17
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas Uji toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa digunakan dalam memperbandingkan suatu zat kimia dengan yang lainnya. Secara umum uji toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji toksisitas kronis. 2.1.1 Toksisitas akut Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam (Harmita dan Hadji, 2006). Loomis (1978) menambahkan, uji toksisitas akut juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas dan mekanisme perantara terjadinya kematian hewan uji. Kriteria awal yang sering digunakan untuk evaluasi uji ketoksikan senyawa baru umumnya menggunakan kematian sebagai indeks untuk memperkirakan dosis letal yang mungkin terjadi. Harga LD50 adalah besarnya dosis suatu senyawa yang dapat menyebabkan kematian 50% jumlah populasi dalam jangka waktu tertentu. 2.1.2 Toksisitas Subkronis Uji toksisitas jangka pendek (subkronik) adalah suatu uji yang dilakukan dengan memberikan zat kimia yang ingin diujikan berulang- ulang, biasanya setiap hari, atau lima kali dalam satu minggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Toksisitas

Uji toksisitas merupakan istilah relatif yang biasa digunakan dalam

memperbandingkan suatu zat kimia dengan yang lainnya. Secara umum uji

toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas

akut dan uji toksisitas kronis.

2.1.1 Toksisitas akut

Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan zat kimia yang

sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24

jam (Harmita dan Hadji, 2006). Loomis (1978) menambahkan, uji toksisitas

akut juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya

efek toksik yang khas dan mekanisme perantara terjadinya kematian hewan

uji. Kriteria awal yang sering digunakan untuk evaluasi uji ketoksikan

senyawa baru umumnya menggunakan kematian sebagai indeks untuk

memperkirakan dosis letal yang mungkin terjadi. Harga LD50 adalah

besarnya dosis suatu senyawa yang dapat menyebabkan kematian 50%

jumlah populasi dalam jangka waktu tertentu.

2.1.2 Toksisitas Subkronis

Uji toksisitas jangka pendek (subkronik) adalah suatu uji yang

dilakukan dengan memberikan zat kimia yang ingin diujikan berulang-

ulang, biasanya setiap hari, atau lima kali dalam satu minggu, selama jangka

waktu kurang lebih 10% masa hidup hewan, yaitu 3 bulan untuk tikus dan 1

7

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

8

atau 2 tahun untuk anjing. Namun, beberapa penelitian menggunakan jangka

waktu yang lebih pendek, misalnya pemberian zat kimia selama 14-18 hari

(Harmita dan Hadji, 2006).

Toksisitas subkronik menyediakan informasi mengenai bahaya

kesehatan yang dapat muncul dari sebuah paparan terus menerus dalam

jangka waktu tertentu. Studi ini dapat memberikan informasi mengenai

organ target, kemungkinan terjadinya akumulasi, dan estimasi dari level

yang tidak menimbulkan efek dari suatu paparan yang dapat digunakan

untuk menentukan level dosis untuk studi kronik (Barille, 2005). Dosis pada

uji toksisitas subkronik biasanya dipilih berdasarkan informasi yang

diperoleh dari uji toksisitas akut. Semua informasi tentang zat kimia yang

berkaitan dan tentang metabolismenya, terutama ada atau tidaknya

bioakumulasi juga ikut dipertimbangkan (Lu, 1995).

2.1.3 Toksisitas Kronis

Uji toksisitas jangka panjang (kronis) adalah suatu percobaan yang

mencakup pemberian zat kimia secara berulang selama 3-6 bulan atau

seumur hidup hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk

tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet (Harmita dan Hadji, 2006).

Uji toksisitas kronis sedikitnya menggunakan tiga tingkatan dosis, satu

diantaranya untuk menentukan level (tingkatan) dosis terkecil yang

memberikan efek toksik. Binatang yang digunakan untuk uji ini ialah

binatang dalam masa pertumbuhan, yaitu untuk melihat perubahan berat

badan yang dapat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Semua

perubahan yang terjadi pada binatang diobservasi dan dicatat, termasuk

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

9

perubahan tingkah laku. Secara periodik, binatang percobaan dimatikan

untuk melihat perubahan-perubahan yang mungkin tersaji pada organ-organ

tubuh dengan pemeriksaan histopatologik (Staf Pengajar Depertemen

Farmakologi, 2004).

