9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Paradigma Konstruktivisme (Constructivism paradigm)
1. Pandangan Konstruktivisme terhadap Realitas
Dalam Ilmu Komunikasi terdapat 5 paradigma penelitian komunikasi,
antara lainn : (a) Paradigma Positivis, (b) Paradigma Postpositivis, (c)
Paradigma Konstruktivis, (d) Paradigma Kritis, dan (e) Paradigma
Partisipatoris. Pada Sub bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
Paradigma Konstruktivisme. Paradigma Konstruktivisme pertama kali
diperkenalkan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckmann. Bagi Berger
dan Luckmann, paradigma ini penting sebagai salah satu perspektif atau
sudut pandang dalam melihat gejala sosial atau realitas sosial. Konsep
Konstruktivisme sejalan dengan konsep konstruksi realitas sosial,
konstruksionisme, construktivis sosial, construksionist sosial. Dalam hal
ini bisa disebut sebagai konsep konstruksi sosial (social construction).
Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa konstruksi sosial/realitas
terjadi secara stimulan melalui tiga tahapan, yaitu tahap eksternalisasi,
objektivasi, dan terakhir tahap internalisasi. Paradigma konstruktivisme
oleh Peter L.Berger dan Luckmann kemudian dikenal dengan teori
konstruksi realitas sosial atau teori dialektika (Karman, 2015). Mereka
menjelaskan bahwa proses sosial didapatkan melalui aksi dan interaksi
yang diciptakan oleh individu secara terus menerus sehingga
menghasilkan suatu realitas yang dimiliki dan dialami secara perorangan.
Pendapat lain oleh Goffman lebih menganggap konsep kostruksi sosial
atas realitas itu sederhana.
10
Ia berpendapat bahwa setiap orang secara terus menerus dapat
mengubah definisi dalam melambangkan sesuatu baik tindakan maupun
tentang individu lain ketika kita bergerak melewati ruang dan waktu.
Setiap orang memiliki beragam perlambangan hanya saja terkadang kita
tidak menyadarinya. Setiap orang dapat berpindah dari satu realitas
pengalaman ke realitas lainnya tanpa menyadari bahwa kita telah melewati
batasnya. Oleh karena itu ia menganggap bahwa setiap orang tidak
memiliki stok kemampuan pengetahuan yang dikontrol oleh institusi
sebagaimana yang diyakini oleh para ahli konstruksionisme sosial.
Goffman menyatakan bahwa pengalaman seorang individu terhadap
realitas tergantung pada kemampuannya dalam mengartikan kondisi di
kehidupan sehari-hari. (Tamburaka, 2012).
Constructivism paradigm merupakan paradigma dalam komunikasi
yang menganggap bahwa realitas sosial bersifat relative, yaitu realitas
sosial merupakan hasil dari konstruksi sosial. Pada kenyataanya realitas
sosial tidak bisa berdiri sendiri tanpa peran dari individu, baik di luar
maupun di dalam realitas itu sendiri. Subjek mengkonstruksi realitas sosial
kemudian mengkonstruksinya dalam dunia realitasnya. Setelah itu
menyempurnakan realitas tersebut berdasarkan subjektifitas individu lain
dalam lingkup sosialnya. Pengetahuan juga merupakan konstruksi dari
seseorang yang memahami suatu hal yang tidak dipahami oleh individu
yang pasif. Sehingga pemahaman tersebut tidak dapat ditransfer.
Konstruksi harus dilakukan sendiri oleh individu tersebut berdasar
pengetahuannya, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya
konstruksi itu. Pengetahuan dalam pandangan realism hipotesis
merupakan sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati dan
menuju pada pengetahuan realitas yang haqiqi. Construktivism dilihat
11
sebagai sebuah kerja kognitif individu dalam menafsirkan dunia realitas
yang ada (Bungin, 2011).
