimikroba, desinfektan,
humektan, plasticizer, pelarut, dan zat penstabil. Sebagai humektan,
konsentrasi propilenglikol yang biasa digunakan adalah 15%, sedangkan
sebagai pelarut atau kosolven pada sediaan topikal konsentrasi yang dapat
digunakan adalah 5-80%. Viskositas dari propilen glikol yaitu 58,1 cPs.
Propilen glikol larut dalam aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin, dan
air; larut pada 1 pada 6 bagian eter, tidak larut dengan minyak mineral,
tetapi dapat melarutkan beberapa minyak esensial.
2.10.5 Etanol (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009)
Gambar 2.9 Struktur Etanol
Etanol atau Alkohol (C2H6O) dengan berat molekul sebesar 46,07
merupakan cairan bening, tidak berwarna, mudah mengalir, dan sedikit
mudah menguap, memiliki bau yang khas dan rasa terbakar. Etanol dapat
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bercampur dengan kloroform, eter, gliserin, dan air (dengan kenaikan suhu
dan kontraksi volume). Penggunaan etanol dalam formulasi sediaan farmasi
dengan berbagai konsentrasi telah secara luas digunakan, salah satunya
sebagai pelarut dalam produk kosmetik. Selain itu, etanol juga dapat
digunakan sebagai disinfektan dan dalam bentuk larutan sebagai pengawet
antimikroba. Larutan etanol topikal digunakan dalam pembuatan sistem
penghantaran transdermal sebagai peningkat permeasi. Penyimpanan dalam
wadah kedap udara ditempat sejuk. Pada kondisi asam, larutan etanol dapat
bereaksi dengan material pengoksidasi. Pencampuran dengan alkali dapat
menyebabkan penggelapan warna karena reaksi dengan sejumlah residu
aldehid.
2.10.6 Metil Paraben
(Rowe, dkk., 2009)
Gambar 2.10 Struktur metil paraben
Metil paraben (C8H8O3) atau dengan nama lain nipagin dan nama
kimia metil-4-hidroksibenzoat memiliki berat molekul sebesar 152,15,
berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk kristal berwarna putih, tidak
berbau dan memiliki rasa sedikit terbakar. Metil paraben umumnya
digunakan sebagai bahan pengawet antimikroba di dalam kosmetik, produk
makanan, dan formulasi sediaan farmasi lainya. Biasa digunakan dalam
bentuk tunggal ataupun kombinasi dengan paraben lain atau bahan
pengawet lainnya. Golongan paraben ini efektif pada kisaran pH yang luas,
yaitu pada pH 4-8 dan mempunyai aktivitas antimikroba spektrum luas.
Efikasi nya menurun seiring peningkatan pH, karena adanya pembentukan
anion fenolat. Lebih aktif terhadap jamur dan kapang daripada terhadap
bakteri. Aktivitas antimikroba dari metil paraben ini menurun dengan
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
adanya surfaktan nonionik, seperti polisorbat 80, sehingga membentuk
misel. Akan tetapi dengan adanya propilen glikol berpotensi untuk
menunjang aktivitas antimikroba dari nipagin dan mencegah terjadinya
interaksi dengan adanya surfaktan nonionik. Metil paraben larut dalam dua
bagian etanol, dalam tiga bagian etanol (95%) dan dalam 5 bagian propilen
glikol (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009).
2.10.7 Propil Paraben
(Rowe, dkk., 2009)
Gambar 2.11 Struktur Propil Paraben
Propil paraben (C10H12O3) nipasol memiliki nama kimia propil 4-
hidroksibenzoat memiliki berat molekul sebesar 180,20 berbentuk serbuk
kristal berwarna putih, tidak berbau, dan tidak berasa. Propil paraben
umumnya digunakan sebagai bahan pengawet antimikroba di dalam
kosmetik, produk makanan, dan formulasi sediaan farmasi lainya. Biasa
digunakan dalam bentuk tunggal ataupun kombinasi dengan paraben lain
atau bahan pengawet lainnya. Golongan paraben ini efektif pada kisaran pH
yang luas, yaitu pada pH 4-8 dan mempunyai aktivitas antimikroba
spektrum luas. Efikasi nya menurun seiring peningkatan pH, karena adanya
pembentukan anion fenolat. Lebih aktif terhadap jamur dan kapang daripada
terhadap bakteri. Paling sering digunakan dalam sediaan kosmetik.
Kombinasi propil paraben (0,02% b/v) bersama dengan metil paraben
(0,18% b/v) sudah banyak digunakan sebagai bahan pengawet. Aktivitas
antimikroba propil paraben menurun dengan adanya surfaktan nonionik
karena terjadinya pembentukan misel. Larutan propil paraben pada pH 3-6
stabil (kurang dari 10% dekomposisi) selama 4 tahun pada penyimpanan
suhu ruang (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009).
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.10.8 Vitamin E
(Rowe, dkk., 2009)
Gambar 2.12 Struktur Vitamin E
Vitamin E atau Alfa tokoferol (C29H50O2) memiliki berat molekul
sebesar 430,72 merupakan produk alami berupa cairan kental berminyak
bening, tidak berwarna atau coklat kekuningan. Alfa tokoferol merupakan
sumber vitamin E yang memiliki efek antioksidan, komponen lipofilik
yang tinggi dan dapat berfungsi sebagai pelarut untuk obat yang memiliki
kelarutan yang rendah. Biasa digunakan pada kisaran konsentrasi sebesar
0,001-0,05% v/v. Memiliki titik didih sebesar 235ºC dan profil kelarutan
yaitu, praktis tidak larut dalam air, mudah larut dalam aseton, etanol, eter,
dan minyak sayur. Tokoferol teroksidasi perlahan oleh oksigen atmosfer.
Tokoferol tidak kompatibel dengan adanya peroksida dan ion logam,
terutama besi, baja, dan perak, serta tokoferol dapat terabsorbsi dalam
plastik (Rowe, R.C., Paul, J.S., dan Marian, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bertempat di Laboratorium Penelitian I,
Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia,
Laboratorium Formulasi Sediaan Padat dan Laboratorium Biologi,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, pada bulan Februari 2016 hingga Juli 2016.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : blender
(Philip), timbangan analitik (AND GH-202), seperangkat alat vaccum
rotary evaporator (Eyela), alummuium foil, kertas saring, kapas, pH
meter (Horiba F-52), viskometer (Haake), oven (Eyela NDO-400),
refrigerator (Sanyo Medicool), centrifuge 5417R (Eppendorf),
homogenizer (IKA RW 20 digital), dry vacuum pump/ compressor
(Welch), kromatografi cair kinerja tinggi (Dionex LC-10 ATVP),
spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu), object glass (Ground edges),
syringe filter (Sartorius), waterbath sonicator (Bransonic), botol semprot,
wadah kaca, plastik mika, kertas berlabel, dan alat-alat gelas yang biasa
digunakan di laboratorium seperti, gelas kimia, gelas ukur, labu ukur,
corong, kaca arloji, spatula, sudip, batang pengaduk, pipet tetes.
3.2.2 Bahan
a. Sampel Tumbuhan
Sampel tumbuhan yang digunakan adalah bagian batang dan daun
paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang diperoleh dari Balitro
Bogor pada bulan Desember 2015, yang selanjutnya dideterminasi di
Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor. Pelarut yang
digunakan adalah etanol 70%.
29
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Bahan
Bahan yang digunakan adalah karbopol 940, poloxamer 407
(BASF), propilenglikol, trietanolamin, metil paraben, propil paraben,
vitamin E, aquadest, dan etanol 96% (Teknis).
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Determinasi Tumbuhan Paku (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr)
Untuk memastikan kebenaran simplisia yang digunakan dalam
penelitian ini, maka dilakukan determinasi di Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor.
3.3.2 Penyiapan Simplisia Paku (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr)
Bahan yang digunakan sebagai simplisia dalam penelitian ini
adalah batang dan daun Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. yang
diperoleh dari Balitro, Bogor. Sampel batang dan daun Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr. sebanyak 3 kg, disortasi basah dan dilakukan
pencucian dengan menggunakan air mengalir hingga bersih. Selanjutnya
sampel dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan dihindarkan dari
cahaya matahari, pengeringan dilakukan hingga sampel benar-benar
kering. Sampel yang telah kering, disortasi kering kemudian dihaluskan
dengan blender hingga menjadi serbuk, serbuk simplisia yang didapat
sebanyak 736,55 gram, kemudian disimpan dalam wadah tertutup rapat
dan terhindar dari cahaya matahari.
3.3.3 Pembuatan Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku (EETP) (Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr)
Prosedur ekstraksi menggunakan metode ekstraksi cara dingin
dengan teknik maserasi. Pelarut yang digunakan adalah etanol 70%.
Serbuk simplisia sebanyak 736,55 gram dimasukkan ke dalam wadah
gelap sehingga terhindar dari cahaya matahari. Selanjutnya diekstraksi
dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70% (polar)
sebanyak 5 L sampai serbuk terendam oleh pelarut, proses maserasi
tumbuhan dibagi dalam 3 botol maserasi gelap. Penggantian pelarut
etanol 70% dilakukan selama 1-3 hari, dengan sesekali pengadukan atau
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan cara wadah digoyang-goyangkan. Setelah proses ekstraksi
selesai, kemudian filtrat disaring dengan menggunakan kapas dan kertas
saring. Lalu dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator hingga
diperoleh ekstrak kental sebanyak 58,75 gram. Kemudian ekstrak yang
diperoleh dihitung persentase kadar ekstrak dan persentase kadar air.