2.2 Rhodamin B

Secara fisik rhodamin B merupakan padatan berupa kristal hijau atau

serbuk ungu kemerahan yang memiliki berat molekul 479.02 g/mol dan rumus

molekul C28H31N2O3Cl. Nama lain dari rhodamin B adalah Rhodamin 123 Basic

Violet 10 dan (9-(o-carboxyphenyl)-6-(diethylamino)-3H-xanthen-3-ylidene)

diethylamonium chloride (Alsuhendra dan Ridawati, 2013).

Gambar 2.1 Struktur kimia rhodamin B (Praja, 2015)

Rhodamin B bersifat larut dalam air. Warna yang dihasilkan adalah merah

kebiruan dan berflourensi kuat. Rhodamin B bukanlah pewarna untuk makanan

sehingga lebih banyak digunakan untuk mewarnai kertas atau sebagai pereaksi

untuk identifikasi timbal, bismut, kobal, emas, magnesium, dan torium. Rhodamin

B juga dapat digunakan sebagai pewarna kulit, kapas, wool, serat kulit kayu,

nilon, serat asetat, kertas, tinta dan vernis, sabun dan bulu. Oleh sebab itu,

pemerintah melarang penggunaan rhodamin B sebagai pewarna makanan

(Alsuhendra dan Ridawati, 2013).

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

10

Zat warna rhodamin B walaupun telah dilarang penggunaannya ternyata

masih ada produsen yang sengaja menambahkan zat warna rhodamin B untuk

produknya. Rhodamin B biasanya sering digunakan untuk mewarnai makanan

seperti kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, sosis,

makaroni goreng, minuman ringan, cendol, manisan, gipang, dan ikan asap.

Makanan yang diberi zat pewarna ini biasanya berwarna lebih terang dan

memiliki rasa agak pahit (Saridkk., 2008). Praja (2015) menambahkan

toksisitasnya termasuk bahan kimia berbahaya (harmfull). Berbahaya bila tertelan,

terhisap pernafasan dan terkena kulit. Tanda- tanda dan gejala sakit bila terpapar

rhodamin B anatra lain adalah apabila terhirup dapat menimbulkan iritasi pada

saluran pernafasan, jika terkena kulit dapat menimbulkan iritasi pada kulit, jika

terkena mata dapat menimbulkan iritasi pada mata kemerahan oedema pada

kelopak mata, jika tertelan dapat menimbulkan gejala keracunan dan air seni

berwarna merah atau merah muda. Berdasarkan data MSDS, LD50 rhodamin B

yang diberikan pada tikus secara per-oral sebesar 1.497 mg/kgBB (Lampiran 6).

Pemberian rhodamin B dengan dosis yang bertingkat dapat meningkatkan

presentase kerusakan glomerulus ginjal mencit. Hal ini dikarenakan rhodamin B

yang bersifat toksik dan dapat memberikan efek yang semakin tinggi seiring

meningkatnya dosis yang diberikan. Presentase kerusakan glomerulus ginjal

mencit dipengaruhi faktor dosis, lama pemberian dan interaksi antara kedua faktor

tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase kerusakan

glomerulus (Mayoridkk., 2013).

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

11

Paparan dosis rhodamin B bersifat toksik dalam jangka waktu lama dapat

mempengaruhi fungsi glomerulus (Guyton, 1994). Bahan toksik dalam hal ini

rhodamin B akan mempengaruhi daya filtrasi glomerulus, sehingga daya saring

menjadi berkurang. Salah satu bentuk kerusakan pada ginjal terlihat dengan

adanya penyempitan pada ruang bowman, nekrosis serta hemoragi. Penyempitan

ruang bowman disebabkan oleh pembengkakan glomerulus ataupun proliferasi

dari epitel kapsul Bowman (Price, 1992). Beveder dan Ramely (1998)

menambahkan, perubahan yang terjadi pada glomerulus akan mengakibatkan

terganggunya fungsi produksi filtrat dan kontrol komposisi filtrat sendiri,

sementara perubahan pada tubula mengakibatkan terganggunya proses reabsorbsi

daripada filtrat.

2.3 Sakarin

Dalam SNI 01-6993-2004 tentang Bahan Tambahan Pangan Pemanis

Buatan, disebutkan bahwa sakarin merupakan pemanis sintesis yang biasanya

terdapat dalam bentuk garam berupa kalsium, kalium, dan natrium sakarin dengan

rumus kimia (C14H8CaN2O6S2.3H2O), (C7H4KNO3S.2H2O) dan

(C7NaNO3S.2H2O). Sakarin memiliki berat molekul 183,18 g/mol (Alsuhendra

dan Ridawati, 2013).

