1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kajian sastra anak atau children‘s literature merupakan salah satu bagian
kritik sastra yang masih dimarginalkan karena dipandang sebagai kajian yang
mudah karena obyek kajiannya dianggap sederhana berupa bacaan anak dengan
kalimat-kalimat sederhana dan banyak disertai ilustrasi gambar, tidak terlalu
serius, ringan, mudah, dan tentang hal bersenang-senang (Grenby, 2008).
Pertanyaan pertama tentang sastra anak yang masih menjadi perdebatan adalah
apa sejatinya sastra anak tersebut, apa yang membedakannya dengan sastra yang
lain. Jika ada sastra anak, apakah kemudian dioposisikan dengan sastra dewasa,
apakah sastra anak benar-benar ada jika apa yang dibaca anak dan orang dewasa
kini semakin tidak bisa dibatasi.
Pada kenyataannya buku anak diletakkan di rak tersendiri di berbagai toko
buku. Film anak ditandai dengan istilah segala umur dan film untuk orang dewasa
ditandai dengan D atau R untuk remaja. Hal tersebut menunjukkan bahwa anak
adalah bagian masyarakat yang tidak dengan bebas mengkonsumsi apa yang tidak
dibuat untuk mereka. Dalam hal ini anak terlihat khusus dalam arti tidak bebas
dengan alasan perlindungan perkembangan psikologinya. Segala hal yang dibuat
untuk anak didasarkan pada kepentingan untuk membangun karakter mereka
menjadi anak-anak yang baik menurut masyarakat. Dengan demikian maka bisa
diasumsikan bahwa sastra anak yang di dalamnya termasuk buku bacaan yang
2
sengaja dibuat untuk anak haruslah berisi hal-hal yang baik. Baik menurut
kepentingan masyarakat yang tentunya dikuasai orang-orang dewasa. Baik di sini
biasanya diartikan berisi nasehat-nasehat tentang kehidupan berdasarkan norma-
norma atau agama yang dianut sebuah masyarakat. Karena itu sastra anak baru
akan dicetak setelah melewati banyak sensor dari institusi orang dewasa
diantaranya institusi sosial, pendidikan, dan agama.
Sastra anak merupakan bidang yang terus berkembang, terutama di Eropa
dan Amerika. Bahkan sampai saat ini definisi dan wacana sastra anak ini masih
menjadi bahasan yang terus didiskusikankan tetapi hal ini tidak membuat sastra
anak menjadi mustahil untuk dikaji. Justeru sebaliknya merupakan hal menarik
untuk diteliti. Sejauh ini definisi sastra anak yang bisa disimpulkan dari berbagai
wacana tersebut adalah bahwa sastra anak merupakan sastra yang ditulis oleh
orang dewasa dan ditulis untuk anak. Sastra anak sengaja dibuat untuk dikonsumsi
anak (Shavit, 1986; O‟Sullivan, 2005; Ewers, 2010). Sastra anak adalah bagian
dari sastra secara keseluruhan yang diberi nama sesuai dengan target pembacanya.
Penyebutan istilah sastra anak sendiri berdasarkan readership, bukan genre. Sastra
anak ditulis oleh orang dewasa yang ditujukan untuk anak yang diasumsikan
sebagai pembaca idealnya (Grenby, 2008). Sastra anak tidak hanya dibaca oleh
target pembacanya saja yaitu anak-anak tapi juga dibaca oleh orang dewasa,
seperti juga anak-anak yang membaca buku-buku sastra yang tidak ditujukan
untuk mereka atau sastra untuk orang dewasa. Ada beberapa alasan orang dewasa
membaca sastra anak. Di antaranya adalah sebagai kesenangan sendiri untuk
menikmati kembali fantasi dan lugasnya dunia anak-anak. Alasan lain adalah
3
untuk membacakan atau menyampaikan sastra anak pada anak-anak. Biasanya hal
ini dilakukan para orangtua dan guru. Alasan berikutnya adalah ada sastra anak
yang memang ditujukan untuk dua kelompok pembaca sekaligus yaitu anak-anak
dan orang dewasa. Menurut Shavit (1986) hal inilah yang disebut fenomena teks
ambivalen dalam sastra anak. Contoh bacaan yang ditujukan untuk orang dewasa
tetapi kelihatan seperti sastra anak adalah Alice in Wonderland, Winnie the Pooh,
The Hobbit.
Walaupun dikatakan bahwa sastra anak adalah sastra yang dibuat orang
dewasa untuk anak tetapi tidak hanya orang dewasa yang menuliskannya. Baru-
baru ini di Indonesia banyak buku-buku anak yang ditulis oleh anak-anak sendiri
seperti seri KKPK (Kecil Kecil Punya Karya) di bawah penerbit Dar Mizan dan
mulai diikuti oleh penerbit lain. Dalam hal ini belum bisa diasumsikan bahwa
anak-anak bebas menulis untuk diri mereka sendiri karena penulis anak disini
harus melewati pelatihan yang diadakan oleh penerbit, yang tentunya orang
dewasa, mengikuti aturan-aturan isi tulisan yang telah ditentukan, dan dengan
demikian kembali sastra anak dibuat oleh orang dewasa.
Oposisi orang dewasa sebagai pembuat sastra anak dan anak-anak sebagai
pembaca menjadi penting dalam kajian sastra anak karena disinilah yang
membedakan sastra anak dengan sastra pada umumnya atau sebut saja sastra
dewasa. Orang dewasa di sini merasa lebih tahu dari anak berdasarkan
pengalaman kehidupan sehingga orang dewasa merasa harus menginstruksikan
apa yang seharusnya diperbuat anak melalui sastra anak. Hal ini berbeda dengan
sastra pada umumnya yang isinya bernada menawarkan dan menggambarkan
4
fenomena kehidupan kepada target pembaca dewasa yang sejajar dan karenanya
mempunyai nilai tawar untuk mengikuti atau tidak ide penulis. Di sinilah tampak
bahwa keberadaan sastra anak adalah sebagai agen pembawa pesan moral yang
mengandung nilai sosial yang sedang dipercaya suatu masyarakat pada suatu masa
seperti yang diungkapkan J. Stephens (1992) dalam Shavit (1986). Menurut
Stephens ketidaksejajaran penulis (dewasa) dan pembaca (anak-anak)
menyebabkan melekatnya sastra anak pada praktik-praktik budaya yang ingin
dikukuhkan pada target pembacanya. Sastra anak adalah tempat menuliskan nilai-
nilai pendidikan, budaya, dan sosial yang dominan. Serangkaian orang dewasa
selain penulis mempengaruhi proses penulisan sastra anak, termasuk institusi
pendidikan, guru, orang tua, penerbit yang menentukan buku apa yang dianggap
baik untuk anak. Hal ini berarti sastra anak ditulis dengan muatan nilai-nilai yang
dianut oleh sebuah masyarakat dan anak-anak menganggap apa yang ada di buku
adalah benar (Mitchell, 2003).
