13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan kajian pustaka yang memaparkan mengenai landasan
teoritik dari permasalahan yang dikaji. Dalam melaporkan hasil kajian, peneliti
membandingkan, mengontraskan, meletakkan tempat kedudukan masing-masing
dalam masalah yang sedang diteliti dan pada akhirnya menyatakan posisi atau
pendirian peneliti disertai alasan-alasannya. Telaah teoritis dimaksudkan untuk
menampilkan “mengapa dan bagaimana” teori dan hasil penelitian para pakar
terdahulu digunakan oleh peneliti. Merujuk pada pedoman penulisan karya ilmiah
UPI bahwa kajian pustaka harus memuat hal-hal berikut:
1. apakah teori-teori utama dan teori-teori turunannya dalam bidang yang dikaji.
2. apa yang telah dilakukan oleh orang lain atau peneliti lain dalam bidang yang
diteliti, bagaimana mereka melakukannya dan temuannya.
3. posisi teoritik peneliti yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.
Pada umumnya penelitian tentang pemikiran Ibn Khaldun sudah banyak
ditulis, baik oleh para penulis Barat maupun Timur. Beberapa ilmuwan Barat yang
melakukan kajian terhadap karya Ibn Khaldun diantaranya G.H. Bousquet dalam
karyanya Ibn Khaldun : Les Textes Sociologique et Economique de la Muqaddima
yang terbit pada tahun 1965 membahas pemikiran sosiologis dan ekonomis Ibn
Khaldun. M.A. Lahbabi yang berjudul Ibn Khaldun Presentation Choix ed Textes,
Bibliography terbit tahun 1968. Pada tahun 1963, Charles Issawi dengan judul An
14
Arab Philosophy of History dengan terjemahan teks Muqaddimah. Yves Lacoste,
Ibn Khaldun: Naissance de I’Historie du Tiers Mende hadir dengan karya terbaik
yang diwarnai dengan tinjauan kontemporer (Khudairi, 1987:1).
Peneliti lainnya yakni Zainab al Khudhairi, seorang Ilmuwan wanita yang
berasal dari Mesir dengan karyanya Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. Ia mengupas
hampir seluruh pemikiran Ibn Khaldun. Namun sampai saat ini, penulis belum
mendapatkan karya-karya mereka dalam bentuk aslinya. Penelitian sebelumnya
mengenai pemikiran Ibn Khaldun dalam bentuk skripsi penulis dapatkan dari
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) yang berjudul
‘Ashabiyah dan Proses Integrasi Sosial: Membaca Kasus Indonesia di Era
Reformasi (Telaah atas Konsep ‘Ashabiyah) karya Suparman (2001). Karya
lainnya berjudul Konsep ‘Ashabiyah menurut Ibn Khaldun yang diteliti oleh
Muhammad Iqbal (2007).
Kedua penelitian tersebut membahas tentang konsep ‘ashabiyah yang tidak
terlalu jauh berbeda. Suparman mengidentifikasi konsep ‘ashabiyah Ibn Khaldun
dengan meneliti relevansinya pada kondisi Indonesia saat ini. Menurut Suparman,
‘ashabiyah adalah sebuah konsepsi tentang bagaimana manusia mampu
mengintegrasikan, mengakomodir dan menciptakan sebuah sistem yang mampu
melahirkan rasa solidaritas sosial yang kuat dengan tujuan dan cita-cita bersama.
Dalam konteks ini, Suparman memandang bahwa ‘ashabiyah dan kekuasaan
bersifat koheren artinya ‘ashabiyah dipandang sebagai alat pemersatu yang
sanggup mengikat sejumlah individu untuk memperoleh sebuah kekuatan untuk
hidup bersama.
15
Pada konteks Indonesia saat ini, menurut Suparman rasa ‘ashabiyah bangsa
Indonesia sudah mulai luntur. Ia menyebutnya dengan ”peragian politik” (political
decay) dan disintegrasi. Disintegrasi muncul karena adanya keinginan untuk
”berkebangsaan” berdasarkan kebudayaan, bahasa, dan kesukuan (etnisitas).
Wujud disintegrasi ini terlegitimasi dalam bentuk tuntutan pengakuan identitas
etnis untuk memerdekakan diri (etno nationalism) seperti yang terjadi di Irian
Jaya dan Riau. Selain itu, bentuk lain dari disintegrasi itu antara lain adanya
konflik horisontal untuk mempertahankan identitas etnis dan agama seperti di
Ambon, Halmahera, Poso, Sambas dan NTT serta adanya perjuangan
perlindungan hak-hak masyarakat adat terhadap eksplorasi sumber daya alam
sekitarnya.
Penelitian Muhammad Iqbal lebih menitikberatkan penelitian pada aspek
sosiologis. Ia memandang konsep ’ashabiyah sebagai solidaritas organik untuk
mempertahankan kelangsungan negara atau dinasti dengan melihat peran, fungsi
dan tujuan ’ashabiyah. Kedua penelitian tersebut menurut penulis merupakan
sebuah karya yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya karena
telah melalui suatu proses pengujian sidang skripsi. Penelitian-penelitian tersebut
membantu penulis untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai pemikiran
Ibn Khaldun.
Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya yakni dalam hal fokus kajian.
Jika penelitian sebelumnya fokus pada konsep ’ashabiyah sebagai bagian dari
ilmu sosiologi, maka penelitian ini menitikberatkan pada kajian politik dan negara
16
dengan menggunakan konsep ’ashabiyah. Adapun beberapa teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori tentang negara, ’ashabiyah dan nasionalisme.
A. Teori Negara dan Legitimasinya
Negara berasal dari kata staat dalam bahasa Jerman atau state dalam bahasa
Inggris. Berdasarkan dua kata ini, menurut Franz Magnis Suseno (2001:170)
negara memiliki dua arti. Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang
merupakan satu kesatuan politis. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang
menjamin kesatuan politis itu, yang menata kemudian menguasai wilayah itu.
