6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.1. Landasan Teori
1.1.1. Hasil Belajar
1.1.1.1. Hakikat Belajar
Slameto (2010: 2) menyatakan bahwa belajar ialah suatu
proses yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Selanjutnya diungkapkan bahwa ciri-ciri perubahan tingkah laku
tersebut diantaranya: 1) perubahan terjadi secara sadar; 2) perubahan
dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional; 3) perubahan dalam
belajar bersifat positif dan aktif; 4) perubahan dalam belajar bukan
bersifat sementara; 5) perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah; 6)
perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Djamarah (2010: 10) mendefinisikan belajar adalah proses
perubahan tingkah laku berkat pengalaman dan latihan, artinya tujuan
kegiatan adalah perubahan tingkah laku baik yang berupa pengetahuan,
ketrampilan maupun sikap. Sedangkan menurut Baharuddin (2007: 11)
menyebutkan bahwa belajar merupakan proses manusia untuk mencapai
berbagai macam kompetensi, ketrampilan, dan sikap.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
suatu proses perubahan dalam diri seseorang melalui pengalaman atau
pengamatan secara langsung terhadap sesuatu yang memandu perilaku
selanjutnya untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan,
dan sikap.
7
1.1.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi belajar
seseorang. Faktor tersebut bisa berasal dari dalam diri individu sendiri
maupun berasal dari luar individu.
Slameto (2010: 54) menggolongkan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi belajar ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Faktor Intern yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang
belajar.
Faktor intern, terbagi ke dalam tiga faktor:
1) Faktor Jasmaniah, terdiri atas: faktor kesehatan dan faktor
cacat tubuh.
2) Faktor Psikologis, meliputi: intelligensi, perhatian, minat,
bakat, motif, kematangan, kesiapan.
3) Faktor Kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan kelelahan
rohani.
b. Faktor Ekstern yaitu faktor yang ada diluar individu.
Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap prestasi belajar dapat
dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu:
1) Faktor keluarga, seperti: cara orang tua mendidik, relasi antar
anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga,
pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan.
2) Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, relasi
guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah,
alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran,
keadaan gedung, metode belajar, tugas rumah.
3) Faktor masyarakat, diantaranya: kegiatan siswa dalam
masyarakat, media masa, teman bergaul, bentuk kehidupan
masyarakat.
8
Hampir sama dengan pendapat yang diungkapkan oleh
Slameto mengenai faktor yang mempengaruhi belajar. Dimyati (2010:
238) juga menggolongkan dua jenis faktor yang mempengaruhi belajar
yaitu :
a. Faktor intern yang dialami dan dihayati oleh siswa yang
berpengaruh pada proses belajar sebagai berikut : sikap terhadap
belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan
belajar, menyimpan perolehan hasil belajar, rasa percaya diri siswa,
intelegensi dan keberhasilan belajar, kebiasaan belajar dan cita-cita
siswa.
b. Faktor ekstern yang berpengaruh pada aktivitas belajar yaitu : guru
sebagai pembina siswa belajar, prasarana dan sarana pembelajaran,
kebijakan penilaian, lingkungan sosial siswa di sekolah dan
kurikulum sekolah.
Dari uraian diatas mengenai beberapa faktor yang
mempengaruhi belajar. Bermacam-macam keadaan siswa tersebut
menggambarkan bahwa pengetahuan tentang masalah-masalah belajar
merupakan hal yang penting bagi guru dan calon guru baik itu faktor
intern maupun faktor ekstern.
1.1.1.3. Pengertian Hasil Belajar
Kegiatan belajar mengajar dikatakan efisien jika hasil belajar
yang diinginkan dapat dicapai dengan usaha yang sekecil mungkin.
Perwujudan perilaku belajar biasanya dapat dilihat dari adanya
perubahan-perubahan kebiasaan, keterampilan, dan pengetahuan, sikap
dan kemampuan yang biasanya disebut sebagai hasil belajar.