- Penetapan kadar ekstrak/ rendemen ekstrak
- Penetapan Kadar Air (Metode Gravimetri) (Depkes, 2000)
Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang dalam wadah yang telah ditara.
Kemudian dikeringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam di dalam oven
dan setelah itu ditimbang kembali. Kadar air dihitung dalam persen
terhadap berat sampel awal.
Ket : A = Bobot sampel sebelum dipanaskan (g)
B = Bobot sampel setelah dipanaskan (g)
(Selawa, W., 2013)
3.3.4 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum EETP
Penentuan panjang gelombang maksimum ekstrak daun paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. dilakukan dengan metode
spektrofotometer UV-Vis. Dispersikan ekstrak sebanyak 50 mg dalam 50
mL metanol (1000 ppm), Kemudian diencerkan hingga didapatkan
konsentrasi 200 ppm. Panjang gelombang maksimum didapatkan dari
hasil absorbansi yang memberikan puncak maksimum (Abdalrahim F. A.
Aisha, 2013).
3.3.5 Pemeriksaan Profil Kromatogram EETP Menggunakan KCKT
a. Pembuatan Larutan Sampel
Ekstrak etanol daun paku (Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.)
dibuat larutan induk konsentrasi 2500 ppm. 25 mg ekstrak etanol daun
% kadar ekstrak =
% Kadar Air =
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
paku didispersikan dalam metanol HPLC grade hingga garis batas 10 mL
pada labu ukur. Kemudian dilakukan penyaringan menggunakan syringe
dengan mikrofilter.
b. Analisis Menggunakan KCKT
Sampel yang telah disiapkan di suntikkan ke dalam alat KCKT
sebanyak 20 µL, dengan metode elusi isokratik menggunakan fase gerak
metanol, laju alir 1 mL/menit dan diamati pada panjang gelombang 286,5
nm.
3.3.6 Pembuatan Sediaan Gel Semprot EETP
Tabel 3.1 Tabel Formulasi Gel Semprot EETP
Bahan Formula
Komposisi (%) 1 2 3
Ekstrak Nephrolepis falcata 0,25 0,25 0,25
Karbopol 940 0,20 0,30 0,40
Poloxamer 407 0,30 0,30 0,30
Propilen glikol 0,35 0,35 0,35
TEA 0,20 0,30 0,40
Metil paraben 0,18 0,18 0,18
Propil paraben 0,02 0,02 0,02
Vitamin E 0,02 0,02 0,02
Etanol 96% 20,00 20,00 20,00
Ad Aquadest 100,00 100,00 100,00
(Sumber : Shafira, dkk., 2015)
Cara pembuatan :
a. Karbopol didispersikan dalam aquadest, kemudian diaduk hingga
terdispersi seluruhnya dan ditambahkan TEA, diaduk sehingga
membentuk gel yang bening (M1).
b. Poloxamer didispersikan dalam aquadest, kemudian diaduk hingga
terdispersi seluruhnya (M2).
c. Ekstrak didispersikan dalam etanol 96%, lalu aduk hingga terdispersi
seluruhnya (M3).
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Metilparaben dan Propilparaben didispersikan dalan etanol 96% (M4)
e. Masukan M2 ke dalam M1, lalu aduk menggunakan homogenizer
f. Tambahkan M3 dan M4 kedalamnya, tambahkan propilenglikol dan
vitamin E, lalu campuran didispersikan menggunakan homogenizer
hingga terdispersi seluruhnya
g. Sediaan yang telah homogen, kemudian ditambahkan dengan sisa
aquadest yang sudah ditimbang sediaan mencapai bobot yang sudah
ditentukan sebelumnya.
h. Gel semprot yang dihasilkan kemudian ditempatkan dalam wadah yang
tertutup rapat dan disimpan pada suhu ruang selama 21 hari untuk
evaluasi sifat fisik dan uji stabilitas komponen kimianya.
3.3.7 Evaluasi Fisik Gel Semprot EETP Selama Penyimpanan
3.3.7.1 Pemeriksaan Organoleptik
Pemeriksaan organoleptik dilakukan dengan cara mengamati
tampilan fisik dari sediaan, meliputi bentuk, warna, dan bau pada hari ke
0, 7, 14, dan 21 pada suhu ruang (Depkes RI, 1995).
3.3.7.2 Pemeriksaan Homogenitas
Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan mengoleskan sediaan
pada preparat kaca, lalu diratakan dengan menempelkan preparat kaca
yang lain, kemudian diamati. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada
atau tidaknya partikel yang belum tercampur secara homogen.
Pemeriksaan homogenitas dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, dan 21
(Depkes RI, 1995).
3.3.7.3 Pengukuran pH
Sediaan diukur pH nya menggunakan pH meter yang telah
dikalibrasi. Pengukuran pH dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, dan 21
(Depkes RI, 1995).
3.3.7.4 Pengukuran Viskositas
Sediaan disiapkan dalam gelas beker 100 ml, kemudian dilakukan
pemilihan spindel yang sesuai pada masing-masing formula, lalu
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kecepatan 30 rpm disetel dan dicelupkan ke dalam sediaan sampai alat
menunjukkan nilai viskositas sediaan. Nilai viskositas (cPs) yang
ditunjukkan pada alat viskometer Haake merupakan nilai viskositas
sediaan (Septiani, dkk., 2011). Pengukuran viskositas dilakukan pada
hari ke 0, 7, 14, dan 21 (Depkes RI, 1995).
3.3.7.5 Pemeriksaan Pola Penyemprotan dan Bobot per Semprot
Sediaan gel semprot disemprotkan dari botol dengan jarak 3, 5, 10,
dan 15 cm pada selembar plastik mika. Pengujian dilakukan sebanyak
tiga kali dan diamati pola pembentukan semprotan, diameter dari pola
semprot yang terbentuk dan bobot per semprotan (Sukhbir, Kaur, dkk.,
2013).
3.3.7.6 Pemeriksaan Daya Sebar Lekat
Sediaan disemprotkan sebanyak satu kali ke kulit bagian lengan
atas dari jarak 3 cm. Setelah disemprotkan, kemudian dihitung selama 10
detik untuk melihat apakah sediaan menempel atau tetesan dari hasil
semprotan menetes ke bawah (Suyudi, 2014).
3.3.7.7 Uji Sentrifugasi
Sediaan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf, kemudian
dimasukkan ke dalam alat sentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm
selama 30 menit. Setelah dilakukan sentrifugasi, diamati kondisi fisik
sediaan, seperti apakah terjadi sineresis sesudah pengujian (Budiman,
2012).
3.3.7.8 Cycling Test
Sediaan disimpan pada suhu (4 ± 2ºC) selama 48 jam dan
dilanjutkan dengan menyimpan sediaan pada suhu (40 ± 2ºC) selama 48
jam (1 siklus). Pengujian dilakukan sebanyak 3 siklus dan diamati
terjadinya perubahan fisik dari sediaan pada awal dan akhir pengujian
yang meliputi organoleptik, homogenitas, viskositas dan pH
(Djajadisastra, dkk., 2009).
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3.8 Pemeriksaan Pola Kromatogram EETP dalam Sediaan Gel Semprot
Selama Penyimpanan
3.3.8.1 Pembuatan Larutan Sampel
Sediaan gel semprot yang mengandung ekstrak etanol tumbuhan
paku ditimbang sebanyak 1 gr, kemudian dicampurkan dalam metanol
hingga 10 ml. Kemudian dilakukan penyaringan menggunakan syringe
dengan mikrofilter.
3.3.8.2 Analisis EETP dalam Gel Semprot
Sampel yang telah disiapkan kemudian dianalisis sebelum dan
setelah penyimpanan. Analisis dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, dan 21.
Kestabilan dilihat berdasarkan pola kromatogram dari gel semprot yang
mengandung ekstrak etanol daun paku selama penyimpanan pada suhu
ruang (27-28ºC), berdasarkan persen area dari beberapa komponen
senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak.
Sampel disuntikkan ke dalam alat KCKT sebanyak 20 µL,
menggunakan fase gerak metanol, laju alir 1 mL/menit dan diamati pada
panjang gelombang 286,5 nm. Diperoleh pola kromatogram yang muncul
pada waktu retensi tertentu.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ekstraksi Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
Tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang diperoleh
dari Balitro, Bogor, pada bulan Desember 2015, kemudian dilakukan
determinasi di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya-LIPI, Bogor.
Determinasi dilakukan bertujuan untuk mengetahui kebenaran asal dari
simplisia yang digunakan dalam penelitian sebelum dilakukan penelitian.
Hasil determinasi yang diperoleh menunjukkan bahwa daun tersebut adalah
benar tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. (Lampiran 10).
Setelah mendapatkan hasil determinasi, dilakukan preparasi sampel
batang dan daun paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr sebanyak 3 kg
disortasi basah dan dilakukan pencucian menggunakan air mengalir hingga
bersih agar terpisah dari kotoran serta kontaminan lainnya. Selanjutnya
sampel dikeringkan dengan cara diangin-anginkan serta dihindarkan dari
cahaya matahari, hal ini bertujuan untuk meminimalisir pemanasan yang
dapat merusak komponen senyawa yang terkandung di dalamnya. Sampel
yang telah kering, disortasi kering kemudian dihaluskan menggunakan
blender hingga berbentuk serbuk kering. Adapun tujuan dilakukan
penghalusan adalah untuk memperkecil ukuran partikel sampel batang dan
daun sehingga meningkatkan luas permukaan daun yang kontak dengan
pelarut yang digunakan, hal ini dapat memaksimalkan saat proses ekstraksi.
