Upload
trantuyen
View
242
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, mengatur terbentuknya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
KKI menetapkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia dan Standar Pendidikan
Profesi Dokter pada tahun 2006. Hal ini menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk mewajibkan institusi penyelenggara pendidikan
kedokteran, menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK
merupakan penyerapan dari problem-based learning dan prinsip integrasi
berbagai ilmu kedokteran. Penerapan ini, pada kenyataannya tergantung pada
kemampuan berbagai institusi pendidikan yang kondisinya berbeda-beda.
Akibatnya timbul perbedaan yang cukup besar, terhadap kualitas pendidikan pada
institusi pendidikan yang satu dengan yang lain. Saat ini, uji kompetensi
dititikberatkan pada uji pengetahuan pilihan ganda. Model ujian ini kurang
menggambarkan kompetensi lulusan, karena aspek keterampilan klinik dan
perilaku kurang teruji. Hal ini semakin mendorong diterapkannya metode uji
keterampilan klinik, salah satunya adalah OSCE yaitu Objective Structured
Clinical Examination (Dikti, 2011).
OSCE adalah suatu metode untuk menguji kompetensi keterampilan
klinik secara obyektif dan terstruktur. Objektif karena semua peserta ujian diuji
dengan materi ujian yang sama. Penguji OSCE, diberikan panduan lembar
2
penilaian dan cara menilai keterampilan klinik yang dilakukan peserta ujian.
Subyektivitas dapat dihindari dengan menggunakan metode ini, karena penguji
menilai berdasarkan tindakan yang dilakukan peserta kemudian mencocokannya
dengan kriteria penilaian yang ada, bukan berdasarkan pengetahuan penguji.
Terstruktur karena semua instruksi ujian dituliskan dengan urut pada lembar yang
telah disediakan. Pada prosesnya, penguji akan menilai setiap peserta ujian di satu
stasiun. Penguji menilai dengan cara melakukan observasi dan mengajukan
pertanyaan serta menunjukan hasil pemeriksaan penunjang jika diminta dalam
soal. Waktu ujian yang menjadi tanggungjawab setiap penguji, tergantung banyak
sedikitnya materi yang harus diujikan. Standar OSCE Nasional adalah 15 menit,
untuk setiap penguji yang bertanggungjawab pada setiap stasiun ujian.
Kompetensi klinik yang diujikan yaitu anamnesa, pemeriksaan fisik, keterampilan
prosedur klinik, interpretasi hasil laboratorium, manajemen terapi, kemampuan
komunikasi dan perilaku profesional (Dikti, 2011).
OSCE yang diterapkan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-
Azhar (FK UNIZAR) Mataram terdiri atas tiga jenis yaitu, (1) OSCE reguler yang
dilakukan pada setiap akhir modul, bertujuan sebagai ujian keterampilan klinik
modul. Pada setiap semester diberikan tiga sampai empat modul pembelajaran,
sehingga dalam satu semester bisa dilakukan tiga sampai empat kali ujian OSCE
reguler. Pada semester ganjil, minimal berlangsung 12 kali ujian OSCE reguler
(semester I, III, V, VII) jika seluruh peserta dinyatakan lulus. Jumlah ujian OSCE
reguler pada semester ganjil bisa bertambah, jika ada peserta yang dinyatakan
tidak lulus. Sedangkan pada semester genap , minimal dilaksanakan 9 kali ujian
3
OSCE reguler (Semester II, IV, VI) jika semua peserta dinyatakan lulus. Jumlah
OSCE reguler pada semester genap bisa juga bertambah, kalau ada peserta yang
diharuskan mengulang karena tidak lulus sebelumnya. (2) OSCE Komprehensif,
dilakukan setelah mahasiswa menyelesaikan program pendidikan sarjana
kedokteran. Tujuannya sebagai tes masuk untuk mengikuti program pendidikan
profesi dokter, diselenggarakan minimal tiga kali dalam setahun sesuai dengan
format OSCE Nasional. (3) OSCE Nasional diselenggarakan mengikuti kalender
Uji Kompetensi Dokter yang telah ditetapkan oleh Panitia Uji Kompetensi
sebanyak empat kali dalam satu tahun. OSCE ini bertujuan untuk memperoleh
sertifikat kompetensi dalam bentuk Surat Tanda Registrasi yang dapat digunakan
memperoleh Surat Izin Praktik.
Penguji OSCE reguler di FK UNIZAR yang sudah terlatih adalah enam
orang dokter, berasal dari staf pengajar FK UNIZAR yang telah memenuhi syarat
sebagai penguji OSCE, memenuhi kualifikasi pendidikan S2 dan atau dokter
Spesialis serta telah mengikuti dan mendapatkan sertifikat pelatihan penguji
OSCE Nasional yang diselenggarakan oleh Komite Bersama uji kompetensi
Dokter Indonesia.
Penguji OSCE reguler di FK UNIZAR harus melaksanakan tugas 10
jam. Pelaksanaan ujian OSCE reguler menggunakan enam dosen penguji yang
harus bertanggungjawab pada satu stasiun ujian dengan alokasi waktu observasi
simulasi keterampilan adalah 10 menit untuk setiap peserta ujian. Jumlah peserta
yang di uji adalah 60 orang, sehingga total waktu menguji adalah 600 menit atau
10 jam. Penguji melaksanakan tugas menguji untuk 60 peserta ujian, dilakukan
4
sambil duduk selama kurang lebih 10 jam. Proses kerja yang sama dilakukan
berulang dan melibatkan aktivitas fisik serta mental, dapat menimbulkan
kelelahan umum maupun kebosanan bahkan keluhan otot. Hal ini dapat
disebabkan oleh waktu yang digunakan melebihi jadwal yang telah ditetapkan,
metode kerja yang kurang variatif atau bersifat monoton, sarana dan prasarana
yang kurang sesuai dengan antropometri serta kurangnya melakukan istirahat
berupa istirahat aktif. Dampak yang ditimbulkan dapat mempengaruhi ketelitian,
kecepatan dan konstansi kerja yang pada akhirnya kinerja bisa terganggu
(Sutajaya, 2006).
Kinerja seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya
keluhan kerja berupa kebosanan, keluhan muskuloskeletal, dan kelelahan
(Mangkuprawira, 2003). Oleh karena itu, peningkatan kinerja secara ergonomis
dapat diukur berdasarkan indikator penurunan kebosanan, keluhan
muskuloskeletal dan kelelahan (Arimbawa, 2010). Kelelahan biasanya dapat
berupa adanya perasaan sakit, berat pada bola mata (mengantuk) pusing, jantung
berdebar dan malas beraktivitas (Kroemer dan Grandjean, 2000). Kelelahan yang
dialami penguji ditandai dengan beberapa aktivitas, seperti (1) menoleh ke kiri
dan ke kanan; (2) menggeser-geser pantat; (3) menguap; dan (4) waktu ujian
dirasakan berlangsung sangat lambat (Sutajaya, 2006).
Studi pendahuluan mengenai kebosanan, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal terhadap penguji dengan duduk statis dalam waktu lama
didapatkan bahwa dari total enam orang penguji yang mengalami kelelahan
sebanyak empat orang dan keluhan muskuloskeletal di bagian bahu sebanyak tiga
orang, bagian punggung sebanyak empat orang, bagian pinggang sebanyak lima
5
orang serta bagian bokong sebanyak lima orang. Sebanyak enam orang atau
semuanya mengalami kebosanan saat menguji. Penelitian lain yang dilakukan
oleh Irwanti (2011) pada siswa kelas X SMK Pariwisata Triatma Jaya Badung
dalam proses pembelajaran dengan duduk statis dalam waktu lama didapatkan
bahwa sebanyak 44,5% peserta didik mengalami kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal di bagian bahu sebanyak 40,5%, bagian punggung sebanyak
45%, bagian pinggang sebanyak 62,7% serta bagian bokong sebanyak 47,3%.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kebosanan,
kelelahan, dan keluhan muskeloskeletal adalah dengan melakukan peregangan,
mengatur waktu istirahat yang lebih sering, pemberian teh manis serta menguji di
beberapa stasiun secara bergantian. Upaya yang paling mungkin dilakukan untuk
mengurangi kebosanan, kelelahan, keluhan muskuloskeletal pada ujian OSCE
reguler adalah dengan melakukan peregangan otot dan pemberian teh manis
selama kegiatan menguji. Pengaturan jam istirahat yang lebih sering dinilai tidak
mungkin berkenaan dengan waktu pelaksanaan yang sudah tergolong sangat lama,
demikian pula dengan menguji dibeberapa stasiun secara bergantian tidak
memungkinkan karena akan mengakibatkan bertambahnya beban kerja penguji.
Peregangan merupakan suatu usaha untuk memperpanjang otot istirahat
(relaksasi) sehingga tidak menjadi tegang. Selain mempengaruhi tubuh,
peregangan juga menyegarkan pikiran karena dapat beradaptasi secara visual
terhadap kondisi lingkungan yang lebih variatif. Jika dilakukan dengan perlahan
dan fokus, peregangan dapat menjadi alat penghilang stres (Alter, 2003). Teh
dinyatakan mengandung kafein, selain theanine katekin dan flavonoid oleh
Walton (2002) dalam Sofwan (2013) dapat meningkatkan ketahanan fisik serta
6
menunda terjadinya kelelahan karena meningkatkan kadar serotonin yang ada di
otak. Selain itu, kafein dalam teh juga dapat meningkatkan konsentrasi sewaktu
bekerja dan dapat memperbaiki mood saat bekerja sehingga membuat suasana
kerja menjadi kondusif dan menyenangkan (Sofwan, 2013)
Oleh karena itu, dipandang perlu melakukan penelitian kinerja penguji
OSCE reguler berorientasi ergonomi dengan melakukan peregangan di sela-sela
menguji dan pemberian teh manis untuk menurunkan kebosanan, kelelahan dan
keluhan muskuloskeletal penguji OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Al-Azhar Mataram. Peningkatan kinerja tersebut, diharapkan meningkatkan mutu
lulusan yang dihasilkan karena menguasai kompetensi sesuai Standar Kompetensi
Dokter Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian ujian OSCE
reguler berorientasi ergonomi berupa istirahat aktif berbentuk peregangan dan
minum teh manis sebagai berikut:
a. Apakah Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi berupa istirahat aktif
berbentuk peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja
penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram di lihat
dari penurunan kebosanan?
b. Apakah Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi berupa istirahat aktif
berbentuk peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja
7
penguji di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram di lihat
dari penurunan kelelahan?
c. Apakah Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi berupa istirahat aktif
berupa peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji
di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari
penurunan keluhan muskuloskeletal?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji adanya peningkatan kinerja penguji
OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram
dilihat dari penurunan kebosanan, penurunan kelelahan dan penurunan keluhan
muskuloskeletal
1.3.2 Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi dapat
meningkatkan kinerja penguji OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari penurunan kebosanan.
b. Untuk mengetahui ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi dapat
meningkatkan kinerja penguji OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari penurunan kelelahan.
8
c. Untuk mengetahui ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi dapat
meningkatkan kinerja penguji OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Al-Azhar Mataram di lihat dari penurunan keluhan muskuloskeletal
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan :
a. Dapat memberikan solusi terhadap permasalahan ujian OSCE reguler dalam
hal peningkatan kinerja para penguji OSCE di Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Al-Azhar Mataram
b. Menjadi salah satu masukan bagi pengambil kebijakan pada perguruan tinggi
Universitas Islam Al-Azhar Mataram untuk memperhatikan proses ujian
OSCE reguler agar lebih memenuhi kaedah ilmu ergonomi.
c. Dapat digunakan untuk membantu para penguji OSCE di perguruan tinggi
manapun agar bekerja lebih optimal dengan kinerja yang baik.
1.4.2 Manfaat Teoritis
Penelitian ini merupakan aplikasi dari teori ergonomi, diharapkan dapat
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat dijadikan acuan untuk
penelitian yang sejenis atau penelitian lebih lanjut yang mendalam
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ujian OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar (FK
UNIZAR) Mataram
2.1.1 Objective Structured Clinical Examination (OSCE)
OSCE adalah suatu metode untuk menguji kompetensi klinik secara
objektif dan terstruktur, dalam bentuk putaran stasiun dengan waktu tertentu.
Metode ini disebut objektif dan terstruktur, Objektif karena semua peserta ujian
diuji dengan materi ujian yang sama. Penguji OSCE, diberikan panduan lembar
penilaian dan cara menilai keterampilan klinik yang dilakukan peserta ujian.
Subyektivitas dapat dihindari dengan menggunakan metode ini, karena penguji
menilai berdasarkan tindakan yang dilakukan peserta kemudian mencocokannya
dengan kriteria penilaian yang ada, bukan berdasarkan pengetahuan penguji.
Terstruktur karena semua instruksi ujian dituliskan dengan urut pada lembar yang
telah disediakan.
Selama ujian penguji harus menguji peserta yang mendatangi beberapa
stasiun secara berurutan. Pada masing-masing stasiun ada suatu tugas atau soal
yang harus dikerjakan/ didemonstrasikan atau pertanyaan yang harus dijawab
oleh peserta ujian. Penguji harus mengobservasi peserta yang datang pada stasiun
ujian yang menjadi tanggungjawabnya mengenai kemampuan menginterpretasi
data atau materi klinik serta menjawab pertanyaan lisan. Setiap stasiun, dibuat
seperti kondisi klinik yang mendekati senyata mungkin. Penguji OSCE menilai
10
berdasarkan keputusan yang sifatnya menyeluruh, bersumber dari berbagai
komponen kompetensi. Setiap penguji yang bertugas pada setiap stasiun,
bertanggungjawab pada materi uji yang spesifik. Setiap penguji harus
memberikan materi uji klinik yang sama kepada seluruh peserta ujian. Setiap
penguji menyiapkan waktu untuk masing-masing peserta ujian, tergantung pada
modul pembelajaran yang berkisar antara lima sampai lima belas menit. Paling
sering menggunakan waktu sepuluh menit.
2.1.2 Jenis OSCE di FK UNIZAR
2.1.2.1 OSCE Nasional
OSCE Nasional diselenggarakan mengikuti kalender Uji Kompetensi yang
telah ditetapkan Panitia Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi
Dokter, yaitu empat kali dalam satu tahun. OSCE ini bertujuan untuk memperoleh
sertifikat kompetensi dalam bentuk Surat Tanda Registrasi yang dapat digunakan
memperoleh Surat Izin Praktik.
Beberapa aturan yang menjadi dasar pelaksanaan Uji Kompetensi di
Indonesia dalam bentuk OSCE adalah (Dikti, 2011):
a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan
c. Undang-undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
11
d. Perkonsil Nomor 1/2005 tentang Registrasi
e. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20/KKI/KEP/IX/2006
tentang Pengesahan Standar Pendidikan Profesi Dokter
f. Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 21 A/KKI/Kep/IX/2006
tentang Standard Kompetensi Dokter Indonesia
Adapun tujuan dilaksanakannya OSCE secara nasional adalah:
a. Penapisan dokter/dokter gigi untuk menghasilkan dokter/dokter gigi yang
kompeten
b. Menciptakan sistem ujian yang objektif dan terstandar secara nasional
c. Melengkapi ujian kompetensi dari segi psikomotor dan perilaku
Blue print OSCE menggambarkan materi yang diujikan secara
proporsional. Blue print menentukan keterampilan klinik, keterampilan
komunikasi, dan pengetahuan yang diuji dengan memperhatikan keterwakilan
sistem, lokasi, fokus kompetensi, serta kasus sehingga peserta diuji secara
komprehensif. Adapun komponen penilaian berdasarkan blue print OSCE tersebut
adalah penilaian kompetensi (Actual Mark) yang terdiri dari tujuh area
kompetensi dan yang kedua adalah penilaian keseluruhan (Global rating).
a. Penilaian Kompetensi (Actual Mark)
Kompetensi yang dinilai dalam OSCE Uji Kompetensi Dokter Indonesia
adalah:
1) Kemampuan Anamnesis
Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta memfasilitasi pasien
untuk menceritakan kesakitannya. Menggunakan pertanyaan yang sesuai
12
untuk mendapatkan informasi yang akurat. Memberikan respon yang sesuai
terhadap isyarat pasien baik yang verbal maupun non verbal.
2) Kemampuan pemeriksaan fisik
Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta melakukan pemeriksaan
fisik sesuai masalah klinik pasien dengan menggunakan teknik pemeriksaan
yang logis, sistematik/runut dan efisien. Tanggap terhadap kenyamanan
pasien dan memberikan penjelasan ke pasien
3) Melakukan tes/prosedur klinik atau interpretasi data untuk menunjang
diagnosis banding atau diagnosis.
Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta untuk melakukan suatu
tes/prosedur klinik dengan benar dan menyampaikan prosedur atau hasilnya
atau menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang dengan benar dan
menjelaskan kepada pasien dengan tepat.
4) Penegakan diagnosis/diagnosis banding
Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta menetapkan
diagnosis/diagnosis banding yang tepat, sesuai dengan masalah klinik pasien.
5) Tatalaksana
a. Non-farmakoterapi (tindakan)
Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta melakukan tindakan yang
sesuai masalah klinik pasien dan menyampaikan alasan dan prosedur
pelaksanaan tindakan.
13
b. Farmakoterapi
Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta memilih obat yang
rasional.
6) Komunikasi dan atau edukasi pasien
Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta berkomunikasi dengan
baik, yaitu menggali perspektif pasien dengan bahasa yang bisa dimengerti,
memberikan kesempatan bertanya kepada pasien, menanggapi
pertanyaan/pernyataan pasien baik verbal maupun non verbal, melakukan
diskusi, negosiasi dan membina hubungan baik dengan pasien dan atau
memberikan penyuluhan yang isinya sesuai dengan masalah pasien dengan
cara yang tepat.
7) Perilaku Profesional
Penilaian ini meliputi penilaian kemampuan peserta mempraktekkan aspek
profesionalisme yaitu meminta informed consent, melakukan setiap tindakan
dengan berhati-hati dan teliti sehingga tidak membahayakan pasien,
memperhatikan kenyamanan pasien, melakukan tindakan sesuai prioritas dan
menunjukan rasa hormat kepada pasien. Menyadari keterbatasan dengan
merujuk pasien ke dokter/layanan kesehatan yang lebih baik.
b. Penilaian Umum (Global Rating)
Selain penilaian kompetensi, peserta ujian akan dinilai kemampuannya
secara umum. Komponen penilaian ini merupakan impresi penguji setelah melihat
kemampuan peserta secara keseluruhan apakah peserta mampu menjadi dokter
14
dengan kemampuan yang ada. Terdiri dari tidak lulus, borderline, lulus serta
superior. Nilai borderline akan menjadi dasar dalam penentuan nilai batas lulus.
Tujuh area kompetensi yang akan diujikan tidak harus selalu ada di tiap stasiun,
bisa saja satu stasiun hanya menguji beberapa kemampuan kompetensi, misalnya
di stasiun satu menguji kompetensi anamnesa dan pemeriksaan fisik serta perilaku
profesional, di stasiun dua diujikan titik beratnya pada kemampuan diagnosis,
terapi, edukasi pasien dan perilaku profesional dan sebagainya. Dari 12 stasiun
yang diujikan, ketujuh area kompetensi tersebut harus masuk didalamnya. Satu
area kompetensi yang wajib ada di tiap stasiun adalah perilaku profesional.
Adapun 12 stasiun yang akan dinilai dalam OSCE Dokter, yaitu:
1) Endokrin dan metabolisme
2) Hematologi dan onkologi
3) Psikiatri
4) Sistem gastrointestinal
5) Sistem kardiovaskuler
6) Sistem muskuloskeletal
7) Sistem genitourinaria
8) Sistem pengindraan
9) Sistem reproduksi
10) Sistem respirasi
11) Sistem saraf
12) Kepala leher
15
Setiap stasiun dilaksanakan dalam waktu 15 menit. Minimal tujuh stasiun
harus menggunakan Pasien Standar dan maksimal lima stasiun menggunakan
manekin atau alat peraga. Penulisan soal perlu diperhatikan dengan baik agar
peserta ujian tidak mengalami kesulitan saat membaca soal dan penguji, pasien
standar, serta laboran mudah menjalankan perintah yang ada di soal pada stasiun
tersebut. Format penulisan soalpun distandarkan secara nasional, meliputi unsur
sebagai berikut:
1) Nomor stasiun
2) Judul stasion
3) Waktu yang dibutuhkan
4) Tujuan stasiun
5) Kompetensi
6) Kategori
7) Instruksi untuk peserta
8) Instruksi untuk penguji
9) Instruksi untuk pasien simulasi
10) Peralatan yang dibutuhkan
11) Penulis
12) Referensi
13) Lembar Penilaian (Rubrik)
Soal OSCE dibuat oleh staf pendidik yang juga merupakan tenaga
kesehatan sesuai profesi dari institusi pendidikan kedokteran di Indonesia. Proses
pembuatan soal dilakukan bersama-sama dalam suatu lokakarya yang diadakan di
16
tingkat regional. Soal yang dihasilkan dari workshop ini kemudian ditelaah oleh
Tim OSCE Nasional untuk analisis kemungkinan pelaksanaan stasiun tersebut.
Soal yang telah dianggap layak selanjutnya ditelaah kembali oleh Kolegium
terkait (panel expert). Selanjutnya soal ini diujicobakan pada pelatihan penguji
OSCE dan pelatih Pasien Standarisasi (PS). Soal yang baik disimpan dalam bank
soal UKDI dan memiliki kesempatan untuk diujikan pada OSCE UKDI. Setiap
soal OSCE harus dibuat sesuai cetak biru penilaian dan format penulisan soal
yang disepakati dengan menggunakan formulir yang terstandarisasi serta di
review bersama sesuai formulir yang terstandarisasi. Soal OSCE yang telah
dihasilkan disimpan dalam bank soal OSCE dalam bentuk komputerisasi.