Agus Suprijono (2011: 7) berpendapat bahwa hasil belajar
adalah suatu perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah
satu aspek potensi kemanusiaan saja. Ada korelasi antara proses
pengajaran dengan hasil yang dicapai Nana Sudjana (2010: 37). Makin
besar usaha untuk menciptakan kondisi proses pengajaran, makin tinggi
pula hasil atau produk dari pengajaran itu.
9
Untuk melihat hasil belajar dilakukan suatu penilaian terhadap
siswa yang bertujuan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai
suatu materi atau belum. Penilaian merupakan upaya sistematis yang
dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang ditujukan untuk
menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas
kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Horward Kingsle (Sudjana, 2010: 22) membagi tiga macam
hasil belajar yaitu : (a). Keterampilan dan kebiasaan; (b). Pengetahuan
dan pengertian; (c). Sikap dan cita-cita, yang masing-masing golongan
dapat diisi dengan bahan yang ada pada kurikulum sekolah. Sedangkan
Gagne (Agus Suprijono, 2011: 5) membagi lima kategori hasil belajar,
yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi
kognitif , (d) ketrampilan motorik, dan (e) sikap.
Benyamin Bloom (Sudjana, 2010: 23) secara garis besar
membagi hasil belajar menjadi tiga ranah yaitu :
1. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri
dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut
kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk
kognitif tingkat tinggi.
2. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek,
yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan
internalisasi.
3. Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotor, yakni
gerakan reflek, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,
keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan komplek, dan
gerakan ekspresif dan interpretative.
Dari beberapa uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa hasil belajar merupakan suatu alat untuk mengukur keberhasilan
siswa sebagai sarana untuk membantu petumbuhan dan perkembangan
10
siswa. Hasil belajar dapat dilihat dari hasil nilai ulangan harian
(formatif), nilai ulangan tengah semester (Sub sumatif), dan nilai
ulangan semester (sumatif).
1.1.1.4. Pengukuran Hasil Belajar
Pengukuran dapat dilakukan dengan berbagai alat ukur. Alat
ukur pencapaian hasil belajar siswa juga berbeda-beda sesuai dengan
jenis kemampuan, jumlah siswa yang akan diukur kemampuannya, dan
jumlah waktu yang tersedia.
Menurut Cece Rakhmat (1999: 14) pengukuran pencapaian
belajar siswa, aspek kognitif lazim diukur dengan tes, kurang lazim jika
diukur dengan pengamatan. Begitu pun dengan sikap. Aspek ini lebih
lazim diukur dengan angket atau skala sikap daripada oleh tes. Aspek
psikomotor pun memiliki alat ukur yang lebih sesuai dibanding dengan
kedua alat ukur diatas, yakni pengamatan yang dapat kepustakaan lain
disebut sebagai tes perbuatan. Dengan demikian, tes seperti juga
angket, skala sikap, dan pengamatan, merupakan alat atau instrumen
pengukuran.
1.1.1.5. Prinsip-prinsip Dasar Tes Hasil Belajar
Purwanto (2004: 23) menyebutkan ada beberapa prinsip dasar
yang perlu diperhatikan di dalam menyusun tes hasil belajar agar tes
tersebut benar-benar dapat mengukur tujuan pelajaran yang telah
diajarkan, atau mengukur kemampuan dan atau ketrampilan siswa yang
diharapkan setelah siswa menyelesaikan suatu unit pengajaran tertentu.
1. Tes tersebut hendaknya dapat mengukur secara jelas hasil belajar
(learning outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan
instruksional. Oleh karena itu, untuk dapat menyusun tes yang baik,
setiap guru harus dapat merumuskan tujuan dengan jelas, terutama
tujuan instruksional khusus (TIK) sehingga memudahkan baginya
untuk menyusun soal-soal tes yang relevan untuk mengukur
pencapaian tujuan yang telah dirumuskannya.
11
2. Mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar dan bahan
pelajaran yang telah diajarkan. Oleh karena itu, dalam rangka
mengevaluasi hasil belajar siswa, kita hanya dapat mengambil
beberapa sampel hasil belajar yang dianggap penting dan dapat
“mewakili” seluruh performance yang telah diperoleh selama siswa
mengikuti suatu unit pengajaran.