Not only does literature reflect society; it also helps shape society
by suggesting that the institutions and people it shows are reflective
of the norm. Children take what is written in books very seriously.
They believe that books show truth – that the words would not be in
print if they weren‘t true (Mitchell, 2003: 172)
Pesan dan nilai-nilai ini ada yang disampaikan secara literal yang bisa
dipahami anak sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa, sosial, dan
budayanya (Ewers, 2009) tetapi ada juga pesan yang perlu ditafsir kembali
terutama oleh pembaca dewasa, baik sebaga penikmat sastra anak atau sebagai
orang-orang yang berkepentingan dengan sastra anak misalnya guru, orangtua,
petugas perpustakaan, yang membantu anak memahami makna karya sastra. Nilai-
5
nilai dan pesan dalam sastra anak inilah yang akan menjadi obyek formal dalam
penelitian berikut. Penelitian sastra anak bisa menunjukkan cara pandang
masyarakat terhadap anak- anak dan nilai-nilai apa yang sedang dianut oleh
sebuah masyarakat pada kurun waktu tertentu (Shavit, 1986). Apakah cara
pandang masyarakat terhadap anak sama di negara yang berbeda merupakan
pertanyaan berikutnya dalam penelitian ini. Karena itu penelitian berikut
merupakan kajian perbandingan yang akan mengambil contoh dua cerita anak
populer dari dua negara yaitu Indonesia dan Amerika.
Dua cerita anak yang berasal dari dua negara berbeda tetapi mempunyai
kemiripan cerita adalah Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto dan Little
House karya Laura Ingalls Wilder dari Amerika. Membaca buku cerita Keluarga
Cemara karya Arswendo Atmowiloto mengingatkan pada buku cerita anak dari
Amerika yaitu seri Little House karya Laura Ingalls Wilder karena keduanya
bercerita tentang sebuah keluarga yang (tampak) bahagia dengan
kesederhanaannya. Keduanya telah diangkat ke layar kaca dan menjadi serial
televisi yang mendapat sambutan baik oleh penonton terbukti dengan panjangnya
masa tayang keduanya. Sambutan penonton tersebut menunjukkan bahwa tema
cerita disetujui oleh sebagian besar anggota masyarakat yang diasumsikan bahwa
cerita tersebut mengandung nilai yang tidak bertentangan dengan keyakinan
masyarakat.
Keluarga Cemara adalah buku serial cerita anak yang ditulis oleh
Arswendo Atmowiloto dari Indonesia. Judul- judul dalam serial ini adalah
Keluarga Cemara (1981), Keluarga Cemara: Musik Musim Hujan (1999),
6
Keluarga Cemara: Tempat Minum dari Toko (1999), Keluarga Cemara: Kupon
Kemenangan (1999), Keluarga Cemara: Becak Emak (2001), dan Keluarga
Cemara: Bunga Pengantin (2001). Kisah-kisah dalam judul-judul tersebut pernah
dimuat di majalah anak, Ina. Keluarga Cemara diangkat ke layar kaca pada tahun
1996-2005 di stasiun televisi RCTI dan TV 7.
Little House adalah buku serial cerita anak yang ditulis oleh Laura Ingalls
Wilder dari Amerika pada awal abad 20. Seri Little House tercatat sebagai buku
anak klasik di beberapa terbitan buku tentang sastra anak. Buku pertama dalam
seri ini yaitu Little House in the Big Woods diterbitkan pada tahun 1932.
Menyusul bukunya yang kedua yaitu Little House on the Prairie diterbitkan pada
tahun 1935. Buku kedua ini yang banyak dikenal oleh pembaca dan dijadikan
judul film ketika serial ini diangkat ke layar kaca pada tahun 1974-1983.
Berikutnya adalah On the Banks of Plum Creek (1937), By the Shores of Silver
Lake(1939), The Long Winter (1940), Little Town on the Prairie (1941), These
Happy Golden Years (1943), dan The First Four Years (1971). Dua judul dari
buku di atas yaitu Little House on the Prairie dan On the Banks of Plum Creeks
akan dijadikan obyek material dalam kajian ini karena dianggap paling bisa
dibandingkan dengan serial cerita anak di Indonesia yaitu Keluarga Cemara,
terutama dari segi usia tokoh anak-anaknya.
Keluarga Cemara karya Arswendo Atmowiloto dan Little House karya
Laura Ingalls Wilder merupakan cerita anak bertema keluarga. Kedua seri ini
dipilih sebagai obyek kajian karena keduanya mempunyai kesamaan cerita tentang
sebuah keluarga tradisional yang menghadapi tantangan hidupnya masing-masing.
7
Keluarga tradisional yang dimaksud adalah sebuah keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, anak-anak yang tinggal dalam satu rumah dimana ayah sebagai kepala
keluarga dan ibu sebagai pengurus rumah tangga (Datesman, 1997). Terjemahan
buku seri Little House sampai saat ini masih dicetak ulang di Indonesia sedangkan
buku Keluarga Cemara justeru sudah tidak beredar lagi. Masyarakat lebih
mengenal Keluarga Cemara sebagai serial televisi daripada buku cerita anak.
1.2. Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas maka masalah pokok dari penelitian ini
adalah membandingkan kedua cerita untuk mencari perbedaan dan persamaan
nilai-nilai sosial yang terkandung di dalamnya yang kemudian ditelusuri apa yang
melatarbelakangi kemunculan nilai-nilai semacam itu. Rumusan masalah dalam
penelitian ini meliputi
1. Perbandingan bangunan nilai sosial dalam kedua cerita dan latar
belakang kemunculan nilai-nilai tersebut
2. Perbedaan nilai sosial kedua cerita dan pengaruhnya pada status sastra
anaknya
1.3. Obyek Penelitian
Obyek formal penelitian ini adalah perbandingan nilai-nilai sosial yang
dianut dan ingin disampaikan masyarakat, pada masa tertentu di dua negara yang
berbeda, melalui sastra anak. Nilai-nilai sosial tersebut akan dibandingkan untuk
melihat persamaan dan perbedaannya serta keadaan sosial yang melatarbelakangi
kemunculan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian diharapkan penelitian ini akan
8
menemukan bagaimana cara pandang masyarakat di kedua negara terhadap anak-
anak untuk membuktikan teori dari Zohar Shavit (1986) yang menyatakan bahwa
sastra anak mengungkapkan cara pandang masyarakat terhadap anak.
