Upload
vudang
View
216
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
55
V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA
5.1 Pemanfaatan Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang multi guna, karena
seluruh bagian tanaman tersebut dapat dimanfaatkan dalam bidang pangan dan
non pangan. Bagian utama dari tanaman sawit yang dimanfaatkan adalah buah
kelapa sawit yang terdiri dari daging kelapa sawit (mesokarp), biji kelapa sawit,
tempurung dan serat.
Pulp dan biji merupakan bagian dari biji kelapa sawit yang mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi. Bagian ini mempunyai kandungan minyak yang tinggi.
Kandungan minyak yang terdapat pada pulp mencapai 56%, sedangkan pada inti
sebesar 44% (Pasaribu, 2004). Hasil ekstraksi mesokarp (bagian dari serabut
buah) akan menghasilkan minyak yang berwarna kemerahan yang disebut minyak
sawit kasar/crude palm oil (CPO), dan inti sawit menghasilkan minyak yang tidak
berwarna yang disebut inti sawit/palm kernel oil (PKO).
CPO dalam pengolahan selanjutnya dapat dipisahkan dalam berbagai fraksi
yang menghasilkan berbagai jenis asam lemak antara lain olein (fraksi cair) dan
stearin (fraksi padat). Sedangkan PKO akan menghasilkan asam laurat dan
miristat. Olein sebagai produk turunan utama CPO merupakan bahan baku dalam
industri minyak goreng, sedangkan stearin terutama digunakan dalam industri
margarin. CPO dan PKO juga dapat menghasilkan asam lemak bebas (free fatty
acid/FFA) yang dapat diolah menjadi berbagai produk oleokimia.
Industri oleokimia berbahan baku CPO di Indonesia belum berkembang
sebesar industri minyak goreng sawit. Dari 10 produk turunan utama dari CPO
selain olein dan asam lemak, baru 5 produk yang sudah dihasilkan di dalam negeri
(Kemenperin, 2011). Tingginya produksi CPO Indonesia merupakan potensi
untuk mengembangkan industri hilir kelapa sawit di luar industri minyak goreng
sawit. Gambaran rinci mengenai produk-produk turunan kelapa sawit dapat
dilihat dalam Gambar 15.
56
Gambar 15 Pohon industri kelapa sawit
(Sumber : Kemenperin, 2011)
5.2 Profil Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Kelapa sawit merupakan tanaman asli benua Afrika yang dibawa oleh
pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia pada tahun 1848. Sebagai negara yang
beriklim tropis, Indonesia dinilai sangat cocok sebagai tempat budidaya kelapa
sawit. Pada tahun 1911 dimulailah penanaman kelapa sawit pada areal yang
cukup luas di wilayah Sumatera Utara.
Pertumbuhan pasar kelapa sawit baik di dalam maupun di luar negeri
mendorong pembukaan dan perluasan areal kelapa sawit yang begitu ekstensif
antara lain melalui program PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang dilaksanakan
sejak tahun 1979 serta keikutsertaan pihak swasta di dalam industri kelapa sawit
yang mendapatkan dukungan perbankan pada era 80-an. Sejak saat itulah luas
Tandan Buah Segar (TBS)
Crude Palm Oil (CPO)
Palm Kernel Oil (PKO)
Olein Amino Acid
Carotene Vit A,E PFAD Single Cell Protein
Stearine Gliserida Es Krim Lipase Es Krim Soap Chip
Fatty Acid
Cooking Oil
Salad Oil
Shortening Metil Ester
Wash Soap
CBS Fat Powder
Margarin
Cosmetics
Shortening
Soap
Vegetable Ghee
Vanaspati
CBS
Food Emulsifier
Fatty Alcohol
Glicerol Oxygenater FA/Ester
Polyethoxylate Derivatives
Fatty Amine Ester Asam Lemak
Metalic Salt
57
perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang pesat. Dalam 32 tahun,
luas areal berkembang dari 105 ribu hektar (tahun 1967) menjadi 7,8 juta hektar di
tahun 2009 (Gambar 15). Perluasan areal juga memberikan dampak yang besar
terhadap produksi CPO Indonesia. Pada tahun 1980, produksi CPO Indonesia
tercatat 721.172 ton dan dalam 3 dekade (tahun 2010) meningkat 26,4 kali lipat
menjadi 19.760.011 ton (angka perkiraan).
