9
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL, HASIL PENELITIAN DAN
ANALISIS
Bab ini berisi uraian hasil penelitian yang kemudian dianalisis sesuai dengan
permasalahan penelitian yang telah dikemukakan dalam Bab I. Sebelum hasil
penelitian dan analisis dikemukakan terlebih dahulu pada bagian awal Bab II ini
tentang konsep-konsep yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Kejahatan Internasional
Sampai sekarang belum ada definisi baku mengenai apa yang dimaksud
dengan kejahatan internasional (international crimes). M. Cherif Bassiouni
dalam bukunya International Criminal Law memberi definisi kejahatan
internasional sebagai setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi-
konvensi multilateral dan diikuti oleh sejumlah negara dan di dalamnya
terdapat salah satu dari kesepuluh karakteristik pidana.1 Sedangkan menurut
Bryan A. Garner kejahatan internasional yaitu: pertama, suatu tindakan
sebagai kejahatan berdasarkan perjanjian (treaty crime) di bawah hukum
internasional atau hukum kebiasaan internasional dan mengikat individu
secara langsung tanpa diatur dalam hukum nasional. Kedua, ketentuan dalam
hukum internasional yang mengharuskan penuntutan terhadap tindakan-
tindakan yang dapat dipidana berdasarkan prinsip yurisdiksi universal.2
1 M. Cherif Bassiouni dalam Eddy O.S Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional (selanjutnya
disingkat Eddy O.S Hiariej I), Jakarta, Erlangga, 2009, hlm. 46.
2 Bryan A. Garner, dalam Op.Cit.
10
Berikut jenis-jenis kejahatan yang secara umum dianggap sebagai kejahatan
internasional:
a. Genosida
Istilah Genosida terdiri atas dua kata, yaitu ‘geno’ yang diambil dari bahasa
Yunani yang artinya ‘ras’ dan ‘cidium’ yang diambil dari bahasa Latin yang
bermakna ‘membunuh’. Sehingga secara harafiah genosida dapat diartikan
sebagai pembunuhan ras. Istilah ini diperkenalkan oleh Raphael Lemkin pada
tahun 1944. Lemkin adalah seorang Yahudi kelahiran Polandia yang
bermigrasi ke Amerika pada tahun 1930. Ia mulai menggunakan istilah
genosida dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe. Lemkin mencatat
bahwa istilah yang sama artinya dengan genocide adalah ethochide yang
berasal dari kata Yunani ‘ethnos’ yang berarti ‘bangsa’ dan kata Latin ‘cide’.
Istilah genocide ini semakin dikenal karena Amerika mengajukan tuntutan
terhadap para penjahat perang NAZI Jerman saat Nuremberg Trial
(Pengadilan Nuremberg) digelar,3
Oleh Raphael Lemkin genocide didefinisikan secara lengkap sebagai:
“Intentional coordinated plan of different actions aiming at the destruction
of essential foundations of the life of national groups with the aim of
annihilating the groups themselves. The objectives of such a plan would be
disintegration of the political and social institutions of culture, language,
national feelings, religion, economic existence, of national groups and the
destruction of the personal security, liberty, health, dignity and even the
lives of the individuals belonging to such groups, ... The actions involved
are directed against individuals, not in their individual capacity, but as
members of the national group.”
(Terjemahan bebas: Rencana terkoordinasi yang disengaja dari berbagai
tindakan yang bertujuan menghancurkan dasar-dasar penting kehidupan
kelompok nasional dengan tujuan untuk memusnahkan kelompok itu
sendiri. Tujuan dari rencana semacam itu adalah memporak-porandakan
institusi politik dan eksistensi sosial budaya, bahasa, perasaan nasional,
3 Eddy O.S Hiariej, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap Hak Asasi Manusia
(selanjutnya disingkat Eddy O.S Hiariej II), Jakarta, Erlangga, 2010, hlm. 7.
11
agama, ekonomi dari kelompok kebangsaan tertentu serta penghancuran
keamanan pribadi, kebebasan, kesehatan, martabat dan bahkan kehidupan
individu yang tergabung dalam kelompok tersebut ... Tindakan yang
dilakukan diarahkan terhadap individu, bukan dalam kapasitas sebagai
pribadi, tetapi sebagai anggota kelompok kebangsaan).
b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali dikenal dalam Deklarasi
bersama pemerintah Prancis, Inggris dan Rusia tanggal 24 Mei 1915 yang
mengutuk tindakan Turki atas kekejaman yang dilakukannya selama perang
terhadap populasi Armenia. Dalam deklarasi bersama, tindakan itu diberi
nama “crimes against civilization and humanity”. Definisi lebih rinci terhadap
istilah ‘crimes against humanity’ dapat ditemukan dalam Piagam London yang
melahirkan Nuremberg Trial. Dalam Pasal 6 (c) London Charter of The
International Military Tribunal secara lengkap dinyatakan:
“Crimes Against Humanity: Namely, murder, extermination, enslavement,
deportation, and other inhumane acts committed against any civilian
population, before or during the war; or persecutions on political, racial
or religious grounds in execution of or in connection with any crime within
the jurisdiction of the tribunal, whether or not in violation of the domestic
law of the country where perpetrated.”
(Terjemahan bebas: Kejahatan terhadap Kemanusiaan: Yaitu, pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya
yang dilakukan terhadap penduduk sipil manapun, sebelum atau selama
perang; Atau penganiayaan atas dasar-dasar politik, ras atau agama dalam
pelaksanaan atau sehubungan dengan kejahatan di dalam yurisdiksi
pengadilan, melanggar atau tidak secara hukum negara dalam negeri yang
melakukan pelanggaran).
Demikian pula dalam Charter of the International Military Tribunal for the
Far East yang membentuk Tokyo Trial. Definisi kejahatan terhadap
kemanusiaan terdapat dalam Pasal 5 (c) lengkapnya berbunyi:
“Crimes Against Humanity: Namely, murder, extermination, enslavement,
deportation, and other inhumane acts committed against any civilian
population, before or during the war; or persecutions on political, racial
or religious grounds in execution of or in connection with any crime within
12
the jurisdiction of the tribunal, whether or not in violation of the domestic
law of the country where perpetrated. Leaders, organizers, instigators and
accomplices participating in the formulation or execution of a common
plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible
for all acts performed by any person in execution of such plan.”
(Terjemahan bebas: Kejahatan terhadap kemanusiaan: yaitu, pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya
yang dilakukan terhadap penduduk sipil manapun, sebelum atau selama
perang; Atau penganiayaan atas dasar-dasar politik, ras atau agama dalam
pelaksanaan atau sehubungan dengan kejahatan di dalam yurisdiksi
pengadilan, apakah melanggar undang-undang nasional negara tempat
dilakukan atau tidak. Pemimpin, penyelenggara, penghasut dan kaki tangan
yang berpartisipasi dalam perumusan atau pelaksanaan rencana bersama
atau persekongkolan untuk melakukan kejahatan di atas bertanggung jawab
atas semua tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dalam pelaksanaan
rencana tersebut.)
Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam Konvensi mengenai
Ketidakberlakuan Daluwarsa4 untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan
terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2391 (XXIII), 26
November 1968 tercantum dalam Pasal 1 (b). Secara eksplisit dalam pasal
tersebut dikatakan:
Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan dalam waktu perang atau
dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Nuremberg, 8
Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan resolusi-resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 3 (I) 13 Februari 1946 dan 95 (I) 11 Desember
1946 pengusiran dengan bersenjata, atau pendudukan dan perbuatan-
perbuatan tidak manusiawi, yang diakibatkan dari apartheid, dan kejahatan
genosida, seperti yang didefinisikan dalam Konvensi 1948 tentang
Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida, sekalipun
4 Berdasarkan prinsip daluwarsa hak negara untuk mengenakan pidana terhadap pelaku tindak pidana
dianggap gugur setelah lewat waktu tertentu. Hal ini berarti dapat mencegah terjadinya penundaan proses hukum
namun dapat memberi peluang terjadinya impunitas, yaitu keadaaan dimana seorang pelaku tindak pidana tidak
tersentuh oleh hukum karena otoritas yang memiliki jurisdiksi tidak melakukan proses hukum. Oleh karena itu
melalui praktik kebiasaan internasional untuk kejahatan-kejahatan internasional prinsip daluwarsa tidak
diterapkan. Dikutip dari Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 272.
13
perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap hukum
domestik dari negara tempat kejahatan-kejahatan itu dilakukan.5
c. Kejahatan Perang
Perang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan permusuhan
antara dua negara (bangsa, agama, suku) ataupun pertempuran besar bersenjata
antara dua pasukan atau lebih.6 Hukum perang (Hukum Humaniter
Internasional) adalah sekumpulan norma-norma yang mengatur perihal
perang. Secara substansial hukum perang dibedakan menjadi dua kategori
yaitu ius ad bellum dan ius in bello.7 Ius ad bellum adalah norma-norma yang
mengatur tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana sebuah perang yang
sah dapat dilancarkan Ius in bello adalah norma-norma yang mengatur hak dan
kewajiban dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang. Hukum perang dalam
arti luas mencakup baik normaius ad bellum maupun norma ius in bello,
sedangkan hukum perang dalam arti sempit hanya mencakup norma ius in
bello.
Secara sederhana, kejahatan perang berpangkal dari segala tindakan yang
melanggar hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata namun tidak setiap
pelanggaran terhadap norma hukum dan kebiasaan tersebut dapat
dikategorikan sebagai kejahatan perang. Cryer (et al.), mengatakan bahwa,
“[w]ar crimes law deals with the criminal responsibility of individuals for
serious violations of international humanitarian law.”8
5 Eddy O.S Hiariej I, Op.Cit., hlm. 62.
6 https://kbbi.web.id/perang, dikunjungi pada 25 Agustus 2017, pukul 10.20.
7 Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 148.
8 Robert Cryer dalam Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 165.
14
Pengertian kejahatan perang dalam London Charter termuat dalam Pasal 6 (b)
yang secara tegas menyatakan:
“War Crimes: Namely, violations of the laws or customs of war. Such
violations shall include, but not be limited to, murder, ill-treatment or
deportation to slave labour or for any other purpose of civilian population
of or in occupied territory, murder or ill-treatment of prisoners of war or
persons on the seas, killing of hostages, plunder of public or private
property, wanton destruction of cities, towns or villages, or devastation not
justified by military necessity.”9
(Terjemahan bebas: Kejahatan perang: yaitu, melanggar hukum atau
kebiasaan perang. Pelanggaran tersebut harus mencakup, namun tidak terbatas
pada, pembunuhan, penganiayaan atau deportasi untuk kerja paksa atau untuk
tujuan lain penduduk sipil atau di wilayah yang diduduki, pembunuhan atau
penganiayaan terhadap tahanan perang atau orang-orang di laut, pembunuhan
sandera, perampasan harta benda publik atau pribadi, penghancuran kota, kota
atau desa yang tidak disukai, atau kehancuran yang tidak dibenarkan oleh
kebutuhan militer).
d. Kejahatan Agresi
Hingga detik ini belum ada kesepakatan mengenai definisi tentang kejahatan
agresi. Namun tidak berarti konsep tentang kejahatan agresi tidak ada.Konsep
kejahatan agresi ditemukan pada Piagam Mahkamah Militer Internasional
Nurenmberg dalam wujud kejahatan terhadap perdamaian (“crimes against
peace”). Pasal 6(a) dari Piagam tersebut memuat defenisi kejahatan terhadap
perdamaian sebagai berikut:
“Crimes against Peace: namely, planning, preparation, initiation or
waging of a war of aggression, or a war in violation of international
treaties, agreements or assurances…”
(Terjemahan bebas: Kejahatan terhadap Perdamaian: yaitu, perencanaan,
persiapan, inisiasi atau pelaksanaan perang agresi, atau perang yang
melanggar perjanjian internasional, kesepakatan atau jaminan ...).
Selain itu pada tahun 2002 ICC membentuk Kelompok Kerja Khusus dan
berhasil menyusun draft tentang definisi “kejahatan agresi” yang akan
diakomodasikan dalam amandemen Statuta Roma 1998. Berikut definisi
tentang kejahatan agresi yang dimuat dalam Artikel 8 bis:
9 London Charter of The International Military Tribunal, hlm. 2.
15
“For the purpose of this Statute, “crime of aggression” means the planning,
preparation, initiation or execution, by a person in a position effectively to
exercise control over or to direct the political or military action of a State,
of an act of aggression which, by its character, gravity and scale,
constitutes a manifest violation of the Charter of the United Nations.”
Ketentuan tersebut mempertegas gagasan bahwa istilah kejahatan agresi secara
khusus menunjuk pada tindakan perseorangan sebagaimana dapat disimpulkan
dari frasa “by a person” dalam definisi di atas. Di dalam rumusan definisi
tersebut juga dapat ditemukan istilah “act of aggression”, yang dipahami
sebagai tindakan negara (act of a state). Oleh karena itu dengan melihat
definisi di atas keberadaan kejahatan agresi akan sangat tergantung pada
keberadaan act of aggression. Selanjutnya untuk menguraikan “act of
aggression” Artikel bis 8 merukuk pada definisi dan cakupan yang terdapat di
dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 3314 (XXIX)/1974.
Pengaturan lebih lanjut kejahatan agresi mengenai prinsip tanggung jawab
individu, pidana, dan lain-lain sama dengan pengaturan yang juga berlaku
untuk jenis tindak pidana yang menjadi jurisdiksi ICC, yaitu genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
2. Pengaturan Kejahatan Internasional
Berikut pengaturan kejahatan internasional sebagaimana dimaksud dalam
uraian sebelumnya, khususnya mengenai tanggung jawab pidana secara
individual dan tanggung jawab komando yang menjadi fokus skripsi ini.
a. Statuta Roma 1998
Gagasan pertanggungjawaban pidana secara individual yang sudah mulai
dikemukakan dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional Nurenberg juga
ditegaskan dalam Artikel 25 Statuta Roma 1998. Paragraf 1 artikel tersebut
menegaskan bahwa ICC memiliki jurisdiksi atas orang pribadi (natural
person). Melengkapi paragraf 1, paragraf 2 menyatakan bahwa:
“a person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall
be individually responsible and liable for punishment in accordance with
this Statute.”
Prinsip ini diperkuat oleh Artikel 33 Statuta Roma yang mengatur tentang
tanggung jawab individual dalam hal melakukan tindakan yang dilarang
16
karena instruksi dari pemerintah atau atasannya, baik sipil maupun militer
namun ada pembatasan terhadap prinsip ini.10 Seseorang yang
diinstruksikan untuk melakukan perintah atasan tidak dipidana kalau syarat
berikut terpenuhi:
- Orang tersebut terikat kewajiban hukum untuk mematuhi instruksi dari
pemerintah atau atasannya;
- Orang tersebut tidak mengetahui bahwa instruksi yang diterimanya tidak
sah; dan
- Perintah yang diberikan tidak tampak sebagai perintah yang tidak sah.
