33
BAB II
PEMAKNAAN SWASTIKA
2.1 Persebaran Swastika di Dunia
Diberbagai belahan dunia Swastika di kenal dengan nama yang berbeda-
beda, walaupun pada akhirnya simbol ini diterima dengan nama sansekerta kuno-
nya yakni Swastika. Awalnya Swastika di eja s-v-a-s-t-i-c-a dan s-u-a-s-t-i-k-a,
namun kemudian pengejaannya baik dalam bahasa Inggris maupun Prancis
menjadi s-w-a-s-t-i-k-a. Littre‟s French Dictionaries menjabarkan etimologi dari
kata Swastika, bahwa secara etimologis Swastika merupakan sebuah kata dari
bahasa Sansekerta yang berarti kebahagiaan, kesenangan, dan nasib baik. Kata ini
terbentuk dari “Su” yang berarti “baik”, dan asti yang berarti “menjadi”,
“menjadi baik”, dengan suffik ka (Wilson, 1896).
Selama ini yang melekat pada simbol Swastika adalah karakter sebagai
sebuah simbol ucapan syukur, berkat, umur panjang, keberuntungan dan nasib
yang baik. Karakter-karakter ini pun masih terbawa hingga masa modern saat ini.
Terkait dengan awal persebaran Swastika di dunia, Wilson (1896) menyatakan;
The Straight line, the circle, the cross, the triangle, are simply forms,
easily made and might have been invented and re-invented in every
age of primitive man and in every quarter of the globe... but Swastika
was probably the first to be made with a definite intention and a
continuous or consecutive meaning, the knowledge of which passed
from person to person, from tribe, to tribe, from people, to people, and
from nation to nation, until, with possibly changed meanings, it has
finally circled the globe(Wilson, 1896, p.764)
D‟Alviella (1891) dalam karyanya La Migration des Symboles mengutip
pernyataan dari Max Muller mengenai awal kemunculan simbol Swastika. Muller
34
mengatakan bahwa simbol Swastika mulai sering digunakan di India tiga abad
sebelum masehi, saat ajaran Buddha mulai menjadi ajaran yang paling populer di
India. Namun menurut Muller nama Swastika sudah digunakan pada karya sastra
Rsi Panini (salah satu Rsi dalam Agama Hindu) di pertengahan 400 tahun
sebelum masehi, jauh sebelum simbol ini di populerkan oleh Buddha. Terkait
dengan tahun hidup Rsi Panini ini masih menjadi sebuah perdebatan diantara para
sarjana. Harshananda (2008) menyebutkan bahwa Rsi Panini hidup di masa
kepemerintahan Raja Nanda, sekitar 5 abad sebelum masehi. Sedangkan referensi
dari Brahma Purana (salah satu kitab kuno Hindu) mengatakan bahwa nama Rsi
Panini ada pada jajaran nama-nama Sakandika, Atri dan Angira yang pada
dasarnya diciptakan oleh pikiran Brahma (salah satu personifikasi Tuhan pencipta
alam dalam kepercayaan Hindu) pada 155,5 triliun tahun yang lalu, pada awal
penciptaan dari brahmanda (alam semesta), yang menunjukkan bahwa Panini juga
merupakan guru kerohanian yang abadi (Saraswati, 2003).
Dalam bukunya, The Swastika; The Earliest known symbol, and its
migration; with observation on the migration of certain industries in prehistoric
times, Thomas Wilson (1896) secara garis besar membagi persebaran Swastika di
dunia menjadi 8 kelompok. Kelompok pertama ia sebut sebagai extreme orient
(Timur-Jauh) yang mencakup persebaran Swastika di Jepang, Korea, Cina, Tibet,
dan India. Kelompok kedua ia sebut dengan Clasical Orient yang mencakup
persebaran Swastika di Babylonia, Asyiria, Chaldea, Persia, Phenicia, Lycaonia,
Armenia, Caucasus; dan Asia Minor- Troy (Hissarlik). Kelompok ketiga adalah
kelompok negara-negara Afrika seperti Mesir, Algeria, dan Ashantee. Kelompok
35
keempat ia namai sebagai Classical Occident- Mediteranian yang meliputi
Yunani, Cyprus, Rhodes, Melos, dan Thera. Kelompok kelima merupakan temuan
Swastika di Eropa. Kelompok keenam adalah persebaran Swastika di Amerika
Serikat. Kelompok ketujuh adalah persebaran Swastika di Amerika Tengah, dan
Kelompok terakhir membahas persebaran Swastika di Amerika Selatan.
Dalam bukunya Wilson (1896) mengatakan bahwa penemuan Swastika di
Jepang, Korea, Cina, Tibet dan India merujuk pada angka 11 abad sebelum
masehi. Adapun bentuk-bentuk Swastika di daerah ini tidak hanya digunakan
sebagai simbol religius semata namun juga sebagai ornamen sederhana dalam
lukisan-lukisan, guci tembikar, uang koin, dan berbagai benda lainnya. Di Persia,
Babylonia, Assyiria bentuk Swastika ditemukan dalam uang koin, sementara itu
kaum Hitties di Lycaonia menempatkan Swastika pada pahatan Ibriz yang
menggambarkan Swastika dalam pinggiran jubah seorang raja atau pendeta yang
sedang mempersembahkan persembahan pada Tuhannya. Di Armenia dan
Caucasus bentuk Swastika ditemukan pada kepala peniti (D‟alviella, 1891).
Seorang arkeolog Dr. Schliemann (1880) menemukan banyak spesimen
simbol Swastika dalam berbagai artefak di Asia Minor – Troy (Hissarlik), yang
sebagian besar dalam bentuk kumparan lingkaran (spindle-whorl). Schliemann
menyatakan terdapat 209 spesimen yang memiliki relasi terhadap simbol
Swastika. Pada situs Troy ini ditemukan tujuh kota berbeda dengan kedalaman
dan umur artefak yang berbeda. Pada kota yang pertama dengan kedalaman
penggalian 13-16 meter meskipun banyak ditemukan kumparan lingkaran
36
(spindle-whorl) namun tak satupun artefak ini yang memiliki simbol Swastika.
Pada kota yang kedua, bentuk Swastika masih belum juga ditemukan.
Pada kota ketiga dengan kedalaman 7-10 meter ditemukan berbagai
kumparan lingkaran (spindle-whorl) dengan bentuk Swastika sebagai
ornamennya. Berbagai macam bentuk Swastika baik yang berlengan mengarah ke
kanan maupun ke kiri ditemukan di hampir setiap artefak. Selain kumparan
lingkaran terdapat pula artefak bola dunia yang terbagi empat segmen oleh garis
equatorial dengan tanda titik, lingkaran, dan satu bagian dengan bentuk Swastika
berlengan kiri. Bola tembikar ini disinyalir merujuk pada representasi Swastika
untuk Zeus/ Indra/ dewa langit (Schliemann, 1880).
Pada kota keempat dengan kedalaman 4-5 meter ditemukan berbagai artefak
kumparan lingkaran (spindle whorl) dan juga bentuk kerucut sederhana dengan
ornamen Swastika berlengan kanan dan lengan kiri. Bentuk ornamen Swastika
dikota keempat ini lebih tegas dan memiliki variasi motif pendukung lainnya
seperti lingkaran, garis, titik, dan sejenisnya. Tak banyak yang bisa ditemukan
oleh Dr. Schliemann pada ekskavasinya di kota kelima, kedalaman 3-4 meter.
