BAB I
PENDAHULUAN
1.Permasalahan
I. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menciptakan perubahan
di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perubahan tersebut
dikarenakan dengan adanya Hak-hak atas Kekayaan Intelektual yang selanjutnya
disingkat dengan HKI. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
memberikan perlidungan hukum Hak Cipta yang telah ditingkatkan dari peraturan
perundang-undangan sebelumnya. Lahirnya Undang-undang Hak Cipta ini tidak lepas
dari kecenderungan masyarakat dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya
untuk memberikan suatu perlindungan hukum HKI. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bahwa hampir sebagian besar Negara di dunia mulai memperhatikan
HKI.
Bagi bangsa Indonesia perlindungan hukum HKI merupakan perkembangan
yang baru, akan tetapi di kalangan negara-negara maju telah berabad-abad lamanya
dikenal dan mempunyai manfaat yang cukup besar bagi pendapatan negara. Manfaat
ekonomi yang demikian besarnya dari HKI menjadikan suatu negara peka terhadap
pelanggaran-pelanggaran hukum HKI oleh negara lain. Tidak mustahil akan timbul
pelbagai ketegangan dalam hubungan internasional bila terjadi pelanggaran.
2
Oleh karena itu, bagi Indonesia sebagai negara berkembang telah tiba saatnya
untuk berperan aktif memberikan perlindungan hukum terhadap HKI. Hal ini sejalan
dengan amanah yang diatur dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alenia ke
empat yang menetapkan bahwa salah satu tujuannya adalah ikut serta dalam
perdamaian dunia.
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pengaruh yang sangat
dominan terhadap usaha masyarakat Internasional, termasuk Indonesia untuk
memberikan perhatian dan pengaturan HKI dengan tujuan akhir menciptakan
keadilan dan tertib hukum yang bersifat universal berdasarkan suatu perangkat
hukum tentang HKI.
Pengaturan – pengaturan tentang HKI secara internasional terdapat pada
Konvensi – konvensi di bidang HKI seperti : Paris Konvension, WIPO (World
Intellectual Property Organization), The Agreement on Trade Releted Aspek of
Intellectual Property Right (TRIPs), WTO ( World TradeOrganization).
Dalam rangka penegakan hukum HKI, semua anggota harus sesegera
mungkin mengharmonisasikan system hukum HKI sesuai dengan standar TRIPs,
Indonesia mendapat tenggang waktu hingga 1 Januari 2000 untuk memenuhi
kewajiban –kewajiban TRIPs secara bertahap.
Menurut TRIPs Agreement, HKI yang dilindungi adalah sebagai berikut:
1. Hak Cipta
2. Merek Dagang
3. Paten
3
4. Desain Produk Industri
5. Indikasi Geografis
6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
7. Rahasia Dagang1
Ketentuan karya ciptaan mendapatkan perlindungan hukum secara otomatis
yang tertuang dalam Undang – undang Hak Cipta . Dalam hal ini pencipta sebaiknya
mendaftarkan karya – karya ciptaanya kepada Direktorat Jenderal HKI. Namun pada
kenyataanya dilapangan hasil ciptaan tersebut sangat sedikit di daftarkan. Adapun
factor yang menyebabkan sedikitnya orang mendaftarkan karya ciptaannya selain
disebabkan oleh ketidaktahuan, juga disebabkan oleh konsep budaya hukum yang
berbeda yang melandasi konsep berfikir masyarakat Indonesia yakni bersifat
komunal, artinya karya yang dihasilkan dipahami sebagai milik bersama yang
dimiliki oleh keluarga atau masyarakat adatnya. Lain halnya dengan budaya hukum
yang melatar belakangi masyarakat negara-negara barat yang lebih mengedepankan
kepentingan hak-hak individu dengan watak kapitalis.
Berkaitan dengan perlindungan Karya Intelektual di Indonesia Khususnya,
karya seni, sastra, ilmu pengetahuan, sistem pengaturannya tertuang dalam Undang –
Undang No.19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta ( UUHC 2002), menyatakan bahwa
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta dan penerima hak untuk mengumumkan
1 OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) ,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 210
4
dan memperbanyak ciptaan atau memberikan izin untuk itu dengan tdak mengurangi
pembatasan – pembatasan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku,
sedangkan pengertian dari ciptaan atau karya cipta adalah hasil setiap karya pencipta
yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau satra.
Dalam perkembangannya yang sering mendapat perhatian dari sisi
perlidungan hukum adalah karya cipta , film, lagu, seni lukis, seni patung, dan lain –
lain. Disamping karya cipta tersebut diatas sesungguhnya masih banyak hasil karya
cipta yang belum mendapat perlindungan secara maksimal seperti seni karawitan
khususnya karawitan Bali. Menurut Sinti, Karawitan adalah music tradisional yang
didalamnya terdapat berbagai unsur kebudayaan masyarakat(wawancara 25 Februari
2010). Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi modern, khususnya pada
bidang seni media rekam, menjadikan seni karawitan tersebut sebagai lahan yang
sangat potensial untuk dijadikan komoditi bisnis. Tidak hanya perusahaan rekaman di
tingkat lokal yang memanfaatkan potensi tersebut. Bahkan perusahaan rekaman Asia
seperti di Negara Jepang, Eropa sudah banyak merekam kesenian karawitan Bali.
Dengan adanya kegiatan-kegiatan seperti itu tentunya sudah mengarah pada kegiatan
komersiil. Dalam konteks ini, maka pembicaraan mengenai hak cipta seni karawitan
bali menjadi relevan untuk dipersoalkan. Pelanggaran terhadap seni karawitan, dalam
perkembangannya dengan mudah dapat dilakukan dengan dalih untuk menarik
wiasatawan baik domestic maupun wisatawan asing yang bertujuan untuk mencari
keuntungan atau komersil. Pelanggaran terhadap seni karawitan sangat mudah
dilakukan, hal ini dikarenakan oleh peralatan – peralatan digital yang sangat canggih,
5
memudahkan orang –orang yang tidak bertanggung jawab memperbanyak, serta
menyebarluaskan melalui CD, VCD atau DVD, tanpa ada izin dari penciptanya.
Penggunaan teknologi ini memungkinkan terjadinya pelanggaran atas hak
mempertunjuukan (Performing Rights) yang didalamnya termasuk merekam,
mempertunjukkan, mengumumkan atau menyiarkan, mentransmisikan suatu
pertunjukkan, termasuk memiliki, mengcopy dan menjual suatu karya cipta yang sah.
Berbagai kasus pelanggaran Hak Cipta dalam bidang seni pertunjukkan
(termasuk seni karawitan) pernah terjadi. Namun karena kurangnya pengetahuan
Pencipta dalam memberikan arti terhadap keberadaan hak cipta, maka persoalan besar
telah merugikan dirinya, masih dirasakan belum mendesak. Pernah suatu ketika
sebuah misi kesenian Bali mengadakan pementasan di beberapa kota seperti Paris,
London, Montreal dan San Fransisco. Pementasan tersebut direkam dalam bentuk
“Nonsach” yang kini masi beredar secara luas dan digemari oleh ribuan pencinta
gamelan Bali di luar negeri. Para seniman tersebut tentunya merasa senang dapat
mempromosikan Bali di luar negeri, walupun mereka tidak pernah menikmati
“royalty-fees” ( imbalan ) dari rekaman yang beredar.2
Pembajakan karya cipta seni karawitan Bali kiranya dilaksankan secara
terselubung oleh beberapa produser. Lagu-lagu karawitan yang sudah direkam
2 Bandem. I Made, 1992/1993. Peranan Seniman Bali dalam Masyarakat, Dalam Kongres
Kebudayaan 1991 : Kebudayaan Nasional : Kini dan di Masa Depan. Jakarta : Departemen Pendidikan
Kebudayaan , hal 90.
6
puluhan tahun dewasa ini muncul kembali dipasaran tanpa meminta izin dari
perncipta lagu tersebut3.
Secara umum, music bangsa-bangsa didunia dapat dikelompokkan menjadi
Musik Barat (Western Music) dan Bukan Musik Barat (Non Western Musik). Music
barat ( Western Musik) adalah seni musik yang menggunakan tangga nada diatonic.4
Merujuk pada negeri kita Indonesia music tradisi dikenal dengan istilah Karawitan.
Sebab tangga nada yang digunakan bukanlah tangga nada diatonik. Istilah Karawitan
Bali diperkenalkan didunia ilmu pengetahuan kira-kira pada tahun 1950, yaitu sejak
didirikannya konservatori karawitan Indonesia di Surakarta. Karawitan adalah seni
suara tradisi Indonesia baik vokal maupun instrumental yang berlaraskan pelog dan
selendro, dengan kata lain non diatonic.
Menurut I Wayan Sinti, salah satu pakar karawitan Bali yang merupakan
salah satu pengajar seni karawitan bali di luar negeri, menyebutkan dalam wawancara
dengan penulis bahwa Karya cipta seni karawitan bali secara umum sesuai fungsinya
dapat dibagi menjadi:
Instrumen yang digunakan untuk mengiringi proses upacara keagamaan,
dalam hal ini lagu yang dimainkan seperti gending - gending (lagu) Gambang,
Saron, Caruk, Gong Gede.
3 Bandem, I Made. 1993, Perlindungan Hak Cipta Kesenian Bali dalam Rangka
Meningkatkan Kreasi dan Kualitas Ciptaan . Dalam majalah Kebudayaan Jakarta: Departemen
Pendidikan Kebudayaan, hal. 91 4 Rai S. 2001, Gong Antologi Pemikiran, Bali Mangsi, hal. 139
7
Instrumen yang dipertunjukan kehadapan penonton dan selanjutnya dapat
memperoleh tanggapan dari penontonnya. Seperti Gending Semar Pegulingan,
Gending Angklung, Gending Gong Kebyar.
Dilihat dari golongannya seni karawitan (instrumental ) bali dapat dibedakan menjadi
tiga (3) :
Seni Karawitan klasik / kuno , adapun yang termasuk seni karawitan klasik
seperti Gambang, Selonding, Caruk , Genggong, Gong Gede
Seni Karawitan Modern, adapun yang termasuk seni karawitan modern adalah
gending – gending Gong Kebyar, Angklung, Jegog, Semar Pegulingan, dll
Seni Karawitan baru , yang termasuk seni karawitan baru adalah Gamelan
siwa nada, Semara Dana, Manikasanti, Bumbang, dll. (wawancara 20 Februari
2010)
Jika dilihat dari kedua fungsi karawitan, maka seni karawitan adalah
instrumental yang digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan dan untuk
mengiringi pertunjukkan tari – tarian. (wawancara 24 Februari 2010).
Berkaitan dengan pertunjukan karya seni karawitan bali yang bukan
dilakukan oleh penciptanya dapat merujuk pada pasal 3 ayat (2) UUHC tahun 2002,
Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik secara keseluruhan ataupun sebagian
karena Pewarisan, Hibah, Wasiat, dan perjanjian tertulis, atau sebab – sebab lain yang
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
8
Karya – karya seni karawitan klasik, biasanya penciptanya tidak diketahui,
karena sudah berlagsung secara turun temurun dimainkan. Jenis karawitan klasik ini,
jika dikaitkan dengan ketentuan UUHC No. 19 tahun 2002, maka dapat merujuk pada
pasal 10 ayat (2) yang menyatakan bahwa, Negara memegang Hak Cipta atas Folklor,
dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat,
dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat 2 diatas, setiap pengambilan karya cipta
seharusnya tunduk pada ketentuan pasal 3 ayat 2 UUHC No. 19 tahun 2002 termasuk
seni karawitan bali. Namun dalam perkembangnnya tidak seperti yang tercantum
dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 , dimana pelaku dalam pertunjukannya pada umumnya
hanya berkeinginan untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan
mengabaikan kepentingan para pemegang Hak Cipta, adalah merupakan suatu
pelanggaran terhadap UUHC, yang pada akhirnya dapat merugikan si Pencipta secara
finansial. Dampak dari kegiatan tersebut telah sedemikian besarnya terhadap tatanan
kehidupan bangsa dibidang ekonomi dan hukum
Karya cipta seni karawitan yang merupakan suatu karya cipta yang tunduk
pada ketentuan UUHC tahun 2002, merupakan karya cipta yang dihasilkan dari
kreatifitas intelektual yang bersumber dari cipta, rasa, karsa manusia. Untuk
menghasilkan suatu karya cipta seni karawitan oleh penciptanya memerlukan suatu
pemikiran, tenaga, biaya yang tidak sedikit, seharusnya sudah sepantasnya mendapat
penghargaan baik secara materiil maupun non materiil.
9
Pengambilan dan pemberian hak untuk melaksanakan atau mempergunakan
karya cipta sipencipta harus sesuai dengan peraturan dan perundang – undangan yang
berlaku. Namun pada kenyataannya dalam praktek, masih banyak orang yang tidak
bertanggung jawab mempergunakan ciptaan orang lain tanpa meminta izin terlebih
dahulu kepada penciptanya.
Dari fenomena-fenomena diatas yang nampak berkaitan dengan realita
penegakan HKI apabila tidak di tangani secara serius dari aspek yurisdisnya, maka
akan memberikan dampak negatif tidak hanya dari aspek hukum tetapi juga dari
aspek ekonomi. Dari segi hukum, pencipta yang tidak mendaftarkan hasil cipataanya
dapat dianggap bukan pencipta dan bahkan dapat dituntut secara hukum apabila
menggunakan karya ciptaanya tersebut. Sedangkan dari segi ekonomi tentunya akan
berakibat pada keuntungan Royalty apabila kelak ada orang (bukan si pencipta) yang
menggunakan,memperbanyak hasil ciptaannya, maka pencipta sendiri tidak
mendapatkan keuntungan dari royalty tersebut.
Munculnya kasus – kasus hak cipta di bali mulai menyadarkan seluruh
praktisi yang terkait, apakah itu praktisi bisnis maupun para pencipta terhadap arti
pentingnya perlindungan hak cipta, walaupun sebenarnya pengaturan khususnya di
bali bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru.
10
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dikemukakan
permasalahan sebagai berikut ;
1. Bagaimanakah pelaksanaan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap pencipta atas Karya Seni Karawitan Bali yang
dipertunjukkan secata komersiil ?
2. Upaya apa yang dapat ditempuh atas pelanggaran terhadap karya cipta Seni
Karawitan Bali ?
I.3. Ruang Lingkup Masalah
Undang-undang Hak Cipta merupakan instrument yang tidak dapat di
lepaskan dalam mendorong perlindungan hukum secara konprehensif di bidang HKI.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap Hak Cipta dimaksudkan untuk
merangsang aktivitas kreatif para pencipta dalam hal ini seniman kerawitan untuk
menciptakan suatu hal baru yang berguna untuk masayarakat..
Karena luasnya cakupan permasalahan yang akan dibahas, maka ruang
lingkup dalam permasalahan lebih membahas pada Seni Kerawitan Bali khususnya
seni Instrumental (Gamelan bali). Pembahasan yang pertama membahas tentang
efektivitas penerapan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan perlindungan
hukum atas karya cipta Seni Karawitan Bali.
Dari permasalahan yang kedua akan membahas tentang tentang Faktor –
faktor apa yang menyebabkan UUHC No.19 Tahun 2002 berkaitan dengan
11
perlindungan hukum atas karya cipta Seni Karawitan Bali tidak dapat berjalan efektif
dalam hal Penciptanya sudah mengetahui bahwa karya ciptanya dilanggar, faktor –
faktor yang menyebabkan hukum hak cipta yang berlandaskan konsep individual
dapat efektif atau tidak diterapkan dalam masyarakat komunal.
2. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus
2.1. Tujuan Umum
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan terkait dengan paradigma scieniceas
a process. Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek dalam
penggaliannya atas kebenarannya di bidang HKI yang terkait denga Hak Cipta.5
2.2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui perlidungan hukum atas suatu karya cipta, dan untuk
mengetahui konsekwensi yuridis dalam hal peraturan hukum Hak Cipta tidak
berfungsi efektif berkaitan dengan perlidungan suatu ciptaan.
3. Manfaat Penelitian
3.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini di harapkan dapat digunakan memperdalam ilmu pengetahuan
hukum tentang Hak Cipta
5 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Hukum Normatif, 2003, Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, hal.6
12
3.2. Manfaat Praktis
Penelitian diharapkan sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan dan
jajarannya agar dapat memperbaiki prosedur (meringankan dan mempermudah )
pendaftaran Hak Cipta sehingga memudahkan pencipta untuk mendapatkan hak atas
ciptaanya yang nantinya mampu untuk merangsang kreativitas pencipta untuk
menciptakan karya-karya baru.
4. Orisinalitas Penelitian
Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian
tentang “ Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan Dengan Perlindungan
Hukum Terhadap Karya Cipta Seni Karawitan Instrumental Bali “ belum pernah ada
yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang meneliti tentang
yang terkait dengan karya cipta, yaitu :
1. Tesis Luh Putu Sridanti pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana, Denpasar, 2006 yang berjudul “ Efektifitas Pelaksanaan Undang-
Undang Hak Cipta Berkaitan dengan Perlindungan Bidang Karya Cipta Seni
Di Bali “. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1)
Bagaimanakah bentuk-bentuk pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta bidang
karya cipta seni di Bali. (2) Bagaimana efektifitas pelaksanaan Undang-
Undang Hak Cipta berkaitan dengan perlindungan karya cipta seni di Bali.6
6 Luh Putu Sridanti, 2006, Efektifitas Pelaksanaan Undang-Undang Hak Cipta Berkaitan
dengan Perlindungan Bidang Karya Cipta Seni Di Bali, Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas
Udayana, Denpasar
13
2. Tesis Nyoman Mas Aryani pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana, Denpasar, 2006 yang berjudul “ Efektivitas Undang-Undang No.31
Tahun 2000 Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya
Desain Di Bali. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah : (1)
Bagaimanakah efektifitas penerapan hukum dibidang desain industry
berkaitan dengan perlindungan hukum atas karya-karya desain di Bali. (2)
Bagaimanakah konsekuensi yuridis dalam hal peraturan desain industri tidak
berfungsi efektif berkaitan dengan perlindungan karya desain. 7
3. Tesis I Ketut Sandhi Sudarsana pada Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, 2009 yang berjudul “ Perlindungan Hukum
Terhadap Pertunjukan Karya Cipta Seni Tari Bali Yang Disakralkan “Adapun
permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) bagaimanakah pengaturan
tentang tari Bali yang disakralkan menurut Undang-undang No. 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta. (2) Apakah pertunjukan secara komersial terhadap
tari Bali yang disakralkan merupakan suatu pelanggaran hak cipta.8
7 Mas Aryani, Nyoman,2006, Efektivitas Undang-Undang No.31 Tahun 2000 Dalam
Kaitannya Dengan Perlindungan Hukum Terhadap Karya Desain Di Bali , Tesis S2 Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar 8 Sandhi Sudarsana, I Ketut, 2009, Perlindungan Hukum Terhadap Pertunjukan Karya Cipta
Seni Tari Bali Yang Disakralkan, Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar
14
5. Landasan Teori dan Kerangka Berfikir
5.1. Landasan Teoritis
Perkembangan negara telah melewati batas-batas negara, ruang dan waktu
dimana dengan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa
kebutuhan perlindungan terhadap Hak Atas Kekeyaan Intelektual yang sifatnya tidak
lagi timbal balik tetapi sudah bersifat antar negara secara global. Pada akhir abad ke
19, perkembangan pengaturan masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual Mulai
melewati batas- batas negara. Kalau dilihat secara historis, Upaya harmonisasi dalam
bidang HKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk
masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886.
Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan bagian hukum harta benda
(hukum kekayaan). HKI bersifat sangat abstrak jika di bandingkan dengan hak atas
kekayaan benda bergerak pada umumnya.
Menurut David I. Bainbride “intellectual property is the collective name
given to legal rights which protect the product of the human intellect”. 9 yang artinya
hak atas kekayaan intelektual manusia yaitu hak yang berasal dari hasil kreatif, yaitu
kemampuan daya fikir manusia yang diekspresikan kedalam berbagai bentuk karya,
yang bermanfaat seta berguna untuk menunjang kehidupan manusia, dan mempunyai
nilai ekonomi.
Dalam ilmu hukum, HKI akan mendapat perlindungan hukum apabila ide
dan kemampuan seseorang telah dituangkan atau telah diwujudkan dan diekspresikan
9 Muhammad Djumhana, R. Djubaidllah, Op Cit, hal. 16
15
dalam suatu bentuk karya yang dapat dilihat / nyata , didengar, maupun dipergunakan
secara praktis. Adapun wujud nyata dari suatu kemampuan intelektual manusia
tersebut dapat dilihat dalam bentuk penemuan teknologi, ilmu pengetahuan, karya
cipta seni dan sastra, serta karya – karya desain10
.
Demikian juga halnya dengan hak cipta yang merupakan salah satu jenis dari
HKI, karya – karya cipta dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, pada dasarnya
adalah karya intelektual manusisa yang dilahirkan sebagai perwujudan kwalitas rasa,
karsa dan ciptanya. Mengacu pada pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa hak cipta
adalah hak khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada seseorang yang telah
menciptakan sesuatu berdasarkan pemikiran dalam bidang ilmu pengetahuan, seni
dan sastra11
.
Pasal 1 ayat 1 UUHC No 19. Tahun 2002 menjelaskan bahwa, Hak Cipta
adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan – pembatasan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Sedangkan dalam ayat 2 dijelaskan bahwa pencipta adalah seseorang atau beberapa
orang secara bersama – sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan
berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian
yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.pada ayat 3 dijelaskan
10
Ida Bagus Wyasa Putra dkk.2001, Hukum Bisnis Pariwisata, Rafika Aditama, Bandung,
hal.108. 11
Richard Burton Simatupang, 1995, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, hal
87.
16
ciptaan adalah hasil karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan
ilmu pengetahuan, seni, sastra.
Menurut Miller dan David, pemberian hak cipta didasarkan pada kriteria
keaslian dan kemurnian (originality), pada intinya suatu ciptaan tersebut berasal dari
pencipta yang sebenarnya, dan bukan merupakan hasil dari jiplakan atau peniruan
dari karya pihak lain12
.
Dalam konsep ilmu hukum, hak cipta dibagi menjadi dua yaitu hak moral
dan hak ekonomi. Selain memiliki hak ekonomi, pencipta itu sendiri memiliki hak
moral (moral right), adalah hak pencipta yang tetap melekat pada karyanya atau
ciptaannya meskipun karya tersebut telah dialihkan kepada pihak lain.
Tonggak awalnya perlidungan Hak Cipta di Indonesia dimulai dengan
adanya Conventie Berne, yaitu Berne Convetionfor the Protection of and Artistik
Work. Indonesia ikut berpartisipasi menjadi angota pada tahun 1959 dan kemudian
keluar. Pada tahun 1997 Indonesia kembali bergabung menjadi angota Conventie
Berne, HKI ini berarti Indonesia wajib mentaati ketentuan Berne Convention. Pada
dasarnya Berne Convention di bagi menjadi tiga prisip :
1. Perlakuan Nasional (National treatment)
2. Perlindugan otomatis (automatic protection)
3. Kebebasan perlindungan (independentprotection)13
12
Ida Bagus Wyasa Putra dkk, Op Cit, hal.118 13
Sanusi Bintang, 1998, Hukum Hak Cipta, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 67.
17
Selain dalam Berne Convention Hak Cipta juga diatur dalam The agreement
on trade releted Aspect of Intelektual Property Rigths (TRIPs), adalah suatu
perjanijian multilateral terpenting yang berkaitan dengan Hak kekayaan Intelektual.
TIPRs ini berlaku sejak 1 Januari 1995, diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7
Tahun 1994 dan mulai berlaku sejak tahun 2000.
Hak cipta dapat dikaji baik dari aspek teoritis maupun implementasi ilmu
hukum secara empiris, secara garis besar, ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law
in books dan studi law in action dari uraian Roman Tomasic berikut ini :
The focus of the sociology of law, however it is defined, need to be seen as
the study of “law in Action “ rather than the traditional lawyer’s concern with “ the
law in the books”14
Studi law in action merupakan studi social yang bersifat empiris bukan
normative. Studi demikian itu, hukum tidak dikonsepkan sebagai suatu gejala
normative yang otonomi (seperti study law in books) tetapi di konsepkan sebagai
pranata sosial yang secara riil di kaitkan dengan variable-variabel social yang lain.
Apabila hukum sebagai sosial yang empiris sifatnya, dikaji sebagai variable bebas
yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial.
Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam,
diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi, dan proposi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan merumuskan hubungan
14
Amiruddin Dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 197.
18
antar konsep15
. Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dau fakta
atau lebih atau pengturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan
sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat di uji secara empirisoleh sebab
itu, dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara
dua variable atau lebih yang telah di uji kebenarannya.
Berlakunya hukum dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif
yuridis normatif, Filosofis, dan sosiologis. Perspektif yuridis normatif, berlakunya
hukum jika sesuai dengan kaedah yag lebih tinggi (teori Stufenbau dari Hans
Kelsen)atau terbentuknya sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan (teori W.
Zevenbergen). Perspektif filosofis, berlakunya hukum jika sesuai dengan cita-cita
hukum. Sedangkan berlakunya perspektif sosiologis menurut Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto, intinya adalah efektifitas hukum16
. Inti berlakunya hukum
dari perspektif sosiologis adalah mengenai efektifitas hukum yang akan melihat
pengaruh dari kaedah hukum, dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta yang diterapkan dalam masyarakat diman kaedah hukum tersebut dapat
berpengaruh positif ataupun negatif. Pengaruh positif berlakuya hukum disebut
efektifitas sedangakan negatifnya disebut dampak
Menelaah efektifitas suatu perundang-undangan (berlakunya umum) pada
dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Dengan di
undangkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini berarti
15
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19. 16
Amiruddin Dan Zainal Asikin, Op Cit. hal 135
19
hak atas ciptaan telah dilindungi secara hukum namun masih tetap ada keengganan
dari pencipta untuk mendaftarkan karyanya walaupun Undang-undang berlaku fiktie
dalam arti masyarakat dianggap tahu hukum sehingga dalam terjadinya pelanggaran
seseorang tidak boleh berdalih denan alasan tidak tahu17
. Hal serupa di kemukakan
oleh Roscoe Pound, seorang ahli dari Amerika. Pokok pikirannya berkisar pada tema
bahwa hukum bukanlah suatu keadaan yang statis melainkan suatu proses. Suatu
pembentukan hukum, intepretasinya maupun penerapannya hendaknya dihubungkan
denan fakta-akta sosial pound sangat menekankan efektifitas bekerjanya hukum dan
untuk itu ia sangat mementingkan beroperasinya hukum didalam masyarakat. Oleh
karena itu pound membedakan pengertian law in books dengan law in action di pihak
lain. Ajarannya lebih menonjolkan masalah apakah hukum yang diterapkan sesuai
dengan pola-pola perilakuan. Ajarannya tersebut diperluas lagi sehingga mencakup
masalah-maslah keputusan pengadilan serta pelaksanaannya dan juga antar isi suatu
peraturan dengan efektifitasnya yang nyata.18
Roscoe Pound berpendapt bahwa hukum adalah suatu proses yang
mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan
keputusan hakim. Pound mengemukakan idenya tentang hukum sebagai sarana untuk
mengarahkan dan mebina masyarakat dimana hukum tidak pasif tetapi harus mampu
digunakan untuk mengubah suatu keadaan dan kondisi tertentu ke arah yang dituju
17
Kansil dan Christine, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 1, Rineka Cipta,
Jakarta, h.33. 18
Otje Salman, 1989, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, h.35
20
sesuai dengan kemauan masyarakatnya19
. Fungsi hukum sebagai sarana rekayasa
sosial merupakan salah satu ide dari Pound yang terkenal dengan nama law as a tool
of social engeneering20
.
