BAB I
PENDAHULUAN
A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Pemilukada merupakan pemilihan umum ditingkat daerah seperti
pemilihan gubernur, bupati / walikota beserta wakilnya yang dilakukan secara
langsung oleh penduduk setempat yang telah memenuhi syarat. Menurut
ketentuan pasal 1 ayat 5 Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum, definisi pemilu kepala daerah dan wakil
kepala daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.1
Pada tahun 2010 dan 2011 dilaksanakan pemilukada di beberapa provinsi
dan kabupaten / kota. Tahun 2010 merupakan ajang pilkada langsung kedua
setelah pilkada terdahulu yang dilaksanakan pada tahun 2005. Pada tahun
2010 telah dilakukan 244 pilkada yang digelar di seluruh Indonesia. Tujuh
pilkada untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, Sumatera barat,
Kalimantan tengah, Kalimantan selatan, Sulawesi utara, Kepulauan Riau, dan
Jambi. Sisanya sebanyak 202 Pilkada kabupaten dan 35 kota.2 Pemilukada
tersebut diselenggarakan untuk menumbuhkembangkan jiwa demokrasi,
1 Pasal 1 ayat (5) UU Nomor 22 Tahun 2007, Dapat diakses melalui www.legalitas.org. 2 Dapat diakses melalui www.bappenas.go.id.,
1
sehingga diharapkan dapat menjadi jawaban aspirasi rakyat di daerah
setempat.
Dalam penyelenggaran pesta demokrasi tidak selalu dapat berjalan mulus
dan lancar, salah satu faktor yang melatarbelakangi adalah perubahan
dinamika politik lokal. Ciri semakin tingginya dinamika sosial politik ditandai
dengan meningkatnya wawasan warga perihal hidup berbangsa dan bernegara
dalam iklim yang berkebebasan dan berkeadilan untuk mengemukakan hak
dalam menentukan pilihannya. Dalam pemilihan kepala daerah di masing-
masing provinsi, kabupaten / kota dapat dilihat sikap kritis calon pemilih yang
semakin meningkat. Berbagai permasalahan klise yang sering mewarnai
jalannya proses pemilu antara lain adalah adanya money politik, mobilisasi
masa, konspirasi politik, ketidaknetralan pihak penyelenggara dan lain
sebagainya. Permasalahan yang menodai berjalannya pemilihan suara tersebut
bervariasi di setiap daerah. Hal tersebut dikarenakan suasana politik di setiap
daerah beraneka ragam serta model masalah dari tahun ke tahun juga semakin
berkembang.
Salah satu contoh permasalahan baru dalam penyelenggaraan pemilukada
adalah adanya dualisme KPUD sebagai pihak penyelenggara pesta demokrasi.
Hal tersebut pada akhirnya mempengaruhi keabsahan suatu hasil pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Berdasarkan pemberitaan dari
berbagai media massa terjadi dualisme KPUD di Kabupaten Waropen,
Provinsi Papua Barat. Adanya dua penyelenggara pemilihan umum tingkat
2
Kabupaten Waropen ini menjadikan rancau proses Pemilihan Kepala dan
Wakil Daerah setempat, karena mempengaruhi penentuan hasil Pemilukada.
Kronologis singkat perkara ini adalah adanya dualisme KPUD tersebut
masing – masing merasa memiliki wewenang untuk menyelenggarakan
Pemilukada di Kabupaten Waropen, Papua Barat. KPUD Lama merupakan
nama dari KPUD Waropen yang dibentuk berdasarkan SK nomor 39 tahun
2008 yang diketuai oleh Melina K.K Wonatorei. Sedangkan KPUD Waropen
Baru adalah KPUD yang dibentuk berdasarkan SK KPU Provinsi Papua
Nomor 60 Tahun 2010 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Antar Waktu
Anggota Komisi Pemilihan Umum Kab. Waropen, tertanggal 21 Agustus 2010
yang diketuai oleh Christison B Mbaubedari.
Lazimnya pemilihan umum tingkat daerah maupun nasional hanya
diselenggarakan oleh “satu pihak” yaitu suatu KPU atau KPUD.