1) Kriminalisasi
Setiap orang yang melakukan genosida, baik secara sendiri maupun
bersama-sama, atau yang menyuruhmelakukan (Artikel 25 (3)(a)
Statuta Roma 1998), setiap orang yang memerintahkan, mendorong,
atau menyebabkan terjadinya genosida atau percobaan genosida
(Artikel 25(3)(c) Statuta Roma 1998), setiap orang yang sengaja
mengambil peran dalam pelaksanaan genosida, dengan cara
mendorong perbuatan melibatkan genosida, atau dengan mengetahui
tujuan kelompok pelaku genosida (Artikel 25 (3)(d) Statuta Roma
19980, setiap orang yang secara langsung dan terbuka menghasut
orang lain untuk melakukan genosida (Artikel 25 (3)(e) Statuta Roma
1998), dan setiap orang yang melakukan percobaan genosida.11
2) Pidana
Sama seperti Statuta ICTY dan ICTR, Statuta Roma 1998 secara
implisit juga mengesampingkan dijatuhkannya hukuman pidana mati
10 Arie Siswanto,Op.Cit.,hlm. 63.
11 Ibid.
17
kepada pelaku genosida dan kejahatan lain yang berada dalam cakupan
jurisdiksi ICC.
Artikel 77 Statuta Roma tersebut secara tegas menyatakan:
1. Subject to article 110, the Court may impose one of the
following penalties on a person convicted of a crime referred to in
article 5 of this Statute:
(a) Imprisonment for a specified number of years, which may not
exceed a maximum of 30 years; or
(b) A term of life imprisonment when justified by the extreme
gravity of the crime and the individual circumstances of the
convicted person.
2. In addition to imprisonment, the Court may order: (a) A fine
under the criteria provided for in the Rules of Procedure and
Evidence; (b) A forfeiture of proceeds, property and assets derived
directly or indirectly from that crime, without prejudice to the
rights of bona fide third parties.
( Terjemahan bebas:
1. Tunduk pada artikel 110, Mahkamah dapat mengenakan satu di
antara hukuman-hukuman berikut ini kepada seseorang yang
dihukum atas suatu kejahatan berdasarkan artikel 5 Statuta ini:
(a) Hukuman penjara selama tahun-tahun tertentu, yang tidak
melebihi batas tertinggi 30 tahun; atau
b) Hukuman penjara seumur hidup apabila dibenarkan oleh
gawatnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang
dihukum.
2. Di samping hukuman penjara, Mahkamah dapat memutuskan:
51 (a) Denda berdasarkan kriteria yang ditetapkan dalam Hukum
Acara dan Pembuktian; (b) Penebusan hasil, kekayaan dan aset
yang berasal langsung atau tidak langsung dari kejahatan itu, tanpa
merugikan hak-hak pihak ketiga yang bona fide.)
Dapat kita ketahui bahwa ada dua jenis pidana yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku genosida dan kejahatan internasional lain dalam
yurisdiksi ICC yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Pemahaman pelaku dalam konteks tanggung jawab pidana secara
individual ini diperluas tidak hanya sebatas pelaku langsung melainkan
juga setiap orang yang bersama-sama melakukan tindak pidana
kejahatan terhadap kemanusiaan, orang yang memerintahkan,
18
mendorong, menyuruhlakukan, membantu serta memfasilitasi
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sedangkan prinsip tanggung jawab komando (atasan bertanggung
jawab atas tindakan bawahannya) yaitu seorang komandan militer atau
seorang atasan dapat dianggap ikut memikul tanggung jawab pidana
atas tindakan yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah
kendali dan pengawasannya.
a) Perintah atasan dan perintah hukum tidak menghilangkan
tanggung jawab pidana pelaku
Tanggung jawab pidananya dapat dihapuskan jika:
- Ia terikat pada kewajiban hukum untuk mematuhi perintah atasannya
itu;
- Ia tidak mengetahui bahwa perintah atasannya itu bertentangan
dengan hukum; dan
b) Perintah atasannya tidak serta-merta bersifat melawan hukum
Jika perintah yang diberikan kepada pelaku itu adalah perintah untuk
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, perintah itu dikategorikan
sebagai perintah yang nyata-nyata melawan hukum, sehingga ketika
dilakukan oleh seorang bawahan ia tidak bisa melepaskan diri dari
tanggung jawab pidananya dengan alasan apapun.
Dari sisi pidana yang diancamkan, Statuta Roma 1998 menganut
gagasan yang sama seperti Statuta ICTY dan Statuta ICTR yaitu sama-
sama tidak mengenal pidana mati (death penalty) sebagai pidana yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan kemanusiaan.
19
b. Sumber hukum lain
1) Konvensi Genosida 1948
Pada 9 Desember 1948 istilah genosida didefinisikan dalam
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genocide yang diterima oleh Resolusi Majelis Umum PBB 260 (III).
Dalam Pasal 1 Konvensi tersebut dinyatakan bahwa genosida yang
dilakukan pada waktu damai atau pada waktu perang adalah kejahatan
menurut hukum internasional (... genocide, whether committed in time
of peace or in time of war, is a crime under international law...).
Sedangkan pengertian genosida dirumuskan secara lengkap dalam
Pasal 2 yang didahului dengan unsur umum sebelum uraian jenis-jenis
perbuatan genosida. Unsur umum dalam Pasal 2 berbunyi:
“In the present convention, genocide means any of the following
acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a
national, ethnical, racial or religious group.”
(Terjemahan bebas: Dalam Konvensi ini, genosida diartikan
sebagai perbuatan-perbuatan berikut, yang dilakukan dengan
tujuan merusak begitu saja, keseluruhan ataupun sebagian, suatu
kelompok bangsa, etnis, rasial atau agama.)
Sementara Pasal 3 Konvensi Genosida 1948 menyebutkan bahwa
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum adalah genosida,
persekongkolan untuk melakukan genosida (conspiracy to commit
genocide), hasutan langsung dan di depan umum untuk melakukan
genosida (direct and public incitement to commit genocide), mencoba
melakukan genosida (attempt to commit genocide) dan penyertaan
dalam genosida (complicity in genocide). Dengan kata lain,
permufakatan jahat, percobaan dan penyertaan melakukan genosida,
dihukum sebagaimana melakukan genosida.
20
2) Piagam Mahkamah Internasional Nuremberg
Setelah Perang Dunia II berakhir, empat negara sekutu yaitu Amerika,
Inggris, Prancis dan Uni Soviet menyatakan dalam Perjanjian London
(London Agreement) pada 8 Agustus 1945 akan berupaya untuk
mengadili para penjahat perang. Hal tersebut diwujudkan melalui
terbentuknya dua pengadilan yaitu Pengadilan Militer Internasional
(International Military Tribunal) di Nuremberg (Nürnberg) pada tahun
1945 dan pada tahun 1946 di Tokyo untuk mengadili para penjahat
perang yang utama.
Menurut Piagam Mahkamah Internasional Nuremberg, ada beberapa
prinsip-prinsip hukum internasional yang terkandung dalam piagam
tersebut yaitu:12
(1) Setiap orang bertanggung jawab dan harus dijatuhi hukuman
atas tindakan kejahatan yang dilakukannya menurut hukum
internasional.
(2) Adanya kenyataan bahwa hukum nasional (internal law) tidak
menerapkan hukuman bagi tindakan yang merupakan kejahatan
menurut hukum internasional tidak melepaskan pelaku dari tanggung
jawab menurut hukum internasional.
(3) Seorang kepala negara atau pejabat pemerintah yang
bertanggung jawab yang melakukan suatu kejahatan menurut hukum
internasional tidak menyebabkan mereka lepas dari tanggung jawab
menurut hukum internasional.
12 Natsri Anshari, Tanggung Jawab Komando menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Indonesia, dalam Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta, RajaGrafindo Persada,
2014, hlm. 218.
21
(4) Seseorang yang melakukan tindakan kejahatan menurut hukum
internasional sesuai dengan perintah pemerintahnya atau atasannya
tidak melepaskan dirinya dari tanggung jawab menurut hukum
internasional.
(5) Setiap orang yang didakwa melakukan suatu kejahatan
menurut hukum internasional berhak atas pengadilan yang adil
mengenai faktanya atau hukumnya.
(6) Kejahatan yang dihukum sebagai kejahatan menurut hukum
internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang
dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah suatu kejahatan menurut
hukum internasional.
3) Statuta ICTY
Perang saudara yang terjadi di Yugoslavia pada tahun 1991-1993
merupakan perang dahsyat dengan terjadinya pembantaian dan
pembunuhan massal terhadap penduduk sipil yang menyebabkan
jatuhnya ribuan korban. Selain itu pada tahun 1994 di Rwanda Afrika
juga terjadi peristiwa serupa yaitu perang saudara yang juga
menimbulkan ribuan korban. Hal inilah yang mendasari Dewan
Keamanan PBB berdasarkan kewenangannya dalam Bab VII Piagam,
dalam kasus Bekas Yugoslavia Dewan Keamanan membentuk
Mahkamah Pidana Internasional dengan Resolusi Nomor 808 pada 22
Februari 1993 dan disempurnakan dengan Resolusi Nomor 827 pada
25 Mei 1993. Resolusi ini diamandemen dengan Resolusi Nomor 1166
22
pada 11 Mei 1998, kemudian diamandemen lagi dengan Resolusi
Nomor 1329 pada tanggal 30 November 2000.13
Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas Yugoslavia
(International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) adalah
sebuah badan PBB yang didirikan untuk mengadili para penjahat
perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai
sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di Den Haag,
Belanda. Sedangkan Statuta ICTY adalah instrument hukum
internasional yang menjadi landasan pembentukan ICTY.
Berikut yurisdiksi yang dimiliki ICTY:
- Yurisdiksi Personal, yaitu kewenangan untuk mengadili
individu (bersifat individual), artinya bahwa pertanggungjawaban
diberikan secara individu dengan tidak memandang status ataupun
kedudukan di dalam Negara Yugoslavia. Perbuatan yang termasuk
dalam hal ini dapat berupa suatu perencanaan, memerintahkan,
melaksanakan ataupun sebagai orang yang bertindak melaksanakan
perintah yang diberikan oleh atasannya (komando).
- Yurisdiksi Teritorial, yaitu kewenangan untuk mengadili
berkaitan dengan wilayah Bekas Yugoslavia dan berdasarkan Artikel 8
ICTY, yurisdiksi Mahkamah meluas dari wilayah bekas Republik
Federasi Yugoslavia termasuk permukaan daratan, ruang udara dan
perairan teritorialnya. Namun jika ditinjau dari segi tempat atau
teritorialnya, peristiwa kriminal tersebut tidak dapat dipisahkan
13 Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, Jakarta Timur, Sinar Grafika, 2014, hlm. 144.
23
sehingga peristiwa tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan
yang terjadi di dalam wilayah Bekas Yugoslavia.
- Yurisdiksi Temporal, yaitu kewenangan yang terkait waktu
berlakunya dari peristiwa kejahatan yang terjadi di Bekas Yugoslavia,
yang terjadi mulai 1 Januari 1991 dengan tidak menegaskan batas akhir
(Artikel 8 ICTY). Ketentuan tidak menegaskan batas akhir ini
membuat Mahkamah tidak terikat oleh batas waktu terakhirnya
sehingga Mahkamah dapat bertindak dengan fleksibel dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya.
- Yurisdiksi Kriminal, yaitu kewenangan Mahkamah dalam
melakukan tindakan untuk menangkap, menahan dan mengadili para
pelaku berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam
kewenangan Mahkamah yaitu atas pelanggaran serius hukum
humaniter internasional (serious violations of international
humanitarian law). Yurisdiksi kriminal yang dimiliki Mahkamah yaitu
pelanggaran berat atas Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 (grave
breaches of the Geneva Conventions of 1949), pelanggaran atas hukum
atau kebiasaan perang (violations of laws of customs of war), genosida
(genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity).
Artikel 7(3) Statuta ICTY tentang pertanggungjawaban pidana
individu menyatakan bahwa:
“The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the
present Statute was committed by a subordinate does not relieve
his superior of criminal responsibility if he knew or had reason to
know that the subordinate was about to commit such acts or had
done so and the superior failed to take the necessary and
reasonable measures to prevent such acts or to punish the
perpetrators thereof.”
24
(Terjemahan bebas: Fakta bahwa tindakan yang disebutkan dalam
Artikel 2 hingga 5 dari Statuta ini dilakukan oleh bawahan dan
tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana jika dia
mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui bahwa
bawahannya tersebut akan melakukan tindakan atau telah
melakukan tindakan tersebut dan atasannya gagal mengambil
tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah
tindakan tersebut atau untuk menghukum bawahannya
(pelakunya).”
Dari kutipan tersebut kita mengetahui bahwa Statuta ICTY juga
mengatur tentang tanggung jawab komando dan memiliki pernyataan
yang sama seperti Statuta Roma.
4) Statuta ICTR
Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (International
Criminal Tribunal for Rwanda) adalah pengadilan internasional yang
didirikan pada November 1994 oleh Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa berdasarkan Resolusi 955 tanggal 9 November 1994
dengan tujuan untuk mengadili orang yang bertanggung jawab atas
terjadinya Genosida Rwanda dan pelanggaran hukum internasional lain
di Rwanda dari 1 Januari hingga 31 Desember 1994.14 Tempat
kedudukan Mahkamah ini di Arusha, Tanzania.
Berikut yurisdiksi yang dimiliki Mahkamah ICTR:
- Yurisdiksi Personal, yaitu kewenangan yang terbatas pada
individu bukan pada badan hukum lain seperti negara, organisasi
internasional maupun badan hukum publik maupun privat.
Sebagaimana yang diatur Artikel 2 ICTR yaitu individu-individu yang
14 https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Kriminal_Internasional_untuk_Rwanda, dikunjungi pada
29 Agustus 2017, pukul 15.09.
25
merencanakan, memerintahkan, melakukan, memberikan bantuan atau
turut serta dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan-
kejahatan yang ditentukan dalam Artikel 2-4 ICTR, yang mereka itu
bertanggungjawab secara individual atas kejahatan yang dilakukan.15
- Yurisdiksi Teritorial, berdasarkan Artikel 7 ICTR yurisdiksi
territorial Mahkamah ini yaitu wilayah Rwanda yang meliputi
permukaan daratan, ruang, udara termasuk wilayah negara tetangga
yang berkenaan dengan pelanggaran serius yang dilakukan oleh warga
negara Rwanda.
- Yurisdiksi Temporal, ditegaskan dalam Artikel 7 ICTR dan
yang menjadi kewenangan Mahkamah dalam menangani perkara yang
berlangsung antara tanggal 1 Januari 1994 sampai 31 Desember 1994.
Berbeda dengan yurisdiksi temporal Mahkamah ICTY yang tidak
memiliki batas waktu, yurisdiksi Mahkamah ICTR memiliki rentang
waktu yang dalam ketentuan ini telah dijelaskan secara jelas.
- Yurisdiksi Kriminal
Berikut yang termasuk dalam yurisdiksi kriminal Mahkamah Rwanda
yaitu pelanggaran serius (the most serious crimer) atas hukum
humaniter internasional yang meliputi genosida (genocide), kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), pelanggaran atas
Artikel 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II
(violations of Article 3 common to the Genewa Conventions and of
Additional Protocol II).
15 Anis Widyawati, Op.Cit., hlm. 148.
26
Statuta ICTR juga sama-sama mengatur tentang tanggung jawab
komando. Artikel 6(3) Statuta ICTR menyatakan bahwa:
“The fact that any of the acts referred to in Articles 2 to 4 of the
present Statute was committed by a subordinate does not relieve
his or her superior of criminal responsibility if he or she knew or
had reason to know that the subordinate was about to commit such
acts or had done so and the superior failed to take the necessary
and reasonable measures to prevent such acts or to punish the
perpetrators thereof.”
(Terjemahan bebas: Fakta bahwa setiap tindakan sebagaimana
yang diatur Artikel 2 hingga 4 dari Statuta ini adalah yang
dilakukan oleh bawahan dan tidak membebaskan atasannya dari
tanggung jawab pidana jika dia tahu atau punya alasan untuk
mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan tindakan atau
telah melakukan tindakan kejahatan serta atasan tersebut gagal
mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk
mencegah tindakan tersebut ataupun menghukum para pelakunya.)
3. Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Internasional
a. Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
1) Pembentukan dan Dasar Hukum ICC
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) adalah
pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen yang bertujuan
untuk menuntut setiap individual yang melakukan kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan
agresi. Lembaga ini menjadi pengadilan pidana internasional permanen
yang pertama karena pengadilan pidana internasional sebelumnya
bersifat ad hoc. ICC merupakan mahkamah yang didirikan oleh suatu
keputusan Dewan Keamanan PBB yang bertindak di bawah Bab VII
Piagam PBB berkenaan dengan pemeliharaan perdamaian dan
keamanan internasional.
Statuta Roma 1998 merupakan landasan berdirinya ICC, yang juga
telah menetapkan prinsip-prinsip dasar dari lembaga tersebut
27
sebagaimana tercantum dalam tabel sebagai berikut:
28
TABEL 1
PRINSIP-PRISIP DASAR INTERNATIONAL CRIMINAL COURT16
No. Prinsip Keterangan
1. Komplementer, Pasal
1 Statuta Roma 1998
ICC merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana
nasional. Berdasarkan prinsip ini, ICC hanya bersifat
pelengkap terhadap yurisdiksi pidana suatu negara.
Dimuatnya prinsip ini, sekaligus merupakan pengakuan
terhadap prinsip kedaulatan negara dan harapan
masyarakat internasional agar sistem hukum nasional
memuat pengaturan hukum untuk mengatur dan
menghukum tindak-tindak pidana yang menjadi
keprihatinan dunia.
2. Penerimaan, Pasal 17
Statuta Roma 1998
ICC dapat menentukan bahwa suatu kasus dinyatakan
tidak dapat diterima apabila:
a. Kasusnya sedang diperiksa atau diadili oleh
negara setempat;
b. Perkaranya telah diselidiki oleh negara setempat
dan negara tersebut memutuskan untuk tidak melakukan
tuntutan terhadap orang yang bersangkutan;
c. Orang yang bersangkutan telah diadili untuk
perbuatan yang sama dengan perbuatan yang menjadi
dasar tuntutan ICC seperti disebut dalam Pasal 20 ayat 3
Statuta;
d. Kasusnya tidak cukup berat untuk memerlukan
tindakan lebih lanjut dari ICC.
3. Otomatis, (Automatic
Principle), Pasal 12
ayat (1) Statuta Roma
1998
Pelaksanaan yurisdiksi ICC atas tindak- tindak pidana
yang tercantum dalam Statuta tidak memerlukan
persetujuan sebelumnya dari negara pihak. Selanjutnya
atas dasar Pasal 12 ayat (2) Statuta, ICC dapat
melaksanakan yurisdiksinya, apabila
a. Kejahatan terjadi di wilayah negara pihak Statuta
b. Orang yang melakukan kejahatan tersebut adalah
warga negara dari negara pihak tersebut.
4. Ratio Temporis
(Yurisdiksi Temporal)
Pasal 24Statuta Roma
1998
ICC tidak boleh melaksanakan yurisdiksinya atas
kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum berlakunya
Statuta.
5. Prinsip Nullum
Crimen Sine Lege
Pasal 22 dan Pasal
23Statuta Roma 1998
Pasal 22 Statuta menjelaskan bahwa tidak seorangpun
dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan
Statuta, kecuali tindakan tersebut waktu dilakukan
merupakan suatu tindak pidana yang berada dalam
yurisdiksi ICC. Pasal 23 menegaskan bahwa seseorang
yang telah didakwa ICC hanya dapat dijatuhi pidana
sesuai dengan Statuta.
16 Boer Mauna dalam Denny Ramdhany, Hukum Humaniter Internasional dalam studi hubungan
internasional, Depok, Rajagrafindo Persada, 2009, hlm. 172.
29
6. Prinsip Neb is idem
Pasal 20Statuta Roma
1998
Seseorang tidak dapat dituntut lagi di ICC atas tindak
pidana yang sama yang telah diputuskan atau dibebaskan
oleh ICC.
7. Prinsip Ratio Loctie
(Yurisdiksi Teritorial)
Pasal 12 ayat
(2)Statuta Roma 1998
ICC mempunyai yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan
yang dilakukan di wilayah negara-negara pihak tanpa
memandang kewarganegaraan dari pelaku.
8. Prinsip Tanggung
Jawab Pidana secara
Individu
Pasal 25Statuta Roma
1998
Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana dalam
wilayah yurisdiksi ICC bertanggung jawab secara pribadi
dan dapat dihukum sesuai Statuta.
9. Prinsip Praduga Tak
Bersalah
(Presumption of
Innocence)
Pasal 66Statuta Roma
1998
Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti
bersalah di depan ICC sesuai hukum yang berlaku.
10. Prinsip Hak Veto
Dewan Keamanan
(DK) untuk
Menghentikan
Penuntutan
DK (Security Council)17 dapat mencegah ICC dalam
melaksanakan yurisdiksinya sesuai Pasal 16 yang
berbunyi tidak ada penyidikan atau penuntutan yang
dapat dimulai atau dilaksanakan sesuai Statuta untuk
jangka waktu 12 bulan, setelah DK dalam resolusinya
yang dibuat menurut Bab VII, meminta ICC untuk
menangguhkan penyidikan atau tuntutan.
2) Kewenangan ICC
ICC menganut prinsip complementarity, yang artinya ICC hanya
sebagai pelengkap pengadilan nasional suatu negara karena negara
tersebut sudah mempunyai kewajiban berdasar hukum internasional
untuk mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan yang
terjadi. Mahkamah ICC hanya akan mengadili apabila negara tersebut:
- Tidak mampu (unable) atau tidak bersedia (unwilling) atau
- Hanya menjalankan pengadilan pura-pura untuk membebaskan
terdakwa dari pertanggungjawaban pidana;
17 Anis Widyawati, Op.Cit., hlm. 156.
30
- Tidak menjalankan pengadilan secara independen (mandiri)
dan imparsial (tidak memihak).
ICC tidak akan mengadili suatu kasus jika kasus sedang diselidiki atau
tituntut oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atau kasus
tersebut, kecuali jika:
- Negara tersebut tidak bersedia atau benar-benar tidak dapat
melakukan penyelidikan atau penuntutan;
- Langkah-langkah hukum sudah atau sedang dilakukan atau
keputusan nasional yang diambil untuk tujuan melindungi orang yang
bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan;
- Ada suatu penangguhan (proses,penundaan) yang tidak dapat
dibenarkan dalam langkah-langkah hukum yang tidak sesuai dengan
maksud untuk membawa orang yang bersangkutan ke depan
mahkamah atau
- Langkah-langkah hukum dulu atau sekarang tidak dilakukan
secara mandiri atau memihak.
3) Organ-organ ICC
ICC memiliki tujuan untuk bertindak sebagai lembaga (sarana)
pencegah terhadap orang yang berencana melakukan kejahatan serius
menurut hukum internasional, mendesak pengadilan nasional yang
bertanggung jawab secara mendasar untuk mengajukan mereka yang
bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia,
mengupayakan agar para korban pelanggaran hak asasi manusia dan
keluarganya bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan keadilan
31
dan kebenaran. Untuk mewujudkan tujuan dari ICC tersebut diperlukan
organ-organ di dalamnya. Berikut organ-organ di dalam ICC:
- Presidency
Pada dasarnya menurut Artikel 38 paragraf (1) Statuta Roma 1998, ICC
memiliki 18 Pre-Trial Division hakim. Lembaga Kepresidenan ICC
terdiri atas 3 hakim (1 ketua dan 2 wakil ketua) yang dipilih oleh
seluruh hakim ICC. Lembaga Kepresidenan ini bertugas dalam
pelaksanaan fungsi ICC kecuali fungsi penuntutan yang ada di tangan
Prosecutor.
- Divisions
Ada 3 divisi judisial yang terdapat dalam ICC. Pertama Pre-Trial
Division, Trial Division dan Appeals Division. Appeals Division
beranggotakan Presiden ICC dan 4 hakim lainnya, dan Trial Division
sekurang-kurangnya beranggotakan 6 hakim ICC. Hakim yang
menjadi anggota Appeals Division hanya bertugas pada divisi tersebut
sepanjang masa jabatannya.
Kedelapan belas hakim ICC membentuk Chambers yang secara
fungsional menjalankan persidangan sesuai dengan tahapan
pemeriksaan suatu perkara. Sehingga ICC terdiri atas 3 Chambers yaitu
Pre-Trial Chamber, Trial Chambers dan Appeals Chamber. Seluruh
hakim yang menjadi bagian dari Appeals Division dengan sendirinya
juga akan menjadi anggota Appeals Chamber. Trial Chamber terdiri
atas 5 hakim yang diambil dari antara and Cooperation Division hakim-
hakim yang berada di Trial Division. Pre-Trial Chamber terdiri atas 3
hakim yang diambil dari antara hakim-hakim di Pre-Trial Division,
32
meskipun pula dimungkinkan pula untuk menunjuk hakim tunggal
dalam hal-hal tertentu.
- The Office of the Prosecutor
Memiliki fungsi untuk melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya
kejahatan internasional dan melakukan penuntutan terhadap
pelakunya. Office of the Prosecutor dikepalai oleh seorang Prosecutor
(Jaksa) yang dibantu oleh seorang Deputy Prosecutor. Office of the
Prosecutor terdiri atas dua divisi yaitu pertama Jurisdiction,
Complementary dan kedua Investigation Division. Prosecutor dipilih
oleh Majelis Negara-Negara Pihak (Assembly of State Parties) untuk
masa jabatan 9 tahun.
- The Registery (Panitera)
Kepaniteraan memiliki tugas dalam bidang nonyudisial, administratif
dan pelayanan di bawah Presiden Mahkamah.Anggota dari
kepaniteraan ini berasal dari negara peserta yang mendapat
rekomendasi dari Mahkamah.Panitera bekerja secara penuh waktu
dengan masa jabatan selama 5 tahun dan dapat dipilih lagi dengan
kesempatan satu kali saja. Kepaniteraan Mahkamah sendiri terdiri atas
unit korban dan unit saksi yang berguna untuk membantu Mahkamah
(hakim) melaksanakan tugasnya untuk mengadili para pelaku
kejahatan internasional.
b. Prosedur Pemeriksaan dan Penanganan Perkara di ICC
Prosedur pemeriksaan dan Penanganan perkara yaitu hukum acara yang
dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) semuanya sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma 1998. Untuk kepentingan
33
peradilan Mahkamah, hukum acara dan pembuktian tersebut juga telah
disahkan oleh Majelis Negara Peserta berdasarkan suara mayoritas 2/3 dari
seluruh anggota negara peserta. Pada dasarnya ketentuan yang diatur Statuta
Roma 1998 hanyalah ketentuan dasar dan pedoman di dalam menerapkan dan
menjalankan persidangan yang berhubungan dengan hukum acara dan proses
pembuktian yang akan dilakukan. Artikel 5 Statuta Roma 1998 menerangkan
apabila terjadi pertentangan antara ketentuan hukum acara dan pembuktian
maka yang akan diutamakan yaitu ketentuan dasar yang diatur dalam Statuta
Roma 1998. Jadi, kedudukan Statuta Roma 1998 lebih tinggi kedudukannya
jika dibandingkan dengan hukum acara dan pembuktian. Ini merupakan
penerapan dari salah satu adagium hukum “lex superior derogat lex inferiori”
yaitu undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang
yang lebih rendah tingkatannya.
Artikel 1 Statuta Roma 1998 juga menyebutkan bahwa ICC merupakan
pelengkap bagi yurisdiksi hukum pidana nasional, sehingga harus
mendahulukan sistem nasional. Kecuali jika sistem nasional yang ada benar-
benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan
penyelidikan atau menuntut tidak pidana yang terjadi. Dalam hal ini ada
beberapa alasan dari suatu tindak pidana yang tidak dapat diterima atau
disidangkan oleh ICC yaitu sebagaimana diatur di dalam Artikel 17 Statuta
Roma 1998 yaitu sebagai berikut.
1) Suatu perkara tidak dapat diterima untuk ditangani oleh ICC apabila:
a) Kasusnya sedang disidik atau dituntut oleh suatu negara yang
mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut, kecuali bila negara tersebut tidak
bersedia atau tidak dapat melakukan penyidikan dan penuntutan;
34
b) Kasusnya telah disidik oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi
atas perkara tersebut dan negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut
orang yang bersangkutan, kecuali apabila keputusan itu diambil karena
ketidakmauan (unwilling) atau ketidakmampuan (unable) untuk melakukan
penuntutan;
c) Tersangka telah diadili atas perbuatan yang diadukan atau pengadilan
tidak berwenang mengadili berdasarkan Artikel 20 ayat (3) Statuta Roma
1998;
d) Kasusnya tidak cukup berat untuk diperiksa dan diadili oleh ICC.
2) Dalam rangka menentukan ketidaksediaan negara tertentu untuk
menuntut yang bersalah, ICC mempertimbangkan dengan mengacu pada
prinsip-prinsip hukum internasional, yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut.
a) Tampak adanya upaya hukum dan sikap nasional suatu negara untuk
melindungi atau menutupi perbuatan si pelaku dari tanggung jawab yurisdiksi
ICC sebagaimana diatur dalam Artikel 15 Statuta Roma 1998.
b) Tindakan penangguhan yang tidak dapat dibenarkan yang bersifat
tidak rela membawa orang yang bersalah ke pengadilan untuk diadili.
c) Tampak adanya upaya hukum yang mencerminkan tindakan yang
tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersalah ke
pengadilan untuk diadili.
3) Untuk menentukan ketidakmampuan (unable) dalam suatu kasus
tertentu, ICC mempertimbangkan apakah disebabkan kekurangan sistem
nasionalnya secara menyeluruh/sebagian besar, sehingga negara tersebut tidak
mampu menghadirkan tersangka, tidak dapat menunjukkan bukti dan
kesaksian yang diperlukan atau ada upaya hukum ke arah pemeriksaan di
pengadilan.
35
Terdapat beberapa tahap di dalam prosedur pemeriksaan perkara terhadap
kasus-kasus kejahatan internasional yang diadili oleh ICC, yaitu sebagai
berikut.
1) Pemeriksaan pendahuluan (pra persidangan), merupakan pemeriksaan
kepada pelaku kejahatan beserta administrasi (surat perintah) penahanan
sebelum akan disidangkan. Dalam persidangan ini hakim (bagian pra
peradilan) harus meninjau keputusan mengenai penahanan atau pelepasan
sementara terhadap orang yang bersangkutan yaitu pelaku selain itu dalam
persidangan ini juga Jaksa Penuntut berperan dalam surat dakwaan dan alat-
alat bukti untuk memperkuat alasan-alasan berkenaan dengan tersangka
(tertuduh) telah melakukan kejahatan.
2) Persidangan dan pengambilan putusan oleh ICC
Artikel 62 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa persidangan harus
dilakukan di tempat kedudukan Mahkamah yaitu di Den Haag, Belanda.
