7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA:
ADAPTASI PETANI PADI
MENGHADAPI RISIKO IKLIM DAN BENCANA
Pengantar
Ketidakpastian musim sebagai akibat dampak perubahan
iklim telah membingungkan petani untuk memulai musim tanam,
memilih jenis tanaman dan beragamnya serangan organisme
pengganggu tanaman sehingga memengaruhi hasil produksi pertanian
mereka. Sedangkan petani padi tadah hujan bergantung pada
kebutuhan air dan musim yang tepat untuk mendapatkan produksi
padi yang optimal.
Adaptasi merupakan bentuk paling mungkin dilakukan petani
padi tadah hujan sebagai bentuk penyiasatan petani padi menghindari
puncak hujan dan risiko bencana yang sering dialami oleh petani padi
tadah hujan. Penyesuaian dilakukan didasarkan pengetahuan lokal
yang diadaptasikan dengan teknologi untuk menentukan keputusan
tanam petani padi atas paparan cekaman iklim.
Bab ini menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap sektor
pertanian khususnya petani sebagai aktor utama yang bergantung
sepenuhnya terhadap kondisi alam. Kemampuan petani dan
kelembagaan sosialnya menjadi pilar dalam menghadapi berbagai
risiko iklim dan bencana yang ditentukan oleh pengetahuan,
ketrampilan, strategi petani dan jejaringnya.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim merupakan realitas yang diangkat sebagai
isu global yang akhir-akhir ini telah menjadi realitas dan isu lokal.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
8
Pemahaman masyarakat tentang fenomena alam ini bervariasi, mulai
dari pengertian perubahan iklim yang sederhana dan dirasakan
sehari-hari sampai dengan pemahaman detail menggunakan berbagai
referensi akademik.
” ...saiki mangsa wis berubah mas...gak iso dibedhek maneh koyo mbiyen. Nek jare nang tipi kae iki sing jenengan perubahan iklim yo....”
(”...sekarang musim sudah berubah mas...sudah tidak bisa ditebak lagi seperti dulu. Kata orang di Televisi dinamakan perubahan iklim ya...”) (Mujono)
Perubahan iklim disebabkan oleh proses alam secara internal
maupun karena kekuatan eksternal, terutama kegiatan antroposentris
manusia yang secara terus menerus mengekstraksi sumber daya alam
sehingga merubah komposisi atmosfir dan tata guna lahan.
Gambar 2.1. Grafik Peningkatan temperatur dari tahun ke tahun,
IPCC, 2000.
Peningkatan gas CO2 sebagai pemicu pemanasan global, dari
tahun ke tahun meningkat sejak revolusi industri tahun 1900-an
(Gambar 2.1). Peningkatan gas CO2 tersebut menyebabkan kenaikan
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
9
temperatur permukaan bumi yang berakibat pada keseimbangan pola
iklim yang sudah terjadi menjadi labil karena terdapat perubahan
tekanan udara akibat kenaikan temperatur, perubahan pola angin dan
perubahan pola hujan yang memengaruhi musim di setiap tempatnya.
Kecenderungan aktifitas manusia yang bergantung pada
bahan bakar fosil cenderung meningkat dari tahun ke tahun akan
meningkatkan emisi karbon dan selanjutnya menyebabkan kenaikan
temperatur global.
Proyeksi Emisi karbon global Proyeksi kenaikan temperatur global
Gambar 2.2. Grafik Peningkatan Jumlah Karbon dan Peningkatan
Temperatur, IPCC, 2000.
Perubahan iklim global dipicu oleh akumulasi gas-gas
pencemar di atmosfer terutama karbondioksida (CO2), metana (CH4),
dinitrooksida (N2O), dan klorofluorokarbon (CFC). United States Department of Agriculture (USDA, 2010) menyebutkan bahwa telah
terjadi kenaikan konsentrasi gas-gas pencemar tersebut sebesar 0,50-
1,85% pertahunnya. Konsentrasi tinggi dari gas-gas pencemar
tersebut akan memperangkap energi panas matahari yang
dipantulkan oleh permukaan bumi di zona atmosfer (Gambar 2.1).
Fenomena tersebut sering disebut sebagai efek rumah kaca (green house effect) yang diikuti oleh meningkatnya suhu permukaan bumi
yang diistilahkan sebagai pemanasan global (global warming).
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
10
Pemanasan global akibat kegiatan antropogenik berdampak
pada perubahan iklim global. Laporan Penilaian Keempat (Fourth Assessment Report, AR4) Intergovermental Panel for Climate Change
(IPCC) menegaskan peran kontribusi kegiatan manusia (faktor
antropogenik) dalam meningkatkan konsentrasi Gas Rumah Kaca
(GRK) di atmosfer yang mempercepat laju peningkatan temperatur
permukaan rata-rata global hingga mencapai 0.74°C ± 0.18° selama
periode 1906–2005 (IPCC, 2007). Kecenderungan kenaikan
temperatur global (global warming) tersebut diyakini telah
mengakibatkan perubahan iklim di berbagai tempat di dunia saat ini
(UNDP, 2007; RAN API, 2014).
Dampak dari pemanasan global yang mengakibatkan
perubahan iklim tersebut telah terjadi juga di Indonesia yang ditandai
dengan perubahan pola dan distribusi curah hujan, meningkatnya
kejadian kekeringan, banjir dan tanah longsor. Perubahan pola dan
distribusi hujan tersebut berdampak pada produksi pertanian/gagal
panen, meningkatnya kejadian kebakaran hutan, meningkatnya suhu
di daerah perkotaan, serta naiknya permukaan air laut.
Perubahan iklim merupakan perubahan pola maupun
intensitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan
(rata-rata 30 tahun). Perubahan iklim dapat berupa perubahan dalam
kondisi cuaca rata-rata atau perubahan dalam distribusi kejadian
cuaca (ekstrim) terhadap kondisi rata-ratanya. Kondisi yang dapat
diketahui, yaitu seperti: sering atau berkurangnya kejadian cuaca
ekstrim, berubahnya pola musim dan peningkatan luasan daerah
rawan kekeringan. Perubahan iklim merupakan perubahan pada
komponen iklim yaitu suhu, curah hujan, kelembaban, evaporasi,
arah, kecepatan angin, dan perawanan.1
IPCC (2001; 2007) yang menyebutkan bahwa “Perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistis untuk jangka waktu
1 http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Informasi_Iklim/Informasi_Perubahan_Iklim/ (tanggal 10 Januari 2015)
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
11
yang panjang (biasanya dekade atau lebih)”. Sedangkan menurut
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Republik Indonesia, perubahan iklim
yang dimaksud yaitu: ”Berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang meyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan”. Perubahan iklim diukur berdasarkan
perubahan komponen utama iklim, yaitu suhu atau temperatur,
musim (hujan dan kemarau), kelembaban dan angin. Dari variabel-
variabel tersebut variabel yang paling banyak dikemukakan adalah
suhu dan curah hujan. 2
Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian
Balitbang Pertanian (BBSDLP, 2011) menyatakan bahwa
sektor pertanian adalah yang paling terancam, menderita dan rentan
(vulnerable) terhadap perubahan iklim. Sektor pertanian rentan
terhadap perubahan iklim terkait tiga (3) faktor utama, yaitu biofisik,
genetik, dan manajemen (ICCSR, 2010). Perubahan iklim berdampak
sangat nyata terhadap produksi pertanian bahkan gagal panen,
terutama tanaman pangan dan hortikultura. Hal ini disebabkan
karena tanaman pangan dan hortikultura umumnya merupakan
tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekama3, terutama
cekaman (kelebihan dan kekurangan) air (Kurniawati, 2012).
