1
BRIYAN B HENDRO [email protected] S YAHDAN, pada 1623, Jan Carstensz, pelaut berkebang- saan Belanda yang tengah berlayar dari Ambon ke New Guinea melihat jajaran pegunungan yang sangat tinggi saat melintasi selatan Pulau Papua. Beberapa titik puncaknya bahkan terlihat putih bak tertutup oleh salju. Kesaksian tersebut dibawanya saat kembali ke Eropa. Banyak orang tidak percaya dan mencemooh Carstensz. Bagaimana mungkin daerah di dekat khatulistiwa yang hangat dan ber- iklim tropis memiliki salju? Namun, tidak semua orang ber- anggapan bahwa Carstensz menga- da-ngada. Sebagian lainnya menjadi- kan catatan perjalanan Carstensz sebagai acuan dalam perlombaan menggapai salju di pulau Indonesia paling timur itu bertahun-tahun kemudian. Setelah gagal pada 1907 untuk mencapai gunung es dari sisi utara Papua, peneliti Belanda Dr HA Lorentz kembali mencoba misi pada 1909. Kali itu, ia datang dari selatan dengan didampingi JW van Nouhuys dan Letnan D Habbema. Ia datang dengan 61 tentara dan 82 orang suku Dayak sebagai portir. Ekspedisi itu berhasil mencapai puncak berketinggian 4.730 mdpl yang kemudian diberi nama Pun- cak Wilhelmina, yang kini telah berganti menjadi Puncak Trikora. Nama Lorentz pun diabadikan se- bagai nama taman nasional yang mencakup puncak-puncak bersalju tersebut. Kesuksesan Lorentz menginspirasi petualang lain untuk menjamah pe- gunungan salju di Papua. Ekspedisi Colijn pada 1936 yang beranggota- kan Dr Anton H Colijn, Frits J Wis- sel, dan JJ Dozy berhasil mencapai Puncak Ngga Pulu yang tertutup salju abadi. JJ Dozy, yang juga seorang geolog Belanda, kemudian menemukan se- suatu yang menakjubkan, yaitu emas di gunung, yang kemudian dinamai- nya Ertsberg dan Grasberg. Meskipun tidak mencapai titik tertinggi, tim ekspedisi pun menamai Carstensz Pyramid untuk titik tertingginya demi menghormati Jan Carstensz sebagai orang pertama yang melaporkan keberadaan pegu- nungan salju di Papua. Pada 1962, Heinrich Harrer, penjelajah asal Austria, dan Philip Temple dari Selandia Baru, mencatatkan diri sebagai orang pertama yang menginjakkan kaki di titik tertinggi, Carstensz Pyramid. Hingga kini, jalur penda- kian Philip Temple menuju kawasan Pegunungan Tengah tetap diguna- kan para pendaki dan dinamai New Zealand Pass. Puncak Bersalju Ada tiga puncak di Pegunungan Tengah, Papua, yang tertutup salju abadi, yakni Puncak Soekarno atau Ngga Pulu, Puncak Sumantri Brodjo- negoro yang diresmikan kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI), dan Puncak Carstensz Timur. Dikatakan salju abadi karena puncak-puncak terse- but selalu tertutup oleh salju kendati musim berubah-ubah. Di Carstensz Pyramid yang merupakan titik tertinggi malah hanya ada butiran- butiran es. Itu pun menghilang jika matahari bersinar di siang hari. Saat berpartisipasi pada Ekspedisi Polwan 2017, Media Indonesia ber- hasil mencapai zona lidah es, terle- tak di antara Puncak Soekarno dan Soemantri, pada Kamis (16/8). Perlu mendaki selama 2 jam dari Lembah Danau-Danau yang berketinggian 4.275 mdpl untuk mencapai lidah es di ketinggian sekitar 4.600 mdpl itu. Meskipun elevasi yang dilahap ti- dak terlalu tinggi, perjalanan tidak menjadi mudah. Oksigen yang tipis serta cuaca buruk menjadi faktor penghambat