237
BAB VII
KONSEP SAUJANA KOTA MAGELANG
Bab ini menjelaskan tentang empat konsep saujana, yaitu suci, subur,
indah dan strategis yang menjadi inspirasi dalam mengembangkan Kota Magelang
dengan perubahan-perubahan yang terjadi di setiap periode waktu. Keempat
konsep tersebut memperlihatkan interaksi manusia terhadap alam yang ditinjau
dari kajian orientasi dan bentuk kawasan serta orientasi dan bangunan. Perubahan
yang terjadi menunjukkan adanya kesinambungan kehidupan masyarakatnya.
Gambar 7.1 Konsep Saujana Kota Magelang
Robertson dan Richards (2003) menuliskan landsekap merupakan proses
dan produk budaya masyarakat. Apapun yang terbentuk merupakan hasil atau
cipta karya manusianya yang tidak akan pernah berhenti (Longstreth, 2008).
Lansekap menunjukkan adanya keharmonisan transformasi cipta karya manusia
sebagai proses dan bukan sebagai produk (World Heritage Paper 7, 2003).
7. 1 Empat Konsep Saujana yang Terbentuk di Kota Magelang
Kota merupakan hasil cipta dari masyarakatnya yang terbentuk dalam
kurun waktu yang sangat lama dengan karakter dan nilainya masing-masing
SUCI Tempat Dewa
Tempat Ibadah
Tempat Ibadah
Tempat Tinggal
SUBUR Perkebunan
Sawah
Perkebunan
Tempat Tinggal
INDAH Batas Pandang
STRATEGIS Jalur
Transportasi
Tempat Tinggal
Perekonomian
Tempat Tinggal
Tempat Peristirahatan
238
tergantung dari budaya berkembang. Kota dengan lansekap yang unik akan
membentuk karakter dengan pengaruh dari luar yang disebabkan adanya ide,
kreatifitas baik dari masyarakatnya, penguasa maupun dari investor yang
berkembang di setiap periode waktu. Pemikiran yang terbentuk dipengaruhi oleh
budaya yang sedang berkembang sebagai bagian dari rekonstruksi budaya
sebelumnya (Robertson dan Richards, 2003; Asworth,1991). Bahkan dijelaskan
dalam Robertson dan Richards (2003) bahwa manusia tidak bisa melepaskan
keberadaan alam yang terbentuk sebagai suatu sinema yang bisa membentuk dan
mengurai elemennya dengan karakter yang selanjutnya akan berproses kembali.
Kota Magelang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh beberapa
konsep pemikiran masyarakatnya. Indianisasi dan kolonialisasi mempengaruhi
terbentuknya Kota Magelang. Indianisasi dijelaskan dalam Lombard (2008)
membentuk karakter daerah masing-masing dengan keyakinan masyarakat pada
makrokosmosnya, sementara Oostindie (2008) menjelaskan bahwa kekuatan
Kolonial Belanda yang berkuasa di Indonesia telah mempengaruhi kehidupan
masyarakatnya dalam membentuk kota dan daerahnya dan tercermin dari berbagai
aspek salah satunya yaitu arsitektur dan kehidupan sosial budayanya.
Di setiap periode waktu karakter kawasan akan dipengaruhi oleh penguasa
dengan sistem yang ada (Kostof, 1991). Kebijakan Belanda dengan berbagai
kepentingannya telah membentuk karakter kota atau daerahnya dengan
masyarakat yang ada didalamnya misalnya kebijakan cultuurstelsel pada daerah
perkebunan. Lembah Magelang sebagai salah satu daerah perkebunan
dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan tersebut dan akhirnya mengubah karakter
daerah sesuai dengan politik mereka.
Kota Magelang merupakan suatu daerah yang sangat unik dengan karakter
alamnya yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Gunung yang
mengelilingi lembah dan membentuk satu kawasan yang berada di lembah yang
datar telah mendukung perkembangan Kota Magelang dengan karakter kawasan
seperti yang telah digambarkan pada bab ke 6.
239
7.1.1 Kesucian
Kesucian merupakan konsep yang secara berkesimbungan masih diyakini
oleh masyarakat. Kesucian yang diyakini oleh masyarakat terbentuk karena
setting alam. Gunung dengan keyakinan pada puncak gunung sebagai tempat
dewa serta kaki gunung dan bukit sebagai tempat untuk berdoa. Kesucian lembah
Magelang menjadi konsep yang secara terus menerus terjadi dengan adanya
pergeseran cara memandangnya. Pada saat terjadinya bencana abad ke sepuluh,
kesucian gunung menghilang, sehingga lembah Kota Magelang ditinggalkan dan
pada tahap berikutnya terbentuk suatu pemahaman yang baru, yaitu memposisikan
Bukit Tidar sebagai bukit yang suci (Lombard, 2008).
Sampai saat ini kesucian Bukit Tidar masih dianut sebagian masyarakat
Magelang dan sekitarnya. Terdapat tiga makam di Bukit Tidar yang diyakini
dapat memberi keberkahan dan didukung adanya tugu kecil di Bukit Tidar sebagai
tombak Raja Jin Kyai Sepanjang. Menurut beberapa masyarakat, jika tombak
tersebut dicabut, pulau Jawa akan kembali terombang-ambing (legenda; Sjouke
1935; Aa van der Veen, 1965; Aa van der Aa, 1851, Pemerintah Daerah 1936).
Ada perbedaan dalam melihat kesucian Bukit Tidar dengan menjelaskan
dari sisi ilmu lingkungan. Kesucian ini dikaitkan dengan ilmu lingkungan yang
menjelaskan tentang hutan sebagai penyimpan air dan pengendali curah hujan
yang tinggi. Tombak yang dikatakan sebagai tombak Raja Jin Sepanjang adalah
pertanda bahwa Bukit Tidar tidak boleh dalam kondisi hutannya gundul (ditebang
pohon-pohonnya). Oleh karena itu bisa dipahami, jika pohon ditebangi dan hutan
dibiarkan tidak bisa menyerap air, akan terjadi banjir di Magelang dan sekitarnya.
Kesucian Bukit Tidar juga dilihat dari keyakinan masyarakat Islam.
Masyarakat mempercayai bahwa Kyai Subakir merupakan salah satu dari
kelompok Wali Sanga, yang kemudian tugasnya dilanjutkan oleh Sunan Kalijaga
untuk mengembangkan agama Islam di Jawa Tengah. Cerita ini dikaitkan dengan
pengembangan agama Islam dengan pendirian pondok pesantren di lembah Tidar.
240
Gambar 7.2 Tujuh gunung membentuk lembah suci membujur Utara Selatan
(Sumber : analisa, 2012)
Gunung-gunung suci yang
mengelilingi lembah dan Bukit
Tidar diyakini membentuk
lembah Magelang yang suci
serta Bukit Tidar yang suci
Lembah
Bukit Tidar
Bukit Tidar
Kota Magelang
241
Gambar 7.3 Bukit Tidar dengan legendanya
(sumber : analisa, 2010)
Cerita turun menurun ini dikaitkan dengan Kyai Subakir yang ingin
mengembangkan Islam di kawasan lembah Magelang dengan mengalahkan jin
dan setan yang menghuni Bukit Tidar dengan cara melakukan kegiatan rukyah.
Setelah jin dan setan berhasil dikalahkan, maka Kyai Subakir mendirikan pondok
pesantren di sekitar lembah Tidar. Cerita ini menjadi pertimbangan masyarakat
untuk menjadikan Bukit Tidar sebagai bukit suci (Juru Kunci Bukit Tidar, 2010).