Permasalahan tersebut pada akhirnya dijadikan salah satu gugatan pihak yang
merasa dirugikan atas pelaksanaan pemilukada di Kabupaten Waropen.
Gugatan tersebut dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang
berwenang menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Namun
pada akhirnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 181/PHPU.D-
VIII/2010 tepatnya dalam pertimbangan hakim tentang dualisme KPUD
tersebut menyatakan bahwa hasil pemilukada yang sah yaitu yang
diselenggarakan oleh KPUD Lama di ketuai oleh Melina K.K Wonatorei.
3
Pertimbangan hakim tentang disahkanya hasil pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
181/PHPU.D-VIII/2010 yang diselenggarakan oleh KPUD yang demisioner
tersebut melahirkan kontroversi di berbagai kalangan khususnya para
pengamat jalannya pemilu di seluruh wilayah Indonesia. Dalam pertimbangan
hukum tersebut dinyatakan bahwa hakim konstitusi lebih memprioritaskan
Asas Kemanfaatan “Doelmatigheid” daripada Asas Kepastian Hukum
“Rechtmatigheid”. Atas uraian singkat diatas maka akan diteliti lebih
mendalam mengenai penerapan Doelmatigheid dan Rechtmatigheid pada salah
satu pertimbangan hukumm dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
181/PHPU.D-VIII/2010 tepatnya mengenai keabsahan hasil pemiluada yang
diselenggarakan oleh KPUD yang demisioner tepatkah dijadikan ratio
decidendi. Atas dasar uraian singkat diatas maka penelitian ini diberi judul :
“PENERAPAN ASAS RECHTMATIGHEID DAN ASAS
DOELMATIGHEID DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 181/PHPU.D-VIII/2010
TENTANG
PEMILU KEPALA DAERAH KABUPATEN WAROPEN
PAPUA BARAT TAHUN 2010”
4
Untuk memahami judul diatas, berikut ini dijabarkan definisi – definisi
operasional yang dipakai dalam judul penelitian.
a. Penerapan adalah n 1 aplikasi, implementasi, pelaksanaan,
pengamalan, praktik, rekayasa; 2 pemasangan, perakitan (tt mesin),
produksi.3
b. Rechmatigheid adalah legatitas atau legality.
c. Doelmatigheid adalah daya guna, kemanfaatan, kegunaan, manfaat
dan tujuan; behalve de rechtmatigheid moet ook de ~ in aanmerking
worden genomen selain pertimbangan yuridis, pertimbangan manfaat
dan tujuan pun harus diperhatikan.4
d. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah suatu perwujudan dari produk
hukum yang diciptakan oleh Mahkamah Konstitusi yang bersifat final
dan umum.
e. Pemilu kepala daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah
dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5
3 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, h. 662. 4 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda – Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1999, h. 103. 5 Pasal 1 ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2007, dapat diakses melalui www.legalitas.org.
5
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Seorang hakim dilarang menolak perkara yang diajukan kepadanya
meskipun belum adanya peraturan formalnya yang mengaturnya. Berdasarkan
pada pernyataan tersebut dapat diartikan pula bahwa seorang hakim harus
kreatif atau mempunyai inisiatif untuk menciptakan formula hukum yang baru
diatas kekosongan hukum atau ketidakjelasan hukum. Seorang hakim harus
melakukan penemuan hukum agar permasalahan yang terdapat didalam
kehidupan masyarakat dapat diselesaikan seadil – adilnya. Undang – undang
yang telah diciptakan pada beberapa tahun yang lalu kadang dirasa tidak dapat
menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang terjadi di masa kini. Hal
tersebut dikarenakan semakin rumitnya masalah yang tercipta di dalam
masyarakat diatas berbagai faktor yang melatarbelakanginya.
Pada dasarnya hukum yang tertulis merupakan suatu petunjuk hidup yang
masih umum, oleh karena itu ketika hakim dihadapkan pada permasalahan
yang konkret maka si hakim harus menghidupkan pasal - pasal dalam hukum
tersebut lalu dikaitkan dengan masalah yang ada untuk dianalisis agar
ditemukan jalan keluarnya. Hakim dalam merumuskan Nilai Keadilan tidak
semata – mata berdasarkan undang – undang maupun hukum positif , tetapi
yang lebih penting berdasarkan nilai keadilan masyarakat (werkwlijkheid)6.