Penentuan batas lulus dilakukan setelah penyelenggaraan OSCE secara
nasional selesai pada periode ujian tertentu. Metode yang digunakan adalah
Borderline Group Method atau Borderline Regression Method. Metode ini
memiliki kredibilitas yang lebih baik karena memiliki penilaian sebagai berikut.
1) Setiap peserta dinilai pada setiap stasiun menggunakan lembar penilaian
peserta yang berdasarkan kemampuan peserta dengan memperhatikan daftar
tilik yang disediakan (actual mark).
2) Pada bagian bawah dari lembar tersebut terdapat global performance yang
merupakan persepsi (kesan) umum dari penguji terhadap keseluruhan
penampilan peserta (sesuai aspek yang diuji, mulai anamnesis sampai dengan
perilaku profesional) berupa superior, lulus, borderline atau tidak lulus.
3) Selanjutnya data dari setiap stasiun dikumpulkan dan dihitung.
17
4) Dibuat suatu perhitungan persamaan dengan komputerisasi dengan
menggunakan hasil dari global performance sebagai variabel bebas
(independen) dan hasil dari daftar tilik sebagai variabel tergantung
(dependen).
5) Nilai batas lulus adalah perpotongan antara kandidat yang borderline dan
lulus.
6) Nilai batas lulus ini menunjukkan minimum kemampuan seorang dokter
untuk stasiun tersebut.
Metode ini sangat tergantung dari kemampuan penguji untuk menjadi
penilai yang tepat dalam menentukan penampilan minimal seorang kandidat dan
juga sangat tergantung pada jumlah kandidat yang mengikuti OSCE pada periode
tertentu. Kelulusan OSCE melihat kelulusan stasiun dengan penentuan metode di
atas.
2.1.2.2 OSCE Komprehensif
OSCE Komprehensif merupakan OSCE yang dilakukan setelah
mahasiswa menyelesaikan program pendidikan sarjana kedokteran. OSCE ini
syarat wajib sebelum mahasiswa mengikuti program pendidikan profesi dokter
atau kepaniteraan klinik (Co Assisten/Co Ass) di rumah sakit atau sarana
pelayanan kesehatan lain. Diselenggarakan minimal tiga kali dalam setahun
mengikuti format OSCE Nasional.
Format OSCE komprehensif mengacu kepada OSCE Nasional.
Mahasiswa yang dinyatakan lulus di semua stasiun berhak melanjutkan ke jenjang
pendidikan profesi dokter. Sebaliknya mahasiswa yang tidak lulus pada OSCE ini
18
diharuskan mengulang di OSCE komprehensif berikutnya sampai lulus disemua
stasiun.
2.1.2.3 OSCE Reguler
OSCE reguler dilaksanakan berdasarkan standar nasional mulai dari
pembuatan soal, proses ujian hingga penentuan kelulusan menggunakan
borderline group methode. Tujuan pelaksanaan OSCE reguler adalah menguji
keterampilan klinis peserta didik, dilaksanakan pada setiap akhir modul setelah
mempelajari materi klinik setiap modul.
Ujian berlangsung dalam tiga sesi, yaitu: (1) sebelum istirahat makan
siang; (2) setelah istirahat makan siang dan sebelum shalat ashar; (3) setelah
selesai shalat ashar. Pada sesi pertama, penguji harus melaksanakan tugas selama
300 menit tanpa istirahat atau asupan kalori apapun karena jumlah peserta yang
diuji adalah 30 orang. Waktu setiap peserta adaah 10 menit. Kegiatan yang
dilakukan selama duduk 300 menit (5 jam) merupakan kegiatan yang sama dan
diulang untuk 30 peserta ujian yaitu mengobservasi tindakan yang dilakukan
peserta ujian. Pada sesi kedua dilakukan selama 180 menit (3 jam) mulai pukul
13.00-16.00 karena jumlah peserta ujian adalah 18 mahasiswa. Penguji melakukan
kegiatan yang sama seperti pada sesi pertama, tetapi kondisi lingkungan sudah
lebih panas dan jam biologis istirahat. Pada sesi ketiga dilakukan selama 120
menit (2 jam) mulai pukul 16.15-18.15 karena jumlah peserta ujian hanya 12
mahasiswa.
19
2.1.3 Frekuensi dan Durasi OSCE reguler di FK UNIZAR
2.1.3.1 Frekuensi
Pada satu semester telah disiapkan tiga sampai empat modul
pembelajaran, sehingga bisa dilakukan tiga sampai empat kali ujian OSCE. Pada
semester ganjil terdapat empat semester aktif (semester I, III, V, VII), sehingga
dalam 1 semester dilakukan sedikitnya 12 kali ujian OSCE reguler. Mahasiswa
yang tidak lulus di salah satu stasiun OSCE reguler, harus mengikuti ujian
ulangan OSCE reguler. Pada semester genap terdapat tiga semester aktif (semester
II, IV, VI), maka dalam 1 semester genap dilakukan sedikitnya 9 kali ujian OSCE
reguler. Mahasiswa yang tidak lulus di salah satu stasiun OSCE reguler, harus
mengikuti ujian ulangan OSCE reguler.
2.1.3.2 Durasi
OSCE reguler di FK UNIZAR dilakukan oleh enam penguji yang
bertanggungjawab terhadap satu stasiun ujian dengan alokasi waktu bertugas
adalah 10 menit untuk setiap peserta ujian yang pada awal dan akhir ujian ditandai
bunyi bel. Total satu putaran OSCE adalah 60 menit. Enam peserta ujian yang
telah dipanggil untuk ujian menempatkan diri di depan stasiun yang telah
ditentukan, satu orang di stasiun satu, yang lain di stasiun dua, tiga, empat, lima
dan enam. Bel pertama berbunyi menandakan peserta mulai mengerjakan ujian
dan dimulai juga tugas penguji dalam menguji. Sepuluh menit berlalu bel akan
berbunyi dan peserta ujian harus berpindah dari stasiun awal ke stasiun
berikutnya. Peserta yang mulai ujian di stasiun satu pindah ke stasiun dua, peserta
di stasiun dua pindah ke stasiun tiga, peserta di stasiun tiga pindah ke stasiun
20
empat, peserta di stasiun empat pindah ke stasiun lima, peserta di stasiun lima
pindah ke stasiun enam, peserta di stasiun enam pindah ke stasiun satu. Demikian
seterusnya hingga ada bel berbunyi dua kali menandakan peserta selesai
mengerjakan ujian disemua stasiun. Berikutnya akan dipanggil enam peserta ujian
lagi untuk ujian yang sama seperti prosedur yang telah dijelaskan, seterusnya
hingga semua peserta. Total peserta ujian adalah 60 orang. Sehingga total ada 10
kali putaran ujian OSCE. Jika masing-masing putaran 60 menit, maka total ujian
adalah 600 menit atau 10 jam.
2.1.4 Proses OSCE reguler di FK UNIZAR
2.1.4.1 Persiapan
Persiapan merupakan tahapan terpanjang dalam rangkaian OSCE, meliputi
sejumlah materi yang harus dipersiapkan sebelum OSCE dimulai. Pengarahan
OSCE reguler diadakan maksimal satu hari sebelum OSCE dilaksanakan, bagi
peserta ujian OSCE yang sudah memenuhi syarat kehadiran seratus persen
diperkenankan mengikuti OSCE reguler dan wajib hadir pada pengarahan OSCE
reguler. Peserta yang tidak menghadiri pengarahan maka tidak diikutsertakan
dalam ujian OSCE. Pada pengarahan ini, dijelaskan jumlah penguji yang
bertanggungjawab pada satu stasiun ujian. Pelaksanaan perputaran/rotasi, setelah
peserta selesai di uji oleh seorang penguji yang bertanggungjawab disalah satu
stasiun. Ketentuan lain yang wajib ditaati seperti: larangan membawa apapun ke
dalam stasiun ujian dan lain sebagainya. Pada acara pengarahan ini juga dibagikan
nomor peserta ujian, sebagai faktor yang paling menentukan tentang waktu
21
peserta akan memulai ujian, karena mereka dipanggil untuk ujian OSCE
berdasarkan nomor peserta. Pengarahan diberikan oleh instruktur skills lab,
sebagai penanggungjawab modul bersangkutan dan dihadiri juga oleh seluruh
instruktur skills lab yang juga bertindak sebagai penguji OSCE.
a. Membuat soal
Pembuatan soal mengikuti format baku OSCE Nasional, terdiri atas:
nomor stasiun, judul stasiun, waktu yang dibutuhkan, tujuan stasiun, kompetensi,
kategori, instruksi untuk peserta, instruksi untuk penguji, instruksi untuk pasien
simulasi, peralatan yang dibutuhkan, penulis, referensi, dan lembar penilaian.
setiap instruktur, sebelumnya sudah diminta membuat soal terlebih dahulu,
kemudian dirapatkan dengan seluruh instruktur yang juga menguji saat OSCE
berlangsung. Soal yang digunakan pada OSCE disesuaikan dengan modul yang
diujikan pada OSCE tetapi tetap mengacu pada tujuh area kompetensi dan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang berkriteria kompetensi 4, artinya
keterampilan tersebut wajib dikuasai oleh level dokter umum. Pada tahap ini juga
terlihat instruksi untuk peserta yaitu soal yang harus dikerjakan, terdapat juga
instruksi untuk penguji, instruksi untuk pasien simulasi, peralatan yang
dibutuhkan sehingga dapat ditentukan lama perkiraan waktu yang dibutuhkan
peserta untuk mengerjakan soal tersebut. Selain itu, diketahui jumlah pasien
simulasi yang dibutuhkan pada OSCE tersebut dan jenis alat dan bahan yang
dibutuhkan. Terakhir adalah membuat lembar penilaian/rubrik, berisi jawaban dari
soal yang ditanyakan dan item yang dijadikan penilaian. Rubrik berisi dua hal
pokok dalam penilaian yaitu penilaian actual mark dan global rating.
22
Pada Actual Mark, misalnya dalam satu stasiun kompetensi yang dinilai
adalah kemampuan anamnesa, pemeriksaan fisik, komunikasi dan perilaku
profesional. Skala penilaian adalah 0-3 untuk setiap kompetensi. Sebagai contoh
pada kompetensi anamnesa, nilai 0 jika peserta ujian tidak melakukan anamnesa
sama sekali, nilai 1 jika melakukan sebagian dari anamnesa, nilai 2 jika
melakukan keseluruhan anamnesa tetapi tidak sempurna, nilai 3 jika melakukan
seluruh poin anamnesa dengan sempurna. Ketentuan tersebut tidak baku, tetapi
dapat dibakukan setelah disepakati dalam rapat. Pada kompetensi pemeriksaan
fisik yang harus urut misalnya dapat digunakan skala angka, jika dalam satu
pemeriksaan fisik terdapat 10 langkah misalnya, nilai 0 tidak melakukan sama
sekali, nilai 1 melakukan 1-5 step, nilai 2 melakukan 6-8 step, nilai 3 melakukan
9-10 step. Begitu juga berlaku untuk menilai komunikasi dan perilaku profesional.
Semua ketentuan tersebut mengacu kepada standar OSCE nasional, hanya titik
berat penilaiannya, ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama.
Pada global rating, penguji menilai keseluruhan penampilan peserta.
Global rating dinilai paling belakang dari penampilan peserta secara umum. Nilai
untuk global rating adalah lulus, tidak lulus, borderline dan superior. Penilaian
global rating ini dijadikan acuan pada borderline group methode, karena semua
nilai peserta yang mendapatkan borderline dijumlahkan kemudian dibagi
sejumlah peserta yang mendapatkan nilai borderline. Hasil bagi tersebut adalah
nilai yang menjadi batas lulus peserta ujian. Rubrik inilah yang dijadikan acuan
penguji dalam menilai. Tahap membuat soal ini dilakukan maksimal satu minggu
sebelum OSCE dilaksanakan
23
b. Review soal
Setelah soal disepakati, melakukan review. Pada tahap ini, setiap
penguji diberikan tugas menguji di salah satu stasiun. Penguji harus melakukan
demonstrasi skills yang diujiankan. Dengan demikian, alokasi waktu ujian dapat
lebih jelas lagi. Misalnya, Jika penguji mampu mengerjakan soal ujian dalam
waktu delapan menit maka waktu yang akan disediakan pada saat ujian adalah
sepuluh menit. Semua penguji melakukan review pada soal yang diujinya dan
harus mencapai kesepakatan waktu ujian. Jika terlalu lama, jumlah soalnya
dikurangi, sebaliknya jika terlalu cepat, maka soal harus ditambah.
c. Persiapan tata ruang, alat dan bahan
Setelah pengarahan atau satu hari menjelang ujian OSCE, ruangan
harus sudah di tata sesuai dengan soal ujian. Pada stasiun yang mengharuskan
peserta ujian melakukan anamnesa atau wawancara maka harus disediakan set
meja dan kursi yang di tata untuk pasien simulasi dan peserta ujian, pada stasiun
yang membutuhkan pemeriksaan fisik dada atau perut harus disediakan bed pasien
berbaring. Peralatan dan bahan yang dibutuhkan, juga harus sudah di tempatkan
pada stasiun masing-masing.
2.1.4.2 Proses Ujian OSCE Reguler
Pukul enam pagi, semua yang terlibat dalam penyelenggaraan OSCE
reguler sudah harus hadir di gedung skills lab. Peserta mulai mempersiapkan diri,
penguji kembali melakukan cek semua yang dibutuhkan stasiunnya masing-
masing termasuk melakukan briefing ulang terhadap pasien simulasi, ini penting
agar pasien simulasi dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak
24
menyimpang dari skenario soal. Dokter penanggungjawab, melakukan final
briefing kepada peserta ujian. Setelah semua siap, enam orang dokter penguji
memasuki stasiun masing-masing dan satu orang dokter penanggungjawab tidak
ikut menguji, karena tugasnya mengawasi dan memastikan ujian OSCE
berlangsung dengan baik dan lancar.
Peserta ujian dipanggil berdasarkan nomor peserta, enam orang peserta
ujian memasuki ruang ujian dan menunggu di depan stasiun masing-masing yang
sudah diberi nama. Bel pertama berbunyi, peserta ujian mulai membaca soal yang
tertempel di depan stasiun ujian, setelah dirasa cukup memahami isi instruksi
peserta (soal) kemudian peserta ujian memasuki stasiunnya. Peserta mulai
mengerjakan materi yang diinstruksikan oleh soal. Penguji memperhatikan dan
mengamati setiap langkah demi langkah yang dikerjakan oleh peserta ujian,
menilainya berdasarkan rubrik yang telah di persiapkan. Jika bel berbunyi,
tandanya waktu habis dan peserta ujian harus berpindah ke stasiun berikutnya.
Peserta ujian yang berada di stasiun satu berpindah ke stasiun dua, peserta di
stasiun dua berpindah ke stasiun tiga, peserta di stasiun tiga berpindah ke stasiun
empat, peserta di stasiun empat berpindah ke stasiun lima, peserta di stasiun lima
berpindah ke stasiun enam, peserta di stasiun enam berpindah ke stasiun satu
demikian seterusnya hingga enam stasiun mereka masuki dan mengerjakan semua
soal.
25
Gambar 2.1: Denah ruang skills lab FK UNIZAR dan perpindahan antar stasiun
Bunyi bel dua kali menandakan waktu habis dan semua peserta menyelesaikan
enam putaran stasiun. Peserta yang telah selesai ujian turun melalui tangga
belakang dan peserta putaran berikutnya memasuki ruangan, demikian seterusnya
hingga peserta melaksanakan ujian semuanya.
2.1.4.3 Penentuan kelulusan
Peserta ujian OSCE dinyatakan lulus di salah satu stasiun, apabila
nilainya di atas borderline. Pada saat ujian, penguji menilai peserta berdasarkan
nilai actual mark (skala 0-3) setiap komponen kompetensi dan global rating
(lulus, tidak lulus, borderline, superior) hasil semua peserta yang mendapatkan
nilai borderline dijumlahkan menjadi satu. Misalnya dalam satu stasiun diujikan
empat komponen kompetensi, setiap kompetensi nilai maksimal tiga jadi nilai
tertinggi di stasiun tersebut adalah 12. Peserta yang mendapatkan predikat
borderline misalnya ada 10 orang dengan nilai masing-masing 5,5,6,5,6,5,6,6,5,4,
total 53. Nilai total tersebut dibagi sejumlah peserta yang mendapatkan predikat
borderline yaitu 10 orang. Jadi nilai batas lulus di stasiun tersebut adalah 5,3.
STASIUN 6
STASIUN 5
STASIUN 4
STASIUN
1
STASIUN
2
STASIUN
3
26
Peserta yang jumlah nilai actual mark nya lebih dari itu dinyatakan lulus di
stasiun tersebut. Sebaliknya, peserta yang jumlah nilai actual mark kurang dari
atau sama dengan 5,3 dinyatakan tidak lulus. Jika peserta mendapatkan predikat
lulus pada saat penilaian global rating namun jumlah nilai actual marknya di
bawah atau sama dengan ambang batas lulus maka peserta tersebut dinyatakan
tidak lulus. Sebaliknya peserta dengan predikat tidak lulus dan borderline yang
jumlah nilai actual mark nya diatas nilai ambang batas lulus maka peserta tersebut
hasil akhirnya dinyatakan lulus. Peserta yang hasil akhirnya dinyatakan tidak
lulus, dapat mengikuti ujian ulang yang waktu pelaksanaan ditentukan kemudian.
Peserta hanya mengulang pada stasiun yang tidak lulus saja.
2.2 Kondisi Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Al-Azhar (FK UNIZAR) Mataram
2.2.1 Stasiun Kerja Penguji OSCE di FK UNIZAR
OSCE reguler dibagi dalam enam stasiun, masing-masing stasiun
terdapat seorang penguji OSCE reguler. Tiap stasiun dilengkapi dengan kursi dan
meja kerja. Selain itu ada juga bed periksa dan meja alat untuk digunakan ujian.
Penguji bertugas mengamati dan menilai di lembar penilaian yang telah
disediakan dimeja masing-masing. Stasiun kerja penguji OSCE reguler dapat
dilihat pada Gambar 2.2
27
Gambar 2.2 stasiun kerja penguji OSCE reguler FK UNIZAR
Faktor yang penting dan mempengaruhi kondisi pengujii saat bekerja
adalah lingkungan kerja, yang meliputi suhu, intensitas penerangan dan
kebisingan.
a. Suhu
Suhu udara di setiap stasiun OSCE reguler dapat disesuaikan dengan
kondisi masing-masing penguji OSCE reguler karena semua stasiun sudah
dilengkapi pendingin ruangan.
b. Intensitas penerangan
Penerangan disetiap stasiun berasal dari cahaya matahari dan jika dirasa
kurang memadai dapat menggunakan lampu. Rata-rata penerangan tiap
stasiun adalah 500 lux.
c. Kebisingan
Setiap stasiun OSCE dilengkapi dengan dinding yang dapat meredam
suara, sehingga ketika dalam keadaan tertutup, semua suara dari luar tidak
terdengar.
28
2.2.2 Sikap kerja penguji OSCE reguler di FK UNIZAR
Sikap kerja para penguji OSCE reguler selama menjalankan tugas
adalah posisi duduk dikursi dengan sandaran, dilengkapi meja kerja. Penguji
mengamati dan menilai peserta ujian dari tempat duduk tersebut, dengan sikap
kerjaseperti ditunjukan pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Sikap Kerja Penguji OSCE Reguler FK UNIZAR
2.2.3 Kinerja Penguji OSCE di FK UNIZAR
Pada proses kerja yaitu menguji OSCE reguler di FK UNIZAR, penguji
dengan kinerja baik akan mampu menilai dengan objektif sesuai lembar penilaian
dan sesuai kemampuan peserta. Penguji dapat menilai dengan objektif jika dalam
kondisi yang baik, tidak merasa bosan, tidak merasa kelelahan maupun terdapat
keluhan muskuloskeletal. Kinerja seseorang sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya keluhan kerja berupa: kebosanan akibat beban kerja, keluhan
muskuloskeletal, dan kelelahan (Mangkuprawira, 2003). Sehingga peningkatan
kinerja secara ergonomis dapat diukur berdasarkan indikator penurunan
kebosanan akibat beban kerja, keluhan muskuloskeletal dan kelelahan
(Arimbawa, 2010).
29
Kinerja penguji OSCE reguler diniai baik pada akhirnya adalah jika dapat
melakukan penilaian dengan obyektif. Hal ini dapat tercermin dari: 1)lembar
penilaian terisi penuh, 2) terdapat feedback yang dituliskan pada lembar penilaian
terutama pada saat tidak meluluskan peserta ujian, 3) dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dinilai saat rapat akhir penentuan kelulusan,
4) sedikit atau bahkan tidak ada komplain dari peserta ujian yang dirugikan
akibat kesalahan penilaian saat nilai diumumkan.
2.2.4 Beban Kerja Penguji OSCE reguler di FK UNIZAR
Penguji memperhatikan dan mengamati setiap langkah demi langkah
tindakan peserta ujian, menilainya berdasarkan rubrik yang telah di persiapkan.
Jika bel berbunyi, tandanya waktu habis dan penguji ujian harus menghentikan
tugasnya sementara serta menunggu datangnya peserta ujian berikutnya. Peserta
ujian yang berada di stasiun satu berpindah ke stasiun dua, peserta di stasiun dua
berpindah ke stasiun tiga, peserta di stasiun tiga berpindah ke stasiun empat,
peserta di stasiun empat berpindah ke stasiun lima, peserta di stasiun lima
berpindah ke stasiun enam, peserta di stasiun enam berpindah ke stasiun satu
demikian seterusnya hingga enam stasiun mereka masuki dan mengerjakan semua
soal.