Berdasarkan data pengamatan yang panjang, klimatolog
menyimpulkan pola musim telah berubah. Data pemantauan curah
hujan beberapa tahun terakhir menampakkan curah hujan tahunan
cenderung berkurang dengan musim hujan lebih singkat dan
kemarau lebih lama. Hujan saat ini cenderung mengumpul pada
2 http://www.bmkg.go.id/ (tanggal 10 Januari 2015) 3 Kurniawati (2012) menjelaskan istilah „cekaman‟ (stress) adalah perubahan mendadak dari cuaca atau musim yang memengaruhi pertumbuhan fisiologis tanaman khususnya tanaman sayur-sayuran yang sensitif terhadap perubahan cuaca.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
12
musim hujan saja sedangkan pada musim kemarau hujan cenderung
berkurang. Akibatnya, ketika saat musim hujan cenderung lebih
basah dan kemarau lebih kering. Kesimpulan ini berpijak pada data
dari 63 stasiun cuaca di seluruh Indonesia selama 40 tahun terakhir
(Aldrian, 2007).
Beberapa daerah di Indonesia berpeluang mengalami musim
kering tanpa hujan sama sekali. Sebaliknya, ada juga daerah yang
berpotensi mengalami kenaikan curah hujan, seperti Nusa Tenggara,
Banyuwangi, Sumbawa, Ampenan, dan Waingapu (Aldrian, 2007).
Ratag (2007) menunjukkan terjadinya perubahan pola pada awal
musim hujan dan kemarau. Kesimpulan ini didapat dengan
membandingkan data periode 1991-2003 dan data 1961-1990 (WMO
Standard). Seluruh data pengamatan stasiun cuaca di Indonesia
menunjukkan 22% awal musim kemarau teratur, 33% lebih cepat dan
45% lebih lambat dari biasanya. Sementara, pada musim hujan, 36%
data stasiun pengamatan memperlihatkan awal yang teratur, 40%
lebih cepat, dan 24% lebih lambat.
Perubahan iklim sudah berdampak pada berbagai aspek
kehidupan dan sektor pembangunan di Indonesia. Menurut Sutjahjo
dan Gatut (2007), dampak pemanasan global yang terjadi di daerah
tropis adalah kelembaban nisbi yang tinggi sehingga berdampak pada
kondisi seperti: peningkatan curah hujan, badai akan menjadi lebih
sering terjadi, air tanah akan lebih cepat menguap, beberapa daerah
akan menjadi lebih kering dari sebelumnya, angin akan bertiup lebih
kencang dengan pola yang berbeda-beda, terjadinya badai topan akan
menjadi lebih besar, beberapa periode yang sangat dingin mungkin
akan terjadi, pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
Pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim akan
berpengaruh kepada sektor pertanian. Secara teknis, kerentanan
sektor pertanian sangat berhubungan dengan sistem penggunaan
lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air,
dan tanaman, serta varietas tanaman (Las dkk., 2008).
Dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian dapat
positif maupun negatif. Pada beberapa daerah, tejadi peningkatan
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
13
konsentrasi CO2 di atmosfer dan radiasi matahari berakibat positif
untuk proses fotosintesis. Penelitian yang dilakukan pada kacang-
kacangan dengan simulasi cekaman suhu tinggi dan kekeringan
mengindikasikan peningkatan konsentrasi CO2 mampu menghi-
langkan pengaruh negatif dari cekaman lingkungan yang ada tersebut
(Indradewa dan Eka, 2009). Selain itu, kejadian la-nina 4 juga
memberikan dampak pada ketersediaan air untuk populasi pada
beberapa wilayah yang relatif kering menjadi meningkat dan
kesuburan tanahpun meningkat atau relatif lebih baik karena tanah
mengalami masa istirahat selama musim kemarau (aerasi tanah
meningkat) (Hendayana, 2012).
Dampak negatif dari perubahan iklim dianggap lebih besar
membawa kerugian bagi petani. Hujan merupakan unsur fisik
lingkungan yang paling beragam baik menurut waktu maupun
tempat dan hujan juga merupakan faktor penentu serta faktor
pembatas bagi kegiatan pertanian secara umum (Lakitan, 2002).
Perubahan iklim memengaruhi pergeseran musim dan cuaca ekstrim.
Sektor pertanian akan mengalami kehilangan produksi akibat
bencana kering dan banjir yang silih berganti, kerawanan pangan
meningkat di wilayah yang rawan bencana kering dan banjir. Selain
itu tanaman pangan, hortikultura dan hutan dapat mengalami
serangan hama dan penyakit yang lebih beragam dan lebih hebat.
Tahun 1997-1998 dan 1992-1993 Indonesia terkena dampak buruk
dari bencana ENSO (El-Nino Southern Oscillation) 5 berupa
4 Laboratorium Cuaca dan Iklim Institut Teknologi Bandung (ITB) (http://weather.meteo.itb.ac.id/artikel6.php, tanggal 10 Agustus 2014) menjelaskan bahwa La Nina merupakan kondisi air laut di Pasifik Timur lebih panas dari kondisi normalnya yang menyebabkan adanya konveksi yang lebih besar dari normalnya di bagian Pasifik Timur. Akibatnya Indonesia pada saat La Nina memiliki curah hujan yang lebat. 5 Dari sumber yang sama dengan diatas, El-Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena alam yang muncul di Samudera Pasifik dan memengaruhi kondisi cuaca disekitarnya. El Nino terjadi karena suhu permukaan laut naik yang mengakibatkan nutrien yang berada di dasar laut terangkat keatas (upwelling) yang berakibat pada wilayah yang subur dan banyak ikan menjadi sebaliknya. Kejadian El
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
14
kekeringan yang amat hebat dan penurunan produksi beras lebih dari
30 persen yang menyebabkan import beras mencapai angka tertinggi
5,8 juta ton pada tahun 1998 (Ditjen. Penataan Ruang- Dekimpraswil,
2010).