Artikel 63 ayat (1) Statuta Roma 1998 juga menyebutkan bahwa persidangan
harus dihadiri oleh kehadiran terdakwa (in absentia). Hukum acara yang
ditentukan Statuta Roma 1998 yaitu bahwa pemeriksaan mengenai kesalahan
terdakwa dilakukan dengan memaparkan fakta-fakta dalam tindak pidana atau
kejahatan dan bukti-bukti yang bersangkutan dengan pemeriksaan perkara
tersebut. Pengadilan ini mempunyai prinsip dalam keadilan, menghormati hak-
hak terdakwa dan memperhatikan perlindungan korban dan saksi. Persidangan
ICC ini pada dasarnya dibuka untuk umum, kecuali yang ditentukan lain
(tertutup untuk umum). Selain itu pengadilan juga mempunyai wewenang
untuk menetapkan relevan atau tidaknya mengenai alat bukti yang diajukan
dan mengambil langkah-langkah demi tertibnya jalan persidangan. Dalam
persidangan ini peran Ketua Majelis Hakim memberikan pengarahan yang
36
menyakinkan bahwa peradilan dilakukan secara adil dan tidak memihak
dengan memperhatikan bukti-bukti dari ketentuan-ketentuan dalam Statuta
tersebut. Setelah proses persidangan berlangsung maka selanjutnya hakim
Mahkamah akan mengambil putusan yang dapat berupa putusan bebas dari
segala tuntutan dan hukuman pidana (sanksi pidana). Hal tersebut sesuai
dengan bukti-bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut. Putusan yang akan
dikeluarkan oleh Mahkamah harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam Artikel 74 Statuta Roma 1998, yaitu:
1) All the judges of the Trial Chamber shall be present at each stage of
the trial and throughout their deliberations. The Presidency may, on a case-
by-case basis, designate, as available, one or more alternate judges to be
present at each stage of the trial and to replace a member of the Trial Chamber
if that member is unable to continue attending.
(Terjemahan bebas: Semua hakim dari peradilan harus hadir pada setiap
tahapan pemeriksaan dan pada seluruh persidangannya. Apabila selama tahap
pemeriksaan ataupun tahap persidangan ada hakim yang tidak bisa hadir,
Kepresidenan dapat menugaskan hakim lain (hakim pengganti) untuk
menggantikan hakim dari kantor Peradilan yang tidak bisa hadir.)
2) The Trial Chamber’s decision shall be based on its evaluation of the
evidence and the entire proceedings. The decision shall not exceed the facts
and circumstances described in the charges and any amendments to the
charges. The Court may base its decision only on evidence submitted and
disccussed before it at the trial.
(Terjemahan bebas: Putusan yang diambil Peradilan harus didasarkan atas
evaluasinya terhadap alat bukti yang diajukan dalam seluruh proses
persidangan. Putusannya itu tidak boleh melebihi dari fakta dan keadaan
sebagaimana dipaparkan dalam surat dakwaan serta setiap amandemen yang
dilakukan oleh Jaksa Penuntut atas surat dakwaannya itu. Mahkamah hanya
dapat mendasarkan putusannya pada alat bukti yang diajukan dan yang dibahas
dalam persidangan.)
3) The judges shall attempt to achieve unanimity in their decision, failing
which the decision shall be taken by a majority of the judges.
(Terjemahan bebas: Dalam proses pengambilan putusan, putusan diusahakan
diambil atas dasar kesepakatan dari seluruh hakim Peradilan, akan tetapi jika
aklamasi tidak bisa dicapai, putusan diambil berdasarkan suara mayoritas dari
seluruh hakim.)
37
4) The deliberations of the Trial Chamber shall remain secret.
(Terjemahan bebas: Persidangan yang dilakukan di Kantor Peradilan harus
bersifat rahasia.)
5) The decision shall be in writing and shall contain a full and reasoned
statement of the Trial Chamber’s on the evidence and conclusions. The Trial
Chamber shall issue one decision. When there is no unanimity, the Trial
Chamber’s decision shall contain the views of the majority and the minority.
The decision or a summary thereof shall be delivered in open court.
(Terjemahan bebas: Putusan harus dirumuskan dalam bentuk tertulis dan harus
mengandung suatu pernyataan yang lengkap disertai dengan argumentasi yang
didasarkan atas temuan dari kantor Peradilan mengenai alat bukti dan
kesimpulannya. Kantor Peradilan hanya mengeluarkan satu putusan saja.
Apabila tidak tercapai kesepakatan pendapat, maka putusan kantor Peradilan
harus berisi pandangan dari mayoritas maupun minoritas hakim. Putusan itu
maupun ikhtisarnya harus disampaikan di dalam sidang terbuka.)
4. Tanggung Jawab Pidana secara Individual dalam Kejahatan
Internasional
a. Pengertian Tanggung Jawab Pidana
Hukum pidana dapat dikatakan mengandung sanksi yang bersifat tegas karena
sanksi hukum pidana merupakan tindakan yang berakibat nestapa atau
penderitaan bagi pelaku tindak pidana. Dalam hal terjadi pelanggaran suatu
norma pidana perlu dijatuhkan suatu hukuman yang menimbulkan derita atau
nestapa, berupa pemidanaan sebagai suatu upaya “Pengobatan Terakhir”
(Ultimum Remidium) terhadap pelaku yang ditempuh untuk melindungi
kepentingan umum.18
18 Utrecth, Pidana, Jilid I, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, 1999, hlm. 57-58 dalam
https://www.academia.edu/11347088/BAB_II_TINDAK_PIDANA_DAN_PERTANGGUNG_JAWABAN_P
IDANA?auto=download, dikunjungi pada 25 September 2017, pukul 14.02.
38
Hukum pidana menurut Simons yang merupakan seorang ahli pidana dari
Belanda dalam bukunya berjudul Leerboek van het Nederlands Strafrect yaitu
sejumlah peraturan baik perintah dan larangan, yang pelanggarannya diancam
dengan suatu nestapa khusus berupa “pidana” oleh negara atau suatu
masyarakat hukum publik lain, keseluruhan peraturan yang menentukan
syarat-syarat bagi akibat hukum itu, dan keseluruhan ketentuan untuk
mengenakan dan menjalankan pidana tersebut.19
Di dalam hukum pidana terdapat prinsip tanggung jawab pidana. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia , tanggung jawab (nomina, kata benda) adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh
dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya. Dan tanggung jawab
hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berfungsi menerima
pembebanan, sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain. Dalam bahasa
asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai “toerekenbaarheid”,
“criminal responsibility”, dan “criminal liability”. Bahwa
pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak
pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa
akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan
yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu
bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari
petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut
tercela tertutuh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.
19 Simons dalam Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2012, hlm. 6.
39
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh
masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas
perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan
yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah
si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu
dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.
Kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian
pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Di dalamnya terkandung makna
dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa
orang itu bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia
dapat dicela atas perbuatannya.
Roeslan Saleh mengatakan bahwa “Dalam pengertian perbuatan pidana tidak
termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada
dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu
kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan
perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan
dipidana.20
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah
ditentukan dalam undang-unang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan
yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan
atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan
hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau
rechtsvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut
20 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 75-76 dalam http://digilib.unila.ac.id/532/7/BAB%20II.pdf, dikunjungi
pada 13 September 2017, pukul 15.09.
40
kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang “mampu
bertanggung-jawab” yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan unsur-unsur mampu bertanggungjawab
mencakup:
a) Keadaan jiwanya:
1. Tidak terganggu oleh penyakit dan terus-menerus atau sementara
(temporair);
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan
sebagainya);
3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, menganggu
karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia
dalam keadaan sadar.
b) Kemampuan jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan
dilaksanakan atau tidak;
3. Dapat mengentahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Lebih lanjut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menjelaskan bahwa kemampuan
bertanggungjawab seseorang didasarkan kepada keadaan dan kemampuan
jiwa dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berpikir seseorang.
b. Tanggung Jawab Komando
1) Pengertian
Komando sebagai nomina (kata benda) menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah aba-aba dan perintah serta Komando dalam
41
kemiliteran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu memberi
perintah dan memimpin gerakan tentara dan sebagainya.
Istilah “military commander” mengacu pada seseorang yang secara
formal atau disahkan secara hukum menjalankan tugas dan fungsinya
sebagai seorang komandan militer. Pada umumnya, komandan militer
dan pasukannya akan menjadi bagian dari pasukan angkatan bersenjata
suatu negara dan beberapa komandan akan ditunjuk oleh negara untuk
mengoperasikan pasukannya berdasarkan hukum nasional negara
sehingga prosedur maupun praktiknya (de jure commanders) harus
sesuai dengan hukum nasional negara tersebut. Selain itu, istilah
“military commander” pada Artikel 28(a) Statuta Roma juga berlaku
pada individu yang ditunjuk sebagai komandan militer dalam pasukan
pemerintah yang tidak resmi, sesuai dengan praktik atau aturan
organisasi mereka baik tertulis maupun tidak tertulis.
Setiap orang yang diangkat menjadi komandan militer memiliki
tanggung jawab komando terhadap pasukan (bawahannya) sehingga
sebagai seorang komandan haruslah bertindak dengan tepat dan
bijaksana terhadap pasukannya khususnya dalam hal memberi
pelatihan dan perintah agar pasukannya tidak melakukan kesalahan
ketika menjalankan suatu operasi militer.
Ketika seseorang yang memiliki kewenangan komando tersebut gagal
untuk mencegah atau memberikan hukuman atas tindakan illegal yang
dilakukan oleh bawahannya, ia dapat dimintai pertanggungjawaban
sesuai rantai komando. Hal ini yang disebut dengan prinsip
pertanggungjawaban komando. Tanggung jawab komando (atasan)
merupakan salah satu prinsip pertanggungjawaban pidana yang
42
berkembang secara progresif dalam hukum pidana internasional.
Melalui prinsip ini pertanggungjawaban pidana menjadi diperluas,
bukan hanya mencakup pelaku kejahatan internasional melainkan -
dalam keadaan tertentu-, menjangkau pula komandan atau atasan si
pelaku. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip tanggung
jawab komando/atasan menghubungkan suatu perbuatan (kejahatan
internasional) yang dilakukan oleh seseorang dengan atasan/komando
si pelaku yang dalam kondisi tertentu dianggap ikut memikul
pertanggungjawaban pidana atas apa yang dilakukan oleh
bawahan/anak buahnya.21
2) Pengaturan
a. Kodifikasi Hukum Perancis 1439
Prinsip tanggung jawab komando ini sudah sangat lama dikenal sejak
Raja Charles VII dari Perancis mengeluarkan perintah di Orleans yang
disebut sebagai Kodifikasi Hukum Perancis (French Code) pada tahun
1439 yaitu menyatakan sebagai berikut:
“The King orders that each captain or lieutenant be held
responsible for the abuses, ills and offences committed by members
of his company, and that as soon as he receives any complaint
concerning any such misdeed or abuse, he bring the offender to
justice so that the said offender be punished in a manner
commensurate with his offence, according to these ordinances. If
he fails to do so or covers up the misdeed or delays taking action,
or if, because of his negligence or otherwise, the offender escapes
and thus evades punishment, the captain shall be deemed
responsible for the offence as if he had committed it himself and
be punished in the same way as the offender would have been.”22
(Terjemahan bebas: Raja memerintahkan agar setiap kapten atau
letnan bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh anggota bawahannya, dan setelah dia menerima
21 Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 266.
22 Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 267.
43
keluhan tentang kesalahan atau penyalahgunaan yang dilakukan
bawahannya, dia harus membawa pelaku ke pengadilan sehingga
pelaku tersebut dihukum dengan cara yang sepadan dengan
pelanggarannya, sesuai dengan peraturan ini. Jika dia gagal
melakukannya atau menutupi kesalahan atau penundaan
penghukuman atas tindakan pelaku (bawahannya) tersebut, atau
jika, karena kelalaiannya atau sebaliknya, pelaku lolos dan dengan
demikian menghindar dari hukuman, kapten dianggap
bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut seolah-olah dia telah
melakukannya sendiri dan dihukum dengan cara yang sama seperti
yang seharusnya dilakukan pada pelaku.)
b. Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977
Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977 (Additional Protocol I to
the Geneva Conventions 1977 (AP I)), mengatur dengan tegas
mengenai doktrin tanggung jawab komando pada Artikel 86 dan 87
yang berjudul “Failure Act”.23 Artikel 86 (2) AP I menyatakan:
“The fact a breach of the conventions or of this Protokol was
committed by a subordinate does not absolve his superiors from
penal or disciplinary responsibility, as the case may be, if they
knew, or had information which should have enabled them to
conclude in the circumstances at the time, that he was committing
or was going to commit such a breach and if they did not all
feasible measures within their power to prevent or repress the
breach”.
(Terjemahan bebas: Kenyataan bahwa pelanggaran terhadap
konvensi atau protokol ini dilakukan oleh bawahan tidak
membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana atau
tindakan disipliner, jika memang demikian, jika mereka
mengetahui, atau memiliki informasi yang seharusnya
memungkinkan mereka untuk menyimpulkan dalam keadaan pada
saat itu, bahwa dia melakukan atau akan melakukan pelanggaran
semacam itu dan jika mereka tidak melakukan tindakan yang
semaksimal mungkin dalam mencegah atau menekan pelanggaran
tersebut. Artikel 86 ini menetapkan bahwa seorang komandan
memiliki tanggung jawab untuk melakukan intervensi dengan cara
mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah atau
menindak pelanggaran yang dilakukan bawahannya.)
23 Andrey Sujatmoko, Op.Cit., hlm. 223.
44
Artikel 87 (1) Protokol Tambahan I 1977 menegaskan bahwa
Komandan wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
mencegah pelanggaran yang dilakukan angkatan bersenjata yang
berada di bawah komandonya atau orang lain yang berada di dalam
pengendaliannya dan melaporkan hal itu kepada penguasa yang
berwenang. Artikel 87 (2) AP I memberikan tugas kepada komandan
sesuai dengan tingkatan tanggung jawabnya untuk menjamin bahwa
semua anggota militer yang berada di bawah komandonya menyadari
kewajibannya menurut konvensi dan protokol. Artikel 87 (3) AP I
mewajibkan setiap komandan yang menyadari bahwa bawahannya atau
orang lain yang berada di bawah kendalinya yang akan melakukan atau
telah melakukan kejahatan harus melakukan tindakan atau upaya untuk
mencegah terjadinya pelanggaran tersebut dan jika dipandang tepat,
mengadakan tindakan disiplin atau pidana terhadap pelaku
pelanggaran.
Artikel 28 ICC jo. Artikel 86 par. 2 Protokol Tambahan I 1977 juga
menegaskan bahwa Komandan bertanggung jawab secara pidana
terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah
komando dan pengawasan efektifnya atau yang disebabkan oleh
kegagalannya dalam melakukan pengawasan yang patut.
c. Tanggung Jawab Komando menurut International Criminal
Court yang didasarkan pada Statuta Roma 1998
Artikel 28(a) Statuta Roma 1998 berbunyi:
“A military commander or person effectively acting as a military
commander shall be criminally responsible for crimes within the
jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective
command and control, or effective authority and control as the case
45
may be, as a result of his or her failure to exercise control properly
over such forces, where:
(i) That military commander or person either knew or, owing to
the circumstances at the time, should have known that the forces were
committing or about to commit such crimes; and
(ii) That military commander or person failed to take all necessary
and reasonable measures within his or her power to prevent or repress
their commission or to submit the matter to the competent authorities
for investigation and prosecution.”