Misalnya pulau-pulau nusantara merupakan satu negara Indonesia (’’negara”
dalam arti pertama) karena mereka berada di bawah satu negara (”negara” dalam
arti kedua). Sedangkan suku-suku Papua tidak merupakan negara karena berada di
bawah satu lembaga pemerintahan.
Menurut Soehino (2004:11) pemikiran tentang asal mula negara baru
muncul ketika negara telah berdiri. Artinya keberadaan negara itu mendahului
pemikiran tentang negara dan hukum. Negara-negara ini telah ada sejak sekitar
abad ke XVIII SM dengan sistem pemerintahannya yang absolut. Pemikiran
tentang asal mula negara muncul sebagai sebuah fenomena sosial kemasyarakatan
yang menampakan diri setelah berabad-abad negara itu ada ketika negara
memberikan kebebasan berfikir kritis dan berpendapat kepada rakyatnya.
Fenomena kebebasan berpendapat dan berfikir kritis inilah yang
mendukung Aristoteles melahirkan teori asal mula negara (384-322 SM). Menurut
Aristoteles (dalam Rapar, 1989:33) ”negara merupakan persekutuan hidup politis
17
yang berbentuk polis (negara kota)”. Berdasarkan definisi tersebut maka terdapat
beberapa hal penting dalam suatu negara. Pertama, negara tidak hanya instrumen
atau kumpulan yang teratur dari organisasi atau bagian-bagian tertentu melainkan
suatu persekutuan hidup yang menunjukkan adanya keterhubungan yang bersifat
organik antara warga negara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini,
Aristoteles menyatakan bahwa negara adalah suatu organisme.
Kedua, persekutuan hidup politis bermakna keterhubungan orang-orang
yang berada dalam satu polis (negara kota), yang disebut sebagai warga negara
harus bersifat erat, akrab, khusus dan lestari. Ketiga, jika aspek pertama dan kedua
telah terpenuhi maka akan tercapai kesatuan dan keutuhan negara yang
didambakan akan tercipta dengan sendirinya. Keempat, ukuran negara ideal
adalah polis (negara kota) dan bukan kerajaan yang seluas dunia. Negara yang
telampau kecil akan sulit mempertahankan eksistensinya sedangkan negara yang
terlampau besar akan sulit untuk menciptakan, memelihara dan menjamin
kesatuan serta keutuhan negara sebagai salah satu faktor kelangsungan negara.
Menurut Aristoteles negara adalah persekutuan hidup paling akhir dalam
perkembangan persekutuan hidup manusia, maka Ia menempati posisi paling atas,
paling tinggi dan sempurna. Persekutuan hidup terkecil yang dibentuk manusia
bermula dari keluarga. Selanjutnya keluarga berkembang menjadi desa, sebagai
tempat untuk memenuhi kebutuhan sosial manusia. Sesudah itu, desa tumbuh dan
berkembang terus menjadi negara kota (polis). Negara adalah akhir dari proses
persekutuan hidup manusia.
18
Maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan negara bermula dari kodrat
alam. Mula-mula oleh kodrat pria dan wanita bergabung membentuk keluarga,
kemudian keluarga berkembang menjadi banyak keluarga yang kemudian
bergabung membentuk desa. Desa terus tumbuh dan berkembang menjadi banyak
desa yang akhirnya bergabung dan terbentuklah polis (negara kota). Negara
adalah akhir dari proses pertumbuhan dan perkembangan (Rapar, 1989:39).
Tujuan negara menurut Aristoteles adalah kepentingan umum sebab yang
diutamakan dalam kebahagiaan negara adalah kebahagiaan masyarakat. Selain itu,
Ia berpendapat bahwa tidak ada pemerintahan yang abadi karena dalam tiap diri
manusia terdapat karakter untuk melakukan revolusi. Golongan inilah yang
merupakan benih-benih revolusi yang setiap waktu dapat meletus, ingin
menggulingkan pemerintahan yang ada. Maka untuk meminimalisir hal tersebut,
menurut Aristoteles bentuk negara yang terbaik itu adalah Republik
Konstitusional.
Menurut Thomas Aquinas tujuan negara adalah tujuan penciptaan manusia,
sehingga tujuan berdirinya negara adalah untuk mencapai kemuliaan abadi dalam
kehidupan manusia setelah mati (dalam Suhelmi, 2004:94). Kemuliaan abadi ini
hanya dapat dicapai oleh tuntutan gereja. Maka tugas negara adalah memberi
kesempatan kepada manusia agar tuntutan dari gereja dapat dilaksanakan. Negara
bertugas agar terjadi keseimbangan kekuasaan antara negara dan gereja. Oleh
karena itu kedudukan gereja dan negara berada pada posisi yang sama. Tugas
negara adalah bergerak dalam hal-hal keduniawian sedangkan gereja bertugas
bergerak dalam hal-hal kerohanian dan keagamaan.
19
Menurut Thomas Aquinas bentuk negara terbaik adalah monarki karena
pemerintahan satu orang lebih memungkinkan terciptanya perdamaian dan
kesatuan negara. Selain itu, penguasa tunggal sesuai dengan hakikat hukum kodrat
yakni alam selalu diperintah oleh satu oknum yang disebut hati. Negara yang baik
adalah negara yang penguasanya selalu mewujudkan kebaikan bersama sedangkan
yang buruk penguasanya memiliki vested interest yang mementingkan kebaikan
dan keuntungan bagi dirinya sendiri (Suhelmi, 2004:102).
Bentuk pemerintahan terburuk menurut Aquinas adalah tyrani. Ini dapat
muncul apabila penguasa tunggal tidak memiliki pengawasan atau kontrol
terhadap kekuasaannya yang berbasiskan kekuatan turun temurun. Beberapa hal
yang perlu dilakukan agar tidak muncul penguasa tyran menurut Aquinas adalah
dengan melakukan beberapa hal yakni pertama, pemilihan penguasa tunggal harus
berdasarkan kemauan masyarakat dan kualitas pribadinya. Pengangkatan
pemimpin harus didasari oleh basis teologis dan tidak turun menurun karena
pengangkatan penguasa merupakan ketetapan Tuhan. Kedua, kekuasaan penguasa
tunggal harus dibatasi dengan undang-undang atau konstitusi. Keempat, harus ada
sharing of power dalam pemerintahan.
