7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Toksisitas
Uji toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa digunakan dalam
memperbandingkan suatu zat kimia dengan yang lainnya. Secara umum uji
toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas
akut dan uji toksisitas kronis.
2.1.1 Toksisitas akut
Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan zat kimia yang
sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24
jam (Harmita dan Hadji, 2006). Loomis (1978) menambahkan, uji toksisitas
akut juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya
efek toksik yang khas dan mekanisme perantara terjadinya kematian hewan
uji. Kriteria awal yang sering digunakan untuk evaluasi uji ketoksikan
senyawa baru umumnya menggunakan kematian sebagai indeks untuk
memperkirakan dosis letal yang mungkin terjadi. Harga LD50 adalah
besarnya dosis suatu senyawa yang dapat menyebabkan kematian 50%
jumlah populasi dalam jangka waktu tertentu.
2.1.2 Toksisitas Subkronis
Uji toksisitas jangka pendek (subkronik) adalah suatu uji yang
dilakukan dengan memberikan zat kimia yang ingin diujikan berulang-
ulang, biasanya setiap hari, atau lima kali dalam satu minggu, selama jangka
waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1
7
8
atau 2 tahun untuk anjing. Namun, beberapa penelitian menggunakan jangka
waktu yang lebih pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14-18 hari
(Harmita dan Hadji, 2006).
Toksisitas subkronik menyediakan informasi mengenai bahaya
kesehatan yang dapat muncul dari sebuah paparan terus menerus dalam
jangka waktu tertentu. Studi ini dapat memberikan informasi mengenai
organ target, kemungkinan terjadinya akumulasi, dan estimasi dari level
yang tidak menimbulkan efek dari suatu paparan yang dapat digunakan
untuk menentukan level dosis untuk studi kronik (Barille, 2005). Dosis pada
uji toksisitas subkronik biasanya dipilih berdasarkan informasi yang
diperoleh dari uji toksisitas akut. Semua informasi tentang zat kimia yang
berkaitan dan tentang metabolismenya, terutama ada atau tidaknya
bioakumulasi juga ikut dipertimbangkan (Lu, 1995).
2.1.3 Toksisitas Kronis
Uji toksisitas jangka panjang (kronis) adalah suatu percobaan yang
mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6 bulan atau
seumur hidup hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk
tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet (Harmita dan Hadji, 2006).
Uji toksisitas kronis sedikitnya menggunakan tiga tingkatan dosis, satu
diantaranya untuk menentukan level (tingkatan) dosis terkecil yang
memberikan efek toksik. Binatang yang digunakan untuk uji ini ialah
binatang dalam masa pertumbuhan, yaitu untuk melihat perubahan berat
badan yang dapat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Semua
perubahan yang terjadi pada binatang diobservasi dan dicatat, termasuk
9
perubahan tingkah laku. Secara periodik, binatang percobaan dimatikan
untuk melihat perubahan-perubahan yang mungkin tersaji pada organ-organ
tubuh dengan pemeriksaan histopatologik (Staf Pengajar Depertemen
Farmakologi, 2004).
2.2 Rhodamin B
Secara fisik rhodamin B merupakan padatan berupa kristal hijau atau
serbuk ungu kemerahan yang memiliki berat molekul 479.02 g/mol dan rumus
molekul C28H31N2O3Cl. Nama lain dari rhodamin B adalah Rhodamin 123 Basic
Violet 10 dan (9-(o-carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-3H-xanthen-3-ylidene)
diethylamonium chloride (Alsuhendra dan Ridawati, 2013).
Gambar 2.1 Struktur kimia rhodamin B (Praja, 2015)
Rhodamin B bersifat larut dalam air. Warna yang dihasilkan adalah merah
kebiruan dan berflourensi kuat. Rhodamin B bukanlah pewarna untuk makanan
sehingga lebih banyak digunakan untuk mewarnai kertas atau sebagai pereaksi
untuk identifikasi timbal, bismut, kobal, emas, magnesium, dan torium. Rhodamin
B juga dapat digunakan sebagai pewarna kulit, kapas, wool, serat kulit kayu,
nilon, serat asetat, kertas, tinta dan vernis, sabun dan bulu. Oleh sebab itu,
pemerintah melarang penggunaan rhodamin B sebagai pewarna makanan
(Alsuhendra dan Ridawati, 2013).
