1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kolonial Belanda berpendapat bahwa teks-teks bacaan yang diterbitkan
oleh komunitas Tionghoa, Arab, dan Pribumi pada masa sastra Melayu Rendah
adalah bacaan-bacaan liar dan cabul. Bacaan-bacaan liar yang dimaksud adalah
buku-buku bacaan yang mempunyai corak realisme-sosialis. Sebut saja sastra
Melayu Tionghoa sebagai salah satu contohnya. Dengan menggunakan bahasa
Melayu Rendah, sastra Melayu Tionghoa merupakan khazanah yang kaya dan
beragam karena banyak menjanjikan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang
cukup kental, seperti dilukiskan dalam cerita Nyai Dasima karya G. Francis
(1896) dan cerita Nyai Paina karya H. Kommer (1900).
Untuk menjauhkan pengaruh buruk dan mengantisipasi perkembangan
bacaan-bacaan liar dan cabul tersebut, pada tahun 1908, kolonial Belanda
mendirikan Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk
Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) untuk mengumpulkan dan menulis kembali
cerita rakyat yang terkenal dengan mengesampingkan unsur takhayul, serta
mencetak buku-buku saduran dari cerita-cerita Eropa klasik. Dalam waktu
singkat, komisi tersebut berkembang pesat dalam usaha penerbitannya, sehingga
didirikan Kantoor voor de Volkslectuur yang diberi nama Balai Pustaka.
Walaupun usaha penerbitannya berkembang pesat, penyediaan cerita
rakyat dan buku-buku saduran Eropa klasik ternyata kurang digemari pembaca
pribumi. Balai pustaka pun mengambil tindakan dengan membuka kesempatan
2
kepada pengarang pribumi untuk menerbitkan naskah karangannya, tentu setelah
melalui sensor dari pemerintah Belanda. Selain itu, Balai Pustaka juga merekrut
pegawai-pegawai kontrak dari kalangan pribumi sebagai pengurusnya. Abdoel
Moeis dan Sutan Takdir Alisyahbana adalah contoh tenaga kerja yang direkrut
sebagai pegawai kontrak Balai Pustaka dan mendapat upah tinggi (Faruk, 2007:
50).
Balai Pustaka dimanfaatkan Belanda sebagai media hegemoni dan
dominasi terhadap rakyat pribumi (Herawati, 2010: 200). Pendirian Balai Pustaka
merupakan upaya melakukan kontrol sosial dan politik terhadap bacaan-bacaan
sastra Melayu Rendah. Kontrol sosial dan politik tersebut dilakukan dalam rangka
mengeksistensikan dirinya sebagai satu-satunya penjajah yang menaklukkan
pribumi sepenuhnya. Balai Pustaka sebagai kepanjangan tangan pemerintah
kolonial Belanda berperan sebagai pengawasan dan sensor kekuasaan bagi
penerbitan teks-teks bacaan.
Teks-teks bacaan yang diterbitkan harus sesuai dengan standar bacaan
yang diberlakukan oleh Balai Pustaka, seperti tidak boleh bertentangan dengan
garis politik pemerintah Belanda (Sarwadi, 2004: 28). Karya sastra Balai Pustaka
pada umumnya harus menunjukkan sejumlah ciri dalam kaitan dengan kekuasaan
kolonial terhadap kreativitas sastra. Inilah salah satu bentuk kontrol sosial dan
politik yang dilakukan pemerintah kolonial. Kontrol tersebut tentunya berlaku
bukan saja kepada pribumi sebagai tenaga kerja, tetapi juga pengarang
(sastrawan), sekaligus karya sastra yang diterbitkan ketika itu. Sitti Nurbaya
(Marah Roesli, 1922), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), dan Pertemuan Jodoh
3
(Abdoel Moeis, 1932) adalah contoh karya sastra-karya sastra yang sudah melalui
sensor dari pihak pemerintah kolonial sebelum dibaca kaum pribumi. Dengan
memberlakukan pola sensor, pemerintah kolonial tampak menciptakan sebuah
konsep pencitraan diri, orientalisme, dan tetap menempatkan pribumi sebagai
budak pekerja dan budak peniru budaya-budaya Barat.
Peran pemerintah kolonial yang sangat kental terhadap keberadaan karya
sastra Balai Pustaka seolah-olah memposisikan karya sastra-karya sastra tersebut
sebagai hasil dari pemerintah kolonial yang sesuai dengan tujuan pemerintah,
sehingga tidak banyak menampilkan perlawanan terhadap penjajah. Alasan inilah
yang membuat sastra Balai Pustaka sering ditolak sebagai awal sastra Indonesia
modern dalam khazanah sastra Indonesia.
Era perlawanan terhadap eksistensi dan dominasi Balai Pustaka pun
dimulai pada tahun 1933 saat muncul angkatan Pujangga Baru di bawah pimpinan
Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Pujangga Baru muncul sebagai
bentuk reaksi atas perlakuan Balai Pustaka yang selalu menyensor karya tulis
sastrawan pada masa itu, sehingga karya sastra yang bertema nasionalisme dan
kesadaran kebangsaan tenggelam.
Sastra angkatan Pujangga Baru mengusung semangat kebangsaan dan
pembentukan budaya dalam aliran romantik idealisme, yaitu aliran kesusastraan
yang mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke dalam fantasi dan cita-
cita. Ciri-ciri sastra angkatan Pujangga Baru adalah menggunakan bahasa
Indonesia modern, temanya tentang emansipasi wanita atau kehidupan kaum
intelek, bentuk puisinya adalah puisi bebas yang mementingkan keindahan
4
bahasa, dll. (Mahayana, 2006: 23-24). Oleh karena itu, sastra angkatan Pujangga
Baru dikenal sebagai sastra intelektual, nasionalistik, dan elistis.
Lahirnya sastra angkatan Pujangga Baru yang membawa kebaruan seperti
yang dijabarkan pada paragrap di atas, menjadikan sastra angkatan Pujangga Baru
sebagai “Bapak” sastra Indonesia modern. Pada era inilah sastra Indonesia
modern mulai dianggap eksistensinya, bukan pada era Balai Pustaka. Karya sastra
angkatan Pujangga Baru, termasuk juga karya-karya sesudah zaman perang,
tampaknya sesuai dengan kompleksitas kehidupan manusia paska penjajahan yang
menampilkan berbagai masalah. Kompleksitas-kompleksitas tersebut muncul
seperti dalam novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana, 1937) dan
Belenggu (Armijn Pane, 1940). Selain itu, kompleksitas kehidupan manusia paska
penjajahan juga muncul pada novel-novel yang terbit di masa sesudah perang,
seperti Ateis (Achdiat Karta Mihardja, 1949), Pulang (Toha Mohtar, 1959), Bumi
Manusia (Pramoedya Ananta Toer, 1981), Burung-burung Manyar (Y.B.
Mangunwijaya, 1981), dan Para Priyayi (Umar Kayam, 1992).
Melihat dari semangat angkatan Pujangga Baru melepaskan cengkeraman
kontrol pemerintah kolonial melalui peran Balai Pustaka, Ratna (2008: 90)
menilai bahwa kolonialisme-lah yang menjadi faktor utama pemicu kebangkitan
nasionalisme. Sesuai dengan ciri-ciri Balai Pustaka, kolonial telah membatasi
kebebasan berpikir bagi masyarakat yang dikuasainya, sehingga terjadilah
stagnasi, bahkan kemunduran dalam semua aspek kehidupan masyarakat pribumi.