Kesucian elemen alam sebagai interaksi masyarakat dengan alam dan
budaya diwujudkan dalam tata kehidupan. Gunung dan bukit membentuk
kesucian lembah Magelang dan didukung keberadaan elemen alam lainnya.
Alam dikultuskan sebagai bentuk dewa, sehingga bisa dikenali pada masa lalu
dimensi jarak antara dewa dan alam sangat tipis. Kesucian pada masa lalu dapat
didiagramkan atas keseimbangan antara alam – manusia – Tuhan, sementara saat
ini keseimbangan dicapai dalam hubungan alam – manusia.
242
Dari uraian diatas, terlihat bahwa kesucian yang sudah berkembang sejak
periode Kerajaan Mataram Kuno dan sampai saat ini masih berkembang, yaitu:
a. kesucian – pengkultusan bukit karena kekuatannya
b. kesucian – pengkultusan karena adanya makam yang dikeramatkan
c. kesucian – pengkultusan karena sebagai tempat pertama syiar agama Islam
d. kesucian – keyakinan sebagai pencegah bencana alam (banjir)
Adanya konsep kesucian yang terbentuk di masyarakat setempat maupun
masyarakat pendatang memberi pengaruh pada perkembangan Kota Magelang
yaitu berkembangnya daerah-daerah untuk bersembayang serta berkembang
daerah-daerah permukiman dengan orientasi utama pada keberadaan gunung,
sungai dan bukit. Perkembangan budaya masyarakat mempengaruhi cara
berfikir masyarakat atas konsep suci yang terbentuk di Kota Magelang. Hal
tersebut dijelaskan oleh Sauer (1925) bahwa budaya menjadi agen di setiap
periode pemikiran yang berdampak pada pembentukan karakter kawasan.
Dibawah ini digambarkan perbedaan konsep suci yang terbentuk yang
mempengaruhi ekspresi masyarakat dalam membentuk daerah Magelang sebagai
daerah yang dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dengan
segala perubahan yang terjadi.
a. Kesucian Bukit Tuk Mas, menyebabkan pembentukan daerah suci dan
daerah permukiman yang berbentuk memusat dengan orientasi utama pada
Bukit Tuk Mas dengan didukung keberadaan sungai dan gunung.
b. Kesucian gunung, menyebabkan pembentukan daerah suci dan daerah
permukiman yang memusat satu titik pusat49
dengan radius yang terbentuk
dari gunung ke daerah pusat kegiatan
c. Kesucian Bukit Tidar dari aspek spiritual dan religius, memberikan
dampak pembentukan yang menyebar dan membentuk kegiatan menuju
satu titik yaitu Bukit Tidar. Kegiatan ini mempengaruhi pola ruang di
49
Titik pusat merupakan pusat kerajaan mataram kuno mengalami perpindahan selama empat kali
dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno
243
Bukit Tidar, misalnya pembuatan jalur pendakian ke bukit. Masyarakat
komunitas wisata spiritual dan religious membangun beberapa bangunan
sebagai pendukungnya kegiatan ritual pada hari-hari tertentu.
d. Kesucian pada Bukit Tidar dari aspek lingkungan, memberikan dampak
pada masyarakat untuk menghindari pembangunan pada bukit karena
dianggap sebagai ruang terbuka
Saat ini, sebagian masyarakat masih meyakini kesucian lokasi Kota
Magelang, yang dialiri sungai dan gunung suci. Beberapa tempat khususnya yang
mempunyai nilai sejarah pada periode Kerajaan Mataram Kuno seringkali
diadakan acara ritual (wawancara pelaku seni, 2010). Beberapa tempat untuk
ritual, antara lain di sekitar Prasasti Poh didukung adanya makam Kyai Dumpoh.
Gambar 7.4 Tiga makam yang didatangi oleh sebagian masyarakat
(foto : Utami, 2012)
244
7.1.2 Kesuburan
Kesuburan merupakan konsep kedua yang bisa digali dari perkembangan
Kota Magelang. Kesuburan lahan pertanian dan perkebunannya.
Gambar 7. 5 Kondisi lahan pertanian dan perkebunan pada masa kolonial Belanda
(foto: Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
245
Gambar 7.6 Lahan sawah di Kota Magelang
(foto : survey, 2009-2012)
Robertson dan Richards (2003) dalam bukunya Studying Cultural
Landscape menjelaskan bahwa pemikiran manusia sebagai proses dalam
berbudaya telah mempengaruhi untuk bersikap terhadap alam. Alam dengan
potensinya telah membentuk karakter kota dan mempengaruhi masyarakatnya.
246
Gambar 7.7 Perkebunan dan sawah yang terbentuk dari kegiatan gunung dan
aliran sungai
(sumber : Utami, 2012)
Perubahan pemikiran masyarakat terkait kesuburan terjadi sejak periode
berkembangnya Kota Magelang sebagai kota pemerintahan dan kota industri
dengan dibangunnya fasilitas perindustrian dan permukiman. Walaupun
demikian, perkebunan masih terlihat di wilayah hinterland Kota Magelang
sebagai bagian dari kesatuan yang dulu pernah ada. Saat ini kesuburan masih bisa
dilihat pada sawah-sawah di pinggiran Kota Magelang dan di tempat wisata
berbasis alam yaitu Taman Kyai Langgeng, Bukit Tidar dan sekitarnya.
Gambar 7.8 Kondisi tegalan yang ada di Jalan Diponegoro
(foto : Utami, 2008)
Pada foto di atas menunjukkan bahwa kesuburan telah membentuk Kota
Magelang dan sekitarnya sebagai tempat yang subur dengan potensi tanaman
keras maupun tanaman padi. Kondisi tersebut selalu dijadikan pertimbangan
penguasaan wilayah sebagai tempat pengolahan hasil perkebunan.
247
Lokasi yang strategis, telah memberi ide pada pemerintah Belanda untuk
memanfaatkan Kota Magelang tidak hanya sebagai lahan perkebunan, namun
justru sebagai tempat pengolahan hasil pertanian dan perkebunan. Beberapa
pabrik sigaret yang dibangun di Magelang antara lain pabrik Lie Kok Liang
(Kebonweg), Ko Kwat Ie (Panamaster-Prawirokoesoemanweg), Ko Djing Han
(Sablonganweg), Tan Ing Tjwan (Aroma – Mertoyudan, saat ini menjadi daerah
Kabupaten Magelang), The Kiem Toen(Keplekanweg), Ko Tjaij Beek (Aroem
Sarie – Jalan Raya Utara), Liem Tjay An (Jalan Raya Utara) dan Mac Gillavry
(Tidar – Mertoyudan) (Pemerintah Magelang, 1936). Pabrik tersebut memberikan
gambaran ekspresi masyarakat dalam mengolah lingkungan Kota Magelang
sebagai daerah pendukung kota perkebunan dan memanfaatkan sebagai pusat
kegiatan perindustrian. Terlihat dari nama yang ada, kemungkinan banyak para
pendatang Cina membangun pabrik-pabrik pengolahan tembakau, yang
menunjukkan adanya arus datang ke daerah Magelang sebagai daerah yang
dipercaya memberikan kesejahteraan dan kemakmuran pada para pendatang50
.
Pabrik-pabrik di Magelang semakin banyak dibangun selain untuk mendukung
pengolahan hasil perkebunan juga karena hasil perkebunan telah memberi
keuntungan yang besar bagi pemerintah baik dari segi kualitas maupun
kuantitas51
.
Buku yang berjudul “Magelang, Middelpunt van den Tuin van Java”
tahun 1936 mengupas Kota Magelang sebagai pusat industri yang menceritakan
Kota Magelang sebagai ibu kota Karesidenan Kedu dan pusat kegiatan.