Dalam melahirkan suatu solusi permasalahan hukum putusan seorang hakim
tidak boleh hanya memperhatikan bunyi undang – undang maupun hukum
positif lainnya karena hal tersebut bisa saja mengabaikan apa yang menjadi
6 Wasis SP, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Universitas Muhamadiyah Malang, Malang, 2002, h. 83.
6
7
tujuan pokok penemuan hukum. Sedangkan arti kata penemuan hukum itu
sendiri adalah proses kegiatan pengambilan keputusan yuridik konkret yang
secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual
(putusan – putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta notaries, dan
sebagainya).7 Akhir-akhir ini putusan hakim banyak yang mendapat sorotan
dan kritikan tajam masyarakat karena dinilai kering dan belum mencerminkan
nilai Keadilan sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil
Amandemen pasal 24 ayat (1) yang menegaskan bahwa Kekuasaan
Kehakiman (dimana produknya adalah putusan hakim) merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.8 Dalam melakukan tindakan mengadili / memutus suatu perkara
seorang hakim di Negara Indonesia harus mengacu pada landasan pokok yang
menjadi roh atas berlangsungnya proses peradilan yang ada. Acuan dasar dan
utama tersebut dapat dilihat dalam Undang – undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Merujuk dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) secara
garis besar berbunyi “Peradilan dilakukan berdasarkan Ketuhanan YME,
keadilan, serta Pancasila sebagai Dasar hukum Negara Indonesia. Selain itu
ketentuan pasal 5 ayat (1) dan (3) juga mengamanatkan bahwa dalam
mengadili suatu perkara hakim dan hakim konstitusi harus menaati kode etik
serta wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Sering kali para ahli hukum
7 Arief B Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum Dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2008, h.11 8 Zaenal Ahmad Fanani, Berfikir falsafati dalam putusan hakim. Dapat diakses melalui www.google.com.
mengklasifikasikan yang tercakup dalam ketentuan dasar Kekuasaan
Kehakiman menjadi tiga yaitu asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas
kemanfaatan, sehingga dalam menciptakan suatu putusan hakim dan hakim
kostitusi harus mempertimbangkan ketiga asas tersebut.
Fenomena tentang penerapan ketiga asas diatas dalam berbagai putusan
sangat beraneka ragam, tergantung pada duduk permasalahan yang ada. Sering
kali aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan tidak dapat teraplikasi
secara bersamaan dalam suatu putusan. Salah satu fakta tersebut dapat
ditemukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 181/PHPU.D-
VIII/2010.
Perselisihan yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sesungguhnya
memiliki karakter tersendiri dan berbeda dengan perselisihan yang dihadapi
oleh peradilan biasa. Keputusan yang kemudian diminta oleh pemohon dan
diberikan oleh Mahkamah Konstitusi akan membawa akibat hukum yang tidak
hanya mengenai orang – seorang atau individu yang mengajukan permohonan,
tetapi juga orang lain, Lembaga Negara dan aparatur pemerintah atau
masyarakat pada umumnya.9
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terdapat salah satu
pertimbangan hukum yang cukup banyak mendapatkan kritikan dari berbagai
pihak yaitu ketika Mahkamah Konstitusi secara jelas mengabaikan asas
kepastian hukum. Dalam putusan tersebut nampak jelas pengabaian
9 Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005, h. 53.
8
rechtmatigheid (asas kepastian hukum) dan mengedepankan doelmatigheid
(asas kemanfaatan) dimana hal tersebut dapat dilihat dalam pertimbangan
hakim khususnya dalam keabsahan hasil pemilihan umum. Pada pemilukada
Kabupaten Waropen, Papua Barat ditemukan adanya masalah baru yang juga
menjadikan proses pemilukada semakin rancau karena menimbulkan konflik
baik secara vertikal maupun horisontal. Permasalahan yang dimaksud tersebut
adalah keabsahan hasil pemilukada yang dikeluarkan oleh KPUD demisioner.