Apabila keempat hal di atas telah dilakukan namun penguasa tetap tyran
maka rakyat diperbolehkan untuk mentolerir tirani itu. Kemungkinan terburuk jika
rakyat melakukan perlawanan adalah akan terjadi malapetaka politik dan
kezaliman dari penguasa baru yang terkadang dapat lebih buruk, zalim dan kejam
dari penguasa tyran sebelumnya. Penguasa tyran tidak boleh dibunuh karena itu
bertentangan dengan ajaran Kristiani namun apabila revolusi itu telah terjadi atas
20
kehendak umum dan sang raja terbunuh maka ini dapat diterima. Maka, solusi
dari permasalahan ini adalah dengan berdo’a kepada Tuhan agar penguasa
berubah hatinya dari bengis dan kejam menjadi lemah lembut dan baik hati.
Menurut Jean Bodin tujuan negara adalah kekuasaan dan penguasa pertama
adalah pemimpin militer yang memperlihatkan kekuasaannya. Maka, negara
adalah perwujudan dari kekuasaan. Kekuasaan menurutnya memerlukan
kedaulatan. Kedaulatan adalah ”kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara
dan rakyatnya, tanpa ada suatu pembatasan apapun dari undang-undang”
(Soehino, 2004:79). Sifat dari kedaulatan ini adalah tunggal yang berarti hanya
negaralah yang memiliki, tidak ada kekuasaan lain yang berhak memiliki; asli
maksudnya tidak berasal atau diturunkan dari kekuasaan lain; abadi maksudnya
bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah negara; tidak
dapat dibagi-bagi artinya kedaulatan tidak dapat diserahkan kepada badan atau
pemerintahan lain, baik sebagian atau seluruhnya.
Konsep kedaulatan dan kekuasaan yang dikembangkan adalah absolut
karena Ia tidak menghendaki adanya badan perwakilan yang mempunyai
kekuasaan selain raja. Ia tidak membedakan antara negara dan pemerintah karena
hal ini dapat mengakibatkan pada pembagian kekuasaan. Sedangkan menurut
aliran modern, keberadaan negara harus dipelajari berdasarkan fakta sebagai suatu
kenyataan, yang terikat pada keadaan, tempat dan waktu (Soehino, 2004:141).
Menurut Kranenburg negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang diciptakan
oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Maka, menurutnya syarat primer
berdirinya suatu negara adalah masyarakat manusia yang disebut dengan bangsa
21
yang harus terlebih dahulu ada. Sementara negara merupakan syarat sekunder,
yang menyusul kemudian. Pandangannya tentang bangsa didasari oleh formasi-
formasi kerjasama internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukan
perserikatan negara-negara.
Menurut Logeman bahwa negara adalah ”suatu organisasi kekuasaan yang
meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa”
(dalam Soehino, 2004:143). Melalui definisi ini, ia berupaya untuk menjelaskan
bahwa negara berawal dari kumpulan atau organisasi-organisasi kemasyarakatan
yang kemudian bergabung membentuk suatu negara. Pandangannya bertolak
belakang dengan Kranenburg karena baginya yang primer adalah negara
sedangkan bangsa adalah syarat sekunder. Jika menurut Kranenburg bangsa yang
menciptakan negara sedangkan menurut Logeman negara atau organisasi itulah
yang menciptakan bangsa, maka bangsa tergantung pada organisasi.
Perbedaan keduanya terletak pada konsep bangsa, baik ditinjau secara
ethnologis maupun bangsa dalam arti rakyat. Bangsa menurut Ernest Renan
adalah ”suatu nyawa, suatu azas akal” (dalam Soehino, 2004:143 ), yang terjadi
karena dua hal: pertama, adanya satu riwayat kebersamaan pada masa lalu dan
kedua adanya kemauan dan keinginan untuk hidup bersama. Persatuan harus
didasari oleh persamaan-persamaan kebudayaan, nasib, sejarah dan lain
sebagainya serta adanya kesadaran atas persamaan-persamaan tersebut.
Menurut Ibn Khaldun negara ibarat suatu makhluk hidup yang lahir, mekar,
menjadi tua dan akhirnya hancur yang memiliki usia tiga generasi yakni sekitar
120 tahun. Pemikirannya tentang negara didasari bahwa manusia adalah makhluk
22
sosial (social animal) yang tidak mampu bertahan hidup dan mempertahankan diri
sendiri tanpa bantuan yang lain. Selain itu, manusia memiliki karakter saling
menyerang antara satu dan lainnya, maka negara berfungsi untuk melindungi
manusia dari manusia lainnya serta untuk mewujudkan fitrahnya sebagai manusia
untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Kepemimpinan yang kuat
harus didasari oleh karisma dan wibawa serta mulk (kekuasaan wibawa) agar
dipatuhi oleh pengikutnya.
Negara merupakan suatu kekuatan yang berada di atas masyarakat dan
bukan kekuatan terpadu dalam suatu masyarakat dan terbentuk melalui tahap-
tahap tertentu. Negara lahir dari keadaan primitif, kemudian tumbuh sampai
mencapai puncak kekuatan dan kebudayaan kota, kemudian memasuki masa
kehancurannya dan digantikan oleh negara lain (dalam Khudhairi, 1987:187).