Keterangan : **) Perkiraan
Gambar 15. Perkembangan luas areal kelapa sawit (--) dan produksi minyak sawit (...
(Sumber : Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian, 2011) ) di indonesia
Ditinjau dari pola pengusahaannya, perkebunan kelapa sawit di Indonesia
dijalankan oleh tiga pihak yaitu perkebunan besar negara, perkebunan besar
swasta dan perkebunan rakyat. Pada awalnya pengusahaan perkebunan kelapa
sawit didominasi oleh perkebunan negara, namun perannya semakin kecil dan
tertinggal oleh perkebunan rakyat dan swasta. Perkebunan negara yang hingga
saat ini mengelola perkebunan kelapa sawit adalah PTPN I sampai VIII, PTPN
XIII dan PTPN XIV. Seluruh perusahaan perkebunan milik negara tersebut
mempunyai unit pengolahan CPO dan PKO, tetapi yang memiliki pabrik
pengolahan minyak goreng sawit (RBD Olein) hanya dua, yaitu PTPN II dan
PTPN IV yang terletak di Sumatera Utara.
Perkebunan rakyat mulai tumbuh pesat sejak dilaksanakannya program
PIR yang memungkinkan petani untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas.
Dalam perkembangan selanjutnya perkebunan swasta mempunyai peranan yang
58
lebih besar dalam perluasan areal dan produksi minyak sawit. Pada tahun 2009,
luas areal perkebunan kelapa sawit yang dimiliki perusahaan swasta, baik nasional
maupun asing yang beroperasi di Indonesia adalah 4.181.369 hektar di seluruh
Indonesia, atau mencapai 53 persen dari luas total areal kelapa sawit di Indonesia
(Gambar 16)
Gambar 16 Perbandingan luas areal perkebunan kelapa sawit menurut
pengusahaan tahun 2011 (Sumber: Ditjenbun, 2011)
Hingga saat ini areal kelapa sawit telah tersebar di 20 propinsi. Sebagai
tempat awal perkembangan perkebunan kelapa sawit, pulau Sumatera mempunyai
areal kelapa sawit terbesar dengan luas mencapai 66% dari total luas areal kelapa
sawit di Indonesia. Pembukaan hamparan dalam skala luas di kawasan barat
Indonesia saat ini mulai sulit dilakukan, sehingga investasi perkebunan kelapa
sawit mulai mengarah ke kawasan timur Indonesia.
Tabel 4 Persebaran areal kelapa sawit menurut pengusahaan tahun 2009
Wilayah Luas Areal (Ha)
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Negara
Perkebunan Swasta
Sumatera 2 481 347 509 866 2 230 611 Jawa 6 795 17 079 3 289 Bali, NTB dan NTT 0 0 0 Kalimantan 468 008 62 874 1 824 648 Sulawesi 79 510 15 766 116 103 Maluku 0 0 0 Papua dan Papua Barat 25 753 24 927 6 718 INDONESIA 3 061 413 630 512 4 181 369 Sumber : Ditjenbun (2011), diolah
59
Dari tabel 4 terlihat investasi perkebunan yang dilakukan pihak swasta baik
nasional maupun asing banyak dilakukan di Kalimantan dan Sulawesi namun
belum banyak dilakukan di Papua dimana kepemilikan perkebunan kelapa sawit
di Papua maupun Papua Barat masih didominasi oleh perkebunan negara.
Ditinjau dari sisi pemasarannya, dari ketiga pelaku perkebunan kelapa sawit
hanya perkebunan rakyat yang menjual produksinya dalam bentuk TBS,
sementara perkebunan negara dan perkebunan swasta telah terintegrasi dengan
unit usaha pengolahan minyak sawit yang dimiliki masing-masing perusahaan.
Pengolahan TBS dari perkebunan rakyat di luar program PIR harus dikumpulkan
terlebih dahulu melalui agen sebelum dapat diolah di pabrik pengolahan kelapa
sawit karena pada umumnya produksi dari masing-masing kebun petani
jumlahnya tidak banyak.
