14
JURNAL ILMIAH KEBUDAYAAN ISSN 1693-749X Volume 8 No. 1, Maret 2014 olume 8 No. 1, Maret 2014 olume 8 No. 1, Maret 2014 olume 8 No. 1, Maret 2014 olume 8 No. 1, Maret 2014 SINTESIS Vol. 8 No. 1 Halaman Yogyakarta ISSN 1 - 59 Maret 2014 1693-749X A SIMPLIFIED READING ON TSAO HSUEH-CHIN’S NARRATOLOGY IN HUNGLOUMENG ( ) OF DREAM OF THE RED CHAMBER Sri Mulyani TRAGEDI 1965 DALAM KARYA-KARYA UMAR KAYAM: PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCI Yoseph Yapi Taum MEMAHAMI PUISI DARI CIRI KEBAHASAN DAN HAL YANG DIUNGKAP PENYAIR DALAM “PUKENG MOE, LAMALERA” YOSEPH ARAKIÉ ULANAGA DASION Mikhael Klemens Kedang METAFORA DALAM WACANA TAJUK TENTANG TERORISME DI HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO P. Ari Subagyo TIPE DAN KATEGORI LEKSIKAL ONOMATOPE DALAM KOMIK KAMBING JANTAN: SEBUAH KOMIK PELAJAR BODOH BOOK 2 KARYA RADITYA DIKA Radhitya Indra Arhadi PERIBAHASA YANG BERUNSUR NAMA BINATANG DALAM BAHASA INDONESIA Suyanti

Volume 8 No. 1, Maret 2014 - core.ac.uk · di atas ubun-ubun kita dalam contoh (4) merupakan metafora kalimat. Berdasarkan empat contoh tersebut, diajukanlah tiga permasalahan sebagai

Embed Size (px)

Citation preview

JURNAL ILMIAH KEBUDAYAAN ISSN 1693-749X

VVVVVolume 8 No. 1, Maret 2014olume 8 No. 1, Maret 2014olume 8 No. 1, Maret 2014olume 8 No. 1, Maret 2014olume 8 No. 1, Maret 2014

SINTESIS Vol. 8 No. 1 Halaman Yogyakarta ISSN1 - 59 Maret 2014 1693-749X

A SIMPLIFIED READING ON TSAO HSUEH-CHIN’SNARRATOLOGY IN HUNGLOUMENG ( )

OF DREAM OF THE RED CHAMBERSri Mulyani

TRAGEDI 1965DALAM KARYA-KARYA UMAR KAYAM:

PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCIYoseph Yapi Taum

MEMAHAMI PUISI DARI CIRI KEBAHASANDAN HAL YANG DIUNGKAP PENYAIRDALAM “PUKENG MOE, LAMALERA”YOSEPH ARAKIÉ ULANAGA DASION

Mikhael Klemens Kedang

METAFORA DALAM WACANA TAJUKTENTANG TERORISME

DI HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPOP. Ari Subagyo

TIPE DAN KATEGORI LEKSIKAL ONOMATOPEDALAM KOMIK KAMBING JANTAN:

SEBUAH KOMIK PELAJAR BODOH BOOK 2KARYA RADITYA DIKA

Radhitya Indra Arhadi

PERIBAHASA YANG BERUNSUR NAMA BINATANGDALAM BAHASA INDONESIA

Suyanti

JURNAL ILMIAH KEBUDAYAAN ISSN 1693-749

SINTESISSINTESISSINTESISSINTESISSINTESISVolume 8, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 1-59

Pemimpin RedaksiProf. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.

Sekretaris RedaksiDr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.

Anggota RedaksiS.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Drs. B. Rahmanto, Hum.,

Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum.,Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum.

Mitra BestariBernard Arps, Ph.D. (Leiden University),

Prof. Dr. Soepomo Poejosoedarmo (KBI, Universitas Sanata Dharma)Prof. Dr. I Dewa Putu Wijana, M.S., M.A. (FIB, Universitas Gadjah Mada)

Dr. St. Sunardi, Lic. (IRB, Universitas Sanata Dharma)

Redaksi PelaksanaDr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. Hery Antono, M.Hum.,

Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum.

Administrasi/SirkulasiThomas A. Hermawan M., A.Md.

Veronika Margiyanti

Tata LetakThomas A. Hermawan M., A.Md.

SINTESIS adalah jurnal ilmiah bahasa, sastra, dan kebudayaan Indonesia yang diterbitkan oleh PusatKajian Bahasa, Sastra, dan Kebuayaan Indonesia (PKBSBI), Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Terbit pertama kali bulan Oktober 2003 dengan frekuensi terbitdua kali setahun pada bulan Maret dan Oktober.

SINTESIS menerima sumbangan karangan ilmiah khususnya hasil penelitian dari para peminat bahasa,sastra, dan budaya Indonesia. Naskah karangan hendaknya dikirim dalam bentuk cetak komputer disertaiCD-nya (atau dikirim melalui email) yang menggunakan program Microsoft Word sepanjang maksimal20 halaman spasi ganda, dengan format sebagaimana tercantum pada halaman kulit dalam-belakang(“Petunjuk bagi Penulis”). Naskah yang masuk ke redaksi akan dievaluasi dan disunting untuk menciptakantata tulis yang seragam dan konsisten.