Ujian berlangsung dalam tiga sesi, yaitu: (1) sebelum istirahat makan
siang; (2) setelah istirahat makan siang dan sebelum shalat ashar; (3) setelah
selesai shalat ashar. Pada sesi pertama, penguji harus melaksanakan tugas selama
300 menit tanpa istirahat atau asupan kalori apapun karena jumlah peserta yang
30
diuji adalah 30 orang. Waktu setiap peserta adaah 10 menit. Kegiatan yang
dilakukan selama duduk 300 menit (5 jam) merupakan kegiatan yang sama dan
diulang untuk 30 peserta ujian yaitu mengobservasi tindakan yang dilakukan
peserta ujian. Pada sesi kedua dilakukan selama 180 menit (3 jam) mulai pukul
13.00-16.00 karena jumlah peserta ujian adalah 18 mahasiswa. Penguji melakukan
kegiatan yang sama seperti pada sesi pertama, tetapi kondisi lingkungan sudah
lebih panas dan jam biologis istirahat. Pada sesi ketiga dilakukan selama 120
menit (2 jam) mulai pukul 16.15-18.15 karena jumlah peserta ujian hanya 12
mahasiswa. Beban kerja fisik dan mental penguji OSCE reguler lebih dari 10 jam.
2.2.5 Kebosanan, Kelelahan Kerja dan Keluhan Muskuloskeletal Penguji
OSCE di FK UNIZAR
Studi pendahuluan mengenai kebosanan, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal terhadap penguji didapatkan bahwa dari total enam orang penguji
yang mengalami kelelahan sebanyak empat orang dan keluhan muskuloskeletal di
bagian bahu sebanyak tiga orang, bagian punggung sebanyak empat orang, bagian
pinggang sebanyak lima orang serta bagian bokong sebanyak lima orang.
Sebanyak enam orang atau semuanya mengalami kebosanan saat menguji.
2.3 Tinjauan Ergonomi
Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menserasikan cara, alat
dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia, demi
terbentuknya kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien
31
untuk tercapainya produktivitas kerja yang setinggi-tingginya. Sebagai ilmu yang
bersifat multidisipliner dimana terintegrasi elemen-elemen fisiologi, psikologi,
anatomi, higiene, teknologi dan ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan
pekerjaan, perkembangan dan prakteknya bertujuan sebagai berikut: (Manuaba,
1998)
a. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental, khususnya dalam rangka
mencegah munculnya cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban
mental dan fisik serta mempromosikan kepuasan kerja.
b. Meningkatkan kesejahteraan sosial dengan memperbaiki kualitas kontak
sosial dan bagaimana megorganisasikan kerja yang sebaik-baiknya.
c. Berkontribusi kepada keseimbangan rasional antara aspek teknis, ekonomi,
antropologi dan budaya dari sistem manusia/mesin, demi tercapainya efisiensi
yang lebih tinggi dari sistem tersebut
Adapun aspek kajian dalam rangka mencapai ketiga tujuan di atas adalah sebagai
berikut:
1) Energi (status nutrisi), dimana nutrisi yang cukup sebagai sumber energi
pekerja mutlak diperlukan, untuk mampu menyelesaikan pekerjaan selama
waktu kerja
2) Aplikasi dari tenaga, dimana diupayakan pemanfaatan tenaga otot secara
optimal dan efisien dengan mendesain pekerjaan sebaik mungkin dan kalau
perlu mengadakan latihan bagi pekerja untuk menekan “stress” (rangsangan
aksi) kepada otot pekerja seminim mungkin
32
3) Posisi tubuh, dimana sikap kerja yang buruk dan terlalu banyak lembur akan
menyebabkan adanya “strain” (reaksi) muskuloskeletal dan menimbulkan
efek negatif kepada kesehatan. Untuk mencegah situasi seperti itu, posisi
kepala, badan dan anggota gerak perlu diperhatikan, khususnya yang
berkaitan dengan cara kerja dan ruang kerja.
4) Kondisi lingkungan, dimana panas, cahaya, bising dan getaran perlu dikaji
untuk mencegah adanya “strain” (reaksi) mental dan fisik.
5) Kondisi yang berhubungan dengan waktu, dimana studi perlu dilakukan
mengenai waktu istirahat, hari libur dan pola kerja bergilir, untuk mengurangi
kelelahan dan pengaruh yang negatif kepada kesejahteraan pekerja.
6) Kondisi sosial, dimana perhatian harus diberikan kepada bagaimana
pekerjaan harus diatur, pemberian “reward” (hadiah) dan kualitas interaksi
sosial antar pekerja dengan berubahnya teknologi.
7) Kondisi informasi, dimana jumlah dan kualitas informasi yang diperlukan
pekerja untuk mampu melaksanakan tugasnya dengan baik merupakan satu
hal yang mutlak. Strain mental dan fisik akan muncul bila informasi yang
dibutuhkan melebihi kapasitas kerja
8) Interaksi manusia/mesin, dimana menetapkan secara tepat apa yang menjadi
tugas pekerja manusia/mesin
Dengan upaya ergonomis, kelelahan kerja dengan segala bentuknya seperti karena
adanya monotoni, besar dan lamanya kerja fisik atau mental, mikro-klimat yang
buruk, masalah-masalah psikologis serta adanya penyakit, bekerja dengan
perasaan sakit dan kurang energi, benar-benar bisa dilenyapkan (Manuaba, 1998).
33
2.3.1 Konsep Ergonomi
Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya
untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,
kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya
secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang
ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis
keseimbangan sehingga dicapai performansi kerja yang tinggi. Dengan kata lain,
tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak
boleh terlalu berlebihan (overload). Karena keduanya, baik underload dan
overload akan menyebabkan stres. Konsep keseimbangan antara kapasitas kerja
dengan tuntutan tugas tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.4 Bagan Konsep Dasar Dalam Ergonomi (Manuaba, 2000)
TASK DEMANDS
WORK CAPACITY
PERFORMANCE
Material
Characteristic
Task/work place
Characteristic
Organization
Characteristic
Environmental
Characteristic
Personal
Capacity Physiological
Capacity
Psychological
Capacity
Biomechanical
Capacity
Quality
Fatique
Discomfort
Injury
Stress
Accident
Diseases
Productivity
34
2.3.2 Sikap Kerja dalam Ergonomi
Sikap kerja adalah sikap tubuh (posture) manusia saat berinteraksi
dengan alat/peralatan kerja. Sikap kerja yang baik adalah sikap kerja yang
memungkinkan melaksanakan pekerjaan dengan efektif dan dengan usaha otot
yang sedikit. Secara mendasar sikap tubuh dalam keadaan tidak melakukan
gerakan atau pekerjaan adalah sikap berdiri, berbaring, berjongkok dan duduk
(Pheasant, 1991). Posisi dan sikap kerja para pekerja saat melakukan aktivitas di
tempat kerja berpengaruh terhadap respon fisiologis pekerja tersebut. Sikap kerja
yang tidak alamiah/ fisiologis merupakan penyebab munculnya berbagai
gangguan pada sistem muskuloskeletal (Manuaba, 1998). Untuk mengatasi
masalah tersebut perlu diketahui kriteria sikap kerja yang ideal dalam melakukan
suatu kegiatan atau pekerjaan antara lain adalah sebagai berikut (Pheasant, 1991;
Palilingan dkk, 2012) :
1) Otot yang bekerja secara statis sangat sedikit.
2) Dalam melakukan tugas dengan memakai tangan dilakukan secara mudah dan
alamiah.
3) Sikap kerja yang berubah – ubah atau dinamis lebih baik daripada sikap kerja
statis rileks.
4) Sikap kerja statis rileks lebih baik daripada sikap kerja statis tegang
Menurut Pheasant (1991), prinsip dasar dalam mengatasi sikap tubuh selama
bekerja adalah sebagai berikut:
1) Cegah inklinasi ke depan pada leher dan kepala.
2) Cegah inklinasi ke depan pada tubuh.
35
3) Cegah penggunaan anggota gerak bagian atas dalam keadaan terangkat.
4) Cegah pemutaran badan dalam sikap asimetris (terpilin).
5) Persendian hendaknya dalam rentangan sepertiga dari gerakan maksimum.
6) Jika menggunakan tenaga otot, hendaknya dalam posisi yang mengakibatkan
kekuatan maksimal.
Kasus yang paling umum berkaitan dengan sikap kerja pada saat melakukan
aktivitas sehari– hari adalah sebagai berikut: (Pheasant, 1991).
1) Inklinasi ke depan pada leher dan kepala, karena medan display terlalu rendah
atau objek terlalu kecil.
2) Sikap kerja membungkuk, karena medan kerja yang terlalu rendah dan objek
diluar jangkauan.
3) Sikap asimetris (terpilin) yang mengakibatkan terjadinya perbedaan beban
pada kedua sisi tulang belakang.
4) Sikap kerja yang salah dapat mengakibatkan postural deformitas pada tubuh
antara lain: lordosis, khiposis dan skoliosis.
Selanjutnya menurut Bridger (1995), sikap kerja yang dilakukan oleh pekerja
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
1) Karakteristik pekerja (subjek): umur, jenis kelamin, antropometri, berat
badan, kesegaran jasmani, pergerakan sendi, penglihatan serta ketangkasan.
2) Tuntutan jenis pekerjaan (task): posisi tubuh, siklus waktu kerja, periode
istirahat, urut – urutan pekerjaan.
3) Rancangan luasan kerja (work space): ukuran peralatan yang digunakan,
ukuran bahan yang dikerjakan, rancangan peralatan, ukuran luasan kerja
36
4) Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan,
kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu, dan vibrasi.
Sikap kerja hendaknya diupayakan dalam posisi alamiah sehingga tidak
menimbulkan sikap paksa yang melampaui kemampuan fisiologis tubuh
(Cumming, 2003). Sikap kerja paksa bisa terjadi pada saat memegang,
mengangkat, dan mengangkut, dan berdiri terlalu lama atau karena
ketidaksesuaian antara alat kerja dengan ukuran tubuh pekerja (Dempsey, 2003;
Hutagalung, 2008).
2.3.3 Mengurangi Beban Kerja dalam Ergonomi
Dalam menghadapi dan mengerjakan suatu pekerjaan berarti tubuh pekerja
akan menerima beban dari luar tubuhnya. Beban tersebut dapat berupa beban fisik
maupun beban mental. Dalam ergonomi setiap beban kerja yang diterima oleh
seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik,
kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban
tersebut. Secara umum Menurut Adiputra (2002), Beban kerja (work load)
merupakan faktor stressor tubuh yang dibedakan menjadi dua kelompok besar
yaitu:
1) External load ( Stressor) adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh
pekerja. Yang termasuk beban kerja eksternal adalah tugas (task) itu sendiri,
organisasi dan lingkungan kerja. Tugas – tugas yang dilakukan baik bersifat
fisik seperti ; sarana kerja, kondisi kerja dan sikap kerja, maupun bersifat
mental seperti kompleksitas atau sulit tidaknya pekerjaan yang mempengaruhi
37
tingkat emosi pekerja. Organisasi mencakup lamanya waktu kerja, proses kerja
dan sistem kerja. Lingkungan kerja seperti panas lingkungan, intensitas
penerangan, kelembaban dan lain –lain.
2) Internal load (strain) adalah beban kerja yang berasal dari dalam tubuh pekerja
yang berkaitan erat dengan adanya harapan, keinginan, kepuasan dan lain –
lain.
Kriteria penilaian beban kerja yang dapat dipakai (Rodahl, 1989), yaitu:
a. Kriteria objektif, yang dapat diukur dan dilakukan oleh pihak lain yang meliputi
reaksi fisiologis, reaksi psikologis/ perubahan tindak tanduk;
b. Kriteria subjektif yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai
pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai kelelahan
yang menggangu, rasa sakit atau pengalaman lain yang dirasakan.
Beban kerja pada proses menguji pada ujian OSCE dapat berupa beban
kerja yang berasal dari faktor eksternal dan dapat juga berasa dari faktor internal.
Untuk itu dalam penilaiannya ada dua kriteria yang dapat dipakai : (a) kriteria
objektif, yang dapat diukur melalui reaksi fisiologis yaitu pengukuran denyut nadi
dan pengukuran penurunan konsentrasi, (b) kriteria subjektif, yang dilakukan oleh
orang yang bersangkutan sebagai pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang
dirasakan sebagai kelelahan yang mengganggu, rasa sakit atau pengalaman lain
yang dirasakan dinilai melalui kuesioner.
Usaha – usaha menurunkan beban kerja menurut Hutagalung (2008),
faktor – faktor yang harus menjadi perhatian adalah:
38
1) Status nutrisi yaitu jumlah kalori yang diperlukan, kualitas gizi, saat
pemberian yang tepat, frekuensi yang tepat, selera, kemauan, kemampuan
ekonomis yang bersangkutan.
2) Pemanfaatan tenaga otot yaitu dengan masih dipakainya tenaga manusia
sebagai alat angkut, maka cara angkat – angkut barang dan besarnya kemasan
yang boleh dibawa harus benar -benar serasi dengan kemampuan, kebolehan
dan batasan manusia (Manuaba, 1998).
3) Posisi tubuh yang salah atau tidak alamiah, apalagi didalam sikap paksa jelas
akan mengurangi produktivitas seseorang.
4) Kondisi lingkungan yang nyaman sangat dibutuhkan oleh pekerja untuk bisa
bekerja secara optimal dan produktif.
5) Jam kerja manusia adalah 8jam/hari yang masih bisa ditoleransi ialah 1 jam
lembur setelah 8 jam kerja/hari, dengan catatan bahwa selama 8 jam kerja
tersebut terdapat 2 kali istirahat dan 1 kali makan siang.
6) Kondisi sosial seperti rasa harga diri, motivasi dan kepuasan kerja merupakan
keharusan untuk adanya partisipasi karyawan didalam upaya pencapaian
produktivitas yang setinggi-tingginya. Cara kerja dan sistem manajemen
sangat perlu diperhatikan.
7) Komunikasi dan informasi yang berjalan dua arah jelas merupakan satu
keharusan dalam upaya meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui
adanya rasa ikut memiliki untuk kemudian menjadi ikut bertanggug jawab.
8) Dalam interaksi manusia – mesin, rangsangan melalui display dan reaksi
melalui kontrol harus benar – benar diatur sedemikian rupa sehingga mudah
39
dikerjakan tanpa adanya beban mental atau fisik yag berlebihan (Manuaba,
1998).
2.3.4 Mencegah Kelelahan Kerja menurut Ergonomi
2.3.4.1 Karakteristik Kelelahan
Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda – beda dari setiap
individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan
kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Kelelahan adalah suatu mekanisme
perlindungan tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi
pemulihan setelah istirahat. Kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Keluhan
subjektif merupakan tanda personal yang menyatakan adanya suatu kelelahan
yang dialami seseorang akibat beban kerja yang membebaninya karena interaksi
seseorang dengan jenis pekerjaan, rancangan tempat kerja, dan atau peralatan
kerja, termasuk sikap kerjanya (Bridger, 1995; Suardana, 2001).
Menurut Kroemer dan Grandjean (2000) kelelahan merupakan suatu
keadaan yang tercermin dari gejala perubahan psikologis berupa kelambanan
aktivitas motorik dan respirasi, adanya perasaan sakit, berat pada bola mata,
pelemahan motivasi, penurunan aktivitas yang akan mempengaruhi aktivitas fisik
dan mental. Adiputra (2003) mengatakan bahwa terjadinya kelelahan pada
pekerja adalah adanya organ tubuh secara terus menerus menerima beban kerja
eksternal dengan tanpa kesempatan istirahat atau mendapat beban kerja yang
melewati kapasitasnya. Sedangkan Manuaba (1998) berpendapat bahwa
kelelahan dapat terjadi karena adanya lingkungan kerja yang terlalu panas. Secara
40
fisiologis terdapat dua macam kelelahan (Guyton dan Hall, 1996, Suma’mur,
1995) yaitu: kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot adalah keadaan
dimana otot mengalami kelelahan akibat ketegangan yang berlebihan, terlihat dari
beberapa gejala tremor pada otot atau perasan nyeri yang terdapat pada otot,
penurunan tenaga, gerakan otot yang lebih lambat dan juga koordinasi otot
menurun. Kelelahan umum adalah gejala berkurangnya kemampuan untuk
bekerja, terjadinya kekacauan pikiran, respirasi, lelah seluruh badan, terkadang
juga perasaan sakit dan berat pada mata. Pulat (1992) mengemukakan secara
umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai perasaan
yang sangat melelahkan. Kelelahan subjektif biasanya terjadi pada akhir jam
kerja. Berikut ini adalah gambar skema taksonomi dari kelelahan yaitu sebagai
berikut (Astrand dan Rodahl, K. 1989; Tarwaka, 2011):
Gambar 2.5 Skema Taksonomi Kelelahan
Kelelahan sesungguhnya merupakan suatu mekanisme perlindungan
tubuh agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut atau dapat dikatakan sebagai
41
alarm tubuh yang mengisyaratkan seseorang untuk segera beristirahat.
Mekanisme ini diatur oleh sistem saraf pusat yang dapat mempercepat impuls
yang terjadi di sistem aktivasi oleh sistem saraf simpatis dan memperlambat
impuls yang terjadi di sistem inhibisi oleh sistem saraf parasimpatis. Menurunnya
kemampuan dan ketahanan tubuh akan mengakibatkan menurunnya efisiensi dan
kapasitas kerja. Kelelahan bisa merupakan kelelahan fisik maupun psikologis.
Kelelahan fisik disebabkan adanya bahan – bahan laktat hasil metabolisme,
sedangkan kelelahan psikis lebih ke arah bagaimana keserasian hubungan
perorangan antar tenaga kerja ke atas, mendatar maupun ke bawah. Lingkungan
kerja yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan kelalahan psikologis yang
dapat dirasakan kelelahan tersebut pada awal – awal bekerja dimana secara fisik
sebenarnya belum lelah. Untuk itu maka perlu dibina suasana lingkungan kerja
yang harmonis, menyenangkan sehingga menimbulkan semangat kerja yang
tinggi. Menurut Grandjean (2000) dan Sedarmayanti (1996) bahwa kelelahan
yang berlanjut dapat menyebabkan kelelahan kronis dengan gejala yaitu : (1)
terjadinya penurunan kestabilan fisik, (2) kebugaran berkurang, (3) gerakan
lamban dan cenderung diam, (4) malas bekerja atau beraktivitas, (5) adanya rasa
sakit yang semakin meningkat. Kelelahan yang berlanjut dapat menimbulkan efek
psikologi juga yang ditandai dengan gejala – gejala berikut: (1) meningkatnya
kejengkelan (tidak toleran), (2) kecenderungan ke arah depresi (kebingungan yang
tidak bermotif) dan kelelahan umum dalam perjuangan dan malas akan pekerjaan.
Disamping itu kelelahan juga menyebabkan gangguan psikosomatik yang ditandai
dengan sakit kepala, pening kepala, mengantuk, jantung berdebar – debar,
42
keluarnya keringat dingin, nafsu makan berkurang atau hilang dan adanya
gangguan pencernaan (Pheasant 1991).
2.3.4.2 Faktor Penyebab Kelelahan
Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor yang sangat kompleks dan
saling mengkait antara faktor satu dengan yang lain. Yang terpenting adalah
bagaimana menangani setiap kelelahan yang muncul agar tidak menjadi kronis.
Agar dapat menangani kelelahan dengan tepat, maka harus mengetahui apa yang
menjadi penyebab terjadinya kelelahan. Berikut ini adalah uraian secara skematis
antara faktor penyebab terjadinya kelelahan, resiko dan cara menangani kelelahan
seperti pada gambar di bawah ini (Tarwaka, 2011).
Gambar 2.6 Penyebab Kelelahan, Cara Mengatasi dan Manajemen Resiko
Kelelahan
43
Kelelahan biasanya terjadi pada akhir jam kerja yang disebabkan oleh
karena berbagai faktor seperti pekerjaan yang monoton, kerja otot statis, alat dan
sarana kerja yang tidak sesuai dengan antropometri pemakainya, stasiun kerja
yang tidak ergonomis, sikap paksa dan pengaturan waktu kerja – istirahat yang
tidak tepat.
2.3.5 Mencegah Kebosanan Menurut Ergonomi
2.3.5.1 Pengertian kebosanan
Menurut Anoraga (1998) kebosanan adalah ungkapan tidak enak dari
perasaan tidak menyenangkan, perasaan lelah yang menguras seluruh minat dan
tenaga. Biasanya kebosanan juga diartikan dengan kondisi kekurangan sesuatu
seperti kedamaian, kepuasan dan perasaan ingin lari dari sesuatu, meskipun
perasaan ini bukan saja disebabkan semata-mata oleh kebosanan. Singkatnya,
kebosanan adalah bentuk lain dari perasaan tersiksa. Kebosanan adalah suatu
pengingat akan adanya keterbatasan dan dapat terjadi pada segala hal. Kebosanan
dapat timbul karena kurangnya perubahan pada sesuatu yang menjadi perhatian
seseorang dan dapat menjadi suatu alat atau barometer dari kondisi seseorang.
Kebosanan dapat juga dimanifestasikan dengan ketidakmampuan untuk duduk
berlama-lama, keinginan untuk segera pergi ke suatu tempat atau ingin menjadi
seseorang yang lain.
2.3.5.2 Fisiologi kebosanan
Secara fisiologis Kroemer dan Grandjean (2000) menjelaskan secara
singkat bahwa situasi dengan stimulus yang rendah, berulang-ulang atau dengan
tuntutan fisik dan mental yang rendah akan menimbulkan stimulus yang kecil pula
44
pada daerah kesadaran di otak manusia. Dengan kata lain, daya tahan seseorang
untuk memberikan perhatian pada suatu stimulus yang monoton lama kelamaan
akan berkurang, sehingga dibutuhkan kehadiran stimulus lain untuk meningkatkan
kesiagaan.
2.3.5.3 Faktor penyebab kebosanan
Para ahli menyebutkan secara luas faktor-faktor penyebab kebosanan
sebagai berikut (Pulat,1992; Kroemer dan Grandjean ,2000).