Peningkatan suhu udara juga dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan laju transpirasi tanaman. Peningkatan konsumsi air pada
tanaman pangan akan mempercepat pematangan buah/biji,
menurunkan mutu hasil, dan mendorong berkembangnya hama
penyakit tanaman. Berdasarkan hasil simulasi tanaman, kenaikan
suhu sampai 2°C di daerah dataran rendah dapat menurunkan
produksi padi sampai 40%, sedangkan di dataran sedang dan tinggi
penurunan produksi sekitar 20% (Surmaini dkk., 2008 dalam
Surmaini dkk., 2010).
Dampaknya, petani mengalami perubahan pola musim tanam
yang mencolok selama beberapa tahun terakhir. Sebagian besar
petani mengatakan perubahan mulai nampak setelah tahun 2000.
Musim hujan 2006/2007 dirasakan yang paling berbeda dan ekstrim.
Musim hujan terlambat hingga tiga (3) bulan pada sejumlah daerah.
Ketidakpastian musim6 membingungkan petani dalam menentukan
waktu tanam dan jenis tanaman. Contohnya, pada musim tanam
kedua, tanaman padi petani sering mengalami kekeringan karena
hujan berakhir lebih cepat dari perkiraan. Banyak petani yang
membiarkan tanamannya mengering tetapi ada yang tetap berupaya
menyelamatkan padi dengan memompa air tanah. Namun biaya yang
dikeluarkan untuk membeli bahan bakar minyak membuat ongkos
produksi melonjak lebih besar dibandingkan biasanya (Siregar, dkk.,
2010).
Nino merupakan kebalikan dari La Nina sehingga Indonesia mengalami musim kemarau yang lebih panjang. 6 Istilah „ketidakpastian musim‟ digunakan sebagai sub judul penelitian oleh Siregar, dkk., (2010) merujuk pada istilah kekacauan musim atau cuaca karena petani sulit menentukan waktu musim tanam ketika menggunakan pranata mangsa (sistem penanggalan Jawa dalam menentukan musim tanam) dalam memulai musim tanam pertama. Istilah tersebut sama dengan climate variability yang digunakan oleh IPCC.
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
15
Besarnya dampak perubahan iklim terhadap pertanian sangat
bergantung pada tingkat dan laju perubahan iklim di satu sisi, serta
sifat dan kelenturan sumber daya dan sistem produksi pertanian di
sisi lain (Sutjahjo dan Susanta, 2007). Dampak perubahan iklim yang
begitu besar merupakan tantangan bagi sektor pertanian. Peran aktif
berbagai pihak diperlukan untuk mengantisipasi dampak perubahan
iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi. Upaya antisipasi ditujukan
untuk menyiapkan strategi mitigasi dan adaptasi.
Adaptasi Petani Padi terhadap Perubahan Iklim
Variabilitas iklim 7 sebagai akibat pemanasan global meru-
pakan salah satu tantangan terpenting pada milenium ketiga.
Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang
lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya
menanggulanginya (Surmaini dkk., 2010). Perubahan iklim
merupakan proses alami yang memiliki kecenderungan terus-
menerus dalam jangka panjang. Oleh karena itu, strategi adaptasi8
merupakan aspek kunci dalam rangka menyikapi perubahan iklim.
Menurut IPCC adaptasi mengacu pada mekanisme
penyesuaian baik dalam aspek ekologi, sistem sosial atau ekonomi
dalam merespon dampak yang terjadi akibat perubahan iklim. Hal ini
mengacu pada perubahan proses, praktik dan struktur untuk
mengurangi perubahan yang mungkin terjadi atau untuk
mendapatkan manfaat dari kesempatan yang berkaitan dengan
7 Siregar (2010), variabilitas iklim yang dimaksud adalah berubah-ubahnya iklim yang dipengaruhi oleh variabel-variabel iklim seperti temperatur (suhu), curah hujan, sifat hujan, intensitas hujan, frekwensi hujan, dan kelembaban udara. 8 Menurut UNDP (2007), mitigasi meliputi pencarian cara-cara untuk memperlambat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) atau menahannya, atau menyerapnya ke hutan atau “penyerap‟ karbon lainnya. Upaya mitigasi bertujuan untuk menurunkan laju emisi GRK global sehingga konsentrasi GRK di atmosfer masih berada dalam tingkatan yang dapat ditolerir. Sementara itu adaptasi, mencakup cara-cara menghadapi perubahan iklim dengan melakukan penyesuaian yang tepat untuk mengurangi berbagai pengaruh negatifnya, atau memanfaatkan efek-efek positifnya (UNDP, 2007).
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
16
perubahan iklim (Smit & Pilifosova, 2001; 879). Pada akhir tahun
1990-an, penelitian di bidang ilmu sosial telah menemukan
mekanisme lain untuk mengatasi perubahan iklim yaitu mekanisme
adaptasi. Grothmann dan Anthony (2003), menjelaskan alasan
penting adaptasi sebagai topik dalam penelitian perubahan iklim
adalah adaptasi dapat digunakan untuk menilai biaya atau risiko yang
terjadi akibat perubahan iklim, sehingga penting untuk melibatkan
adaptasi mandiri yang dipengaruhi oleh manusia atau yang terbentuk
secara alami. Grothmann dan Anthony (2003) juga menjelaskan
bahwa proses adaptasi terdiri dari empat tahap diantaranya adalah : 1)
Sinyal deteksi, suatu mekanisme untuk menentukan mana hal yang
harus ditanggapi dan mana hal yang diabaikan; 2) Evaluasi,
merupakan proses penafsiran sinyal dan merupakan bentuk evaluasi
dari konsekuensi yang akan muncul di masa yang akan datang; 3)
Keputusan dan tanggapan, merupakan proses yang menghasilkan
perubahan perilaku yang dapat diamati; dan 4) Umpan balik, yaitu
proses yang melibatkan pemantauan tanggapan yang merupakan hasil
keputusan penilaian.
Sistem iklim membutuhkan waktu reaksi yang panjang maka
meskipun dengan pengurangan emisi gas rumah kaca, suhu global
diperkirakan akan terus meningkat. Oleh karena itu, mitigasi saja
tidak dapat mencegah perubahan iklim, maka adaptasi diperlukan
untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap sistem manusia
dan alam. Menurut Erikson (2011), adaptasi tidak terjadi tanpa
pengaruh dari faktor-faktor seperti sosial-ekonomi, budaya, politik,
geografis, ekologi dan kelembagaan yang membentuk interaksi
manusia dengan lingkungan.
Adaptasi Petani Menghadapi Ketidakpastian Iklim
Kemampuan adaptasi yang dimaksud adalah kemampuan
masyarakat untuk mampu menghadapi dan mengatasi perubahan
iklim pada saat ini dan dimasa datang. Kemampuan adaptasi tersebut
dapat dilakukan kolektif maupun individu dalam melakukan
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
17
perencanaan, membuat keputusan serta melaksanakan upaya adaptasi
yang efektif termasuk indikator kemampuan adaptasi yang perlu
diperhatikan. Kemampuan adaptasi sendiri dipengaruhi oleh paparan
(exposure) dan tingkat kepekaan (sensivity). Paparan didefinisikan
sebagai sejauh mana perubahan iklim bersinggungan dengan sistem.