3. Mencakup bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok
untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan
tujuan. Oleh karena itu, penyusunan suatu tes harus disesuaikan
dengan jenis kemampuan hasil belajar yang hendak diukur dengan
tes tersebut.
4. Didesain sesuai kegunaannya untuk memperoleh hasil yang
diinginkan. Khususnya di dalam evaluasi pendidikan yang
menyangkut evaluasi hasil belajar, sedikitnya kita mengenal empat
macam kegunaan tes yaitu placement test, tes formatif, tes sumatif,
dan tes dianostik. Oleh karena itu, penyusunan dan
penyelenggaraan tes harus disesuaikan dengan tujuan dan
fungsinya sebagai alat evaluasi yang diinginkan.
5. Dibuat seandal (reliable) mungkin sehingga mudah
diinterpretasikan dengan baik. Suatu alat evaluasi dikatakan andal
(reliable) jika alat tersebut dapat menghasilkan suatu gambaran
(hasil pengukuran) yang benar-benar dapat dipercaya. Suatu tes
dapat dikatakan andal (memiliki keandalan yang tinggi) jika tes itu
dilakukan berulang-ulang terhadap objek yang sama, hasilnya akan
tetap sama atau relatif sama. Perlu dikemukakan di sini bahwa
suatu tes yang andal belum tentu valid; akan tetapi, jika tes itu
valid, sudah tentu juga andal.
6. Digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara
mengajar guru. Dengan demikian, penyusunan dan
penyelenggaraan tes hasil belajar yang dilakukan guru, di samping
untuk mengukur sampai di mana keberhasilan siswa dalam belajar
12
(evaluasi sumatif), sebaiknya dipergunakan pula untuk mencari
informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan
cara mengajar guru itu sendiri (evaluasi formatif).
1.1.1.6. Tes Formatif
Purwanto (2004: 25) tes formatif yaitu tes yang berfungsi
untuk mencari umpan balik atau feedback yang berguna dalam usaha
memperbaiki cara mengajar yang dilakukan oleh guru dan cara belajar
siswa. Sedangkan menurut Adi Suryanto (2009: 1.34) tes formatif
merupakan salah satu jenis tes yang diberikan kepada siswa setelah
siswa menyelesaikan satu unit pembelajaran.
Hasil tes formatif tidak dimaksudkan untuk memberi nilai
kepada siswa tetapi hasil tes formatif dimanfaatkan untuk memonitor
apakah proses pembelajaran yang baru saja dilaksanakan telah dapat
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dalam rencana
pembeljaran atau belum.
Jika dari hasil tes formatif ternyata terdapat sejumlah
kompetensi yang belum dikuasai siswa, maka guru harus mencari
penyebabnya. Penyebab tidak dikuasainya kompetensi dapat berasal
dari diri siswa maupun dari pelaksanaan proses pembelajaran, seperti
penggunaan metode dan media pembelajaran yang tidak tepat.
Setelah diketahui penyebabnya, maka dapat ditentukan
tindakan perbaikan pembelajaran yang sesuai, misalnya dengan
mengulang proses pembelajaran secara individu maupun klasikal,
mengulang pembelajaran yang berkaitan dengan sebagian kompetensi
saja, atau mengulang pembelajaran dengan perbaikan metode yang
digunakan. Selanjutnya dilakukan kembali tes formatif untuk
mengetahui apakah siswa telah benar-benar menguasai kompetensi
yang telah ditetapkan.
13
Djam’an Satori (2010: 3.69) menyebutkan ada beberapa
penggunaan hasil penilaian formatif yaitu :
a. Menetapkan apakah proses mengajar tersebut diulangi atau bisa
dilanjutkan dengan satuan pelajaran lainnya.
b. Merumuskan aspek apa yang perlu dijelaskan kembali kepada
murid.
c. Digunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam membantu
menentukan nilai murid pada penilaian sumatif.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tes
formatif adalah tes hasil belajar untuk mengetahui keberhasilan proses
belajar mengajar yang dilakukan oleh guru, guna memperoleh umpan
balik dari upaya pengajaran yang dilakukan oleh guru kepada siswa
setelah siswa menyelesaikan satu unit pembelajaran. Tujuan tes ini
yaitu sebagai dasar untuk memperbaiki produktifitas belajar mengajar.