Kerangka konsep negara merupakan siklus umum yang melalui tahap dasar
pembentukan negara, pemusatan kekuasaan, kesantaian dan kesenangan,
ketundukan dan kemalasan, akhirnya tahap foya-foya dan penghamburan
kekayaan. Perkembangan negara seperti itu berbentuk spiral yakni masing-masing
negara merupakan salah satu lingkaran dan keseluruhan lingkaran itu maju ke
depan.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik persamaan bahwa pada
dasarnya negara memiliki unsur yang disebut dengan kekuasaan. Kekuasaan agar
mantap harus memiliki legitimasi atau legalitas. Kekuasaan lahir karena didasari
oleh tiga hal yaitu sumber kekuasaan, pemegang kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan dan pengesahan kedaulatan. Ketiga komponen ini merupakan
23
legitimasi penguasa untuk menyempurnakan kekuasaannya. Sumber kekuasaan
mempersoalkan tentang asal atau sumber kekuasaan yang ada dalam negara.
Sumber kekuasaan sebagai legitimasi memiliki dua teori yaitu teori teokrasi dan
teori hukum alam.
Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah Tuhan. Teori ini
berkembang pada masa abad pertengahan yaitu abad V sampai abad XV.
Penganut teori ini adalah Thomas Aquinas, Augustinus dan Marsilius. Sedangkan
teori alam mengemukakan bahwa asal atau sumber kekuasaan berasal dari rakyat.
Teori ini dipelopori oleh Thomas Hobes dan Rousseau. Menurut Hobes dan
Rousseau, pada mulanya kekuasaan itu ada pada setiap individu kemudian
diserahkan kepada raja melalui suatu perjanjian dengan masyarakat yang disebut
dengan kontrak sosial. Kekuasaan tersebut diserahkan kepada masyarakat sebagai
satu kesatuan maka pada dasarnya rakyat hanya menyerahkan sebagian kekuasaan
bukan kedaulatan.
Pemegang kekuasaan tertinggi erat kaitannya dengan pemilik kekuasaan
dalam suatu negara yang berarti kedaulatan tertinggi. Menurut Jean Bodin,
sarjana Perancis Abad XVI ”kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk
menentukan hukum dalam suatu negara yang sifatnya tunggal, asli, abadi dan
tidak terbagi”. Berdasarkan konsepsi ini, maka lahirnya dua jenis kedaulatan yang
dikenal dan dipergunakan sampai saat ini yaitu kedaulatan ke dalam (interne
souvereiniteit) dan kedaulatan ke luar (externe souvreiniteit). Kedua kedaulatan
didasari oleh pemegang kekuasaan tertinggi yang disebut dengan teori kedaulatan.
24
Teori kedaulatan ini dibagi dalam empat jenis yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori
kedaulatan negara, teori kedaulatan hukum dan teori kedaulatan rakyat.
Pertama, teori kedaulatan Tuhan menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara ada pada Tuhan, teori ini berkembang pada abad pertengahan
(abad V-XV). Menurut Augustinus, wakil Tuhan dimuka bumi adalah paus
sedangkan menurut Marsilius adalah raja. Thomas Aquinas menghasilkan sintesis
dari kedua pendapat itu bahwa wakil Tuhan dimuka bumi adalah paus dan raja
sehingga antara raja dan paus kedudukannya sama-- yang berbeda adalah
tugasnya. Apabila paus bergerak dalam bidang keagamaan maka raja bergerak
dalam bidang keduniawian.
Kedua, teori kedaulatan negara yang menyatakan bahwa kedaulatan negara
berada pada negara. Negara adalah pencipta hukum yang harus dipatuhi dan
bersifat memaksa baik itu bersifat absolut maupun terbatas. Penganut teori negara
adalah Jean Bodin dan George Jellinek. Menurut Jellinek negara adalah satu-
satunya sumber hukum dan memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan (dalam
Soehino, 2004:155). Maka, tidak ada satu orang pun yang berwenang
menciptakan hukum selain negara. Hukum adalah penjelmaan dari kehendak dan
kemauan negara.
Ketiga, teori kedaulatan hukum yang lahir sebagai penegas dari teori
kedaulatan negara yang mendasarkan kedaulatan pada hukum. Menurut Krabbe
yang berdaulat bukanlah negara tetapi hukum atau recht souvereiniteit. Sumber
hukum adalah rasa hukum yang terdapat dalam masyarakat dalam bentuk yang
masih sederhana dan primitif dinamakan dengan instink hukum. Menurut
25
Kranenburg teori ini harus memiliki keseimbangan setelah diadakan penyelidikan
empiris analitis karena rasa hukum itu dapat berubah sewaktu-waktu. Maka, teori
ini harus senantiasa berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Keempat, teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa sumber hukum
tertinggi adalah rakyat, masing-masing individu menyerahkan kekuasaannya
kepada penguasa yang disebut raja melalui perjanjian masyarakat. Raja atau
penguasa ini lahir dari suatu hukum alam, ini adalah dasar kekuasaan raja sebelum
Ia menjadi raja. Teori ini dipelopori oleh J.J Rousseau dan Thomas Hobes.
Menurut mereka, rakyat adalah kesatuan individu-individu yang mempunyai
kehendak, setelah bersatu maka kehendak ini menjadi kehendak umum. Teori ini
didukung oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa tujuan negara adalah
untuk menegakan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya. Kebebasan
yang dimaksud adalah kebebasan yang dibatasi oleh undang-undang yang
dirumuskan oleh rakyat, maka rakyat adalah penjelmaan dari kekuasaan tertinggi.
Oleh karena itu, pengesahan kekuasaan dapat tercapai jika sumber kekuasaan dan
pemegang kekuasaan tertinggi telah tercapai. Kedua aspek ini dapat menentukan
bentuk dan tujuan negara.
Ibn Khaldun berasumsi bahwa sumber kekuasaan dalam suatu negara adalah
rakyat dan Tuhan. Dengan demikian, pernyataan Ibn Khaldun ini merupakan
sintesa dari teori theokrasi dan teori hukum alam. Menurut teori theokrasi, sumber
kekuasaan berasal dari Tuhan. Ibn Khaldun menggunakan gagasan ini dalam
menjelaskan tentang khilafah bahwa khalifah adalah bayangan Tuhan di muka
bumi dan secara umum pada dasarnya manusia adalah khalifah bagi dirinya
26
sendiri. Setiap individu memiliki potensi sebagai khalifah (pemimpin) sejak Ia
tercipta dan terlahir di muka bumi. Teori theokrasi yang digagas Ibn Khaldun ini
berbeda dengan Barat pada abad pertengahan yang dinisbatkan pada paus dan raja
karena dalam Islam tidak dikenal dikotomi peran duniawi dan akhirat melainkan
universalisme Islam, raja adalah penguasa sekaligus pemimpin agama.