Gambar 2.2 Struktur kimia sakarin (Praja, 2015)

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

12

Secara fisik garam sakarin berbentuk kristal putih, tidak berbau atau

berbau aromatik lemah, dan mudah larut dalam air, serta memiliki rasa manis.

Sakarin memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 300 sampai dengan 500 kali

tingkat kemanisan sukrosa serta tidak memiliki nilai kalori. Banyak produk

makanan dan minuman yang menggunakan sakarin sebagai pemanis, diantaranya

adalah minuman ringan (soft drinks), permen selai, bumbu salad, gelatin rendah

kalori, dan hasil olahan lain tanpa gula. Namun, selain memiliki rasa manis,

sakarin juga terasa pahit (Alsuhendra dan Ridawati, 2013). Sakarin yang

dikonsumsi, setelah tertelan akan melewati sistem pencernaan dengan proses

penyerapan usus yang lambat, kemudian akan diekskresikan oleh tubuh melalui

urin (BPOM, 2003).

Penggunaan sakarin untuk makanan sebagai pengganti gula cukup banyak

karena sakarin mempunyai sifat yang stabil, tidak mengandung energi, dan

harganya yang relatif murah (Alsuhendra dan Ridawati, 2013). Konsumsi sakarin

dalam dosis tinggi (500 mg/kgBB) menyebabkan perubahan fungsi hati dan ginjal

karena pembentukan radikal bebas superoxide (O2-). Radikal bebas superoxide

(O2-) yang dapat menginduksi penurunan secara signifikan terhadap SOD, GSH

dan katalase, serta peningkatan signifikan terhadap MDA (Malondialdehyde)

(Amin & Almuzafar, 2015). Natrium sakarin berpengaruh pada hati dan ginjal

serta menyebabkan hematopoiesis ekstramedular pada tikus (SinKerNas, 2012).

Berdasarkan data MSDS, LD50 sakarin yang diberikan secara per-oral pada tikus

sebesar 14.200 mg/kgBB (Lampiran 7).

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

13

2.4 Ginjal

1.4.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal pada mamalia berjumlah sepasang, yang terletak dalam

rongga abdomen retroperitoneal primer kiri dan kanan kolumna vertebralis.

Ukuran ginjal kiri lebih panjang dari pada ukuran ginjal kanan. Organ

tersebut berbentuk menyerupai kacang yang sisi cekungnya menghadap

medial. Sisi cekung pada bagian medial tersebut dinamakan hilum, yang

merupakan tempat masuknya pembuluh darah arteri renalis dan saraf, serta

tempat keluar pembuluh darah vena renalis dan ureter (Setiadi, 2007) . Ginjal

terletak di belakang peritoneum parietal (retro-peritoneal), pada dinding

abdomen posterior. Ginjal juga terdapat pada kedua sisi aorta abdominal dan

vena cava inferior. Hepar menekan ginjal kanan ke bawah sehingga ginjal

kanan lebih rendah dari pada ginjal kiri. Setiap ginjal dikelilingi lemak

perinefrik (lemak disekitar ginjal) yang dapat melindungi ginjal dari trauma.

Dibagian atas setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal. Renal fasia dan organ

sekitar membantu mempertahankan ginjal di tempatnya.

Gambar 2.3 Anatomi ginjal tikus (Treuting&Dintzis, 2012)

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

14

Potongan melintang melalui ginjal menunjukkan bahwa bagian

dalam ginjal tersusun dari dua lapisan, lapisan luar disebut korteks dan

lapisan dalam disebut dengan medula. Lapisan tersebut dibentuk oleh

susunan teratur saluran mikroskopis yang disebut nefron. Sekitar 80%

nefron di ginjal hampir seluruhnya terdapat dalam korteks nefron kortikal,

dan sisanya 20% nefron terdapat pada medula. Nefron merupakan unit

fungsional ginjal yang terkecil. Setiap satu juta nefron dalam ginjal dibagi

menjadi bagian-bagian, dan setiap bagian tersebut berhubungan erat dengan

pembuluh darah khusus (Silverthorn, 2014).

Gambar 2.4 Potongan frontal ginjal (Khurana, 2012)

Fungsi utama ginjal adalah mengekskresikan zat sisa metabolisme dan zat-

zat yang lain yang berbahaya terhadap tubuh, sambil mempertahankan

konstituen darah yang masih berguna. Selain itu ginjal juga memiliki fungsi

endokrin yang penting (Patrick, 2005).