Hukum menurut Donald Black adalah kaidah hukum yang dirumuskan
dalam undang-undang atau keputusan-keputusan hakim. Dengan merujuk principle of
efektiveness dari Hans Kelsen, realita hukum artinya orang seharusnya bertingkah
laku atau bersikap sesuai dengan tata kaidah hukum atau, dengan kata lain realita
hukum adalah hukum dalam tindakan.
Demikian pula menurut Eugen Ehrlich, hukum positif hanya akan efektif
jika selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). The living law
concept was heart of Ehrlich,s thingking, it was the “living law” that dominated
society,s life even though it had not always been reduced to formal legal, preposition.
It reflected the values of society.21
Tujuan pokok yang dikemukakannya adalah
meneliti latar belakang aturan-aturan formal yang dianggap sebagai hukum. Aturan-
aturan tersebut merupakan norma-norma sosial actual yang mengatur semua aspek
kemasyarakatan yang olehnya disebut sebagai hukum yang hidup. Atri dari hukum
yang hidup disini adalahhukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai hukum
yang diterapkan oleh negara.selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk
pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin efektif
oleh karena ketertiban terletak pada pengakuan sosial terhadap hukum dan bukan
19
L.Freedmen, 1960, Legal Theory, Stevan, & Sons Limited, h.293 20
Lili Rasjidi, 1996, Dasar – Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya, Bandung, h.83 21
Curzon, 1979, Jurisprodence, Macdonald & Even LTD.Estover, Playmount, PL67Pz
21
pada penerapannya secara resmi oleh Negara.bagi Ehrlich tertib sosial didasarkan
fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial yang
tercermin dalam system hukum. Secara konsekwen ia berangapan bahwa mereka
yang berperan sebagi pihak yang mengeembangkan system hukum harus mempunyai
hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang di anut dalam masyarakat yang
bersangkutan. Kesadaran ini harus ada pada setiap anggota profesi hukum yang
bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang lingkup hukum
positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup. Dalam meneliti efektifitas
hukum , menjadi relevan memanfaatkan teori aksi dari Max Weber yang
dikembangakan oleh Talcott Parsons. Menurut teori aksi, perilaku adalah hasil suatu
keputusan subyektif dari pelaku atau aktor.
Dalam bukunya The structure of social action, Parsons mengemukakan karakteristik
tidakan sosial sebagai berikut :
1. adanya individu sebagai actor
2. aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan
3. aktor memilih cara, alat, teknik untuk mencapai tujuannya
4. aktor berhubungan dengan sejumlah kondisi-kondisi situasional yang
membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa
situasi dan kondisi sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh
individu.
5. aktor berada di bawah kendala nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide
abstrak yang mempenaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan.
22
Sejalan dengan teori aksi dari Max Weber dan Parsons, relevan pula
dikemukakan pandangan dari Soerjono Soekanto tentang efektifitas hukum. Soerjono
Soekanto menyatakan ada empat factor seseorang berprilaku tertentu :
1. memperhitungkan untung rugi
2. menjaga hubungan baik dengan sesama penguasa
3. sesuai dangan hati nurani
4. ada tekanan-tekanan tertentu.22
Efektifitas berfungsinya hukum dalam suatu masyarakat sesungguhnya erat
kaitannyadengan kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang
warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam
ajaran –ajaran tentang Rechtsgehful yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang
mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Hal
tersebut merupakan suatu aspek dari kesadaran hukum, aspek lainnya adalah bahwa
kesadaran hukum sering kali dikaitkan dengan penataan hukum, pembentukan hukum
dan efektifitas hukum.
Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang dalam suatu masayarakat, sesuai dengan pendapat Sorjono Soekanto,
bahwa masayarakat mentaati hukum sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masayarkat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam
22
Soerjono Soekanto, 1985, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung,
h. 19
23
masyarakat yang diartikan kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap pada diri
masyarakat.
Terdapat empat indicator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan
suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu:
1. Pengetahuan Hukum
2. Pemahaman Hukum
3. Sikap Hukum
4. Pola Prilaku Hukum
Ad. a. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa
perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan
dengan prilaku yang dilarang atau prilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat
dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah
diundangkan.
Ad. b. Pemahaman Hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang
mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain
pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu
peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis serta manfaatnya bagi pihak-
pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.
24
Ad. c. Sikap Hukum adalah suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena
adanya penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau
menguntungkan jika hukum itu ditaati
Ad. d. Pola Prilaku Hukum adalah merupakan hal utama dalam kesadaran hukum
karena disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam
masyarakat.23
Berdasarkan dari empat indicator kesadaran hukun diatas, dapat dikemukakan bahwa untuk dapat mewujudkan prilaku yang sesuai dengan hukum sangatlah dipengaruhi oleh motif, dan indicator kesadaran hukum.
Dari uraian landasan teori diatas, dapat dikemukakan bahwa untuk dapat
mewujudkan perilaku yang sesuai dengan hukum sangatlah dipengaruhi oleh motif,
gagasan maupun berbagai indikator kesadaran hukum. Lawrence M. Friedman
sebagaiman dikutip Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa system hukum yang
beroperasi dapat di anggap sebagai suatu sistem yang terdiri atas tiga komponen,
yaitu substansi, structural,cultural.
Substansi mencakup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun
acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari
keadailan. Struktural mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang
umpamanya, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara
lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Kultural pada
dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang
merupakan konspesi-konsepsi abstrak mengenai apa yang di anggap buruk.
23
Ibid hal. 21.
25
Aplikasi pendekatan sistem terhadap penegakan hukum ditegaskan oleh
Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan di batasi pada undang-
undang saja.
2. faktor penegak hukum , yakni pihak-pihak yang membentuk hukum maupun
menerapakan hukum
3. faktor sarana atau failitas yang mendukung penegkan hukum
4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidupnya.24
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada
efektifitas berlakunya hukum.
Berdasarkan kajian teori diatas, menjadi relevan jika dikaitkan dengan
perlindungan hukum atas karya cipta seni karawitan terutama seni karawitan bali.
Ditegakkannya perlindungan hukum terhadap karya cipta seseorang terutama
mempertunjukkan karya cipta seni karawitan oleh pelaku pertunjukkan, sangatlah
dipengaruhi oleh factor-faktor apakah pihak pelaku yang mempertunjukkan karya
24
Ibid, hal 8.
26
cipta tersebut sudah mengetahui perlunya perlindungan hukum terhadap karya cipta
tersebut, juga dapat disebabkan oleh seberapa besar pemahaman tentang Undang-
undang dari penegak hukum itu sendiri, dan tidak kalah pentingnya apakah ketentuan
itu sudah cukup jelas atau tidak, karena hukum hanya bisa berlaku efektif bila selaras
dengan kehendak masyarakat, dan dalam penegakan hukum HKI itu apakah
Indonesia dapat menerima HKI yang berasal dari budaya barat yang menganut
konsep hukum Individual Right, sedangkan konsep hukum Negara timur termasuk
Indonesia menganut konsep hukum komunal.
Penegakan hukum yang berkaitan dengan nudaya hukum ini, dalam
praktiknya sering kali menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pelangaran
hukum dalam hukum HKI.
Dalam hal terjadinya pelanggaran hukum HKI, khususnya pelanggaran
hukum Hak Cipta, maka upaya –upaya yang dapat dilakukan adalah :
1. Upaya hukum Preventif artinya, untuk menghidari terjadinya pelanggaran
terhadap suatu karya cipta, khususnya karya cipta seni karawitan bali dapat
dilakukan dengan cara :
a. Melalui pendaftaran
Konsep perlindungan hukum Hak Cipta secara otomatis, dilandasi oleh Konvensi
Berne, salah satu prinsip dari Konvensi Berne (Berne Convention) adalah
Automateclly Protectiaon. Menurut konsep perlindungan ini, Hak Cipta boleh
didafar boleh tidak. Menurut pasal 35 ayat (4) UUHC 2002, menentukan bahwa
pendaftaran suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Jadi
27
berdasarkanketentuan tersebut pendaftaran Hak Cipta bersifat Tidak
Mutlak.Meskipun menurut hukum perlindungan Hak Cipta secara otomatis
diperoleh Pencipta sejak ciptaannya lahir, dan tidak harus melalui proses
pendaftaran, namun kalau dilakukan pendaftaran akan lebih baik dan lebih
menguntungkan, karena dengan pendafaran hak, setidaknya akan ada bukti
formal sebagai tanda adanya Hak Cipta jika tidak terbukti sebaliknya.
Dengan adanya proses pendaftaran ini, memberikan jaminan kepastian
hukum dan menguatkan adanya perlindungan hukum atas karya cipta, jika
terjadi peniruan atau penjiplakan karya cipta, sehingga si pencipta lebih mudah
membuktikan dan mengajukan tuntutan karena ada bukti formal pendaftaran
secara lengkap.
b. Melalui Pernjanjian
Perlindungan hukum terhadap karya cipta seni karawitan bali selain melalui
pendaftaran, juga dapat dilakukan dengan cara melalui perjanjian. Perlindungan
hukum karya cipta seni karwitan bali secara preventif melalui perjanjian sesuai
dengan Pasal 3 ayat (2) huruf e UUHC 2002.
suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu, dan suatu sebab yang halal, sebagaimana
diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya
28
perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum
bagi para pihak yang membuatnya25
Berkaitan dengan upaya hukum preventif, yaitu untuk menghindari
terjadinya pelanggaran terhadap Hak Cipta, tertuama karya cipta seni karawitan Bali,
dengan cara melalui perjanjian, selain berdasarkan pasal 1313 dan 1320 KUHPerdata,
dapat pula merujuk pada pasal 45 UUHC 2002 yang menyatakan, bahwa pemegang
Hak Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian
lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUHC
2002. Sedangkan yang dimaksud dengan lisensi dalam UUHC 2002 adalah, mengacu
pada pasal 1 angka 14 yang menjelaskan bahwa lisensi adalah, izin yang diberikan
oleh pemegang Hak Cipta atau pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk
mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya
dengan persyaratan tertentu.
Mengkaji lebih jauh tentang Lisensi Hak Cipta, menurut Pasal 45 UUHC
2002 dapat diketahui bahwa pelisensian hak cipta dapat dilakukan dengan atau
berdasarkan surat perjanjian Lisensi, yang isinya pemegang Hak Cipta membrikan
hak khusus kepada orang lain untuk menikmati nilai ekonomis suatu ciptaan yang
dilindungi oleh Hak Cipta. Dengan demikian surat perjanjian lisensi hanya bersifat
pemberian izin atau hak untuk dalam jangka waktu tertentu pula. Persyaratan tertentu
25
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, hal.1,
29
yang berkaitan dengan jangka waktu Lisensi dan Royalty fee, dalam hal ini Lisensi
dibuat secara tertulis.26
Berkaitan dengan pemberian Lisensi, apabila pada pemberian Lisensi
pemegang Hak Cipta dapat melaksanakan hak ciptanya dan dapat memberikan lisensi
yang sama kepada pihak ketiga untuk melakukan perbuatan sebagaimana yang
dilakukan oleh pemegan hak cipta, maka sifat lisensi tersebut adalah terbuka,
perjanjian lisensi dapat pula dibuat secara khusus, artinya bahwa lisensi hanya dapat
diberikan kepada pemegang lisensi saja (Ekslusive Lecense).27
Sifat ekslusif dari
lisensi hak cipta ini dapat mengacu pada pasal 46 UUHC 2002, yang menyatakan
bahwa kecuali diperjanjikan lain, Pemegang hak cipta dapat melaksanakan perbuatan
sebaimana yang dimaksud pada pasal 2 UUHC 2002. Sifat ekslusif dapat dilihat
dalam kalimat kecuali “diperjanjikan lain” ini berarti dapat melakukan perjanjian lain
yang sifatnya lebih khusus dalam perjanjian lisensi karena lisensi biasanya diberikan
secara terbuka.
2. Upaya Hukum Represif
Upaya hukum secara represif adalah merupakan suatu upaya hukum yang
dilakukan oleh pencipta dan pemegang hak cipta karena karya cipnya dipergunakan
pihak lain tanpa seizin penciptanya secara komersiil, sehingga Pencipta dan
pemegang Hak Cipta dirugikan secara ekonomis. Untuk menghindari terjadinya
26
Rachmadi Usman, Op.Cit. hal. 148 27
Ibid. hal. 149
30
pelanggaran hak cipta tersebut maka pencipta atau pemegang hak cipta dapat
menegakkan hak-hak mereka secara litigasi yaitu :
a. Dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Niaga. (pasal 56
UUHC 2002). Berdasarkan ketentuan pasal 56 ayat 1 UUHC 2002
menyatakan, bahwa pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti
rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta
pertunjukkan tersebut dihentikan selama belum mendapat ijin dari
penciptanya.
b. Selain upaya secara perdata diatas, masih ada upaya hukum yang disediakan
oleh UUHC 2002, yaitu melalui tuntutan secara pidana. UUHC 2002
Indonesia menempatkan tindak pidana yang berkaitan dengan hak cipta
sebagai delik biasa, maksud dari undang-undang ini adalah untuk menjamin
perlindungan lebih baik dari sebelumnya, dimana sebelumnya dalam UUHC
1997, tindak pidana tentang hak cipta dikategorikan delik aduan. Perubahan
sifat ini adalah merupakan kesepakatan masayrakat yang menyebabkan suatu
pelanggaran bisa diperkarakan di Pengadilan secara cepat dan tidak perlu
menunggu pengaduan terlebih dahulu dari pemegang hak cipta.28
c. Sanksi Pidana untuk pelanggaran hak cipta seni karawitan juga diberlakukan
bagi pelanggar yang dengan sengaja melanggar ketentuan-ketentuan hak cipta
di Indonesia akan diterpakan sanksi yang cukup berat, segaimana diatur dalam
28
OK.Saidin, 1995, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal 59.
31
pasal 72 sampai dengan 73 UUHC 2002. Pasal 72 menjelaskan, bahwa setiap
pelanggaran hak cipta akan dikenakan sanksi pidana dan/atau pidana denda,
sedangkan pasal 73 UUHC 2002 menyatakan bahwa terhadap ciptaan atau
barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang
dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara
untuk dimusnahkan.
d. Melalui jalur Non Litigasi
Berkaitan dengan upaya perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak cipta
secara represif ini, selain upaya tersebut diatas, masih ada upaya hukum yang
lain yaitu dengan melalui jalur Non Litigasi yang diatur melalui pasal 65
UUHC 2002, menyatakan selain penyelesaian sengketa melalui Pengadilan
Niaga, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan sengketa melalui
Arbitrase atau Alternative Penyelesaian Sengketa. Penyelesaian sengketa
alternative ini merujuk pada ketentuan UU.No.30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternative Penyelesaoan Sengketa. Adapun tujuan UU>No.30
tahun 1999 ini adalah apabila dalam hal terjadinya pelanggaran hak cipta, para
pihak dapat menyelesaiakan masalahnya secara sepakat melalui jalur Non
Litigasi dan tidak melakukan upaya hukum represif seperti tersebut diatas.
5.2. Kerangka berfikir
Berdasarkan landasan teori yang diacu untuk pengkajian permasalahan dapat
diajukan kerangka berfikir bahwa adanya ketentuan-ketentuan peraturan di bidang
32
Hak Cipta dimaksudkan sebagai alat rekayasa terhadap masyarakat Indonesia yang
budaya hukumnya komunal dalam kaitannya dengan perlindungan hukum Hak Cipta.
Adanya ketentuan - ketentuan peraturan di biang hak cipta merupakan produk yang
berasal dari negara barat melalui Convensi Berne dan selanjutnya dituangkan
kedalam TRIPs Agreement, selanjutnya oelh negara Indonesia diratifikasi melalui
Undang-undang No.7 tahun 1994, sebagai konsekwensinya negara Indonesia
berkewajiban untuk mnegharmonisasikan sistim hukum HKI sesuai dengan standar –
standar yang diterapkan dalam TRIPs. Adapaun system perlindungan yang dianut
adalah system Individual Right yaitu suatu karya intelektual harus dihargai dan di
berikan perlindungan secara eksklusif darena dihasilkan melalui proses yang panjang
dan berat baik dari segi wktu, tenaga, pikiran, biaya yang mempunyai nilai ekonomi
yang sangat tinggi. Di sisi lain Indonesia sebagai bagian dari negara timur memiliki
sistem perlindungan HKI yang menganut konsep komunal (komunal Right) artinya
bahwa suatu hasil karya intelektual seseorang adalah milik bersama, artinya jika
orang lain mempergunakan hasil karya intelektual tanpa seijin pemiliknya dianggap
bukan suatu pelanggaran. Namun dengan diberlakukannya UUHC No.19 tahun 2000,
maka terhadap hak cipta termasuk karya cipta seni karawitan (instrumental) akan
diberikan perlindungan hukum oleh ketentuan UUHC No.19. tahun 2002.
Menurut pendapat dari Ehrlich yang menyatakan bahwa hukum dalam
pelaksanaanya biasa berjalan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Jika teori diatas dikaitkan dengan perlindungan hukum di Indonesia,
maka konsep perlindungan HKI yang tertuang dalam perundang-undangan belum
33
berakar dari konsep hukum Indonesia yang lazim menganut konsep komunal, namun
system perlindungan HKI yang berasal dari Negara barat menganut konsep Individual
Right. System perlindungan HKI yang dianut oleh negara barat mengacu pada teori
Robert M. Sherwood yaitu :
1. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah
dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/ pencipta atau pendesain
harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upau-upaya kreatif dalam
menemukan/ menciptakan karya – karya intelektual.tersebut.
2. Recovery Theory, berpa pengembalian terhadap apa yang telah dikeluarkan
penemu/pencipta/pendesain yakni biaya, waktu dan tenaga dalam proses
menghasilkan suatu karya.
3. Incentive Theory, berupa insentif yang diberikan kepada
penemu/pencipta/pendisain untuk mengembangkan kreatifitas dan
mengupayakan tercapainya kegiatan – kegiatan penelitian yang berguna.
4. Risk Theory, berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang
dihasilkan. Suatu penelitian mengandung resiko yang dapat memungkinkan
orang lain menemukan karya yang dihasilkan atau memperbaikinya dan
resiko mungkin timbul dari pergaulan secara illegal.
5. Economic Grouth Stimulus Theory, perlindungan hak merupakan alat untuk
pembangunan ekonomi29
.
29
Ranti Fausa Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri, Di Indonesia, PT. Gramedia
Widiarsana Indonesia, Jakarta, h.44
34
Perbedaan konsep perlindungan HKI seperti itu, tentu sangat berpengaruh
terhadap efektifitas pelaksanaan hukum atas karya cipta seni karawitan, yang
dituangkan dalam Undang-undang Hak Cipta di Indonesia yang menganut konsep
hukum Komunal. Berkaitan dengan efektifitas, suatu ketentuan perundang-undangan
yang berlaku pada masyarakat dapat mengacu pada terorinya Max Webber yang
dikembangakan oleh Talcott Parsons. Menurut teori aksi, perilaku adalah hasil suatu
keputusan subyektif dari pelaku atau aktor. Dalam bukunya The structure of social
action, Parsons mengemukakan karakteristik tidakan sosial sebagai berikut :
1. adanya individu sebagai actor
2. aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan
3. aktor memilih cara, alat, teknik untuk mencapai tujuannya
4. aktor berhubungan dengan sejumlah kondisi-kondisi situasional yang
membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut berupa
situasi dan kondisi sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan oleh
individu.
5. aktor berada di bawah kendala nilai-nilai, norma-norma dan berbagai ide
abstrak yang mempenaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan.
Sehingga efektivitas berfungsinya hukum dalam masyarakat erat kaitannya
dengan kesadaran hukum dari warga masayarakat itu sendiri. Kesadaran hukum
masyarakat berimplikasi pada penegakan hukum pada masyarakat tersebut. Menurut
Soerjono Soekanto yang menyatakan aplikasi pendekatan system penegakan hukum
terletak pada faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
35
1. faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan di batasi pada undang-
undang saja.
2. faktor penegak hukum , yakni pihak-pihak yang membentuk hukum maupun
menerapakan hukum
3. faktor sarana atau failitas yang mendukung penegkan hukum
4. faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidupnya.30
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada
efektifitas berlakunya hukum.
Berdasarkan kajian teori diatas, menjadi relevan jika dikaitkan dengan
perlindungan hukum atas karya cipta seni terutama seni karawitan bali. Upaya yang
dapat dilakukan adalah Upaya hukum Preventif atau upaya hukum Represif. Upaya
perlindungan hukum secara Preventif adalah melalui pendaftaran dan perjanjian
Lisensi. Sedangkan upaya perlindungan Represif dapat dilakukan dengan cara
menggunakan jalur Litigasi yaitu, mengajukan gugatan secara Perdata ke Pengadilan
Niaga, atau mengajukan tuntutan Pidana ke Pengadilan Umum, dan dapat juga
menggunakan jalur Non Litigasi sesuai dengan UU.No.30 tahun 1999.
30
Ibid, hal 8.
36
6. Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan sementara mengenai suatu permasalahan yang
harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan fakta/data atau informasi yang
diperoleh dari hasil penelitian yang valid dan riabel dengan menggunakan cara yang
sudah ditentukan31
. Dari landasan teori tersebut maka dibuat hipotesis sebagai
berikut:
1. Jika suatu bentuk norma baru (UUHC No.19 tahun 2002) yang dikeluarkan
dirasakan sesuai dengan hukum yang mendominasi kebutuhan kehidupan
masyarakat, maka penerapan UUHC No.19 Tahun 2002 ini akan menjadi
efektif.
2. Jika terjadi suatu pelangaran – pelanggaran terhadap karya cipta seni
karawitan (instrumental bali) Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
Pencipta adalah :
Mendaftarkan karya ciptaannya pada Dirjen HKI
Melalui perjanjian terutama perjanjian dengan Lisensi
Mengajukan gugatan Perdata ke Pengadilan Niaga
Mengajukan tuntutan Pidana ke Pengadilan Umum
Melalui jalur Non Litigasi. ( Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan).
7. Metode penelitian
31
Sudarmayanti dan Syarifudin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju,
Bandung, hal. 108
37
7.1. Jenis penelitian
Penelitian mengenai “Perlidungan Hukum Undang – Undang No. 19 Tahun
2002 terhadap Pencipta Seni Karawitan Bali” adalah penelitian yuridis empiris yang
menggunakan data sekunder sebagai data awal untuk kemundian di lanjutkan dengan
data primer atau data lapangan. Ini berarti penelitian yuridis empiris tetap bertumpu
pada premis normatif diman definisi oprerasionalnya dapat diambil dari peraturan
perundang-undangan untuk kemudian melihat pada kenyataanya yang terjadi di
lapangan.
7.2. Sifat Penelitian
Penelitian tentng “Perlidungan Hukum Undang – Undang No. 19 Tahun 2002
terhadap Pencipta Seni Karawitan Bali” adalah penelitian yang bersifat deskriptif,
bertujuan untuk menggambarakan secara tepat sifat – saifat individu, keadaa, gejala,
atau kelompok tertentu, atau menentukan penyebaran, suatugejala, atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan anatara suatu gejala dengan gejala lain dalam
masyarakat32
.
7.3. Data dan Sumber Data
7.3.1. Data
Dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang bersumber dari pihak-pihak yang terlibat dalam kasus atau
32
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op cit , h.25.
38
masalah yang menjadi obyek penelitian dengan kata lain data yang diperoleh dari
penelitian lapangan. Sedangkan data sekunder terdiri dari bahan hukum primer yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum, bahan hukum
sekunder yang bersumber dari buku-buku ilmu hukum dan tulisan-tulisan hukum33
.
7.3.2. Sumber data
a. Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian di lapangan yang
didapat langsung dari masyarakat, dalam dal ini yaitu masyarakat pencipta
yang menghasilkan karya-karya cipta.
b. Data sekunder adalah data yang besumber dari penelitian kepustakaan yaitu
dengan meneliti bahan-bahan hukum.
7.4. Teknik Pengumpulan Data
7.4.1.Teknik Pengumpulan Data Sekunder dilakukan dengan cara Studi
kepustakaan yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan
membaca, menelaah, mengklarisifikasikan, mengidentifikasi, dan dilakukan
pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan, konvensi
serta buku literatur yang ada dengan permasalahan diatas, hasil dari kegiatan
pengkajian tersebut kemudian di buat ringakasan secara sistematis sebagai
intisari hasil pengkajian studi dokumen.
33
Abdulkdir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Badung,
hal. 202
39
7.4.2.Teknik Pengumpulan Data Primer dilakukakan dengan studi lapangan
yaitu suatu cara untuk memperoleh data dengan cara terjun langsung ke
lapangan. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data primer yang dilakukan
dengan wawancara.
7.5. Lokasi Penelitian dan Tehnik Pengambilan Sampel
7.5.1. Lokasi penelitian
Adapun lokasi penelitian meliputi (2)dua lokasi yaitu Kabupaten Gianyar,
Kota Madya Denpasar. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan
bahwa kedua lokasi tersebut mempunyai banyak seniman alam yang membidangi
seni karawitan yang dapat dijadikan obyek penelitian, Perusahaan Rekaman Maharani
Record, Bali Record, Bali TV, TVRI dan Departemen Kebudayaan Provinsi Bali,
Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Bali, sebagai instansi yang terkait
dengan keberadaan HKI, ISI Denpasar, sehingga lokasi tersebut memenuhi kriteria
yang diperlukan dan dapat mewakili karakteristik penelitian yang dilakukan.
