7
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Gigi Geligi
Gigi merupakan salah satu organ pengunyah yang terdapat pada rahang atas
dan rahang bawah, gigi terdiri dari tiga bagian yaitu mahkota gigi, akar gigi dan
leher gigi. Gigi geligi adalah bagian dari wajah, sehingga bila ada kelainan dalam
susunannya akan mempengaruhi penampilan wajah secara keseluruhan, karena
susunan gigi geligi dan hubungan rahang mempengaruhi kedudukan bibir dan otot-
otot di sekitar mulut (Ircham, 2003).
Bentuk gigi yang normal memiliki keuntungan menjamin pengunyahan yang
efisien, membantu menjamin usia dan kedudukan gigi geligi dalam rahang,
melindungi jaringan-jaringan yang mudah terluka dengan kontur yang terlindung.
Gigi geligi di lengkung rahang atas apabila berkontak dengan gigi geligi di lengkung
rahang bawah dalam relasi fungsional, maka dapat dikatakan sebagai oklusi. Oklusi
adalah suatu hubungan kontak antar gigi geligi di rahang atas dengan gigi geligi di
rahang bawah saat mulut dalam keadaan tertutup. Ada dua macam oklusi
(Itjiningsih, 2013) :
a. Oklusi sentris, yang merupakan hubungan kontak antara gigi-gigi di rahang
atas dan rahang bawah waktu mandibular dalam keadaan relasi sentris.
https://repository.unimus.ac.id
8
b. Oklusi aktif, merupakan hubungan kontak antara gigi-gigi di rahang atas dan
rahang bawah ketika gigi rahang bawah mengadakan gerakan atau pergeseran
ke depan, ke belakang, ke kiri dan ke kanan atau geseran lateral.
Gigi susu mulai tumbuh ketika bayi berumur 6 bulan, setelah bayi berumur 2
tahun maka seluruh gigi sudah tumbuh sempurna. Gigi sulung atau gigi susu
normalnya mempunyai 20 gigi yang susunannya terdiri dari 10 gigi di rahang atas
(5 gigi di kiri dan 5 gigi di kanan), 10 gigi di rahang bawah (5 gigi di kiri dan 5 gigi
di kanan). Gigi permanen pada orang dewasa terdiri dari 32 gigi, 16 pada rahang
atas dan 16 pada rahang bawah. Gigi permanen memiliki 8 gigi di setiap
kuadran/sisi, yang terbagi dari empat kelas yaitu insisivus (I), kaninus (C), premolar
(P), dan molar (M). Pada setiap sisi terdiri dari 2I, 1C, 2P, 3M. Total jumlah gigi
anterior adalah 12 gigi dan gigi posterior adalah 20 gigi jika seluruh M3 erupsi
(Scheid dan Weiss, 2012; Itjiningsih, 2013)
Gambar 2.1 Susunan Gigi Permanen (Harty dan Ogoston, 2000)
https://repository.unimus.ac.id
9
Rongga mulut dibagi menjadi empat bagian yang sama disebut kuadran.
Angka 1 sampai 8 digunakan untuk mengidentifikasi gigi di masing-masing
kuadran. Penomoran di mulai dari garis tengah lengkung gigi atau titik kontak
insisivus sentralis hingga ke gigi terakhir di belakang mulut. Susunan gigi dalam
mulut terdiri dari empat kuadran yaitu, kuadran kanan atas, kiri atas, kiri bawah, dan
kanan bawah. Penulisan nomenklatur gigi dan odontogram rekam medik kedokteran
gigi disarankan menggunakan 2 digit dari FDI (Federation Dentaire Internationale)
dan Universal sistem. Pada sistem FDI (sistem 2 digit) gigi permanen, rahang dibagi
menjadi 4 kuadran dan tiap kuadran gigi diberi angka 1 sampai 8. Angka 1 untuk
rahang atas kanan. Angka 2 untuk rahang atas kiri, angka 3 untuk rahang bawah kiri,
angka 4 untuk rahang bawah kanan (Murniwati, dkk, 2013)
Gambar 2.2 Pembagian Kuadran Gigi (Scheid dan Weiss, 2013)
Gigi geligi memiliki berbagai fungsi yaitu (Itjiningsih, 2013):
a. Untuk memotong dan memperkecil makanan pada waktu pengunyahan
https://repository.unimus.ac.id
10
(insisif adalah gigi pemotong, kaninus/kuspid adalah gigi pencabik, bicuspid
adalah gigi pencengkram, dan molar adalah gigi penggiling).
b. Untuk mempertahankan jaringan penyangga supaya tetap dalam kondisi baik
dan terikat dengan erat pada lengkung gigi, serta membantu dalam
perkembangan dan perlindungan dari jaringan-jaringan yang menyangganya.
c. Untuk memproduksi dan mempertahankan suara atau bunyi.