Contohnya : tes yang dilakukan setelah pembahasan tiap bab atau KD
(kompetensi dasar).
1.1.2. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
Corey (Umi Zulfa, 2010: 6) mendefinisikan pembelajaran
pada hakekatnya adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang
secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam
tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus untuk menghasilkan
respon terhadap situasi tertentu, sehingga pembelajaran merupakan
subset khusus dari pendidikan. Menurut aliran behavioristik
pembelajaran adalah usaha guru membentuk tingkah laku yang
diinginkan dengan menyediakan lingkungan atau stimulus Hamdani
(2010: 23).
Sedangkan IPA merupakan salah satu pelajaran wajib di
sekolah dasar. Dengan belajar IPA siswa akan dapat mempelajari diri
sendiri dan alam sekitar. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian
pemahaman langsung dan kegiatan praktis untuk mengembangkan
kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar
14
secara ilmiah. Dalam hal ini IPA dapat melatih anak berpikir kritis dan
objektif Samatowa (2010: 4).
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu
Pengetahuan atau Sains yang semula berasal dari bahasa Inggris
“science”. Kata “science” sendiri berasal dari kata dalam bahasa latin
“scientia” yang berarti saya tau, “science” terdiri dari social science
(ilmu pengetahuan sosial) dan natural science (ilmu pengetahuan alam).
Menurut Trianto (2010: 136) IPA adalah suatu kumpulan
teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-
gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti
observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin
tahu, terbuka, jujur dan sebagainya. Sedangkan menurut Abdullah Aly
(2010: 18) IPA adalah suatu pengetahuan teoritis yang diperoleh atau
disusun dengan cara yang khas/khusus, yaitu melakukan observasi
eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi,
observasi dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu
dengan cara yang lain.
Dalam hal ini mata pelajaran IPA merupakan hasil kegiatan
manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisasi
tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui
serangkaian kegiatan ilmiah tentang alam sekitar, yang diperoleh dari
pengalaman melalui serangkaian kegiatan ilmiah antara lain
penyelidikan, penyusunan, dan pengujian gagasan-gagasan demikian
seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.
1.1.3. Pembelajaran Kooperatif
1.1.3.1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran Kooperatif beranjak dari dasar
pemikiran "getting better together", yang menekankan pada pemberian
kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif kepada
siswa untuk memperoleh, dan mengembangkan pengetahuan, sikap,
nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi
15
kehidupannya di masyarakat. Melalui model pembelajaran kooperatif,
siswa bukan hanya belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru
dalam KBM, melainkan bisa juga belajar dari siswa lainnya, dan
sekaligus mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa yang
lain.
Menurut Umi Zulfa (2010: 88) Pembelajaran kooperatif ini
mengandung pengertian suatu rangkaian kegiatan belajar yang
dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Sedangkan
menurut Kunandar (2009: 359) Pembelajaran kooperatif adalah
pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi
yang saling asuh antar siswa untuk menghindari ketersinggungan dan
kesalah pahaman yang dapat menimbulkan permusuhan. Roger dan
David Johnson (Anita Lie, 2002: 30) juga mengemukakan ada beberapa
unsur dalam pembelajaran kooperatif yaitu :
a. Saling ketergantungan positif
b. Tanggung jawab perseorangan
c. Tatap muka
d. Komunikasi antar anggota
e. Evaluasi proses kelompok
Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran kooperatif yaitu kegiatan belajar yang dilakukan
oleh siswa dan dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru yang
berfokus pada penggunaan kelompok kecil untuk melatih kerjasama
antar siswa.