1.4.2 Struktur Ginjal

Setiap nefron dalam ginjal memiliki sebuah glomerulus yang

terletak terutama dalam korteks ginjal dan hasil penyaringannya akan menuju

tubulus ginjal. Tubulus ginjal terdiri dari tubulus proksimal, tubulus distal,

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

15

serta lengkung Henle dimana reabsorbsi air, elektrolit dan zat-zat penting yang

terlarut lainnya (Patrick, 2005).

Gambar 2.5Histologi ginjal normal (Khurana, 2012)

Notasi p: Tubulus kontortus proksimal, d: Tubulus kontortus distal.

a. Glomerulus

Nefron akan berfungsi dengan baik bila kerjasamanya erat dengan

aliran darah arteria renalis, setelah bercabang-cabang akhirnya menuju

masing-masing nefron dalam bentuk aferen arteriol. Arteriol ini memasuki

bagian tubulus yang mengalami invaginasi dan disebut kapsul bowman

dan membentuk kapiler disana. Kapsul Bowman bersama-sama dengan

kapiler ini disebut glomerulus (Effendi dkk., 1981).

Glomerulus merupakan suatu bola kapiler yang dikelilingi oleh

kapsula Bowman, kumpulan tubulus berbentuk kapsula cekung dimana

urin difiltrasi. Glomerulus juga mengandung mesangial yang merupakan

penggantung untuk menyangga lengkung kapiler dan memiliki

kemampuan kontraktil dan fagositik (O’Callaghan, 2006).

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

16

b. Tubulus

Kapsul bowman dan kapiler membentuk aferen arteriol. Aferen

arteriol ini membentuk kapiler yang mengelilingi baik bagian proksimal

maupun bagian distal dari tubulus ini. Karena bentuknya berliku-liku

bagian-bagian tubulus ini disebut proksimal dan distal convulated tubule

(Effendidkk., 1981).

Filtrat urin yang telah terbentuk di glomerulus dan dibawa ke

dalam tubulus, volume dan isinya diubah oleh proses reabsorbsi atau

sekresi. Tubulus kontortus proksimal (proximal convoluted tubule) atau

tubulus proksimal merupakan bagian terpanjang dari tubulus renal dan

hanya ditemukan dalam korteks renal. Tubulus proksimal dilapisi oleh

epitel kuboid selapis dengan brush border (mikrovili) yang meningkatkan

area permukaan sel absorptif ini (Peckham, 2014).

Ansa Henle atau lengkung Henle terutama ditemukan dalam

medula renalis. Lengkung Henle memiliki beberapa bagian (segmen)

yaitu: segmen desenden tebal (pars rekta atau tubulus proksimal lurus),

diikuti oleh segmen desenden tipis, segmen asenden tipis, dan akhirnya

segmen asenden tebal (tubulus distal lurus). Epitel kuboid tipis selapis

melapisi segmen asenden dan desenden tebal, dan epitel gepeng selapis

melapisi bagian segmen asenden dan desenden tipis. Tubulus kontortus

distal (distal convoluted tubule) atau tubulus distal merupakan segmen

pendek akhir (5 mm) dari nefron dan ditemukan dalam korteks renalis..

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

17

Epitel kuboid yang melapisi tubulus distal memiliki sedikit mikrovili dan

lumen tampak lebih besar (Peckham, 2014).

1.5 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul

tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul

atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari metabolisme tubuh dan faktor

eksternal seperti asap rokok, hasil penyinaran ultra violet, zat kimiawi dalam

makanan dan polutan lainnya. Pada proses metabolisme sering kali terjadi

kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal

bebas, seperti anion superoksida, hidroksil dan lain-lain. Kelompok tersebut

sering disebut diistilahkan sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) atau Reactive

Oxygen Species (ROS) (Subandi, 2010).

Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi

elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah

senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam

tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada

senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa

dihambat. Antioksidan dalam tubuh dapat berupa enzim (misalnya Superoxide

Dismutase atau SOD, katalase dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya

vitamin E,C,A dan β-karoten), dan senyawa lainnya (misalnya flavonoid, albumin,

bilirubin, seruminoplasma). Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan

utama (primer) terhadap kondisi stress oksidatif. Enzim-enzim tersebut

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

18

merupakan metalonenzim yang aktifitasnya sangat tergantung pada adanya ion

logam (Winarsi, 2007).