Selanjutnya dilakukan proses pembuatan ekstrak dengan
menggunakan metode ekstraksi cara dingin, yaitu metode maserasi. Metode
maserasi ini cocok digunakan dalam mengekstraksi senyawa termolabil
serta pemilihan metode ini agar meminimalisir pemanasan terhadap
senyawa Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang tidak tahan terhadap panas
(Tiwari, dkk., 2011).
Serbuk simplisia yang dimaserasi sebanyak 736,55 gram
menggunakan pelarut etanol 70%, yang merupakan pelarut polar. Dimana
36
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ekstrak methanol (polar) paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
dibandingkan dengan pelarut yang non polar dan semi polar, memiliki nilai
persentase inhibisi tertinggi dari hasil aktivitas antiinflamasi sebagai
antidenaturasi protein yang bermakna sehingga berpotensi sebagai obat
antiinflamasi (Ni’mah, M., 2014). Hasil ekstraksi diperoleh ekstrak kental
berwarna hijau kehitaman dengan bau khas lemah. Warna hijau yang
dihasilkan ekstrak berasal dari warna simplisia daun yang juga berwarna
hijau.
Gambar 4.1 Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
Tabel 4.1 Hasil Rendemen dan Kadar Air Ekstrak Etanol Tumbuhan Paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
Bobot Awal Bobot Akhir Perolehan
Rendemen 736,55 g (simplisia) 58,75 g (simplisia) 7,97 %
Kadar Air 36,10 g 33,77 g 6,45 %
Dari perhitungan hasil rendemen ekstrak dari 736,55 gram serbuk
tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr yang diekstraksi
diperoleh 58,75 gram (7,97 %) ekstrak etanol. Menurut Komala, dkk.,
(2015), Hasil penapisan ekstrak metanol paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr positif mengandung saponin, fenol, tanin, dan flavonoid. Berdasarkan
hasil penentuan kadar air ekstrak etanol paku Nephrolepis falcata (Cav.) C.
Chr diketahui mengandung persentase kadar air sebesar 6,45 %. Hal ini
memenuhi persyaratan dari buku Materia Medika Indonesia yaitu tidak lebih
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dari 10%. Kadar air yang melebihi persyaratan memungkinkan terjadinya
pertumbuhan jamur (Depkes, 1986).
4.2 Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum EETP
Panjang gelombang maksimum adalah pengukuran panjang
gelombang dengan absorbansi maksimum. Hal ini ditujukan untuk
mendapatkan nilai absorbvisitas yang memberikan sensitivitas pengukuran
tertinggi. Hasil pengukuran panjang gelombang maksimum dari ekstrak
etanol paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr ditunjukkan pada Gambar 4.2
, dimana absorbansi maksimum ekstrak tercapai pada panjang gelombang
286,5 nm. Panjang gelombang maksimum 286,5 nm digunakan untuk
pengukuran selanjutnya.
Gambar 4.2 Panjang Gelombang Maksimum EETP
4.3 Hasil Pemeriksaan Profil Kromatogram EETP Menggunakan KCKT
Pemeriksaan profil kromatogram ekstrak etanol tumbuhan paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr menggunakan kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT) bertujuan untuk melihat profil kromatogram dari komponen
kimia senyawa yang terkandung di dalam ekstrak. Analisis dengan metode
elusi isokratik menggunakan fase gerak metanol, laju alir 1 mL/menit dan
diamati pada panjang gelombang 286,5 nm.
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil interpretasi KCKT yang didapatkan menunjukkan bahwa pola
kromatogram dari ekstrak muncul pada puncaknya pada waktu retensi ke-
1,663 menit, yang juga muncul pada waktu retensi ke- 4,407 menit. Dimana
dengan luas area pada puncaknya sebesar 56,891 , lalu diikuti peak lainnya
yang hanya sebesar 1,854 yang terbaca pada panjang gelombang 286,5 nm
tersebut. Hasil kromatogram ekstrak etanol paku Nephrolepis falcata (Cav.)
C. Chr dapat dilihat pada Gambar 4.4.
Gambar 4.3 Pola kromatogram blanko (tanpa ekstrak)
Gambar 4.4 Profil Kromatogram EETP Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dari pola kromatogram diatas dibandingkan antara pola kromatogram
dari blanko (metanol) (Gambar 4.3) dengan pola kromatogram ekstrak, pada
pola kromatogram blanko tidak terlihat adanya peak, hanya saja terdapat
pengotor. Berdasarkan hal ini dapat terlihat bahwa ekstrak memang
mengandung komponen senyawa kimia tertentu. Hasil kromatogram dari
ekstrak digunakan untuk tahap selanjutnya dimana melihat stabilitas ekstrak
secara kimia di dalam sedian gel semprot berdasarkan pola
kromatogramnya.
4.4 Pembuatan Sediaan Gel Semprot EETP
Dalam penelitian ini dilakukan formulasi sediaan gel yang dapat
disemprotkan yang stabil dengan adanya komponen ekstrak etanol paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr sebagai zat aktif sediaan. Adapun
komponen yang digunakan adalah karbopol 940 sebagai pembentuk gel,
poloxamer 407 sebagai pembentuk film, trietanolamin sebagai pembasa,
propilen glikol sebagai plastisizer, metil dan propil paraben sebagai
pengawet, etanol sebagai pelarut dan agen mempercepat penguapan, vitamin
E sebagai antioksidan sediaan, serta aquadest sebagai pelarut.
Tabel 4.2 Tabel komposisi formula gel semprot EETP
Bahan
Komposisi (%)
Formula
1 2 3
Ekstrak Nephrolepis falcata 0,25 0,25 0,25
Karbopol 940 0,20 0,30 0,40
Poloxamer 407 0,30 0,30 0,30
Propilen glikol 0,35 0,35 0,35
TEA 0,20 0,30 0,40
Metil paraben 0,18 0,18 0,18
Propil paraben 0,02 0,02 0,02
Vitamin E 0,02 0,02 0,02
Etanol 96% 20,00 20,00 20,00
Ad Aquadest 100,00 100,00 100,00
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pembuatan sediaan gel semprot dibuat konsentrasi karbopol 940
divariasikan menjadi tiga seri konsentrasi yaitu, 0,2%; 0,3%; dan 0,4%.
Dasar pemilihan konsentrasi ini adalah hasil uji pendahuluan yang
dilakukan sebelumnya dengan rentang seri konsentrasi 0,05% sampai 0,6%,
dimana pada konsentrasi karbopol kurang dari 0,2 sediaan gel semprot
menjadi terlalu encer sehingga kurang melekat pada kulit dan langsung
mengalir, sedangkan pada konsentrasi karbopol diatas 0,4 sediaan gel
semprot menjadi terlalu kental sehingga sukar untuk disemprotkan dari
aplikator semprot.
Perbedaan konsentrasi karbopol sebagai bahan pembentuk gel
mempengaruhi kekentalan atau viskositas dari sediaan, sehingga didapatkan
konsistensi sediaan gel yang berbeda-beda pula. Hal ini ditujukan untuk
mengetahui pada formula berapakah diperoleh viskositas sediaan yang
optimal, dimana viskositas yang dihasilkan tetap rendah sehingga tetap
dapat disemprotkan dari aplikator semprot atau sesuai dengan kisaran
viskositas untuk sediaan gel semprot serta stabil baik secara fisik maupun
kimia. Perbedaan konsentrasi trietanolamin (TEA) sebagai pembasa
ditujukan untuk membantu proses pengembangan karbopol menjadi bentuk
gel dan menjaga pH sediaan tetap dalam kisaran pH kulit, yaitu 4,5-7,0.
Pada proses pengembangan karbopol dengan menggunakan
trietanolamin, karbopol mengembang menjadi gel bening yang kaku, hal ini
dikarenakan karbopol merupakan polimer anionik yang bersifat asam bebas
dalam media air, karbopol mula-mula terdispersi secara seragam di dalam
air kemudian gel dinetralkan menggunakan basa sehingga terjadinya
kerenggangan muatan negatif sepanjang rantai polimer dan menyebabkan
polimer menjadi terurai lalu mengembang menjadi bentuk sediaan
semipadat (Mulyono, Tri Suseno., 2010).
Adanya penambahan media air, baik aquadest maupun zat tambahan
berupa larutan lainnya ke dalam karbopol, maka volume menjadi lebih
banyak namun gel tetap mempertahankan konsistensinya. Hal ini
dikarenakan karbopol terdiri dari jaringan rantai cross-linked ketika kontak
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dengan air dan terbongkar dalam pH netral, sehingga karbopol dapat
mengembang hingga 1000 kali dari volumenya (Hagerstom, H., 2003).
Disamping itu dengan adanya poloxamer 407 sebagai pembentuk
lapisan film dapat mempertahankan konsistensi gel setelah disemprotkan
dari aplikator sehingga sediaan tidak menetes serta dapat bertahan lama
menempel pada permukaan kulit. Perubahan warna gel menjadi kuning
kecoklatan terjadi ketika penambahan ekstrak etanol paku Nephrolepis
falcata (Cav.) C. Chr, terlihat ekstrak dapat terdispersi secara merata
didalam sediaan gel semprot ini.