7.5.2. Teknik Pengambilan Sampel
Secara metodelogis, pengambilan sample dapat dibedakan menjadi teknik
probility sampling dan teknik non probolity sampling. Salah satu teknik dari non
probility sampling adalah secara proposive sampling yang mana sample dipilih
berdasarkan pertimbangan/ penelitian suibyektif dari penelitian, dalam hal ini peneliti
menentukan sendiri responden dan informan mana yang dianggap dapat mewakili
40
populasi. Dalam penelitian ini, responden dan informan yang akan dipilih menjadi
sampel adalah responden yang memiliki karakteristik pemilihan yaitu pemilik karya
cipta dan informanya adalah pihak –pihak dari instansi terkait, produser rekaman,
termasuk para akademisi dan pengamatperkembangan Hak Kekayaan Intelektual,
damana pengambilan data akan dihentikan apabila data telah mendekati kesamaan.
7.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Untuk pengolahan dan analisis data yang diperoleh dari penelitian baik
penelitian kepustakaan atau penelitian lapangan akan diolah dan di analisis secara
deskriptif kwalitatif yaitu penyusunan, intepretasi, pemahaman makna dengan
mengkaitkan ketentuan yang berlaku dengan kondisi masyarakat kemudian disajikan
secara secara sitematis.
41
BAB II
TINJUAN UMUM TENTANG HAK CIPTA, SENI KARAWITAN DAN
KONSEP PERLINDUNGAN HUKUMNYA
2.1 Hak Cipta dan Konsep Perlindungannya
2.1.1 Pengertian Hak Cipta.
Istilah hak cipta di usulkan pertama kali oleh St. Moh. Syah Pada Kongres
Kebudayaan di Bandung tahun 1951 yang kemudian diterima oleh Kongres tersebut,
sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan
pengertiaanya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah
bahasa Belanda Auteurs Rechts 34
Secara yuridis istilah hhak cipta telah dipergunakan dalam UUHC No.6
Tahun 1982, UUHC No.7 Tahun 1987, UUHC No. 12 Tahun 1997 dan UUHC No.
19 Tahun 2002. Sebagai istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam
Auteurswet1912.
Pengartian Hak Cipta yang lebih luas, diatur dalam pasal 1 butir 1 UUHC
No. 19 Tahun 2002, yang menyatakan, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
maupun penerima hak cipta utnuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
34
Ajip Rasidi,1984, Udang-Udang Hak Cipta 1982, Pandangan Seorang Awam, Djambatan,
Jakarta, hal 3.
42
Hak eksklusif yang dimaksud pada pasal 1 butir 1 UUHC 2002, adalah tidak
ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut kecuali dengan izin dari
penciptanya. “Istilah tidak ada pihak lain” mempunyai pengertian yang sama dengan
hak tunggal, yang menunjukkan hanya pencipta saja yang boleh mendapatkan hak
semacam itu, dan inilah yang dimaksud dengan hak yang bersifat eksklusif. Eksklusif
berarti khusus, unik. Keunikan itu sesuai dengan sifat dan cara menghasilkan hak
cipta. Tidak semua orang bias dengan serta merta menjadi seorang peneliti,
komponis, atau sastrawan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat
memilikinya.35
Hak cipta merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual, disamping Hak
Cipta hak kekayaan intelektual juga mengenal hak milik perindustrian yang terditi
dari Hak Merek, Hak Paten, Desain Industri, Desai Tata Letak Sirkuit Terpadu,
Rahasia Dagang dan Perlindungan Varietas Tanaman.
Sementara itu pengertian hak cipta menurut World Intellectual Property
Organization adalah : “ Copyright is alegal form dicribing right given to creator for
the literary and artistic work” Hak Cipta adalah terminology hukum yang
menggambarkan hak-hak yang diberikan kepada pencipta untuk karya-karya mereka
dalam bidang seni dan sastra.36
35
Budi Agus Riswandi. M. Syamsudin, 2004, Hak kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2. 36
Husain Audah 2004, Hak Cipta & Karya Cipta Musik, PT. Pustaka Litera Antara Nusa,
Bogor, hal 6.
43
Menurut Hanafi, secara hakiki hak cipta termsuk hak milik immaterial
karena menyangkut ide, gagasan pemikiran, imajinasi dari seseorang yang dituangkan
ke dalam bentuk karya cipta, seperti buku ilmiah, karangan sastra, maupun karya
seni.37
Pengertian hak cipta menurut Copyright Convention Universal dalam pasal
V menyatakan bahwa, hak cipta meliputi hak tunggal si Pencipta untuk membuat,
menerbitakan, dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang
dilindungi perjanjian ini.38
Pengertian hak cipta menurut Universal Copyrigt Convention, ini juga
memberikan pengertian tentang hak cipta lingkupnya masih sempit, sebab yang
dimasukkan dalam pengertian ini hanya hak pencipta dari hasil karya tulis saja,
namun sebenarnya cakupan dari hak cipta lebih luas dari itu, termasuk juga hasil
karya di bidang seni, yang bukan merupakan suatu karya tulis, seperti karya lukis,
seni tari, seni karawitan, dan lain-lainnya.
Menurut Hutauruk ada dua unsur penting yang terkandung dari pemahaman
hak cipta yaitu :
1. Hak Ekonomi, hak yang dapat dipindahkan, dialihkan pada pihak lain
2. Hak Moral, dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak
dapat ditinggalkan haknya pada barang atau benda tersebut ( seperti,
37
Insan Budi Maulana dkk, 2000, Tindak Pidana Hak Cipta Dan Problematika Penegakan
Hukumnya, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual, Pusat Studi Hukum UII, Jogyakarta, hal. 189
(selanjutnya disebut Insan Budi Maulana II) 38
OK. Saidin, Op Cit, hal. 59.
44
mengumumkan karyanya, menetapakan judul-judlnya, mencantumkan
nama sebenarnya, atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan
dan integritas ceritanya)39
Hak moral tercantum dalam pasal 24 UUHC 2002, yang menurut ketentuan
pasal diatas dapat merujuk pada Konvensi Berne dalam pasal 6 bis yang berbunyi : “
The moral right or paternity or attribution and the right of integrity”40
Hak Cipta sesuai dengan Konvensi Berne selain di rujuk di Indonesia juga dirujuk
oleh Negara lainnya seperti Negara Australia yang memberikan pengertian Hak Cipta
Copyright is : The basic principle behind copyright protection int the concept that an
outhor for artist, ( musicion, play wrigth or film maker), should have the right to
exploit their work without other being allowed to copy that creative output. 41
Hak Cipta walupun hak isitmewa yang hanya dimiliki oleh Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UUHC 2002, namun
penggunaan dan pemanfaatan hendaknya berfungsi social, artinya hasil karya cipta
atau ciptaan bukan hanya dinikmati oleh pencipta saja, melainkan dapat dinikamati,
dimanfaatkan, dan digunakan oleh masyarakat luas, sehingga ciptaan itu mempunyai
nilai guna di samping nilai moral dan ekonomis.
39
Hutauruk, 1982, Pengaturan Hak Cipta Nasional, Erlanga, Jakarta, hal. 11 40
Anne Fitzgerald, 1999, Intellectual Property, LBC Information Services NSW, Sydney,
Hal. 62 41
Mc Keough Stewart, 1997, Intellectula Property In Australia, Butter Wrths Sydney, hal.
119.
45
2.1.2 Konsep Perlindungan Hak Cipta.
Perlindungan hukum terhadap karya-karya intelktual manusia sangat penting
artinya, terutama masyarakat barat serta masyarakat industri maju yang memelopori
perkembangan system hukum HKI ini sangat concern menyikapi perlindungan
hukumnya, mengngat karya-karya yang masuk dalam lingkuo HKI baik yang berupa
karya seni, sastra, penemuan teknologi, desain, merek dan karya HKI lainnya adalah
merupakan hasil kreativitas intelektual manusia yang lahir dari proses yang sangat
panjang, dengan pengorbanan berat, baik dari segi waktu, tenaga, biaya dan pikiran.
Hasil kreativitas intelektual dengan proses yang demikian mendalam sebagaimana
disebutkan diatas, memeiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, hasil karya pada
hakekatnya merupakan kekayaan pribadi dari mereka uang menemukannya,
menciptakan, maupun mendesain. Oleh karena itu sudah sepatutnya kepada mereka
diberikan perlindungan hukum secara individual yaitu dalam bentuk Hak Ekskusif
atas karya yang dilahirkannya42
.
Perlindungan terhadap hasil karya Hak Cipta seni karawitan, secara nasional
terdapat pada UUHC 2002. Mengacu pada pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Hak
Cipta adalah, hak eksklusif bagi Pencipta atau Penerima Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memrberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
42
Richard Burton Simatupang, Op Cit, Hal. 85
46
Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa, Hak Cipta dapat beralih atau dapat
dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena :
1. Pewarisan
2. Hibah
3. Wasiat
4. Perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan.
Pasal 12 ayat (1) UUHC 2002, menyatakan bahwa Ciptaan yang dilindungi adalah :
a. buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out), karya tulis
yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis yang lain;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama
musical,tari,koreografi, pewayangan dan pantomime;
e. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir,
seni kaligrafi, seni pahat, seni patung kolase dan seni terapan;
f. Arsitektur;
g. Peta;
h. Seni batik;
i. Foto grafi;
j. Simatografi;
47
k. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, data base dan data karya
lainnya dari hasil pengalihwujudan.
Ayat (2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf I, dilindungi sebagai
ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan Asli.
Ayat (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah
merupakan suatu bentuk yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya
itu.
Pasal 45 ayat (1) menyatakan bahwa, Pemegang Hak Cipta berhak
memberikan Lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 UUHC 2002.
Perlindungan karya cipta selain diberikan pada karya cipta manusia yang
berbentuk karya cipta nyata, yang bersumber dari intelektualnya juga harus
mengandung unsure keaslian (original). Konsep keaslian atau originalitas sebagai
salah satu unsure perlindungan hak cipta dalam UUHC 2002 dituangkan dalam
ketentuan pasal 5 ayat (1) menyatakan kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap
sebagai Pencipta adalah :
a. orang yang terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jendral;
atau
b. Orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai
Pencipta pada suatu Ciptaan.
48
Menurut Miller dan Davis mengemukakan pemberian Hak Cipta didasarkan
pada kriteria keaslian atau kemurnian (originality), yang pentung ciptaan tersebut
benar-benar berasal dari Pencipta yang sebenarnya, dan bukan merupakan hasil
jiplakan atau peniruan dari hasil karya orang lain.43
.
Senada dengan Miller dan Davis, Rahmi Jened dalam bukunya menyatakan
bahwa Undang-undang Hak Cipta Indonesia menetapkan perlindungan hak cipta
diberikan pada yang bersifat pribadi dengan memenuhi pesyaratan keaslian
(originality), berdasarkan kemampuan piliran. Imajinasi, kreativitas (creativity) dan
dalam bentuk khas (fixion).44
Kriteria originality dalam ketentuan Hak Cipta sesuai dengan teori hukum
dalam Hak Cipta yang mengatur suatu standar perlindungan Hak Cipta (Standart of
Copyrhights ability) yang dikemukakan oleh Earl W. Kintner dan Jack Lahr,
menjelaskan bahwa :
1 Originality: the world “ originality” ..or the test of “originality” is not that
the work to be novel or unique. Even a work based upon something already
in public domain may well original.
2 Creativity: creativity as a standart of copyright ability is to great degree
simply measure of originality. Although a work that merely copies exactly
a prior work may be held not to be origil, if the copy entails the
43
Ida Bagus Wyasa Putra, Op Cit, hal. 118. 44
Rami Jened, 2006, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Ekslusif, Air Langga
Universitas Press, Surabaya, hal. 60.
49
independent creative judgement of the author in its production, that
creativity will render the work original;
3 Fixation : A work is fixed in a tangible medium of expression its
embodiment in a copy or phonerecord by on under the outhirity of author,
is sufficient permanent or stable to permit to be perceived, reproduced or
otherwise communicated for a period of more than transitory duration. A
work consisting of sound imeger or both, that a being made simultaneously
with transmision45
Berdasarkan Standar Copyrights of Ability dapat diketahui bahwa, Ciptaan
atau karya cipta yang mendapatkan perlindungan hak cipta adalah karya cipta yang
dalam penuangannya harus memiliki bentuk khas dan menunjukkan keasliannya
sebagai Ciptaan seseorang yang bersifat pribadi.
Selain keaslian dari suatu Ciptaan sebagai lingkup konsep perlindungan Hak
Cipta, juga perlindungan hukumterhadap hasil karya cipta diperoleh oleh Pencipta
secara otomatis, artinya tanpa melalui proses pendaftaran terlebih dahulu Pencipta
secara otomatis sudah mendapat perlindungan hukum atas karya ciptaanya tersebut
sudah diwujudkan dalam bentuk karya nyata.
Konsep perlindungan otomatis dalam Undang-Undang Nasional Indonesia terdapat
pada ketentuan pasal 35 ayat (4) UUHC 2002 yang menentukan bahwa pendaftaran
45
Earl W. Kintner dan Jack Lahr, 1983, An Intellectual Property Law Primer, Clark
Boerdman, New York, hal. 346
50
suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Berdasarkan ketentuan tersebut
pendaftaran Hak Cipta bersifat tidak mutlak, pendaftaran
Perolehan dan perlindungan Hak Cipta bersifat otomatis, tersirat dalam
article 5 (2) ini, yang menyatakan Pencipta akan menikmati perlindungan yang sama
seperti diperoleh mereka daalam Negara sendiri pada Negara-negara lain yang
tergabung dengan Konvensi Berne46
Menurut Sudargo Gautama, perlindungan yang diberikan oleh article 5 (2)
Konvensi Berne, adalah terutama dari orang-orang untuk karya pada Negara-Negara
lain, si Pencipta diberikan perlindungan dengan tidak menghiraukan apakah ada atau
tidak ada perlindungan yang diberikan oleh Negara asal. Perlindungan yang diberikan
adalah bahwa Pencipta yang tergabung dalam Negra-negara yang terkait dalam
Konvensi Berne memperoleh hak yang sama dengan Negara diaman mereka
mengumumkan karya ciptanya.
Meskipun menuruthukum hak cipta perlindungan hukumnya bersifat
otomatis yang diperoleh pencipta sejak ciptaan lahir, dan tidak harus melalui proses
pendaftaran, namun kalau dilakukan pendaftaran akan lebih baik dan lebih
menguntungkan, karena dengan pendaftaran hak, setidaknya akan ada bukti formal
sebagai anggapan adanya hak cipta jika tidak terbukti sebaliknya47
Berkaitan dengan perlindungan hak cipta ini, menurut Holmes, menyatakan
bahwa, while regritation is not mandatary, it it highlydesirable for a number
46
Rahmi Jened, Op Cit, hal. 74 47
Ni Ketut Supasti Dharmawan dkk, Op cit, hal. 16-17.
51
omportant reasons. Registration of the copyright is a statutory prerequisite to
instituting an infringement action. It is also a prerequisite to recovering special
statutory damages is additions, a certificate,” prima” avidence of the validity of the
copyright, Finally, registration is necessary for transfer of ownership48
.
Holmes pada prinsipnya mengemukakan bahwa pendaftaran tidak
merupakan keharusan, karena tanpa pendaftaran hak cipta telah ada, diakui dan
dilindungi. Meski pendaftaran tidak merupakan kewajiban, namun ada keinginan
yang sangat besar untuk mendaftarkan ciptaan dengan alasan yaitu pendaftaran
adalah persyaratan untuk menetapakan adanya gugatan atas pelanggaran. Pendaftaran
juga merupakan pesyaratan untuk memperoleh ganti rugi. Surat pendaftaran Hak
Cipta menetapkan bukti awal bagi si Pencipta akan hak ciptanya. Pendaftaran
dibutuhkan untuk peralihan kepemilikan untnuk memberikan pengumuman bagi
pihak ke tiga tentang adanya peralihan kepentingan.
Sehubungan dengan pendapat Holmes diatas, maka dengan adanya proses
pendaftaran jika terjadi pelanggaran karya cipta, si Pencipta lebih mudah
membuktikan dan mengajukan tuntutan, karena ada bukti formal pendaftaran. Dalam
hak cipta untuk lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan menguatkan adanya
perlindungan hukum atas karya cipta, si Pencipta atau pemegang hak cipta umumnya
akan membubuhkan tanda huruf c dalam karya ciptaanya, sebagai bukti bawha karya
ciptanya tersebut sudah mendapatkan perlindungan hak cipta.
48
William C.Holmes, 1983, Intellectual Property and Antitrust Law, Clark Boardman, New
York, hal. 31
52
Pentingnya perlindungan Hak Cipta dan rezim perlindungan HKI, selain
dapat diketahui melalui ketentuan secara khusus yang pengaturan perlindungan HKI
termasuk Hak Cipta dapat diketahui melalui ketentuan yang bersifat umum yaitu pada
Declration of Human Right, Pasal 27 ayat (1) yang bunyinya sebagai berikut : “
everyone has the right freely to participate in the culture life of the community, to
enjoy the and to share in scientific advancementand its benefits”49
Suatu hasil karya intelektual yang mendapatkan perlindungan hak cipta
adalah karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya –karya
tersebut baru mendapat perlindungan hukum apabila telah diwujudkan sebagai
ciptaan yang berwujud atau berupa ekspresi yang sudah dapat dilihat, dibaca,
didengarkan. Hukum Hak Cipta tidak melindungi ciptaan yang masih berupa ide
(idea) semata, bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya sebagai ciptaan
seseorang yang bersifat pribadi.
Pengaturan Hak Cipta
2.2.1 Pengaturan Hak Cipta Di Indonesia
a. UUHC No. 6 Tahun 1982 ( UUHC 1982)
UUHC No. 6 Tahun 1982, adalah sebagai pengganti dari Auteurswet 1912
yang merupakan UUHC zaman kolonial Belanda. Latar Belakang dikeluarkannya
UUHC 1982 adalah : Dalam rangka pembangunan dibidang hukum demi mendorong
49
Hendra Tanu Atmaja, 2004, Perlindungan Hak Cipta Musik atau Lagu, Hatta
Internasional, Jakarta, hal.20.
53
dan melindungi pencipta, penyeberluasan hgasil karya cipta,seni sastra dan ilmu
pengetahuan, serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa perlu
dibentuk Undang-undang tentang Hak Cipta, sebagai pengganti Auteurswet 1912,
karena sudah tidak relevan (tidak sesuai) lagi dengan kebutuhan dan cita-cita hukum
Nasional.
Selain itu UUHC 1982, juga memasukan unsure-unsur perkembangan
teknologi dan unsure kepribadian bangsa yang menyeimbangkan kepentingan
individu dan masyarakat. Lebih lanjut dengan terbentuknya UUHC 1982,
memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta, walupun dalam
konsep perlindungan hak cipta tahun 1982 menganut system pendaftaran diterima
dengan tidak terlalu mengadakan penelitian mengenai hak pemohon, kecuali sudah
jelas adanya pelangaran hak cipta.50
b. UUHC No. 7 Tahun 1997
UUHC 1982, setelah berjalan kurang lebih 5 tahun, menemui banyak
permasalahan, terutama sebagai akibat kemajuan teknologi elektronik pada abad ke
dua puluh ini, khususnya setelah adanya program computer sebagai perangkat lunak,
merupakan hasil ciptaam yang memerlukan perlindungan hukum.51
Dalam pelaksanaan UUHC No 6 tahun 1982, sering dijumpai adanya tindak
pidana pembajakan terhadap hak cipta. Laporan masyarakat khususnya yang
tergabung dalam berbagai asosiasi profesi yang berkepentingan dengan hak cipta di
50
Hendra Tanu Atmaja, Op Cit, hal. 56 51
Hutauru, Op Cit, hal. 105
54
bidang lagu, music, buku, penerbit, film, rekaman video, computer menyatakan
bahwa pelanggaran terhadap hak cipta sudah berlangsung lama, semakin marak dan
meluas. Hal ini dapat mengurangi kreativitas dan produktivitas Pencipta, disamping
kerugian Negara akibat hilangnya penerimaan pajak.
Selain alasan diatas UUHC1982 perlu diubah karena beberapa factor antara lain :
1. Meningkatnya jumlah pelanggaran yang sampai pada tingkat yang
membahayakan.
2. Kurangnya perlindungan hukum atas ciptaan yang berasal dari dalam
negeri.
3. Ancaman pidana terlalu ringan sehingga di anggap kurang mampu
menangkal pelanggaran Hak Cipta.
4. Bentuk ancaman pidana yang pada UUHC1982 adalah delik aduan,
sedangkan UUHC1987 menjadi delik biasa.
Perubahan yang penting lainnya adalah mengenai jangka waktu
perlindungan hak cipta UUHC1982, menentukan perlindungan hukum selama hidup
pencipta dan ditambah 25 tahun setelah pencipta meninggal dunia, dan khusus untuk
karya cipta fotografi dan sinematografi jangka waktu perlindungannya adalah 15
tahun terhitung sejak ciptaan itu diumumkan pertama kalinya. Namanu dalam
UUHC1987, jangka waktu perlindungan diperpanjang menjadi seumur hidup
ditambah 50 tahun setelah si pencipta meninggal dunia, untuk karya cipta yang
bersifat turunan dan derivative jangka waktu perlindungan adalah selama 50 tahun
terhitung sejak karya cipta tersebut diumumkan.
55
Disamping itu digantinya UUHC1982 dengan UUHC1987 adalah karena
adanya tekanan-tekanan internasional,terutama dari Negara Amerika, karena Dr.
Arpad Bogch salah satu anggota komisi Eropa dan World Intellectual Property
Organisation (WIPO) dari Amerika mengunjungi Indonesia untuk mengadakan
pembicaraan tentang kemungkinan perubahan Undang-undang HKI di Indonesia,
termasuk Hak Cipta.52
Karena Amerika dihadapkan pada pembajakan besar-besarab
dan tindakan peniruan dan pemalsuan produksi di Indonesia. Amerika memanfaatkan
kebijakan perdagangan sebagai alat dalam menekan pemerintah Indoenesia untuk
melakukan perbaikan-perbaikan di bidang perlindungan HKI.
Berkaitan dengan UHC1987, yang sangat penting dicermati adalah
penyempurnaan yang mencakup ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan
terhadap karya cipta yang tidak diketahui penciptanya, maka Negara memegang hak
cipta atas ciptaan tersebut kecuali terbukti sebaliknya sebagaimana termuat dalam
pasal l0A UUHC 1987.53
c. Undang-undang Hak Cipta No.12 Tahun 1997 (UUHC 1997)
UUHC 1997 lahir karena desakan dari dunia Internasional terutama dari
Negara Amerika Serikat, Uni Eropa. Namun karena adanya perkembangan baru,
dirasakan perlu untuk mengadakan perubahan-perubahan lagi dan penyempurnaan
atas UUHC 1987.
52
Bambang Kesowo, `994, Ketentuan-Ketentuan GATT yang Berkaitan Dengan Hak Milik
Intelekual ( TRIPs), makalah dalam seminar sehari, “ Dampak GATT/Putaran Uruguay Bagi Dunia
Usaha, “Departemen Perdagangan RI, Jakarta, hal.36 53
Hendra Tanu Atmaja, Op Cit, hal.69
56
Penyempurnaan UUHC1987, dilaksanakan melalui UUHC 1997.
Penyempurnan ini bertujuan untuk memyesuaikan UUHC tersebut dengan TRIPs,
karena partisipasi Negara Indonesia sebagai salah satu Negara peserta Organisasi
Perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO), yang memberikan
konsekwensi bahwa Indonesia berkewajiban untuk menyesuaikan peraturan
perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dengan persetujuan
Internasional.54
Secara umum bidang dan arah penyempurnaan yang dilakukan terhadap UUHC1987
menjadi UUHC 1997 adalah :
1. Berdasarkan UUHC 1997 ada ketentuan baru pada pasal 2, yaitu tentang
pengaturan hak penyewaan (Rental Right). Penambahan ini karena keikut
sertaan Indonesia pada persetujuan TRIPs, dalam TRIPs menyatakan bahwa
untuk karya cipta seperti program computer dan karya sinematografi,
ditentukan oleh penyewaan yang diberikan kepada pencipta atas penyewaan
karya tersebut. Berdasrkan ketentuan ini pemilik hak cipta berhak atas
bagian penghasilan dari usaha-usaha penyewaan video, film, dan program
computer.
2. Memasukan ketentuan Konvensi Interbasional
3. Penambahan ketentuan mengenai perlindungan terhadap hak-hak yang
berkaitan dengan hak cipta (Nighboring Right) yang meliputi perlindungan
terhadap :
54
Hendra Tanu Atmaja, Loc Cit, hal.75
57
- Produsen Rekaman (Producers of Phonogram)
- Pelaku (Performer)
- Lembaga Penyiaran (Broadcasting Organization)
4. Undang-Undang HAk Cipta No.12 Tahun 1997 mebambah pasal dengan
satu pasal baru yaitu pasal 38A tentang pemberian Lisensi dengan maksud
sebagaimana diuraikan dalam penjelasan yang berbunyi sebagai berikut :
Penambahan pasal baru mengenai Lisensi ini di maksudkan untuk
memberikan landasan pengaturan bagi proyek pelesensian yang berlangsung
di bidang hak cipta.
5. Undang-Undang HAk Cipta No.12 Tahun 1997, menambah Bab V, yaitu
Bab V yang berjudul hak-hak yang berkaitan dengan Hak Cipta dalam satu
pasal yakni pasal 43 C. Penambahan ini sebagai tindak lanjut keikut sertaan
Indonesia pada persetujuan TRIPs yang diatur dalam pasal 14 tentang
perlindungan terhadap pelaku (Performer), produser rekaman suara dan
lembaga-lembaga siaran. Selanjutnya, pasal 38 C menyebutkan agar dapat
mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, maka perjanjian lisensi
wajib didaftarakan pada kantor hak cipta.
d. Undang – undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 (UUHC2002).
Penyempurnaan UUHC 2002 didasarkan pada berbagai pertimbangan yang
pada intinya dimaksudkan lagi untuk lebih memberikan perlindungan kepada para
pencipta dan pemegang hak terkait dengan keseimbangan untuk kepentingan
masyarakat pada umumnya. Termasu dalam hal ini adalah untuk kepentingan
58
masyarkat pada umumnya. Termasuk dalam hal ini adalah untuk mengakomodasi
beberapa ketentuan dalam TRIPs dan WIPO yang belum dempat diakomodasi
kedalam UUHC1997.
UUHC 2002, dapat dikatakan secara signifikan berbeda dengan UHHC
1997. UUHC 2002 berupaya agar ketentuan –ketentuannya lebih disesuaikan dengan
pedoman standar yang digariskan olehTRIPs. Undang-Undang Hak Cipta yang baru
ini, disamping penyempurnaan juga terdapat penambahan yang diatur dalam Undang-
Undang sebelumnya, antara lain; data base merupakansalah satu Ciptaan yang
dilindungi (pasal 12 UUHC2002). Penggunaan alat baik melalui kabel maupun tanpa
kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optic
(optical disk) melalui media audio, media audio visual dan/sarana telekomunikasi
(pasal 28 UUHC 2002).