Obyek material penelitian ini adalah buku cerita anak seri Keluarga
Cemara karya Arswendo Atmowiloto yang terdiri dari enam judul yaitu:
Keluarga Cemara (1981), Keluarga Cemara: Kupon Kemenangan (1999),
Keluarga Cemara: Tempat Minum Plastik dari Toko (1999), Keluarga Cemara:
Musik Musim Hujan (1999), Keluarga Cemara: Becak Emak (2001), Keluarga
Cemara: Bunga Pengantin (2001) dan seri Little House karya Laura Ingalls yang
terdiri dari delapan judul tetapi hanya digunakan dua judul yaitu : Little House on
the Prairie (1935) dan On the Banks of Plum Creek (1937). Semua judul seri
Keluarga Cemara digunakan sebagai data tetapi hanya dua dari seri Little House
yang dipakai sebagai data. Hal ini ditentukan dengan pertimbangan dua judul
Little House tersebut yang pola ceritanya paling dekat dengan Keluarga Cemara
termasuk usia tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Teoritis
Tujuan teoritis dari penelitian ini adalah menambah khasanah penelitian
tentang sastra anak, terutama di Indonesia. Penelitian ini akan melihat bagaimana
sastra anak mengungkapkan nilai sosial yang dianut suatu masyarakat pada waktu
dan tempat yang berbeda. Penelitian ini juga akan melihat bagaimana sastra anak
berfungsi sebagai pembawa agenda penanamam nilai yang dikuasai kamu
dominan.
9
1.4.2 Tujuan Praktis
Tujuan praktis penelitian ini adalah untuk memberi wacana pada para
orang tua, guru dan siapapun yang berkepentingan dengan perkembangan anak
dan sastra anak bahwa sastra anak membawa pesan nilai-nilai tertentu. Dengan
kajian ini para orang tua diharapkan akan lebih kritis memilih bacaan untuk anak
dan sekaligus siap menjawab pertanyaan anak-anak tentang pesan yang ada dalam
bacaan mereka karena anak-anak semakin kritis mempertanyakan sesuatu yang
tidak sesuai dengan apa yang mereka lihat di dunia nyata. Selain itu tujuan praktis
lainnya adalah untuk mendorong perkembangan sastra anak di Indonesia.
Penelitian ini ingin memberi semangat penulis sastra anak di Indonesia untuk
menghasilkan karya-karya yang sesuai dengan dunia anak yang menghibur
sekaligus menggambarkan kehidupan dengan lebih netral dan meminimalkan bias.
1.5. Tinjauan Pustaka
Sebelum penelitian ini dilakukan ada beberapa penelitian-penelitian
sebelumnya yang mempunyai bidang kajian yang serupa. Yang pertama adalah
sebuah tesis yang ditulis pada tahun 2002 berjudul Studi tentang Keluarga Pionir
Amerika Akhir Abad XIX dalam Little House on the Prairie yang ditulis oleh
Rumiri Rotua Aruan, mahasiswa Program Studi Pengkajian Amerika, UGM. Tesis
ini membahas tentang latar belakang sejarah Amerika pada masa Frontir yang
linier dengan apa yang ada dalam cerita Little House on the Prairie. Tesis ini tidak
membahas Little House on the Prairie sebagai sastra anak. Little House on the
Prairie adalah salah satu judul dalam seri Little House. Dalam tesis ini disinggung
tentang nilai positif tentang sebuah keluarga yang bekerjasama dalam
10
menghadapi tantangan hidupnya tetapi tesis ini belum menyentuh nilai lain yang
tersembunyi di balik cerita yang bisa jadi kontraproduktif dalam perkembangan
anak dan mengubah pandangan tentang keluarga dalam cerita ini.
Little House on the Prairie juga pernah dikaji oleh Hathifah (2011) dari
Kajian Amerika Universitas Gajah Mada dalam tesisnya yang berjudul American
National character as portrayed in Laura Ingalls Wilder‘s Little House on the
prairie and Amy Tan‘s The Hundred Secret Senses. Tesis ini meneliti bagaimana
peran para pioneer dan warga keturunan China Amerika dalam pembentukan
karakter nasional Amerika. Tesis ini tidak membicarakan Little House dalam
konteks sastra anak. Tesis ini menggunakan pendekatan psikologi dengan teori
collective unsconscious dari Carl G Jung.
Penelitian berikutnya adalah tesis tentang sastra anak berjudul Citra dan
Pencitraan Anak dalam Novel Negeri Awan Merah karya Fahri Asiza: Telaah
Fokalisasi Mieke Bal yang ditulis oleh U‟um Qomariyah, mahasiswa Program
Studi Sastra UGM pada tahun 2007. Tesis ini mengkaji bagaimana orang dewasa
memandang anak dalam sebuah sastra anak bergenre fantasi. Kajian ini juga
dianggap belum menguak pesan dan nilai-nilai di balik pesan dalam sastra anak
walaupun sudah mengarah ke arah sana tapi hanya berfokus pada penokohan
anak.
Selanjutnya adalah jurnal berjudul Constructing the Little House: Gender,
Culture, and Laura Ingalls Wilder yang ditulis oleh Ann Romines. Tulisan ini
membahas tentang Little House dilihat dari perspekstif feminisme. Tulisan ini
memperlihatkan bagaimana dominasi patriarki tampak dalam Little House di
11
tengah isu multikulturalisme. Penelitian berikut juga akan mengangkat nilai
patriarki tetapi dalam kapasitasnya yang dibandingkan dengan hal yang serupa
dalam sastra anak di Indonesia.
Jurnal lain berjudul Language of Vision and Growth in the "Little House"
yang ditulis oleh Janet Spaeth membahas tentang bagaimana Laura, tokoh utama
yang merasa secure di dalam keluarganya. Kajian dalam tulisan ini justeru akan
dipertanyakan dalam penelitian berikut. Benarkah Laura merasa nyaman dan
terakomodasi dalam keluarganya. Hal serupa juga akan dipertanyakan terhadap
anak-anak dalam Keluarga Cemara.
Beberapa kajian perbandingan juga menjadi tinjauan dalam penelitian ini.
Di antaranya adalah penelitian Ida Rochani Adi (2008) tentang mitos di balik film
laga Amerika. Dalam kajian ini Adi membandingkan pola film-film laga Amerika
dengan melihat motif tindakan, latar cerita dan situasi, struktur paparan,
stereotype tokoh utama dan tokoh antagonis untuk kemudian dianalisis perubahan
perkembangan pola tersebut. Metode bandingan ini akan dijadikan acuan dalam
penelitian berikut untuk membandingkan unsur cerita dalam sastra anak. Kajian
perbandingan Wening Udasmoro (2012) juga akan menjadi tinjauan dalam
penelitian ini. Udasmoro melakukan penelitian tentang sastra anak dan pendidikan
karakter dengan membandingkan cerita nusantara dan cerita Disney. Kajian ini
ditemukan ketika penelitian berikut sedang dalam proses penulisan. Perbedaan
utama terletak pada obyek kajian. Penelitian ini spesifik mengkaji cerita realistik
dengan tema keluarga dan akan merujuk ke kesimpulan yang berbeda.