Berdasarkan teori, gigi molar permanen mempunyai daerah permukaan akar
yang maksimal sehingga dipertimbangkan untuk menjadi titik tumpu pergerakan
gigi, mendukung gerakan pengunyahan rongga mulut, dan mempengaruhi jarak
vertikal dari rahang atas dan rahang bawah, tinggi jarak oklusal, dan aspek estetik
susunan gigi (Manoy, dkk, 2015)
2. Kehilangan Gigi
a. Definisi
Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan lepasnya satu atau lebih gigi
dari soketnya. Kejadian hilangnya gigi dapat terjadi pada anak – anak hingga
dewasa dan kehilangan gigi permanen pada orang dewasa sangatlah tidak
diinginkan terjadi (Setyadi, 2011). Menurut Suryonegoro (2005) pasien yang
kehilangan gigi posterior mengalami perbedaan posisi pada salah satu atau
kedua processus condylaris sendi temporomandibular ketika beroklusi.
Kehilangan gigi dapat terjadi sebagian maupun total, yang mempengaruhi
kemampuan pengunyahan, bicara, estetik, serta kualitas hidup. Pola kehilangan
https://repository.unimus.ac.id
11
gigi yaitu kondisi klinis kehilangan gigi pada rahang atas dan bawah dan dicatat
sesuai dengan klasifikasi Kennedy (Gunadi, dkk, 2002); yaitu,
a. Kelas I: daerah edentulous terletak di bagian posterior dari gigi yang masih
tersisa secara bilateral
b. Kelas II: daerah edentulous terletak di bagian posterior dari gigi yang masih
tersisa secara unilateral
c. Kelas III: daerah edentulous terletak di antara gigi-gigi yang masih ada di
bagian posterior maupun anterior secara unilateral
d. Kelas IV: daerah edentulous terletak pada bagian anterior dari gigi-gigi
yang masih ada dan melewati garis median
Gambar 2.3 Klasifikasi Kennedy, (A) kelas I, (B) kelas II,
(C) kelas III, (D) kelas IV
b. Etiologi
Faktor Penyakit
Kehilangan gigi dapat disebabkan salah satunya karena karies gigi,
merupakan penyakit jaringan keras gigi, yaitu: email, dentin, dan sementum
https://repository.unimus.ac.id
12
yang disebabkan oleh aktivitas jasad renik dalam karbohidrat yang dapat
diragikan. Streptococcus mutans dan laktobasilus merupakan bakteri
kariogenik yang membuat asam dengan cara meragikan karbohidrat. Tandanya
ialah adanya demineralisasi jaringan keras gigi, yang berakibat terjadi invasi
bakteri dan kematian pulpa serta penyebaran infeksinya ke jaringan periapeks
yang dapat menyebabkan nyeri. Pada tahap awal karies, rasa nyeri diawali
dengan nyeri ringan pada saat kontak dengan makanan atau minuman yang
dingin atau panas, juga rasa nyeri yang sesekali muncul secara tajam. Bila
bakteri sudah sampai ke pulpa gigi yang terdiri dari saraf dan pembuluh darah,
maka terjadi infeksi pada pulpa (pulpitis) yang menyebabkan nyeri yang sangat
berdenyut. Bila hal ini terjadi secara terus-menerusmaka akan terjadi kematian
jaringan pulpa. Bila saraf gigi sudah mati biasanya nyeri akan berhenti, namun
keadaan ini dapat berlanjut lebih buruk dengan terjadinya abses sehingga pada
akhirnya gigi tersebut tidak dapat dipertahankan dan harus dicabut (Kidd dan
bechal, 2013).