Pertimbangan utama pemilihan Kota Magelang sebagai pusat industri untuk
kawasan sekitarnya adalah lokasi yang strategis di antara beberapa kota
(Pemerintah Magelang, 1936).
50
Beberapa artikel di majalah bulanan Kota Magelang Vooruit menuliskan tentang keungulan
Kota Magelang sebagai kota yang layak sebagai tempat tinggal dan sebagai daerah pengembangan
perekonomian (Majalah Vooruit 1935-1937, Pemerintah Magelang 1936, Sjouke 1935). 51
Keberadaan media lokal sangat mempengaruhi keberadaan pabrik-pabrik yang dibangun di
Magelang sebagai penyebar informasi. Media lokal yang ada di Magelang dan ikut
mempropagandakan kualitas hasil perkebunan di Karesidenan Kedu adalah Majalah vooruit yang
didukung dengan buku-buku yang juga diterbitkan pada periode tahun 1930an. Sebelum ada
media, informasi banyak ditemukan di beberapa media yang terbit di Semarang dan di Yogyakarta
248
Selain memilih lembah Magelang sebagai lahan pertanian atau
perkebunan, masyarakat memilih daerah ini sebagai lahan yang bisa dijadikan
tempat tinggal atau hunian. Pada periode kolonial Belanda, terdapat beberapa
kelompok permukiman, baik untuk masyarakat lokal, masyarakat Eropa, Asia
Timur yaitu Cina maupun masyarakat Arab. Lokasi permukimannya sesuai
dengan penzoningan permukiman. Masyarakat Cina sangat berperan dalam
perkembangan perdagangan.
Sementara kegiatan masyarakat setempat, yaitu orang-orang asli
Magelang, kemungkinan sebagai pemilik ataupun tenaga kerja di perkebunan dan
pabrik. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa foto yang memperlihatkan kegiatan
perkebunan dan pabrik pengolahan yang didominasi oleh masyarakat lokal. Jika
pusat kota dan sekitarnya merupakan daerah tempat tinggal orang-orang Eropa
ataupun pejabat pemerintahan, maka bisa dikatakan masyarakat asli tinggal di
kampung-kampung baik di kota maupun di kawasan hinterland.
Saat ini, hanya sebagian kecil masyarakat Kota Magelang bercocok tanam.
Hal ini didukung sudah tidak banyaknya lahan pertanian yang tersedia. Lahan-
lahan tersebut sejak tahun 1980an mulai digantikan dengan bangunan-bangunan
baru, terutama yang berada di bagian Utara kota dan Selatan kota yang awalnya
merupakan persawahan. Beberapa kawasan yang masih terdapat sawah, antara
lain di Sanden (walaupun saat ini semakin sedikit lahan sawah, karena tertutup
perumahan), kawasan Sidotopo (saat ini menjadi arahan pengembangan
pendidikan di sebelah Utara), Pucangsari, Canguk (saat ini menjadi arahan
pengembangan pertokoan) dan kawasan Taman Kyai Langgeng. Sementara
perkebunan yang masih ada saat ini namun tidak dominan yaitu kawasan yang
berada di jalan Diponegoro (Jambon) berupa tanah ledhok.
Kesuburan yang terbentuk di lembah Kota Magelang khususnya dan
dataran Kedu pada umumnya telah membentuk perilaku atau kegiatan
masyarakatnya. Kesenian yang pernah berkembang dan saat ini sedang
dikembangkan kembali terkait dengan kesuburan yang pernah ada di Kota
249
Magelang yaitu Tari Unduh, yang menceritakan ritual menanam padi. Kesuburan
telah membentuk Kota Magelang sebagai lahan yang sesuai untuk ditanami
berbagai jenis tanaman dan membentuk lembah dengan beberapa fungsi.
7.1.3 Keindahan
Tujuh gunung yang mengelilingi Magelang telah membentuk panorama
yang sangat indah. Digambarkan pada masa lalu, orang bisa lebih mudah melihat
gunung-gunung yang mengelilingi Kota Magelang. Gunung sebagai batas
pandang tak terbatas, menjadi keunggulan kota. Namun saat ini dari Kota
Magelang hanya bisa menikmati keindahan alamnya di beberapa titik. Gunung
yang bisa dinikmati di Magelang dengan dua gunung kembarnya (Merapi –
Merbabu dan Sumbing – Sindoro) yang dihiasi dengan gunung-gunung kecilnya.
Gambar 7.9 Panorama gunung, bukit, kaki gunung sebagai bagian dari alam
Prasasti Mantyasih dan Poh dalam tulisannya menceritakan Gunung
Susundara (Sindoro) dan Sumwing (Sumbing) yang berada di sebelah Barat
Sungai Progo. Sementara pada masa Kerajaan Demak dan Mataram baru,
panorama oleh gunung dijadikan sebagai potensi unggulan Kademangan
Magelang sebagai daerah peristirahatan (Lissa, 1935; Danoesoegondo, 1936).
Pada masa kolonial Belanda, panorama indah yang dimiliki Kota Magelang
membuat mereka membandingkan dengan daerah Priangan dan Malang.
250
Panorama yang indah sering dituliskan dalam beberapa artikel antara lain
Magelang De Bergstad van Midden Java Middelpunt van Den Tuin Van Java dan
Magelang De Berstad van Midden Java dan dua buah buku yang berjudul
Prachtige Tochten van uit Magelang, Krafft, 1935 dan Mooi Magelang.
Middelpunt van Den Tuin Van Java, Pemerintah Magelang 1936. Panorama
indah yang terbentuk dari Kota Magelang menjadi pertimbangan Magelang dipilih
sebagai kota peristirahatan, misalnya tahun 1840 dibangun resort Loze. Selain itu
terdapat Hotel Centrum, Hotel Montagne dan Hotel Olga. Saat ini, hotel-hotel
telah dibongkar. Saat ini, hotel yang mempertimbangkan alam sebagai salah satu
potensi adalah Hotel Puri Asri yang menjadi satu dengan Taman Kyai Langgeng.
Masyarakat sejauh mata memandang akan melihat budaya yang sedang
berkembang dengan panorama alamnya. Panorama tidak hanya bisa dinikmati
dari aspek keindahan pemandangannya, namun panorama mampu menceritakan
tentang kehidupan budaya masyarakat yang berkembang pada setiap periodenya.
Ini membuktikan bahwa kondisi alam bisa membentuk budaya masyarakatnya.
Saat ini beberapa kesenian berkembang di Kota Magelang dan sekitarnya, antara
lain adanya Komunitas Budaya Lima Gunung yang mengacu pada Panca Arga
dan dianut militer serta Pendekar Tidar yang mengusung beberapa kebudayaan
masyarakat Magelang secara umum. Beberapa ekspresi masyarakat terkait
keindahan Kota Magelang adalah :
a. Pada periode Kerajaan Mataram Kuno dan sebelumnya, keindahan
dijadikan suatu kekuatan yang menjadi pertimbangan pengembangan
permukiman dengan membagi setiap daerah sesuai fungsinya misalnya
lembah sebagai daerah permukiman.
b. Pada periode Mataram Baru, kolonial Inggris dan Belanda, keindahan
telah membentuk masyarakatnya untuk menjadikan Magelang sebagai kota
peristirahatan dengan mengunggulkan potensi alamnya. Selain
membentuk permukiman, masyarakat juga membentuk tempat menginap,
mendirikan daerah untuk bersantai dengan menjadikan halaman belakang
sebagai tempat untuk menikmati keindahan alamnya.