Dalam karyanya Ilios Dr. Schliemann (1880) mengatakan:
“Instead of the hundreds of axes I Gathered in the fourth city, I
collected in all only two here. * * * the forms of terra-cotta whorls,
too, are innumerable instances different here. These objects are of a
much inferior fabric, and become elongated and pointed.”
Pada kota keenam (Lydian city of Troy) dan ketujuh (Greek Ilium) banyak
ditemukan kumparan lingkaran bikonis (dwi runjung), bola tanah liat, cakram
tanah liat, bejana bulat, vas tanah liat, dan berbagai artefak lainnya. Selama
37
ekskavasinya di Bukit Hisarlik (situs troy, Turki), sekitar 1800 kumparan
lingkaran (spindle-whorl) ditemukan oleh Dr. Schliemann. Terdapat 55 spesimen
yang memiliki bentuk Swastika yang murni dan sederhana, sementara 420 lainnya
di sinyalir memiliki keterkaitan pada bentuk Swastika. Salah satu temuan yang
paling utama menurut Dr. Schliemann adalah penemuan patung dewi terbuat dari
logam yang ditemukan di kedalaman 7 meter di reruntuhan kota ketiga (the burnt
city), yang dipercayai sebagai patung “Artemis Nana of Chaldea” yang
merupakan dewi utama dari Caréhemish (ibu kota Hittie) dengan simbol
Swastika pada bagian tengah vulva patung tersebut (Schliemann, 1880).
Swastika juga ditemukan pada situs Naukratis, Mesir Kuno pada abad 6-7
sebelum masehi. Namun meskipun ditemukan di wilayah Mesir Kuno, vas yang
memiliki ornamen Swastika ini dikatakan bukanlah peninggalan Mesir, melainkan
sebuah vas dari Yunani yang diimpor ke Mesir. Di Algeria bentuk Swastika
ditemukan pada sebuah makam kuno. Bentuk Swastika juga ditemukan pada
sebuah batang baja di Coomassee pada masa perang Ashantee (Wilson,1896).
Bentuk Swastika juga ditemukan di wilayah Mediterania (Yunani, Pulau
Cyprus, Rhodes, Melos dan Thera), dalam objek perunggu dan emas, barang
tembikar, vas yang di lukis, patung tanah liat, dan berbagai artefak lainnya.
Bentuk Swastika pada benda-benda artefak di Meditarania sangat jelas dan tegas.
Baik Swastika dengan lengan kanan maupun kiri dapat ditemukan di berbagai
ornamen vas maupun patung artefak di Mediterania (Goodyear, 1891). Dengan
demikian, Swastika pernah menjadi simbol penting dalam peradaban Mediterania.
38
Penyebaran Swastika di Eropa diperkirakan mulai pada zaman perunggu
yang berasal dari Timur-Jauh (extreme orient). Sehingga jika perunggu ini berasal
dari Timur-Jauh, dan Swastika juga berasal dari sana, sebagaimana objek
perunggu termasuk pada masa prehistorik dan menunjukkan hubungan dengan
Timur, maka merupakan sebuah kesimpulan yang adil jika tanda Swastika yang
ditemukan pada objek yang sama juga berasal dari Timur. Kesimpulan ini
diperkuat dengan pembuatan dan kelanjutan penggunaan Swastika baik pada
benda perunggu maupun guci, hingga secara praksis melingkupi dan dapat
ditemukan diseluruh daratan Eropa di manapun budaya perunggu berlaku (Dennis,
1883). Di Eropa bentuk Swastika ditemukan dalam berbagai artefak seperti altar
pembakaran, guci, barang tembikar, kancing peniti emas dan tembaga, mangkok
perak, ujung tombak, lencana perak, ikat pinggang, pedang, sisir perunggu, bros,
sarung pedang, perlengkapan kuda, altar batu, pahatan batu, koin, dan lain
sebagainya. Di Swiss beberapa artefak barang tembikar ditemukan pola-pola
Swastika yang sama persis, seperti dibuat dengan cara di stempel/ di cap dan di
tempat yang sama pula ditemukan artefak berbentuk stempel Swastika yang cocok
dengan pola di tembikar tersebut (D‟alviella, 1891).
Di Amerika Serikat pada masa Pre-Columbian ditemukan bentuk Swastika
dalam sebuah ornamen pada cangkang kerang. Artefak ini ditemukan di gundukan
tanah kuno yang di gali di Pulau Fains, 3 mil dari Bainbridge, Jefferson County,
Tenn. Selain itu ditemukan pula lima buah Swastika Aborigin dari tembaga tipis
di gundukan tanah Hopewell di Ross County Ohio. Ornamen Swastika pada
sebuah kendi air juga ditemukan di gundukan tanah kuno di Arkansas. Bagi Suku
39
Indian di Kansas, Swastika merujuk pada simbol angin badai dan lagu-lagu angin.
Sementara itu, bagi Suku Sae Indian, Swastika atau yang mereka kenal sebagai
“luck” atau “good luck” digunakan pada kalung dan pengikat kaus kaki (garters)
oleh para “sun worshippers” yakni para pemuja Dewa Matahari (Surya) pada suku
Sae Indian. Swastika bagi suku Sae Indian merupakan simbol yang suci dan hanya
digunakan pada perayaan tertentu saja. Swastika digunakan pada Gourd
(semacam alat musik berbentuk labu yang di dalamnya diisi kacang-kacangan
atau kerikil untuk menimbulkan suara berderik-derik) oleh Suku Indian Pueblo
saat melakukan dance rattle. Swastika juga ditemukan pada berbagai barang
tembikar seperti mangkok dangkal dari Suku Indian Pueblo yang tinggal di Mesa
Verde, bagian barat daya Colorada. Bentuk Swastika juga ditemukan pada lukisan
kering milik Suku Navajo yang menetap di New Mexico. Terdapat 4 buah
Swastika pada lukisan yang menggambarkan sebuah perayaan bagi Suku Navajo
ini (Nadailac, 1884). Dengan penemuan ini, diduga berbagai etnis Indian telah
menggunakan simbol Swastika sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan etnis mereka. Menariknya, Indian menggunakan dan memaknai simbol
ini sama seperti makna aslinya yakni keberuntungan, kesejahteraan dan berbagai
nilai positif lainnya.
Penemuan lebih lanjut dari upaya memetakan persebaran Swastika di dunia,
bahwa penggunaan Swastika ditemukan di daerah Amerika Tengah yang
melingkupi Nikaragua, Yucatan, dan Costa Rica. Spesimen Swastika ditemukan
di Nikaragua pada dasar pecahan sebuah batu metate yang besar dari Zapatero.
Berdasarkan laporan dari Dr. Schliemann spesimen Swastika yang ditemukan di
40
Yucatan terdapat pada sebuah mangkok tembikar. Spesimen lainnya menurut Le
Plongeon (dalam Schliemann, 1884), ditemukan pada sebuah pecahan batu
lemping di kota kuno suku Maya, Mayapan. Sementara itu, Laporan Schliemann
juga mencatat penemuan Capt. J.M. Dow yang menemukan sebuah pecahan batu
metate di sungai Lempa, Costa Rica yang bentuk Swastika nya mirip dengan yang
ditemukan di Nicaragua.
Di Amerika Selatan spesimen Swastika ditemukan di Brazil dan Paraguay.