Penyakit periodontal adalah penyakit yang mengenai jaringan pendukung
gigi. Jaringan periodontal, yaitu jaringan yang menghubungkan antara gigi dan
tulang penyangga gigi atau tulang alveolar. Penyakit periodontal dibagi atas
dua golongan yaitu gingivitis dan periodontitis. Periodontitis merupakan
lanjutan dari gingivitis yang tidak ditangani. Periodontitis adalah penyakit
inflamasi yang akan mempengaruhi periodonsium yaitu jaringan yang
mengelilingi, serta mendukung gigi. Periodontitis akan melibatkan hilangnya
https://repository.unimus.ac.id
13
progresif dari tulang alveolar pada sekitar gigi, dan bila tidak diobati, maka
dapat menyebabkan melonggarnya perlekatan jaringan ikat dan hilangnya gigi
(Maulana 2016; Carranza, 2010).
Gingivitis merupakan bentuk penyakit periodontal dengan proses
inflamasi yang mempengaruhi jaringan lunak sekeliling gigi tanpa adanya
kerusakan tulang. Tanda pertama dari inflamasi yaitu adanya hiperemia, warna
gingiva berubah dari merah muda menjadi merah tua, disebabkan dilatasi
kapiler, sehingga jaringan menjadi lunak karena banyak mengandung darah.
Gingiva membengkak, licin, berkilat dan keras, perdarahan gingiva spontan
atau saat di probing, gingiva menjadi sensitif, gatal-gatal dan terbentuknya saku
periodontal akibat rusaknya jaringan kolagen. Kelainan tersebut muncul
perlahan-lahan dalam jangka lama dan tidak terasa nyeri kecuali bila ada
komplikasi dengan keadaan akut. Bila peradangan ini dibiarkan dapat berlanjut
menjadi periodontitis (Carranza, 2010).
Faktor Bukan Penyakit
Trauma dapat diartikan sebagai kerusakan jaringan gigi atau periodontal
karena kontak yang keras dengan suatu benda yang tidak terduga sebelumnya
pada gigi, baik rahang atas maupun rahang bawah atau keduanya. Trauma gigi
dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Trauma gigi secara langs+ung
terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi, sedangkan trauma gigi
secara tidak langsung terjadi ketika ada benturan yang mengenai dagu
menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi rahang atas dengan kekuatan
https://repository.unimus.ac.id
14
atau tekanan besar dan tiba-tiba. Contohnya yaitu pada kecelakaan, jatuh,
terbentur benda keras dan berkelahi (Maulana, 2016).
Faktor bukan penyakit lainnya yang mempengaruhi kehilangan gigi adalah
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan. Menurut
survey kesehatan rumah tangga tahun 2011, angka penyakit gigi dan mulut di
Indonesia mencapai 79,6%. Salah satu penyebabnya karena meningkatnya
biaya perawatan gigi yang berdampak pada bidang kesehatan gigi, sehingga
masyarakat yang berasal dari ekonomi rendah tidak mendapatkan pelayanan
kesehatan gigi secara layak, akibat dari mahalnya biaya perawatan kesehatan
gigi sekarang, sehingga masyarakat lebih memilih kehilangan giginya daripada
merawatnya (Maulana, 2016).
c. Dampak
Menurut Gerritsen, hilangnya satu atau beberapa gigi dapat menyebabkan
gangguan fungsi dan estetika yang dapat mempengaruhi kualitas hidup
seseorang. Dampak kehilangan gigi tanpa adanya gigi pengganti
berkesinambungan dengan pergeseran lenggkung gigi, gigi miring atau
berputarnya gigi. Hal tersebut dikarenakan gigi tidak lagi menempati posisi
yang normal untuk menerima beban yang terjadi pada saat pengunyahan, maka
akan mengakibatkan kerusakan struktur periodontal. Gigi yang miring juga
sulit untuk dibersihkan, sehingga aktivitas karies meningkat (Gunandi, dkk,
2002).
1) Dampak Emosional
https://repository.unimus.ac.id
15
Kehilangan gigi dapat menimbulkan berbagai dampak emosional
dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa dampak yang terjadi diantaranya
adalah hilangnya kepercayaan diri dan menganggap kehilangan gigi
merupakan hal yang tidak patut dibicarakan kepada orang lain, keadaan yang
lebih komples lagi dari dampak emosional yang terjadi yaitu perasaan sedih
dan depresi, merasa kehilangan bagian diri, dan merasa tua. Penelitian Davis
menunjukkan 45% dari pasien di London sulit menerima kehilangan gigi dan
mengungkapkan adanya dampak emosional yang signifikan karena
kehilangan gigi (Davis, dkk, 2010).