1.6 Superoxide Dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) adalah salah satu antioksidan yang paling

kritis yang mempu memperbaiki efek tekanan (stress) oksidatif.Superoxide

Dismutase (SOD) berfungsi mengkatalisis perubahan superoksida menjadi

hidrogen peroksida dan oksigen (Nurhayati dkk., 2011). Superoxide Dismutase

(SOD) melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya peradangan yang

diakibatkan oleh radikal bebas. Enzim Superoxide Dismutase (SOD) ini

sebenarnya telah ada dalam tubuh, namun memerlukan bantuan zat-zat gizi

mineral seperti mangan (Mn), seng (Zn), dan tembaga (Cu) agar bisa bekerja.

Superoxide Dismutase (SOD) terdapat dalam semua organisme aerob, dan

sebagian besar dalam tingkat seluler (intraseluler). Aktivitas enzim Superoxide

Dismutase (SOD) memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh,

terutama terhadap aktifitas senyawa oksigen reaktif yang menyebabkan stres

oksidatif. Di dalam sitosol dan mitokondria dari sel terdapat bermacam-macam

isozim Superoxide Dismutase. Aktivitas Superoxide Dismutase meningkat melalui

produksi enzim oleh zat kimia atau keadaan yang meningkatkan pembentukan

superoksida (Winarsi,2007).

Aktivitas SOD bervariasi pada beberapa organ tikus, terdapat dalam

jumlah tertinggi dalam hati, kemudian berturut-turut dalam kelenjar adrenal,

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

19

ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, lambung, usus, ovarium, timus,

dan lemak (Nurwati, 2002).

2.7 Detoksifikasi Xenobiotik

Xenobiotik merupakan suatu penggabungan dari kata latin “xenos” yang

berarti asing atau aneh, dan “bios” yang berarti hidup. Jadi, xenobiotik adalah

bahan-bahan kimia yang asing terhadap makhluk hidup, yang biasanya diturunkan

secara sintesis atau dari suatu proses abiotik (Connell, 1990). Xenobiotik adalah

semua senyawa kimia yang tidak dibutuhkan oleh tubuh (asing). Contohnya

adalah pestisida, pewarna, pemutih, pengawet, hormon dan lain-lain (Sembel,

2010). Xenobiotik adalah substansi kimia sintesis termasuk obat-obatan dan

beberapa zat aditif makanan (Sandjaja, 2009).

Rhodamin B termasuk dalam golongan xenobiotik dimana selama proses

metabolisme tidak dapat diekskresi dengan baik sehingga apabila terakumulasi

dapat menyebabkan sitotoksisitas sampai dengan kematian sel (Sulistina., 2013).

Sakarin adalah zat xenobiotik untuk tikus, manusia dan hewan. Sakarin tergolong

zat xenobiotik karena termasuk substansi yang tidak dibutuhkan untuk

melaksanakan proses biokimia tertentu oleh sel dalam tubuh (Irion, 2002).

Xenobiotik yang masuk melalui saluran pencernaan akan diabsorbsi oleh

duodenum dari usus halus dan selanjutnya ditranspor melalui pembuluh darah

kapiler mesenterika menuju vena porta hepatica menuju hati sebelum ke sirkulasi

sistemik (Staf Pengajar Farmakologi, 2004). Xenobiotik yang masuk dalam tubuh

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

20

akan dimetabolisme di hati, kemudian di ekskresikan oleh ginjal (Wirasuta dan

Nurini, 2006).

Rhodamin B dan sakarin dimetabolisme di dalam hati melalui dua

tahapan. Menurut Sobinoff, et al. (2012) Tahap I: oksidasi yang dikatalis oleh

sekelompok enzim yang dinamakan monooksigenase/Sitokrom P450. Tahap II:

senyawa hasil dari produksi fase I yang diubah menjadi berbagai metabolit polar

yang spesifik. Webb, et al. (2014) Menjelaskan bahwa rhodamin B (tetraethyl-

3’,6’-diaminofluran) masuk ke dalam tubuh melalui proses ingesti dan selanjutnya

akan diserap oleh vena mesenterika dan melalui vena porta hepatika akan

dimetabolisme di hepar. Proses metabolisme rhodamin B paling utama terjadi

melalui tahap satu metabolisme. Rhodamin akan dimetabolisme melalui fase

oksidasi dan hidrolisis dengan bantuan enzim Cytochrome P450 (CYP). Proses ini

disebut dengan de-etilasi, dimana rhodamin akan dipecah menjadi 3’,6’-

diaminofluoran dan N,N’-diethyl-3’,6’ diaminofluoran. Lu Yongke dan

Caderbaum A, (2008) Menambahkan bahwa senyawa tersebut merupakan

senyawa radikal yang dapat beredar melalui pembuluh darah hingga merusak

jaringan tubuh termasuk ginjal. Metabolisme rhodamin B pada fase ini juga

mengaktivasi senyawa klorin (Cl) dengan bantuan enzim P-450 (CYP-450).

