Upload
others
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
WANUA-WANUA KUNO BERDASARKAN
LONTARA SUKKUNA WAJO
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian
guna memperoleh gelar Sarjana Sastra
pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin
O l e h
Fajar Ariady Suwardi
F511 13 502
Departemen Sastra Daerah Bugis-Makassar
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
Makassar
2018
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini sebagai upaya untuk memenuhi
persyaratan, guna memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Departemen Sastra Daerah
Bugis-Makassar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Berbagai rintangan
yang penulis hadapi dalam proses penulisan skripsi ini, namun dengan ketekunan dan
doa akhirnya diselesaikan pada waktu yang direncanakan.
Penulis tidak luput dari kesalahan dan keterbatasan pengetahuan, sehingga
menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan, baik materi, teknis maupun
susunan kata-kata yang belum sempurna. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis
membuka diri menerima kritik dari berbagai pihak sebagai upaya penyempurnaan
skripsi ini.
Penyusunan skripsi ini, penulis telah mendapat dorongan, semangat dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini saya menyampaikan
pengahargaan yang setingi-tingginya kepada:
1) Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA selaku Rektor Universitas Hasanuddin
beserta para Pembantu Rektor.
2) Dekan, para Wakil Dekan dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin yang membantu dan melayani penulis selama menuntut ilmu.
iii
3) Dr. Muhlis Hadrawi, M.Hum sebagai Konsultan I dan Dr. Dafirah, M.Hum sebagai
Konsultan II, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis,
sehingga skripsi ini dapat dirampungkan dengan baik.
4) Prof. Nurhayati Rahman, M.S sebagai penguji I dan Dr. Andi Muhammad Akhmar,
M.Hum sebagai penguji II, yang telah memberikan saran dan kritik yang sifatnya
membangun kepada penulis.
5) Prof. Drs. Burhanuddin Arafah, M.Hum., Ph.D yang sangat berperan kepada
penulis, sehingga bisa menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin.
6) Dr. Andi Muhammad Akhmar, M.Hum, Dr. Muhlis Hadrawi, M.Hum dan Dra. Esti
Pertiwiningsih, M.Hum, yang banyak memberikan nasehat, saran, kritik dan sangat
berperan dalam penentuan objek materil dan judul skripsi dalam penelitian ini.
7) Ketua Departemen Sastra Daerah, sekretaris dan seluruh dosen yang banyak
membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin.
8) Ibunda tercinta, Hj. Rahmawati Ukkas yang telah membesarkan serta mencurahkan
segala perhatian dan kasih sayangnya kepada ananda. Kepada Ayahanda, Aiptu
Suwardi A.R, S.H yang pada masa hidupnya telah memberikan kasih sayang dan
pengorbanan yang tak putus-putusnya. Kepada saudara dan saudariku, Randi Ariady
Suwardi S.H dan Surahmi Asih Lestari yang telah memberi dorongan dan semangat
yang besar kepada penulis.
iv
9) Tante Darmawati Ukkas, kakek H. Ukkas Lasiame, sepupu-sepupu Fatwa, Nabil,
Aulia, Fajri dan seluruh keluarga besar yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,
yang memberikan dorongan dan motivasi selama kuliah di Universitas Hasanuddin.
10) Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin (IMSAD-FIB-UH).
11) Teman-teman WARANI 2013 (Adi, Afdal, Iful, Yoko, Agus, Rizal, Ismail, Dilla,
Rindi, Nisa, Tuti, Yunita, Jeanette, Irma, Ayu, Fatma, Kasma, Umroah dan Ria),
yang telah memberikan cerita indah yang begitu berharga dalam kehidupan penulis
selama kuliah di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Hasanuddin.
12) Seluruh pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan, nasehat dan semangat kepada penulis selama penyusunan
penelitian ini.
Semoga segala bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak tersebut,
mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Pada akhirnya, penulis berharap karya ini dapat
bermanfaat bagi para pembacanya dan pengembangan ilmu budaya lokal Sulawesi
Selatan.
Makassar, 4 Februari 2018
Fajar Ariady Suwardi
v
ABSTRAK
Fajar Ariady Suwardi. 2018. Skripsi ini berjudul “Wanua-Wanua Kuno
Berdasarkan Lontara Sukkuna Wajo (LSW)”. Departemen Sastra Daerah
Bugis-Makassar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Dibimbing
oleh Muhlis Hadrawi dan Dafirah.
Wanua dalam konteks Bugis adalah unit pemukiman sosial yang mengawali
dan mendirikan Kerajaan Wajo pada abad ke-14. Penelitian ini dilakukan
menggunakan teori filologi dengan objek naskah Bugis Wajo. Adapun metode
dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif, yang
menghasilkan analisis secara deskriptif. Langkah awal yang dilakukan dalam
penelitian ini dimulai dengan proses pengumpulan data melalui dukungan naskah
Lontara Sukkuna Wajo koleksi Andi Makkaraka.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa enam wanua yaitu Paung, Penrang,
Sarinyameng, Saebawi, Boli dan Cinnotabi adalah wanua yang sudah berdiri
sebelum lahirnya Kerajaan Wajo. Terbentuknya Wajo sebagai kerajaan federasi
(kesatuan) tidak terlepas dari hubungan yang dibangun antara wanua satu dengan
wanua yang lain hingga kemudian sepakat untuk membangun sebuah kerajaan
besar yaitu Wajo. Selain itu, peranan yang dilakukan oleh beberapa wanua
membuat Wajo berhasil menjadi salah satu kerajaan besar Bugis yang pernah ada
di Sulawesi Selatan. Kerajaan Wajo juga dalam mengeksistensikan kekuasaannya
melakukan suatu hubungan bilateral dengan kerajaan besar, seperti Kerajaan
Luwu dan Bone.
Kata Kunci: Wanua, Wajo, Kuno, Lontara
vi
ABSTRACT
Fajar Ariady Suwardi. 2018. This thesis is entitled “Wanua-Wanua Kuno
Based Lontara Sukkuna Wajo (LSW)”. Department of Bugis-Makassar
Literature Faculty of Cultural Sciences Hasanuddin University. Mentored by
Muhlis Hadrawi and Dafirah.
In the Bugis context, wanua is a social settlement unit that intiated and
estabilished the kingdom of Wajo in the 14th century.philology theory was
conducted in this research, and the script of Bugis Wajo is the object of research.
Method in this research is descriptive qualitative research method, which produce
descriptive analysis. First steps taken in this research began with the data
collection process through the support of Lontara Sukkuna Wajo’s collection of
Andi Makkaraka collection.
The results show that six wanua: Paung, Penrang, Sarinyameng, Saebawi,
Boli and Cinnotabi are the wanua that existed before the emergence of the Wajo
empire. The estabilished of Wajo as a federation kingdom (unity) related to the
relationship built between wanua and other wanua until then agreed to unite to
build a great empire. In addition, the role performed by some wanua makes Wajo
became one of the great empires that once existed in South Sulawesi. The
kingdom of Wajo also in his exegesis exerted a bilateral relationship with a great
empire, such as the Kingdom of Luwu and Bone.
Keywords: Wanua, Wajo, Kuno, Lontara
vii
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
ABSTRAK ................................................................................................................... v
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................................. 7
C. Batasan Masalah ................................................................................................. 8
D. Rumusan Masalah .............................................................................................. 8
E. Tujuan Penelitian ................................................................................................. 8
F. Manfaat Penelitian ............................................................................................... 9
1. Manfaat Keilmuwan........................................................................................ 9
2. Manfaat Praktis ............................................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 11
A. Landasan Teori .................................................................................................. 11
1. Konsep Toponimi.......................................................................................... 11
viii
a. Mitos Asal Usul ........................................................................................ 14
2. Penelitian Naskah Dalam Konsep Filologi ................................................... 16
3. Peranan Kajian Filologi ................................................................................ 20
B. Hasil Penelitian Relevan .................................................................................... 21
C. Kerangka Pikir ................................................................................................... 23
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................................... 25
A. Jenis Penelitian .................................................................................................. 25
B. Sumber Data ...................................................................................................... 28
C. Transkripsi dan Terjemahan .............................................................................. 28
D. Prosedur Kerja Filologi...................................................................................... 29
1. Pemerolehan Naskah Sumber ....................................................................... 29
2. Deskripsi Naskah .......................................................................................... 30
3. Sistem Transliterasi dan Terjemahan ............................................................ 32
a. Transliterasi .............................................................................................. 32
b. Terjemahan ............................................................................................... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................... 39
1. Toponimi Wanua-Wanua Kuno Yang Muncul Lebih Awal Daripada Kerajaan
Wajo ................................................................................................................ 39
a. Paung sebagai awal peradaban di Wajo ........................................................ 43
b. Pénrang sebagai kelanjutan dari Paung......................................................... 49
ix
c. Sarinyameng sebagai wilayah perluasan dari Pénrang ................................. 52
d. Saébawi sebagai akhir kepemimpinan Puangngé ri Lampulungeng ............. 55
e. Boli sebagai awal kepemimpinan Puangngé ri Timpengeng ........................ 59
f. Cinnotabi bertransformasi menjadi Kerajaan Wajo ...................................... 67
2. Hubungan Politik Antara Wanua Satu Dengan Wanua Lainnya .................... 74
a. Hubungan kekuasaan Boli dengan Pénrang .................................................. 74
b. Hubungan kekuasaan Cinnotabi dengan Pénrang ......................................... 90
3. Peranan Wanua-Wanua Kuno Terhadap Kerajaan Wajo ................................ 94
a. Majauleng sebagai Paddanreng Bettempola ................................................ 95
b. Sabbamparu sebagai Paddanreng Taloténreng ............................................ 97
c. Tekkalalla sebagai Paddanreng Tuwa .......................................................... 98
d. Pénrang sebagai Dewan Penasehat Kerajaan ................................................ 99
BAB V PENUTUP ................................................................................................... 102
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 102
B. Saran ................................................................................................................ 103
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 105
Glosari ....................................................................................................................... 108
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Naskah adalah salah satu bentuk peninggalan dan kebudayaan tertulis masa silam
yang mengandung ide, gagasan dan berbagai macam pengetahuan, termasuk ajaran
keagamaan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Selain itu, naskah merupakan
dokumen yang merekam kegiatan masa lampau dan manifestasi kehidupan
masyarakatnya, sehingga menjadi jembatan yang menghubungkan antara masa lalu
dengan masa sekarang. Naskah berkaitan erat dengan kecakapan baca tulis dan
kemajuan peradaban masyarakat pendukungnya pada masa lampau, isi teks dalam
naskah dapat memberikan kesaksian yang dapat berbicara langsung kepada kita
melalui bahasa yang tertuang di dalam tulisan tersebut (Ilyas, 2011:14). Naskah
memberikan sumbangan besar bagi ilmu pengetahuan dan studi mengenai kelompok
sosial-budaya yang melahirkan naskah tersebut.
Tulisan merupakan salah satu bukti peradaban dan perwujudan jati diri suku
bangsa tertentu saja yang memiliki aksara. Suku Bugis di Sulawesi Selatan membina
tradisi tulis yang dibuktikan dengan keberadaan lontara. Tipologi lontara dalam
kehidupan masyarakat Bugis beraneka ragam, salah satu di antaranya adalah
attoriolong atau historiografi
2
tradisional berupa kumpulan catatan peristiwa serta silsilah keturunan raja-raja,
keluarga bangsawan dan keluarga tertentu. Kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan pada
umumnya memiliki attoriolong, salah satunya adalah Kerajaan Wajo yang disebut
dengan Lontara Sukkuna Wajo (LSW).
Kerajaan Wajo merupakan sebuah negeri yang sangat unik, sebab menjadi salah
satu kerajaan yang tidak mengenal sistem politik yang bersifat otokratis, melainkan
demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah
kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat. Seorang raja
tidaklah diangkat secara turun temurun, melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat
oleh dewan adat yang disebut Arung Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40
orang) (Abidin, 1985:375). Selain itu, para matoa (kepala kampung) dalam memimpin
wanua (kampung) menerapkan sistem politik yang tidak merugikan rakyat. Hal ini
dibuktikan pada masa pemerintahan La Tenritippe’ dan La Tenribali (Arung Cinnottabi
V), yang pada masa itu La Tenritippe’ merampas wewenang dan hak Matoa Pabbicara
(hakim) dan mengkhianati hak-hak rakyat. Mengetahui hal tersebut, para matoa ikut
membantu rakyat dengan cara protes terhadap tindakan La Tenritippe’ dengan cara
meninggalkan negeri yang dipimpin oleh La Tenritippe’ (Abidin, 1999:123). Dengan
demikian, sistem politik perkauman lokal Wajo penting menjadi satu pengetahuan
dalam ranah pemerintahan masa kini.
Kerajaan Wajo disebut sebagai salah satu kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan,
muncul sebagai kerajaan federasi (kesatuan) pada akhir abad ke-14 atau sekitar tahun
1399 (Abidin, 1999:107). Sebelum Wajo muncul sebagai kerajaan federasi (kesatuan),
3
lebih dahulu tumbuh unit-unit permukiman masyarakat yang tergabung ke dalam
sebuah sistem sosial pada wilayah-wilayah tertentu yang disebut wanua. Unit-unit
permukiman wanua itu pada masa kini kurang lebih dapat disetarakan konteks
wilayahnya dengan kampung. Wanua sebagai permukiman penduduk memiliki
kedudukan yang sangat penting dalam pembentukan unit masyarakat (community),
kebudayaan, serta sistem politik lokal (Abidin, 1999:125).
Unit-unit permukiman masyarakat berciri tradisional Wajo seperti yang
diketahui adalah Majauleng, Wajo-Wajo’, Lapaddéppa’, Sekkanasu, Bélogalung,
Wéwattanna, Paung, Témpé, Singkang, Tampangeng, Limpua, Pénrang, Ujung,
Tarokéteng, Lapéré, Sarinyameng dan Saébawi (Abidin, 1985:548). Bahkan disinyalir
ada pula wanua lain yang juga disebut lebih awal muncul sebelum Wajo, misalnya
Sakkoli. Sakkoli disebutkan lahir didasari oleh legenda kerbau belang (tédong buleng)
dan Wé Tadampali, (putri Datu Luwu). Demikian juga terdapat legenda munculnya
nama wanua lain yaitu Taloténreng. Ceritanya berkaitan dengan sebuah tempat di Wajo
yang masyarakatnya senantiasa membina kerjasama menyadap tuak di pohon-pohon
enau. Mereka menyadap dengan menggunakan tangga terbuat dari bambu yang disebut
ténreng, sebagian pergi menangkap ikan dengan menggunakan tuba (semacam racun
ikan) dan sebagian lagi pergi memotong kayu untuk dijadikan alliri bola (tiang rumah)
sebagai bahan dasar untuk membuat rumah besar. Mereka itu kemudian terbagi atas
tiga kelompok, yaitu orang-orang Taloténreng, orang-orang Tuwa (tuba) dan orang-
orang Béttémpola. Tiap-tiap kelompok mengangkat seorang putera pasangan La Malu
To Anginraja dan Wé Tadampali sebagai raja atau arung (Abidin, 1999:111).
4
Permukiman-permukiman awal itu telah disebut dengan nama lokal wanua
(Lamallongeng, 2011:193). Kata wanua dalam bahasa Bugis memiliki varian kata
banuwa yang artinya sama dengan kata wanua, konteksnya adalah “pemukiman
manusia”. Konteks wanua dalam skala kecil berupa kampung yang biasanya dihuni
minimal 60 kepala, namun pada skala yang lebih besar wanua dapat berarti kampung
besar dan berpenduduk banyak. Sementara itu, pemukim atau orang-orang yang
bertempat tinggal di dalam wanua dinamakan pabbanuwa (Hadrawi, 2016:140).
Menurut Abidin (1999:125) wanua-wanua kuno seperti Cinnottabi, Boli,
Pénrang, Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla memiliki kedudukan dan fungsi yang
penting bagi terbentuknya Kerajaan Wajo. Wanua tersebutlah kemudian memiliki
peran sosial politik hingga melatarbelakangi terbentuknya Kerajaan Wajo sebagai
kerajaan yang menerapkan sistem federasi (kesatuan) dalam pemerintahannya. Tiap-
tiap wanua dipimpin oleh seorang kepala yang disebut matoa. Di samping itu, peran
matoa pada tiap tiap wanua tidak dapat dipisahkan dengan latar belakang berdirinya
Kerajaan Wajo, sebab memiliki peranan utama khususnya dalam hubungan
kekerabatan, kekeluargaan dan perkawinan yang dilakukan untuk menjalin hubungan
sosial antara wanua yang satu dengan wanua lainnya.
Wanua yang dimaksud dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW) merupakan unit
permukiman sosial yang mengawali berdirinya Kerajaan Wajo bersatu yang kemudian
dikenal sebagai salah satu kerajaan Bugis yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Para
matoa atau kepala kampung bersepakat untuk meneguhkan kembali dan melaksanakan
hukum adat terdahulu di Cinnottabi dan mengusulkan supaya ditetapkan ade’
5
assituruseng (adat dan hukum yang dibuat atas kehendak bersama) yang dapat
memakmurkan, membesarkan negeri dan tempat berteduh bagi rakyat (Abidin,
1985:399).
Berdasarkan Lontara Sukkuna Wajo (LSW), wanua-wanua kuno memiliki
peranan penting dalam pembentukan Kerajaan Wajo, hal itu terbukti karena wanua
kuno tersebut memiliki sistem sosial politik yang memberikan warna dalam Kerajaan
Wajo. Demikian juga hukum adat yang dikonsepkan oleh Batara Wajo (kepala
pemerintahan) bersama matoa (kepala kampung) yang sangat efektif terhadap
kehidupan rakyatnya pada masa itu. Itulah sebabnya Kerajaan Wajo terkenal pula
dengan hukum adatnya seperti yang dibuat oleh La Tenribali (Batara Wajo I). Menurut
Abidin (1985:405) bahwa aktivitas La Tenribali adalah membentuk ade’ assituruseng
(adat dan hukum adat yang lahir dari persetujuan bersama antara raja, para penguasa
adat dan rakyat), ade’ maraja (adat besar bagi raja-raja), ade’ abiasang (adat kebiasaan
bagi rakyat), tuppu’ (aturan yang mengatur tingkat-tingkat adat dan hubungan hukum
antara seorang ayah dan anaknya), wari’ (aturan untuk membedakan hal-hal yang patut
dibedakan, seperti kelas-kelas masyarakat) dan rapang (yurisprudensi atau
pengambilan keputusan).
Adanya informasi masa lampau tentang wanua-wanua kuno yang terdapat di
dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW), dianggap memiliki nilai-nilai yang dipandang
masih relevan dengan kehidupan sekarang. Dari sekian banyak nilai yang terkandung
di dalamnya, salah satu nilai yang dapat direlevansikan yaitu sistem sosial politik. Nilai
inilah yang kemudian diterapkan matoa (kepala kampung), sehingga wanua yang
6
dipimpin dapat berperan aktif dalam mendirikan Kerajaan Wajo hingga menjadi salah
satu kerajaan besar yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, hal ini
sangatlah penting untuk menjadi satu pengetahuan dengan cara mengungkap nilai
sosial politik yang terdapat di dalam tulisan masa lampau (lontara). Di samping itu,
sejarah terbentuknya Kerajaan Wajo juga ikut terungkap mulai dari peristiwa
munculnya Cinnottabi sebagai wanua, hingga dikenal sebagai kerajaan besar yang
berbentuk federasi (kesatuan). Hal tersebut semua dijelaskan di dalam Lontara
Sukkuna Wajo (LSW) (Abidin, 1985:347).
Fakta menunjukkan, bahwa selama ini belum ada penelitian yang secara khusus
mengungkap apa dan bagaimana keberadaan wanua-wanua kuno Wajo berdasarkan
sumber lontara. Oleh sebab itu, hal tersebut menarik perhatian penulis untuk
mengungkap wanua yang ada dan lebih awal muncul sebelum terbentuknya Kerajaan
Wajo, serta peranannya dalam membangun Kerajaan Wajo bersatu. Selain itu, wanua
kuno yang berperan dalam pembentukan Kerajaan Wajo, kurang dipahami oleh
masyarakat umum, salah satunya disebabkan kurangnya referensi yang tersedia,
bahkan sulit untuk mendapatkan yang secara khusus membahas tentang wanua-wanua
kuno Wajo. Meskipun demikian, keberadaan naskah-naskah lontara menjadi hal yang
sangat penting.
7
B. Identifikasi Masalah
Pada latar belakang masalah di atas, dijelaskan bahwa jauh sebelum Kerajaan
Wajo berdiri sebagai kerajaan berbentuk federasi (kesatuan), sudah terbentuk unit-unit
permukiman masyarakat berciri tradisional. Unit-unit permukiman itu pada saat ini
kurang lebih dapat disetarakan konteks wilayahnya dengan kampung. Berdasarkan
latar belakang di atas, maka ditemukan beberapa permasalahan yang dapat
diidentifikasikan sebagai berikut.
1. Wajo adalah salah satu kerajaan yang menerapkan sistem demokrasi dalam
pemerintahannya. Oleh sebab itu, nilai demokrasi yang terkandung dalam
Lontara Sukkuna Wajo (LSW) perlu diungkap secara benar dan tepat.
2. Kerajaan Wajo terkenal dengan hukum adat yang diterapkan oleh La Tenribali
(Batara Wajo I). Berdasarkan hal tersebut hukum adat yang terkandung dalam
Lontara Sukkuna Wajo (LSW) perlu diungkap dalam rangka satu pengetahuan.
3. Konsep wanua yang diterapkan pada masa lalu oleh para matoa (kepala
kampung) perlu diketahui, sebab menurut sejarah wanua-wanua yang ada
sebelum Wajo terbentuk memiliki kedudukan dan fungsi yang penting bagi
terbentuknya Kerajaan Wajo sebagai kerajaan federasi (kesatuan).
4. Nilai sosial politik yang dibangun oleh para matoa (kepala kampung) bersama
masyarakat wanua (kampung) perlu dikaji secara mendalam dalam rangka
pengetahuan kearifan lokal.
8
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, adapun masalah yang dipilih dalam
penelitian ini adalah konsep yang dimiliki wanua-wanua kuno Wajo sebagai suatu
sistem yang memiliki kedudukan dan fungsi penting yang membangun sebuah kerajaan
dalam konteks masa lalu, dan konteks masa kini dapatlah disetarakan dengan suatu
daerah ataupun negara. Konsep ini juga menjadi dasar atau pondasi yang berbentuk
aturan-aturan sebuah kerajaan atau negara. Masalah tersebut akan dirumuskan dan
merupakan inti permasalahan penelitian ini.
D. Rumusan Masalah
Setelah memberikan pembatasan masalah sebagaimana dijelaskan di atas, agar
lebih memudahkan dan memfokuskan pada satu pokok masalah penelitian, maka
masalah tersebut perlu dirumuskan agar mendapatkan hasil penelitian yang ingin
dicapai. Masalah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
1. Toponimi-toponimi apa saja yang termasuk sebagai wanua-wanua kuno yang
muncul lebih awal dan berperan dalam lahirnya Kerajaan Wajo?
2. Bagaimana hubungan politik antara wanua satu dengan wanua lainnya?
3. Bagaimana peranan wanua-wanua kuno terhadap Kerajaan Federasi Wajo?
E. Tujuan Peneltian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
9
1. Mengidentifikasi toponimi-toponimi dan mendeskripsikan yang termasuk sebagai
wanua-wanua kuno yang muncul lebih awal daripada Kerajaan Wajo.
2. Menjelaskan hubungan politik antara wanua yang satu dengan wanua lainnya.
3. Menjelaskan peranan masing-masing beberapa wanua kuno terhadap Kerajaan
Federasi Wajo.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pembaca, baik secara
keilmuwan maupun praktis. Adapun manfaatnya sebagai berikut.
1. Manfaat Keilmuwan
a. Penelitian ini mengangkat isu Kerajaan Wajo kuno yang dikaji pada sumber-sumber
naskah. Oleh karena itu, penelitian ini dapat memiliki manfaat sebagai bahan bacaan
bagi mahasiswa yang ingin melakukan pengkajian yang sama sebagai bahan acuan
atau bahan perbandingan.
b. Literatur berciri kajian filologi yang berkaitan dengan isu sejarah dan Kerajaan
Wajo pada masa kini, dapat memberikan wawasan kepada pembaca tentang
toponimi-toponimi yang termasuk sebagai wanua-wanua kuno Wajo serta situasi
politiknya yang terjadi pada masa lampau.
c. Penelitian ini dapat menyajikan informasi tentang kerajaan kuno Wajo secara benar,
dengan cara memanfaatkan naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) sebagai sumber
informasi atau data dalam studi kerajaan lokal serta kearifan lokal.
10
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat berkontribusi dalam pengembangan pengetahuan kearifan
lokal, khususnya mengenai konsep wanua secara tradisional serta menjadi rujukan
bagi pemimpin atau masyarakat dalam membangun sebuah daerah dengan melihat
konsep wanua yang ada.
b. Hasil penelitian ini dapat membangun kesadaran pada masyarakat akan pentingnya
mengkaji naskah- naskah kuno, sebab mengandung informasi masa lampau yang
dapat direlevansikan dengan kehidupan sekarang.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Konsep Toponimi
Tiap unsur di muka bumi yang disebut unsur geografi atau unsur rupabumi,
seperti gunung, bukit, sungai, tanjung, pulau, lembah, selat dan sebagainya diberi nama
oleh manusia sejak manusia ingin mengidentifikasi lingkungan fisiknya di muka bumi
untuk tujuan komunikasi sesama manusia atau untuk acuan dengan menunjuk suatu
objek geografis tertentu dalam orientasi dirinya terhadap lingkungan fisiknya.
Toponim dalam bahasa Inggris disebut “toponym” secara harfiah, artinya nama
tempat di muka bumi. (“topos” adalah “tempat” atau “permukaan” seperti “topografi”
adalah gambaran tentang permukaan atau tempat-tempat di bumi, dan “nym” dari
“onyma” adalah “nama”) dan dalam bahasa Inggris kadang-kadang disebut
“geographical names” (nama geografi) atau “place names”. Ada istilah “topologi”,
yaitu suatu cabang matematika yang berkaitan dengan sifat-sifat geometri suatu figure
yang tidak berubah jika ditransformsi dengan suatu cara tertentu (Webster’s New
World Dictionary, 1960). Dalam bahasa Indonesia kita pakai istilah “nama unsur
geografi” atau “nama geografis” atau “nama rupabumi”. Rupabumi adalah istilah
bahasa Indonesia untuk “topografi”. Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004
12
tentang Pemerintah Daerah di pasal 7 disebut “nama bagian rupabumi” (topografi) atau
nama “unsur rupabumi”. Begitu juga dalam Peraturan Presiden No.112 Tahun 2006
tentang Tim Nasional Pembukuan Nama Rupabumi, memakai istilah “nama rupabumi”
(Jacub, 2015: 4-5).
Menurut Raper (1996) Toponimi (inggr. “Toponymy”) mempunyai dua
pengertian:
a. Ilmu yang mempunyai objek studi tentang otptonim pada umumnya dan
tentang nama geografis khususnya, dan
b. Totalitas dari toponim adalah suatu region.