(Terjemahan bebas:
Seorang komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak
sebagai komandan militer bertanggung jawab secara pidana atas
kejahatan di dalam yurisdiksi pengadilan yang dilakukan oleh pasukan
di bawah komando dan penguasaannya (kendalinya) secara efektif,
atau wewenang dan penguasaan yang efektif atas kasus tersebut,
sebagai akibat dari kegagalannya untuk melakukan kontrol dan
pengendalian dengan benar atas pasukan tersebut, di mana:
(i) komandan militer mengetahui secara sadar atau berdasarkan
keadaan yang berlangsung saat itu, bahwa bawahannya akan
melakukan atau telah melakukan kejahatan; dan
(ii) komandan militer tersebut gagal mengambil semua tindakan
dan upaya yang diperlukan sesuai kewenangannya untuk mencegah
atau menindak bawahannya atau mengajukan pelanggaran tersebut
kepada lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan
penuntutan.)
Karena Artikel 28(a) tidak menjelaskan dengan jelas hubungan komando
tersebut maka Artikel 28(b) menyatakan bahwa:
“Berkenaan dengan hubungan atasan dan bawahan yang tidak digambarkan
dalam ayat 1, seorang atasan secara pidana bertanggung jawab atas kejahatan
yang termasuk dalam jurisdiksi Mahkamah yang dilakukan oleh bawahan yang
berada di bawah kewenangannya dan pengendaliannya secara efektif, sebagai
akibat dari kegagalannya untuk melaksanakan pengendalian dengan
semestinya atas bawahan tersebut, di mana:
(i) atasan tersebut mengetahui, atau secara sadar mengabaikan informasi
yang dengan jelas mengindikasikan bahwa bawahannya sedang melakukan
atau hendak melakukan kejahatan tersebut;
46
(ii) kejahatan itu menyangkut kegiatan yang berada dalam tanggung jawab
efektif dan pengendalian atasan tersebut; dan
(iii) atasan gagal mengambil semua tindakan yang perlu dan masuk akal di
dalam kekuasaannya untuk mencegah atau menekan perbuatan mereka atau
mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang untuk penyelidikan
dan penuntutan).
Prinsip tanggung jawab komando ini dapat memunculkan dua kategori pidana
yaitu pertama, tanggung jawab muncul karena adanya tindakan pelanggaran
hukum yang dilakukan komandan atas perintah dan perencanaan yang
mengakibatkan bawahannya melakukan pelanggaran hukum dan ini disebut
dengan tanggung jawab komando secara langsung (vicarious atau direct
command liability) dan yang kedua yaitu komandan bertanggung jawab secara
pidana karena tidak melakukan tindakan sehingga pelanggaran hukum yang
dilakukan bawahannya tersebut terjadi dan ini disebut dengan tanggung jawab
komando yang bersifat tidak langsung (indirect command responsibility atau
imputed liability). Dapat kita simpulkan bahwa pertanggungjawaban komando
adalah suatu mekanisme untuk menghukum para atasan (komando) sebagai
akibat pembiaran yang dilakukan atas tindakan kejahatan yang dilakukan oleh
bawahannya, dimana atasan tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui
kejahatan yang dilakukan bawahannya dimana atasan mempunyai kendali
efektif (kesalahan dari atasan ataupun komandan tersebut). Komando bersalah
karena ia mengetahui atau sepatutnya mengetahui tetapi tidak mengambil
tindakan-tindakan hukum berupa pencegahan, penanganan dan tidak
melaporkannya.
3) Unsur-unsur
47
Seperti yang dipaparkan sebelumnya oleh Penulis di Bab I, dari Artikel 28(a)
Statuta Roma 1998 dapat diketahui bahwa tanggung jawab komando harus
memenuhi unsur-unsur utama24 sebagai berikut:
- Ada hubungan komando antara komandan dengan bawahan yang
melakukan kejahatan
Hubungan yang dimaksud di sini yaitu komandan dan bawahan sama-sama
memiliki tugas dan hubungan kerjasama di dalam suatu lingkungan militer.
Namun Komandan adalah pemimpin pasukan (bawahannya) dengan kata lain
Komandan adalah seniornya dan bawahannya adalah juniornya di dalam
lingkungan militer tersebut.
- Ada komando atau pengawasan efektif dari komandan terhadap
bawahan yang melakukan kejahatan
Pengawasan efektif dari komandan terhadap bawahannya yaitu komandan
memiliki kemampuan material untuk mencegah atau menekan anak buah
(pasukan bawahannya) ketika melakukan kejahatan atau untuk menyerahkan
ataupun menyampaikan masalah tersebut kepada pihak yang berwenang.
- Komandan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa
bawahannya akan melakukan atau sudah melakukan kejahatan
Menurut ICC pengetahuan sebenarnya dari komandan tidak dapat diduga
(ditentukan) namun harus ditetapkan dengan adanya bukti baik secara
langsung maupun tidak langsung dengan bukti yang dapat mengungkapkan
komandan mengetahui mengenai kejahatan tersebut. Berdasarkan Regulation
5525 mengakui bahwa fakta-fakta mengenai komando memiliki kontrol yang
24 Arie Siswanto, Op.Cit., hlm. 270.
25 Regulation 55 of the International Criminal Court about Authority of the Chamber to modify the
legal characterization of facts, dikutip dari: https://www.icc-cpi.int/NR/rdonlyres/DF5E9E76-F99C-410A-
85F4-01C4A2CE300C/0/ICCBD010207ENG.pdf, dikunjungi pada 7 Oktober 2017, pukul 17.09.
48
efektif atas bawahannya dapat mengubah pertimbangan hukum namun ICC
menyatakan bahwa hal tersebut tidak perlu dijadikan sebagai bahan
pertimbangan yang paling penting seharusnya tahu tentang hal-hal standar
yang ditentukan Artikel 28 (a)(i) Statuta Roma.
- Komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan masuk akal untuk
mencegah kejahatan atau menindak kejahatan, atau untuk menyerahkan
masalah tersebut kepada pejabat yang berwenang untuk diselidiki dan dituntut
Komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan masuk akal untuk
mencegah kejahatan atau menindak kejahatan yang dilakukan oleh
bawahannya (pasukannya) baik secara de jure maupun secara de facto yaitu
ketika komandan telah melakukan segala langkah yang perlu dan masuk akal
untuk mencegah atau mengurangi terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh
bawahannya ataupun komandan telah gagal untuk menyampaikan perbuatan
yang dilakukan oleh bawahannya itu kepada pihak yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan dan penuntutan atas kejahatan yang dilakukan oleh
anak buah atau bawahannya maka dia telah gagal untuk melakukan
pengendalian atas pasukan atau kesatuannya sehingga terjadilah kejahatan
tersebut.
49
B. Hasil Penelitian dan Hasil Analisis
1. Hasil Penelitian terhadap Putusan The Prosecutor V. Jean-Pierre Bemba
Gombo/ICC-01/05-01/08 tentang Unsur-Unsur Tanggung Jawab
Komando
a) Posisi Kasus
Penulis mengkaji unsur-unsur tanggung jawab komando pada studi kasus
putusan The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-01/05-01/08.
Berikut kronologi kasusnya:
1. Pierre Bemba Gombo merupakan seorang warga Negara Republik
Demokratik Kongo (RDK), merupakan Presiden Pergerakan
Pemberontak/Pembebasan Kongo (Movement for the Liberation of the
Congo), sebuah partai yang didirikannya dan merupakan Komandan
(Panglima) Tertinggi dari sayap militer Armee de Liberation du Congo (ALC).
2. Pada 15 Juni 2009, Mahkamah Pra-Peradilan II menyatakan bahwa ada
cukup bukti untuk landasan dasar yang menetapkan bahwa Bemba
bertanggung jawab sebagai Komandan militer yang aktif yang dimaksud
dalam Artikel 28(a) atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang yang diduga dilakukan di wilayah Republik Afrika Tengah (CAR)
sejak atau sekitar 26 Oktober 2002 sampai 15 Maret 2003.26
3. Sebagai Presiden dan Komandan Tertinggi dari MLC dan ALC,
Bemba memiliki wewenang seperti memberikan keputusan militer seperti
memerintahkan suatu operasi militer, mendistribusikan senjata dan amunisi
dalam ALC, sumber dana dan keuangan MLC dan ALC serta wewenang atas
26 Situation in The Central African Republic in The Case of The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba
Gombo No. ICC-01/05-01/08 Public with annexes I, II, and A to F Judgment pursuant to Article 74 of the Statute,
date 21 March 2016, number 2 page 10.
50
keputusan yang berhubungan dengan makanan, bahan bakar, obat-obatan dan
pakaian dalam MLC dan ALC.
4. Bemba mengkomunikasikan setiap perintah atau instruksi langgsung
kepada komandan di lapangan dengan beberapa alat. Pertama menggunakan
sistem jaringan “phonie”27 , kedua telepon satelit thuraya28 untuk melakukan
panggilan di wilayah yang tidak dijangkau jaringan. Sedangkan alat
komunikasi yang dimiliki sendiri oleh Bemba di kediamannya di Gbadolite
(ibukota Provinsi Ubangi Utara, Republik Demokratik Kongo) yaitu telepon
seluler dan walkie talkie29 Motorola yang terhubung ke jaringan lokal
Gbadolite. Dengan bantuan seorang operator Bemba bisa langsung
menghubungi komandan di lapangan dengan menggunakan “phonie” di
Demokratic Republic Congo (Republik Demokratik Kongo) di kediamannya
atau di pusat transmisi di samping kediamannya. Bemba dapat menghubungi
komandan di lapangan dengan satelit atau perangkat thuraya tanpa melalui
pusat transmisi.30
27 Jaringan “phonie” adalah jaringan yang dibuat staff umum MLC dengan pusat transmisi di Gbadolit
yang mengelola jaringan dan unit di lapangan. Sistem phonie mengizinkan komunikasi lisan ataupun nonlisan
antara Gbadolite dan komandan di lapangan namun tidak bisa digunakan jika cuaca sedang buruk ataupun
peralatan radionya rusak. Situation in The Central African Republic in The Case of The Prosecutor v. Jean-
Pierre Bemba Gombo No. ICC-01/05-01/08 Public with annexes I, II, and A to F Judgment pursuant to Article
74 of the Statute, date 21 March 2016, number 394 page 178.
28 Thuraya adalah perusahaan penyedia telepon satelit yang didirikan dan berbasis di Uni Emirat Arab
(Arab Saudi). Thuraya memberikan fasilitas panggilan suara, data, fax, pesan singkat dan GPS untuk berbagai
perusahaan, militer, maritime, pemerintah dan organisasi non pemerintah dalam wilayah cakupan mereka.
Dikutip dari: http://rentalhtsurabaya.com/sekilas-tentang-telepon-satelit-thuraya/, dikunjungi pada 28 Oktober
2017, pukul 12.19.
29 Walkie talkie adalah sebuah alat komunikasi genggam yang dapat mengkomunikasikan dua orang
atau lebih dengan menggunakan gelombang radio. Dikutip dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Walkie_talkie,
dikunjungi pada 28 Oktober 2017, pukul 12.20.
30 Transmisi (telekomunikasi) merupakan sebuah pemancar (Transmitter) telekomunikasi yang
bertujuan untuk memancarkan sinyal Radio Frekuensi (RF) yang membawa sinyal informasi berupa gambar
(video) dan suara (audio), sehingga dapat diterima oleh pesawat penerima (receiver) di daerah yang tercakup
oleh pemancar tersebut. Dikutip dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Transmisi_(telekomunikasi) , dikunjungi
pada 28 Oktober 2017, pukul 12. 25.
51
5. Pada tahun 2002, Ange-Felix Patasse yang merupakan Presiden dari
Central Afrika Republik (Republik Afrika Tengah) menghadapi
pemberontakan yang dipimpin oleh Francois Bozize. Untuk melindungi
rezimnya dan mengalahkan kudeta tersebut Patasse meminta Bemba untuk
membantunya sehingga MLC terlibat dalam perang sipil di CAR. Selama
periode inilah MLC diduga melakukan penyiksaan, pemerkosaan dan serangan
serta merendahkan martabat manusia. Mereka juga diduga terlibat dalam
penjarahan terutama di kota Mongoumba dan Bossangoa.
6. Bemba selaku presiden dan komandan kepala MLC dan ALC diduga
mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh pasukannya karena memiliki
wewenang di dalam pengambil keputusan di dalam organisasi tersebut.
7. Jaksa Penuntut v. Jean-Pierre Bemba Gombo (ICC-01/05-01/08)
merupakan nomor pengadilan Bemba. Berdasarkan Artikel 28 Statuta Roma
1998 Bemba memiliki tanggung jawab komando. Mahkamah Pra Peradilan II
ICC mengkonfirmasi lima tuduhan atas Bemba yaitu:
- Murder constituting a crime against humanity within the meaning of
article 7(1)(a) of the Rome Statute;
- Rape constituting a crime against humanity within the meaning of the
article 7(1)(g) of the Rome Statute;
- Murder constituting a war crime within the meaning of article
8(2)(c)(i) of the Rome Statute;
- Rape constituting a war crime within the meaning of article 8(2)(e)(vi)
of the Rome Statute; and
52
- Pillaging constituting a war crime within the meaning of article
8(2)(e)(v) of the Rome Statute.31
8. Persidangan Bemba dimulai pada 22 November 2010 dan ia mengaku
tidak bersalah atas semua dakwaan. Pada 21 Maret 2016, Mahkamah Peradilan
menemukan Bemba bersalah atas pembunuhan dan pemerkosaan sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan serta pembunuhan, pemerkosaan dan
penjarahan sebagai kejahatan perang dilakukan di CAR antara Oktober 2002
dan Maret 2003. Mahkamah menyimpulkan bahwa Bemba adalah komandan
di MLC dan memiliki kontrol efektif atas organisasi tersebut. Bemba
mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa MLC melakukan kejahatan
dan seharusnya melakukan tindakan yang wajar untuk mencegah dan
menghentikan tindakan tersebut.
9. Pada 21 Juni 2016, Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court) menjatuhi hukuman 18 tahun penjara pada Bemba.
Mahkamah menekankan hukuman berat yang dijatuhi atas kejatan serius yaitu
pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan.
10. Berikut bukti-bukti yang menerangkan pembunuhan (murder) yang
dilakukan pasukan MLC kepada penduduk sipil di Republik Afrika Tengah
daari atau sekitar 26 Oktober 2002 sampai 15 Maret 2003 menurut angka 622-
630 Situation in The Central African Republic in The Case of The Prosecutor
v. Jean-Pierre Bemba Gombo No. ICC-01/05-01/08 Public with annexes I, II,
and A to F Judgment pursuant to Article 74 of the Statute, date 21 March 2016,
yaitu sebagai berikut.
31 Dikutip dari: https://trialinternational.org/latest-post/jean-pierre-bemba-gombo/, dikunjungi pada 28
Oktober 2017, pukul 12.30.
53
i) Data korban yang dibunuh oleh pelaku namun Mahkamah belum
menetapkan status perlindungan korban-korban ini karena korban-korban ini
bukanlah warga sipil, yaitu: seorang wanita yang tidak dikenal di PK12 seperti
yang disaksikan P110, sepupu P42 di PK22, paman P68 di Damara, seorang
wanita tak dikenal di Mongoumba seperti yang disaksikan oleh V1, dan anak
yang tidak dikenal di Bangui sebagaimana disaksikan oleh P169.
ii) Data korban yang dibunuh oleh pelaku yang status perlindungan
korbannya telah ditetapkan Mahkamah karena merupakan warga sipil yang
tidak berperan aktif dalam pertempuran pada saat mereka dibunuh, yaitu:
saudara laki-laki P87 di Bangui pada akhir Oktober 2002, saudara perempuan
P69 di PK12 (point Kilometre 12) setelah kedatangan MLC di PK12 dan
seorang pria muslim yang tidak dikenal pada tanggal 5 Maret 2003 di
Mongoumba.
iii) Menurut para saksi para pelaku pembunuhan itu mengenakan seragam
militer Republik Afrika Tengah atau pakaian lainnya yang serupa dengannya.