251
c. Pada periode Pemerintahan Jepang dan setelah tahun 1945 sampai
sekarang terjadi perubahan pemikiran yang sangat signifikant pada
keindahan yang bisa dihasilkan oleh alam Kota Magelang. Kawasan-
kawasan terbentuk tidak banyak yang mempertimbangkan alam
Gambar 7.10 Panorama yang bisa dilihat pada masa kolonial Belanda
(foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda)
Terdapat beberapa kawasan di Kota Magelang sebagai tempat untuk
menikmati pemandangan alam yang indah, antara lain yaitu di kawasan Kwarasan
dan Kawasan Karesidenan.
1. Kawasan Kwarasan
Kawasan ini memanfaatkan panoraman yang sangat indah ke arah Barat
yaitu ke arah Gunung Sumbing dan Pegunungan Menoreh. Selain itu ke arah
252
Timur yang didominasi pemandangan Gunung Merapi dan Merbabu. Pandangan
ke arah Selatan akan terdapat daerah ledok (cekungan) indah diantaranya
perkebunan dan taman-taman kecil.
Gambar 7.11. Permukiman Kwarasan Magelang
(foto : Utami,2008)
Karsten dalam perencanaannya menonjolkan aspek keindahan dan
kenyamanannya sebagai daerah berhawa cukup dingin, pemandangan indah,
posisi lahan yang berkontur serta posisi di sebelah Barat Kota dengan tingkat
kesejukan dan keindahan panorama (Vooruit Magelang, 1937).
Karsten mempertimbangkan aspek tapak (kondisi alam) dengan tetap
memanfaatkan perbedaan kontur dan yang paling utama akses dengan pusat
kawasan. Alun-alun dikelilingi tipe besar dan sedang, sementara untuk tipe kecil
di sekitar kedua tipe tersebut tetap memperhatikan masalah akses ke lapangan
berupa gang/jalan kecil. Pembagian antara tipe besar dan kecil berdasarkan
kontur yang lebih tinggi karena panorama yang dihasilkan lebih bagus
dibandingkan kontur yang lebih rendah.
253
Gambar 7.12 Peta Kawasan Kwarasan Magelang
(sumber peta : google earth, 2010)
2. Kawasan Karesidenan.
Kompleks karesidenan di desain dan dibangun oleh JC Schultze di atas
tanah seluas 91200 m2 dengan luas bangunan 82720 m
2. Sampai saat ini
kompleks karesidenan relatif tidak berubah dan terpelihara. Panorama ke arah
sumbing dan bukit menoreh sebagai salah satu strategi politik menjadikan
bangunan ini sangat istimewa (Utami, 2001).
Deretan perkebunan terlihat dari Kota Magelang (Kawasan Meteseh) dengan
permainan konturnya. Pada saat Kota Magelang menjadi arahan panorama,
akan terbentuk lekukan atau yang pada masa lalu sering disebut dengan
kedung serta adanya Bukit Tidar.
Bukit Tidar
G. Merapi
dan
G.Merbabu G. Sumbing ,
Gunung
Sindoro dan
Perbukitan
Menoreh
alun-alun
254
Gambar 7.13. Kompleks Karesidenan dengan panorama yang indah
(foto : Koleksi KITLV, Leiden, Belanda, Utami, 2010)
Gambar 7.14 Panorama yang dibentuk oleh kaki gunung dan gunung (dilihat dari
kawasan Meteseh, perbatasan kota – kabupaten di sebelah Barat)
(foto: Utami, 2012)
1927
255
Karakter dari dua kawasan yang disebutkan di atas dipengaruhi oleh
potensi alam yang ada di Magelang. Oleh pemerintah, kawasan tersebut pada
periode kolonial didesain dengan alam sebagai unsur utamanya. Perletakan
Kwarasan di sebelah Barat Selatan kota merupakan salah satu bukti adanya
pemikiran bahwa dari daerah tersebut akan mendapatkan panorama yang sangat
bagus. Sementara itu keberadaan pendopo Karesidenan Kedu dengan orientasi ke
arah Barat merupakan tempat untuk menikmati keindahan panorama alam dengan
didukung kontur tanah yang unik.
Panorama alam yang terbentuk di Kota Magelang telah membentuk para
penguasa untuk mengembangkan Kota Magelang sebagai kota yang bisa
digunakan sebagai tempat beritirahat dengan dukungan beberapa fungsi.
Masyarakat menata kawasannya sebagai kawasan yang terdukung oleh potensi
alam yang ada. Walaupun seiring pemikiran manusia yang berubah, potensi yang
awalnya menjadi ungulan bagi daaerah Magelang seiring dengan waktu sudah
mulai ditinggalkan karena adanya perubahan pemikiran dan kepentingan .
Pemikiran masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya akan mempengaruhi
setting lingkungannya. Kasus seperti ini juga telah muncul pada beberapa negara
berkembang lainnya karena adanya konflik kepentingan. Potensi alam seringkali
dikalahkan oleh adanya kebijakan dengan keberpihakan pada aspek lainnya,
misalnya pada kasus pembangunan stasiun di Kota Kyoto yang ditentang oleh
beberapa pihak karena bisa menurunkan keterkaitan alam sebagai potensi kota.
Budaya sebagai agen dalam melakukan perubahan yang mencoba
menghubungkan alam dengan lingkungannya (Sauer, 1925) sedikit banyak telah
banyak bergeser seiring dengan tuntutan perekonomian dan kebijakan pada
penekanan satu aspek.
7.1.4 Kestrategisan
Letak yang strategis adalah posisi Kota Magelang yang membujur Utara
Selatan dengan dibatasi oleh dua sungai yang mengalir Utara Selatan. Letak
strategis Kota Magelang menjadi salah satu alasan saat penguasa menguasai Kota
256
Magelang. Pada masa Mataram Kuno, lembah Magelang yang strategis mengacu
pada jalur transportasi air, Sungai Progo untuk menghubungkan Dieng –
Panaraga. Pada saat itu daerah Mantyasih dipilih sebagai pusat kegiatan dan
sebagai daerah pertahanan (Darmosoetopo, 1998). Sejak Mataram Kuno, lembah
Magelang sudah dijadikan pusat kegiatan bagi masyarakatnya dan masyarakat
sekitarnya (Casparis, 1950). Mantyasih berkembang pesat dan dijadikan pusat
kegiatan (Casparis, 1950 dan Darmosoetopo, 1998)
Sementara pada masa Demak, Mataram Baru dan Inggris, selain fungsi
Kademangan Magelang sebagai gudang makanan karena kesuburannya, Magelang
dikuasai karena menghubungkan wilayah-wilayah yang dianggap penting, yaitu
Yogyakarta – Semarang – Surakarta. Langkah ini diikuti oleh Belanda yang
memilih kembali Magelang sebagai ibu kota kadipaten dan ibu kota karesidenan.
Beberapa fungsi Kota Magelang yang terbentuk pada masa kolonial
Belanda dengan pertimbangan letak geografis dan alamnya adalah :
a. ibu kota kadipaten tahun 1810, dengan pembentukan elemen-elemen dasar
kota, yaitu alun-alun, masjid dan kadipaten
b. ibu kota karesidenan tahun 1817, dengan dibangunnya Kompleks
Karesidenan yang melihat alam sebagai potensi utama untuk pertahanan
dan kenyamanan huni
c. kota militer tahun 1828, dengan dibangunnya beberapa kompleks militer
di Kota Magelang dengan konsep menyebar
d. pengangkatan status gemeente pada tahun 1905, yang menyebabkan
banyaknya bangunan-bangunan pendukung kegiatan didirikan di
Magelang yang berdampak pengembangan tata ruang Kota Magelang
Letak yang strategis ikut mempengaruhi perkembangan Kota Magelang
dalam bidang pendidikan dan wisata. Banyak fasilitas pendidikan yang akhirnya
dipindah di Magelang, antara lain kweekschool (1875) dari Surakarta dan
Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1957 dari Surakarta.