Orang mengenal nama unsur geografi dari peta, karena peta tanpa nama
geografisnya adalah suatu buta. Sebenarnya adanya nama unsur geografi adalah lebih
awal sebelum peta dibuat. Nama unsur geografi muncul pertama kali ketika manusia
mendiami suatu wilayah dan perlu member nama pada unsur-unsur geografi yang ada
disekitarnya, sebagaiman dijalaskan di halaman sebelumnya (Jacub, 2015: 5).
Muka bumi yang disebut jugu rupa bumi (hipsografi). Sehingga manusia
memberi nama pada unsur-unsur medan yang bervariasi tersebut seperti gunung, bukit,
lembah, pantai, kemudian mengaliar pula sungai-sungai, danau, laut, selat, tanjung,
serta pulau-pulau berupa daratan yang dikelilingi oleh air atau laut yang selalu berada
di atas air atau laut tinggi, artinya tidak tenggelam. Kemudian muncul pemukiman
berupa desa, kota, jalan dan bangunan dan akhirnya batas-batas administratif. Inilah
unsur-unsur peta topografi atau peta rupabumi dan posisi unsur-unsur tapi ditetapkan
dalam system koordinat yang berlaku secara nasional. Di samping itu ada unsur-unsur
13
rupabumi berlanjut atau menyambung tidak terputus oleh lautan, namun sebagian
berada di bawah muka laut jika dapat kita banyakan jika laut tidak ada di bumi ini.
Mengingat luasnya lautanyang menutupi bumi adalah 75% maka unsur yang terlihat
oleh manusia adalah hanya 25% saja (Jacub, 2015:5-6).
Justru, dalam wilayah daratan muka bumi yang 25% dari bumi keseluruhan
terdapat lebih banyak nama unsur georgrafi atau nama rupabumi karena tidak hanya
terkait dengan unsur geografis alami saja seperti gunung, sungai, lembah, pulau, selat,
bukit, dan sebagainya, tetapi juga nama unsur geografi buatan seperti kota, desa, dan
infrastruktur buatan manusia seperti jalan, bandungan, bandar udara, terminal, kawasan
konservasi, kawasan pemukiman, dan sebagainya. Yang termasuk 75% dari muka bumi
adalah unsur rupa bumi bawah laut atau tepatnya di dasar laut, sebagaimana juga di
atas muka bumi, di dasar laut ada gunung, lembah, cekungan (basin), palung, parit,
sesar atau pertahanan dalam istilah-istilah geologis (Jacub, 2015:6).
Sejarah nama unsur-unsur geografi telah ada sejak berkembangnya peradaban
manusia di lembah sungai Nil (peradaban mesir Kuno), di lembah sungai Eufrat dan
Tigiris (peradaban Mesopotamia atau Sumeria) dan peradaban di lembah Indus
(Harappa) lebih dari 2000 tahun sebelum Masehi ketika ditemukannya peta-peta di
masa silam di atas daun papyrus (di zaman peradaban Mesir kuno) atau peta tablet
tanah liat di lembah sungai Eufrat dan Tigiris (Moore, 1983) di masa berkembangnya
peradaban Mesopotamia di Irak. Peta-peta Cina kuno di abad ke-18 (Harvey 1980) juga
dilengkapi dengan nama-nama unsur geografi untuk suatu daerah permukiman seperti
nama sungai, gunung, bukit, pulau, desa, dan sebagainya. Dengan kata lain penamaan
14
unsur geografi adalah sama tuanya dengan peradaban manusia. Karena nama-nama
unsur geografi diberikan oleh manusia yang bermukim di suatu wilayah, maka nama-
nama unsur geografi dapat dipakai untuk menelusuri suku bangsa atau kelompok etnis
yang mendiami suatu wilayah di masa lalu (Jacub, 2015:7).
Banyak nama unsur geografi yang diberikan oleh manusia di masa lalu ketika
pertama kali mendiami suatu wilayah yang berdasarkan legenda atau cerita-cerita
rakyat. Sebagai contoh, sebuah gunung sebagai unsur geografi di Jawa Barat yang
bernama Gunung Tangkuban Parahu dan nama ini terkait dengan legenda Sangkuriang.
Legenda ini tidak khas legenda Jawa Barat saja kere terdapat juga di Jawa Timur,
tentang legenda bagaimana Gunung Batok terjadi di kawah Gunung Bromo, yang juga
sama dengan legenda Sangkuriang. Legenda ini juga tercatat di suku-suku bangsa
pelinesia di kawasan Pasifik Selatan. Dengan kata lain, dari legenda yang sama yang
terjadi di beberapa wilayah yang luas dapat dikaji asal usul pemukiman yang berasal
dari suku bangsa yang sama yang mendiami suatu wilayah di masa lalu. Begitu juga
kota Banyuwangi berasal dari suatu legenda di masa lalu (Jacub, 2015:7-8).
a. Mitos Asal Usul
Mitos menjelaskan bagaimana asal-usul alam, pokok kehidupan manusia dan
tujuan manusia, yang akhirnya dengan mitos manusia dapat tahu apa tujuannya dan
bagaimana seharusnya bertingkah laku. Terdapat empat penjelasan tentang terjadinya
asal usul dari mitos yaitu: euhemerisme (penafsiran historis), alegori, personifikasi dan
teori mitos-ritual. Mitos berupaya menceritakan kejadian sejarah di masa lalu. Menurut
15
Kuntowijoyo, (1999:8) yang membedakan mitos dan sejarah hanya pada dua titik
singgung, yaitu:
1) Mitos memiliki unsur waktu yang tidak jelas.
2) Mitos dianggap memuat kejadian yang tidak masuk akal, menurut sudut
pandang orang masa kini.
Mitos berfungsi untuk mengkodifikasikan, memberikan dukungan dan
memberikan landasan dari kepercayaan tradisional dan tingkah laku (Harsojo,
1998:228). Mitos kaya dengan peristiwa dan kejadian yang luar biasa, ganjil dan aneh.
Masyarakat Melayu zaman silam mempercayai bahwa setiap kejadian luar biasa, ganjil
atau aneh mempunyai tujuan-tujuan atau alamat-alamat yang tertentu. Hal ini berlaku
sebagai hasil daripada keakraban hubungan masyarakat Melayu dengan flora dan fauna
sekeliling mereka. Nilai mitos adalah cerita yang menggambarkan segala sesuatu yang
dipandang penting oleh seseorang atau suatu masyarakat. Nilai mitos mengarahkan
seseorang untuk berperilaku yang sesuai dengan budayanya. Nilai mitos biasanya
berlangsung lama dan sulit berubah. Nilai mitos juga dapat mempengaruhi sikap
seseorang yang kemudian sikap akan berpengaruh pada perilaku masyarakat (Rara
Sihat, 2011).
Menurut Bascom, (1965:4-5) mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap
benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh
para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia
yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada
16
umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya
maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga
mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan
mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya.
2. Penelitian Naskah Dalam Konsep Filologi
Naskah merupakan peninggalan yang mampu menginformasikan buah pikiran,
buah perasaan manusia dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah
ada. Karya-karya dengan kandungan informasi mengenai masa lampau itu tercipta dari
latar sosial budaya yang tidak ada lagi atau yang tidak sama dengan latar sosial budaya
masyarakat pembaca masa kini. Peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu
beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu pada saat ini dalam kondisi yang sudah
mengalami kerusakan atau berwujud sebagai hasil dari suatu proses penyalinan yang
telah berjalan dalam kurun waktu yang lama. Di samping itu, pada saat ini telah
mengalami kerusakan atau perubahan, baik karena faktor waktu maupun karena faktor
kesengajaan dari penyalinnya. Gejala demikian terbaca pada munculnya variasi bacaan
dalam karya tulisan masa lampau.
Kondisi karya tulis masa lampau dengan karakteristik seperti yang dijelaskan di
atas menuntut pendekatan yang memadai. Untuk membaca karya-karya tersebut
diperlukan ilmu yang mampu menyiangi kesulitan-kesulitan akibatnya kondisi sebagai
produk masa lampau. Dalam hal inilah, ilmu filologi diperlukan. Jadi, filologi
17
merupakan satu disiplin yang diperlukan untuk satu upaya yang dilakukan terhadap
peninggalan tulisan masa lampau dalam rangka kerja menggali nilai-nilai masa lampau.
Informasi atau kandungan yang tersimpan dalam karya-karya tulisan masa
lampau tersebut pada hakikatnya merupakan suatu budaya, produk dari kegiatan
kemanusiaan. Filologi, dengan demikian merupakan satu disiplin yang berhubungan
dengan studi terhadap hasil budaya manusia pada masa lampau. Pengertian hasil
budaya disini dipakai untuk menyebut antara lain buah pikiran, perasaan, kepercayaan,
adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Jadi, filologi
merupakan disiplin yang tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu
humaniora. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lahirnya filologi
dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor sebagai berikut.
a. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah karya tulisan.
b. Anggapan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa
lampau yang dipandang masih relevan dengan kehidupan masa sekarang.
c. Kondisi fisik dan subtansi materi informasi akibat rentang waktu yang
panjang.
d. Faktor sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan
masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar sosial budaya
pembacanya masa kini.
e. Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.
Menurut Haryati Soebadio, (dalam Djamaris, 2002:7) memang pekerjaan utama
dalam penelitian filologi itu adalah mendapatkan kembali naskah yang bersih dari
18
kesalahan, yang berarti memberikan pengertian yang sebaik-baiknya dan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Dengan melakukan hal tersebut kita dapat mengetahui naskah
yang paling dekat pada aslinya karena naskah itu sebelumnya mengalami penyalinan
untuk kesekian kalinya serta cocok pula dengan kebudayaan yang melahirkannya,
sehingga perlu dibersihkan dari tambahan yang diterakan dalam zaman kemudian yang
dilakukan waktu penyalinannya. Hal ini penting supaya isi naskah tidak
diinterpretasikan secara salah.
Dengan demikian, suatu naskah harus lebih dahulu diteliti secara cermat,
diperbandingkan dan dibetulkan. Setelah itu, barulah naskah itu dapat dipergunakan
untuk penelitian lain, seperti sejarah, undang-undang, agama, atau sosiologi. Penelitian
filologi ini perlu dilakukan untuk mengetahui, apakah isi naskah itu tidak salah atau
disadur orang lain; apakah isinya tidak berbeda antara satu naskah dan naskah lain.
Kalau terdapat perbedaan, apakah perbedaan itu disebabkan salah tulis, salah baca,
kelupaan, terlampau menulisnya, sehingga akan menimbulkan salah tafsir. Suatu
naskah baru boleh dibahas isinya, kalau naskah yang bersangkutan sudah diteliti
sedalam-dalamnya secara filologi. Sebelum studi filologi dilakukan, isi naskah itu
belum dapat dipastikan kebenarannya. Boleh dikatakan, teks yang dugunakan itu baru
bersifat sementara, sebab tidak bisa ditutup kemungkinan, bahwa teks yang digunakan
disalahartikan oleh ahli sejarah, ahli sosiologi, ahli hukum, dan sebagainya.
Secara khusus tugas pokok penelitian filologi disebut krtik teks. Kritik teks
adalah perbandingan, pertimbangan, dan penentuan teks yang asli atau teks yang
auotoritatif, serta pembetulan perbaikan, pembersihan teks dari kesalahan. Sebagai
19
pertanggungjawaban perbaikan teks itu, semua perbedaan teks itu dicatat dalam sebuah
catatan yang biasa disebut apparat kritik (apparatus criticus).
Penyuntingan naskah dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode standar
dan metode diplomatik. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode standar (biasa). Metode tersebut dipilih karena objek dalam penelitian ini
dianggap sebagai cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut
pandang agama atau sejarah, sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau
istimewa. Berbeda dengan metode diplomatik yaitu metode yang digunakan apabila isi
cerita dalam naskah itu dianggap suci atau dianggap penting dari segi sejarah,
kepercayaan atau bahasa sehingga diperlukan perlakuan khusus atau istimewa.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar antara lain, yaitu:
a. mentransliterasikan teks;
b. membetulkan kesalahan teks (emendation atau conjectura);
c. membuat catatan perbaikan atau perubahan;
d. memberi komentar, tafsiran (informasi diluar teks);
e. membagi teks dalam beberapa bagian;
f. menyusun daftar kata sukar (glosari)
Tujuan penggunaan metode standar ini adalah untuk memudahkan pembaca atau
peneliti membaca dan memahami teks.
Tujuan utama penelitian filologi, khususnya kritik teks itu adalah menentukan
teks yang asli (autografi), teks yang mendekati teks asli (arkhetip) atau teks yang
berwibawa (autoritatif). Tujuan penelitian filologi yang kedua adalah
20
mentransliterasikan teks dengan tugas utama menjaga keaslian atau ciri khusus
penulisan kata dan menerjemahkan teks yang ditulis dalam bahasa daerah ke bahasa
Indonesia. Tujuan penelitian filologi yang ketiga adalah menyunting teks dengan
sebaik-baiknya dengan memperhatikan pedoman ejaan yang berlaku, penggunaan
huruf kapital, tanda-tanda baca, penyusunan alinea, dan bagian-bagian cerita. Tujuan
penelitian filologi keempat adalah mendeskripsikan kedudukan dan fungsi naskah dan
teks yang diteliti supaya dapat diketahui tempat karya sastra yang diteliti itu dalam
kelompok atau jenis sastra yang mana dan apa manfaat dan gunanya karya sastra itu.
3. Peranan Kajian Filologi
Selain tujuan yang telah dijelaskan di atas, filologi juga memiliki peranan kerja
dalam pengembangan kebudayaan. Kebudayaan yang berasal dari beberapa abad yang
lalu dapat dikenal kembali dalam bentuk bermacam-macam, antara lain naskah-naskah,
tulisan yang terdapat pada batu, candi-candi atau peninggalan purbakala yang lain,
serta ada juga yang berbentuk sastra lisan. Peninggalan suatu kebudayaan yang berupa
naskah termasuk dokumen bangsa yang paling menarik bagi masyarakat
pendukungnya karena memiliki kelebihan yaitu dapat memberi informasi yang luas,
dibanding peninggalan yang berbentuk puing bangunan besar seperti candi, istana raja,
dan permandian suci. Peninggalan yang berbentuk puing bangunan besar itu memberi
informasi singkat dan harus ditafsirkan.
Manusia sebagai makhluk yang berkebudayaan memiliki aktivitas-aktivitas
tertentu yang hasilnya dapat dirasakan oleh generasi selanjutnya. Manusia dapat
berpedoman kepada nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi sebelumnya atau dapat
21
juga mengubahnya. Berkat warisan kebudayaan, manusia dapat mengatasi
permasalahan-permasalahan hidupnya. Pewarisan kebudayaan itu terjadi lewat bahasa.
Oleh karena ruang lingkup kebudayaan itu luas sekali, dalam hal ini bahasa tidak hanya
meliputi bahasa dalam arti yang sempit, melainkan meliputi segala macam simbol dan
lambang yang dapat mencatat kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi
yang lain. Pada umumnya, hasil budaya manusia makin hari makin sempurna. Dalam
bidang kesenian, misalnya manusia terus menerus mencari bentuk-bentuk ekspresi
baru. Jadi, pada dasarnya kebudayaan itu merupakan suatu proses belajar besar yang
menghasilkan bentuk-bentuk baru dengan menimba pengetahuan dan kepandaian dari
kebudayaan sebelumnya. Meskipun demikian, kebudayaan sebagai suatu proses belajar
tidak menjamin kemajuan dan perbaikan sejati. Dengan berguru kepada kesalahan dan
kekeliruan, manusia mungkin akan menjadi lebih bijaksana. Kekeliruan dan kesalahan
ada manfaatnya, walaupun tidak selalu demikian.
B. Hasil Penelitian Relevan
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari berbagai sumber, adapun hasil
penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Husnul Fahimah Ilyas (2011) dalam tulisannya yang berjudul “Lontara Sukkuna
Wajo”, membahas telaah ulang awal Islamisasi di Wajo dengan menggunakan metode
filologi dan pendekatan sejarah. Manuskrip sebagai sumber utama dalam penelitian ini
mencoba menguak dan merekonstruksi eksistensi Islam di Wajo, hal ini merupakan
sebuah upaya untuk memperkaya referensi para akademisi serta praktisi dengan cara
mengelaborasi berbagai sumber lokal (manuskrip) dan berbagai penelitian yang terkait.
22
Kaharuddin (1994) dalam tulisannya yang berjudul “Permukiman Kuno
Allangkanangngē ri Latanētē Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo”. Suatu Analisis
Arkeologi terhadap kompleks permukiman kuno yang terletak di tiga desa dalam
wilayah Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo.
Muhlis Hadrawi dalam tulisannya berjudul “Jejak Awal Wanua-Wanua Soppeng
dan Pertumbuhannya: Kajian Berdasarkan Manuskrip” dalam buku Lembah Walēnnaē
Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng (2016). Penelitian ini
membahas kedudukan dan peranan wanua-wanua kuno Soppeng terhadap terwujudnya
kedatuan Soppeng. Kajiannya berdasarkan manuskrip yang memanfaatkan naskah
Pau-Paunna Meompaloē (disingkat PPM), naskah La Padoma (disingkat LPD) dan
naskah Attoriolong Soppeng (disingkat ATS).
Selanjutnya, Makmur dan Muhlis Hadrawi dalam tulisannya berjudul “Otoritas
Wanua: Kedudukan Sosial-Politik Wanua-Wanua Hingga Terbentuknya Kerajaan
Soppeng” dalam buku Lembah Walennae Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi
Peradaban Soppeng (2016), Penelitian ini membahas peranan wanua-wanua Soppeng
yang memiliki kedudukan sosial-politik bagi terbentuknya Kerajaan Soppeng.
Secara khusus kajian wanua dari segi arkeologi dilakukan oleh Akin Duli (2010)
jurnal walennaē volume 12, nomor 2 dengan judul “Peranan Tosora Sebagai Pusat
Pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI-XIX” mengungkap peranan Tosora sebagai
pusat pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI-XIX yang dibuktikan dengan beberapa
peninggalan diantaranya Masjid tua Tosora, peninggalan bangunan (Gedung Amunisi),
benteng pertahanan, serta kompleks makam raja-raja.
23
Kajian wanua dari sudut pandang arkeologi juga dilakukan oleh Rustan dan Adi
Mulyadi (2002) tulisannya pada jurnal Walennaē volume 5, nomor 2 dengan judul
“Tinggalan Menhir di Bekas Kerajaan Wajo dan Pendahulunya” mengungkap
peninggalan Kerajaan Wajo berupa menhir yang banyak ditemukan pada situs
Cinnottabi, situs Wajo-Wajo, situs Kobbaē, dan situs Tosora.
Kajian wanua secara arkeologi dilakukan pula oleh David Bulbeck dan Budianto
Hakim (2005) dalam jurnal walennaē volume 11, nomor 2 dengan judul “The
Earthenware From Allangkanangngē ri Latanete Excavated in 1999” mengungkap situs
Allangkanangngē di Latanete, sebagai pusat Kerajaan Wajo pada abad ke-13 Masehi
sampai dengan abad ke-17 Masehi yang dibuktikan dengan penemuan fragmen gerabah
dan keramik yang cukup padat.
Sementara itu dari sudut pandang sejarah, Fitra (2011) dalam tulisannya yang
berjudul “Sejarah Pemukiman di daerah Daya, Kecamatan Biringkanaya, Makassar”.
Penelitian ini terfokus pada pemukiman yang ada di Makassar khususnya Daya di
Kecamatan Biringkanaya. Kajian Fitra ini lebih bersifat kontemporer melihat
pemukiman dalam wilayah Kota Makassar yaitu pada masyarakat Daya yang secara
terus menerus mengalami peningkatan dari kehidupan bertani menjadi kehidupan yang
heterogen (kompleks).
C. Kerangka Pikir
Yang menjadi objek kajian utama dalam penelitian ini adalah naskah Lontara
Sukkuna Wajo (LSW). Dalam naskah tersebut, masalah yang akan diteliti adalah
24
wanua-wanua kuno Wajo yang terbentuk sebelum berdirinya Kerajaan Wajo.
Berdasarkan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis memaparkan
toponimi-toponimi yang termasuk sebagai wanua-wanua kuno Wajo yang muncul
lebih awal daripada Kerajaan Wajo, hubungan politik antara wanua satu dengan wanua
lainnya, serta peranan masing-masing wanua kuno terhadap Kerajaan Wajo. Kerangka
pemikiran tersebut dapat dilihat pada skema berikut ini.
Toponimi-toponimi
(wanua-wanua kuno
yang muncul lebih awal
daripada Kerajaan Wajo)
Hubungan politik
antara wanua satu
dengan wanua lainnya
Peranan wanua-wanua
kuno terhadap Kerajaan
Federasi Wajo
Wanua-Wanua Kuno Berdasarkan Lontara
Sukkuna Wajo (LSW)
Temuan:
Enam toponimi kuno: Paung, Pénrang, Sarinyameng, Saébawi, Boli dan Cinnotabi.
Di antara enam wanua tersebut, Boli, Pénrang dan Cinnotabi merupakan wanua
utama.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Menurut Nazir (1988:5) metode penelitian adalah urutan kerja yang harus
dilakukan dalam melaksanakan penelitian, termasuk alat-alat apa yang dipergunakan
untuk mengukur, maupun mengumpulkan data serta bagaimana melakukan penelitian
di lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif, yaitu metode kualitatif yang akan menghasilkan data deskriptif. Metode
penelitian ini merupakan data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka,
melainkan data tersebut berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, dokumen
pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari
penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan dan memahami suatu situasi
sosial, peristiwa, peran, interaksi serta realita empirik di balik fenomena secara
mendalam, rinci dan tuntas.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kejadian atau
fakta, keadaan, fenomena, variabel, dan keadaan yang terjadi saat penelitian
berlangsung dengan menyuguhkan apa yang sebenarnya terjadi. Penelitian ini
menafsirkan dan menguraikan data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang
26
terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam suatu masyarakat, pertentangan
antara dua keadaan atau lebih, hubungan antar variabel yang timbul, perbedaan antar
fakta yang ada serta pengaruhnya terhadap suatu kondisi dan sebagainya.
Menurut Nazir (1988:63) penelitian kualitatif adalah metode dalam meneliti
suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada
masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran,
atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antarfenomena yang diselidiki. Dengan metode kualitatif deskriptif, peneliti
dapat menggambarkan bagaimana wanua-wanua kuno yang dijelaskan dalam Lontara
Sukkuna Wajo (LSW).
Selain itu, penelitian kualitatif juga berlandaskan pada pengamatan manusia
dalam lingkungan hidupnya dan berhubungan dengan masyarakat tertentu melalui
bahasa dan peristilahannya. Penelitian kualitatif pada hakikatnya adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
manusia. Dalam penelitian ini yang dilakukan peneliti adalah penelitian yang berada
pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan terhadap hasil penelitian yang diinginkan
dalam hal ini wanua-wanua kuno Wajo berdasarkan Lontara Sukkuna Wajo (LSW).
Adapun masalah yang dapat diteliti dan diselidiki oleh penelitian deskriptif
kualitatif ini mengacu pada studi kuantitatif, studi komparatif (perbandingan), serta
dapat juga menjadi sebuah studi korelasional (hubungan) antara satu unsur dengan
unsur lainnya. Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis data,
27
interpretasi data, dan pada akhirnya dirumuskan suatu kesimpulan yang mengacu pada
analisis data tersebut.
Metode kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Menurut
Sugiyono (2007:9) makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti merupakan
suatu nilai dibalik data yang tampak. Dengan kata lain, penelitian ini menuntut peneliti
selaku instrumen untuk melihat point of view dari informannya.
Dalam memposisikan diri sebagai instrumen penelitian, peneliti mengumpulkan
data dengan teknik utama yaitu wawancara mendalam (indepth interview). Data akan
dikumpulkan dalam berbagai cara intisari dokumen, observasi, dan notulensi rekaman
wawancara. Data-data tersebut biasanya terlebih dulu diproses sebelum siap digunakan
(melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan kalimat, dan penulisan).
Selain itu, metode kualitatif ini dalam menggunakan analisis sebagai sebuah
teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi dengan mengidentifikasi secara
sistematik dan obyektif karakteristik khusus dalam sebuah teks. Analisis isi maksudnya
untuk meneliti obyek tidak hidup, seperti dokumen-dokumen, catatan-catatan, buku-
buku, dan sebagainya. Sifatnya yang non reaktif, akan menghindarkan dari hal-hal
yang bersifat subyektif atau data yang rekayasa.
Inti dari metode penelitian ini adalah upaya untuk membuat gambaran tentang
kondisi atau kejadian masa lalu yang dapat direlevansikan dalam kehidupan saat ini.
Salah satunya adalah mengungkap wanua-wanua kuno berdasarkan Lontara Sukkuna
Wajo (LSW) dengan tujuan menginformasikan kepada masyarakat sebagai bagian dari
pemertahanan kearifan lokal Sulawesi Selatan. Dengan demikian metode penelitian ini
28
menganalisis obyek penelitian yaitu narasi dokumen dengan apa adanya, sebagaimana
yang termuat dalam dokumen ilmiah sehingga data yang diperoleh dapat terjamin.
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah transkripsi dan terjemahan naskah
Lontara Sukkuna Wajo (LSW), yang telah dibukukan Prof. Andi Zainal Abidin dengan
judul “Wajo Pada Abad XV-XVI”. Adapun naskah lontara tersebut milik Andi
Makkaraka (Ranreng Bettempola), yang menulis berdasarkan karya Ranreng
Bettempola yang mendahuluinya dan berbagai lontara. LSW karya Andi Makkaraka
ini ditetapkan sebagai buku sejarah resmi oleh pemerintah Kabupaten Wajo, oleh
karena lebih lengkap isinya daripada lontara-lontara Wajo lain. Hal ini yang kemudian
menjadi alasan utama penulis, sehingga memilih LSW milik Andi Makkaraka sebagai
sumber data dalam penelitian ini.
C. Transkripsi dan Terjemahan
Transkripsi artinya pemindahan huruf disertai dengan interpretasi dengan kata
lain pengalihan tuturan (yang berwujud bunyi) ke dalam bentuk tulisan; penulisan kata,
kalimat, atau teks dengan menggunakan lambang-lambang bunyi. Sedangkan
terjemahan adalah satu proses dalam kajian filologi yang berupa penggantian bahasa
asli teks ke dalam bahasa lain atau biasa disebut alih bahasa dengan maksud
memudahkan pembaca dalam memahami teks. Terjemahan terbagi atas tiga macam
sebagai berikut.
29
1. Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya,
berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan.
2. Terjemahan isi atau makna yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber
diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan.
3. Terjemahan bebas adalah keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan bahasa
sasaran secara bebas tanpa meninggalkan pesan yang diungkapkan dalam teks.
D. Prosedur Kerja Filologi
1. Pemerolehan Naskah Sumber
Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian adalah pengumpulan data
berupa inventarisasi naskah. Dari hasil inventarisasi naskah, diperoleh naskah Lontara
Sukkuna Wajo (LSW) yang terdapat pada koleksi lembaga dan pribadi Andi Ahmad
Saransi (Kabid Pembinaan dan Pengembangan Kearsipan pada Kantor Perpustakaan
dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan). Kemudian penulis juga memperoleh
transkripsi dan terjemahan naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) dalam disertasi Prof.