Namun Mahkamah menyatakan bahwa sejumlah pasukan yang beroperasi di
dalam Republik Afrika Tengah selama waktu dakwaan tersebut mengenakan
seragam semacam itu sehingga bukti ini hanya bersifat sementara
mempersempit pelaku.
iv) Para saksi sendiri mengidentifikasikan pelaku sebagai tentara
“Banyamulengues” atau MLC. V1 bersaksi bahwa pelaku di Mongoumba
mengidentifikasi dirinya dan menyatakan bahwa “Presiden” mereka adalah
“Bapak Bemba”.
v) Para saksi juga menegaskan korban pembunuhan di atas juga
berjatuhan setelah kedatangan pasukan MLC di daerah itu, dan pada saat itu
hanya pasukan MLC yang ada di PK12 dan Mongoumba.
54
vi) P87 juga memberi kesaksian bahwa MLC adalah satu-satunya pasukan
bersenjata yang hadir di Arrondissement of Bangui pada saat itu.
vii) Para pelaku berbicara bahasa Sango (bahasa yang biasa digunakan
dalam Republik Afrika Tengah) dan bahasa Lingala (bahasa yang biasa
digunakan dalam Republik Demokratik Kongo atau Perancis, mereka
berbicara satu sama lain dengan korbannya. V1, yang berbicara baik dengan
bahasa Sango maupun Lingala, terpaksa bertindak sebagai penerjemah bagi
pelaku. Mahkamah pun berpendapat bahwa tindakan pelaku sesuai dengan
bukti modus operandi32 MLC dan motif umum tentara MLC selama operasi
Republik Afrika Tengah pada tahun 2002-2003.
viii) Jadi, berdasarkan bukti-bukti tersebut Mahkamah menegaskan bahwa
tentara MLC melakukan kejahatan perang pembunuhan dan kejahatan
melawan kemanusiaan di Republik Afrika Tengah antara pada atau sekitar 26
Oktober 2002 dan 15 Maret 2003.
11. Berikut bukti-bukti yang menerangkan pemerkosaan (rape) yang
dilakukan pasukan MLC kepada penduduk sipil di Republik Afrika Tengah
dari atau sekitar 26 Oktober 2002 sampai 15 Maret 2003 menurut angka 631-
638 Situation in The Central African Republic in The Case of The Prosecutor
v. Jean-Pierre Bemba Gombo No. ICC-01/05-01/08 Public with annexes I, II,
and A to F Judgment pursuant to Article 74 of the Statute, date 21 March 2016,
yaitu sebagai berikut.
i) Para korban diperkosa oleh pelaku dengan paksa dan pelaku
menyerang korban dengan menembus vagina dan/atau anus mereka, dan/atau
32 Modus operandi berasal bari bahasa Latin yang artinya prosedur atau cara bergerak atau berbuat
sesuatu (Karni, 2000:49), dikutip dari http://digilib.unila.ac.id/10689/18/BAB%20II.pdf, dikunjungi pada 28
Oktober 2017, pukul 14. 29. Sedangkan menurut Wikipedia modus operandi adalah cara operasi orang perorang
atau kelompok penjahat dalam menjalankan rencana kejahatannya,
https://id.wikipedia.org/wiki/Modus_operandi, dikunjungi pada 28 Oktober 2017, pukul 14.33.
55
melakukan kontak fisik lainnya pada tubuh korban dengan penis mereka. Data-
data korban yaitu: P68 dan saudara ipar P68 di Bangui pada akhir Oktober
2002, dua gadis yang tidak dikenal yang berusia 12 dan 13 tahun di Bangui
pada atau sekitar 30 Oktober 2002, P87 di Bangui pada atau sekitar taanggal
30 Oktober 2002, delapan wanita tidak dikenal di pantai pelabuhan angkatan
laut di Bangui pada akhir Oktober atau awal November 2002, P23, P80, P81,
P82 dan dua putri P23 di PK12 pada awal November 2002, P69 dan istrinya
di PK12 pada akhir November 2002, P22 di PK12 pada atau sekitar 6 atau 7
November 2002, P79 dan putrinya di PK12 beberapa hari setelah MLC tiba di
PK12, Putri P42 di PK12 sekitar akhir November 2002, P299 di Mongoumba
pada tanggal 5 Maret 2003 dan V1 di Mongoumba pada tanggal 5 Maret 2003.
ii) Pelaku tindakan yang melibatkan P69 dan istrinya, P87 dan V1
memiliki ciri dan karakteristik yang sama dengan tentara MLC yang
membunuh warga sipil, seperti yang disebutkan di atas. Oleh karena itu,
Mahkamah menggabungkan setiap temuan tersebut. Selain karakteristik dan
ciri yang sama, interaksi berulang antara korban, saksi dan tentara MLC, fakta
bahwa korban dan saksi mengidentifikasi (mengenali) pelaku sebagai
“Banyamulengues” atau MLC, gerakan pasukan bersenjata dan kehadiran
khusus MLC di lokasi yang berkaitan pada saat kejahatan, bahasa pelaku,
seragam mereka, dan/atau fakta bahwa tindakan mereka sesuai dengan bukti
modus operandi dan pelaku MLC, sebuah motif yang umum ketika
menargetkan warga sipil. Selanjutnya, P119 memberi kesaksian bahwa tentara
yang tiba dirumahnya di PK12 mereka menyatakan bahwa mereka dikirim
oleh “Papa Bemba”.
iii) P29 juga memberikan kesaksian bahwa dialek asing yang diucapkan
oleh pelaku yang menyerangnya mungkin tidak berbahasa Lingala namun P29
56
juga tidak bisa memahami bahasa yang dikatakan oleh pelaku, dan mereka
menggunakan isyarat tangan untuk berkomunikasi dengan pelaku.
iv) Jadi, berdasarkan bukti-bukti tersebut Mahkamah menegaskan bahwa
tentara MLC melakukan melakukan kejatan perang dan kejahatan melawan
kemanusiaan yaitu pemerkosaan di Republik Afrika Tengah antara atau pada
sekitar tanggal 26 Oktober 2002 dan 15 Maret 2003.
12. Berikut bukti-bukti yang menerangkan penjarahan (pillaging) yang
dilakukan pasukan MLC kepada penduduk sipil di Republik Afrika Tengah
daari atau sekitar 26 Oktober 2002 sampai 15 Maret 2003 menurut angka 639-
649 Situation in The Central African Republic in The Case of The Prosecutor
v. Jean-Pierre Bemba Gombo No. ICC-01/05-01/08 Public with annexes I, II,
and A to F Judgment pursuant to Article 74 of the Statute, date 21 March 2016,
yaitu sebagai berikut.
i) Data-data para korban yang dijarah oleh para pelaku yaitu: P68 dan
ipar perempuannya di Bangui pada akhir Oktober 2002, P119 di Bangui
setelah 30 Oktober 2002, P87 dan keluarganya di Bangui pada atau sekitar 30
Oktober 2002, P23, P80, P81 dan P82 di Bangui pada awal November 2002,
saudara perempuan P69 di PK12 sehari setelah MLC tiba, P69 di PK12 pada
bulan November 2002, P108 di PK12 selama kehadiran MLC, P110 di PK12
sehari setelah MLC tiba, P112 di PK12 di November 2002, P22 dan pamannya
di PK12 pada atau sekitar 6 atau 7 November 2002, P79 dan saudara laki-
lakinya di PK12 beberapa hari setelah kedatangan MLC, P73 di PK12 pada
akhir November 2002, P42 dan keluarganya di PK12 pada akhir November
2002, seorang wanita di semak-semak di luar PK22 pada bulan November
2002, V2 di Sibut pada hari setelah kedatangan MLC, dan V1, sebuah gereja,
biarawati, imam,seorang pria “muslim”yang tidak dikenal dan tetangganya,
57
kepolisian (the gendarmerie) dan walikota di Mongoumba pada tanggal 5
Maret 2003.
ii) V2, P69, P110 dan P112 tidak ada ketika harta (property) mereka
dijarah oleh para pelaku. Ketika V2, P69, P110 dan P112 pulang, mereka
melihat rumah mereka, dan pada kasus V2 tokonya telah dirusak dan barang-
barangnya diambil. Di Sibut, V2 juga melihat barang-barang yang dijarah
tersebut ditumpuk oleh MLC di markas mereka dan V2 juga mendengar
tentang penjarahan yang dilakukan pasukan MLC dari orang lain di saat itu.
Demikian juga P69, P110 dan P112 mengamati tindakan penjarahan lainnya
di PK12 dan mendengar tentang penjarahan yang dilakukan pasukan MLC.
Pasukan MLC merupakan satu-satunya kelompok bersenjata yang hadir di
PK12 dan Sibut pada waktu yang berkaitan, sehingga Mahkamah menyatakan
bahwa satu-satunya kesimpulan yang masuk akal adalah V2, P69, P110 dan
P112 dapat mengidentifikasi orang-orang yang menjarah barang-barang
mereka.
iii) Para pelaku mengambil banyak barang dari korban termasuk dokumen
administratif, pakaian, perabotan, peralatan, radio, televisi, barang pribadi
yang berharga, uang, ternak, makanan, kendaraan dan bahan bakar. P42 juga
bersaksi bahwa mereka mengambil “semuanya” bahkan beberapa korban
ditinggalkan tanpa apa-apa.
iv) Jadi, berdasarkan bukti-bukti tersebut Mahkamah menegaskan bahwa
tentara MLC melakukan melakukan kejatan perang yaitu penjarahan di
Republik Afrika Tengah antara atau pada sekitar tanggal 26 Oktober 2002 dan
15 Maret 2003.
58
b) Dakwaan (Indictment)
Berikut dakwaan yang didakwakan kepada Bemba:
- Ada cukup bukti dan landasan dasar yang diduga dilakukan MLC di
wilayah Republik Afrika Tengah (CAR) sejak atau sekitar 26 Oktober 2002
sampai 15 Maret 2003 sehingga Bemba didakwakan atas:
i. Pembunuhan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai
dengan Artikel 7(1)(a) Statuta Roma;
ii. Pemerkosaan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai
dengan Artikel 7(1)(g) Statuta Roma;
iii. Pembunuhan yang merupakan kejahatan perang sesuai dengan Artikel
8(2)(c)(i) Statuta Roma;
iv. Pemerkosaan yang merupakan kejahatan perang sesuai dengan Artikel
8(2)(e)(vi) Statuta Roma; dan
v. Penjarahan yang merupakan kejahatan perang sesuai dengan Artikel
8(2)(e)(v) Statuta Roma.
- Berdasarkan Artikel 74(2), Mahkamah telah memastikan bahwa
Mahkamah tidak mendakwakan hal yang melebihi fakta dan keadaan yang
dijelaskan dalam dakwaan yang dikonfirmasi oleh Pra Peradilan Mahkamah.33
c) Pertimbangan Hakim terhadap Tanggung Jawab Komando
Berikut pertimbangan hakim yang dikutip dari Situation in The Central
African Republic in The Case of The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo
No. ICC-01/05-01/08 Public with annexes I, II, and A to F Judgment pursuant
to Article 74 of the Statute, date 21 March 2016, yang dikaitkan Penulis dengan
33 Situation in The Central African Republic in The Case of The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba
Gombo No. ICC-01/05-01/08 Public with annexes I, II, and A to F Judgment pursuant to Article 74 of the Statute,
date 21 March 2016, number 3 page 11.
59
unsur-unsur tanggung jawab komando yang sudah dimuat dalam bagian
sebelumnya, yaitu:
- Ada hubungan komando antara komandan dengan bawahan yang
melakukan kejahatan
i) Paragraf 184
“Mr Bemba was the President of the MLC, the leader of the political
branch, and the Commander-in-Chief of the ALC from its creation and
throughout the period of the charges. He also held the military rank of
Divisional General, or General de Division. Mr Bemba founded the
MLC and was the organization’s figurehead and source of its funding,
goals, and aims. Under Article 12 of the MLC Statute, Mr Bemba held
broad functions and powers, including over internal organization and
policy in MLC’s military and political wings.”
(Terjemahan bebas: Bemba adalah Presiden MLC, seorang pemimpin
partai politik, dan seorang Panglima (Komandan) Tertinggi dari ALC
yang merupakan sayap militer partai tersebut ketika ia menerima
dakwaan. Dia juga memiliki pangkat militer Divisi Jenderal atau
Jenderal Divisi. Bapak Bemba mendirikan MLC dan menjadi kepala
organisasi dan sumber pendanaan dan visi misi dari organisasi tersebut.
Berdasarkan Artikel 12 dari Peraturan MLC, Bemba memiliki fungsi
dan wewenang yang luas termasuk organisasi internal dan dalam
pemberian kebijakan pada sayap militer dan politiknya di MLC.)
- Ada komando atau pengawasan efektif dari komandan terhadap
bawahan yang melakukan kejahatan
i) Paragraf 389
“Mr Bemba (i) often wore military attire, whether for practical or
symbolic reasons; (ii) carried a command baton or “swagger stick”;
(iii) addressed the MLC troops on several occasion; and (iv) had a
large personal security force. MLC troops knew and recognized Mr
Bemba as their president.”
(Terjemahan bebas: Bemba (i) sering mengenakan pakaian militer,
mungkin untuk alasan praktis maupun simbolis; (ii) membawa tongkat
komando (swagger stick); (iii) dalam beberapa waktu Bemba berbicara
kepada pasukan MLC; dan (iv) memiliki pasukan keamanan pribadi
yang besar sehingga pasukan MLC mengetahui dan mengakui Bemba
adalah presiden mereka.)
60
ii) Paragraf 395
“Two of Mr Bemba’s cahiers de communication org logbooks are in
evidence. The first, entitled “Messages in c/man”, contains messages
sent and received between 4 September 2002 and 1 November 2002.
The second covers communications sent and received between 21
December 2002 and 7 February 2003. Mr Bemba and other members
of the General Staff sent messages through the Chief of General Staff
who would transmit it, and give Mr Bemba a copy. Messages were
encoded by the operators, sent by phonie, decoded by the addressee
comander’s operator, written in a logbook, and then read by the
relevant commander who would transmit any response in the same
manner. Messages arriving from the units in the field were sent to the
transmissions centre, decoded, transcribed into the logbooks, and the
logbooks were immediately taken to Mr Bemba. Codes were used
because the phonies were not very secure.”
(Terjemahan bebas: Dua buku catatan yang berisikan komunikasi
Bemba terbukti. Catatan pertama berjudul “Messages in c/man” yang
berisi pesan yang dikirim dan diterima antara 4 September 2002 dan 1
November 2002. Catatan kedua berisi pesan yang dikirim dan diterima
antara 21 Desember melalui Kepala Staff Umum, dan ia akan
mengirimkan pesan tersebut dan memberikan salinan pesan tersebut
kepada Bemba. Pesan akan dikodekan oleh operator komandan
penerima dan akan ditulis kembali dalam buku catatan dan kemudian
dibaca kembali oleh komandan yang bersangkutan dan komandan
tersebut akan mengirimkan tanggapan (jawaban) dengan cara yang
sama. Pesan yang tiba dari unit di lapangan dikirim ke pusat transmisi,
diterjemahkan dan di salin (ditranskripsi) ke dalam buku catatan dan
buku catatan itu akan diserahkan kembali ke Bemba. Kode digunakan
karena “phonies” tidak terlalu aman.)