terbesar. Bukan hanya hujan air, tim juga mesti dihadap- kan pada hujan butiran es yang menyakitkan kulit wajah. Penyakit karena ketidakmampuan tubuh be- radaptasi dengan baik di ketinggian atau acute mountain sickness (AMS) turut menghantui. Sesampainya di lidah es, butuh alat untuk pendakian di medan es seperti krampon yang terpasang di sepatu dan kapak es. Berjalan pun mesti dengan teknik walking together, yaitu tiap orang saling terikat dengan tali agar yang lain- nya mampu menahan jika ada yang terjatuh di rekahan es. Batas antara ujung es dan tanah terlihat membentuk gua-gua kecil. Saat berjalan di atas es seperti ada 2 lapisan es. Bagian atas layaknya es serut, sedangkan bagian bawahnya berupa lapisan es yang sangat keras dan licin. Namun, salju di Pegunungan Tengah mungkin tidak lagi abadi. Menurut kesaksian Maximus Tipa- gau, 34, warga lokal yang acap bertandang ke Pegunungan Tengah, kondisi es di sana terus menyusut. “Dulu waktu usia 6 tahun, saat berburu bersama ayah, dari bawah (setelah Lembah Danau-Danau) saja sudah terlihat warna putih es semua. Bahkan dinginnya terasa sampai di kampung saya, Ugimba,” jelas Maximus. Hendricus Mutter, pendaki senior yang menjadi pemandu Ekspedisi Polwan, menambahkan, pada 2010, es antara Puncak Soekarno dan Soe- mantri masih menyambung. “Pada 2015 penyusutan makin terlihat jelas, es antara (Puncak) Soekarno dan Sumantri mulai terpisah. Tahun ini makin terlihat jauh dengan jarak lebih dari 20 meter,” jelasnya. Terus menyusut Kondisi salju Papua yang terus menyusut turut mendorong Badan Meteorologi dan Geosifika (BMKG) untuk melakukan penelitian. Pada 2010, BMKG mengebor zona es inti dan menanamkan pipa sebagai alat pengukur ketinggian es. Lalu saat penelitian terakhir pada 21-27 Novem- ber 2016, bekerja sama dengan Divisi Environment PT Freeport Indonesia, ditemukan fakta bahwa dalam seta- hun es menyusut sekitar 5 meter. Belum ada angka pasti mengenai laju pengurangan tebal dan luasan tutupan es setiap tahunnya di Papua. Namun, riset BMKG sebelumnya me- nunjukkan, pada 1942, tutupan es di Papua seluas 10 km 2 -11 km 2 . Lalu, 30 tahun kemudian, menyusut menjadi menjadi sekitar 7 km 2 . Kemudian, pada 1987, luas es sekitar 5 km 2 . Pada 2.000, kurang lebih sekitar 2,5 km 2 , dan pada 2005, luas tutupan es tinggal sekitar 1,8 km 2 . Menurut Donaldi Permana, pe- neliti BMKG yang fokus meneliti kondisi es di Papua, penyebab utama pencairan es di sana adalah faktor pemanasan global. Menurutnya, pencairan es juga terjadi di kawa- san pegunungan tropis lain, seperti di Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan Kilimanjaro di Afrika. “Akan tetapi, eksistensi tutupan es di Papua lebih rentan terhadap pe- manasan global karena ketinggian- nya lebih rendah jika dibandingkan dengan dua pegunungan es lainnya di tropis,” jelas Donaldi kepada Me- dia Indonesia, Selasa (29/8). Secara sik, tutupan es di Papua sudah menyusut signikan dan ba- nyak terdapat rekahan-rekahan es. Penyusutan es ini kemudian ber- dampak pada meluasnya batuan di sekitarnya. Alhasil, energi matahari akan lebih banyak terserap sehingga memanaskan es yang masih ada di permukaan. “Tentunya segala aktivitas pengu- rangan gas rumah kaca dan pema- nasan global