9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Nyeri Leher
2.1.1 Definisi
Secara umum, nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan, persepsi seseorang ditentukan oleh pengalaman dan status emosional.
Persepsi nyeri bersifat pribadi dan subyektif. Oleh karna itu tiap orang berbeda dalam
merasakan nyeri (Zakiyah, 2015). Asosiasi Internasional untuk penelitian Nyeri
(International Association For The Study of Pain, IASP) sebagaimana dikutip dalam Kumar
& Elavarasi (2016), mendefinisikan nyeri sebagai Pengalaman sensoris dan emosional
yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial.
Nyeri leher sendiri memiliki arti yakni nyeri yang dirasakan pada bagian atas
tulang belakang. Ini merupakan tanda bahwa sendi, otot, atau bagian lain dari leher
terluka, tegang, atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya (Huldani, 2013). Nyeri leher
merupakan nyeri yang muncul pada daerah yang dibatasi oleh garis nuchae pada bagian
atas, garis imajiner transversal melalui ujung processus spinosus thorakal 1 pada bagian
bawah, dan pada bagian samping oleh margo lateralis leher (Kudsi, 2015).
2.1.2 Klasifikasi nyeri
Menurut Mubarak, Iqbal, & Chayatin, (2009) nyeri dapat diklasifikasikan
menjadi 2 yakni :
1. Nyeri Akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang bersifat sementara, mendadak dan area nyeri
yang teridentifikasi. Gejala nyeri muncul seperti berkeringat, pucat, peningkatan
tekanan darah, nadi dan pernafasan, dilatasi pupil, kekejangan otot, serta
10
kecemasan. Semua itu merupakan manifestasi dari adanya penyakit atau
kerusakan.
2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang berlangsung lebih dari 6 bulan, lokasi nyeri
tidak teridentifikasi, sulit dihilangkan dan tidak ada perubahan pada tanda-tanda
vital tubuh. Merupakan manifestasi adanya penyakit kronis.
2.1.3 Mekanisme terjadinya nyeri
Menurut Andarmoyo, (2013) mekanisme nyeri dapat terjadi melalui lima tahap
yaitu:
1. Stimulus
Persepsi nyeri diantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor,
pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat.
Reseptor khusus tersebut dinamakan nonciceptor. Nonciceptor tersebar dalam
lapisan suferficial kulit dan juga dalam jaringan tertentu, seperti periosteum,
dinding arteri, permukaan sendi serta falls dan tentorium serebri. Terdapat tiga
kategori reseptor nyeri, yaitu nonsiseptor mekanis yang dapat merespon
terhadap kerusakan mekanis, misalnya tusukan, benturan, atau cubitan;
nonsiseptor termal yang dapat merespons kerusakan terhadap suhu yang
berlebihan terutama panas; nonsiseptor polimedal misalnya iritasi zat kimia dan
kerusakan jaringan
2. Tranduksi
Tranduksi merupakan proses ketika suatu stimulasi nyeri diubah menjadi suatu
aktivitas listrik yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf. Terjadi perubahan
patofisiologi karena mediator-mediator kimia seperti prostaglandin, histamine,
dan serotonin. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer, yaitu menurunnya
11
nilai ambang rangsang noniseptor karena pengaruh mediator-mediator tersebut
diatas dan penurunan PH jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena
rangsangan seperti rabaan.
3. Transmisi
Transmisi merupakan proses penerusan impuls nyeri dari nociceftor saraf perifer
melewati cornu dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri. Tranmisi
nyeri terjadi melalui serabut saraf aferen yang terdiri daridua macam yaitu serabut
A yang peka terhadap nyeri tajam dan panas disebut juga dengan first pain/fast
pain dan serabut C yang peka terdap nyeri tumpul dan lama disebut juga dengan
second pain/slow pain. Ada beberapa zat kimia yang dapat meningkatkan transmisi
atau persepsi nyeri meliputi histamine, bradikinin, asetilkolin, dan substansi P.