12
Sastra bandingan merupakan teori sekaligus metode yang telah menjadi
kajian dalam penelitian-penelitian sebelumnya diantaranya tesis yang ditulis oleh
Titik Wahyuningsih tentang kajian perbandingan karya-karya Shakespeare dan
ketoprak. Tesis ini menunjukkan persamaan dalam kedua yang dimiliki oleh
kedua obyek kajian. Tesis bandingan yang kedua yang dijadikan tinjauan dalam
penelitian berikut adalah sebuah tesis yang membandingan puisi perlawanan karya
Chairil Anwar dan Yun Dong-Ju pada masa pendudukan Jepang.
Sejauh ini belum ditemukan penelitian atau tulisan ilmiah tentang buku
cerita Keluarga Cemara. Jadi belum ditemukan pula tulisan yang membandingkan
kedua karya sastra anak ini.
1.6. Landasan Teori
Sastra anak adalah sastra yang ditulis oleh orang dewasa untuk anak
(Shavit, 1986; Knowles, 1996; Ewers, 2000; Nodelman, 1992; O‟Sullivan, 2005;
Sarumpaet, 2003). Sastra anak mempunyai aktivitas pemasaran, penerbitan,
perpustakaan, pengajaran, kritik yang berbeda dengan sastra pada umumnya. Teks
diidentifikasi oleh berbagai pihak sosial yang berwenang yang menentukan apa
yang sesuai untuk anak-anak, termasuk di dalamnya institusi pendidikan, orang-
orang dalam pemasaran sastra seperti penerbit, distributor, dan pembuat buku itu
sendiri yaitu pengarang dan editor. Sebuah buku dengan target pembaca anak
tidak akan dicetak tanpa melewati persetujuan editor. Editor menentukan apakah
sebuah buku layak cetak dengan berpedoman pada nilai-nilai apa yang kira-kira
tidak bertentangan dengan pendidikan yang saat itu sedang dianut dalam sebuah
masyarakat. Editor harus mempertimbangkan agar buku tersebut jangan sampai
13
ditolak guru dan orangtua sebagai penentu buku yang boleh dibaca anak, apalagi
diprotes. Di sini tampak bagaimana peran orang dewasa menentukan teks apa
yang akan dibaca anak-anak. Proses penentuan isi buku untuk anak ini akan
melibatkan transmisi moral, nilai-nilai, dan cita-cita (O‟Sullivan, 2005). Hal ini
membuat sastra anak berada dalam domain praktik sosial yang ada dengan tujuan
memberikan sosialisasi pada pembacanya tentang nilai-nilai tertentu yang dianut
masyarakat pada masa karya itu dibuat. Sastra anak adalah sastra yang
mengandung nilai-nilai pendidikan, budaya, dan sosial (Stephens, 1992 dalam
O‟Sullivan, 2005).
Menurut Peter Hunt (dalam Knowles dan Malmkjaer, 1996) sastra adalah
agen sosialisasi bagi kehidupan anak. “Children‘s literary texts are ‗culturally
formative, and of massive importance educationally, intellectually, and socially.
Perhaps more than any other texts, they reflect society as it wishes to be, as it
wishes to be seen, and as it unconsciously reveals itself to be‘ at least to writers.‖
Sastra anak adalah bacaan yang membangun secara kultur, pendidikan,
intelektual, dan sosial. Anak-anak belajar memahami masyarakat berikut
sistemnya ketika membaca sastra anak. Sastra anak tidak selalu menggambarkan
kenyataan yang ada dalam masyarakat tetapi setidaknya hal yang ingin
diwujudkan oleh masyarakat.
1.6.1. Konsep Sastra Anak Menurut Zohar Shavit
Teori Sastra anak yang dipakai dalam kajian ini adalah teori sastra anak
yang diajukan oleh Zohar Shavit dalam bukunya Poetics of Children Literature
(1986). Teori ini dipilih karena Shavit adalah salah satu penulis teori sastra anak
14
yang cukup berpengaruh serta banyak dikutip oleh kritikus di bidang sastra anak.
Dengan sistematis Shavit menyusun teorinya yang diawali dengan pandangan
tentang anak, masa kanak-kanak (childhood) dan bacaan anak, kemudian
memaparkan bagaimana sastra anak memandang dirinya sebagai sastra yang
menimbulkan kemungkinan status teks ambivalen. Shavit juga memaparkan
sejarah sastra anak yang berimplikasi pada model dan perkembangan sastra anak.
Karena itu penelitian ini juga akan memaparkan sejarah sastra anak di Indonesia
dan Amerika pada bab dua, sebagai sumber kajian obyek material.
Menurut Shavit konsep sastra anak tidak terlepas dari sejarah kemunculan
sastra anak itu sendiri. Sastra anak berkembang setelah sastra (dewasa) atau sastra
pada umumnya sudah mapan. Sebelum abad 18, jarang sekali ada buku yang
khusus ditulis untuk anak. Industri buku anak sendiri mengalami perkembangan
yang bagus pada paruh akhir abad 19. Sejarah sastra anak diawali dengan
perubahan cara pandang masyarakat terhadap anak atau konsep anak (Shavit,
1986). Menurut Towsend (dalam Shavit, 1986) keberadaan buku untuk anak baru
disadari oleh masyarakat ketika mereka tidak lagi menganggap anak sebagai
miniatur orang dewasa melainkan sebagai sosok yang mempunyai minat,
ketertarikan dan kebutuhan yang berbeda dengan orang dewasa. Before there
could be children‘s books, there had to be children—children, that is, who were
accepted as beings with their own particular needs and interests, not only as
miniature men and women. Menurut Shavit (1986: 133-134) tahap perkembangan
sastra anak di seluruh dunia hampir sama walaupun bukan periodenya. Semua
berawal dari pengaruh institusi agama atau pendidikan sehingga sifat didaktiknya
15
sangat kuat. Contohnya awal sastra anak di Amerika sangat dipengaruhi oleh
kaum Puritan yang mengutamakan unsur religiusitas dan ketaatan pada Tuhan, di
Jerman dipengaruhi oleh yahudi yang juga merupakan institusi keagamaan dan di
Indonesia dipengaruhi oleh Balai Pustaka yang mengutamakan unsur mendidik
dalam bacaan anak. Sejarah perkembangan sastra anak ini akan dipaparkan lebih
lanjut di bab dua.
Masyarakat memandang anak dan masa kanak-kanak sebagai masa paling
penting dalam kehidupan manusia dan masa itu pula yang menentukan bagaimana
seseorang tumbuh dengan perilaku tertentu. Pandangan ini menunjukkan
bagaimana masyarakat sangat memperhatikan pentingnya sosok anak dan masa
kanak-kanak termasuk kebutuhan-kebutuhan mereka diantaranya buku anak.