2) Dampak Estetik
Kehilangan gigi akan menimbulkan dampak dari segi estetik yakni
memburuknya penampilan (loss of appearance) karena gigi hilang akan
menimbulkan celah dan ruangan kosong yang menimbulkan ketidakpuasan
dari segi estetika bagi pasien. Secara tidak langsung, kehilangan gigi akan
berpengaruh terhadap psikologis dan kepercayaan diri yang berdampak pada
kehidupan sosialnya. Kebanyakan orang dengan kehilangan gigi terutama
gigi anterior enggan untuk tersenyum dan malu berinteraksi dengan orang
lain. Hilangnya gigi dan berkurangnya residual ridge dapat menyebabkan
perubahan wajah karena berubahnya dukungan bibir dan berkurangnya
dimensi vertikal. Tampilan wajah menjadi lebih cekung dan terlihat tua
(Asep dan Senjaya, 2016).
3) Dampak Fungsional
https://repository.unimus.ac.id
16
Dampak fungsional yang diakibatkan oleh kehilangan gigi dapat
berupa gangguan berbicara dan gangguan mastikasi :
a) Gangguan berbicara, hilangnya gigi anterior dapat menyebabkan
pelafalan dari huruf-huruf yang membutuhkan kontak gigi anterior
menjadi sulit. Beberapa huruf yang dibentuk melalui kontak antara lidah
dan gigi seperti s, z, x, d, n, l, j, t, th, ch, dan sh. Individu yang mengalami
kehilangan gigi terutama anterior akan sulit mengucapkan huruf-huruf
tersebut, sehingga akan mengganggu proses berbicara dan komunikasi
(Batista, dkk, 2014).
b) Gangguan mastikasi, kehilangan gigi juga menyebabkan hilangnya fungsi
mastikasi atau pengunyahan. Mastikasi merupakan proses penghancuran
makanan secara mekanik yang bertujuan membentuk bolus kecil
sehingga dapat mempermudah proses penelanan. Faktor-faktor yang
berkaitan dengan gangguan fungsi mastikasi antara lain adalah
kehilangan gigi posterior, status oklusi, aktivitas sensorik, aliran saliva,
dan fungsi motorik oral. Permukaan oklusal menjadi faktor penting saat
terjadinya proses pengunyahan, karena jumlah gigi mempengaruhi
pemecahan/pelumatan makanan (Batista, dkk, 2014).
Kehilangan gigi dapat menyebabkan fungsi pengunyahan hilang
secara bertahap dan dapat menyebabkan perubahan diet dikarenakan
menghindari bahan makanan tertentu, khususnya makanan yang sulit
untuk dikunyah. Beberapa individu lansia juga mengimbangi penurunan
https://repository.unimus.ac.id
17
kemampuan mengunyah dengan memilih makanan yang sudah diolah
atau dimasak daripada makanan segar yang harus dikunyah lebih lama
sebelum ditelan (Muthmainnah, dkk, 2017).
Berdasarkan hasil penelitian Elham Emami menyatakan bahwa
individu yang edentulous atau kehilangan gigi memiliki dampak lain
seperti sering kali mengkonsumsi makanan yang kurang akan serat dan
tingginya lemak jenuh. Sehingga untuk menghindari gangguan nutrisi
akibat dari dampak kehilangan gigi tersebut, perlu dibuatkan gigi tiruan
yang baik dan dapat membantu meningkatkan kesehatan mulut pasien
terkait kualitas hidup dan mengoptimalkan fungsi oral (Muthmainnah,
dkk, 2017).
4) Dampak Sistemik
Penurunan kemampuan mastikasi akan menimbulkan asupan nutrisi
yang kurang, sehingga kesehatan umum pun menurun. Tingginya asupan
lemak dan karbohidrat pada individu dengan jumlah gigi minim dikaitkan
dengan pengingkatan resiko kardiovaskular, saluran pencernaan, dan
kanker. Individu dengan fungsi mastikasi yang kurang cenderung
mengalami masalah pencernaan. Selain itu, kehilangan gigi juga memiliki
dampat sistemik lain yaitu berupa osteoporosis, dan penyakit
gastrointestinal, seperti kanker esofagus, kanker lambung dan kanker
pankreas (Asep dan Senjaya, 2016).