Alamat Redaksi: Pusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, FakultasSastra, Universitas Sanata Dharma, Mrican, Teromol Pos 29, Yogyakara 55002, Telepon 513301, 515352ext.1324, Faks. (0274) 562383. E-mail: [email protected]

JURNAL ILMIAH KEBUDAYAAN ISSN 1693-749

SINTESISSINTESISSINTESISSINTESISSINTESISVolume 8, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 1-59

DAFTAR ISI

A Simplified Reading on Tsao Hsueh-Chin’s Narratology in Hungloumeng ( )of Dream of The Red Chamber .................................................................................................. 1-10Sri Mulyani

Tragedi 1965 dalam Karya-karya Umar Kayam: Perspektif Antonio Gramsci ......... 11-22Yoseph Yapi Taum

Memahami Puisi dari Ciri Kebahasan dan Hal yang Diungkap Penyairdalam “Pukeng Moe, Lamalera” Yoseph Arakié Ulanaga Dasion ............................... 23-34Mikhael Klemens Kedang

Metafora dalam Wacana Tajuk tentang Terorisme di Harian Kompasdan Koran Tempo ......................................................................................................................... 35-43P. Ari Subagyo

Tipe Dan Kategori Leksikal Onomatope dalam Komik Kambing Jantan: SebuahKomik Pelajar Bodoh Book 2 Karya Raditya Dika ................................................................ 44-50Radhitya Indra Arhadi

Peribahasa Yang Berunsur Nama Binatang dalam Bahasa Indonesia ........................ 51-59Suyanti

METAFORA DALAM WACANA TAJUKTENTANG TERORISME

DI HARIAN KOMPAS DAN KORAN TEMPO

P. Ari SubagyoDosen Program Studi Sastra Indonesia,

Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.(email: [email protected])

ABSTRAK

Artikel ini membahas jenis-jenis metafora dalam wacana tajuk tentang terorisme (WTT) di harianKompas dan Koran Tempo serta hal-hal yang dikiaskan oleh dua surat kabar harian tersebut.Terungkap bahwa jenis-jenis metafora dalam WTT Kompas dan Koran Tempo meliputi metaforanominal, verbal atau predikatif, dan metafora kalimat. Metafora nominal digunakan untukmengiaskan (a) Indonesia sebagai korban aksi teror, (b) dekatnya jarak teror bom denganmasyarakat Indonesia, (c) penanganan terorisme berkenaan dengan bom Bali I, (d) tempatterjadinya aksi teror, yakni Bali dan Jakarta, dan (e) kasus peledakan bom serta kinerja PresidenMegawati dan kabinetnya dalam menangani teror bom. Metafora verbal digunakan untukmengiaskan (a) dampak teror dan (b) cara menangani teror. Adapun metafora kalimat dimanfaatkanuntuk mengiaskan langkah memerangi terorisme dan potensi keberlanjutan terorisme.

Kata kunci : Metafora, Wacana tajuk, Terorisme, Kompas, Koran Tempo

3 5

1. PENGANTAR

Sejak masa Aristoteles di zaman Yunanikuno, mulai berkembang penggunaan bahasayang disebut analogi atau kemiripan.Metafora atau kiasan adalah jenis analogiyang membandingkan dua hal secaralangsung, seperti bunga bangsa untuk‘pemuda’, buaya darat untuk ‘laki-lakipenggoda’, buah hati untuk ‘anak’, dancindera mata untuk ‘kenang-kenangan’ (bdk.Keraf, 1984: 139). Sebagai fenomena lingual,metafora lazim dijumpai dalam berbagairanah komunikasi manusia, termasuk dalamwacana tajuk tentang terorisme (WTT).Berikut ini empat contoh penggunaanmetafora dalam WTT di surat kabar harianKompas dan Koran Tempo.

(1) Maka, ketika pengeboman terjadi,ibarat tusukan telak di ulu hati. (KoranTempo, 22/10/2002)

(2) Kita bayangkan, bagaimana wajah dansosok kita sebagai warga dan bangsadi atas panggung dunia. (Kompas, 14/10/2002)

(3) Teror bom sudah menghantui Indonesiajauh sebelum Bali. (Koran Tempo, 23/10/2002)

(4) Mendung kian gelap di atas ubun-ubunkita. Prospek ekonomi kian buruk ditengah budaya korupsi yang kian liar.(Koran Tempo, 19/10/2002)

Contoh (1) memperlihatkan adanyajenis metafora nominal tusukan di ulu hati,dan contoh (2) memuat metafora nominal

Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 8, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 35-433 6

wajah dan sosok kita serta panggung dunia.Pada contoh (3) dijumpai kata menghantuiyang termasuk metafora predikatif ataumetafora verbal. Adapun Mendung kian gelapdi atas ubun-ubun kita dalam contoh (4)merupakan metafora kalimat. Berdasarkanempat contoh tersebut, diajukanlah tigapermasalahan sebagai berikut. Pertama, apasaja jenis metafora dalam WTT Kompas danKoran Tempo? Kedua, apa saja hal-hal yangdikiaskan oleh Kompas dan Koran Tempodengan berbagai metafora dalam WTT-nya?

Penelitian ini bertujuan untukmendeskripsikan berbagai jenis metaforadalam WTT harian Kompas dan Koran Temposerta hal-hal yang dikiaskan oleh Kompas danKoran Tempo melalui berbagai metaforadalam WTT-nya.

2. LANDASAN TEORIDAN METODE

Dalam artikel ini metafora dipandangsebagai fenomena pragmatis, tidak semata-mata semantis. Terkait dengan jenis-jenismetafora, Miller (dikutip Levinson, 1983: 152)membedakan metafora menjadi tiga. Pertama,nominal metaphor (metafora nominal) sepertieel (‘belut’) dalam Iago is an eel (‘Iago adalahbelut’). Kedua, predicative metaphor (metaforapredikatif), seperti steamed ahead (‘berlayar’)dalam Mrs. Gandhi steamed ahead (‘NyonyaGandhi berlayar’). Ketiga, sentential metaphor(metafora kalimat), seperti percakapan A: Whatkind of mood did you find the boss in? (‘Keadaanmacam apa yang kau jumpai dalam diri bos?’)dan B: The lion reared (‘Singa mengaum’) yangdapat ditafsirkan sebagai The lion’s roaring islike something doing something (‘Auman singaseperti halnya sesuatu melakukan sesuatu’)atau The lion’s roaring is like the boss displayinganger (‘Auman singa seperti bos marah’).Pembedaan yang dilakukan Miller itu dijadikanlandasan teoretis dalam artikel ini. Namun,agar cakupannya menjadi lebih luas, tidakdigunakan digunakan istilah metaforapredikatif, melainkan metafora verbal.