1.1.3.2. Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Menurut Wina Sanjaya (2006: 247) beberapa keunggulan
dan kelemahan dalam pembelajaran kooperatif :
1. Keunggulan dalam pembelajaran kooperatif
a. Melalui pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu
menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah
16
kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan
informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.
b. Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan
mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara
verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.
c. Pembelajaran kooperatif dapat membantu anak untuk respek
pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya
serta menerima segala perbedaan.
d. Pembelajaran kooperatif dapat membantu memberdayakan
setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.
e. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi akademik
sekaligus kemampuan sosial.
f. Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan
siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima
umpan balik.
g. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa
menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak
menjadi nyata (riil).
h. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan motivasi dan
memberikan rangsangan untuk berpikir.
2. Kelemahan dalam Pembelajaran kooperatif
a. Untuk memahami dan mengerti filosofis Pembelajaran
kooperatif memang butuh waktu. Untuk siswa yang dianggap
memiliki kelebihan cotohnya, mereka akan merasa terhambat
oleh siswa yang dianggap kuran memiliki kemampuan.
b. Saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching
yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langsung
dari guru.
c. Penilaian yang diberikan dalam Pembelajaran kooperatif
didasarkan kepada hasil kerja kelompok.
17
d. Pembelajaran kooperatif memerlukan periode waktu yang cukup
panjang.
Pembelajaran kooperatif merupakan konsep yang lebih luas
meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang
lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru Agus Suprijono
(2011: 54). Pada saat siswa belajar dalam kelompok akan berkembang
suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan, karena pada
saat itu akan terjadi proses belajar kolaboratif dalam hubungan pribadi
yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar dalam
kelompok kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya
(peer group) dan belajar secara bekerjasama (kooperatif).
1.1.4. Group Investigation (GI)
Model ini merupakan perencanaan pengaturan kelas yang
umum di mana para siswa bekerja dalam kelompok kecil menggunakan
pertanyaan kooperatif, diskusi kelompok, serta perencanaan dan proyek
kooperatif. Pada metode ini para guru yang menggunakan metode GI
umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang
beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen
Kunandar (2009: 366).
Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas
kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik
tertentu. Para siswa memilih yang ingin dipelajari, mengikuti
investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih,
kemudian menyiapkan dan menyajikan laporan didepan kelas secara
keseluruhan.
Menurut Sholomo Sharan (2012: 167) proses Investigasi
menekankan inisiatif siswa, dibuktikan dengan pertanyaan-pertanyaan
yang mereka ajukan, dengan sumber-sumber yang mereka temukan,
dan dengan jawaban yang mereka rumuskan.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe group investigation merupakan model
18
pembelajaran kooperatif di mana siswa dalam kelompok-kelompok
kecil melakukan suatu investigasi atau penyelidikan ilmiah untuk
memperoleh suatu pengetahuan.
1.1.4.1. Tahap-tahap Pembelajaran Group Investigation
Robert E. Slavin (2005: 218) mengemukakan enam tahap
kegiatan dalam GI yaitu:
1. Mengidentifikasi Topik dan Mengatur Murid ke dalam kelompok
Tahap ini secara khusus ditujukan untuk masalah
pengaturan. Guru mempresentasikan serangkaian permasalahan atau
isu (misalnya, memahami sejarah atau biologi hutan hujan) dan para
siswa mengidentifikasi dan memilih berbagai macam subtopik untuk
dipelajari, berdasarkan pada ketertarikan dan latar belakang mereka.
Langkah berikutnya adalah membuat agar semua usulan
tersebut bisa dimiliki oleh seluruh kelas. Guru atau siswa dapat
melakukan ini dengan menuliskan seluruh usulan tersebut pada
papan tulis atau dicetak pada kertas yang digantung di dinding, atau
bisa juga dengan membuat kopiannya dan membagikannya kepada
setiap siswa.
Pada langkah akhir dari tahap ini subtopik tersebut
dipresentasikan kepada seluruh kelas, biasanya dipapan tulis.
Kelompok-kelompok dibentuk berdasarkan pada ketertarikan siswa,
tiap siswa bergabung dalam kelompok untuk mempelajari subtopik
dari pilihan mereka sendiri. Guru boleh saja membatasi jumlah
anggota dalam satu kelompok. Apabila satu subtopik tertentu sangat
populer, dua kelompok bisa saja dibentuk untuk menginvestigasinya.