Zainal Abidin, yang telah dibukukan dengan judul “Wajo Pada Abad XV-XVI”.
Di samping katalogus naskah, sumber data lain adalah melakukan studi pustaka
dengan melakukan pembacaan terhadap berbagai macam referensi yang relevan
dengan penelitian ini, seperti sejumlah buku-buku dan jurnal, melakukan wawancara
secara langsung terhadap informan yang dianggap mengetahui isu yang akan dibahas
dalam penelitian ini dan sumber lainnya yang menunjang penyusunan penelitian ini.
30
Selanjutnya adalah melakukan pengkajian dengan cara menghubungkan sumber-
sumber sejarah dan arkeologi yang telah ada sebagai hasil penelitian terdahulu
diantaranya buku, jurnal, monograf dan lain-lain. Adapun hasil penelitian terdahulu
telah dilakukan oleh Zainal Abidin (1985) yang membahas tentang sejarah Wajo pada
abad XV-XVI termasuk asal usul berdirinya kerajaan Wajo. Selanjutnya Muhlis
Hadrawi (2016) yang membahas tentang kedudukan dan peranan wanua-wanua kuno
Soppeng terhadap terwujudnya Kedatuan Soppeng berdasarkan manuskrip. Secara
khusus dari segi arkeologi Akin Duli (2010) yang mengungkap peranan Tosora sebagai
pusat pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI-XIX yang dibuktikan dengan beberapa
peninggalan diantaranya Masjid tua Tosora, peninggalan bangunan (Gedung Amunisi),
benteng pertahanan, serta kompleks makam raja-raja. Kajian secara arkeologi juga
dilakukan Rustan dan Adi Mulyadi (2002) yang mengungkap peninggalan Kerajaan
Wajo berupa menhir yang banyak ditemukan pada situs Cinnottabi, situs Wajo-Wajo,
situs Kobbaé dan situs Tosora. Kajian secara arkeologi dilakukan pula David Bulbeck
dan Budianto Hakim (2005) mengungkap situs Allangkanangngé di Latanete sebagai
pusat Kerajaan Wajo pada abad ke-13 sampai abad ke-17 Masehi yang dibuktikan
dengan penemuan fragmen gerabah dan keramik yang cukup padat.
2. Deskripsi Naskah
Naskah yang dimaksud disini adalah semua bahan tulisan tangan peninggalan
nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan. Dalam menghasilkan
sebuah edisi teks yang lengkap, penulis menggunakan dua sumber data dalam
penelitian ini, yaitu naskah Lontara Sukkuna Wajo koleksi Andi Makkaraka dan
31
transkripsi dan terjemahan Lontara Sukkuna Wajo dalam disertasi Prof. Andi Zainal
Abidin yang telah dibukukan. Lontara Sukkuna Wajo (LSW) merupakan lontara
attoriolong atau historiografi yang menceritakan sejarah panjang Kerajaan Wajo, mulai
awal adanya kehidupan manusia di Wajo, yang bercikal dari Lampulungeng hingga
Kerajaan Wajo menjadi salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Sulawesi Selatan.
Sedangkan disertasi Prof. Andi Zainal Abidin yang telah dibukukan dengan judul
“Wajo Pada Abad XV-XVI” merupakan buku yang menceritakan peristiwa sejarah
terpendam Sulawesi Selatan dari lontara, salah satu di dalamnya terdapat transkripsi
dan terjemahan LSW. Teks LSW tebalnya berjumlah 485 halaman, tiap halaman
berukuran panjang 35 cm, lebar 24 cm dan terdiri dari 30 baris tulisan kalam.
Sedangkan transkripsi dan terjemahan LSW tebalnya berjumlah 225 halaman, tiap
halaman berukuran panjang 20,8 cm dan lebar 15,2 cm.
Ranreng Bettempola La Sangaji Puanna La Sengngeng adalah orang yang
pertama kali menulis LSW yang diperintahkan Arung Matoa La Mappajung Puanna
Salowong (1764-1767), untuk mengumpulkan lontara sejarah yang ada di Wajo guna
dibandingkan satu sama lain, sehingga lahirlah yang disebut Lontara Sukkuna Wajo
(LSW). Setelah La Sangaji meninggal dunia, lontara ini ditambah oleh beberapa orang
Ranreng Bettempola, yaitu berturut turut La Sengngeng, La Tompi, La Tune, La Gau,
La Jamero dan terakhir Andi Makkaraka. Menurut keterangan Andi Makkaraka, bahwa
beliau menulis LSW berdasarkan karya para Ranreng Bettempola yang mendahuluinya
dan berbagai lontara yang berasal dari berbagai daerah, yang menurut beliau
32
dinamakan juga Lontara Sukkuna Wajo (LSW) oleh karena lebih lengkap daripada
lontara-lontara lain.
3. Sistem Transliterasi dan Terjemahan
a. Transliterasi
Sistem Aksara lontara Bugis bersifat sillabik, maksudnya setiap huruf mewakili
satu kata yang berunsur vokal. Sebagai contoh: k (ka), l (la), s (sa), g (ga),
a (a). tulisan sebuah kata tidak langsung melambangkan bunyi secara lengkap, tetapi
pula dapat menghasilkan bunyi yang banyak dengan makna yang berbeda-beda
(homonim). Sebagai contoh, tulisan kEsi (ke-si) dapat dibaca kessing (cantik, bagus,
indah), kessi’ (pasir), kkesi (datang lagi) dan bunti lain yang tidak mempunyai arti
seperti kesi, kesing, kesi’ dan kessi; tulisan bol (bo-la) dapat dibaca bola (rumah),
bolla’ (tersengat panas), bolang (nama sebuah kampung di Wajo), dan bunyi lain tidak
memiliki arti seperti bolla, bola’, dan bollang. Mempertimbangkan ciri aksara Bugis
yang rumit tersebut maka sepatutnya edisi teks dilakukan setelah membuat transliterasi
teksnya ke aksara Latin terlebih dahulu (Hadrawi, 2009:47).
Tingginya kesulitan yang potensial dihadapi pembaca saat berhadapan dengan
teks Bugis disebabkan karena tidak terdapat tanda (unmarked) untuk lambang bunyi
geminat, nazal, dan hamzah (glottal stop). Jadi, untuk mendapatkan hasil pembacaan
atau bunyi yang tepat pada sebuah kata yang beraksara lontara sangat ditentukan oleh
konteks kalimat dan penguasaan bahasa Bugis yang cukup bagi pembaca. Adapun
bentuk aksara lontara (indo’ sure’) serta tanda vokal (ana’ sure’) adalah sebagai
berikut.
33
Aksara Lontara (Indo’ Sure’)
Aksara k g G K p b m P t d n R
Bunyi ka ga nga ngka pa ba ma mpa ta da na nra
Aksara c j N C y r l w s a h
Bunyi ca ja nya nca ya ra la wa sa A ha
Tanda Vokal (Ana Sure’)
Tanda vokal
(.)
posisi
bawah
aksara
(.)
posisi
atas
aksara
(e)
posisi
depan
aksara
(o)
posisi
depan
aksara
( E)
posisi
depan
aksara
Bunyi i u é (taling) o e (pepet)
Contoh b (ba) bi (bi) bu (bu) eb (bé) bo (bo) bE (be)
Sistem penulisan aksara pada teks-teks Bugis sering menghasilkan kesulitan
pembacaan. Demikian pula dalam teks-teks LSW yang dijumpai, misalnya ada
beberapa aksara yang mengalami perubahan bentuk dari bentuk dasar. Selain itu pula
terdapat teks yang ditulis tanpa menggunakan spasi atau pembatas antar-kata dan
kalimat. Ada pula kesalahan berupa penulisan kata, kerusakan teks, dan lain-lain.
Kerumitan-kerumitan pembacaan teks naskah LSW dapat dipecahkan pada
pengedisian teks yang dilakukan (Hadrawi, 2009:48)
Pengalihan pembacaan teks LSW ke aksara Latin akan memerhatikan beberapa
aspek seperti pemakaian lambang bunyi, sistem penulisan kata, dan pengaturan tanda
34
baca. Untuk kepentingan pengalihan sistem penulisan bahasa Bugis ke aksara Latin,
maka digunakan EYD sebagai pola umum. Akan tetapi, terdapat lambang bunyi yang
perlu dinyatakan secara khusus sebab faktor identitas bunyi bahasa Bugis memiliki
perbedaan dengan sistem bunyi bahasa Latin. Meski demikian, dapat dikatakan bahwa
bunyi huruf dalam bahasa Bugis hampir tidak menunjukkan perbedaan dengan bunyi
dalam bahasa Indonesia (Enre, 1999:71).
Edisi teks disajikan dalam bentuk transliterasi, yaitu dalam aksara Latin. Sistem
transliterasi ditetapkan berdasarkan pola lambang bunyi yang meliputi bunyi hamzah
(glottal stop), geminat, nazal, dan pembedaan e taling atau pepet.
Bunyi hamzah dalam bahasa Bugis dilambangkan dengan tanda atau huruf ( q ).
Tanda ini dalam sistem transliterasi Bugis juga dipakai oleh Fachruddin Ambo Enre
dalam disertasinya edisi I Lagaligo episode Ritumpanna Wélénrenngé: Sebuah Episode
Sastra Bugis Klasik Galigo [1999], demikian pula Mattulada dan Mills. Selain tanda (
q ) untuk identifikasi bunyi hamzah, dikenal pula tanda lain, yaitu apostrop ( ‘ ) dipakai
oleh Matthes [1874 dan 1875], tanda hamzah ( ‘ ) oleh Noorduyn (1955:4), dan huruf
( k ) oleh Ide Said (1977). Mengenai tanda-tanda tersebut masing-masing memiliki
alasan pembenaran oleh pemakainya tanpa menampik kebenaran pihak lainnya
(Hadrawi, 2009:49).
Bunyi hamzah pada bahasa Bugis umumnya berada di akhir kata dasar, contoh:
manu’, puse’, lekke’, gemme’, seterusnya. Bunyi hamzah berada di tengah kata apabila
kata dasar seperti di atas diikuti klitik ku’, mu, na, dan ta’. Contoh: kata puse’ diikuti
klitik ku’ menjadi puse’ku’ (keringatku), puse’ + mu “puse’mu” (keringatmu), manu’
35
+ ta’ “manu’ta” (ayam anda), dst. Begitu pula pada kata majemuk, jika kata pertama
berakhir bunyi hamzah sementara bersinggungan dengan kata yang mengikutinya,
maka bunyi hamzah tetap muncul. Contoh: kata sesse’ + ale’ membentuk kata
mejemuk menjadi sesse’ kalé (penyesalan diri); kata sekke’ + pittara membentuk kata
majemuk sekke’ pittara (zakat fitrah) (Hadrawi, 2009:49).
Bunyi nazal (ny dan ng) yang mengalami geminat di dalam suku kata tetap ditulis
utuh karena mempertimbangkan identitas bunyi tuturan bahasa Bugis. Contoh, kata
anynyarang (kuda) tidak ditulis annyarang; kata bengngo (bodoh) tidak ditulis
benngo. Sistem penulisan yang dipakai untuk geminat nazal berbeda dengan sistem
yang dipakai oleh Enre (1999), yang menghilangkan satu huruf atau konsonan
rangkapnya dengan alasan penulisan praktis. Contoh sistem yang dipakai oleh Enre:
kata lenynye’ (hilang) ditulis menjadi lennye’; kata bengnga (heran) ditulis menjadi
bennga; kamenynyang (kemenyan) ditulis menjadi kamennyang; patudangngé
(pelayan) ditulis menjadi patudanngé; dan seterusnya (Hadrawi, 2009:49).
Kode vokal e pepet dan e taling juga ditunjukkan perbedaan bunyinya pada
transliterasi untuk menghindari salah baca dan salah pengertian sebuah kata. Untuk
menunjukkan perbedaan bunyi kedua kode vokal ini, maka salah satunya diberikan
tanda dan yang lainnya tidak. Kode vocal e yang diberikan tanda ialah taling dengan
membubuhkan kode di atas hurufnya (menjadi: é ). Perbedaan lebih jelasnya terlihat
pada contoh dalam tabel berikut.
36
Taling Pepet
lémo (jeruk) kessi (pasir)
wéré (nasib) wenni (malam)
élong (lagu) berre (beras)
Aksara Bugis juga tidak mengenal sistem huruf capital, namun pada hasil
transliterasi huruf capital digunakan dengan mencontoh sistem teks bahasa Indonesia
(Latin). Huruf kapital dalam teks transliterasi Bugis dipakai untuk nama orang, nama
tempat, dan huruf pertama pada kata di awal kalimat. Huruf kapital juga dipakai pada
proklitik atau kata sandang To (to), Wé (ew), La (l), É (ea) dan I (ai) pada
sistem penamaan orang Bugis. Proklitik atau kata sandang tersebut ditulis dengan huruf
kapital dan terpisah dengan nama diri, contoh: To Samallangi, La Tenribali, I Tenrisui,
E Rimi, dan Wé Cudai (Hadrawi, 2009:50).
Persandingan atau penyelarasan bunyi dalam penggabungan dua kata merupakan
ciri khas dalam aksara Bugis. Bunyi pada akhir kata dalam bahasa Bugis hanya ada tiga
yaitu bunyi vokal (a, i, u, o, dan é taling), nazal ng, dan hamzah ( ‘ ). Bunyi yang
mengalami perubahan atau penyelarasan bunyi ialah nazal, sedang kata yang berakhir
vocal dan hamzah tidak mengalami penyelarasan. Umumnya, yang berubah hanya kata
kedua atau kata yang mengikutinya. Perubahan bunyi nazal (ng) pada sebuah kata
terjadi akibat persinggungan dengan kata lain. Sementara itu penyelarasannya terjadi
pada akhir suku kata pertama atau pada awal suku kata kedua. Contoh persinggungan
dua kata yang dimaksud sebagai berikut.
uleng (bulan) + enneng (enam) ----- ulengngenneng (bulan enam)
wennang (benang) + ulaweng (emas) ----- wennampulaweng (benang emas)
37
watang (pusat) + Bone (Bone) ---- Watampone (Kota Bone)
Penyelarasan bunyi nazal juga terjadi pada kata ulang yang sistem perubahannya
hampir sama dengan contoh kata di atas. Perubahan bentuk dan bunyi muncul
disebabkan persentuhan dua kata yang menciptakan perpaduan bunyi, contohnya
sebagai berikut.
bilang + bilang (hitung) ---- bilampilang (tasbih)
uleng + uleng (bulan) ---- ulempuleng (tiap bulan)
worong + worong (lebat) ---- woromporong (bintang tujuh)
Sistem tanda baca dalam teks naskah Bugis sebenarnya merupakan hal yang
sangat sederhana karena hanya mengenal tanda titik tiga (.). akan tetapi, dalam
penerapannya justru dapat menimbulkan kerumitan. Hal itu disebabkan karena oleh
tanda titik tiga tersebut multifungsi. Selain sebagai tanda titik ( . ) juga berfungsi
sebagai tanda koma ( , ) dan tanda seru atau perintah ( ! ). Oleh karena itu, dalam
mengedisi dan transliterasi diperlukan pemahaman ketatabahasaan yang memadai,
terutama pada bidang sintaktik bahasa Bugis (Hadrawi, 2009:51).
b. Terjemahan
Adapun sistem terjemahan atau penerjemahan teks LSW dilakukan pada teks
berbahasa Bugis saja. Terjemahan teks LSW dibuat berdasarkan terbitan teks yang
telah mengalami perbaikan bacaan dalam edisi teks. Sistem terjemahan yang dipakai
adalah literer-modifikasi, dengan mempertimbangkan konteks kalimat, kejelasan arti,
dan kelancaran bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran (Bsa). Prinsip terjemahan
38
yang digunakan sedapat mungkin menerjemahkan kata per kata, kemudian
memodifikasi susunan kata dengan menyesuaikan menurut tata bahasa Indonesia.
Aspek makna atau idiomatik teks menjadi pertimbangan utama dalam
mengalihkan makna teks Bugis sebagai teks sumber (Bsu) ke bahasa Indonesia sebagai
teks sasaran (Bsa). Sebab, secara literer tidak mungkin selalu menerjemahkan kata
Bugis secara konsisten dengan pasangan satu per satu ke dalam bahasa Indonesia pada
makna yang sama. Oleh karena itu, prosedur terjemahan dilakukan terlebih dahulu
memahami maksud teks Bugis (Bsu), kemudian berusaha memindahkannya ke dalam
bahasa Indonesia (Bsa) dengan prinsip makna seimbang tanpa mengabaikan identitas
kata-kata khusus dari teks Bugis.
Sistem penerjemahan teks LSW dilakukan dengan cara:
1. Format hasil terjemahan pada tingkat satuan kalimat, kode halaman teks, dan satuan
kelompok teks sedapat mungkin disesuaikan dengan format teks transliterasi. Pada
hasil terjemahan akan dibubuhkan tanda atau nomor halaman yang disesuaikan
dengan nomor halaman pada teks sumber, sehingga memudahkan
pengidentifikasian dan penyesuaian teks terjemahan dengan teks transliterasi.
2. Kosakata khusus bahasa Bugis, seperti nama orang, tempat, dan gelar, tetap akan
menggunakan istilah Bugis dengan pertimbangan ciri khas atau identitas teks
sumber.
3. Secara khusus untuk ungkapan-ungkapan tertentu, pertama akan dicari padanannya
dalam bahasa Indonesia. Bila tidak dapat menemukan padanannya, sebagai
alternatifnya akan dipilih kata yang berbeda atau lepas dari prinsip literer kata.
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Toponimi Wanua-Wanua Kuno Yang Muncul Lebih Awal Daripada Kerajaan
Wajo
Unit-unit kecil wanua yang berbentuk kerajaan kecil dapatlah disebut dengan lili,
yang dalam bahasa Bugis memiliki arti permukiman manusia atau unit permukiman
sosial terkecil yang memiliki sistem pemerintahan. Konsep lili dalam hal tertentu dapat
disebut wanua, oleh karena di dalamnya ada seorang pemimpin dan orang yang
dipimpin kemudian membentuk sebuah sistem politik, meskipun polanya sederhana.
Namun, yang perlu ditegaskan di sini bahwa wanua, baik wanua besar maupun wanua
kecil, memiliki sistem normatif yang menjadi pedoman hukum masyarakat luas dengan
memosisikan matoa sebagai puncak kuasa tertinggi (Hadrawi, 2016:141).
Wanua Wajo seperti Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla serta beberapa
wanua kuno lebih awal muncul daripada terbentuknya Wajo sebagai kerajaan. Hal yang
sama juga muncul fenomena kehadiran wanua pada Kerajaan Wajo, yang dimulai pula
dengan adanya permukiman-permukiman berupa wanua. Toponimi-toponimi
permukiman berupa wanua kuno yang disebutkan itu penduduknya sudah
menyelenggarakan aktivitas pertanian dan perikanan. Paling tidak terdapat enam
wanua utama Wajo yang sudah membina kegiatan pertanian pada masa kuno itu yaitu
Paung, Pénrang, Sarinyameng, Saébawi, Boli dan Cinnotabi. Keenam wanua tersebut,
secara tekstual masyarakatnya sudah menyelenggarakan kegiatan pertanian dengan
40
menanam padi sebagai tanaman utama dan adapula yang menangkap ikan. Hal ini,
tidak terlepas dari kondisi wilayah Wajo yang diceritakan dalam lontara bahwa negeri-
negerinya memiliki tanah subur, dimana lahan pertanian tumbuh tanaman sumber
makanan sangat banyak, seperti padi dan jagung. Bahkan terdapat danau di sekitar
permukiman-permukiman tersebut yang dihuni oleh berbagai jenis ikan. Meskipun teks
LSW tidak banyak memberikan informasi perihal keenam toponimi tersebut, namun
cukup memberikan pemahaman kepada kita tentang situasi sosial yang berlaku di Wajo
sebelum terbentuk menjadi kerajaan federasi (kesatuan). Hal ini terbaca sebagaimana
dalam kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Ale’ materre’ tenriwettumpettung naonroi olokolo’ madduparupang: lampa’
bawi, jonga, tédong sibawa manu’-manu’ sakke’ rupa. Maégato tappareng
salana naonroi balé madduparupang sibawa buaja. Naissettoi wettu
madécéngngé ri tanengeng bisésa: asé, barellé, aladi, lamé, tebbu nennia
ukkajukajung (sumber: naskah LSW:h.1-3)
Terjemahan:
Hutan lebat yang tidak tertembus, dihuni oleh berbagai macam binatang liar
seperti babi, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Banyak pula danau yang
terdapat di sana yang dihuni oleh bermacam-macam ikan dan buaya. Mereka juga
mengetahui waktu yang baik untuk menanam padi, jagung, talas, ubi, tebu dan
sayur-sayuran (terj. Abidin, 1985)
Perihal wanua, dalam lontara mencatat bahwa asal-usul kehidupan di Wajo
dimulai dari Paung, yakni wanua yang dipimpin oleh tokoh sakti dan pandai meramal.
Orang itu disebut Puangngé ri Lampulungeng oleh karena kesaktian dan kepandaian
meramal yang dimiliki membuat orang-orang dari wilayah lain berkumpul, dalam
bahasa Bugis disebut sipulung-pulung atau mabbulumpulungeng dan sang pemimpin
41
sakti tersebut diberi gelar Puangngé ri Lampulungeng serta danau itu dinamakan
Tapparengngé ri Lampulungeng. Selain Paung, pemimpin itu membentuk beberapa
perkampungan baru bernama Pénrang, Sarinyameng, dan Saébawi. Saébawi inilah
merupakan wanua yang terakhir dipimpin Puangngé ri Lampulungeng sebelum
meninggal dunia. Secara kontekstual Puangngé ri Lampulungeng semasa hidupnya
telah memimpin empat wanua yaitu Paung, Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi.
Semua perkampungan tersebut digambarkan sebagai masyarakat yang adil dan
makmur, dimana anggota masyarakatnya adalah orang-orang maradeka (bebas), akan
tetapi masyarakat itu belum mengenal lapisan bangsawan dan budak. Pemimpinnya
dianggap berwibawa, sebab kepercayaan orang-orang yang menetap di perkampungan
tersebut semakin bertambah setelah pemimpin itu membuktikan keahlian dan
kepandaian yang dimiliki seperti pandai meramalkan hari-hari yang baik untuk
mengerjakan sawah, kebun dan menyadap tuak. Selain itu, semenjak kehadiran
Puangngé ri Lampulungeng tanaman penduduk seperti padi, jagung dan ubi tidak
pernah diganggu oleh binatang liar sehingga kewibawaannya semakin bertambah
sebagai seorang pemimpin.
Setelah meninggalnya Puangngé ri Lampulungeng, orang-orang yang menetap di
sekitar Danau Lampulungeng menemukan pemimpin baru yang tinggal di sekitar
pohon bajo, posisinya berada di sebelah Barat bekas perkampungan Puangngé ri
Lampulungeng antara lain Paung, Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi. Pemimpin baru
dinamakan Puangngé ri Timpengeng oleh karena puteranya selalu berkata “kalau
hendak memberikan apa-apa kepada sang pemimpin “Timpengengngi Puatta”
42
(suguhkanlah kepada tuan kita), lebih hebatnya lagi karena kemampuan supranatural
yang dimiliki tidak kalah dari Puangngé ri Lampulungeng. Selain itu, dikatakan bahwa
pemimpin baru tersebut kemudian membentuk perkampungan baru bernama Boli dan
Cinnotabi. Selanjutnya toponimi wanua kuno Wajo lebih jauh akan dianalisis pada
pembahasan berikutnya yang diawali dengan peta wilayah wanua kuno Wajo kemudian
dilengkapi dengan analisis teks naskah LSW sebagai berikut.
PENRANG
U
S
PAUNG
SAEBAWI SARINYAMENG
CINNOTABI
BOLI
Sumber: wajo pada abad XV-XVI
Peta Wilayah Kerajaan Wajo
43
a. Paung sebagai awal peradaban di Wajo
Paung diceritakan LSW sebagai tempat permukiman yang memiliki padang luas,
diselingi hutan lebat yang tidak tertembus dan belum ada manusia bermukim di
dalamnya. Wilayahnya pada saat itu hanya dihuni oleh berbagai macam binatang liar
seperti babi, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Selain itu, terdapat pula danau di
sekitarnya yang dihuni oleh berbagai jenis ikan dan buaya. Kehidupan manusia di Wajo
dimulai dengan kedatangan suatu keluarga besar (extended family) di tepi Danau
Lampulu’ (dahulu: Lampulungeng). Adapun yang dikerjakan hanyalah bertani dan
menangkap ikan untuk menjaga kelangsungan hidupnya, akan tetapi orang-orang itu
tidak diketahui namanya, namun orang itu berbahasa Bugis. Hal ini sebagaimana
tergambar dalam kutipan teks berikut.
Transliterasi:
Ri dé’ napa tau-tau monro ri Wajo, padammupa maloang, ale’ karaja materre’
tenriwettumpettung naonroi olokolo madduparupang: lampa’ bawi, jonga,
tédong sibawa manu’-manu’ sakke’ rupa. Maégato tappareng salana naonroi
balé madduparupang sibawa buaja. Naia bunge’ engkana tau marana-anang lao
monro ri wirinna tapparengngé pégau laonrumma sibawa akkajang. Tenrisseng
asenna, tenrisetto apoléngenna. Nasemmi aléna to polé orai bulu ri onrong
mabbiring tasié. Tauéro makkeda pau Ogi’i (sumber: naskah LSW:h.1-2)
Terjemahan:
Sebelum ada manusia tinggal di Wajo, di sana hanyalah terdapat padang yang
luas dan hutan yang lebat tidak tertembus yang dihuni oleh berbagai macam
binatang liar seperti babi, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Banyak pula
danau yang terdapat di sana yang dihuni oleh bermacam-macam ikan dan buaya.
Adapun mula adanya orang di sana adalah dua orang beranak yang bermukim di
pinggir danau itu, ia bertani dan menangkap ikan. Tidak diketahui namanya dan
tidak diketahui asalnya. Dia mengatakan bahwa mereka berasal dari sebelah
Barat gunung di dekat laut. Orang-orang itu berbahasa Bugis (terj. Abidin, 1985)
44
Kutipan teks LSW di atas mengungkapkan bahwa negeri Wajo sejak zaman kuno
memang sudah menjadi hunian manusia. Hal itu disebabkan oleh kondisi wilayah Wajo
yang kaya akan sumber daya alam seperti memiliki hutan lebat yang dihuni berbagai
jenis binatang dan danau yang dihuni berbagai jenis ikan, sehingga hal itu menarik
perhatian orang-orang dari wilayah lain untuk berdatangan. Selain itu, negeri Wajo
memiliki potensi untuk menjadi daerah agraris (pertanian) dengan memahami unsur
pendukung yang diungkapkan berdasarkan kutipan teks, seperti memiliki tanah subur
sehingga membuat sebagian besar penduduknya menjaga kelangsungan hidupnya
dengan cara menanam padi, jagung dan ubi.