4.5 Hasil Evaluasi Fisik Gel Semprot EETP Selama Penyimpanan
4.5.1 Hasil Pemeriksaan Organoleptik
Tabel 4.3 Hasil Pemeriksaan Organoleptik
Hari Warna Bau Bentuk
Formula 1
Ke-0 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Ke-7 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Ke-14 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Ke-21 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Formula 2
Ke-0 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Ke-7 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Ke-14 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Ke-21 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Formula 3
Ke-0 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Ke-7 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Ke-14 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Ke-21 Kuning kecoklatan Khas ekstrak Cairan kental
Hasil pemeriksaan organoleptik (Tabel 4.3 dan Lampiran 2)
menunjukkan bahwa penambahan ekstrak etanol paku Nephrolepis falcata
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(Cav.) C. Chr pada ketiga formula menghasilkan sediaan gel berwarna
kuning kecoklatan, memiliki bau berupa bau khas ekstrak, serta memiliki
bentuk sediaan berupa cairan gel kental. Ketiga formula sediaan gel ini
menghasilkan gel yang stabil secara organoleptik dalam suhu ruang (27º-
28ºC) baik pada hari ke-0, 7, 14, dan 21.
Tabel 4.4 Hasil Pemeriksaan Kekeruhan dan Gelembung Udara
Hari Kekeruhan Gelembung Udara
Formula 1
Ke-0 + +++
Ke-7 + +++
Ke-14 + ++
Ke-21 + +
Formula 2
Ke-0 + +++
Ke-7 + +++
Ke-14 + +++
Ke-21 + +++
Formula 3
Ke-0 + +++
Ke-7 + +++
Ke-14 + +++
Ke-21 + +++
Keterangan :
Kekeruhan
+ = Bening atau transparent
++ = Perubahan dari bening menjadi keruh
+++ = Keruh berwarna putih
Gelembung Udara
+ = Gelembung udara yang terperangkap berjumlah sangat sedikit
++ = Gelembung udara yang terperangkap berjumlah kurang lebih setengah dari
sediaan
+++ = Gelembung udara yang terperangkap dalam sediaan penuh
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hasil pemeriksaan kekeruhan (Tabel 4.4), sediaan gel semprot dari
ketiga formula dalam suhu ruang (27º-28ºC) baik pada hari ke-0, 7, 14, dan
21 tidak terdapat adanya kekeruhan, hal ini menunjukkan bahwa komponen-
komponen yang terkandung di dalam formula dapat tercampur menjadi satu
fasa sehingga sediaan gel semprot terlihat bening atau transparan (lampiran
2). Sedangkan pada hasil pemeriksaan gelembung udara menunjukkan
formula 1 terdapat perubahan dari hari ke-0 dan hari ke-7 terlihat
gelembung udara yang terperangkap dalam sediaan penuh (+++), pada hari
ke-14 terlihat adanya pengurangan jumlah gelembung udara menjadi kurang
lebih setengah dari sediaan (++), dan pada hari ke-21 terlihat pada formula 1
kembali terdapat pengurangan gelembung udara menjadi berjumlah sangat
sedikit. Pada formula 2 dan 3, dari hari ke-0, hari ke- 7, hari ke-14, sampai
hari ke-21 terlihat gelembung udara yang terperangkap dalam sediaan tidak
berkurang secara signifikan, hanya berkurang sangat sedikit.
Pada pemeriksaan suhu ruang (27-28ºC) dari ketiga formula yang
diamati dapat dilihat banyaknya jumlah gelembung udara pada formula 1 <
formula 2 < formula 3. Pada formula 1 adanya pengurangan jumlah
gelembung udara lebih cepat dibandingkan dengan formula 2 dan 3, hal ini
dapat dikarenakan viskositas dari sediaan formula 1 merupakan yang paling
rendah diantara ketiga formula, sehingga gelembung udara yang
terperangkap lebih mudah keluar dari sediaan selama penyimpanan.
Sedangkan pada formula 2 dan formula 3 selama penyimpanan 21 hari juga
terdapat sedikit pengurangan gelembung udara yang terperangkap walaupun
pengurangan jumlahnya tidak sampai setengah dari sediaan (++). Adanya
gelembung udara yang terbentuk dapat berpengaruh terhadap viskositas dari
sediaan serta tampilan fisik dari sediaan gel semprot. Namun menurut
Sihombing, dkk., (2007) semakin lama periode penyimpanan, jumlah
gelembung udara yang terperangkap akan semakin berkurang.
Banyaknya gelembung udara dalam sediaan terbentuk setelah
karbopol dinetralkan dengan menggunakan basa. Hal ini disebabkan
penambahan basa terhadap karbopol dilakukan segera setelah karbopol
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terdispersi dalam air, sehingga ketika dinetralkan, gel akan menjerat udara
dan membentuk gelembung didalamnya (Lin, Tong Joe., 1968). Adapun
upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir pembentukan gelembung
udara dalam sediaan dengan cara mendispersikan karbopol secara perlahan
pada saat pembuatan, mengatur pelepasan gelembung udara sebelum
dinetralisasi, serta menggunakan alat pencampur dengan kecepatan yang
lambat.
4.5.2 Hasil Pemeriksaan Homogenitas
Homogen merupakan salah satu syarat sediaan gel. Syarat
homogenitas tidak boleh mengandung bahan kasar yang bisa diraba
(Syamsuni, 2006). Homogenitas sediaan gel dapat dilihat secara visual
dengan hasil pemeriksaan homogenitas sediaan gel semprot dengan
menggunakan preparat kaca (Lampiran 3) menunjukkan masing-masing
formulasi dari ketiga gel menunjukkan tetap homogen pada suhu ruang (27-
28ºC) selama hari ke-0, 7, 14, hingga hari ke-21. Tidak terdapat partikel
padat yang terdapat di dalam gel serta tidak terdapat pembentuk gel yang
masih menggumpal atau tidak merata dalam sediaan.
4.5.3 Hasil Pemeriksaan pH
Tabel 4.5 Hasil Pemeriksaan pH
Hari pH
Formula 1 Formula 2 Formula 3
Ke-0 7,214 ± 0,003 7,205 ± 0,004 7,206 ± 0,002
Ke-7 7,246 ± 0,008 7,238 ± 0,001 7,233 ± 0,004
Ke-14 7,264 ± 0,005 7,280 ± 0,005 7,271 ± 0,006
Ke-21 7,293 ± 0,002 7,279 ± 0,006 7,273 ± 0,002
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
7,1
7,2
7,3
7,4
7,5
0 7 14 21
pH
Hari ke-
Nilai pH Rata-rata
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Gambar 4.5 Grafik Nilai pH Rata-rata
Berdasarkan grafik pada gambar 4.5 dapat dilihat perbandingan nilai
pH dari ketiga formula sediaan gel semprot sebelum dan sesudah
penyimpanan selama 21 hari. Dari grafik terlihat bahwa nilai pH gel
semprot semakin meningkat dengan lamanya waktu penyimpanan.
Peningkatan nilai pH gel semprot ekstrak etanol paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr dari hari ke-0 sampai hari ke-21 hanya sebesar 0,22±0,006.
Dari tabel diatas dapat terlihat nilai pH sediaan berkisar 7,20 – 7,29 ,
sedangkan nilai pH kulit berkisar 4,5-7,00 (Lukman,dkk., 2012). Apabila
pH sediaan terlalu asam dapat menyebabkan kulit mengkerut dan menjadi
rusak, bila sediaan terlalu basa maka dapat menyebabkan kulit mengelupas
serta kering (Ansari, 2009). Hasil tersebut menunjukkan bahwa gel semprot
ekstrak etanol paku memiliki nilai pH yang masih berada pada kisaran pH
netral hanya sedikit lebih tinggi dari pH normal kulit. Sehingga diharapkan
masih diterima oleh kulit dan tidak menimbulkan iritasi.
4.5.4 Hasil Pengukuran Viskositas
Viskositas atau kekentalan adalah suatu istilah dari resistensi zat cair
untuk mengalir. Semakin tinggi viskositas aliran akan semakin besar
resistensinya (Kuncari, dkk., 2014). Viskositas pada sediaan gel semprot
menunjukkan mudah tidaknya gel tersebut dapat dihantarkan melalui
aplikator semprot atau dituangkan dalam wadah.
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.6 Hasil Pengukuran Viskositas
Hari Viskositas (cPs)
Formula 1 Formula 2 Fromula 3
Ke-0 710 3470 9500
Ke-7 710 3460 9500
Ke-14 710 3450 9500
Ke-21 700 3410 9300
0
2000
4000
6000
8000
10000
0 7 14 21
cPs
Hari Ke-
Nilai Viskositas
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Gambar 4.6 Grafik Nilai Viskositas
Pengukuran viskositas dari ketiga formula sediaan dilakukan dengan
menentukan terlebih dahulu spindel yang sesuai untuk digunakan pada
masing-masing fomula sediaan. Hal ini dikarenakan masing-masing formula
sediaan memiliki komposisi komponen pembentuk gel yang berbeda-beda
untuk mengetahui berapa nilai viskositas yang sesuai untuk sediaan ini agar
sediaan dapat dengan mudah disemprotkan serta memiliki pola
penyemprotan dan daya sebar lekat yang baik. Masing-masing komponen
karbopol pada formula 1, 2, dan 3 adalah sebanyak 0,2% ; 0,3% ; dan 0,4%.