Perubahan yang lain diatur dalam UUHC 2002 adalah adanya penyelesaian
sengketa oleh Pengadilan Niaga, Arbitrase, atau penyelesaian sengketa alternative
(pasal 56 dan 65 UUHC 2002). Penetapan sementara untuk mencegah kerugian lebih
besar bagi pemegang hak cipta datur dalam pasal 67 UUHC 2002, sedangkan dalam
pasal 59 dan pasal UUHC 2002, mengatur tentang batas waktu proses perkara perdata
dibidang hak cipta dan hak terkait, baik Pengadilan Niaga maupun Makamah Agung.
Pasal 25 dan pasal 27 UUHC 2002 mengatur tentang, mencantumkan hak
informasi manajemen elektronik dan sarana control teknolog, sedangkan dalam pasal
72 UUHC 2002, mengatur tentang ancaman pidana dan denda minimal, ancaman
pidana terhadap perbanyakan pengunaan program computer untuk kepentingan
59
komersiil secara tidak sah dan melawan hukum, dan pasal 73 UUHC 2002 mengatur
tentang alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana hak cipta di rambil
oleh Negara untuk dimusnahkan.
Dimulai dari Bab I, tentang ketentuan umum, banyak terminology hak cipta
yang baru disisipkan kedalamnya, seperti pasal 1 yang sebelumnya tidak ada, hal ini
dimaksudkan untuk menyesuaikan ketentuan standar yang ditetapkan TRIPs.
Terminologi dan pengertian yang dimasukan ke dalam UUHC 2002, antara lain Hak
Cipta, pengumuman, perbanyakan, Hak Terkait, Permohonan, Lisensi dan Kuasa.
Bab II, lingkup Hak Cipta yang sama sekali baru dan tidak terdapat dalam
UUHC sebelumnya adalah pasal 4 ayat (2) UUHC 2002, memuat tentang : hak cipta
yang tidak atau belum diumumkan setelah penciptanya meninggal dunia, menjadi
milik ahli warisnya ataumilik penerima wasiat, dan hak tersebut tidak dapat disita,
kecuali hak itu diperoleh secara melawan hukum, sedangkan dalam pasal 10 ayat (3),
menyatakan untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2)
orang bukan Negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapt ijin dari istansi yang
terkait dalam masalah tersebut, dalam pasal 11 ayat (3) : menyatakan, jika suatu
Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya dan/atau penerbitnya,
Negara memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.55
55
Hendra Tanu Atmaja, Op Cit, hal. 89-90.
60
2.2.2 Konvensi – Konvensi Internasional Hak Cipta
a. Konvensi Berne ( Berne Convention )
Mengenai perlindungan hukum HAk Cipta sesuai dengan ketentuan
internasional, ada beberapa konvensi yang mengatur tentang Hak Cipta. Setelah
diadakannya Konvensi Paris ( Paris Convention) pada tahun 1883 di Paris, yang
mengatur tentang HKI secara umum, maka pada tahun 1886 dibentuk sebuah
konvensi di bidang hak cipta yang dikenal dengan International Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works ( sering disingkat dengan ( Berne
Convention) yang ditanda tangani di Berne56
. Berne Convention adalah Konvensi
multilateral terpenting dalam Hak Cipta. Indonesia pernah menjadi anggota Konvensi
Bernepada tahun 1959, namun kemudian keluar dan kembali menjadi anggota melalui
Keppres No. 8 Tahun 1997. dengan kembalinya Indonesia menjadi anggota Konvensi
Berne, berarti sejak tahun 1997 Indonesia wajib mentaati ketentuan-ketentuan Berne
Konvention.
Konvensi Berne berpegang pada tiga prinsip dasar yaitu :
1. Perlakuan Nasional ( Nasional Treatment )
2. Perlindungan Otomatis ( Automatic Protection )
3. Kebebasan Perlindungan ( Independentce of Protection )
56
Afrilliayana Purba dkk, 2005, TRIPs-WTO & Hukum HKI Indonesia, Rineca Cipta, Jakarta,
hal.27.
61
b. Universal Copyright Convention ( UCC)
Universal Copyright Convention ( UCC) adalah suatu konvensi hak cipta yang lahir
karena adanya gagasan dari peserta Konvensi Berne di antara Amerika Serikat yang
disponsori oleh PBB khususnya UNESCO, yaitu untuk menyatukan suatu system
hukum hak cipta secara universal. UCC ini dicetuskan dan ditandatangani di Jenewa
pada bulan September 1952, dan telah mengalami revisi di Paris pada tahun 1971.
Standar perlindungan yang ditawarkan UCC lebih rendah dan lebih fleksibel dari
pada yang ditentukan oleh Berne Convention. Menurut article 2 UCC perlindungan
hak cipta menganut prinsip Nasional Treatment. Konvensi Berne menganut system
system perlindungan secara otomatis, sebaliknya UCC mensyaratkan ketentuan
formal untuk adanya perlindungan hukum dibidang hak cipta.
Ketentuan yang monumental dari konvensi universal adalah adanya
ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap karya yang ingin dilindungi
harus mencantumkan tanda C (dalam lingkaran), disertai nama penciptanya, dan
tahun karya tersebut mulai dipublikasikan. Simbul tersebut menunjukkan bahwa
karya tersebut telah di lindungi dengan hak cipta Negara asalnya, dan telah di daftar
di bawah perlindungan hak cipta.
c. Konvensi Roma ( Roma Convention 1961 )
Berlakunya Konvensi Roma 1961 terhadap Negara-Negara anggota
persetujuan TRIPs, adalah karena di tunjukkan oleh persetujuan TRIP situ sendiri.
Konvensi Roma berisikan pengaturan tentang perlindungan bagi pelaku
pertunjukkan, produsen, rekaman suara dan organisasi penyiaran. Konvensi Roma
62
yang dirujuk pada TRIPs tidaklah merupakan keseluruhan dari ketentuan Konvensi
tersebut. Pasal-pasal yang dirujuk pada TRPIs Agreement antara lain : Pasal
1,2,3,4,5,610,12,13,14,15 dan 19.57
d. The Agreement on Trade Relected Aspect of International Property Right (
TRIPs).
Berkaitan dengan perlindungan HKI di Negara-negara berkembang muncul
suatu isu baru dalam system perdagangan internasional. HKI sebagai isu baru
dibawah topic The Agreement on Trade Relected Aspect of International Property
Right (TRIPs) atau aspek perdagangan hak kekayaan intelektual (HKI). Perjanjian
tersebut merupakan suatu yang komplek, komprehensif dan ekstensif58
.
TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum HKI guna
mendorong timbulnya inovasi, pengalihan serta penyebaran teknologi, diperolehnya
manfaat bersama pembuat dan pemakaian pengetahuan teknologi dengan cara
menciptakan kesejahteraan social, ekonomi, serta keseimbangan anatara hak dan
kewajiban. Berkaitan dengan kebutuhan Nergara untuk melindungi HKI-nya
makakehadiran TRIPs akan menjadi suatu acuan dalam pembentukan Undang-
Undang nasional di bidang HKI bagi setiap Negara termasuk Indonesia.59
Ketentuan mengenai hak cipta dan hak-hak yang terkait dengan hak cipta,
diatur dalam BAB II bagian pertama pasal 9 – 14 TRIPs, dan perlindungan hak cipta
57
Muhamad Djumhana, R Djubaidah, Op Cit, hal. 43 58
Ok. Saidin, Op Cit, hal.123 59
Eddy Damian dkk, 2002, Hak Kekayaan Intelektual suatu Pengantar, Asian Law Goup Pty
Ltdm Alumni, Bandung, hal.36.
63
pada TRIPs mengacu pada Konvensi Berne, sebagai suatu konvensi yang khusus
memberi perlindungan pada karya seni dan sastra. 60
2.2 Subyek dan Objek Hak Cipta
2.2.1 Subyek Hak Cipta
Sebagai subyek hak cipta, adalah perorangan dan badan hukum.termasuk
subyek hak cipta adalah pencipta dan pemegang hak cipta.
Menurut Volmar, setiap mahluk hidup mempunyai kewenangan atau hak, yaitu
kewenangan untuk memberikan hak-hak dan setiap hak tentu ada subyek haknya
sebagai pendukung hak tersebut.61
Setiap ada hak tentu ada kewajiban, sebagai
pendukung hak dan kewajiban disebut dengan subyek hukum yang terdiri atas,
manusia (natuurlijk person) dan badan hukum (rechtperson).62
Berkaitan dengan subyek hukum, maka yang menjadi subyek hak
cipta,adalah manusia dan badan hukum. Pasal 1 angka 1 UUHC2002 menyatakan
bahwa, pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang
atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan suatu kemampuan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan dan keahlian dituangkan dalam bentuk yang khas
dan bersifat pribadi. Pasal 1 angka 2 UUHC 2002 menyatakan bahwa pencipta
adalah, seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama melahirkan suatu ciptaan
dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
60
Eddy Damian dkk, Loc Cit, hal. 102 61
OK. Saidin, Op Cit, hal.70. 62
Mahadi, 1981, Hak Milik Dalam Sistim Hukum Perdata Nasional, BPHN, Jakarta, hal.63.
64
Berdasarkan bunyi pasal 1 angka 1 UUHC 2002, menurut Rachmadi Usman,
bahwa sudah jelas pencipta juga dapat menjadi pemegang hak cipta. Namun tidak
semua pemegang hak cipta adalah pencipta.63
Pengertian pemegang hak cipta dapat dilihat dalam pasal 1 angka 4 UUHC 2002,
yang menyatakan bahwa, Pemegang hak cipta adalah, Pencipta sebagai pemilik Hak
Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang
menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
Dengan demikian, Pencipta hak cipta secara otomatis menjadi pemegang hak
cipta, yang merupakan pemilik hak cipta, sedangkan yang menjadi pemegang hak
cipta harus dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut dari
Pencipta atau pemegan hak cipta yang bersangkutan.\
UUHC 2002 membedakan penggolongan Pencipta Hak Cipta dalam beberapa
kwalifikasi sebagai berikut :
1. Seseorang, yakni:
a. Orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum Ciptaan pada
direktorat Jendral HKI,
b. Rang yang namanya tersebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai
pencipta pada suatu ciptaan,
c. Seseorang yang beceramah tidak menggunakan bahan atau secara tidak
tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya.
63
Rachmdi Usman Op Cit, hal.114
65
d. Seseorang yang membuat ciptaan dalam hubungan dinas dengan pihak
lain dalam lingkungan pekerjaanya atau hubungan dinas berdasarkan
pesanan atau hubungan kerja atau berdasarkan atau pesanan.64
Sesuai dengan pasal 5 UUHC 2002 menyatakan :
1. Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah :
a. Orang namanya tercantum dalam daftar umum ciptaan pada Direktorat
Jendral atau:
b. Orang yang namanya tersebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai
Pencipta pada suatu ciptaan.
2. Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan
tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya, maka orang yang
beceramah dianggap sebagai pencipta ceramahnya.
Pasal 8 UUHC 2002 menyatakan :
1. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam
lingkungan pekerjaannya, pemegang hak cipta adalah, pihak yang untuk dan
dalam dinasnya, ciptaannya itu dikerjaan, kecuali ada perjanjian lain antara
kedua pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila penggunaan
ciptaan diperluas sampai keluar hubungan dinas.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi ciptaan
yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan
dinas
64
Ibid. hal 115
66
3. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan,
pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta atau pemegang
hak cipta kecuali apa diperjanjikan lain antara kedua belah pihak.
2. Dua orang atau lebih
Jika suatu ciptaan oleh beberapa orang, maka yang dianggap sebagai Penciptanya :
a. Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan yang
bersangkutan atau penghimpunnya:
b. Perancang ciptaan yang bersangkutan
Pernyataan diatas sesuai dengan ketentuan pasal 6 dan 7 UHHC 2002.
Secara lengkap Pasal 6 UUHC 2002 menyatkan bahwa jika suatu ciptaan
terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang
dianggap sebagai pencipta adalah orang yang memimpin serta mengawasi
penyelesaian seluruh ciptaan itu, atau dalam hal tidak ada orang tersebut yang
dianggap sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya, dengan tidak
mengurangihak cipta masing-masing baagian ciptaannya.
Pasal 7 UUHC 2002 menyatakan bahwa, jika suatu ciptaan dirancang
seseorang, diwijudkan dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan
pengawasan orang yang merancang, penciptanya adalah orang yang merancang
ciptaan itu.
67
3. Lembaga atau Instansi Pemerintah
Pasal 8 UUHC 2002 menyatakan,
1. Jika suatu ciptaan dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam
lingkungan pekerjaanya, pemegang hak cipta adalah, pihak yang untuk
dan dalam dinasnya, ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada perjanjian lain
antara kedua belah pihak dengan tidak mengurangi hak pencipta apabila
penggunaan ciptaan itu diperluas sampai keluar hubungan dinas.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi
ciptaan yang dibuat pihak lain berdasarkan pesanan yang dilakukan
dalam hubungan dinas.
3. Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan
pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai pencipta
atau pemegang hak cipta, kecuali diperjanjikan lan antara kedua belah
pihak.
4. Badan Hukum
Pasal 9 UUHC 2002 menyatakan ; jika suatu badan hukum
mengumumkan bahwa ciptaan berasal dari padanya dengan tidak
menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum tersebut
dianggap sebagai Penciptanya, kecuali jika dibuktikan sebaliknya.
Berkaitan dengan subyek hak cipta, berdasarkan ketentuan pasal-pasal
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dapat sebagai subyek hak cipta adalah
68
Pencipta dan Pemegang Hak Cipta. Menurut Rachmadi Usman ada tiga cara untuk
menentukan Pencipta atas ciptaan, yaitu :
1. Cara Pertama: UUHC merumuskan secara tegas siapa saja yang dapat
dikatakan sebagai pencipta yaitu :
a. Orang yang namanya terdaftar sebagai pencipta
b. Orang yang namanya disebut dalam ciptaan
c. Orang yang namanya dumumkan sebagai Pencipta
d. Penceramah
e. Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan yan
terdiri atas beberapa bagian tersendiri
f. Penghipunan seluruh ciptaan yang terdiri atas beberapa bagian ciptaan
g. Perancang atau pencipta
h. Lembaga instansi dari pembuat atau pembuat suatu ciptaan dalam
lingkungan pekerjaannya atau hubungan dinas berdasarkan pesanan
i. Badan hukum yang mengumumkan suatu ciptaan yang berasal darinya.
2. Cara kedua adalah : UUHC 2002 secara tidak tegas juga merumuskan siapa
yang menjadi Pencipta, dalam hal ini yang bersangkutan dianggap sebagai
Pencitpa, kecuali pihak lain dapat membuktikan sebaliknya bahwa yang
bersangkutan tidak terbukti sebaliknya, seseorang tetap dianggap sebagai
pencipta dari suatu ciptaan yaitu :
a. seseorang yang namanya terdaftar sebagai penciptanya
b. seseorang yang namanya yag disebut delam ciptaan
69
c. penceramah
d. badan hukum yang mengumumkan suatu ciptaan yang berasal darinya.
Sedangkan cara yang ketiga: UHHC menyerahkan kepada para pihak
berdasarkan kesepakatan bersama untuk menentukan siapa yang menjadi pencipta
dan pemegang hak ciptanya. Sebagai pemegang hak cipta atas ciptaan dibidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra bukan saja penciptanya sendir, baik sendiri-sendiri,
maupun bersama-sama, lembaga atau instansi dan badan hukum, melainkan juga
Negara, yakni tidak diketahui siapa penciptanya, sehingga akan mengakibatkan
kesulitan dalam menentukan kepada siapa perlindungan hukum hak cipta harus
diberikan (pasal 10 UUHC 2002).65
2.3.2 Obyek Hak Cipta
Menurut Prof. Mahadi, setiap ada subyek pasti ada obyek, kedua-duanya
tidak lepas satu sama lain, melainkan ada relasi (hubungan) antara satu sama lainnya,
selanjutnya disebut dengan hubungan eigendom atau hak milik.66
Selanjutnya menurut Pitlo, disatu pihak ada seseorang (kumpulan orang/
badan hukum) yakni subyek hak, dan pada pihak lain ada benda yaitu obyek hak,
dengan kata lain kalau ada sesuatu hak maka harus ada benda sebagai obyek hak,
tempat hal itu melekat.67
65
Rachmadi Usman , Op Cit, hal. 118 66
Mahadi, Op Cit, hal. 64. 67
OK.Sidin, Op Cit, hal 70.
70
Jika dikaitakan dengan obyek dari hak cipta, adalah hasil karya cipta itu
sendiri. Ekspresi dari sebuah ide, bukan melindungi idenya, artinya yang dilindungi
hak cipta adalah sudah dalam bentuk nyata sebagai suatu ciptaan, bukan masih
merupakan gagasan.68
Pasal 1 angka 3 UUHC 2002, menyatakan bahwa, Ciptaan adalah hasil karya
pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan
sastra.
Dari bunyi pasal 1 angka 3 UUHC 2002 ini menjelaskan bahwa Ciptaan atau karya
cipta yang mendapat perlindungan hak cipta atau sebagai obyek dari hak cipta adalah
1. ciptaan yang merupakan hasil proses penciptaan atas inspirasi, gagasan
atau ide berdasarkan kreatifitas pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan
atau keahlian pencipta;
2. dalam penuangannya harus memliki bentuk yang khas dan menunujukkan
keaslian (orginal) ciptaan seseorang yang bersifat pribadi, dalam bentuk
yang khas, artinya karya tersebut harus telah selesai diwujudkan, sehinga
dapat dilihat, didengar atau dibaca.69
Berdasarkan penjelasan diatas maka terdapat dua persyaratan pokok untuk
mendapatkan perlindungan hak cipta yaitu unsure keaslian dan kreatifitas dari suatu
karya cipta. Bahwa hasil dari suatu karya cipta adalah hasil dari kreatifitas
68
Muhamad Djumhana dan R. Djubaidilah, Op Cit, hal. 56 69
Rahmadi Usman, Op Cit, hal. 121
71
penciptanya itu sendiri dan bukan tiruan.berdasarkan pasal 12 UUHC 2002, ruang
lingkup ciptaan yang dilindungi :
1. Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang mencakup :
a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan), ( lay Out), karya tulis
yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan karya cipta lain yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidkan dan ilmu
pengetahuan;
d. Lagu atau music dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime
f. Seni rupa dalam segala bentuk, seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat,seni patung, kolase, seni terapan;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi;
l. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain
dari hasil pengalihwujudan.
2. Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf I dilindungi sebagai Ciptaan
tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan asli.
72
3. Perlindungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum dirumuskan tetapi sudah
merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan
perbnanyakan hasil karya itu.
Berkaitan dengan obyek hak cipta yang mendapat perlindungan Undang-
undang Hak Cipta di Indonesia, dikaitkan dengan dengan obyek Hak Cipta yang
mendapat perlindungan di Negara Jepang, terdapat pada Chapter II Right of Outhors,
Section (i) Works (Clasification of Works).
Article 10
i. As used in this law “works” shall include, in particular the following;
ii. Musical;
iii. Choreographic works and pantomimes;
iv. Painting, sculptures and orther bartistic works;
v. Architectural works;
vi. Maps as well as figurative works of all a scientific nature such as plans,
charts, and models;
vii. Cinematographyc works;
viii. Photographyc works;
ix. Program works.70
70
Yukifusa Oyama at al (Transliter), 1999, Copyright Law of Japan, Copyright And
Informations Center Tokyo Japan, hal. 24
73
2.4 Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta.
Sejarah perkembangan hak cipta di Indonesia sama seperti di luar Negeri,
yakni dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun landasan
berpijaknya tetap dilandasi filosofis dan budaya hukum. Demikian juga halnya pada
jangka waktu perlindungan hak cipta, akan mengacu pada sejarah perkembangan
ketentaun hak cipta secara internasional. Sesuai dengan ketentua Auteurswet 1912
hak cipta hanya dibatasi jangka waktu perlindungannya sampai 50 tahun, tetapi dalam
UUHC 1982 jangka perlindungan hak cipta adalah 25 tahun, kemudain UUHC 1987
dan UUHC 1997 jangka perlindungan hak cipta adalah kembali menjadi seumur
hidup dan ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, karena mengikuti
ketentuan Berne Convention.71
Suatu ciptaan yang memenuhi persyaratan perlindungan hak cipta sesuai
dengan standart of copy right ability secara otomatis akan dilindungi selama jangka
waktu tertentu. Berne Convention ( Article 7 (1) menetapakan, “ The term of
protection granted by this convention shall be tehe life of the author and fifty years
after death “.
Jangka waktu 50 tahun dihitung dari suatu peristiwa timbulanya hak cipta
adalah jangka waktu yang wajar, meskipun ada pengecualian bagi materi siaran
(Article 14 (5) Berne Convention. Penentuan jangka waktu perlindungan terkait
dengan pembenaran secara historis, untuk memenuhi moril dan materiil dari Pencipta
dan ahli warisnya, termasuk pertimbangan bagi ahli waris dari pencipta yang terlama
71
H.OK. Saidin, Op Cit, hal. 106
74
hidupnya, agar pencipta dan ahli warisnya menikmati manfaat ekonomi hak cipta
sampai dua generasi.72
Sesuai dengan jangka waktu perlindungan yang ditentukan oleh Konvensi
Berne, Inodonesia melalui ketentan UUHC 2002, bahwa jangka waktu perlindungan
berlangsung selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah
Pencipta meninggal dunia untuk ciptaan sebagai berikut :
a. Buku, program computer, pamphlet, perwajahan), ( lay Out), karya tulis
yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan karya cipta lain yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidkan dan ilmu
pengetahuan;
d. Lagu atau music dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomime
f. Seni rupa dalam segala bentuk, seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat,seni patung, kolase, seni terapan;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi;
72
Rahmi Jened, Op Cit, hal. 100
75
l. Terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
Ciptaan yang sama dimilki oleh dua orang atau lebih, berlaku selama hidup
Pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 tahun
sesudahnya ( pasal 30 UUHC 2002 ). Hak Cipta atas ciptaan yang diumumkan bagian
demi bagian dihitung mulai tanggal pengumuman bagian yang terakhir yang terdiri
atas dua jilid atau lebih, demikian pula ikthisar dan berita yang diumumkan secara
berskala dan tidak bersamaan waktunya, dan berita yang diumumkan secara berkala
dan tidak bersamaan waktunya, setiap jilid atau iktisar dan berita itu masing-masing
dianggap sebagai ciptaan tersendiri ( pasal 32 UUHC 2002). Terhadap karya cipta
derivative ( Pasal 31 UUHC 2002) yakni, ciptaan :
a. Program Komputer;
b. Sinematografi;
c. Fotografi;
d. Data ; dan
e. Ciptaan hasil pengalihwujudan sinematografi,
Berlaku 50 tahun sejak pertama diterbitkan atau diumumkan.
Hak cipta atas ciptaan yang dipegang dan dilaksanakan oleh Negara untuk
ciptaan peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasioanal, folklore dan
hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama berlaku tanpa batas waktu
(pasal 31 ayat (1) huruf a. UUHC 2002), ciptaan yang tidak diketahui penciptanya
dan ciptaan itu tidak diterbitkan berlaku 50 tahun sejak ciptaan itu pertama kali
76
diketahui oleh umum (Pasal 31 ayat (1) huruf b. UUHC 2002), ciptaan yang tidak
diketahui penciptanya atau hanya nama samara dilaksanakan oleh penerbit dan
dilindingi selama 50 tahun sejak pertama kali ciptaan itu diterbitkan. (pasal 31 ayat 2
UUHC 2002).
Ciptaan yang diumumkan bagian demi bagian dihitung mulai tanggal
pengumuman bagian yang terkahir. Hak cipta atas ciptaan yang berseri atau berjilid
atau ikhtisar yang diumumkan secara berkala dan tidak bersamaan waktunya, masing-
masing dianggap sebagai ciptaan tersendiri (pasal 33 UUHC 2002).
Jangka waktu perlindungan hak moral berlangsung tanpa batas waktu (pasal
33 huruf b UUHC 2002), dalam hal ini termasuk perlindungan atas pencantuman dan
perubahan nama atau nama samara Pencipta tanpa batas waktu.
Menurut Rahmi Jened, perbedaan jangka waktu perlindungan merupakan
masalah yang sangat penting dan krusial, lebih-lebih jika dihadapkan kasus hak cipta.
Hak cipta yang bersifat kintas Negara, misalnya di Jerman perlidungan hak
cipta berlangsung seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun, sedangkan di Indonesia
berlangsung seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun. Jika diterpakan prinsip
national treatment, maka Jerman harus melindungi ciptaan Indonesia di Jerman
dalam jangka waktu yang sama dengan ciptaan warga negaranya yaitu seumur hidup
pencipta ditambah 70 tahun setelah meninggal dunia, sedangkan apabila diterapkan
reciprocal treatment, maka atas ciptaan yang sama dari pencipta Indonesia yang
77
ada di Jerman akan dilindungi dalam jangka waktu seumur hidup pencipta ditambah
50 tahun setelah meninggal dunia sebagai jangka waktu yang diberikan Indonesia.73
Hak cipta yang mengenal paham dualisme yaitu hak moral dan hak ekonomi,
dimana perlindungan terhadap hak moral dari hak cipta tidak mengenal batas waktu
(pasal 33 UUHC 2002 ), sedangkan yang mengenal batas waktu perlindungan adalah
hak ekonomi dari hak ciptt tersebut. Setelah jangka waktu perlindungan terlampaui,
maka ciptaan-ciptaan tersebut akan menjadi public domain, artinya ciptaan-ciptaan
tersebut bebas digunakan oleh orang lain, tanpa ada pembayaran royalty bagi
pemegang hak cipta, namun tetap mengingat dan menjungjung tinggi kepentingan
pribadi Pencipta atas ciptaannya.