2. Media dan Konstruksi Realitas
Media dalam membuat berita maupun liputan lainnya menyampaikan
pesan dengan tujuan tertentu. Terdapat motif dibalik pemberitaan yang
ingin ditanamkan oleh media cetak, elektronik maupun online kepada
khalayak. Karena perubahan kognitif dalam pikiran dapat merubah pola
pikir, sikap, dan perilaku tiap individu dalam memandang dan memahami
dunia. Dalam Wibowo (2010:122) yang dikutip oleh Apriadi Tamburaka
dalam bukunya yang berjudul Agenda Setting Media Massa, Hall (1982)
meyakini bahwa eksistensi mass media kini menjadikan saluran informasi
sebagai wadah yang tidak lagi memproduksi realitas melainkan
melakukan konstruksi/bingkai berita dengan memakai pilihan kata tertentu
yang menarik. Misalnya saja jika ada kejadian tentang kerusuhan, maka
media massa disini hanya sekedar ikut serta dalam melakukan konstruksi
realitas. (Tamburaka, 2012).
Pendekatan konstruktivisme atau konstruksionis mempunyai penilaian
sendiri bagaimana media dilihat. Media merupakan agen konstruksi
realitas. Media bukan sekedar saluran penyampai informasi melainkan
juga sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas. Disini media tidak
sekedar menampilkan dan menunjukkan realitas serta pendapat
narasumber, namun juga melakukan bingkai oleh media itu sendiri.
Dengan kata lain, media sangat berperan dalam mengkonstruksi realitas
(Eriyanto, 2002).
Selain media yang berperan sebagai konstruksi atas realitas, jurnalis
juga memegang peran. Realitas yang ditampilkan oleh seorang jurnalis
kepada publik bukan fakta yang sebenarnya, melainkan hasil dari bingkai
atas konstruksi yang ia lihat melalui ideologynya. Bagaimana konstruksi
12
realitas itu bekerja adalah berawal dari para wartawan kemudian ada pada
eksekutif media. Kedua hal ini adalah yang sering kali mempengaruhi
kebijakan dari suatu pemberitaan.
Breed (1995) menyatakan kebijakan biasanya bersifat terselubung
karena kebijakan itu terkadang tidak sesuai dengan kode etik jurnalisme
dan para eksekutif media tidak ingin dituduh telah memerintahkan agar
surat kabarnya miring ke berita-berita tertentu (Tamburaka, 2012).
3. Berita Sebagai Kontstruksi Realitas
Dalam buku yang berjudul Agenda Setting Media Massa oleh Ardian
Tamburaka, Severinn & Tannkard, JR. (2010:400-401) menyebutkan
nama Gaye Tuchmann dalam bukunya Making News (1978) yang
menjelaskan : “Berita merupakan konstruksi atas realitas sosial. Tindakan
membuat berita adalah tindakan mengkonstruksi realitas, bukan
penggambaran berita”.
Mengkonstruksi realitas dalam konteks berita ialah Wartawan
memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memaknai suati isu.
Pandangan Jurnalis dalam mengkonstruksi berita dituangkan kedalam
sebuah naskah berita. Disini realitas merupakan produk interaksi antara
wartawan dengan fakta. Paradigma konstruktivisme menilai
fakta/peristiwa merupakan hasil konstruksi dari konsepsi pemahaman
realitas oleh seorang Jurnalis. Sehingga pemberitaan cenderung berbeda
Fakta yang dihasilkan bisa berbeda. Jurnalis/Wartawan dianggap sebagai
agen konstruksi realitas karena proses dan hasil konstruksi atas berita
selalu bersifat subjektif (Eriyanto, 2002).
13
Seorang pengajar Jurnalistik, Alex Sobur mengatakan bahwa “Tidak
semua peristiwa dianggap penting sebagai sebuah berita, dan tidak semua
kejadian pantas dikategorikan sebagai berita.” Harus kita ketahui bahwa
berita hasil media massa diragukan kebenarannya karena realitas yang
ditampilkan merupakan hasil dari konstruksi fakta yang dilihat wartawan
melalui engel menarik dari peristiwa tersebut. Fakta yang dihasilkan
media tidak sebagaimana harapan public. Tak sedikit media massa yang
sengaja melakukan kebohongan demi meraih sebuah kemenarikan berita.
Sehingga kita sebagai pembaca baiknya mempertimbangkan dan
mencermati terlebih dahulu berita yang disajikan (Wazis, 2012).