Metafora berhubungan denganpemilihan kata. Namun, pemilihan kata itutidak dilakukan secara acak, melainkan

menjadi bagian dari sistem pengungkapanyang memengaruhi (juga dipengaruhi oleh)cara tertentu dalam memandang aspektertentu dari realitas (Verschueren, 1999:178). Metafora merupakan sarana untukmemroduksi representasi yang berbeda ihwaldunia (Fairclough, 2003: 131-132).1

Penelitian ini menggunakan databerupa tuturan-tuturan dalam WTT yangmengandung metafora. WTT diambil dariharian Kompas dan Koran Tempo edisi 14Oktober 2002 (WTT tentang bom Bali I)hingga 11 November 2008 (WTT tentangeksekusi mati terdakwa pelaku bom Bali I,Amrozi, dkk.). Dua harian itu dipilih sebabsama-sama berkategori koran nasional2 danmemiliki bingkai (frame) yang sama dalammenyikapi fenomena terorisme di Indonesia.Kesamaan bingkai Kompas dan Koran Temposangat mungkin berkaitan dengan garisideologi non-agama yang digunakan duasurat kabar harian tersebut.3

Data dianalisis dengan metode padan,yaitu metode analisis dengan alat penentu diluar, terlepas, dan tidak menjadi bagian daribahasa (language) yang bersangkutan(Sudaryanto, 1993: 13). Secara khusus,diterapkan metode padan pragmatik, yaitusubjenis metode padan yang alat penentunyaorang yang menjadi mitra wicara. Denganmetode ini —dan sesuai saran Leech (1983:13)— peneliti menempatkan diri sebagaipenerima tutur (receiver) yang menafsirkanmetafora dalam WTT beserta konteksnya.

3. HASIL PENELITIANDAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan, Kompasdan Koran Tempo menggunakan metaforanominal, metafora verbal, dan metafora kalimat.Masing-masing metafora dimanfaatkanuntuk mengiaskan beberapa hal yang selarasdengan sikap Kompas dan Koran Tempo.

3.1 Metafora Nominal

Metafora nominal (MN) berwujudanalogi dengan kata, frasa, atau idiom yang

3 7P. Ari Subagyo – Metafora dalam Wacana Tajuk tentang Terorisme di ....

berkategori nominal. Metafora nominaldigunakan oleh Kompas dan Koran Tempo untukmengiaskan lima hal, yaitu (a) Indonesiasebagai korban teror, (b) dekatnya teror bomdengan masyarakat, (c) penanganan bomBali I, (d) tempat terjadinya teror bom, serta(e) kasus peledakan bom serta kinerja PresidenMegawati dan kabinetnya dalam menanganiteror bom.

Pertama, MN digunakan untukmengiaskan Indonesia sebagai korban aksiteror. Kiasan yang digunakan adalah tubuhmanusia, seperti terungkap dalam contoh (5)dan (6) di bawah ini.

(5) Kita bayangkan, bagaimana wajah dansosok kita sebagai warga dan bangsadi atas panggung dunia. (Kompas, 14/10/2002)

(6) Maka, ketika pengeboman terjadi,ibarat tusukan telak di ulu hati. Sangatmenyakitkan dan meninggalkan bekasbegitu dalam. (Koran Tempo, 22/10/2002)

Pada contoh (5), digunakan metaforanominal wajah dan sosok. Menurut KamusBesar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa atau KBBI(2008: 1553), wajah bermakna kiasan ‘apa-apa yang tampak lebih dulu’, dan sosokbermakna kiasan ‘keseluruhan keadaan dankinerja seseorang atau lembaga’. Ledakanbom Bali I yang menewaskan ratusan warganegara asing memang telah membuatIndonesia menjadi perhatian dunia. “Wajah”Indonesia sebagai negara berpendudukMuslim terbesar di dunia dan “sosok”Indonesia dalam wujud kinerja intelijen danaparat keamanannya yang tidak mampumenangkal aksi teror bom, telah menjadiperhatian dan sorotan masyarakat dunia.Sementara itu, metafora tusukan telak di uluhati pada contoh (6) melukiskan keadaan“tubuh” Indonesia, yaitu —sebagaimanaterungkap pada kalimat kedua contohtersebut— sangat menyakitkan dan meninggalkanbekas begitu dalam.

Kedua, metafora nominal digunakanuntuk mengiaskan dekatnya jarak teror bomdengan masyarakat Indonesia. Dalam contoh(7) berikut ini, kedekatan jarak tersebut

diutarakan dengan metafora kolong tempattidur. Adapun dalam contoh (8), kedekatanjarak diungkapkan dengan metaforapekarangan kita , yang diperbandingkandengan metafora depan halaman dan rumahtetangga jauh. Langkah Kompas dan KoranTempo mengiaskan kedekatan jarak denganmetafora kolong tempat tidur dan pekarangankita sekaligus hendak menegaskan bahwateror bom sungguh-sungguh merupakanancaman bagi masyarakat Indonesia.