1. Pekerjaan kurang menarik.
2. Kurangnya motivasi terhadap pekerjaan.
3. Pekerjaan tidak membutuhkan ketrampilan yang tinggi.
4. Kecepatan kerja terlalu lambat.
5. Lingkungan tidak menarik atau suram.
6. Kurangnya kesempatan bagi tubuh untuk bergerak
7. Kondisi panas.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesuai dengan pendapat Anastasi
(1989), bahwa sumber kebosanan sebagai berikut.
1. Individu.
Karakteristik orang berbeda-beda sehingga setiap orang memiliki kerentanan
yang berbeda-beda pula terhadap kebosanan sekalipun melakukan kegiatan
yang sama
2. Lingkungan.
Kondisi lingkungan yang sifatnya mengganggu pemusatan perhatian dapat
meningkatkan kebosanan, demikian pula yang menimbulkan konflik antara
keinginan untuk berpaling ke aktivitas lain yang lebih menarik
45
3. Jenis kegiatan
Kegiatan yang membutuhkan sedikit perhatian, pekerjaan yang semi otomatis,
pekerjaan monoton dan pekerjaan yang menimbulkan minat intrinsik kecil
adalah jenis-jenis kegiatan yang berakibat membosankan.
2.3.5.4 Akibat kebosanan
Efek dari tugas-tugas monoton yang membosankan antara lain adalah
timbulnya rasa kesal, lemas, lelah dan berkurangnya kewaspadaan (Kroemer dan
Grandjean, 2000; Pulat, 1992).
2.3.6 Meningkatkan kinerja dalam ergonomi
Kinerja adalah penampilan hasil karya personil baik kuantitas maupun
kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu
maupun kelompok kerja personel (Ilyas, 2001). As’ad (2000) mengungkapkan
bahwa penampilan kerja (job performance) adalah sebagai hasil kerja
yang menyangkut apa yang dihasilkan seseorang dari perilaku kerjanya.
Tingkat sejauhmana seseorang berhasil menyelesaikan tugasnya disebut tingkat
prestasi (level of performance). Kinerja (performance) dapat juga diartikan
sebagai suatu catatan keluaran hasil dari suatu fungsi jabatan atau seluruh
aktivitas kerjanya dalam periode waktu tertentu (Singer, 1990).
Kinerja adalah hasil yang dicapai melalui serangkaian kegiatan dan tata
cara tertentu dengan menggunakan sumber daya perusahaan untuk
mencapai sasaran perusahaan yang ditetapkan (Mangkunegara, 2000). Kinerja
juga dikenal dengan istilah karya, di mana pengertian yang dikemukakan
46
oleh Cantika (2005) bahwa kinerja adalah Hasil pelaksanaan suatu pekerjaan,
baik bersifat fisik ataupun material dan non fisik atau non material. Kinerja
sumber daya manusia merupakan istilah yang berasal dari kata Job
Performance atau Aktual Performance (prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai seseorang). Definisi kinerja seseorang adalah hasil
kerja kualitas dan kuantitas yang dicapai seseorang dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Oleh karena itu maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah
prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang
dicapai per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah
(Mangkunegara, 2000) :
a. Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan yaitu kemampuan yang dimiliki
yang lebih berorientasi pada intelejensi dan daya pikir serta
penguasaan ilmu yang luas yang dimiliki seseorang. Pengetahuan
seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, media dan
informasi yang diterima.
b. Ketrampilan (skill). Kemampuan dan penguasaan teknis operasional di
bidang tertentu yang dimiliki seseorang. Seperti ketrampilan konseptual
(Conseptual Skill), ketrampilan manusia (Human Skill), dan
ketrampilan teknik (Technical Skill).
c. Kemampuan (ability). Kemampuan yang terbentuk dari sejumlah
47
kompetensi yang dimiliki seorang yang mencakup loyalitas,
kedisiplinan, kerjasama dan tanggung jawab.
d. Faktor motivasi (Motivation). Motivasi diartikan suatu sikap (attitude)
pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja di lingkungan
perusahaannya. Mereka yang bersikap positif terhadap situasi kerjanya
akan menunjukkan motivasi kerja yang tinggi sebaliknya jika mereka
bersifat negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja
yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan
kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pemimpin, pola kepemimpinan
kerja dan kondisi kerja.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja juga terdiri dari
faktor internal dan faktor eksternal (Mangkunegara, 2000). Faktor internal
(disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang.
Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena mempunyai
kemampuan tinggi maupun seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan jika
karyawan mempunyai kinerja yang buruk disebabkan karena orang tersebut
mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-
upaya untuk memperbaiki kemampuannya. Faktor eksternal yaitu faktor-faktor
yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti
perilaku, sikap, dan tindakan- tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan,
fasilitas kerja, dan iklim organisasi.
48
2.3.7 Pengaruh Kebosanan, Kelelahan, Keluhan Muskuloskeletal terhadap
Kinerja
a. Pengaruh kebosanan terhadap Kinerja
Kegiatan yang membutuhkan sedikit perhatian, pekerjaan yang semi
otomatis, pekerjaan monoton dan pekerjaan yang menimbulkan minat intrinsik
kecil adalah jenis-jenis kegiatan yang berakibat membosankan (Anastasi, 1989).
Efek dari tugas-tugas monoton yang membosankan antara lain adalah timbulnya
rasa kesal, lemas, lelah dan berkurangnya kewaspadaan (Kroemer dan Grandjean,
2000; Pulat, 1992). Keluhan kebosanan tersebut adalah ungkapan perasaan yang
dirasakan oleh seorang pekerja dalam melakukan pekerjaan yang dapat
mempengaruhi tingkat kinerja (level of performance) seorang pekerja dalam
menjalankan tugasnya (Mangkuprawira, 2003)
b. Pengaruh Kelelahan terhadap Kinerja
Adiputra (2003) mengatakan bahwa terjadinya kelelahan pada pekerja
adalah adanya organ tubuh secara terus menerus menerima beban kerja eksternal
dengan tanpa kesempatan istirahat atau mendapat beban kerja yang melewati
kapasitasnya. Munculnya kelelahan secara ergonomis diantaranya disebabkan
oleh pekerjaan yang monotoni (Manuaba, 1983). kelelahan ditandai dengan
adanya perubahan psikologis berupa kelambanan aktivitas motoris dan respirasi,
adanya perasaan sakit, berat pada bola mata, pelemahan motivasi dan aktivitas
fisik lainnya yang akan mempengaruhi aktivitas fisik maupun mental (Kroemer
dan Grandjaen, 2000). Beban kerja fisik yang ringan dan suasana monoton di
lingkungan kerja mempercepat timbulnya kelelahan yang dipicu oleh kebosanan
(Suma’mur, 2009). Kebosanan dapat mempengaruhi tingkat kinerja (level of
49
performance) seorang pekerja dalam menjalankan tugasnya (Mangkuprawira,
2003).
c. Pengaruh keluhan muskuloskeletal terhadap kinerja
Sikap kerja statis dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan pada
otot rangka (musculoskeletal disorder) (Hales and Bernard, 1996). Keluhan
muskuloskeletal terutama keluhan pada leher bagian belakang (tengkuk atau
kuduk) umumnya terjadi pada pekerja dengan pekerjaan manual dengan posisi
duduk terus-menerus. Menurut Syaifuddin (2005) Duduk terlalu lama dapat
menyebabkan nyeri pada pinggang bawah atau low back pain. Akibat posisi yang
tidak alamiah tersebut, jelas akan mempengaruhi produktivitas seseorang
(Manuaba, 1992). Pekerja yang memiliki produktivitas tinggi maka pekerja
tersebut disebut memiliki kinerja (level of performance) tinggi. Sebaliknya
pekerja dengan tingkat produktivitas rendah, maka mereka disebut memiliki
kinerja (level of performance) rendah (Vroom dalam As’ad, 2000).
Dapat disimpulkan bahwa faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja
seseorang adalah kebosanan akibat beban kerja, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal (Mangkuprawira, 2003). Sehingga peningkatan kinerja secara
ergonomis dapat diukur berdasarkan penurunan: kebosanan akibat beban kerja,
kelelahan dan keluhan muskuloskeletal (Arimbawa, 2010).
2.4 Peregangan otot
2.4.1 Pengertian peregangan otot
Peregangan otot merupakan suatu usaha untuk memperpanjang otot
istirahat (relaksasi). Sehingga dengan adanya peregangan ini kelenturan
50
(fleksibilitas) menjadi meningkat. Kelenturan (fleksibilitas) adalah kemampuan
untuk menggerakkan otot beserta persendian pada seluruh daerah pergerakan.
Kurangnya kelenturan pada tubuh dapat menyebabkan ketidakseimbangan
mekanis pada tubuh. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui pentingnya
peregangan dalam kegiatan sehari-hari, terlebih lagi untuk otot-otot yang bekerja
statis, seperti proses menguji yang hanya duduk sepanjang hari menilai peserta
ujian dengan soal yang sama beruang-ulang (Alter, 2003).
Manfaat melakukan peregangan sebagai berikut.
a. Peregangan dapat meningkatkan kebugaran fisik seseorang.
b. Peregangan dapat meningkatkan mental dan relaksasi fisik.
c. Peregangan dapat mengurangi risiko keseleo sendi dan cedera otot (kram).
d. Peregangan dapat mengurangi risiko cedera punggung.
e. Peregangan dapat mengurangi rasa nyeri otot.
f. Peregangan dapat mengurangi rasa sakit yang menyiksa pada saat menstruasi.
g. Peregangan dapat mengurangi ketegangan otot.
2.4.2 Beberapa metode peregangan
Peregangan berhubungan dengan proses pemanjangan otot (elongation).
Latihan-latihan peregangan dapat dilakukan dalam beberapa cara tergantung pada
tujuan yang ingin dicapai, kemampuan dan keadaan atau kondisi tubuh. Menurut
Alter (2003) terdapat lima teknik peregangan dasar sebagai berikut.
51
1. Teknik peregangan statis
Peregangan statis meliputi teknik peregangan dengan posisi tubuh bertahan
(artinya, melakukan peregangan dengan tubuh tetap pada posisi semula tanpa
berpindah tempat). Dalam teknik tersebut otot diregangkan pada titik yang paling
jauh kemudian bertahan pada posisi meregang. Manfaat yang paling penting
dalam teknik statis adalah bahwa teknik tersebut adalah cara yang lebih aman
dalam melakukan peregangan. Manfaat lain dari teknik peregangan ini sebagai
berikut.
a. Memerlukan energi yang lebih sedikit.
b. Memberikan waktu yang cukup untuk mengulang kembali kepekaan
(sensitivity) pada otot.
c. Dapat menyebabkan relaksasi pada otot.
2. Teknik peregangan balistik
Peregangan balistik adalah gerakan-gerakan yang berbentuk ritmis. Teknik
ini merupakan teknik peregangan yang paling kontroversial, sebab teknik ini
sering kali menyebabkan rasa sakit dan cedera pada otot. Kekurangan-
kekurangan lain dalam penggunaan teknik ini sebagai berikut
a. Teknik ini tidak memberikan cukup waktu bagi jaringan-jaringan otot untuk
menyesuaikan diri pada peregangan yang sedang dilakukan.
b. Diawali dengan meningkatkan tegangan pada otot, hal ini membuat kita lebih
sukar untuk meregangkan jaringan-jaringan penghubung pada otot.
3. Teknik peregangan pasif
52
Teknik peregangan pasif merupakan suatu teknik peregangan dimana
seseorang dalam keadaan rileks dan tanpa mengadakan kontribusi pada daerah
gerakan. Manfaat yang dapat diperoleh dari peregangan pasif tersebut sebagai
berikut.
a. Teknik ini efektif apabila otot antagonis (yaitu otot yang berperan dalam
gerakan yang terjadi) dalam kondisi yang terlalu lemah untuk menerima respon
gerakan.
b. Arah, lamanya waktu melakukan peregangan, dan intensitasnya dapat diukur.
c. Dapat memajukan kekompakan tim bila mana peregangan tersebut
dilakukan bersama-sama dengan atlet-atlet lainnya.
Kelemahan utama dari peregangan pasif adalah resiko adanya rasa sakit
ataupun mengalami luka (cedera) yang lebih besar, apabila rekan kita
mempergunakan tenaga eksternal secara tidak tepat.
4. Teknik peregangan aktif
Peregangan aktif dilakukan dengan menggunakan otot-otot tanpa
mendapat bantuan dari kekuatan eksternal. Kelemahan-kelemahan utama dari
peregangan aktif ini adalah, bahwa peregangan ini menjadi tidak efektif
dikarenakan adanya gangguan-gangguan tertentu pada tubuh dan juga adanya
cedera seperti terkilir yang kuat, peradangan atau patah tulang.
5. Teknik proprioseptif
Teknik ini merupakan peregangan yang dapat dipergunakan untuk
memperbaiki jangkauan gerakan anda. Teknik ini juga berhubungan dengan
teknik yang dikembangkan sebagai model terapi fisik pada rehabilitasi pasien.
53
2.4.3 Penggunaan peregangan dalam menguji OSCE
Penggunaan peregangan dalam menguji dapat membantu penguji
mengurangi ketegangan pada otot-ototnya. Ketegangan otot-otot tersebut tentunya
akan mengakibatkan kelelahan pada penguji itu sendiri. Beberapa bentuk adaptasi
dapat diperolah dari aktivitas peregangan yang dilakukan dan tentunya
peregangan tersebut di lakukan dengan teknik yang benar. Adapun teknik yang
digunakan untuk menyelingi proses menguji yang dapat dilakukan oleh penguji
adalah teknik peregangan statik.
Beberapa bentuk adaptasi dapat diperoleh dari aktivitas peregangan
yang telah dilakukan. Ketika otot tiba-tiba diregangkan maka pertama-tama akan
timbul stretch reflex (refleks meregang), selanjutnya otot yang kita regangkan
akan berkontraksi. Strech reflex adalah suatu operasi dasar dari sistem saraf yang
membantu menjaga kesehatan otot yang sedang meregang. Otot yang sedang
meregang akan memanjang (menjadi lebih panjang) pada serat–serat otot dan
muscle spindles-nya.
Selama kurun waktu bertambahnya tingkat peregangan, sarung-sarung
(lapisan) facial yang menyelubungi otot-otot akan menyebabkan perubahan
panjang menjadi semipermiabel. Sarung-sarung ini meliputi epymisium,
endomysium, dan perimysium. Pada akhirnya peregangan yang dalam hal ini
dipergunakan peregangan statik dapat menstimulasi produksi dan penyimpanan
glycoaminoglycans (GAGs). GAGs tersebut bersama-sama dengan air dan asam
hyaluron, melumasi dan menjaga jarak kritis antara serat-serat jaringan
penghubung dalam tubuh (Alter, 2003).
54
Peregangan dapat diberikan setiap dua setengah jam menguji selama 5
menit. Karena diperkirakan pada saat itu penguji berada pada puncak kelelahan
dan ketegangan otot akibat dari sikap statis.
2.5 Minum Teh
Teh berasal dari daun teh yang sudah dikeringkan. Daun teh (Camellia
sinensis) yang sudah dikeringkan mempunyai banyak manfaat bagi tubuh. Ada
banyak jenis teh di dunia, tetapi secara umum ada enam jenis teh berdasarkan cara
dan proses pembuatannya. Enam jenis teh tersebut yaitu: teh hijau teh kuning, teh
putih, teh hitam, teh fermentasi, dan teh oolong. Walaupun berbeda jenis,
kandungan zat yang ada di dalamnya hampir sebagian besar sama, hanya
jumlahnya (kadar) saja yang berbeda. Teh mengandung kafein, theanin, katekin,
serta flavonoid. Keempat kandungan inilah yang memiliki efek menguntungkan
bagi tubuh jika dikonsumsi dalam jumlah yang tepat (Sofwan, 2013).
2.5.1 Kandungan Kafein dalam Teh
Kafein merupakan suatu senyawa golongan alkaloid xantin. Zat ini dapat
ditemukan pada berbagai tumbuhan ataupun buah-buahan, minuman energi,
cokelat, kopi dan teh. Secara umum, kafein merupakan stimulan saraf bagi tubuh
manusia, atas dasar inilah minum kopi atau teh akan menghilangkan rasa kantuk
dan melawan rasa lelah (Sofwan, 2013).
Menurut European Food Information Council (EUFIC) dan International
Coffee Organization (ICO), jumlah kafein yang disarankan dan dalam batas aman
untuk dikonsumsi adalah sebanyak 300 mg per hari. Ini setara dengan lima gelas
teh, lima gelas kopi instan, tiga gelas robusta, atau dua gelas arabika. Walaupun
55
pada beberapa penelitian dikatakan konsumsi kafein 1000 mg sehari masih aman.
Sebaiknya konsumsi dibatasi hanya sebanyak 300 mg per hari mengingat tingkat
penerimaan kafein terhadap tubuh berbeda-beda pada tiap individu (Bonita,
2007).
Mengkonsumsi kafein dalam jumlah besar dan frekuensi berlebihan dapat
menyebabkan tubuh mengalami semacam ketagihan atau kecanduan. Astawan
(2012) menyatakan bahwa konsumsi kafein sebanyak 600 mg selama 10-15 hari
berturut-turut akan menyebabkan kecanduan. Orang tersebut akan sulit
melepaskan diri dari minum kopi atau teh dan apabila dihentikan secara tiba-tiba
akan menimbukan efek sakit kepala, sulit konsentrasi, lelah dan lemas. Ketagihan
atau kecanduan akibat kafein ini sangat berbeda dengan ketergantungan akibat
merokok dan narkoba yang lebih merusak tubuh. Ketagihan atau kecanduan
akibat kafein dapat hilang dengan mudah dalam beberapa hari saja setelah tidak
mengonsumsi kafein.
2.5.2 Manfaat Minum Teh
Manfaat minum teh berdasarkan kandungan kafein didalamnya menurut
Walton (2002) dalam Sofwan (2013) kafein jika dikonsumsi dengan benar dan
tidak melebihi kadar yang dianjurkan dapat meningkatkan ketahanan fisik dan
menunda terjadinya kelelahan dengan cara meningkatkan kadar serotonin yang
ada di otak. Selain itu, kafein dalam teh juga dapat meningkatkan konsentrasi
sewaktu bekerja dan dapat memperbaiki mood saat bekerja sehingga membuat
suasana kerja menjadi kondusif dan menyenangkan (Sofwan, 2013).
56
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Secara ergonomis faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang untuk
melakukan pekerjaan sebagai berikut.
a. Faktor manusia yang berkaitan dengan karakteristik subjek, umur, jenis
kelamin, ukuran antropometrik tubuh, pengalaman kerja, kondisi kesehatan.
b. Faktor tugas (task) yang berkaitan dengan stasiun kerja, jenis tugas, sikap
kerja, cara kerja
c. Faktor organisasi yang berkaitan dengan waktu kerja, waktu istirahat, durasi
dan frekuensi kerja
d. Faktor lingkungan yang berkaitan dengan suhu udara yang mengakibatkan
terjadinya beban kerja tambahan menimbulkan adanya beban fisik dan
mental yang berlebihan.
Kinerja seseorang juga dipengaruhi oleh faktor lain yaitu kebosanan
akibat beban kerja, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal (Mangkuprawira,
2003). Sehingga peningkatan kinerja secara ergonomis dapat diukur berdasarkan
penurunan: kebosanan akibat beban kerja, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal (Arimbawa, 2010).
Jam kerja yang panjang dan pekerjaan yang monoton mengakibatkan
kebosanan, kelelahan dan munculnya keluhan muskuloskeletal saat menguji. Hal
57
ini akan mempengaruhi obyektifitas dalam menguji sehingga efeknya terjadi
penurunan kinerja penguji. Faktor lain yang dapat menimbulkan kebosanan,
kelelahan dan keluhan muskuloskeletal pada penguji adalah: (1) penguji duduk
pasif dalam menjalankan tugas selama menguji; (2) waktu berlangsungnya proses
ujian OSCE yang sangat panjang yaitu sepuluh jam, (3) menguji hal yang sama
berulang-ulang sehingga menimbulkan ritme kerja yang monotone dan; (4)
sarana dan prasarana yang digunakan kurang ergonomis. Salah satu yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan istirahat aktif berupa peregangan otot
dalam proses menguji dan memberikan minum teh manis. Sehingga kebosanan,
kelelahan dan keluhan muskuloskeletal yang dialami penguji dapat diminimalisir.
Sebagaimana penjelasan diatas, kinerja pada dasarnya berkaitan erat
dengan proses kerja. Proses kerja dipengaruhi oleh subjek, tugas, faktor
organisasi dan lingkungan kerja. Lebih spesifik, kinerja dipengaruhi oleh faktor
kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal. Pada proses kerja yaitu
menguji OSCE reguler di FK UNIZAR, penguji dengan kinerja baik akan mampu
menilai dengan obyektif sesuai lembar penilaian dan sesuai kemampuan peserta.
Indikatornya adalah menurunnya kebosanan, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal.
58
3.2 Konsep Penelitian
Konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti bagan berikut ini :
MASUKAN PROSES LUARAN
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Konsep Penelitian
Kondisi
Subjek: Umur,
ketrampilan/
pengalaman,
kondisi
kesehatan.
Pekerjaan:
Jenis
pekerjaan,
cara kerja dan
tempat kerja
Ujian OSCE
Reguler
Berorientasi
Ergonomi yaitu
dengan
peregangan dan
pemberian teh
manis
Peningkatan
Kinerja Penguji
OSCE dilihat dari
penurunan
kebosanan,
kelelahan dan
keluhan
muskuloskeletal
Organisasi:
Durasi dan
Frekuensi
Kerja
Lingkungan:
Suhu,
penerangan,
kebisingan
59
3.3 Hipotesis
Berdasarkan kajian pustaka, kerangka berpikir, dan konsep penelitian
di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:
a. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan
peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar dilihat dari penurunan
kebosanan
b. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan
peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar dilihat dari penurunan
kelelahan
c. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan
peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar dilihat dari penurunan
keluhan muskuloskeletal
60
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian eksperimental ini menggunakan rancangan sama subjek atau
treatment by subjek design. Rancangan sama subjek adalah rancangan serial,
karena semua sampel ditetapkan sebagai subjek kontrol dan juga subjek
perlakuan, pada periode waktu yang berbeda (Bakta, 2000). Secara sederhana
dapat diilustrasikan seperti Gambar 4.1. Berdasarkan rancangan tersebut
pengukuran dilakukan dua kali pada setiap perlakuan yaitu sebelum dan sesudah
ujian OSCE Reguler tanpa orientasi ergonomi serta sebelum dan sesudah OSCE
Reguler dengan orientasi ergonomi.