Permasalahan berawal dari gugatan Ones Ramandey dan Zeth Tanati
(Bupati Incument) tanggal 8 Juli 2010 terhadap Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Waropen Melina K.K Wonatorei (Tergugat) terkait Keputusan Tata
Usaha Negara Berupa Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Waropen Nomor : 9 Tahun 2010 tanggal 25 Juni 2010 Tentang Penetapan
Calon Tetap Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Waropen pada pemilihan
umum kepala daerah dan wakil daerah kabupaten Waropen tahun 2010 yang
merugikan para penggugat karena para penggugat tidak diloloskan sebagai
Calon Tetap Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten
Waropen periode 2010 – 2015. Kemudian Ketua Pengadilan Tata Usaha
Jayapura dalam perkara a qua telah mengeluarkan Penetapan (Dalam
Penundaan) No. 27/PEN/2010/PTUN.JPR, tertanggal 9 Juli 2010 yang
memerintahkan tergugat untuk menunda sementara seluruh tahapan proses
Pemilukada Kabupaten Waropen 2010 terkait dengan permohonan Para
penggugat (Ones Ramaney dan Zeth Tanati) sampai adanya Keputusan yang
berkekuatan hukum tetap. Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura
9
memutuskan/memerintahkan Tergugat (KPU Waropen) untuk mengakomodir
Pengugat dalam Pemilukada Kabupaten Waropen 2010, namun tidak
diindahkan oleh KPU Waropen. Atas rangkaian pelanggaran yang dilakukan,
maka KPU Pusat memerintahkan KPU Provinsi untuk membentuk Dewan
Kehormatan khusus untuk meneliti dugaan pelanggaran etik yang dilakukan
oleh KPU Waropen hingga akhirnya Dewan Kehormatan KPU Papua
mengeluarkan Keputusan No 60 Tahun 2010 tentang Pemberhentian dan
Pengangkatan Antar Waktu Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Waropen tertanggal 21 Agustus 2010. Kemudian disusul oleh Berita Acara
Rapat Pleno KPU Kabupaten Waropen memutuskan untuk mencabut Banding
yang diajukan oleh KPU yang demisioner sehingga Perkara No
27/G/2010/PTUN.JPR menjadi inkrach karena pencabutan dimaksud,
sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak mematuhi Keputusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Jayapura untuk mengakomodir Penggugat (Ones Ramadey
dan Zeth Tanati) sebagai pasangan calon yang berhak ikut Pemilukada
Kabupaten Waropen 2010.
Lalu tanggal 7 September 2010 KPU Kabupaten Waropen mengeluarkan
Keputusan No 005/KPU-KW/IX/2010 tentang Daftar Nama Calon yang
dinyatakan lulus verifikasi untuk Pemilukada Kabupaten Waropen 2010,
dimana Ones J Ramadey dan Zeth Tanati yang memenangkan gugatan TUN
Jayapura telah diakomodir sebagai peserta. Namun hingga Pemberhentiannya,
Termohon (KPU Waropen) masih melaksanakan tahapan pemilukada dan
tidak melaksanakan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura
10
juga Putusan No 27/G/2010/PTUN.JPR dimaksud, bahkan cenderung
melecehkannya, dan diyakini bahwa persoalan seperti ini tidak akan sampai di
Mahkamah Konstitusi andai saja KPU yang demisioner mematuhi Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura dalam Penundaan maupun dalam
Putusan Akhir atau setidak – tidaknya berhenti berdasarkan Putusan Dewan
Kehormatan KPU Provinsi Papua. Berdasarkan alasan terebut diatas dan
secara de facto dan de jure bahwa Kepengurusan Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Waropen saat ini dipegang oleh Christison B. Mbaubedari dkk
berdasarkan Keputusan KPU Provinsi Papua No 60 tahun 2010. Pemungutan
suara oleh KPU Demisioner (lama) dilaksanakan pada tanggal 25 Agustus
2010, yang diikuti 6 Pasangan Calon dan ditindaklanjuti dengan Perhitungan
Suara di TPS pada hari yang sama dianggap tidak berdasarkan hukum dan
mengada – ada, dimana Komisi Pemilihan Umum yang menyelenggarakan
Pemilukada tersebut sudah demisioner dan digantikan oleh Personil Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Waropen yang baru per tanggal 21 Agustus 2010
dengan surat KPU Provinsi Papua No 60 Tahun 2010.