seperti pencegahan kebakaran hutan mungkin dapat mengurangi laju penyusutan es di Papua,” kata Donaldi. “Namun, menurut kami, melihat kondisi bumi yang semakin hangat, akan sulit dapat mempertahankan keberadaan es di Papua dalam jangka waktu panjang,” pungkasnya. (X-5) Eksistensi tutupan es di Papua lebih rentan terhadap pemanasan global karena ketinggiannya lebih rendah daripada dua pegunungan es lainnya yang berada di daerah tropis. TERUS at dari tebing Carstensz, Jumat (18/7). Salju Indonesia yang berada di kedua puncak tersebut terus menyusut. Penelitian terakhir BMKG pada 21-27 November 2016, ditemukan fakta bahwa dalam setahun ketinggian es menyusut sekitar 5 meter. JAJARAN Pegunungan Tengah Papua memanjang dari barat ke timur membelah bagian tengah ‘Bumi Cenderawasih’. Lembah Baliem memisahkan dua jajaran Pegunungan Tengah Papua, yaitu Pegunungan Jayawijaya di sisi ti- mur dan Pegunungan Sudirman di sisi barat. Tidak ada pulau di mana pun di dunia dengan pegunungan seluas dan setinggi Pegunungan Tengah Papua. Pegunungan Himalaya di Asia, Pegunungan Andes di Ame- rika Selatan, Pegunungan Rocky di Amerika Utara, dan Pegunungan Alpen di Eropa merupakan jajaran pegunungan besar dunia yang se- muanya terletak di daratan benua, bukan di pulau seperti Papua. Jajaran Pegunungan Tengah Pa- pua terbentuk dari tumbukan Lem- peng Australia dengan Lempeng Pasik 2 hingga 65 juta tahun yang lalu. Hasil tumbukan dua lempeng itu ialah pegunungan curam yang menjulang lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Namun, di antara jajaran pe- gunungan besar di dunia, Pe- gunungan Tengah Papua relatif masih belum terjamah. Padahal, potensi ekowisata di wilayah ter- sebut amat besar. Umpama, untuk wisata petualangan macam trek- king atau hiking. Seperti Appalachian Trail dan Pa- cic Crest Trail di Amerika atau ka- wasan Pegunungan Himalaya di Ne- pal yang menarik jutaan petualang dari seluruh dunia saban tahun, wilayah Pegunungan Tengah Papua pun berpotensi untuk membangun jalur trekking serupa. “Ini kekayaan g alam negara kita yang luar biasa, ya. Sayangnya, mungkin dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia, hanya segelintir orang yang bisa melihat keindahan ini,” ujar Ketua Tim Ekspedisi Polwan, Tri Suswati Tito Karnavian, yang turut serta trekking di kawasan Pegunungan Tengah Papua, Minggu (13/8). Ketika kami mengikuti Ekspedisi Polwan menuju Puncak Carstenzs Pyramid, Papua, medio Agustus lalu, sensasi pemandangan dan petualangan yang diperoleh tidak kalah dengan sensasi trekking di kawasan Pegunungan Himalaya. Kebetulan, dua tahun lalu, Media Indonesia sempat merasakan trekking di kawasan Annapurna, Pegunungan Himalaya. Bedanya, di Papua semuanya serbabelum jelas. Jalur trekking belum jelas, sistem perizinannya apalagi. Faktor keamanan juga menjadi salah satu problem yang urgen untuk diatasi. Faktor SDM Pendidikan merupakan hal kru- sial nan mendasar untuk memba- ngun infrastruktur awal ekowisata di Papua. Menurut Hendricus Mutter, pendaki senior Indonesia yang sudah belasan kali menyam- bangi Pegunungan Tengah, banyak warga lokal yang tidak paham soal kedatangan para turis yang melin- tasi daerah mereka untuk menuju Pegunungan Tengah. “Pendidikan itu yang paling awal