38
KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kepada tuhan yang maha esa sehingga penulis dapat menyelesaikan refrat yang berjudul Benign Paroxysmal Posisition Vertigo (BPPV). Reftat ini dibuat untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Atas nama penulis kami mengucapkan banyak terimakasi kepada Dr. Yan Edward, SpTHT-KL selaku pembimbing dalam pembuatan refrat ini serta pihak-pihak lan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Dalam pembuatan refrat ini penulis menyadari banyak terdapat kesalahan, sehingga kam mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan refrat yang kami buat ini.

Vertigo@

Embed Size (px)

DESCRIPTION

case

Citation preview

BAB I

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada tuhan yang maha esa sehingga penulis dapat menyelesaikan refrat yang berjudul Benign Paroxysmal Posisition Vertigo (BPPV). Reftat ini dibuat untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Atas nama penulis kami mengucapkan banyak terimakasi kepada Dr. Yan Edward, SpTHT-KL selaku pembimbing dalam pembuatan refrat ini serta pihak-pihak lan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Dalam pembuatan refrat ini penulis menyadari banyak terdapat kesalahan, sehingga kam mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan refrat yang kami buat ini.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Vertigo dalam bahasa awam sering kali merupakan sinonim dari Puyeng atau Pusing. Dimana terjadi suatu sensasi seolah-olah badan berputar terhadap lingkungan sekitar atau sebaliknya. Oleh karena pusing sering disajikan kepada dokter, baik secara tepat maupun secara keliru, deskripsi keluhan tersebut penting diketahui agar tidak dikacaukan dengan nyeri kepala atau sefalgi, terutama karena di kalangan awam kedua istilah tersebut (pusing dan nyeri kepala) sering digunakan secara bergantian. Oleh karena itu, perbedaan arti klinisnya sangat penting untuk dipahami. Terlebih lagi, pusing sebagai manifestasi suatu penyakit organik harus benar-benar dipaham. Dengan pemaham ini, kekeliruan mengahadapi penderita dengan keluhan pusing baik karena penyakit organik maupun psikogen tidak terjadi. (Elies, Dharma K widya 2001)

Vertigo perlu dipahami karena merupakan keluhan nomer tiga paling sering dikemukakan pada penderita yang datang ke praktek umum, bahkan orang tua usia sekitar 75 tahun, 50 % datang ke dokter dengan keluhan vertigo.

1.2 Batasan Masalah

Hal-hal yang dibahas pada referat ini terbatas pada patogenesis, diagnosis dan penatalaksaan benign paroxysmal position vertigo (BPPV).

1.3 Metode penulisan

Referat ini merupakan tinjauan kepustakaan yang dirujuk dari berbagai sumber.

1.4 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan benign paroxysmal position vertigo (BPPV).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Telinga dan Fisiologi Pendengaran

2.1.1. Anatomi Telinga

Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.

Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.

Daun telinga

Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Bagian daun telinga berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke dalam liang telinga dan akhirnya menuju membran timpani. 2

Liang telinga

Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalamnya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2, 5 3 cm.. Rancangan yang begitu kompleks pada telinga luar berfungsi untuk menangkap suara. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang dilapisi kulit tipis. Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjer serumen dan rambut. Kelenjer keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada duapertiga bagaian dalamnya hanya sedikit dijumpai kelenjer serumen. 1

Membran Timpani

Membran timpani merupakan suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya umbo, mengarah ke medial. Membran timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah, dan lapiasan mukosa bagian dalam. Lapisan Fibrosa tidak terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membrana timpani yang disebut membran Shrapnell menjadi lemas ( flaksid ).2

Membran timpani terlihat bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars flaksida (membran shaphrnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars Flaksida terdiri dari 2 lapis: epitel kulit liang telinga dan sel kubus bersilia seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars Tensa mempunyai satu lapisan tambahan pada bagian tengahya yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.