Menurut Ratna (2008: 91), tekanan dan pemaksaan dari pihak penjajah
menimbulkan reaksi berupa penolakan dan perlawanan rakyat untuk mengusir
5
penjajah. Kolonialisme menimbulkan reaksi bangkitnya semangat berkebangsaan.
Perasaan senasib sepenanggungan dan menyatukan kehendak dan tekad untuk
lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme Indonesia. Semangat
nasionalisme inilah yang kemudian dirintis oleh angkatan Pujangga Baru melalui
karya-karya sastra
Menanggapi lahirnya karya-karya sastra, baik pada masa Balai Pustaka
maupun angkatan Pujangga Baru, dalam istilah Jauss (1983: 32) disebut dengan
rangkaian sastra (literary series), hal ini menandakan jejak-jejak kolonial masih
dapat dirasakan, dipertanyakan, ditinjau kembali, bahwa wacana kolonial itu
menampilkan sebuah oposisi biner, yakni antara penguasa dan yang dikuasai;
penjajah dan pribumi; hegemoni dan perlawanan; dan antara majikan dan budak.
Salah satu karya sastra yang menyajikan jejak-jejak kolonial dalam
ceritanya adalah novel Burung-burung Manyar (BbM) karya Y.B. Mangunwijaya,
sehingga novel ini dipilih menjadi objek materi penelitian ini. Novel BbM terbit
pada tahun 1981 atau masa sesudah perang. Novel BbM mengisahkan tentang
revolusi Indonesia yang mengambil setting masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Selain jejak-jejak kolonial di dalam ceritanya, pemilihan BbM menjadi objek
materi adalah Y.B. Mangunwijaya sebagai pengarangnya, dikenal sebagai esais,
kolumnis, dan sastrawan yang banyak menganalisis nilai-nilai sosial masyarakat
Indonesia saat masih dikuasai pemerintah kolonial, sampai pada sesudah perang
kemerdekaan yang rupanya jejak-jejak kolonial masih kuat menempel di
kehidupan pribumi.
6
Day (2008: 20) mengungkapkan Y.B. Mangunwijaya mencatatkan
kekagumannya secara ambigu terhadap produk-produk sistem pendidikan
kolonial, terhadap mereka yang pernah berjuang melawan kolonialisme dengan
senjata intelektual, kultural dan linguistik kolonialisme itu sendiri, demi
kepentingan bangsa Indonesia.
“Para pemimpin generasi Sukarno-Hatta masih harus bergulat dulu, belajar
dan memperjuangkan suatu bahasa nasional sesudah mereka dikuasai oleh
bahasa Belanda, Inggeris, Jerman, dan Prancis, akan tetapi justru berkat
penguasaan bahasa-bahasa asing itulah mereka mampu bercara-pikir
modern yang mutlak diperlukan untuk berkomunikasi pada taraf
internasional demi pemerdekaan bangsa,” (Mangunwijaya, 1998: 3)
Walaupun terkesan berterima kasih atas penguasaan bahasa-bahasa asing demi
kemerdekaan bangsa, Mangunwijaya tetap menyatakan bahwa kolonialisme
adalah musuh yang menyertai masa lalu Jawa dan Pendudukan Jepang merupakan
warisan sejarah yang masih harus diatasi oleh Indonesia sekarang. Inilah ambigu
yang dicatat Mangunwijaya. Mangunwijaya mengamati pada masa Orde Baru,
kekuasaan kolonialisme tentang perbudakan masih tampak pada pribumi
Indonesia, namun “cara berpikir modern” yang diwariskan kolonial berupa sistem
pendidikan yang secara paradoks menjanjikan pembebasan yang sempat direbut
oleh generasi Sukarno-Hatta.
Day (2008: 20-21), menjelaskan bahwa paradoks tersebut juga tertanam
dalam novel-novel dan esai-esai yang ditulis Mangunwijaya, seperti ambiguitas
dan formasi-formasi budaya hibrida. Tokoh Teto dalam novel BbM terbukti
merupakan gempuran kontroversial terhadap keyakinan yang umum bahwa orang
Indonesia tidak mampu mengidentifikasikan diri dengan bangsa Indonesia. Teto
7
setengah Belanda, dalam perang kemerdekaan Indonesia berjuang di pihak
Belanda. Namun, dalam perkembangan cerita novel ini Teto mewakili kekayaan
potensial yang oleh bangsa ini diambil dari asal-usulnya yang heterogen dan
hibrida.
Novel BbM bercerita tentang tokoh Teto (Setadewa) yang lahir dari ayah
keturunan Jawa ningrat dan ibu keturunan Belanda. Teto kecil cenderung
menyukai status dirinya sebagai inlander. Namun, ketika Belanda kalah dan
Jepang menguasai Indonesia, pendirian Teto sebagai inlander menjadi goyah.
Perihalnya, ayah Teto ditangkap dan ibunya dijadikan gundik. Teto yang setengah
Belanda itupun bertemu Mayoor Verbruggen dan masuk tentara KNIL. Ia masuk
KNIL karena rasa bencinya kepada Jepang dan semua orang yang memuja
Jepang, termasuk para pemimpin revolusi Indonesia.
Teto dihadapkan pada kenyataan pahit. Ia bergabung dengan KNIL karena
kecewa dengan pemimpin revolusi yang dianggapnya berkhianat, namun rupanya
Atik (Larasati), sahabat masa kecilnya yang sekaligus dicintainya ini, berpihak
pada perjuangan Indonesia dengan bekerja pada kantor Perdana Menteri Sutan
Syahrir.
Teto yang menaruh dendam kepada Jepang menjadi komandan unit
pasukan yang turut menyerang Yogyakarta pada agresi militer Belanda kedua.
Setelah perang usai, Teto merasa gagal karena ibunya yang diharapkan kembali
ternyata harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, sedangkan Atik tidak
kembali ke sisi Teto. Di tengah pergulatan batinnya memilih antara inlander atau
8
Belanda, Teto memutuskan kembali ke Indonesia walaupun Atik sudah menikah
dengan orang lain.
Perjalanan hidup Teto di antara status inlander dan Belanda menarik untuk
diteliti. Sebagai setengah inlander yang berpihak ke pemerintah Belanda, Teto
harus memunculkan status setengah Belanda-nya dengan beradaptasi dan bertahan
di bawah kepemimpinan Mayoor Verbruggen agar bisa berperan sebagai tentara
KNIL dan melawan penjajah Jepang —sekaligus pemerintah Indonesia yang
memihak Jepang— yang telah menghancurkan keluarganya.
Diperlukan suatu usaha yang harus dilakukan oleh Teto agar dia dapat
beradaptasi dan bertahan di lingkungannya yang baru. Salah satu usaha yang
dilakukan oleh Teto yang dapat ditemukan di dalam novel adalah peniruan-
peniruan. Hal tersebut di atas menjadi alasan penulis untuk meneliti usaha Teto
untuk bertahan di lingkungan baru untuk menggapai keinginannya.