mesti dibenahi. Saya biasa mengantar tamu lewat desa adat, (mereka) selalu keluar uang pu- luhan juta untuk membayar pre- manisme,” cetus Hendricus saat berbincang dengan Media Indone- sia, baru-baru ini. Ada beberapa jalur desa adat yang dapat dilalui guna menca- pai wilayah Pegunungan Tengah, Papua, yaitu via Ugimba, Soang- gama, dan Illaga. Namun, gang- guan keamanan menjadi kendala utama. Tradisi ‘palang pintu’, yaitu menghadang setiap pelintas, lazim terjadi. “Perlu edukasi dan pema- haman agar warga paham menge- nai keberadaan turis ke Papua, khususnya wilayah Pegunungan Tengah,” komentar Hendricus. Maximus Tipagau, warga lokal dari suku Moni yang juga pemilik operator pendakian Adventure Carstensz, menilai ketidakadilan dan keterbelakangan menjadi pe- nyebab warga menghadang tiap orang yang datang. “Bahkan gerakan separatis di sini saya yakin bisa hilang andai ada keadilan untuk orang Papua. Selama ini, untuk makan saja me- reka susah dan tidak ada sekolah,” tuturnya. Padahal, lanjut Maximus, potensi ekowisata di wilayah Pegunungan Tengah Papua sangatlah besar. Ada berbagai hal yang dapat menjadi pengalaman menarik bagi para pelancong. “Di sana ada puncak bersalju, padahal daerah tropis. Ada juga Carstensz Pyramid yang jadi bagian dari 7 summit dunia. Seluruh pendaki dunia bercita-cita ke Carstensz,” terangnya. Mereka yang ingin menuju Pegu- nungan Tengah melalui desa adat pun sejatinya bisa menyaksikan kehidupan warga yang masih tra- disional. Jika ada peristiwa penting tertentu, akan ditemui juga pesta bakar batu--ritual membakar babi dengan batu yang dijadikan seba- gai arang. Portir yang membantu pun unik karena menggunakan noken--semacam tas yang dianyam dari serat kulit kayu--untuk mem- bawa barang bawaan. Sebelum sampai di Pegunungan Tengah, turis pun akan melewati hutan tropis yang amat lebat nan alami. “Banyak juga ora dan fauna yang langka, seperti dingiso--hewan sejenis tupai,” ujar Maximus. Sekarang, kondisi infrastruktur menuju wilayah Pegunungan Te- ngah memang sangat terbatas. Menuju desa adat di Ugimba saja membutuhkan penerbangan pe- rintis yang tidak setiap hari ada dari Timika atau Nabire dengan tujuan Sugapa. Lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki selama sehari penuh. “Semoga pemerintah mau mem- buka mata mengenai potensi wisata petualangan di sini. Saya yakin ekonomi warga bisa bangkit jika jalur wisata menuju Pegunungan Te- ngah sudah jelas dan terbuka untuk umum,” harap Maximus. (Bry/M-2) Keindahannya Seelok Himalaya “Ekonomi warga bisa bangkit jika jalur wisata sudah jelas dan terbuka untuk umum.” Maximus Tipagau Warga lokal S MENYUSUT: Puncak Soekarno dan Puncak Sumantri Brodjonegoro yang berada di Pegunungan Tengah Papua terliha i BMKG d 21 27 N b 2016 dit k f kt bh dl th k ti i t kit 5 t Salju Papua di Ujung Usia FOTO-FOTO: MI/BRIYAN B HENDRO SALJU KHATULISTIWA: (Foto kiri) Gletser menutupi jalur menuju Puncak Soekarno dan Puncak Sumantri, Rabu (16/7). Sedangkan butiran es yang memenuhi r jalur menuju Puncak Carstensz Pyramid akan hilang seiring bersinarnya matahari di siang hari. MI/BRIYAN B HENDRO SABTU, 2 SEPTEMBER 2017 EKSPEDISI 15 Peg. Sudirman Peg. Sudirman Lembah Baliem Peg. Jayawijaya Peg. Jayawijaya Lembah Baliem