Berkaitan erat dengan penjelasan tersebut maka Mahkamah Konstitusi
memberikan pertimbangan hukum atas permasalahan hukum dualisme KPUD
bahwa hasil pemilukada yang diketuai oleh Melina KK Wonatorey,SH
dinyatakan sah. Melihat penjelasan singkat mengenai aplikasi ketentuan
undang – undang yang mengatur tentang pemberhentian KPU Kabupaten
hingga lahirnya SK pemberhentian dan pengangkatan KPU Waropen diatas
maka dari sudut pandang rechtmatigheid dengan diterbitkanya SK KPU
11
Provinsi Papua Nomor 60 Tahun 2010 tentang Pemberhentian dan
Pengangkatan Antar Waktu Anggota Komisi Pemilihan Umum Kab.
Waropen, tertanggal 21 Agustus 2010 sebagai dasar hukumnya sudah sangat
kuat untuk menyatakan bahwa KPUD Waropen versi Melina K.K sudah tidak
memiliki wewenang untuk menyelenggarakan Pemilukada terhitung sejak
terbitnya SK KPU tersebut yaitu pada tanggal 21 Agustus 2010, jadi
konsekuensi dari terbitnya SK KPU tersebut itu berarti juga bahwa hasil
pemilukada Kabupaten Waropen tanggal 25 Agustus 2010 dianggap batal
demi hukum. Namun ketika pertimbangan hukum hakim konstitusi
memasukkan pemikiran mengenai banyaknya kerugian yang akan dialami
oleh negara dan masyarakat Kabupaten Waropen, maka negara dalam hal ini
sebagai pihak yang telah banyak mengeluarkan biaya (baik financial cost
maupun social cost) yang tidak kecil untuk melaksanakan tahapan pemilukada
hingga tahapan pendistribusian logistik pemilukada, tahapan kampanye, dan
tahapan pemungutan suara. Dilihat dari asas doelmatigheid maka hasil
pemilukada tanggal 25 Agustuts 2010 yang diselenggarakan oleh Melina K.K
dapat dianggap sah.
Dalam satu sisi pemberian wewenang pada hakim untuk mengadili suatu
perkara berdasarkan hukum “rechtmatigheid” cukup bermanfaat karena
terdapat acuan mengadili secara jelas dan dapat dikontrol oleh masyarakat
apabila terjadi penyalahgunaan wewenang. Namun di sisi lain pemberian
wewenang tersebut juga dapat menjadi peluang terjadinya pelanggaran
kehidupan masyarakat ketika asas kemanfaatan “doelmatigheid” yang ada
12
lepas dari perhatian hakim. Sehingga mengaplikasikan kedua aspek tersebut
bukanlah hal yang mudah karena selubung kepentingan yang mengintari
permasalahan tersebut secara garis besarnya harus terakomodir semua,
kalaupun tidak dapat seutuhnya mengakomodir setidaknya produk hukum
berupa solusi permasalahan yang berupa putusan tersebut tidak
mengakibatkan lahirnya masalah baru. Seperti halnya penerapan
doelmatigheid dan rechtmatigheid dalam pertimbangan hakim Putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 181/PHPU.D-VIII/2010, nampak dilihat adanya
pengutamaan salah satu asas, hal tersebut dikarenakan kedua asas terpenting
dalam perkara tersebut bersebrangan. Menjadi dilema bagi hakim untuk
memutus berdasarkan penekanan pada salah satu aspek saja agar terwujud
solusi tepat. Saat ini permasalahan baru timbul setelah keluarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 181/PHPU.D-VIII/2010 tersebut yaitu berupa
banyak protes dari berbagai pihak lebih tepatnya mengenai pertimbangan
hukum hakim konstitusi mengenai masalah keabsahan hasil pemilihan umum
yang diselenggarakan oleh KPUD Waropen demisioner. Hal tersebut
dikarenakan adanya SK KPU Provinsi Papua Nomor 60 Tahun 2010 tentang
Pemberhentian dan Pengangkatan Antar Waktu Anggota Komisi Pemilihan
Umum Kab. Waropen, tertanggal 21 Agustus 2010 tidak dijadikan hakim
sebagai dasar yang kuat untuk menyatakan bahwa hasil pemilukada 25
Agustus 2010 dianggap tidak sah karena diselenggarakan oleh KPUD yang
demisioner.
