17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini peneliti akan mengambil beberapa rujukan atau acuan dari
penelitian terdahulu dengan tujuan memperkuat penelitian ini. Adapun acuan atau
rujukan yang digunakan peneliti dalam penelitiannya adalah sebagai berikut.
Tabel II
Penelitian Terdahulu
No Judul Penelitian Hasil penelitian Relevansi Penelitian
1 Gaya hidup pada
santriwati di pondok
pesantren Annuqoyah
Sumenep
Madura.Kholifatin
Firdani,tahun 2013.
Menujukan hasil bahwa
terjadi pergeseran gaya
hidup santriwati di pondok
pesantren dalam hal gaya
bahasa, penampilan atau
fashion,serta masalah
keuangan menjadi
penyebab permasalahan
antar individu.
Menunjukkan
kesamaan penelitian
dalam membahas
gaya hidup
santri,temuan
peneliti terjadinya
pergeseran model
gaya berpakain
santri, akan tetapi,
Kholifatin lebih
cenderung terhadap
gaya hidup
santriwati,
sedangkan saya
18
cenderung terhadap
gaya santri(laki-laki)
yang terdapat di
lingkungan
Singosari-Malang.
2 Gaya hidup sehat
menurut agama. Dian
Mayang Sari, (2012)
Menujukkan bahwa
bangunlah sebelum
shubuh itu yangdianjurkan
Rosululloh, seusai sholat
shubuh beraktivitaslah
dengan cara olaraga
ringan, selalu mengontrol
emosi karena marah dapat
mengeluarkan banyak
tenaga. Biasakan berpuasa
Sunnah karena dengan hal
demikian organ tubuh
akan beristirahat dan tubuh
akan melakukan generasi
sel-sel yang rusak, serta
bersihkan hati dan istirahat
yang cukup dan teratur.
Salah satu temuan
mengenai gaya
hidup di Pesantren
Ilmu Al-quran yaitu
tentang aktivitas
santri yang sudah
terstruktur dengan
baik, karena mereka
mengharuskan dan
wajib mengikuti
aturan yang sudah di
patenkan oleh
pondok pesantren.
Dari mulai bangun
tidur sepertiga
malam untuk sholat
tahadjut,mengikuti
pengajian shubuh,
kewajiban mereka
19
untuk sekolah
umum, lanjut malam
di haruskan
berjamaah dan
membaca dzikir
bersama para
pengurus dan para
ustadz. Mereka
makan makanan
yang sudah tersedia
di kantin sehat, dan
juga mereka tidak
jarang melakukan
puasa Sunnah
bersama teman-
teman yang lain.
3 Masamah (2008) :
Gaya Hidup Santri
Pondok Pesantren
Wahid Hasyim
Ditengah Budaya
Konsumerisme.
Menunjukkan bahwa gaya
hidup santri pondok
pesantren wahid hasyim
tetap mengikuti kemajuan
yang ada disekitarnya,
namun tetap diikuti
pertimbangan-
petimbangannya dan di
Menunjukkan bahwa
persamaan
penelitian dalam
membahas gaya
hidup santri di dalam
pondok pesantren.
Untuk perbedaanya
pertama kali lokasi
20
kendalikan dengan nilai-
nilai agama yang selama
ini menjadi peganggan
hidupnya
penelitian, yang
mana pertama lokasi
penelitiannya di
pondok wahid
hasyim sedangkan
peneliti di pesantren
ilmu al-quran kedua
membahas budaya
konsumerisme
terhadap santri,
sedangkan penelitian
dari penulis adalah
tentang alasan santri
menerima keadaan
pondok pesantren
yang serba
sederhana.