10
Zat warna rhodamin B walaupun telah dilarang penggunaannya ternyata
masih ada produsen yang sengaja menambahkan zat warna rhodamin B untuk
produknya. Rhodamin B biasanya sering digunakan untuk mewarnai makanan
seperti kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, sosis,
makaroni goreng, minuman ringan, cendol, manisan, gipang, dan ikan asap.
Makanan yang diberi zat pewarna ini biasanya berwarna lebih terang dan
memiliki rasa agak pahit (Saridkk., 2008). Praja (2015) menambahkan
toksisitasnya termasuk bahan kimia berbahaya (harmfull). Berbahaya bila tertelan,
terhisap pernafasan dan terkena kulit. Tanda- tanda dan gejala sakit bila terpapar
rhodamin B anatra lain adalah apabila terhirup dapat menimbulkan iritasi pada
saluran pernafasan, jika terkena kulit dapat menimbulkan iritasi pada kulit, jika
terkena mata dapat menimbulkan iritasi pada mata kemerahan oedema pada
kelopak mata, jika tertelan dapat menimbulkan gejala keracunan dan air seni
berwarna merah atau merah muda. Berdasarkan data MSDS, LD50 rhodamin B
yang diberikan pada tikus secara per-oral sebesar 1.497 mg/kgBB (Lampiran 6).
Pemberian rhodamin B dengan dosis yang bertingkat dapat meningkatkan
presentase kerusakan glomerulus ginjal mencit. Hal ini dikarenakan rhodamin B
yang bersifat toksik dan dapat memberikan efek yang semakin tinggi seiring
meningkatnya dosis yang diberikan. Presentase kerusakan glomerulus ginjal
mencit dipengaruhi faktor dosis, lama pemberian dan interaksi antara kedua faktor
tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase kerusakan
glomerulus (Mayoridkk., 2013).
11
Paparan dosis rhodamin B bersifat toksik dalam jangka waktu lama dapat
mempengaruhi fungsi glomerulus (Guyton, 1994). Bahan toksik dalam hal ini
rhodamin B akan mempengaruhi daya filtrasi glomerulus, sehingga daya saring
menjadi berkurang. Salah satu bentuk kerusakan pada ginjal terlihat dengan
adanya penyempitan pada ruang bowman, nekrosis serta hemoragi. Penyempitan
ruang bowman disebabkan oleh pembengkakan glomerulus ataupun proliferasi
dari epitel kapsul Bowman (Price, 1992). Beveder dan Ramely (1998)
menambahkan, perubahan yang terjadi pada glomerulus akan mengakibatkan
terganggunya fungsi produksi filtrat dan kontrol komposisi filtrat sendiri,
sementara perubahan pada tubula mengakibatkan terganggunya proses reabsorbsi
daripada filtrat.
2.3 Sakarin
Dalam SNI 01-6993-2004 tentang Bahan Tambahan Pangan Pemanis
Buatan, disebutkan bahwa sakarin merupakan pemanis sintesis yang biasanya
terdapat dalam bentuk garam berupa kalsium, kalium, dan natrium sakarin dengan
rumus kimia (C14H8CaN2O6S2.3H2O), (C7H4KNO3S.2H2O) dan
(C7NaNO3S.2H2O). Sakarin memiliki berat molekul 183,18 g/mol (Alsuhendra
dan Ridawati, 2013).
Gambar 2.2 Struktur kimia sakarin (Praja, 2015)
12
Secara fisik garam sakarin berbentuk kristal putih, tidak berbau atau
berbau aromatik lemah, dan mudah larut dalam air, serta memiliki rasa manis.