Prostaglandin. Histamin dan bradikinin memiliki efek vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga merangsang nonciceptor.
4. Modulasi
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh system saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui sistem
analgesia endogen yang melibatkan bermacam-macam neurotransmitter antara
lain endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis.
5. Persepsi
Persepsi adalah hasil rekontruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri yang
diterima. Persepsi merupakan hasil dari interaksi proses tranduksi, transmisi,
modulasi yang menghasilkan suatu perasaan subyektif yakni nyeri. Faktor
psikologis dan kognitif akan bereaksi dengan faktor neurofisiologis dalam
mempersepsikan nyeri, sehingga adanya reaksi atau respon nyeri.
12
2.1.4 Anatomi Fungsional Vertebra
Tulang belakang terdiri dari 33 tulang punggung yang disusun satu sama lain
seperti pada gambar 2.1 (Yunus, 2015) . Tulang belakang ini memberikan dukungan
utama untuk tubuh, memungkinkan untuk berdiri tegak, membungkuk, dan memutar,
sekaligus melindungi sumsum tulang belakang dari cedera. Tulang dan otot yang kuat,
tendon dan ligamen fleksibel, dan saraf sensitif berkontribusi pada tulang belakang.
Namun, jika salah satu struktur ini dipengaruhi oleh ketegangan, cedera, atau penyakit
dapat menyebabkan rasa sakit dan rasa nyeri. Tulang belakang diberi nomor dan dibagi
menjadi beberapa bagian yakni, serviks, toraks, lumbal, sakrum, dan coccyc (Tonya,
2016).
Gambar 2. 1 Tulang belakang (Vertebra) (Yunus, 2015)
13
Tulang belakang cervical memiliki tujuh vertebra, yang dapat dibagi menjadi
dua kelompok yang berbeda secara anatomis dan fungsional: pasangan atas (C1 dan
C2, atlas dan sumbu) dan lima lebih rendah (C3-C7) sesuai dengan gambar 2.2 (Crock,
2013).
Vertebra C1 cervical disebut juga dengan atlas karena merupakan vertebrae
yang menopang tulang tengkorak. Atlas memiliki dua arkus yang berada pada sisi
anterior dan posterior sehingga tidak memiliki processus spinosus. C2 cervical disebut
juga dengan axis. C2 memiliki corpus vertebrae. Processus odontoid berjalan ke arah
superior melewati bagian anterior foramen vertebrae dari atlas sehingga terbentuk
sendi pivot. Hal tersebut memungkinkan kita untuk memutar kepala kearah kanan dan
kiri. Sendi pivot tersebut disebut sebagai sendi atlanto-axial. C3-C6 berbentuk seperti
vertebrae pada umumnya. C7 disebut juga sebagai vertebrae prominens karena
memiliki processus spinosus yang besar sehingga dapat terlihat dan teraba pada pangkal
leher (Yunus, 2015).
Gambar 2. 2 Regio cervical (Crock, 2013)
14
2.1.5 Otot leher
Terdapat tiga jenis otot pada manusia, yakni otot rangka (otot lurik), otot polos,
dan otot jantung. Otot lurik merupakan otot yang melekat pada tulang rangka, dimana
otot lurik dapat menggerakkan tulang melalui proses relaksasi (memanjang) dan
kontraksi (memendek). Otot polos merupakan otot yang terdapat pada organ-organ
dalam, misalnya pada usus, pembuluh darah, saluran kelamin, dan dinding rahim. Otot
jantung (miokardium) merupakan otot yang hanya dijumpai pada jantung dan bersifat
otonom atau bergerak secara tidak sadar (Iranto, 2013).