(7) Hanya dengan pengusutan totalmasyarakat tak hanya bisa sedih,cemas, dan ketakutan esok bom akanmeledak dari kolong tempat tidurnya.(Koran Tempo, 14/10/2002)

(8) Yang perlu kita perlukan sekarang ialahkesatuan suara, sebab aksi teror itusudah meletus di pekarangan kita,bukan di depan halaman, atau dirumah tetangga jauh. (Koran Tempo,17/10/2002)

Ketiga, metafora nominal digunakanuntuk mengiaskan penanganan terorismeberkenaan dengan bom Bali I. Periksa tigacontoh di bawah ini.

(9) Tak perlu malu menerima ulurantangan Australia yang menawarkanbantuan tim investigasi. (Koran Tempo,14/10/2002)

(10) Keputusan yang dibuat dengan kepalapanas sering harus disesali di kemudianhari. (Koran Tempo, 16/10/2002)

(11) Dengan keluarnya perpu itu,pemerintah mendapatkan payunghukum untuk menindak aksi terorsecara efektif. (Kompas, 19/10/2002)

Dalam (9) dijumpai metafora ulurantangan yang berarti ‘pemberian bantuan’(bdk. KBBI, 2008: 1524). Bagi Kompas danKoran Tempo, uluran tangan negara-negaralain merupakan hal penting untukpenanganan terorisme. Pada contoh (10),digunakan metafora kepala panas. Metaforaini sesungguhnya tidak lazim sebab yanglebih lazim adalah metafora kepala dingin

Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 8, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 35-433 8

yang bermakna ‘tenang dan sabar’ (bdk. KBBI,2008: 671). Jadi, kepala panas bermakna kiasan‘tidak tenang dan tidak sabar’. Kiasan itu dipiliholeh Koran Tempo untuk menggambarkansuasana sidang kabinet yang sempatdiwarnai suasana panas karena perbedaanpandangan yang tajam tentang penyebabterorisme antara Wakil Presiden HamzahHaz dan Menteri Koordinator Politik danKeamanan Susilo Bambang Yudhoyono.Adapun metafora payung hukum dalam (11)bermakna kiasan ‘perangkat hukum yangmenjadi dasar; undang-undang’ (KBBI, 2008:1033). Kiasan ini dipilih Kompas untukmendukung dikeluarkannya perpu untukmenangani terorisme.

Keempat, metafora nominal digunakanuntuk mengiaskan tempat terjadinya aksiteror, yakni Bali dan Jakarta. Misalnya:

(12) Bali adalah etalase Indonesia ke dunialuar. (Koran Tempo, 16/10/2002)

(13) Tingkat sensitivitasnya besar karenaberlangsung di Ibu Kota, yang menjadietalase utama negara dan bangsa.(Kompas, 6/8/2003)

(14) Bali telanjur menjadi surga perlindunganterakhir, kantong indah yang bebasdari kerusuhan politik dan teror yangdalam lima tahun terakhir merebak diberbagai wilayah Indonesia. (KoranTempo, 22/10/2002)

Dalam (12) digunakan kata etalase yangbermakna ‘tempat memamerkan barang-barang yang dijual (biasanya di bagian depantoko)’ (KBBI, 2008: 382). Jika Bali disebutKoran Tempo sebagai etalase Indonesia ke dunialuar, berarti Bali dilukiskan sebagai tempatyang memungkinkan Indonesia dilihat olehmasyarakat dunia. Kiasan itu dapat dimaklumisebab pada kenyataannya Bali menjadi salahsatu tujuan wisata turisme dunia yang bahkanlebih populer daripada Indonesia. Kata etalasejuga digunakan pada (13) oleh Kompas untukmengiaskan Jakarta yang menjadi korbanbom Hotel Marriott. Sebagaimana Bali,Jakarta dilukiskan sebagai tempat yangmemungkinkan Indonesia dilihat oleh

masyarakat dunia. Penyebabnya tentukarena Jakarta merupakan ibu kota Indonesiasehingga menjadi pusat pemerintahan dankeberadaan kantor perwakilan negara-negara yang memiliki kemitraan diplomasidengan Indonesia. Sementara itu, dalam (14)digunakan metafora surga perlindunganterakhir dan kantong indah untuk mengiaskanBali. Koran Tempo memilih dua metafora itusebab Bali terbebas dari kerusuhan politik danteror yang dalam lima tahun terakhir merebakdi berbagai wilayah Indonesia, sebelumakhirnya terjadi bom Bali I. Lukisan metaforistentang Bali dan Jakarta menegaskan bahwapenanganan terorisme dan pemulihankeadaan pascateror menjadi rekomendasipenting dari Kompas dan Koran Tempo.

Kelima, metafora nominal digunakanuntuk mengiaskan kasus peledakan bomserta kinerja Presiden Megawati dankabinetnya dalam menangani teror bom.Periksa contoh (15) s.d. (17) berikut ini.

(15) Kasus bom Hotel Marriott merupakanujian berat bagi bangsa Indonesia.(Kompas, 6/8/2003)

(16) Presiden selaku dirigen orkestra,diharapkan mampu bertindak sigapdan memandang persoalan ini sebagaibenar-benar genting. (Koran Tempo, 17/10/2002)

(17) Sayangnya, dalam menanggapi tragediBali ini kabinet sejauh ini terkesanbagaikan sebuah orkestra tanpa dirigen.(Koran Tempo, 17/10/2002)

Dalam (15), kasus bom Hotel Marriottdikiaskan oleh Kompas sebagai ujian berat bagibangsa Indonesia. Menurut KBBI (2008:1518), ujian bermakna kiasan ‘cobaan’.Dengan demikian, menurut Kompas, kasusbom di Hotel Marriott (dan kasus-kasus terorbom lainnya) merupakan cobaan berat bagibangsa Indonesia.