--- Rantai nilai ; __
Gambar 17 Rantai Pasok dan Rantai Nilai Kelapa Sawit
Rantai pasok
Perkebunan Rakyat
Perkebunan Besar Negara
Perkebunan Besar Swasta
Agen
PPKS PTPN PPKS Swasta
KPB-PTPN Divisi Marketing
Perusahaan Trading
Konsumen Domestik
Konsumen Luar Negeri
Kelapa Sawit
CPO
Minyak Goreng Oleokimia Bioetanol
dll
60
Rantai pasok CPO menampilkan Pabrik pengolahan Kelapa Sawit mengolah
TBS menjadi minyak sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). CPO
yang diproduksi oleh perkebunan negara dipasarkan melalui Kantor Pemasaran
Bersama (KPB-PTPN) melalui sistem lelang, sementara pemasaran CPO pada
perusahaan perkebunan swasta dilakukan oleh divisi pemasaran masing-masing
perusahaan. Di dalam negeri, industri minyak goreng sawit merupakan konsumen
terbesar disamping industri lain, seperti biofuel dan oleokimia. Sementara ekspor
CPO juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan berbagai industri turunan kelapa
sawit di berbagai negara importir (Gambar..)
5.2 Profil Industri Pengolahan CPO
Industri pengolahan kelapa sawit merupakan subsistem dalam agribisnis
kelapa sawit yang mempunyai peranan penting pada tahap pasca panen. Hal ini
terkait dengan sifat kelapa sawit yang mudah mengalami penurunan mutu setelah
di panen. Standar mutu kelapa sawit antara lain ditentukan oleh kadar asam
lemak bebas (ALB) yang akan sangat berpengaruh terhadap mutu CPO yang
dihasilkan. ALB merupakan hasil dari reaksi hidrolisa minyak. Kadar ALB akan
semakin meningkat jika jangka waktu antara pemanenan dengan pengolahan juga
semakin lama. Kenaikan kadar ALB akan menurunkan mutu minyak yang
dihasilkan. Oleh karena itu tandan buah segar harus sesegera mungkin dibawa dan
diolah di pabrik pengolahan minyak sawit.
Industri perkebunan kelapa sawit yang dimiliki perusahaan besar negara dan
perusahaan besar swasta sudah terintegrasi dengan pabrik pengolahan minyak
kelapa sawit sehingga perdagangan kelapa sawit pada kedua perusahaan ini
dilakukan dalam bentuk CPO dan atau PKO. Kondisi ini berbeda dengan
perkebunan rakyat. Tandan buah segar dari perkebunan rakyat dipasarkan melalui
pengumpul sebelum dapat diproses pada unit pengolahan minyak sawit yang
dimiliki perusahaan besar negara atau perusahaan besar swasta.
Perkembangan luas areal kelapa sawit di Indonesia juga diikuti oleh
perkembangan industri pengolahan minyak kelapa sawit. Jumlah industri
pengolahan kelapa sawit terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004,
61
terdapat 320 industri pengolahan minyak sawit dengan total kapasitas 13.520 ton
TBS/jam yang tersebar di 19 propinsi di Indonesia (Ditjenbun, 2004). Pada tahun
2008, jumlah ini mengalami kenaikan hampir dua kali lipatnya menjadi 608 unit
dengan total kapasitas mencapai 34.280 ton TBS/jam dan telah tersebar di 22
propinsi (Tabel 5).