Gambar 2.1 : Anatomi Telinga

Telinga Tengah

Bagian ini merupakan rongga yang berisi udara untuk menjaga tekanan udara agar seimbang. Di dalamnya terdapat saluran Eustachius yang menghubungkan telinga tengah dengan faring. Rongga telinga tengah berhubungan dengan telinga luar melalui membran timpani. Hubungan telinga tengah dengan bagian telinga dalam melalui jendela oval dan jendela bundar yang keduanya dilapisi dengan membran yang transparan. 2

Selain itu terdapat pula tiga tulang pendengaran yang tersusun seperti rantai yang menghubungkan gendang telinga dengan jendela oval. Ketiga tulang tersebut adalah tulang martil (maleus) menempel pada gendang telinga dan tulang landasan (inkus). Kedua tulang ini terikat erat oleh ligamentum sehingga mereka bergerak sebagai satu tulang. Tulang yang ketiga adalah tulang sanggurdi (stapes) yang berhubungan dengan jendela oval. Antara tulang landasan dan tulang sanggurdi terdapat sendi yang memungkinkan gerakan bebas. Fungsi rangkaian tulang dengar adalah untuk mengirimkan getaran suara dari membran timpani menyeberangi rongga telinga tengah ke tingkap lonjong. 2

Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibule yang terdiri dari 3 kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema,menghubungkan perilimfe skala timpani dan skala vestibuli.2

Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut labirin .Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membran yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraseluler dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe ( tinggi natrium dan rendah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika bertulang.

Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian :, 2

Skala vestibuli (bagian atas), Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran timpani (Reissner s membrane). Pada skala ini berisi cairan perilimfe

Skala media (duktus koklearis) yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria. Membran tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di media; disebut sebagai limbus

Skala timpani (bagian bawah) juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Pada membrana basilaris terletak organ corti yang terdapat 4 lapisan sel rambut yang penting untuk mekanisme pendengaran, di mana 1 lapisan sel rambut terletak pada sisi dalam dari terowong Corti (Tunnel of Corti) dan dikenal sebagai sel rambut dalam sedangkan 3 lapisan sel rambut luar terletak pada sisi luar terowong tersebut

Gambar 2.2 Organ Corti

Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrem. Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utikulus, dan kanalis semisirkularis.

2.1.2. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Suara sebagai suatu gelombang getaran akan diterima oleh membrana timpani dan getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, incus, dan stapes) di rongga telinga tengah. Selanjutnya akan diterima oleh tingkap lonjong dan diteruskan ke rongga koklea serta dikeluarkan lagi melalui tingkap bundar. Getaran suara tadi akan menggerakkan membrana basilaris, dimana nada tinggi diterima di bagian basal dan nada rendah diterima di bagian apeks. Akibat gerakan membran basilaris maka akan menggerakkan sel-sel rambut dan terjadi perubahan dari energi mekanik ke potensial kemolistrik dan akan dibawa oleh serabut aferen nervus cochlearis ke inti dorsal dan ventral. Kemudian menginhibisi input, bagian kontralateral bersifat mengeksitasi input.Tetapi ada juga yang langsung ke nukleus lemniskus lateral. Dari kompleks olivari superior serabutnya berjalan ke nukleus lemniskus lateralis dan sebagaian langsung ke colliculus inferior. Serabut-serabut ini membentuk lemniskus lateralis. Dari colliculus inferior serabutnya berlanjut lagi ke corpus genikulatum medial sebagai brachium colliculus inferior. Dari corpus genikulatum medial ini serabutnya berjalan ke korteks serebri di area acustikus (area Broadmann, 41,42) dan disadari sebagai rangsang.

2.2. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak

2.2.1. Definisi

Vertigo adalah perasaan berputar. Vertigo posisi adalah vertigo yang timbul akibat perubahan posisi kepala. Vertigo dapat timbul karena perangsangan pada kupula kanalis semi-sirkularis atau pada kelainan servikal.

Vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ) atau disebut juga Benign Paroxysmal Potitional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala, beberapa pasien dapat dengan tepat mengatakan dengan tepat beberapa posisi tertentu yang menimbulkan vertigo.1

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) didefinisikan sebagai vertigo dengan nistagmus vertikal, horizontal atau rotatoar yang dicetuskan oleh perubahan posisi kepala. Terdapat masa laten sebelum timbulnya nistagmus, reversibilitas, kresendo dan fenomena kelelahan (fatigue). Lama nistagmus terbatas, umumnya kurang dari 30 detik 3,4, sampai 40 detik6

2.2.2 Epidemiologi

Vertigo dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk gangguan keseimbangan atau gangguan orientasi ruangan.Dari 119 kasus vertigo di RSCM yang berasal dari kelainan otologi, 49% menderita vertigo periferparoxysmal benigna, 18,5% penyakit meniere, 13,5% parese vestibular unilateral, 8%parese vertibular bilateral, 6% disfungsi telinga tengah dan 5% fistula. Dari 74 penderita keluhan pusing yang disebabkan oleh kelainan neurologik, 35% adalahpenyakit stroke atau TIA, 22% menderita gangguan saraf pusat lainnya, 16% menderita migrain vertebrobasiler, 8% nistagmus, 7% ataksia sensoris, 4% disfungsi ganglia basal, 5%ataksia serebelar, 3% enderita epilepsi. Dari 95% penderita vertigo yang mengunjungi klinik neorootologi, 34 orang kelainan otologik, 23 orang kelainan neurologik dan 38 orang kelainnannya tidak dapat ditentukan.

Dari 104 pasien dengan BPPV 35 adalah pria dan 69 adalah wanita diantara umur 64,3 tahun. Lima puluh enam pasien mengalami gangguan pada telinga kanan dan 48 pada telinga kiri, lima pasien dengan BPPV bilateral 5

Pada orang usia 70 tahun sekitar 30% pernah menderita BPPV minimal satu kali. Lima. 5% - 10% pasien BPPV adalah tipe Horizontal canallolitiasis(***)

2.3 Etiologi

Kebanyakan penyebab pasti dari BPPV tidak diketahui dengan pasti. Beberapa kasus BPPV ditemui setelah pasien menderita trauma kepala atau leher

2.4 Patogenesis

Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokkan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan proprioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.

Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya

Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan vertigo :

1. Teori rangsangan berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsangan yang berlebihan menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.

2. Teori konflik sensorik

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal adri berbagai reseptor perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan.

Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal).

Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

3. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom.

Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistem parasimpatis mulai berperan.

5. Teori neurohormonal

Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurutransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistem saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

6. Teori sinap

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjua peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistem saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, menutah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.3,4

Ada 2 teori yang berusaha menerangkan BPPV:

1. Teori Kupulolithiasis

Dix dan Hallpike menemukan deposit basofilik di atas kupula pada kanal semisirkularis posterior yang menyebabkan BPPV unilateral. Deposit tersebut adalah partikel anorganik yang lepas dari lapisan otokonial akibat dari degenerasi spontan atau trauma kepala (labirin) yang akan mengendap di kupula kanal semisirkularis posterior, dapat ditemukan pada pemeriksaan fotomikrografi. Dengan adanya partikel ini, maka kanal semisirkularis menjadi lebih sensitif terhadap gravitasi. Teori ini dapat dianalogikan sebagai suatu benda berat yang melekat pada puncak sebuah tiang. Karena berat benda tersebut, maka posisi tiang menjadi sulit untuk dipertahankan pada posisi netral. Tiang tersebut akan mengarah ke sisi benda yang melekat. Oleh karena itu, kupula sulit untuk kembali ke posisi netral. Akibatnya, timbul nistagmus dan pusing.

2. Teori Kanalolithiasis

Partikel bebas yang mengambang di cairan endolimfe (kanalith) pertama kali ditemukan sewaktu operasi oklusi kanal semisirkularis posterior oleh Parnes dan McClure (1992). Partikel yang berat dari lapisan otokonial ini dapat bergerak masuk ke kanal semisikularis posterior. Diameter kanal semisirkularis (0,32 mm pada manusia: Curthoys and Oman, 1987) sekitar 1/5 - 1/7 dari ampula, sehingga jika ada bekuan yang berukuran sekitar itu akan menyebabkan sumbatan pada endolimfe dan kupula. Sumbatan itu akan menyebabkan perubahan dari aselerasi angular menjadi akselerasi linear. Saat kepala dalam posisi duduk tegak, maka kanalith terletak di posisi terendah dari kanal semisirkularis posterior. Ketika kepala direbahkan hingga posisi supinasi, terjadi perubahan posisi sejauh 90o. Setelah beberapa saat, gravitasi menarik kanalith hingga ke posisi terendah. Hal ini menyebabkan endolimfe dalam kanal semisirkularis menjauhi ampula, sehingga terjadi defleksi kupula. Defleksi kupula ini menyebabkan terjadinya nistagmus. Bila posisi kepala dikembalikan ke posisi awal, maka terjadi gerakan sebaliknya dan timbul pula nistagmus pada arah berlawanan.