Enzim sitokrom P-450 berfungsi sebagai katalisator dan dapat mengakibatkan

produksi ROS. Menurut Manurung (2011) Klorin (Cl) termasuk senyawa halogen

dan radikal, sangat berbahaya dan memiliki reaktivitas yang tinggi untuk

mencapai kestabilan dalam tubuh.

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

21

Sakarin merupakan zat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker

setelah tubuh terpapar 5-10 tahun. Sakarin merupakan xenobiotik yang dapat

menjadi sumber ROS (Reactive Oxygen Species). Dalam proses metabolisme fase

satu sakarin membutuhkan lebih banyak molekul O2 untuk proses oksidasi

sehingga terbentuk radikal superoxide (O2-) yang dapat memicu stres oksidatif.

Menurut Sobinoff, et al. (2012) xenobiotik yang dimetabolisme oleh sitokrom

P450 akan menghasilkan superoksida (O2-). Superoksida (O2

-) jika bereaksi

dengan SOD maka akan membentuk H2O2 tetapi jika O2- bereaksi dengan Fe maka

akan terbentuk hidroksi radikal. Hidroksi radikal ini yang akan menyebabkan stres

oksidatif.

Stres oksidatif adalah kondisi ketidakseimbangan antara jumlah radikal

bebas yang ada dengan jumlah antioksidan di dalam tubuh. Keadaan stres

oksidatif yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya

penekanan aktivitas antioksidan endogen dalam tubuh salah satunya yaitu SOD,

sehingga aktivitasnya menjadi turun (Werdhasari, 2014). Kondisi stres oksidatif

menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel, yaitu peristiwa dimana

elektron radikal bebas yang tidak memiliki pasangan (tidak stabil, dan sangat

reaktif) akan berusaha menarik elektron dari makromolekul disekitar lipid

membran sel untuk mencapai kestabilan. Peroksidasi lipid yang terjadi secara

terus menerus akan merusak organisasi membran sel sehingga mengakibatkan

hilangnya fungsi seluler secara total (Birben, et al., 2012, Nielsena, et al., 1997).

Kerusakan sel akibat zat xenobiotik dapat terjadi pada semua sel tubuh, salah

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

22

satunya yaitu pada sel ginjal yang berfungsi mengekskresikan zat xenobiotik

melalui urin.

1.8 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Menurut Wishaw dan Kolb (2005) klasifikasi tikus putih (Rattus

norvegicus) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Orde : Rodentia

Superfamily : Muroidea

Family : Muridae

Genus : Rattus

Species : norvegicus

Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan pada berbagai macam

penelitian karena tikus ini memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, murah

serta mudah untuk mendapatkanya. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari

hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi

yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak

mempunyai kantung empedu. Warna umum dari Rattus norvegicus yaitu abu-abu

kehitaman atau coklat, dapat juga berwarna abu-abu pucat atau abu-abu putih,

namun tikus yang digunakan sebagai hewan percobaan dibandingkan dengan tikus

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Toksisitas 2.1repository.ub.ac.id/3699/3/BAB II.pdf · toksisitas dibagi menjadi 3 kelompok yaitu uji toksisitas subkronis, uji toksisitas akut dan uji

23

liar, tikus laboraturium lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan

musiman, dan umumnya lebih mudah berkembangbiak. Jika tikus liar dapat hidup

4-5 tahun, tikus laboraturium jarang hidup lebih dari 3 tahun. Umumnya berat

badan tikus laboraturium lebih ringan dari pada tikus liar. Biasanya pada umur

empat minggu, berat badan tikus liar mencapai 40-50 g dan setelah dewasa sampai

300 g atau lebih, sedangkan tikus laboraturium pada umur empat minggu beratnya

hanya 35-40 g dan berat dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi

tergantung pada galur (Sari, 2011).