Sakarin memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 300 sampai dengan 500 kali
tingkat kemanisan sukrosa serta tidak memiliki nilai kalori. Banyak produk
makanan dan minuman yang menggunakan sakarin sebagai pemanis, diantaranya
adalah minuman ringan (soft drinks), permen selai, bumbu salad, gelatin rendah
kalori, dan hasil olahan lain tanpa gula. Namun, selain memiliki rasa manis,
sakarin juga terasa pahit (Alsuhendra dan Ridawati, 2013). Sakarin yang
dikonsumsi, setelah tertelan akan melewati sistem pencernaan dengan proses
penyerapan usus yang lambat, kemudian akan diekskresikan oleh tubuh melalui
urin (BPOM, 2003).
Penggunaan sakarin untuk makanan sebagai pengganti gula cukup banyak
karena sakarin mempunyai sifat yang stabil, tidak mengandung energi, dan
harganya yang relatif murah (Alsuhendra dan Ridawati, 2013). Konsumsi sakarin
dalam dosis tinggi (500 mg/kgBB) menyebabkan perubahan fungsi hati dan ginjal
karena pembentukan radikal bebas superoxide (O2-). Radikal bebas superoxide
(O2-) yang dapat menginduksi penurunan secara signifikan terhadap SOD, GSH
dan katalase, serta peningkatan signifikan terhadap MDA (Malondialdehyde)
(Amin & Almuzafar, 2015). Natrium sakarin berpengaruh pada hati dan ginjal
serta menyebabkan hematopoiesis ekstramedular pada tikus (SinKerNas, 2012).
Berdasarkan data MSDS, LD50 sakarin yang diberikan secara per-oral pada tikus
sebesar 14.200 mg/kgBB (Lampiran 7).
13
2.4 Ginjal
1.4.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Ginjal pada mamalia berjumlah sepasang, yang terletak dalam
rongga abdomen retroperitoneal primer kiri dan kanan kolumna vertebralis.
Ukuran ginjal kiri lebih panjang dari pada ukuran ginjal kanan. Organ
tersebut berbentuk menyerupai kacang yang sisi cekungnya menghadap
medial. Sisi cekung pada bagian medial tersebut dinamakan hilum, yang
merupakan tempat masuknya pembuluh darah arteri renalis dan saraf, serta
tempat keluar pembuluh darah vena renalis dan ureter (Setiadi, 2007) . Ginjal
terletak di belakang peritoneum parietal (retro-peritoneal), pada dinding
abdomen posterior. Ginjal juga terdapat pada kedua sisi aorta abdominal dan
vena cava inferior. Hepar menekan ginjal kanan ke bawah sehingga ginjal
kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri. Setiap ginjal dikelilingi lemak
perinefrik (lemak disekitar ginjal) yang dapat melindungi ginjal dari trauma.
Dibagian atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal. Renal fasia dan organ
sekitar membantu mempertahankan ginjal di tempatnya.
Gambar 2.3 Anatomi ginjal tikus (Treuting&Dintzis, 2012)
14
Potongan melintang melalui ginjal menunjukkan bahwa bagian
dalam ginjal tersusun dari dua lapisan, lapisan luar disebut korteks dan
lapisan dalam disebut dengan medula. Lapisan tersebut dibentuk oleh
susunan teratur saluran mikroskopis yang disebut nefron. Sekitar 80%
nefron di ginjal hampir seluruhnya terdapat dalam korteks nefron kortikal,
dan sisanya 20% nefron terdapat pada medula. Nefron merupakan unit
fungsional ginjal yang terkecil. Setiap satu juta nefron dalam ginjal dibagi
menjadi bagian-bagian, dan setiap bagian tersebut berhubungan erat dengan
pembuluh darah khusus (Silverthorn, 2014).
Gambar 2.4 Potongan frontal ginjal (Khurana, 2012)
Fungsi utama ginjal adalah mengekskresikan zat sisa metabolisme dan zat-
zat yang lain yang berbahaya terhadap tubuh, sambil mempertahankan
konstituen darah yang masih berguna. Selain itu ginjal juga memiliki fungsi
endokrin yang penting (Patrick, 2005).
1.4.2 Struktur Ginjal
Setiap nefron dalam ginjal memiliki sebuah glomerulus yang
terletak terutama dalam korteks ginjal dan hasil penyaringannya akan menuju
tubulus ginjal. Tubulus ginjal terdiri dari tubulus proksimal, tubulus distal,
15
serta lengkung Henle dimana reabsorbsi air, elektrolit dan zat-zat penting yang
terlarut lainnya (Patrick, 2005).