Bila terjadi trauma pada kepala, misalnya setelah benturan keras, otokonial yang terdapat pada utrikulus dan sakulus terlepas. Kanalith yang masuk ke kanal semisirkularis menyebabkan keluhan vertigo pada BPPV. Hal ini mendasari BPPV pasca trauma kepala (Vestibular Dysfunction and Its Therapy)

2.5 Gejala Klinis

BPPV akan menyebabkan perasaan berputar, ketidakseimbangan posisi, dan juga nausea yang dipicu oleh: (a) Bangun dari posisi supinasi (setelah bangun tidur pagi). (b) Sewaktu pertama kali berbaring di tempat tidur. (c) Berguling di atas tempat tidur pada saat berbaring dari menghadap kiri ke kanan, atau sebaliknya. (d) Menengadahkan kepala untuk melihat ke atas atau mengambil sesuatu dari atas kepala. Keadaan ini bisa sangat berbahaya, misalnya jika terjadi pada saat penderita sedang menaiki tangga untuk membersihkan langit-langit rumah. (e) Menundukkan kepala (saat rukuk atau membungkuk). Kebanyakan penderita merasa takut akan jatuh kebelakang saat posisi supinasi. 6

2.6 Diagnosis

Anamnesis

a. Tanyakan bentuk vertigonya: melayang, goyang, berputar, rasa naik perahu dan sebagainya.

b. Perlu diketahui juga keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo: perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan, ketegangan.

c. Profil waktu : apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksismal, kronik, progresif atau membaik. Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang khas.

d. Apakah juga ada gangguan pendengaran yang biasanya menyertai/ditemukan pada lesi alat vestibuler atau n. vestibuler.

e. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui ototoksik/vestibulototoksik dan adanya penyakit sistemik seperti anemi, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi, penyakit paru juga perlu ditanyakan. Juga kemungkinan trauma akustik.

Pemeriksaan fisik

Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik, otologik atau neurologik vestibuler atau serebeler, dapat berupa pemeriksaan fungsi pendenganran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi serebelum. Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab, apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat korteks serebri, serebelum, batang otak, atau berkaitan dengan sistem vestibuler/otologik, selain itu harus dipertimbangkan pula faktor psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo tersebut.

Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara lain aritmia jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif, anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi kasus vertigo, harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu penyebabnya, agar dapat diberikan terapi sesuai dengan penyebabnya dan terapi simptomatik yang sesuai.

Pemeriksaan Neurologis

a. Uji Romberg

Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.

b. Tandem Gait

Penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh.

c. Uji Unterberger.

Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.

d. Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)

Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup.

Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.

e. Uji Babinsky-Weil

Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah ke belakang seama setengah menit; jika ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang.

f. Tes Kalori

Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30C) dan air hangat (44C) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik).

Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan.Canal paresis ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII, sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral.

g. Elektronistagmogram

Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif.

Pemeriksaan Otoneurologis

Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau

perifer. Pada saat pemeriksaan, ada beberapa aturan yang harus diikuti. (1) pemeriksaan pertama yang dilakukan adalah terhadap telinga yang dicurgiai bermasalah. (2) Pasien harus menggunakan kacamata Frenzel untuk menghindari supresi pasrial nistagmus dengan fiksasi. (3) Pasien harus diinstruksikan untuk tidak menutup mata saat respon abnormal timbul. (4) Vertigo dan nistagmus muncul secara maksimal jika pasien digerakkan dengan cepat dan dihentikan secara tiba-tiba.5

a. Uji Dix-Hallpike

Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaring-kan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya meng-gantung 45 di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45 ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue).

Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo ber-langsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).

b. Uji Side-Lying

Terdiri dari dua gerakan yaitu perasat side-lying kanan yang menempatkan kepala pada posisi dimana kanal anterior kiri/kanal posterior kanan pada bidang tegak lurus garis horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah, dan perasat side-lying kiri pula yang menempatkan kepala pada posisi dimana kanal anterior kanan dan kanal posterior kiri pada bidang tegak lurus garis horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah.

Pasien duduk di atas meja pemeriksaan dengan kaki menggantung di tepi meja, kepala ditegakkan ke sisi kana, tunggu 40 detik, sampai timbul respon abnormal. Pasien kembali ke posisi duduk dilakukan perasat side-lying kiri, pasien secara cepat dijatuhkan ke sisi kiri dengan kepala ditolehkan 45o ke kanan. Tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.

c. Uji Roll

Pasien berbaring dalam posisi supinasi, kepala di fleksikan 30o. Lalu kepala di gerakkan ke kiri dan ke kanan tanpa perlu digerakkan dengan cepat. Tunggu hingga timbul respon abnormal.

Pemeriksaan Fungsi Pendengaran

a. Tes garpu tala

Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke sisi yang tuli, dan Schwabach memendek.

b. Audiometri

Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Loudness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay. Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran, dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan ekstremitas),fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebeler (tremor, gangguan cara berjalan).

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain

sesuai indikasi.

2. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).

3. Neurofisiologi:Elektroensefalografi(EEG),Elektromiografi (EMG), Brainstem

Auditory Evoked Pontential (BAEP).

4. Pencitraan: CT Scan, Arteriografi, Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Kriteria Diagnosis dari Paroksismal Posisional Vertigo :

1. Latency : Vertigo dan nistagmus mulai terjadi satu detik atau lebih setelah kepala

dimiringkan kearah telinga yang bermasalah, menjadi semakin berat dan

memuncak (crescendo) dalam 10 detik.

2. Duration : Vertigo terjadi hanya kurang dari 40 detik, walaupun pasien sering

merasakannya lebih lama. Vertigo akan mulai berkurang dalam 10 - 40 detik

walaupun posisi kepala yang memicu terjadinya vertigo tetap dipertahankan.

3.Linear-rotaory Nystagmus : Nistagmus yang terjadi bisa vertical, horizontal, atau

berputar.

4. Reversal : Ketika penderita bergerak ke arah yang berlawanan, keparahan vertigo

dan nistagmus dapat berkurang.

5. Fatiguability : Jika gerakan ini dilakukan secara berulang-ulang dan konstan,

gejala yang timbul akan berkurang.6

2.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan BPPV meliputi observasi, obat-obatan untuk menekan fungsi vstibular (vestibulo supresan), reposisi canali dan pembedahan dasar pemilihan tatalaksana berupa observasi adalah karena BPPV dapat mengalami resolusi sendiri dalam waktu lima minggu dari onset gejala (Otolaryngology-Head and Neck Surgery April 2004)

Semua ahli menyarankan observasi sebagai salah satu aspek dalam penatalaksanaan walau bagaimanapun pasien tetap menderita vertigo selama waktu observasi tersebut.

Obat-obat vestibulo supresan yang digunakan untuk menekan fungsi vestibular sebenarnya tidak menghilangkan vertigo malahan hanya dapat mengurangi timbulnya nistagmus akibat tidak keseimbangan sistem vestibular. Walaupun pemberian obat ini mengurangi sensasi vertigo tetapi tidak menyelesaikan masalah. Diantara obat yang diberikan diazepam, amitriptilin dan betahistine, diantara ketiga jenis obat ini betahistine adalah yang paling banyak digunakan, obat ini berperan sebagai agonis parsial pada reseptor H-1 dan antagonis pada reseptor H-3 (Arrang 1985, Venkataraman 1998). Penelitian pada hewan dan manusia menunjukkan penggunaan betahistine meningkatkan aliran darah ke koklea (Suga 1969) dan juga aliran ke cerebral (Rivera 1974). Mekanisme kerja dar betahistine tergantung dari jumlah dosisnya.