Karena perbedaan kebutuhan dan ketertarikan anggota kelompok,
tiap dua kelompok akan menghasilkan sebuah karya yang unik,
meskipun subtopiknya sama.
2. Merencanakan Investigasi di dalam Kelompok
Setelah mengikuti kelompok-kelompok penelitian mereka
masing-masing, para siswa mengalihkan perhatian mereka kepada
19
subtopik yang mereka pilih. Pada tahap ini anggota kelompok
menentukan aspek dari subtopik yang masing-masing (satu demi
satu atau berpasangan) akan mereka investigasi.
Guru dapat memasang selembar fotokopi dari tiap lembar
kerja kelompok dengan tujuan untuk menampilakan bukti grafis
bahwa kelas tersebut adalah sebuah “kelompok yang terdiri dari
kelompok-kelompok”. Tiap siswa berkontribusi terhadap Group
Investigation kelompok kecil, dan tiap kelompok berkontribusi
terhadap pembelajaran seluruh kelas atas unit yang lebih besar.
3. Melaksanakan Investigasi
Dalam tahap ini tiap kelompok melaksanakan rencana yang
telah diformulasikan sebelumnya. Biasanya ini adalah tahap yang
paling banyak memakan waktu. Walaupun para siswa mungkin
memang diberikan batas waktu pengerjaan, pasti jumlah pasti dari
sesi yang mereka perlukan untuk menyelesaikan investigasi mereka
tidak selalu dapat dipastikan jumlahnya. Guru harus mengupayakan
berbagai cara untuk memungkinkan sebuah proyek kelompok
berjalan tanpa terganggu sampai investigasinya selesai, atau paling
tidak sampai sebagian besar dari pekerjaan tersebut selesai.
4. Menyiapkan Laporan Akhir
Tahap ini merupakan transisi dari tahap pengumpulan data
dan klarifikasi ke tahap dimana kelompok-kelompok yang ada
melaporkan hasil investigasi mereka kepada seluruh kelas. Ini
terutama merupakan sebuah tahap pengaturan, tetapi seperti pada
tahap 1 juga memerlukan semacam kegiatan-kegiatan intelektual
yang mengabstraksikan gagasan utama dari proyek kelompok,
mengintregasi semua bagiannya menjadi satu keseluruhan, dan
merencanakan sebuah presentasi yang bersifat instruktif sekaligus
menarik.
Bagaimana kelas merencanakan presentasi akhirnya? Pada
tahap kesimpulan dari investigasi guru meminta tiap kelompok untuk
20
menunjuk satu wakil sebagai anggota panitia acara. Panitia ini akan
mendengarkan masing-masing rencana kelompok untuk laporan
mereka. Panitia akan mencatat semua permintaan penyediaan materi,
mengkoordinasi jadwal waktu, dan memastikan bahwa gagasan-
gagasan presentasi yang akan dilakukan cukup realistis dan menarik.
Guru melanjutkan dengan mengambil peran sebagai
penasehat, membantu panitia apabila diperlukan dan memastikan
bahwa tiap rencana kelompok memungkinkan tiap anggota untuk
terlibat. Sebagian kelompok menentukan sifat dari laporan akhir
mereka ketika mereka mulai melakukan tugasnya. Dalam kelompok
lainnya rencana untuk laporan akhir baru muncul pada tahap 4, atau
baru dikembangkan pada saat kelompok tersebut terlibat dalam
investigasi. Bahkan bila kelompok memang telah mulai
membicarakan gagasan-gagasan mengenai laporan akhir mereka
selama fase investigasi, mereka masih akan meminta waktu untuk
melakukan diskusi sistematik dari rencana mereka. Selama sesi
perencanaan transisi ini para murid mulai mengemban sebuah peran
baru (peran guru). Para siswa tentunya selama ini sudah mengatakan
kepada teman satu kelompoknya mengenai apa yang mereka lakukan
dan pelajari, tetapi sekarang mereka mulai merencanakan bagaimana
mengajari teman sekelasnya dengan cara yang lebih teratur
mengenai inti dari apa yang telah mereka pelajari.