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Treatment by Subject Design
Keterangan:
P : Populasi, yaitu Staf Pengajar Keterampilan Klinik FK UNIZAR
TS : Total Sampling
P0 : Tahap1 yaitu proses ujian OSCE reguler tanpa orientasi ergonomi
yaitu tanpa peregangan dan tanpa pemberian teh manis
P1 : Tahap 2 yaitu Proses menguji OSCE reguler dengan orientasi
ergonomi yaitu dengan peregangan dan diberikan teh manis
O1 : Pendataan awal tahap 1 (Penguji OSCE Reguler menguji seperti
biasa, tanpa orientasi ergonomi yaitu tanpa peregangan dan tanpa
pemberian teh manis) sebelum kegiatan menguji
O2 : Pendataan akhir tahap 1 (Penguji OSCE Reguler menguji seperti
biasa, tanpa orientasi ergonomi yaitu tanpa istirahat aktif dengan
peregangan dan tanpa pemberian teh manis) sebelum kegiatan
menguji
P0 P1
WOP O1 O2 O3 O4 P
TS
61
WOP : (Washing Out Period) dilakukan selama satu minggu untuk
menghilangkan efek kondisi kerja sebelum intervensi. Pada masa
ini sampel diberikan kesempatan adaptasi terhadap sistem kerja
dengan intervensi ergonomi
O3 : Pendataan awal tahap 2 (Penguji OSCE Reguler menguji dengan
orientasi ergonomi yaitu adanya istirahat aktif dengan peregangan
dan pemberian teh manis) setelah kegiatan menguji
O4 : Pendataan akhir tahap 2 (Penguji OSCE Reguler menguji dengan
orientasi ergonomi yaitu adanya istirahat aktif dengan peregangan
dan pemberian teh manis) setelah kegiatan menguji
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Keterampilan Klinis
(Skills Lab) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram.
Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2014.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada bidang ergonomi fisiologi kerja yang diterapkan
pada penguji OSCE Reguler Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar
Mataram
4.4 Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi target dalam penelitian ini adalah semua Dosen FK UNIZAR.
Populasi terjangkau adalah Dosen FK UNIZAR yang sudah pernah mengikuti
pelatihan Penguji OSCE. Pada pelaksanaan penelitian ini yang dapat
dijadikan subjek berjumlah 6 orang.
62
2.Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah 6 orang penguji OSCE reguler FK
UNIZAR Mataram
3. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel dalam penelitian ini dipilih berdasarkan teknik total sampling, karena
semua dosen yang pernah menjadi pengajar dan penguji OSCE reguler di FK
UNIZAR dipergunakan sebagai sampel yaitu berjumlah 6 orang penguji.
4.4.2 Kriteria subjek
1. Kriteria inklusi subjek:
a. Umur antara 25 tahun sampai 35 tahun;
b. Dosen di FK UNIZAR Mataram;
c. Pernah mengajar di laboratorium keterampilan klinik (skills lab) FK
UNIZAR;
d. Pernah mendapatkan pelatihan penguji OSCE sesuai standar baku;
e. Pernah menjadi penguji OSCE reguler FK UNIZAR;
f. Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani lembar
informed consent.
2. Kriteria eksklusi
a. Dalam kondisi sakit/cacat fisik yang mengganggu
b. Dalam kondisi hamil
63
c. Patut diduga menggunakan obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil
penelitian
3 Kriteria drop out:
a. Subjek tidak dapat mengikuti penelitian secara penuh sehingga tidak
dapat meneruskan kegiatan dalam penelitian ini;
b. Jatuh sakit atau cidera saat penelitian berlangsung
c. Subjek tidak bisa diajak kerjasama
d. Memberikan data yang ekstrim.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel
Variabel penelitian ini adalah semua faktor yang dapat
mempengaruhi faktor risiko dan kinerja Penguji OSCE Reguler, antara lain:
Kondisi subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan/keterampilan, kondisi
kesehatan; Pekerjaan yang meliputi jenis pekerjaan, sikap kerja, dan tempat
kerja; Organisasi yang meliputi durasi dan frekuensi; dan Lingkungan yang
meliputi suhu, intensitas penerangan dan kebisingan. Variabel-variabel tersebut
di atas dapat diklasifikasikan menjadi variabel bebas, variabel tergantung,
dan variabel kontrol. Analisis hubungan antara variabel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut.
a. Variabel bebas meliputi dua kategori yaitu :
1. Menguji OSCE tanpa perlakuan ergonomi;
2. Menguji OSCE dengan perlakuan ergonomi;
b. Variabel tergantung adalah peningkatan kinerja dilihat dari penurunan
64
kebosanan,penurunan kelelahan dan penurunan keluhan muskuloskeletal
c. Variabel pengganggu yang dikontrol adalah :
1. Kondisi subjek (umur, tingkat ketrampilan/pengalaman, dan kondisi
kesehatan);
2. Pekerjaan (jenis pekerjaan, cara kerja, tempat kerja);
3. Organisasi kerja (durasi dan frekuensi kerja); dan kondisi lingkungan
(suhu, intensitas penerangan, kebisingan.).
Hubungan antara variabel dalam penelitian ini secara bagan dapat
dilihat pada gambar berikut.
Variabel Bebas Variabel Kontrol
a. Menguji OSCE reguler tanpa
orientasi ergonomi yaitu tanpa
peregangan dan tanpa
pemberian teh manis
b. Menguji OSCE reguler dengan
orientasi ergonomi yaitu
dengan peregangan dan dengan
pemberian teh manis
a. Kondisi subjek (umur, tingkat
ketrampilan/pengalaman, dan
kondisi kesehatan).
b. Pekerjaan (jenis, cara, dan
tempat kerja).
c. Organisasi Kerja (durasi
dan frekuensi kerja).
d. Lingkungan Kerja (suhu,
intensitas penerangan,
kebisingan).
Variabel Tergantung
Peningkatan kinerja yang dilihat dari
penurunan kebosanan, penurunan kelelahan
dan penurunan keluhan muskuloskeletal
Gambar 4.2
Bagan Hubungan antara Variabel Penelitian
65
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat didefinisikan sebagai
berikut.
1. Kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun
kuantitas yang dicapai per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas
kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja
pada dasarnya berkaitan erat dengan proses kerja. Proses kerja di pengaruhi
oleh subjek, tugas, fak tor organisasi dan lingkungan kerja. Pada proses
kerja yaitu menguji OSCE reguler di FK UNIZAR, penguji dengan kinerja
baik akan mampu menilai dengan obyektif sesuai lembar penilaian dan sesuai
kemampuan peserta. Kinerja penguji OSCE reguler diniai baik pada akhirnya
adalah jika dapat melakukan penilaian dengan obyektif. Hal ini dapat
tercermin dari: 1)lembar penilaian terisi penuh, 2) terdapat feedback yang
dituliskan pada lembar penilaian terutama pada saat tidak meluluskan peserta
ujian, 3) dapat mempertanggungjawabkan apa yang dinilai saat rapat akhir
penentuan kelulusan, 4) sedikit atau bahkan tidak ada komplain dari peserta
ujian yang dirugikan akibat kesalahan penilaian saat nilai diumumkan.
Istirahat aktif berupa peregangan otot dan pemberian teh manis dalam proses
menguji akan menurunkan kebosanan, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal yang dialami penguji sehingga akan meningkatkan kinerja
penguji OSCE reguler di FK UNIZAR Mataram.
2. Kebosanan adalah tingkat ungkapan perasaan yang tidak menyenangkan,
perasaan lelah yang menguras seluruh minat dan tenaga. Di data dengan
66
menggunakan kuesioner kebosanan. Pendataan tingkat kebosanan dilakukan
sebelum menguji, dan setelah menguji, rinciannya yaitu:
1) Pukul 06.45 WITA dilakukan pendataan tingkat kebosanan sebelum
menguji
2) Pukul 18.25 WITA dilakukan pendataan tingkat kebosanan setelah
menguji.
Jadi pendataan tingkat kebosanan dilakukan sebanyak empat kali. Dua kali
pada tahap satu, yaitu tanpa intervensi ergonomi dan dua kali pada tahap dua
yaitu dengan intervensi ergonomi.
3. Kelelahan adalah tingkat reaksi fungsional dari pusat kesadaran yang
dipengaruhi oleh dua sistem antagonistik yaitu sistem penghambat (inhibisi)
dan sistem penggerak (aktivasi). Di data dengan menggunakan 30 item of
rating scale yang dikeluarkan oleh Japan Association of Industrial and
Health. Kuesioner ini terdiri atas tiga kategori yaitu: pelemahan aktivitas
(item 1 – 10), pelemahan motivasi (Item 11 – 20) dan kelelahan fisik (item 21
– 30). Pendataan tingkat kelelahan dilakukan sebelum menguji dan setelah
menguji, rinciannya yaitu:
1) Pukul 06.50 WITA dilakukan pendataan tingkat kelelahan sebelum
menguji
2) Pukul 18.30 WITA dilakukan pendataan tingkat kelelahan setelah
menguji .
Jadi pendataan tingkat kelelahan dilakukan sebanyak empat kali. Dua
kali pada tahap satu, yaitu tanpa intervensi ergonomi dan dua kali pada
67
tahap dua yaitu dengan intervensi ergonomi.
4. Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan otot skeletal yang terjadi pada otot
rangka yang dialami penguji OSCE reguler FK UNIZAR. Keluhan
muskuloskeletal diukur dengan kuesioner Nordic Body Map yang
dimodifikasi dengan empat skala Likert. Pendataan keluhan muskuloskeletal
dilakukan sebelum menguji dan setelah menguji, rinciannya yaitu:
1) Pukul 06.55 WITA dilakukan pendataan keluhan muskuloskeletal
sebelum menguji
2) Pukul 18.35 WITA dilakukan pendataan keluhan muskuloskeletal setelah
menguji .
Jadi pendataan keluhan muskuloskeletal dilakukan sebanyak empat kali.
Dua kali pada tahap satu, yaitu tanpa intervensi ergonomi dan dua kali
pada tahap dua yaitu dengan intervensi ergonomi.
5. Menguji OSCE reguler tanpa orientasi ergonomi adalah proses menguji
OSCE reguler tanpa intervensi ergonomi dalam hal ini tanpa melakukan
peregangan otot dan tanpa pemberian teh manis.
6. Menguji OSCE reguler dengan orientasi ergonomi adalah proses
menguji OSCE reguler dengan intervensi ergonomi dalam hal ini dengan
melakukan peregangan otot dan pemberian teh manis.
7. Peregangan otot merupakan suatu usaha untuk memperpanjang otot istirahat
(relaksasi). Sehingga dengan adanya peregangan ini kelenturan (fleksibilitas)
menjadi meningkat. Peregangan otot dilakukan sebanyak 5 kali selama
68
proses menguji yang berlangsung dari pukul 07.00 – 18.00 Wita dengan
pembagian sebagai berikut:
1) Peregangan pertama pukul 07.00 WITA selama lima menit
2) Peregangan kedua Pukul 09.30 WITA selama lima menit
3) Peregangan ketiga pukul 12.05 WITA selama lima menit
4) Peregangan keempat pukul 15.30 WITA selama lima menit
5) Peregangan kelima pukul 18.20 WITA selama lima menit
Gerakan peregangan otot yang dapat dilakukan adalah peregangan otot pada
kondisi statis sebagai berikut.
a) Peregangan otot leher: berfungsi untuk meregangkan otot
sternocleidomastoideus dan otot trapezius. Gerakan peregangan itu sendiri
terdiri atas gerakan sebagai berikut.
1) Menundukkan kepala ke bawah dan meregangkan kepala ke atas
dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali.
2) Menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri dengan hitungan 8 – 10 detik
diulangi 2 sampai 3 kali
3) Gerakan seolah-olah Mematahkan kepala ke kanan dan ke kiri
dilakukan dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali.
b) Peregangan otot tangan dan lengan: bertujuan untuk meregangkan otot
triceps brachii, deltoideus, biceps brachii, fleksor antebrachii, dan
ekstensor antebrachii. Gerakan peregangan itu sendiri terdiri atas gerakan
sebagai berikut.
69
1) Menekuk tangan kanan menyamping ke kiri dengan ditahan
menggunakan tangan kanan dan kemudian sebaliknya dengan
dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali.
2) Tangan kanan ditekuk di belakang kepala kemudian ditekan
menggunakan tangan kiri dan kemudian sebaliknya dengan dengan
hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali.
3) Meregangkan atau menarik kedua tangan ke atas dengan hitungan 8
– 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali.
4) Menekuk telapak tangan kanan ke atas dan ke bawah dengan dengan
hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali serta demikian juga
dengan tangan kiri.
c) Peregangan otot pinggang dan perut: ditujukan untuk meregangkan otot
serratus anterior, rectus abdominis, latissimus dorsi, obliquus abdominis
eksternus, dan inscriptiones tendineii. Gerakan peregangan itu sendiri
terdiri atas gerakan sebagai berikut.
1) Mencondongkan badan ke samping kanan dan ke samping kiri dengan
hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3 kali.
2) Memutar badan ke kanan dan kiri dengan hitungan 8 – 10 detik
diulangi 2 sampai 3 kali.
d) Peregangan otot punggung, bertujuan untuk meregangkan otot trapezius
dan latissimus dorsi. Gerakan peregangan itu sendiri terdiri atas gerakan
sebagai berikut.
Posisi berdiri, meletakkan telapak tangan pada punggung bagian bawah
(tepat di bagian ginjal) dengan jari-jari tangan menunjuk ke bawah dan ibu
jari menunjuk keluar dengan hitungan 8 – 10 detik diulangi 2 sampai 3
70
kali.
e) Peregangan bahu, bertujuan untuk meregangkan otot deltoideus. Tarik
bahu ke atas, kearah telinga. Ulangi dengan hitungan 3 – 4 detik diulangi
5 sampai 6 kali.
8. Umur Penguji OSCE reguler adalah selang waktu dari sejak lahir sampai
pada saat dilakukan pengukuran, dilihat dari KTP berdasarkan tahun
lahir, satuan tahun;
9. Keterampilan/pengalaman adalah ketrampilan/pengalaman subjek dalam
hal menguji OSCE reguler, dinyatakan dengan pengakuan subjek dan surat
tugas sebagai instruktur dan penguji OSCE reguler.
10. Durasi kerja adalah Jam kerja menguji OSCE yaitu mulai pukul 07.00
WITA s.d 18.00 WITA.
11. Frekuensi kerja adalah banyaknya jumlah menguji OSCE reguler yang harus
dilakukan penguji dalam satu semester.
12. Suhu udara adalah suhu lingkungan dalam derajat celcius yang diukur
dengan thermometer ruangan merk Luxtron LM 800. Pengukuran dilakukan
pada setiap stasiun OSCE reguler. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali
yaitu pada pukul 07.00 WITA dan 13.00 WITA dan 18.20
13. Intensitas penerangan adalah fluks cahaya yang jatuh pada suatu bidang
seluas 1 m2
satuan untuk intensitas penerangan adalah luks (lx),
diukur dengan luxmeter, merek Sanwa buatan Sanwa Electronic Japan.
Pengukuran dilakukan pada setiap stasiun OSCE reguler. Pengukuran
dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada pukul 07.05 WITA, pukul 13.05 WITA
dan pukul 18.25 WITA
71
4.6 Instrumen Penelitian
Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
a. Thermometer ruangan merk Luxtron LM 800, digunakan untuk mengukur
suhu ruang, dengan satuan derajat celcius (0C)
b. Luxmeter untuk mengukur intensitas penerangan, dengan spesifikasi merek
Sanwa, buatan Sanwa Electric Japan;
c. Sound Level Meter merk Rion dengan satuan decibel A (dB. A), digunakan
untuk mengukur tingkat kebisingan.
d. Kamera film merek Nikon D40x degan lensa 18-55mm digunakan
untuk mendokumentasikan proses kerja selama OSCE.
e. Kuesioner kebosanan saat menguji dengan lima skala Likert yang
dimodifikasi untuk mengetahui tingkat kebosanan subjek
f. Kuesioner 30 daftar pertanyaan dengan empat skala Likert dari IFRC
(Industrial Fatigue Research Committee) Jepang digunakan untuk
identifikasi kelelahan secara umum.
g. Kuesioner Nordic Body Map dengan empat skala Likert digunakan untuk
menginterpretasikan keluhan otot skeletal penguji OSCE.
h. Form persetujuan sebagai subjek penelitian, berisi pernyataan bahwa subjek
bersedia dijadikan subjek penelitian
72
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Alur Penelitian
Gambar 4.3
Alur Penelitian
Populasi Target
Dosen FK UNIZAR
Sampel
6 Orang Penguji
PERIODE 1 (P0)
3x Pengulangan PERIODE 2 (P1)
3x Pengulangan
Data Sebelum Menguji
OSCE (O1)
Kebosanan, Kelelahan,
keluhan muskuloskeletal,
Suhu, intensitas
penerangan, kebisingan
Menguji OSCE Reguler
tanpa Orientasi
Ergonomi
Data Setelah Menguji
OSCE (O1)
Kebosanan, Kelelahan,
keluhan muskuloskeletal,
Suhu, intensitas
penerangan, kebisingan
Data Sebelum Menguji
OSCE (O3)
Kebosanan, Kelelahan,
keluhan muskuloskeletal,
Suhu, intensitas penerangan,
kebisingan
Menguji OSCE Reguler
dengan Orientasi
Ergonomi
Data Setelah Menguji
OSCE (O4)
Kebosanan, Kelelahan,
keluhan muskuloskeletal,
Suhu, intensitas
penerangan, kebisingan
ANALISIS
Populasi Terjangkau
6 Orang Penguji
Kriteria
Inklusi
Total Sampling
WOP
73
4.7.2 Tata Laksana Penelitian
1. Tahap Persiapan
Pada penelitian ini, tahap persiapan sebelum dilakukan penelitian adalah sebagai
berikut:
a. Pendataan subjek yang menjadi populasi target dan populasi terjangkau
b. Menyiapkan kelengkapan administrasi yang diperlukan untuk mendukung
jalannya penelitian, yaitu informed consent (surat persetujuan sebagai
subjek), formulir biodata, kuesioner kebosanan, kuesioner 30 item dengan
empat skala Likert, kuesioner Nordic Body Map.
c. Menghubungi subjek untuk diminta kesediannya mengikuti penelitian.
d. Melakukan pemilihan sampel berdasarkan metode dan kriteria yang telah
ditetapkan. Menggunakan total sampling yaitu 6 orang penguji dengan tiga
kali pengulangan jadi total 18 sampel.
e. Mengadakan diskusi dengan subjek untuk menjelaskan penelitian yang akan
dilakukan.
f. Subjek mengisi biodata yang telah disediakan.
g. Mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian.
h. Mempersiapkan prosedur OSCE reguler dan pengambilan data.
2. Tahap pelaksanaan penelitian
Penelitian ini adalah penelitian sama subjek, terdiri dari dua periode yaitu
periode satu menguji tanpa intervensi ergonomi sebanyak 6 orang dokter penguji
OSCE reguler dan diakukan pengulangan sebanyak tiga kali jadi total 18 sampel
dan periode kedua dengan subjek yang sama menguji dengan intervensi ergonomi.
74
Lama OSCE reguler untuk tiap tahap adalah sepuluh jam yaitu dari pukul 07.00
Wita hingga pukul 18.20 Wita dengan asumsi istirahat satu jam. Tahap kegiatan
pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut.
a. Sebelum mulai menguji
1) Subjek mengisi kuesioner (kebosanan, 30 daftar pertanyaan dari
IFRC (Industrial Fatigue Research Committee Jepang dan Kuesioner
Nordic Body Map).
2) Pencatatan suhu lingkungan (dalam oC), intensitas penerangan dan
kebisingan.
3) Penguji melakukan cek ulang alat bahan ujian serta kelengkapan rubrik,
template dan lembar penilaian ujian OSCE reguler satu jam sebelum ujian
dimulai
4) Dokumentasi pengukuran.
b. Pada waktu menguji (sesi 1 pagi)
1) Pencatatan suhu lingkungan (dalam oC) intensitas penerangan dan
kebisingan.
2) Pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) penguji hanya duduk selama
menguji. Sedangkan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi) Penguji
melakukan istirahat aktif dengan peregangan dan pemberian teh manis.
3) Dokumentasi pengukuran.
c. Pada saat istirahat siang
Subjek istirahat makan siang dan melakukan ibadah shalat dzuhur
75
Pada waktu menguji (sesi 2 siang)
1) Pencatatan suhu lingkungan (dalam oC) intensitas penerangan dan
kebisingan.
2) Pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) penguji hanya duduk selama
menguji. Sedangkan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi) Penguji
melakukan istirahat aktif dengan peregangan dan pemberian minum teh
manis
3) Dokumentasi pengukuran.
d. Setelah Menguji
1) Subjek mengisi kuesioner (kebosanan, 30 daftar pertanyaan dari
IFRC (Industrial Fatigue Research Committee Jepang dan Kuesioner
Nordic Body Map).
2) Dokumentasi Pengukuran.
e. Protokol pelaksanaan penelitian
Protokol pelaksanaan kegiatan penelitian adalah sebagai berikut.