Pendekatan konstruktivisme atau konstruksionis melihat berita sebagai
hasil kontruksi dari realitas. Berita senantiasa melibatkan pandangan
ideology dan penilaian tersendiri dari seorang Jurnalis maupun media.
Semua itu merupakan hasil kerja dari konstruksi seorang jurnalistik.
Setiap proses dalam pembuatan berita seperti pemilihan kata, narasumber,
kata dan foto hingga proses editing menunjukkan bahaimana fakta
tersebut ditampilkan kepada khalayak. Berita merupakan produk
konstruksi realitas yang subjektif serta pemaknaan atas realitas.
Maksud sifat berita yang subyektif yaitu ketika meliput suatu kejadian,
pandangan wartawan tidak bisa dikesampingkan karena ia menangkap
peristiwa dengan perspektifnya dan penuh pertimbangan (Eriyanto, 2002).
14
B. Bingkai Berita
Di masa kini, konsepsi bingkai berita menjadi acuan yang banyak
digunakan dalam literature kajian Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai
kajian teks media. Hal tersebut sebagai penggambaran atas proses seleksi dan
penyorotan aspek tertentu dalam realitas media. Bingkai berita atau analisis
framing dalam studi komunikasi digunakan untuk mencari tau strategi
maupun ideology suatu media dalam mengkonstruksi sebuah realitas.
Maksudnya adalah melihat bagaimana sudut pandang subjektif dari seorang
jurnalis/wartawan ketika melakukan penyeleksian isu serta strateginya dalam
menyusun berita. Perspektif wartawan itu yang nantinya akan menentukan isu
yang dipilih, apa yang dihilangkan dan ditonjolkan, serta kemana arah
pemberitaan tersebut (Sobur, 2015).
Jika dalam beberapa media ditemukan memiliki keberpihakan
terhadap suatu isu tertentu atau suatu kelompok tertentu, maka hal ini
disebabkan karena suatu media memiliki kepentingan yang akhirnya
cenderung dalam memberitakan isu dan menonjolkan individu atau kelompok
tersebut. Perbedaan media dalam melakukan pembingkaian terhadap suatu
isu/peristiwa menyebabkan perbedaan tentang bagaimana isu tersebut
dipahami oleh khalayak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis framing
adalah tentang bagaimana suatu media menangkap, memahami, menafsirkan,
serta membingkai sebuah isu/peristiwa yang kemudian dipubliksaikan kepada
khalayak. Selain itu 2 hal pokok dalam melakukan bingkai berita adalah
pemaknaan dan penulisan fakta terhadap suatu peristiwa. Secara singkat,
analisis framing merupakan penggambaran terhadap suatu isu/peristiwa yang
dibingkai oleh media.
15
Salah satu model framing yang paling populer digunakan dalam
melakukan bingkai berita yaitu framing milik Zhongdang Pan dan Gerald
M.Kosicki. Terdapat 2 konsep utama dari pembingkaian yang saling berkaitan
yaitu konsep psikologis dan sosiologis. Konsep psikologis memberikan
penekanan pada bagaimana individu memproses informasi dari dalam dirinya.
Sedangkan konsep sosiologis merupakan proses yang dilakukan individu
dalam pengklasifikasian, pengorganisasian, dan penafsiran atas pengalaman
sosial untuk memahami dirinya sendiri dan mengerti realitas dari luas dirinya.
Pendekatan framing dalam model Pan dan Kosicki terbagi dalam 4 struktur,
yaitu Sintaksis, Skrip, Tematik, dan Retoris. Semua struktur itu adalah suatu
rangkaian yang dapat menunjukkan pembingkaian oleh suatu media. Berikut
model analisis framing oleh Pan dan M.Kosicki :
1. Struktur Sintaksis, yaitu melihat bagaimana strategi wartawan dalam
melakukan penyusunan fakta. Perangkat framingnya adalah skema. Hal
yang diamati adalah judul, lead, latar informasi, kutipan sumber,
opini/pernyataan penulis, serta penutup.
2. Struktur Skrip, yaitu melihat bagaimana strategi wartawan dalam
melakukan pengisahan fakta. Perangkat framingnya adalah kelengkapan
berita. Hal yang diamati adalah kelengkapan 5W+1H dalam sebuah berita.