257
Letak yang strategis setelah Indonesia merdeka, membuat Kota Magelang
mengubah kebijakan dari kota taman berbasis alam, menjadi kota jasa dan transit.
Hal ini menjadi preseden yang tidak terlalu menguntungkan karena saat ini
Magelang berkembang menjadi kota perekonomian tanpa melihat potensi yang
sebenarnya ada di dalam kota. Salah satu kawasan yang berubah karena
pembangunan adalah kawasan Bayeman, kawasan Pecinan dan kawasan
Diponegoro. Banyak kawasan yang diubah tata guna lahannya. Selain itu, juga
banyak terjadi perubahan tata guna lahan dari lahan hijau ataupun ruang terbuka
hijau menjadi kawasan terbangun.
7.2 Kesinambungan dan Nilai Keunggulan Konsep Saujana Kota Magelang
Konsep saujana yang ditemukan dengan cara mengeksplorasi inspirasi
alam yang ada dalam perkembangan Kota Magelang merupakan konsep continuity
with change. Yang dimaksud dengan continuity with change adalah keempat
konsep tersebut merupakan konsep yang bersinambungan dengan adanya
perubahan cara pandang yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan pengaruh
kebijakan pemerintah. Seperti dijelaskan dalam Rapoport (1982), Papageorgeou
(1969) dan Rossi (1982) bahwa perubahan akan terjadi saat ada perkembangan
atau perubahan dalam pemikiran masyarakat dan pembuat kebijakan yang
didukung oleh investor-investornya dengan tetap adanya keberlanjutan yang
terjalin dan menyatu menjadi satu kesatuan walaupun akan ada degradasi ataupun
penghilangkan pada elemennya. Rossi (1982) menjelaskan ada benang merah
yang mampu menjelaskan keterhubungan masing-masing bagian dalam perubahan
atau penghilangan tersebut. Hal ini didukung teorinya Lumford dan Kostof
bahwa kota merupakan sistem yang terjalin dalam satu kesatuan.
Pada dasarnya keempat konsep yaitu suci, subur, indah dan strategis selalu
menjadi pertimbangan dalam perkembangan kota di Magelang. Namun terdapat
degradasi pada dua konsep yang ada yaitu konsep indah dan subur, seiring dengan
perkembangan kota. Konsep suci mengalami perubahan, konsep kesuburan dan
258
keindahan semakin melemah. Sementara konsep yang semakin kuat adalah
konsep strategis yang akhirnya berkonflik dengan konsep kesuburan dan
keindahan. Perubahan tersebut menunjukkan adanya penurunan nilai keunggulan
saujana Kota Magelang.
Degradasi dalam penggunaan potensi alam yang ada, tidak terlepas dari
perubahan budaya dan pemikiran. Walaupun kondisi tersebut sebenarnya
memperlihatkan juga ekspresi masyarakat dalam membentuk kota tanpa adanya
alam sebagai pertimbangan utama. Alam hanya sebagai bagian dari kehidupan
mereka tanpa harus menjadi pertimbangan dalam mendesain tata kehidupannya.
Konsep suci diawali dengan kesucian gunung pada masa Kerajaan
Mataram Kuno dan pada periode Kerajaan Demak, bergeser pada Bukit Tidar
yang diyakini sampai saat ini oleh sebagian masyarakatnya. Bahkan ada satu
fenomena menarik pada saat dibangun elemen bangunan di Bukit Tidar,
perencanaan dan pembangunannya mengikuti keinginan dari Kyai Semar yang
diyakini sebagai pemilik Bukit Tidar (wawancara pegawai pemerintahan, 2011).
Hal ini menunjukkan adanya keyakinan masyarakat pada Bukit Tidar.
Sementara konsep indah, menjadi konsep yang mengalami penurunan
makna yang diakibatkan adanya pemahaman budaya yang berbeda. Saat ini
panorama lebih banyak dibentuk dari dalam kota, antara lain dengan membangun
taman di kota ataupun ruang-ruang yang terbentuk di perkampungan.
Pertimbangan ini telah memperpendek batas panorama. Panorama yang dibentuk
oleh masyarakat saat ini dalam skala rumah dan tidak alami, misalnya pembuatan
kolam ikan, pembuatan kolam ikan dengan dihiasi dinding-dinding batu dan
sebagainya serta pembuatan tempat wisata. Dalam Rencana Tata Ruang Kota
Magelang, sebenarnya konsep keindahan tetap menjadi penekanan dalam
pengembangan kota, yaitu dengan pengembangan perumahan di sebelah Barat.
Konsep kesuburan di Kota Magelang mulai mengalami degradasi seiring
dengan fungsi lahan pertanian dan perkebunan yang berubah menjadi kawasan
perekonomian. Banyak persawahan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir berubah
259
menjadi kompleks perumahan, pertokoan dan kompleks bisnis. Kesuburan
dimaknai dengan pembuatan taman kota untuk konsep keindahan.
Konsep strategis menjadi sangat dominan saat ini, yang akhirnya
melemahkan pada dua konsep lainnya yaitu kesuburan dan keindahan.
Transportasi darat dan letak lembah Magelang yang membujur Utara – Selatan
mendukung konsep tersebut. Posisi lembah Magelang sebagai lembah yang datar
dibandingkan yang daerah hinterland lainnya, menghubungkan beberapa kota dan
telah mendukung konsep strategisnya.
Tabel 7.1 Kesinambungan dengan perubahan konsep Saujana Kota Magelang
PMK MK KMK D&P MB I BLD
I
BLD
II
BLD
III J Pj.F PF J&T P
SUCI
SUBUR
INDAH
STRATEGIS
Keterangan Periode Waktu. MK : Mataram Kuno; KMK : Kehancuran Mataram Kuno; D&P : Demak dan Pengging; MB : Mataram Baru; I : Inggris;
BLD I : Belanda Periode I; BLD II : Belanda Periode II; BLD III : Belanda Periode III; J : Jepang ; Pj.F : Perjuangan Fisik; PF : Perbaikan Fisik; J&T : Jasa dan Transportasi; P : Perekonomian
Keterangan Warna :
Perubahan warna biru ke merah : terjadi perubahan cara pandang dalam melihat konsep (konsep suci)
Perubahan ke warna biru ke biru yang lebih muda : konsep semakin melemah dan ditinggalkan (konsep subur dan indah)
Perubahan ke warna biru ke biru yang lebih tua : konsep semakin menguat (konsep strategis)
(Sumber : analisa, 2012)
Terlihat pada tabel bahwa ada perubahan yang sangat signifikan pada
bagian kesuburan dan keindahan yang disebabkan adanya perubahan pemikiran
masyarakat dengan mengubah arahan pembangunan yang berpijak pada
kepentingan perekonomian. Namun terlihat juga bahwa keempat konsep itu selalu
muncul namun dalam kategori perubahan yang ada atau dengan degradasi atas
pemaknaannya. Keempat konsep tersebut merupakan satu sistem untuk
menjelaskan Kota Magelang dengan nilai yang terkandung didalamnya.
Rahmi (2012) menyebutkan bahwa keunggulan pusaka saujana Borobudur
terletak pada lima (5) nilai yang dikandungnya yaitu struktur bentanglahan yang
260
berkualitas, kekayaan dan kesinambungan nilai-nilai local, peran serta sejarah dan
sumber daya pusaka, kandungan nilai pendidikan dan ilmu pendidikan dan ilmu
pengetahuan serta keseimbangan antara perubahan dan kesinambungan.