Ketiga otot diatas bekerja dengan cara berkontraksi dan berelaksasi. Bagian
otot yang berkontraksi adalah sel-sel otot. Pada struktur otot terlihat adanya filamen
protein, yaitu aktin (filamen tipis) dan miosin ( filamen tebal). Rangsangan yang sampai
ke sel otot akan mempengaruhi asetilkolin yang peka terhadap rangsangan. Asetilkolin
merupakan neurotransmitter, yakni zat kimia yang dapat menanggapi suatu
rangsangan. Asetilkolin yang lepas akan membebaskan ion kalsium yang berada pada
sel otot. ion kalsium ini masuk kedalam otot dengan membawa troponin dan
tropomiosin ke aktin sehingga terjadi perubahan posisi aktin dan mempengaruhi
filamen penghubung. Lalu aktin bergerak kearah miosin sehingga aktin dan miosin
menempel dan membentuk akyomiosin. Akibatnya serabut otot menjadi lebih pendek
(berkontraksi). Setelah itu, ion kalsium kembali ke plasma sel sehinggan ikatan troponin
dan ion kalsium lepas, menyebabkan lepasnya perlekatan aktin dan miosin. Pada
kondisi tersebut otot melakukan relaksasi (Nugroho, 2018).
Otot – otot penggerak pada regio vertebra cervical antara lain m. longus colli,
m. longus capitis, m. rectus capitis anterior, m. sternocledomastoid, m. scalenus
anterior (untuk gerak flexi neck ), m. erector spine, m. rectus capitis lateralis, m.
scalenes splenius cervicis, m. splenius capitis, m. trapezius, m. levator scapula, m.
15
sternocledomastoid, (untuk gerak lateral fleksi neck), m. levator scapula, m. spelenius
cervicis, m. trapezius, m. spelenus capitis, m. semispinalis, m. superior oblique, m.
sternocledomastoid, m. erector spine, m. rectus capitis posterior major dan minor
(untuk gerakan extensi neck), m. semispinalis, m. multifidus, m. scalenus anterior, m.
spelenius cervicis, m. sternocledomastoid, m. spelenus capitis, m. rectus capitis
posterior major, m. inferior oblique (untuk gerakan rotasi neck) (Sifaunnajwah, 2015).
Titik nyeri 84% terjadi pada otot upper trapezius, levator scapula, infra spinatus,
scalenus. Otot upper trapezius merupakan salah satu otot yang berperan sebagai fiksator
leher dan sebagai fiksator skapula ketika lengan beraktivitas, maka kesalahan postur
berupaya forward head akan menyebabkan kerja statis yang terus menerus pada saat
aktifitas dalam posisi duduk atau berdiri (Saputri, 2016).
Otot levator scapula merupakan otot tipe tonik yang bekerja secara konstan
bersama-sama dengan otot-otot aksioskapular lain memfiksasi dan menstabilisasi
skapula dan leher termasuk mempertahankan postur kepala yang cenderung jatuh ke
depan karena kekuatan gravitasi dan berat kepala itu sendiri. Kerja otot ini akan
meningkat pada kondisi tertentu seperti adanya postur yang tidak bagus, body mekanic
yang jelek, ergonomi kerja yang jelek, trauma atau strain kronis. Jika terlalu lama dalam
posisi static maka beban otot levator scapula akan lebih berat dan akan memunculkan
nyeri (Setyowati, 2017).
Otot scalenus dan otot sternicleidomastoideus pada leher adalah otot
pembantu inspirasi yang membantu menaikkan rongga toraks selama pernapasan
dalam. Otot infra spinatus merupakan otot yang berpangkal di lekuk sebelah bawah
scapula dan menuju ke tulang pangkal lengan dan berfungsi untuk memutar lengan
keluar (Nugroho, 2018).