Obat-obatan yang digunakan pada terapi simptomatik vertigo (sedatif vestibuler)

Nama Generik

Nama Dagang

Lama Kerja (Jam)

Dosis Dewasa

Tingkat Sedasi

Rute Lain

Cyclizine

Dimenhydrinate

Diphen- hydramine

Meclizine

Promethazine

Scopolamine

Hydroxyzine

Ephedrine

Cinnarizine

Flunarizine

Hyoscine

Betahistin

Marezine

Dramamine

Benadryl

Bonine, Antivert

Phenergan, Avopreg

Transderm Scop

Holopon

Iterax,

Bestalin

Stugeron

Sibelium

Buscopan

Hyscopan

Merislon 6 mg

Betaserc 8 mg

4 6

4 6

4 6

12-24

4 6

72

4 - 6

4 6

50 mg 4 dd

25-50 mg 4 dd

25-50 mg 4 dd

12,5-25 mg 2-3 dd

25 mg 4 dd

0,5 mg 1 dd

0,5 mg 3 dd

25-100 mg 3 dd

25 mg 4 dd

25-50 mg 3 dd

5 mg 2 dd

10-20 mg 3-4 dd

6-12 mg 3 dd

8-16 mg 3 dd

+

++

++

+

++

+

+

++

0

+

+

0

0

0

im

im, iv, rec

im, iv

-

im, iv, rec

sc, iv

im

im

-

-

-

-

Selain terapi dengan medikamentosa, juga dilakukan berbagai macam perasat dan gerakan latihan. Ada tiga macam perasat yang digunakan untuk menanggulangi BPPV, yaitu CRT (Canalith Repositioning Treatment), perasat Liberatory, dan latihan Brandt-Daroff. Lebih baik, kanalitiasis pada anterior dan posterior diterapi dengan CRT. Bila terdapat kupolitiasis, kita dapat menggunakan perasat Liberatory. Latihan Brandt-Daroff dilakukan bila basih terdapat gejala sisa ringan.

1. CRT (Canalith Repositioning Treatment).

Perasat ini dilakukan bila yang terlibat adalah kanal posterior dan anterior. Perasat ini dimulai pada posisi Dix-Hallpike yang menimbulkan respon abnormal dengan cara kepala ditahan pada posisi tersebut selama 1 2 menit. Kemudian kepala direndahkan dan diputar secara perlahan ke kiri dan dipertahankan selama beberapa saat. Setelah itu, badan pasien dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada posisi menghadap ke kiri dengan sudut 45o, sehingga kepala menghadap ke bawah, melihat ke lantai. Akhirnya pasien kembali ke posisi duduk, dengan kepala menghadap kedepan. Setelah terapi ini pasien dilengkapi dengan menahan leher dan disarankan untuk tidak menunduk, berbaring, membungkukkan badan selama 1 hari. Pasien harus tidur pada posisi duduk dan harus tidur pada posisi sehat untuk 5 hari.

Dengan perasat ini, kanalith akan jatuh ke krus komunis ke utrikulus, dimana kanalith-kanalith tidak menimbulkan gejala vertigo. Kunci keberhasilan perasat tersebut dalah dengan memposisikan kepala pada posisi terbalik atau melihat ke bawah, sehingga kanalith akan meluncur ke puncak kanal. Kadang setelah CRT, kanalith dapat pindah ke kanal lain. Setelah CRT juga dapat terjadi kekakuan pada leher, spasme otot akibat kepala diletakkan dalam posisi tegak selama beberapa waktu setelah terapi. Pasien dianjurkan untuk melepas penopang leher dan melakukan gerakan horizontal kepalanya secara periodik. Pada akhirnya, beberapa pasien mengalami vertigo berat dan merasa mual sampai muntah pada saat tes provokasi dan penatalaksanaan. Pasien harus diminta untuk duduk tenang selama beberapa saat sebelum meninggalkan klinis.

2. Perasat Liberatory

Perasat Liberatory, yang dikembangkan oleh Semont, juga dibuat untuk memindahkan otolith dari kanal semisirkularis. Tipe perasat yang dilakukan tergantung dari jenis kanal mana yang terlibat, apakah kanal anterior atau poterior. Bila terdapat keterlibatan kanal posterior kanan, dilakukan perasat Liberatory kanan.