Disamping aktivitas pertanian, ada juga yang menjaga kelangsungan hidupnya
melalui aktivitas lain misalnya menangkap ikan. Hal ini sesuai dengan kutipan teks di
atas yang mengatakan bahwa “Sebagian orang-orang yang tinggal di sekitar Danau
Lampulungeng bekerja sebagai penangkap ikan, oleh karena wilayah Wajo dikelilingi
danau yang banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan”. Dengan demikian, orang-orang
yang bermukim di wilayah itu dapatlah dikatakan makmur, karena sumber makanan
seperti pertanian dan perikanan mulai berkembang. Seiring berjalannya waktu, wilayah
itu mulai ramai yang disebabkan adanya kelompok keluarga lain yang berdatangan
menuju sekitar Danau Lampulungeng. Hal ini masih erat kaitannya dengan wilayah
yang berada di sekitar danau memiliki tanah yang subur, yang ditandai dengan
tumbuhnya tanaman padi dan jagung, serta danau yang berada di sekelilingnya dihuni
berbagai jenis ikan.
45
Kepala keluarga besar yang pertama kali tinggal dan menetap di sekitar Danau
Lampulungeng dianggap berwibawa karena kesaktian dan kepandaian yang dimiliki,
seperti pandai meramalkan hari-hari yang baik untuk menanam padi, menanam jagung,
berkebun dan mengajarkan kepada pengikutnya bagaimana cara menangkap ikan yang
baik dan benar. Oleh karena keahlian yang dimiliki itu menyebabkan orang-orang yang
berasal dari wilayah lain berdatangan untuk berkumpul dan menetap di tepi danau itu,
maka tempat itu diberi nama Lampulu’ yang berasal dari bahasa Bugis sipulung-pulung
atau mabbulumpulungeng dan sang pemimpin sakti tersebut diberi gelar Puangngé ri
Lampulungeng serta danau itu dinamakan Tapparengngé ri Lampulungeng. Hal ini
sebagaimana tergambar pada kutipan teks berikut.
Transliterasi:
Maccai laonruma napalla’i, mapatoi mangampi’, tennatippa’ olokolo’ bisésana,
tennanré bawi tennapessi’ dongi’. Naissettoi wettu madécéngngé ri tanengeng
bisésa iyaréga asé, barellé, aladi, lamé, tebbu nennia ukkajukajung. Naia
maégana tau sipulu-pulung koro, iaro taué riasengngi Puangngé ri
Lampulungeng. Natella’toni tapparengngé ri Lampulungeng (sumber: naskah
LSW:h.3-4)
Terjemahan:
Mereka cakap bertani dan dipagarinya, rajin menggembala dan tidak diganggu
oleh binatang tanamannya, tidak dimakan babi dan tidak dikosongkan oleh
burung pipit. Selain itu, mereka juga mengetahui waktu yang baik untuk
menanam padi, jagung, talas, ubi, tebu dan sayur-sayuran. Setelah banyak orang
berkumpul di situ, orang itu dinamakan Puangngé ri Lampulungeng dan
digelarnya pula danau lampulungeng (terj. Abidin, 1985)
Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Puangngé ri Lampulungeng merupakan
suatu hal yang lumrah jika disukai oleh pengikutnya, sebab konsep kepemimpinan
yang dilakukan selalu berpihak kepada rakyatnya. Salah satu hal yang dimaksud adalah
46
keahlian yang dimiliki pemimpin tersebut, yaitu usaha untuk membangun suatu
wilayah yang terus dilakukan agar tercipta sebuah perubahan yang nyata di wilayah
sekitar Danau Lampulungeng khususnya dalam hal pertanian. Perubahan itu sangat
jelas terjadi sebab wilayah yang tadinya hanya sebuah padang yang luas dan hutan lebat
disulap menjadi sebuah daerah agraris (pertanian). Hal itu terjadi karena yang
dilakukan adalah bersama-sama pengikutnya membuat lahan pertanian dengan cara
menanam padi, jagung dan ubi serta ada pula yang melakukan aktivitas seperti
menangkap ikan.
Pembangunan yang dilakukan Puangngé ri Lampulungeng tidak hanya pada
bidang pertanian, sebab ada konsep kepemimpinan lain yang sering dilakukannya pada
saat memimpin Paung. Konsep itu adalah musyawarah, misalnya dia selalu berbagi
pendapat dengan rakyatnya atau melibatkan rakyat sebelum mengambil sebuah
keputusan, yang dalam bahasa Bugis disebut assipetangngareng. Kemudian
diceritakan dalam lontara bahwa lama kelamaan tempat mereka itu semakin ramai dan
banyak orang-orang berdatangan, disebabkan orang-orang yang tinggal di tempat itu
merasa dihargai dan dibantu oleh pemimpinnya. Selain pandai berbicara dalam hal ini
yang dimaksud adalah musyawarah, Puangngé ri Lampulungeng juga pandai meramal
sehingga kewibawaannya sebagai seorang pemimpin bertambah atas keahlian yang
dimilikinya itu, misalnya pandai meramalkan hari-hari yang baik untuk menanam padi
dan jagung, sehingga pertanian semakin berkembang dan kehidupan mereka semakin
makmur karena dikatakan bahwa mereka tidak kelaparan. Hal ini sebagaimana tertulis
pada kutipan teks berikut ini.
47
Transliterasi:
Narimakkuannanaro namawesso’ gangka engkana koro. Maégana tau laing polé
tappingiwi. Lebbini patappulo oroané, nasaba’ riasengngi to mabbisa-bisa
mabboto-boto (sumber: naskah LSW:h.4)
Terjemahan:
Oleh karena itulah mereka kenyang sejak menetap di tempat itu. Banyaklah orang
lain yang datang menambahnya. Telah ada lebih empat puluh orang laki-laki,
sebab mereka mengatakan bahwa orang itu pandai berbicara dan pandai meramal
(terj. Abidin, 1985)
Dengan memahami kutipan teks di atas, penulis berasumsi bahwa daerah Paung
yang dipimpin Puangngé ri Lampulungeng mengalami perkembangan, baik dari segi
penduduk maupun dalam hal mata pencaharian yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Selain itu, ada juga musyawarah yang dilakukan oleh
pemimpinnya, hal itu berarti konsep pemerintahan dalam wilayah tersebut ikut pula
berkembang. Dengan banyaknya bukti-bukti pembangunan yang dilakukan Puangngé
ri Lampulungeng membuat penduduknya semakin betah dan nyaman menetap di
Paung. Hal ini secara tidak langsung juga mempengaruhi bertambahnya jumlah
penduduk, sebab dikatakan dalam lontara bahwa “Orang-orang dari perkampungan lain
terus berdatangan ke tempat itu dan akhirnya daerah itu membengkak”. Ditambah lagi
hubungan sosial antara keluarga yang satu dengan keluarga lain sudah terjalin yang
kemudian membentuk hubungan kekerabatan dan menghasilkan hubungan perkawinan
diantara mereka. Hubungan perkawinan yang dilakukan secara otomatis menciptakan
sebuah keturunan yang akan mempengaruhi kepadatan penduduk, sehingga tempat itu
menjadi padat sebab tidak ada lagi ruang yang bisa ditempati untuk membuka lahan
48
permukiman penduduk, karena lahan yang digunakan untuk aktivitas pertanian seperti
menanam padi dan jagung juga sudah mulai berkembang yang mengikuti jumlah
penduduk. Hingga pada akhirnya Puangngé ri Lampulungeng melakukan musyawarah
dengan rakyatnya dan memutuskan untuk pergi mencari tempat yang baru, dalam hal
ini terjadi migrasi yaitu perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain.
Adapun wanua yang pertama di tempati oleh Puangngé ri Lampulungeng diberi nama
Paung.
Peristiwa pemberian nama Paung menurut LSW dimulai dengan percakapan
yang dilakukan Puangngé ri Lampulungeng kepada rakyatnya. Ceritanya bermula pada
suatu hari berkumpullah orang-orang di Lampulungeng dan berkata Puangngé ri
Lampulungeng “Aku ingin pergi mencari tempat lain yang dekat laut, sebab tempat
kita sekarang telah sempit untuk dijadikan sumber penghidupan kita yang disebabkan
tidak ada lagi tanah yang dapat digarap, bila ada orang bergabung bersama kita”.
Semua orang-orang di situ hendak mengikuti apa yang diinginkan Puangngé ri
Lampulungeng, dan akhirnya mereka berjalan ke arah timur Danau Lampulungeng dan
mendapatkan dataran dan padang yang luas.
Di tempat itulah mereka menetap untuk bercocok tanam seperti menanam padi
dan jagung. Kemudian dikatakan bahwa tanaman mereka tidak dimakan oleh babi dan
tidak dikosongkan oleh burung pipit. Setahun saja Puangngé ri Lampulungeng di sana,
maka dia bercakap-cakap lagi pada suatu malam “Masih jelek tempat kita, akan sempit
sawah yang akan dibuka, dan belum juga kita menemukan laut di sini. Dengan
49
demikian, tempat itu digelarnya Paung (kata-kata). Hal ini sebagaimana tergambar
pada kutipan teks berikut.
Tranliterasi:
Najoppana lao alau’, naengkatona tanété maloang pada nalolongeng. Kuniro
léppang pada maddare’ engkato maggalung taro asé, barellé, tennanrémusi
bawi tennatippa’ dongi’. Nasitaummi monro koro Puangngé ri Lampulungeng
mappau-pausi ri wennié makkeda “Majamopa onrotta’, macikke’ galungngé
nakko engka riwenru, de’topa gaga tasi’ rilolongeng kuaé”. Aga natella’ni
onrongngéro Paung (sumber: naskah LSW:h.6)
Terjemahan:
Berjalanlah mereka ke arah timur dan mendapatkan dataran yang luas. Di sanalah
mereka berhenti untuk berkebun, ada juga yang bertani seperti menanam padi
dan jagung. Tanaman mereka tidak dimakan lagi oleh babi, dan tidak
dikosongkan oleh burung pipit. Setahun saja Puangngé ri Lampulungeng tinggal
di sana maka ia bercakap-cakap lagi pada suatu malam “Masih jelek tempat kita,
akan sempit sawah yang akan dibuka, dan belum juga kita menemukan laut di
sini. Maka tempat itu digelarnya Paung (kata-kata) (terj. Abidin, 1985)
Ada empat hal yang perlu dicatat dari beberapa kutipan teks LSW di atas yaitu:
pertama, latar tempat cerita; kedua, berpindah ke suatu tempat yang lebih luas, oleh
karena wilayahnya mengalami perkembangan dari jumlah penduduk dan lapangan
pekerjaan; ketiga, nama Paung berdasarkan percakapan Puangngé ri Lampulungeng
pada suatu malam karena dia ingin mencari tempat yang lebih luas lagi; dan keempat
bahwa konsep kepemimpinan seperti musyawarah sudah berlangsung jauh sebelum
Kerajaan Wajo terbentuk sebagai sebuah kerajaan federasi (kesatuan).
b. Pénrang sebagai kelanjutan dari Paung
Keinginan Puangngé ri Lampulungeng untuk membentuk perkampungan baru
memberikan indikasi bahwa wilayah Paung sudah dipastikan mengalami
50
perkembangan pesat dari segi kependudukan dan lapangan kerja seperti apa yang telah
dijelaskan sebelumnya, sehingga tidak ada lagi ruang untuk dijadikan tempat tinggal
maupun lahan untuk bertani dan berkebun. Dengan kondisi demikian, hal yang
dilakukan oleh Puangngé ri Lampulungeng adalah mencari tempat baru yang lebih luas
atau dapatlah kita sebut orang-orang pada saat itu melakukan apa yang diistilahkan
dengan Migrasi, yaitu berpindah ke suatu tempat untuk menetap di tempat tujuan.
Terjadinya Migrasi pada saat itu dapat menjadi bukti keberhasilan Puangngé ri
Lampulungeng dalam memimpin sebuah wanua, terutama dalam hal pertanian yang
mengalami perkembangan signifikan dari hari ke hari, sehingga menyebabkan
sebagian penduduk Paung harus berpindah tempat. Hal tersebut sesuai dengan
percakapan Puangngé ri Lampulungeng dengan pengikutnya (rakyat) pada saat ingin
meninggalkan Paung, yang mengatakan bahwa “Aku ingin pergi mencari tempat yang
lebih luas, sebab tempat kita sekarang telah sempit untuk dijadikan sumber
penghidupan kita”. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut.
Transliterasi:
Naengkana séua wettu naddeppu-deppungeng taué ri Lampulungeng nakkeda
Puangngé ri Lampulungeng “Maélokka lao sappa’ onrong laingngé macawé’é
tasi’é, nasaba’ ia onrotta’ kuaé macipi’ni akkinanréta. De’na gaga wedding
riémpagai, narékko engkamupa tau tappingiki’”. Napada kado taué koro maélo’
maccoé (sumber: naskah LSW:h.5)
Terjemahan:
Pada suatu waktu berkumpullah orang-orang di Lampulungeng dan berkata
Puangngé ri Lampulungeng “Aku ingin pergi mencari tempat lain yang dekat
laut, sebab tempat kita sekarang telah sempit untuk dijadikan sumber
penghidupan kita. Tidak ada lagi tanah yang dapat digarap, bila ada orang
51
menggabung pada kita”. Semua orang-orang di tempat itu bersepakat hendak
mengikutinya (terj. Abidin, 1985)
Pola kepemimpinan Puangngé ri Lampulungeng dapat menjadi bukti
kewibawaan yang dimiliki. Salah satu bukti yang disebut dalam LSW adalah orang-
orang yang ada di Paung tidak pernah kelaparan selama mereka menetap di tempat itu
dan tanaman mereka tidak diganggu oleh binatang liar seperti babi, rusa, kerbau dan
tidak dikosongkan oleh burung pipit. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapatlah
dikatakan bahwa terbentuknya wanua Pénrang disebabkan Paung telah mengalami
perkembangan pesat, jika dibandingkan kondisi wilayah itu sebelum kedatangan
Puangngé ri Lampulungeng yang jauh dari peradaban manusia salah satunya disebut
dalam lontara bahwa tidak dihuni oleh manusia.
Cerita singkat terbentuknya Pénrang adalah pada waktu Puangngé ri
Lampulungeng bersama sebagian pengikutnya meninggalkan Paung untuk mencari
tempat yang lebih luas yang bisa dijadikan perkampungan lebih baik dari sebelumnya,
dalam hal ini Paung. Perjalanan mereka dimulai dengan berjalan menuju arah timur
Danau Lampulungeng, singkat cerita dalam porses perjalanan Puangngé ri
Lampulungeng bersama pengikutnya menemukan pohon yang memiliki kayu yang
besar, dan berkata Puangngé ri Lampulungeng “Di sini saja wahai anak-anakku, kita
bermalam”. Di daerah itu terdapat sebatang pohon besar dan tinggi yang disebut aju
battoa marajaé, dan orang-orang dahulu menyebut jenis pohon terbaik seperti cendana
dan bayam dengan sebutan Pénrangngé. Dengan demikian, mereka membuat
52
perkampungan dan dinamakanlah Pénrang. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan
teks berikut.
Transliterasi:
Naléléna lao alau’. Naléppassi Puangngé ri Lampulungeng ri awana aju battoa
marajaé. Natangnga’-tangnga’i lompo’é alau’, nakkeda “Tajoppapa lao alau’,
bara’ engkamua padang maloang macawé’ tasi’é. Napada joppasi, naengkasi
aju battoa maraja nalolongeng Puangngé ri Lampulungeng, makkedani “Kuni’
kalaki’ madécéng mabbenni” (sumber: naskah LSW:h.7)
Terjemahan:
Maka bergeserlah mereka ke arah timur dan singgah lagi Puangngé ri
Lampulungeng di bawah pohon kayu besar, kemudian dia memandang dataran
di sebelah timur, lalu berkata “Mari kita berjalan lagi ke timur, kiranya ada lagi
padang yang luas dekat laut”. Kemudian berjalan lagi mereka dan ditemukan lagi
pohon kayu yang besar oleh Puangngé ri Lampulungeng, lalu ia berkata “Di sini
saja, anak-anakku sekalian, kita bermalam” (terj. Abidin, 1985)
c. Sarinyameng sebagai wilayah perluasan dari Pénrang
Pola kepemimpinan yang sering ditunjukkan oleh Puangngé ri Lampulungeng
melalui kegemarannya berpindah tempat, disebabkan perkampungan yang dipimpin
sebelumnya selalu mengalami perkembangan utamanya dalam hal kependudukan dan
lahan pertanian, yang kemudian menyebabkan wilayahnya mengalami pembengkakan.
Satu hal yang mendasar terhadap peristiwa tersebut bahwa semua wilayah yang
dibangun oleh Puangngé ri Lampulungeng disebabkan alasan utama, yaitu daerah yang
ditempati memiliki peradaban yang semakin meningkat, khususnya dalam jumlah
penduduk yang secara terus menerus mengalami kepadatan, oleh karena semakin
banyaknya orang-orang berdatangan ke tempat itu dan keluarga generasi pertama yang
menetap, sudah memiliki keturunan yang bisa dikatakan mengalami peningkatan.
53
Selain itu, satu hal yang juga akan dipengaruhi dengan kondisi permukiman seperti itu
adalah lahan untuk membuka sawah semakin sempit dan ruang untuk membangun
permukiman semakin berkurang yang disebabkan luas wilayah tidak sesuai dengan
jumlah penduduk, dalam hal ini jumlah penduduk lebih besar.
Menurut hemat penulis, sudah tepat apa yang dilakukan oleh Puangngé ri
Lampulungeng sebagai seorang pemimpin, yaitu dia tidak ingin melihat rakyatnya
menderita oleh karena persoalan wilayah yang semakin sempit. Dengan kondisi
demikian, membuat Puangngé ri Lampulungeng mengambil sebuah langkah strategis
untuk mencari wilayah yang lebih luas dari permukiman sebelumnya, dan saat itulah
dia bersama para pengikutnya meninggalkan Pénrang dan menemukan tempat baru
yang dinamakan Sarinyameng. Posisi Sarinyameng yang digambarkan dalam LSW
berada di sebelah timur Danau Lampulungeng dimana wilayahnya sangat luas yang
banyak ditumbuhi oleh pohon nipa yang rimbun dan posisinya dekat laut. Hal ini
sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini:
Transliterasi:
Pappa’ni bajaé natangnga’ madécénni lompo’é alau’, maloang, maéga tona
pannipana, mallimpo-limpo naita. Nakapanni masse’ engkatona tasi’ macawé’
(sumber: naskah LSW:h.7)
Terjemahan:
Keesokan harinya, Puangngé ri Lampulungeng memandangi dengan baik dataran
di sebelah timur, ternyata luas dan melihat banyak pula pohon nipa yang rimbun.
Diduganya dengan kuat bahwa ada laut yang dekat (terj. Abidin, 1985)
Kondisi geografi Sarinyameng yang digambarkan pada kutipan teks di atas dapat
mengindikasikan bahwa wilayah yang ditemukan Puangngé ri Lampulungeng sangat
54
sesuai dengan keinginannya, yaitu dia menginginkan tempat yang lebih luas daripada
permukiman yang dibentuk sebelumnya seperti Paung dan Pénrang. Selain itu, kutipan
teks yang menyebut “Posisi Sarinyameng berada dekat laut” dapat menjadi dugaan
Puangngé ri Lampulungeng ingin menciptakan sebuah lapangan kerja yang erat
kaitannya dengan masyarakat pesisir misalnya memancing atau menangkap ikan, sebab
aktivitas yang selama ini diperkenalkan hanya pada bidang pertanian saja seperti
menanam padi dan jagung. Dengan demikian, aktivitas selain pada bidang pertanian
dapat menjadi hal baru yang bisa dilakukan penduduk Sarinyameng dengan melihat
kondisi wilayah yang digambarkan.
Adapun cerita pemberian nama Sarinyameng yang diungkap dalam LSW
bermula pada saat Puangngé ri Lampulungeng mengajak para pengikutnya untuk
meninggalkan Pénrang, sebab dia menginginkan tempat yang lebih luas dan berada
dekat laut. Oleh karena itu, maka pindahlah mereka ke arah timur lalu berkata
Puangngé ri Lampulungeng “Mari kita berjalan lagi ke timur, kiranya ada tempat
permukiman seperti yang kita inginkan” dan para pengikut Puangngé ri Lampulungeng
mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpinnya dan mereka pun berjalan lagi hingga
akhirnya mereka lelah dan beristirahat di bawah pohon besar dan berkata Puangngé ri
Lampulungeng “Disini saja wahai anak-anakku, kita bermalam”. Pada esok hari,
Puangngé ri Lampulungeng memandangi dengan baik dataran di sebelah timur, dia
menemukan tempat yang lebih luas dikelilingi pohon nipa yang rimbun. Di sekitar
pohon nipa diduganya bahwa ada laut yang dekat dan memutuskan untuk menuju ke
tempat itu. Di sanalah dia bersama para pengikutnya membuka lapangan pekerjaan
55
untuk menjaga kelangsungan hidup mereka seperti bertani, berkebun, menangkap ikan
dan menyadap tuak dari pohon-pohon enau. Orang-orang yang senantiasa menyadap
tuak itulah yang kemudian memberi tempat baru itu dengan nama Sarinyameng (tuak
yang disadap yang nyaman diminum), yang berasal dari dua kata yaitu (sari=sadap;
nyameng=nyaman). Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut.
Transliterasi:
Naia tau maccoé’é pada sappa’toni pallaong, engka lao mappétawu galung,
makkaja, engkato lao massari. Jaji natella’ni onrongngéro Sarinyameng
(sumber: naskah LSW:h.7)
Terjemahan:
Orang-orang yang mengikuti Puangngé ri Lampulungeng pergilah mencari
lapangan pekerjaan; ada yang membuat pematang sawah, menangkap ikan dan
ada pula yang pergi menyadap. Jadi gelarlah tempat itu Sarinyameng (tuak yang
disadap yang nyaman diminum) (terj. Abidin, 1985)
d. Saébawi sebagai akhir kepemimpinan Puangngé ri Lampulungeng
Lahirnya Saébawi diceritakan dalam lontara setelah Puangngé ri Lampulungeng
membangun dan memimpin Paung, Pénrang dan Sarinyameng. Saébawi merupakan
wanua yang terakhir dipimpin oleh Puangngé ri Lampulungeng sebelum meninggal,
yang posisinya terletak di sebelah Barat Danau Lampulungeng. Kondisi awal
wilayahnya diceritakan pertama kali dibangun oleh Puangngé ri Lampulungeng
bersama pengikutnya melalui cara yang sama dilakukan pada wanua sebelumnya
seperti Paung, Pénrang dan Sarinyameng, yaitu dimulai dengan membangun lapangan
pekerjaan seperti menanam padi, menanam jagung, menangkap ikan dan menyadap
tuak. Menurut hemat penulis, pola kepemimpinan ini sudah menjadi langkah awal yang
56
sering dilakukan Puangngé ri Lampulungeng saat membangun suatu wilayah, namun
sedikit berbeda dengan daerah sebelumnya (Paung, Pénrang dan Sarinyameng), sebab
cara berpikir pemimpin tersebut semakin berkembang pada saat membangun Saébawi
yang dibuktikan dengan adanya aktivitas baru yang diciptakan yaitu membuat
minuman tradisional yang dihasilkan dari sadapan pohon enau yang dapat menambah
stamina bagi pekerja. Aktivitas tersebut dinamakan menyadap tuak yang kemudian
diajarkan kepada para pengikutnya. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada kutipan teks
berikut.
Transliterasi:
Pappa’ni bajaé natangnga’ madécénni lompo’é alau’, maloang, maéga tona
pannipana, mallimpo-limpo naita. Nakapanni masse’ engkatona tasi’ macawé’.
Makkedani Puangngé ri Lampulungeng “Kuni’ kalaki’ madécéng mabbémpaga.
Maégamato maka ripogau’ ri ale’é”. Naia aléna mabbémpagani dare’. Naia tau
maccoé’é pada sappa’ toni pallaong, engka lao mappétawu galung, makkaja,
engkato lao massari (sumber: naskah LSW:h.7)
Terjemahan:
Keesokan harinya Puangngé ri Lampulungeng memandangi dengan baik dataran
di sebelah timur, ternyata luas dan melihat banyak pula pohon nipa yang rimbun.
Diduganya dengan kuat bahwa ada laut yang dekat. Berkatalah Puangngé ri
Lampulungeng “Baiklah, hai anak-anakku, kita di sini mencari makanan dahulu,
dan banyak juga yang dapat kita kerjakan di hutan”. Adapun Puangngé ri
Lampulungeng pergi mencari tempat perkebunan. Orang-orang yang
mengikutinya pergi pula mencari lapangan pekerjaaan, ada yang membuat
pematang sawah, menangkap ikan dan ada pula yang pergi menyadap (terj.
Abidin, 1985)
Pola kepemimpinan yang terus dilakukan Puangngé ri Lampulungeng semakin
menambah kewibawaannya dalam menangani suatu daerah yang berlanjut pada wanua
Saébawi seperti yang tercatat dalam LSW. Hal yang dimaksud adalah orang-orang
57
lebih banyak lagi berdatangan menuju Saébawi dibandingkan yang terjadi pada wanua
sebelumnya (Paung, Pénrang dan Sarinyameng), yang disebabkan keahlian dimilikinya
seperti pandai berbicara dan pandai meramal terus mengalami perkembangan sehingga
membuat semua aspek kehidupan di perkampungan itu semakin menemui titik terang.
Satu hal yang dapat diasumsikan dengan melihat peristiwa ini bahwa kepemimpinan
harus dilengkapi dengan keahlian oleh seorang pemimpin, sebab itulah yang menjadi
alat untuk mencipatakan sebuah inovasi atau hal yang baru.
Hal lain yang tergambar pada Saébawi bahwa sumber makanan seperti beras,
jagung, ikan dan sumber minuman seperti tuak semakin banyak berkembang pula,
sehingga kelangsungan hidup masyarakat terjamin. Selain sumber penghidupan yang
telah dijelaskan sebelumnya, orang-orang mulai mengenal menyabung ayam, memukul
gendang, bersuling dan olahraga adu sepak (adu kaki dan sepak raga) juga sudah
dilakukan. Adapun anak-anak juga sudah bisa menciptakan sebuah permainan seperti
bermain gasing, logo’, saling memecahkan buah kemiri, bermain buah kemiri dan buah
punaga. Sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut.