13
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka pokok
permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
Apakah pertimbangan hakim tentang penerapan asas doelmatigheid dan
asas rechtmatigheid dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
181/PHPU.D-VIII/2010 terkait keabsahan hasil pemungutan suara yang
diselenggarakan oleh KPUD demisioner dapat dijadikan ratio decidendi ?
D. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah pertimbangan
hakim tentang penerapan asas doelmatigheid dan asas rechtmatigheid dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 181/PHPU.D-VIII/2010 terkait
keabsahan hasil pemungutan suara yang diselenggarakan oleh KPUD
demisioner dapat dijadikan ratio decidendi?
E. METODE PENELITIAN
a. Jenis penelitian
Dalam rangka untuk mencapai tujuan penelitian diatas, maka jenis
penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah – kaidah atau norma –
norma dalam hukum positif10. Dalam penulisan ini fokus penelitian
ditujukan untuk mengkaji penerapan asas doelmatigheid dan asas
rechtmatigheid dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor
181/PHPU.D-VIII/2010. 10 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, h. 295.
14
b. Jenis pendekatan
Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif maka digunakan
beberapa pendekatan sebagi berikut:
1. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).11 Dengan sifat filsafat
yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan
mengupas isu hukum (legal issues) dalam penelitian normatif secara
radikal dan mengupas secara mendalam.12 Pendekatan filsafat ini
digunakan untuk memahami secara mendalam tentang asas
rechtmatigheid dan asas doelmatigheid yang digunakan sebagai dasar
hakim memberikan pertimbangan hukum mengenai masalah dualisme
KPUD dalam putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 181/PHPU.D-
VIII/2010.
2. Pendekatan Konseptual (conceptual approach).13 Pendekatan konsep
ini digunakan untuk memahami konsep dari asas doelmatigheid dan
asas rechtmatigheid melalui pendapat Gustav Radbruch.
c. Sumber data
Berkaitan dengan data yang digunakan penulis skripsi ini, maka data sekunder
yang digunakan antara lain;
1. Bahan hukum primer. Bahan hukum primer berikutnya yang perlu
dirujuk oleh penelitian hukum adalah putusan – putusan pengadilan
11Jhonny Ibrahim, op.cit ,h. 320. 12 Ibid. 13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, h 137.
15
yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi.14 Dalam penelitian
ini digunakan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 181/PHPU.D-
VIII/2010 sebagai bahan hukum primer.
2. Bahan hukum sekunder. Sebagai bahan hukum sekunder yang terutama
adalah skripsi, tesis dan disertasi hukum dan jurnal – jurnal hukum15
disamping komentar – komentar putusan pengadilan.16 Dalam
penulisan ini digunakan buku – buku, skripsi, dan jurnal hukum yang
menunjang penulisan ini.
3. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder
seperti kamus hukum, buku – buku, hasil – hasil penelitian, hasil karya
dari kalangan hukum, encyclopedia, dan lain – lain.
d. Unit amatan & Unit analisa
1. Unit amatan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PHPU.D-
VIII/2010 khususnya tentang masalah dualisme KPUD dikaitkan
dengan asas doelmatigheid dan asas rechtmatigheid.
2. Unit analisa : Penerapan asas doelmatigheid dan asas rechtmatigheid
dalam pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi Nomor
181/PHPU.D-VIII/2010 khususnya tentang masalah dualisme KPUD
apakah dapat dijadikan sebagai ratio decidendi.
BAB II 14 Peter Mahmud Marzuki, op. cit.146 15 Ibid, 155. 16 Ibid.
16