Tabel 5 Jumlah Industri Pengolahan Kelapa Sawit (CPO dan PKO) Tahun 2008
No Propinsi Jumlah PPKS Kapasitas (ton TBS/jam)
1 NAD 25 980 2 Sumatera Utara 92 3 815 3 Sumatera Barat 26 1 645 4 Riau 140 6 660 5 Kepulauan Riau 1 40 6 Jambi 42 2 245 7 Sumatera Selatan 58 3 555 8 Kepulauan Bangka Belitung 16 1 235 9 Bengkulu 19 990 10 Lampung 10 375 11 Jawa Barat 1 30 12 Banten 1 60 13 Kalimantan Barat 65 5 475 14 Kalimantan Tengah 43 3 100 15 Kalimantan Selatan 15 770 16 Kalimantan Timur 29 1 545 17 Sulawesi Tengah 7 590 18 Sulawesi Selatan 2 150 19 Sulawesi Barat 6 260 20 Sulawesi Tenggara 3 260 21 Papua 3 140 22 Papua Barat 4 360 TOTAL 608 34 280 Sumber : Dewan Kelapa Sawit
Jumlah PPKS di tiap wilayah berbanding lurus dengan luas areal kelapa
sawit yang ada. Ditinjau dari persebarannya, sekitar 71% industri pengolahan
minyak sawit berada di Sumatera, 25% berada di Kalimantan dan sisanya tersebar
di Jawa, Sulawesi dan Papua. Industri pengolahan minyak sawit di wilayah
Sumatera telah tumbuh cukup lama sejalan dengan pertumbuhan areal kelapa
sawit di wilayah ini, terutama di Riau dan Sumatera Utara. Sementara itu, sejalan
dengan investasi perkebunan kelapa sawit yang banyak dilakukan di kawasan
timur Indonesia juga diikuti pembangunan industri pengolahan kelapa sawit di
62
kawasan ini. Meskipun jumlah industri pengolahan yang dibangun di Kalimantan,
Sulawesi dan Irian belum sebanyak yang ada di Sumatera, tetapi pabrik
pengolahan minyak sawit di ketiga wilayah ini rata-rata mempunyai kapasitas
produksi yang lebih besar dengan rata-rata kapasitas produksi setiap pabrik adalah
68,7 ton TBS/jam, sementara rata-rata kapasitas produksi pabrik pengolahan
minyak sawit di Sumatera adalah 51,3 ton TBS/jam.
5.3 Profil Industri Minyak Goreng di Indonesia
Agroindustri minyak goreng sawit merupakan industri yang mempunyai
kedudukan penting untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng domestik, baik
untuk kebutuhan masyarakat maupun industri pangan. Seiring dengan pergeseran
pola konsumsi minyak nabati masyarakat Indonesia dari minyak kelapa ke minyak
sawit, maka perkembangan industri minyak goreng sawit juga menjadi semakin
penting. Sejak Pelita I hingga tahun 1974, industri minyak goreng nasional masih
menggunakan kopra sebagai bahan baku. Pada era tersebut pangsa pasar minyak
goreng kelapa pada pasar minyak goreng domestik mencapai 90% sementara
minyak goreng sawit hanya sekitar 10% (Amang, 1996). Selain didorong oleh
peningkatan produksi CPO di Indonesia, perkembangan industri minyak goreng
sawit juga disebabkan biaya produksi minyak goreng sawit yang lebih rendah
dibandingkan minyak goreng kelapa.
Industri minyak goreng sawit telah berkembang lama di beberapa wilayah di
pulau Sumatera seperti di Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan. Produksi
CPO di ketiga wilayah ini mencapai lebih dari 11 juta ton pada tahun 2009 (Tabel
6) dengan jumlah industri minyak goreng sawit sebanyak 26 unit pabrik pengolah
minyak goreng sawit. Di wilayah pulau Kalimantan juga mulai tumbuh sentra-
sentra industri minyak goreng sawit, terutama di Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat. Namun demikian produksi CPO di wilayah ini belum terlalu
tinggi karena usia perkebunan kelapa sawit yang relatif masih muda sehingga
belum berproduksi secara maksimal. Pembangunan industri minyak goreng di
wilayah yang juga sentra kelapa sawit merupakan salah satu bentuk efisiensi
karena dapat menekan biaya transportasi bahan baku.
63
Dalam perkembangan selanjutnya, industri minyak goreng sawit mulai
banyak berdiri di luar sentra kelapa sawit seperti di propinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat dan Jawa Timur. Ketiga wilayah ini mempunyai sarana pelabuhan yang
sangat diperlukan dalam pengangkutan bahan baku CPO ke industri pengolahan.
Meskipun bahan baku harus didatangkan dari wilayah Sumatera yang berarti
adanya biaya transportasi, pendirian industri minyak goreng di ketiga wilayah ini
dapat menekan biaya pemasaran karena pasar minyak goreng di pulau Jawa
merupakan pasar terbesar, terkait dengan jumlah penduduknya yang tertinggi di
Indonesia.