Tahap satu
1) Pukul 06.00 WITA subjek dikumpulkan (satu jam sebelum penelitian)
penguji melakukan cek ulang kesiapan tata ruang, alat dan bahan OSCE,
rubrik dan lembar penilaian.
2) Pukul 06.45 WITA Subjek mengisi kuesioner kebosanan, 30 item
kelelahan dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang dan
Kuesioner Nordic Body Map).
76
3) Pukul 07.00 WITA subjek dipersilahkan mulai menguji OSCE reguler sesi
satu.
4) Melakukan pengukuran suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 07.00 WITA
5) Penguji melakukan tugas dalam menguji OSCE reguler pada sesi 1 (pagi).
6) Pukul 12.00 WITA, subjek berhenti menguji.
7) Pukul 12.00 WITA istirahat makan siang dan ibadah shalat Dzuhur
8) Pukul 13.00 WITA subjek dipersilahkan mulai menguji OSCE reguler sesi
dua.
9) Melakukan pengukuran suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 13.00 WITA
10) Penguji melakukan tugas dalam menguji OSCE reguler pada sesi dua
(siang).
11) Pukul 15.30 subjek menjalankan ibadah shalat Ashar
12) Pukul 15.45 subjek Kembali melanjutkan tugas menguji
13) Pukul 18.15 WITA, subjek berhenti menguji.
14) Pukul 18.15 WITA Subjek mengisi kuesioner (kebosanan, 30
daftar pertanyaan dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee)
Jepang dan Kuesioner Nordic Body Map).
15) Melakukan pengukuran suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 18.20 WITA
77
Tahap dua
1) Pukul 06.00 WITA subjek dikumpulkan (satu jam sebelum penelitian)
penguji melakukan cek ulang kesiapan tata ruang, alat dan bahan OSCE,
rubrik dan lembar penilaian.
2) Pukul 06.45 WITA Subjek mengisi kuesioner kebosanan, 30 item
kelelahan dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang dan
Kuesioner Nordic Body Map.
3) Pukul 07.00 WITA subjek melakukan istirahat aktif dengan peregangan
otot selama 5 menit dan pemberian teh manis sebanyak 2 kotak, masing-
masing 300 ml.
4) Pukul 07.05 WITA subjek dipersilahkan mulai menguji OSCE reguler sesi
satu.
5) Melakukan pengukuran suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 07.05 WITA
6) Pukul 09.30 WITA subjek melakukan istirahat aktif dengan peregangan
otot selama 5 menit dan pemberian teh manis
7) Pukul 09.35 WITA subjek kembali menguji
8) Pukul 12.05 subjek berhenti menguji, subjek melakukan istirahat aktif
dengan peregangan otot selama 5 menit
9) Pukul 12.05 wita istirahat makan siang dan ibadah shalat Dzuhur
10) Pukul 13.00 WITA subjek dipersilahkan mulai menguji OSCE reguler sesi
dua (siang)
78
11) Pemberian teh manis sebanyak 2 kotak, masing-masing 300ml dan
melakukan pengukuran suhu, intensitas penerangan, kebisingan di stasiun
kerja, mulai pukul 13.00 WITA
12) Pukul 15.30 subjek melakukan istirahat aktif dengan peregangan otot
selama 5 menit
13) Pukul 15.35 subjek menjalankan ibadah shalat Ashar
14) Pukul 15.50 subjek Kembali melanjutkan tugas menguji
15) Pukul 18.20 WITA, subjek berhenti menguji.
16) Melakukan pengukuran suhu, intensitas penerangan, kebisingan di
stasiun kerja, mulai pukul 18.20 WITA
17) Pukul 18.20 WITA subjek melakukan istirahat aktif dengan peregangan
otot selama 5 menit
18) Pukul 18.25 WITA Subjek mengisi kuesioner kebosanan, 30 item
kelelahan dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang dan
Kuesioner Nordic Body Map).
4.7.3 Prosedur pengukuran Kebosanan, Kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal
Penilaian kebosanan dengan menggunakan kues ioner
kebosanan dengan l ima skala Liker t yang te lah d imodi f ikas i .
kelelahan secara umum dinilai dengan kuesioner 30 item kelelahan dengan
empat skala Likert dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee)
79
Jepang dan keluhan otot skeletal yang dinilai dengan kuesioner Nordic Body
Map empat skala Likert. Adapun langkah penilaiannya adalah sebagai berikut.
a. Persiapan
1) Mempersiapkan kuesioner kebosanan, kuesioner 30 item pertanyaan
dari IFRC (Industrial Fatigue Research Committee) Jepang, kuesioner
Nordic Body Map sesuai dengan jumlah subjek.
2) Menjelaskan cara pengisian kuesioner kepada subjek penelitian.
b. Prosedur penilaian
1) Sebelum mulai ujian OSCE, masing-masing subjek diberikan
kuesioner kebosanan, kuesioner 30 item kelelahan dari IFRC
(Industrial Fatigue Research Committee) Jepang, kuesioner Nordic Body
Map dan subjek diminta untuk mengisi sendiri kuesioner tersebut dengan
memberi tanda rumput ( √ ) pada item-item yang sesuai, kemudian
hasilnya dikumpulkan.
2) Setelah selesai ujian OSCE, masing-masing subjek diberikan lagi
kuesioner kebosanan, kuesioner 30 item kelelahan dari IFRC
(Industrial Fatigue Research Committee) Jepang, kuesioner Nordic Body
Map dan subjek diminta untuk mengisi sendiri kuesioner tersebut dengan
memberi tanda rumput ( √ ) pada item yang sesuai, kemudian hasilnya
dikumpulkan.
3) Penilaian ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu: pertama dilakukan pagi
sebelum ujian OSCE dimulai dan kedua sore hari setelah selesei ujian
OSCE.
80
c. Pencatatan
1) Skor kebosanan sebelum kerja adalah jumlah skor kebosanan sebelum
kerja dengan menggunakan 5 skala Likert.
2) Skor kebosanan setelah kerja adalah jumlah skor kebosanan setelah kerja
dengan menggunakan 5 skala Likert.
3) Skor kelelahan sebelum kerja adalah jumlah skor keluhan kelelahan
sebelum kerja dengan menggunakan 4 skala Likert.
4) Skor kelelahan setelah kerja adalah jumlah skor keluhan kelelahan setelah
kerja dengan menggunakan 4 skala Likert.
5) Skor keluhan otot skeletal sebelum kerja adalah jumlah skor keluhan otot
skeletal sesuai dengan tingkat keluhan yang dirasakan sebelum kerja
dengan menggunakan 4 skala Likert.
6) Skor keluhan otot skeletal setelah kerja adalah jumlah skor keluhan otot
skeletal sesuai dengan tingkat keluhan yang dirasakan setelah kerja dengan
menggunakan 4 skala Likert.
7) Skor kebosanan dihitung berdasarkan selisih nilai skor kebosanan
setelah kerja dikurangi nilai skor kebosanan sebelum kerja.
8) Skor kelelahan dihitung berdasarkan selisih nilai skor kelelahan
setelah kerja dikurangi nilai skor kelelahan sebelum kerja.
9) Skor keluhan otot skeletal dihitung berdasarkan selisih nilai skor
keluhan otot skeletal setelah kerja dikurangi nilai skor keluhan otot
skeletal sebelum kerja.
81
4.8 Pengolahan dan analisis data
Pengolahan data dari hasil pengukuran adalah sebagai berikut.
1) Uji normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa sampel benar-benar
berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Uji normalitas data
terhadap kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal menggunakan
statistik Kolmogorow-Smirnov (K-S) dengan menggunakan program SPSS
16 for Windows. Kriteria pengujian data menggunakan taraf signifikansi
95% (α = 0,05).
2) Uji t sampel berpasangan
(a) Data kondisi lingkungan dianalisis dengan uji paired-sample t test
pada taraf signifikansi 95%.
(b) Data kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal dianalisis
dengan uji paired-sample t test karena datanya berdistribusi normal
pada taraf signifikansi 95%.
Uji t sampel berpasangan (paired-sample t test) merupakan
pengujian yang dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan. Sampel
yang berpasangan dapat diartikan sebagai sampel dengan subjek yang
sama namun mengalami dua treatment atau perlakuan berbeda.
82
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian dengan rancangan treatment by subject design ini telah
dilakukan pada bulan Oktober - November 2014 di Laboratorium Keterampilan
Klinik (skills lab) Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram.
Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 18 orang. Sampel pada tahap satu
(tanpa intervensi ergonomi yaitu tanpa melakukan peregangan otot dan tanpa
diberikan minum teh manis) dan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi
yaitu dengan melakukan peregangan dan dengan diberikan minum teh manis).
Hasil analisis deskriptif terhadap data karakteristik subjek yang meliputi variabel
umur, berat badan dan tinggi badan disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Data Karakteristik Subjek Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Al-Azhar Mataram
(n=18)
No Variabel Rentangan Rerata Simpang Baku
1 Umur (tahun) 27-32 29,3 2,7
2 Berat Badan (kg) 55-78 62,3 15,7
3 Tinggi Badan (cm) 157-170 165,3 4,7
Dari Tabel 5.1 diketahui bahwa rerata umur, berat badan dan tinggi badan penguji
OSCE reguler termasuk dalam rentangan ideal.
83
5.2 Kondisi Lingkungan Kerja
Kondisi lingkungan kerja yang diindikasikan dapat berpengaruh terhadap
kondisi kerja adalah suhu, intensitas penerangan, dan intensitas kebisingan. Hasil
uji normalitas terhadap data kondisi lingkungan menunjukkan bahwa data
berdistribusi normal. Dengan demikian dilanjutkan dengan analisis parametric
menggunakan uji paired-sample t test. Hasil analisis data kondisi lingkungan di
ruang skills lab Fakultas Kedokteran universitas Islam Al-Azhar dapat dilihat
pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2
Data Kondisi Lingkungan Ruang Skills Lab OSCE Reguler di Fakultas
Kedokteran Universitas IslamAl-Azhar Mataram
(n=18)
No Variabel Tahap 1 Tahap 2 T P
Rerata SB Rerata SB
1 Suhu ruang (0C) 24,4 0,38 25,1 0,29 -2,400 0,174
2 Intensitas
Penerangan (Lux) 507,6 10,17 509,2 2,54 -0,444 0,699
3 Intensitas
Kebisingan (dB) 69,8 0,57 70,1 0,68 -1,581 0,169
Data pada Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kondisi lingkungan dilihat dari suhu,
intensitas penerangan, intensitas kebisingan di ruang skills lab pada tahap
satu (tanpa intervensi ergonomi) dan tahap dua (dengan intervensi ergonomi)
adalah tidak berbeda bermakna (p>0,05). Ini berarti data kondisi lingkungan antar
kedua perlakuan adalah sama.
84
5.3 Kebosanan Dalam Proses Menguji OSCE Reguler
5.3.1 Analisis efek sisa terhadap kebosanan dalam proses menguji OSCE
reguler
Efek sisa ini diukur dengan membandingkan rerata nilai kebosanan pada
penelitian tahap 1 dan tahap 2 antar subjek penelitian, ditampilkan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Efek Sisa Nilai Rerata Kebosanan antar Perlakuan pada Penguji OSCE
Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas IslamAl-Azhar Mataram
(n=18)
Kelompok Rerata Simpang Baku Nilai t Nilai p
Tahap 1 37,866 6,189 0,228 0,693
Tahap 2 38,135 6,108
Jumlah nilai kebosanan pada tahap satu dan perlakuan tahap dua diuji
normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S), didapat data berdistribusi
normal, dimana (p>0,05). Dari hasil uji independent samples test diketahui
perbedaan jumlah nilai kebosanan pada tahap 1 dan perlakuan pada tahap 2 dari
subjek penelitian tidak berbeda, di mana t= 0,228 dengan p=0,693. Hal ini berarti
bahwa tidak terdapat efek sisa dari tahap satu terhadap perlakuan pada tahap dua.
5.3.2 Analisis efek perlakuan terhadap kebosanan dalam proses
menguji OSCE Reguler.
Kebosanan diukur dengan menggunakan kuesioner kebosanan
menggunakan empat skala Likert dan diperoleh skor kebosanan sebelum dan
sesudah perlakuan, sebagaimana terlihat pada Tabel 5.4
85
Tabel 5.4
Nilai Rerata Kebosanan antar Perlakuan
pada Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Al-Azhar Mataram
(n=18)
Tahap 1 Tahap 2 Nilai t
Nilai p
Rerata SB Rerata SB
Sebelum
Menguji
37,866 6,189 38,135 6,108 2,014 0,056
Sesudah
Menguji
77,590 10,127 64,550 8,739 3,160 0,003
Beda 39,724 12,172 26,415 10,233 3,231 0,003
Sebelum dilakukan uji paired-sample t test data kebosanan dalam proses
menguji, diuji menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) pada tingkat
kepercayaan (α=0,05). Data tersebut pada masing-masing tahap adalah
berdistribusi normal (p>0,05), sehingga dilanjutkan dengan menggunakan uji
paired-sample t test. Hasil uji paired-sample t test terhadap kebosanan sebelum
menguji tidak berbeda bermakna (p>0,05), ini berarti kebosanan sebelum menguji
untuk masing-masing tahap adalah sama. Sedangkan kebosanan sesudah menguji
berbeda bermakna (p<0,05), ini berarti skor kebosanan sesudah menguji untuk
kedua perlakuan adalah berbeda.
5.4 Kelelahan dalam Proses Menguji OSCE Reguler
5.4.1 Analisis efek sisa terhadap kelelahan dalam proses menguji OSCE
reguler
Efek sisa terjadi apabila washing out period tidak cukup sehingga efek
tahap satu masih ada pada waktu diberikan perlakuan pada tahap dua. Efek sisa ini
dicari dengan membandingkan rerata nilai kelelahan pada penelitian perlakuan
86
tahap satu dan perlakuan pada tahap dua antar subjek penelitian, ditampilkan pada
Tabel 5.5
Tabel 5.5
Efek Sisa Nilai Rerata Kelelahan antar Perlakuan pada Penguji OSCE
Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram
(n=18)
Kelompok Rerata Simpang Baku Nilai t Nilai p
Tahap 1 32,225 1,818 0,000 1,000
Tahap 2 32,225 1,846
Jumlah nilai kelelahan pada tahap satu dan perlakuan pada tahap dua dari masing-
masing kelompok perlakuan diuji normalitasnya dengan uji Kolmogorov-Smirnov
(K-S), didapat data berdistribusi normal, dimana (p> 0,05). Dari hasil uji
independent samples test diketahui perbedaan jumlah nilai kelelahan pada tahap
satu dan perlakuan pada tahap dua dari masing-masing kelompok perlakuan
subjek penelitian tidak berbeda, di mana t= 0,000 dengan p=1,000. Hal ini berarti
bahwa tidak terdapat efek sisa dari tahap satu terhadap perlakuan pada tahap dua.
5.4.2 Analisis efek perlakuan terhadap kelelahan dalam proses menguji
OSCE reguler
Kelelahan subjektif adalah rerata skor pengisian kuesioner 30 item yang
terbagi menjadi tiga bagian, 1 – 10 adalah pelemahan aktivitas, 11 – 20 adalah
pelemahan motivasi dan 21 – 30 adalah kelelahan fisik akibat keadaan umum.
Hasil analisis kelelahan dalam proses menguji antara tahap satu dan perlakuan
tahap dua disajikan pada Tabel 5.6.
87
Tabel 5.6
Nilai Rerata Kelelahan antar Perlakuan
pada Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Al-Azhar Mataram
(n=18)
Tahap 1 Tahap 2 Nilai t
Nilai p
Rerata SB Rerata SB
Sebelum
Menguji
32,225 1,819 32,225 1,847 0,001 1,000
Sesudah
Menguji
76,275 3,823 55,750 4,292 28,665 0,001
Beda 44,050 3,843 23,525 4,635 28,696 0,001
Dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) diperoleh bahwa skor
kelelahan berdistribusi normal, sehingga dilanjutkan dengan uji paired-sample t
test. Hasil uji t-paired skor kelelahan sebelum perlakuan tidak berbeda bermakna
(p>0,05), ini berarti skor kelelahan sebelum perlakuan untuk kedua perlakuan
adalah sama. Sedangkan skor kelelahan sesudah perlakuan berbeda bermakna
(p<0,05), ini berarti skor kelelahan sesudah menguji antara tahap satu (tanpa
intervensi ergonomi) dengan perlakuan tahap dua (dengan intervensi ergonomi)
adalah berbeda.
5.5 Keluhan Muskuloskeletal dalam Proses Menguji OSCE Reguler
5.5.1 Analisis efek sisa keluhan muskuloskeletal
Efek sisa terjadi apabila washing out period tidak cukup sehingga efek
pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) masih ada pada waktu diberikan pada
tahap dua (dengan intervensi ergonomi). Efek sisa ini dicari dengan
membandingkan rerata nilai keluhan muskuloskeletal pada penelitian perlakuan
pada tahap satu dan dua antar subjek penelitian, ditampilkan pada Tabel 5.7.
88
Tabel 5.7
Efek Sisa Nilai Rerata Keluhan Muskuloskeletal antar Perlakuan pada
Penguji OSCE Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Al-Azhar Mataram
(n=18)
Kelompok Rerata Simpang Baku Nilai t Nilai p
Tahap 1 31,225 2,547 1,147 0,255
Tahap 2 31,875 2,524
5.5.2 Analisis efek perlakuan terhadap keluhan muskuloskeletal
dalam proses menguji
Keluhan muskuloskeletal diukur menggunakan Nordic Body Map dengan
penilaian empat skala Likert. Analisis data mengenai keluhuan muskuloskeletal
terlihat pada Tabel 5.8
Tabel 5.8
Nilai rerata Keluhan Muskuloskeletal antar Perlakuan pada Penguji OSCE
Reguler di Fakultas Kedokteran Universitas IslamAl-Azhar Mataram
Tahap 1 Tahap 2 Nilai t
Nilai p
Rerata SB Rerata SB
Sebelum
Menguji 31,225 2,547 31,875 2,524 1,433 0,160
Sesudah
Menguji 70,475 4,674 45,900 5,213 36,382 0,001
Beda 39,250 5,633 14,025 4,999 29,291 0,001
Dengan menggunakan uji normalitas Kolmogorv-Smirnov diperoleh bahwa
keluhan muskuloskeletal sebelum dan sesudah menguji berdistribusi normal,
sehingga dilanjutkan dengan uji paired-sample t test. Hasil uji paired-sample t test
skor keluhan muskuloskeletal sebelum menguji tidak berbeda bermakna (p>0,05),
ini berarti skor keluhan muskuloskeletal sesudah menguji antara tahap satu (tanpa
intervensi ergonomi) dengan tahap dua (dengan intervensi ergonomi) adalah
berbeda.
89
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian sebanyak 18 orang dengan karakteristik yang akan
dibahas adalah umur, tinggi badan dan berat badan. Umur subjek yang terlibat
dalam penelitian ini antara 27 – 37 tahun dengan rerata 29,3 ± 2,7 tahun.
Rentangan umur ini merupakan rentangan umur yang sesuai untuk dosen yang
dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mereka miliki. Irawan
& Suparmoko (2002) menyatakan bahwa umur produktif berkisar antara 15
– 64 tahun. Grandjean (2000) mengatakan bahwa kondisi umur berpengaruh
terhadap kemampuan kerja fisik atau kekuatan otot seseorang. Kemampuan fisik
maksimal seseorang dicapai pada umur antara 25 – 35 tahun dan akan terus
menurun seiring dengan bertambahnya umur. Dilihat dari umur subjek, berat
badan dan tinggi badan dapat dinyatakan bahwa pada penelitian ini kondisi
fisik subjek berada pada umur produktif dan dalam kondisi yang baik dengan
tubuh yang termasuk ideal sehingga pengaruhnya terhadap penelitian dapat
diabaikan.
6.2 Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan yang didata dalam penelitian ini adalah suhu ruangan,
intensitas pencahayaan, dan intensitas kebisingan sebelum perlakuan dan sesudah
perlakuan. Kelembaban tidak diukur karena semua ruang dalam proses ujian
90
OSCE menggunakan pendingin ruangan. Temuan pada penelitian ini adalah rerata
suhu ruang ujian pada tahap 1 adalah 24,4°C dan tahap 2 adalah 25,1°C. Manuaba
(1998) menyatakan bahwa orang Indonesia yang berada di daerah tropis
teraklimatisasi atau merasa nyaman dengan suhu kering antara 24-28°C. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa suhu pada kedua perlakuan berada pada kategori
nyaman. Hasil uji paired-sample t test membuktikan bahwa suhu ruang untuk
kedua tahap adalah tidak berbeda bermakna (p>0,05), ini berarti subjek penelitian
terpapar oleh suhu ruang relatif sama antara kedua tahap, serta tidak bertindak
sebagai variabel pengganggu karena pengaruhnya dapat dikontrol.
Pencahayaan merupakan salah satu hal yang penting dalam proses belajar
mengajar termasuk saat ujian OSCE berlangsung. Pencahayaan yang baik
memberikan situasi yang nyaman dalam melihat objek dengan jelas sehingga otot-
otot mata tidak mengalami kelelahan. Rerata intensitas cahaya pada tahap 1
adalah 507,6 lux dan tahap 2 adalah 509,2 lux. Untuk kegiatan membaca dan
menulis diperlukan intensitas pencahayaan sebesar 350-700 lux (Kroemer dan
Grandjean, 2000). Jadi intensitas cahaya di dalam ruang ujian, masih berada
dalam batas kenyamanan. Berdasarkan uji paired-sample t test terlihat bahwa
intensitas cahaya kedua perlakuan adalah tidak berbeda bermakna dengan p>0,05.
Manuaba (1998) menyatakan apabila penerangan tidak memadai akan dapat
menimbulkan 2 macam kelelahan, baik penglihatan maupun saraf. Bila kondisi ini
berlangsung kronis, maka akan ditandai dengan tanda-tanda pusing dan vertigo,
sulit tidur, dan hilang nafsu makan serta malas dan lamban dalam bertindak.