2.5. Pengalihan dan Lisensi Karya Cipta
2.5.1 Pengalihan Karya Cipta
Hak cipta adalah sebagai perkembangan Hukum Perdata ( dalam konsepsi
kebendaan), walaupun sesungguhnya Hak Cipta merupakan obyek yang tidak
berwujud (tangible), maka hak cipta dapat dimiliki sebagaimana layaknya hak
kebendaan. Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak, oleh karena itu maka Hak
Cipta dapat dialihkan oleh pemiliknya atau pemegang Hak Cipta.74
Copyrights are freely transferable, just like all other types of personal
property. They can be transfered out right, in transaction usually denominated as an
73
Rahmi Jened, Op Cit, hal. 102. 74
Suyud Margono , 2003, Hukum & Perlindungan Hak Cipta, CV. Nivindo Pustaka Mandiri,
Jakarta. Hal.70
78
assignment, or the owner can merely give another party the right to exercise certain
rights of copy right ownership by granting either an exclusive or non exclusive
license.75
Sesuai pasal 3 ayat (2) UUHC 2002, Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan,
baik keseluruhan maupun sebagaian melalui :
a. Pewarisan adalah pemberian harta peninggalan kepada ahli waris oleh
pewaris. Sedangkan pengertian pewarisan menurut pasal 830 KUHPerdata
menjelaskan pengertian pewarisan adalah pewarisan berlangsung karena
kematian Pasal 832 KUHPerdata, menurut Udang-undang yang berhak
menjadi ahli waris adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin
dari si suami atau istri yang hidup terlama. Bila mana keluarga sedarah yang
hidup terlama diantara suami atau istri tidak ada, maka segala harta
peninggalan si yang meninggal menjadi milik Negara, yang mana wajib akan
melunasi segala hutang hanya harta peninggalan untuk itu.
b. Hibah, adalah pemindahan hak dari seseorang kepada orang lain pada saat si
pemberi hibah masih hidup76
. Pasal 1666 KUHPerdata menjelaskan adalah
suatu perjanjian dimana si penghibah diwaktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma
dan dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan sesuatu benda guna
keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.
75
Roger E. Schecter and Jhon R. Thomas, 2003, Intellectual Property The Law Of Copy
Right, Patents, And Trademarks, Hoornbook Series, West Group, hal 104 76
Yulianus, 1980, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, hal. 93.
79
c. Wasiat, adalah pesan terakhir seseorang sebelum meninggal dunia dan pesan
itu harus dilakukan oleh anggota keluarganya. Menurut Pasal 875
KUHPerdata, Wasiat atau Testament adalah suatu akte yang memuat
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki nya akan terjadi setelah
dia meninggal dunia dan yang olehnya akan dapat dicabut kembali.
Berkaitan dengan beralihnya hak cipta, menurut penjelasan pasal 3 ayat (2) UUHC
2002, beralih atau dialihkannya Hak Cipta tidak dapat dilakukan secara lisan, tetapi
harus dilakukan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akte notiil.
Terhadap hak cipta yang mengacu pada pasal 26 UUHC 2002
1. Hak cipta suatu ciptaan tetap berada di tangan Pencipta selama kepada
pembeli ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta dari Pencipta itu
sendiri.
2. Hak cipta yang dijual untuk seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijual untuk
kedua kalinya oelh penjual yang sama.
3. Dalam hal timbul sengketa antara beberapa pembeli Hak Cipta yang sama atas
suatu ciptaan, perlindungan diberikan kepada pembeli yang terlebih dahulu
membeli Hak Cipta itu.
Sesuai dengan pasal 26 UUHC 2002, hal ini berarti bahwa pembelian hasil
ciptaan tidak berarti Hak Cipta dari ciptaan tersebut berpindah kepada pembeli, akan
tetapi Hak Cipta atas suatu Ciptaan tersebut ada di tangan Penciptanya.
Bagaimanapun juga suatu karya cipta melekat dengan Penciptanya, karena dalam
pengaturan Hak Cipta si Pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi. Beralihnya
80
Hak Cipta dari Pencipta ke Penerima Hak Cipta adalah hak ekonominya, sedangkan
hak moral masih tetap melekat pada si Pencipta.77
Berkaitan dengan kepemilikan terhadap suatu benda, termasuk dalam hal ini
Hak Cipta, memiliki sisi hukum yang lebih pasti dan jelas. Kepemilikan juga
menunjukkan hubungan antara seseorang dengan obyek yang menjadi sasaran
kepemilikan itu. Cirri-ciri kepemilikan tersebut antara lain :
a. Pemilik berhak untuk memiliki bendanya, ia mungkin tidak memegang
atau menguasai benda itu, mungkin direbut, dicuri, atau disewakan pada
orang lain, namun hak atas benda tetap ada pada pemilik hak semula.
b. Pemilik biasa berhak untuk menggunakan dan menikmati benda yang
dimilikinya yang pada dasarnyamerupakan kemerdekaan bagi pemilik
untuk berbuat terhadap bendanya.
c. Pemilik berhak untuk menghabiskan, merusak atau mengalihkan bendanya,
termasuk dalam hal ini adalah Hak Cipta.78
Hak Cipta menurut asas Droit de Suit adalah hak yang tidak bisa dicabut dan
diberikan oleh Undang-undang kepada Pencitpta atau ahli warisnya atau instansi lain
yang dijamin oleh Undang-undang, setelah meninggalnya pencipta, ahli waris
diberikan hak untuk menuntut bagian hasil dari penjualan ulang dari copy asli ciptaan
seni dalam jangka waktu perlindungan hak cipta, hal ini dapat pula diperluas terhadap
penjualan umum atas naskah asli, dan pencipta berhak pula mengontrol ciptaannya
77
Suyud Margono, Op Cit, hal. 72. 78
Sujipto Raharjdjo, 1996, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya, Bakti, Bandung, hal. 65
81
dan berhak juga melarang orang lain mengubah ciptaannya ke dalam bentuk apapun
yang dapat berakibat buruk pada reputasi seninya.79
2.5.2. Lisensi Karya Cipta
Secara umum pengertian Lisensi menurut Black,s Law Dictionary, Lesensi
diartikan sebagai a permission use revocable, to commit some act that would
otherwise be unlawful, esp, an agreement ( not a mounting to the lease or profit a
prende) that is lawful for leceense to enter the lesencor,s land to do some act that
would otherwise be illegal, sich as hunting game.80
Berdasarkan pengertian seperti tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa
Lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan dalam privilege untuk melakukan
sesuatu oleh seseorang atau pihak tertentu. Pengertian dari lisensi secara umum ini
pada awalny selalu dikaitkan dengan penggunaan tanah atas izin yang diberikan oleh
otoritas atau pihak berwenang, dalam hal ini adalah pejabat atau pihak yang terkait.81
Melalui lisensi, pengusaha memberikan izin kepada suatu pihak untuk
membuat produk yang akan dijual tersebut. Izin utnuk membuat produk
tersebutbukan diberikan dengan Cuma-Cuma, sebagai imbalan dari pembuatan
produk dan biasanya juga meliputi izin penjualan produk yang dihasilkan tersebut,
79
Rooseno Harjowidigdo, 2005, Perjanjian Lisensi Hak Cipta Musik Dalam Pembuatan
Rekaman, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, hal. 7 80
Bryan A. Garner, Editor in Chief, 2001, Black,s Law Dictionary, Thomson West, hal. 418 81
Gunawan Widjaya, 2004, Black,s Law Dictionary atau Waralaba, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal .9.
82
pengusaha yang memberkan izin memperoleh pembayaran yang disebut sebagai
royalty.82
Selanjutnya dalam Black,s Law Dictionary menyatakan, Lisensing, the sale
of lecence the use of patent, trademarks, Copy Right or technology to another firm.
Berdasarkan pengertian Lisensi diatas, gunawan Widjaya berpendapat bahwa makna
lisensi secara tidak langsung sudah bergeser ke arah “ Penjualan”. Izin untuk
mempergunakan paten, hak merek, Hak Cipta, kepada pihak lain, sehingga dala hal
ini lisensi yang merupakan hak privilege yang bersifat komersial, dalam arti,
memberikan hak dan kewenangan untuk memanfaatkan paten, Hak Atas merek, Hak
Cipta, dan lain-lain yang dilindungi secara ekonomi.83
Berkaitan dengan Hak Cipta, pengertian Lisensi diatur dalam pasal 1 (14)
UUHC 2002 menjelaskan bahwa, Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang
hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau
memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Pengaturan lisensi pada UUHC 2002, diatur secara lengkap dalam pasal 45 sampai
pasal 47.
1. Pasal 45 UUHC 2002, menyatakan bahwa pemegang Hak Cipta berhak
memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian lesensi untuk
melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.
82
Gunawan Widjaya I, Op Cit, hal. 4 83
Gunawan Widjaya, Lisensi, Seri Hukum Bisnis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8
83
2. Kecuali deiperjanjikan lain, lingkup lisensi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
berlangsung selama jangka waktu lesensi diberikan dan berlaku untuk
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
3. Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian royalty
kepada pemegang lisensi oleh penerima lisensi.
4. Jumlah royalty yang wajib dibayarkan kepada pemegang Hak Cipta oleh
penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan
berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.
Pasal 46 menyatakan, kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta tetap boleh
melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga untuk
melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2.
Pasal 47 menyatakan :
1. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan
akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan
yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Agar dapat mempunyai akibat hukum terhadapa pihak ketiga, perjanjian
lisensi wajib dicatat di Direktorat Jendral HKI.
3. Direktorat Jendral HKI wajib menolak pencatatan perjanjian lisensi yang
memuat ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1).
84
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan perjanjian lisensi diatur dengan
Keputusan Presiden.
Berkaitan dengan pasal-pasal diatas, pada prinsipnya bahwa lisensi haruslah
dilakukan melalui suatu perjanjian. Perjanjian lisensi mengacu pada pengaturan
perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang memuat syarat sahnya
suatu perjanjian secara umum. Sesuai dengan KUHPerdata, untuk sahnya suatu
perjanjian secara umum hendaknya memnuhi unsur-unsur :
- Adanya Kesepakatan
- Adanya Pihak-Pihak
- Adanya obyek tertentu
- Adanya sebab tertentu
Secara umum lisensi dapat dibedakan menjadi lisensi eksklusif dan lisensi non
eksklusif.
- Lisensi Ekslusif adalah, pihak pemberi lisensi hanya memberikan
lisensinya pada satu penerimaan lisensi, dan tidak boleh lagi membrikan
lisensi pada pihak lain, sedangkan lisensi non eksklusif adalah pemberi
lisensi dapat melisensikan hasil karyanya pada lebih dari satu penerima
lisensi .84
84
Suyud Margono dan Longginus Hadi, 2002, Pembaharuan Perlidungan Hukum Merek,
CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hal. 74.
85
- Lisensi dalam Hak Cipta, juga mengenal lisensi Eksklusif dan Non
Eksklusif
Secara eksklusif, Si Pencipta atau pemegang Hak Cipta hanya dapat
melisensikan ciptaannya kepada penerima lisensi sekali saja, sedangkan lisensi nen
eksklusif, Si Pencipta dapat melisensikan ciptaanya lebih dari satu kali kepada pihak
lain.
Secara tersirat lisensi eksklusif Hak Cipta dapat dilihat dalam pasal 46
UUHC 2002, yang menyatakan kecuali diperjanjikan lain, pemegang Hak Cipta dapat
boleh melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi pada pihak ketiga. Mengacu
pada pasal 46 UUHC 2002 ini, dapat diartikan bahwa jika diperjanjikan lain, maka
lisensi eksklusif juga dapat dilaksanakan.
2.6 Pengertian tentang Seni Karawitan dan Jenis-Jenis Seni Karawitan
2.6.1 Pengertian Seni Karawitan
Sebagaimana ketentuan Pasal 12 UUHC 2002, secara tegas menentukan
bahwa satu obyek Hak Cipta yang mendapatkan perlindungan adalah seni musik (seni
karawitan).
Untuk membatasi apa yng disebut dengan seni karawitan, maka lahirlah
bermacam definisi seni karawitan. Berkaitan dengan pengertian seni karawitan yang
terdiri dari kata seni dan karawitan.
86
Aristoteles beranggapan karya seni adalah karya nyata yang dapat diserap
secara sensoris (inderawi).85
. Sementara itu, Raymond Piper memberikan definisi
bahwa karya seni adalah sebuah bentuk tampak tersendiri yang dibentuk secara mahir
dalam bahan yang cocok oleh suatu probadi kreatif untuk memberikan suatu
pengungakapan atau perwujudan yang serasi mungkin dan dapat berdiri sendiri bagi
suatu gagasan, khayalan, atatu keinginan yang mengharukan. Sedangkan menurut
Moris Weitz memberikan batasan nyata bahwa karya seni merupakan suatu kebulatan
organis yang disajikan dalam suatu medium inderawi, kebulatan tersebut tersusun
dari unsure-unsur , cirri-ciri ekspresifnya dan hubungan – hubungan yang diperoleh
diantara mereka.86
Sudarmadji memberikan pengertian seni adalah, suatu ekspresi, suatu
ungkapan, sebagai pernyataan suatu maksud, perasaan atau pikiran dengan suatu
medium indra/sense, yang dialami lagi oleh yang mengungkapkan dan bagi orang lain
yang dituju.
Secara etimologi, seni berasal dari kata sani yang dalam bahasa sansekerta
artinya persembahan, pelayanan, atau pemberian. Pendapat lain mengatakan bahwa
kata seni berasal dari bahasa Belanda “ Genei” berasal dari kata genius. Orang genius
adalah orang yang dari kelahirannya punya keuggulan yang menakjubkan, sehingga
85
Soemardjo, Jakob. 2002, Filsafat Seni. Bandung, hal. 274 86
Gie, The Liang. 1996, Filsafat Seni. Yogyakarta, hal. 15-16
87
seniman mahluk yang memiliki kelebihan dan kehalusan jiwa dalam menikmati dan
mencipta melebihi orang awam.87
Cassirer memberikan pemahaman tentang seni yaitu, seni sudah bersifat
formatif jauh sebelum menjadi indah, seperti suku-suku primitive membuat rumah,
menggambari badan mereka sendiri dengan corak-corak yang ganjil meskipun
bentuknya tidak proporsional, namun bagian-bagiannya tampak menyatu dan itu
sudah merupakan sautu seni.88
Dalam konteks penelitian ini, istilah karya seni tersebut dimaksudkan
sebagai hasil ciptaan berupa gending / tabuh (lagu) kawitan Bali, baik yang berupa
tergolong gending instrumental (konser), gending iringan tari, gending iringan
pragmentari, gending iringan sendratari, gending iringan gegitaan.
Secara umum, music bangsa – bangsa di dunia dapat dikelompokkan
menjadi Western Musc dan Non Western Music. Western Music atau music barat
adalah seni music yang menggunakan tangga nada diatonic (tempere scale),
sedangkan Non Western Music atau seni music diluar music barat atau no diatonic.
Merujuk pada negeri kita Indonesia music tradisi yang di kenal dengan istilah
karawitan sebab tangga nada yang digunakan bukanlah tangga nada diatonic.
Istilah karawitan baru diperkenalkan di dunia ilmu pengetahuan (music) kira
kira pada tahun 1950, yaitu sejak didirikannya konservatori karawitan Indonesia di
Surakarta. Bagi mereka yang awam, istilah karawitan lebih dikenal dengan seni
87
Sudarmaji, Dasar-Dasar Kritik Seni, STSI-ASRI, Yogyakarta, hal.9. 88
Agus Sachari, 2002, Estetika Makna Simbol dan Daya, ITB, Bandung, hal. 15.
88
gambelan atau tetabuhan temasuk seni tembang (Vokal) didalamnya. Untuk
mempermudah pengertian tersebut, maka seorang ahli music barat mempergunakan
istilah musikologi tradisin Indonesia sebagai padanan ilmu karawitan. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa yang dimakdsud dengan istilah karawitan adalah seni suara
tradisi indonesai baik vocal maupun instrumental yang berlaras pelog dan /atau
selendro, atau dengan kata lain yang non diatonic (Monografi Daerah Bali, 1985 :
88).
Sementara menurut Supanggah istilah karawitan dapat digunakan untuk
menyebut atau mewadahi beberapa cabang seni yang memiliki karakter yang halus,
kecil, rumit, atau sejenisnya. Pengertian ini didasarkan atas kata dasar yang
digunakannya yaitu rawit yang berarti kecil, halus atau rumit. Secara luas pengartian
karawitan tersebut melingkupi suatu genre music “baru” , tradisi dan/atau modern
yang merujuk pada karakteristik atau nilai budaya ketimuran, menggunakan
kebiasaan kerja secara oral atau lisan dengan dilandasi oleh semangat kebersamaan
dan/ atau kekeluargaan serta mengutamakan pendekatan dan ungkapan rasa dari pada
nalar atau piker. Sedangkan secara sempit pengertian karawitan dipergunakan untuk
menyebut suatu jenis suara atau music yang mengandung salah satu atau kedua unsur
sebagai berikut :
1. menggunakan alat music gamelan, sebagian atau seluruhnya , baik berlaras
selendro atau pelog, atau laras lain sebagian atau semuanya.
89
2. Menggunakan laras (tangga nada) selendro dan /atau pelog, baik
instrumental, gambelan atau non gambelan, maupun vocal atau campuran
dari keduanya89
Dalam bukunya, Mcphee yang mengutip perkataan V.C Mahillon mengenai cara
untuk memproduksi suara/bunyi, gamelan bali dapat dibedakan menjadi empat
kategori :
1. Idiophones ; primarily self – sounding and percussive, including gongs,
metallophones, cymbals, bels, xylophones, rattles, slit drums, stamping tubes.
2. Membranophones ; drums with a membrane stretched over an opening
3. Aerophones ; now limited to the family of end- blown fluets but formerly
including a form of oboe
4. Chordophone ; here consisting of the bowed lute and the tube zither.90
Menurut Aryasa, pengertian karawitan tersebut tidak jauh dengan pengertian
“music tradisi daerah indonesia” yang menggunakan laras selendro dan laras pelog.
Music tradisi daerah di Indonesia juga mengandung pengertian music tradisi daerah
Bali, yang mencakup masalah “ tembang dan tabuh atau music vocal dan music
instrumental.91
Yang dimakud dengan music vocal adalah musik yang mengunakan
89
Supanggah, Rahayu. 2002. Masyarakat Seni Pertunjukkan Indonesia, Jakarta. Hal. 5 90
Colin McPhee, 1966, Music In Bali, New Haven and London, Yale University, hal. 27 91
Aryasa, I W. M, 1976, Perkembangan Seni Karawitan Bali, Denpasar : Proyek Sasana
Budaya Bali, h. 2
90
suara manusia sebagai sumber bunyi, artinya dengan suara manusia dapat disusun
suatu music yang mencakup persyaratan – persyaratan umum seni suara seperti
adanya pola melodi, pola ritme, dan pola garapan. Sedangkan yang dimaksud dengan
music instrumental adalah music tradisi yang memprgunakan alat – alat sebagai
sumber bunyi, artinya dengan mempergunakan alat – alat dapat disusun suatu music
yang didalamnya mengandung adanya unsure – unsure seperti pola melodi, pola
ritme, dan pola garapan. Pola melodi merupakan rangkaian nada secara beruntun
yang berbeda panjang pendek dan tinggi rendahnya, teratur susunannya dan memiliki
irama ( tempo dan isi ). Pola ritme adalah rangakaian beberapa bunyi/ nada yang
berbeda panjang pendeknya. Pola garapan adalah merupakan bentuk pernyataan
music yang mencerminkan adanyasistem laras, hokum tata nada, norma – norma
keindahan / estetik, peraturan – peraturan mengenai komposisi, orkestrasi, teori dan
profesionalisme.92
.
Menurut Sinti, Seni karawitan ialah seni yang membicarakan prihal
keberadaan seni suara tradisionil baik vocal maupun instrumental, yang berlaraskan
slendro, pelog, ataupun yang lainnya yang tersebar diseluruh wilayah Nusantara
(Indonesia).
Pengertian Karawitan adalah music tradisional yang didalamnya dapat
berbagai unsur yang terkait dengan budaya dan masyarakat. Bentuk seni karawitan
Bali secara umum terdiri dari seni suara vocal dan instrumental.
92
Aryasa, I W. M, 1983, Pengetahuan Karawitan Bali, Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Proyek Pengadaan Buku Pendidikan
Menengah Kejuruan, hal. 1
91
1. Seni suara vocal yaitu seni suara yang diwujudkan melalui suara manusia,
yang dikelompokkan atas 4 golongan, yaitu: sekar rare (lagu rakyat). sekar
alit/macapat. sekar madya/kidung, dan sekar ageng, dimana setiap kelom-
pok memiliki bentuknya masing-masing.
2. Seni suara instrumental yaitu seni suara yang diwujudkan melalui alat
(gamelan) yang banyak macam dan jenisnya, yaitu lebih dari 30 barungan
besar dan kecil, dimana setiap barungan memiliki bentuk lagunya maing-
masing. Keberadaan gamelan masyarakat Bali mempunyai fungsi dan
peranan yang sangat strategis dalam berbagai aktivitas budaya, social,
kemasyarakatan (Wawancara 1 Januari 2010).
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan istilah karawitan adalah seni
music instrumental tradisional daerah Bali ( Gamelan diantaranya adalah Gong
Kebyar, Semar Pagulingan, Pelegongan, Baleganjur, Manikasanti, dan Siwa Nada).
2.6.2 Fungsi Seni Karawitan
Keberadaan gamelan masyarakat Bali mempunyai fungsi dan peranan yang
sangat strategis dalam berbagai aktivitas budaya, social, kemasyarakatan. Sinti
mengatakan Gamelan dapat berfungsi sebagai bagian dari upacara adat (wali),
sebagai sarana pendukung berbagai bentuk upacara adat (bebali), dan sebagai sarana
hiburan ( balih - balihan) bagi masyarakat. Secara umum seni pertunjukkan dapat di
bedakan menjadi dua antara lain :
1. Seni sakral : seni yang ada kaitannya dengan pelaksanaan upacara yadnya.
92
2. Seni Provan (sekuler ) : seni yang dipertunjukkan untuk hiburan . (
Wawancara 15 Desember 2009).
Menurut Alan P. Merriem dalam bukunya berjudul The Antrophology of Music
(1964), mendifinisikan tentang fungsi music sebagai seni pertunjukan yaitu :
1. fungsi mengungkapkan emosional
2. fungsi penghayatan estetis
3. fungsi hiburan
4. fungsi komunikasi
5. fungsi pengesahan lembaga social atau keagamaan
6. fungsi reaksi jasmani
7. fungsi kesinambungan kebudayaan
8. fungsi perlambangan
9. fungsi pengintegrasian masyarakat
2.7 Seni Karawitan Sebagai Bagian dari Hak Cipta.
Seni karawitan merupakan bagian dari kehidupan manusia sejak dulu. Seni
karawitan erat kaitannya dengan kebudayaan. Kebudayaan menurut Prof.
Kunjaraninggrat adalah hasil dari olah pikir yang bersumber dari cipta, rasa, karsa
manusia. 93
senua yang merupakan hasil dari olah piker manusia baik itu merupakan
93
Kunjaraninggrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal 181.
93
suatu benda yang kelihatan maupun sesuatu hasil yang tidak dapat dilihat adalah
merupakan hasil dari kebudayaan, termasuk seni karawitan.
Pengertian diatas mempunyai makna yang sama dengan pengertian Hak Kekayaan
Intelektual (HKI).
Jika dibandingkan Pengertian Hak Kekayaan Intelektual menurut David
Brigde, adalah Hak atas kekayaan yang berasal dari karya intelektual manusia, yaitu
hak yang berasal dari kreatif kemampuan daya fikir manusia yang diekspresikan
dalam berbagai bentuk karya yang bemanfaat dan berguna untuk menunjang
kehidupan manusia dan mempunyai nilai ekonomis.94
Letak perbedaan antara
pengertian kebudayaan dengan pengetian HKI adalah dimana obyek HKI adalah hasil
karya manusia yang mempunyai nilai ekonomis saja, namun hampir semua karya
manusia yang bersumber dari daya fikirnya yang baik, yang bernilai ekonomis
maupun tidak adalah merupakan suatu kebudayaan.
Pengertian kebudayaan jika dibandingkan dengan pengertian Hak Kekayaan
Intelektual (HKI), obyeknya sama, yaitu suatu hasil karya yang bersumber dari hasil
daya fikir manusia yang berasal dari akal, nalar yang mempunyai pengertian sama
dengan rasa, karya , cipta manusia, termasuk juga seni karawitan yang merupakan
salah satu hasil karya intelektual manusia.
Dalam UUHC 2002 Karawitan sebagai obyek perlindungan Hak Cipta tertuang dalam
Pasal 12 Huruf D …
94
Muhamma Jumhana, Op Cit, hal. 16
94
Menurut Sinti, Seorang composer jika ingin menciptakan sebuah karya cipta
(gending), haruslah menguasai pengetahuan yang berhubungan dengan seni karawitan
baik seni karawitan klasik ataupun modern
Dalam menciptakan gending, kita harus kaya dengn materi, ya, sudah tentu harus
banyak melakukan penelitian pra penciptaan. Proses penciptaan gending melalui
tahapan-tahapan, antara lain:
Ide penciptaan, maksudnya apakah gending yang diciptakan untuk iringan
tari atau tidak. Kalau untuk iringan tari, apakah untuk tari Putra atau Putri
halus, sedang atau keras.
Kalau untuk tabuh instrumental, pada barung gamelan apa, maksudnya
apakah pada gamelan: gong gede, gong kebyar, smar pegulingan, pelego-
ngan, dsbnya.
(Wawancara 7 Januari 2010). Berdasarkan pendapat Sinti, maka jelas bahwa suatu
karya seni karawitan merupakan bagian dari karya cipta, oleh sebab itu si Pencipta
akan mendapatkan perlindungan dalam UUHC 2002.
95
BAB III
IMPLEMENTASI DAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS
KARYA CIPTA SENI KARAWITAN BALI
3.1 Pertunjukkan Atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali.
Semenjak Bali dibuka menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia
pada akhir tahun 1960, semakin banyak kesenian bali khususnya Tari dan Karawitan
Bali dikembangkan menjadi seni pertunjukkan wisata. (touristic performing art)
Menurut Dibia memberikan pengertian tentang seni Pertunjukkan pada dasarnya
adalah, presentasi, ide, gagasan, atau pesan kepada penonton oleh pelakunya melalui
peragaan.95
Seni pertunjukkan merupakan kesenian yang sangat tergantung pada
kehadiran seniman/seniwati pelakunya. Kesenian ini tidak akan pernah ada jika tidak
ada pelakunya yaitu penari, pemusik, dan actor yang secara langsung memperagakan
dan menyajikan pertunjukkan pada penonton.96
Menurut Sinti memberikan pengertian tentang seni pertunjukkan adalah
pementasan yang mencakup music (tabuh), tari, drama (sendratari) (wawancara 1
Januari 2010) .