Transliterasi:
Napédé’ tama mani taué temmassu’. Takka’boro’ toni taué ri anréwé. Naia mani
napogau’ macculé ri awana aju marajaé manré ménung, saung, maggenrang
massoling. Engkato massémpe’ mallanca maddaga. Naia anana’é
maggasingngi, mallogo’i, mabbukké’, makkampiri, macculéi bua pelleng bua
pudé’ (sumber: naskah LSW:h.9)
Terjemahan:
Makin bertambahlah orang yang masuk dan tidak keluar. Orang-orang juga mulai
takabur terhadap makanan. Yang dikerjakan orang hanyalah bermain-main di
bawah pohon kayu yang besar sambil makan dan minum, menyabung ayam,
58
memukul gendang dan bersuling. Ada juga yang bermain adu sepak, adu kaki
dan sepak raga. Adapun anak-anak bermain gasing, logo’, saling memecahkan
buah kemiri, bermain buah kemiri dan buah punaga (terj. Abidin, 1985)
Asal usul pemberian nama Saébawi terjadi ketika masyarakat pra-Wajo (Paung,
Pénrang dan Sarinyameng) melakukan musyawarah dan bersepakat menamakan
negerinya Saébawi. Hal ini terjadi atas apa yang dilakukan pemimpinnya pada saat
bepergian ke suatu tempat yang mengendarai babi seperti kerbau besarnya. Dalam
LSW dikatakan bahwa pada wanua Saébawi orang-orang sudah mulai berpikir
bagaimana bisa sampai ke suatu tempat dengan waktu yang lebih cepat, sehingga pada
waktu itu binatang menjadi sebuah pilihan yang dijadikan alat transportasi darat. Hal
ini serupa dengan yang dilakukan Puangngé ri Lampulungeng pada saat bepergian ke
suatu tempat dengan mengendarai seekor babi yang seperti kerbau besarnya, dan babi
itulah yang dipanggil untuk dikendarainya bagaikan seekor kuda jika hendak bepergian
(sae artinya mengendarai dan bawi artinya babi) dan dinamakanlah perkampungan itu
Saebawi. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia monrona Puangngé ri Lampulungeng maddare’ koro ri awana aju marajaé,
pédé’ maégani tau lao maccoé’. Maddatu’ni oroané. Naia gau’na Puangngé ri
Lampulungeng monrona koro maddare’, engka bawi maraja napada tédong.
Ianaro bawinna naolli’ natonangiwi pada anynyarang narékko engka maélo’
nalokkai. Aga naritella’na onrongéro ri Saébawi (sumber: naskah LSW:h.8-9)
Terjemahan:
Ketika Puangngé ri Lampulungeng tinggal berkebun di bawah pohon kayu besar,
maka banyaklah orang yang pergi mengikutinya. Sudah ada beratus orang lelaki.
Adapun yang dilakukan oleh Puangngé ri Lampulungeng pada waktu dia tinggal
berkebun di situ adalah memelihara seekor babi besar seperti kerbau dan babi
itulah yang dipanggilnya untuk dikendarainya bagaikan kuda, bilamana ada suatu
59
tempat yang akan dikunjunginya. Maka dinamakanlah tempat itu Saébawi
(terj.Abidin, 1985)
Ada satu hal yang menarik perhatian penulis terkait konsep pemerintahan yang
diterapkan Puangngé ri Lampulungeng mulai saat memimpin Paung hingga Saébawi,
yaitu kita menemukan konsep maradeka dalam ideologi orang-orang Wajo yang berarti
bebas, sesuai dengan semboyan orang-orang Wajo dahulu kala yang berbunyi “Ri
laleng tampu’ mupi to Wajoé namaradeka” yang artinya orang-orang Wajo itu telah
merdeka sejak dalam kandungan ibunya (Abidin, 1999:138). Bebas disini, dalam artian
dia ingin berkuasa di wilayahnya sendiri dan tidak ingin menyerahkan diri di bawah
kekuasaan Kerajaan lain seperti Kerajaan Luwu atau Bone. Hal ini terbukti ketika Opu
Baliranté yang diutus oleh Kerajaan Luwu untuk menagih widattali (pajak bumi dan
bangunan), Puangngé ri Lampulungeng selaku pemimpin menolak upeti dari kerajaan
Luwu dengan kemampuan diplomasi atau kepandaian berbicara yang dimiliki.
e. Boli sebagai awal kepemimpinan Puangngé ri Timpengeng
Kelompok masyarakat Lampulung dan Boli menurut riwayat LSW pada
dasarnya masih merupakan tipologi masyarakat sedang dengan pola kepemimpinan
dan kekuasaan yang khas sesuai dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat
tersebut. Untuk menciptakan keteraturan, mereka mengangkat tokoh mistis sebagai
pemimpin mereka. Para pemimpin pada masyarakat sedang memerlukan power atau
kekuasaan sebagai landasan kepemimpinan mereka yang diperoleh karena memiliki
beberapa sifat yang seolah-olah merupakan syarat dalam kebudayaan-kebudayaan
masyarakat Wajo pada masa lalu untuk mencapai kedudukan berwibawa di mata orang
60
banyak. Sifat-sifat yang sering disebut itu adalah kepandaian berburu, berkebun,
bertani, keterampilan berbicara, kemahiran berdiplomasi dan sifat-sifat yang sesuai
dengan cita-cita dan keyakian masyarakat pra-Wajo pada masa itu misalnya bermurah
hati. Salah satunya adalah kepandaian berdiplomasi atau berbicara yang dimiliki
Puangngé ri Lampulungeng membuat Kerajaan Luwu pada waktu itu gagal menagih
upeti kepada masyarakat Lampulung (Paung, Pénrang, Sarinyameng, Saébawi).
Setelah meninggalnya Puangngé ri Lampulungeng, maka faktor integrasi orang-
orang di Pénrang, Saébawi, dan Sarinyameng menjadi hilang, sehingga dikatakan pada
waktu itu timbul kekacauan (chaos) oleh karena kevakuman pemimpin. Pada waktu itu
belum dikenal sistem kooptasi, yaitu penunjukan calon pengganti pemimpin oleh
pemimpin yang mendekati ajalnya (Abidin, 1999:116). Mitos kekacauan masyarakat
tanpa pemimpin digambarkan oleh lontara bahwa “Dé’ na ade’ sianrébaléni taué
makkawatangengmani taué niga riatta iana riemme’”, yang artinya binatang liar sudah
mengganggu tanaman dan panen rusak dengan kata lain tidak ada lagi hukum, orang-
orang saling memakan laksana ikan besar menelan ikan kecil, siapa yang teledor dialah
yang ditelan. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia maténa Puangngé ri Lampulungeng, naia taué ri Pénrang ri Saébawi ri
Sarinyameng pada masarani, nasaba’ de’na gaga to mabisa-bisa naddakkari
nakkutanai rékko engka maélo’ napogau’. Napada pangélorenna mani taué
napogau’. De’na assiturusenna. Maradéka manenni sininna engkaé koro,
nakkélorini aléna. Makkecca’ toni olokolo’é ri wisésana, mammulatoni engka
tau maélo’ makkawatangeng (sumber: naskah LSW:h.10-11)
61
Terjemahan:
Setelah meninggalnya Puangngé ri Lampulungeng, orang-orang di Pénrang,
Saébawi dan Sarinyameng sama bersusah hatilah, sebab tidak ada lagi orang yang
pandai berbicara dan meramal yang ditempati berkumpul untuk bertanya, bila
ada yang hendak dikerjakan. Maka semua orang-orang berbuat menurut
kehendak mereka saja dan tidak ada lagi persatuannya. Bebas semualah orang-
orang yang ada di situ, dan berbuat sesuai kehendak hati mereka. Binatang juga
sudah mulai mengganggu tanaman orang, mulai pula ada orang yang hendak
saling berbuat kekerasan (terj. Abidin, 1985)
Lahirnya negeri Boli menurut riwayat LSW terjadi setelah meninggalnya
Puangngé ri Lampulungeng. Diceritakan bahwa sejak saat itu orang-orang yang
menetap di Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi menganggap tidak ada lagi yang dapat
memimpin mereka, terutama dalam hal kepandaian meramal dan berbicara yang
dimiliki oleh Puangngé ri Lampulungeng. Dengan kondisi demikian, orang-orang
berbuat atas kehendak mereka masing-masing sehingga timbul kekacauan, dan
menyebabkan sebagian pengikut dari Puangngé ri Lampulungeng pergi meninggalkan
daerahnya dan pergi membentuk perkampungan baru yaitu Sekkanasu, Wéwattana, dan
Bélogalung. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Mammulani massu’ to Pénrangngé to Saébawi to Sarinyamengngé sappa’
onrong laingngé, naengkana nalolongeng, napattellu konronni aléna. Engka
masengngi wanuanna Sekkanasu, Wéwattana, Bélogalung (sumber: naskah
LSW:h.12)
Terjemahan:
Mulailah ke luar orang-orang Pénrang, Saébawi dan Sarinyameng mencari
tempat yang lain dan didapatkanlah tempat baru kemudian dibagi tiga diri
mereka. Ada yang menamakan negerinya Sekkanasu, Wewattana dan
Belogalung (terj. Abidin, 1985)
62
Cerita berlanjut ketika sebagian pengikut Puangngé ri Lampulungeng yang tidak
meninggalkan daerahnya menemukan seseorang lelaki tinggal di daerah sekitar
sebatang pohon besar dan tinggi di sebelah Barat Danau Lampulungeng. Pohon itu
disebut Bajo (Noorduyn, 1955:43), yang mengutip pendapat De Clerc dan v.d. Veen,
Bajo adalah macaranga, suatu pohon yang tekikannya digunakan untuk dicampurkan
ke dalam tuak sadapan dari batang pohon enau. Tuak yang sudah diberi bumbu tekikan
pohon bajo itu dinamakan tua’ riboli.
Lelaki tersebut dianggap dapat memimpin mereka, sebab kepandaiannya
meramal dan berbicara tidak kalah dengan Puangngé ri Lampulungeng namun orang
tersebut tidak diketahui nama dan asalnya, hanya dikatakan bahwa dia tinggal bekebun
di bawah pohon bajo yang terletak di sekitar Danau Lampulungeng. Orang yang
berwibawa itu menggunakan bahasa ugi (Bugis) dan luuk (Luwu). Dia diberi gelar
Puangngé ri Timpengeng, oleh karena puteranya selalu berkata kepada kawannya kalau
hendak memberikan apa-apa kepada sang pemimpin “Timpengengngi Puatta!”, yang
artinya “Suguhkanlah kepada Tuan kita” atau “Berikanlah Tuan kita”. Puangngé ri
Timpengeng dikatakan tidak kalah dari Puangngé ri Lampulungeng dalam hal
kecakapan memimpin sebuah wanua, salah satunya dibuktikan dengan
memperkenalkan minuman baru berupa tuak yang dicampur dengan tekikan pohon
bajo, yang dapat membuat orang kuat bekerja. Perkampungan Puangngé ri
Timpengeng semakin lama semakin ramai oleh karena terkenal dengan tua’ ribolinya,
dan perkampungan yang ditempati itu dinamakan Boli. Hal ini sebagaimana tertulis
pada kutipan teks berikut ini.
63
Transliterasi:
Namarang engkasi to mabisa-bisa timunna monro koro maddare’ ri tanété orai’é
ri awana aju bajo’ marajaé, tennanré olokolo’ bisésana. Tenrisetto
apoléngenna, warékkadanna ada Luwu’ ada Ogi. Namaégana to Pénrang to
Saébawi to Sarinyameng to Sekkanasu lao mitai, apa’ nasengngi Puangngé ri
Lampulungeng tuo paimeng. Naia lettu’ nana pada mabbennini. Natangnga’ni
rupanna sibawa warékkadanna, tania. Iamua bisa-bisana mappau ia sisemmua,
makkoniro namaéga monro. Naiaro taué rekko engka aga-aga naéllau,
makkedani ana’na “Timpengengngi Puatta”. Jaji ritella’i Puangngé ri
Timpengeng. Naia tau engkaé lao koro rijellokenni pallaong napojié ri Puatta ri
Timpengeng. Engkana maddare’, maggalung, makkaja. Naia to Sarinyamengngé
laotosi massari tua’. Makkedai Puangngé ri Timpengeng ri ana’na “Laoko
kalaki’ mutébba’i aju marajaé mutimpengengngi passarié ri tua’na manyameng
riénung mapai’-pai’. Naia kia napaéncéngngi watangngé mappallaong”. Aga
napada minunna tua’ ribuli sininna tau engkaé lao koro. Jaji natella’toni
onronna ri Boli. Napédé’ tama taué ri Boli, apa’ makkedai taué: “ia Puangngé
ri Timpengeng narekko napainungngi taué taka’ mellawé’ mencéngngi watanna
mappallaong” (sumber: naskah LSW:h.13-16)
Terjemahan:
Lalu ada lagi orang yang pandai meramal tinggal di situ berkebun di padang
sebelah barat di bawah pohon bajo besar, tanamannya tidak dimakan oleh
binatang. Orang itu tidak diketahui pula asalnya namun, dia berbicara
menngunakan bahasa Luwu dan bahasa Bugis. Maka banyaklah orang-orang
Pénrang, Saébawi, Sarinyameng dan Sekkanasu pergi melihatnya sebab mereka
menyangka Puangngé ri Lampulungeng hidup kembali. Setelah mereka tiba,
maka mereka bermalam bersama, ditatap mukanya dan diamati caranya berbicara
ternyata bukan Puangngé ri Lampulungeng. Hanya kepandaiannya berbicara dan
meramal sama benar. Demikianlah sehingga banyak orang yang tinggal di sana.
Orang itu bila ada sesuatu yang dimintanya, anaknya hanya berkata
“Timpengengngi (berikanlah) Tuan kita!” jadi digelarlah ia Puangngé ri
Timpengeng. Adapun orang-orang yang pergi ke sana ditunjukkanlah pekerjaan
yang disukainya oleh Puangngé ri Timpengeng. Ada yang berkebun, bersawah
dan menangkap ikan. Adapun orang-orang Sarinyameng pergi menyadap tuak.
Berkata Puangngé ri Timpengeng kepada anaknya: “Pergilah hai anak-anak,
mengupas kulit kayu besar itu, dan berikanlah kepada para penyadap tuak untuk
dicampurkan pada tuak mereka, karena enak diminum, rasanya pahit-pahit. Akan
tetapi menambah kekuatan kita untuk bekerja”. Maka semua orang-orang yang
pergi ke tempat itu minumlah tuak yang dicampur kulit kayu. Digelarnya pula
tempatnya Boli (sadap). Makin bertambahlah orang masuk di Boli, karena orang
mengatakan bahwa “bila Puangngé ri Timpengeng memberi minum orang tuak
64
yang telah dicampur dengan tebas kayu boli, bertambah kuat badannya bekerja”
(terj. Abidin, 1985)
Berdasarkan kutipan teks di atas dapatlah dikatakan bahwa di negeri Boli sedang
terjadi masa transisi pemerintahan dari Puangngé ri Lampulungeng ke Puangngé ri
Timpengeng. Masa transisi kepemimpinan terjadi sepeninggal Puangngé ri
Lampulungeng, sebab pada waktu itu terjadi kevakuman kepemimpinan pada
masyarakat Boli. Hal ini menjadi musibah besar bagi mereka karena menganggap tidak
ada yang dapat menggantikan pemimpin yang sangat berwibawa itu yang telah
membentuk empat wanua semasa kepemimpinannya yaitu Paung, Pénrang,
Sarinyameng dan Saébawi. Hadirnya Puangngé ri Timpengeng menimbulkan suatu
politik hero (politik yang memanfaatkan suatu keadaan) pada masyarakat Boli, sebab
kemunculannya disaat kondisi masyarakat sedang kacau balau akibat kevakuman
kepemimpinan.
Teks LSW mencatat bahwa pemimpin tersebut ditemukan oleh masyarakat Boli
tepatnya di sebelah Barat pohon bajo. Satu hal yang patut dicatat bahwa transisi
kepemimpinan dengan model politik hero sudah terjadi pada masyarakat Pra-Wajo
melalui perilaku politik yang ditunjukkannya. Hal demikian pada dasarnya memiliki
struktur dengan ciri dalam setiap kegiatan politik sebab tindakan-tindakan yang ada di
dalamnya kemudian dikatakan berdasar pada kewenangan yang sebelumnya telah
dirumuskan dalam budaya masyarakat Wajo. Untuk melaksanakannya dalam tindakan
politik, setiap individu tergambarkan sebagai orang yang mampu memerintah dan
menggunakan kekuasaan secara efektif. Kepemimpinan masyarakat Pra-Wajo
65
(masyarakat Lampulung dan Boli) pada masa lalu juga mencirikan seseorang dapat
menjadi pemimpin jika kepadanya diberi legitimacy atau keabsahan oleh rakyatnya
atas dasar kemampuan orang yang bersangkutan untuk melaksanakan sistem
kepemimpinan yang bersifat kemaslahatan orang banyak. Hal ini ditandai dengan
karakter dalam kepemimpinan masyarakat Pra-Wajo yang memiliki kekuatan
supranatural maupun mistis, sifat yang mewujudkan komponen kharisma bagi
pemimpin dalam kekuasaan (Yusuf, 2012:87).
Sebagaimana layaknya seorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab untuk
membangun dan membuat perubahan dengan tujuan untuk memperbaiki daerah, terus
dilakukan Puangngé ri Timpengeng. Jiwa kepemimpinan yang ditunjukkan tidak cukup
sampai pada kekuatan supranatural dimiliki seperti pandai meramal dan sebagainya,
tetapi sampai pada bagaimana membuat suatu inovasi yang sebelumnya belum pernah
dilakukan misalnya menciptakan minuman yang dapat memberikan kekuatan orang
untuk bekerja. Ditambah lagi perilaku dalam memimpin sedikit berbeda dari pemimpin
sebelumnya, dalam hal musyawarah misalnya dia memanggil orang-orang tua untuk
dimintai sarannya dalam memutus rantai masalah di negeri Boli, karena dia melihat
masih banyak yang perlu diperbaiki salah satunya adalah masalah utama yang dihadapi
rakyatnya pada saat itu berkaitan dengan pertanian. Hal ini sebagaimana tertulis pada
kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naiamua napowénru’ taué agi-agi napau Puangngé ri Timpengeng ia tona
napogau’. Naia gau’na Puangngé ri Timpengeng, esso-esso naobbi’ padanna
66
tomatoa manré ménung, nasipetangngareng agamuni-agamuni maka
madécengngé ri laonrumaé. Ianaro nabunge’ engka tau ppojiwi
sipetangngarengngé (sumber: naskah LSW:h.17)
Terjemahan:
Adapun yang dilakukan orang-orang adalah apa yang dikatakan Puangngé ri
Timpengeng maka itu juga yang dikerjakan. Adapun yang dilakukan oleh
Puangngé ri Timpengeng setiap hari ialah memanggil sesamanya orang-orang tua
untuk makan dan minum sambil bermusyawarah tentang apa saja yang dapat
memperbaiki pertanian. Itulah pertama ada orang yang gemar bermusyawarah
(terj. Abidin, 1985)
Berdasarkan beberapa kutipan teks LSW di atas ada empat hal yang perlu dicatat
yaitu: pertama, pemberian nama Boli berdasarkan keahlian baru dalam hal meracik
minuman yang diperkenalkan Puangngé ri Timpengeng berupa tuak yang dicampur
dengan tekikan pohon bajo, yang membuat orang kuat bekerja; kedua, Perihal
menyadap tuak sebenarnya sudah dilakukan orang-orang Sarinyameng sewaktu
kepemimpinan Puangngé ri Lampulungeng, akan tetapi pada waktu itu belum diketahui
bahwa tuak bisa dicampur dengan tekikan pohon bajo yang dapat memberikan manfaat
bagi orang-orang yang bekerja; ketiga, orang-orang Boli menunjukkan ketaatan
mereka kepada pemimpinnya dengan cara mengikuti apa yang dikerjakan Puangngé ri
Timpengeng sebagai pemimpin baru yang menggantikan Puangngé ri Lampulungeng;
keempat, sebagai seorang pemimpin dia sering melakukan musyawarah dengan cara
memanggil orang-orang tua yang tinggal di negeri Boli untuk membicarakan apa saja
yang perlu dilakukan dan diperbaiki, salah satunya terkait dengan pertanian. Dengan
demikian, pengaruh kepemimpinan Puangngé ri Timpengeng secara tidak langsung
menambah lapangan pekerjaan orang-orang Boli seperti aktivitas menyadap tuak, yaitu
67
tuak yang dicampur dengan tekikan pohon bajo, sebab sebelumnya aktivitas
masyarakat Boli hanya menanam padi, menanam jagung, dan menangkap ikan. Dengan
melihat kondisi dan fakta yang digambarkan dapatlah dikatakan bahwa masyarakat
Boli sudah membagi tugas mereka, yakni ada sebagai pemikir dan ada sebagai pekerja.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, penulis berkesimpulan bahwa kepandaian
Puangngé ri Timpengeng tidak kalah dari pendahulunya yaitu Puangngé ri
Lampulungeng. Hal ini menjadi benar dengan melihat fakta-fakta yang di ungkap,
mulai dari penemuan minuman baru kemudian dilanjutkan dengan melakukan
msuyawarah dengan orang-orang yang ada di Boli. Kesemua hal itu dilakukan
bertujuan untuk membicarakan hal yang perlu dilakukan dan diperbaiki. Dengan
demikian, jika pada wanua sebelumnya seperti Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi
dikatakan orang-orang berdatangan menuju perkampungan itu, maka di Boli orang-
orang lebih banyak lagi berdatangan karena banyaknya hal-hal baru yang dibuat oleh
Puangngé ri Timpengeng yang sangat bermanfaat bagi rakyatnya.
f. Cinnotabi bertransformasi menjadi Kerajaan Wajo
Terbentuknya Cinnotabi sebagai sebuah kerajaan kecil yang mengawali Kerajaan
Wajo adalah secara damai. Cerita pembentukannya juga berbeda dengan kerajaan-
kerajaan Cappagalaé, Soppéng, Tallu Lémbanna, Mampu, Cina, Wéwanriu,
Wawolonrong, Babauaé, Suppa, Siang, Hulu Sungai Saddang, Bantaéng, Tompo tikka,
Bajéng, Sanroboné, Marusu, Bacukiki, Bulu-Tana, Tondong dan Bulo-Bulo (Abidin,
1985:347). Hal tersebut berdasarkan pada raja pertama Cinnotabi yang tidak
68
dinyatakan sebagai tomanurung yaitu makhluk ajaib yang turun dari langit atau
manusia yang muncul dari benua bawah atau bambu gading (Abidin, 1985:348).
Lahirnya Cinnotabi terjadi pada masa pemerintahan Puangngé ri Timpengeng di
Boli. Ceritanya diawali pada waktu Opu Baliranté (pembantu Datu Luwu di bidang
keuangan) pergi berburu di sekitar Boli. Setelah beburu, orang-orang Luwu pergi ke
bawah pohon bajo untuk makan siang sebagaimana yang biasa dia lakukan, akan tetapi
mereka melihat banyak rumah-rumah yang baru didirikan di sana dan akhirnya pergi
ke suatu bukit. Para pengikut Opu Baliranté bertanya: “Apakah sebab Tuanku tidak
langsung saja ke perkampungan itu? Dijawab oleh Opu Baliranté sebagai berikut:
“Macinnong pakkitawa natabbangkangngi”, yang artinya jernih penglihatanku dan
mereka akan terkejut atau lebih tepatnya adalah jelas penglihatanku melihat adanya
rumah-rumah disitu dan mereka akan terkejut kalau saya tiba kesana, sebab barulah
kita melihat mereka dan orang-orang itu juga pertama kali melihat kita.
Atas panggilan Opu Baliranté, maka Puangngé ri Timpengeng bersama orang
Boli datang menghadap Opu Baliranté. Puangngé ri Timpengeng berkata, “Bahwa apa
sebab Opu tidak langsung saja ke perkampungan kami?” Lalu ia menyatakan bahwa
“Lebih baik tempat Opu Baliranté berada disebut Cinnotabbangka”. Opu Baliranté
heran mengapa orang tersebut dapat meramal perkataannya yang sebelumnya
diucapkan kepada para pengikutnya, yang sebenarnya dia juga berpikir lebih dulu
hendak menamakan bukit itu Cinnotabbangka. Dengan demikian, pada saat itu mereka
bersepakat bukit yang ditempati Opu Baliranté beristirahat dinamakan
Cinnotabbangka. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
69
Transliterasi:
Ianaé wettu naengkatona Datué ri Luwu’ lettu’ ri tana Ogi’ sibawa Luwu’é to
Ware’é, mpukke’i wanuaé ri Cenrana. Naengkana wettu nalao nrengngeng
Luwu’é, Opu Baliranté asenna, narapi’ Boli. Namaélo’na soro’ manré esso ri
awana aju bajo’ battoaé naitani maddatu’ bola. Jaji ia Opu Baliranté laoi sappa’
onrong laingngé naonroiwi. Naia onrong naonroié soro’ manré kuai ri bulu’e ri
Cinnotabi’. Naia puranana manré, nassurona mobbi’i to Boli’é. Makkedai
Luwu’é: “Magi tenna kuanaro ri wanuana soro’ manré?” Makkedai Baliranté:
“Tennaé na to matteru’ ri wanuanna, macinnong pakkitawa’
natabbangkangngi’. Nasaba inappanna taita, iaro taué inappatokki’ naita”.
Naengkana Puangngé ri Timpengeng, patappuloi sitinro’ oroané lao sita Opu
Baliranté. Makkedai Puangngé ri Timpengeng: “Magi Opu, tenna kuano ri
bolana atammu to Boli’é matterru’ laoki manré? “Makkedai Baliranté: “Ia
mpawai kuni’ manré macinnong pakkitakku’, tabbangkako matu’, nasaba’ iko
temmuangngattaikkeng, ikkeng temmissettokko. Nasaba ia riolana nakko tollao
nrengngeng natollao kotu ri awana ajué manré de’sa tau rilainnaétoha ikkeng
massilaong”. Makkedai Puangngé ri Timpengeng: “Iatu bulu’ taonroié manré
madecenni rialang aseng ritella’ Cinnotabangka”. Nagilinna Opu Baliranté
pauangngi silaonna makkeda: “Naullé to mabisa-bisa iaé taué. Pékkugi
naullémuna pasikennai patellarekku patellarenna bulu’é ri Cinnotabangka”.
(sumber: naskah LSW:h.18-22)
Terjemahan:
Inilah waktu pada saat Datu Luwu tiba di tanah Bugis bersama orang-orang Luwu
dan orang-orang Ware lalu membuka negeri di Cenrana. Pada suatu waktu orang-
orang Luwu pergi berburu rusa, orang itu bernama Opu Baliranté, kemudian
sampai di Boli. Pada suatu waktu mereka hendak mengundurkan diri untuk
makan siang di bawah sebatang pohon besar dan mereka melihat beratus rumah.
Maka Opu Baliranté pergilah mencari tempat lain untuk ditempatinya. Adapun
tempat yang ditempati makan itu ialah bukit Cinnotabi’. Setelah mereka makan,
maka disuruh undanglah orang-orang Boli. Berkata orang-orang Luwu’:
“Mengapa tidak ke sana saja kita pergi untuk makan?” Berkata Opu Baliranté:
“Seandainya kita terus ke negeri mereka, macinnong (jelas) penglihatanku dan
akan tabbangka (heranlah) mereka, sebab barulah kita melihat mereka dan orang-
orang itu juga pertama kali melihat kita”. Datanglah Puangngé ri Timpengeng
bersama empat puluh orang lelaki untuk pergi bertemu dengan Opu Baliranté.