3. Struktur Tematik, yaitu melihat bagaimana strategi wartawan dalam
melakukan penulisan fakta. Perangkat framing dari tematik adalah detail,
koherensi, bentuk kalimat, dan kata ganti. Hal yang diamati adalah
paragraf, proposisi kalimat, serta hubungan antar kalimat.
4. Struktur Retoris, yaitu melihat bagaimana strategi wartawan dalam
melakukan penekanan fakta. Perangkat framing dari retoris antara lain
leksikon, grafis, dan metafora. Hal yang diamati adalah pemakaian kata,
grafik, idiom, serta foto/gambar.
16
C. The New Media (Media Online)
Di zaman modern seperti sekarang ini sedikit kita dapati orang-orang
yang membaca berita melalui surat kabar. Kecanggihan mengantarkan kita
pada kemudahan dalam mendapatkan informasi, salah satunya adalah dengan
mengakses internet. Dalam buku berjudul “Teori Komunikasi : Sejarah,
Metode, dan Terapan didalam Media Massa” (McManus:1994) Severin dan
Tankard menyebutkan beberapa ciri dari lingkungan the new media yaitu : (1)
Teknologi yang dahulu berbeda sekarang bergabung menjadi satu bagian
seperti percetakan dan penyiaran; (2) Media berlimpah, tidak lagi langka; (3)
Kepuasan massa audiens kolektif bergeser menjadi kepuasaan sebuah
kelompok tertentu dan individu; (4) Kini Media interaktif, bukan lagi pesan
satu arah. (Werner J Severin, 2009)
The New media menjadi ancaman terhadap semakin menurunnya tiras
surat kabar dan semakin meningkatnya pengguna media online di internet.
Dikabarkan pula bahwa surat kabar akan berakhir digantikan oleh media
massa baru, yaitu media online. Meskipun tidak seburuk Negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, tetapi fakta menunjukkan bahwa di beberapa wilayah
Indonesia telah banyak yang gulung tikar, salah satunya adalah biro
perwakilan media cetak Jakarta di Bandung yang sudah ditutu. Hal itu terjadi
akibat semakin rendahnya tingkat pembaca media cetak (surat kabar) dan
semakin meningkatnya pengguna internet. Hingga tahun 2009 sekitar
40jutaan orang Indonesia lebih memilih untuk mengakses informasi melalui
internet. Saat ini banyak media cetak yang juga memiliki portal media online
di Internet karena terbukti bahwa media online memiliki nilai yang lebih
tinggi dibanding media cetak karena pembaca dapat menemukan beragam
informasi yang bisa diakses kapan saja setiap harinya tanpa batas (Engkus
Kuswarno, 2013).
17
Jurnalistik jenis online di Eropa dan Amerika telah menjadi pesaing
yang kuat bagi jurnalisme media cetak. Sudah banyak media-media cetak
yang gulung tikar akibat semakin canggihnya jurnalistik yang disajikan
melalui dunia maya ini. Faktanya, Jurnalisme online memiliki banyak
keunggulan dibanding jurnalisme media cetak. Keunggulan-keunggulan yang
dimiliki oleh media online adalah : Pertama, berita-berita yang disampaikan
jauh lebih cepat dan up to date. Isu-isu yang besar dan baru terjadi bisa kita
ketahui dengan melihat dan membaca artikel berita pada media online tanpa
menunggu terbitan koran. Hal ini lah yang menjadi kekurangan dari media
cetak dan media elektronik. Melalui media online siapa saja bisa mengetahui
perkembangan dunia setiap saat. Keunggulan kedua yaitu pengaksesan berita
tidak hanya dilakukan melalui computer/laptop, tetapi juga melalui
Handphone yang terhubung melalui internet. Maka tidak heran jika kalangan
professional yang sibuk lebih memilih media online sebagai sumber penyaji
berita. Yang Ketiga yaitu khalayak media online bisa langsung membrikan
respon berupa komentar terhadap berita yang mereka suka dan tidak suka.
Caranya mudah hanya dengan mengetik dalam kolom komentar yang sudah
disediakan. Khalayak tidak harus menulis surat pembaca hingga menunggu
berhari hari, mereka bisa langsung mengekspresikan pikiran dan uneg-uneg
mereka pada saat itu juga.