Sistem yang dimaksud adalah pola kehidupan dan penghidupan
masyarakat maupun ekosistem. Paparan berbeda dengan dampak.
Paparan masih pada tahap membahas seberapa luas ataupun seberapa
lama perubahan itu bersinggungan dengan masyarakat maupun
sumberdaya alam dan pada tahap berlangsungnya kejadian yang
menimbulkan dampak. Faktor penentu paparan adalah
kecenderungan iklim saat ini (musim), kejadian yang diakibatkan
iklim, perkiraan iklim, serta data masyarakat dan ilmuwan.
Sedangkan kepekaan (sensivity), didefiniskan sebagai dampak
dari perubahan iklim, meliputi dampak dari perubahan pola musim
jangka panjang, kejadian cuaca buruk jangka pendek/singkat, dan
bencana terkait perubahan iklim. Masyarakat memiliki kepekaan
yang berbeda, diantaranya berdasarkan sumber penghidupan.
Masyarakat yang bergantung pada lebih dari satu sumberdaya
memiliki kepekaan yang rendah terhadap dampak perubahan iklim
dibandingkan hanya pada satu sumberdaya saja. Petambak ikan di
pesisir memiliki kepekaan tinggi terhadap kenaikan permukaan laut
dibandingkan pembudidaya rumput laut pada lokasi yang sama.
Dalam menanggapi perubahan iklim petani akan berusaha
untuk mempertahankan usaha taninya dengan melakukan
penyesuaian praktik pertanian dengan kondisi iklim yang sedang
berlangsung. Adaptasi terhadap perubahan iklim disusun oleh
berbagai tindakan dalam masyarakat baik dilakukan oleh individu,
kelompok, dan pemerintah yang merupakan aktor adaptasi dalam
konteks kajian ini. Adaptasi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor
termasuk perlindungan terhadap kesejahteraan dan keselamatan. Hal
tersebut dapat dilakukan secara individu atas dasar kepentingan
pribadi, atau tersusun dalam aksi pemerintah dan publik untuk
melindungi penduduknya (Adger dkk., 2005).
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
18
Menurut Surmaini dkk. (2010) teknologi yang diadopsi
sebagai strategi adaptasi terhadap perubahan iklim yaitu: meliputi
penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan
kekeringan, rendaman, dan salinitas, serta pengembangan teknologi
pengelolaan air. Sedangkan Prager dan Posthumus (dalam Kalinda,
2011), berpendapat bahwa menggali pengetahuan dan persepsi dari
pengadopsi adalah penting dalam memengaruhi keputusan-keputusan
adopsi. Berdasarkan hasil penelitian Akponikpe dkk. (2010) di Sub
Sahara Afrika Barat ternyata para petani setempat mengetahui bahwa
telah terjadi perubahan iklim dalam 10 tahun terakhir ini, selain itu
petani lebih memilih mengadopsi strategi adaptasi dengan merubah
pola tanam daripada merubah memperbaiki kesuburan tanah dan
merubah manajemen pengelolaan tanah dan air. Hal tersebut
disimpulkan Akponikpe dkk. (2010) disebabkan faktor sosial ekonomi
petani yang menganggap bahwa merubah pola tanam adalah lebih
mudah dan efisien daripada mengadopsi konservasi tanah secara
teknis yang memerlukan modal yang lebih besar baik biaya maupun
tenaga kerja.
Hasil penelitian Kalinda (2011) di Zambia menunjukkan
bahwa sebagian besar petani mengaitkan perubahan iklim dengan
kekuatan-kekuatan supra natural. Dampak kejadian banjir dan
kekeringan yang dialami petani secara signifikan memengaruhi
peningkatan konsevasi lahan pertanian. Kesimpulan dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa lembaga penyuluh pertanian
konservasi kurang memberikan informasi mengenai keterkaitan
pertanian konservasi dengan strategi adaptasi terhadap perubahan
iklim karena petani hanya mengetahui bahwa teknologi yang adopsi
bertujuan untuk konservasi lahan dan air bukan sebagai bentuk
adaptasi perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim yang menyebabkan ketidakpastian
musim tersebut, petani berupaya menyesuaikan diri (beradaptasi) dari
pola perubahan tersebut. Bentuk penyesuaian tersebut, dapat
dilakukan dengan berbagai cara bergantung pada kondisi geografis
dan kemampuan adaptasinya. Pola musim yang berubah tersebut
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
19
membuat petani untuk melakukan berbagai upaya untuk menghadapi
ancaman pola musim yang berubah-ubah yang menyebabkan
serangan organisme penggangu tanaman semakin meningkat dan
tidak dapat diprediksi serta musim yang ekstrim. Petani juga
melakukan adaptasi dengan apa yang sudah mereka kenali dan
lakukan seperti pemajuan dan/atau pemunduran musim tanam untuk
menghindari puncak hujan atau hujan yang ekstrim. Upaya yang
dilakukan petani menyesuaikan dengan varietas (jenis) tanaman dan
kondisi wilayah yang memengaruhi pola produksi dengan
menyesuaikannya dengan pola curah hujan dan ketersediaan air
(Siregar, dkk., 2010).
Kebutuhan petani atas air mendorong pemerintah untuk
melakukan peningkatan kemampuan dalam mengenali cuaca dan
musim melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI). Dalam SLI, petani
semestinya mendapatkan Informasi Perkiraan Musim (IPM) dalam
bentuk informasi yang menjelaskan tentang datangnya musim hujan
dan sifat hujan sehingga menjadi panduan atau saran bagi petani
untuk menentukan keputusan pola tanam. Bila musim hujan
diramalkan datang lebih awal dari biasanya, petani disarankan untuk
mempercepat waktu tanam. Sebaliknya, bila diprediksi musim hujan
lebih pendek atau curah hujan lebih rendah daripada biasanya, maka
petani direkomendasikan agar pada musim tanam kedua menanam
tanaman umur pendek atau yang hanya butuh sedikit air. Tetapi
petani tidak menggunakan informasi perkiraan musim ini karena
ketidakakuratannya (Siregar, 2009). Petani sering kecewa sehingga
tidak menggunakan informasi prakiraan iklim ketika petani
menyatakan bahwa prediksi (ramalan) ternyata tidak sesuai dengan
kenyataan. Petani menyimpulkan prakiraan tersebut tidak bisa
diandalkan (Boer, et al., 2003 dalam Siregar 2009). Para ahli telah
lama mengamati respon petani dalam menggunakan informasi yang
sifatnya „berpeluang‟ mendekati tepat. Pengetahuan kita mengenai
hal ini masih terbatas (Roncoli, 2006 dalam Siregar 2009). Kendala
lain dalam pemanfaatan informasi ini adalah bahasa yang dipakai
dalam menjelaskan ramalan cuaca. Istilah yang digunakan kadang
sulit dipahami petani. Pemerintah dan ahli menyimpulkan jalan
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
20
terbaiknya adalah menerjemahkan informasi prakiraan iklim ke
dalam ‟bahasa petani‟ (Boer, et al., 2003; Roncoli, 2003 dalam Siregar
2009). Upaya-upaya tersebut dilakukan untuk mempertahankan
petani untuk bertahan dari ketidakpastian musim dari dampak
perubahan iklim atas sumber penghidupannya.
Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi adaptasi
petani menghadapi perubahan iklim, yaitu:
1. Risiko Iklim
Perubahan cuaca yang berganti ganti dan cenderung cepat
(anomali) pada musim berakibat pada bentuk kerentanan yang
berpengaruh terhadap risiko yang diterima oleh penanggap seperti
petani, nelayan atau kelompok rentan lainnya. IPCC (2007)
menyebutkan bahwa kerentanan iklim dipengaruhi oleh tingkat
keterpaparan (exposure) kepekaan (sensivity) dengan kapasitas
adaptasi (Adaptive Capacity). Siregar (2012) menegaskan bahwa
kerentanan lebih ditekankan pada perubahan jangka panjang yang
diakibatkan oleh perubahan iklim. Tantangan dalam penilaian
kerantanan iklim dapat dilakukan dengan membandingkan
kerantanan saat ini, dengan kerentanan yang akan datang serta proses
adaptasi dalam berbagai tingkat. Kerentanan perubahan iklim
menekankan pada manusia dibandingkan ruang karena dipengaruhi
oleh fenomena sosial yang berkaitan dengan kelompok sosial
tertentu, ekonomi, dan politik serta tidak menisbikan kajian dampak
kerusakan sumber daya alam dan infrastruktur.
Tingginya kerentanan iklim akan memengaruhi risiko iklim
untuk memprediksi dampak iklim terhadap pola perubahan iklim
pada wilayah tertentu. Risiko iklim merupakan bentuk dampak yang
akan diterima dari skala kemungkinan (likelihood) yang akan terjadi
dengan konsekwensi (consequency) yang akan diterima. Nilai
kemungkinan merupakan prediksi yang didasarkan pada tingkat
keterpaparan dengan kepekaan. Sedangkan konsekwensi merupakan
dampak yang akan diterima jika dipertemukan dengan skala
kemungkinan (keterpaparan dan kepekaan) (GIZ, 2014).
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
21
2. Bentuk Tanggapan Atas Risiko Iklim
Variabel iklim9tersebut merupakan bagian penting dari model
prediksi pelaku dalam menentukan bentuk mitigasi dan adaptasi yang
dibutuhkan dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang akan
ditanggapi pelaku untuk mempertahankankan sumber
penghidupannya. Bentuk penyesuaian yang dilakukan oleh pelaku
sebagai penanggap (aktor/pelaku) atas dampak perubahan iklim
dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi pelaku yang dipengaruhi oleh
lima (5) aspek yang mendukung kemampuan tersebut: 1) manusia; 2)
sosial budaya; 3) ekonomi dan teknologi; 4) lingkungan dan sumber
daya alam; dan 5) infrastruktur dan dukungan pihak lain. Secara
spesifik Siregar (2012) menyusun patokan (benchmark) untuk
memastikan pelaku (aktor) pada masyarakat pesisir mampu
menghadapi dampak pola perubahan iklim atas lima (5) aspek
tersebut yang terlihat pada Lampiran 1.
3. Iklim Ekstrim sebagai Bencana
Kerentanan iklim dipengaruhi atau memengaruhi ancaman
(hazard) hydrometeorologis dalam menghadapi kondisi ekstrim
seperti yang terjadi pada curah hujan yang tinggi maupun pada
kondisi curah hujan yang rendah (Twigg, 2007). Tanda alam yang
dirasakan petani maupun nelayan, lebih bersifat pada intensitas dan
sifat hujan pada setiap cuaca atau musim yang memengaruhi
tumpuan hidupnya. Bahkan iklim ekstrim berdampak pada bencana
alam karena ancaman yang dipicu oleh ketidakpastian iklim maupun
iklim ekstrim dan tingkat keterpaparannya.
Dalam perspektif analisa risiko, bencana dipandang sebagai
persoalan kerentanan, dan terjadi ketika suatu ancaman bencana
terjadi di masyarakat rentan yang tidak memiliki kapasitas atau yang
memiliki kapasitas rendah untuk mengatasi dampak negatif suatu
bencana. Sehingga bencana merupakan produk sosial, ekonomi dan
9Siregar (2010) menjelaskan variabel iklim yang dimaksud adalah temperatur, curah hujan, kelembaban, intensitas dan frekwensi hujan.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
22
politik (Heijkman, 2006). Kerentanan sendiri merupakan kumpulan
maupun rentetan keadaan yang melekat pada masyarakat yang
mengarah dan menimbulkan konsekwensi (fisik, sosial ekonomi, dan
perilaku) menurunnya daya tangkal dan daya tahan masyarakat
sehingga berpengaruh buruk terhadap upaya pencegahan dan
penanggulangan bencana (Eko Teguh Paripurno dalam Adi Nugroho,
2009).
Heijkman (2006) menyebutkan bahwa kerentanan
merupakan kondisi jangka panjang yang secara negatif memengaruhi
kemampuan masyarakat untuk melindungi diri sendiri, atau
mengatasi, atau melakukan pemulihan secara mudah dari dampak
negatif suatu bencana. Kondisi tersebut ada sebelum bencana; dan
akan meningkatkan dampak suatu (jika ada) bencana. Kerentanan
sosial muncul akibat kemiskinan, ketidakamanan, kerusakan
lingkungan, keterbatasan sumber daya, tata kelola pemerintahan
yang tidak baik, sehingga kerentanan sifatnya dinamis atau bisa
berubah-ubah. Gambar berikut ini menunjukkan faktor kerentanan
masyarakat yang menimbulkan bencana.
Meningkatkan Kerentanan
Paparan Fisik thd Bencana Bencana Proses munculnya Kerentanan
Ancaman Bencana Kondisi Dinamika Akar
Tidak aman Tekanan Penyebab1. Gempa bumi Elemen beresiko Lokasi berbahaya Keterbatasan akes thd
kebijakan menuju
Banjir Rumah tdk aman sumber daya, layanan distribusi tdk adil
Topan Mata pencaharian tdk aman dasar, pasar, sumber daya,
Kekeringan mata pencaharian tdk tetap proses pembuatan layanan, kekayaan
Gunung meletus Tidak ada tabungan keputusan politik kekuasaan
Perang Ketrampilan rendah
Polusi Tdk ada JPS kembalinya pengungsi Kebijakan/struktur
Hama Tdk ada layanan dasar ketidakamanan menuju akses
Tanah longsor Rendahnya persatuan tdk ada kontrol perdagangan kekuasaan yg tdk
dst. Kesadaran rendah Deforestasi adil, bias posisi
Migrasi Negara & militer
Hukum yg tdk berpihak
Tdk ada dana pemerintah Ideologi: peran
gender, definisi
hak, ideologi
politik & ekonomi
The ‘Disaster Crunch Model’ (modified and adapted from Blaikie et al, 1994, At Risk, Natural Hazards, people’s vulnerability and Disasters ,
Routledge, London)
Gambar 2.3 Model Kegentingan Bencana, Heijkman, 2006.