Dari tabel diatas dapat dilihat perbedaan viskositas antara ketiga formula.
Meningkatnya viskositas dari formula 1, 2, dan 3 sebanding dengan
peningkatan konsentrasi polimer yang digunakan (Dhanekula, dkk., 2013).
Pada formula 1 dapat terdeteksi menggunakan spindel R3, formula 2 dapat
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terdeteksi menggunakan spindel R4, sedangkan formula 3 menggunakan
spindel R6.
Terjadinya penurunan viskositas dapat disebabkan oleh kondisi
lingkungan penyimpanan seperti cahaya dan kelembaban udara. Kemasan
yang kurang kedap dapat menyebabkan gel menyerap uap air dari luar,
sehingga menambah volume air dalam gel, serta semakin lama periode
penyimpanan, jumlah gelembung udara yang terperangkap semakin
berkurang (Sihombing, dkk., 2007). Pada formula 1 dan formula 2 (Tabel
4.6), viskositas sediaan masih memenuhi kisaran viskositas yang
diperbolehkan, yaitu antara 500-5000 cPs, sedangkan formula 3 tidak
memenuhi kisaran viskositas. Apabila viskositas kurang dari 500 cPs, akan
menyebabkan sediaan langsung menetes ketika disemprotkan dari aplikator
semprot dan apabila viskositas lebih dari 5000 cPs, akan menyebabkan
ukuran partikel sediaan yang disemprotkan menjadi tidak beraturan dan
besar sehingga kurang menyebar pada permukaan kulit atau membran
mukosa (Kamishita, dkk.,1992)
4.5.5 Hasil Pemeriksaan Pola Penyemprotan dan Bobot per Semprot
Pola penyemprotan merupakan salah satu faktor penting untuk
mengevaluasi kualitas dari alat semprot yang digunakan. Hal yang dapat
mempengaruhi pola penyemprotan adalah karakteristik dari formulasi
sediaan (Center for Drug Evaluation and Research (CDER), 2002).
Hasil pemeriksaan pola penyemprotan dari formula 1, 2, dan 3
bervariasi seperti yang terlihat pada lampiran 5, 6, dan 7. Adanya variasi
pola penyemprotan yang terbentuk dari sediaan gel semprot dipengaruhi
oleh jarak penyemprotan serta viskositas dari sediaan (Suyudi, 2014). Pada
lampiran dapat terlihat jarak penyemprotan berbanding lurus terhadap
besarnya diameter pola penyemprotan dari sediaan, semakin besar jarak
penyemprotan maka semakin besar pula pola penyemprotan yang
dihasilkan. Pola penyemprotan pada formula 1 dan 2 cenderung
menghasilkan bentuk pola yang memanjang dan menyebar. Sedangkan pola
penyemprotan pada formula 3 cenderung tidak menyebar dan hanya berada
49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada satu titik lurus dari semprotan, berbentuk kecil dengan rata-rata
diameter 1 – 3 cm. Hal ini dikarenakan pada formula 3 dengan konsentrasi
karbopol 0,4%, memiliki viskositas diatas 5000 cPs, dimana viskositas
sediaan sudah terlalu tinggi untuk sediaan gel semprot. Pengaruh
peningkatan konsentrasi karbopol akan meningkatkan viskositas dan
meningkatkan tekanan yang dibutuhkan untuk menyemprotkan gel dari alat
semprot bahkan mungkin sulit untuk disemprotkan (Kamishita, dkk., 1992).
Tabel 4.7 Tabel Bobot per Semprot
Formula Bobot Rata-Rata/Semprot ± SD
(g)
1 0,135 ± 0,003
2 0,136 ± 0,001
3 0,136 ± 0,002
Hasil pemeriksaan bobot penghantaran sediaan setiap semprot
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara masing-
masing formula. Hal ini menunjukkan efektivitas dari aplikator yang
digunakan dalam menghantarkan jumlah yang reprodusibel dari formula
sediaan gel setiap penyemprotan (Rajab, Nawal., 2013).
4.5.6 Hasil Pemeriksaan Daya Sebar Lekat
Hasil pemeriksaan daya sebar lekat dari ketiga formula (Lampiran 8)
menunjukkan sediaan dapat melekat setelah disemprotkan dikulit lengan
bagian atas selama waktu pengujian 10 detik dan dapat membentuk lapisan
yang kuat menempel pada kulit yang tidak mengalir. Dapat terlihat pada
lampiran 8, formula 1 dan formula 2 menunjukkan daya sebar yang merata,
sedangkan formula 3 menunjukkan sediaan tidak menyebar tetapi hanya
menumpuk pada satu titik semprotan saja. Hal ini dikarenakan pada formula
3 memiliki viskositas yang paling tinggi sehingga kurang sesuai untuk
ditujukan sebagai sediaan gel yang disemprotkan.
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.5.7 Hasil Pengujian Sentrifugasi
Uji sentrifugasi atau uji mekanik dilakukan untuk mengetahui adanya
pemisahan fase dari sediaan. Perlakuan sampel dengan cara disentrifugasi
pada kecepatan 5000 rpm selama 30 menit sama seperti besarnya pengaruh
gaya gravitasi terhadap penyimpanan sediaan selama setahun. Hasil dari
pengujian sentrifugasi pada formula 1, 2, dan 3 (Lampiran 9) didapatkan
bahwa tidak adanya cairan yang keluar dari gel dan membentuk lapisan
diatas gel. Hal ini menunjukkan ketiga formulasi sediaan gel semprot stabil
sehingga sineresis tidak terjadi. Sineresis merupakan keadaan dimana ketika
gel didiamkan dalam waktu tertentu, gel akan mengerut secara alamiah dan
sebagian cairannya terperas secara alamiah (Martin, A, dkk., 1993).
4.5.8 Hasil Cycling Test
Metode cycling test merupakan salah satu pengujian stabilitas sebagai
simulasi adanya perubahan suhu setiap tahun bahkan setiap harinya. Oleh
karena itu uji ini dilakukan pada suhu dan atau kelembaban pada interval
waktu tertentu sehingga produk dalam kemasannya akan mengalami stress
yang bervariasi. Uji stabilitas fisik ini berhubungan dengan daya tahan
sediaan gel selama penyimpanan.
Tabel 4.8 Hasil Pemeriksaan Organoleptis metode Cycling Test
Formula Warna Bau Bentuk
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
1 Kuning
kecoklatan
Tidak
berubah
Khas
ekstrak
Tidak
berubah
Cairan
kental
Tidak
berubah
2 Kuning
kecoklatan
Tidak
berubah
Khas
ekstrak
Tidak
berubah
Cairan
kental
Tidak
berubah
3 Kuning
kecoklatan
Tidak
berubah
Khas
ekstrak
Tidak
berubah
Cairan
kental
Tidak
berubah
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.9 Hasil Pemeriksaan Kekeruhan dan Gelembung Udara metode Cycling
Test
Formula Kekeruhan Gelembung udara
Awal Akhir Awal Akhir
1 + + +++ +++
2 + + +++ +++
3 + + +++ +++
Keterangan :
Kekeruhan
+ = Bening atau transparent
++ = Perubahan dari bening menjadi keruh
+++ = Keruh berwarna putih
Gelembung Udara
+ = Gelembung udara yang terperangkap berjumlah sangat sedikit
++ = Gelembung udara yang terperangkap berjumlah kurang lebih setengah dari
sediaan
+++ = Gelembung udara yang terperangkap dalam sediaan penuh
Pemeriksaan organoleptik metode cycling test (Tabel 4.8 dan
Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan ekstrak etanol paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr pada ketiga formula menghasilkan
sediaan gel berwarna kuning kecoklatan, memiliki bau berupa bau khas
ekstrak etanol, serta memiliki bentuk sediaan berupa cairan gel kental. Serta
hasil pemeriksaan kekeruhan dan gelembung udara (Tabel 4.9), tidak
menunjukkan adanya kekeruhan, tetapi terdapat gelembung udara yang
terperangkap dalam sediaan pada ketiga formula. Secara organoleptik
sediaan masih sama atau tidak terjadi perubahan yaitu berupa cairan kental
yang bening atau transparan dan banyaknya jumlah gelembung udara yang
terperangkap dalam sediaan penuh. Perpindahan suhu yang berbeda-beda
yaitu pada suhu 4 ºC dan suhu 40 ºC menyebabkan gelembung udara tetap
dan tidak berkurang selama pengujian. Ketiga formula sediaan gel ini
menghasilkan gel yang stabil secara organoleptik.
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pemeriksaan homogenitas sediaan (Lampiran 3) menunjukkan ketiga
formulasi sediaan gel semprot tetap homogen. Tidak terdapat partikel padat
yang terdapat di dalam gel serta tidak terdapat pembentuk gel yang masih
menggumpal atau tidak merata dalam sediaan baik sebelum maupun
sesudah pengujian (cycling test). Hal ini menunjukkan bahwa komponen
dalam ketiga formula terdispersi secara merata dan stabil selama pengujian
(cycling test).