Teori hukum alam menyatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat
(alam kodrat), kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada
seseorang yang disebut raja untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat
(Soehino, 2004:150). Hal ini terjadi pada konsep pemikiran Ibn Khaldun yang
menyatakan bahwa sumber kekuasaan berasal dari rakyat karena adanya
hubungan kepemilikan. Teori ini serupa dengan pemikiran Hobes dan Rousseau
yang baru muncul pada sekitar abad XVII. Menurut Ibn Khaldun kedaulatan
tertinggi dalam suatu negara adalah solidaritas sosial (’ashabiyah) yang kuat harus
dimiliki oleh pemimpinnya. Kedaulatan pada hakikatnya adalah kekuatan untuk
menguasai rakyat, sanggup memungut iuran negara, mengirimkan angkatan
bersenjata, melindungi perbatasan dan tidak ada satu penguasa pun yang berada di
atasnya. Menurutnya, sudah seharusnyalah negara berdasarkan agama agar segala
sesuatunya berada di bawah naungan pengawasan Tuhan pemberi hukum.
B. ’Ashabiyah sebagai Sumber Kekuasaan Negara
Definisi ’ashabiyah berdasarkan kitab muqaddimah terbitan Beirut 1886
sebagai berikut:
’Ashabiyah ialah hendaknya seseorang membela keluarganya dan mempertahankan semampu mungkin orang –orang yang tergabung dalam
27
’ashabiyah yaitu keluarga-keluarga dari orang tersebut dari garis ayahnya, sebab mereka adalah para pembela orang-orang di atas mereka sampai ke pokoknya (dalam Khudhairi, 1987:141).
Menurut ensiklopedi Islam,” ’ashabiyah berasal dari bahasa arab al
’ashabiyah yang artinya semangat, fanatisme atau kefanatikan golongan”.
Keterikatan seseorang yang sangat kuat terhadap kelompok atau jama’ahnya
untuk membela dan mempertahankan prinsip-prinsipnya. Osman Raliby
mengartikannya dengan rasa golongan, Muhsin Mahdi mengartikannya sebagai
social solidarity, Frans Rosenthal seorang orientalis membahasakannya dengan
group feeling, Charles Issawi mengartikannya dengan solidarity sedangkan Philip
K Hitti menyebutnya dengan tribal spirit (semangat kesukuan) atau the spirit of
the clan.
Abd al-Raziq al Makki menjelaskan bahwa ’ashabiyah berasal dari kata
’ashab yang berarti hubungan dan ’ishabah yang artinya ikatan. Maka secara
bahasa ’ashabiyah merujuk pada ikatan mental yang menghubungkan orang-orang
yang mempunyai hubungan kekeluargaan karena keluarga dalam bahasa arab
berarti ’ashabah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ’ashabiyah erat
kaitannya dengan solidaritas kesukuan, kekeluargaan dan keturunan (dalam
Khudairi, 1987:144).
Mengamati sejarahnya, ’ashabiyah dilarang dalam Islam seperti yang
dikemukakan dalam sebuah hadits Jami’ as- Shaghir bahwa ’barang siapa yang
menyeru pada ’ashabiyah tidaklah termasuk kita, barang siapa berperang karena
’ashabiyah tidaklah termasuk kita dan barang siapa mati dalam keadaan
mendukung suatu ’ashabiyah tidaklah termasuk kita’ (dalam Khudhairi,
28
1987:141-142). Pengharaman ’ashabiyah jenis ini karena tidak dilandasi agama
yakni ’ashabiyah yang dilandasi fanatisme kesukuan. ’Ashabiyah tipe ini terwujud
dalam bentuk dukungan seseorang terhadap orang-orang yang satu kelompok
dengannya, terlepas orang-orang tersebut termasuk penindas atau tertindas.
Namun ’ashabiyah yang digagas oleh Ibn Khaldun, menurut Khudhairi adalah
diperbolehkan karena termasuk ’ashabiyah terpuji. Hal ini didukung oleh Deliar
Noer (1982:60) bahwa ” ’Ashabiyah yang disertai agama akan bertambah kuat,
sehingga golongan tersebut akan tumbuh bersatu. Rasa agama yang melemah
dapat melemahkan ’ashabiyah.
Dengan demikian, ’Ashabiyah yang dimaksud adalah ’ashabiyah yang
meliputi satu keluarga saja dengan perasaan solidaritas yang harus didasarkan
pada agama. Maka, agama menjadi motivasi satu-satunya untuk melakukan
penaklukan dan bergabung dalam solidaritas ’ashabiyah. Ia lebih melihat definisi
’ashabiyah sebagai makna yang mengisyaratkan berbagai unsur yang kompleks.
Kata ’ashabiyah tidak hanya mengisyaratkan perasaan atau perilaku psikologis
saja, tetapi juga mengisyaratkan suatu relitas yang sangat kompleks yakni realitas
sosial-politik yang pada akhirnya realitas-realitas ini menimbulkan akibat
psikologis yang sangat penting.
Maka konsep ’ashabiyah ini tidak hanya bermakna sosial tetapi dapat juga
bermakna politis. Makna sosial dalam konsep ’ashabiyah solidaritas kesukuan,
namun ini bukanlah ikatan sosial seperti ikatan dalam keluarga atau keturunan
melainkan solidaritas diantara suku-suku terutama kesukuan dikalangan orang-
orang desa, sementara dikalangan orang-orang kota rasa ’ashabiyah telah
29
memudar. Dengan demikian, hanya kehidupan desalah yang dapat melahirkan
’ashabiyah dengan syarat pertamanya adalah adanya struktur kesukuan.