16
2.1.6 Etiologi
Nyeri leher dpat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya trauma, kesalahan
postural, penyakit degeneratif. trauma dapat menyebabkan whiplash injury, kecelakaan
akibat kerja mengakibatkan timbulnya nyeri pada leher. nyeri leher dapat disebabkan
oleh kebiasaan sikap postural posisi yang salah dan dilakukan terus menerus, seperti
kebiasaan tidur menggunakan bantal yang lebih tinggi, menggerakkan leher secara tiba-
tiba. penyakit degeneratif juga dapat menyebabkan nyeri leher. seiring bertambahnya
usia sistem metabolisme, kekuatan otot, kekuatan tulang, kekuatan sendi juga
mengalami penurunan sehingga meningkatkan resiko terjadinya nyeri leher (Prayoga,
2014).
Menurut Ryan, (2013) nyeri leher disebabkan oleh herniated disc dan stenosis,
dimana Pusat spinal disc yang menyerupai gel dapat membengkak atau pecah lalu
menekan saraf sehingga menyebabkan nyeri leher dan pada kasus stenosis terjadi
penyempitan kanal tulang di tulang belakang dapat menekan saraf, menyebabkan
pembengkakan sehingga nyeri leher muncul.
2.1.7 Patofisiologi
Nyeri leher dapat terjadi oleh berbagai faktor, mulai dari posture yang buruk
sampai stress mekanik. Nyeri pada otot dapat terjadi akibat tersensitisasinya free nerve
ending di otot. Proses nyeri pada otot terjadi akibat proses kimiawi maupun mekanik
karena free nerve ending bekerja sebagai unit nonsiseptor mekanis dan nonsiseptor
polimedal. Nyeri akibat proses kimiawi dapat terjadi karena kelelahan, trauma, dan
iskemia pada otot. Kelelahan otot akan memicu metabolisme anaerobik yang akhirnya
akan mengakibatkan akumulasi metabolit pada otot yang kemudian akan merangsang
nonsiseptor polimedal sedangkan trauma dan iskemia akan melepaskan mediator
seperti bradykinin, histamine, serotonin, dan natrium yang kemudian akan merangsang
17
nonsiseptor polimedal. Proses mekanik yang memicu nyeri dapat berakibat dari
peregangan ataupun tekanan pada otot sehingga merangsang nonsiseptor mekanis
(Yunus, 2015).
Postur tubuh yang kurang baik, bodimekanik yang kurang baik, ergonomi kerja
yang kurang baik, trauma atau strain kronis. Keadaan ini beresiko untuk terjadinya
gangguan pada jaringan otot. Sebagaimana diketahui pada jaringan otot yang normal
terdapat keseimbangan antara kontraksi dan relaksasi. Namun bila otot meneriman
faktor yang memperberat kerjanya seperti yang telah disebutkan di atas maka
keseimbangan antara kontraksi dan relaksasi tidak dapat dipertahankan. Akibatnya
jaringan otot mengalami ketegangan atau kontraksi terus menerus sehingga akan
menimbulkan stress mekanis pada jaringan otot dalam waktu yang lama sehingga akan
menstimulasi nosiseptor yang ada di dalam otot dan tendon. Makin sering dan kuat
nosiseptor tersebut terstimulasi, makin kuat aktifitas reflek ketegangan terhadap otot
tersebut. Hal ini akan meningkatkan nyeri, sehingga menimbulkan keadaan “vicious
circle” (Andarmoyo, 2013).
Keadaan “vicious circle” akan mengakibatkan iskemia lokal sebagai akibat dari
kontraksi otot yang kuat dan terus-menerus atau mikrosirkulasi yang tidak adekuat
sehingga jaringan ini akan mengalami kekurangan nutrisi dan oksigen serta
menumpuknya zat-zat sisa metabolisme. Keadaan ini akan merangsang ujung-ujung
saraf tepi nosiseptif tipe C untuk melepaskan suatu neuropeptida yaitu subtansi P.
Dengan dilepaskannya substansi P akan membebaskan prostaglandin dan diikuti juga
dengan pembebasan bradikinin, histamin, serotonin, yang merupakan noxious atau
chemical stimuli yang dapat menimbulkan nyeri leher (Setyowati, 2017).