uPa Saj pl ua di Ujung Usia - PUSLITBANGpuslitbang.bmkg.go.id/litbang/wp-content/uploads/2019/10/Media... · tertentu, akan ditemui juga pesta bakar batu--ritual membakar babi dengan

  • Upload
    others

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: uPa Saj pl ua di Ujung Usia - PUSLITBANGpuslitbang.bmkg.go.id/litbang/wp-content/uploads/2019/10/Media... · tertentu, akan ditemui juga pesta bakar batu--ritual membakar babi dengan

BRIYAN B [email protected]

SYAHDAN, pada 1623, Jan Carstensz, pelaut berkebang-saan Belanda yang tengah berlayar dari Ambon ke New

Guinea melihat jajaran pegunungan yang sangat tinggi saat melintasi selatan Pulau Papua. Beberapa titik puncaknya bahkan terlihat putih bak tertutup oleh salju.

Kesaksian tersebut dibawanya saat kembali ke Eropa. Banyak orang tidak percaya dan mencemooh Carstensz. Bagaimana mungkin daerah di dekat khatulistiwa yang hangat dan ber-iklim tropis memiliki salju?

Namun, tidak semua orang ber-anggapan bahwa Carstensz menga-da-ngada. Sebagian lainnya menjadi-kan catatan perjalanan Carstensz sebagai acuan dalam perlombaan menggapai salju di pulau Indonesia paling timur itu bertahun-tahun kemudian.

Setelah gagal pada 1907 untuk mencapai gunung es dari sisi utara Papua, peneliti Belanda Dr HA Lorentz kembali mencoba misi pada 1909. Kali itu, ia datang dari selatan dengan didampingi JW van Nouhuys dan Letnan D Habbema.

Ia datang dengan 61 tentara dan 82 orang suku Dayak sebagai portir. Ekspedisi itu berhasil mencapai puncak berketinggian 4.730 mdpl yang kemudian diberi nama Pun-cak Wilhelmina, yang kini telah berganti menjadi Puncak Trikora. Nama Lorentz pun diabadikan se-bagai nama taman nasional yang mencakup puncak-puncak bersalju tersebut.

Kesuksesan Lorentz menginspirasi petualang lain untuk menjamah pe-gunungan salju di Papua. Ekspedisi Colijn pada 1936 yang beranggota-kan Dr Anton H Colijn, Frits J Wis-sel, dan JJ Dozy berhasil mencapai Puncak Ngga Pulu yang tertutup salju abadi.

JJ Dozy, yang juga seorang geolog Belanda, kemudian menemukan se-suatu yang menakjubkan, yaitu emas di gunung, yang kemudian dinamai-nya Ertsberg dan Grasberg. Meskipun tidak mencapai titik tertinggi, tim ekspedisi pun menamai Carstensz Pyramid untuk titik tertingginya demi menghormati Jan Carstensz

sebagai orang pertama yang melaporkan keberadaan pegu-nungan salju di Papua.

Pada 1962, Heinrich Harrer, penjelajah asal Austria, dan Philip Temple dari Selandia Baru, mencatatkan diri sebagai orang pertama yang menginjakkan kaki di titik tertinggi, Carstensz Pyramid. Hingga kini, jalur penda-kian Philip Temple menuju kawasan Pegunungan Tengah tetap diguna-kan para pendaki dan dinamai New Zealand Pass.

Puncak BersaljuAda tiga puncak di Pegunungan

Tengah, Papua, yang tertutup salju abadi, yakni Puncak Soekarno atau Ngga Pulu, Puncak Sumantri Brodjo-negoro yang diresmikan kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI), dan Puncak Carstensz Timur. Dikatakan salju abadi karena puncak-puncak terse-but selalu tertutup oleh salju kendati musim berubah-ubah. Di Carstensz Pyramid yang merupakan titik tertinggi malah hanya ada butiran-butiran es. Itu pun menghilang jika matahari bersinar di siang hari.

Saat berpartisipasi pada Ekspedisi Polwan 2017, Media Indonesia ber-hasil mencapai zona lidah es, terle-tak di antara Puncak Soekarno dan Soemantri, pada Kamis (16/8). Perlu mendaki selama 2 jam dari Lembah Danau-Danau yang berketinggian 4.275 mdpl untuk mencapai lidah es di ketinggian sekitar 4.600 mdpl itu.