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
23
Sedangkan kapasitas masyarakat merupakan gabungan cara,
kekuatan yang tersedia di kelompok masyarakat dan kelembagaan
sosial yang memungkinkan masyarakat memiliki daya tangkal dan
daya tahan untuk mengurangi tingkat risiko atau akibat bencana.
Yang perlu diperhatikan adalah masyarakat bukan korban pasif yang
hanya menerima bantuan dari luar atau tidak punya kemampuan atau
kapasitas. Masyarakat dapat aktif berpartisipasi dalam memulihkan
kehidupan dan mata pencaharian mereka sehingga kapasitas
masyarakat harus diakui dan dikuatkan atau ditingkatkan.
Pengelolaan risiko bencana berbasis masyarakat merupakan upaya
atau usaha masyarakat dalam menemukenali semua ancaman atau
bahaya beserta pemicu terjadinya bencana dan tingkat keterpaparan
jika bencana terjadi dengan mengurangi kerentanan masyarakat dan
meningkatkan kapasitas masyarakat (Nugroho, 2009).
Kemampuan Adaptasi Petani Terhadap Perubahan Iklim
Adaptasi sangat tergantung pada kemampuan aktor dalam
beradaptasi dari suatu wilayah. Adger, et al., (2007) menyatakan
bahwa adaptasi merupakan kemampuan sistem atau komunitas untuk
mengatasi dampak dan risiko perubahan iklim, termasuk kemampuan
untuk menentukan perilaku terhadap penggu-naan sumber daya dan
teknologi. Kemampuan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim
pada setiap komunitas (masyarakat) adalah berbeda. Banyak individu
dan kelompok diantara masyarakat yang memiliki kemampuan
rendah untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Peningkatan kemampuan adaptasi merupakan praktik cara
mengatasi perubahan dan ketidakpastian dalam perubahan iklim,
termasuk variabilitas iklim dan iklim ekstrem. Peningkatan
kemampuan adaptasi diperlukan untuk mengurangi kerentanan,
terutama untuk daerah, bangsa, dan kelompok sosial ekonomi yang
paling rentan. Seperti pernyataan Smith, et al. (2003), bahwa
peningkatan kemampuan adaptasi dapat mengurangi kerentanan dan
mendorong pembangunan berkelanjutan (Smith, et al., 2003).
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
24
Faktor-faktor umum yang memengaruhi kemampuan
adaptasi yaitu: pendidikan; pendapatan; dan kesehatan, beberapa
faktor khusus yang memengaruhi kemampuan adaptasi yaitu: tingkat
kerentanan, institusional, pengetahuan, dan teknologi (Adger, et al.,
2007). Sedangkan United Nations Task Team (2011) menyatakan
bahwa kemampuan adaptasi dipengaruhi oleh banyak faktor non-
iklim dan sosial ekonomi seperti: kesehatan, keterampilan,
pengetahuan, pendidikan, modal sosial, infrastruktur, sumber daya
alam dan modal keuangan. Penelitian lain menunjukkan bahwa
kemampuan adaptasi tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi
dan pengembangan teknologi saja tapi juga ditentukan oleh faktor
sosial seperti jaringan sosial dan kelembagaan serta struktur
pemerintahan (Klein dan Smith, 2003 dalam Adger, et al., 2007).
IPCC mengidentifikasi faktor sosial ekonomi masyarakat atau
wilayah yang dianggap menentukan kemampuan adaptasi dan bentuk
adaptasi (Smit & Pilifosova, 2001., dalam Grothmann dan Patt, 2003)
diantaranya adalah: kekayaan ekonomi (sumber daya), akses
teknologi, akses informasi dan keterampilan, infrastruktur dan
kelembagan. IPCC (2001) menjelaskan bahwa adaptasi tergantung
pada waktu, capaian dan motif sehingga adaptasi dapat
diklasifikasikan menjadi 3 bentuk usaha adaptasi, yaitu: 1) adaptasi
reaktif atau antisipatif, 2) mandiri atau kolektif, 3) terencana dan
otomatis. Bentuk usaha dalam beradaptasi tersebut memengaruhi
manusia menghadapi perubahan iklim. Adaptasi dapat juga
berlangsung dalam waktu panjang atau pendek, lokal atau pada
wilayah yang lebih luas.
Modal Dalam kelembagaan Sosial
Pengaruh Habitus sebagai Modal dalam Kelembagaan Sosial
Pengaruh aktor dalam mengambil keputusan untuk menjadi
aktor dalam mengambil tindakan sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosial dan struktur sosial masyarakat. Kondisi tersebut oleh Bourdieu
(1999) disebut sebagai habitus. Bourdieu menjelaskan bahwa habitus
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
25
merupakan hasil dari dialektika yang terbentuk dari konteks dimana
tempat aktor berada yang menghasilkan pemikiran untuk menghasil-
kan pilihan aktor itu sendiri. Dalam menentukan pilihan, aktor
menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran,
meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya
habitus. Habitus menyediakan prinsip-prinsip yang dijadikan dasar
oleh aktor dalam membuat pilihan dan memilih strategi yang
digunakan dalam kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara
yang masuk akal (reasonable) dimana logika sangat berpengaruh
terhadap tindakan yang diambil oleh aktor berdasar pada habitusnya.
Selain itu, keputusan aktor yang bertindak atas logika juga pengaruhi
oleh keyakinan yang memiliki nilai atau dianggap bernilai oleh aktor
sehingga keyakinan merupakan dasar aktor dalam bertindak.
Ruang logika dan tindakan pada habitus merupakan arena
dari pertarungan, perjuangan, arena adu kekuatan, antara dominasi
dan konflik antar individu, antar kelompok demi mendapatkan
posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital atau
modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis modal
yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik dalam
arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu
arena. Bourdieu menjelaskan empat (4) jenis modal yang dimiliki
seorang aktor, yaitu: 1) Modal ekonomi: segala bentuk modal yang
dimiliki yang berupa materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan
lain-lain; 2) Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai
antara individu, atau hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-
hubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam
penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial.; 3) Modal kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah; dan 4) Modal simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang10.