Gambar 2.5Histologi ginjal normal (Khurana, 2012)
Notasi p: Tubulus kontortus proksimal, d: Tubulus kontortus distal.
a. Glomerulus
Nefron akan berfungsi dengan baik bila kerjasamanya erat dengan
aliran darah arteria renalis, setelah bercabang-cabang akhirnya menuju
masing-masing nefron dalam bentuk aferen arteriol. Arteriol ini memasuki
bagian tubulus yang mengalami invaginasi dan disebut kapsul bowman
dan membentuk kapiler disana. Kapsul Bowman bersama-sama dengan
kapiler ini disebut glomerulus (Effendi dkk., 1981).
Glomerulus merupakan suatu bola kapiler yang dikelilingi oleh
kapsula Bowman, kumpulan tubulus berbentuk kapsula cekung dimana
urin difiltrasi. Glomerulus juga mengandung mesangial yang merupakan
penggantung untuk menyangga lengkung kapiler dan memiliki
kemampuan kontraktil dan fagositik (O’Callaghan, 2006).
16
b. Tubulus
Kapsul bowman dan kapiler membentuk aferen arteriol. Aferen
arteriol ini membentuk kapiler yang mengelilingi baik bagian proksimal
maupun bagian distal dari tubulus ini. Karena bentuknya berliku-liku
bagian-bagian tubulus ini disebut proksimal dan distal convulated tubule
(Effendidkk., 1981).
Filtrat urin yang telah terbentuk di glomerulus dan dibawa ke
dalam tubulus, volume dan isinya diubah oleh proses reabsorbsi atau
sekresi. Tubulus kontortus proksimal (proximal convoluted tubule) atau
tubulus proksimal merupakan bagian terpanjang dari tubulus renal dan
hanya ditemukan dalam korteks renal. Tubulus proksimal dilapisi oleh
epitel kuboid selapis dengan brush border (mikrovili) yang meningkatkan
area permukaan sel absorptif ini (Peckham, 2014).
Ansa Henle atau lengkung Henle terutama ditemukan dalam
medula renalis. Lengkung Henle memiliki beberapa bagian (segmen)
yaitu: segmen desenden tebal (pars rekta atau tubulus proksimal lurus),
diikuti oleh segmen desenden tipis, segmen asenden tipis, dan akhirnya
segmen asenden tebal (tubulus distal lurus). Epitel kuboid tipis selapis
melapisi segmen asenden dan desenden tebal, dan epitel gepeng selapis
melapisi bagian segmen asenden dan desenden tipis. Tubulus kontortus
distal (distal convoluted tubule) atau tubulus distal merupakan segmen
pendek akhir (5 mm) dari nefron dan ditemukan dalam korteks renalis..
17
Epitel kuboid yang melapisi tubulus distal memiliki sedikit mikrovili dan
lumen tampak lebih besar (Peckham, 2014).
1.5 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul
tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul
atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari metabolisme tubuh dan faktor
eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran ultra violet, zat kimiawi dalam
makanan dan polutan lainnya. Pada proses metabolisme sering kali terjadi
kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal
bebas, seperti anion superoksida, hidroksil dan lain-lain. Kelompok tersebut
sering disebut diistilahkan sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) atau Reactive
Oxygen Species (ROS) (Subandi, 2010).
Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi
elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah
senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam
tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada
senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa
dihambat. Antioksidan dalam tubuh dapat berupa enzim (misalnya Superoxide
Dismutase atau SOD, katalase dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya
vitamin E,C,A dan β-karoten), dan senyawa lainnya (misalnya flavonoid, albumin,
bilirubin, seruminoplasma). Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan
utama (primer) terhadap kondisi stress oksidatif. Enzim-enzim tersebut
18
merupakan metalonenzim yang aktifitasnya sangat tergantung pada adanya ion
logam (Winarsi, 2007).