Wanita Suku Aborigin kuno di Brazil menggunakan tunga (perisai/ plat yang
berbentuk segitiga, terbuat dari tembikar tipis, dengan tepi yang dibulatkan,
digosok hingga halus dan di poles, yang digunakan untuk menutupi organ
kelaminnya (vulva). Spesimen tunga ini menarik tidak hanya karena memiliki
bentuk Swastika sebagai ornamennya, namun kemiripan dengan sebuah patung
Arthemis Nana yang di temukan di situs Troy, Hissarlik, Turki. Ketika tunga ini
digunakan oleh wanita suku aborigin, maka penggambarannya akan sama seperti
patung Arthemis nana yang memiliki bentuk segitiga dengan ornamen Swastika
pada bagian vulvanya. Sementara itu berdasarkan laporan Schliemann (dalam
Wilson, 1896) menyatakan bahwa seorang pelancong dari Berlin Ethnological
Museum menemukan sebuah botol berbentuk labu dari suku Lenguas di Paraguay
yang menggunakan bentuk Swastika di bagian permukaannya.
Lebih lanjut Wilson (1896) secara garis besar hanya memaparkan
penemuan-penemuan Swastika di berbagai tempat, tanpa lebih jauh mencari
makna dibalik simbol Swastika itu secara rinci di masing-masing tempat
41
penemuan ornamen ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault (1995) bahwa
makna tidak stabil, ia selalu dalam proses. Makna tidak bisa dibatasi dalam satu
kata, kalimat atau teks khusus, tetapi ia merupakan hasil dari hubungan antarteks
atau intertektualitas. Jika dilihat dari pemikiran Foucault yang mengatakan bahwa
manusia hanyalah produk dari sejarah dan dalam hal politik kebenaran pun setiap
masyarakat dianggap memiliki rezim kebenaran tersendiri. Pendapat ini yang
memungkinkan membuat Wilson terkesan enggan menggali lebih jauh makna
Swastika diberbagai rezim masyarakat berbeda di berbagai belahan dunia. Namun
terlepas dari semua itu, Wilson masih tetap mencantumkan pemaknaan simbol itu
sesuai dengan berbagai laporan yang telah ia himpun. Secara garis besar
pemaknaan Swastika di setiap tempat ditemukannya lebih merujuk pada
pemaknaan kemakmuran, nasib baik, keberuntungan dan kesuburan. Sementara
untuk penggunaannya simbol Swastika selain sebagai ornamen, juga lebih sering
digunakan sebagai simbol suci pada setiap seremoni atau upacara pemujaan.
Makna dan kegunaan dari simbol Swastika di berbagai belahan dunia,
sebagaimana ditemukan oleh Wilson, Schliemann dan sejumlah ahli lainnya
menunjukkan makna yang sama dari Swastika yang lahir dari peradaban Veda,
yakni kesuburan, kemakmuran dan keberuntungan. Di berbagai peradaban dunia
di masa lalu, tepatnya sebelum tahun masehi, makna Swastika masih
menunjukkan simbol keberuntungan.
42
2.2 Makna Swastika Bagi Hindu
Swastika merupakan salah satu simbol penting dalam peradaban Hindu
(Veda). Swastika merupakan salah satu dari 108 simbol dari Dewa Wisnu. Dalam
bahasa Sanskerta, kata Swastika dapat diuraikan menjadi Su artinya „good‟ (baik),
asti „to be, to exist‟, ik artinya abadi dan selalu seperti itu. Swastika, ,
secara termonologi kata juga diartikan su + asti = well + being ( + =
) atau all be well. Sementara, -ka adalah sufiks yang menandakan simbol.
Sehingga Swastika menandakan simbol keberuntungan dan kemujuran. Selain itu,
sejumlah pakar menyebutkan makna dalam dari Swastika adalah kejayaan
selamanya (www.ancient-origins.net).
Sementara itu Harshananda (2008) dalam A Concise Encyclopaedia of
Hinduism Volume 3: R-Z memberikan sebuah definisi yang cukup komprehensif
mengenai Swastika:
The Svastika is a symbol of auspiciousness (Svasti=
auspiciousness). It has been used as a symbol of the sun or of Viṣṇu or
even Ganeśa. It also represents the world-wheel, the eternally
changing world, round a fixed, unchanging centre or God. Svastika
marks depicted on doors or walls of building or on animals, are
believed to protect them from the wrath of evil spirits or furies of
nature.
Jadi Swastika bagi Hindu tidak saja melambangkan keberuntungan atau
kemakmuran, melainkan simbol manifestasi Tuhan, yakni Surya, Visnu atau
Ganesha1. Sehingga, simbol ini menjadi sesuatu yang sakral.
1 Teologi Hindu (Brahmavidya) terbagi dalam dua konstruksi besar yakni konsep Nirguna
Brahman (Tuhan tanpa bentuk, tak berpribadi, tak tergambarkan) dan Saguna Brahman (Tuhan
43
Sejak jaman Veda, simbol ini digunakan sebagai simbol yang membawa
karunia, keberuntungan dan menjadikan keberuntungan sebagai bagian dari
kehidupan dalam peradaban Veda. Bahkan, Swastika berasal dari mantra Yajur
Veda yang dikenal sebagai Svasti Vachan Mantra atau Swastika dikenal sebagai
Swastika Reading Hymn
Om svasti na indro vṛddhaśravaḥ
svasti naḥ pūṣā visvavedā
svasti nastārkṣyo riṣṭanemiḥ
svasti na bṛhaspatir dadhātu
Yajurveda XXV.19
“Semoga Hyang Indra yang berjaya memberikan kedamaian kepada
kami, Semoga Pūṣan yang mahatahu memberikan keselamatan kepada
kami, Garuda yang bersayap kuat, yang bergerak cepat memberikan
kedamaian kepada kami, Semoga Brhaspati, maha guru memberikan
kesejahteraan kesejahteraan kepada kami.” (Titib, 2006: 364)
Mantram tersebut dikenal sebagai, Svasti Vachan. Mantram ini merupakan
mantra yang sangat terkenal dan populer digunakan dalam berbagai ritual. Sharma
(2005) menyatakan mantram Yajur Veda tersebut telah termaktub dalam puluhan
mantra lainnya. Di dalam Ganesh Purana dikatakan bahwa Swastika adalah
perwujudan dari Dewa Ganesha. Terkait dengan Dewa Ganesha yang merupakan
Dewa penghancur segala halangan dan rintangan, simbol Swastika wajib dibuat
setiap sebelum memulai pekerjaan yang baik.
Terkait dengan Swastika sebagai lambang kesejahteraan, kemakmuran dan
kegembiraan, dapat pula ditemukan pada mantra-mantra Veda lainnya, seperti ;
Berpribadi). Dalam konteks Tuhan Berpribadi manifestasi beliau sangat banyak dan dapat pula
direpresentasikan dalam simbol-simbol, diantaranya simbol Swastika. Dalam Teologi Hindu Surya
adalah Dewa Matahari, Vishnu adalah Dewa pemelihara alam semesta dan Ganesha adalah Dewa
yang menghancurkan halangan dan rintangan.
44
svastaya adityāso bhavantu nah
Rgveda V.51.12
Sinar-sinar-Nya Sanghyang Surya, semoga menganugrahkan
kebahagiaan kepada kami.” (Titib, 2006 : 364).