Perasat dimulai dengan penderita diminta untuk duduk pada meja pemeriksaan dengan kepala diputar mnghadap ke kiri 45o. Pasien yang duduk dengan kepala menghadap ke kiri, secara cepat dibaringkan ke sisi kanan dengan kepala menggantung ke bahu kanan. Setelah satu menit, pasien digerakkan secara cepat ke posisi duduk awal dan untuk ke posisi Side-Lying kiri dengan kepala menoleh 45o ke kiri. Pertahankan penderita dalam posisi ini selama 1 menit dan perlahan-lahan kembali ke posisi duduk. Penopang leher kemudian dikenakan dan di beri instruksi yang sama dengan pasien yang diterapi dengan CRT.

Bila kanal anterior kanan yang terlibat, perasat yang dilakukan sama, namun kepala diputar menghadap ke kanan.

3. Latihan Brandt-Daroff

Latihan Brandt-Daroff dapat dilakukan oleh pasien di rumah tanpa bantuan terapist. Pasien melakukan gerakan-gerakan dari duduk ke samping yang dapat mencetuskan vertigo (dengan kepala menoleh ke arah yang berlawanan) dan tahan selama 30 detik. Lalu kembali ke posisi duduk dan tahan selama 30 detik, lalu dengan cepat berbaring ke sisi yang berlawanan (dengan kepala menoleh ke arah yang berlawanan) dan tahan selama 30 detik, lalu secara cepat duduk kembali. Pasien melakukan latihan secara rutin 10 20 kali, 3 kali sehari, sampai vertigo hilang, paling sedikit 2 hari.

Angka remisi 98%, remisi timbul akibat latihan-latihan akan melepaskan otokonia dari kupula dan keluar dari kanalis semisirkularis, dimana mereka tidak akan menimbulkan gejala, remisi juga timbul akibat adaptasi sistem vestibular sentral.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Vertigo merupakan keluhan yang dapat dijumpai dalam praktek, umumnya disebabkan oleh kelainan /gangguan fungsi alat-alat keseimbangan, bisa alat dan saraf vestibuler, koor-dinasi gerak bola mata (di batang otak) atau serebeler. Benign Paroxysmal Position Vertigo adalah adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala, beberapa pasien dapat dengan tepat mengatakan dengan tepat beberapa posisi tertentu yang menimbulkan vertigo

Penatalaksanaan pasien dengan vertigo dimulai dari anamnesis yang teliti untuk mengungkapkan jenis vertigo dan kemungkinan penyebabnya; terapi dapat menggunakan obat dan/atau manuver-manuver tertentu untuk melatih alat vestibuler dan/atau menyingkirkan otoconia ke tempat yang stabil; selain pengobatan kausal jika penyebabnya dapat ditemukan dan diobati.

3.2 Saran

Oleh karena pengobatan pasti dari Benign Paroxysmal Position Vertigo masi belum benar-benar dipahami maka setiap orang yang telah di diagnosis menderita BPPV sebisanya menghindari posisi-posisi yang dapat menstimulus serangan BPPV.

Penelitian dan pembelajaran tentang BPPV harus semakin digalakkan untuk menentukan dengan pasti dari etiologi, patogenesis dan penatalaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

1.Bashiruddin J, vertigo posiss paroksismal jinak. dalam : Soepardi EA, iskandar N editor. Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.

Edisiskeenam. Jakarta :Balai penerbit FK-UI. 2007. hal 104 109

2.Anderson JH, Levine SC, sistem vestibulari. Dalam : Adams GL, Boeis LR, Higler PA, editor. Boeis Buku Ajar Penyakit THT edisi keenam. Jakarta: EGC.199. Hal 39-44

3.Riyanto B. Vertigo: Aspek Neurologi Jakarta: Cermin Dunia kedokteran/ www.kalbe.co.id/cdk

4.Aritomojo D. Vertigo. Diakse pada tanggal 3 November 2009 (www.kalbe.co.id/cdk/vertigo)

5.Brandt, Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Dalam : Journal Advances Oto-Rhinolaryngology. Vol 55

6. Butter U, Vestibular Dysfunction and its Theraphy. Dalam : Journal Advances Oto-Rhinolaryngology. Vol 55

Clinical Science Session

Benign Paroxysmal Positioning Vertigo (BPPV)

Oleh:

Nurwiyeni05923084

Fauzan05923085

Pembimbing

dr. Yan Edward, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2008