- Komandan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa
bawahannya akan melakukan atau sudah melakukan kejahatan
i) Paragraf 385
“Mr Bemba ensured a clear division between the political and military
wings. Political members of the MLC had no involvement or authority
in military decision, rendering him the primary authority covering both
spheres. While not always involved in the implementation of the
administrative decisions, Mr Bemba held ultimate authority over the
decision-making and took, in general, the most important decision.
Once Mr Bemba had taken a decision, it was not debatable. The
Secretary General, who coordinated the General Secretariat, and the
administrative apparatus of the MLC implemented Mr Bemba’s
decisions.”
61
(Terjemahan bebas: Bapak Bemba menegaskan pembagian antara
partai politik dan sayap militernya. Anggota politik MLC tidak
memiliki keterlibatan mauppun wewenang dalam keputusan yang
diambil di sayap militer sehingga membuat Bemba memiliki otoritas
(kewenangan) utama dalam kedua organisasi itu. Meskipun tidak
terlalu terlibat dalam pelaksanaan keputusan administrative, Bemba
memiliki otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan yang paling
penting. Ketika Bemba mengambil keputusan maka keputusan tersebut
tidak dapat diperdebatkan (diganggu-gugat). Sekretaris Jenderal dan
staff administrasi MLC yang akan mengkoordinasikandan menerapkan
keputusan yang diberikan Bemba.)
ii) Paragraf 400
“Although not specifically related to the 2002-2003 CAR Operation, a
series of phonie messages from the logbooks provides an example of
Mr Bemba exercising his general operational command powers. A
commander of an ALC unit reported operational information directly
to Mr Bemba and sought his authorization to attack. In response, Mr
Bemba sought logistical and operational information and then
instrusted the commander not to move and to hold ready to advance
towards Mambasa.”
(Terjemahan bebas: Meskipun tidak secara khusus dan detail terkait
dengan operasi di Republik Afrika Tengah pada tahun 2002-2003,
serangkaian pesan “phonie” dari buku catatan tersebut menerangkan
bahwa Bapak Bemba menjalankan kewenangannya dalam operasi
tersebut sebagai komandan. Seorang komandan unit ALC melaporkan
informasi yang bersifat operasional tersebut langsung ke Bemba dan
meminta izin untuk melakukan penyerangan. Namun Bemba meminta
komandan tersebut untuk tidak melakukan penyerangan dan bergerak
maju ke Mambasa.)
- Komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan masuk akal untuk
mencegah kejahatan atau menindak kejahatan, atau untuk menyerahkan
masalah tersebut kepada pejabat yang berwenang untuk diselidiki dan dituntut
i) Paragraf 199
“The duty of the commander to take all necessary and reasonable
measures to prevent or repress the crimes committed by his forces, or
to submit the matter to the competent authorities for investigation and
prosecution, rests upon his possession of effective authority and
control. It is not determinative that the commander had the “explicit
legal capacity” to take such measures; what matters is his material
ability to act. In other words, what constitutes “all reasonable and
necessary measures within his or her power” shall be assessed on the
62
basis of the de jure and/or de facto power of the commander and the
exercise he or she makes of this power.”
(Terjemahan bebas: tugas komandan untuk mengambil semua tindakan
yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah atau menekan
kejahatan yang dilakukan pasukannya atau menyerahkan masalah
tersebut kepada pihak yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan
dan penuntutan bergantung pada kemampuan dan wewenangnya yang
efektif. Tidak menjadi masalah jika komandan memiliki “explicit legal
capacity” untuk mengambil tindakan semacam itu; yang penting adalah
kemampuan materialnya untuk bertindak. Dengan kata lain, apa yang
dimaksud dengan “semua tindakan yang masuk akal dan perlu dalam
kekuasannya” harus dinilai berdasarkan de jure dan atau de facto atas
komandan dan pelatihan yang dia berikan pada pasukan ini.)
ii) Paragraf 204
“Additional measures which should be taken under Article 28(a)(ii)
may include: (i) issuing orders specifically meant to prevent the crimes,
as opposed to merely issuing routine orders; (ii) protesting against or
criticizing criminal conduct; (iii) insisting before a superior authority
that immediate action be taken; (iv) postponing military operations; (v)
suspending, excluding, or redeploying violent subordinates; and (vi)
conducting military operations in such a way as to lower the risk of the
specific crimes or to remove opportunities for their commission.”
(Terjemahan bebas: Langkah-langkah tambahan yang harus diambil
menurut Artikel 28(a)(ii) yaitu: (i) mengeluarkan perintah yang secara
khusus dimaksudkan untuk mencegah kejahatan, bukan hanya
mengeluarkan perintah rutin; (ii) memprotes atau mengkritik tindak
pidana; (iii) bersikeras di depan otoritas yang lebih tinggi bahwa
tindakan harus segera diambil; (iv) menunda operasi militer; (v)
menangguhkan, mengecualikan atau memindahkan bawahan dengan
kekerasan; dan (vi) melakukan operasi sedemikian rupa untuk
mengurangi resiko kejahatan atau menghapus peluang kejahatan yang
akan dilakukan pasukan.)
iii) Paragraf 205
“Article 28(a)(ii) also criminalises the failure of the commander to
“repress” the crimes. The word “repress” means to “put down”,
“subdue”, “restrain”, and “keep or hold back”. The notion of
“repression” therefore overlaps to a certain degree with “prevention”,
particularly in terms of a duty to prevent crimes in progress and crimes
which involve on-going elements being committed over an extended
period.”
(Terjemahan bebas: Artikel 28(a)(ii) juga mengkritisi (menanggapi)
mengenai kegagalan komandan untuk menekan kejahatan tersebut.
63
Kata “menekan” berarti “menjatuhkan”, “membawa ke bawah”, atau
“menahan”. Gagasan “repression” menjadi tumpang tindih dengan
“pencegahan”, terutama dalam hal kewajiban untuk mencegah
kejahatan yang sedang berjalan dan kejahatan yang memenuhi unsur-
unsur yang dilakukan terus menerus (periode panjang).
iv) Paragraf 206
“The Chamber concurs with the Pre-Trial Chamber that the duty to
repress also encompasses an obligation to punish forces after the
commission of crimes. The Chamber notes that the statutes of the ad
hoc tribunals do not make reference to a duty to “repress”; rather the
terms “to prevent […] or to punish” are used. The term “repress” is
used in Article 2 of the 1996 Draft Code of Crimes against the Peace
and Security of Mankind and Article 86 of Additional Protocol I where,
as in the Rome Statute, this notion is distinguished from “prevention”.
The International Committee of the Red Cross (“ICRC”) Commentary
to Article 86 of Additional Protocol I indicates that the purpose of the
requirement that commanders repress crimes is to ensure that military
commanders fulfil their obligation to search for the perpetrators and
either bring them before the courts or hand them over to another state
for trial.”
(Terjemahan bebas: Mahkamah setuju dengan Pra Peradilan yang
menyatakan bahwa tugas untuk menekan pasukan juga mencakup
kewajiban untuk menghukum pasukan setelah melakukan kejahatan.
Mahkamah mencatat bahwa undang-undang pengadilan ad hoc tidak
mengunakan istilah untuk “menekan”, melainkan istilah untuk
“mencegah atau menghukum” yang digunakan. Istilah “penindasan”
digunakan dalam Artikel 2 pada tahun 1996 Rancangan Undang-
Undang Kejahatan terhadap Perdamaian dan Keamanan Manusia dan
Artikel 86 Protokol Tambahan I dimana seperti yang dimaksud dalam
Statuta Roma, gagasan ini dibedakan dari “pencegahan”. Komite
Palang Merah Internasional (ICRC) menafsirkan Artikel 86 Protokol
Tambahan I menunjukkan bahwa maksud dari persyaratan komandan
mengendalikan kejahatan adalah untuk memastikan bahwa komandan
militer memenuhi kewajiban mereka untuk mencari pelaku dan
membawa mereka ke pengadilan sebelum menyerahkan mereka ke
Negara lain untuk diadili.)
d) Putusan
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut Mahkamah memutuskan sebagai
berikut :
a. SENTENCES Mr Jean-Pierre Bemba Gombo to a total of 18 years of
imprisonment;
64
(Terjemahan bebas: MENGHUKUM Jean-Pierre Bemba dijatuhi total
hukuman 18 tahun penjara.);
b. ORDERS the deduction of the time Mr Bemba has spent in detention,
pursuant to an order of this Court, from his sentence;
(Terjemahan bebas: MEMERINTAHKAN pengurangan waktu yang telah
Bemba habiskan dalam tahanan, sesuai dengan perintah Pengadilan ini, dari
hukumannya.);
c. INFORMS the parties and participants that reparations to victims
pursuant to Article 75 of the Statute shall be addressed in due course.
(Terjemahan bebas: MEMBERITAHUKAN para pihak dan peserta bahwa
penggantian kerugian terhadap korban sesuai dengan Artikel 75 Statuta harus
ditangani pada waktunya.);
d. Judge Kuniko Ozaki appends a separate opinion.
(Terjemahan bebas: Hakim Mahkamah ICC Kuniko Azaki menambahkan
pendapat yang berbeda.) Pendapat Hakim Kuniko yaitu bahwa Mahkamah
ICC perlu menggunakan putusan pengadilan sebagai sumber hukum.
2. Analisis terhadap Putusan The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba
Gombo/ICC-01/05-01/08 tentang Unsur-Unsur Tanggung Jawab
Komando
Penulis akan melakukan analisis terhadap unsur-unsur pada prinsip tanggung jawab
komando/atasan di dalam hukum pidana internasional dengan mengkaji studi putusan
The Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo/ICC-01/05-01/08 sehingga dapat
diketahui apakah setiap unsur-unsur tanggung jawab komando tersebut terpenuhi atau
tidak dan juga akan menjawab rumusan masalah dari skripsi ini yaitu bagaimana
pertimbangan hakim dalam putusan tersebut apakah sesuai atau tidak sesuai jika
65
dilihat dari pertama mengenai apakah unsur-unsur tanggung jawab komando
terpenuhi atau tidak dan kedua mengenai hukuman yang dijatuhkan oleh hakim
apakah sesuai atau tidak.
Berdasarkan fakta, bukti dan pertimbangan Mahkamah ICC yang disebutkan
sebelumnya maka analisis pertama dari putusan terhadap unsur-unsur prinsip
tanggung jawab komando tersebut yaitu:
a. Unsur pertama, yaitu ada hubungan komando antara komandan dengan
bawahan yang melakukan kejahatan
Mahkamah ICC menegaskan bahwa unsur ini adalah unsur yang paling menentukan
apakah seseorang dinyatakan memiliki hubungan dan tanggung jawab komando
karena jika tidak ada hubungan komando maka seseorang (terdakwa) tidak dapat
diberikan tanggung jawab komando. Pada paragraf 176, Mahkamah ICC mengartikan
istilah “komandan militer” mengacu pada seseorang yang secara formal atau sah
menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai komandan militer yang pada umumnya
komandan militer dan pasukannya akan menjadi bagian dari pasukan angkatan
bersenjata negara sehingga komandan tersebut akan mengoperasikan pasukannya
sesuai dengan hukum nasional negaranya sedangkan istilah “komandan militer” pada
Artikel 28(a) Statuta Roma juga berlaku pada individu yang ditunjuk sebagai
komandan militer dalam pasukan non pemerintah sesuai dengan praktik atau aturan
dari organisasi mereka baik tertulis maupun tidak tertulis.
Mahkamah ICC juga mengartikan istilah “hubungan komando” sebagai hubungan
atasan dan bawahan di dalam lingkungan militer.
Fakta-fakta yang dipakai sebagai dasar bagi Mahkamah ICC untuk menyatakan unsur
ini terbukti yaitu:
• Bemba memiliki jabatan sebagai Presiden MLC dan Panglima (Komandan)
Tertinggi ALC (Paragraf 184).
66
• Berdasarkan Artikel 12 Peraturan MLC, Bemba memiliki fungsi dan
wewenang yang luas termasuk organisasi internal dan dalam membuat kebijakan pada
sayap militer ALC dan partai politiknya MLC (Paragraf 184).
Pertimbangan Mahkamah ICC tentang unsur pertama ini jika diukur pada Statuta
Roma 1998 sesuai (tepat) karena Artikel 28(a) Statuta Roma menyatakan bahwa salah
satu unsur yang harus dipenuhi agar seorang terdakwa dinyatakan memiliki tanggung
jawab komando yaitu terdakwa tersebut haruslah seorang komandan militer atau
individu yang bertindak sebagai komandan militer yang artinya terdakwa memiliki
tanggung jawab komando. Hal ini dukung dengan fakta-fakta bahwa Bemba
merupakan seorang Komandan tertinggi dari pasukan ALC.
b. Unsur kedua, yaitu ada komando atau pengawasan efektif dari komandan
terhadap bawahan yang melakukan kejahatan
Pada paragraf 181 disebutkan bahwa Mahkamah ICC setuju dengan Pra Peradilan
yang menyatakan istilah “komando” dan “kewenangan” tidak memiliki efek
substansial terhadap tingkat atau standar kontrol yang diperlukan tetapi dengan
menunjukkan cara dan langkah yang dilakukan komandan militer atau seseorang yang
bertindak memberikan kontrol kepada pasukannya ketika melakukan dan memberikan
pelatihan terhadap pasukannya. Paragraf 184 juga menegaskan bahwa Mahkamah
sepakat dengan defenisi kontrol yang efektif menurut Pra Peradilan, yaitu perwujudan
dari hubungan atasan dan pasukan baik secara de facto maupun de jure (rantai
komando).
Paragraf 188 menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mengindikasikan adanya
“kontrol efektif” tersebut yaitu:
(i) posisi resmi komandan dalam struktur militer dan tugas yang benar-benar ada
(actual) dia lakukan;
67
(ii) wewenangnya untuk mengeluarkan perintah, termasuk kemampuannya untuk
memerintahkan pasukan atau unit di bawah komandonya, baik di bawah komando
langsung atau pada tingkat yang lebih rendah, untuk terlibat dalam pertempuran
(iii) wewenangnya untuk memastikan kepatuhan terhadap perintah termasuk
pertimbangan apakah perintah tersebut benar-benar diikuti;
(iv) wewenangnya untuk mengembalikan pasukan unit bawahan atau membuat
perubahan pada struktur komando;
(v) kekuatannya untuk mempromosikan, mengganti, menghapus atau
mendisiplinkan anggota pasukan apapun, dan untuk memulai penyelidikan;
(vi) wewenangnya untuk mengirim pasukan ke lokasi dimana pertempuran terjadi
dan menarik mereka pada saat tertentu;
(vii) memiliki akses bebas (independent) terhadap kontrol atas sarana untuk
berperang seperti peralatan komunikasi dan senjata;
(viii) penguasaannya atas keuangan;
(ix) wewenangnya (kemampuan) untuk mewakili pasukan dalam negosiasi atau
berinteraksi dengan badan atau individu luar atas nama organisasi (kelompok);
(x) apakah dia mewakili ideologi gerakan/pasukan bawahannya dan diwujudkan
melalui penampilan dan pernyataan publik.
Berdasarkan paragraf 188 fakta-fakta yang dipakai sebagai dasar bagi Mahkamah ICC
untuk menyatakan unsur ini terbukti yaitu:
• Faktor pertama, Bemba memiliki jabatan (posisi resmi) sebagai komandan di
dalam pasukan ALC.