Dalam contoh (16), dijumpai metaforanominal bertataran frasa dirigen orkestra.Dirigen berarti ‘pemimpin orkes atau paduansuara’ (bdk. KBBI, 2008: 332), dan orkestraadalah ‘kelompok pemain musik yang

3 9P. Ari Subagyo – Metafora dalam Wacana Tajuk tentang Terorisme di ....

bermian bersama pada seperangkat alatmusik; musik yang dimainkan secarabersama’ (bdk. KBBI, 2008: 989). Dengandirigen orkestra, Koran Tempo mengiaskanPresiden sebagai pemimpin para pejabatnegara yang bertanggung jawab dalampenanganan kasus terorisme. Penjelasan ituberkaitan dengan metafora orkestra tanpadirigen dalam (17) yang diajukan KoranTempo untuk mengiaskan kinerja kabinetdalam menangani bom Bali I, yakni terkesanbekerja sendiri-sendiri tanpa koordinasikepemimpinan yang jelas. Metafora orkestratanpa dirigen merupakan ungkapan kritikkepada Presiden dan kabinetnya.

3.2 Metafora Verbal

Metafora verbal adalah persamaandengan menggunakan kata, frasa, atau idiomyang berkategori verbal. Metafora verbaldalam WTT Kompas dan Koran Tempo menjadisarana untuk mengiaskan (a) dampak aksiteror dan (b) penanganannya, seperti tampakdalam contoh-contoh dan penjelasannyaberikut ini.

(18) Teror bom sudah menghantui Indonesiajauh sebelum Bali. (Koran Tempo, 23/10/2002)

(19) Sektor pariwisata sudah berteriak akankesulitan yang mengancam mereka.(Kompas, 18/10/2002)

(20) Hampir sepekan setelah pengebomanKuta—aksi teror paling memedihkandalam sejarah Indonesia—Bali danberbagai belahan dunia yang lain,masih tenggelam dalam duka cita.(Koran Tempo, 18/10/2002)

(21) Ledakan bom di Bali, aksi teror terbesarsetelah Tragedi 11 September di Amerika,seperti merontokkan sisa tenaga bangsaIndonesia yang sudah terengah-engahselama empat tahun reformasi. (KoranTempo, 19/10/2002)

(22) Kecemasan itu semakin menjadi-jadiketika kita mengamati, menyaksikan,dan merasakan aksi teror di Bali,negara-negara maju bukan datang

menolong, melainkan seperti akanmencekik leher kita pelan-pelan.(Kompas, 23/10/2002)

Lima contoh di atas menunjukkanpengguaan metafora verbal untuk mengiaskandampak aksi teror bom. Dalam (18) dijumpaimetafora verbal menghantui yang menurutKBBI (2008: 481) bermakna ‘menyebabkantakut (khawatir, gelisah, dsb.); mempertakuti;membayangi; mengganggu; mengusik’. KoranTempo dalam WTT edisi 12 Oktober 2002mencatat bahwa teror bom di Indonesiamemang telah terjadi jauh sebelum terjadibom Bali I (12 Oktober 2002), yakni tahun1976. Pada contoh (19), metafora verbalberteriak dikemukakan Kompas. MenurutKBBI (2008: 1451), berteriak berarti ‘berseru(berkata, memanggil, dsb.) dengan suarakeras; memekik’. Apabila ditempatkan dalamtuturan Sektor pariwisata sudah berteriak akankesulitan yang mengancam mereka, metaforaberteriak bermakna kiasan ‘mengeluh dengankeras’.

Pada contoh (20), digunakan metaforatenggelam dalam duka. Keadaan atau kejadiantenggelam lazimnya terjadi dalam air, baik dikolam, sungai, ataupun laut. Jika seseorangtenggelam, seluruh tubuhnya berada dalamair, dan ia tidak berdaya keluar dari benamanair karena tidak dapat berenang. Karena itu,metafora tenggelam dalam duka cita digunakanKoran Tempo untuk melukiskan dampak bomBali I, yakni kesedihan amat mendalam yangdirasakan oleh warga Bali maupun masyarakatdi berbagai belahan dunia.

Dalam contoh (21), Koran Tempomengemukakan dua metafora verbal, yaitumerontokkan dan terengah-engah . Katamerontokkan memiliki makna denotatif‘menggugurkan; meluruhkan’ (bdk. KBBI,2008: 1183). Apabila ditempatkan di dalammetafora predikatif merontokkan sisa tenagabangsa Indonesia, kata merontokkan memilikimakna metaforis ‘menghabiskan’. Adapunterengah-engah berarti ‘mengap-mengapdengan napas memburu (habis berlari cepatdsb.); kembang kempis dan cepat napasnya;termengah-mengah’ (KBBI, 2008: 374).

Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 8, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 35-434 0

Dengan metafora terengah-engah digambarkansituasi bangsa Indonesia yang menderitaselama empat tahun reformasi. Ledakan bomBali I memperparah derita yang harusdijalani oleh bangsa Indonesia.

Sementara itu, metafora mencekik leherdimunculkan dalam (22) yang bermakna‘mematikan’ (bdk. KBBI, 2008: 252). Metaforaini melukiskan dampak tidak langsung bomBali I bagi Indonesia. Ledakan bom yangmenewaskan ratusan warga asing itumenyebabkan sejumlah negara —alih-alihmenolong— justru mengeluarkan laranganberkunjung/berwisata ke Indonesia,termasuk Bali. Kebijakan itu sama sajadengan mematikan Indonesia.

Empat contoh di bawah ini menunjukkanpenggunaan metafora yang terkait denganpenanganan terorisme.