Adapun perkembangan jurnalistik media online di Indonesia bisa kita
lihat dari banyaknya situs/ portal berita, antara lain detik.com, vivanews.com,
kompas.com, liputan6.com, okezone.com, republika.co.id, tribunnews.com,
dan masih banyak portal-portal media online lainnya. Bahkan koran-koran
seperti Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, dan Rakyat Merdeka juga
telah memperkuat berita cetaknya dengan versi online (Zaenuddin, 2011).
18
D. Ekonomi Politik Media
Eatwell, Millgate, dan Newsmn (1987:907), seperti dikutip Baran dan
Davis, mendefinisikan ekonomi politik sebagai ilmu kekayaan yang berkaitan
dengan usaha manusia untuk mendapatkan kebutuhan serta memuaskan
keinginannya. Dalam penjelasan yang berbeda, Vincen Mosco membuat
batasan dengan menjelaskan ekonomi politik sebagai social relations,
terkhusus pada kekuasaan, yang berkaitan dengan masalah produksi,
distribusi, dan konsumsi atas sumber daya. Mosco mempertajam batasannya
itu dengan menjelaskan lebih lanjut bahwa ekonomi politik merupakan
pengetahuan, kebiasaan, dan praktek mengenai cara pengelolaan masyarakat.
Yang berarti, konteks ekonomi politik berhubungan dengan pengetahuan
sosial untuk “memuaskan” keinginan masyarakat. Dalam hal ini 3 komponen
utama dalam ekonomi politik media yaitu pemilik modal, hegemoni (dominasi
pemikiran), serta upaya-upaya mempertahankan ketidaksetaraan antara kelas
atas dan kelas bawah, anatar penguasa dan yang tertindas (subordinat).
Pendapat lain berasal dari Murdock dan Golding yang menyatakan
bahwa ekonomi politik dipandang dari perspektif dimana media massa
merupakan pihak yag berperan dalam penyampai asumsi-asumsi dan nilai-
nilai dominan yang berasal dari kelas atas (penguasa), melayani kepentingan.
Dalam memahami rupa ekonomi politik media, Murdock dan Golding
memberikan tiga cara, yaitu : (1) mengamati contoh-contoh; (2) menunjukkan
secara empiris sejauh mana kepemilikan maupun pengendalian industri
komunikasi massa tealah berpusat ditangan sebuah kelas kapitalis; (3) dengan
menilai berbagai konsekuensinya bagi pasar konsumen dalam berbagai
produksi media maupun budaya.
19
Selain itu 3 kunci utama yang ditekankan oleh Murdock & Golding
yaitu kepemilikan dan pengendalian, logika determinisme ekonomi,
konsekuensi, dan konsekuensi produksi. Singkatnya, ketiga hal tersebut
dirumuskan sebagai konteks pasar. Sardar juga berendapat, bahwa tradisi
ekonomi politik dalam riset media merupakan kritik terhadap penjelasan kaum
strukturalis tentang media karena penekanannya pada elemen ideologis yang
terlalu besar. Makna dan isi pesan oleh media ditentukan berdasarkan basis
ekonomi organisasi dimana pesan tersebut diproduksi. Kesimpulannya,
dibuat. Pengaruh media ekonomi politik media merupakan cara pandang
tentang kekuasaan politik dan pemilik modal sebagai ideology industry media
dalam pemenuhan kebutuhan serta kepuasan masyarakat, yang dilihat dari
kompromi kepada pasar melalui produk “budaya” komersial.
(Halim, 2013)
E. Teori Hirarchy “Level of Influence” oleh Pamela J Shoemaker dan
Stephen
Dalam melakukan penelitian analisis framing, peneliti menggunakan
teori hirarki level pengaruh terhadap isi media sebagai landasan teory. Teori
ini diperkenalkan pertama kali oleh Pamela J.Shoemaker & Stephen Reese
yang menjelaskan mengenai pengaruh isi media pada setiap pemberitaan yang
saat ini sudah dipengaruhi oleh sisi eksternal maupun internal media itu
sendiri sehingga jauh dari realitas yang sebenarnya. Pengaruh eksternal
berasal dari para pengiklan maupun pemerintah. Adapaun pengaruh internal
berasal dari kepentingan dari pemilik media maupun wartawan sebagai
pencari dan pembuat berita.