1.6 Superoxide Dismutase (SOD)
Superoxide Dismutase (SOD) adalah salah satu antioksidan yang paling
kritis yang mempu memperbaiki efek tekanan (stress) oksidatif.Superoxide
Dismutase (SOD) berfungsi mengkatalisis perubahan superoksida menjadi
hidrogen peroksida dan oksigen (Nurhayati dkk., 2011). Superoxide Dismutase
(SOD) melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya peradangan yang
diakibatkan oleh radikal bebas. Enzim Superoxide Dismutase (SOD) ini
sebenarnya telah ada dalam tubuh, namun memerlukan bantuan zat-zat gizi
mineral seperti mangan (Mn), seng (Zn), dan tembaga (Cu) agar bisa bekerja.
Superoxide Dismutase (SOD) terdapat dalam semua organisme aerob, dan
sebagian besar dalam tingkat seluler (intraseluler). Aktivitas enzim Superoxide
Dismutase (SOD) memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh,
terutama terhadap aktifitas senyawa oksigen reaktif yang menyebabkan stres
oksidatif. Di dalam sitosol dan mitokondria dari sel terdapat bermacam-macam
isozim Superoxide Dismutase. Aktivitas Superoxide Dismutase meningkat melalui
produksi enzim oleh zat kimia atau keadaan yang meningkatkan pembentukan
superoksida (Winarsi,2007).
Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ tikus, terdapat dalam
jumlah tertinggi dalam hati, kemudian berturut-turut dalam kelenjar adrenal,
19
ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus, ovarium, timus,
dan lemak (Nurwati, 2002).
2.7 Detoksifikasi Xenobiotik
Xenobiotik merupakan suatu penggabungan dari kata latin “xenos” yang
berarti asing atau aneh, dan “bios” yang berarti hidup. Jadi, xenobiotik adalah
bahan-bahan kimia yang asing terhadap makhluk hidup, yang biasanya diturunkan
secara sintesis atau dari suatu proses abiotik (Connell, 1990). Xenobiotik adalah
semua senyawa kimia yang tidak dibutuhkan oleh tubuh (asing). Contohnya
adalah pestisida, pewarna, pemutih, pengawet, hormon dan lain-lain (Sembel,
2010). Xenobiotik adalah substansi kimia sintesis termasuk obat-obatan dan
beberapa zat aditif makanan (Sandjaja, 2009).
Rhodamin B termasuk dalam golongan xenobiotik dimana selama proses
metabolisme tidak dapat diekskresi dengan baik sehingga apabila terakumulasi
dapat menyebabkan sitotoksisitas sampai dengan kematian sel (Sulistina., 2013).
Sakarin adalah zat xenobiotik untuk tikus, manusia dan hewan. Sakarin tergolong
zat xenobiotik karena termasuk substansi yang tidak dibutuhkan untuk
melaksanakan proses biokimia tertentu oleh sel dalam tubuh (Irion, 2002).
Xenobiotik yang masuk melalui saluran pencernaan akan diabsorbsi oleh
duodenum dari usus halus dan selanjutnya ditranspor melalui pembuluh darah
kapiler mesenterika menuju vena porta hepatica menuju hati sebelum ke sirkulasi
sistemik (Staf Pengajar Farmakologi, 2004). Xenobiotik yang masuk dalam tubuh
20
akan dimetabolisme di hati, kemudian di ekskresikan oleh ginjal (Wirasuta dan
Nurini, 2006).
Rhodamin B dan sakarin dimetabolisme di dalam hati melalui dua
tahapan. Menurut Sobinoff, et al. (2012) Tahap I: oksidasi yang dikatalis oleh
sekelompok enzim yang dinamakan monooksigenase/Sitokrom P450. Tahap II:
senyawa hasil dari produksi fase I yang diubah menjadi berbagai metabolit polar
yang spesifik. Webb, et al. (2014) Menjelaskan bahwa rhodamin B (tetraethyl-
3’,6’-diaminofluran) masuk ke dalam tubuh melalui proses ingesti dan selanjutnya
akan diserap oleh vena mesenterika dan melalui vena porta hepatika akan
dimetabolisme di hepar. Proses metabolisme rhodamin B paling utama terjadi
melalui tahap satu metabolisme. Rhodamin akan dimetabolisme melalui fase
oksidasi dan hidrolisis dengan bantuan enzim Cytochrome P450 (CYP). Proses ini
disebut dengan de-etilasi, dimana rhodamin akan dipecah menjadi 3’,6’-
diaminofluoran dan N,N’-diethyl-3’,6’ diaminofluoran. Lu Yongke dan
Caderbaum A, (2008) Menambahkan bahwa senyawa tersebut merupakan
senyawa radikal yang dapat beredar melalui pembuluh darah hingga merusak
jaringan tubuh termasuk ginjal. Metabolisme rhodamin B pada fase ini juga
mengaktivasi senyawa klorin (Cl) dengan bantuan enzim P-450 (CYP-450).