B. Gaya Hidup
1. Gaya Hidup
Istilah gaya hidup (lifestyle) sekarang ini kabur,sementara istilah ini
memiliki sosiologis yang lebih terbatas dengan merujuk pada gaya hidup yang
khas dari berbagai kelompok status tertentu, salah satunya yaitu kehidupan
yang terjadi dilingkungan pondok pesantren, dimana gaya hidup dilingkungan
21
pesantren memiliki keunikan sendiri. Karena para santri memiliki suatu ikatan
aturan terhadap suatu peraturan yang berada di dalam pondok pesantren, karena
gaya hidup santri terikat dengan peraturan yang ada dalam pondok pesantren,
mereka tidak sebebas orang yang diluar pondok pesantren, mereka memiliki
kegiatan yang telah ditentukan oleh pondok pesantren.
Weber mengemukakan bahwa persamaan status dinyatakan melalui
persamaan gaya hidup, di bidang pergaulan gaya hidup ini dapat berwujud
pembatasan terhadap pergaulan erat dengan orang statusnya lebih rendah.
Selain adanya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status
ditandai pula oleh adanya berbagai hak istimewa dan monopoli atas barang dan
kesempatan ideal maupun material.
Weber mnengemukakan bahwa kelompok status merupakan pendukung
adat, yang menciptakan dan melestarikan semua adat istiadat yang berlaku
dalam masyarakat. Monopoli suatu kelompok status antara lain terwujud dalam
gaya berpkaian. Kita melihat bahwa setiap kelompok status yang ada di
masyarakat mempunyai gaya hidup yang khas. Masing-masing kelompok
mempunyai selera yang khas dalam berpakain, hiburan, makanan, minuman,
bacaan, selera seni dan musik.
Menurut pendapat Amstrong (dalam Nugraheni : 2003) gaya hidup
seseorang dapat dilihat dari prilaku yang dilakukan oleh individu seperti
kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan atau mempergunakan barang-barang
dan jasa, termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada penentuan
kegiatan-kegiatan tersebut. Lebih lanjut Amstrong (dalam Nugraheni:2003)
menyatakan bahwa factor-faktor yang mepengaruhi gaya hidup seseorang ada
22
dua faktor, yaitu factor yangberasal dari dalam diri individu (internal) dan
faktor yang berasal dari luar (eksternal). Faktor internal yaitu sikap,
pengalaman, dan pengamatan, kepribadian, konsep diri, motif dan persepsi
(Nugraheni, 2003) dengan penjelasannya sebagai berikut:
1) Sikap
Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan piker yang dipersiapkan
untuk memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang diorganisasi
melalui pengalaman dan mempengaruhisecara langsung pada
perilaku.Keadaan jiwa tersebut sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiaaan,
kebudayaan, dan lingkungan sosialnya.
2) Pengalaman dan pengamatan
Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan sosial dalam tingkah laku,
pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakannya di masa lalu dan
dapat dipelajari, melalui belajar orang akan dapat memperoleh
pengalaman. Hasil dari pengalaman akan dapat membentuk pandangan
terhadap suatu obyek. Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik
individu dan individu dan cara berperilaku yang menentukan perbedaan
perilaku dari setiap individu.
3) Motif
Perilaku individu muncul karena adantya motif kebutuhan untuk merasa
aman dan kebutuhan terhadap prestise merupakan beberapa contoh tentang
motif. Jika motif sesorang terhadap kebutuhan prestise itu besar maka akan
23
membentuk gaya hidup yang cenderung mengarah kepada gaya hidup
hedonis.
4) Persepsi
Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengatur, dan
menginterpretasikan informasi untuk membentuk suatu gambar yang
berate mengenai dunia
2. Santri
Hampir seluruh masyarakat di kawasan nusantara ini taka sing lagi
mendengar kata santri di dalam benak mereka. Umumnya kata santri di
identikkan bagi seseorang yangtinggal di pondok pesantren yang
kesehariannya mengaji kitab-kitab salafi atau kitab kuning, dengan tubuh
dibungkus dengan sarung, peci, serta pakaian koko sebagai pelangkap atau
menjadi ciri khas tersendiri bagi mereka.