18
2.1.8 Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang muncul pada kasus nyeri leher menurut (Prayoga,
2014) meliputi:
1. Spasme otot
Spasme otot merupakan kontraksi involunter pada otot meliputi kram dan
kontraktur. Spasme otot terjadi pada otot-otot leher, scapula, dan pundak pada m.
sternocleidomastoideus, m. levator scapulae, m. ekstensor leher, m. upper
trapezius, m. rhomboideus major, m. rhomboideus minor, dan otot-otot lainnya.
2. Keterbatasan gerak
Adanya keterbatasan gerak pada leher yang meliputi gerak fleksi, ekstensi, rotasi
kanan, rotasi kiri, lateral fleksi kanan, dan lateral fleksi kiri baik gerak aktif maupun
pasif.
3. Gangguan postural
Gangguan postural sebagai gerakan kompensasi untuk menghindari rasa nyeri,
misalnya bahu menjadi asimetris atau tidak tegak.
2.1.9 Pengukuran Nyeri
Menurut (Khoirunnisa & Novitasari, 2015). Intensitas nyeri dapat ditentukan
dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan wawancara kepada pasien tentang
nyeri atau ketidaknyamanan. Skor skala nyeri dapat dicatat pada lembaran agar bisa
membuat pengkajian yang berkesinambungan mengenai kemajuan nyeri. Salah satu
skala yang digunakan adalah skala NRS (Numeric Rating Scale)
Gambar 2. 3 Skala nyeri NRS
19
2.2 Konsep Helm
2.2.1 Definisi
Berdasarkan data sejarah, helm merupakan bagian dari baju pelindung
peradaban Yunani Kuno yaitu Romawi Klasik sampai akhir abad ke 17. pada zaman
tersebut helm hanya sebagai pelindung kepala saat melakukan perang (Antou et al.,
2013). Helm adalah bagian dari kendaraan bermotor berbentuk topi pelindung kepala
yang berfungsi melindungi kepala pemakainya apabila terjadi benturan. Helm terdiri
dari dua yaitu helm terbuka (open face) dan helm tertutup (full face). Helm open face adalah
bentuk helm yang menutup kepala sampai bagian leher dan menutup telinga sedangkan
helm full face adalah bentuk helm yang menutup kepala atas, bagian leher, dan bagian
mulut. Menurut Ridho, (2012) helm memiliki bagian-bagian tertentu diantaranya
sebagai berikut :
1. Tempurung : Bagian keras dan halus yang ada pada sisi paling luar dari helm.
2. Lapisan Pelindung : bagian dalam helm yang dipasang untuk menyerap benturan.
3. Pelindung muka (visor) : bagian muka helm yang dapat melindungi sebagian atau
seluruh bagian muka dan terbuat dari bahan yang bening (tembus pandang).
4. Bantalan kenyamanan : bagian dalam helm yang berguna untuk memberikan
kenyamanan pengguna.
5. Lapisan pengaman : lapisan lunak di bagian dalam helm yang berguna untuk
memberikan kenyamanan bagi penggunanya dan melindungi kepala pemakainya.
6. Alat penahan : rakitan kelengkapan penahan yang berguna untuk
mempertahankan posisi helm diatas kepala.
7. Tali pemegang : bagian bawah helm berupa tali yang dilengkapi dengan kunci
pengikat yang berfungsi sebagai pengikat helm
20
8. Tutup dagu : kelengkapan dari tali pegangan yang menutupi rahang bawah helm
saat tali pemegang dalam keadaan terkunci.
9. Pet : tambahan dari sungkup yang berada di atas mata
10. Penutup wajah bagian bawah : suatu bagian yang terpisah, atau dapat
dipindahkan, atau menyeluruh (dipasang secara permanen) dari helm yang
melindungi bagian bawah wajah.
11. Lubang ventilasi : lubang pada helm yang dibuat agar ada sirkulasi di dalam helm.
12. Lubang pendengaran : lubang pada helm yang terletak di bagian telinga, sehingga
pemakai tetap dapat mendengar pada waktu menggunakan helm.