20
Teori Hirarchy “Level of Influence” dibagi menjadi beberapa level,
antara lain :
1. Level Pengaruh Individu Pekerja Media (Individual Level)
Inividual level tentu tidak lepas dari intrinstik seorang pekerja media
yaitu Jurnalis/Wartawan dalam menghasilkan produk berupa pemberitaan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi seorang pekerja media antara
lain jenis kelamin, etnis, serta orientasi seksual.
Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi individu pekerja media, antara
lain : (1) Yang menjadi faktor utama, yaitu latar belakang pendidikan yang
dimiliki oleh seorang Jurnalis. Pendidikan seorang jurnalis berperan dalam
membentuk karakter setiap pemberitaan yang dihasilkan sehingga bisa
menjadi pembeda antara karakter berita Jurnalis satu dengan Jurnalis
lainnya. (2) Faktor perilaku, nilai-nilai, serta kepercayaan seorang pekerja
media. Setiap pengalaman berupa nilai-nilai yang didapat oleh Jurnalis
secara tidak langsung berimbas pada hasil berita yang dikontruksinya. (3)
Faktor sifat profesionalitas dan konsepsi peran seorang Jurnalis Media.
Yaitu bagaimana seorang Jurnalis mampu memposisikan dirinya sebagai
pekerja media yang netral.
2. Level Pengaruh Rutinitas Media (Media Routines Level)
Level of Media Routines melihat bagaimana isi media dipengaruhi
oleh rutinitas media. Pada level ini rutinitas media memiliki sebuah motif
yaitu pemberitaan yang rutin, setelah itu dipraktikkan berulang-ulang,
kemudian dikemas untuk tujuan tertentu.
Terdapat 3 unsur yang berkaitan dengan pengaruh rutinitas media,
atara lain : (1) Konsumen, yaitu bagaimana media menjual sebuah produk
(berita atau yang lainnya) sesuai dengan apa yang diminati/disukai oleh
konsumen. Dalam mencapai keuntungannya, media bergantung kepada
konsumen. (2) Media Organisasi, yang berperan disini adalah seorang
editor.
21
Editor memiliki kebijakan dalam menilai dan menyeleksi pemberitaan
yang menentukan arah dari pemberitaan. Apakah isi dari berita tersebut
akan dikurangi, ditambah, atau ada beberapa bagian yang akan dihapus.
Tugas editor ini lah yang menentukan rutinitas sebuah media dalam
menentukan pemberitaan. (3) Sumber berita (Supplier). Yang menjadi
sumber berita bagi sebuah media antara lain pemerintah, swasta,
komunitas atau organisasi tertentu, lembaga swadaya masyarakat, dan
sumber lainnya. Sumber-sumber tersebut memiliki kekuasaan untuk
berpesan kepada pembuat berita/editor agar pemberitaan yang ditampilkan
tidak merugikan lembaganya.
3. Level Pengaruh Pengaruh Organisasi Media (Organizational Level)
Level pengaruh organisasi merupakan rutinitas media yang membatasi
individu pekerja media. Dalam pengaruh organisasi media kebijakan
tersebasr dipegang oleh pemilik media melalui editor. Editor bisa
mengesampingkan aturan-aturan dasar seorang wartawan dan
memperhatikan kepentingan organisasi atau pemilik media.
4. Level Pengaruh dari Eksternal Media (Outside Media Level)
Level ini berasal dari luar organisasi suatu media. Pengaruh-pengaruh
dari luar media berasal dari supplier yaitu para pengiklan dan penonton,
kebutuhan pasar, teknologi, dan kontrol pemerintah. (Shoemaker, 1996)
5. Level Pengaruh Ideologi (Ideology Level)
Level yang terakhir ini diartikan sebagai kerangka berpikir yang
digunakan oleh seorang pekerja media dalam melihat suatu realitas serta
cara ia menghadapi realitas tersebut. Level ini sifatnya abstrak dan
berhubungan dengan konsepsi seseorang dalam menafsirkan suatu realitas
sebuah media.
(Shoemaker, 1996)