Tabel 4.10 Hasil pemeriksaan pH metode cycling test
Formula pH
Awal Akhir
1 7,289 ± 0,003 7,290 ± 0,002
2 7,319 ± 0,002 7,322 ± 0,004
3 7,335 ± 0,003 7,350 ± 0,003
Dari tabel diatas (Tabel 4.10) dapat terlihat nilai pH sediaan berkisar
7,28 – 7,35 , sedangkan nilai pH kulit berkisar 4,5-7,00 (Lukman,dkk.,
2012). Hasil tersebut menunjukkan bahwa gel semprot ekstrak etanol paku
memiliki nilai pH yang masih berada pada kisaran pH netral hanya sedikit
lebih tinggi dari pH normal kulit baik sebelum maupun setelah pengujian
(cycling test). Sehingga diharapkan masih diterima oleh kulit dan tidak
menimbulkan iritasi.
Tabel 4.11 Hasil Pemeriksaan viskositas metode cycling test
Formula Viskositas (cPs)
Awal Akhir
1 950 990
2 3460 3650
3 9000 9400
Viskositas pada ketiga formula mengalami peningkatan sebelum dan
setelah penyimpanan pada suhu yang berubah-ubah yaitu suhu 4ºC dan
40ºC, terlihat adanya peningkatan viskositas setelah pengujian. Adapun
peningkatan viskositas kemungkinan dapat dikarenakan oleh menguapnya
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
etanol di dalam sediaan gel (Kuncari, dkk., 2014). Viskositas pada formula
1 dan 2 tetap dalam kisaran viskositas gel semprot yaitu 500-5000 cPs,
sedangkan pada formula 3 tidak memenuhi kisaran.
Berdasarkan pengujian metode cycling test yang meliputi
organoleptik, homogenitas, pH, dan viskositas sediaan didapatkan bahwa
tidak terjadi perubahan fisik pada sediaan gel semprot, dimana ketika berada
dalam lemari pendingin (4ºC) dan di dalam oven (40ºC) semua formulasi
sediaan gel semprot (formula 1, 2, dan 3), seperti tidak adanya perubahan
terhadap warna, kekeruhan, atau gelembung udara yang terperangkap, serta
homogenitas di dalam sediaan. Namun, terjadi perubahan viskositas dan pH,
dimana terjadi peningkatan dialami oleh semua formula sediaan gel.
4.5.9 Hasil Pemeriksaan Pola Kromatogram EETP dalam Sediaan Gel
Semprot Selama Penyimpanan
Uji stabilitas sediaan gel semprot yang telah dibuat dilakukan melalui
evaluasi fisik dan berdasarkan pola dari kromatogram KCKT yang
dihasilkan sebelum dan setelah penyimpanan selama 21 hari. Evaluasi fisik
dan pola kromatogram dilakukan pada hari ke- 0, 7, 14, dan 21.
Dari kromatogram dapat dilihat puncak dari kandungan senyawa
metabolit sekunder yang terkandung di dalam ekstak etanol paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr dan gel semprot pada ketiga formula
sediaan baik sebelum dan setelah penyimpanan. Dari puncak tersebut dapat
dilihat apakah ada senyawa yang persen areanya menurun, naik, atau
bahkan terbentuk senyawa baru (Indayanti, 2014).
Tabel 4.12 Profil kromatogram gel semprot EETP formula 1
No
Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21
Waktu
retensi
Luas
area
Waktu
retensi
Luas
area
Waktu
retensi
Luas
area
Waktu
retensi
Luas
area
1 1,747 0,662 1,620 0,632 - - 1,507 0,778
2 2,003 31,993 1,937 56,171 2,240 40,793 1,943 39,644
3 4,787 0,778 4,347 1,261 5,063 0,736 4,530 7,709
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.7 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 1 pada hari ke-0
Gambar 4.8 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 1 pada hari ke-7
Gambar 4.9 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 1 pada hari ke-14
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.10 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 1 pada hari ke-21
Tabel 4.13 Profil kromatogram gel semprot EETP formula 2
No
Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21
Waktu
retensi
Luas
area
Waktu
retensi
Luas
area
Waktu
retensi
Luas
area
Waktu
retensi
Luas
area
1 1,750 0,393 - - - - - -
2 2,027 32,026 1,923 35,686 2,147 41,574 1,930 34,967
3 4,750 1,135 4,333 1,122 4,867 1,459 4,480 3,988
Gambar 4.11 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 2 pada hari ke-0
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.12 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 2 pada hari ke-7
Gambar 4.13 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 2 pada hari ke-14
Gambar 4.14 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 2 pada hari ke-21
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.14 Profil kromatogram gel semprot EETP formula 3
No
Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21
Waktu
retensi
Luas
area
Waktu
retensi
Luas
area
Waktu
retensi
Luas
area
Waktu
retensi
Luas
area
1 1,743 0,478 - - 1,670 0,591 - -
2 2,010 29,360 1,900 35,553 2,080 40,566 1,930 36,074
3 4,723 0,969 4,300 1,153 4,717 1,581 4,470 2,528
Gambar 4.15 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 3 pada hari ke-0
Gambar 4.16 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 3 pada hari ke-7
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.17 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 3 pada hari ke-14
Gambar 4.18 Pola kromatogram gel semprot EETP formula 3 pada hari ke-21
Berdasarkan profil kromatogram KCKT sediaan gel semprot EETP
pada hari ke-0, 7, 14, dan 21 pada penyimpanan suhu kamar formula 1, 2,
dan 3. Apabila profil kromatogram dari ekstrak dalam sediaan gel semprot
dibandingkan dengan profil kromatogram dari ekstraknya saja (Gambar 4.4)
dapat dilihat pada profil kromatogram ekstrak etanol tumbuhan paku
(Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.) dalam gel semprot terlihat ada tiga
komponen yang muncul pada waktu retensi tertentu sedangkan profil
kromatogram ekstraknya saja terdapat hanya dua komponen yang muncul
pada waktu retensi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa pada profil
kromatogram ekstrak dalam gel semprot terdapat komponen dari gel
semprot yang muncul pada panjang gelombang maksimum ekstrak.
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk mengetahui stabilitas dari sediaan berdasarkan profil
kromatogram menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), maka
dibuat perbandingan luas area puncak terhadap masing-masing komponen
yang muncul dalam kromatogram. Pada pola kromatogram menunjukkan
terdapat tiga komponen yang muncul pada waktu retensi tertentu dan
menunjukkan pola yang sama pada formula 1, 2, dan 3 selama waktu
penyimpanan hari ke-0, 7, 14, dan 21, akan tetapi hanya dua komponen
yang konsisten menunjukkan adanya luas area puncak selama pemeriksaan
pola kromatogram menggunakan KCKT, yaitu dua komponen yang sama
dengan komponen yang juga muncul pada profil kromatogram dari
ekstraknya saja. Sehingga dibuat perbandingan antara kedua komponen
senyawa tersebut.
Tabel 4.15 Perbandingan komponen senyawa berdasarkan luas puncak area
Hari Formula 1 Formula 2 Formula 3
Ke-0 41 : 1 28 : 1 30 : 1
Ke-7 44 : 1 32 : 1 30 : 1
Ke-14 55 : 1 28 : 1 25 : 1
Ke-21 5 : 1 9 : 1 14 : 1
0
20
40
60
0 7 14 21
Hari ke-
Profil kromatogram
Formula 1
Formula 2
Formula 3
Gambar 4.19 Grafik profil kromatogram selama penyimpanan
Hasil uji stabilitas sediaan gel semprot ekstrak etanol paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr selama waktu penyimpanan menunjukkan
bahwa profil kromatogram sediaan gel semprot hari ke-0, 7, 14, dan 21 pada
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
formula 1 terjadi peningkatan hingga puncaknya pada hari ke- 14 lalu
kemudian terjadi penurunan pada hari ke 21. Pada formula 2 terlihat adanya
peningkatan pada hari ke-7 kemudian turun pada hari ke-14 hingga hari ke-
21. Pada formula 3 terlihat konsisten pada hari ke-0 dan ke-7, lalu terjadi
penurunan pada hari ke-14 dan juga hari ke-21.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil kromatogram EETP dalam sediaan
gel semprot pada hari ke-0, 7, 14, dan 21 baik formula 1, formula 2, maupun
formula 3 terlihat mengalami penurunan stabilitas yang ditandai dengan
terjadinya perubahan pola peak pada hari ke-21 dan berdasarkan besarnya
perubahan luas area puncak pada hari ke-21 (Gambar 4.19) yang terjadi
pada semua formula menunjukkan adanya penurunan stabilitas. Perubahan
pola peak pada hari ke-21 dapat terlihat dari peak masing-masing formula.
Pada formula 1 (Gambar 4.10), formula 2 (Gambar 4.14) dan formula 3
(Gambar 4.18) terlihat perubahan besar dari peak formula 1 lebih besar
daripada formula 2 dan besar dari peak pada formula 2 lebih besar daripada
formula 3. Berdasarkan perbandingan komponen senyawa dilihat dari luas
puncak area yang muncul dari formula 1, 2, dan 3 menunjukkan semakin
tinggi viskositas sediaan gel semprot, maka komponen senyawa kimia yang
terkandung di dalamnya semakin stabil. Pada penelitian ini menunjukkan
formula 1 memiliki viskositas yang paling rendah, sedangkan formula 3
memiliki viskositas yang paling tinggi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Gel semprot ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.)
C. Chr yang dihasilkan pada semua formula (formula 1, 2, dan 3) selama
penyimpanan 21 hari pada suhu ruang diketahui stabil secara fisik dari segi
organoleptik, homogenitas, memiliki pH yang masih sesuai kisaran pH
kulit, bobot per semprot seragam serta relatif stabil pada pengujian
sentrifugasi dan cycling test karena sediaan gel tidak mengalami sineresis.