13. Jaring helm : bagian dalam helm yang langsung bersentuhan dengan kepala, dan
ukuran jaring helm dapat bersifat tetap atau diubah ubah oleh pemakainya.
2.2.2 Standar Helm
Menurut (Antou et al., 2013) standar helm berdasarkan SNI dilihat dari segi
material, segi kontruksi, tempurung, peredam benturan dan harus dilengkapi pelindung
pada daerah kepala dan leher. Dari segi material, bahan helm dibuat dari bahan yang
kuat dan bukan logam serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Dari segi
konstruksinya helm harus terdiri dari tempurung keras dengan permukaan halus;
lapisan peredam benturan dan tali pengikat ke dagu; dan tinggi helm sekurang-
kurangnya 114 mm diukur dari puncak helm ke bidang utama yaitu bidang horizontal
yang melalui lubang telinga dan bagian bawah dari dudukan bola mata. Untuk keliling
lingkaran bagian dalam helm terdapat ukuran S, M, L, dan XL.
Ukuran Keliling lingkaran bagian dalam helm (mm)
S 500-<540
M 540-<580
L 580-<620
XL ≥620
Tabel 2.1 keliling lingkaran bagian dalam helm
21
2.2.3 Peraturan Terkait Helm
Semua negara kecuali Maladewa memiliki peraturan yang secara komprehensif
mengatur tentang penggunaan helm (didefinisikan sebagai peraturan perundangan
yang mengharuskan penggunaan helm oleh pengendara dan penumpang kendaraan
bermotor roda dua di semua tipe jalan dan untuk semua tipe atau jenis kendaraan
bermotor roda dua). Namun demikian, tujuh negara (Bhutan, Korea Utara, India,
Indonesia, Myanmar, Sri lanka dan Thailand) memiliki peraturan perundangan yang
mengatur mengenai helm dan standar dari helm itu sendiri. Empat negara (Bhutan,
Korea Utara, Indonesia dan Maladewa) menilai penegakan hukum terhadap
penggunaan helm sudah cukup bagus (nilai delapan dari maksimum sepuluh) (World
Health Organization (WHO), 2013).
Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan standar yang berlaku secara
nasional di Indonesia. Helm SNI memiliki berat di atas 1 kg. SNI dirumuskan oleh
Panitia Teknis dan ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN). Berdasarkan
Siahaya, (2012) SNI dirumuskan dengan memenuhi WTO Code of good practice, yaitu:
1. Openess (keterbukaan): Semua stakeholder yang berkepentingan dapat
berpartisipasi dalam pengembangan SNI
2. Transparency (transparansi): Semua stakeholder yang berkepentingan dapat
mengikuti perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan
sampai ke tahap penetapannya dan dapat dengan mudah memperoleh semua
informsi yang berkaitan dengan pengembangan SNI
3. Consensus and impartiality (konsensus dan tidak memihak): Tidak memihak agar
semua stakeholder dapat menyalurkan kepentingannya dan diperlakukan secara
adil
22
4. Effectiveness and relevance: Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan
dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
5. Coherence: Koheren dengan pengembangan standar internasional.
6. Development dimension (berdimensi pembangunan): Berdimensi pembangunan agar
memperhatikan kepentingan publik dan kepentingan nasional dalam
meningkatkan daya saing perekonomian nasional.
Di indonesia terdapat beberapa peraturan yang dibentuk mengenai penggunaan
helm diantaranya sebagai berikut
1. Undang undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan jalan Pasal 291 ayat 1 : setiap orang yang mengemudikan sepeda
motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia dipidana dengan
pidana kurungan maksimal 1 bulan atu denda maksimal Rp.250.000
2. Undang undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan jalan Pasal 291 ayat 2 : setiap orang yang mengemudikan sepeda
motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm dipidana
dengan pidana kurungan maksimal satu bulan atu denda maksimal Rp.250.000.