Mantram ini menekankan bentuk kata Svasta yang merujuk pada Aditya
atau Dewa Surya yang menganugrahkan kebahagiaan. Sehingga di berbagai
belahan dunia, Swastika digunakan oleh para pemuja Surya sebagai sebuah
simbol sakral. Akar pemujaan Surya dan Swastika berakar dari mantram Veda
tersebut.
svasti naḥ putrakṛtheṣu yoniṣu
Rgveda X.63.15
“Semoga terhadap kesejahteraan untuk para wanita yang melahirkan
putra-putri gagah berani.” (Titib, 2006 : 365).
Mantram Veda tersebut diatas terkait dengan kata Svasti yang merujuk
kepada kesejahteraan. Kata dasar Svastika, yakni yakni Svasti dan berbagai
bentuk kata Sanskerta lainnya memang lebih umum merujuk kepada
kesejahteraan. Kata Svasti ini juga muncul pada mantram Atharvaveda berikut.
svasti mātra uta pitre no astu
Atharvaveda I.31.4
“Semoga terdapat kesejahteraan untuk ibu dan ayah.” (Titib, 2006 :
366).
Kata Svasti pada mantram diatas merujuk pada arti kesejahteraan yakni
seorang putra yang mendoakan kesejahteraan bagi ibu dan ayah. Jadi kata Svasti
dalam Veda lebih umum merujuk pada kesejahteraan dan keberuntungan. Namun
selain itu, juga merujuk pada kata kegembiraan dalam bentuk kata yang lain,
seperti mantra berikut.
45
svastidā manasā mādayasva
arvācīno revate saubhagāya
Rgveda X.116.2
“Dewata yang mendorong untuk berbuat baik, berbahagialah dan
datanglah kepada kami untuk kemakmuran dan keberuntungan yang
baik.” (Titib, 2006 : 372).
Swastika merupakan desain garis yang ditemukan oleh Rsi (orang suci
Hindu) jaman Veda. Merupakan sebuah geometri spesifik yang dipercaya
memiliki hubungan dengan beberapa medan energi alamiah. Itu digambarkan
sebagai sebuah tanda (+) yang memiliki lengan yang sama dengan ujung
mengarah ke kanan dan berputar searah jarum jam.
Berdasarkan sejumlah mantram Veda tersebut, Madhava Turumella (2013)
yang mengikuti pemikiran orang suci jaman Veda, mengkonstruksi Swastika
sebagai sebuah formulasi sakral, sebagai berikut ;
Gambar 2.1 Konstruksi Swastika Menurut Madhava Turumella (2013)
46
Jadi simbol Swastika merupakan simbol perlindungan dari Dewa Indra yang
menganugrahkan kekuatan, Pūṣan2 yang memberikan keselamatan, Tarkshya
3
memberikan kedamaian dan Brhaspati4
guru yang memberikan pengetahuan dan
kesejahteraan melalui pengetahuan. Simbol dalam tradisi Veda selalu
melambangkan kekuatan dari manifestasi Tuhan melalui Dewa tertentu sebagai
penguasa kekuatan. Sehingga Swastika merupakan simbol mistis religius yang
sangat dihormati dan diyakini memberikan perlindungan dan kebaikan.
Konstruksi simbol Swastika tersebut juga mengandung makna Swastika
sebagai lambang mistis sebagai simbol perlindungan dari Tuhan dan perputaran
masa seperti digambarkan berikut ini ;
.
2 Pūṣan dalam Veda merupakan Dewa yang menjaga energi, memberikan perlindungan
dan keselamatan dengan energi yang cukup.
3 Tarskhya merupakan burung Garuda wahana dari Dewa Vishnu
4 Brhaspati merupakan Guru dari para dewata.
Gambar 2.2 Perputaran konstelasi perbintangan menurut astrologi Veda yakni
Shrawan, Chitra, Pushya dan Revati
47
Perputaran ini merupakan perputaran musim dalam ilmu astrologi Veda.
Perputaran musim ini dianggap sangat penting untuk memberikan keberuntungan
dan perlindungan bagi segenap planet. Selanjutnya Knapp (2003) menyatakan
berdasarkan teks religius India, dijelaskan Swastika sebagai simbol dari tanah,
api, air, udara, langit, pikiran, emosi dan perasaan. Sedangkan empat lengan dari
Swastika melambangkan pada empat hal yang sangat penting. Representasi dari
empat yuga atau era yakni Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga, dan Kali
Yuga5.
Menggambarkan empat Varnas-Brahmana, Ksatria, Vaisya, dan Sudra6.
Swastika juga melambangkan empat tahapan hidup manusia- Brahmacāri (masa
menuntut ilmu), gṛhastha (berumah tangga), vānaprastha (melepaskan ikatan)
dan Sannyāsa (hidup sebagai pertapa). Empat lengan Swastika juga merupakan
simbol dari empat pencapaian dasar manusia yakni Dharma (kebajikan), artha
(kemakmuran), kama (keinginan), dan moksa (pembebasan). Swastika juga
melambangkan empat wajah Dewa Brahma dan empat Veda (Catur Veda),
Rgveda, Yajur Veda, Sama Veda dan Atharva Veda. Juga sebagai simbol empat
konstelasi perbintangan yakni Pushya, Chaitra, Shravan dan Revati.
Sejak jaman dahulu, orang-orang Hindu telah menggunakan Swastika
sebagai simbol keberuntungan dan berkah, sehingga simbol ini selalu digunakan
5 Satya Yuga siklus pertama dalam empat jaman/era dalam konsep perputaran catur yuga.
Treta Yuga merupakan siklus kedua dalam empat jaman/era dalam konsep perputaran
catur yuga . Dvapara Yuga adalah siklus ketiga dalam empat jaman/era dalam konsep
perputaran catur yuga . Kali Yuga adalah siklus keempat dalam empat jaman/era dalam
konsep perputaran catur yuga.
6 Dalam konsteks Varna ashrama Dharma (empat tatanan social dan tatanan spiritual
Veda) Brahmana adalah golongan pendeta, ksatria adalah golongan administrator negara
dan angkatan bersenjata, waisya adalah golongan pedagang, dan sudra adalah golongan
buruh atau pekerja.
48
dalam acara yang penuh kebahagiaan seperti pernikahan, Lakshmi Puja7
dan
berbagai kegiatan religius lainnya. Penggunaan Swastika pada pintu atau pada
dinding bangunan diyakini memiliki kekuatan proteksi untuk menghindari
pengaruh jahat yang dapat menganggu. Selain itu, Swastika juga digunakan
sebagai obyek pemujaan yakni simbol dari Dewa Ganesha.
Simbol sakral ini diyakini digunakan oleh seluruh umat Hindu di dunia
sebagai sebuah simbol yang suci dan mistis. Bahkan Swastika telah lama menjadi
simbol identitas Hindu, di mana dengan menggunakan simbol ini maka sebuah
tempat akan diketahui sebagai tempat pemujaan atau milik dari orang Hindu.
Umumnya orang-orang Hindu menggunakan Swastika dengan putaran ke kanan
atau arah jarum jam. Penggunaan putaran ke kiri biasanya digunakan dalam tradisi
Budha atau Tantra yakni pemujaan pada Shakti atau energi kosmis.
Mengenai simbol Swastika lainnya, Donder dan Wisarja (2011 : 111)
menyatakan bangunan Veda terdiri atas dua tumpuan kaki pengetahuan, yakni
pada kaki kanan pengetahuan paravidya (pengetahuan sakral) yang berisikan
sruti8 „spiritual‟ dan kaki kiri pengetahuan aparavidya berisikan smrti
9. Kedua
jenis pengetahuan ini merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisahkan.