Selain itu, keadaan Teto mengindikasikan adanya ambivalensi pada status
dirinya yang setengah Belanda dan setengah Pribumi, keputusan Teto bergabung
dalam satuan KNIL dan menanggalkan status inlander-nya, sekaligus
pekerjaannya di Amerika setelah perang selesai. Sebagaimana Bhabha
berpendapat bahwa dalam situasi kolonialisme, batas-batas antagonisme tidak
dapat ditetapkan secara pasti sebab relasi-relasi kolonial distrukturkan oleh pola-
pola psikis kontradiktif seperti membentuk subjeknya sebagai pendukung
sekaligus musuh, sehingga memberi pilihan psikis yang ambivalen pula pada
pihak termarginalkan (Bhabha, 1994: 72 dan 120). Oleh karena itu, perlu
9
dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap novel BbM terkait ambivalensi pada
relasi Teto yang heterogen dan hibrid.
Untuk meneliti hal tersebut tentu dibutuhkan suatu teori yang dapat
membedah novel BbM karya Y.B. Mangunwijaya. Konsep kajian
poskolonialisme dari Homi K. Bhabha dianggap paling cocok untuk digunakan
dalam meneliti novel ini karena Bhabha tidak memfokuskan teorinya hanya pada
kaum terjajah atau penjajah dalam artian pendudukan suatu wilayah, namun lebih
pada konsekuensi kultural dari neo-kolonialisme di era kontemporer. Konsep
poskolonialisme Bhabha keterpecahan-keterpecahan wacana kolonial yang
kemudian membawa subjek pada realitas yang liminal. Realitas liminal ini
mencakup di dalamnya hibriditas, mimikri, ambivalensi, bahkan mockery. Kondisi
tersebut secara keseluruhan ditempatkan dalam sebuah situasi yang oleh Bhabha
disebut “lokasi kebudayaan”, sebuah wilayah antara yang di satu pihak ingin
bergerak keluar dari kekinian masyarakat dan kebudayaan kolonial dan di lain
pihak tetap terikat pada dan berada dalam lingkungan kekinian itu.
1.2 Rumusan Masalah
Sebagaimana dikemukakan latar belakang di atas, perubahan dan
perkembangan karakter tokoh utama dalam novel ini menarik diteliti dengan
menggunakan kacamata poskolonialisme Homi K. Bhabha. Dalam penelitian ini
permasalahan yang akan diteliti dibatasi pada perilaku mimikri tokoh utama
dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya sebagai salah
satu usaha resistensi sang tokoh. Mimikri menjadi cara tokoh utama dalam
10
bertahan dan menunjukkan eksistensinya. Selain itu, ambivalensi yang dialami
tokoh utama juga akan diteliti karena ambivalensi inilah yang menyebabkan
mimikri yang dilakukan oleh masyarakat terjajah tidak pernah penuh karena sifat
keambiguan wacana kolonial. Permasalahan pokok akan diuraikan ke dalam
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk perilaku mimikri tokoh utama dalam novel Burung-burung
Manyar karya Y.B. Mangunwijaya?
2. Bagaimana bentuk-bentuk ambivalensi yang digambarkan dalam novel
Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diuraikan, maka yang
menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk perilaku mimikri tokoh utama dalam novel Burung-
burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.
2. Mendeskripsikan bentuk-bentuk ambivalensi yang digambarkan dalam novel
Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis,
penelitian ini bertujuan menjelaskan bentuk mimikri atau peniruan tokoh utama
terhadap wacana kolonial, sekaligus menjelaskan bentuk-bentuk ambivalensi yang
digambarkan dalam novel Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.
11
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
ilmu sastra, yaitu (1) memberi sumbangan pengetahuan akan kajian sastra dan
budaya poskolonial pada umumnya, serta kajian sastra Indonesia pada khususnya,
dan (2) memberikan sumbangan bagi perkembangan kritik sastra Indonesia, serta
membantu para pembaca dalam memahami dan mengapresiasi novel Burung-
burung Manyar dengan sudut pandang poskolonial, terutama dengan
menggunakan konsep-konsep teori poskolonialisme Bhabha.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejauh yang penulis ketahui, novel Burung-burung Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya sebagai bahan penelitian sudah banyak dilakukan. Namun, dengan
menggunakan pendekatan dan teori yang berbeda-beda. Salah satu penelitian yang
menggunakan Burung-burung Manyar sebagai bahan penelitiannya dan
poskolonial sebagai teorinya adalah skripsi tahun 2015 berjudul Hibriditas dalam
Novel Burung-burung Manyar Karya YB. Mangunwijaya (Kajian Pascakolonial)
yang disusun Ika Agustiningsih dari Universitas Muhammadiyah Malang.
Skripsi ini menggunakan teori poskolonial Homi K. Bhabha dengan fokus
mendeskripsikan representasi identitas pada stratifikasi sosial kolonial Belanda
dan bentuk-bentuk hibriditas yang terjadi akibat adanya persinggungan budaya
antara pribumi dengan kolonial Belanda. Skripsi ini menunjukkan bahwa novel
Burung-burung Manyar memiliki konstruksi hibriditas meliputi hibriditas
terhadap bahasa, hibriditas terhadap tata sosial masyarakat, dan hibriditas
terhadap cara berfikir.
12
Penelitian lain yang juga memakai novel Burung-burung Manyar sebagai
bahan penelitiannya adalah disertasi milik Tengsoe Tjahjono pada tahun 2012
yang berjudul Nasionalisme dalam Novel Burung-burung Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya yang dipublikasikan oleh Universitas Negeri Malang. Disertasi ini
mengkaji nasionalisme dalam novel Burung-burung Manyar karena peneliti
melihat Y.B. Mangunwijaya menunjukkan perkembangan pemikiran dan sikap
mengenai nasionalisme. Salah satunya melalui karya novel Burung-burung
Manyar yang secara tersurat dan tersirat banyak mengungkapkan persoalan
nasionalisme yang dialami oleh tokoh sentral Setadewa atau Teto.
Dengan menggunakan tiga tahapan dasar hermeneutika Ricoeur dalam
melakukan interpretasi ideologi, menunjukkan bahwa novel Burung-burung
Manyar berhasil masuk ke dalam aspek terdalam dalam dimensi nasionalisme
yang meliputi dimensi psikologis, dimensi sosiologis, dan dimensi kesejarahan,
yakni pergolakan dan kesadaran jiwa tokoh-tokoh. Fakta nasionalisme dalam
novel Burung-burung Manyar adalah fakta nasionalisme yang memang terjadi
dalam pergolakan anak bangsa dalam mencari, menemukan, dan memaknai
nasionalisme.
Novel Burung-burung Manyar merupakan upaya pengarang membahasakan
pemikiran nasionalisme secara naratif dan metaforik, serta mengartikulasikan
nasionalisme Indonesia yang dialami para tokoh. Kemudian, terdapat relasi yang
siginifikan antara pemikiran nasionalisme pengarang dengan pemikiran
nasionalisme dalam novel Burung-burung Manyar. Sebagai konstruksi pemikiran,
13
novel Burung-burung Manyar ditulis dengan tujuan menyadarkan pembaca
perihal pentingnya menafsirkan ulang konsep kebangsaan.
Adapun terkait dengan penelitian terhadap karya-karya sastra dengan
mengenai mimikri, salah satunya adalah penelitian berjudul Unsur Postkolonial
Dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja yang disusun Vivi Yunita dkk.
Penelitian ini dipublikasikan melalui Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Vol. 1 No. 1 September 2012; milik Universitas Negeri Padang.