3. SNI 1811-Tahun 2007 tentang Helm Pengendara Roda Dua.
4. SNI 1811-Tahun 2007 Amd1-Tahun 2010 tentang Helm Pengendara Kendaraan
Bermotor Roda Dua (dalam SNI versi amandemen ini terjadi 8 perubahan pada
standard helm SNI).
2.2.4 Beban dan postur tubuh pemakaian helm
Beban yang berat akan menyebabkan peregangan pada otot yang akan memicu
terjadinya nyeri leher. Beban helm atau berat helm half face idealnya 1 sampai 1,3 kg,
sedangkan untuk helm full face bobotnya berkisar 1,3-1,7 kg (Kamelia, 2015). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sulung & Mutia (2016), mengenai pengaruh beban
23
terhadap keluhan muskuloskeletal didapatkan bahwa terdapat hubungan beban angkut
dengan keluhan muskuloskeletal.
Beban berat pada bagian kepala akan membuat seseorang untuk
mengkompensasi berat tersebut dengan postur yang kurang efektif. Postur tubuh atau
posisi kepala yang berhubungan dengan nyeri leher akut adalah neck-horizontal angle
(NHA), yakni sudut yang dibentuk antara garis horizontal dari prosesus spinosus C7
dengan garis yang menghubungkan prosesus spinosus C7 dan tragus. Dari analisis
multivariat didapatkan pengemudi dengan neck horizontal angle ≤ 50o memiliki risiko 15
kali lebih besar mengalami nyeri tengkuk akut dibandingkan pengemudi dengan neck
horizontal angle > 50º (Setiawati et al., 2018).
Salah satu posture yang mungkin terjadi yakni forward head posture dengan sudut
(42,9º-47,3º), dengan posture tersebut kerja otot leher dan kerja otot punggung semakin
berat dan menyebabkan kelelahan pada otot leher. Studi lain juga menyatakan bahwa
posture tubuh mempengaruhi terjadinya muskuloskeletal disorder (Evadarianto &
Dwiyanti, 2017).
Aktivitas tubuh sangat dipengaruhi oleh Body mekanic dari individu tersebut.
Body mekanic merupakan penggunaan tubuh yang efisien, terkoordinir dan aman untuk
menghasilkan pergerakan dan mempertahankan keseimbangan selama aktivitas. Istilah
body mekanic pada umumnya digunakan untuk menggambarkan efesiensi pergerakan
tubuh seseorang yang digunakan untuk memindahkan tubuh orang lain atau benda
(Aprilia, 2014).
24
Body mekanic yang baik dapat mengurangi beban kerja dan mengurangi resiko
kelainan muskuloskeletal secara signifikan. Menurut (Potter & Perry, 2010) terdapat
empat elemen dasar pada body mekanic yaitu :
1. Body Alignment
Body aligment atau kesejajaran tubuh merupakan hubungan antara bagian tubuh
dengan bagian tubuh lainnya yang dilihat dari garis horizontal atau vertikal. Posisi
tubuh yang sejajar merupakan posisi yang tidak memiliki tegangan yang
berlebihan pada sendi, tendon, ligamen, atau otot.
2. Keseimbangan Tubuh
Keseimbangan terjadi saat pusat gravitasi yang rendah diseimbangkan pada garis
pertikal. Keseimbangan tubuh dapat ditingkatkan dengan melakukan postur
tubuh yang tepat atau posisi tubuh yang paling mendukung fungsi,
membutuhkan usaha otot terkecil, dan memiliki ketegangan yang kecil pada otot,
ligamen, dan tulang.
3. Gerakan Tubuh Terkoordinasi
Gerakan tubuh yang terkoordinasi dapat terjadi jika menyesuaikan antara berat
badan, pusat gravitasi, dan keseimbangan. Berat badan merupakan gaya yang
ditimbulkan oleh gravitasi terhadap tubuh.