Simbol Swastika dapat digunakan untuk memahami hakekat kedua jenis
pengatahuan ini, dengan empat kuadran yuga-nya plus empat kuadran
7 Upacara pemujaan terhadai Dewi Lakshmi, dewi yang menganugerahkan kekayaan dan
kesejahteraan.
8 Sruti menurut kodifikasi Veda adalah kitab-kitab utama dari Veda yang merupakan visi
langsung dari para maharsi penerima Veda. Yang termasuk kitab sruti adalah Rgveda,
Yajurveda, Samaveda dan Atharvaveda.
9 Smrti adalah kitab-kitab pelengkap, penjelas, lampiran atau kitab tafsir dari kitab Sruti
49
matematiknya, serta dua macam asumsi perputarannya dapat menjelaskan
bagaimana hubungan yang erat antara kedua pengetahuan ini. Melalui analisis
matematis dan spiritual terhadap simbol dan arah perputaran Swastika, perputaran
kuadran catur yuga dalam Swastika kearah kanan, yang searah dengan perputaran
jarum jam diasumsikan sebagai arah perputaran spiritual. Sedangkan arah
perputaran kekiri dari kuadran matematik merupakan simbol aktivitas sains.
Kerjasama antara sains dan spiritual dapat dilihat melalui gradien positif itu
diperoleh suatu titik yang ditarik membagi dua sama besar bidang kuadran IV
matematik (kuadran I dalam catur yuga), garis itu kemudian ditarik kebawah
dengan sudut 45o menuju dan membagi dua bagian yang sama besar bidang
kuadran II matematik (kuadran III dalam catur yuga).
Dvap. yuga
2400
Tahun Deva
III
Kaliyuga
1200
Tahun Deva
IV
Kertayuga
4800
Tahun Deva
I
Tretayuga
3600
Tahun Deva
II
Gambar 2.3 Konstruksi Swastika yang dikaitkan dengan Perputaran Yuga
(Donder, 2007)
50
Lebih lanjut dikatakan, melalui analisis tersebut diperoleh kesimpulan
bahwa dua jenis pengetahuan Veda yakni sains dan sakral sama pentingnya bagi
manusia. Sehingga simbol Swastika bagi Hindu tidak saja melambangkan
keberuntungan dan kebaikan tetapi juga menjelaskan pohon pengetahuan Veda
dalam arah ke kanan yang melambangkan pengetahuan spiritual dan ke kiri
melambangkan pengetahuan profan, yang keduanya perlu saling mendukung.
Dengan demikian simbol Swastika bagi tradisi, peradaban dan pengetahuan Hindu
sangat luas dan kuat mengakar serta telah digunakan oleh para Rsi sejak jaman
lampau.
2.3 Makna Swastika Bagi Nazi
Hakenkreuz atau Swastika merupakan lambang yang sulit dipisahkan
sebagai identitas Nazi Jerman. Swastika digunakan hampir disetiap tampilan Nazi
seperti pada bendera partai, emblem, lencana, dan berbagai benda-benda lainnya.
Penggunaan simbol ini berserta pemaknaannya dalam Nazi sendiri sangatlah
berkaitan dengan beberapa tokoh seperti Michael Zmigrodski, Heinrich
Schliemann, Josseph Gobbels, dan Adolf Hitler. Michael Zmigordski adalah
seorang Pustakawan Polandia, pemburu Swastika yang juga merupakan seorang
yang Anti-semitik, yang mengangkat dirinya sendiri untuk mempromosikan
Swastika sebagai heraldic device (alat yang berkaitan dengan ilmu perlambangan)
dari keluarga Aryo-Germanic. Dalam The Swastika; Constructing The Symbol,
Malcom Quinn (2005) mengatakan Zmigrodski memiliki kepercayaan bahwa
Leluhurnya (orang Indo-European) merupakan ras unggul;
51
He compared the Swastika to a fly trapped in amber, its unchanging
form representing the preservation of a racial essence over time, and
his declared aim was to prove that „in a very ancient epoch, our Indo-
European Ancestors Professed Social and Religious ideas more noble
and elevated than those of other races…. The Swastika was
recognised and cognitively „recovered‟ from all that it was not (many-
armed, contextually-coded, ornamenal, Semitic, etc.) and the chosen
emblem, like the chosen race, existed in a condition of „negative
visibility‟. (Quin: 2005, p.22).
Menurut Heidtmann (1991) Ketertarikan Zmigrodski akan „Aryan‟
Swastika didorong oleh penemuan objek-objek yang memiliki tampilan Swastika
di bukit Hissarlik, Turkey oleh seorang arkeologis, Heinrich Scliemann.
Schliemann mengaitkan simbol ini dengan simbol serupa yang ditemukan pada
sebuah guci kuno di Jerman, lalu berspekulasi bahwa Swastika merupakan sebuah
“simbol keagamaan yang signifikan dari leluhur jauh bangsa Jerman”.
Spekulasi ini tidak serta merta muncul. Kepercayaan Swastika sebagai
sebuah simbol kejayaan bangsa Jerman berdasar pada sebuah teori yang di
kemukakan oleh ilmuan penerjemah teks-teks India kuno, William Jones dan Max
Muller. Namun sebenarnya penggunaan nama Swastika bagi objek yang
ditemukan oleh Schliemann ini tidaklah di sambut baik oleh Max Muller, seorang
Peneliti Asiatik yang mencetuskan Teori Arya. Bahkan melalui sebuah surat, Max
Muller (yang kemudian di kutip oleh Schliemann dalam Ilios, 1880) memberi
peringatan pada Schliemann bahwa ia harus waspada terhadap kekeliruan
penafsiran kata „Swastika‟ dengan sebuah „gambar temuan‟ arkeologis:
I do not like the use of word Svastika outside India. It is a word of
Indian origin, has its history and definite meaning in India. I know the
temptation is great to transfer names, with which we are familiar, to
similar objects which come before us in the course of our researches.
But it is a temptation which the true student ought to resist, except, it
may be, for the sake of illustration. The mischief arising from the
52
promiscuous use of technical terms is very great (Schliemann, 1880,
p.346).
Penggunaan kata „Aryan‟ oleh Max Muller merujuk pada kelompok bahasa
Indo-European. Ia secara sangat sederhana mengatakan bahwa ia berbicara
mengenai bahasa, di mana menurut Muller bahasa dan ras adalah dua hal yang
sangat berbeda. Namun tanpa disadari Muller telah memberikan para Rasialis
Jerman sebuah kata dan sebuah konsep yang bisa mereka gunakan sebagai tempat
menggantungkan kefanatikkan mereka. Seperti yang diungkapkan Bishop dan
warner (2002) dalam German Insignia of World War II;
In 19th
century Europe the racial and political ideas which were to
shape much of the character of Nazi Germany were focused around
the confusion between the Indo-European languages and the so-called
Indo-European race…. „Aryan‟ came to mean nobility of blood,
incomparable beauty of form and mind, and a superior breed.
Swastika was a Sanskrit word, Sanskrit being the oldest of the Indo-
European Languages, and thereby acquired its „Aryan‟ racial
association (Bishop, 2002, p.115).