Secara umum music bangsa-bangsa didunia sering disebut dengan istilah
world misic -dapat dikelompokkan menjadi Musik Barat (Western Music) dan Bukan
95
I Wayan Dibia, 2004, Pragina, Sava Media, Malang, hal. 3 (selanjutnya disebut dengan I
Wayan Dibia II). 96
Ibid
96
Non- Western Musik. Music barat ( Western Musik) adalah seni musik yang
menggunakan tangga nada diatonic sedangkan Non- Western Music adalah seni
music diluar music barat atau non diatonic. Merujuk pada negeri kita Indonesia music
tradisi dikenal dengan istilah Karawitan. Sebab tangga nada yang digunakan bukanlah
tangga nada diatonik. Istilah Karawitan Bali diperkenalkan didunia ilmu pengetahuan
kira-kira pada tahun 1950, yaitu sejak didirikannya konservatori karawitan Indonesia
di Surakarta. Karawitan adalah seni suara tradisi Indonesia baik vokal maupun
instrumental yang berlaraskan pelog dan/ selendro, denga kata lain non diatonic.
Menurut Sinti, salah satu pakar karawitan Bali yang merupakan salah satu
pengajar seni karawitan bali di luar negeri, menyebutkan dalam wawancara dengan
penulis bahwa Karya cipta seni karawitan bali secara umum sesuai fungsinya dapat
dibagi menjadi:
Instrumen yang digunakan untuk mengiringi proses upacara keagamaan,
dalam hal ini lagu yang dimainkan seperti gending - gending (lagu)
Gambang, Saron, Caruk, Gong Gede.
Instrumen yang dipertunjukan kehadapan penonton dan selanjutnya dapat
memperoleh tanggapan dari penontonnya. Seperti Gending Semar
Pegulingan, Gending Angklung, Gending Gong Kebyar.
97
Dilihat dari golongannya seni karawitan (instrumental ) bali dapat dibedakan menjadi
tiga (3) :
Seni Karawitan klasik / kuno , adapun yang termasuk seni karawitan klasik
seperti Gambang, Selonding, Caruk , Genggong, Gong Gede
Seni Karawitan Modern, adapun yang termasuk seni karawitan modern
adalah gending – gending Gong Kebyar, Angklung, Jegog, Semar
Pegulingan, dll
Seni Karawitan baru , yang termasuk seni karawitan baru adalah Gamelan
siwa nada, Semara Dana, Manikasanti, Bumbang, dll.
Jika dilihat dari kedua fungsi karawitan, maka seni karawitan adalah
instrumental yang digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan dan untuk
mengiringi pertunjukkan tari – tarian.
Berbagai Festival gamelan digelar dimana – mana di luar Indonesia. Festival
Gamelan Internasional yang pertama juga diselenggarakan diluar negeri, tepatnya di
Voncouver, B.C. Canada, pada tahun 198697
Dalam perkembangannya sejak dibukanya Hotel Grand Bali Beach pada
tahun 1966. Wisatawan asing mulai banjir datang ke Bali. Hal ini mempunyai
pengaruh positif terhadap seni pertunjukkan baik seni tari maupun seni karawitan.
Pertunjukkan Kesenian Tradisional di kemas secara khusus bagi wisatawan Asing
97
Supanggah Rahayu, 2002. Bothekan Karawitan I. Jakarta : Masyarakat Seni Pertunjukkan
Indonesia, hal 8.
98
mampu menjadi industri yang maju pesat, disukai wisatawan Asing dan sangat
menguntungkan.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak I Ketut Gede Sudarsana (Humas,
Hotel Grand Bali Beach) menjelaskan, bahwa di Grand Bali Beach Hotel sering
mempertunjukkan kesenian Bali yang bersifat sakral, adapun tujuannya adalah untuk
menarik tamu agar bisa betah menginap di Hotel Grand Bali Beach. Biasanya
pertunjukkan tersebut dilakukan pada malam hari yakni pada saat makan malam atau
pesta kebun. Selain hal diatas tujuan mempertunjukkan kesenian bali adalah untuk
melesatarikan kesenian itu sendiri agar tidak punah dan pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan para seniman. Biasanya Pertunjukkan kesenian Bali
yang bersifat tradisional dilakukan di hotel waktu yang di berikan sekitar 45 sampai
60 menit. (wawancara tanggal 15 Februari 2010)
Hal senanda juga disampaikan oleh I Ketut Gita Kusuma (Recreation
Coodinator Plaza Paradise Hotel), biasanya pada event-event tertentu seperti
penyambutan tamu, terutama tamu Manca Negara, makan malam sering diiringi oleh
pertunjukkan tabuh instrumental bapang sisir, lengker, sebagai pembukaan dan
dilanjutkan dengan pertunjukkan tari semacam tari penyambutan seperti Pendet.
Tujuan dari pertunjukkan tersebut selain merupakan permintaan para tamu travel
yang bekerjasama dengan pihak hotel adalah untuk melestarikan kesenian tradisonal
Bali itu sendiri.
Dalam penyuguhan kesenian tradisional bali pihak hotel biasanya
bekerjasama dengan pihak luar apakah itu Sekeha , ataupun Sanggar untuk
99
mempertunjukkan kesenian bali yang di minta oleh wisatawan asing ( wawancara 20
Februari 2010).
Selain pertunjukkan kesenian tradisional bali sering dipentaskan di Hatel-
hotel, pertunjukkan tersebut biasanya ditayangkan melalui media Televisi.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ketut Leneng (Kepala Bidang Program
TVRI) menjelaskan bahwa dalam Program TVRI memang ada menayangkan acara
kesenian Bali yang besifat sakral, hiburan dan pertunjukkan. Tujuan TVRI
memasukan program kesenian Bali selain untuk melestarikan juga untuk menarik
pemirsa agar lebih betah menonton jika ada pertunjukkan kesenian bali, terutama
penonton yang berada di pedesaan. Penayangan Kesenian Bali di Televisi ini belum
pernah meminta izin pada Pencipta, namun dalam penayangannya nam pencipta
sudah di cantumkan (wawancara 24 Februari 2010).
Berdasarkan wawancara diatas dengan adanya penayangan kesenian bali di
media televisi membuat penonton televisi menjadi lebih betah untuk menonton yang
tujuannya adalah untuk meningkatkan penayangan iklan sebagai sponsor yang pada
akhirnya akan meningkatkan pendatan TVRI, sehingga akan membawa pengaruh
pada keuntungan yang didapat TVRI. Secara tidak langsung penayangan kesenian
Bali di televisi juga mempunyai tujuan komersiil.
Senada dengan penjelasan Bapak Ketut Leneng dari TVRI, berdasarkan
wawancara dengan Bapak I Gede Sudarsana (Humas Hotel Grand Bali Beach)
menjelaskan bahwa, hotelnya sering mengadakan pertunjukkan kesenian bali yang
sudah diketahui Penciptanya. Namun selama ini belum pernah meminta izin pada
100
Pencipta yang karyanya dipentaskan. Hal ini disebabkan pihak hotel biasanya
menyewa pihak lain (sekeha/ sanggar) untuk mengadakan pertunjukkan tersebut
untuk suguhan tamu hotel dan pihak hotel akan membayar kepada sekeha sesuai
dengan kesepakatan yang diperjanjikan. Perjanjian yang dibuat secara lisan, itu
dikarenakan adanya rasa saling percaya anatara kedua belah pihak ( wawancara
tanggal 15 Februari 2010).
3.2 Perlindungan Hukum bagi Pencipta atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali
Yang Dipertunjukkan Secara Komersiil.
Seniman dan karya seninya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya saling menentukan dan saling membutuhkan. Seniman dalam keadaan
tertentu dapat dikatakan sebagai sebagai manusia biasa yang memiliki kemampuan “
luar biasa”. Dalam kehidupan sehari-hari seniman adalah bagian dari anggota
masyarakat, ia harus berinteraksi dengan warga masyarakat lainnya, namun dalam hal
tertentu tertutama dalam hal berkesenian seniman tergolong orang-orang yang
memiliki bakat, kemampuan, dan ketrampilan. Menurut Sinti , Seniman terutama
seniman kerawitan ( pengrawit) dalam hal menciptakan sebuah karya (gendig)
memerlukan waktu dan perenungan yang mendalam agar sebuah hasil karya yang
dihasilkan betul-betul memuaskan. Proses untuk menciptakan sebuah lagu (gending)
oleh pengrawit sangat menguras tenaga, fikiran, waktu, dan biaya yang tidak sedikit.
Maka sudah seharusnya para pencipta dan hasil ciptaannya mendapatkan
penghargaan. Karya cipta karawitan bali merupakan salah satu dari hasil karya
101
intelektual manusia yang mendapat perlindungan hak cipta. Untuk mewujudkan tanda
penghargaan terhadap pencipta dan karya ciptanya, maka atas hasil karya cipta
tersebut perlu mendapatkan perlindungan dari Negara.
Para Pencipta seperti Wayan Beratha, Wayan Sinti, Komang Astita, Ketut
Gede Asnawa, Ketut Swandita, Made Murna, Ketut Suarta Jaya, I Nyoman Windha, I
Wayan Suweca, Made Kartawan. Menjelaskan bahwa dalam membuat suatu karya
cipta (gending) membutuhkan waktu 3 sampai 6 bulan dari ide sampai proses
pembuatannnya. Tentang biaya yang dikeluarkan kurang lebih 30-50 juta termasuk
kostum penabuh, konsumsi selama latihan. Para Pencipta menjelaskan biaya yang
tinggi kadang-kadang tidak dipikirkan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
Biaya yang dikeluarkan diperoleh melalui sponsor, melalui pemerintah dengan cara
mengajukan proposal, atau menggunakan biaya sendiri ( Wawancara 12 Januari
2010).
Berdasarkan atas wawancara dengan para Pencipta diatas, untuk
menciptakan suatu karya cipta Karawitan Bali yang tidak sedikit membutuhkan biaya,
waktu, tenaga, maka para Pencipta Karawitan wajiblah mendapatkan penghargaan
dan perlindungan Hak Cipta.
Penghargaan diberikan pada Pencipta karya seni Karawitan Bali sesuai dengan Teori
dari M. Sherwood, yang mendasari perlunya perlindungan hak yaitu sebagai berikut:
1. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah
dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/ pencipta atau pendesain
102
harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upau-upaya kreatif
dalam menemukan/ menciptakan karya – karya intelektual.tersebut.
2. Recovery Theory, berpa pengembalian terhadap apa yang telah dikeluarkan
penemu/pencipta/pendesain yakni biaya, waktu dan tenaga dalam proses
menghasilkan suatu karya.
3. Incentive Theory, berupa insentif yang diberikan kepada
penemu/pencipta/pendisain untuk mengembangkan kreatifitas dan
mengupayakan tercapainya kegiatan – kegiatan penelitian yang berguna.
4. Risk Theory, berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang
dihasilkan. Suatu penelitian mengandung resiko yang dapat memungkinkan
orang lain menemukan karya yang dihasilkan atau memperbaikinya dan
resiko mungkin timbul dari pergaulan secara illegal.
5. Economic Grouth Stimulus Theory, perlindungan hak merupakan alat untuk
pembangunan ekonomi.98
Alasan lain terkait dengan perlunya perlindungan hukum atas Hak Cipta yang tidak
terlepas dari perlindungan HKI pada umumnya yaitu karena adanya hak-hak alamiah,
perlindungan HKI atas reputasi, mendorong dan menghargai penemuan dan kreasi.
1. Hak-hak alamiah, alasan yang paling mendasar bagi Hak Kekayaan
Intelektual adalah bahwa seseorang yang telah mencurahkan usahanya untuk
menciptakan sesuatu mempunyai hak alamiah /dasar untuk memiliki dan
98
Ranti Fausa Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri, Di Indonesia, PT. Gramedia
Widiarsana Indonesia, Jakarta, h.44
103
mengontrol apa-apa yang telah telah diciptakaannya. Pendekatan ini
menyiratkan kewajaran dan keadilan akan nampak apabila mencuri usaha
seseorang tanpa meminta izinya terlebih dahulu. Menurut pasal 27 ayat (2)
dari Deklarsi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia ( Universal
Declaration of Human Right ) setiap orang mempunya hak untuk melindungi
kepentingan moral dan materiil yang berasal dari ilmu pengetahuan, sastra
atau hasil seni yang mana merupakan Penciptanya.
2. Perlindungan atas reputasi, perusahaan sering menghabiskan banyak waktu
dan uang untuk membangun sebuah reputasi bagi produknya. Perusahaan-
perushaan lain mungkin menggunakan nama-nama yang hampir sama atau
mirip logo atau citra yang digunakan oleh sebuah perusahaan terkenal untuk
menarik konsumen. Dengan cara ini, perusahaan yang meniru reputasi
perusahaan lain telah “mencuri” konsumen dari perusahaan terkenal tersebut.
Hukum merek berusaha mencegah tindakan tersebut. Perlindungan penting
karena reputasi bisnis yang diperoleh melalui merek, nama dan tampilan luar
dari suatu produk, mungkin bisa bernilai lebih dari asset fisik yang dimiliki
perusahaan.
3. Mendorong dan menghargai penemuan dan kreasi, orang yang menulis buku,
music, tari, atau orang yang menciptakan seni lainnya yang sering kali
melakukannya sebagai mata pencaharian, sama saja dengan penemu, besar
kemungkinan mereka menemukan sesuatu untuk mendapatkan keuntungan.
Baik Pencipta sering memerlukan banyak dana dan waktu untuk
104
menciptakan sesuatu. Jika orang lain bebas memperbanyak dan menjual
karya-karya tersebut, mereka tidak mendapatkan keuntungan dari ciptaan
mereka (paling tidak hanya dari konpensasi dan waktu serta dana yang telah
mereka keluarkan. Jika tidak ada hukum HKI, para Pencipta dan Para
penemu mungkin memutuskan tidak menciptakan atau tidak menemukan
sesuatu.99
Berdasarkan atas teori-teori perlindungan HKI sebagaimana telah dijelaskan
diatas, maka relevan untuk diketahui sistim perlindungan Hak Cipta. Bentuk
perlindungan Hak Cipta yang diberikan oleh Negara melalui ketentuan UUHC 2002.
Menurut hukum hak cipta, perlndungan hukum terhadap hasil karya termasuk karya
cipta seni karawitan Bali diperoleh Pencipta secara otomatis, artinya tanpa melalui
proses pendaftaran terlebih dahulu Pencipta atas karya ciptanya, begitu karya tersebut
sudah terwujud dalam bentuk nyata.
Konsep perlindungan otomatis dilandasi oleh Konvensi Berne. Salah satu
prinsip Konvensi Berne adalah Automaticlly Protection. Sistim perlindungan ini Hak
Cipta boleh didaftarkan boleh juga tidak. Pasal 35 ayat (4) UUHC 2002 menentukan
bahwa pendaftaran suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Selain pasal 35
ayat (4) UUHC 2002 perlindungan Hak Cipta dapat dilihat pula pada ketentuan pasal
1 ayat (1) UUHC 2002, yang menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya
99
Budi Santoso, 2005, Butir-Butir Berserakan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual
(Disain Industri), Mandar Maju,Bandung, hal. 65.
105
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan terhadap Hak
Cipta dan Pemegang Hak Cipta juga dapat dilihat dalam ketentuan pasal 3 ayat (2)
UUHC 2002, mengatur mengenai peralihan Hak Cipta. Hak cipta dapat beralih atau
dialihkan, baik secara keseluruhan maupun sebagian karena ; pewarisan, hibah,
wasiat, perjanjian tertulis dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-undang.
Disamping itu perlindungan hak cipta dapat dilihat pada Pasal 45 UUHC 2002, yang
mengatur tentang Lisensi, termasuk karya cipta Seni Karawitan Bali. Pasal 56 UUHC
2002 , melalui gugatan perdata melalui Peradilan Niaga untuk ganti rugi atas
pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan
atau hasil perbanyakan ciptaan itu sendiri. Perlindungan Hak Cipta dapat pula melalui
pasal 72 dan Pasal 73 UUHC 2002, yang mengatur mengenai ketentuan pidana dari
adanya pelanggaran Hak Cipta oleh pihak lain tanpa seizing Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta.
Perlindungan terhadap karya cipta yang mengacu pada ketentuan diatas,
seharusnya dapat pula diterapakan pada karya cipta Seni Karawitan Bali. Namun
dalam kenyataannya Baik si Pencipta maupun karya cipta Seni Karawitan Bali
belumlah mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan UUHC 2002.
Perlindungan Hak Cipta yang didapatkan oleh Pencipta secara eksklusif adalah hak
moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat pada si Penciptanya dan
tidak dapat dialihkan dengan cara apapun juga, hak moral lebih ditijukan pada
manifestasi dari adanya pengakuan terhadap hasil karya orang lain yang tidak dapat
106
dinilai dengan uang. Sedangkan hak ekonomi sangat berkaitan dengan pemanfaatan
secara ekonomi suatu karya cipta yang dipandang sebagai investasi mesti dikelola
secara komersiiluntuk pengembalian modal yang dikeluarkan.100
Tujuannya adalah selain untuk meningkatkan kesejahteraan bagi si Pencipta juga
untuk merangsang kreatifitas intelektual Pencipta dalam meningkatkan kwantitas dan
kwalitas karya ciptanya.
Berdasarkan Wawancara 12 Januari 2010 dengan Composer seperti I Wayan
Beratha, Wayan Suweca, Wayan Rundu, Komang Astita, Ketut Gede Asnawa,
Nyoman Windha, Ketut Suarta Jaya, Made Murna, Wayan Widya, Ketut Swandita,
Ketut Rudita, mengatakan bahwa selama ini belum pernah ada pihak lain yang
mempertunjukkan karya ciptanya meminta izin kepada mereka sebelum karya
ciptanys dipertunjukkan, para composer tersebut juga menyatakan bahwa mereka
memang tidak tahu bahwa dengan dipertunjukkan karya cipta mereka tertutama
pertunjukkan secara komersiil, seharusnya meminta izin pada mereka, apalagi
mengadakan perjanjian sesuai dengan ketentuan UUHC 2002, untuk membayar
royalty sama sekali tidak terfikirkan olehnya.
Bagi para Pencipta jika karya ciptanya semakin banyak dpertunjukkan oleh
pelaku pertunjukkan secara komersiil ataupun non komersiil tidak dipermasalahkan,
malahan mereka bangga karya ciptaanya dapat diterima oleh warga masyarakat
termasuk warga Negara Asing dan mereka juga tidak mereka juga tidak mengetahui
100
Wirawan, 2003, Dari Untuk Bali: Pengaruh Ajaran Agama Terhadap Kaidah
Berfungsinya Undang-Undang Hak Cipta Pada Seniman Bali, Pro Fajar, Denpasar, hal. 131
107
karya cipta mereka mendapatkan perlindungan secara otomatis. Pencipta / composer
mengira untuk mendapatkan Hak Cipta harus terlebih dahulu mendaftarkan karya
ciptaannya kepada Negara, namun instansi tempat pendaftaran yang pasti tidak
ditahui (wawancara 20 Januari 2010). Sementara dari penjelasan Sinti, karya cipta
karawitannya sering dipertunjukkan oleh pelaku pertunjukkan dan sebelum
pertunjukkan memang ada pemberitahuan secara lisan kepada sinti. Secara formal
untuk pembayaran royalty belum pernah diperjanjikan, namun sesuai penjelasan
Sinti, kadang kala pihak pelaku pertunjukkan memberikan sejumlah uang sebagai
tanda terimakasih karena karya ciptanya dipertunjukkan secara komersiil baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Pemberian uang sebagai tanda terimakasih tidak
setiap pertunjukkan diberikan, hanya sekali dua kali saja (wawancara 25 Maret 2010).
3.3 Implementasi ketentuan Pasal 1, Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 45 UUHC 2002
mengenai Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali di
Bali.
Suatu Negara yang berdasarkan atas hukum, kesiapan system hukum
nasional merupakan hal yang penting dan memasuki era globalisasi. Peranan hukum
sangat penting dalam kehidupan bangsa dan bernegara, karena hukum tidak hanya
berfungsi sebagai sarana ketertiban dan keamanan masyarakat serta stabilitas
nasional, akan tetapi lebih dari itu, hukum dibutuhkan sebagai sarana pembangunan
nasional. Dengan kata lain hukum merupakan transformasi msyarakat menuju
struktur, organisasi, dan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
108
naungan Republik Indonesia yang pada saatnya bersamaan hidup dalam suasasna
globalisasi msadysrakat dunia.101
Selanjutnya Rouscoe Pound dalam bukunya yang berjudul An Intruduction
to the Philosophy of law, mengatakan hukum sebagai suatu sarana perekayasaan
masyarakat (Tool of Social Engneering) dan tidak sekedar sebagai alat penertiban
masyarakat semata-mata, menurut Rouscoe Pound hukum adalah :
1. Hukum bertujuan untuk mempertahankan kedamaian di dalam masyarakat
2. Hukum bertujuan untuk mempertahankan status quo social yaitu dengan
menempatkan manusia sesuai dengan “ sophrosynenya “ masing-masing
atau sesuai dengan bidang dan tempat masing-masing orang di dalam
masyarakat, dengan ini dimaksudkan supaya tidak terjadi bentrokan antar
sesame warga masyarakat.
3. Hukum juga bertujuan untuk memungkinkan tercapainya perkembangan
pribadi secara maksimum baik mengenai kehendaknya maupun
kewenangannya serta kemampuannya.
4. Akhirnya hukum bertujuan untuk memenuhi sebanyak mungkin kebutuhan
masayarakat.102
Senada dengan Rouscoe Pound, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan,
bahwa hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Hal ini didasarkan pada suatu
101
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Suatu Sistem Hukum Nasional. Alumni, Bandung.
hal.96. 102
Ibid.
109
anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban ini merupakan suatu hal yang
diinginkan bahkan dipandang perlu.
Lebih jauh lagi anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah hukum dalam arti kaidah atau
peraturan hukum yang memang berfungsi sebagai alat (pengatur) atat sarana
pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kea rah yang dikehendaki
oleh pembangunan atau pembaharuan.103
Dari konsep tentang hukum dan fungsi hukum, ia berpendapat bahwa
pembinaan hukum nsional harus diarahkan pada usah-usaha :
1. Memperbaharui peraturan-peraturan hukum termasuk penciptaan yang baru
dengan menyesuaikan pada tuntutan perkembangan jaman tanpa
mengabaikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum sesuai proporsisinya masing-
masing.
3. Meningkatkan kemampuan dan kewajiban para penegak hukum
4. Membina kesadaran hukum dalama masyarakat dan membina sikap para
penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegakan hukum, keadilan
serta perlindungan terhadap harkat manusia dan ketertiban serta kepastian
hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.104
103
Mochtarkusumaatmaja, 1976, Hukum, Masayarakat dan Pembinaan HukumNasional, Bina
Cipta, Bandung, hal. 183 104
Johanes Ibrahim dan lindawati Sewu, 2003, Hukum Bisnis (Dalam Persepsi Manusia
Modern), Rafika Aditama, Bandung, hal. 55
110
Dalam kaitannya dengan pembangunanSuryati Hartono menyebutkan afa empat
fungsi hukum dalam pembangunan yaitu :
1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan
2. Hukum sebagai sarana pembangunan
3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan, dan
4. Hukum sebagai sarana pendidikan105
Berdasarkan tentang uraian fungsi hukum diatas, akan menjadi sangat
relevan apabila fungsi hukum tersebut bermanfaat diterapkan dalam masyarakat.
Impelementasi suatu ketentuan dapat berjalan efektif atau tidak efektif tergantung
dari kesadaran hukum dari warga masyarakat itu sendiri. Ide tentang kesadaran warga
masyarakat swbagai dasar sahnya hukum positif terlukis ditemukan dalam ajaran
Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum
yang mengikat warga masyarakat kecuali atas kesadaran hukumnya. Kesadaran
hukum sering kali dikatikan dengan penataan hukum, pembentukan hukum dan
efektifitas hukum.
Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam
masyarakat, sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto, bahwa masyarakat mentaati
hukum karena sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dalam
hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa
105
Mushin dan Fadilah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Averroes Press, Malang,
hal. 20.
111
kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap pada diri masyaakat. Terdapat empat
indicator kesadaran hukum dalam masyarakat, yaitu :
a. Pengetahuan hukum
b. Pemahaman hukum
c. Sifat hukum
d. Pola prilaku hukum
Ad. a. Pengetahuan hukum
Pengetahuan hukum adalah adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa
prilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Pengetahuan tersebut berkaitan
dengan perilaku yang dilarang atau perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.
Pengetahuan hukum erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat
dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah
diundangkan.
Ad. b. Pemahaman Hukum
Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang
mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, dengan kata lain
pemahaman hukum dalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu
hukum tertentu baik tertulis maupun tidak tertulis serta manfaatnya bagi
pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut.
112
Ad. c. Sikap Hukum
Sikap hukum , suatu kecendrungan untuk menerima hukum karena adanya
penghargaan terhadap hukum sebagai suatu yang bermanfaat atau
menguntungkan jika itu ditaati.
Ad. d. Pola prilaku hukum
Pola perilaku hukum merupakan hal utama dalam kesadaran hukum karena
disini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam
masyarakat.106
Berdasarkan uraian dari pendapat Soerjono Soekanto diatas, jika dikaitkan
dengan ketentuan pasal 1, pasal 3ayat (2) dan pasal 45 UUHC 2002 mengenai
pengimplementasiannya di Bali, khususnya pada pencipta karya cipta seni Karawitan
Bali. Idealnya ketentuan yang berlaku hendaknya dapat ditaati oleh masyarakat
dengan baik, sehingga pelaksanaan suatu aturan akan menjadi efektif. Berkaitan
dengan pelaksanaan hukum Hak Cipta ini, jika berdasarkan pasal 1 ayat (1) UUHC
2002 menyatakan bahwa, Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi Pencipta atau penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan bunyi pasal 1 ayat (1) ini, yang
dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata deiperuntukkan bagi
106
Soerjono Soekanto II, Op Cit, hal. 21
113
pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut
tanpa izin pemegangnya.
Berdasarkan dari hasi wawancara dengan para Pencipta seni Karawitan Bali,
bahwa sering terjadi karya cipta karawitan yang dipertunjukkan oleh pelaku
pertunjukkan, terutama pertunjukkan secara komersiil baik didalam maupun diluar
negeri tanpa melalui persetujuan para penciptanya, dan tidak jarang para Pencipta
tidak mengetahui kalau ciptaannya dipertunjukkan secara komersiil di dalam maupun
diluar negeri. Walaupun sesekali ada pemberitahuan dari pelaku pertunjukkan, bahwa
karya ciptaannya akan dipertunjukkan diluar negeri. Bagi para Penciptaada atau
tidaknya permintaan izin oleh perlaku pertunjukan sudah menjadi hal yang biasa. Hal
ini terjadi dikarenakan ketidaktahuan para Pencipta bahwa karya ciptanya mendapat
perlindungan hukum oleh Undang-undang dan juga memiliki nilai ekonomi yang
tinggi. Pada prinsipnya Pencipta sangat merasa kebratan jika karya ciptaan karawitan
(gending) mereka tidak dipertunjukkan sesuai dengan aslinya.