Kehidupan masyarakat desa lebih mampu menjaga garis keturunan, karena
kondisi masyarakatnya terisolasi. Bentuk ’ashabiyah yang terjadi pada masyarakat
desa adalah ’ashabiyah keturunan dan kekerabatan. Ikatan inilah yang membuat
’ashabiyah menjadi lebih kuat. Faktor lain yang memperkuat ’ashabiyah pada
masyarakat desa adalah kerasnya kehidupan yang mereka jalani membuat mereka
menjadi survive dan bahu membahu untuk melawan serangan dari luar sehingga
musuh pun segan untuk menyerang. Sementara masyarakat kota tidak
memerlukan ’ashabiyah karena keamanan mereka telah ditangani oleh polisi dan
tentara.
Charles Issawi mengidentifikasi ’ashabiyah sebagai ’solidaritas sosial’, De
Slane mengungkapkannya sebagai ’semangat kelompok’. Hal ini terjadi karena
keduanya menerjemahkan ’ashabiyah sebagai keluarga, kelompok para sahabat,
semangat ras dan kelompok, patriotisme, nasionalisme dan semangat nasional.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa konsep ’ashabiyah
bukan sebagai gejala atau fenomena umum yang terjadi pada setiap masyarakat.
Maka konsep ini tidak dapat digunakan dan digeneralisasi pada setiap masyarakat
dan pemerintahan.
Menurut Osman Raliby (1978:156) ’ashabiyah adalah konsep yang
mendasari kekuatan suatu negara. Tujuan dari konsep ini adalah pertahanan dari
penyerangan hanya dapat terwujud dari orang-orang yang seketurunan.
’Ashabiyah pun dapat terbentuk dari persahabatan sejak zaman kanak-kanak dan
30
merupakan saudara sesusuan serta bersama-sama dalam menghadapi segala
permasalahan hidup yang menyangkut hidup dan mati. Proses ini melahirkan rasa
cinta dan tolong menolong serta gotong royong, ’ashabiyah yang melalui proses
ini memiliki akar ’ashabiyah yang kokoh.
’Ashabiyah lemah terjadi ketika individu tidak memiliki ’ashabiyah
seketurunan dan kekerabatan karena kerjasama akan sulit terwujud. Terlebih
ketika sudah tidak begitu memahami mengapa ikatan nasab itu terjalin dan
mulailah ’ashabiyah itu melemah. Hal ini terjadi ketika para pemimpin daulah
(negara) mulai mempekerjakan orang asing yang tidak memiliki ikatan ’ashabiyah
karena mereka hanya berorientasi pada materi dan kedudukan. Pembelaan yang
mereka lakukan pada negara bukan didasari oleh ikatan ’ashabiyah tetapi
tergantung pada materi yang mereka terima.
Wujud ’ashabiyah di perkotaan muncul pertama kali ketika kota dalam
keadaan kekosongan kekuasaan (vacum of power) melalui proses interaksi akrab
antar individu yang dilanjutkan dengan perkawinan. Perkawinan melahirkan
golongan-golongan yang ikatannya perorangan dalam wujud kabilah-kabilah.
Diantara mereka sering terjadi konflik dan saling menyerang. Kehadiran
pemimpin yang memiliki mulk (kekuasaan wibawa) sangat diperlukan untuk
mencegah hal itu.
Setelah satu ’ashabiyah memiliki kekuatan dalam kelompoknya. Ia akan
melakukan perluasan wilayah melalui penaklukan sampai terciptalah sebuah
kerajaan dengan wilayah yang luas. Proses peralihan kekuasaan pada generasi
selanjutnya dilakukan melalui pewarisan turun temurun pada generasi seketurunan
31
(’ashabiyah). ’Ashabiyah yang berkuasa ini adalah yang paling kuat diantara yang
lainnya setelah mengalami peleburan dengan ’ashabiyah-’ashabiyah lainnya.
’Ashabiyah itu memiliki superioritas untuk memaksa orang lain agar menerima
kekuasaan pemerintahannya. ’Ashabiyah ini adalah ’ashabiyah al kubra
(’ashabiyah terbesar) yang hanya terdapat pada rakyat yang memiliki keluarga
yang kuat dan kepemimpinan (riyasah) diantara suku-sukunya. Namun ketika
sebuah negara sudah pada tahap perkembangannya dan memiliki kedudukan yang
kuat selama beberapa generasi, ’ashabiyah akan diabaikan oleh orang-orang. Pada
tahap ini ’ashabiyah mulai melemah dan mendekati masa tuanya.
Oposisi dari ’ashabiyah yaitu ’ushbah (golongan-golongan) yang berbeda-
beda. Setiap suku bangsa hanya memiliki ’ashabiyah sendiri-sendiri karena tidak
ada ’ashabiyah dominan yang dapat mempersatukan mereka. Seperti yang terjadi
pada Bani Israil yang terdiri dari suku bangsa Palestina, Kan’an, Bani Esau, Bani
Median, Bani Luth, Edom, Armenian, Amalekit, Girgasy dan Nabatea. Sulit sekali
bagi Bani Israil untuk mendirikan suatu negara yang kuat karena mulk yag
dimilikinya tidak kuat sehingga Ia berkali-kali dikalahkan oleh bangsa Persia,
Yunani dan Romawi sampai akhirnya porak poranda. Sebaliknya amatlah mudah
mendirikan suatu negara yang bebas dari golongan-golongan seperti Mesir dan
Syria. Mesir mampu menjadi suatu negara yang kuat dan tenteram karena hanya
memiliki sedikit pengikut khawarij ataupun kabilah-kabilah.
Ibn Khaldun mendefinisikan ’ashabiyah sebagai ikatan solidaritas yang
muncul karena pertalian darah (keturunan) atau pertalian yang mempunyai arti
yang sama seperti sesusuan atau sahabat akrab sejak kecil. Kekuatan pertalian
32
darah melahirkan ikatan untuk saling membela dan ikut merasakan kesakitan yang
menimpa kaumnya. Jika ikatan darah ini jauh, maka ’ashabiyahnya pun lemah
sehingga yang lahir adalah rasa kefamilian dan persaudaraan.