(23) Kesigapan pemerintah diperlukan takhanya untuk menghindari spekulasi ber-kepanjangan, tapi juga untuk mencegahperistiwa ini menjadi dalih bagi pihak-pihak yang ingin mengail di air keruh.(Koran Tempo, 15/10/2002)

(24) Justru dalam situasi panik, orang perludiingatkan untuk mendinginkan otak.(Koran Tempo, 16/10/2002)

(25) Semua itu membawa kita padapernyataan dan penegasan di atas,yakni bukan saja Baliku yang harusdikembalikan, tetapi juga Indonesiaku,Indonesia kita. (Kompas, 21/10/2002)

(26) Tanpa tindakan kolektif yang melibatkanmasyarakat, terorisme sulit diberantas.Apalagi para teroris lokal sudah naikpangkat, dari meledakkan bom dengansembunyi-sembunyi sampai ke tingkatmengorbankan nyawa dengan meledakkanbom di badan. (Koran Tempo, 11/11/2005)

Dalam contoh (23), metafora mengail diair keruh berarti ‘memanfaatkan kekacauandemi kepentingan pribadi’. Metafora itudikemukakan oleh Koran Tempo untukmenegaskan pentingnya kesigapan pemerintahdalam penanganan kasus teror. Kesigapan

pemerintah itu, selain dapat menghindarispekulasi berkepanjangan, juga untukmencegah upaya sejumlah pihak yanghendak memanfaatkan kekacauan demikepentingan pribadi. Misalnya, saling tudingantara pemerintah AS dengan para pimpinansejumlah organisasi massa Islam di Indonesia,dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentuuntuk memicu sentimen antarumat beragamadi Indonesia.

Contoh (24) memuat metafora verbalmendinginkan otak yang memiliki arti‘menenangkan pikiran’. Metafora verbal itudikemukakan Koran Tempo berkenaan denganpenanganan situasi pasca-bom Bali I. Dalamkepanikan, pemerintah bersama DPR akanmengeluarkan Perpu Antiterorisme. Untukitulah Koran Tempo bermaksud mengingatkanpemerintah beserta DPR agar mendinginkanotak atau menenangkan pikiran terlebih dulu.

Metafora dikembalikan dalam (25)mengiaskan adanya sesuatu yang hilangatau tidak ada lagi akibat teror bom, baikterjadi di Bali maupun Indonesia padaumumnya. Sesuatu yang hilang dan harusdikembalikan itu menurut Kompas adalahkeamanan, kenyamanan, dan ketenanganhidup. Sementara itu, dalam contoh (26),Koran Tempo mengemukakan metafora naikpangkat. Lazimnya, naik pangkat berkenaandengan perubahan status atau derajat menjadilebih tinggi dalam struktur kepegawaianataupun keorganisasian. Namun, naikpangkat yang dimaksud oleh Koran Tempoadalah meningkatnya keberanian kaumteroris Indonesia dalam meledakkan bom,yaitu dari sembunyi-sembunyi menjadi beranimeledakkan bom di badan (bom bunuh diri).Karena itu, menurut Koran Tempo, memberantasterorisme harus dilakukan secara kolektifdengan melibatkan masyarakat.

3.3 Metafora Kalimat

Dibandingkan metafora nominal danmetafora verbal, metafora kalimat dalamWTT Kompas dan Koran Tempo jumlahnyalebih sedikit. Metafora kalimat digunakanuntuk mengiaskan (a) langkah memerangi

4 1P. Ari Subagyo – Metafora dalam Wacana Tajuk tentang Terorisme di ....

terorisme dan (b) potensi keberlanjutanterorisme. Periksa contoh-contoh (dan bagianyang bergaris bawah) berikut ini.

(27) Sejauh ini respons di dalam negeritidaklah menghentak dan gelombangnyasepertinya kurang menyapu seluruhmasyarakat bangsa kita. (Kompas, 21/10/2002)

(28) Karena itu, dirigen harus bisa mengaturagar para anggota orkestra tidakmembunyi-kan alat musiknya sesukahati. (Koran Tempo, 17/10/2002)

(29) Mendung kian gelap di atas ubun-ubunkita. Prospek ekonomi kian buruk ditengah budaya korupsi yang kian liar.Kepercayaan kepada para penyelenggaranegara, sipil maupun militer, kianrendah. (Koran Tempo, 19/10/2002)

(30) Lebih menyedihkan, di tengah pesimismeseperti itu, negeri ini menemukan diriseperti ikan kecil dalam laut yang kiankeruh dan bergolak. (Koran Tempo, 19/10/2002)

(31) Perang melawan terorisme bukanlahlomba lari jarak pendek. Ia upayamaraton yang tak pernah putus untukmenjaga dan menjamin hak sipil, hakbersuara, serta hak hidup yang layak.(Koran Tempo, 8/8/2003)

Dalam contoh (27), metafora kalimatgelombangnya sepertinya kurang menyapuseluruh masyarakat bangsa kita mengiaskanrespons atas bom Bali I sebagai batu besaryang jatuh di air. Lalu dari titik jatuhnya batuitu terbentuk gelombang yang bergerakmeluas ke segala arah, hingga menjangkauseluruh permukaan air. Namun, dalam kasusbom Bali I, gelombang itu lemah sehinggakurang menjangkau seluruh masyarakatIndonesia. Dengan metafora tersebut, Kompashendak menyatakan bahwa tanggapanmasyarakat Indonesia secara umum atasbom Bali I rendah.

Metafora kalimat pada contoh (28),dirigen harus bisa mengatur agar para anggotaorkestra tidak membunyikan alat musiknyasesuka hati, mengiaskan penanganan kasus

bom Bali I sebagai pentas orkestra. Perandirigen sangat vital agar para pemainorkestra memainkan alat musiknya dengankompak, sesuai aba-aba yang diberikan sangdirigen. Dengan metafora itu, hendakdinyatakan oleh Koran Tempo bahwa PresidenMegawati harus mampu memimpin danmengkoordinasi penanganan kasus bom BaliI agar anggota kabinet dan pejabat terkaittidak berbicara atau bekerja sendiri-sendiri.Apalagi kinerja Presiden dan kabinetnyamenjadi perhatian dunia.