Demikian juga implementasi pasal 3 ayat (2) UUHC menytakan bahwa, Hak
Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena ;
Pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang debenarkan
oleh peraturan perundang-undangan. Berdasarkan bunyi pasal 3 ayat (2) UUHC 2002
bahwa beralih atau dialihkan Hak Cipta tidak dapat dilakukan secara lisan , tetapi
harus dilakukan secara tertulis dengan maupun tanpa akte notariil. Berdasarkan
ketentuan dan penjelasan dari pasal 3 ayat (2) UUHC 2002, jika dikaitkan dengan
penelitian dilapangan baik para Pencipta Gending maupun para pelaku pertunjukkan,
114
dapat dijelaskan dengan penjelasan para Pencipta Gending sering terjadi pelaku
pertunjukkan tidak meminta izin pada para Pecipta jika karya ciptanya
dipertunjukkan secara komersiil. Memang kadang-kadangsekali dua kali ada pihak
pelaku pertunkukkan sekedar pemberitahuan melalui telepon, yang menyatakan jika
karya ciptanya (gending ) akan dipertunjukkan, dan para Pencipta sudah merasa
cukup karena ada rasa puas jika karya ciptanya di gunakan.
Berdasarkan wawancara dengan I Gede Eka Very Purnama (Produser Lila
Cita) menyatakan bahwa dalam menayangkan kesenian Bali Khususnya karawitan
bali di Bali TV yang penciptanya diketahui, sampai sekarang belum pernah meminta
izin kepada Penciptanya. Biasanya konser (istilah pertunjukkan gamelan Bali) yang
ditayangkan di Bali TV, pertama didapat dari merekam suatu event tertentu yang
mempertunjukkan kesenian karawitan bali, kedua didiapat dari CD maupun VCD
yang dibeli sendiri. Biasanya dalam konser karawitan Bali terutama yang
dipertunjukkan melalui CD/ VCD, sudah tercantum nama Penciptanya, namun jika
direkam sendiri oleh Bali TV, ditayangkan tanpa mencantumkan si Penciptanya. hal
tersebut dikarenakan memang tidak tahu bahwa jika menayangkan karya cipta orang
lain terutama melalui media TV, wajib meminta izin pada si Penciptanya. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa I Gede Eka Very Purnama tahu tentang adanya UUHC 2002,
namun belum memahami secara lebih mendalam tentang UUHC 2002. ( wawancara
25 Februari 2010). Penjelasan senada diberikan oleh A.A Istri Suryani (Produser
Pertunjukkan di TVRI), bahwa selama ini belum pernah mengadakan kesepakatan
baik secara tertulis maupun tidak tertulis kepada pencipta khususnya pencipta
115
kerawitan Bali dalam hal karya ciptanya ditayangkan di TVRI, dengan alasan karena
memang tidak mengetahui wajib meminta izin pada pencipta dan juga tidak pernah
ada Pencipta merasa dirugikan atau berkeberatan jika karya ciptanya ditayangkan di
TVRI. Sehingga penayangan karya cipta karawitan bali hanya mencantumkan nama
Penciptanya (wawancara 28 Februari 2010).
Berdasarkan kenyataan diatas secara otomatis kesepakatan yang dilakukan
secara tertulis belum pernah terjadi termasuk juga mengacu pada ketentuan pasal 45
UUHC 2002, yang mengatur lisensi.
Berdasarkan dari pemaparan kenyataan yang ada dilapangan, dapat
dikatakan bahwa implementasi tentang pasal 1, pasal 3 ayat (2) dan pasal 45 UUHC
2002, terhadap perlindungan hukum atas karya cipta seni karawitan bali tidak berlaku
efektif dimasyarakat khususnya di Bali, karena kurangnya pengetahuan baik bagi
Pencipta maupun para pelaku pertunjukkan atas karya cipta seni karawitan Bali
terhadap ketentuan pasal 1, pasal 3 ayat (2) dan pasal 45 khususnya , dan UUHC
2002 pada umumnya.
3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan UUHC 2002, Bagi Pencipta
atas pertunjukkan Karya Cipta Seni Karawitan Bali.
Mengkaji pelaksanaan hukum UUHC 2002 dalam rangka perlindungan
karya cipta seni karawitan Bali, focus kajian sebenarnya terletak pada bagaimana
ketentuan UUHC 2002 diterapkan dalam kaitannya dengan penegakan hukum.
116
Penegakan hukum Hak Cipta merupakan suatu system yang terdiri dari komponen-
komponen atau subsistim sebagai bagian untuk mewujudkan sinergi dalam rangka
mencapai tujuan diterbitkannya UUHC 2002.
Aplikasi pendekatan sistim terhadap penegakan hukum ditegaskan oleh
Soerjono Soekanto yang menyatakan bahwa masalah pokok dari penegakan hukum
sebenarnya terletak pada factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu
sendiri. Factor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak negative
atau positifnya terletak pada isi factor-faktor tersebut. Factor-faktor tersebut meliputi:
a) Factor hukumnya sendiri
b) Factor penegak hukumnya
c) Factor sarana atau fasilitas yang medukung penegakan hukum
d) Factor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum berlaku atau
diterapkan.
e) Factor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, rasa dan karsa yang
didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidupnya107
.
Kelima factor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena itu
merupakan esensi penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas
penegakan hukum108
.
107
Soerjono Soekanto III, Op Cit, hal.3 108
Siti Soetami, 2001, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, hal. 23
117
Efektifitas berfungsinya hukum alam masyarakat juga tidak terlepas dari
kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Mengenai
berlakunya hukum sebagai suatu kaidah dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan
atas kaidah yang lebih tinggi
2. Kaidah hukum berlaku ecara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif,
artinya dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak
diterima oleh warga masyarakat
3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya hukum dibenarkan
berlaku atas dasar keyakinan filosofis yakni bahwa kaidah hukum tersebut
sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.109
Berlakunya suatu kaidah hukum dapat ditinjau darimasing-masing sudut, agar kaidah
hukum dapat berfungsi secara efektif, maka kaidah hukum harus mengandung tiga
unsur diatas, sebab apabila tidak terpenuhi dapat berakibat pelaksanaan kaidah hukum
dalam masyarakat akan mengalami hambatan.
Disamping itu berfungsinya hukum melibatkan banyak factor yang ikut
mendukung pelaksanaan berlakunya suatu peraturan, setidaknya ada empat factor
anatara lain ;
a. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri harus sistematis, tidak
bertentangan baik secara vertical maupun secara horizontal, dan
109
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar
Maju, Bandung, hal. 22
118
pembautannya harus disesuaikan dengan persyaratan yuridis yang telah
ditentukan. Keadaan demikian harus dipenuhi untuk menjamin jangan
sampai terjadi kesimpangsiuran atau tumpang tindih dalam peraturan,
baik yang mengatur idang-bidang tertentu maupun bidang dalam
kehidupan lainnya yang saling berkaitan, walaupun diakui bahwa untuk
mewujudkan kaidah hukum seperti tersebut diatas bukan hal yang mudah
, karena dihadapkan dengan penelitian yang mendalam.
b. Penegak hukum haruslah mempunyai pedoman berupa peraturan tertulis
yang menyangkut ruang lingkup tugasnya dengan menentukan batas-
batas kewengan dalam pengambilan kebijakan. Kwalitas petugas
memainkan peranan penting dalam berfungsinya hukum, karena masalah
akan timbul apabila kwalitas dan mental petugas kurang baik, walaupun
peraturannya sudah dibuat sebaik mungkin.
c. Ada fasilitas yang diharapkan dapat mendukung pelakasanaan kaidah
hukum yang ditetapkan. Fasilitas disni terutama sarana fisik yang
berfungsi sebagai factor pendukung untuk mencapai tujuan.
d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Masalah yang dihadapi pada factor ini adalah derajat kepatuhan atau ketaatan
masyarakat terhadap hukum.110
110
Soerjono Soekanto dan MustafaAbdullah, 1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,
Rajawali, Jakarta, hal 17. (selanjutnya disebud dengan Soerjono Soekanto IV)
119
Menurut Soerjono Soekanto, factor yang menghambat penegakan hukum berasal dari
undang-undang dapat disebabkan karena ;
a. Tidak diikutinya asas-asa yang berlakunya undang-undang
b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkandalam
menerapka undang-undang
c. Ketidak jelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan
kesimpang siuran didalam penafsiran serta penerapan.111
Berdasarkan dari pemaparan tentang penegakan hukum diatas, jika dikaitkan
dengan UUHC 2002, lahirnya UUHC 2002 merupakan tuntutan dari perubahan
jaman serta kebutuhan masyarakat terhadap perlindungan dalam penciptaan suatu
kreasi seni, ataupun perlindungan tehadap penciptanya. perubahan jaman yang
semakin global membawa pengaruh kedalam kehidupan ekonomi masyarakat.
Lahirnya UUHC 2002 tidak terlepas dari implementasi TRIPs Agreement (Section 4
Article 25-26), hal ini dikarenakan Indonesia sebagai anggota WTO dan telah
meratifikasi TRIPs melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1997. Disamping itu
lahirnya UUHC 2002 karena dalam perkembangannya suatu karya cipta termasuk
karya cipta seni karawitan bali mempunyai nilai ekonomis /komersiil, serta sedapat
mungkin untuk mencegah terjadinya pelanggaran Hak Cipta termasuk karya cipta
seni karawitan Bali. Mendorong serta meningkatkan kreativitas para Pencipta untuk
meningkatkan hasil karyanya yang berkualitas dan original tanpaada persaan takut
jika karyanya ditiru atau dipergunakan oleh pihka dengan etikad baik.
111
Soerjono Soekanto III, Op Cit, hal. 17
120
Berdasarkan hasil wawancara dengan para Pencipta, karya cipta seni
karawitan Bali yang karyanya dipertunjukkan secara komersiil oleh pihak lain tanpa
seizin pada mereka, tidak dapat berbuat banyak, walaupun pada prisipya mereka
merasa keberatan, karena para pencipta memang tidak mengetahui jika karyanya
dipergunakan orang lain harus meminta izin terlebih dahulu. Demikian juga dengan
pihak pelaku pertunjukkan, mereka tidak meminta izin kepada Pencipta atas konser
karya ciptanya, karena mereka tidak mengetahuinya. Baik Pencipta dan Pelaku sama-
sama mengatakan tidak tahu jika suatu karya cipta salah satubentuk perlindungannya
adalah dengan meminta izin pada Pencipta, walaupun mereka mengatakan bahwa
tahu tentang UUHC 2002, namun tidak memahami secara mendalam. Lebih lanjut
para Pencipta menjelaskan bahwa meeka tidak dapat melindungi karya cipta
karawitannya, karena mereka tidak mengetahui kemana akan mendaftar, kalupun tahu
mereka tidak punya uang untuk mendaftarkan karyanya tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Drs. Lilik Sri
Haryanto.SH.MS.MH (Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Bali)
menjelaskan, bahwa penerapan UUHC di Bali juga dipengaruhi oleh factor kurang
efektifnya sosialisasi tentang UUHC 2002 itu sendiri, baik pada masyarakat maupun
para penegak hukumnya sendiri. Kenyataan yang ada banyak para penegak hukum
yang kurang memahami keberadaan UUHC 2002 tersebut. Selanjutnya menurut
bapak (Kasubdit, Departemen Hukum dan HAM) menjelaskan, bahwa penerapan
UUHC 2002 dipengaruhi oleh factor intern yaitu dari si Pencipta itu sendiri, yang
tidak memahami betul keberadaan UUHC 2002, sehingga banyak karya cipta mereka
121
yang dipergunakan pihak lain tanpa sepengetahuan para pencipta, karena mereka
tidak tahu kalo karya ciptanya mendapatkan perlidungan hukum dari Negara. Factor
yang lain adalah factor extern yaitu dalam penerapan UUHC 2002, juga sangat
dipengaruhi oleh pemerintah, termasuk para penegak Hukumnya seperti Polisi,
Hakim. Sesuai dengan UUHC 2002, bahwa pelanggaran Hak Cipta bukanlah
merupakan delik aduan melainkan delik biasa, artinya bahwa tanpa ada pengaduan
jika sudah diketahui kenyataan ada pelanggaran Hak Cipta, maka pihak berwenang
seharusnya sudah bertindak bagaimana mestinya. Terutama pada karya cipta seni
karawitan Bali. Sudah sering terjadi pelanggaran terhadap karya cipta seni karawitan
Bali oleh pelaku konser, namun sejauh ini pihak yang berwajib belum mengambil
sikap untuk melakukan tindakan terhadap pelanggar. Demikian juga hakim dalam
memutus Pekara tentang pelanggaran Hak Cipta secara umum, menerapkan sanksi
yang sangat ringan, sehingga tidak dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku
pelanggaran. (wawancara 27 Februari 2010)
Selanjutnya berdasarkan wawancara dengan Bapak I Ketut Wirtha, SH.
MH.(Hakim Pengadilan Negeri di Denpasar) menjelaskan bahwa, factor yang
mempengaruhi penerapanUUHC 2002 adalah selain pemahaman hukum baik bagi
Pencipta maupun Penegak Hukumnya, juga sangat dipengaruhi oleh factor ekonomi.
Terjadinya pelanggaran terhadap Hak Cipta dikarenakan kondisi ekonomi dari pelaku
pelanggar untuk cepat mendapatkan uang tanpa harus mengeluarkan uang yang lebih
banyak. Karena jika mereka meminta izin kepada Pencipta tentu saja akan
mengeluarkan uang untuk diberikan kepada Pencipta dan pelaku pelanggaran sedikit
122
mendapatkan keuntungan. Namun sampai saat ini tentang pengajuan kasus tentang
pelanggaran karya cipta seni karawitan belum pernah ada di Pengadilan Negeri
Denpasar (wawancara tanggal 7 April 2010)
Berdasarkan kenyataan yang ada dilapangan, bahwa factor-faktor yang
mempengaruhi penerapan UUHC 2002 bagi Pencipta terhadap karya cipta seni
karawitan Bali adalah, kurangnya pemahaman terhadap UUHC 2002 bagi Pencipta
itu sendiri, walaupun Pencipta mengetahui adanya UUHC 2002 akan tetapi secara
mendalam belum memahami isi dari UUHC 2002. Selam ini para Pencipta seni
karawitan Bali yang ada di Institut Seni Indonesia (ISI) Kurang mendapatkan secara
khusus mengenai sosialisasi tentang UUHC 2002. Selain factor tersebut diatas, factor
lain yang mempengaruhi penerapan UUHC 2002 bagi Pencipta adalah dari Penegak
Hukum. Penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum oleh catur wangsa adalah
sebagai berikut :
a. Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat,
b. Rendahnya komitmen mereka terhadap penegakan hukum,
c. Tidak ada mekanismepenegakan hukum yang baik dan modern
d. Kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan kedalam dunia
catur wangsa, terutama ke dalam badan kepolisian, kejaksaan, dan
kehakiman,
123
e. Kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime anggota
catur wangsa tersebut berupa tuduhan “mafia peradilan”. 112
Senada dengan pendapat Munir Fuady diatas, dikaitkan dengan kenyataan
dilapangan, bahwa para pihak yang berwajib belum pernah memberikan sanksi, atau
paling sedikit memberikan peringatan kepada pihak pelaku konser seni karawitan
Bali, bahwa apa yang mereka lakukan merupakan perbuatan yang melanggar hukum
Hak Cipta.
Sementara itu factor kebudayaan yang diberikan oleh Soerjono Soekanto,
jika dikaitkan dengan konsep hukum HKI, dimana hukum HKI yang berasal dari
Negara barat menganut konsep hukum Individual Raight, sangat menghargai hasil
karya intelktual seseorang dan perlu mendapatkan perlindungan dari Negara melalui
Undang-undang Hak Cipta kepada siapa saja yang telah menghasilkan suatu karya
intelektual yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi, dimana karya
tersebut lahir dengan proses yang sangat panjang, penuh dengan pengorbanan tenaga,
waktu, maupun uang. Berbeda sekali dengan konsep hukum di Negara timur
termasuk Indonesia yang sangat menganut konsep hukum komunal yang berkembang
dalama masyarakat, lebih menekankan bahwa terhadap Karya-karya Intelektual
seperti Hak Cipta adalah untuk kepentingan orang banyak dan bukan hanya untuk
112
Munir Fuadi, 2003, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra
Aditya.
124
individu semata. Konsep komunal beranggapan bahwa hasil karya intelektual adalah
merupakan milik bersama.113
113
Supasti Dharmawan dkk, Op Cit, hal 2
125
Bab IV
Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pencipta
Dalam Kaitannya Terhadap Penyelesaian Pelanggaran
Atas Karya Cipta Seni Karawitan Bali
4.1. Pelanggaran Karya Cipta Seni Karawitan Bali Sesuai dengan Konsep
Perlindungan Hak Cipta.
Dengan ditandatangani persetujuan pembentukan WTO ( Agreement
Establish The World Trade Organization ) pada pertemuan tingkat mentri di
Marakesh dalam Rangka Peralihan dari General Agreement of Tariffs and Trade
(GATT) ke WTO ( World Trade Organization), yang menyetujui WTO akan
melaksanakan seluruh aturan perdagangan Internasional. Dalam hal ini WTO akan
bertindak sebagai organisasi pelaksana seluruh hasil perundingan Putaran Uruguay
yang meliputi perdagangan barang, perdangan jasa, masalah yang berkaitan dengan
ivestasi (Trims) dan hak kekayaan intelektual / HKI (TRIPs)114
Sebagaiman telah diuraikan diatas, bahwa perlindungan HKI sudah
merupakan komitmen dunia (Internasional) untuk menciptakan iklim proteksi yang
lebih berkeadilan,kepastian hokum dan membawa manfaat bagi masyarakat diseluruh
jagat raya terhadap perlindungan karya intelktual.115
114
Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri Departemen Luar Negeri, 1994, WTO
dan Masa Depan Sistem Perdagangan Dunia : Bidang Persoalan Baru, Pokok-Pokok Paparan Jendral
Heln, Departemen Luar Negeri pada Seminar “Benang Merah Putaran Uruguay”. Jakarta. 15 Juni. 115
OK. Saidin. Op Cit. hal 28.
126
HKI perlu mendapat perlindungan Karena HKI merupakan hak yang diberikan
kepada pencipta yang bersumber dari daya kreatif intelektualnya yang merupakan
suatu penghargaan dan pengakuan atas keberhasilannya dalam melahirkan karya yang
inovatif. Demikian halnya dengan karya cipta seni karawitan Bali yang merupakan
suatu karya intelektual sebagai salah satu obyek dari Hak Cipta yang diatur dalam
pasal 12 ayat 1 huruf d UUHC No.19 Tahun 2002.
Salah satu issu penting yang berkaitan dengan HKI khususnya dibidang Hak
Cipta adalah pelanggaran Hak Cipta. Factor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran
antara lain factor ekonomi, seperti ketidakmampuan membeli produk barang asli,
kemajuan teknologi misalnya mudahnya menggandakan buku-buku dengan mesin
photo copy, serta kuatnya konsep kepemilikan secara komunal dalam masyarakat,
adanya anggapan bahwa hasil karya cipta adalah untuk kepentingan orang banyak dan
bukan semata untuk kepentingan individu. Sedangkan di Negara maju seperti
Amerika, Australia dan Jepang, yang masyarakatnya sudah banyak menghasilkan
karya intelektual, serta didukung dengan kesadaran masyarakat yang tinggi di bidang
hokum HKI, merasa sangat dirugikan atas kasus pelanggaran karya intelektual,
termasuk didalamnya pelanggaran hak cipta karya seni Karawitan Bali.
Disadari bahwa kerugian yang ditimbulkan berkaitan dengan kasus
pelanggaran Hak Cipta baik secara moral maupun ekonomi memang sangat besar.
127
Menurut WIPO (World Intelctual Property Organization) pihak-pihak yang
dapat dirugikan akibat dari pelanggaran Hak Cipta adalah :
1. Pencipta termasuk Pencipta Seni Karawitan
2. Pemegang Hak Cipta, seperti penerbit, produser rekaman dank arena tidak
mendapatkan keuntungan dari investasi financial dan keahlian yang telah
merak tanamkan
3. Penjual dan distributuor, karena mereka tidak dapat bersaing secara sehat
dengan pihak lain yang melakukan pelanggaran
4. Konsumen yang membeli ciptaan yang berkualitas rendah
5. Pemerintah berkaitan dengan hukum perpajakan116
Pelanggaran Hak Cipta, khususnya seni karawitan Bali, menimbulkan
implikasi kerugian-kerugian baik secara moral maupun secara ekonomi terutama bagi
pencipta, dan implikasi hukum bagi Negara yang masyarakatnya sangat potensial
melakukan pelanggaran itu Hak Cipta.
Sistim perlindungan HKI yang baik adalah di dalam penegakan hukumnya
dapat melindungi Exlusive Right yang dimiliki oleh pencipta dan atau Pemegang Hak
Cipta. Adapun salah satu bentuk perlindungan hukum yang baik bagi Pencipta adalah
apabila dimanfaatkannya karya ciptanya oleh pihak lain dengan melalui mekanisme
perjanjian Lisensi baik Exklusive Lecences ataupun Non Exklusive Lecences.
Exklusive Lecences, adalah lisensi dalam tenggang waktu perjanjian lisensi Si
Pencipta tidak dapat melisensikan kembali hak ciptanya kepada pihak ketiga sampai
116
Sanusi Bintang, Op Cit, hal. 59-60
128
batas waktu perjanjian lisensi dengan pihak kedua berakhir. Sedangkan Non
Exklusive Lecencesi adalah Si Pencipta setelah mengadakan perjanjian lisensi pada
pihak lain, masih bisa mengadakan perjanjian lisensi dengan pihak ketiga lainnya
dalm waktu yang bersamaan.
Di Indonesia melalui UUHC 2002, pemberian Hak Cipta melalui perjanjian
lisensi dapat dilihat pada pasal 45 UUHC 2002, sedangkan pengalihan Hak Cipta
dengan cara : waris, wasiat, hibah dan perjanjian lain yang dibenarkan oleh undang-
undang terdapat pada pasal 3 ayat (2) UUHC 2002. Beralihnya Hak Cipta sesuai
dengan ketentuan-ketentuan UUHC 2002, maka Hak Cipta dapat digunakan oleh
pihak lain secara illegal. Pengambilan Hak Cipta tanpa cara-cara diatas, serta tidak
meminta izin dari penciptanya, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar Hak
Cipta (Copyright Infringement).
Terjadinya pelanggaran atau ditaatinya suatu ketentuan dalam masyarakat
tergantung dari kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Sesuai dengan ajaran
tentang kesadaran hukum yaitu Recthsgefuhl atau Recthsbewusstzijn yang pada
intinya, adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat
kecuali atas dasar kesadaran hukumnya. Hal tersebut merupakan suatu aspek dari
kesadaran hukum, aspek hukum lainnya adalah bahwa kesadaran hukum sering
dikaitkan dengan efektivitas hukum.
Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat, sesuai dengan pendapat Soerjono Soekanto, bahwa masyarakat mentaati
hukum karena sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
129
Menurut Soerjono Soekanto ada empat indicator yang mempengaruhi kesadaran
hukum diatas, di Indonesia khususnya di Bali dengan berlakunya UUHC 2002,
kesadaran hukumnya termasuk indicator yang pertamadan kedua yaitu berdasarkan
dari hasil di lapangan, bahwa kenyataannya pengetahuan hukum dengan pemahaman
hukum dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, Penegak Hukumnya terhadap UUHC
2002 masih rendah, sehingga memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan
pelanggaran Hak Cipta, khususnya karya cita Seni Karawitan Bali di Bali.
Ada pengecualian mengenai pelanggaran Hak Cipta termasuk karya cipta seni
karawitan Bali, hal tersebut diatur dalam pasal 15 UUHC 2002 menyebutkan apabila
pengambilan ciptaan orang lain baik seluruhnya ataupun sebagaian digunakan
semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan, misalnya ceramah, atau
penggunaan ciptaan orang lain untuk keperluan penelitian atau penulisan karya ilmiah
tidak termasuk pelanggaran Hak Cipta sepanjang sumbernya disebut dan
dicantumkan. Pasa 15 c (ii) juga menyebutkan bahwa pengambilan karya cipta orang
lain dengan tujuan pertunjukkan dan pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Pencipta juga di anggap
tidak melanggar Hak Cipta.
UUHC 2002 tidak menentukan secara jelas mengenai apa sesungguhnya
criteria pelanggaran Hak Cipta. Namun jika dilihat dari ketentuan pasal 1(6)
menyebutkan bahwa perbanyakan adalah adalah penambahan jumlah suatu ciptaan,
baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan
menggunakan bahan-bahan yang sama atupun tidak sama, termasuk pengalihwujudan
130
baik secara permanent maupun temporer. Bedasarkan ketentuan pasal 1(6) dikaitkan
dengan ketentuan pasal 1(5) tentang pengumuman,pasal 3 tentang pengalihan Hak
Cipta dan pasal 45-47 tentang lisensi, pasal 24 tentang Hak Moral, dapatlah
disebutkan bahwa termasuk salah satu pelanggaran Hak Cipta jika dilakukan
pengumuman, perbanyakan, pertunjukkan suatu hasil karya cipta untuk tujuan
komersial tanpa seijin dan tanpa persetujuan baik dengan perjanjian jual beli maupun
perjanjian lisensi dari Pencipta atau cara pengalihan yang sah lainnya dari Pencipta,
atau pelanggaran yang berkaitan dengan tidak dicantumkannya hak moral Pencipta.
Sebagai pembanding dalam Undang-undang Hak Cipta Australia (Copyright Act
1968) disebutkan bahwa infringement can occur if :
1. A “ substansial part “ is reproduced
2. There is an “ obyective similararity” between the alleged copy and the
original copyright material
3. And there is a causal connection between the alleged copy and the original
copyright material.
Berdasarkan section 14 ditegaskan bahwa pengambilan “substansial part” lebih di
titik beratkan pada substansi kwalitas karya cipta yang diambil, bukan semata-mata
aspek kwantitas. Undang-undang Australia mengenal pengecualian yaitu tidak harus
meminta izin dan tidak dianggap pelanggaran Hak Cipta “Fair Dealing” dalam hal
memfotocopy suatu buku hasil karya cipta untuk tujuan penelitian, kritik, dan review,
pemberitaan serta untuk bantuan hukum. Dalam hal ini walaupun ada pengecualian
dan tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, namun masi ada pembatasan-
131
pembatasannya yaitu untuk memfotocopy sebuah buku atau jurnal, hanya dibolehkan
dalam jumlah yang masuk akal, dalam hal ini sebanyak 10 persen dari buku atau
jurnal tersebut atau paling banyak sepuluh lembar atau lebih.117
Di Indonesia yang boleh memfoto copy untuk keseluruhan buku sepanjang
untuk tujuan pendidikan, penelitian, serta untuk penulisan karya ilmiah sesuai dengan
ketentuan pasal 15 a UUHC 2002, ukurannya sepanjang tidak merugikan kepentingan
yang wajar bagi Penciptanya.