Pandangan tentang anak ini sangat berbeda dengan masyarakat sebelum abad 17
setidaknya menurut catatan Philippe Aries (1962). Pada masa itu anak dianggap
sebagai miniatur orang dewasa dan semua yang dikonsumsi anak sama dengan
orang dewasa termasuk pakaian dan buku bacaan. Cara pandang ini berubah sejak
munculnya revolusi industri terutama di kalangan pendidik dan moralis gereja.
Mereka berpendapat bahwa anak-anak adalah sosok yang innocent, dekat dengan
Tuhan dan harus dilindungi dari keburukan-keburukan dunia dan karenanya
diperlukan sistem pendidikan yang lebih terorganisir dengan baik dan buku
merupakan alat pendidikan yang menyampaikan hal-hal yang harus diketahui
anak-anak dalam koridor nilai-nilai yang dipercaya para pemegang otoritas
pendidikan pada masa itu yaitu pihak gereja.
Hence, the society's new perception of childhood created for the
first time both the need and the demand for children's books. This
16
second notion of the child -- the educational -- eventually provided
the framework for canonized children's literature. That is, from its
inception children's books were written with a certain idea of the
child in mind; when this idea changed, the texts for children
changed as well (Shavit, 1986:7).
Sastra anak pada awal kemunculannya sangat bermuatan edukatif atau
didaktik. Konsep tentang anak berubah dari satu periode ke periode berikutnya
dan begitupun buku anak. Menurut Ewers (2010) karakteristik sastra anak yang
paling bertahan sejak awal kemunculannya adalah sastra anak yang bersifat
didaktik karena masyarakat selalu mempunyai tendensi untuk menanamkan nilai-
nilai yang sedang dipercaya pada generasi penerusnya. Sifat didaktik atau
mengajari ini tidak berubah tetapi yang berubah adalah nilai-nilai yang diajarkan
serta model penyampaiannya (Townsend, 1980). Shavit juga menyampaikan hal
serupa dengan dua pendapat di atas.
In the same way that people assumed a child needed different
dress, toys, and games, it was also assumed that a child reader
differed from the adult, both in his capacity to comprehend, as well
as in his educational needs. Accordingly, it was essential that the
texts produced for him should respond to his needs and capacities.
Of course, the understanding of these needs and capacities was not
fixed, but changed from period to period, consequently changing
the characterof the texts for children as well (Shavit, 1986:7).
Prinsip dasar menulis untuk anak adalah bahwa buku anak harus selalu
dibuat di bawah supervisi orang dewasa demi kebaikan anak-anak. Konsep ini
tidak berubah sejak pertengahan abad 18. Yang berubah adalah gagasan tentang
pendidikan dan anak-anak di setiap periode tetapi bagaimanapun konsep bahwa
buku anak harus sesuai dengan prinsip pendidikan demi perkembangan anak
masih merupakan kekuatan dominan dalam produksi buku anak tersebut. Hal ini
terlihat dari munculnya berbagai versi atas satu cerita yang selalu diproduksi dari
17
masa ke masa dengan perubahan yang disesuaikan dengan prinsip pendidikan
yang sedang dipercayai. Cerita semacam Cinderella, Red Riding Hood, Ande-
Ande Lumut, Bawang Merah-Bawang Putih merupakan beberapa contoh cerita
yang mempunyai banyak versi dan masih tetap ada hingga sekarang. Keberadaan
berbagai versi ini menunjukkan bahwa perbedaan cerita bukannya kebetulan tetapi
ada alasan di balik pembuatannya itu. Perbedaan tersebut biasanya berhubungan
dengan perbedaan konsep tentang anak dan nilai apa yang harus mereka pahami
yang sedang dianut sebuah masyarakat. Sejak abad 18 sastra anak berhubungan
erat dengan institusi pendidikan. Keterikatan ini yang menimbulkan batasan-
batasan dalam menulis sastra anak setidaknya dalam beberapa hal yaitu
bagaimana anak ditampilkan, ditokohkan, dinilai dan bagaimana anak, sebagai
pembaca sastra anak, diasumsikan oleh masyarakat (Shavit, 1986:30).
Hubungan sastra anak yang sangat erat dengan sistem pendidikan yang di
dalamnya termasuk nilai-nilai yang sedang dianut masyarakat ini menimbulkan
batasan-batasan dalam penulisan sastra anak. Penulis sastra anak harus
mempertimbangkan batasan-batasan atau aturan-aturan yang harus dia ikut ketika
menulis untuk anak.
Penulis sastra anak tidak memikirkan bagaimana sebuah buku menarik
untuk anak-anak tetapi bagaimana buku itu bisa diterima masyarakat yang
diwakili oleh orang-orang dewasa sebelum akhirnya buku itu boleh diberikan
pada anak. Ketika sebuah buku anak dievaluasi bahkan tidak mempertimbangkan
pendapat anak-anak sendiri dan lebih fokus dengan apa yang diinginkan orang
dewasa atas anak-anak tersebut. Sastra anak tidak pernah melibatkan anak-anak.
18
Sastra anak adalah alat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menanamkan
kepercayaannya pada anak-anak yang dalam hal ini terlihat inferior tanpa punya
kekuatan untuk menilai bacaannya sendiri.
Selain nilai-nilai yang memang harus sesuai dengan kepercayaan
masyarakat, beberapa hal yang harus dipertimbangkan penulis sastra anak
berhubungan dengan pembaca yang diasumsikan adalah kompleksitas teks,
struktur narasi, tingkat gaya bahasa, dan tema yang dibicarakan (Shavit, 1986: 42-
43). Menurut Nina Bawden (dalam Shavit) tentang struktur narasi yang
membedakan dalam menulis sastra anak dan sastra pada umumnya adalah dari
kacamata siapa penulis menuangkan tulisannya. Menurut Gillian Avery (dalam
Shavit) bukunya memang ditujukan untuk anak karena apa yang dia tulis terlalu
sederhana untuk orang dewasa dan emosinya terlalu langsung. Beberapa penulis
sastra anak juga merupakan penulis sastra untuk orang dewasa bahkan dengan
cerita yang sama dengan penyesuaian yang telah dipaparkan di atas. Misalnya
Road Dahl menulis The Champion of the World untuk dewasa dan menulisnya
kembali untuk anak-anak dengan judul Danny, the Champion of the World.
Keduanya selintas terlihat sama dalam segi cerita tentang raja pencuri dan
keduanya memakai narasi dengan sudut pandang orang pertama tetapi ketika
dianalisis lebih lanjut terlihat bahwa yang satu lebih kompleks dari yang lain
dalam hal organisasi teks. Pada versi untuk dewasa materi tidak disusun secara
kronologis tetapi menurut kesadaran narrator dan emosinyapun lebih tidak
langsung. Relasi interlevel dalam teks dewasa mempunyai lebih banyak fungsi
dengan elemen yang lebih sedikit misalnya hubungan antara susunan informasi,
19
fungsi ironi, penokohan dan penilaian atas tema yang diajukan (Shavit, 1986: 44-
45).