Dengan menggunakan teori Orientalisme Said, ditemukan dua unsur
postkolonialnya, yaitu hegemoni dan mimikri. Hegemoni dalam wacana
poskolonial kekuasaan kolonial dengan segala yang dimiliki oleh bangsa jajahan
Indonesia terlihat dalam tuturan tokoh dan paparan narator dalam novel Atheis.
Ada beberapa ideologi masyarakat yang menggambarkan keberadaan peran
dan kekuasaan kolonial ditanah jajahan. Anarkisme suatu paham menetang
kekuasaan kolonial. Feodalisme, dalam novel Atheis ditemukan bahwa masih
adanya sistem perbudakan. Humanisme, bersifat manusiawi. Militerisme, dengan
adanya prajurit Jepang yang berperang melawan Sekutu menandakan adanya
sistem ketahanan bangsa Jepang dan Otoritarianisme, kekuasaan Belanda yang
otoriter. Dari ideologi tersebut yang dominan terdapat dalam novel Atheis karya
Achdiat K. Mihardja adalah Anarkisme dan Feodalisme.
Mimikri yang dialami oleh tokoh ada beberapa yang ditemukan seperti
mimikri terhadap bahasa, pandangan terhadap orietalisme, pengakuan terhadap
kehadiran Barat dan mimikri budaya Barat yang dialami tokoh dan kebudayaan
14
yang di tiru adalah kebudayaan dari bekas penjajahan Kolonial Belanda yang pada
novel tersebut Indonesia sudah dijajah oleh negara Jepang.
Berdasarkan uraian tentang tinjauan pustaka di atas, dapat disimpulkan
bahwa belum ditemukan adanya kajian poskolonial tentang mimikri dalam novel
Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, sehingga penelitian ini lebih
terjamin keasliannya.
1.6 Landasan Teori
Untuk menjawab rumusan masalah, diperlukan perangkat teoretik yang
diharapkan mampu memberikan pemahaman lebih lanjut. Pada bagian ini akan
dipaparkan teori dan konsep yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian.
1.6.1 Pascakolonialisme
Postcolonialism jika dikaji secara etimologis terpecah ke dalam dua unsur
utama, yaitu kata post dan colonial. Post artinya sesudah, sedangkan kata colonial
berasal dari bahasa Romawi, colonia, yang berarti tanah pertanian atau
pemukiman. Hal ini mengacu pada pengalaman masyarakat Romawi yang
berdomisili di negeri lain namun tetap mempertahankan kewarganegaraan mereka
sebagai identitas mereka. Seperti pernyataan Loomba sebagai berikut.
Sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru, sekumpulan orang
yang bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah
komunitas yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka;
komunitas yang dibentuk seperti itu, terdiri dari para pemukim asli
dan para keturunan mereka dan pengganti-penggantinya, selama
hubungan dengan negara asal masih dipertahankan. (Loomba,
2003: 1)
15
Loomba (2003: 2) menjelaskan bahwa terjadi interaksi yang berbelit dan
traumatik dalam proses pembentukan pemukiman baru. Proses pembentukan
tersebut terjadi antara penduduk asli atau pribumi dengan pendatang baru. Proses
pembentukan pemukiman baru tersebut memposisikan kolonial dan tindakannya
diartikan sebagai bentuk penguasaan dan penaklukan atas tanah, harta benda, dan
diri penduduk pribumi. Ratna (2008: 20) juga mulanya menilai kolonialisme tidak
mengandung arti penjajahan jika dilihat pengertiannya secara etimologis. Namun,
kolonialisme yang awalnya hanya didefinisikan sebagai wilayah perkampungan,
akhirnya mempunyai konotasi negatif setelah terjadi hubungan yang tidak
seimbang antara penduduk asli atau pribumi dengan pendatang baru.
Pascakolonialisme merupakan istilah yang digunakan oleh para kritikus
untuk mengungkap hubungan antara kolonialis dengan pihak terjajah dalam
jalinan praktik kolonialisme. Dalam dunia sastra, pascakolonialisme juga sering
diterapkan untuk menganalisis sebuah karya yang mengandung wacana kolonial,
yakni mengenai hegemoni kekuasaan Barat dan ketertindasan Timur oleh Barat.
Pada istilah pascakolonial, kata pasca sering merujuk pada waktu setelah
atau sesudah kolonial penjajahan karena pascakolonial dianggap bukan akhir dari
proses kolonial. Namun, pada pascakolonialisme istilah yang berlaku sebelum,
sedang, dan sesudah proses kolonial terjadi. Selain itu, kata pasca yang menempel
pada pascakolonialisme juga dapat menyumbangkan kerancuan antara istilah yang
merujuk pada suatu teori dengan kata yang digunakan untuk menunjuk waktu
sesudah kolonialisme. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kesan ambigu antara
16
pasca yang menyatakan pada waktu dengan pasca termasuk teori, penelitian ini
selanjutnya menggunakan istilah poskolonialisme sebagai pilihannya.
Poskolonialisme secara umum dideskripsikan sebagai teori yang lahir
setelah pihak terjajah memperoleh kemerdekaan dan pihak terjajah menyadari
kondisi mereka yang pada masa sebelum kemerdekaan diperlakukan secara tidak
adil dan tidak seimbang oleh penjajah. Kemerdekaan yang didapat pihak terjajah
itu kemudian membangkitkan wacana baru tentang kemandirian dalam bertindak
sebagai pihak yang merdeka bukan hanya secara fisik, tetapi juga terbebas dari
pemikiran-pemikiran Barat yang selama ini ditanamkan Barat sebagai pihak yang
menghegemoni.
Spivak memahami wacana Barat sebagai kolonial yang dominan sebagai
wacana yang terpecah atau rupture. Keterpecahan tersebut dapat ditemukan
dengan du acara, yaitu (a) dengan mengungkapkan bagaimana wacana itu
menyangkal sendiri asumsi-asumsi dasarnya dan (b) dengan memberikan
perhatian pada unsur-unsur dan wacana yang dimarginalkan oleh wacana yang
dominan tersebut. Dengan cara pemahaman yang demikian, Spivak sebenarnya
menganggap wacana kolonial bukan sesuatu yang tertutup dari kemungkinan
resistensi. Bahkan, wacana itu sendiri dapat melawan dirinya sendiri, sehingga
dapat menimbulkan efek yang berkebalikan dengan kehendak kekuasaan, yaitu
efek yang memberdayakan bagi masyarakat terjajah (Faruk, 2007: 6).
Poskolonialisme adalah kajian yang membahas pengaruh kolonialisme
terhadap suatu masyarakat dan kebudayaan terkait dengan jejak-jejak kolonial.
Istilah poskolonial digunakan untuk mencakup seluruh masyarakat dan
17
kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial dari awal sejarah
kolonisasi hingga kurun waktu sekarang (Aschroff, 2003: xxii). Poskolonial
merupakan istilah yang dianggap paling tepat untuk menyinggung kritik-kritik
lintas-budaya serta wacana yang dibentuknya.