10 Coleman (1998) melengkapi kajian Bourdieu dengan melihat modal sosial berdasarkan fungsinya dimana modal sosial tercakup dua (2) hal penting yaitu: (1) modal sosial mencakup aspek tertentu dari struktur sosial; dan (2) modal sosial memfasilitasi pelaku (aktor) bertindak dalam struktur tersebut. Coleman juga mengembangkan pemahaman modal sosial yang meliputi asosiasi (hubungan)
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
26
Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertim-
bangan berdasarkan kesadaran dan selama proses pembuatan
keputusan merupakan cerminan habitus. Habitus menyediakan
prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh aktor dalam
membuat pilihan dan memilih strategi yang digunakan dalam
kehidupan sosial, aktor bertindak menurut cara yang masuk akal
(reasonable). Aktor mempunyai perasaan dalam bertindak, berdasar
logika ketika aktor bertindak atau disebut sebagai logika tindakan.
Bourdieu menyatakan bahwa logika tindakan (logika praktis)
berbeda dengan rasionalitas (logika formal). Terdapat konsep relasio-
nalisme dari Bourdieu yang digunakan untuk menuntun individu
untuk mengakui bahwa habitus bukanlah struktur yang tetap, tidak
dapat berubah, tetapi beradaptasi dengan individu yang dinamis di
hadapan situasi yang saling bertentangan di mana setiap aktor berada.
Kerja waktu (habitus dan pengalaman praktis berdasar waktu dan
logika) pun juga bisa memengaruhi praktik seseorang dalam
melakukan suatu tindakan.
Berbagi pengetahuan merupakan bentuk nyata dari model
kelembagaan petani yang kadang dibangun pada kelembagaan formal
dan informal. Kelembagaan sosiologis petani yang informal dan oleh
negara menjadi kelembagaan formal. Kelembagaan yang terbentuk
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan karena saling
memengaruhi. Kelembagaan sosiologis ini, adaptif terhadap
tanggapan dan relatif dibentuk oleh faktor di luar kelembagaan
dimana pada beberapa kasus bersifat sementara karena dibentuk
vertikal dan horisontal. Asosiasi vertikal ditandai dengan hubungan yang bersifat hirarkis dan pembagian kekuasaan yang tidak seimbang antar anggota masyarakat. Hubungan semacam ini mempunyai konsekuensi positif maupun negatif. Sedangkan asosiasi horisontal adalah hubungan yang sifatnya egaliter dengan pembagian kekuasaan yang lebih merata. Sedangkan Putnam (1993), menjabarkan modal sosial sebagai seperangkat asosiasi antar manusia yang bersifat horisontal yang mencakup jaringan dan norma bersama yang berpengaruh terhadap produktivitas suatu masyarakat. Intinya Putnam melihat modal sosial meliputi hubungan sosial, norma sosial, dan kepercayaan (trust).
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
27
untuk menanggapi kebijakan atau persoalan yang dihadapi
sementara. Jika kelembagaan ini merupakan bentuk adaptif dari
kelembagan kultural tentu dapat dibedakan karena memiliki
kelentingan (kelenturan) dalam penyesuaian sosialnya sebagai akibat
modernisasi. Tetapi jika kelembagaan sosiologis terjadi ditengah jalan
untuk menanggapi persoalan atau kebijakan kadang tidak bersifat
permanen atau sementara karena dibentuk oleh faktor dari luar dan
memiliki ketergantungan. Kelembagaan kultural maupun
kelembagaan sosiologis, hanya dapat dianalisa dari sejarah
pembentukannya dan faktor-faktor yang membentuknya. Pengakuan
atas kelembagaan ini juga secara politik diakui sebagai kesepakatan
lingkungan secara internasional (konvensi) seperti pengakuan hak
ulayat masyarakat adat (historis) maupun hak-hak kewarganaegaraan
(Amenta, et al., 2010).
Jejaring Sosial dan Tindakan Kolektif
Penekanan modal sosial adalah membangun jaringan
(networks) dan adanya pemahaman norma bersama. Tetapi perlu
disadari pemahaman norma bersama belum cukup menjamin
kerjasama antar individu karena bisa saja ada yang tidak taat (moral hazard). Oleh karena itu dibutuhkan sanksi sosial yang bersifat
informal sehingga kualitas hubungan dan interaksi sosial tetap terjaga
dengan baik. Sanksi sosial dimaksudkan agar tidak terjadi deviasi
terhadap norma yang ada (Coleman 1998; Iyer, 2005). Sehingga yang
dimaksud dengan modal sosial yaitu sistem nilai yang dianut bersama
dan aturan tentang perilaku sosial masyarakat yang di dalamnya
sudah meliputi kepercayaan dan tanggung jawab sosial. Artinya,
modal sosial berpengaruh terhadap lingkungan sosial dan lingkungan
politik yang kemudian ikut membentuk norma tentang
pemerintahan, aturan hukum, dan kebebasan politik (North, 1990
dalam Narayan, 1999).
Modal sosial bagi Bourdieu (1999) adalah relasi sosial yang
dapat dimanfaatkan seorang aktor dalam rangka mengejar kepen-
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
28
tingannya. Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai sumber
daya yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang dengan
memanfaatkan jaringan, atau hubungan yang terlembaga dan ada
saling mengakui antar anggota yang terlibat di dalamnya. Dari
definisi tersebut ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam
memahami modal sosial yaitu: pertama, sumber daya yang dimiliki
seseorang berkaitan dengan keanggotaan dalam kelompok dan
jaringan sosial. Besarnya modal sosial yang dimiliki seseorang
tergantung pada kemampuan orang tersebut memobilisasi hubungan
dan jaringan dalam kelompok atau dengan orang lain di luar
kelompok. Kedua, kualitas hubungan antar aktor lebih penting
daripada hubungan dalam kelompok. Bourdieu melihat bahwa
jaringan antar aktor yang bersifat sosiologis tidak bersifat alami,
melainkan dibentuk melalui strategi investasi yang berorientasi
kepada pelembagaan hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai
sumber untuk meraih keuntungan.
Bourdieu menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan aktor
dipengaruhi oleh aktor lain didasarkan pada habitus pada ruang atau
arena merupakan bentuk tindakan bersama untuk mencapai tujuan
tertentu. Relasionalisme antara individu yang dipengaruhi oleh
kapasitas aktor dalam habitusnya merupakan tindakan kolektif yang
melembaga dalam proses ruang dan waktu tertentu. Tindakan
kolektif pada ruang dan waktu tersebut tidak berdiri sendiri tetapi
berjejaring dengan aktor atau kelompok lain sebagai pengejewan-
tahan tindakan kolektif pada waktu dan ruang yang berbeda.