Hubungan manusia dengan alam yang dipengaruhi oleh budaya sangat
mempengaruhi dalam pengembangan lingkungan kota. Hal ini seperti dijelaskan
oleh Kanki (2012) bahwa proses berpikir merupakan bagian dari pembentukan
pusaka saujana dengan melihat pada dua aspek yaitu peningkatan nilai pusaka
saujana dan penurunan atau degradasi nilai pusaka saujana. Continuity with
change yang terbentuk sebagai dasar dalam melihat nilai keunggulan Kota
Magelang sebagai pusaka saujana dalam skala perkotaan dengan mengacu pada
ketetapan UNESCO 1991 tentang Outstanding Universal Value atau nilai
keungulan sejagad (Adishakti, 2012).
Keunggulan dari Kota Magelang dapat dilihat pada wujud kota dengan
mempertimbangkan adanya kesinambungan dengan perubahan. Keempat konsep
yang terbentuk, menunjukkan ekspresi masyarakat sebagai bagian dari tata
kehidupan. Bentuk dan orientasi kawasan serta bentuk dan orientasi bangunan
menjadi bagian dari tata kehidupan masyarakat.
Kawasan, bangunan dan struktur kota menggambarkan keunggulan kota
dengan tujuh gunung yang mengelilinginya. Walaupun seiring dengan waktu,
keunggulan tersebut telah mengalami penurunan karena pembuat kebijakan dan
masyarakat lebih mengutamakan kepentingan ekonomi. Beberapa keunggulan
Kota Magelang antara lain yaitu :
1. Kota Magelang yang berada di lembah tujuh gunung yang mengelilinginya
dengan masing-masing mempunyai peran, merupakan suatu setting yang
sangat unik.
2. Kota Magelang yang berkembang dengan diawali lembah sungai yang suci
merupakan mahakarya manusia dalam melihat potensi alam sebagai
bagian dari tata kehidupannya.
261
3. pemikiran pada potensi alam yang didukung berbagai peristiwa yang
terjadi, mendorong masyarakat dalam membentuk lingkungan kotanya
4. sejarah panjang yang terjadi dapat memberikan pembelajaran pada
pembuat kebijakan, investor dan masyarakat sebagai inspirasi
pengembangan selanjutnya dengan berdasarkan fenomena yang ada
5. masyarakat sebagai bagian dari kehidupan mencerminkan adanya suatu
tatanan kehidupan yang selalu beradaptasi terhadap alam dengan
penerapan pada skala ruang yang lebih besar (regional) ataupun dalam
skala ruang yang lebih kecil (kota) serta kawasan
Kota Magelang merupakan kota yang selalu berkembang dengan beberapa
perubahan pemikiran. Kesinambungan dengan perubahan yang terjadi merupakan
benang merah dalam melihat pusaka saujana Kota Magelang dengan keberadaan
tujuh gunung. Rahmi (2012) dalam kasus pusaka saujana Borobudur menuliskan
bahwa perubahan yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan yang akan terjadi
akan terus mempengaruhi pusaka saujana. Taylor (2003) menjelaskan bahwa
masyarakat dalam perubahannya telah membentuk pemikiran baru dan akan selalu
berkembang seiring dengan cara memperlakukan alamnya. Michieletto (1999)
menuliskan bahwa konsep yang berkembang saat ini merupakan konsep yang
pernah berkembang pada masa lalu sebagai bagian dari sejarah kota, walaupun
harus ada benang merahnya. Menurut Rapoport (1969) dan Veitch (1995)
perubahan kota yang terjadi karena mencoba beradaptasi dengan lingkungan
dengan mengubahnya sesuai keinginannya, dengan tetap mengacu pada
kesinambungan (Longstreth, 2008). Kondisi yang ada saat ini di Kota Magelang,
merupakan gambaran perjalanan budaya masyarakatnya.
7.3 Konsep Saujana Kota Magelang sebagai bagian dari Pusaka
Alam telah membentuk karakter di setiap kota menjadi unik. Setiap
daerah mempunyai keunikan yang mampu memperlihatkan karakternya masing-
masing. Perbedaan iklim, topografi, lokasi, ketinggian permukaan tanah dan jenis
tanah merupakan beberapa aspek yang mempengaruhi keunikan kota. Karakter
262
kota terlihat secara jelas dipengaruhi oleh aspek-aspek tersebut. Kota yang
mengalami perubahan merupakan hasil ekspresi masyarakatnya dan menjadi
suatu kekayaan. Perubahan yang terjadi menjadi bagian dari keunikannya.
Di bawah ini akan diceritakan beberapa kota dengan karakter masing-
masing yang juga dipengaruhi oleh kondisi alam. Salzburg, Austria dan Kyoto,
Jepang mempunyai karakter yang dibentuk oleh adanya pegunungan, serta Kota
Padang yang berada di Sumatera Barat. Ketiganya mempunyai karakter yang
beda dengan kondisi alam serta budaya yang berbeda. Budaya masyarakat yang
berbeda telah memberikan perlakukan pada kota yang berbeda pula.
Gambar 7.15 Kyoto dan budaya masyarakatnya
(foto: Utami, 2010)
Kiyomizu temple Kinkakuji temple
Budaya masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan di temple
Deretan Tatami Festival Daimonji Atraksi budaya
263
Kyoto dengan gunung-gunung yang ada, telah membentuk salah satu ritual
yang dilakukan masyarakat setiap tanggal 16 Agustus yang dikenal dengan
daimonji. Selain itu, keberadaan istana (Kyoto palace), rumah-rumah tradisional
tatami serta budaya-budaya lokal masih berkembang pada saat ini.
Kota Medan sebagai daerah kerajaan di kawasan Putri Hijau, berdekatan
dengan sungai, seiring dengan waktu, kota justru tumbuh di bagian tengah dan
berkembang sebagai kota yang mendukung hasil perkebunan untuk wilayah
perkebunan di sekitarnya. Kawasan berubah menyesuaikan kondisi yang ada.
Gambar 7.16 Kota Medan, kota kerajaan menjadi kota pendukung perkebunan
(foto: Utami, 2003)
Demikian juga di Praha, Cekoslovakia dan Cologne, Jerman yang masih
menunjukkan sebagai kota bersejarah dengan beberapa kebijakan yang berpihak
pada penghargaan karya masyarakat dan menyelamatkan kawasan atau bangunan
tua yang bisa menjadi pembelajaran di masa depan. Sungai ataupun bentukan air
lainnya yang membelah kota, menjadikan bagian pembangunan.
Gambar 7.18 Artefak menjadi bagian dari pembangunan kota Cologne, Jerman
(foto: Utami, 2011 dan 2012)
Gedung Balai Kota Gedung London Sumatera
264
Gambar 7.17 Charles Bridge dan bangunan di sekitarnya
(foto: Utami, 2011)
Letak geografis yang mempengaruhi perkembangan kota juga terlihat pada
beberapa kota-kota di Belanda. Belanda yang terkenal sebagai kota di bawah
permukaan air dan sebagai negara yang kecil wilayahnya, berusaha menjadikan
daerahnya sebagai daerah yang optimal dalam pengembangannya. Konsep
pelestarian yang kuat seperti halnya di kota-kota Eropa lainnya, mendukung
sejarah masa lalu sebagai bagian kehidupan saat ini.
Gambar 7.19 Belanda dengan keunikan pada pengembangan kawasan
(foto: Utami, 2011 dan 2012)
Karakter dan bentuk kota yang dipengaruhi oleh kondisi alam, juga bisa
dilihat pada beberapa kota di Indonesia yang terletak di dataran tinggi. Lokasi-
Deretan Bangunan di sepanjang sungai yang terlihat dari Charles Bridge
Charles Bridge yang membagi kota Praha dalam dua wilayah besar
Den Haag Amsterdam Leiden
265
lokasi tersebut pada akhirnya dijadikan sebagai tempat wisata dengan budaya
yang berkembang. Kota Brastagi, khususnya di Bukit Gundaling ,menjadi bagian
dari pengembangan kota sebagai kota wisata yang didukung kondisi alamnya.