Dalam contoh (29), dijumpai metaforakalimat Mendung kian gelap di atas ubun-ubunkita. Metafora tersebut digunakan KoranTempo untuk mengiaskan situasi sulit yangdihadapi bangsa Indonesia. Prospek ekonomikian buruk di tengah budaya korupsi yang kianliar. Kepercayaan kepada para penyelenggaranegara, sipil maupun militer, kian rendah.Situasi lalu bertambah sulit karena munculpersoalan baru yang tidak kalah serius, yakniteror bom (bom Bali I).

Koran Tempo mengemukakan metaforanegeri ini menemukan diri seperti ikan kecildalam laut yang kian keruh dan bergolak pada(30). Penjelasannya sebagai berikut. Terorbom Bali I tidak dapat dipisahkan dari isuterorisme global. Akibatnya, Indonesiaterlibat dalam perang melawan terorismeinternasional yang luas. Apalagi, terbukakemungkinan bahwa isu terorisme globaljuga bersangkut-paut dengan pertarunganekonomi dan politik global. Terjadi petageopolitik baru yang belum seluruhnya dapatdipahami Indonesia. Itulah yang dilukiskanKoran Tempo dengan kiasan laut yang keruhdan bergolak. Dalam benaman kompleksitassituasi semacam itulah Indonesia seperti ikankecil yang tidak berdaya.

Pada (31), digunakan metafora kalimatPerang melawan terorisme bukanlah lomba larijarak pendek. Ia upaya maraton …. Dalamdunia atletik, lari jarak pendek mencakupcabang lomba lari dengan jarak 50 meterhingga 400 meter, sedangkan maratonmencapai jarak 41,195 kilometer (41.195meter, atau 26 mil, atau 385 yard). Denganmetafora tersebut hendak dikatakan bahwa

Jurnal Ilmiah Kebudayaan SINTESIS, Volume 8, Nomor 1, Maret 2014, hlm. 35-434 2

terorisme tidak mungkin ditangani secarasesaat, tetapi perlu penanganan dengan visidan strategi jangka panjang. Sebagaimanaterungkap dalam kalimat kedua kutipan (31),Koran Tempo menyatakan lebih lanjut, Iaupaya maraton yang tak pernah putus untukmenjaga dan menjamin hak sipil, hak bersuara,serta hak hidup yang layak.

4. SIMPULAN

P a d a b a g i a n P e n g a n t a r t e l a hdikemukakan dua permasalahan yangdibahas dalam artikel ini. Pertama, apa sajajenis metafora dalam WTT Kompas danKoran Tempo? Kedua, apa saja hal-hal yangdikiaskan oleh Kompas dan Koran Tempodengan berbagai metafora dalam WTT-nya?

Berdasarkan hasil penelitian, diketahuibahwa harian Kompas maupun Koran Tempomenggunakan metafora nominal, metaforaverbal, dan metafora kalimat dalam WTT-nya. Metafora nominal digunakan untukmengiaskan (a) Indonesia sebagai korban aksiteror, (b) dekatnya jarak teror bom denganmasyarakat Indonesia, (c) penangananterorisme berkenaan dengan bom Bali I, (d)

tempat terjadinya aksi teror, yakni Bali danJakarta, dan (e) kasus peledakan bom sertakinerja Presiden Megawati dan kabinetnyadalam menangani teror bom. Metafora verbaldigunakan untuk mengiaskan (a) dampakteror dan (b) cara menangani teror. Adapunmetafora kalimat dimanfaatkan untukmengiaskan langkah memerangi terorismedan potensi keberlanjutan terorisme.

Sajian dalam artikel ini hanyalahtengokan singkat yang bersifat deskriptif-pragmatis mengenai penggunaan metaforadalam WTT Kompas dan Koran Tempo. Kajiankritis tentang bagaimana kaitan pemilihanmetafora dengan ideologi atau bingkai(frame) dua surat harian tersebut belumdilakukan. Secara umum dapat dikatakanbahwa Kompas dan Koran Tempo memilikisikap yang sama atas fenomena terorisme.Alih-alih terjebak pada opini tentang siapapelakunya —sebagaimana dilakukan SuaraPembaruan dan Republika— dua Kompas danKoran Tempo lebih mementingkan langkah-langkah penanganan aksi teror dandampaknya. Oleh karena itu, penggunaanmetafora dalam WTT Kompas dan KoranTempo seiring, selaras, dan seirama.

CATATAN

1 Dalam analisis wacana kritis, metafora bahkan jugamencerminkan terjadinya pertarungan wacana (lih.van Dijk, 1996: 98; Eriyanto, 2011: 140). Hal ituantara lain terbukti dalam pertarungan bingkai(frame) dan perang opini melalui metafora pada WTTSuara Pembaruan yang berideologi Kristen danRepublika yang berideologi Islam (lih. Subagyo,2012: 320-345; Ferrari, 2007: 604).

2 Klasifikasi ini mengikuti Sumadiria (2005: 116-120)yang membagi surat kabar (pers) berdasarkan

wilayah sirkulasinya, yaitu pers komunitas yangwilayah sirkulasinya sangat terbatas, pers lokalyang beredar di sebuah kota dan sekitarnya, persregional yang beredar di beberapa provinsi, persnasional yang berkedudukan di ibukota negara danperedarannya mencakup seluruh provinsi atausebagian besar provinsi yang ada, serta persinternasional yang hadir di sejumlah negara.