Meskipun elevasi yang dilahap ti-dak terlalu tinggi, perjalanan tidak menjadi mudah. Oksigen yang tipis serta cuaca buruk menjadi faktor penghambat terbesar. Bukan hanya hujan air, tim juga mesti dihadap-kan pada hujan butiran es yang menyakitkan kulit wajah. Penyakit karena ketidakmampuan tubuh be-radaptasi dengan baik di ketinggian atau acute mountain sickness (AMS) turut menghantui.

Sesampainya di lidah es, butuh alat untuk pendakian di medan es seperti krampon yang terpasang di sepatu dan kapak es. Berjalan pun mesti dengan teknik walking together, yaitu tiap orang saling terikat dengan tali agar yang lain-nya mampu menahan jika ada yang terjatuh di rekahan es.

Batas antara ujung es dan tanah terlihat membentuk gua-gua kecil. Saat berjalan di atas es seperti ada 2 lapisan es. Bagian atas layaknya es serut, sedangkan bagian bawahnya berupa lapisan es yang sangat keras dan licin.

Namun, salju di Pegunungan Tengah mungkin tidak lagi abadi. Menurut kesaksian Maximus Tipa-gau, 34, warga lokal yang acap bertandang ke Pegunungan Tengah, kondisi es di sana terus menyusut. “Dulu waktu usia 6 tahun, saat berburu bersama ayah, dari bawah (setelah Lembah Danau-Danau) saja sudah terlihat warna putih es semua. Bahkan dinginnya terasa sampai di kampung saya, Ugimba,” jelas Maximus.

Hendricus Mutter, pendaki senior yang menjadi pemandu Ekspedisi Polwan, menambahkan, pada 2010, es antara Puncak Soekarno dan Soe-mantri masih menyambung. “Pada 2015 penyusutan makin terlihat jelas, es antara (Puncak) Soekarno dan Sumantri mulai terpisah. Tahun ini makin terlihat jauh dengan jarak lebih dari 20 meter,” jelasnya.

Terus menyusutKondisi salju Papua yang terus

menyusut turut mendorong Badan Meteorologi dan Geosifika (BMKG) untuk melakukan penelitian. Pada 2010, BMKG mengebor zona es inti dan menanamkan pipa sebagai alat pengukur ketinggian es. Lalu saat penelitian terakhir pada 21-27 Novem-ber 2016, bekerja sama dengan Divisi Environment PT Freeport Indonesia, ditemukan fakta bahwa dalam seta-hun es menyusut sekitar 5 meter.

Belum ada angka pasti mengenai laju pengurangan tebal dan luasan

tutupan es setiap tahunnya di Papua. Namun, riset BMKG sebelumnya me-nunjukkan, pada 1942, tutupan es di Papua seluas 10 km2-11 km2. Lalu, 30 tahun kemudian, menyusut menjadi menjadi sekitar 7 km2. Kemudian, pada 1987, luas es sekitar 5 km2. Pada 2.000, kurang lebih sekitar 2,5 km2, dan pada 2005, luas tutupan es tinggal sekitar 1,8 km2.

Menurut Donaldi Permana, pe-neliti BMKG yang fokus meneliti kondisi es di Papua, penyebab utama pencairan es di sana adalah faktor pemanasan global. Menurutnya, pencairan es juga terjadi di kawa-san pegunungan tropis lain, seperti di Pegunungan Andes di Amerika Selatan dan Kilimanjaro di Afrika.

“Akan tetapi, eksistensi tutupan es di Papua lebih rentan terhadap pe-manasan global karena ketinggian-nya lebih rendah jika dibandingkan dengan dua pegunungan es lainnya di tropis,” jelas Donaldi kepada Me-dia Indonesia, Selasa (29/8).

Secara fi sik, tutupan es di Papua sudah menyusut signifi kan dan ba-nyak terdapat rekahan-rekahan es. Penyusutan es ini kemudian ber-dampak pada meluasnya batuan di sekitarnya. Alhasil, energi matahari akan lebih banyak terserap sehingga memanaskan es yang masih ada di permukaan.