Pertama-tama perbedaan versi untuk anak dan untuk dewasa terletak pada
genre. Teks untuk dewasa berbentuk cerita pendek sedangkan yang untuk anak
berbentuk novel. Tokoh dalam versi dewasa adalah ayah dan anak sedangkan
untuk anak mengambil tokoh dua sahabat. Versi dewasa menampilkan sikap yang
ambigu sedangkan versi anak sikapnya lebih jelas. Hal ini merupakan perbedaan
yang utama juga dalam sastra anak dan sastra pada umumnya yaitu bahwa sastra
anak menegaskan nilai-nilai tertentu sedangkan sastra dewasa justeru
mempertanyakannya. Inilah yang disebut different value judgement. Tampaknya
hal ini juga berhubungan dengan teori perkembangan anak yang diajukan oleh
Jean Piaget, seorang ahli di bidang psikologi dan biologi dari Swiss. Menurut
Piaget anak pada tingkat tertentu lebih bisa memahami nilai yang ready-made dan
dalam perkembangannnya dia mulai mempertanyakan nilai tersebut. Akhir cerita
dalam kedua versi juga berbeda. Akhir cerita dalam versi dewasa berupa open
ending sedangkan dalam versi anak-anak berupa happy ending. Perbedaan versi
anak dan versi dewasa juga terletak pada model narator. Narator versi dewasa
mempunyai kesadaran yang terbatas atas jalannya cerita sementara narator versi
anak cenderung merupakan narator yang tahu segalanya (all-knowing narrator).
Narator versi anak tidak hanya mempunyai semua informasi dan kemampuan
untuk menilai dan memahami cerita tetapi juga tahu sikap dunia pada cerita
tersebut. Dia tidak hanya authoritative tapi juga patronizing. Jika dia kawatir
pembacanya tidak mengerti apa yang ingin disampaikan cerita maka narator akan
20
menjelaskannya secara tegas seperti yang ada dalam salah satu judul Keluarga
Cemara: Becak Emak.
„Membandingkan Ara dengan Pipin, siapa sebenarnya yang lebih
bahagia dan berpengharapan? Apakah Ara yang bermimpi
memiliki sepatu baru, atau Pipin yang tak sempat bermimpi karena
segalanya telah ada, telah tersedia? „(Atmowiloto, 2001).
Pertanyaan-pertanyaan retorik tersebut menggiring pembaca anak untuk
menjawab iya, Ara dengan segala kekurangannya lebih bahagia dari Pipin.
Narator menempatkan dirinya sebagai orang yang menilai dengan benar apapun
ceritanya. Nilai yang disampaikan dalam cerita terlihat lebih tegas dan seakan
menolak untuk dipertanyakan. Hal ini sangat berbeda dengan narator versi dewasa
yang tidak mempunyai banyak informasi tentang cerita yang diembannya bahkan
ditampilkan sebagai tokoh yang tidak memahami apa yang sedang terjadi
sehingga beberapa kejadian ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan setidaknya
sampai narator pada suatu saat memahaminya di akhir cerita. Narator versi anak
cenderung authoritative dan identifying sedangkan narrator versi dewasa
cenderung terbatas dan ironis (Shavit, 1986: 59).
Teks Ambivalen
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa batasan-batasan sastra anak
membuat penulisnya tidak bangga menyandang gelar penulis untuk anak karena
menulis untuk anak berarti menulis untuk memenuhi kepentingan sebuah pihak,
setidaknya pemegang otoritas nilai yang sedang berlaku. Beberapa penulis
mempunyai strategi untuk memecahkan kegelisahan ini yaitu dengan membuat
apa yang disebut teks ambivalen (ambivalent text).
21
Shavit memodifikasi definisi teks ambivalen dari salah satu perintis
semiotik yaitu Yuri Lotman, yang disesuaikan dalam konteks sastra anak.
Menurut Lotman teks ambivalen adalah teks-teks yang mempunyai kapasitas
untuk memberikan informasi lebih dari yang terdeskripsikan. Menurut Shavit
definisi Lotman ini terlalu luas karena mencakup yang pertama yaitu teks yang
menembus waktu dalam arti tetap dibaca dari masa ke masa dengan fungsi dan
penafsiran yg berbeda, misalnya Oedipus Rex. Kedua, teks yang dalam sejarahnya
berubah kedudukannya dalam sistem sastra, misalnya yang dulunya dianggap
sastra untuk dewasa kemudian berubah menjadi sastra anak, misalnya karya-karya
Dicken. Ketiga, teks yang dipahami dengan cara berbeda oleh pembaca yang sama
pada saat yang sama, misalnya The Turn of the Screw karya Henry James.
Menurut Shavit pendapat Lotman tentang teks ambivalen ini terlalu luas
sehingga menurut deskripsi teks ambivalen tersebut hampir semua teks ambivalen
karena dalam perkembangan sejarah sistem sastra bersifat dinamik. Shavit
membatasi teks ambivalennya dalam koridor sastra anak yaitu teks yang secara
bersamaan masuk dalam dua atau lebih sistem dalam sistem sastra, dan karenanya
dibaca oleh lebih dari satu kelompok pembaca misalnya anak-anak dan orang
dewasa, yang mempunyai perbedaan dalam pembacaan. Kedua kelompok
pembaca ini mempunyai harapan yang berbeda, norma yang berbeda, dan
kebiasaan membaca yang berbeda dan karenanya kesadaran pada teks juga
berbeda. Contoh-contoh teks ambivalen dalam konteks ini adalah Alice in
Wonderland, Winnie the Pooh, The Little Prince, The Hobbit.
22
Biasanya teks ambivalen mempunyai bentuk yang tidak biasa dalam sastra
anak sekaligus sulit diterima oleh sastra dewasa. Teks ambivalen mengubah
model yang sudah ditolak sastra dewasa tetapi belum diterima oleh sastra anak .
Sekali saja model inovatif ini diterima oleh orang dewasa, akan terbuka jalan
untuk model baru cerita untuk anak-anak. Model ini biasanya kemudian ditiru
karena kesuksesannya dan dianggap sebagai tonggak perubahan dalam sejarah.
Penulis teks ambivalen sukses diterima dua kelompok pembaca sekaligus
karena teksnya sengaja dia tujukan pada kedua kelompok pembaca tersebut dan
berpura-pura sebagai sastra anak. Only by addressing the text both to children and
to adults and by pretending it is for children can the writer make possible the dual
acceptance of the text (Shavit, 1986: 67). Orang dewasa mau menerima teks ini
karena mudah dibaca sebab ditujukan untuk anak. Dan dengan persetujuan orang
dewasa maka teks ini masuk dalam sistem sebagai sastra anak walaupun anak-
anak sendiri sebenarnya tidak memahami sepenuhnya arti teks. Dengan cara
seperti ini penulis sastra anak mempunyai pembaca yang lebih banyak.