Pada formula 1 dan 2, viskositas yang dihasilkan masih memenuhi kisaran
viskositas untuk sediaan gel semprot, sehingga dapat disemprotkan dan
membentuk pola menyebar. Sedangkan pada formula 3, viskositas yang
dihasilkan tidak memenuhi.
Pada pemeriksaan stabilitas kimia, hasil kromatogram sediaan gel
semprot EETP pada formula 1, 2, dan 3 terdapat perubahan pola pada hari
ke-21 dan berdasarkan besarnya perubahan luas area puncak pada hari ke-21
yang terjadi pada semua formula menunjukkan adanya penurunan stabilitas.
5.2 Saran
1. Perlu dipelajari lebih lanjut mengenai karakterisasi ekstrak etanol paku
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bentuk sediaan farmasi
yang cocok dengan ekstrak etanol tumbuhan paku Nephrolepis falcata
(Cav.) C. Chr. sebagai antiinflamasi.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai zat aktif atau
komponen utama yang sesuai dengan formula sediaan gel semprot ini.
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Achouri, Allaoua, Youness Zamani, dan Joyce Irene Boye. 2012. Stability and
physical properties of emulsions prepared with and without soy proteins.
Agriculture and Agri-Food Canada. Vol. 1, No.1.
Aiache, 1982, Biofarmasetika, diterjemahkan oleh Widji Soeratri, Edisi II, 438-460,
Airlangga Press, Jakarta.
Anonim. 2011. Polymers for Pharmaceutical Applications. Pharmaceutical bulletin 1,
The lubrizol corporation, Ohio
Anonim. 2013. Kolliphor P Grades: Technical Information. BASF laboratories, USA
Ansari, S.A. (2009). Skin pH and Skin Flora. In Handbook of Cosmetics Science and
Technology. Edisi Ketiga. New York: Informa Healthcare USA. Hal. 222-223
Ansel Giward Cm, 1989. Pengantar bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat.
Penerjemah Farida Ibrahim. UI Press : Jakarta
Ansel, Howard C., dkk., 2011. Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery
Systems Ninth Edition. Philadelpia: Lippincott Williams & Willkins, a Wolter
Kluwer business.
Arini, Diah dan Julianus Kinho. 2012. Keanekaragaman Jenis Daun Paku
(Pterydophyta) di Cagar Alam Gunung Ambang Sulawesi Utara. Manado:
BPK Manado Volume 2 No.1.
Baht, S. V., B. A. Nagasampagi and S. Meenakshi. 2009. Natural Products :
Chemistry and Application. Narosa Publishing House, New Delhi. India.
Budiman, Muhammad Haqqi. 2008. Uji Stabilitas Fisik dan Aktivitas Antioksidan
Sediaan Krim. Depok: Universitas Indonesia.
CABI, 2016. Fallopia japonica. In: Invasive Species Compendium. Wallingford, UK:
CAB International. www.cabi.org/isc. Diakses melalui
http://www.cabi.org/isc/datasheet/115773 pada tanggal 2016-01-28, 00:40 pm
Cartensen, Jens T. Dan Christopher Rhodes. 2000. Drug Stability Principles and
Practices Third Edition. United State : CRC Press
Chavez, J.J Escobar, dkk., 2006. Applications Of Thermoreversible Pluronic F-127
Gels In Pharmaceutical Formulations. J Pharm Pharmaceut Sci, kanada.
Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV.Departemen Kesehatan Republik
Indonesia: Jakarta.
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Depkes RI.
Devi, D.Ramya, dkk., 2013. Poloxamer: A Novel Functional Molecule For Drug
Delivery And Gene Therapy. J. Pharm. Sci. & Res. Vol. 5(8), 159-16.
62
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ditjen POM, 1999, Farmakope Indonesia, Edisi ke-4. Jakarta : Departemen
Kesehatan Repiblik Indonesia
Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Depkes RI.
Djajadisastra, Joshita, dkk., 2009. Formulasi Gel Topikal Dari Ekstrak Nerii Folium
Dalam Sediaan Anti Jerawat. Jurnal Farmasi Indonesia, Vol. 4 (4)
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, 1999. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi ke
tiga cetakan keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta ;
405 – 409.
Djuanda Adhi., 2007., Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta
Dudani, S. Chandran, S, M, D. Ramachandra, T, V. 2012. Pteridophytes of Western
Ghats. Energy & Wetland Research group, Center of Ecological Sciences,
Indian Institute of Science, Bangalore –50 012.
Effendy. 2004. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi dalam Bidang Farmasi. USU.
Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerjemah Usman Tanuwidjaja.
Penerbit ITB, Bandung. Hlm. 249, 273.
Flory, P. J., 1953, The Principles Of Polymer Chemistry, Cornel University
Press,Ithica, New York, in : Lu, G. and Jun, H. W., 1998, Diffusion Studies
Of Methotrexate In Carbopol and Poloxamer Gels, International Journal of
Pharmaceutics, 1 (1) :1-6.
Hagerstom, H., 2003. Polimer Gels as Pharmaceutical Dosage Forms : Rheological
Performance and Phsycochemical Interactions at the Gel-Mucus Interface for
Formulations Intended for Mucosal Drug Delivery. Comphrehensive
Summaries of Uppsala Dissertations, Acta Universitatis Upsaliensis.,
German.
Hamalainen, M., R. Nieminen., Vuorela, P., Heinonen, Marina, & Eva M. 2007. Anti-
Inflammatory Effects of Flavonoids: Genistein, Kaempferol, Kuersetin, and
Daidzein Inhibit STAT-1 and NF-κB Activations,Whereas Flavone,
Isorhamnetin, Naringenin, and Pelargonidin Inhibit only NF-κB Activation
along with Their Inhibitory Effect on iNOS Expression and NO Production in
Activated Macrophages. Hindawi Publishing Corporation Mediators Of
Inflammation : Finland.
Harborne, J.B. (1987). Metode fitokimia. (Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro,
Penerjemah). Bandung: Penerbit ITB
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia. Terbitan ke-II. a.b. Kosasih Padmawinata.
Penerbit ITB. Bandung.
Holland, Troy, Hassan Chaouk, Bruktawit Aswaf, Stephen Goodrich, Adrian Hunter,
dan Vimala Francis. 2002. Spray Hydrogel Wound Dressing. United State
Patent Application Publication.
64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Indayanti, Deisy. 2014. Uji Stabilitas Fisik dan Komponen Kimia Pada Minyak Biji
Jinten Hitam (Nigella sativa L.) dalam Bentuk Emulsi Tipe Minyak dalam Air
Menggunakan GCMS. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Islam, Mohammad T., Nai´r Rodri´guez-Hornedo, Susan Ciotti, dan Chrisita
Ackermann. 2004. Rheological Characterization of Topical Carbomer Gels
Neutralized to Different pH. Pharmaceutical Research, Vol. 21 (7).
Jáuregui K. M., dkk. 2009. A New Formulated Stable Papin-Pectin Aerosol Spray for
Skin Wound Healing. Biotechnology and Bioprocess Engineering, Vol. 14 :
450-456.
Jeon, Frau Im-Jak. 2007. Development and Formulation of Carbomer 934P-
containing Mucoadhesive pellets by Fluid-bed Techniques. Munkyung, Korea
Kamishita, Takuzo, dkk., 1992. Spray Gel Base and Spray Gel Preparation Using
Thereof. United State Patent Application Publication.
Knowlton, John dan Steven Pearce. 1993. Handbook of Cosmetic Science and
Technology 1st Edition. Elsevier Advance Technology, UK.
Komala, dkk., 2015. Antioxidant and Anti-inflammatory Activity of The Indonesian
Ferns, Nephrolepis Falcata and Pyrrosia Lanceolata. International Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Vol 7, Issue 12.
Kuncari, Emma Sri, Iskandarsyah, dan Praptiwi. 2014. Evaluasi, Uji Stabilitas Fisik
dan Sineresis Sediaan Gel yang Mengandung Minidoksil, Apigenin, dan
Perasan Herba Seledri (Apium graveolens L.). Bul. Penelit. Kesehat,Vol. 42,
No. 4, Desember 2014: 213-222.
Lachman, L., Lieberman, H.A., dan kanig, J.L. (1989). Teori dan Praktek Farmasi
Industri I, Edisi III, terjemahan Siti Suyatmi, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta, 760-779, 1514-1587.
Lieberman., Rieger dan Banker. 1989. Pharmaceutical Dosage Form : Disperse
System. Vol ke-2. New York: Marcel Dekker Inc. 495-498
Lu, Guangwei dan Jun, H. Won, 1998, Diffusion studies of methotrexate in Carbopol
and Poloxamer gels, International Journal of Pharmaceutics.
Lukman, A, Susanti, E., & Oktaviana, R., 2012. Formulasi Gel Minyak Kulit Kayu
Manis (Cinnamomum burmanii BI) Sebagai Sediaan Antinyamuk, Jurnal
Penelitian Farmasi Indonesia, 1 (1), 24-29.
Mulyono, Tri Suseno., 2010. Pembuatan Etanol Gel sebagai Bahan Bakar Padat
Alternatif. Laporan Tugas Akhir. UNS.
Nagariya, K, dkk., 2010. Formulation Development and Characterization of
Aceclofenac Gel Using Poloxamer 407. J. Chem. Pharm. Res., 2(4): 357-363
Nurdiani, Dian, Herliani. (2011). Mata Diklat 2: Aplikasi Koloid, Larutan dan
Suspensi dalam Bidang Pertanian. Kementrian Pendidikan Nasional Pusat
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
Pertanian.