“Tentunya segala aktivitas pengu-rangan gas rumah kaca dan pema-nasan global seperti pencegahan keba karan hutan mungkin dapat mengurangi laju penyusutan es di Papua,” kata Donaldi.

“Namun, menurut kami, melihat kondisi bumi yang semakin hangat, akan sulit dapat mempertahankan keberadaan es di Papua dalam jangka waktu panjang,” pungkasnya. (X-5)

Eksistensi tutupan es di Papua lebih rentan terhadap pemanasan global karena ketinggiannya lebih rendah daripada dua pegunungan es lainnya yang berada di daerah tropis.

TERUS at dari tebing Carstensz, Jumat (18/7). Salju Indonesia yang berada di kedua puncak tersebut terus menyusut. Penelitian terakhir BMKG pada 21-27 November 2016, ditemukan fakta bahwa dalam setahun ketinggian es menyusut sekitar 5 meter.

JAJARAN Pegunungan Tengah Papua memanjang dari barat ke timur membelah bagian tengah ‘Bumi Cenderawasih’. Lembah Baliem memisahkan dua jajaran Pegunungan Tengah Papua, yaitu Pegunungan Jayawijaya di sisi ti-mur dan Pegunungan Sudirman di sisi barat.

Tidak ada pulau di mana pun di dunia dengan pegunungan seluas dan setinggi Pegunungan Tengah Papua. Pegunungan Himalaya di Asia, Pegunungan Andes di Ame-rika Selatan, Pegunungan Rocky di Amerika Utara, dan Pegunungan Alpen di Eropa merupakan jajaran pegunungan besar dunia yang se-muanya terletak di daratan benua, bukan di pulau seperti Papua.

Jajaran Pegunungan Tengah Pa-pua terbentuk dari tumbukan Lem-peng Australia dengan Lempeng Pasifi k 2 hingga 65 juta tahun yang lalu. Hasil tumbukan dua lempeng itu ialah pegunungan curam yang menjulang lebih dari 4.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Namun, di antara jajaran pe-gunungan besar di dunia, Pe-gunungan Tengah Papua relatif masih belum terjamah. Padahal, potensi ekowisata di wilayah ter-sebut amat besar. Umpama, untuk wisata petualangan macam trek-king atau g hiking.

Seperti Appalachian Trail dan Pa-cifi c Crest Trail di Amerika atau ka-wasan Pegunungan Himalaya di Ne-pal yang menarik jutaan petualang dari seluruh dunia saban tahun, wilayah Pegunungan Tengah Papua pun berpotensi untuk membangun jalur trekking serupa. “Ini kekayaan galam negara kita yang luar biasa, ya. Sayangnya, mungkin dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia, hanya segelintir orang yang bisa melihat keindahan ini,” ujar Ketua Tim Ekspedisi Polwan, Tri Suswati Tito Karnavian, yang turut serta trekkingdi kawasan Pegunungan Tengah Papua, Minggu (13/8).

Ketika kami mengikuti Ekspedisi Polwan menuju Puncak Carstenzs Pyramid, Papua, medio Agustus lalu, sensasi pemandangan dan petualangan yang diperoleh tidak kalah dengan sensasi trekking di gkawasan Pegunungan Himalaya. Kebetulan, dua tahun lalu, Media Indonesia sempat merasakan trekking di kawasan Annapurna, gPegunungan Himalaya.

Bedanya, di Papua semuanya serbabelum jelas. Jalur trekkingbelum jelas, sistem perizinannya apalagi. Faktor keamanan juga menjadi salah satu problem yang urgen untuk diatasi.

Faktor SDMPendidikan merupakan hal kru-

sial nan mendasar untuk memba-ngun infrastruktur awal eko wisata di Papua. Menurut Hendricus Mutter, pendaki senior Indonesia yang sudah belasan kali menyam-bangi Pegunungan Tengah, banyak warga lokal yang tidak paham soal kedatangan para turis yang melin-tasi daerah mereka untuk menuju Pegunungan Tengah.