Asal-usul kata “santri” sendiri menurut DR. Nurcholis Majid
(Cendekiawan Islam) sekurang-kurangnya ada dua pendapat yang dapat di
jadikan bahan acuan.Pertama, berasal dari bahasa Sankskerta, yaitu "sastri",
yang berarti orang yang melek huruf.Kedua, berasal dari bahasa Jawa, yaitu
"cantrik", yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di mana pun ia pergi dan
menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.
Berbeda dengan pendapat DR. KH. M.A. Sahal Mahfudz yang justru
mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata
"santaro", yang mempunyai jama' (plural) sanaatiir (beberapa santri). Di balik
kata “santri” tersebut yang mempunyai empat huruf Arab (sin, nun, ta', ra').
24
Adapun empat huruf tersebut yaitu : Sin, yang bermakna dari lafadz "satrul
aurah" (menutup aurat) sebagaimana layaknya kaum santri yang mempunyai
ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah
barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini, yaitu menutup
aurat.Namun pengertian menutup aurat di sini mempunyai dua pengertian yang
keduanya saling ta'aluq atau berhubungan.Yaitu menutup aurat secara tampak
oleh mata (dhahiri) dan yang tersirat atau tidak tampak (bathini).
Menutup aurat secara dhahiri gambarannya sesuai dengan gambaran yang
telah ada menurut syari'at Islam.Mulai dari pusar sampai lutut bagi pria dan
seluruh tubuh kecuali tangan dan wajah bagi wanita.Gambaran tersebut
merupakan gambaran yang sudah tersurat dalam aturan-aturan yang sudah jelas
dalam syari'at. Namun satu sisi yang kaitannya dengan makna yang tersirat
(bathini) terlebih dahulu kita harus mengetahui apa sebenarnya tujuan dari
perintah menutup aurat.
Manusia sebagai mahluk yang mulia yang diberikan nilai lebih oleh Allah
berupa akal menjadikan posisi manusia sebagai mahluk yang sempurna
dibandingkan yang lain. Dengan akal tersebutlah akan terbentuk suatu custom
atau habitual yang tentu akan dibarengi dengan budi dan naluri, yang nantinya
manusia akan mempunyai rasa malu jika dalam perjalanannya tidak sesuai
dengan rel–rel yang telah di tentukan oleh agama dan habitual action atau
hukum adab setempat.
Yang kaitannya dengan hal ini, tujuan utama manusia menutup aurat tak
lain adalah menutupi kemaluan yang dianggap vital dan berharga. Andaikan
manusia sudah tidak dapat lagi menutup kemaluannya yang vital dan berharga
25
itu, berarti sudah dapat ditanyakan kemanusiaannya antara manusia dan
makhluk yang lain semisal hewan.
Hal yang terpenting di sini adalah bagaimana manusia menutupi dan
mempunyai rasa malu dalam hal sifat dan perilaku secara dhahiri dan bathini.
Sebagaimana disinggung dalam salah satu hadits Nabi saw. : "al-haya'u minal
iman", malu sebagian dari iman. Tentunya hal ini sudah jelas betapa besar
pengaruhnya haya' atau malu dalam kacamata religius (agama) maupun sosial
kemasyarakatan.
Nun, yang bermakna dari lafadz "na'ibul ulama" (wakil dari ulama). Dalam
koridor ajaran Islam dikatakan dalam suatu hadits bahwa : "al-ulama warasatul
anbiya' (ulama adalah pewaris nabi). Rasul adalah pemimpin dari umat, begitu
juga ulama. Peran dan fungsi ulama dalam masyarakat sama halnya dengan
rasul, sebagai pengayom atau pelayan umat dalam segala dimensi. Tentunya di
harapkan seorang ulama mempunyai kepekaan-kepekaan sosial yang tahu atas
problematika dan perkembangan serta tuntutan zaman akibat arus globalisasi
dan modernisasi, serta dapat menyelesaikannya dengan arif dan bijak atas apa
yang terjadi dalam masyarakatnya.