Patel, Hitesh R, dkk., 2009. Poloxamers: A pharmaceutical excipient with therapeutic
behaviors. International Journal of PharmTech Research Vol. 1, No.2, pp
299-303.
Pooja. 2004. Pterrdophyta Discovery Publishing House. India: di dalam, Komala, I.
2012. Uji Aktivitas Tumbuhan Paku Indonesia. Program Studi Farmasi.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pranoto, G. 1999. Potensi dan Strategi Industrialisasi Obat Tradisional Indonesia,
dalam seminar Nasional Pendayagunaan Potensi Obat Tradisional Indonesia
sebagai unsur dalam sistem kesehatan. BPPT: 9 Maret 1999.
Rajab, Nawal A. 2013. Preparation and Evaluation of Ketoprofen as Dermal Spray
Film. Kerbala Journal of Pharmaceutical Sciences Number 6.
Richardson P. C-glycosyl xanthones in the fern genera Davalia,Humata and
Nephrolepis. Phytochemistry 1983;22:309-11.
Rowe, R.C, Paul J.S, dan Marian, 2006. Handbook Of Pharmaceutical Science 5th
Edition. New York
Rowe, R.C, Paul J.S, dan Marian, 2009. Handbook Of Pharmaceutical Science 6th
Edition. New York
Sastrapradja, S. 1980. Jenis Paku Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Septiani, Santi, Nasrul Wathoni, Soraya R. Mita. 2012. Formulasi Sediaan Masker
Gel Antioksidan dari Ekstrak Etanol Biji Melinjo (Gnetum gnemon Linn.).
Bandung: Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran.
Selawa, W., 2013. Kandungan Flavonoid dan Kapasitas Kandungan Total Ekstrak
Etanol Daun Binahong (Andera cordifolia (Ten.) Steenis. Jurnal Ilmiah
Farmasi Pharmacon, Universitas Sam Ratulangi.
Shafira, U., Gadri, A., Lestari, F., 2015. Formulasi Sediaan Spray Gel Serbuk Getah
Tanaman Jarak Cina (Jatropha multifida Linn.) dengan Variasi Polimer
Pembentuk Film dan Jenis Plasticizer. Jakarta: Unisba
Sihombing, C. N., Nasrul, W., dan Rusdiana, T., 2007, Formulasi Gel Antioksidan
Ekstrak Buah Buncis (Phaseolus vulgaris L.) dengan Menggunakan Basis
Aqupec HV-505, Jurnal Penelitian, Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran,
Jawa Barat.
Sudjono, T. A., dkk. 2012. Pengaruh Konsentrasi Gelling Agent Carbomer 934 dan
HPMC Pada Formulasi Gel Lender Bekicot (Achatina fulica) Terhadap
Kecepatan Penyembuhan Luka Baka Pada Punggung Kelinci. PHARMACON:
Jurnal Farmasi Indonesia, Vol 13 (1).
Sukhbir, Kaur, dkk., 2013. Development of modified transdermal spray formulation
of psoralen extract. Scholars Researce Library. Der Pharmacia Lettre, 5
(2):85-94.
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Susanti, Aprilya Tri. 2012. Penapisan Fitokimia dan Uji Penghambatan Aktivitas α-
Glukosidase dari Fraksi Paling Aktif Ekstrak Metanol Herba Meniran
(Phyllanthus niruri L.). Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.
Suyudi, Salsabiela Dwiyudrisa. 2014. Formulasi Gel Semprot Menggunakan
Kombinasi Karbopol 940 Dan Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC) Sebagai
Pembentuk Gel. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Syarifah, F, dkk., 2015. Formula Edible Film Ekstrak Biji Pepaya (Carica Papaya L.)
dan Uji Aktivitasnya terhadap Bakteri Klebsiella Pneumoniae dan
Staphylococcus Aureus. Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba.
Tiwari, dkk., 2011. Phytochemical Screening and Extraction: A Review.
Department of Pharmaceutical sciences: India
Tjitrosoepomo,G. 2005. Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta, Thallophyta,
Bryophyta, Pteridophyta). Cet. Ke-7. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. P.219-307.
Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H., 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
12th ed. Asia: John Wiley and Sons, Inc: 620-628.
Tristiana, Erawati., Noorma Rosita, Wing Hendroprasetyo, Dien Rina Juwita. 2005.
Pengaruh Jenis Basis Gel dan Penambahan NaCl (0,5% b/b) terhadap
Intensitas Echo Gelombang Ultrasonik Sediaan Gel Untuk Pemeriksaan USG
(Acoustic Coupling Agent). Majalah Farmasi Airlangga, Vol.5 (2).
Vadas, E. B. 2010. Stability of Pharmaceutical Products. The Science and Practice of
Pharmacy Vol. 1 : 988-989
Wasitaatmadja, S. M. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia.
Zakaria, dkk., 2006. Antinociceptine and Anti-inflamatory Activities of Dicranopteris
Linearis Leaves Chloroform Extract in Experimental Animals. Yajugaju
zasshi, 126, 1197-1203.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Alur Penelitian
Dimasukkan dalam
Botol semprot
Evaluasi
Ekstraksi Sampel
Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Ekstrak
Hari ke-0, 7, 14, dan 21
Pola Kromatogram
Viskositas
pH
Homogenitas
Organoleptik Sentrifugasi
Cycling Test
Pola Penyemprotan dan
Bobot per Semprot
Daya Sebar Lekat
Pemeriksaan Pola Kromatogram Ekstrak
Pembuatan Sediaan Gel Semprot
67
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Gambar Hasil Pemeriksaan Organoleptik
Hari ke-0 Hari ke-7
Hari ke-14 Hari ke-21
Awal : Sebelum Cycling Test Akhir : Setelah Cycling Test
Formula 1, 2, dan 3
Formula 1, 2, dan 3
Formula 1, 2, dan 3
Formula 1, 2, dan 3
Formula 1, 2, dan 3 Formula 1, 2, dan 3
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Gambar Hasil Pemeriksaan Homogenitas
Hari ke-0 Hari ke-7
Hari ke-14 Hari ke-21
Awal : Sebelum Cycling Test Akhir : Setelah Cycling Test
Formula 1, 2, dan 3
Formula 1, 2, dan 3 Formula 1, 2, dan 3
Formula 1, 2, dan 3
Formula 1, 2, dan 3 Formula 1, 2, dan 3
70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Evaluasi Pola Penyemprotan dan Bobot per Semprot
No Formula Jarak Diameter hasil
semprot (cm)
Bobot per
Semprot (g)
Total
Bobot
Bobot rata –
Rata per jarak
1
1
3 cm
4,5 4,0 0,137
0,409 0,136 2 4,6 4,2 0,138
3 4,6 4,2 0,134
4
5 cm
6,5 6,0 0,134
0,412 0,137 5 7,2 7,2 0,141
6 6,5 6,1 0,137
7
10 cm
11,5 11,4 0,137
0,408 0,136 8 11,1 11,4 0,136
9 11,2 10,7 0,135
10
15 cm
15,0 15,1 0,130
0,392 0,131 11 15,8 13,4 0,130
12 14,0 15,0 0,132
13
2
3 cm
5,8 5,6 0,136
0,405 0,135 14 5,5 5,5 0,135
15 6,0 6,1 0,134
16
5 cm
6,2 8,3 0,131
0,405 0,135 17 7,8 7,5 0,138
18 7,0 8,4 0,136
19
10 cm
16,4 14,6 0,134
0,408 0,136 20 13,3 9,5 0,136
21 14,1 13,8 0,138
22
15 cm
19,2 15,4 0,140
0,412 0,137 23 20,5 16,4 0,135
24 20,2 18,1 0,137
25
3 3 cm
1,9 1,5 0,131
0,400 0,133 26 1,3 1,3 0,133
27 1,3 1,2 0,136
71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
5 cm
2,0 1,4 0,141
0,409 0,136 29 1,5 1,3 0,130
30 2,2 1,4 0,138
31
10 cm
2,5 2,0 0,142
0,418 0,139 32 3,0 1,5 0,138
33 2,4 1,5 0,138
34
15 cm
3,0 2,0 0,136
0,409 0,136 35 3,5 3,2 0,138
36 2,7 1,9 0,135
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Gambar Pola Penyemprotan Formula 1
Formula 1 Jarak 3 cm
Formula 1 Jarak 5 cm
Formula 1 Jarak 10 cm
Formula 1 Jarak 15 cm
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Gambar Pola Penyemprotan Formula 2
Formula 1 Jarak 3 cm
Formula 1 Jarak 5 cm
Formula 1 Jarak 10 cm
Formula 1 Jarak 15 cm
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Gambar Pola Penyemprotan Formula 3
Formula 1 Jarak 3 cm
Formula 1 Jarak 5 cm
Formula 1 Jarak 10 cm
Formula 1 Jarak 15 cm
75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Evaluasi Daya Sebar Lekat
Formula 3
Formula 1 Formula 2
76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 9. Gambar Hasil Uji Sentrifugasi
Formula 2
Formula 3
Formula 1
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 10. Surat Determinasi Tumbuhan Paku
78
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 11. Sertifikat Analisa Karbopol
79
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 12. Sertifikat Analisa Poloxamer
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 13. Sertifikat Analisa Methanol HPLC Grade