Poskolonialisme bukanlah sebuah konsep yang tunggal dan statis. Edward
Said, dengan Orientalism-nya menyadarkan kalangan akademisdi seluruh dunia
akan hubungan yang erat antara sistem pengetahuan Barat mengenai Timur yang
ia sebut sebagai orientalisme dengan praktik-praktik imperialism dan kolonialisme
bangsa-bangsa Barat di Timur. Akan tetapi, setidaknya terdapat dua kelemahan
dalam teori Said di atas. Pertama, karena terlalu memusatkan perhatian pada
persoalan pengaruh orientalisme itu, ia mengabaikan kemungkinan adanya
resistensi dari bangsa-bangsa Timur yang terjajah terhadap sistem pengetahuan di
atas. Kedua, karena pengaruh Orientalisme itu sendiri terhadap dirinya. Said
cenderung menyeragamkan apa yang ia sebut sebagai wacana Barat mengenai
Timur, memberi kesan bahwa, sebagaimana halnya Timur dalam konstruksi Barat,
Barat itu merupakan satu entitas yang tunggal, seragam pula (Faruk, 2007: 5-6).
Ratna (2010: 212-213) menjelaskan empat alasan karya sastra layak
dianalisis menggunakan teori poskolonial. Alasan pertama, segala gejala kultural
sastra menampilkan sistem komunikasi antara pengirim dan penerima sebagai
mediator antara masa sebelumnya dengan masa sekarang. Alasan kedua adalah
karya sastra menampilkan berbagai permasalahan kehidupan, emosionalitas dan
intelektualitas yang dibalut dalam fiksi. Alasan ketiga yakni karya sastra tidak
18
terikat oleh ruang dan waktu. Alasan terakhir, berbagai masalah yang tersebut
ditampilkan karya sastra secara tersirat.
Peneliti yang menerapkan teori poskolonialisme dalam penelitiannya tentu
harus mempertimbangkan ciri khas suatu bangsa atau wilayah yang menjadi objek
penelitiannya. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan pola penguasaan kolonial
terhadap jajahannya. Pertimbangan terhadap khas suatu bangsa atau wilayah
dikatakan Ratna (Ratna, 2010: 208) sebagai bukti bahwa teori poskolonial adalah
multidisiplin, sekaligus sebagai studi kultural.
Foucault sudah lebih dulu menerapkan konsep pertimbangan ciri khas
tersebut. Foucault menjelaskan bahwa ilmu-ilmu manusia muncul ketika ada
upaya mendefinisikan bagaimana sekelompok individu berbicara dalam kata-kata
peradabannya yang mengandung keterikatan sosio-kultural. Itulah kata kunci
ilmu-ilmu manusia yang bermula dari pemahaman bahasa dan dikursus (2011: 6).
Hal ini semakin menguatkan pernyataan Ratna bahwa penelitian poskolonial
selalu mempertimbangkan hubungan dengan kondisi masyarakat yang menjadi
pembahasannya.
Pertimbangan ciri khas suatu bangsa atau wilayah memiliki kaitan dengan
situasi poskolonialisme yang sering diperlihatkan dalam tanda-tanda adanya
perlawanan terhadap suatu kondisi dominasi tatanan kolonial (Loomba, 1998:1-
42). Loomba mengajukan pertanyaan kritis mengenai masyarakat yang kerap
mengasosiasikan kolonialisme dengan sejarah Eropa, bukan dengan praktik dari
peradaban dan kekuasaan sebelumnya yang sama-sama menampilkan fakta
perluasan kekuasaan. Pertanyaan Loomba muncul karena melihat dari fakta paling
19
mendasar tentang kolonialisme adalah asosiasi langsung terhadap gejala perluasan
kekuasaan dan imperialisme Eropa ke seluruh penjuru dunia.
Kaitan kolonialisme dengan Eropa menjadi kondisi yang sangat rekat
karena jejak-jejak kolonial yang disebar dan tinggalkan oleh Eropa telah
memberikan imbas yang luar biasa terhadap masyarakat jajahan dan budaya
masyarakat jajahannya. Kondisi ini dapat ditemukan dalam tanda-tanda yang
disingkap Homi K. Bhabha dalam teori poskolonialnya. Bhabha mengungkapkan
masifnya perilaku-perilaku ganjil dan kontradiktif dalam kehidupan masyarakat
terjajah kolonial dengan adanya fenomena sosok-sosok manusia-manusia peniru
(mimic man). Alam kolonialisme melalui manusia-manusia peniru telah
menimbulkan kondisi mimikri akibat langsung dari pembentukan tatanan
(Bhabha, 1994:86).
Bhabha memberikan contoh mimikri dengan mengutip tulisan milik
Macaulay. Dalam tulisan tersebut, Macaulay mengungkapkan impian-impian
subjek kolonial adalah terciptanya suatu kelas manusia berdarah dan berkulit India
namun berselera, bermoral, dan berpandangan layaknya seorang Inggris (Bhabha,
1994:87). Impian-impian subjek kolonial tersebut bagi Bhabha merupakan imbas
dari adanya kontradiksi kolonialisme.
Impian-impian subjek kolonial dari adanya kontradiksi kolonialisme
merupakan suatu strategi bertahan dari pihak terjajah. Adanya strategi ini telah
menunjukkan bahwa terjadi penerimaan poskolonialisme sebagai sebuah istilah
dan perangkat konseptual. (Spivak, 1990:95-112) melihat penerimaan tersebut
digunakan sebagai bagian dari upaya kritisi terhadap kondisi-kondisi kolonialisme
20
beserta efeknya, terutama bagi wilayah-wilayah yang dahulu dijadikan koloni
(wilayah jajahan).
Beranjak dari penerimaan sebagai istilah dan perangkat konseptual,
pengenalan poskolonialisme berkembang lagi dalam tahap pendekatan melalui
teks. Pendekatan poskolonial dalam teks menekankan pada pengaruh diskursif dan
logis, sedangkan material dari fakta kolonialisme berpengaruh terhadap teks-teks
yang terbentuk. Penekanan itu mencoba melihat segala situasi perbedaan budaya
dan kondisi-kondisi keterpinggiran yang dijejak oleh suatu teks, dan pernah
tercipta dari masa-masa kolonialisme masih berlangsung (Aschroft, Griffiths, dan
Tiffin, 2002: 198).
Edward Said dan Franz Fanon memiliki pandangan berpihak dalam
menyikapi interaksi penjajah dan terjajah. Said hanya berfokus pada wacana
penjajah, sedangkan Fanon berfokus pada wacana terjajah. Said dan Fanon
menganggap bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah posisi yang terpadu
dan stabil, sekaligus berbeda dan bertentangan di antara keduanya. Bhabha pun
mengkritisi model oposisi biner hubungan kolonial yang dikemukakan oleh
Edward Said dan Franz Fanon tersebut. Konsep-konsep Bhabha menegaskan
bahwa baik penjajah maupun terjajah tidak independen satu sama lain, melainkan
relasional.
Bhaba (1994: 189) mengatakan bahwa setiap momen harus sebagai
rangkaian sebuah revisi dimana ada keterbukaan dan keberlanjutan dalam
keyakinannya untuk mendapatkan kebebasan. Bagi korban kolonialisme, strategi
budaya sebagai cara dari kebertahanan (survival) yang lebih banyak diperoleh dari
21
warisan. Ada jarak antara warisan dan pemahaman ideologi dan penyediaan ruang
tampilan individu untuk pertahanan dan individualitas.