Berkata Puangngé ri Timpengeng: “Mengapa Tuanku tidak terus pergi ke rumah
abdimu orang-orang Boli saja untuk makan?” berkata Baliranté: “di sini saja
kami makan, dan saya bisa memastikan engkau akan terkejut karena kalian tidak
mengharapkan kunjungan kami, dan kami tidak mengenal kalian. Sebab,
sebelumnya bila kami pergi berburu dan pergi di bawah pohon kayu untuk
70
makan, tidak ada orang selain dari kelompok kami yang berteman”. Berkata
Puangngé ri Timpengeng: “Bukit yang ditempati makan itu, baiklah diberi nama
Cinnotabangka. Menolehlah Opu Baliranté kepada teman-temannya, lalu
berkata: “mungkin orang ini pandai meramal. Mengapa ia dapat menyesuaikan
penggelaranku dan penngelarannya terhadap bukit Cinnotabangka (terj. Abidin,
1985)
Kutipan teks di atas menggambarkan bahwa Kerajaan Cinnotabi yang dipimpin
Puangngé ri Timpengeng sudah mengenal hubungan dengan kerajaan lain. Hal ini
terjadi pada saat Opu Baliranté (pembantu Datu Luwu yang bertugas mengurus harta
kekayaan) berkunjung ke Boli (pusat pemerintahan Kerajaan Cinnotabi) bersama
dengan pengikutnya. Sesampainya di Boli dia melakukan perundingan dengan
Puangngé ri Timpengeng yang menghasilkan sebuah keputusan yang mengatakan
bahwa bukit tempat mereka saling bertemu dinamakan Cinnotabbangka, yang
kemudian berubah menjadi Cinnotabi. Cerita pemberian nama tersebut menurut LSW
adalah sesuai dengan keterangan beberapa informan di Sengkang dan beberapa orang-
orang tua di Tosora. Adapun perubahan nama Cinnotabangka sehingga menjadi
Cinnotabi tidak diperoleh keterangan yang memuaskan, namun sampai sekarang ada
desa (wanua) yang bernama Cinnotabi yang termasuk kecamatan Majauleng (Abidin,
1985:346).
Cerita berlanjut ketika Puangngé ri Timpengeng yang memimpin Kerajaan
Cinnotabi menemui titik ajalnya di Boli dan menyebabkan masyarakat Boli bubar.
Setelah kejadian tersebut, singkat cerita bahwa berduka citalah orang-orang Boli, sebab
tidak ada lagi tempat mereka berlindung dan mereka takut kalau ada lagi pertanyaan
dari Luwu, Bone, ataupun dari Gowa, sedangkan tidak ada yang dapat menjawab
71
pertanyaan mereka seperti halnya Puangngé ri Timpengeng. Sama halnya dengan
Puangngé ri Lampulungeng, Puangngé ri Timpengeng juga tidak menunjuk puteranya
sebagai penggantinya untuk memimpin di kemudian hari. Sepeninggal Puangngé ri
Timpengeng, maka sepakatlah orang-orang Boli untuk beratap rumput ilalang,
pertanda bahwa mereka tidak termasuk kaula kerajaan Bone, Luwu, atau Gowa, tetapi
mereka adalah orang-orang Boli yang merdeka. Di kala itu yang terpandang di Boli
adalah mereka yang kaya, posisinya tidak berada diantara orang terpandang layaknya
Puangngé ri Timpengeng sebagai seorang pemimpin. Menurut Andi Makkaraka dan
Andi Paramata, di kala itu keluarga-keluarga besar atau appang dipimpin oleh orang
yang dituakan yang disebut anang. Seperti Puangngé ri Timpengeng yang selain pandai
meramal, juga cakap memimpin musyawarah yang disebut assipetangngareng dan
juga mampu menjawab pertanyaan orang-orang luar (Abidin, 1985:345). Hal ini
sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Namaténa Puangngé ri Timpengeng ri Boli. Masarani to Bolié. Dé’
addakkarenna, namétau’to aja’kammana engkasi pakkutanana Luwu’ iaré’ga
Boné iaré’ga na Gowa, nadé’ gaga baliwi adanna padaé tosa Puangngé ri
Timpengeng. Napada mpenru’na to Bolié akkaleng nabbeungeng déa, apa’ ia to
Bonéwé mabbeungeng nipa maneng. Engka ammani pangolli’na Luwu’,
Bawokaraéng naseng manai’. Narékko engkasi pangolli’ na Gowa, Lantimojong
naseng manai’. Narékko engkai pangolli’na Boné pabbeungennamani najello’.
Bettuanna tania to Boné, apa’ de’ gaga séua maélo’ narolai nakasiwiangi
(sumber: naskah LSW:h.31)
Terjemahan:
Kemudian meninggallah Puangngé ri Timpengeng di Boli dan berduka citalah
orang-orang Boli, sebab tidak ada lagi tempat mereka berlindung dan mereka
juga takut kalau ada lagi pertanyaan dari Luwu’, dari Bone ataupun dari Gowa
72
sedangkan tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan mereka seperti halnya
Puangngé ri Timpengeng. Bersama-sama mencari akallah orang-orang Boli
untuk beratap rumput ilalang, sebab orang-orang Bone semuanya beratap nipa.
Kalau ada panggilan dari Luwu, Bawokaraeng yang disebutnya di atas. Bila ada
panggilan dari Gowa, Latimojong disebutnya di atas. Bila ada panggilan dari
Bone atap rumahnya yang ditunjuk, artinya mereka bukan orang Bone, karena
tidak ada negeri yang hendak diikuti dan diabdi oleh mereka (terj. Abidin, 1985)
Kutipan teks di atas memberi pemahaman kepada kita semua bahwa orang-orang
Boli adalah orang-orang yang merdeka (bebas), sebab sepeninggal Puangngé ri
Timpengeng mereka tidak ingin menyerahkan diri dengan kerajaan lain seperti Luwu
atau Bone. Hal ini terbukti Pada suatu hari yang bersamaan datanglah perintah Luwu,
Gowa dan Bone untuk menanyakan asal dan kepengikutan serta hendak menagih
widattali (pajak bumi dan bangunan). Berlarianlah orang-orang Boli dan terpencar-
pencar, sehingga akhirnya bubarlah masyarakat yang belum mengenal raja dan
bangsawan itu. Pada saat itu orang-orang Boli bersepakat ketika ada pertanyaan dari
kerajaan lain, maka mereka menjawab “Saya orang Boli lahir di sini” dan tidak ingin
menyerahkan diri atau ikut dengan kerajaan lain seperti Gowa, Luwu ataupun Bone.
Pada waktu itu untuk menjelaskan sebuah identitas diri atau kepengikutan seseorang
terhadap kerajaan lain, maka dilakukan dengan cara menunjuk arah saja seperti jika
ada yang menunjuk gunung Bawakaraeng berarti dia berasal dari Gowa, ketika ada
yang menunjuk Latimojong berarti dia berasal dari Luwu dan ketika ada yang
menjawab beratap daun pohon nipa berarti dia adalah orang Bone. Hal ini sebagaimana
yang tertulis pada kutipan teks berikut ini.
73
Transliterasi:
Naia ri munrinna, engkana naengka wettu nasitakkappong maneng surona
Luwu’, Gowa, Boné makkutana: to aga apoléngenna, nigato narolai, maélo’ topi
mala widattali (sumber: naskah LSW:h.32)
Terjemahan:
Kemudian, pada suatu waktu yang bersamaan datanglah suruhan Luwu, Gowa,
dan Bone bertanya tentang orang apakah mereka, dari mana asalnya dan kepada
siapa mereka mengikut. Mereka hendak pula memungut pajak hasil bumi (terj.
Abidin, 1985)
Ada empat hal yang perlu dicatat berdasarkan beberapa kutipan teks di atas:
pertama, Cinnotabi merupakan sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh Puangngé ri
Timpengeng yang berpusat pemerintahan di Boli; kedua, hubungan dengan orang-
orang luar untuk pertama kalinya terjadi pada masyarakat Boli, orang luar yang
dimaksud itu adalah Luwu; ketiga, masyarakat Boli merupakan orang-orang merdeka,
sebab mereka tidak ingin menyerahkan diri atas perintah dari kerajaan lain, seperti
Luwu atau Bone; dan keempat, latar belakang lahirnya Cinnotabi disebabkan
kepandaian Puangngé ri Timpengeng yang pada waktu itu mampu meramalkan apa
yang sebelumnya sedang diperbincangkan Opu Baliranté bersama pengikutnya yang
intinya bukit tempat Opu makan lebih baik digelar Cinnotabangka, yang bersumber
dari perkataan Opu Baliranté sebelumnya bahwa “Macinnong pakkitawa
natabbangkangngi” yang artinya jernih penglihatanku dan mereka akan terkejut,
kemudian diurai menjadi cinnong (jernih) dan tabbangka (terkejut). Dengan demikian,
Opu Baliranté menyarankan bahwa lebih baik tempat itu dinamakan
74
Cinnongtabbangka. Adapun perubahan nama Cinnongtabbangka menjadi Cinnotabi
terjadi pada masa pemerintahan La Paukke (Arung Cinnotabi I).
2. Hubungan Politik Antara Wanua Satu Dengan Wanua Lainnya
a. Hubungan kekuasaan Boli dengan Pénrang
Hubungan politik atau kekuasaan yang dilakukan Boli dengan Pénrang terjadi
pada saat Kerajaan Cinnotabi sedang mengalami kekosongan pemimpin yang
disebabkan rajanya sedang dalam posisi bersitegang atau bertentangan pandangan.
Raja Cinnotabi pada saat itu adalah La Tenribali dan La Tenritippe’ (Arung Cinnotabi
V) yang menurut Abidin, (1985:391) menjadi raja secara bersamaan yang disebut
“Napabbali salo’i ia dua” atau secara harfiah diseberangsungaikan mereka berdua.
Hal ini terjadi oleh karena La Patiroi sebelum meninggal tidak menunjuk calon
penggantinya yang sesuai dengan sistem kooptasi yang pernah berlaku di Kerajaan
Romawi pada masa pemerintahan raja-raja Antonius. La Tenribali dan La Tenritippe’
menjadi raja setelah rakyat Cinnotabi bersepakat untuk mengangkat mereka berdua,
dengan alasan mereka mampu menggantikan bapaknya sebagai raja. Hal ini
sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Tessiagato ittana arung mabbali salo’ mappadaoroané Petta La Tenribali
sibawa Petta La Tenritippe’’ napada lainna élo’na. Naia Petta La Tenritippe’’
naésai’i ammaradékangenna to Cinnotabi’é, naddarinna pabbanuaé (sumber:
naskah LSW:h.67)
Terjemahan:
Tiada berapa lamanya memerintah dan berkedudukan sama dua bersaudara Tuan
kita La Tenribali dan Tuan kita La Tenritippe’, maka keduanya berbeda
75
pendapat. Adapun tuan kita La Tenritippe’ dilanggarnya hak kebebasan orang-
orang Cinnotabi maka menderitalah penduduk (terj. Abidin, 1985)
Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa musibah keruntuhan Kerajaan
Cinnotabi disebabkan pertentangan antara La Tenribali dan La Tenritippe’. Ceritanya
bermula pada peristiwa perampasan wewenang Matoa Pabbicara yang dilakukan oleh
La Tenritippe’. Dampak peristiwa tersebut membuat seorang warga yang menjadi
korban datang menghadap La Tenribali untuk menggugat perbuatan La Tenritippe’,
kemudian La Tenribali menyerahkan perkara assilellungeng (gugatan sipil) tersebut
kepada Matoa Pabbicara, sebab ini menjadi kewenanangannya sebagai pendamping
raja yang bertugas di bidang peradilan. Sementara orang itu diperiksa oleh sang hakim,
maka tiba-tiba La Tenritippe’ memerintahkan seorang warga agar penggugat itu datang
menghadap kepadanya, sebab lawannya sedang diperiksa oleh dia dan demikian pula
saksi-saksinya. Cara mengadili La Tenritippe’ adalah langsung memutuskan bahwa
tergugatlah yang menang tanpa penggugat diberikan pertanyaan sekali pun dan saksi-
saksinya pun demikian. Akhirnya keputusan telah bulat bahwa tergugatlah yang
menang dan penggugat diperintahkan untuk membayar ganti kerugian biaya perkara.
Adapun Orang yang dirugikan itu pergilah mengadu kepada La Tenritau sepupu sekali
raja.
Hingga pada akhirnya La Tenritau pun mengetahui hal ini, oleh karena itu dia
mengajak saudaranya bernama La Tenripekka dan sepupunya bernama La Matareng
untuk mengadukan hal ini kepada La Tenribali dan memohon supaya dia menasehati
saudaranya. Peristiwa ini menjadi beban bagi La Tenribali, sebab nasehatnya sama
76
sekali tidak diindahkan oleh La Tenritippe’. Akibat peristiwa ini rakyat Cinnotabi
berkumpul untuk membicarakan perbuatan Arung Cinnotabi muda La Tenritippe’, dan
memutuskan bahwa perbuatan mengadili tanpa memeriksa kedua belah pihak dan
saksi-saksinya adalah sebuah pelanggaran berat yang dilakukan oleh seorang raja, yang
secara aturan kerajaan tidak memiliki wewenang untuk mengadili, sebab hal itu secara
tidak langsung merampas wewenang Matoa Pabbicara sebagai hakim. Selain
bertentangan dengan bicara (Hukum Acara Peradilan), juga tidak memiliki keabsahan
serta melanggar hak-hak asasi rakyat, caranya mengadili adalah hanya mendengarkan
satu pihak saja yang disebut riémpékeng bicara (dilempari keputusan). Mereka juga
menyatakan bahwa La Tenritippe’ sering melanggar perjanjian pemerintahan di
Cinnotabi yang diadakan oleh Rajallangi (Arung Babauaé) yang mewakili istrinya, Wé
Tenrisui (Arung Cinnotabi III) dan juga rakyat. Hal ini sebagaimana tertulis pada
kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Ia assabarenna engka to Cinnotabi’ mappangéwang naénré’ ri Arung Cinnotabi
La Tenribali parape’i bicaranna. Naia Arung Cinnotabi’ La Tenribali
nasorongngi lao ri Matoa Pabbicaraé, naia riolo nasuro tangnga’i. Naia tosi
seddié ménré’i ri Arung Cinnotabi’ La Tenritippe’’ parape’i. Naia Arung
Cinnotabi’ La Tenritippe’’ naissenna makkedaé engkani palé’ to
mappangéwangngé risuro ri daékku no’ ri Matoa Pabbicaraé, nasuro tampaiwi.
Makkedai suroé: “Nasuro tampaiko Petta ri Cinnotabi’ maloloé. Engkairo ri
asé’ balimmu parape’i bicaranna”. Makkedai to risuroé tampai: “Petta ri
Cinnotabi’ macoaé suroakka’ no’ ri Matoa Pabbicaraé”. Makkedai to risuroé:
“Madécéngngi’ ménré’”. Jaji ménré’i natterru’ tudang ri olona Arung
Cinnotabi’ La Tenritippe’’. Naia Arung Cinnotabi’ La Tenritippe’’ iamaniro
tabbulu’é engka ri olona tudang naéwa mappau. Naia balinna nasuroé molli’
dé’na naéwai ada. Mau nakkutanangngé pangewanna de’tona. Oncoppisa
nakkutanangnge sabbinna, naluru nasalang iaro tau nasuroé mobbi’ nasuroi
massulu’ (sumber: naskah LSW:h.68)
77
Terjemahan:
Adapun sebabnya ada orang Cinnotabi berselisih dan menghadap Arung
Cinnotabi La Tenribali untuk melaporkan perkaranya. Adapun Arung Cinnotabi
La Tenribali melimpahkannya ke Matoa Pabbicara dan mereka disuruh dahulu
memeriksanya, sedangkan yang lain pergi ke Arung Cinnotabi La Tenritippe’
melapor. Adapun Arung Cinnotabi La Tenritippe’ setelah mengetahui bahwa
orang yang berselisih itu disuruh oleh kakaknya pergi ke Matoa Pabbicara, maka
disuruh panggillah orang itu. Berkata pesuruh itu: “Disuruh panggil engkau oleh
Tuan kita yang muda di Cinnotabi, sebab lawanmu telah ada di istana
menyampaikan perkaranya”. Berkata orang yang disuruh panggil: “Tuan kita di
Cinnotabi yang tua menyuruh aku untuk menghadap Matoa Pabbicara”. Berkata
orang yang disuruh: “Lebih baik engkau menghadap”. Akhirnya orang yang
disuruh panggil itu jadilah naik di istana dan terus duduk di hadapan Arung
Cinnotabi La Tenritippe’. Adapun Arung Cinnotabi La Tenritippe’ hanya
berbicara dengan orang yang lebih dahulu ada di hadapannya, sedangkan
lawannya yang disuruh panggil tidak diajak berbicara, bahkan perselisihannya
pun tidak ditanyakan dan lebih-lebih saksi-saksinya tidak ditanyakan pula, La
Tenritippe’ langsung menyalahkan orang yang disuruh panggil itu dan diberi
hukuman untuk membayar ganti rugi (terj. Abidin, 1985)
Setelah mengetahui hasil musyawarah yang sangat merugikan rakyat, maka
sepupu sekali Arung Cinnotabi V yang bernama La Tenritau, La Tenripekka dan La
Matareng memutuskan untuk meninggalkan Cinnotabi bersama keluarga mereka dan
diikuti oleh tiga orang kepala persekutuan hukum adat yaitu Matoa Majauleng, Matoa
Sabbamparu, Matoa Tekkalalla, para bangsawan dan sebagian besar rakyat (Abidin,
1985:393). Adapun yang menjadi alasan utama mereka meninggalkan Cinnotabi
karena nasehatnya tidak disetujui oleh La Tenritippe’ terkait masalah yang dihadapinya
dan mereka berpandangan bahwa hal itu seharusnya tidak dilakukan oleh raja sebagai
pemimpin kerajaan, sebab sangat merugikan rakyat. Protes rakyat dengan cara
meninggalkan raja adalah alat untuk mengakibatkan raja masiri (aib besar), sebab raja
tanpa rakyat tidak mempunyai siri yang utuh. Dengan cara seperti itu juga dapat
78
memberikan pelajaran bagi pemimpin yang melakukan kesalahan karena peristiwa ini
dianggap memperkosa hak kebebasan rakyat. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan
teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia Petta La Tenritau’, La Tenripekka, La Matareng naitana mapeddi’ to
Cinnotabi’é massituru’ni tellu mallékké’ dapureng natiwi’i ana’na pattarona ri
Boli, naccoé’ Matoaé ri Cinnotabi’, Matoaé ri Majauleng, Matoaé ri
Sabbamparu, Matoaé ri Tekkalalla’ sibawa anakkarungngé, tau tongekkarajaé.
Nakkuna ri Boli siratté-ratté nakkotana pada mébbu’ pallaong (sumber: naskah
LSW:h.72)
Terjemahan:
Adapun Tuan kita La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng setelah
dilihatnya orang-orang Cinnotabi menderita, maka bersepaktlah ketiganya untuk
pindah bersama hartanya, lalu membawa anak dan istrinya ke Boli, maka
mengikutlah Matoa Cinnotabi, Matoa Majauleng, Matoa Sabbamparu, Matoa
Tekkalalla, orang-orang bangsawan dan orang baik. Maka di Bolilah mereka
saling bertemu, dan di sana pula mereka bersama-sama membuat lapangan kerja
(terj. Abidin, 1985)
Pada saat tiba di Boli, mereka membangun tiga perkampungan dan membuka
sawah. Daerah dimana La Tenritau tinggal bersama para pengikutnya dinamakan
Majauleng, daerah La Tenripekka dinamakan Sabbamparu dan daerah La Matareng
dinamakan Tekkalalla. Ketiga daerah tersebut berfederasi (membentuk kesatuan) dan
menyebut kesatuan itu Lipu’ Tellu Kajurué, yaitu negeri yang terdiri atas tiga bagian
yang tak terpisahkan bagaikan buah kemiri. Ketiga triumviratus tersebut mempunyai
wewenang yang sama untuk melaksanakan pemerintahan dalam arti luas di tingkat
pusat kerajaan, sedangkan di daerah masing-masing mereka memerintah tanpa campur
tangan kepala persekutuan yang lain. Di tiap-tiap daerah yang disebut limpo, raja
79
berdampingan dengan matoa sebagai wakil rakyat limpo. Ketiga orang matoa juga
merangkap menjadi wakil rakyat di pusat pemerintahan Lipu’ Tellu Kajurué di Boli,
dalam artian rakyat Boli mempunyai dua kewargaan yaitu warga limpo dan sekaligus
warga Lipu’ Tellu Kajurué. Hal ini sebagaimana yang tertulis pada kutipan teks berikut
ini.
Transliterasi:
Naia pada kuanna ri Boli, engkana maggalung, maddare’, massari, makkaja,
nrengngeng mala bua-bua rianré ale’é. Napattellu konrottoi aléna. Petta La
Tenritau’ masengngi wanuana Majauleng, Petta La Tenripekka masengngi
wanuanna Sabbamparu, Petta La Matareng masengngi wanuanna Tekkalalla’.
Naia aseng parujunna Lipu’’ Tellu Kajuru’é ri Boli. Naia naonroié makkarung
La Tenritau’, nasengngi Majauleng. Naia naonroié makkarung La Tenripekka,
nasengngi Sabbamparu. Naia naonroié makkarung La Matareng, nasengngi
Tekkalalla’. Natella’ni Lipu’ Tellu Kajuru’é, ia parujungasenna Boli (sumber:
naskah LSW:h.73-77)
Terjemahan:
Adapun ketika semua berada di Boli, ada yang bersawah, berkebun, menyadap
tuak, menangkap ikan, berburu dan mengambil buah-buahan yang dapat dimakan
di hutan. Maka mereka mengelompokkan diri menjadi tiga untuk mendiami
perkampungan masing-masing. Tuan kita La Tenritau menamakan negerinya
Majauleng, Tuan kita La Tenripekka menamakan negerinya Sabbamparu, Tuan
kita La Matareng menamakan negerinya Tekkalalla. Adapun nama pengikatnya,
Lipu’ Tellu Kajurué. Adapun tempat memerintah La Tenritau dinamakannya
Majauleng. Adapun tempat memerintah La Tenripekka dinamakannya
Sabbamparu. Adapun tempat memerintah La Matareng dinamakannya
Tekkalalla. Digelarnya Lipu’ Tellu Kajurué, dan adapun nama pengikatnya Boli
(terj. Abidin, 1985)
Adapun La Tenribali dan La Tenritippe’ setelah melihat perpindahan rakyat
Cinnotabi, akhirnya pindah juga ke suatu daerah bersama pemuka-pemuka masyarakat
yang masih menetap di Cinnotabi, untuk membuka negeri baru bernama Kerajaan
Pénrang yang terdiri dari Pénrang, Saébawi, dan Sarinyameng. Setelah mereka
80
meninggalkan Cinnotabi, maka sepupu sekalinya yang bernama Wé Tenrigau
membongkar istana di Cinnotabi dan dibawa menyeberang ke Mampu dan menetap di
Mampu, sejak saat itu kosonglah Cinnotabi. Dengan melihat kondisi Cinnotabi yang
kosong dan mengalami kehancuran, maka pemimpin ketiga limpo yang tergabung
dalam Lipu’ Tellu Kajurué melakukan musyawarah dengan rakyat Boli, dan
memutuskan untuk membesarkan kembali negeri mereka seperti apa yang telah
dilakukan La Patiroi (Arung Cinnotabi V) dahulu dimasa pemerintahannya, dengan
kata lain ingin membentuk kembali Kerajaan Cinnotabi yang telah hancur.
Oleh karena itu, La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng mengumpulkan
orang-orang Lipu’ Tellu Kajurué menuju Kerajaan Pénrang untuk menghadap La
Tenribali yang menjadi raja di sana, dengan tujuan untuk membicarakan hasil
musyawarahnya dengan rakyat Boli, dalam hal ini maksud kedatangannya adalah ingin
menjadikan La Tenribali sebagai Arung Mataesso (raja matahari) pada kerajaan
federasi (kesatuan) yang nantinya akan dibentuk. Setelah mereka itu sampai di
Pénrang, berkata La Tenribali kepada ketiga Arung yang tergabung dalam Lipu’ Tellu
Kajurué (Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla) bahwa “Apa gerangan maksud
kalian datang ke sini?, karena saya juga memang telah rindu untuk bertemu dengan
kalian”. Menjawablah ketiga Arung bahwa “Hasil keputusan musyawarah kami orang-
orang Lipu’ Tellu Kajurué di Boli, mengatakan “Engkaulah yang hendak kami angkat
sebagai Arung Mataesso dan kami akan mendampingi kemuliaanmu, kita akan bekerja
sama dengan baik berdasarkan kejujuran, kebenaran dan kewajaran kita sekalian.
Engkau memelihara kami, menyelimuti kami agar tidak hampa dan menghindarkan
81
kami dari malapetaka”. Berkata lagi La Tenribali “Memang itulah juga maksudku
bertemu dengan kalian, sebab aku ingin membukakan kalian adat dahulu di Cinnotabi
pada masa pemerintahan Tuan kita La Patiroi (Arung Cinnotabi IV) yang diwariskan
oleh Tuan kita La Rajallangi dan kita mencari adat pemupakatan yang dapat
membesarkan negeri kita”. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia Arung Cinnotabi’ La Tenribali naitana maru’-sa’ Cinnotabi’ massu’ taué,
nasalaitoni Cinnotabi’ nassu’ lao ri Pénrang, ri Saébawi, ri Sarinyameng
mpukke’ wanua sibawa padaoroanéna riasengngé La Tenritippe’’, naccoé’si ina
taué engkaé monro tellao ri Boli. Naia sappo sisenna Arung Cinnotabi’
riasengngé Wé Tenrigau’, nalukaitoni salassa’é ri Cinnotabi natiwi’i mattékka
ri Mampu, naonrona Petta Wé Tenrigau’ ri Mampu. Nalobbanna Cinnotabi’.
Naia Petta La Tenritau’, La Tenripekka, La Matareng napasipulungngi to Lipu’’
Tellu Kajuru’é ri Boli. Naia nassiturusi laoé ri Pénrang suddingngi Petta La
Tenribali natiwi’i ri Boli napakkarungngi, nalai Arung Mataesso, naranrengngi
alebbirenna, nasipauju’ madécéng ri alempurenna ri assitinajanna iamaneng.
Napada laona to matoaé ri Boli madduppa. Naia lettu’na ri Pénrang napoadanni
assiturusenna Lipu’’ Tellu Kajuru’é ri Boli. Naengkana Petta La Tenribali tama
ri Boli sitinro’ ina taué ri Pénrang sibawa to Bolié laoé madduppa. Naia
lettu’nana ri Boli nasitudangeng Petta La Tenribali massappo siseng Petta La
Tenritau’, La Tenripekka, La Matareng sibawa to Bolié. Makkedai Petta La
Tenribali ri sappo sisenna: “Angngaré’ga muollirengnga’ apa’ ia’ muddani
mémettona maélo’ sitako” Makkedai Petta La Tenritau’, La Tenripekka, La
Matareng: “Assiturusenna ikkeng to Lipu’’ Kajuru’é ri Boli: iko maélo’ riala
Arung Mataesso, kiranrengngi alebbiremmu, tasipauju’ madécéng ri
alempuretta ri atongengetta’ ri assitinajatta idi’ maneng. Namuarupekkeng,
musaLipu’ri temmacekké’, mudongiri temmatippa’keng mupanini’keng ri
maja’é, tasilettukeng ri majéngngé muabbicarangngi’ bicara malempu’,
tamana’é ri Puatta La Patiroi, namana’é ri Puatta La Rajallangi’, namaraja
Cinnotabi’, naengkamani nrusa’i bicara malempu’é namarusa’na Cinnotabi’”.