5. Mempresentasikan Laporan Akhir
Masing-masing kelompok mempersiapkan diri untuk
mempresentasikan laporan akhir mereka kepada kelas. Pada tahap
ini, mereka berkumpul dan kembali kepada posisi kelas sebagai satu
keseluruhan.
Para siswa yang akan melakukan presentasi harus mengisi
peran yang sebagian besar dari peran tersebut merupakan hal yang
baru bagi mereka. Mereka harus mampu mengatasi bukan hanya
tuntutan dari tugas tersebut, gagasan dan prosedur tetapi juga harus
21
mampu mengatasi masalah-masalah organisasional yang berkaitan
dengan koordinasi seluruh pekerjaan dan perencanaan, serta
membawakan presentasi.
Laporan akhir ini menghasilakan sebuah pengalaman
dimana upaya mengejar kemampuan intelektual dibarengi dengan
sebuah pengalaman emosional mendalam. Semua anggota kelas
dapat berpartisipasi lebih dari satu banyak presentasi, dengan
menampilkan tugas mereka atau menjawab pertanyaan. presentasi
tersebut bukan hanya sekedar masalah latihan peran untuk tampil
dan membacakan tulisan.
6. Evaluasi Pencapaian
Group Investigasi menantang peran guru untuk
menggunakan pendekatan inovatif dalam menilai apa yang telah
dipelajari murid-murid. Dalam pengajaran dikelas tradisional, semua
siswa diharapkan untuk mempelajari materi yang sama dan
menguasai serangkaian konsep yang seragam.
Dalam Group Investigasi para guru harus mengevaluasi
pemikiran paling tinggi siswa mengenai subyek yang dipelajari,
bagaimana mereka menginvestigasi aspek-aspek tertentu dari subjek,
bagaimana mereka mengaplikasikan pengetahuan mereka terhadap
solusi dari masalah-masalah baru, bagimana mereka menggunakan
kesimpulan dari apa yang mereka pelajari dalam mendiskusikan
pertanyaan yang membutuhkan analisis dan penilaian, dan
bagaimana mereka sampai pada kesimpulan dari serangkaian data.
Evaluasi semacam ini paling baik dilakukan melalui sebuah
pandangan kumulatif dari hasil kerja individual selama seluruh
proyek investigasi.
Metode Group Investigation ini guru hanya berperan
sebagai mediator, fasilitator, dan pemberi kritik yang bersahabat. Guru
tersebut berkeliling diantara kelompok-kelompok yang ada dan untuk
melihat bahwa mereka bisa mengelola tugasnya, dan membantu tiap
22
kesulitan yang mereka hadapi dalam interaksi kelompok, termasuk
masalah dalam kinerja terhadap tugas-tugas khusus yang berkaitan
dengan proyek pembelajaran.
1.1.4.2. Kelebihan dan Kelemahan GI
Model Group Investigation memiliki kelebihan
dibandingakan dengan model lainnya yaitu:
1. Siswa menjadi lebih mandiri dalam mencari informasi tentang
materi yang akan dipelajari.
2. Siswa mempunyai jiwa kooperatif yang tinggi
3. Siswa memiliki kemahiran dalam berkomunikasi dengan
intelektual pembelajaran dalam menganalisis
4. Meningkatkan kemampuan siswa dalam berdiskusi.
Beberapa kelemahan dari Group Investigation yaitu:
1. Jika ada seorang siswa yang tidak aktif dalam kelompoknya maka
akan menghambat dari pada tujuan pembelajaran.
2. Siswa yang tidak cocok dengan anggota kelompoknya kurang bisa
bekerjasama dalam memahami materi maupun dalam
menyelesaikan tugas.
3. Ada siswa yang kurang memanfaatkan waktu sebaik-baiknya
dalam belajar kelompok.