4. Gaya Gesek
Gaya gesek adalah gaya yang melawan gerakan. Semakin besar luas permukaan
maka semakin besar pula gaya geseknya.
25
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Neupane, Ali, & A, 2017) postur
kepala yang tegak tegak, ketika telinga sejajar dengan pusat bahu yakni dengan sudut 0
derajat beban yang diterima leher antara 10-12 pound. Tetapi ketika kepala dimiringkan
ke depan pada posisi 15 derajat, beban yang diterima leher naik menjadi 27 pound,
pada 30 derajat 40 pound, pada 45 derajat 49 pound dan pada 60 derajat 60 pound
seperti terlihat pada gambar 2.4.
Hasil penelitian postur kepala yang dilakukan oleh Lawanont, Inoue,
Mongkolnam, & Nukoolkit (2018), didapatkan data mengenai sudut postur kepala atau
leher dibagi menjadi beberapa kategori yakni, sudut 0 ⷪ-15 ⷪ (sehat), 15 ⷪ- 30 ⷪ (normal),
30 ⷪ-45 ⷪ (kurang sehat), 45ⷪ-60 ⷪ (tidak sehat) , lebih dari 60 ⷪ (sangat tidak sehat). Sudut flexi
leher adalah 45 derajat dari garis tengah dan sudut extensi leher yakni sedut yang
dibentuk dari posisi fleksi adalah 45 derajat (Berman et al., 2014).
2.2.5 Durasi penggunaan helm
Durasi memakai helm perlu diperhatikan, jika otot menerima beban dengan
durasi yang lama maka kemungkinan terjadinya nyeri leher lebih tinggi. Otot yang statis
dapat menyebabkan aliran darah menurun, sehingga asam laktat terakumulasi dan
Gambar 2.4 Peningkatan kemiringan leher dan beban pada leher
(Neupane et al., 2017)
26
mengakibatkan kelelahan pada otot lokal. Berdasarkan hasil penelitian Haselgrove et al
(2008) dalam Yunus (2015), didapatkan bahwa seseorang yang membawa beban dalam
durasi lebih dari 30 menit memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami nyeri leher
2.3 Ojek Online
Ojek merupakan angkutan penumpang dengan menggunakan sepeda motor.
Saat ini terdapat dua jenis ojek yang beroperasi yakni ojek konvensional dan ojek online.
Ojek konvensional mengharuskan penumpang atau konsumen untuk mencari titik-titik
tertentu jika ingin menggunakan jasa ojek sedangkan, ojek online dapat dilakukan
pemesanannya melalui sebuah aplikasi android dan pengemudi ojek sendiri yang
menghampiri penumpang atau konsumen. Beberapa ojek yang berbasis teknologi dan
sering beroperasi ialah Go-jek dan Grab. Go-jek Didirikan oleh Nadiem Makarim dan
Michaelangelo Moran, Go-Jek mulai beroperasi di Jakarta sejak tahun 2011 (Amajida,
2016).
Beberapa persyaratan perlu dipenuhi untuk menjadi pengemudi Go-jek ialah
surat-surat motor seperti pajak motor, STNK, BPKB dan Surat Izin Mengemudi (SIM)
yang masih berlaku. Untuk modal yang harus dimiliki jika seseorang ingin menjadi
pengemudi GO-jek ialah sepeda motor. Sedangkan untuk helm, jaket, dan smartphone
dapat diperoleh setelah menjadi pengemudi Go-jek. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan Syafrino (2017), Go-Jek saat ini telah memiliki lebih dari 250,000 mitra.
Pengemudi ojek online rata rata bekerja lebih dari 6 jam per hari atau lebih dari 35 jam
per minggu. Dengan data tersebut pengemudi ojek online tergolong dalam kategori
Pekerja Penuh. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) definisi Pekerja Penuh ialah
mereka yang bekerja lebih dari atau sama dengan jam kerja normal yaitu 35 jam per
minggu.