Persaudaraan dapat melahirkan semangat kerjasama dan tolong menolong
ketika saudara atau keluarganya yang lain dalam bahaya. Meskipun ’ashabiyah ini
masih lemah karena lebih bersifat emosional daripada objektif. Ikatan ini hanya
berguna untuk mendekatkan hati dan kecintaan. Apabila Ia hanya didasarkan pada
keturunan dari nenek moyang yang sama, maka Ia akan lemah dan memperoleh
pengaruh yang rendah terhadap perasaan dan hanya sedikit berdampak pada mulk
(kekuasaan wibawa). Interaksi ini akan melahirkan sifat kepemimpinan yang
didasari oleh solidaritas satu keturunan (’ashabiyah) yang diperoleh atas rakyat
golongan.
’Ashabiyah pun dapat timbul dari persekutuan seperti yang terjadi pada
hubungan antara dinasti dengan perbudakan dan penyewaan tentara. Maka rasa
kekeluargaan merupakan efek yang ditimbulkannya. Sebagaimana yang Ia
ungkapkan dalam muqaddimah bahwa ”bilamana suatu kelompok ’ashabiyah
mempekerjakan suatu kelompok yang bukan keturunan mereka dan mengambil
para budak serta kaum mawali sebagai budak maka kedua kelompok terakhir itu
bergabung dengan mereka”. Garis keturunan kaum mawali dan para penggabung
itu pun termasuk dalam ’ashabiyah.
Menurut penulis, ’ashabiyah dapat ditafsirkan dalam makna sosial dan
politik. Bermakna sosial karena ’ashabiyah lahir dari nilai-nilai sosial, terbentuk
dari perasaan emosional baik itu ’ashabiyah yang terbentuk dari keturunan
33
maupun melalui kefamilian. Bermakna politik ketika ’ashabiyah menjadi
kekuatan bagi tegaknya daulah (negara), ikatan ini beralih dari ikatan sosial
persaudaraan menjadi ikatan politik yakni ketundukan dan kepatuhan terhadap
pemimpin yang memang memiliki ’ashabiyah yang sama. Pada akhirnya
’ashabiyah menjadi suatu ikatan yang dapat melahirkan kekuatan negara dalam
sistem politik
C. ’Ashabiyah, Negara dan Nasionalisme
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa ’ashabiyah
memiliki makna sosial dan politik. Bermakna sosial ketika ’ashabiyah dengan
solidaritas sosialnya mampu mewujudkan nilai-nilai dasar manusia sebagai
makhluk sosial untuk saling menolong dan membantu sehingga terwujud dalam
kesatuan suatu negara. Bermakna politis ketika ’ashabiyah mampu menjadi
perekat untuk menegakan dan mempertahankan suatu negara. Apabila suatu
’ashabiyah kuat maka negara pun akan kuat tetapi jika ’ashabiyahnya lemah maka
akan berdampak pada lemahnya stabilisasi suatu negara.
Negara menjadi sebuah wadah bagi legitimasi ’ashabiyah karena Ia
merupakan sumber kedaulatan bagi suatu negara yang berasal dari rakyat. Ia
menjadi suatu kekuasaan yang sempurna ketika mampu menyatukan semua unsur
kesukuan dan memaksakan kehendak penguasa untuk dipatuhi. ’Ashabiyah yang
memegang kendali dalam suatu negara disebut sebagai ’ashabiyah al kubra. Ia
adalah pemenang dari ’ashabiyah-ashabiyah yang ada, tidak dikendalikan dan
berada di bawah ’ashabiyah manapun.
34
Saat ini konsep ’ashabiyah kurang begitu dikenal dalam suatu negara
karena tergantikan dengan konsep nasionalisme. Kedua konsep ini merupakan
bagian dari politik bernegara yang terkadang diidentikan atau dibedakan sama
sekali karena memiliki persamaan dan perbedaan. Secara umum nasionalisme
adalah sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total diabdikan
langsung kepada kegiatan bangsa atas nama sebuah bangsa. Maka, nasionalisme
erat kaitannya dengan konsep nation dan isme yang dinamakan paham
kebangsaan.
Nasionalisme menurut Kamus Webster dideskripsikan sebagai loyalitas dan
kecintaan kepada suatu bangsa, khususnya rasa kesadaran memuliakan satu
bangsa di atas yang lain dan menempatkan penekanan utama pada
mempropagandakan kebudayaan dan kepentingan sebagai saingan terhadap
bangsa-bangsa yang lain atau kelompok-kelompok supranasional. Sedangkan
dalam kamus Britanica, nasionalisme berarti: filosofi politik atau sosial dimana
kesejahteraan negara adalah sebuah entitas yang dirasa penting (dalam
http://pangkep.ning.com/profiles/blogs/nasionalisme-vs--nasionalisme [24January
2009] )
Menurut Ernest Renan nasionalisme merupakan ’rasa kesadaran yang kuat
yang berlandaskan atas kesadaran akan pengorbanan yang pernah diderita
bersama dalam sejarah dan atas kemauan menderita hal-hal serupa itu dimasa
depan’(dalam F. Isjwara, 1992:126-127). Sementara Hans Kohn memberikan arti
nasionalisme sebagaimana diterjemahkan oleh Sumantri Mertadipuro (1984:11)
bahwa nasionalisme adalah ”suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan
35
tertinggi individu, harus diserahkan pada negara kebangsaan, perasaan sangat
mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan
tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi didaerahnya selalu ada
disepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda.
Soekarno mengartikan nasionalisme sebagai berikut:
Nasionalisme adalah suatu tekad, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa. Nasionalisme berawal dari kesamaan sejarah, yang didalamnya terdapat rakyat yang memiliki tekad untuk bersatu dalam suatu bangsa yang utuh tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan antar golongan dan memiliki sebuah ikatan yang sangat kuat yang tidak akan mudah lepas apabila ada pihak yang ingin melepaskan ikatan (Soekarno,1965:3).