• Faktor kedua, ketiga, keempat dan keenam dibuktikan pada paragraf 395.
Setiap komandan unit dalam melakukan tugasnya di lapangan selalu
menginformasikan hal yang terjadi dan meminta izin kepada Bemba untuk melakukan
ataupun memerintahkan pasukan di lapangan melalui alat-alat komunikasi yang
68
disebutkan sebelumnya di bagian posisi kasus yang salah satunya yaitu “phonie”. Hal
inilah yang juga menerangkan bahwa Bemba memberikan pengawasan yang efektif
kepada pasukan ALC di lapangan.
• Faktor kelima, dibuktikan pada pertama paragraf 386 yang menyatakan bahwa
Bemba memiliki wewenang untuk menentukan orientasi politik umum, dan
mengambil setiap keputusan seperti menetapkan anggota dari dewan politik dan
militernya, kedua pada paragraf 387 bahwa menurut Artikel 12 dan 16 Peraturan MLC
setelah berkonsultasi dengan dewan politik dan militer Bemba dapa mempromosikan
dan memberhentikan setiap anggota dari MLC dan ALC.
• Faktor ketujuh dan kedelapan, dibuktikan pada paragraf 388 yang menyatakan
bahwa Bemba memiliki wewenang dalam mendistribusikan senjata dan amunisi yang
ada dalam pasukan serta memiliki wewenang dalam mengatur sumber dana dan
keuangan pada MLC dan ALC.
• Faktor kesembilan dan kesepuluh, dibuktikan pada paragraf 389 yaitu pasukan
ALC sering melihat Bemba datang mengenakan pakaian militer sambil membawa
tongkat komandonya “swagger stick”, dan para pasukan sering melihat Bemba
berbicara dengan tentara yang lainnya sehingga para pasukan mengetahui dan
mengenal Bemba sebagai “presiden” mereka.
Berdasarkan fakta-fakta yang dikaitkan dengan faktor-faktor yang disebutkan
sebelumnya Bemba sebagai komandan benar-benar memiliki komando atau
pengawasan efektif terhadap pasukannya sehingga Pertimbangan Mahkamah ICC
tentang unsur kedua ini jika diukur pada Statuta Roma 1998 sesuai karena Artikel
28(a) Statuta Roma menyatakan bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi agar
seorang terdakwa dinyatakan memiliki tanggung jawab komando yaitu ada komando
atau pengawasan efektif dari komandan terhadap bawahan yang melakukan kejahatan.
69
c. Unsur ketiga, yaitu komandan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa
bawahannya akan melakukan atau sudah melakukan kejahatan
Paragraf 191 menyatakan bahwa Mahkamah menegaskan komandan “mengetahui”
tidak dapat diduga sehingga harus ditetapkan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Contoh bukti yang secara langsung yaitu pengakuan terdakwa atas
kemungkinan kejahatan tersebut terjadi.
Paragraf 196 menegaskan bahwa berdasarkan Regulation 55 Notification pernyataan
bahwa “komandan mengetahui atau sepatutnya mengetahui” menurut Mahkamah
tidak perlu dipertimbangkan standar “sepatutnya mengetahui” seperti yang ditetapkan
dalam Artikel 28(a).
Fakta-fakta yang dipakai sebagai dasar bagi Mahkamah ICC untuk menyatakan unsur
ini terbukti yaitu:
• Seperti yang disebutkan sebelumnya oleh Penulis pada bagian posisi kasus
karena Bemba adalah Presiden MLC dan Komandan (Panglima) Tertinggi dari ALC
maka Bemba memiliki wewenang dan otoritas untuk membuat keputusan militer
seperti memulai operasi militer, memerintahkan operasi militer, memerintahkan unit-
unit pasukan di lapangan untuk menyerang atau maju ke suatu lokasi tertentu dan
Bemba juga dapat mengikuti perkembangan operasi secara ketat. Dari poin inilah kita
dapat mengetahui bahwa Bemba mengetahui pasukannya akan ataupun telah
melakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi di Republik Afrika Tengah.
• Seperti yang dijelaskan sebelumnya pada bagian posisi kasus bahwa MLC dan
ALC berkomunikasi dengan beberapa alat dan salah satunya adalah “phonie system”.
Pada paragraf 400 pada bagian pertimbangan hakim, dikatakan bahwa meskipun tidak
secara detail terkait dengan operasi militer di Republik Afrika Tengah pada tahun
2002-2003, serangkaian pesan dari “phonie” dari buku catatan tersebut diketahui
bahwa seorang komandan unit ALC melaporkan dan meminta kewenangan kepada
70
Bemba untuk menyerang dan Bemba menginstruksikan komandan itu untuk tidak
bergerak dan terus bergerak menuju Mambasa (nama sebuah wilayah di Republik
Afrika Tengah). Hal ini jugalah yang dapat dijadikan bukti bahwa Bemba mengetahui
dan akan mengetahui pasukannya akan melakukan kejahatan karena dari pernyataan
ini juga kita dapat mengetahui bahwa setiap komandan unit akan selalu
menginformasikan apa yang terjadi di lapangan dan meminta izin terlebih dahulu
kepada Bemba yang artinya pada Bemba mengetahui pasukan tersebut akan ataupun
telah melakukan kejahatan tersebut.
Pertimbangan Mahkamah ICC tentang unsur ketiga ini jika diukur pada Statuta Roma
1998 maka pertimbangan ini sesuai karena Artikel 28(a) Statuta Roma menyatakan
bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi agar seorang terdakwa dinyatakan
memiliki tanggung jawab komando yaitu komandan mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan atau sudah melakukan kejahatan.
d. Unsur keempat,yaitu komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan
masuk akal untuk mencegah kejahatan atau menindak kejahatan, atau untuk
menyerahkan masalah tersebut kepada pejabat yang berwenang untuk diselidiki dan
dituntut
Pengertian dari komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan masuk akal yaitu
ketika komandan mengambil langkah yang perlu dan masuk akal namun langkah-
langkah tersebut tidak berhasil dan tidak tercapai. Sedangkan pengertian dari istilah
“mencegah atau menindak kejahatan” menurut Mahkamah yaitu menjaga agar tidak
terjadi sesuatu atau mengembalikan seperti semula atau mencegah agar tidak bergerak
maju (hinder) atau menghentikan ketika terjadi (impede). Mahkamah menganggap
bahwa seorang komandan melanggar kewajibannya untuk mencegah ketika dia gagal
melakukan tindakan untuk menghentikan kejahatan yang akan terjadi atau kejahatan
yang telah terjadi. Kewajiban untuk mencegah sebelum terjadinya kejahatan tersebut
71
dan termasuk kejahatan yang telah terjadi dan kejahatan yang melibatkan unsur-unsur
yang sedang terjadi.
Tugas komandan untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan dan masuk akal
untuk mencegah atau menekan kejahatan yang dilakukan oleh pasukannya, atau
menyerahkan masalahnya kepada pihak yang berwenang untuk penyelidikan dan
penuntutan, bergantung pada kepemilikan dan wewenangnya yang efektif. Tapi hal
tersebut tidak menentukan bahwa komandan juga memiliki kecakapan hukum yang
jelas untuk mengambil tindakan tersebut. Seperti yang disebutkan pada bagian
sebelumnya, yang paling penting adalah kemampuan material (kemampuan
komandan dalam bentuk wewenangnya yang secarah sah) untuk bertindak. Dengan
kata lain, apa yang dimaksud dengan "semua tindakan yang masuk akal dan perlu
dalam kekuatannya" harus dinilai berdasarkan landasan de jure dan / atau secara de
facto dari komandan sendiri ketika ia memimpin pasukan tersebut.
Yang dimaksud dengan komandan gagal mengambil langkah yang perlu dan masuk
akal untuk mencegah kejahatan atau menindak kejahatan yang dilakukan oleh
bawahannya (pasukannya) baik secara de jure maupun secara de facto yaitu:
a. secara de jure: menjelaskan bahwa secara hukum apa yang dilakukan pasukan
tersebut merupakan tindak pidana dan melanggar hukum; dan membuat laporan dan
menyampaikan laporan tersebut kepada otoritas yang berhak untuk memeriksa dan
mengadili kejahatan ini.
b. secara de facto: melarang dengan keras pasukan tersebut melakukan kejahatan
tersebut.
Fakta yang dipakai sebagai dasar bagi Mahkamah ICC untuk menyatakan unsur ini
terbukti yaitu:
• kejahatan tersebut terjadi karena komandan gagal mencegah atau menindak
kejahatan tersebut.
72
• terdapat korban-korban seperti yang disebutkan pada bagian sebelumnya yang
membuktikan bahwa komandan gagal mencegah atau menindak kejahatan tersebut.
Paragraf 183 juga menyatakan bahwa ketika seorang komandan memiliki
kontrol/pengawasan yang efektif komandan tersebut memiliki kemampuan material
untuk mencegah atau menekan pasukan yang melakukan kejahatan tersebut ataupun
mengajukan masalah tersebut kepada pihak yang berwenang selain itu paragraf 209
juga menyatakan Mahkamah berpendapat bahwa kewajiban untuk menghukum atau
mengajukan tuntutan tersebut kepada pihak yang berwenang bertujuan untuk
memastikan bahwa pelaku diajukan ke pengadilan, untuk menghindari kekebalan
hukum dan untuk mencegah kejahatan di masa depan. Tugas ini timbul setelah
pasukan melakukan kejahatan tersebut.
Pertimbangan Mahkamah ICC tentang unsur keempat ini jika diukur pada Statuta
Roma 1998 maka unsur keempat ini juga telah terpenuhi karena Artikel 28(a) Statuta
Roma menyatakan bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi agar seorang terdakwa
dinyatakan memiliki tanggung jawab komando yaitu komandan gagal mengambil
langkah yang perlu dan masuk akal untuk mencegah kejahatan atau menindak
kejahatan, atau untuk menyerahkan masalah tersebut kepada pejabat yang berwenang
untuk diselidiki dan dituntut.
Dari analisis pertama, keempat unsur yang menyatakan adanya hubungan tanggung
jawab komando antara Komandan Bemba dan pasukannya tersebut telah terpenuhi,
sehingga berdasarkan peraturan-peraturan tentang tanggung jawab komando dalam
Kodifikasi Hukum Perancis 1439, Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977,
Artikel 28(a) Statuta Roma, Artikel 7(3) Statuta ICTY dan Artikel 6(3) Statuta ICTR
maka Bemba memiliki tanggung jawab terhadap pasukan yang dipimpinnya.
73
Berikut pertimbangan tentang nalisis kedua yang berhubungan dengan apakah
hukuman yang dijatuhkan hakim terhadap Bemba selama 18 tahun apakah sesuai atau
tidak dikaitkan dengan Artikel 78 Statuta Roma 1998 tentang Penetapan Hukuman:
a. Berdasarkan Artikel 78 Statuta Roma dikatakan bahwa dalam menentukan
hukuman, Mahkamah, pertama harus memperhitungkan faktor-faktor seperti
misalnya beratnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang
dihukum, kedua Mahkamah harus menguranginya dengan waktu kalau ada yang
dilewatkan sebelumnya dalam penahanan sesuai dengan suatu perintah dari
Mahkamah dan ketiga apabila seseorang telah dihukum karena lebih dari satu
kejahatan maka Mahkamah harus mengumumkan setiap hukum bagi setiap
kejahatan dan hukum bersama yang menyebutkan jumlah keseluruhan jangka
waktu lamanya dipenjara dan tidak kurang dari angka tertinggi masing-masing
hukuman yang diumumkan dan tidak melebihi 30 tahun penjara atau hukuman
penjara seumur hidup.
b. Selain itu pada paragraf 90 dikatakan bahwa berdasarkan Rule 145(1)(a) and (b),
Mahkamah dalam menjatuhkan hukuman haruslah mempertimbangkan semua
faktor-faktor yang dapat mengurangi bahkan memperparah terpidana dan
kejahatan yang dilakukannya agar hakim ketika menjatuhkan hukum haruslah
memenuhi arti dari tujuan penjatuhan hukuman itu sendiri sehingga hakim
menjatuhkan hukuman yang proporsional.
c. Pada paragraf 94 juga menyatakan karena kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan alam kasus ini didasarkan pada pelaku yang sama
walaupun memenuhi kontekstual berbeda maka Mahkamah menjatuhkan
hukuman yang sama. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut,
Mahkamah mempertimbangkan hukuman yang dijatuhkan pada Bemba karena
kejahatan yang didasarkan Artikel 28(a) yaitu:
74
pembunuhan sebagai kejahatan perang: 16 tahun penjara;
pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan; 16 tahun penjara;
pemerkosaan sebagai kejahatan perang: 18 tahun penjara;
pemerkosaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan: 18 tahun penjara;
penjarahan sebagai kejahatan perang: 16 tahun penjara.
d. Paragraf 95 juga menyatakan bahwa karena tindakan yang sama tersebut,
Mahkamah memberikan hukuman kumulatif pada Bemba. Mahkamah
berpendapat bahwa hukuman tertinggi yang dapat dijatuhkan pada Bemba adalah
18 tahun karena dapat mencerminkan keseluruhan kesalahan Bemba dan karena
Legal Representative tidak meminta hukum denda atau penyitaan maka
berdasarkan Artikel 77(2) dan Rules 146 to 147 dalam kasus ini hukuman penjara
sudah cukup. Hukuman kumulatif adalah hukuman yang diberi sanksi berganda
seperti hukuman pidana denda dan penjara kurungan. Hukuman kumulatif ini
terjadi jika satu orang melakukan dua atau lebih tindak pidana pada waktu yang
bersamaan.
e. Paragraf 96 juga menyebutkan bahwa sesuati dengan Artikel 78(2) Statuta Roma
Bemba berhak mendapatkan pengurangan terhadap hukumannya karena telah
menjalani masa penahanan sesuai dengan perintah Mahkamah yaitu sejak
penangkapannya sesuai dengan surat perintah yang dikeluarkan Pra Peradilan
Mahkamah II pada 24 Mei 2008.
Jadi menurut Penulis Mahkamah menjatuhkan 18 tahun penjara kepada Bemba itu
sesuai karena seperti yang dijelaskan sebelumnya pada bagian tanggung jawab pidana
bahwa:
a. Seperti yang dikatakan Artikel 78 Statuta Roma bahwa hukuman yang dijatuhkan
pada seseorang yang melakukan lebih dari satu kejahatan harus tidak kurang dari
angka tertinggi dan tidak melebihi 30 tahun penjara atau hukuman seumur hidup.
75
Dari uraian sebelumnya disebutkan bahwa hukuman tertinggi dari kejahatan
tersebut adalah 18 tahun penjara maka hal ini sesuai karena Bemba dijatuhi
hukuman 18 tahun penjara.
b. Pada uraian sebelumnya juga dikatakan bahwa Bemba telah menjalani masa
penahanan sesuai dengan surat perintah yang dikeluarkan Pra Peradilan
Mahkamah maka hal ini sesuai dengan Artikel 78 Statuta Roma yang menyatakan
bahwa Mahkamah harus mengurangi hukuman jika seseorang tersebut telah
menjalani di waktu yang dilewatkan sebelumnya dalam masa penahanan sesuai
perintah Mahkamah.
c. Hukum pidana dimaksudkan untuk menjatuhkan hukum terhadap pelanggaran
yang dilakukan pelaku untuk melindungi kepentingan umum yang artinya dalam
penjatuhan hukuman tidak hanya melindungi kepentingan dari korban namun juga
melindungi kepentingan dari pelaku tersebut.