91
6.3 Kebosanan Penguji OSCE Reguler
Kebosanan dalam proses menguji ditandai dengan berkurangnya perhatian
Penguji OSCE reguler terhadap peserta ujian atau penguji OSCE reguler
mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatiannya pada tugas yang
sedang dilaksanakan. Kondisi seperti ini sering menyertai penguji OSCE reguler
pada proses ujian yang terlalu lama dan penguji OSCE menilai hal yang sama
berulang-ulang. Jika kondisi yang membosankan tersebut berkepanjangan, akan
muncul perasaan gelisah, ingin menghindar dari aktivitas tersebut dan
menurunnya motivasi untuk menguji dengan objektif.
Kebosanan berhubungan dengan Reticular Activating System (RAS). RAS
di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat
mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran, memberi stimulus visual,
pendengaran, nyeri, dan sensori raba, serta emosi dan proses berfikir. Pada saat
sadar, RAS melepaskan katekolamin, sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan
serum serotonin dari Bulbar Synchronizing Region (BSR) (Potter & Perry, 2005).
Bila aktivitas RAS ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika
aktivitas RAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas RAS
ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem
serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002).
Serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino triptofan.
Dengan bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin yang terbentuk
juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk.
92
Tubuh mengalami proses kimia karena glukosa yang didapat dari makanan
diubah menjadi energi mekanik, membuat otot bekerja dan menjadi sumber
tenaga. Energi ini disebut ATP (adenosin tri fosfat), yaitu gugus adenosin yang
mengikat tiga gugus fosfat. Ketika satu gugus fosfat lepas dari ATP akan dilepas
energi sebesar 30 KJ, yang dapat digunakan untuk menggerakkan otot. Tubuh
punya dua cara untuk mengambil energi dari glukosa, yang pertama aerobik
(memerlukan udara) disebut juga siklus Krebs, melepas energi 3.000 KJ dan yang
kedua anaerobik (tanpa udara), mengubah glukosa menjadi asam laktat dan
melepas energi 150 KJ. Dalam keadaan normal, tubuh bergantung pada proses
aerob. Saat tubuh kelelahan, kadar oksigen dalam aliran darah tidak cukup untuk
menghasilkan energi melalui proses aerob. Karena itu, terjadi proses anerob.
Proses anaerob ini terjadi di otot. Pada keadaan statis, asam laktat pun terkumpul
di otot dan menimbulkan rasa lelah. Kumpulan asam laktat ini dan kondisi yang
anaerob (kurang oksigen) membuat tubuh mengirim sinyal lelah ke otak dan otak
pun balik memerintahkan tubuh untuk istirahat, yang ditandai dengan rasa bosan
dan kantuk.
Situasi dengan stimulus yang rendah, berulang-ulang atau dengan tuntutan
fisik dan mental yang rendah akan menimbulkan stimulus yang kecil pula pada
daerah kesadaran di otak manusia. Dengan kata lain, daya tahan seseorang untuk
memberikan perhatian pada suatu stimulus yang monoton lama kelamaan akan
berkurang. Akibatnya timbul rasa bosan, sehingga dibutuhkan kehadiran stimulus
lain untuk meningkatkan kesiagaan. Stimulus tersebut dalam hal ini adalah
melakukan peregangan otot.
93
Hasil uji paired-sample t test sebelum menguji antara tahap satu (tanpa
intervensi ergonomi) dan perlakuan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi)
membuktikan bahwa kedua tahap tersebut tidak berbeda bermakna dengan nilai
p>0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler dilihat dari faktor
kebosanan sebelum proses menguji adalah sama. Proses menguji yang
berkepanjangan sering memunculkan rasa bosan yang ditandai dengan mood yang
negatif, lelah, lemas, dan menurunnya konsentrasi serta ingin beralih dari aktivitas
tersebut. Hasil uji beda terhadap rerata skor kebosanan setelah proses menguji
membuktikan bahwa kedua tahap tersebut berbeda bermakna dengan nilai p <
0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler dilihat dari faktor
kebosanan setelah proses menguji adalah berbeda. Hal ini terlihat dari perbedaan
rerata skor kebosanan pada perlakuan tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) yaitu
39,724 dan perlakuan pada tahap dua (dengan intervensi ergonomi) yaitu 26,415.
Hasil analisis ini membuktikan bahwa menguji dengan menyisipkan
peregangan dan pemberian teh manis mengurangi rerata kebosanan sebesar 33,5%
secara signifikan (p<0,05) seperti terlihat pada Tabel 5.4. Temuan ini didukung
oleh Wulanyani (2004) yang melaporkan bahwa pengaturan istirahat mampu
mengurangi kebosanan secara signifikan (p<0,05) pada pelinting kertas rokok di
CV ”X” Denpasar. Hasil ini juga didukung oleh Irwanti (2011) pembelajaran
dengan menyisipkan peregangan mengurangi rerata kebosanan sebesar 18,54%
secara signifikan (p<0,05) pada peserta didik kelas X SMK Pariwisata Triatma
Jaya Badung.
94
6.4 Kelelahan Penguji OSCE Reguler
Hasil uji paired-sample t test kelelahan sebelum menguji antara tahap satu
(tanpa intervensi ergonomi) dan perlakuan pada tahap dua (dengan intervensi
ergonoi) menunjukkan bahwa kedua perlakuan tersebut tidak berbeda bermakna
dengan nilai p>0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler
dilihat dari faktor kelelahan sebelum proses menguji adalah sama. Hasil uji beda
terhadap rerata skor kelelahan setelah proses menguji menunjukkan bahwa kedua
tahap tersebut berbeda bermakna dengan nilai p<0,05. Ini membuktikan bahwa
kondisi penguji OSCE reguler dilihat dari faktor kelelahan setelah proses
pembelajaran adalah berbeda. Hal ini terlihat dari perbedaan rerata skor kelelahan
pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) yaitu 44,050 dan perlakuan pada
tahap dua (dengan intervensi ergonomi) yaitu 23,525. Terjadi penurunan
kelelahan pada perlakuan dua sebesar 46,59%.
Terjadinya peningkatan kelelahan dalam menguji karena tubuh penguji
OSCE reguler melakukan posisi statis terus menerus. Dengan kondisi tersebut,
maka tubuh akan mengeluarkan energi yang lebih banyak karena harus
mempertahankan posisi tersebut selama proses menguji. Sedangkan pada proses
menguji yang menyisipkan peregangan otot (perlakuan pada tahap 2), penguji
OSCE reguler lebih merasa nyaman dan menjadi lebih rileks karena kondisi tubuh
tidak lagi melakukan posisi statis secara terus menerus, sehingga berkurangnya
penumpukan produk sampah metabolisme di darah. Adanya peregangan
mengurangi monotoni dan mengaktifkan Reticular Activating System (RAS). Pada
saat lelah dan bosan, akan membuat stimulus ke RAS mengunci rapat, sehingga
95
otak tidak dapat menerima informasi dengan baik, Sebaliknya pada kondisi
peregangan akan terjadi relaksasi, maka lebih banyak stimulusmenuju RAS akan
membuka, sehingga dapat berpikir dengan jernih (Ratna, 1996). Ini berarti
menguji dengan menyisipkan peregangan dan pemberian teh manis mampu
mengurangi kelelahan penguji OSCE reguler secara bermakna (p<0,05). Temuan
ini juga didukung oleh Sutajaya (2006) yang menyatakan bahwa pembelajaran
sistemik, holistik, interdisipliner, dan partisipatori (SHIP) yang menerapkan
prinsip ergonomi menurunkan kelelahan mahasiswa dalam proses perkuliahan.
Dengan adanya peregangan di sela menguji OSCE reguler maka tingkat kelelahan
dalam menguji dapat diturunkan. Arimbawa (2010) menyatakan bahwa redesain
peralatan kerja secara ergonomis menurunkan kelelahan sebesar 17,72 atau
sebesar 25,07% pada pembuat minyak kelapa tradisional di kecamatan Dawan
Klungkung. Wiradharma (2012) menyatakan bahwa kelelahan pada praktikan
mengalami penurunan sebesar 20,3% pada Praktikum odontektomi berorientasi
ergonomi di jurusan kedokteran gigi universitas mahasaraswati denpasar.
6.5 Keluhan Muskuloskeletal Penguji OSCE Reguler
Proses menguji yang dilakukan dengan posisi duduk lama di ruangan,
umumnya didominasi oleh aktivitas yang melibatkan kontraksi otot yang bersifat
statis karena penguji OSCE saat mendengar, melihat dan menilai peserta ujian
tetap berada di tempat duduknya. Sikap kerja seperti ini dilakukan penguji OSCE
reguler selama kurang lebih 10 jam, yang dapat mengakibatkan kekuatan otot
96
berkurang, bertambah panjangnya waktu laten kontraksi dan kurangnya
koordinasi sehingga timbul keluhan muskuloskeletal (Suma’mur, 2009).
Keluhan muskuloskeletal dihitung berdasarkan selisih skor keluhan dari
pengisian kuesioner Nordic Body Map sebelum dan sesudah perlakuan
berdasarkan empat skala likert. Pada penelitian ini proses menguji pada tahap satu
didominasi oleh aktivitas dengan sikap kerja statis. Melalui proses menguji yang
diselingi dengan peregangan, sikap kerja statis menjadi dinamis. Peregangan otot
yang dilakukan memberikan efek berkurangnya keluhan muskuloskeletal. Hasil
uji paired-sample t test sebelum perlakuan antara tahap satu dan perlakuan pada
tahap dua menunjukkan bahwa kedua perlakuan tersebut tidak berbeda bermakna
dengan nilai p>0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi penguji OSCE reguler
dilihat dari faktor keluhan muskuloskeletal sebelum proses menguji adalah sama.
Hasil uji beda terhadap rerata skor keluhan muskuloskeletal setelah proses
menguji menunjukkan bahwa kedua perlakuan pada tahap satu dan tahap dua
tersebut berbeda bermakna dengan nilai p<0,05. Ini membuktikan bahwa kondisi
penguji OSCE reguler dilihat dari faktor keluhan muskuloskeletal setelah proses
menguji adalah berbeda. Hal ini terlihat dari rerata skor keluhan muskuloskeletal
pada tahap satu (tanpa intervensi ergonomi) yaitu 39,25 dan pada perlakuan pada
tahap dua (dengan intervensi ergonomi) yaitu 14,02.
Tingginya keluhan muskuloskeletal pada tahap satu disebabkan karena
sikap kerja statis dalam waktu yang lama berakibat penumpukan sisa-sisa
metabolisme seperti asam laktat karena tidak optimalnya sirkulasi tubuh. Hal ini
disebabkan oleh karena penekanan kapiler-kapiler otot akibat kontraksi otot statis
97
(Suma’mur, 2009). Kadar asam laktat yang tinggi juga menggambarkan
ketidakmampuan sistem energi aerobik, sehingga suplai energi bergeser ke sistem
anaerobik. Keadaan ini menyebabkan peningkatan produksi asam laktat dalam
jaringan dan menurunkan asam laktat dalam hati karena terhambatnya glikolisis
(Citrawati dkk, 2001)
Peregangan menyebabkan keluhan muskuloskeletal menurun sebesar
64,28%. Penurunan ini disebabkan karena pada saat diberikan peregangan,
perbaikan sirkulasi darah berakibat otot dapat pulih kembali dan dapat
membangun zat-zat yang diperlukan bagi otot, dalam hal ini adalah pendaur-
ulangan asam laktat sisa metabolisme otot untuk diubah menjadi karbon dioksida
(CO2), air, dan glikogen serta protein yang akan dimanfaatkan kembali. Nala
(1998) menyatakan bahwa proses pemulihan berusaha untuk mengembalikan
kondisi tubuh ke kondisi semula. Disini diupayakan agar darah yang terkumpul di
otot skeletal lebih cepat bersirkulasi menuju hati, jantung dan paru. Hal ini
berfungsi pula untuk membersihkan sisa hasil metabolisme berupa tumpukan
asam laktat yang berada di dalam otot dan darah. Asam laktat ini merupakan
limbah hasil metabolisme sel otot sebagian besar (65%) akan didaur ulang dengan
cara oksidasi (sistem aerobik) menjadi karbondioksida dan air. Sisanya diubah
menjadi glikogen hati dan darah (20%) serta protein (15%) dimanfaatkan kembali
untuk menjadi energi. Itu bisa terjadi melalui proses pemulihan, yang salah
satunya adalah dengan cara melakukan berbagai gerakan aktif yang ringan seperti
jalan atau menggerak-gerakkan tubuh serta anggota tubuh atas dan bawah (lengan
dan tungkai) secara ringan setelah melakukan aktivitas fisik.
98
Pada peregangan di sela proses menguji akan memberikan peluang kepada
penguji OSCE reguler untuk melakukan istirahat aktif sehingga mengurangi
keluhan muskuloskeletal. Temuan ini juga didukung oleh Sutajaya (2006) yang
menyatakan bahwa peregangan disela waktu pembelajaran menurunkan keluhan
muskuloskeletal mahasiswa dalam proses perkuliahan.
6.6 Penurunan Kebosanan, Kelelahan dan Keluhan Muskuloskeletal
Meningkatkan Kinerja Penguji OSCE Reguler
Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang signifikan (p
<0,05) pada rerata skor kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal.
Rerata skor kebosanan perlakuan tahap satu yaitu 39,724 dan perlakuan tahap dua
yaitu 26,415. Terjadi penurunan rerata kebosanan sebesar 33,5%. Rerata skor
kelelahan tahap satu yaitu 44,050 dan tahap dua yaitu 23,525. Terjadi penurunan
kelelahan pada perlakuan dua sebesar 46,59%. Rerata skor keluhan
muskuloskeletal perlakuan tahap satu yaitu 39,25 dan perlakuan tahap dua yaitu
14,02. Terjadi penurunan rerata keluhan muskuloskeletal sebesar 64,28%. Proses
ujian OSCE reguler dengan orientasi ergonomi yaitu dilakukan peregangan dan
diberikan teh manis dapat menurunkan kebosanan, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal para penguji OSCE reguler di Fakultas Kedokteran Universitas
Islam Al-Azhar Mataram.
Kinerja penguji OSCE reguler dinilai baik pada akhirnya adalah jika dapat
melakukan penilaian dengan obyektif. Hal ini dapat tercermin dari: 1)lembar
penilaian terisi penuh, 2) terdapat feedback yang dituliskan pada lembar penilaian
99
terutama pada saat tidak meluluskan peserta ujian, 3) dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dinilai saat rapat akhir penentuan kelulusan,
4) sedikit atau bahkan tidak ada komplain dari peserta ujian yang dirugikan
akibat kesalahan penilaian saat nilai diumumkan.
Pada tahap satu yaitu menguji OSCE tanpa orientasi ergonomi (tanpa
peregangan dan tanpa pemberian teh manis) masih banyak ditemukan pada lembar
penilaian mahasiswa yang tidak lulus namun tidak dituliskan oleh penguji sebab
ketidaklulusannya, dalam hal ini penguji tidak memberikan feedback pada lembar
penilaian. Pada saat rapat penentuan kelulusan, banyak diantara penguji yang lupa
dasar menetapkan tidak lulus kepada peserta ujian karena tidak menuliskan
feedback di lembar penilaian.
Pada tahap dua yaitu menguji OSCE dengan orientasi ergonomi (dengan
peregangan dan dengan pemberian teh manis) semua lembar penilaian dan lembar
feedback bagi yang tidak lulus terisi penuh. Selain itu semua penguji dapat
mempertanggungjawabkan yang dinilai saat rapat akhir penentuan kelulusan.
Terjadi peningkatan kinerja penguji yang signifikan akibat penerapan prinsip
ergonomi dalam menguji OSCE reguler di Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Al-Azhar Mataram. Peningkatan Kinerja tersebut terjadi karena Proses menguji
OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu dengan peregangan dan pemberian teh
manis dapat menurunkan kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal para
penguji OSCE reguler.
Kebosanan, kelelahan dan keluhan muskuloskeletal selama menguji
disebabkan karena penguji duduk lama kurang lebih 10 jam, pekerjaan yang
100
monoton harus menguji enam puluh orang berbeda dengan meteri observasi yang
sama. Jika dibiarkan, keadaan tersebut mengakibatkan penguji tidak objektif
dalam menilai peserta ujian. Intervensi ergonomi yaitu peregangan otot dan
pemberian teh manis dapat menurunkan kebosanan, kelelahan dan keluhan
muskuloskeletal sehingga tubuh tetap bugar, penguji dapat fokus dan dapat
konsentrasi dengan baik. Akibatnya penguji penuh semangat menjalankan
tugasnya. Efek dari hal tersebut adalah produktivitas meningkat sehingga kinerja
meningkat
101
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas yang dikaji berdasarkan literatur yang
mendukung dan temuan di lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan
peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar di lihat dari penurunan
kebosanan
2. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan
peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar di lihat dari penurunan
kelelahan
3. Ujian OSCE reguler berorientasi ergonomi yaitu istirahat aktif dengan
peregangan dan minum teh manis dapat meningkatkan kinerja penguji di
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar di lihat dari penurunan
keluhan muskuloskeletal
7.2 Saran
Berdasarkan temuan pada penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut.
1. Dari hasil penelitian ini, dipandang perlu untuk memberikan mata
kuliah ergonomi pada fakultas kedokteran sehingga nantinya proses kerja
102
dokter maupun dosen di fakutas kedokteran lebih produktif dan sesuai dengan
kaidah ergonomi.
2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dengan menggunakan
intervensi ergonomi lain dalam memecahkan masaah ergonomi pada proses
ujian OSCE di fakultas kedokteran. Misalnya: pengaturan waktu, durasi dan
frekuensi ujian OSCE reguler. Selain itu, menggunakan subjek dengan
perbedaan usia, berat dan tinggi badan yang kecil agar simpang baku tidak
terlalu besar sehingga kinerja bisa lebih tinggi
3. Perlu menyiapkan stasiun ujian OSCE reguler yang lebih representatif. Selain
itu, waktu ujian dipersingkat menjadi 5 jam agar jam kerja penguji dapat
optimal dan kinerja dapat lebih ditingkatkan
103
DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, I.N. 2002. Denyut Nadi dan Kegunaannya Dalam Ergonomi. Jurnal
Ergonomi Indonesia. Vol. 3. No. 16: 22-26.
Adiputra, I.N. 2003. Kapasitas Kerja Fisik Orang Bali. Majalah Kedokteran
Udayana (Udayana Medical Journal). 34 (120,4) p ;108-110
Alter, MJ. 2003. 300 Tehnik Peregangan Olahraga. Yogyakarta: Grafindo Persada
Anastasi, A. 1989. Field of Applied Psychology . Jakarta: CV Rajawali.
Anoraga, P. 1998. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Arimbawa, IMG. 2010. Redesain Peralatan Kerja Secara Ergonomis. Denpasar:
Udayana University Press
As’ad, M., 2000. Psikologi Industri, Edisi ke-4, Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Bakta I.M. 2000. Rancangan Penelitian. Denpasar: Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Bonita, JS. 2007. Coffee and Cardiovascular disease: In Vitro, cellular, animal,
and human studies. Pharmacological Research.
Bridger, R.S. 1995. Introduction to Ergonomic. Singapore: McGraw Hill Inc.
Cantika. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Malang: Penerbit
Universitas Muhammadiyah Malang.
Citrawati, DM., Sutajaya, IM., dan Maharta, IK, 2001. Anatomi dan Fisiologi
Manusia. Jakarta: Bhatara Niaga Media. Choi HK, Willett W, Curhan G. 2007. Coffee Consumption and Risk of Incident
Gout in Men. Arthritis and Rheumatism.
Cummings, B. 2003. Interactive Physiology. San Francisco: Pearson Education
Inc.
Dempsey, P.G. 2003. A Survey of Lifting and Lowering Task. International
Journal of Industry Ergonomics. P 31 (1) 11-16.
Dikti, 2006. Health Professional Education Quality Project: Pedoman Persiapan
dan Penyelenggaraan Objective Structured Clinical Examination
(OSCE) untuk Dokter Dan Dokter Gigi. [cited 2014 January 14].
Available-from:URL:
104
http://hpeq.dikti.go.id/v2/images/Produk/Panduan_Penyelenggaraan_
Ujian_Osce.pdf
Ganong, W.F. 2001. Review of Medical Physiology. 20th
Edition. New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division.
Grandjean, E. 2000. Fitting the Task to The man. A Textbook Of Occupational
Ergonomics. 4th
edition. New York: Taylor & Francis.
Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. (terjemahan). Jakarta:
EGC. Penerbit Buku Kedokteran
Guyton, A.C. dan J.E. Hall. 1996. Medicine Physiology. Pensylvania: W. B.
Sounders Company.
Hales, TR and Bernard, BP. 1996. Epidemiology of Work Related
Musculoskeletal Disorder. Journal Orthopedic Clinic. North America.
27:679-709
Hutagalung, R. 2008. Perbaikan Kualitas Kerja Dengan Menerapkan Pendekatan
Ergonomi Meningkatkan Kinerja Buruh AngkatAngkut Tradisional Di
Pasar Badung Denpasar. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Ilyas, Y., 2001. Kinerja Teori Penilaian dan Penelitian. Jakarta: FKM UI.
Irawan dan Suparmoko. 2002. Ekonomika Pembangunan. Yogyakarta :
BPFE Universitas Gajah Mada.
Irwanti, NKD. 2011, Peregangan Otot Di Sela Pembelajaran Mengurangi
Kebosanan, Kelelahan Dan Keluhan Muskuloskeletal Peserta Didik
Kelas X, Smk Pariwisata Triatma Jaya Badung. Denpasar: Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Kroemer, K.H.E, dan Grandjean, E. 2000. Fitting The Task To The Human; A
Textbook Of Occupational Ergonomics. 5th
Edition. U.K: Taylor &
Francis.