Makkedai Puatta La Tenribali: “Ia mémenna maélo’ usitakko”. Naia maélo’
bukkarekko ade’ rioloé ri Cinnotabi’ ri wettunna Puatta La Patiroi, namana’e ri
Puatta La Rajjallangi’, kuae topa tasappa’ ade’ assituruseng maka
perajaiengngi wanuatta, naccolli’ naddaung, nattakké nappaleppang
napparanga-ranga nalorong lao alau’ lao orai’, lao maniang lao manorang.
Namacekké’ raunna riannaungngi, taébburengngi janci, tappésabbiangngi ri
Déwata Séuaé. Namadécénni tositudangeng sangadi ri Majauleng, aja’ naengka
82
dé’, nalamuni pangali’ engkamuni, rirupa engkaé, risappa’ dé’é” (sumber:
naskah LSW:h.78-81)
Terjemahan:
Adapun Arung Cinnotabi La Tenribali setelah dilihatnya rusak Cinnotabi dan
orang-orang bersama-sama keluar, ditinggalkannya pula Cinnotabi dan pergi ke
Pénrang, Saébawi dan Sarinyameng untuk membuka negeri baru bersama
saudaranya yang bernama La Tenritippe’ dan mengikut pula pemuka-pemuka
masyarakat yang masih tinggal yang tidak pergi ke Boli. Adapun sepupu
sekalinya Arung Cinnotabi yang bernama We Tenrigau membongkar pula Istana
di Cinnotabi dan dibawanya menyeberang ke Mampu dan tinggallah Tuan kita
We Tenrigau di Mampu. Kosonglah Cinnotabi. Adapun Tuan kita La Tenritau,
La Tenripekka dan La Matareng dikumpulkannya orang-orang Lipu’ Tellu
Kajurué di Boli. Yang dimupakati ialah mereka akan pergi ke Pénrang untuk
mengundang Tuan kita La Tenribali dan dibawanya ke Boli untuk memerintah
dan diangkat menjadi Arung Mataesso (Raja Matahari) dan didampingi
(diperkuat) kemuliaannya dan bekerja sama dengan baik berdasarkan kejujuran
dan kewajaran mereka semuanya. Maka, pergi semualah orang-orang tua di Boli
untuk menjemput. Setelah mereka sampai di Pénrang, diberitahukanlah hasil
kesepakatan orang-orang Lipu’ Tellu Kajurué di Boli. Maka datanglah Tuan kita
La Tenribali dan masuk ke Boli untuk menjemput. Setelah tiba di Boli, maka
Tuan kita La Tenribali duduklah secara bersama (bermusyawarah) dengan para
sepupu sekalinya yaitu Tuan kita La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng
serta orang-orang Boli. Berkata Tuan kita La Tenribali kepada sepupu-sepupu
sekalinya: “Apa gerangan maksud kalian memanggilku, karena saya juga
memang telah rindu untuk bertemu dengan kalian”. Menjawab Tuan kita La
Tenripekka dan La Matareng: “Hasil keputusan musyawarah kami orang-orang
Lipu’ Tellu Kajurué di Boli, engkaulah hendak kami akan angkat sebagai Arung
Mataesso (Raja Matahari) dan kami akan mendampingi kemuliaanmu, kita
bekerja sama dengan baik berdasarkan kejujuran, kebenaran, dan kewajaran kita
sekalian. Engkau memelihara kami, menyelimuti agar kami tidak keinginan,
engkau lengkapi kami agar tidak hampa, engkau menghindarkan kami dari
malapetaka, kita sama-sama sampai pada kebaikan dan kau laksanakan peradilan
yang berdasarkan kejujuran yang engkau pusakai dari Tuan kita La Patiroi, yang
dipusakainya dari Tuan kita La Rajallangi, sehingga besar Cinnotabi dan barulah
bubar Cinnotabi setelah ada orang yang merusak peradilan berdasarkan
kejujuran”. Berkata Tuan kita La Tenribali: “Memang itulah maksudku bertemu
dengan kalian, sebab aku ingin membukakan kalian adat dahulu di Cinnotabi
pada masa Tuan kita La Patiroi yang dipusakainya dari Tuan kita La Rajallangi
dan kita mencari adat permupakatan yang dapat membesarkan negeri kita, agar
berpucuk, berdaun, bertangkai dan berpelepah, melebar serta menjalar ke timur,
ke barat, ke selatan dan ke utara. Dingin daunnya tempat kita bernaung, kita
83
membuatkannya janji dan dipersaksikan kepada Dewata Yang Esa. Baiklah, kita
akan bermusyawarah lusa di Majauleng dan jangan ada yang tidak hadir, semua
orang yang telah dewasa hadir semua, akan dicatat yang hadir dan dicari yang
tidak hadir” (terj.Abidin, 1985)
Setelah mereka melakukan musyawarah dengan La Tenribali, maka ketiga orang
kepala limpo di Boli dan para matoa memutuskan untuk memilih La Tenribali menjadi
Arung Mataesso (raja matahari) di Boli, untuk memerintah ketiga limpo mengayomi
rakyat serta melaksanakan hukum adat seperti yang telah ditetapkan pada masa
pemerintahan La Patiroi (Arung Cinnotabi IV), yang dasarnya diletakkan oleh La
Rajallangi (perjanjian Cinnotabi). La Tenribali menyetujui putusan itu dengan syarat
bahwa sebelum diangkat menjadi raja, maka harus dibuat perjanjian pemerintahan yang
antara lain menetapkan hubungan kekuasaan raja dengan kepala limpo, hubungan hak
dan kewajiban antara raja dan matoa dan menetapkan bahwa semua hukum adat yang
telah ditetapkan di Cinnotabi diberlakukan, termasuk hak-hak asasi manusia.
Dalam menjalankan pemerintahannya Arung Mataesso harus menghormati hak-
hak otonomi daerah-daerah (limpo), semua pejabat kerajaan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah harus saling menghormati wewenangnya masing-masing
tanpa campur tangan pihak lain, para matoa harus menjadi anggota Dewan Pemerintah
Pusat dan Daerah dan Matoa Pabbicara memiliki kewenangan mengadili perkara sipil
dan kejahatan di limpo masing-masing. Hak-hak rakyat seperti ade’ ammaradékangeng
(adat kebebasan rakyat) harus dihormati oleh para pejabat, termasuk hak milik rakyat.
Pejabat limpo yang satu tidak boleh langsung memasuki limpo lain untuk menangkap
orang sebelum meminta izin pejabat limpo lain dan sebaliknya mereka hanya meminta
84
kepada limpo lain supaya menyerahkan penjahat yang dicari, termasuk saksi-saksi yang
diminta memberikan keterangan di limpo pemohon (Abidin, 1999:125).
La Tenribali juga mengusulkan bahwa di samping ade’ pura onro (hukum adat
yang telah ditetapkan lebih dahulu dan ternyata dalam praktek terbukti telah
bermanfaat bagi seluruh rakyat) diakui sebagai hukum yang tak boleh diubah lagi,
sedangkan ade’ assimémengenna wanuaé (hukum adat yang tidak dibentuk oleh
pemerintah, tetapi lahir dan berkembang di antara rakyat) juga harus dihormati.
Diusulkannya pula supaya dibentuk ade’ assituruseng, yaitu hukum adat yang lahir
dari hasil assipetangngareng (musyawarah) antara pejabat-pejabat kerajaan dan wakil-
wakil rakyat (para matoa dan ulu anang) untuk mengatur hal-hal yang tidak diatur oleh
ade’ maraja (adat besar bagi raja-raja), ade’ abiasang (adat kebiasaan bagi rakyat),
tuppu’ (aturang yang mengatur tingkat-tingkat adat dan hubungan hukum antara
seorang ayah dan anaknya), wari’ (aturan untuk membedakan hal-hal yang patut
dibedakan, misalnya kelas-kelas masyarakat) dan rapang (sistem pengambilan
keputusan atau yurisprudensi). Semua aturan tersebut diberlakukan baik di tingkat
pemerintah pusat, maupun di daerah-daerah. Hukum Adat demikian setiap waktu dapat
diubah berdasarkan kehendak bersama pemerintah dan yang diperintah, jikalau
ternyata tidak bermanfaat dan merugikan rakyat (Abidin, 1985:405). Hal ini
sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Aga nadapi’ni esso nassijancingié, pada engka manenni to Bolié sipulung ri
Majauleng arumpanua, matoa malolo dé’ gaga dé’, nakkunaro sipetangngareng
mengngorangiwi ade’ rioloé ri Cinnotabi’. Naia napada mengngerang
85
nassiturusi: tessiésa’-ésa’é ri asé’ ri awa arumpanua natettongiwi
ammaradekangeng, malélu sipakainge’ siala painge’ namadécéng napoccapa’,
nasitajeng batacella’. Nakkona rilanti’ arung mataesso Petta La Tenribali ri
Lipu’’ Tellu Kajuru’é. Natettonna maddanreng sappo sisenna iatellu,
naranrengngi alebbirenna La Tenribali. Nasipauju’ madécéng ri alempurenna
ri atongengenna ri assitinajangenna napoasenni ade’ marajana arungngé ri
Lipu’’ Tellu Kajuru’é (sumber: naskah LSW:h.83)
Terjemahan:
Tibalah hari yang telah disepakati, maka datanglah semua orang-orang Boli
untuk berkumpul di Majauleng, pemerintah dan rakyat, tua dan muda, tidak ada
yang tidak hadir, semua hadir untuk bermusyawarah dan mengingat adat dahulu
di Cinnotabi. Yang sama diingat dan disetujui ialah: tidak saling merampas hak
lapisan atas dan bawah, pemerintah dan rakyat harus berdasarkan hak-hak
kebebasan, saling memperingati jika ada yang khilaf, saling menerima nasehat
yang berakhir pada kebaikan sampai pada turunan masing-masing. Di sanalah
dilantik Arung Mataesso Tuan kita La Tenribali, di Lipu’ Tellu Kajurué. Maka
menjadilah pendamping raja sepupu sekalinya ketiga-tiganya, yang akan
mendampingi kemuliaan La Tenribali. Saling mengatur dengan baik berdasarkan
kejujuran, kebenaran, kepatutan yang diistilahkan sebagai “adat besar raja-raja”
di Lipu’ Tellu Kajurué (terj. Abidin, 1985)
Setelah para kepala limpo dan para matoa menyetujui usulan La Tenribali, maka
tiada berapa lama kemudian diadakanlah perjanjian antara calon Arung Mataesso, yaitu
La Tenribali dan rakyat ketiga limpo di bawah pohon bajo, di Boli. Sebelum janji
diucapkan, maka ketiga orang Arung Limpo (raja), dengan sukarela melepas gelarnya
masing-masing dan menyatakan diri adalah paddanreng yaitu anggota Dewan
Pemerintah Pusat. Adapun La Tenritau menjadi Paddanreng Bettempola, La
Tenripekka menjadi Paddanreng Taloténreng dan La Matareng menjadi Paddanreng
Tuwa. Tiap paddanreng mengepalai sebuah limpo dan masing-masing limpo terdiri
dari empat anak limpo. Limpo Bettempola membawahi anak limpo yakni Bettempola,
Ujung Kalokkong, Lowa-lowa dan Botto. Limpo Taloténreng membawahi anak limpo
86
yakni Taloténreng, Ciung, Palékkoreng dan Ta’. Limpo Tuwa membawahi anak limpo
yakni Aka’, Ménge’, Limpo dan Kampiri. Mereka menamakan wilayahnya Lipu’ Tellu
Kajurué. Tiap anak limpo dibawahi oleh Arung Mabbicara (pendamping raja yang
bertugas di bidang peradilan) yang sejenis dengan lembaga yang merumuskan undang-
undang dalam Kerajaan Wajo (Abidin, 1999:125).
Perubahan yang terjadi seperti diutarakan di atas dalam pendekatan evolusi
diistilahkan oleh Fried, (1968:102) sebagai perubahan ke arah masyarakat berlapis
(stratified societies) yang disebabkan oleh meluasnya daerah teritorial, jumlah
penduduk dengan ragam dan ciri-ciri penduduk yang beraneka ragam yang tidak dapat
lagi diatur dalam sistem kekerabatan sehingga bentuk organisasi lainnya sebagai
tambahan yang disempurnakan dalam berbagai aturan, adat istiadat, struktur organisasi
dan lain sebagainya.
Menurut LSW, La Tenribali memperoleh gelar Batara Wajo berdasarkan ucapan
rakyat Boli kepada La Tenribali sesudah dia dilantik s.b.b.: “Bataraé manitu ri méné’na
jancita, tanaémani ri awana”, yang artinya hanya langit yang berada di atas janji kita
dan hanya tanah yang ada di bawahnya. Mungkin karena batara itu merupakan
perlambang keagungan dan pohon bajo merupakan pohon yang rindang daunnya yang
memberikan wajo-wajo (bayang-bayang) yang menyejukkan bagi orang yang berteduh
di bawahnya, maka negeri Boli diibaratkan sebagai pohon pengayom bagi rakyatnya,
sehingga La Tenribali serta para paddanreng mengubah nama Boli menjadi Wajo.
Adapun nama penghimpunnya Tellu Kajurué dan diubah menjadi Tellué Turungeng
Lakka (tiga negeri yang tak terpisahkan) (Abidin, 1985:402).
87
La Tenribali dan paddanreng beserta rakyatnya merumuskan suatu perjanjian
mengenai hubungan-hubungan kekuasaan, tata pelaksanaan kebijakan kerajaan
maupun dalam pemutusan suatu perkara yang antara lain:
a. Pemerintah pusat terdiri dari Batara Wajo sebagai pejabat yang dituakan dan
ketiga paddanreng yang menguasai ketiga limpo.
b. Segala ketentuan hukum adat yang telah ada di daerah-daerah limpo tetap berlaku
dan harus dihormati oleh raja. Hanya hal-hal baru yang belum diatur boleh
dibuatkan peraturan adat yang setiap saat boleh diubah yang menyangkut
kepentingan ketiga daerah dan pemerintah pusat. Adat tersebut harus ditetapkan
melalui musyawarah (assipetangngareng).
c. Tiap limpo diakui hak-haknya dalam pengaturan hukum adat istiadat, pemutusan
perkara, dan mengawasi jalannya pemerintahan Batara Wajo.
Dalam transkripsi dan transliterasi LSW yang dibukukan Andi Makkaraka Arung
Bettempola No.128 juga menceritakan tentang kedudukan Paddanreng dan
hubungannya dengan Batara Wajo selaku pemimpin di Wajo yang terkesan adanya
pengaruh ikatan kekeluargaan dengan masih memegang beberapa tata aturan yang
diatur sebelumnya oleh pemimpin sebelumnya yang mewariskan tahtanya, termasuk
kecenderungan penegasan mengenai pemantapan antara kelompok kerabatnya sendiri
maupun dengan lapisan masyarakat yang diperintah, coraknya tidak jauh dari sifat
pengokohan struktur kekuasaan kelompok kerabat di tingkat internal yang diorganisasi
dalam sebuah pranata kekerabatan. Pengaturan kekuasaan diantara ketiganya tetap
berpegang pada tata aturan yang sudah disepakati sebelumnya. Dalam pengokohan
88
struktur kekuasaan ini didapatkan melalui keabsahan yang diberikan oleh masyarakat
yang dipimpin, hal ini kemudian diwujudkan melalui proses pengambilan keputusan,
yang menarik adalah berdasarkan musyawarah diantara ketiganya dan rakyat Wajo
pada masa itu. Hal ini sebagaimana tertulis pada teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia Tellu Kajuru’é, tellué limpo. makkedani taué Tellu Turungeng Lakka’ ri
Wajo. Naia Batara Wajo La Mataesso malempu’i namagetteng taro bicaranna,
maséro’toi naélori sipetangngarengngé Paddanrengngé, ina taué ri
adécéngenna tanaé ri Wajo: naérékki mui tennaléréi tarona ambo’na.
Napatattaung tettong Batara Wajo La Mataesso, natépuna Wajo seku’toni
tama’na taué temmassu’ ri Wajo (sumber: naskah LSW:h.128)
Terjemahan:
Adapun Lipu’ Tellu Kajurué, yaitu ketiga daerah yang orang juga menyebutnya
Lipu’ Tellu Turungeng Lakka di Wajo. Adapun Batara Wajo La Mataesso, jujur
dan tegas menetapkan putusannya, sangat suka pula bermusyawarah dengan para
pendamping raja dan pemuka masyarakat demi kebaikan negeri Wajo;
diteguhkannya juga dan tidak dilonggarkannya ketetapan ayahnya. Setelah empat
tahun diangkatnya Batara Wajo La Mataesso, maka sempurnalah Wajo dan
selama itu pula masuknya orang dan tidak ada yang keluar dari Wajo (terj.
Abidin, 1985)
Konsepsi Paddanreng dalam khasanah politik kekuasaan di Wajo termasuk juga
dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan dan kedudukan yang
berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut. Hal ini ditunjukkan dalam
catatan sejarah tentang kepengikutan limpo dalam tiga kelompok besar tersebut. Limpo
sendiri merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang juga memiliki pemimpin di
dalamnya. Dalam hubungannya dengan praktik politik, pola perilaku demikian
memberikan kecenderungan untuk mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku
politik yang merupakan suatu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh
89
hubungan-hubungan kekuasaan sehingga dengan demikian pola kepengikutan limpo
sebagai entitas kelompok masyarakat tersendiri terhadap Paddanreng tidak lain adalah
bagian dari struktur dalam masyarakat Wajo pada masa itu.
Berdasarkan beberapa kutipan yang telah diuraikan di atas, penulis
berkesimpulan bahwa hubungan kekuasaan antara Boli dengan Pénrang terjadi
disebabkan karena ketiga Arung yang tergabung dalam Lipu’ Tellu Kajurué yang
berpusat pemerintahan di Boli berkunjung ke Pénrang untuk mengajak La Tenribali
membentuk kerajaan federasi (kesatuan), yaitu terdapat seorang raja yang dibantu oleh
pendamping raja yang memegang kekuasaan masing-masing di daerah kekuasaan
kerajaan. Adapun konsep kerajaan federasi yang digambarkan di atas adalah La
Tenribali sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan dibantu oleh Paddanreng
(pendamping raja yang bertugas di masing-masing daerah kekuasaan). Adapun
Paddanreng La Tenritau sebagai pemegang kekuasaan di Majauleng, La Tenripekka
pemegang kekuasaan di Sabbamparu dan La Matareng pemegang kekuasaan di
Tekkalalla.
Kemudian penduduk Boli membagi diri mereka dan mendiami daerah masing-
masing, ada yang menetap di wilayah La Tenritau, sebagian menetap di wilayah La
Tenripekka dan ada pula yang memilih wilayah La Matareng sebagai tempat
permukiman, serta sebagian menetap di pusat pemerintahan, yaitu Boli. Adapun
kewarganegaraan rakyat Boli terdiri atas warga negara Boli dan warga negara di daerah
tempat mereka menetap.
90
b. Hubungan kekuasaan Cinnotabi dengan Pénrang
Hubungan kekuasaan antara Kerajaan Cinnotabi yang kemudian bertransformasi
menjadi Wajo dengan Pénrang, terjadi pada masa pemerintahan La Tenribali sebagai
Batara Wajo I. Pada saat Wajo terbentuk sebagai kerajaan federasi (kesatuan) yang
dipimpin La Tenribali, maka di Pénrang terjadi kekosongan pemimpin oleh karena La
Tenribali menjadi raja di Wajo, dan pada saat itu Pénrang belum termasuk daerah
kekuasaan Wajo. Kondisi demikian membuat La Tenribali menyerahkan Kerajaan
Pénrang kepada adiknya yang bernama La Tenritippe’. Penyerahan kekuasaan antara
kedua pemimpin ini memberi indikasi akan adanya hubungan yang terjadi antara Wajo
dengan Pénrang. Hubungan itu dimulai pada saat La Tenribali memanggil La
Tenritippe’ untuk menghadap kepadanya di Istana Kerajaan Wajo. Hal ini sebagaimana
dapat dilihat pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Nassuro mobbi’i padaoroanéna Batara Wajo La Tenribali ri Pénrang
riasengngé La Tenritippe’’. Naia engkanana makkedai Batara Wajo ri anrinna:
“Ia upoadakko anri’, alairo akkarungekku ri Pénrang. Eppa’tu limpo: séuani
Ujung, maduanna Lapéré’, matellunna Tarokéteng, maeppa’na Saébawi
(sumber: naskah LSW:h.125)
Terjemahan:
Disuruh panggillah saudaranya Batara Wajo La Tenribali di Pénrang yang
bernama La Tenritippe’. Setelah tiba, berkata Batara Wajo kepada adiknya:
“Yang aku ingin sampaikan kepadamu hai adikku “Ambillah kerajaan di Pénrang
yang terdiri dari empat daerah: pertama Ujung, kedua Lapere, ketiga Taroketeng
dan keempat Saébawi (terj. Abidin, 1985)
Model kepemimpinan yang ditunjukkan La Tenribali kepada adiknya
berdasarkan pada kutipan teks di atas kemudian mengindikasikan hubungan-hubungan
91
kekuasaan atas dasar persetujuan bersama antara pemimpin dan pengikut. Manakala
pejabat yang disebutkan bahwa matoa sebagai wakil rakyat diberi tugas yang antara
lain membantu arung sebagai pemimpin kerajaan untuk memutuskan suatu kebijakan.
Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran bahwa apa yang dianjurkan atau
diperintahkan oleh pemimpin akan menjadi baik dan berguna untuk kepentingan
bersama. Kesadaran demikian biasanya disempurnakan oleh perilaku para pemimpin
yang rela berkorban demi kepentingan warganya.
Salah satu bukti jiwa kepemimpinan yang ditunjukkan La Tenribali dalam
kedudukannya sebagai Batara Wajo adalah memperluas wilayah kekuasaannya,
dengan cara menjalin hubungan kekuasaan dengan saudaranya, La Tenritippe’ sebagai
Arung Pénrang dengan mengadakan perjanjian antar kerajaan, yang pada saat itu
Pénrang belum masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo. Adapun isi perjanjian
hubungan kekuasaan antara Kerajaan Wajo dengan Pénrang sebagai berikut.
a. Kerajaan Pénrang harus dibagi empat limpo yaitu: Ujung, Lapéré, Tarokéteng
dan Saébawi yang masing-masing diperintah oleh Arung Mabbicara bersama
dengan Arung Pénrang sebagai dewan pemerintah pusat.
b. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Arung Pénrang harus
menyerahkan segala urusan pemerintahan kepada para Arung Mabbicara dan
matoa, yang dilukiskan oleh LSW dengan kata-kata kiasan sebagai berikut:
“Engkau beradu sambil menutup kepala sampai di kaki, engkau tidak usah
mengetahui tidak adanya, yang adanya saja engkau tahu, dan barulah engkau
bangun dari pembaringanmu jikalau para pejabat limpo membangunkanmu”.
92
c. Segala urusan dalam negeri Pénrang tidak dicampuri oleh Wajo, demikian pun
halnya Pénrang tidak mencampuri urusan Wajo, bila orang-orang Wajo ke luar
dari negeri mereka, atau mereka masuk kembali di Wajo, Arung Pénrang tidak
usah mencampurinya. Bilamana Wajo menjamu kerajaan tetangganya, Pénrang
tidak usah juga mencampurinya.
d. Arung Pénrang menjadi inang (ibu) dan penasehat Wajo dalam hal terjadi
perselisihan antara para pejabat Wajo. Hal ini dilakukan, sebab praktek
pemerintahan yang buruk La Tenritippe’ sewaktu menjadi Arung Cinnotabi
bersama La Tenribali.
Selain perjanjian, La Tenribali juga memberikan nasehat kepada Pénrang yang
telah dinyatakan sebagai daerah kekuasaan Wajo yang disampaikan langsung kepada
Arung Pénrang. Adapun inti dari nasehat itu tentang konsep pemerintahan yang akan
diterapkan di Pénrang, yang berbunyi: “Engkau Arung Pénrang harus tidur sambil
menutup kepala sampai kaki, engkau tidak usah mengetahui tidak adanya, yang ada
saja engkau ketahui dan barulah engkau bangun dari pembaringanmu, jika Arung
Mabbicara atau matoa membangunkanmu”. Kemudian Pénrang sebagai anak kerajaan
Wajo berjanji tidak akan mencampuri urusan dalam negeri masing-masing wilayah
kekuasaan Wajo, akan tetapi hanya dapat memberikan nasehat atas permintaan matoa
atau Arung Mabbicara. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Mupada taroiwi Arung Mabbicara tasséddi silimpo muéwai sipetangngareng.
Muatinro mattukku’ ulu mattukku’ ajé, temmuisseng dé’na engkanami muisseng.
Naiaparo limpoé eppa’é teddu’ko muoto’. Temmuriuttamai bicarammu ri Wajo
93
ri Lipu’’ Tellu Kajuru’é, Tellu Turungeng Lakka’é. Temmuottamaitoi bicaranna.
Narékko engka taummu muttama ri Wajo mappasa’, tenriléléi ri bola ri padang.
Mutaro pasa’ tenrilélétokko. Massu’i taué ri Wajo temmuisseng, tamai
temmuisseng. Mattoanai Wajo ri bali wanuanna temmuisetto. Muinaiwi Tellu
Kajuru’é, Tellu Turungeng Lakka’ ri Wajo. Na ana’ Tellué Turungeng Lakka’
riko. Narekko tamako ri Lipu’’ Tellu Kajuru’é, nalaoakko kaliao. Narekko sisalai
Arungngé ri Lipu’’ Tellué Turungeng Lakka’, uttama’ko muappangaja’ ri
ana’mu, temmurijellokeng tudangeng ri barukaé mutadang ri tudangemmu, ri
tudangenna ranrengngé. Narekko tiani mala pangaja’, soddamumani muéssang.
Musaléppang widang, muammekko’ muitaitaini ana’mu siuno. Narékko engkana
maté, bukku’ni widang mutunui, mupuppungngi aunna, muparitajoi, mulemme’i
tajoé. Makkoniro tarona Tellu Kajuru’é, tellué limpo riko”. Aga nappakkotona
olona Arung Pénrang ri Wajo lettu’ makkukkué. Makkedai Arung
Pénrang:”Sudding napénrasaina ri Sabu’ tekkoéngnga kuparéwa tennung”
(sumber: naskah LSW:h.125)
Terjemahan:
Tempatkanlah satu orang Arung Mabbicara (kepala limpo) di tiap daerah dan
engkau temani bermusyawarah. Engkau tidur menutup kepala sampai kaki, tidak
engkau ketahui tidak adanya, hanya adanya engkau ketahui. Hanyalah bila
keempat daerah itu membangun engkau, barulah engkau bangun. Tidak
dicampuri urusan pemerintahanmu oleh Wajo, di Lipu’ Tellu Kajurué atau Tellu
Turungeng Lakka dan tidak pula engkau mencampuri urusan pemerintahannya.