Teks ambivalen mampu menarik perhatian dua kelompok pembaca
sekaligus karena menggunakan dua struktur teks sekaligus dimana yang satu
menyerupai model yang sudah ada sehingga bisa diterima anak dengan mudah
tetapi juga sekaligus menambahkan hal baru yang akan menarik bagi orang
dewasa. Hal baru yang menarik bagi orang dewasa ini bisa berupa sesuatu yang
lebih rumit, jarang dipakai, penyimpangan atau adaptasi model yang sudah ada di
sistem lain misalnya memparodikan elemen yang ada, memakai elemen baru atau
23
dari model lain, mengubah motivasi dari elemen yang ada, mengubah susunan dan
fungsi elemen yang sudah ada atau mengubah prinsip segmentasi teks.
What makes possible the appeal of the ambivalent text to two
groups of readers from the structural point of view is the fact that
the text is composed of at least two different coexisting models --
one, more established, and the other, less so. The former is more
conventional and addresses the child reader; the other, addressing
the adult reader, is less established, more sophisticated, and
sometimes based on the distortion and/or adaptation and renewal
of the more established model. This is accomplished in several
ways: by parodying some elements; by introducing new elements
into the model (sometimes from another established model); by
changing the motivation for existing elements; by changing the
functions and hierarchy of elements; or by changing the principles
of the text's segmentation (Shavit, 1986: 68).
Keberadaan dua model dalam satu teks juga dikenal dalam parodi. Satu
model dibuat untuk memparodikan yang lain. Hal ini agak berbeda dengan teks
ambivalen. Teks ambivalen bisa mengandung parodi tapi mampu
mempertahankan model utamanya agar tetap bisa dipahami anak-anak seperti apa
adanya. Hanya pembaca dewasa yang diharapkan melihat kehadiran dua model ini
sekaligus. Hal ini mampu diwujudkan karena model yang konvensional bisa
dipahami tanpa melihat model parodinya. Parodinya hanya bisa dipahami oleh
orang dewasa.
In such a way, unlike other texts that assume a single implied
reader and a single (though flexible) ideal realization of the text,
the ambivalent text has two implied readers: a pseudo addressee
and a real one. The child, the official reader of the text, is not
meant to realize it fully and is much more an excuse for the text
rather than its genuine addressee (Shavit, 1986: 71).
Berbeda dengan teks univalen yang hanya berasumsi pada satu pembaca
dan satu pembacaan ideal, teks ambivalen mempunyai dua pembaca yaitu
pembaca samaran dan pembaca nyata. Anak-anak sebagai target pembaca sastra
24
anak yang resmi tidak dimaksudkan untuk memahami teks secara utuh, karena
hanya sebagai alasan dibanding target pembaca sebenarnya. Jadi sastra anak di
sini hanya dipakai sebagai samaran.
1.6.2. Konsep Nilai Sosial
Di atas sudah dipaparkan bahwa sastra anak merupakan agen sosialisasi
nilai nilai yang sedang dianut sebuah masyarakat pada suatu masa. Menurut
Betrand Russell (dalam Frondizi, 2001), seorang filsuf dari Inggris, nilai tidak
bebas dari perasaan pribadi dan mengungkapkan emosi si pemberi nilai. Nilai
berhubungan dengan keinginan untuk menentukan sesuatu itu baik atau buruk,
benar atau salah, indah atau tidak indah sehingga nilai dianggap bersifat subyektif
atau pling tidak konvensi berbagai kepentingan. Subyektifitas nilai ini lebih jelas
dinyatakan oleh R.B.Perry, seorang pakar aksiologi dari Amerika. Menurut Perry
nilai didasari oleh kepentingan. Hal yang senada juga dinyatakan oleh Schwartz,
seorang peneliti dalam bidang psikologi sosial yang mengatakan bahwa nilai
adalah obyek kepentingan. Nilai adalah segala hal yang dianggap penting dalam
hidup seseorang atau sekelompok orang. Nilai merupakan representasi persyaratan
interaksi sosial yang membutuhkan koordinasi interpersonal tuntutan institusi
sosial untuk mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok
(Alfan, 2013). Jadi menurut Schwartz nilai berasal dari tuntutan manusia sebagai
motif sosial dan tuntutan institusi sosial. Hal tersebut kembali mendudukan nilai
sebagai sesuatu yang diinginkan. Sesuatu yang diinginkan itu bisa berasal dari
minat kolektif ( tipe nilai benevolence, tradition, conformity) atau berdasarkan
prioritas pribadi (power, achievement, hedonism,self-direction). Nilai individu ini
25
biasanya mengacu pada kelompok sosial tertentu atau disosialisasikan oleh
kelompok dominan yang memiliki nilai tertentu. Di sinilah tampak bahwa salah
satu nilai adalah nilai sosial yang dianut oleh sekelompok masyarakat dan nilai
sosial inilah yang disosialisasikan turun temurun dengan perubahan pada beberapa
hal tergantung dengan perubahan sosial dimana nilai tersebut berlaku. Nilai yang
mendarah daging bisa menjadi sebuah keyakinan (belief). Menurut Hofstede
(dalam Lestari, 2011) nilai merupakan kecenderungan umum untuk lebih
menyukai keberadaan tertentu dari tata pergaulan dengan orang lain.
Menurut Koentjaraningrat nilai sosial adalah sistem nilai budaya yang
merupakan konsep konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran
sebagian besar dari masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan
penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang
memberi arah dan orientasi pada kehidupan para warga masyarakat tadi (2009:
153). Nilai sosial merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta melalui
interaksi sosial antarwarga masyarakat. Nilai sosial bukan bawaan lahir melainkan
diturunkan melalui sosialisasi antar generasi. Nilai sosial terbentuk melalui proses
belajar (Alfan, 2013:245). Di sinilah salah satu fungsi keluarga sebagai unit
terkecil dalam masyarakat yang merupakan tempat penyampaian nilai salah
satunya melalui pengasuhan anak sebagai agen sosialisasi.
Menurut ensiklopedia The Family in a America, gambaran nilai-nilai yang
terkandung dalam buku-buku bacaan anak mengungkapkan sebuah asumsi bahwa
pembeli buku-buku tersebut, dalam hal ini orangtua atau orang dewasa akan
membeli buku-buku yang memuat nilai-nilai yang mereka percayai dan parktik
26
praktik domestic yang mereka lakukan atau yang mereka harapkan. Buku-buku
tersebut menunjukkan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam kehidupan anak-
anak terutama melalui peran keluarga (2001: 647).
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sastra banding. Menurut
Sapardi Djoko Damono, sastra banding merupakan pendekatan dalam ilmu sastra
yang tidak menghasilkan teori sastra sendiri. Sastra banding bisa juga disebut
sebagai kajian (2009, 1). Sastra banding merupakan penelitian sastra yang bisa
menggunakan teori apapun, dan dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah
teori sastra anak, asalkan menggunakan metode bandingan sebagai pendekatan
utamanya. Menurut Remak (dalam Damono, 2009: 1), sastra banding adalah
kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara. Jadi sastra banding
membandingkann sastra dari sebuah negara dan sastra dari negara lain. Peneltian
ini akan membandingkan sastra anak Indonesia dan Amerika.