Namun bagi Schliemann (1880) Swastika tidak hanya merepresentasikan
bagian dari sebuah bahasa saja, melainkan keseluruhan cara berbicara (logat), dan
ras. Dari pemikiran inilah kemudian ia berusaha menciptakan hubungan antara
mitologi Veda dan mitologi Homeric yang ia harap bisa bersatu. Pada proses ini
Schliemann menginterpretasikan Swastika sebagai sebuah sistem isyarat
pembentukkan-diri (self-generating signalling system), sistem di mana simbol
menjadi sebuah alat pembentuk identitas seseorang. Gambaran sederhananya
swastika sebagai sistem isyarat pembentukan diri adalah, jika engkau orang Arya
kau akan mengenali dan menamai simbol itu sebagai Swastika, sementara jka kau
53
bukanlah orang Arya, engkau tidak akan melihat sesuatu itu sebagai sebuah „karya
dekoratif yang tergesa-gesa dan tanpa makna religius sama sekali‟.
Terlepas dari kebenaran akan keberadaan bangsa Arya serta superioritasnya,
bagi Foucault kebaruan Sosialisme Nasional yang dianut oleh Nazi memang
terletak pada caranya mengartikulasikan „pengagungan darah yang seperti
impian‟, pengagungan tanah air, serta kemenangan ras dengan cara yang sangat
sinis dan naïf (Foucault, 1997). Lebih lanjut lagi Foucault bahkan melihat bahwa
Nazisme menetapkan sejumlah intervensi permanen kedalam tingkah laku
individu di dalam populasi (bangsa Arya/masyarakat Jerman kala itu) dan
mengartikulasikannya dengan sebuah „perhatian mitos terhadap darah dan
kemenangan ras‟. Foucault mengindikasikan keadaan ini dengan permainan
gembala-jemaat dan permainan kota-warga yang kemudian dirubah menjadi
penggolongan eugenis (genetika) terhadap keberadaan biologis yang kemudian
diartikulasikan melalui tema-tema kemurnian darah serta mitos tanah air.
Simbolika „darah mulai menghendaki mandi-darah‟ yang digunakan oleh
Foucault (1997) dalam Il faut defender la société merujuk kepada pernyataan
bahwa tindakan merampas hak untuk hidup dari ras-ras lain selain ras Arya
merupakan hal yang perlu untuk dilakukan demi terpeliharanya kehidupan ras
Arya yang superior. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa dalam mencapai
tujuan akhirnya yaitu superioritas bangsa Arya, Nazi membentuk „solusi terakhir‟
bagi bangsa-bangsa selain bangsa Arya, yaitu mati di tangan Jerman. Melalui
genosida terhadap kaum Yahudi Nazi melihat bangsa lain selain Bangsa Arya
sebagai lebensunwertes Leben (tidak pantas hidup).
54
Teoritisi Strukturalis mengatakan bahwa makna dari sebuah simbol tidaklah
stabil bahkan selalu berada dalam proses. Derrida (1972) mengatakan bahwa
pemaknaan dari sebuah simbol selalu tidak pasti dan tidak stabil. Sebuah simbol
atau signifier (petanda) tidak selalu merujuk pada satu penanda (signified) saja,
melainkan dapat mengacu pada berbagai penanda (signified) lainnya atau
penafsiran lainnya. Bahkan lebih ekstrem lagi Foucault (1995) dengan tegas
mengatakan bahwa makna dari sebuah simbol tak hanya selalu berubah namun
bisa dibentuk dan diatur oleh sebuah rezim melalui relasi power. Keberadaan
bahwa pemaknaan sebuah simbol selalu berubah tergantung dengan rezim
kebenaran tiap zaman yang berbeda inilah yang terjadi pada simbol Swastika.
Simbol (petanda) Swastika bagi Nazi tidak merujuk pada makna (penanda)
kemakmuran dan kesejahteraan dan simbol sakral seperti pemaknaan simbol ini
pada sebagian besar masyarakat yang menggunakannya, utamanya masyarakat
Hindu, melainkan meloncat pada pemaknaan (penanda) lain menurut Nazi yaitu
sebagai lambang superioritas bangsa Arya.
Hitler menganggap Swastika sebagai sebuah simbol atas superioritas
bangsanya (ras Jerman, bangsa Arya) seperti yang ia kemukakan dalam bukunya
berjudul Mein Kampf (1992) :
in the Swastika [we see] the mission of the struggle for victory of the
Aryan Man, and, by the same token… the idea of creative work, which
as such always has been and always will be anti-Semitic (Hitler, 1992,
p/452)
Seperti yang dijelaskan oleh Quinn (2005) bahwa dalam usahanya
membentuk citra Swastika sebagai sebuah simbol dari “Kemenangan bagi Bangsa
Arya,” Hitler telah mendeskripsikan sebuah alat yang menjelaskan mengenai
55
perlambangan (heraldic device) yang mengumumkan sebuah ketiadaan rujukan,
simbol dari sebuah kejadian yang bahkan belum pernah terjadi. Swastika memang
„berdiri untuk‟ partai Nazi; namun partai ini pun seolah memfasilitasi „misi‟ yang
di labelkan Hitler padanya, yaitu mempersatukan gambaran orang-orang yang
membenci suku bangsa lain (merujuk pada bangsa anti-Semitik) dengan sebuah
identitas rasial Arya.
Sejarahwan Francis King (1976) berpendapat mengenai permulaan
penggunaan dan makna dari Swastika pada bendera partai Nasional-Sosialis.
Hitler awalnya sempat meminta beberapa desain bendera baru partainya pada
anggota-anggota partai Nazi, kemudian dia memilih desain yang dibuat oleh Dr.
Friedrich Krohn, seorang dokter gigi dari Stanberg yang juga merupakan anggota
aktif dari Thule-Gesellschaft (semacam perkumpulan elit di Jerman). Dalam
bukunya, Satan and Swastika: The Occult and the Nazi Party (1976) Francis King
mengatakan:
The one finally adopted...was designed by Dr. Friedrich Krohn, a
dentist from Sternberg... Krohn's design, the Swastika on a white disk
against a red background, was intended to symbolize the ideology of
the movement - in red its social ideal, in white its nationalism, and in
the Swastika "the struggle for the victory of Aryan man". But Krohn's
flag featured a right-handed Swastika, traditional symbol of good
fortune, spiritual evalution and the triumph of spirit over matter.
Hitler insisted on it being replaced by the left-handed Swastika,
regarded by occultists as the equivalent of a reversed crucifix, an
evocation of evil, spiritual devolution and black magic! (King, 1976,
p. 117).
Namun disisi lain pendapat dari Kings bahwa Hitler sengaja memilih untuk
membalikkan bentuk Swastika yang diajukan oleh Krohn agar merujuk pada
kejahatan dan ilmu hitam ketimbang keberuntungan, tidak sepenuhnya dapat
56
diterima oleh para sarjana. Ide pembalikan Swastika ini ditentang oleh seorang
Jurnalis, Ken Anderson sebagaimana ditulis oleh Nicholas Goodrick-Clarke
dalam bukunya The Occult Roots of Nazism (1985). Anderson mengemukakan
dua alasan penentangannya, yaitu:
Firstly we must remember that Hitler himself had very little time for
occult mumbo-jumbo, and was certainly not the practicing black
magician many occultist claim him to have been; and secondly, the
idea that Hitler Considered himself „evil‟ (as he would have had to
have done in order to take the step of reversing a positive symbol to a
negative one), or that evil was an attractive concept for him is
ridiculous (Goodrick-Clarke 1985 p.108).