3. Dimensi Vertikal Wajah
https://repository.unimus.ac.id
18
a. Definisi
Boucher, membagi relasi rahang kedalam 3 kelas yaitu relasi orientasi
adalah relasi rahang bawah terhadap kranium pada waktu rahang berada pada
posisi sentris atau paling posterior, relasi vertikal atau dimensi vertikal antara
rahang atas dan bawah, relasi horizontal atau sentris tanpa mengetahui dimensi
vertikal maka relasi sentris atau horizontal tidak bisa diperoleh (Boucher, dkk,
2002).
Menurut Glossary of Prosthodontic Terms, “Dimensi vertikal wajah
merupakan jarak antara dua titik anatomi yang dipilih, yaitu satu titik pada
maksila dan satu titik pada mandibula”. Dimensi vertikal dibagi atas dimensi
vertikal oklusi (DVO) dan dimensi vertikal istirahat (DVI). Dimensi vertikal
fisiologis yaitu jarak vertikal antara rahang atas dan rahang bawah pada waktu
rahang bawah dalam keadaan istirahat fisiologis. Menurut Dawson, Sharry dan
Boucher menggunakan dimensi vertikal fisiologis sebagai titik awal dari
penentu dimensi oklusal, karena menurut banyak ahli posisi istirahat rahang
bawah terhadap muka dan kepala adalah tetap seumur hidup . sedangkan
dimensi vertikal oklusal ialah jarak vertikal antara rahang atas dan rahang
bawah pada waktu gigi geligi beroklusi (Boucher, dkk, 2002).
b. Pengukuran Dimensi Vertikal
Dimensi vertikal fisiologi (DVF) adalah jarak antara 2 titik (satu di bagian
tengah wajah atau hidung, dan satu lagi pada bagian bawah wajah atau dagu)
diukur ketika mandibula dalam posisi istirahat fisiologis. Posisi istirahat
https://repository.unimus.ac.id
19
fisiologis diartikan posisi rahang bawah saat otot elevator dan depressor dalam
keadaan istirahat fisiologis, tonus seimbang, dan kondilus dalam kedudukan
rileks dalam fosa glenoid. Dimensi vertikal okulsi (DVO) adalah jarak antara 2
titik ketika kontak oklusi (Wirahadikusumah, dkk, 2011).
Terdapat beberapa cara untuk mengukur dimensi vertikal oklusal secara
langsung maupun tidak langsung. Pengukuran menggunakan secara langsung
yakni pengkuruan yang dilakukan langsung pada wajah atau mulut pasien.
Pengukuran dimensi vertikal oklusi secara langsug terdiri dari pengukuran
wajah, penelanan, metode fonetik, bitting forces dan metode taktil. Pengukuran
dimensi vertikal oklusal secara tidak langsung terdiri dari pengukuran dimensi
vertikal oklusi dengan foto sefalometri, foto digital, rumus hayakawa dan
extraction record (Wirahadikusumah, dkk, 2011).
Dalam pengukuran dimensi vertikal dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1). Metode Wilis
Menurut Nallasmawy (2003), salah satu cara yang mudah dalam
menentukan dimensi vertikal adalah metode Willis yaitu jarak subnasion ke
gnation adalah sama dengan jarak pupil ke sudut mulut. Metode Willis
digunakan pada pasien dengan posisi kepala tegak yang nyaman di kursi dental
lalu ditetapkan dua titik pengukuran yaitu satu di hidung dan satu di dagu.
Keduanya dipilih pada daerah yang tidak mudah bergerak akibat otot ekspresi
(Nurung, dkk, 2014).
https://repository.unimus.ac.id
20
Pengukuran DVF pada wajah dengan menggunakan pengukuran jarak
sudut mata ke komisura bibir kanan dan kiri wajah, dan jarak dasar hidung ke
ujung dagu pada wajah dan analisis foto digital, menjelaskan bahwa tidak
terjadi perbedaan yang bermakna sehingga pada penelitian tersebut dapat
diterapkan untuk memprediksi DVF (Wirahadikusumah, dkk, 2011).