Adaptasi Perubahan Iklim Dalam Pembangunan
Berkelanjutan
Laporan World Commission of Environment and Development (dalam Djayadiningat, 2003) yang berjudul “Our
Common Future” menyebutkan rumusan tentang “Sustainable Development”, sebagai berikut:
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
29
“Sustainable Development is defined as development that meetthe needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”
(Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri)
Komponen dasar pembangunan berkelanjutan mengenali tiga
komponen, yaitu: komponen pembangunan lingkungan, ekonomi
dan sosial dimana ketiga komponen tersebut merupakan komponen
yang saling berinteraksi dan saling memberikan dukungan.
Ketidakseimbangan sosial seperti meningkatnya pertumbuhan
penduduk yang tidak terkendali dan meningkatnya kebutuhan dasar
dan layanan sebagai komponen ekonomi, menurunkan keseimbangan
ekologi yang berdampak pada layanan atau jasa lingkungan yang
diberikan pada manusia dan kebutuhan dasarnya untuk memenuhi
kebutuhan ekonominya. IPCC (2007) menunjukkan dampak
kenaikan suhu sebagai akibat aktifitas manusia telah menyebabkan
bencana iklim (Gambar 2).
Gambar 2.4 Komponen Pembangunan Berkelanjutan, Daniel Mudiyarso,
CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, 2003., dalam Trend Indonesia
2050, IBCSD, 2015.
Pembangunan lingkungan yang berorientasi pada perbaikan lingkungan lokal seperti sanitasi lingkungan, industri yang lebih bersih dan rendah emisi, dan
kelestarian sumber daya alam
Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas
dan efisiensi
Pembangunan sosial yang bertujuan
pengentasan kemiskinan,
pengakuan jati diri dan pemberdayaan
masyarakat.
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
30
Kegagalan pembangunan yang berbasis bahan bakar fosil
demi mengejar pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan beban
ekologi menjadi sangat besar. Selain itu, pembangunan yang
eksploitatif dan masif serta tingginya perkembangan penduduk telah
menyebabkan turunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan
menurun. Ketidakseimbangan tersebut telah menyebabkan
ketidakseimbangan ekosistem karena terjadi „ubahan‟ bentang alam
seperti perubahan iklim mikro karena akumulasi karbon telah
menyebabkan terganggunya siklus hidrologi, kenaikan suhu karena
berkurangnya tutupan lahan dan ketergantungan bahan bakar
minyak sebagai akibat dari kegiatan manusia. Hal tersebut berdampak
pada pola iklim yang berubah yang menyebabkan terganggunya
sumber penghidupan masyarakat dimana satuan wilayah ekosistem
menjadi tempat bergantung hidupnya (Susandi, ____).
Dampak pola iklim yang berubah berakibat pada perubahan
iklim global yang menganggu sumber penghidupan masyarakat
khususnya kelompok rentan seperti petani dan nelayan. Dampak
perubahan iklim yang bermula dari ketidakpastian musim, kenaikan
suhu dan muka laut, iklim ekstrim terhadap petani khususnya petani
non irigasi. Dampak dari ketidakpastian musim bagi petani berakibat
pada kekacauan keputusan tanam petani, curah hujan yang tinggi
yang berakibat banjir, kekeringan yang berkepanjangan sehingga
berdampak pada kegagalan panen padi (Siregar, et al., 2010).
Sedangkan nelayan kecil dipengaruhi oleh perubahan arah angin,
gelombang tinggi, perubahan arus laut dan suhu laut yang
berpengaruh terhadap kemampuan berlayar nelayan untuk
mendapatkan tangkapan ikan, kemampuan berlayar yang terbatas
karena gelombang tinggi dan jauhnya wilayah tangkapan ikan di laut
akan memengaruhi hasil tangkapan ikan oleh nelayan. Begitu juga
yang terjadi pada pembudidaya rumput laut, pengaruh kenaikan suhu
air laut memengaruhi kualitas dan kantitas hasil panen rumput laut
yang tumpuan hidupnya (Siregar, dkk., 2013).
Ketidakmampuan masyarakat sebagai sistem sosial yang
menjadi tumpuan dalam pembangunan berkelanjutan berpengaruh
Tinjauan Pustaka: Adaptasi Petani Padi Menghadapi Risiko Iklim dan Bencana
31
besar terhadap keberlanjutan kehidupan yang bergantung pada
ekosistem, seperti yang ditemukan dalam penelitan Siregar, dkk.
(2010 dan 2012), menunjukkan bahwa ketidakpastian iklim dan iklim
ekstrim telah memberikan dampak pada sumber penghidupan yang
bergantung pada sistem ekologinya.
Munasinghe dan Swart dalam Fourth Assesment Report IPCC
(2007), menjelaskan bahwa adaptasi terhadap perubahan iklim
dipengaruhi oleh tiga (3) dimensi pembangunan berkelanjutan
(dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial) yang
berkorelasi dengan ketidakadilan akses terhadap sumber daya,
ketidakberimbangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya
manusia, kemiskinan, dan bahaya atau kejadian ekstrim. Sehingga
adaptasi perubahan iklim merupakan bentuk tindakan individu atau
kolektif dalam menyesuaikan terhadap perubahan atau fenomena
alam untuk mempertahankan diri dan sumber penghidupannya.
Gambar 2.5 Pilar Adaptasi Perubahan Iklim dalam Pembangunan
Berkelanjutan, Munangsinghe dan Swart (2005) dalam Fourth Assesment Report Working Gorup II IPCC (2007), Chapter 20, h. 815.
Ketidakadilan akses dan sumber
daya
Kemampuan Manusia &
Kelembagaan Dimensi Ekonomi
Adaptasi Perubahan Iklim
Dimensi
Ekologi
Bahaya atau Kejadian Ekstrim
Dimensi
Sosial
Kemiskinan
Petani Menyiasati Musim Adaptasi Petani Padi Menghadapi Genangan Air Pada Puncak Hujan
32
Catatan Penutup
Adaptasi petani padi dipengaruhi oleh kemampuan atau
kapasitas petani menghadapi risiko ketidakpastian musim
(kerentanan iklim). Kemampuan petani didasarkan pada pengetahuan
lokal dalam mengelola sumber daya pertanian merupakan bentuk
modal simbolik yang dimiliki oleh setiap petani yang bertumpu pada
sumber penghidupan pertaniannya yang merupakan habitus petani.
Modal ekonomi berpengaruh terhadap modal simbol baik dalam
bentuk kekuasaan atas relasi antar petani dan jejaringnya. Sedangkan
kekuatan jejaring sosial merupakan bentuk modal sosial yang melekat
pada masyarakat agraris (kelembagaan sosial) karena sifat dan bentuk
kekerabatan saling terikat baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam menjamin sumber penghidupannya.
Kerangka adaptasi atas perubahan iklim didasarkan pada
keputusan petani dalam menyiasati musim dipengaruhi oleh dimensi
sosial, dimensi ekonomi dan dimensi ekologi. Bentuk adaptasi
tersebut dipengaruhi oleh habitus (konteks) dan pengaruh modal
yang dimiliki petani padi.