Bila ada rakyatmu masuk di Wajo berpasar, mereka tidak dikenakan pajak, baik
di rumah maupun di padang. Engkau mengadakan pasar dan tidak akan
dikenakan pajak. Orang keluar dari Wajo, engkau tidak usah ketahui, orang
masuk, engkau tidak ketahui. Bila Wajo menjamu negeri tetangganya tidak usah
engkau mencampurinya pula. Engkau kepala dari Tellu Kajurué atau Tellu
Turungeng Lakka di Wajo. Anaklah Tellu Turungeng Lakka dari engkau. Bila
engkau masuk di Lipu’ Tellu Kajurué, engkau didahului oleh perisai. Bilamana
para kepala kampung berselisih di Lipu’ Tellue Turungeng Lakka masuklah
engkau di negeri itu untuk menasehati anakmu, tanpa ditunjukkan tempat duduk
di balairung, engkau duduk di tempat dudukmu, di tempat duduk para
pendamping raja. Bila mereka tidak mau menerima nasehat, linggismulah engkau
pikul dan sandanglah kain kafan lalu engkau berdiam diri sambil melihat anak-
anakmu saling berbunuhan. Bila ada yang meninggal, bungkuslah ia dengan kain
kafan, bakar, kumpulkan abunya, masukkan dalam tajau dan tanamlah tajau itu.
Demikianlah penetapan Tellu Kajurué yaitu ketiga daerah di bawah
kekuasaanmu. Begitulah kedudukan Arung Pénrang di Wajo sampai sekarang.
Berkata Arung Pénrang: “Aku terpanggil atas apa yang sudah dimupakati dan
aku eratkan” (terj. Abidin, 1985)
94
Berdasarkan kutipan teks di atas yang mengungkap perjanjian hubungan
kekuasaan Kerajaan Wajo dengan Pénrang, maka dapat disimpulkan bahwa daerah
kekuasaan Wajo bertambah setelah bergabungnya Pénrang ke dalam Kerajaan Wajo
yang berbentuk federasi (kesatuan). Adapun daerah kekuasaannya menjadi empat yaitu
Majauleng yang dipimpin oleh La Tenritau, Sabbamparu yang dipimpin oleh La
Tenripekka, Tekkalalla yang dipimpin oleh La Matareng dan Pénrang yang dipimpin
oleh La Tenritippe’ yang daerah kekuasaannya terdiri dari Ujung, Lapéré, Tarokéteng
dan Saébawi. Semua pemimpin tersebut dibantu oleh Arung Mabbicara yang
memerintah di masing-masing limpo sebagai unit permukiman terkecil yang dibawahi
oleh kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi anak Kerajaan Wajo. Itulah sistem
pemerintahan yang digambarkan oleh LSW sebagai hasil dari hubungan kekuasaan
dengan kerajaan lain yang dilakukan Kerajaan Wajo pada masa itu.
3. Peranan Wanua-Wanua Kuno Terhadap Kerajaan Wajo
Berbicara peranan wanua terhadap Kerajaan Wajo tidak terlepas dari Lipu’ Tellu
Kajurué yang terdiri dari Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla. Dalam LSW
diungkapkan bahwa wanua tersebutlah yang memberikan peranan terhadap latar
belakang terbentuknya Wajo, dimana pada saat itu para pemimpin wanua masing-
masing yang tergabung dalam Lipu’ Tellu Kajurué melakukan musyawarah bersama
rakyat Boli hingga memutuskan akan membentuk kerajaan federasi (kesatuan) dan
memutuskan bahwa La Tenribali yang akan dijadikan sebagai raja pertama di Kerajaan
Wajo serta membuat konsep pelantikan yang digelar di Boli. Selain itu, dikenal juga
Pénrang yang memiliki peranan penting sehingga Kerajaan Wajo dapat memperluas
95
wilayahnya yang terdiri dari Ujung, Lapéré, Tarokéteng dan Saébawi. Dengan
demikian, Kerajaan Wajo dikenal sebagai salah satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan
yang berbentuk federasi (kesatuan). Sebagaimana yang telah disinggung pada
pembahasan sebelumnya bahwa sebagian besar penduduk Wajo memiliki aktivitas
bercocok tanam seperti menanam padi, jagung, ubi, menyadap tuak dan menangkap
ikan. Oleh karena itu, setiap daerah diberikan peranan khusus berdasarkan potensi alam
ataupun potensi lainnya yang dimiliki. Semua potensi tersebut tersebar di berbagai
daerah kekuasaan Wajo sekaligus menjadi peranan terhadap Kerajaan Wajo. Adapun
daerah beserta peranannya sebagai berikut.
a. Majauleng sebagai Paddanreng Bettempola
Majauleng menurut LSW adalah wanua yang dipimpin oleh La Tenritau dan
merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Wajo yang dikenal sebagai daerah yang
memiliki lahan pertanian yang sangat luas. Oleh karena itu, wanua ini diberi peranan
oleh kerajaan sebagai Paddanreng Bettempola, yaitu pembantu raja yang bertugas
mengurus segala hal yang berkaitan dengan pertanian di semua wilayah yang termasuk
dalam kekuasaan Kerajaan Wajo dengan kata lain daerah penghasil pertanian, misalnya
menanam padi, jagung, ubi dan pertanian lainnya. Hal ini semua dilakukan agar
kebutuhan pokok rakyat dapat terpenuhi, dengan kata lain rakyat menjadi makmur
dalam hal kebutuhan pangan. Oleh karena itu, perkembangan segala bentuk pertanian
di Wajo merupakan tugas utama La Tenritau yang dilantik sebagai Paddanreng
Bettempola.
96
Perkembangan pertanian di Majauleng diungkap dalam LSW bahwa orang-orang
Majauleng menetaplah di daratan bersawah dan berladang, maka disebut dalam lontara
bahwa “Naménténg-ménténna lappo aséna ri tanétewé, aga nariasenna Béttémpola”,
yang artinya meninggilah onggokan padi mereka di padang, maka dinamakanlah
Bettempola yang kemudian berubah nama menjadi Ranreng Bettempola dan La
Tenritau disebut sebagai Paddanreng Bettempola (pendamping raja yang bertugas di
Majauleng, yang merupakan daerah penghasil pertanian). Hal ini sebagaimana tertulis
dalam kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia to Majaulengngé marenrenni ri bottoé maddare’, namménténg-ménténna
lappo’ aséna ri tanétéwé, aga nariasenna Béttémpola (sumber: naskah
LSW:h.127)
Terjemahan:
Adapun orang-orang Majauleng menetaplah di daratan berkebun dan meninggi
pulalah tumpukan padinya di padang, maka disebutnya Bettempola (terj.Abidin,
1985)
Menurut orang-orang tua di Tosora bahwa pada tahun 1967 asal usul Bettempola
ialah Mettempola yang terdiri dari ménténg yang kadang-kadang berubah
pengucapannya menjadi métténg, suatu kata tua yang tidak terpakai lagi, yang berarti
matanré (tinggi) dan tettong (berdiri, tegak). Orang tua itu menyatakan, bahwa nama
Bettempola berasal dari ungkapan “Menremani ri tanété ri awana aju bajo battoaé
maddare maggalung napoasenni Béttémpola, nasaba maménténg-ménténni bolana
lappo aséna”, yang artinya pada waktu mereka naik di padang di bawah pohon bajo
97
besar untuk berkebun dan bersawah barulah dinamakan Bettempola, sebab telah
meninggi rumah-rumah dan onggokan pada mereka (Abidin, 1985:412).
Kedudukan Bettempola menonjol di antara wanua lain, dan secara lokal
tempatnya di tengah. Nama itu yang sering disingkat Betteng mungkin sekali ada
kaitannya dengan kedatangan We Tadampali, putera Datu Luwu yang massao tanré
(tinggi rumahnya sebagai petanda bangsawan yang dianggap paling mulia) di Wajo
dan menjadi leluhur semua Ranreng Bettempola (Abidin, 1999:130).
b. Sabbamparu sebagai Paddanreng Taloténreng
Sabbamparu merupakan salah satu wanua yang termasuk daerah kekuasaan
Kerajaan Wajo. Wanua ini dipimpin oleh La Tenripekka yang berperan penting dalam
memproduksi minuman tradisional yang dinamakan tua’ ri boli, yaitu minuman yang
dihasilkan dari sadapan pohon enau yang dicampur dengan sadapan pohon bajo yang
dapat memberi kekuatan orang-orang untuk bekerja seperti bertani, berkebun,
menangkap ikan dan pekerjaan lainnya. Minuman ini dipercaya oleh orang Wajo pada
masa itu, sebagai minuman yang dapat menjaga kondisi fisik para pekerja agar tidak
kelelahan dalam bekerja. Oleh karena itu, La Tenripekka dilantik sebagai Paddanreng
Taloténreng yang memerintah di Sabbamparu dan diberikan tugas oleh kerajaan untuk
memenuhi kebutuhan tuak para pekerja di Wajo yang saat itu sudah menjadi kebutuhan
bagi petani, nelayan dan para penyadap tuak itu sendiri. Hal ini dijelaskan dalam LSW
bahwa orang-orang Sabbamparu “Marénréngngi ri assarinna tua’”, yang artinya
menetaplah di tempat penyadapan tuak, dan mereka menamakan negerinya
Tarotenreng (menaruh tangga untuk menyadap di pohon enau). Taroténreng dalam
98
perjalanan sejarah berubah nama menjadi Taloténreng dan digelarlah La Tenripekka
sebagai Paddanreng Taloténreng (pendamping raja yang bertugas di Sabbamparu,
yang merupakan daerah penghasil tuak). Hal ini sebagaimana tertulis dalam kutipan
teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia to Sabbamparué marénréngngi ri assarinna tua’, nariasenna
Taloténréng.(sumber: naskah LSW:h.127)
Terjemahan:
Adapun orang-orang Sabbamparu menetaplah di penyadapan tuaknya dan
disebut Taloténreng (terj. Abidin, 1985)
Menurut Abidin, (1999:131) posisi Taloténreng diibaratkan sebagai “anak
tengah”, dan Tuwa sebagai anak “bungsu” dalam lingkungan “Tellu Lipu’ Kajurué”
yang kemudian berubaha nama menjadi “Tellu Turungeng Lakkaé” pada masa
pemerintahan La Mataesso (Batara Wajo II). Sistem ketatanegaraan di Wajo waktu itu
berdasarkan sistem keluarga, dimana Bettempola menjadi primus inter pares. La
Mataesso juga untuk pertama kalinya mengadakan perjanjian bilateral dengan kerajaan
Mampu untuk saling membantu.
c. Tekkalalla sebagai Paddanreng Tuwa
Tekkalalla adalah wanua yang dipimpin oleh La Matareng dimana sebagian besar
penduduknya melakukan aktivitas menangkap ikan atau dapatlah disebut daerah
penghasil ikan pada waktu itu. Hal ini disebabkan karena orang-orang Tekkalalla
pandai menangkap ikan menggunakan racun yang dinamakan tuwa, yang dalam bahasa
Indonesia disebut tuba (sejenis racun ikan yang berasal dari akar tanaman tuba). Dalam
99
LSW orang-orang Tekkalalla dijelaskan bahwa “Marenrenni ri akkajanna”, yang
artinya mereka menetap pada tempat penangkapan ikan, maka dinamakanlah
daerahnya Tuwa. Pada saat itu digelarlah La Matareng sebagai Paddanreng Tuwa
(pendamping raja yang bertugas di Tekkalalla, yang merupakan daerah penghasil ikan
pada waktu itu). Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia to Tekkalalla’é marenrenni ri akkajana nariasenna ri Tuwa. Nasaba iaro
wettué tuaé mupa maséhoro napaké to Wajoé makkaja (sumber: naskah
LSW:h.127)
Terjemahan:
Adapun orang-orang Tekkalalla menetap pada pekerjaan menangkap ikan dan
dinamakannya Tuwa, sebab pada waktu itu hanya tubalah yang sering dipakai
orang-orang Wajo untuk menangkap ikan (terj. Abidin, 1985)
d. Pénrang sebagai Dewan Penasehat Kerajaan
Penyebab utama hancurnya Kerajaan Cinnotabi disebabkan praktek sistem
pemerintahan yang buruk sehingga terjadi perselisihan antara Arung dengan Arung,
Arung dengan Matoa Pabbicara, dan Arung dengan rakyat. Peristiwa tersebut menjadi
suatu pembelajaran bagi La Tenribali, yang kemudian diangkat menjadi Arung
Mataesso (raja matahari) di Boli yang bertugas untuk mengayomi rakyat Boli dengan
melaksanakan hukum adat yang pernah dipakai oleh La Patiroi yang diwarisinya dari
La Rajallangi, sehingga Cinnotabi mencapai kejayaan pada masa itu.
Pada saat La Tenribali menjadi pemimpin di Kerajaan Wajo, dia tidak ingin hal
yang terjadi di Kerajaan Cinnotabi akan terulang pada kerajaan yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, dengan bergabungnya Pénrang ke dalam daerah kekuasaan Kerajaan
100
Wajo, maka dia melantik Pénrang sebagai inang (ibu), yaitu penasehat Wajo jika terjadi
perselisihan antara wanua satu dengan wanua lainnya. La Tenribali juga mengusulkan
supaya Kerajaan Pénrang harus dibagi atas empat limpo yaitu Ujung, Lapéré,
Tarokéteng, dan Saébawi yang masing-masing diperintah oleh Arung Mabbicara dan
masing-masing menjadi anggota Dewan Perwakilan Pusat yang dikepalai oleh Arung
Pénrang. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Arung Pénrang harus
menyerahkan segala urusan pemerintahan kepada para Arung Mabbicara dan para
matoa, dia hanya turun tangan kalau terjadi perselisihan antara wanua satu dengan
wanua lainnya.
Adapun yang dikatakan La Tenribali pada waktu itu bahwa “Engkau Arung
Pénrang harus tidur sambil menutup kepala sampai kaki, engkau tidak usah mengetahui
tidak adanya, yang ada saja engkau ketahui dan barulah engkau bangun dari
pembaringanmu, jika Arung Mabbicara atau matoa membangunkanmu”. Pénrang juga
berjanji tidak akan mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, sebab dia hanya
dapat memberikan nasehat. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Narekko sisalai Arungngé ri Lipu’’ Tellué Turungeng Lakka’, uttama’ko
muappangaja’ ri ana’mu, temmurijellokeng tudangeng ri barukaé mutadang ri
tudangemmu, ri tudangenna ranrengngé. Narekko tiani mala pangaja’,
soddamumani muéssang. Musaléppang widang, muammekko’ muitaitaini
ana’mu siuno. Narékko engkana maté, bukku’ni widang mutunui, mupuppungngi
aunna, muparitajoi, mulemme’i tajoé. Makkoniro tarona Tellu Kajuru’é, tellué
limpo riko”. Aga nappakkotona olona Arung Pénrang ri Wajo lettu’ makkukkué
(sumber: naskah LSW:h.125)
101
Terjemahan:
Bilamana para kepala kampung berselisih di Lipu’ Tellue Turungeng Lakka
masuklah engkau di negeri itu untuk menasehati anakmu, tanpa ditunjukkan
tempat duduk di balairung, engkau duduk di tempat dudukmu, di tempat duduk
para pendamping raja. Bila mereka tidak mau menerima nasehat, linggismulah
engkau pikul dan sandanglah kain kafan lalu engkau berdiam diri sambil melihat
anak-anakmu saling berbunuhan. Bila ada yang meninggal, bungkuslah ia
dengan kain kafan, bakar, kumpulkan abunya, masukkan dalam tajau dan
tanamlah tajau itu. Demikianlah penetapan Tellu Kajurué yaitu ketiga daerah di
bawah kekuasaanmu. Begitulah kedudukan Arung Pénrang di Wajo sampai
sekarang (terj. Abidin, 1985)
102
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut. Wanua adalah unit permukiman terkecil yang berfungsi sebagai
tempat manusia bermukim. Adapun wanua kuno yang muncul sebelum Kerajaan Wajo
terbentuk sebagai sebuah kerajaan federasi yang bertipe (kesatuan) adalah Paung,
Pénrang, Sarinyameng, Saébawi, Boli, dan Cinnotabi. Geografi wanua tersebut
terletak di dataran rumput yang menghijau, hutan belantara dan ada pula yang berada
di sekitar danau-danau kecil. Asal usul pemberian namanya berdasarkan perilaku
orang-orang yang menetap di dalamnya, keahlian yang dimiliki oleh pemimpinnya,
nama pohon, nama binatang dan nama minuman tradisional yang dibuat oleh
pemimpinnya. Misalnya: Paung dari kata mappau-pau, yang dalam bahasa Bugis
berarti bercakap-cakap atau berkata-kata, Pénrang dari kata pénrangngé, yaitu sebutan
orang-orang dahulu terhadap jenis pohon terbaik seperti cendana dan bayam,
Sarinyameng yaitu gabungan dari kata sari artinya sadap dan nyameng artinya
nyaman, Saébawi berasal dari dua kata yaitu saé artinya mengendarai dan bawi artinya
babi, Boli berasal dari minuman tuak yang dicampur sadapan pohon bajo yang
dinamakan tua’ riboli, maka dinamakanlah perkampungan itu Boli dan Cinnotabi
berasal dari kata cinnong artinya jelas atau jernih dan tabbangka artinya terkejut atau
103
kaget, maka dinamakanlah bukit itu Cinnongtabbangka yang kemudian berubah
menjadi Cinnotabi.
Dari keenam wanua yang lebih dulu muncul sebelum Kerajaan Wajo, terdapat
dua pemimpin di dalamnya yang masing-masing memiliki keahlian tersendiri dalam
memimpin, yaitu Puangngé ri Lampulungeng dan Puangngé ri Timpengeng. Paung,
Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi dibentuk oleh Puangngé ri Lampulungeng,
sedangkan Boli dan Cinnotabi dibentuk oleh Puangngé ri Timpengeng. Kedua
memimpin tersebut mendapat legitimacy, yaitu keabsahan oleh rakyatnya atas dasar
kemampuan yang dimiliki untuk melaksanakan sistem kepemimpinan yang bersifat
kemaslahatan orang banyak.
Kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Puangngé ri Lampulungeng dan
Puangngé ri Timpengeng memberikan suatu pemahaman kepada kita semua bahwa
seorang pemimpin harus memiliki keahlian dalam memimpin, utamanya dalam hal
pengetahuan dan perilaku. Dua hal tersebut harus dimiliki oleh seorang pemimpin,
sebab hal itu menjadi modal utama dalam memimpin sebuah daerah jika ingin
mendapat pengakuan dari rakyatnya.
B. Saran
Penulis berharap studi tentang naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) dapat
disempurnakan dengan mengadakan penelitian lebih lanjut terkait nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Kerajaan ini memberikan gambaran secara lebih lengkap
terhadap kandungan naskah LSW. Berdasarkan pengamatan penulis selama
melakukan penelitian, naskah LSW masih banyak yang perlu diungkap di antaranya
104
adalah konsep demokrasi, sistem pemerintahan dan hukum adat yang diterapkan di
Kerajaan Wajo.
Kajian-kajian tentang naskah lontara, perlu terus dilakukan dalam rangka studi
kearifan lokal yang berlangsung pada masa silam dan dapat direlevansikan dalam
kehidupan sekarang. Hal ini seharusnya dapat menjadi perhatian khusus oleh
pemerintah dengan membentuk program-program dalam rangka studi tentang kearifan
lokal tersebut. Sebab naskah-naskah lontara di Sulawesi Selatan masih banyak yang
perlu dikaji, salah satunya naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW).
105
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo pada Abad XV-XVI “Suatu Penggalian Sejarah
Terpendam Sulawesi Selatan Dari Lontara”. Bandung: Alumni.
-------------------------. 1999. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Makassar:
Hasanuddin University Press.
AKW, Bernadeta dan Hasanuddin. 2016. Lembah Walennae Lingkungan Purba dan
Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng. Makassar: Ombak.
Baroroh Baried, Siti dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bulbeck, David dan Budianto Hakim. 2005. The Earthenware From Allangkanangnge
ri Latanete Excavated in 1999. Walennae, volume 11, No. 2. Juni 2005. 99-
106.
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain.
Jakarta Utara: PT. Pustaka Utama Grafity.
Djamaris, Edwar. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV Manasco.
Duli, Akin. 2010. Peranan Tosora Sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Wajo Abad
XVI-XIX. Walennae, volume 12, No. 2. Juni 2010. 143- 157.
106
Hadrawi, Muhlis. 2016. Jejak Awal Wanua-Wanua Soppeng dan Pertumbuhannya:
Kajian Berdasarkan Manuskrip. Makassar: Balai Arkeologi Sulawesi Selatan.
--------------------. 2009. Assikalaibineng Kitab Persetubuhan Bugis. Makassar:
Ininnawa.
--------------------. 2016. Otoritas Wanua: Kedudukan Sosial-Politik Wanua-Wanua
Hingga Terbentuknya Kerajaan Soppeng. Makassar: Balai Arkeologi
Sulawesi Selatan.
--------------------. 2017. Bangkala dan Binamu: Suatu Kajian Naskah Lontara Dalam
Sosial-Politik Jeneponto Kuno. Etnografi Indonesia, volume 2 No. 2.
Desember 2017. 116-132.
Ilyas, Husnul Fahimah. 2011. Lontara Sukkuna Wajo: Telaah Ulang Awal Islamisasi
di Wajo. Tesis. Fakultas adab dan Humaniora. (UIN) Syarif Hidayatullah.
Jakarta: Tidak terbit.
Kaharuddin, 1994. Pemukiman Kuno Allangkanangnge ri La tanete, Kecamatan
Pammana, Kabupaten Wajo: Suatu Analisis Arkeologi terhadap kompleks
permukiman kuno yang terletak di tiga desa dalam wilayah Kecamatan
Pammana, Kabupaten Wajo. Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Hasanuddin.
Makassar: Tidak terbit.
Lamallongeng, Asmat Riady dkk. 2011. Kamus Lengkap Bahasa Bugis-Indonesia.
Makassar: De la Macca.
Mahmud, Irfan. 2001. Awal Mula Wajo dan Aspek Ruang Situs Inti Wajo Abad XV-
XIX Masehi. Walennae, volume 4, No. 7. November 2001. 47-58.
107
Mallombasi, Syuaib. 2009. Sejarah Kerajaan-Kerajaan Sulawesi Selatan. Makassar:
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan.
Rais, Jacub, dkk. 2008. Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya yang Panjang dari
Pemukiman Manusia dan Tertib Administrasi. Jakarta: Paradnya Paramita.
Rustan dan Adi Mulyadi. 2001. Tinggalan Menhir di Bekas Kerajaan Wajo dan
Pendahulunya. Walennae, volume 5, No. 2. Juni 2001.47-54.
Yusuf, Andi Muhammad. 2012. Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik
di Kabupaten Wajo. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas
Hasanuddin. Makassar: Tidak terbit.
108
Glosari
1. Adat
Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma,
kebiasaan, kelembagaan dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah
dengan kata lain aturan-aturan yang berciri tradisional.
2. Batara
Batara adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang menjadi raja pada
Kerajaan Wajo.
3. Boli
Boli adalah salah satu daerah kekuasaan Wajo yang menjadi pusat pemerintahan
Kerajaan Wajo.
4. Bugis
Bugis adalah salah satu suku yang berada di Sulawesi Selatan.
5. Cinnotabi
Cinnotabi adalah salah satu kerajaan kecil yang pernah ada sebelum terbentuknya
Wajo sebagai sebuah kerajaan federasi (kesatuan). Kerajaan Cinnotabil inilah yang
kemudian bertransformasi menjadi Kerajaan Wajo.
6. Federasi
Federasi adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana beberapa negara bagian
bekerja sama dengan membentuk kesatuan yang disebut negara federal. Masing-
109
masing daerah bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan pemerintahan pusat
mengatur beberapa urusan yang dianggap nasional.
7. Filologi
Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah-naskah lama (kuno) atau
ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau dalam bentuk tulisan.
8. Folklor
Folklor merupakan sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(mnemonic device).
9. Hubungan
Hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang
memudahkan proses pengenalan satu dengan yang lain.
10. Kerajaan
Kerajaan adalah tempat atau wilayah seorang raja memerintah atau tempat dimana
seorang raja memiliki kekuasaan.
11. Konsep
Konsep adalah sesuatu yang umum atau representasi intelektual yang abstrak dari
situasi, objek atau peristiwa dengan kata lain suatu ide (akal pikiran) atau gambaran
mental.
110
12. Legenda Setempat
Legenda merupakan cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat,
dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah seperti berbukit bukit,
berjurang dan sebagainya.
13. Limpo
Limpo secara khusus merujuk pada arti kampung yang menjadi pemukiman, namun
pada konteksnya merujuk arti kampung atau unit pemukiman berskala kecil.
14. Lipu’
Lipu’ memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata wanua yakni merujuk pada
‘wilayah pemukiman’ atau perkampungan manusia.
15. Lontara
Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar.
16. Lontara Sukkuna Wajo
Lontara Sukkuna Wajo atau disingkat LSW adalah histografi yang menceritakan
sejarah panjang Kerajaan Wajo, kumpulan catatan atau silsilah keturunan raja-raja
Wajo, keluarga bangsawan Kerajaan Wajo dan sejarah yang dialami oleh orang
Wajo dahulu. Lontara Sukkuna Wajo merupakan buku sejarah resmi yang
ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Wajo.
17. Mitos
Mitos merupakan suatu cerita yang memberikan pedoman atau arahan tertentu
kepada sekelompok orang.
111
18. Naskah
Naskah merupakan semua bahan tulisan tangan peninggalan nenek moyang kita
pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan.
19. Paddanreng
Paddanreng merupakan jabatan dalam Kerajaan Wajo yang berarti pendamping raja
yang bertugas di pemerintahan atau Dewan Pemerintah Pusat.
20. Penyuntingan Teks
Penyuntingan teks adalah metode dalam penelitian filologi dengan tujuan
melahirkan atau menyajikan edisi teks dalam bentuk terbaca.
21. Perjanjian
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang atau satu pihak berjanji kepada
pihak lain atau dimana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.
22. Politik
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstituonal.
23. Tellu Lipu’ Kajurué
Tellu Lipu’ Kajurué adalah tiga daerah yang bersepakat untuk bersatu, terdiri dari
(Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla). Ketiga daerah tersebut mempunyai
wewenang yang sama untuk melaksanakan pemerintahan dalam arti luas di tingkat
pusat kerajaan, sedang di daerah masing-masing mereka memerintah tanpa campur
tangan kepala persekutuan yang lain.
112
24. Toponimi
Toponimi secara harfiah artinya nama tempat di muka bumi sedangkan secara
etimologi adalah gambaran tentang permukaan atau tempat-tempat di bumi.
25. Wanua
Wanua dalam bahasa Bugis memiliki varian kata banuwa yang artinya sama dengan
kata wanua, konteksnya adalah pemukiman manusia. Konteks wanua dalam skala
kecil berupa kampung yang mungkin dihuni minimal 60 kepala, namun pada skala
yang lebih besar wanua dapat berarti kampung besar dan berpenduduk banyak.
Ket: Naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) koleksi H. Ahmad Saransi (Kabid Pembinaan
dan Pengembangan Kearsipan pada Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Sulawesi Selatan).
Ket: Naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) koleksi H. Ahmad Saransi (Kabid Pembinaan
dan Pengembangan Kearsipan pada Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Sulawesi Selatan).
Ket: Foto bersama H. Andi Ahmad Saransi (pemilik naskah Lontara Sukkuna Wajo).