Bhabha melihat ada dua kutub biner yang berbeda dari sudut pandang
poskolonial. Kedua kutub biner tersebut adalah terjajah (colonized) dan penjajah
(colonizer). Terjajah dan penjajah harus dilihat sebagai konteks historis yang tidak
selalu linier. Artinya, sikap perlawanan dan kekhawatiran dapat terjadi di kedua
belah pihak.
Ketika penjajah (colonizer) menunjukkan kekuatan dan menanamkan
kekuasaannya, maka terjajah (colonized) menjadi khawatir akan ancaman
terhadap daerahnya. Sebaliknya, ketika terjajah (colonized) bersikap resisten atau
bertahan, maka penjajah (colonizer) menjadi cemas (anxiety) karena pola
penguasaannya menjadi tidak berpengaruh. Pihak penjajah (colonizer) juga
mengalami kekhawatiran akan ancaman penjajah lain menguasai daerah
jajahannya, sedangkan pihak yang terjajah rupanya tidak selalu mengalami
resisten atau perlawanan, melainkan terkadang bisa menerima kehadiran penjajah.
Bhabha membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial selalu
bersifat ambigu, polisemik. Karena itu, konstruksi kolonial mengenai dirinya
maupun mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam
dan bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah
terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh wacana kolonial,
identifikasi masyarakat terjajah terhadap Barat, tidak harus berarti kepatuhan
masyarakat terjajah terhadap penjajahnya. Pada level pemaknaan, tindakan
masyarakat terjajah untuk meniru (to mimic) itu dapat pula menjadi sebuah ejekan
22
(mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan dengan
sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan penjajah. Identifikasi, dengan
demikian, dapat menjadi “false-identification” (Faruk: 2007: 6).
Berdasarkan kondisi yang telah dijabarkan tersebut, Bhaba menilai
pentingnya relasi-relasi kolonial distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan
yang beraneka macam sekaligus kontradiktif. Menurut Bhabha (1994: 42), antara
penjajah dan terjajah terdapat “ruang antara” yang memungkinkan keduanya
untuk berinteraksi. Di dalam “ruang antara” inilah ruang yang longgar untuk suatu
resistensi atau perlawanan.
Namun, resistensi atau perlawanan itu sendiri, menurut Spivak bukannya
tanpa resiko. Resistensi fundamentalis yang mengonstruksi identitas subjek
sebagai sesuatu yang esensial harus pula dilawan. Dengan kembali menengok
teori Derrida, Spivak menganggap subjek pun bukan entitas yang utuh, melainkan
terdesentralisasi (decentered subject). Karena itu, identitas bukanlah sesatu yang
esensial, melainkan hasil konstruksi secara diskursif, terbentuk melalui interpelasi
dalam pengertian Louis Althusser. Akan tetapi, kenyataan demikian tidak dengan
sendirinya berarti bahwa esensialisme sepenuhnya negatif terhadap kemungkinan
resistensi. Karena subjek decentered, identitas menjadi sesuatu yang dapat
dinegosiasikan. Esensialisme yang dikonstruksi atas dasar negosiasi dengan
kekuatan-kekuatan politik dan ideologis yang ada bersifat positif bagi resistensi.
Spivak menyebutnya sebagai esensialisme strategi (Faruk, 2007: 7).
Faruk (2007: 7) juga menyebutkan bahwa konsep negosiasi ini membuka
jalan bagi kemungkinan heterogenitas tidak hanya dari wacana yang dominan,
23
melainkan juga wacana yang termarginalkan, tidak hanya dari subjek yang disebut
Barat, melainkan juga subjek yang disebut Timur, tidak hanya dari kekuatan
diskursif kolonial, melainkan juga kekuatan diskursif yang resisten terhadapnya.
Membicarakan “ruang antara” yang diusung Bhabha untuk menjelaskan
hubungan antara penjajah dan terjajah, maka akan dibicarakan juga tentang
konsep liminalitas gagasan Bhabha yang digunakan untuk mendeskripsikan
“ruang antara” tersebut. Di dalam “ruang antara” tersebut terdapay sebuah
struktur keterbelahan dari wacana kolonial, di mana letak garis pemisahnya tidak
pernah tetap dan tidak dapat diketahui batas dan ujungnya.
Konsep liminalitas Bhabha digunakan untuk menghidupkan ruang
persinggungan antara teori dan praktik kolonisasi untuk melahirkan hibriditas.
Dalam persinggungan yang dimaksud dapat berlangsung perubahan budaya yaitu
ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal
dapat dikembangkan. Hal ini disebabkan pencarian identitas itu idealnya tidak
pernah berhenti. Di antara penjajah dan terjajah terdapat ruang ketiga tempat
persilangan budaya atau hibriditas memunculkan diri dalam budaya, ras, bahasa,
dan lain sebagainya. Dapat dilihat pula konsep liminitas Bhabha sebagai suatu
wilayah koloni terdapat proses gerak dan pertukaran antara status yang berbeda-
beda yang terus menerus. Semua ungkapan dan sistem budaya tersebut dibangun
dalam sebuah ruang yang disebut “ruang enunsiasi ketiga”.
Said (2001: 7) mengungkapkan, budaya Eropa memperoleh kekuatan dan
identitasnya dengan cara menyandarkan diri kepada dunia Timur. Barat
mengidentifikasi dunia Timur sebagai upaya Barat untuk mengidentifikasi dirinya
24
sendiri. Barat melabeli Timur sebagai yang rendah, sedangkan dirinya sebagai
Barat adalah yang tinggi. Pengertian ini sedikit berbeda dengan penuturan Bhabha
yang berpendapat bahwa hubungan antara penjajah dan terjajah bersifat rasional,
bukan independen. Identitas-identitas kolonial dari penjajah maupun terjajah
sebenarnya tidak stabil, meragukan, dan selalu berubah. Identitas-identitas
kolonial yang terpecah tersebut oleh Bhabha dijabarkan dalam gejala-gejala sosial
berupa hibriditas, mimikri, dan ambivalensi.
1.6.2 Hibriditas
Foultcher (1999: 15) mengartikan hibriditas dalam kolonial adalah
pencangkokan identitas tertentu berdasarkan kemurnian kultural dalam rangka
memapankan status kekuasaan kolonial. Foulcher juga menjabarkan bahwa
pencangkokan identitas tersebut dilakukan melalui kelompok perantara atau
kelompok asli pribumi yang mendapatkan pendidikan tinggi dan terhormat, yang
dididik oleh pihak kolonial untuk meniru keberadaban kolonial melalui proses
pendidikan tersebut.
Foultcher (1999: 16) mengungkapkan bahwa kelompok perantara tersebut
akan melabeli dirinya dengan budaya bangsa penjajah dan menjadikan dirinya
sebagai wakil budaya Barat yang tinggi dan terhormat di hadapan pribumi. Posisi
kelompok perantara yang seolah-olah lebih bermartabat dibanding pribumi
lainnya tersebut sebenarnya berada dalam posisi terjajah secara pemikirannya.
Padahal peniruan yang dilakukan kelompok perantara tersebut tidak akan bisa
25
sempurna karena terhambat oleh sifat kodrati yang membedakan antara Barat dan
Timur.