Kaitannya dengan na'ibul ulama, seorang santri di tuntut mampu aktif,
merespon, sekaligus mengikuti perkembangan masyarakat yang
diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang bijak.Minimal dalam
masyarakat kecil yang ada dalam pesantren.Sebagaimana yang kita tahu,
pesantren merupakan sub-kultur dari masyarakat yang majemuk.Dan dengan
didukung potensi yang dimiliki kaum santri itulah yang berfungsi sebagai
26
modal dasar untuk memberikan suatu perubahan yang positif sesuai dengan
yang diharapkan Islam.
Ta', yang bermakna dari lafadz "tarkul ma'ashi" (meninggalkan
kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam
mempelajari syari'at, kaum santri diharapkan mampu memegang prinsip
sekaligus konsisten terhadap pendirian dan nilai-nilai ajaran Islam serta hukum
adab yang berlaku di masyarakatnya selagi tidak keluar dari jalur syari'at.
Kaitannya hal tersebut yaitu seberapa jauh kaum santri mengaplikasikan
apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang hubungan
hablun minallah (hubungan vertikal dengan sang Khaliq) dan hablun minannas
(hubungan horizontal dengan sosial masyarakat). Karena tarkul ma'ashi tidak
hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya,
tetapi juga hubungan sosial dengan sesama makhluk, baik manusia ataupun
yang lain.
Ra', yang maknanya dari lafadz "raisul ummah" (pemimpin umat).
Manusia selain diberi kehormatan oleh Allah sebagai makhluk yang paling
sempurna dibanding yang lain. Manusia juga diangkat sebagai khalifatullah di
atas bumi ini.Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya "inni ja'ilun fil ardhi
khalifah" (QS. Al-Baqarah : 30), yang artinya "Sesungguhnya Aku ciptakan di
muka bumi ini seorang pemimpin."
Kemuliaan manusia itu ditandai dengan pemberian-Nya yang sangat
mempunyai makna untuk menguasai dan mengatur apa saja di alam ini,
khususnya umat manusia. Selain itu pula peranan khalifah mempunyai fungsi
ganda. Pertama, ibadatullah (beribadah kepada Allah) baik secara individual
27
maupun sosial, dimana sebagai makhluk sosial dalam komunitas berbangsa,
umat Islam juga dituntut memberikan manfaat kepada orang lain dalam
kerangka ibadah sosial. Kedua, 'imaratul ardhi, yaitu membangun bumi dalam
arti mengelola, mengembangkan, dan melestarikan semua yang ada.Jika hal-
hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia itu hukumnya wajib.Maka
melestarikan, mengembangkan, serta mengelola pun hukumnya
wajib.Sebagaimana di jelaskan dalam salah satu kaidah fiqih; "ma la yatimu bi
hi wajib fahuwa wajibun", sesuatu yang menjadikan kewajiban maka
hukumnya pun wajib.
Gambaran di atas merupakan suatu peran serta tanggung jawab seorang
santri, dalam hal pengembangan sosial masyarakat.Di situlah diperlukan suatu
mentalitas religius serta totalitas kesadaran, karena kaum santri-lah yang dapat
dijadikan harapan dalam mengembalikan konsep-konsep ajaran Islam.Sebab,
secara tidak langsung santri adalah generasi penerus perjuangan para ulama
sekaligus pewaris para Nabi dalam mensyi’arkan dan meneruskan ajaran-
ajaran Islam, baik dengan dakwah bil lisan (dengan ucapan/ceramah), dakwah
bil kitabah (dengan karya/tulisan) maupun dakwah bil hal (dengan
akhlak/perilaku).Maka, sudah seharusnya para santri dapat merealisasikan
ilmu-ilmu yang didapat dari pesantren yang pernah disinggahinya.
C. Pondok Pesantren
Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata ”santri” yang mendapat
imbuhan awalan ”pe” dan akhiran ”an” yang menunjukkan tempat, maka
artinya adalah tempat para santri. Terkadang pula pesantren dianggap sebagai
gabungan dari kata ”santri” (manusia baik) dengan suku kata ”tra” (suka
28
menolong) sehingga kata pesantren dapat diartikan tempat pendidikan manusia
baik-baik (Zarkasy, 1998: 106).