1.2. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian oleh Ratih Endarini Sudarmono (2011) dengan judul
“Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar siswa Kelas V melalui Penerapan
Metode Group Investigation pada Pembelajaran IPA di SD Sidorejo Lor 02
Salatiga Semester I Tahun Ajaran 2009/2010?”. Hasil penelitian menunjukan
bahwa penerapan model pembelajaran group investigation dapat
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa terhadap pelajaran IPA pada
siswa kelas V SD Sidorejo Lor 02. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisa data
dari aktivitas siswa pada kondisi awal hanya 51%, siklus I mencapai 77% dan
siklus II dengan presentase 89%. Peningkatan aktivitas siswa memeberi
dampak pada peningkatan hasil belajar siswa yaitu pada ulangan harian siswa
23
pada kondisi awal hanya mencapai nilai rata-rata 66, siklus I dengan rata-rata
78 dan siklus II dapat mencapai nilai rata-rata 88.
Penelitian yang dilakukan oleh Novita Iryani (2008) membahas
Penerapan Belajar Kelompok Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa
Kelas IV Pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pokok bahasan energi
di SD Negeri 1 Mutisari Kecamatan Watumalang Kabupaten Wonosobo
Semester II Tahun Ajaran 2009/2010. Metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data penelitian ini adalah pengamatan dan tes hasil belajar.
Indikator keberhasilan apabila siswa telah mencapai nilai rata-rata kelas
minimal 60. Hasil penelitian mengalami peningkatan yaitu siklus I nilai rata-
rata 61,57, dan pada siklus II meningkat menjadi 83,15. Hal ini dikatakan
tuntas karena hasil pada siklus II mencapai rata-rata 83,15. Ketuntasan
klasikal juga meningkat secara berurutan dari sebelum PTK, siklus I, dan II
berturut-turut adalah: 50,26%, dan 100%. Dari hasil penelitian ini
disimpulkan bahwa pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan
menggunakan metode belajar kelompok dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa pada pokok bahasan “energi” di kelas IV SD Negeri 1 Mutisari
Kecamatan Watumalang Kabupaten Wonosobo Tahun Pelajaran 2009/2010.
1.3. Kerangka Berpikir
Pada penelitian di SD Negeri Madyogondo 03 kecamatan Ngablak
kabupaten Magelang, guru dalam mengajarkan materi Energi masih
menggunakan metode yang konvensional, sehingga siswa kurang tertarik
dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam khususnya pada materi tentang
Energi. Hal ini dapat dilihat dari hasil tes pada kondisi awal hanya ada 13
siswa yang tuntas dan 23 lainnya belum tuntas. Serta nilai rata-ratanya hanya
56,80 dan belum memenuhi KKM yaitu = 60.
Penelitian yang akan dilakukan dengan cara kolaborasi antara guru
kelas IV dan peneliti. Guru dan peneliti secara bersama menggali dan
mengkaji permasalahan nyata yang dihadapi guru dan siswa di sekolah.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe group investigation pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam pokok
24
bahasan Energi. Perbaikan model pembelajaran ini melibatkan keaktifan
siswa secara menyeluruh dalam KBM. Keterlibatan siswa secara aktif dan
menyeluruh diharapkan dapat membantu siswa untuk meningkatkan hasil
belajar Ilmu Pengetahuan Alam.
Kondisi Awal
Kondisi Akhir
Tindakan
80% kemampuan siswa dalam memahami materi pokok bahasan energi meningkat. 80% dari hasil belajar IPA pada siswa SD kelas IV meningkat melalui hasil tes formatif. 80% dari jumlah siswa memperoleh nilai ≥60 sesuai dengan KKM.
Hasil belajar siswa kelas IV SDN Madyogondo 03 pada mata pelajaran IPA materi pokok energi masih rendah. Hasil tes dari 36 siswa hanya terdapat 13 siswa mendapat niai diatas KKM sedangkan 23 siswa lainnya dibawah KKM yaitu = 60.
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation
Siklus II
Siklus I
Guru masih menggunakan metode konvensional
25
1.4. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan uraian landasan teori dan kerangka berfikir maka
hipótesis penelitian ini adalah sebagai berikut “Melalui penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe group investigation (GI), dapat meningkatkan
hasil belajar IPA pokok bahasan energi pada siswa kelas IV SD Negeri
Madyogondo 03 Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang”.