Enzim sitokrom P-450 berfungsi sebagai katalisator dan dapat mengakibatkan
produksi ROS. Menurut Manurung (2011) Klorin (Cl) termasuk senyawa halogen
dan radikal, sangat berbahaya dan memiliki reaktivitas yang tinggi untuk
mencapai kestabilan dalam tubuh.
21
Sakarin merupakan zat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker
setelah tubuh terpapar 5-10 tahun. Sakarin merupakan xenobiotik yang dapat
menjadi sumber ROS (Reactive Oxygen Species). Dalam proses metabolisme fase
satu sakarin membutuhkan lebih banyak molekul O2 untuk proses oksidasi
sehingga terbentuk radikal superoxide (O2-) yang dapat memicu stres oksidatif.
Menurut Sobinoff, et al. (2012) xenobiotik yang dimetabolisme oleh sitokrom
P450 akan menghasilkan superoksida (O2-). Superoksida (O2
-) jika bereaksi
dengan SOD maka akan membentuk H2O2 tetapi jika O2- bereaksi dengan Fe maka
akan terbentuk hidroksi radikal. Hidroksi radikal ini yang akan menyebabkan stres
oksidatif.
Stres oksidatif adalah kondisi ketidakseimbangan antara jumlah radikal
bebas yang ada dengan jumlah antioksidan di dalam tubuh. Keadaan stres
oksidatif yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya
penekanan aktivitas antioksidan endogen dalam tubuh salah satunya yaitu SOD,
sehingga aktivitasnya menjadi turun (Werdhasari, 2014). Kondisi stres oksidatif
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel, yaitu peristiwa dimana
elektron radikal bebas yang tidak memiliki pasangan (tidak stabil, dan sangat
reaktif) akan berusaha menarik elektron dari makromolekul disekitar lipid
membran sel untuk mencapai kestabilan. Peroksidasi lipid yang terjadi secara
terus menerus akan merusak organisasi membran sel sehingga mengakibatkan
hilangnya fungsi seluler secara total (Birben, et al., 2012, Nielsena, et al., 1997).
Kerusakan sel akibat zat xenobiotik dapat terjadi pada semua sel tubuh, salah
22
satunya yaitu pada sel ginjal yang berfungsi mengekskresikan zat xenobiotik
melalui urin.
1.8 Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Menurut Wishaw dan Kolb (2005) klasifikasi tikus putih (Rattus
norvegicus) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Orde : Rodentia
Superfamily : Muroidea
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : norvegicus
Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan pada berbagai macam
penelitian karena tikus ini memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, murah
serta mudah untuk mendapatkanya. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari
hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi
yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak
mempunyai kantung empedu. Warna umum dari Rattus norvegicus yaitu abu-abu
kehitaman atau coklat, dapat juga berwarna abu-abu pucat atau abu-abu putih,
namun tikus yang digunakan sebagai hewan percobaan dibandingkan dengan tikus
23
liar, tikus laboraturium lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan
musiman, dan umumnya lebih mudah berkembangbiak. Jika tikus liar dapat hidup
4-5 tahun, tikus laboraturium jarang hidup lebih dari 3 tahun. Umumnya berat
badan tikus laboraturium lebih ringan dari pada tikus liar. Biasanya pada umur
empat minggu, berat badan tikus liar mencapai 40-50 g dan setelah dewasa sampai
300 g atau lebih, sedangkan tikus laboraturium pada umur empat minggu beratnya
hanya 35-40 g dan berat dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi
tergantung pada galur (Sari, 2011).