Gambar 7.20 Kota Brastagi sebagai kota peristirahatan yang dibentuk oleh alam
yang didukung dengan adanya Bukit Gundaling
(foto: Utami, 2006)
Mengacu pada kasus-kasus di atas, bisa dijelaskan bahwa kota-kota di
dunia berkembang sesuai dengan kondisi alam dan geografisnya, dengan
pengembangan yang dilatarbelakangi budaya setempat. Kondisi saat ini
menunjukkan adanya interaksi antara manusia dan alam.
7.4 Konsep Saujana Kota Magelang dalam Teori Saujana
Ada empat konsep saujana yang bisa dikaji sejak periode Kerajaan
Mataram Kuno sampai saat ini, yaitu kesucian, kesuburan, keindahan dan
kestrategisan. Keempat konsep saujana tersebut merupakan wujud dari tangible
dan intangible. Kesucian, kesuburan, keindahan dan kestrategis sebagai konsep
intangible-nya merupakan konsep untuk membentuk wujud fisik (tangible).
Keempat konsep terwujud dalam kawasan dan bentuk bangunan Kota Magelang.
Wujud saujana yang berbentuk fisik yaitu orientasi dan bentuk kawasan
maupun bangunan sebagai ekspresi masyarakat yang mengacu pada interaksi
manusia dengan alam. Budaya menjadi penghubung dalam interaksi tersebut.
Hal ini seperti dijelaskan oleh Sauver (1995) bahwa budaya sebagai penghubung
dalam interaksi manusia dalam mengolah alam. Alam telah membentuk kawasan
dan bangunan Kota Magelang. Bentuk ruang tersebut dihasilkan sebagai ekspresi
Fasilitas wisata yang terbentuk Panorama dari atas Bukit
Gundaling
266
dari interaksi masyarakatnya dalam menilai alam. Pendapat ini juga ditemukan
dalam tulisan Mitchell (2003) Cultural Landscape : just Landscapes or just
landscapes of justice? yang menjelaskan bahwa landsekap mempengaruhi
kegiatan manusianya dengan membentuk budaya dan disusul dengan keputusan
untuk membentuk ruang. Kota Magelang dengan tujuh gunung yang mengelilingi
telah mempengaruhi masyarakat yang membaca kondisi tersebut dengan budaya
yang berbeda namun tetap dalam kerangka empat konsep yaitu kesucian,
kesuburan, keindahan dan kestrategisan. Keempat konsep tersebut telah
membentuk Kota Magelang dengan karakter yang unik.
Asworth (1991) menjelaskan bahwa karakter kota dibentuk oleh budaya
yang berkembang karena adanya kekhasan setiap daerah dan menjadi pusaka bagi
kota tersebut. Ini didukung dengan pendapat Momford (1991) yang menjelaskan
bahwa kota merupakan embrio yang selalu berkembang seiring dengan
perkembangan ruang dan waktu. Kota merupakan perpaduan kehidupan manusia
dengan lingkungannya (Kostof, 1991; Madanipour, 1991) yang dapat dilihat dari
bentukan fisik dan budaya yang berkembang.
Tujuh gunung yang mengelilingi Kota Magelang dan membentuk
kesucian, kesuburan tanahnya, keindahan panoramanya serta kestrategisan
mempengaruhi masyarakatnya dalam membentuk ruang. Kondisi tersebut juga
bisa dilihat pada Kota Amsterdam dengan kota yang dibentuk oleh kanal yang
mengelilinginya serta Kota Kairo dengan sungai dan kanal yang mempengaruhi
perkembangan bentuk ruang kotanya (Echols dan Nassar, 2006)
Kota Magelang yang dikelilingi oleh tujuh gunung telah membentuk
budaya masyarakat. Budaya masyarakat tersebut terwujud pada ruang-ruang kota,
seperti yang dijelaskan oleh Rapoport (1969) dan Lang (1987). Keyakinan
tersebut dijelaskan oleh Sauver (1995) serta Burns dan Carol (1954) yang
mengatakan bahwa lingkungan alam dan budaya masyarakatnya dijadikan bagian
yang tak terpisahkan dalam melihat ruang. Kyoto, Jepang menggunakan daerah-
daerah bukit sebagai tempat untuk membangun temple dan kesucian yang
terbentuk dari gunung diapresiasikan dalam bentuk festifal daimonji. Ini
menunjukkan adanya suatu keyakinan pada masyarakat untuk membentuk ruang-
267
ruang kehidupannya yang berbentuk fisik. Konsep kesucian yang terjadi di
Kyoto, berbeda dengan di Istanbul. Hough (1991) menjelaskan posisi kota yang
berada di gunung justru digunakan sebagai suatu kekuatan untuk dapat menjadi
tempat strategis dalam melihat keindahan alamnya pada kota Istanbul. Sementara
Carr (2004) dalam tulisan yang berjudul Mountain Places, Cultural Spaces : The
Intepretation of Culturally Significant Landscapes, menjelaskan suatu tempat
yang diyakini mempunyai nilai spiritual akan menghasilkan budaya yang
merefleksikan interaksi antara alam dan manusia dengan latar belakang budaya.
Untuk kasus di Kota Magelang, alam diapresiasikan dalam beberapa kesenian
yaitu grebeg gethuk dan beberapa ritual yang seringkali dilakukan masyarakat
untuk tetap mengharap bantuan kesuburan pada Tuhan dengan keyakinannya.
Selain itu, adanya makanan tradisional gethuk, mengekspresikan adanya
perkebunan yang dulu berkembang, mampu diwujudkan dalam bentuk makanan.
Perbedaan cara pandang kesucian terhadap bukit atau gunung serta dalam
memandang kesuburan tanahnya berkembang dengan implementasi pada
pembentukan ruang yang akan berbeda. Perbedaan kesucian yang terjadi untuk
Kyoto dan Istanbul, dipengaruhi oleh sudut pandang masyarakatnya, seperti yang
dijelaskan oleh Rapoport (1969). Pendapat ini diperkuat oleh Eliade (1959) yang
mengatakan bahwa kesucian adalah segala sesuatu yang diyakini oleh diri sendiri
yang terkait dengan kekuatan suatu benda dan tidak harus selalu terkait dengan
agama yang diyakininya. Keunikan ini terjadi di Bukit Tidar yang diyakini oleh
masyarakatnya dengan mengartikan kesucian dalam cara pandang yang berbeda
yaitu kosmologis, spiritual, religious dan lingkungan.
Gambar 7.21 Ruang yang terbentuk Bukit di Kyoto, Bukit di Wina dan
Pegunungan di Dieng sebagai tempat yang disucikan
(foto: Utami, 2006)
268
Dodge (1951) dalam Black Rock : A zuni cultural landscape and the
meaning of place. menjelaskan bahwa perbedaan keyakinan akan menghasilkan
ruang kegiatan yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya
masing-masing. Alam akan dipahami dalam sudut pandang yang berbeda sesuai
dengan keyakinannya (Dodge, 1951). Pada gambar 7.20, terlihat budaya yang
berbeda di setiap lokasi mempengaruhi perbedaan dalam mengolah ruang yang
dianggap suci.