Sementara pelanggaran Hak Cipta di Australia dapat terjadi dengan cara
sebagai berikut yaitu, Direct infringement, adalah apabila orang dengan sengaja dan
tanpa izin dar penciptanya secara langsung memperbanyak , mengumumkan,
menyiarkan suatu karya cipta. Authorization of infringement dimaksudkan apabila
pihak-pihak yang berdasarkan kewenangannya dalam suatu lembaga atau institusi
membiarkan orang lain untuk melakukan pelanggaran Hak Cipta, contohnya seorang
pegawe perpustakaan di Australia membiarkan mahasiswa memfoto copy sebuah
buku secara penuh, padahal ia memiliki kewenangan untuk mencegahnya, sebab
seseuai dengan ketentuan Copy Right Act seseorang hanya boleh memfoto copy 10
persen dari keseluruahan buku, atau paling banyak hanya satu bab. Sedangkan
Indirect Infringement, apabila orang mendistribusikan, memngumumkan, suatu
barang hasil pelanggaran Hak Cipta, misalnya pedagang buku dan CD bajakan.
117
Attoerny General Departement, 2000, Copy Right Law in Australia, A Short Guide ,
Commonwealth of Australia, hal.23.
132
Pelanggaran Hak Cipta dapat terjadi apabila :
- Orang dengan sengaja atau tanpa izin secara langsung memperbanyak,
mengumumkan dan menyiarkan suatu karya cipta (Direct Infringement)
- Pihak-pihak yang berdasarkan kewenangannya dalam suatu pelanggaran
Hak Cipta (Authorization of Infringement)
- Orang yang dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual
barang hasil pelanggaran Hak Cipta (Indirect Infringement) 118
Berdasarkan bentuk-bentuk pelanggaran Hak Cipta, dapat disebutkan bahwa orang-
orang atau pihak-pihak yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Cipta pada
dasarnya :
- Orang mempohoto copy buku orang lain, atau meniru hasil karya lukisan
tanpa izin Pencipta
- Orang yang secara tidak langsung melakukan perbuatan pelanggaran Hak
Cipta, misalnya menjyal barang hasil jiplakan atau pegawai perpustakaan
yang membolehkan seseorang memphoto copy sebuah buku melebihi dari
batas kewajaran.
Prinsip dasar hukum Hak Cipta adalah melindungi karya cipta nyata atau riil atau ide
yang sudah diwujudkan dalam kreatifitas karya (expression work), dan bukan
melindungi ide semata. Pemilik atau Pemegang Hak Cipta apabila haknya dilanggar
dapat mengajukan gugatan untuk menuntut ganti rugi kepada pihak yang telha
melanggar haknya, diamana gugatan perdata sama sekali tidak mengurangi hak
118
Mc. Keough Stewart, Op Cit, hal. 109-204
133
Negara untuk melakukan tuntutan pidana. Menurut UUHC pemilik Hak Cipta yang
haknya dilanggar, gugatan perdatanya dapat dilakukan ke Pengadilan Niaga,
sedangkan yang berkaitan dengan pelanggaran tindak pidana diajukan ke Pengadilan
Negeri, tindak pidana dalam UUHC 2002 adalah merupakan Delik biasa.
4.2 Langkah-Langkah Preventif Bagi Pencipta Berkaitan Dengan Pelindungan
Karya Cipta Seni Karawitan Bali.
Tujuan dan eksistensi ketentuan UUHC 2002 adalah untuk mengurangi
sebanyak mungkin terjadinya pelanggaran Hak Cipta di Indonesia. Namun dalam
kenyataannya dilapangan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan terutama di
Bali, ternyata banyak terjadi pelanggaran Hak Cipta khususnya karya cipta sen
karawitan bali. Untuk mengantisipasi diwaktu yang akan datang, agar pelanggaran
Hak Cipta dapat dihindari, atau sedapat mungkin tidak terjadi lagi sehingga tidak
merugikan Bagi Pencipta seni karawitan bali, perlu dilakukan langkah-langkah atau
upaya-upaya hukum preventif untuk menghindari terjadinya pelanggaran Hak Cipta
atas karya cipta seni arawitan Bali.
Upaya hukum Preventif artinya, untuk menghidari terjadinya pelanggaran
terhadap suatu karya cipta, khususnya karya cipta seni karawitan bali dapat dilakukan
dengan cara :
a. Melalui pendaftaran
Konsep perlindungan hukum Hak Cipta secara otomatis, dilandasi oleh
Konvensi Berne, salah satu prinsip dari Konvensi Berne (Berne Convention)
134
adalah Automateclly Protectiaon. Menurut konsep perlindungan ini, Hak
Cipta boleh didafar boleh tidak. Menurut pasal 35 ayat (4) UUHC 2002,
menentukan bahwa pendaftaran suatu ciptaan tidak merupakan suatu
kewajiban. Jadi berdasarkanketentuan tersebut pendaftaran Hak Cipta bersifat
Tidak Mutlak.
Meskipun menurut hukum perlindungan Hak Cipta secara otomatis diperoleh
Pencipta sejak ciptaannya lahir, dan tidak harus melalui proses pendaftaran,
namun kalau dilakukan pendaftaran akan lebih baik dan lebih
menguntungkan, karena dengan pendafaran hak, setidaknya akan ada bukti
formal sebagai tanda adanya Hak Cipta jika tidak terbukti sebaliknya. Dengan
adanya proses pendaftaran ini, memberikan jaminan kepastian hukum dan
menguatkan adanya perlindungan hukum atas karya cipta, jika terjadi
peniruan atau penjiplakan karya cipta, sehingga si pencipta lebih mudah
membuktikan dan mengajukan tuntutan karena ada bukti formal pendaftaran.
b. Membuat rekaman rangkuman lagu hasil karya cipta seni karawitan bali
dalam Sebuah CD audio.
Untuk menghidari biaya pendaftaran yang jumlahnya besar, jika
Pencipta memiliki karya cipta lebih dari sepuluh karya cipta, maka sesuai
dengan penjelasan Bapak Bekti, SH (jabatan), pencipta dapat membuat
rekaman rangkuman karya cipta (lagu) ke dalam CD audio yang isinya
memuat tentang keseluruhan tentang karya cipta mereka, termasuk judul,
penjelasan secara singkat tentang makna karya ciptanya dari ciptaan mereka
135
masing-masing, dan kemudian cd rekaman tersebut didaftarkan ke Direktorat
Jenderal HKI di Jakarta, untuk mendapatkan sertifikat hak cipta. Jadi
berdasarkan dari Hak Cipta Rekaman CD tersebut sudah termasuk karya cipta
seni karawitan bali mereka mendapat perlindungan sesuai dengan UUHC
2002. (wawancara 5 Desember 2009).
c. Melalui Pernjanjian
Perlindungan hukum terhadap karya cipta seni karawitan bali selain melalui
pendaftaran, juga dapat dilakukan dengan cara melalui perjanjian.
Perlindungan hukum karya cipta seni karwitan bali secara preventif melalui
perjanjian sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UUHC 2002.
Pengertian perjanjian menurut ketentuan pasal 1313 KUHPerdata tentang perikatan,
adalah pada hakekatnya menyatakan bahwa seseorang atau lebih melakukan
perbuatan untuk mengikatkan dirinya pada seseorang atau lebih. Dalam ketentaun
pasal 1313 KUHPerdata ini, mwngandung peengertian yang sangat luas dan seakan
akan hanya satu pihak saja yang berkeinginan untuk mengikatkan dirinya dengan
pihak yang lain. Padahal orang melakukan perjanjian dengan mengkatkan kedua
belah pihak, atas persetujuan yang dibuatnya.
Menurut suharnoko, suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya
suatu perjanjian yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu, dan suatu sebab yang
halal, sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Dengan dipenuhinya empat
136
syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat
secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.119
Untuk melaksanakan suatu perjanjian sesuai denga pasal 1320 KUHPerdata harus ada
kaidah yang mengaturnya. Kaidah-kaidah yang mengatur tentang terlaksananya
perjanjian tersebut dengan hukum kontrak.120
Selanjutnya dalam bukunya Salim, memberikan pengertian tentang hukum kontrak
sesuai dengan Ensiklopedi Indonesia adalah, Rangkaian kaidah-kaidah hukum yang
mengatur berbagai pesetujuan dan ikatan antara warga hukum.
Difinisi hukum kontrak yang tercantum dalam Ensiklopedia Indonesia, mengkajinya
dari aspek ruang lingkup pengaturannya, yaitu persetujuan dan ikatan warga hukum.
Tampaknya definisi ini menyamakan pengertian antara kontrak (perjanjian) dengan
persetujuan padahal antara keduanya adalah berbeda. Kontrak (perjanjian) merupakan
salah satu sumber perikatan, sedangkan persetujuan merupakan salah satu syarat
sahnya suatu konrak ( perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata).
Pengertian hukum kontrak (perjanjian), menurut Van Dunne adalah keseluruhan dari
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Van Dunne tidak hanya mengkaji kontrak pada tahap kontrak tual semata tapi juga
harus diperhatikan perbuatan sebelumnya mencakup pracontractual dan post
contractual. Pracontractaul, merupakan tahapa penawaran dan penerimaan, sedang
119
Suharnoko, Op Cit, hal. 1 120
Salaim, 2003, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, hal.4
137
kan Post Contractual adalah pelaksanaan perjanjia. Dengan adanya suatu perjanjian
maka akan menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan
yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
Hak merupakan sebuah kenikmatan sedangkan kewajiban merupakan sebuah beban.
Dari beberapa definisi diatas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam
hukum kontrak, sebagaimana dikemukakan sebagai berikut :
1. Adanya kaidah hukum, yaitu kaidah dalam hukumkontrak dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu tertuli dan tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
udangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum tidak tertulis
adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.
2. Subyek hukum atau Recht Person, adalah parr pihak yang mengadakan
kontrak, dalam hal ini dapat orang atau badan hukum.
3. Prestasi, adalah apa yang menjadi hak di saut pihak dan kewajiban dipihak
lain. Prestasi terdiri dari, memberikan sesuatu, tidak berbuat
4. Kata sepakat, sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata.
5. Akibat hukum, yaitu, setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan
menimbulkan akibat hukum. Jadi akibat hukum adalah hak dan kewajiban.121
Berkaitan dengan upaya hukum preventif, yaitu untuk menghindari terjadinya
pelanggaran terhadap Hak Cipta, tertuama karya cipta seni karawitan Bali, dengan
121
Salaim. Loc Cit, hal.4-5
138
cara melalui perjanjian, selain berdasarkan pasal 1313 dan 1320 KUHPerdata, dapat
pula merujuk pada pasal 45 UUHC 2002 yang menyatakan, bahwa pemegang Hak
Cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian
lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUHC
2002. Sedangkan yang dimaksud dengan lisensi dalam UUHC 2002 adalah, mengacu
pada pasal 1 angka 14 yang menjelaskan bahwa lisensi adalah, izin yang diberikan
oleh pemegang Hak Cipta atau pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk
mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya
dengan persyaratan tertentu.
Mengkaji lebih jauh tentang Lisensi Hak Cipta, menurut Pasal 45 UUHC
2002 dapat diketahui bahwa pelisensian hak cipta dapat dilakukan dengan atau
berdasarkan surat perjanjian Lisensi, yang isinya pemegang Hak Cipta membrikan
hak khusus kepada orang lain untuk menikmati nilai ekonomis suatu ciptaan yang
dilindungi oleh Hak Cipta.
Dengan demikian surat perjanjian lisensi hanya bersifat pemberian izin atau
hak untuk dalam jangka waktu tertentu pula. Persyaratan tertentu yang berkaitan
dengan jangka waktu Lisensi dan Royalty fee, dalam hal ini Lisensi dibuat secara
tertulis. Mengenai isi dari perjanjian Lisensi, secara khusus tidak diatur pada UUHC
2002, namun nudang-undang memberikan kebebasan untuk melakukan perjanjian
asalkan tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata. Kebebasan membuat isi
perjanjian, dikenal dengan asas kebebasan berkontrak yang ketentuannya merujuk
pada pasal 1338 KUHPerdata, menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat
139
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cukup untuk itu.
Berkaitan dengan Lisensi ini, maka isi perjanjian Lisensi atas persetujuan
kedua belah pihak mengacu pada pasal 1338 KUHPerdata, adalah merupakan
undang-undang bagi merekat, dan ini merupakan Lex Spesialis terhadap UUHC 2002.
Berdasarkan langkah-langkah preventif yang dilakukan oleh pencipta karya cipta seni
karawitan bali untuk melindungi hak merek sesuai dengan ketentuan UUHC 2002
yang sedang berlaku, namun kenyataan di lapangan, langkah-langkah preventif
tersebut sangat jarang dilakukannya, dengan alasan bahwa mereka tidak tahu bahwa
UUHC 2002 memberikan perlindungan preventif bagi pencipta seni karawitan bali,
karena mereka juga tidak mengetahui bahwa dengan mempertunjukkan karya cipta
seni karawitan orang lain secara komersiil, tanpa seizin Penciptanya adalah
merupakan suatu pelanggaran Hak Cipta.
4.3 Upaya Hukum Bagi Pencipta Berkaitan Dengan Pertunjukkan Karya Cipta
Seni Karawitan Bali.
Negara berfungsi dan berperan dalam menjaga ketertiban, keamanan, dan
memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya termasuk didalamnya
berkewajiban untuk selalu berupaya dalam rang memberikan perlindungan hukum
terhadap Pencipta dan Pemegang Hak Cipta karya Cipta seni Karawitan Bali, sebagai
salah satu bentuk kepedulian Negara pada masyarakat.
140
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, merupakan realisasi Negara
untuk melindungi warganya dibidang Hak Cipta. Namun dakam perkembangannya
walaupun sudah dibuatkan Undang-Undang, pelanggaran tentang Hak Cipta tetap
terjadi termasuk pelanggaran atas pertunjukkan karya cipta seni Karawitan Bali.
Pelanggaran ini terjadi dikarenakan kurangnya pemahaman hukum Hak Cipta baik
bagi Pencipta itupun sendiri maupun bagi pelaku pertunjukkan. Untuk menghindari
dan mengurangiterjadinya pelangaran Hak Cipta terhadap karya cipta seni Karawitan
Bali, upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pencipta adalah :
a. Dengan cara perdata.
Upaya hukum yang dilakukan oleh Pencipta untuk melindungi Hak Cipta
dalam hal terjadinya pelanggaran oleh pihak lain dengan cara melakukan
gugatan secara perdata ke pengadilan Niaga.
Upaya hukum melalui gugatan perdata diatur dalam Pasal 56 UUHC2002,
yang menyatakan bahwa :
1) Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi
kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta dan
meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil
perbanyak ciptaan itu.
2) Pemegang Hak Cipta berhak juga memohon kepada Pengadilan
Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian
penghasilan yang diperoleh dari pelanggaran ceramah, pertemuan
141
ilmiah, pertunjukkan atau pameran karya, yang merupakan hasil
pelanggaran Hak Cipta
Pengambilan Hak Cipta tanpa seizing dari pemiliknya atau dari yang berhak, dapat
pula digugat berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, tentang perbuatan melawan
hukum. Adapun isi dari pasal 1365 KUHPerdata adalah sebagai berikut ; setiap
perbuatan melawan hukum, oleh karenanya menimbulkan kerugian pada pihak lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menyebabkan kerugian itu menggantinya.
Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa yang termasuk perbuatan melawan hukum
termasuk perbuatan yang melanggar peraturan lain diluar bidang hukum. Yang
dimaksudakan lain ialah, peraturan dilapangan kesusilaan, keagamaan, dan sopan
santun.122
Dari rumusan pasal 1365 KUHPerdata dapat dilihat bahwa suatu perbuatan
melawan hukum harus memenuhi unsure-unsur dibawah ini :
a. Perbuatan itu harus melawan hukum ( onrechtmatig )
Perbuatan melawan hukum menurut Arrest 1919, merupakan suatu
perbuatan yang melanggar hukum, jika melanggar Hak Cipta orang lain
yang merupakan hak subyektif yaitu hak-hak perorangan, seperti
kebebasan, kehormatan, dan nama baik.
122
Wirjono Prodjodikoro, 2000, Perbuatan Melangar Hukum, Dipandang dariSudut Hukum
Perdata, Bandar Maju, Bandung, hal.6
142
b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian
Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil ataupun kerugian inmateriil.
Pasal 1246 sampai pasal 1248 KUHPerdata mengenai ganti kerugian dalam
hal wanprestasi tidak dapat diterapkan pada perbuatan melawan hukum,
melainkan dibuka kemungkinan penerapan secara analogis. Mengenai
pasal-pasal ganti kerugian akibat wanprestasi, kerugian meliputi tiga
unsure yaitu ; biaya, kerugian yng sesungguhnya dan keuntungan yang
duharapkan (bunga), sedangkan ukuran yang dipakai adalah uang, dalam
perbuatan melawan hukum usnur kerugian dan ukuran penilaiannya dengan
uang dapat diterapka secara analogis. Dengan demikian perhitungan ganti
rugi dalam perbuatan melawan hukum didasarkan pada kemungkinan
adanya ketiga unsur tersebut dan kerugian dihitung secara jumlah uang.
c. Perbuatan ini harus dilakukan dengan kesalahan.
Pengertian kesalahan ini adalah pengertian dalam hukum Perdata, bukan
hukum Pidana. Kesalahan dalam pasal 1365 KAUHPerdata ini
mengandung semua garadasi dari kesalahan dalam arti “sengaja” sampai
pada kesalahan dalam arti “tidak sengaja” (lalai).
d. Antara perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan harus ada hubungan
kausal.
Adanya hubungan kausal dapat disimpulkan dari kalimat dalam pasal 1365
KUHPerdata, perbuatan yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian,
143
kerugian itu harus timbul sebagai akibat dari perbuatan orang itu, jika tidak
ada perbuatan, tidak ada kerugian.123
Dikaitkan dengan pelanggaran Hak Cipta, sesuai dengan pasal 56 UUHC 2002,
bahwa Pencipta berhak melakukan gugatan ganti rugi ke PEngadiloan Niaga atas
pelanggaran Hak Ciptanya dan menerima penyitaan terhadap benda yang diumumkan
atau hasil-hasil pembajakan ciptaan.
Meskipun dalam menentukan dan membuktikan besar kecilnya kerugian itu
mengalami kesulitan, namun hakim dapat menentukan “ex aequo et bono” atau
berdasarkan kepatutan dan kepantasan dalam nilai uang, apa benar-benar menderita
kerugian, hal ini dapat dibuktian oleh Penggugat seperti dalam karya cipta seni
Karawitan, adanya konser seni karawitan secara komersiil tanpa seizin Pencipta
dengan mengurangi atau memodifikasi atau mempersingkat waktu jalannya lagu
sehinga membuat kwalitas gending terkesan seperti asal-asalan, yang dapat
mengakibatkan kerugian baik materiil maupun imateriil bagi Pencipta Seni Karawitan
itu sendiri.
b. Upaya hukum melalui tuntutan secara Pidana
Upaya hukum secara pidana dapat merujuk pada pasal 72 – 73 UUHC2002
yang menyatakan bahwa :
(1). Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1)
123
Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 252-257.
144
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan /atau pidana penjara paling lama 7 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- ( lima milyar
rupiah ).
(2). Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta
rupiah).
(3). Barang siapa dengan dan tanpa hak memperbanyak penggunaan
untuk kepentingan komersial suatu program computer dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
(4). Barang siapa dengan sengaja melanggar pasal 17 UUHC 2002
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000 (1 milyar rupiah). Sampai ayat (9).
Tuntutan yang dapat dilakukan oleh Pencipta secara Pidana dapat dilakukan
melalui pengadilan umum.
145
Adapun cara penyelesaian upaya hukum diatas dapat dilakukan dengan cara Litigasi
dan Non Litigasi.
a. Cara Litigasi, adalah cara penyelesaian pelanggaran Hak Cipta melalui
Pengadilan. Namun penyelesaian pelanggaran Hak Cipta melalui
Pengadilan umum ini, biasanya dilakukan oleh pihak Pencipta yang karya
ciptanya dilanggar secara pidana. Penyelesaian pelanggaran Hak Cipta
secara perdata sesuai dengan ketentuan pasal 56 ayat 1 UUHC 2002, dapat
diselesaikan di Pengadilan Niaga, namun kenyataan ini selama dilapangan
menurut Bapak Ketut Wiartha SH (Hakim Pengadilan Negeri Denpasar)
menyatakan bahwa sampai saat ini kasus yang masuk ke Pengadilan Negeri
Denpasar baru pelanggaran Hak Cipta atas milik Joger, Karya Cipta seni
lukis Nyoman Gunarsa, namun sampai saat ini belu ada pihak Pencipta
karya seni karawitan bali yang mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri
Denpasar karena Hak Ciptanya dilanggar.
b. Cara Non Litigasi, adalah cara yang dilakukan oleh Pencipta untuk
menyelesaian upaya hukumnya melalui cara diluar peradilan. Cara Non
Litigasi ini, hanya dapat digunakan pada pelanggaran Hak Cipta secara
Perdata. Cara ini sesuai dengan ketentuan Pasal 65 UUHC 2002 yang
menyatakan bahwa, selain penyelesaian sengketa yang dimaksud pada
pasal 55 dan pasal 56, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut
melalui arbitrase atau alternative penyelesaian sengketa. Selain itu dapat
merujuk melalui ketentuan Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang
146
alternative penyelesaian sengketa. Pasal 1 angka 10 Undang-undang ini
membahas tentang alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan
adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur
yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar persidangan dengan
cara Konsoldasi, Negosiasi, Mediasi, atau penilaian ahli. Selain dengan
cara-cara diatas UU. No.30 Tahun 1999, juga mengatur tentang
penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase. Pengertian Arbitrase adalah
cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan
atas perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Dalam perkembangan dunia bisnis, para pihak yang bersengketa lebih banyak
menempuh jalan dengan cara penyelesaian sengketa melalui cara Non Litigasi.
Alasan-alasan yang
mengemuka para pihak cenderung mempergunakan cara Non Litigasi antara lain :
1. Waktu yang cepat
Waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah adalah
waktu yang sangat berharga, sedangkan jalan untuk menyelesaikan
sengketa melalui pengadilan sangat tidak menguntungkan, karena
menggugat di Pengadilan Perdata merupakan jalan yang sangat panjang.
Putusan pengadilan belum merupakan kekuatan hukum yang mengikat,
sebab masih ada tingkatan Banding ke Pengadilan Tinggi hingga Kasasi
147
bagi mereka yang merasa belum puas atas putusan tingkat Pengadilan
Negeri.
2. Adanya orang-orang yang ahli
Dengan lembaga alternative penyelesaian sengketa, para pihak dapat
menunjuk orang ahli dibidangnya, yang mengetahui tentang masalah yang
menjadi sengketa. Dengan demikian putusan yang akan diambilnya
didukung oleh pengetahuan yang mendalam tentang hal-hal yang
dipersengketakan.
3. Rahasia para pihak terjamin
Para pihak yang bersengketa dapat meminta LEmbaga alternatif, untuk
tidak menyebarkan masalah tersebut pada public.124
Berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa dalam pelanggaran kasus Cipta Seni
Karawitan Bali, sangat relevan apabila cara-cara tersebut diatas dapat diterapkan.
Namun kenyataannya dilapangan sesuai dengan penelitian, hingga kini penyelesaian
sengketa atas pelanggaran karya cipta seni Karawitan bali baik melalui Litigasi
maupun Non Litigasi belu pernah ada. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman
Pencipta dan Para Pelaku Konser karya cipta seni karawitan Bali terhadap
UUHC2002.
124
Richard Burton Simatupang, Op Cit, hal. 57-58.
148
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan dari pemaparan permasalahan Bab III sampai Bab IV
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan ketentuan Undang- Undang Hak Cipta 2002 belum efektif
untuk memberikan perlindungan hukum bagi pencipta berkaitan dengan
Karya Cipta Seni Karawitan Bali. Hal ini terlihat dari banyaknya
penggunaan Karya Cipta seseorang yang dipertunjukkan secara komersill
tanpa meminta izin terlebih dahulu dari Pencipta Karya tersebut. Hal inilah
yang menyebabkan banyak terjadinya pelanggaran atas Hak Cipta.
2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Pencipta yakni dengan
mengklaim bahwa pertunjukan yang dilakukan oleh pelaku pelanggaran
hak cipta adalah hasil ciptaanya . dan meminta pihak pelaku pelanggaran
untuk menghentikan mempertunjukkan karya ciptaanya, sebelum ada
pembicaraan lebih lanjut kepada pencipta. Dalam hal ini pihak pelaku
pertunjukkan hendaknya meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta
sebelum mempertunjukkan karya ciptaan si pencipta. Permintaan izin
tersebut tertuang dalam perjanjian yang isinya memuat tentang Royalti
yang akan diterima oleh si Pencipta itu sendiri. Apabila hal tersebu tidak
dituruti oleh pihak pelaku pertunjukkan Upaya hukum yang digunakan oleh
149
Pencipta terhadap pelanggaran atas karya Cipta nya adalah dengan
melakukan gugatan Perdata ke Pengadilan Niaga yang diatur pada Pasal 56
UUHC 2002, Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum
dan dengan melakukan tuntutan secara pidana yang di atur pada Pasal 72 -
73 UUHC 2002.
5.2 Saran
1. Diharapkan kepada pihak-pihak terkait baik Dirjen HKI, maupun
Departemen Perindustrian dan Departemen Hukum dan HAM, untuk lebih
meningkatkan sosialisasi tentang UUHC 2002 khususnya kepada Pencipta
seni Karawitan Balidan pihak yang mengorganisir konser karya cipta senii
karawitan Bali secara komersiil, seperti pada pengelola hotel, pengelola
media visual, dan pemilik tempat pertunjukkan secara komersiil yang ada
dibali.
2. Perlu adanya suatu organisasi atau peguyuban YKCSB( Yayasan Karya
Cipta Seni Bali ) oleh para Pencipta Seni Karawitan Bali, semacam YKCI
(Yayasan Karya Cipta Indonesia) dalam Karya Cipta Musik dan Lagu,
untuk memberikan perlindungan secara ekonomis kepada para Pencipta
yang menjadi anggota Paguyuban.