Sebagai lambang yang paling sering muncul selama kependudukan Nazi di
Eropa, Nazi sendiri sadar akan kemungkinan komersialisasi bentuk Swastika di
Eropa saat itu, utamanya di daerah yang ia kuasai. Bentuk Swastika digunakan di
berbagai produk untuk menambah omset penjualannya. Saat itulah untuk
membendung hal tersebut Jossef Goebles, mengeluarkan peraturan yang mengatur
penggunaan Swastika. Peraturan itu mengatur pelarangan penggunaan Swastika
pada benda-benda yang bisa saja mengurangi nilai keagungan Swastika itu
sendiri. misalnya penempatan Swastika pada bola mainan anak-anak, yang pada
nantinya akan ditendang.
Foucault (1995) mengatakan bahwa pemberian makna tidak dapat
dilepaskan dari power si pembuat makna serta alat yang digunakannya. Seberapa
besar power yang dimiliki untuk kemudian menciptakan sebuah wacana, seberapa
kuat rekonstruksi makna sebuah simbol dapat disebarluaskan menentukan
seberapa besar dampak dari wacana dan rekonstruksi makna tersebut. Langkah
yang dilakukan Jossef Goebles merujuk pada pembuatan dominan discourse
57
(wacana dominan) bahwa Swastika adalah lambang kebanggaan, simbol pride,
superioritas bangsa Arya, sehingga tempat di mana simbol itu ditempatkan
haruslah juga menjaga pemaknaan lambang ini sesuai dengan yang diinginkan
oleh rezim Nazi.
Nazi menempatkan Swastika sebagai sebuah simbol yang sangat
dihormati, sebuah simbol kebanggaan, simbol kejayaan dan superioritas bangsa
Arya. Sebuah simbol yang melekat pada hampir seluruh cinderamata, lencana
penghargaan, bendera dan berbagai pernak-pernik Nazi.
2.3.1 Teori Arya sebagai Dasar Penggunaan Swastika bagi Nazi
Teori Arya merupakan salah satu dasar rujukan akan bangkitnya
superioritas bangsa Jerman, dibawah Third Reich. Third Reich
mempercayai dan menganggap diri mereka, bangsa Jerman adalah
keturunan dari ras Arya, ras yang kuat, yang menaklukkan berbagai
daerah dan melahirkan kebudayaan lebih tinggi di setiap tempat yang
ditaklukkannya. Ras Arya yang menaklukkan daerah India kuno dan
melahirkan kebudayaan Veda di tanah India.
Teori invasi Arya merupakan teori yang sangat populer di
Indonesia. Bahkan beberapa tahun yang lalu diajarkan sebagai sebuah
materi resmi pada pelajaran agama Hindu sebelum akhirnya
dihilangkan. Teori invasi Arya itu sangat terkait dengan sejarah
keberadaan agama Hindu dan Veda di India. Sujarweni (2012 : 15)
menguraikan teori ras Arya ini sebagaimana standar teori yang
diketahui secara luas di publik bahwa agama Hindu pertama dianut
58
oleh bangsa Arya, yaitu suku bangsa yang berasal dari Indo Jerman.
Bangsa ini merupakan bangsa atau ras yang unggul di bidang sastra
dan kebudayaan. Mereka mempunyai ciri fisik kulit putih, badan
tinggi, dan hidung mancung. Menurut artikel-artikel peradaban dunia,
bangsa Arya merupakan salah satu bangsa tertua di dunia. Dalam
perkembangan peradaban, bangsa Arya melakukan migrasi ke India,
tepatnya di Mahenjodaro dan Harappa, mereka datang secara
bergelombang. Kala itu, suku bangsa asli penghuni Mahenjodaro dan
Harappa adalah suku bangsa Dravida. Ciri masyarakat Dravida adalah
berbahasa Dravida, berhidung pesek, bibir tebal, kulit hitam dan
kebudayaanya lebih rendah daripada bangsa Arya.
Kedatangan bangsa Arya di India telah memberi pengaruh besar
dalam sejarah perkembangan bangsa India. Bangsa Dravida yang
sebelumnya telah menempati India memberi tiga reaksi atas
kedatangan bangsa Arya. Kelompok pertama ialah mereka yang
menolak kedatangan bangsa Arya dengan melakukan perlawanan
sampai mati. Kelompok kedua adalah mereka yang akhirnya
menyingkir ke daerah selatan. Sedangkan, kelompok ketiga
melakukan asimilasi dengan bangsa Arya, yang kemudian melahirkan
budaya baru. Kebudayaan yang dihasilkan atas asimilasi tersebut
dikenal sebagai kebudayaan Indo-Arya. Bangsa Arya mempunyai
kepercayaan terhadap banyak dewa, sedangkan bangsa Dravida
mempunyai kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang. Perpaduan
59
kedua bangsa ini melahirkan berbagai budaya, seperti bahasa
sansekerta, upacara keagamaan dan hal-hal sakral lainnya. Selain itu,
perpaduan ini ditandai dengan kemunculan dan berkembangnya
agama Hindu yang menjadi agama terbesar di India sekarang. Tulisan
Sujarweni tersebut merupakan tulisan standar yang masih dijumpai
dalam buku-buku teks sejumlah pelajaran di Indonesia.
Teori ini jelas menegaskan bahwa lahirnya agama Hindu,
lahirnya Bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa Veda atas jasa
kedatangan bangsa luar yang berkebudayaan tinggi, sementara ras
India dianggap berkebudayaan lebih rendah. Dalam beberapa puluh
tahun belakangan, para ahli baik di Timur (India) dan Barat
melakukan riset mempertanyakan keberadaan teori tersebut.
Teori penyerangan Arya atau Aryan Theory sesungguhnya sudah
dinyatakan gugur baik oleh ilmuwan India maupun Barat yang dalam
beberapa puluh tahun melakukan penelitian komprehensif seperti
melibatkan teks otentik Veda, geologis, arkeologis, genetik,
biomolekuler maupun keotentikan sejarah India. Dr. David Frawley
peneliti terkenal tentang teks India kuno dari American Institute Of
Vedic Studies adalah orang yang dikenal berhasil merobohkan teori
Arya (The Aryan Theory), melalui sejumlah pertemuan ilmiah,
publikasi ilmiah, esai dan sejumlah buku-buku yang menolak
keberadaan teori Arya.
60
Swami Prakashananda Saraswati (2003) dalam bukunya The
True History and The Religion of India : A Concise Encyclopedia of
Authentic Hinduisme, mengulas dengan tegas dan jelas bagaimana
cara kerja para peneliti bayaran di Asiatic Researcher
mengkonstruksi The Aryan Theory dengan tujuan spekulasi
keberadaan ras Asia Tengah. Saraswati (2003 : 245) menyatakan
skema dari awal direncanakan oleh Dr. William Jones yang diangkat
sebagai presiden Asiatic Society Bengal (Calcuta) tahun 1822. Jones
menyampaikan gagasan awal bahwa bahasa Sansekerta (bahasa
Veda) merupakan bahasa luar yang menghasilkan spekulasi
imajinasi dari keberadaan beberapa ras Asia Tengah yang berbicara
bahasa Sanskrit dan membawa bahasa Sanskrit ke India saat mereka
masuk ke India. Kisah penyerangan ini dibesar-besarkan oleh
ilmuwan Max Muller sebagai sebuah teori standar di kalangan
akademik.