“Pendidikan itu yang paling awal mesti dibenahi. Saya biasa mengantar tamu lewat desa adat, (mereka) selalu keluar uang pu-luhan juta untuk membayar pre-

manisme,” cetus Hendricus saat berbincang dengan Media Indone-sia, baru-baru ini.

Ada beberapa jalur desa adat yang dapat dilalui guna menca-pai wilayah Pegunungan Tengah, Papua, yaitu via Ugimba, Soang-gama, dan Illaga. Namun, gang-guan keamanan menjadi kendala utama. Tradisi ‘palang pintu’, yaitu menghadang setiap pelintas, lazim terjadi. “Perlu edukasi dan pema-haman agar warga paham menge-nai keberadaan turis ke Papua, khususnya wilayah Pegunungan Tengah,” komentar Hendricus.

Maximus Tipagau, warga lokal dari suku Moni yang juga pemilik operator pendakian Adventure Carstensz, menilai ketidakadilan dan keterbelakangan menjadi pe-nyebab warga menghadang tiap orang yang datang.

“Bahkan gerakan separatis di sini saya yakin bisa hilang andai ada keadilan untuk orang Papua. Selama ini, untuk makan saja me-reka susah dan tidak ada sekolah,” tuturnya.

Padahal, lanjut Maximus, potensi ekowisata di wilayah Pegunungan Tengah Papua sangatlah besar. Ada berbagai hal yang dapat menjadi pengalaman menarik bagi para pelancong. “Di sana ada puncak bersalju, padahal daerah tropis. Ada juga Carstensz Pyramid yang jadi bagian dari 7 summit dunia. tSeluruh pendaki dunia bercita-cita ke Carstensz,” terangnya.

Mereka yang ingin menuju Pegu-nungan Tengah melalui desa adat pun sejatinya bisa menyaksikan kehidupan warga yang masih tra-disional. Jika ada peristiwa penting tertentu, akan ditemui juga pesta bakar batu--ritual membakar babi dengan batu yang dijadikan seba-gai arang. Portir yang membantu pun unik karena menggunakan noken--semacam tas yang dianyam dari serat kulit kayu--untuk mem-bawa barang bawaan.

Sebelum sampai di Pegunungan Tengah, turis pun akan melewati hutan tropis yang amat lebat nan alami. “Banyak juga fl ora dan fauna yang langka, seperti di ngiso--hewan sejenis tupai,” ujar Maximus.

Sekarang, kondisi infrastruktur menuju wilayah Pegunungan Te-ngah memang sangat terbatas. Menuju desa adat di Ugimba saja membutuhkan penerbangan pe-rintis yang tidak setiap hari ada dari Timika atau Nabire dengan tujuan Sugapa. Lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki selama sehari penuh.

“Semoga pemerintah mau mem-buka mata mengenai potensi wisata petualangan di sini. Saya yakin ekonomi warga bisa bangkit jika jalur wisata menuju Pegunungan Te-ngah sudah jelas dan terbuka untuk umum,” harap Maximus. (Bry/M-2)

KeindahannyaSeelok Himalaya

“Ekonomi warga bisa bangkit jika jalur wisata sudah jelas dan terbuka untuk umum.”Maximus TipagauWarga lokal

S MENYUSUT: Puncak Soekarno dan Puncak Sumantri Brodjonegoro yang berada di Pegunungan Tengah Papua terlihai BMKG d 21 27 N b 2016 dit k f kt b h d l t h k ti i t kit 5 t

Salju Papua di Ujung Usia

FOTO-FOTO: MI/BRIYAN B HENDRO

SALJU KHATULISTIWA: (Foto kiri) Gletser menutupi jalur menuju Puncak Soekarno dan Puncak Sumantri, Rabu (16/7). Sedangkan butiran es yang memenuhi rjalur menuju Puncak Carstensz Pyramid akan hilang seiring bersinarnya matahari di siang hari.

MI/BRIYAN B HENDRO

SABTU, 2 SEPTEMBER 2017EKSPEDISI 15

Peg. SudirmanPeg. Sudirman

LembahBaliem

Peg. Jayawijaya

Peg. JayawijayaLembahBaliem