Bhabha kemudian mengembangkan konsep hibriditas yang digulirkan
Foultcher dalam wacana antara asli dan campuran dengan konteks kekuasaan
politik kultural penjajah. Menurut Bhabha (1994: 66), hibriditas merupakan
produk konstruksi kolonial yang mau membagi strata identitas murni penjajah
dengan ketinggian kultur yang didiskriminasikan. Dalam praktik kolonial,
individu kolonial tak jarang mengambil gagasan Barat untuk menentang kolonial,
bahkan apa yang hibridakan oleh kolonial kepada masyarakat terjajah disejajarkan
dengan gagasan kaum pribumi. Pertentangan tersebut muncul sebagai momen
kesadaran atas terjadinya penindasan kultural, yaitu ketika kekuatan kolonial
menjajah untuk mengkonsolidasi kontrol politis dan ekonomis, atau ketika
penjajah menguasai orang-orang pribumi dan memaksa mereka untuk berasimilasi
ke dalam pola-pola masyarakat yang baru (Ashcroft, 2003: 183).
Bhabha menyebutkan bahwa atribut-atribut yang digunakan dalam kondisi
kolonial adalah berupa liminalitas (keambangan) dan hibriditas. Liminitas
menjadi “ruang antara”, yakni tempat percampuran dan perubahan budaya yang
berbeda-beda dan berlangsung secara terus-menerus. Ruang antara tempat
percampuran budaya tersebut di dalamnya mengandung strategi-strategi kedirian
individu maupun kelompok yang dapat dikembangkan. Bhabha menjelaskan
bahwa hibriditas adalah alat anti-kolonial oleh pihak terjajah, maupun terkadang
penjajah itu sendiri yang menentang penindasan. Dalam ranah poskolonial,
konsep hibriditas adalah strategi untuk melakukan resistensi terhadap budaya
26
dominan. Perlakuan resistensi yang diterapkan adalah strategi peniruan atau
mimikri untuk menekan, menyudutkan, bahkan mengejek budaya dominasi
tersebut.
1.6.3 Mimikri
Sudah disampaikan oleh Bhabha bahwa kaum terjajah selalu berusaha
membangun identitas kedirian untuk meningkatkan derajat martabatnya agar
setara dengan kaum penjajah. Uraian tentang identitas kedirian inilah yang
menjadi tumpuan Bhabha dalam merumuskan konsep mimikri. Konsep mimikri
atau peniruan dalam wacana kolonial yang diperkenalkan Bhabha (1994: 86)
mengandung pengertian suatu hasrat dari subjek yang berbeda menjadi subjek
sang lain yang hampir sama, tetapi tidak sepenuhnya sama (as subject of a
difference, that is almost the same, but not quite).
Frantz Fanon adalah penggagas konsep mimikri untuk pertama kalinya.
Mimikri menurut Fanon muncul akibat perlakuan pada kaum terjajah yang
dipaksa meninggalkan jati dirinya sebagai masyarakat tradisional, maupun
identitas nasionalnya. Pada saat kaum terjajah mengalami krisis identitas, mereka
kemudian disuguhkan peradaban Barat selaku penjajah yang lebih bermartabat,
sehingga timbul upaya adaptasi identitas Barat milik kaum penjajah oleh kaum
terjajah dalam bentuk peniruan-peniruan.
Namun, Bhabha mengkritisi pandangan Fanon tersebut. Menurut Bhabha,
peniruan-peniruan tersebut dapat memunculkan ambivalensi dan ironi identitas
kebangsaan.
27
Yang penting, mimikri bukan budak imitasi, dan yang dijajah tidak
sedang berasimilasi, sehingga seharusnya mendominasi atau
bahkan lebih unggul budayanya. Mimikri dalam pemahaman
Bhabha adalah peniruan bahasa, budaya, perilaku, dan ide yang
berlebihan. Ini berarti, mimikri adalah pengulangan dengan
perbedaan, sehingga tidak terdapat penghambaan bagi bangsa
terjajah. Bahkan, mimikri juga merupakan bentuk ejekan [...]
karena mengolok-olok dan melemahkan pretensi kolonialisme dan
kerajaan yang sedang berlangsung. (1994: 89)
Dalam tindakan mimikri, kaum terjajah seolah-olah kagum dengan
martabat kaum penjajah yang lebih bermartabat, sehingga kaum terjajah terkesan
memiliki kebanggaan atas tindakan-tindakan peniruan yang mereka lakukan.
Padahal, dalam konsep mimikri pada wacana kolonial, peniruan-peniruan tersebut
mengandung perlawanan dari kaum terjajah supaya mendapatkan kesejajaran
dengan kaum penjajah. Bhabha (1994: 90) menyatakan bahwa mimikri
merupakan upaya mengukuhkan, sekaligus mendistorsi otoritas penjajah.
Selain mengandung perlawanan dan kesan ejekan (mockery), mimikri juga
dapat menimbulkan sikap ambivalensi pada kaum terjajah yang menerapkan
mimikri sebagai strategi bertahan dari kekuasaan dan penindasan kaum penjajah.
Munculnya sikap ambivalensi disebabkan oleh adanya hasrat dan keinginan yang
tidak terbendung untuk bersikap seperti orang lain yang dirasa lebih bisa diterima.
1.6.3 Ambivalensi
Jika Fanon menyimpulkan bahwa kaum terjajah hanya memiliki hasrat
atau keinginan untuk berdiam dan bertahan di lahan kekuasaan kaum penjajah,
Bhabha justru menambahkan bahwa kaum penjajah sebagai Barat yang tinggi dan
bermartabat rupanya ingin turun ke bawah untuk mencari identitasnya sebagai
28
penguasa. Bhabha menilai sikap tersebut adalah kemenduaan (doubling), yaitu
hasrat untuk berada di dua tempat pada waktu bersamaan. Hal ini menandakan
adanya keinginan tetap seperti yang asli, tetapi di saat yang bersamaan muncul
juga keinginan menjadi seperti yang lain (splitting). Konsep kemenduaan inilah
yang membuat wacana kolonial bersifat ambivalen, sehingga tindakan-tindakan
peniruan yang dilakukan oleh kaum terjajah tidak pernah seutuhnya penuh atau
sempurna.
Bhabha (1994:126) menjelaskan keterkaitan antara mimikri dan
ambivalensi adalah ambivalensi akan muncul apabila proses mimikri dilanda oleh
ketidakpastian pilihan identitas. Padahal, proses mimikri tersebut pada hakikatnya
menjadi konsep sebelum munculnya hibriditas.
Yang mengatakan, bahwa wacana mimikri dibangun di sekitar
sebuah ambivalensi, agar efektif, mimikri harus terus memproduksi
kemungkinan peniruannya, kelebihannya, dan perbedaannya.
Kewenangan dalam modus wacana kolonial ini saya sebut mimikri.
Oleh karena itu, apabila dilanda ketidakpastian suatu mimikri
muncul sebagai representasi dari perbedaan itu sendiri merupakan
proses pengingkaran. Dengan demikian, mimikri adalah tanda dari
artikulasi ganda, strategi yang kompleks dalam reformasi,
peraturan disiplin, dan, yang "merampas" sesuatu yang lain, seperti
visualisasi kekuasaan. (1994:126)
Dari kutipan tentang konsep teori poskolonial oleh Bhabha di atas, bisa diketahui
bahwa masalah ambivalensi menjadi persoalan tersendiri dalam kajian
poskolonial setelah pembahasan tentang hibriditas dan mimikri. Interaksi kaum
terjajah dan kaum penjajah bersifat ambivalen karena terjadinya secara fluktuasi
dan terus-menerus.