Salah satu fakta yang ditulis oleh Saraswati adalah dalam
Manusmrti mendeskripsikan bahwa lokasi yang sesungguhnya dari
Aryavarta yakni sebelah Selatan Himalaya dan semua jalan menuju
Samudra India. Para penduduknya disebut Arya. Wilayah teritorial
dari Aryavarta dalam perang Mahabharata (3139 SM) sampai Iran.
Bukti lain menunjukkan, di dalam sejarah Bhartiya (India) ada
deksripsi penyerangan Shaka dan Hun, juga penyerangan Muslim,
akan tetapi tidak ditemukan dalam teks manapun atau catatan otentik
61
mengenai penyerangan Arya. Tentang kepalsuan teori ini juga
diungkapkan oleh Stephen Knapp dalam bukunya The Universal Path
to Enlightenment- The Eastern Answers to the Mysteries of Life
(1992). Diungkapkan Knapp (1992) bahwa teori Arya tidak memiliki
dasar-dasar yang kuat dan bukti-bukti apapun. Disebutkan sejumlah
ahli sejarah juga menggugurkan teori ini karena tidak didukung oleh
bukti ilmiah. Bahkan Sir John Marshal pimpinan penggalian situs
Mahenjo-Daro membuktikan peradaban yang ditemukan justru
merupakan agama Veda yang keberadaanya sangat jauh dari teori
kedatangan Arya yang diajukan oleh orang-orang Asiatic Researcher.
Lebih lanjut dikatakan, dalam teks-teks Veda, yang dimaksud
dengan kata Arya adalah orang beradab yang lebih menunjukkan pada
golongan ksatria yang melindungi peradaban dan menganut ajaran
Veda, bukan ras pendatang yang masuk ke India. Dalam sejumlah
publikasi juga disampaikan keunggulan ras Arya sebagai ras tertua,
berkebudayaan tinggi, ahli dalam literatur dan superioritas lainnya.
Adolf Hitler mempercayai teori keunggulan ras ini dan menganggap
dirinya sebagai orang Arya. Simbol Swastika digunakan sebagai
simbol superioritas ras Arya yang dianggap sebagai ras terunggul di
dunia. Hitler menganut teori fiksi tentang ras Arya dan menegakkan
superioritas Arya dibawah naungan simbol Swastika.
62
2.4 Makna Swastika Pasca Fasisme Nazi
Kuatnya penggunaan simbol Swastika oleh Nazi membuat lambang ini di
sejumlah benua lebih dikenal sebagai lambang Nazi dibanding sebagai simbol
sakral dalam peradaban Hindu. Penggunaan simbol Swastika oleh Nazi sebagai
lambang utama yang selalu ada disetiap kegiatannya berakibat pada kemelekatan
Swastika sebagai identitas Nazi di setiap tempat yang pernah diduduki.
Masyarakat yang mengalami tindakan kekerasan selama rezim Nazi pun
kemudian mengasosiasikan bentuk Swastika sebagai identitas Nazi.
Pengasosiasian ini berujung pada pemikiran mereka mengenai simbol Swastika
sebagai simbol kekerasan dan kejahatan. Seperti yang dikatakan oleh seorang
holocaust-survivor, Freddie Knoller, 93 tahun, dalam sebuah artikel yang di
terbitkan oleh BBC pada 23 Oktober 2014 (news.bbc.com),
For the Jewish people the Swastika is a symbol of fear, of suppression,
and of extermination. It‟s a symbol that we will never ever be able to
change. …. if they put the Swastika on gravestones or synagogues, it
puts a fear into us. Surely it shouldn‟t happen again….. For the
people who went through the Holocaust, we will always remember
what the Swastika was like in our life - a symbol of pure evil.
Luka psikis ini berdampak langsung pada simbol Swastika. Pasca
keruntuhan rezim Nazi segala bentuk simbol yang berkaitan dengan Nazi
termasuk Swastika dilarang ditampilkan di arena publik pada beberapa negara,
termasuk di Jerman sendiri, tempat di mana pada rezim Nazi Swastika pernah
dicintai dan diagung-agungkan.
Penempatan Hakenkreuz atau Swastika di tempat-tempat publik (kecuali
untuk alasan ilmiah) di Jerman dan Austria merupakan tindakan ilegal. Semenjak
tahun 1947 lambang Swastika Nazi (Hakenkreuz) sudah dilarang di Austria.
63
Meskipun demikian peraturan Austria tidak memberlakukan pelarangan pada
simbol Swastika yang sudah ada sebelum tahun 1947. Sekitar 500.000 batu nisan
di Austria yang mayoritasnya merupakan makam para tentara Nazi saat mereka
menganeksasi Austria, masih memiliki simbol Hakenkreuz di atasnya karena
peratuan pengecualian itu (www.foxnews.com). Pelarangan terhadap simbol
Swastika Nazi di Austria merupakan sebuah respon atas sejarah hitam aneksasi
Jerman atas Austria pada tahun 1938.
Hungarian Criminal Code pasal 269 juga menetapkan pelarangan atas
tindakan yang menampilkan simbol totaliter termasuk Swastika di ruang publik.
Penggunaan Swastika hanya diperbolehkan jika terkait dengan alasan pendidikan,
kesenian, ataupun jurnalistik (www.bpsz.hu). Sementara itu tahun 2008 Parlemen
Lithuania menetapkan bahwa tampilan publik dari simbol Nazi, termasuk
Swastika merupakan pelanggaran administratif dengan hukuman denda Lt. 500 -
1000 Lithuania. Sedangkan di Polandia tampilan publik dari simbol Nazi
termasuk Swastika merupakan tindak pidana yang diancam hukuman hingga
delapan tahun penjara (Day, 2009). Sebagian besar negara yang pernah
mengalami kekejaman langsung Rezim Fasisme Jerman ini mengalami semacam
ketakutan yang berlebihan (fobia) terhadap lambang yang menjadi ciri khas Nazi
yaitu Swastika atau Hakenkreuz.
Pada tahun 2005 foto Pangeran Harry dari Inggris yang menggunakan
sebuah emblem di lengannya dengan lambang Hakenkreuz atau Swastika Nazi
dalam sebuah pesta kostum menjadi headline diberbagai surat kabar dan majalah
seluruh dunia. Kejadian ini memicu kemarahan politisi konservatif di Jerman yang
64
kemudian mengusulkan pelarangan Swastika di seluruh Eropa pada EU‟s Justice
and home affairs commissioner. Kelompok Liberal dalam parlemen EU
berargumen bahwa seluruh Eropa menderita karena kejahatan dari Nazi sehingga
merupakan sebuah keharusan untuk melakukan pelarangan simbol Swastika ini
diseluruh benua Eropa. Seperti statement wakil presiden kelompok Liberal,
Silvana Koch-Merin yang dikutip dalam berita BBC pada 17 januari 2005, “All of
Europe has suffered in the past because of the crimes of the Nazis, therefore it
would be logical for Nazi symbols to be banned all over Europe
(news.bbc.co.uk)”.
Dengan reaksi ini, Swastika lebih dikenal sebagai simbol Nazi yang
dianggap mewakili simbol kekejaman sehingga penggunaan simbol ini pada
sebuah pesta kostum oleh Pangen Harry telah menyulut reaksi dan
diwacanakannya pelarangan Swastika di seluruh benua Eropa yang dianggap telah
menderita oleh kekejaman rezim Nazi.