Posisi Kota Magelang yang berada ditengah-tengah Kabupaten Magelang
dengan gunung yang berada di Kabupaten Magelang dan kabupaten di sekitarnya
telah membentuk keterkaitan antar daerah. Hal ini seperti dikatakan Anyon dkk
(2006), yang menuliskan bahwa natural setting lembah San Pedro dan daerah
disekitarnya membentuk mozaik saujana, dengan masing-masing mempunyai nilai
dan makna yang bisa saja berbeda tergantung budayanya. Dilanjutkannya, bahwa
sangatlah penting memposisikan setiap makna yang berbeda untuk melihat
kekayaan saujana yang terbentuk (Anyon dkk, 2006). Penjelasan ini mendukung
keberadaan keyakinan masyarakat yang berbeda terhadap kesucian Bukit Tidar.
Pendapat ini juga didukung dengan tulisan Mitchell (2012) yang menjelaskan
bahwa diperlukan suatu dialog antar keyakinan yang akan menjadikan konsep
lebih unik dan makna yang dihasilkan akan lebih menyiratkan ideologi dengan
maknanya masing-masing. Ideologi yang diceritakannya dianggap akan terwujud
dalam pembentukan ruang-ruang kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu pemetaan kegiatan masyarakat untuk menjelaskannya.
Kota Magelang dengan kesuburan yang dibentuk oleh kegiatan
vulkanologi, telah membentuk masyarakat bergerak dalam bidang pertanian, yang
pada akhirnya mengundang pendatang untuk memanfaatkannya. Ini seperti yang
dituliskan oleh Mitchell (2003) bahwa landsekap yang telah terbentuk, tidak
hanya akan mempengaruhi kegiatan bagi masyarakat setempat, namun bisa saja
juga mempengaruhi dalam pembentukan ruang bagi masyarakat pendatang.
Khafajah (2010) dalam tulisannya yang berjudul Meaning-making and Cultural
Heritage in Jordan : The Local Community, The Contexts and The Archeological
269
Sites in Khreibt al-Suq, menjelaskan tentang peran masyarakat dalam
memberikan nilai pada lokasi sehingga para pendatang memiliki keyakinan yang
sama dan membentuk ruang karena keyakinannya tersebut.
Karakter ruang yang terbentuk karena alam dipahami sebagai perwujudan
tindakan masyarakatnya. Seperti dituliskan Taylor (2007) bahwa lansekap
merupakan sesuatu yang akan mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan
terhadapnya dengan didasari oleh budaya masyarakatnya. Lansekap akan
mendasari berkembangnya ekspresi masyarakat, baik yang berbentuk tangible
maupun yang intangible dengan makna yang melekat padanya. Karakter alam
akan membentuk kehidupan yang saling terkait, dengan perubahan telah terjadi
memperkuat konsep yang ada dan sebagai pembelajaran (Taylor, 2007).
Beberapa kawasan berkembang di Kota Magelang didasari adanya
keterkaitan dengan alamnya. Kwarasan, Bayeman, Jurang Ombo, Kebon dalem,
Meteseh Jayengan dan sebagainya, merupakan ruang-ruang fisik yang terbentuk
karena masyarakat menjadikan alam sebagai bagian dari kehidupannya. Bentuk
fisik kawasan dan atau fungsi kawasan menjadi pertimbangan dalam
mengembangkan kawasan tersebut dengan fungsi khusus didukung nama yang
berbeda dengan kawasan lainnya. Nilai-nilai yang terkandung pada nama tersebut
akan menjadi pemahaman bagi masyarakatnya. Carr (2004) menjelaskan budaya
dan tradisi Maori terekpresi pada nama tempat yang menekankan pada nilai
kawasan yang berbasis pada identitas dan keyakinan dengan refleksi pada alam.
Tanah yang subur telah membentuk keyakinan bagi pemerintah Kerajaan
Demak dan Mataram Baru untuk menjadikannya sebagai gudang makanan atau
gudang beras. Kondisi ini sangat menarik, apalagi pada periode kolonial Inggris
dan Belanda yang menjadikannya sebagai daerah perkebunan untuk mendukung
perekonomian di luar Kota Magelang. Kesuburan Kota Magelang telah
memperluas ruang gerak masyarakatnya. Walaupun di satu sisi, kondisi yang
berubah sejalan dengan perbedaan cara pandang, telah mempengaruhi masyarakat
dalam memperlakukan alamnya. Kota Magelang sebagai kota yang strategis
270
mendukung sebagai tempat pengolahan dari hasil pertanian dan perkebunan di
daerah hinterland-nya. Kondisi ini juga terjadi di beberapa daerah subur lainnya
di Indonesia yang akhirnya dijadikan tanah pertanian ataupun perkebunan untuk
memenuhi kebutuhan daerah lainnya. Brastagi, daerah dengan tanah yang subur
di lereng Gunung Sibayak, telah membentuk Brastagi sebagai lahan pertanian
yang mendukung kebutuhan daerah sekitarnya. Selain itu beberapa daerah di
sekitar Kota Medan yang memiliki tanah yang subur, misalnya Deli Serdang,
Serdang Bedagai dan Pematang Siantar, memberikan hasil perkebunannya yang
kemudian diolah di Kota Medan dan dikirim ke beberapa kota di Jawa dan negara
Eropa pada periode kolonial Belanda.
Posisi yang dianggap strategis pada Kota Magelang dan Kota Medan, telah
membentuk kedua kota tersebut sebagai kota pendukung hasil perkebunan di
daerah sekitarnya. Walaupun pada periode sebelum dipilih sebagai kota
pendukung hasil perkebunan, kedua kota tersebut juga menjadi bagian dari
perkebunannya. Seperti halnya Kota Magelang dibangun beberapa pabrik untuk
mengolah hasil perkebunan, Kota Medan yang mempunyai peran penting di
wilayah Sumatera Timur pada saat itu, banyak didirikan bangunan pendukung
kegiatan perkebunan. Gedung London Sumatera dan beberapa gedung untuk
perkantoran perkebunan, menjadi bukti bahwa letak yang strategis telah
mengubah cara pandang masyarakat dan pembuat kebijakan dalam membentuk
ruang.
Uraian tersebut, didukung dengan hasil penelitian Prangnell dkk (2010)
dalam judul Power Relation and Community Involvement in Landscape-based
Cultural Heritage Management Practice : An Australian Case Study, yang
menjelaskan pada saat terjadi perubahan pada kebijakan akan berakibat pada
perubahan cara membentuk ruang. Sehingga bisa disimpulkan, bahwa tidak
hanya masyarakat setempat yang mempengaruhi pembentukan ruang, namun
pendatang juga membentuk ruang. Seperti yang dituliskan Kanki (2012) dan
Fatimah (2012) bahwa perubahan bisa terjadi karena adanya perubahan cara
pandang masyarakat dan investor untuk membentuk ruang-ruang yang baru.
271
Namun ruang-ruang yang baru tersebut, seharusnya tetap mengacu pada potensi
alam yang ada (Sauver, 1995).
Kota Magelang merupakan hasil ekspresi masyarakatnya dalam mengolah
ruang yang dipengaruhi oleh budayanya. Kestrategisan letak Kota Magelang
telah mengubah karakter kota yang pada akhirnya mengalami penurunan nilai
keunggulan pada saujananya. Alam dengan panorama yang indah serta kondisi
tanah yang subur tidak menjadi pertimbangan dalam pengembangan kota.
Beberapa kawasan mengalami penurunan nilai keunggulan, antara lain daerah
Bayeman yang berubah menjadi kawasan perekonomian, serta kompleks RSJP
Kramat yang bergeser makna dari keindahan dan kesuburan menjadi kestrategisan
dengan adanya perumahan, pertokoan dan beberapa fasilitias pendidikan.
Alam sebagai inspirasi telah mengalami penurunan yang terlihat pada
bentuk kawasan dan bangunan. Perubahan fungsi kawasan dan bangunan
dipengaruhi oleh kestrategisan lokasi, tanpa mempertimbangkan keindahan alam.