Mangkunegara, A.A, dan Prabu, A. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan, Cetakan Pertama. Bandung: Remaja Rosda Karya
Mangkuprawira, S. 2003. Managemen Sumber Daya Manusia Strategik. Cetakan
Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia
105
Manuaba, I.B.A. 1998. Dengan Desain yang Aman Mencegah Kecelakaan dan
Cedera. Bunga Rampai Ergonomi. Volume 1. Denpasar: Program
Studi Ergonomi - Fisiologi Kerja. Denpasar: Universitas Udayana.
Manuaba, I.B.A. 2000. Ergonomi Meningkatkan Kinerja Tenaga Kerja dan
Perusahaan. Dalam Hermansyah editor. Prosiding Simposium dan
Pameran Ergonomi Indonesia 2000. Bandung : ITB Press. p. 11-9.
Manuaba, I.B.A. 1992. Pengaruh Ergonomi Terhadap Produktivitas. Seminar
Produktivitas Tenaga Kerja. Jakarta 30 Januari 1992
Nala, N. 1998. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar: Program
Pascasarjana Program Studi Fisiologi Olahraga Universitas Udayana.
Palilingan, R., Adiputra, I., Dinata, K., Dewi, A., 2012b. Analisis Sikap Kerja
Dengan Menggunakan Metode REBA (rapid entire body assessment)
Pada Buruh Angkat Angkut Wanita di Pasar Tradisional Badung
Denpasar. Seminar IAIFI, Manado, 17-18 Mei 2012.
Perry, A.G dan Potter, P.A. 2005. Buku ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta:
penerbit EGC
Pheasant, S. 1991. Ergonomics, Work and Health. London: Macmillan Academic.
Profesional Ltd
Pulat, B.M. 1992. Fundamentals of Industrial Ergonomics. Prentice-Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Ratna. M. 1996. Buku Kuliah Susunan Saraf Otak Manusia. Jakarta: CV.
Infomedika.
Rodahl, K. 1989. The Physiologi of Work. London: Taylor & Francis.
Sedarmayanti. 1996. Tata kerja dan produktivitas kerja, suatu tinjauan aspek
Ergonomi atau kaitan antara manusia dengan lingkungan kerja.
Bandung: CV. Mandar Maju.
Singer, M.G. 1990. Human Resource Management. Boston: PSW-Kent Publising
Company.
Sofwan, R. 2013. Bugar Selalu di Tempat Kerja. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer
Suardana, E. 2001. Penggunaan Tangkai Tambahan Pada Sekop Menurunkan
Beban Kerja Serta Keluhan Subjektif Penyekop Pasir. Magister
106
Program Studi Ergonomi - Fisiologi Kerja. Denpasar: Universitas
Udayana.
Suma’mur, PK. 1995. Higene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT.
Toko Gunung Agung.
Suma’mur, P.K. 2009. Hygiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta:
Sagung Seto
Sutajaya, IM. 2006. Pembelajaran Melalui Pendekatan Sistemik Holistik
Interdisipliner dan Partisipatori (SHIP) Mengurangi Kelelahan
Keluhan Muskuloskeletal dan Kebosanan serta Meningkatkan Luaran
Proses Belajar Mahasiswa Biologi IKIP Singaraja.
(Disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sutjana, D. P. dan Sutajaya, I.M. 2005. Penuntun Tugas Lapangan Program Studi
Ergonomi-Fisiologi Kerja. Program Pascasarjana Universitas Udayana
Denpasar.
Syaifuddin, M. 2005. Supply Chain Risk Management (Studi Literatur Dan
Pengembangan Framework). Prosiding Seminar Nasional The
Application of Technology Toward a Better Life. Universitas
Teknologi Yogyakarta (UTY) Yogyakarta 29-30 Juli 2005
Tarwaka. 2011. Ergonomi Industri : Dasar-dasar pengetahuan ergonomi dan
aplikasi di tempat kerja. Cetakan kedua. Surakarta : Harapan Press
Solo.
Walton C, Kalmar JM Cafarelli E. “Effect of Caffeine on self-sustained Firing in
Human Motor Units”. Journal of Physiology. 2002
Wiradharma, N. 2012. Praktikum Odontektomi Berorientasi Ergonomi
Meningkatkan Kinerja Praktikan Di Jurusan Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar. (Tesis). Denpasar: Program
Pascasarjana Universitas Udayana
Wolinsky, I., Hickson, J.F.1994. Nutrition in Exercise and Sport. London: CRC.
Press.
Yoshitake, H. 1971. Relations between the symptoms and the feeling of fatigue,
In K. Hashimoto, K. Kogi, & E. Grandjean (Eds), Methodology in
human fatigue assessment. London : Taylor & Francis Ltd
107
Lampiran 1. Kuesioner Kebosanan
KUESIONER KEBOSANAN DALAM PROSES MENGUJI
Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang tersedia sesuai dengan kondisi
saudara saat ini.
STS : Sangat Tidak Setuju S : Setuju
SS : Sangat Setuju SS : Sangat Setuju AS : Agak Setuju
NO PERTANYAAN JAWABAN
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1 Saya menyukai materi yang sedang diujikan 2 Saya menyukai cara peserta memberikan jawaban 3 Saya menyukai penampilan peserta 4 Saya selalu penuh semangat saat menguji 5 Saya merasa ketinggalan informasi jika tidak hadir 6 Pada saat menguji saya merasa ingin cepat-cepat
keluar dari ruang ujian
7 Proses ujian saya rasakan sangat lamban 8 Saya merasa waktu berlalu dengan cepat saat
menguji
9 Saya merasa kurang termotivasi untuk menguji 10 Saya merasa kesulitan dalam menguji 11 Saya merasa malas mencatat penilaian peserta 12 Saya merasa malas mendengarkan jawaban peserta 13 Saya merasa enggan untuk berkomentar atas
performance peserta
14 Saya merasa enggan untuk menjawab pertanyaan
peserta
15 Saya selalu merasa gelisah 16 Saya sering menguap 17 Saya sering menggeser-geser pantat 18 Saya sering menoleh ke kiri dan ke kanan 19 Saya merasa kurang konsentrasi 20 Saya sulit menahan rasa kantuk 21 Saya sering melamun 22 Saya sering terkejut jika ditanya peserta 23 Saya lebih suka ngobrol daripada menguji 24 Saya merasa jawaban peserta dapat dengan mudah
dimengerti
25 Saya merasa metode ujian bersifat monoton 26 Saya mengalami kesulitan saat ingin mencatat
feedback peserta
(Sumber: Anoraga, 1998 (modifikasi))
108
Lampiran 2
KUESIONER KELELAHAN SECARA UMUM DENGAN 30 ITEM
PERNYATAAN
N a m a : ________________________________
Sampaikan perasaan saudara terhadap pertanyaan di bawah ini, dengan mengisi
kolom disebelah kanannya. Pilihlah :
A : tidak sama sekali C : ya merasa
B : agak merasa D : sangat merasa
NO PERTANYAAN JAWABAN
(1)
(2)
(3)
(4)
1 Apakah saudara merasa berat di bagian kepala ?
2 Apakah saudara merasa lelah pada seluruh badan ?
3 Apakah kaki saudara terasa berat ?
4 Apakah saudara menguap ?
5 Apakah pikiran saudara terasa kacau ?
6 Apakah saudara merasa mengantuk ?
7 Apakah saudara merasakan ada beban di mata ?
8 Apakah saudara merasa kaku atau canggung dalam
bergerak ?
9 Apakah saudara merasa sempoyongan ketika berdiri ?
10 Apakah ada perasaan ingin berbaring ?
11 Apakah saudara merasa susah berpikir ?
12 Apakah saudara merasa lelah untuk bicara ?
13 Apakah perasaan saudara menjadi gugup ?
14 Apakah saudara tidak bisa berkonsentrasi ?
15 Apakah saudara tidak dpt memusatkan perhatian thd
sesuatu ?
16 Apakah saudara punya kecendrungan untuk lupa ?
17 Apakah saudara merasa kurang percaya diri ?
18 Apakah saudara merasa cemas terhadap sesuatu ?
19 Apakah saudara merasa tidak dapat mengontrol sikap ?
20 Apakah saudara merasa tidak dapat tekun dalam
pekerjaan ?
21 Apakah saudara merasa sakit kepala ?
22 Apakah saudara merasa kaku di bagian bahu ?
23 Apakah saudara merasakan nyeri di punggung ?
24 Apakah nafas saudara terasa tertekan ?
25 Apakah saudara merasa haus ?
26 Apakah suara saudara terasa serak ?
27 Apakah saudara merasa pening ?
28 Apakah kelopak mata saudara terasa kejang ?
29 Apakah anggota badan saudara terasa bergetar (tremor) ?
30 Apakah saudara merasa kurang sehat ?
(Sumber: Sutjana, 2005)
109
Lampiran 3. Kuesioner Keluhan Muskuloskeletal
KUESIONER NORDIC BODY MAP
PETUNJUK : berilah tanda silang ( X ) pada kolom yang tersedia
SESUAI DENGAN keluhan sakit / kaku pada otot yang Saudara rasakan.
N a m a :................................................................................
TINGKAT NO JENIS KELUHAN KELUHAN
(1)
(2)
(3)
(4)
0 Sakit/kaku pada leher bagian atas
1 Sakit/kaku pada leher bagian bawah
2 Sakit pada bahu kiri
3 Sakit pada bahu kanan
4 Sakit pada lengan atas kiri
5 Sakit pada punggung
6 Sakit pada lengan atas kanan
7 Sakit pada pinggang
8 Sakit pada bokong
9 Sakit pada pantat
10 Sakit pada siku kiri
11 Sakit pada siku kanan
12 Sakit pada lengan bawah kiri 13 Sakit pada lengan bawah kanan
14 Sakit pada pergelangan tangan kiri
15 Sakit pada pergelangan tangan kanan
16 Sakit pada tangan kiri
17 Sakit pada tangan kanan
18 Sakit pada paha kiri
19 Sakit pada paha kanan
20 Sakit pada lutut kiri
21 Sakit pada lutut kanan
22 Sakit pada betis kiri
23 Sakit pada betis kanan
24 Sakit pada pergelangan kaki kiri
25 Sakit pada pergelangan kaki kanan
26 Sakit pada kaki kiri
27 Sakit pada kaki kanan (Sumber: Sutjana, 2005)
KETERANGAN :
A : Tidak sakit (dapat melaksanakan pekerjaan tanpa keluhan)
B : Agak sakit (dapat bekerja meskipun kadang-kadang merasa sakit)
C : Sakit (tetap dapat bekerja meskipun tidak sepenuhnya)
D : Sangat sakit (merasa sakit dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan)
110
Lampiran 4. Surat Persetujuan
SURAT PERSETUJUAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
1. Nama : .....................................................................
2. Umur/Tanggal Lahir : .....................................................................
3. Jenis kelamin : Pria/Wanita
4. TB/BB : Dengan ini menyatakan sepenuhnya menyadari manfaat dan resiko penelitian
yang berjudul ”Ujian OSCE Reguler Berorientasi Ergonomi Meningkatkan
Kinerja Penguji di Fakultas kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram”
oleh karena itu dengan sukarela saya menyetujui untuk diikutsertakan sebagai
subjek penelitian dengan catatan apabila suatu saat merasa dirugikan dalam
bentuk apapun dapat menarik diri dari persetujuan ini.
Mengetahui Mataram, ............................... Peneliti, Hormat saya,
Dr. IING ...............................................
111
Lampiran 5. Karakteristik Subjek
subjek Umur (tahun) Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)
1 28 62 170
2 30 65 157
3 29 78 170
4 32 58 164,5
5 27 55 161,5
6 30 56 169
7 28 62 170
8 30 65 157
9 29 78 170
10 32 58 164,5
11 27 55 161,5
12 30 56 169
13 28 62 170
14 30 65 157
15 29 78 170
16 32 58 164,5
17 27 55 161,5
18 30 56 169
rerata 29,3 62,3 165,3
SB 2,7 15,7 4,7
Min 27 55 157
Maks 32 78 170
112
Lampiran 6. Data Lingkungan dan Analisis Statistik 6.1 rerata kondisi lingkungan pada tahap 1 dan tahap 2 P0 P1
pengukura
n
Suhu
In
cahaya
In
Suara
Suhu
In
cahaya
In
Suara
1 24,7
8
508,6 69,7 25,2 511,7 70,5
2 24,1 511,7 69,1 24,9 513,6 69,4
3 24,6 502,4 70,5 25,1 502,5 70,3
rata-rata 24,4 507,6 69,8 25,1 509,2 70,1
SB 0,38 10,17 0,57 0,29 2,54 0,68 6.2 Analisis Deskriptif Data Lingkungan
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation P0_Suhu
P0_intensitas_cahaya
P0_intensitas_suara
P1_suhu
P1_intensitas_cahaya
P1_intensitas_Suara
Valid N (listwise)
3
3
3
3
3
3
24,10
502,40
69,10
24,90
502,50
69,40
24,70
511,70
70,50
25,10
513,60
70,50
24,4000
507,6000
69,8000
25,0800
509,2000
70,1000
,37777
10,16031
,56772
,28749
2,54229
,67823
6.3 Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig. P0_Suhu_
P0_intensitas_cahaya
P0_intensitas_suara
P1_suhu
P1_intensitas_cahaya
P1_intensitas_Suara
,229
,277
,242
,213
,217
,322
3
3
3
3
3
3
,200*
,200*
,200*
,200*
,200*
,098
,894
,885
,879
,939
,927
,858
3
3
3
3
3
3
,377
,331
,305
,656
,578
,221
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
113
6.4 Analisis Uji T data lingkungan
T-Test
Group Statistics
kelompok
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Mean Suhu Perlakuan1
Perlakuan2 3
3 24,4000
25,0800
,37777
,28749
,16000
,12410 intensitas_cahaya Perlakuan1
Perlakuan2 3
3 507,6000
509,2000
10,16031
2,54229
4,54383
1,14307 intensitas_suara Perlakuan1
Perlakuan2 3
3 69,8000
70,1000 ,56772
,67823
,24495
,30332
114
Lampiran 7 Uji Normalitas Data Kebosanan
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Perlakuan Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Kebosananpre tanpa perlakuan .094 18 .200* .956 18 .124
dengan perlakuan .109 18 .200* .951 18 .082
kebosananpost tanpa perlakuan .088 18 .200* .977 18 .586
dengan perlakuan .076 18 .200* .978 18 .631
bedakebosanan tanpa perlakuan .127 18 .106 .971 18 .397
dengan perlakuan .065 18 .200* .988 18 .942
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
115
Lampiran 8 Uji Independent Samples Test untuk efek sisa kebosanan
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Sig. Interval of the
(2- Mean Std. Error Difference
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
kebosananpre Equal
-
-
variances .001 .971 78 .693 -.17500 1.36480 2.54211
.228 2.89211
assumed
Equal
variances - 77.998 .693 -.17500 1.36480
- 2.54211
not
.228 2.89211
assumed
116
Lampiran 9 Uji Beda terhadap Kebosanan
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Kebosanan sebelum 38.0000 18 6.08908 .96277
perlakuan
Kebosanan sebelum 38.1750 18 6.11802 .96734
perlakuan 2
Pair 2 Kebosanan setelah
72.9500 18 10.12727 1.60126
perlakuan 1
Kebosanan setelah 66.6500 18 8.73998 1.38191
perlakuan 2
Pair 3Beda kebosanan perlakuan 34.9500 18 12.17174 1.92452
1
Beda kebosanan perlakuan 28.4750 18 10.23315 1.61800
2
Paired Samples Correlations
N
Correlation Sig.
Pair 1 Kebosanan sebelum
perlakuan & Kebosanan 18 .996 .000
sebelum perlakuan 2
Pair 2 Kebosanan setelah
perlakuan 1 & Kebosanan 18 .112 .490
setelah perlakuan 2
Pair 3 Beda kebosanan perlakuan
1 & Beda kebosanan 18 .370 .019
perlakuan 2
117
Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed) Mean
Std. Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair Kebosanan
1 sebelum
perlakuan 1
- Kebosanan
sebelum
perlakuan 2
-.17500
.54948
.08688
-.35073
.00073
-2.014
39
.056
Pair Kebosanan
2 setelah
perlakuan 1
- Kebosanan
setelah
perlakuan 2
6.30000
12.61094
1.99397
2.26682
10.333
18
3.160
39
.003
Pair Beda
3 kebosanan
perlakuan 1
- Beda
kebosanan
perlakuan 2
6.47500
12.67339
2.00384
2.42185
10.528
15
3.231
39
.003
118
Lampiran 10. Uji Normalitas Data Kelelahan
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Kelelahanpreseb1 .175 18 .200 .883 18 .001
Kelelahanpreseb2 .182
18
.870
18
.000
.200
Kelelahansed1 .124 18 .123 .972 18 .425
kelelahansed2 .122 18 .136 .953 18 .095
Bedaperlakuan1 .127 18 .104 .962 18 .201
Bedaperlakuan2 .125 18 .115 .962 18 .196
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Kelelahanpreseb1 18 30.00 35.00 32.2250 1.81853
Kelelahanpreseb2 18 30.00 35.00 32.2250 1.84651
Kelelahansed1
18 64.00 81.00 73.7250 3.82292
kelelahansed2 18 45.00 64.00 51.7000 4.29191
Bedaperlakuan1 18 33.00 48.00 41.5000 3.84308
Bedaperlakuan2 18 11.00 31.00 19.4750 4.63536
Valid N (listwise)
119
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Kelelahan sebelum 32.2250 18 1.81853 .28753
perlakuan 1
Kelelahan sebelum 32.2250 18 1.84651 .29196
perlakuan 2
Pair 2 Kelelahan sesudah
76.275 18 3.82292 .60446
perlakuan 1
Kelelahan sesudah 55.750 18 4.29191 .67861
perlakuan 2
Pair 3 Beda kelelahan perlakuan 1 44.050 18 3.84308 .60764
Beda kelelahan perlakuan 2 23.525 18 4.63536 .73291
120
Lampiran 11 Uji Independent Samples Test untuk efek sisa kelelahan
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95%
Confidence
Sig. Interval of the
(2- Mean Std. Error Difference
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
kelelahanpre Equal -
variances .014 .905 .000 78 1.000 .00000 .40978 .81580
.81580
assumed
Equal -
variances
.000 77.982 1.000 .00000 .40978 .81581
.81581
not assumed
121
Lampiran 12 Uji Beda terhadap Kelelahan
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Kelelahan sebelum perlakuan 1 & 18 .664 .000
Kelelahan sebelum perlakuan 2
Pair 2 Kelelahan sesudah perlakuan 1 & 18 .287 .027
Kelelahan sesudah perlakuan 2
Pair 3 Beda kelelahan perlakuan 1 & Beda 18 .356 .024
kelelahan perlakuan 2
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence
Std. Interval of the
Difference
Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper T Df tailed)
Pair Kelelahan sebelum
1 perlakuan 1 - .00000 1.50214 .23751 -.48041 .48041 .000 39 1.000
Kelelahan sebelum
perlakuan 2
Pair Kelelahan sesudah
2 perlakuan 1 - 2.20250E1 4.85950 .76835 20.47086 23.57914 28.665 39 .000
Kelelahan sesudah
perlakuan 2
Pair Beda kelelahan
3 perlakuan 1 - Beda
2.20250E1 4.85422 .76752 20.47254 23.57746 28.696 39 .000
kelelahan
perlakuan 2
122
Lampiran 13 Uji Normalitas Data Keluhan Muskuloskeletal
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
Keluhan sebelum .185
18 .200* .909 18
.004
perlakuan 1
Keluhan sebelum .146
18 .200* .950 18
.074
perlakuan 2
Keluhan sesudah
.180
18 .200* .911 18
.004
perlakuan 1
Keluhan sesudah .192
18 .200* .874 18
.000
perlakuan 2
Perbedaan keluhan .113
18 .200* .952 18
.086
perlakuan 1
bedakeluhan2 .102
18
.965 18
.241
.200*
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance
123
Lampiran 14 Uji Independent Samples Test untuk efek sisa keluhan muskuloskeletal
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95%
Confidence
Sig. Interval of the
(2- Mean Std. Error Difference
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
keluhanpre Equal -
-
variances .011 .916 78 .255 -.65000 .56690
.47862
1.147
1.77862
assumed
Equal -
-
variances
77.993 .255 -.65000 .56690
.47862
1.147
1.77862
not assumed
124
Lampiran 15 Uji Beda terhadap Keluhan Muskuloskeletal
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Keluhan sebelum 31.2250 18 2.54687 .40270
perlakuan 1
Keluhan sebelum 31.8750 18 2.52361 .39902
perlakuan 2
Pair 2 Keluhan sesudah
70.4750 18 4.67392 .73901
perlakuan 1
Keluhan sesudah
45.9000 18 5.21241 .82415
perlakuan 2
Pair 3 Perbedaan
keluhan 39.2500 18 5.63301 .89066
perlakuan 1
bedakeluhan2 14.0250 18 4.99994 .79056
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1Keluhan sebelum perlakuan
1 & Keluhan sebelum 18 .360 .023
perlakuan 2
Pair 2Keluhan sesudah perlakuan
1 & Keluhan sesudah 18 .631 .000
perlakuan 2
Pair 3 Perbedaan keluhan 18
.480
.002
perlakuan 1 & bedakeluhan2
125
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence
Interval of the
Std. Std. Error Difference Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper T df tailed)
Pair Keluhan sebelum
1 perlakuan 1 - -.65000 2.86938 .45369 -1.56767 .26767 -1.433 39 .160
Keluhan sebelum
perlakuan 2
Pair Keluhan sesudah
2 perlakuan 1 -
2.45750E1 4.27208 .67547 23.20872 25.94128 36.382 39 .000
Keluhan sesudah
perlakuan 2
Pair Perbedaan
3 keluhan perlakuan 2.52250E1 5.44665 .86119 23.48308 26.96692 29.291 39 .000
1 - bedakeluhan2