3 Hal ini sangat berbeda dengan bingkai SuaraPembaruan (sebagai koran Kristen) yang“antiterorisme” dibandingkan bingkai Republika(sebagai koran Islam) yang “anti-Barat” (lih. Fauzi,2007: 237-239; Subagyo, 2012: 78).

4 3P. Ari Subagyo – Metafora dalam Wacana Tajuk tentang Terorisme di ....

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional. 2008.Kamus Besar Bahasa Indonesia PusatBahasa. Edisi IV. Jakarta: DepartemenPendidikan Nasional.

Eriyanto. 2011. Analisis Wacana: PengantarAnalisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.Cetakan IX.

Fairclough, N. 2003. Analysing Discourse:Textual Analysis for Social Research.London dan New York: Routledge.

Fauzi, A.C. 2007. Kabar-kabar Kekerasan dariBali. Yogyakarta: LKIS.

Ferrari, F. 2007. “Metaphor at Work in theAnalysis of Political Discourse:Investigating a `Preventive War’Persuasion Strategy”. Dalam Discourse& Society, Volume 18, 5, September2007, hlm. 603-625. Diunduh pada 8Oktober 2011.

Keraf, G. 1984. Diksi dan Gaya Bahasa.Cetakan Ke-15. Jakarta: GramediaPustaka Utama.

Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics .London: Longman.

Levinson, S.C. 1983. Pragmatics. Cambridge:Cambridge University Press.

Subagyo, P.A. 2012. “Bingkai dalam WacanaTajuk tentang Terorisme: KajianPragmatik Kritis atas Editorial diHarian Suara Pembaruan danRepublika”. Disertasi di Fakultas IlmuBudaya, Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka TeknikAnalisis Bahasa: Pengantar PenelitianWahana Kebudayaan secara Linguistis.Yogyakarta: Duta Wacana UniversityPress.

Sumadiria, A.S.H. 2005. Menulis Artikel danTajuk Rencana: Panduan Praktis Penulisdan Jurnalis Profesional . Bandung:Simbiosa Rekatama Media.

van Dijk, T.A. 1996. “Discourse, Power andAccess”. Dalam C.C. Coulthard dan M.Coulthard (eds.). Texts and Practices:Readings in Critical Discourse Analysis.London: Routledge, hlm. 84-104.

Verschueren, J. 1999. Understanding Pragmatics.London: Arnold.

PETUNJUK BAGI PENULIS

Redaksi Jurnal Kebudayaan Sintesis menerima kiriman artikel dengan ketentuan sebagaiberikut.1. Arikel tidak mengandung unsur plagiat.2. Artikel belum pernah dipublikasikan oleh media lain.3. Artikel berupa hasil penelitian, gagasan konseptual, serta kajian dan aplikasinya.4. Artikel dapat berupa resensi buku. Syarat resensi adalah (a) buku yang diresensi relatif baru (tidak

lebih dari satu tahun sebelumnya), (b) panjang resensi 3-5 halaman, dan (c) fotokopi atau scancover wajib dilampirkan.

5. Artikel ditulis dalam bentuk esei sekitar (2.500-4.000 kata) atau 10-15 halaman kuarto (21 x 29,70cm), spasi ganda dengan sembir (margin) kiri dan atas 4 cm serta kanan dan bawah 3 cm, font timesnew roman 12 dengan program windows MS Word.

6. Naskah memuat (a) judul, (b) nama penulis tanpa gelar, yang diikuti identitas penulis yangdicantumkan dalam catatan kaki; identitas penulis meliputi institusi, alamat korespodensi sertaalamat email, (c) abstrak (50-70 kata) dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang ditulisdengan jarak satu spasi, (d) kata kunci dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (3-5 kata), (e)pembahasan yang disajikan dalam subbab-subab, (f) penutup, (g) daftar pustaka. Selain itu, penuliswajib melampirkan biodata.

7. Artikel hasil penelitian berisi judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, teori, metode penelitian,hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan, dan daftar pustaka.

8. Artikel gagasan konseptual berisi judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, pembahasan,kesimpulan, dan daftar pustaka.

9. Tabel dan gambar harus diberi nomor secara berurutan sesuai dengan pemunculannya. Setiapgambar dan tabel perlu diberi penjelasan singkat yang diletakkan di bawah untuk gambar. Gambarberupa foto (kalau ada), disertakan dalam bentuk mengkilap (gloss).

10. Daftar pustaka ditulis dengan tata cara berikut.Dixon, R.M.W. 1994. Ergativity. Cambridge: Cambridge University Press.Poedjosoedarmo, Soepomo. 1978. “Language Etiquette in Indonesiaan”. Dalam S. Udin (Ed.).Spectrum. Jakarta: PT Dian Rakyat. Hlm. 400-419.

11. Biodata ditulis secara naratif, maksimum 100 kata, memuat nama lengkap dan gelar pendidikan,tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, nama lembaga tempat bekerja, serta karya ilmiah yang pernahdimuat dalam tiga tahun terakhir.

12. Naskah dikirim dalam bentuk print out sebanyak 2 ekssemplar dan softfile dalam format “doc/docs” atau bisa dikirim melalui email paling lambat satu bulan sebelum bulan penerbitan kepada:

Redaksi Jurnal Ilmiah Kebudayaan SintesisPusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia

Jurusan Sastra IndonesiaUniversitas Sanata Dharma

Mrican, Tromol Pos 29, YogyakartaTelepon (0274) 513301, ex.1324, Faks. (0274) 562383

E-mail: [email protected].

13. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis. Penulis yangartikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak 3 (tiga)eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

DITERBITKAN OLEH

PUSAT KAJIAN BAHASA, SASTRA, DAN KEBUDAYAAN INDONESIAJURUSAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS SANATA DHARMAYOGYAKARTA

JURNAL ILMIAH KEBUDAYAAN