Nugroho Notosusanto dengan mengutip George Mc. T. Kahin
mengungkapkan nasionalisme sebagai berikut:
Nasionalisme adalah sebuah ide yang mengisi hati manusia dengan pikiran baru dan yang mendorong untuk menterjemahkan kesadarannya dalam tindakan berupa aksi yang diorganisasi. Karena itu nasionalisme bukan semata-mata suatu kelompok yang diikat dan dijiwai oleh kesadaran bersama, melainkan juga merupakan suatu hal yang ingin mengungkapkan dirinya ke dalam apa yang dianggapnya bentuk tertinggi daripada kegiatan yang terorganisasi yakni negara yang berdaulat. Nasionalisme merupakan spirit, semangat, moril yang hidup pada diri manusia yang dipersembahkan bagi keagungan bangsa (dalam Yumarlia, 2005:35).
Menurut Limas Sutanto ”nasionalisme di Indonesia memiliki peran dalam
menegakan kemerdekaan dan kebangsaan sebagai hal yang fundamental bagi
perjuangan bangsa Indonesia” (Sutanto, 2005:36) . Kebangsaan itu telah menjiwai
dan mengantar pergerakan rakyat Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka karakteristik nasionalisme dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
36
1. persamaan asal keturunan bangsa (etnik), misalnya bangsa Indonesia
berasal dari rumpun bangsa melayu yang merupakan bagian dari ras
mongoloid dan kemudian diperkaya oleh variasi percampuran darah antar
ras.
2. persamaan pada kebudayaan, terutama cara-cara hidup sebagai suku-suku
petani dan pelaut.
3. persamaan tempat tinggal yang disebut dengan nama khas.
4. persamaan nasib kesejahteraannya.
5. persamaan cita-cita hidup bersama.
Adapun pandangan Islam terhadap nasionalisme, pada umumnya menolak
terutama nasionalisme sempit karena konsep ini bertentangan dengan
universalisme Islam. Maryam Jameelah (1965:232) misalnya menolak
nasionalisme Islam karena bertentangan dengan konsep universalitas Islam.
Menurutnya, ukhuwah dalam Islam tidak dibatasi dengan sekat-sekat negara.
Selain itu, perkembangan nasionalisme sempit merusak solidaritas masyarakat
Islam karena memandang Islam sebagai nasionalisme bentuk lain. Konsep
nasionalisme Islam hanya mendikotomikan Islam sebagai sistem politik, ekonomi
dan sosial semata yang bercorak material.
Menurut Roger Garaudy (1982:244), nasionalisme merupakan warisan
kolonialisme yang memecah belah umat Islam. Ia juga menolak pendapat
Rousseau bahwa masyarakat terbentuk dari perjanjian sosial tetapi didasarkan
atas keyakinan tiap-tiap orang untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan mulia
dalam rangka mengurus semua kepentingan keseluruhan manusia dalam sejarah.
37
Masyarakat memiliki sifat universal karena setiap anggotanya terpadu dengan
anggota-anggota lain dan dengan segala perbedaannya.
Hasan al Banna (2006:39-40) mengungkapkan bahwa nasionalisme itu
diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan universalisme Islam.
Nasionalisme Islam menurutnya adalah cinta tanah air yang tidak dibatasi oleh
batas-batas teritorial negara dan geografi. Oleh karena itu, batasan nasionalisme
Islam adalah aqidah. Semua muslim dibumi manapun merupakan saudara dan
keluarga yang harus dibela kepentingan-kepentingannya. Nasionalisme cinta
tanah air merupakan fitrah yang terdapat pada tiap manusia, karena ia dapat
memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat atau warga negara
untuk kepentingan bersama. Ia adalah perjuangan untuk membela dan
membebaskan tanah air dari cengkraman kolonialisme dan imperialisme
merupakan suatu keharusan karena Islam pun menghendaki demikian.
Terlepas dari berbagai pandangan di atas, menurut penulis negara dan
nasionalisme tidak dapat dipisahkan. Keduanya sangat erat kaitannya dengan
bangsa, wilayah dan waktu. Sepintas lalu, ’ashabiyah memiliki persamaan dengan
nasionalisme karena keduanya merupakan alat pemersatu untuk mempertahankan
negara, suatu pengorbanan dan perjuangan untuk negara apabila makna
’ashabiyah yang digunakan adalah solidaritas kesukuan. ’Ashabiyah menyatukan
seluruh ’ashabiyah dengan kekuatan diantara ’ashabiyah lain sehingga ’ashabiyah
yang lemah harus tunduk, patuh dan melebur pada ’ashabiyah yang paling kuat.
Demikian pula dengan nasionalisme yang merupakan upaya penyatuan seluruh
38
suku dan suku yang paling dominan kekuatan sosial politiknya menjadi identitas
nasionalisme.
Namun jika merujuk pada kriteria nasionalisme maka ’Ashabiyah berbeda
dengan nasionalisme. Perbedaan pertama terletak pada awal mula terbentuknya
’ashabiyah dan nasionalisme. ’Ashabiyah terbentuk atas dasar paksaan dan
penaklukan sedangkan nsionalisme terbentuk atas dasar kesadaran dan persamaan
sejarah sebagai akibat dari kolonialisme dan imperialisme. Kedua, ruang lingkup
’ashabiyah menurut Ibn Khaldun tidak hanya seketurunan dan keluarga tetapi
juga seagama, maka agama menjadi batas dari ’ashabiyah sedangkan
nasionalisme dibatasi oleh batas-batas negara tanpa membeda-bedakan suku,
agama, ras dan golongan. Ketiga, nasionalisme adalah konsep yang baru muncul
pada masa modern sehingga tidak dapat disamakan dengan ’ashabiyah pun
keduanya memiliki latar belakang historis yang berbeda. Keempat, konsep
’ashabiyah tidak dapat digunakan dan digeneralisasi pada setiap masyarakat dan
pemerintahan.