Gambar 2.4 Metode Willis, Jarak sudut mata ke komisura bibir = jarak dasar hidung
ke ujung dagu (Rangarajan dan Padmanabhan, 2017)
A B
https://repository.unimus.ac.id
21
Gambar 2.5 Pengukuran Dimensi Vertikal Metode Wilis
(A) Jarak antara pupil ke rima oris saat posisi istirahat
(B) Jarak antara dasar hidung dan dasar dagu
(Yasemin, 2017)
Dengan willis bite gauge, pada alat ini terdapat 3 bagian penting yaitu:
(Itjingningsih, 2016)
a). Fixed arm , yang diletakkan di bawah hidung
b). Sliding arm, yang dapat digeser dan mempunyai sekrup, diletakkan di
bawah dagu
c). Vertical orientation gauge, yang mempunyai skala dalam mm/cm,
ditempatkan sejajar sumbu vertikal muka.
Berdasarkan hasil penelitian Geerts, dinyatakan bahwa pengukuran
dengan jangka lebih tepat daripada dengan Willis bite gauge karena angulasi
alat yang tidak konsisten (Greets, dkk, 2004)
2). Metode Two dot (Itjingningsih, 2016).
Teknik two dot dilakukan dengan memposisikan kepala pasien dengan
tegak sejajar dengan bidang frankfurt horizontal dan nyaman di kursi dental
dan ditetapkan pengukuran pada garis tengah wajah menggunakan dua titik
(satu pada hidung dan satunya lagi pada dagu) keduanya dipilih pada daerah
yang tidak mudah bergerak akibat otot ekspresi dan dengan menggunakan
https://repository.unimus.ac.id
22
jangka sorong, menyentuh permukaan wajah tanpa ada tekanan (Gomes,
2008)
Gambar 2.6 Perbedaan dimensi vertikal oklusi dan istirahat
(Chairani, dkk, 2016)
Keterangan :
DVO = Occlusion Vertical Dimension( Dimensi Vertikal Oklusi)
DVF = Rest Vertical Dimension (Dimensi Vertikal Istirahat Fisiologi)
Gambar 2.7 Pengukuran Dimensi Vertikal Oklusi
(Chairani, dkk, 2016)
https://repository.unimus.ac.id
23
3). Metode Niswonger
Pengukuran dimensi vertikal dengan metode Niswonger (Physiologic
Rest Position) merupakan metode yang paling umum digunakan untuk
menetapkan dimensi vertikal oklusi. Metode ini menggunakan posisi istirahat
fisiologis (Rangarajan dan Padmanabhan, 2017).
Perhitungan Dimensi Vertikal :
DVO = Dimensi vertikal oklusi
DVF = Dimensi vertikal saat istirahat fisiologis
FWS = Free way space (2 - 4 mm)
Penentuan dimensi vertikal saat istirahat dipengaruhi oleh faktor sebagai
berikut : (Rangarajan dan Padmanabhan, 2017)
a) Postur pasien : posisi istirahat dipengaruhi oleh perubahan postur tubuh.
Pasien harus duduk tegak atau berdiri dengan kepala tegak dan menatap
lurus kedepan, ketika posisi istirahat ditentukan.
b) Pasien rileks : ketika seorang pasien gelisah, tegang dan mudah lelah,
posisi istirahat mungkin tidak akurat. Posisi istirahat dapat ditentukan
dengan akurat ketika pasien rileks.
c) Gangguan neuromuskuler : akan sulit untuk menentukan posisi istirahat
pada pasien dengan masalah gangguan neuromuskuler.
DVO = DVF – Free Way Space
https://repository.unimus.ac.id
24
d) Durasi : karena posisinya di ruang, pasien tidak dapat mempertahankan
posisi istirahat untuk waktu yang lama. Dokter gigi harus melakukan
pengukuran tanpa penundaan ketika pasien diposisi ini.