Lebih jelas dan sangat terinci sekali Madjid (1997 : 19-20) mengupas asal
usul perkataan santri, ia berpendapat ”Santri itu berasal dari perkataan ”sastri”
sebuah kata dari Sansekerta, yang artinya melek huruf, dikonotasikan dengan
kelas literary bagi orang jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka
tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab.
Kemudian diasumsikan bahwa santri berarti orang yang tahu tentang agama
melalui kitab-kitab berbahasa Arab dan atau paling tidak santri bisa membaca
al-Qur'an, sehingga membawa kepada sikap lebih serius dalam memandang
agama. Juga perkataan santri berasal dari bahasa Jawa ”cantrik” yang berarti
orang yang selalu mengikuti guru kemana guru pergi menetap (istilah
pewayangan) tentunya dengan tujuan agar dapat belajar darinya mengenai
keahlian tertentu.
Pesantren juga dikenal dengan tambahan istilah pondok yang dalam arti
kata bahasa Indonesia mempunyai arti kamar, gubug, rumah kecil dengan
menekankan kesederhanaan bangunan atau pondok juga berasal dari bahasa
Arab ”Fundũq” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana, atau
mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu (Zarkasy, 1998:
105106). Pesantren atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat
diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji
ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji, biasanya komplek itu
berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang
menunjukkan kesederhanaannya.
29
Pengertian pondok pesantren secara terminologis cukup banyak
dikemukakan para ahli. Beberapa ahli tersebut adalah:
1. Dhofier (1994: 84) mendefinisikan bahwa pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari
2. Menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembaga
pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan
menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku
sehari-hari.
3. Arifin (1995: 240) mendefinisikan pondok pesantren sebagai suatu
lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh
masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kampus) di mana menerima
pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang
sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan
(leadership) seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang
bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.
4. Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) mendefinisikan pesantren sebagai
lembaga
tafaqquh fi al-dîn yang mengemban misi meneruskan risalah
Muhammad SAW sekaligus melestarikan ajaran Islam yang berhaluan
Ahlu al - sunnah wa a l - Jam ã ’ah ‘ al ã T}ar î qah al - Ma z| ã hib al
- ‘ Arba’ah
30
Berdasarkan beberapa difinisi yang diberikan oleh beberapa ahli diatas,
dapat diambil kesimpulan bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan
yang bernafasan islam untuk memahami, menghayati, mengamalkan ajaram islam
dengan menekankan moral agama sebagi pedoman hidup bermasyarakat, yang
didalamnya mengandung beberapa elemen yang tidak bisa di pisahkan, yang
antara lain sebagai pengasuh sebagai pendidik,masjid atau aula sebagai sarana
peribadatan sekaligus berfungsi sebagai pendidikan para santri dan asrama
sebagai tempat tinggal dan belajar santri.
D. Landasan Teori
Teori fenomenologi (Alfred schutz)
Fenomenologi berasal dari Bahasa Yunani, Phainoai, yang berarti ‘menampak’
dan phainomenon merujuk pada ‘yang menampak’.Istilah fenomenologi
diperkenalkan oleh Johan Heirinckh.Meskipun demikian pelopor aliran
fenomenologi adalah Edmund Husserl.Jika dikaji lagi fenomenologi itu berasal
dari phenomenon yangberarti realitas yang tampak.Dan logos yang berarti ilmu.
Jadi fenomenologi adalah ilmu yang berorientasikan untuk mendapatkan
penjelasan dari realitas yang tampak.
Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia
mengkonstruksimakna dan konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas
(pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang
lain). (Kuswarno,2009:2).