Sifat ambivalensi inilah yang memberi ruang dan peluang bagi kaum
terjajah untuk melakukan perlawanan. Bhabha menjelaskan bahwa pihak yang
29
terjajah tidak selalu diam dan pasrah, melainkan mampu melakukan perlawanan
melalui tindakan mimikri. Mimikri merupakan proses peniruan maupun
peminjaman suatu elemen kebudayaan yang dalam prosesnya bukan untuk
menunjukkan ketidakberdayaan kaum terjajah karena perlakuan kaum penjajah.
Melalui proses imitasi bernama mimikri tersebut, terlihat bahwa kaum terjajah
sebagai pihak peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi dalam mimikri
tersebut.
1.7 Hipotesis
Hipotesis merupakan kesimpulan atau jawaban sementara yang ditetapkan
berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian (Faruk, 2012: 21).
Dikatakan sementara karena, jawaban yang diberikan melalui hipotesis baru
didasarkan pada teori dan belum menggunakan fakta. Hipotesis memungkinkan
kita menghubungkan teori dengan pengamatan atau pengamatan dengan teori.
Hipotesis menjadi alternatif dugaan jawaban yang diajukan peneliti untuk
menjawab problematika yang ada di dalam penelitian. Dugaan jawaban tersebut
merupakan kebenaran yang sifatnya sementara, yang akan diuji kebenarannya
dengan data yang dikumpulkan melalui penelitian. Dengan kedudukan itu maka
hipotesis dapat berubah menjadi kebenaran, tetapi juga dapat tumbang sebagai
kebenaran.
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan landasan teori
yang telah dijabarkan, penelitian ini mengasumsikan dua hipotesis dalam
penelitian.
30
1. Perilaku mimikri atau peniruan dalam novel Burung-burung Manyar
dilakukan oleh tokoh utama bernama Setadewa yang memiliki darah
campuran setengah Belanda dan setengah Indonesia. Setadewa kecil, biasa
disapa Teto, bangga menjadi “anak kolong” sebagai identitas pribuminya.
Namun, ketika ayahnya ditangkap dan ibunya dijadikan gundik oleh Jepang,
Teto pun memutuskan bergabung dengan tentara Belanda dan setengah
Belandanya ia munculkan dengan identitas baru sebagai Leo. Setadewa
menjalani perannya sebagai Leo dengan melakukan peniruan-peniruan sebagai
upaya beradaptasi dan resistensi untuk bertahan di lingkungannya yang baru.
2. Novel Burung-burung manyar menggambarkan ambivalensi di tiga periode
waktu sejarahnya, yaitu periode pemerintahan kolonial, periode pemerintahan
Jepang, dan periode paska kemerdekaan. Ambivalensi yang digambarkan
berupa keterbelahan asumsi-asumsi dasar wacana Kolonial Belanda dalam
membenarkan posisinya lebih unggul dan bermartabat dari pribumi, sehingga
muncul respon yang ambivalen juga dari pribumi dari celah asumsi-asumsi
dasar wacana Kolonial Belanda tersebut.
1.8 Metode Penelitian
Untuk menguji hipotesis yang muncul berdasarkan latar belakang dan teori
di atas, diperlukan data-data empirik yang dianggap representatif untuk kemudian
dianalisis hubungan di antara keduanya (Faruk, 2012: 22). Oleh karena itu, perlu
dilakukan dua langkah dalam melakukan penelitian ini, yaitu melakukan
pengumpulan data dan analisis data.
31
Di dalam langkah tersebut terdapat cara untuk memperoleh pengetahuan
tentang adanya objek, sehingga dapat membuktikan kebenaran atau
ketidakbenaran hipotesis yang dibuat. Oleh karena itu, pengetahuan yang benar
adalah yang sesuai dengan objek (Poedjawijatna dalam Faruk, 2012: 23). Sebelum
melaksanakan kedua langkah metode tersebut, maka ditentukan dahulu objek dari
penelitian ini.
Objek penelitian merupakan fakta empirik yang dimungkinkan adanya
penyelidikan ilmiah dan pemerolehan pengetahuan ilmiah. Objek penelitian ini
kemudian bisa dikategorikan menjadi objek material dan objek formal. Objek
material, yaitu objek yang menjadi sasaran penelitian, sedangkan objek formal
adalah objek yang dilihat dari sudut pandang tertentu (Faruk, 2012: 24). Objek
material dalam penelitian ini adalah novel Burung-burung Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya. Dari novel tersebut, peneliti menentukan objek formal penelitian
berupa perilaku mimikri dan bentuk ambivalensi dalam novel.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi pustaka, yakni
mengumpulkan bahan-bahan acuan baik primer maupun sekunder. Kemudian
dilakukan pembacaan novel Burung-burung Manyar untuk mencermati bentuk
resistensi tokoh utama berupa mimikri dan ambivalensi. Dalam strategi
pembacaan, Bhabha menyebutkan bahwa salah satu tujuan studi postkolonial
adalah rewriting dan rereading terhadap sebuah teks yang mengandung dimensi
sejarah dan memungkinkan munculnya pemaknaan baru (1994: 24). Novel
32
Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya adalah karya sastra yang dapat
dipandang sebagai teks yang mengandung dimensi sejarah, sehingga pemakaian
teori poskolonial tepat digunakan.
Selanjutnya, peneliti mengidentifikasi narasi dan dialog di dalam novel
Burung-burung Manyar sesuai dengan aspek kajian penelitian ini, yaitu tentang
bagaimana perilaku mimikri dan bentuk ambivalensi digambarkan dalam novel
ini. Bogdan dan Taylor memandang identifikasi narasi dan dialog sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata baik lisan
maupun tertulis (Moeloeng, 2005: 3). Penelitian ini juga mengutamakan
kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang dikaji secara
empiris, dan data terurai dalam bentuk kata-kata yang merupakan sistem tanda
yang memberikan pemahaman yang lebih komprehensif (Semi, 1999: 25).
Setelah itu, data tersebut diseleksi sesuai aspek-aspek tersebut. Untuk
mendukung proses penyeleksian dan pengelompokan data, tahap ini didukung
oleh sekelompok data sekunder seperti jurnal, artikel penelitian, dan buku-buku
yang berkaitan dengan objek material dan formal penelitian ini.
1.8.2 Metode Analisis Data
Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian
yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan
untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antar data yang
tidak akan pernah dinyatakan oleh data itu sendiri (Faruk, 2012: 25). Dari hasil
pengumpulan data, kemudian dilakukan analisis terhadap data-data tersebut
33
berdasarkan konsep teori yang digunakan. Data yang sudah diseleksi dan
dikelompokkan ini kemudian akan dianalisis dengan menghubungkan satuan-
satuan tekstual tersebut sesuai dengan konsep teoritis yang diterapkan, yaitu
menggunakan teori poskolonial Homi K. Bhabha.
1.9 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian direncanakan akan ditulis dalam empat bab. Bab pertama
adalah pengantar yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab kedua berisi penggambaran relasi antara tokoh utama
dengan pihak lainnya dan penjelasan tentang perilaku mimikri novel Burung-
burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Bab ketiga berisi batas-batas
pembeda, pergeserannya, dan bentuk ambivalensi yang digambarkan novel
Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Terakhir, bab keempat
merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran penelitian atas novel
Burung-burung Manyar.