Tabel 6 Sebaran industri minyak goreng sawit di Indonesia tahun 2011
No Propinsi Jumlah Pabrik (Unit)
1 NAD 2 2 Sumatera Utara 13 3 Sumatera Barat 3 4 Riau 8 5 Jambi 2 6 Sumatera Selatan 5 7 Lampung 4 8 DKI Jakarta 8 9 Jawa Barat 8 10 Jawa Tengah 5 11 Jawa Timur 9 12 Banten 1 13 Kalimantan Barat 11 14 Kalimantan Timur 2 15 Sulawesi Utara 5 16 Sulawesi Tengah 1 17 Sulawesi Selatan 5 18 Gorontalo 1 19 Papua Barat 1 TOTAL 94 Sumber : Kemenperin (2011)
Karakeristik industri minyak goreng adalah industri berskala besar dan
menggunakan teknologi tinggi dalam proses produksinya. Pada umumnya
industri minyak goreng sawit juga terintegrasi secara vertikal dengan industri
hulu. Menurut KPPU (2010), 68% industri minyak goreng sawit terintegrasi, dan
hanya 32% yang tidak terintegrasi. Kondisi ini merupakan faktor-faktor yang
64
berpengaruh terhadap struktur pasar industri minyak goreng sawit. Skala usaha
yang tergolong besar serta penggunaan teknologi tinggi secara tidak langsung juga
menjadi rintangan masuk (barrier to entry) bagi pemain baru dalam industri ini.
Empat pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng sawit di Indonesia
adalah Wilmar Group, Musim Mas, Sinar Mas dan Indofood dengan total pangsa
pasar keempat kelompok perusahaan tersebut 57,3% (Tabel 7).
Tabel 7 Pangsa Pasar 10 perusahaan terbesar dalam Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia
No. Pelaku Usaha (Group) Jumlah Perusahaan
Kapasitas Produksi (Ton/thn)
Pangsa Pasar
1 Wilmar Group 6 3930000 25.47% 2 Musim Mas 6 2490000 16.14% 3 Sinar Mas 5 1380000 8.94% 4 Indofood 3 800000 5.18% 5 Permata Hijau Group 4 720000 4.67% 6 PT Agro Jaya Perdana 1 480000 3.11% 7 Pacific Interlink Sdn Bhd 1 420000 2.72% 8 PT Bina Karya Prima - 370000 2.40% 9 Duta Palma Group - 360000 2.33% 10 PT Tunas Baru Lampung
(Sungai Budi Group) - 355940 2.31%
11 Lain-lain - 4124060 26.73%
TOTAL
15430000 100.00%
Keterangan : (-) Tidak ada data, Sumber : Kemenperin (2011), KPPU (2010)
Berbagai penelitian terkait struktur pasar CPO dan minyak goreng sawit
domestik dari tahun 1993 hingga 2010 memperlihatkan kondisi struktur pasar
minyak goreng sawit di Indonesia yang berbeda. Penelitian yang dilakukan
Erdiman (1998) menyimpulkan bahwa struktur pasar CPO domestik selama kurun
waktu 1993-1997 mendekati pasar persaingan sempurna, dengan hasil
perhitungan CR-4 sebesar 10,0-20,0. Hal ini menandakan tidak ada produsen
CPO yang mendominasi pasar. Hal yang berbeda terjadi pada pasar minyak
goreng, dimana struktur pasar industri minyak goreng sawit di Indonesia
terkonsentrasi cukup tinggi, dengan nilai CR-4 mencapai 65,0-80,0.
Susanto (2000) juga melakukan analisis dengan penghitungan CR-4 dan
HHI sebagai ukuran konsentrasi industri dan menyimpulkan bahwa struktur
65
industri minyak goreng sawit terkonsentrasi tinggi (tight oligopoly), yang
ditunjukkan dari nilai HHI sebesar 2203,67. Konsentrasi industri juga
mengindikasikan adanya kekuatan pasar yang dimiliki oleh beberapa perusahaan
yang bersifat dominan. Dari penghitungan CR-4 diperoleh hasil sebesar 64,22,
yang berarti empat perusahaan terbesar menguasai 64,22 persen dari pangsa pasar
minyak goreng sawit di dalam negeri.
Struktur industri minyak goreng sawit mengalami perubahan drastis
setelah satu dekade. Dari kajian mengenai yang dilakukan KPPU (2010)
diperoleh hasil nilai HHI sebesar 662,4 dan CR-4 sebesar 42,60 persen yang
berarti struktur pasar industri minyak goreng sawit di Indonesia memiliki
karakteristik oligopoli longgar (loose oligopoly).