Tujuan dari fenomenologi, seperti dikemukakan oleh Husserl, adalah untuk
mempelajari fenomena manusia tanpa mempertanyakan penyebabnya. Huseerl
mengatakan.‘’Dunia kehidupan adalah dasar makna yang dilupakan oleh ilmu
31
pengetahuan .’’ Kita kerap memanai kehidupan tidak secara apa adanya, tetapi
berdasarkan teori teori, refkeksi filosofis tertentu, atau berdasarka penafsiran-
penafsiran yang diwarnai oleh kepentingan-kepentingan, situasi kehidupan, dan
kebiasaan-kebiasaan kita.
Fenomenologi Scuthz banyak mengadaptasi pandangan Verstehen yang telah
di letakkan Max Weber. Bagi Schutz, verstehen sebagai pemahaman tentang
makna subjektif sama dengan penekanan fenomenologis yang menganalisis
struktur makna pada individu dan hubungan struktur tersebut dengan individu-
individu lain. Bisa dikatakan pengalaman dan asumsi dari makna-makna bersama
merupakan dasar yang mungkin untuk membuat kehidupan sosial. Di dalam
kehidupan santri di dalm pondok pesantren memiliki suatu ikatan individu dengan
yang lainnya.Mereka mempunyai kehidupan yang sama dan tujuan yang sama,
kehidupan mereka mempunyai kesamaan karena mereka harus memenuhi
peraturan Pesantren Ilmu A-lquran, mereka memiliki suatu ikatan yang mengikat
mereka untuk melakukan kegiatan yang sudah diwajibkan pesantren sedangkan
tujuan para santri sama yaitu menimbah ilmu sebaik-baiknya, baik ilmu agama
maupun ilmu umum.
Para santri memiliki aktivitas yang berbeda, karena mereka memiliki tingkatan
umur yang berbeda,meskipun didalam strata tingkat keumuran mereka berbeda
hal itu tidak mutlak menyebabkan perbedaan dengan santri yang lainya. Mereka
saling menghargai dengan antara santri yang satu dan yang lainnya, tetapi mereka
terkadang mengalami yang namannya perselisihan atau masalah yang terjadi
kepada para santri, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Karena setiap
kehidupan pasti akan mengalami yang namanya masalah, dan setiap individu
32
hanya bisa mempelajari dari masalah tersebut agar bisa menjadi orang yang bisa
mempelajari situasi atau keadaan yang tidak sama.
Fenomenologi hampir mirip dengan metode.Bisa disimpulkan bahwa berbicara
tentang fenomenologi tidak menceritakan tentang teori-teori besar, bukan pula
menggambarkan penjelasan yang sangat ilmiah mengenai kehidupan sosial,
terlebih menguantifikasi dalam angka-angka. Tujuan dari Fenomenologi adalah
mendorong kita untuk menyadari dan mempelajari serta mengontrol apa yang
sedang kita lakukan dan membentuk kehidupan sosial. Sekalipun manusia tidak
memiliki kontrol penuh atas setiap situasi dalam kehidupn sosial mereka, akhirnya
mereka sanggup memilih proyek hidupnya.Dikarnakan masing-masing individu
memiliki stoch of knowledge, kemudian diantara mereka terjadi sharing,
negoisasi, dan maneuver-manuver demi terbentuknya kohesi sosial.
Sebagai gerakan filsafat, fenomenologi menekankan keunggulan pikiran
manusia sebagai pencipta, yang akan semua manusia akan alami sebagai
kenyataan, yakni kondisi manusia yang memiliki kesadaran subjektif dan
mengambil sikap atas kehidupan sehari-hari. Tomm Cambeell menyatakan bahwa
fenomenologi tidak lebih dari usaha mempelatar belakangi filosofis untuk studi
tentang masyarakat, sedangkan dalam konteks ilmu sosial ia di anggap sebagai
bentuk kreativitas sosial dari kesadaran manusia. Pendekatan fenomenologi tidak
konvensional, tetapi radikal. Tetapi tidak sama dengan marxis yang terjebak
dalam gerakan-grerakan politik. Berbeda pula dengan fungsionalisme structural
yang cenderung reduktif, fenomenologi menghormati potensi, otonomi,
kreativitas individu, dan kemampuan mereka dalam menandingi sosilisasi,
kebiasaan, kondisi-kondisi tertentu, dan tekanan-tekanan masyarakat.