Dari paparan Damono, tampaknya sastra banding yang mensyaratkan
negara yang berbeda akan mengungkap perbedaan kebudayaan yang melatarinya
dan perbedaan sejarah pemikiran masyarakat yang telah menghasilkan bahasa
yang bersangkutan (Damono, 2009: 2). Jika sastra dari dua atau lebih negara ini
menggunakan bahasa yang berbeda maka peneliti wajib menguasai bahasa-bahasa
tersebut karena sebuah sastra harus dikaji langsung dari bahasa asli ketika dia
pertama dituliskan jika kajian tersebut tidak berhubungan dengan kajian
terjemahan (Damono, 2009: 7).
27
Sedangkan menurut Marius-Francois Guyard yang dikutip Clements dalam
Damono menyatakan bahwa sastra banding merupakan pendekatan sejarah
hubungan-hubungan sastra antar bangsa. Sastra banding meneliti pertukaran
gagasan, tema, buku atau perasaan di antara bangsa-bangsa di antara dua atau
beberapa sastra. secara teknis tidak ada metode khusus dalam pendekatan sastra
banding. Metodenya disesuaikan dengan tujuan penelitian. Sedangkan tujuan
penelitian berhubungan dengan teori yang dipakai.
Penelitian berikut menggunakan teori sastra anak karena obyek kajiannya
adalah sastra anak. teori sastra anak yang dipakai adalah teori sastra anak dari
Zohar Shavit yang menyatakan bahwa sastra anak mengandung nilai-nilai yang
ingin diabadikan masyarakat penciptanya. Berkenaan dengan hal tersebut maka
tujuan penelitian ini adalah mengungkap nilai-nilai sosial tersebut. Untuk
mengungkap nilai-nilai tersebut metode yang digunakan adalah membandingkan
penokohan, tema, dan alur cerita kedua sastra anak yang menjadi obyek kajian
dalam peneltiian ini. Dari hasil perbandingan ketika elemen cerita tersebut akan
diadapt nilai- apa yang ada dibalik penciptaan karya sastra anak tersebut
kemudian nilai-nilai itu dibandingkan lagi untuk melihat adanya persamaan dan
perbedaan sosial dan budaya masyarakat dari kedua negara yang di dalamnya
termasuk perkembangan atau perubahan pemikiran masyarakatnya.
Seperti yang diungkapkan Damono sastra banding yang melampaui batas-
batas negara dilakukan untuk memahami kecenderungan-kecenderungan dan
gerakan yang terjadi di berbagai bangsa dan negara (Damono, 2009: 6).
Kecenderungan yang akan dilihat dari penelitian ini adalah kecenderungan
28
masyarakat dalam memandang anak sebagai target pembaca utama dalam sastra
anak.
Sebuah hipotesis tentang perlunya sastra banding diungkapkan oleh Jost
(1974 dalam Damono, 2009: 8) yang menyatakan bahwa sastra bandingan
merupakan humanism baru yang prinsip utamanya adalah keyakinan adanya
keutuhan gejala sastra. Di beberapa masyarakat mungkin saja ada sikap tertentu
yang juga muncul di masyarakat yang lain sehingga menghasilkan gagasan yang
mirip yang terungkap dalam karya sastranya (Damono, 2009: 11). Sastra banding
merupakan humanisme baru yang prinsip utamanya adalah keyakinan adanya
keutuhan gejala sastra (Jost,1974 dalam Damono, 2009). Sastra banding adalah
kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara (Remak dalam Damono, 2009).
Salah satu bagian sastra adalah sastra anak yang memungkinkan adanya
perbandingan. Paul Hazard (1932 dalam O‟Sullivan, 2005) menyatakan
pentingnya studi bandingan sastra anak demi perkembangan sastra anak itu
sendiri. Hal ini dipengaruhi pertanyaan apakah perbedaan konsep kehidupan anak-
anak dalam budaya yang berbeda.
Kajian perbandingan sastra anak berikut akan membandingkan nilai-nilai
sosial yang terkandung di dalam kedua cerita. Penelitian ini akan melihat adanya
persamaan dan perbedaan nilai –nilai tersebut dan keadaan sosio-kultural yang
melatarbelakangi kemunculannya dalam sastra anak.
1.7.1. Metode Pengumpulan Data
Kajian perbandingan sastra anak berikut menggunakan metode
pengumpulan data deduktif (grounded) dimana data awal berupa kata, dialog,
29
kalimat, atau paragraf, yang menunjukkan faktor dominan yang terkandung dalam
kedua cerita. Data tersebut dikelompokkan menurut heading tertentu untuk
melihat bagaimana faktor dominan itu mengungkapkan nilai sosial yang
dipesankan dalam cerita.
1.7.2. Metode Analisis Data
Data berupa faktor dominan yang membentuk nilai-nilai sosial dalam
kedua cerita disandingkan, dibandingkan, serta diintrepretasi menjadi nilai sosial
yang diasumsikan dianut oleh masyarakat di kedua negara pada waktu itu.
Berikutnya dilakukan pendekatan sosio-kultural dimana data ektrinsik dari luar
teks ditambahkan. Data ekstrinsik di luar teks merupakan keadaan sosio-kultural
ketika cerita tersebut dibuat. Data ini akan membuktikan bahwa nilai dalam sastra
anak selaras dengan nilai yang sedang dianut sebuah masyarakat pada waktu
tertentu. Nilai-nilai sosial ini kemudian dibandingkan kembali untuk melihat
apakah keduanya bisa bertukar tempat. Hal ini dilakukan untuk melihat pakah
nilai sosial terebut bersifat universal atau kultural. Hal terakhir yang dilakukan
dalam penelitian adalah melihat perkembangan nilai sosial tersebut dari sudut
pandang saat ini untuk melihat apakah nilai-nilai tersebut mengalami perubahan di
negara masing-masing dan bagaimana pengaruhnya dalam perkembangan sastra
anak.
1.8. Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disusun dalam empat bab. Bab I adalah pendahuluan
yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, obyek penelitian yang
meliputi obyek formal dan obyek material, tujuan penelitian secara teoritis dan
30
praktis, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
penyajian. Bab II berisi perbandingan bangunan nilai sosial yang ada dalam kedua
cerita sebagai obyek material dan hal-hal yang melatarbelakangi munculnya nilai
nilai tersebut. Bab II ini akan menjawab rumusan masalah yang pertama. Bab III
adalah temuan atas perbedaan gambaran nilai yang paling mencolok dalam kedua
cerita. Bab IV merupakan kesimpulan penelitian.