Gambar 2.8 Metode Niswonger’s dimensi vertikal oklusi (DVO) (Rangarajan
dan Padmanabhan, 2017)
c. Penurunan dimensi vertikal
Faktor yang mempengaruhi dimensi vertikal diantaranya adalah suku, ras,
bentuk wajah, profil wajah. Penurunan dimensi vertikal oklusi disebabkan
karena kehilangan gigi dengan gangguan skeletal, kehilangan gigi kombinasi
dengan abrasi gigi, kehilangan gigi kombinasi dengan abrasi dan migrasi gigi,
dan prosedur iatrogenic, sedangkan pada beberapa kasus terjadi penurunan
dimensi vertikal diakibatkan open bite anterior (Rebibo, dkk, 2009).
https://repository.unimus.ac.id
25
Gambar 2.9 Hilangnya Dimensi Vertikal oklusal
(Rebibo, dkk, 2009)
Faktor dalam jangka pendek yang mempengaruhi dimensi vertikal meliputi
posisi kepala, kehilangan gigi, rasa sakit didaerah mulut (berkaitan dengan otot)
dan faktor pernafasan. Faktor yang bersifat jangka panjang meliputi usia,
kesehatan umum dan kebiasaan parafungsi yang mengakibatkan abnormalitas
oklusi sehingga sangat berhubungan dengan hipertonus otot yang
mempengaruhi DVF (Wirahadikusumah, dkk, 2011).
d. Kesalahan dalam Pengukuran Dimensi Vertikal
Kesalahan dalam penentuan DVO bisa berupa relasi vertikal yang
terlalu tinggi atau relasi vertikal yang terlalu rendah. Relasi vertikal yang terlalu
tinggi menyebabkan gigi tiruan tidak stabil karena dataran oklusi gigi tiruan
letaknya terlalu jauh dari puncak lingir, gigi tiruan tidak nyaman dipakai dan
otot pengunyahan terlalu lelah, profil pasien menjadi jelek karena otot ekspresi
https://repository.unimus.ac.id
26
tegang dan apabila terlalu tinggi, bibir tidak dapat menutup, terjadi kliking dari
gigi, terjadi luka pada jaringan pendukung, resorpsi tulang dan gangguan
temporomandibula (Beckett, 2000; Mehta dan Joglekar, 2001).
Relasi vertikal yang terlalu rendah menyebabkan kuat gigit berkurang,
sehingga efisiensi pengunyahan berkurang, ekspresi wajah terlihat lebih tua
karena bibir kehilangan kepadatan dan terlihat terlalu tipis, sudut mulut terjadi
penurunan dan melipat, dapat terjadi Costen syndrome, dengan gejala-gejala
tuli ringan, sering pusing, tinitus, nyeri saat pergerakan sendi dan nyeri bila
ditekan, terjadi gejala neurologik seperti lidah terasa terbakar, nyeri pada lidah
dan tenggorokan, rasa nyeri kepala pada regio temporalis, gangguan kelenjar
ludah sehingga sekresi saliva berkurang dan mulut terasa kering (Beckett, 2000;
Mehta dan Joglekar, 2001).
4. Lansia
Lanjut usia adalah setiap orang yang berusia 60 tahun atau lebih, yang secara
fisik terlihat berbeda dengan kelompok umur lainnya. Umumnya setiap orang akan
mengalami proses menjadi tua dan masa tua adalah masa hidup manusia yang
terakhir. Pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial
hingga tidak melakukan tugasnya sehari-hari lagi (Depkes RI, 2003).
Berdasarkan data UNFPA, di dunia saat ini terdapat sekitar 737 juta jiwa
penduduk lansia, yaitu usia 60 tahun lebih. Berdasarkan jumlah tersebut sekitar dua
pertiga tinggal di negara - negara berkembang, termasuk di Indonesia. Data BPS
tahun 2010 mencatat jumlah penduduk Indonesia yaitu sebanyak 237.641.326 jiwa
https://repository.unimus.ac.id
27
dan sekitar 20 juta orang adalah penduduk lansia. Sensus Penduduk tahun 2010
menunjukkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah
penduduk lansia terbanyak di dunia yaitu 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari jumlah
penduduk Indonesia. Jumlah lansia tersebut meningkat sebanyak empat kali lipat
dibandingkan pada tahun 1970 yang tercatat sekitar 5,3 juta jiwa atau 4,48% dari
jumlah penduduk saat itu. Meningkatnya jumlah lansia seiring dengan
meningkatnya angka usia harapan hidup penduduk Indonesia sehingga jumlah
lansia bertambah dengan cepat. Indonesia akan mengalami peningkatan jumlah
populasi lansia yang luar biasa, pada tahun 2025 diproyeksikan sebesar 414%, ini
terbesar di dunia (Siska, 2012).
Menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah seseorang yang
telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia merupakan kelompok umur pada
manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok
yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut aging process
atau proses penuaan. Pengelompokan usia menggunakan pembagian menurut
WHO, usia sekitar 45-60 tahun atau disebut middle age, usia 60-75 tahun atau
elderly, usia 75-90 tahu n atau old dan usia diatas 90 tahun disebut very old
(Setiawan, 2013).
Pengelompokan lansia menurut Depkes RI 2006, Virilitas (prasenium) yaitu
masa persiapan usia lanjut yang menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun),
Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki masa usia lanjut
https://repository.unimus.ac.id
28
dini (usia 60-64 tahun), Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit
degeneratif (usia >65 tahun) (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan persebaran lansia di Indonesia, Provinsi Jawa Tengah menduduki
peringkat kedua sebagai provinsi dengan persentase jumlah lansia tertinggi sebesar
11,8% setelah Provinsi DI Yogyakarta yaitu sebesar 13,4%. Kota Semarang sebagai
ibu kota Provinsi Jawa Tengah tidak luput dari pertumbuhan jumlah penduduk
lansia yang menunjukkan peningkatan setiap tahunnya yaitu di tahun 2014 sebesar
111.609 jiwa, tahun 2015 sebesar 112.031 jiwa, dan meningkat tajam di tahun 2016
sebesar 128.826 jiwa. Pada data cakupan pelayanan kesehatan usia lanjut menurut
puskesmas Kota Semarang tahun 2014-2016, per-sebaran jumlah lansia di Kota
Semarang tidaklah merata dan terdapat tiga puskesmas teratas dengan jumlah lansia
tertinggi setiap tahunnya (Dinkes, 2016)
Tahap lanjut usia merupakan tahap dimana mulai terjadinya penurunan
kemampuan akal dan fisik pada tubuh manusia, begitu pula perubahan di dalam
rongga mulut. Akibat bertambahnya usia secara berangsur-angsur gigi berkurang
karena tanggal. Ketidaklengkapan gigi tentunya akan dapat mengurangi
kenyamanan dalam proses mengunyah makanan dan cenderung membatasi jenis-
jenis makanan yang dikonsumsi. Produksi air liur dengan berbagai enzim yang
dikandungnya juga mengalami penurunan, akibatnya dapat menimbulkan mulut
kering, kemampuan mengecap makanan berkurang, dan kemungkinan mempercepat
terjadinya penimbunan karang gigi. Faktor-faktor penting yang dapat
mempengaruhi kesehatan gigi pada lansia di antaranya adalah kurangnya produksi
https://repository.unimus.ac.id
29
saliva, serta kebiasaan tidak menjaga kebersihan gigi dan mulut (Depkes RI, 2001).
Kurang menjaga kebersihan gigi bisa berimplikasi masuknya bakteri yang
berujung pada banyak masalah kesehatan umum seperti penyakit jantung dan
penyakit lainnya. Penyakit di rongga mulut pada lansia dapat berakibat negatif
terhadap kesehatan dan kualitas hidup lansia secara keseluruhan. Beberapa kondisi
yang sering terjadi pada rongga mulut lansia: a) kehilangan gigi; b) penyakit gusi;
c) mulut kering (xerostomia); d) periodontitis. Melalui perawatan yang baik gigi
dapat bertahan selama mungkin di rongga mulut (Siska, 2012).
https://repository.unimus.ac.id
30
Gigi Geligi
Lansia
Anterior Posterior Etiologi
Kehilangan
Gigi
Trauma
Karies
Penyakit
Periodontal
Aging
Bad Habbit Dampak
Emosional Sistemik Fungsional Estetik
Metode
Pengukuran
Penurunan
Dimensi
Vertikal
Niswonger Wilis Two dot
Dimensi
Vertikal
A. Kerangka Teori
Gambar 2.10 Kerangka Teori
https://repository.unimus.ac.id
31
B. Kerangka Konsep
Gambar 2.11 Kerangka Konsep
Kehilangan gigi
posterior pada lansia
Pengukuran dimensi
vertikal dengan metode
wilis
https://repository.unimus.ac.id