33
Tentang Kihidupan Sehari-hari (common sense)
Banyak gagasan Schutz yang menyinggung penjelasan tentang kehidupan
sehari-hari (common sense). Common Sense merupakan lambang yang
terorganisasi dari pengetahuan yang di terima begitu saja, dimana aktivitas kita
didasarkan dan dalam sifat alamiah kita tidak mempertanyakan (Gordon Marshall,
1998: hal 94). Meminjam pandangan Ritzer , bahwa common sense sama dengan
dunia intersubjektif. Dalam konteks ini, orang menciptakan realitas sosial dan
dipaksa kehidupan sosial yang telah ada dan oleh struktur kultural ciptaan leluhur
mereka (ritzer, 2003 : hal 94). Sekali lagi Ritzer mengutip pandangan Scuhtz:
“Dalam dunia ini, saya selalu membagi-bagi dengan teman-teman saya. Mereka
juga mengalami dan menafsirkannya seperti saya. Dalam kesadaran saya, saya
juga menemukan kesadaran yang dimiliki orang lain.
Dalam pandangan Scuhtz memang ada berbagai ragam realitas termasuk
didalamnya dunia mimpi dan ketidakwarasan.Tetapi realitas yang tertinggi itu
adalah dunia keseharian yang memiliki sifat intersubjektif yang disebutnya
sebagai the life word. Menurut Schutz ada enam karakteristik yang sangat
mendasar dari the life word ini, yaitu pertama, wide- awakeenes (ada unsur
kesadaran yang berarti sadar sepenuhnya).Kedua, reality (orang yakin akan
eksistensi dunia ). Ketiga, dalam dunia keseharian orang-orang berinteraksi ,
keempat pengalaman dari seseorang merupakan totalitas dari pengalaman dia
sendiri. Kelima, dunia intersubjektivits dicirikan sebagai komunikasi dan tindakan
sosial .Keenam, adanya prespektif aktu dalam masyarakat.
34
Schutz juga mengatakan untuk meneliti fenomena sosial, sebaiknya peneliti
merujuk pada empat tipe ideal yang terkait dengan interaksi sosial. Karena
interaksi sosial sebenarnya dari hasil pemikiran diri pribadi yang berhubungan
dengan orang lain atau lingkungan. Sehingga yntuk mempelajari interaksi sosial
antar pribadi dalam fenomenologi digunakan empat tipe ideal berikut ini:
a. The eyewitness (saksi mata) Yaitu seseorang yang melaporkan kepada
peneliti sesuatu yang telah diamati di dunia dalam jangkuan orang tersebut.
b. The insider (orang dalam) Seseorang yang karena hubunganya dengan
kelompok yang lebih langsung dari peneliti sendiri, lebih mampu
melaporkan suatu peristiwa, atau pendapat orang lain dari kelompok.
Peneliti menerima informasi orang dalam sebagai “benar” atau sah,
setidaknya sebagaian karena pengetahuannya dalam konteks situasi lebih
dalam dari saya.
c. The analst (analisis) Seseorang sebagai informasi relevan dengan peneliti,
orang itu mengumpulakan informasi dan mengorganisasikannya sesuai
dengan system relevansi
d. The commentator (komentator) schutz menyampaikan juga tiga unsur pokok
fenomenologi sosial yaitu:
Pertama Perhatian terhadap aktor
Kedua, Perhatian terhadap kenyataaan yang penting atau yang pokok
dan kepada sikap yang wajar atau alamiah (Natural Atitude).
Ketiga, Memperhatikan pertumbuhan, perubahan, dan proses tindakan.
Berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat
diciptakan dan diplihara dalam pergaulan sehari-hari.
Recommended