CARA TEPAT MENETAPKAN 1 SYAWAL & IDUL ADHA
OLEH :
MUH. MATTULA’ADA
MAKASSAR
2012
Ket: Tulisan-tulisan penulis dapat pula disimak lewat blog pribadinya di
http://aboutagama.blogspot.com dan www.kompasiana.com/mata
1
CARA TEPAT MENETAPKAN 1 SYAWAL & IDUL ADHA
Sungguh sangat memprihatinkan sekaligus memalukan rasanya jikalau penetapan 1 Syawal seringkali berbeda dari
tahun ke tahun. Tercatat hari Lebaran tanggal 1 Syawal 1432 Hijriyah kemarin merupakan perbedaan yang
keempat kalinya sejak enam tahun terakhir. Perbedaan sebelumnya pernah terjadi tiga kali berturut-turut, yakni
pada tahun 2006, 2007, dan 2008.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di Indonesia 2 ormas Islam terbesar memegang peranan penting dalam
penentuan 1 Syawal, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Namun masalahnya, kedua ormas tsb
menggunakan metode yang berbeda dalam menetapkan 1 Syawal. Tradisi di NU selalu menggunakan rukyat,
sedangkan metode hisab haqiqi wujudul hilal merupakan cara yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui jenis-jenis hisab dan rukyat terlebih dahulu.
*) Dalam hisab ada beberapa jenis aliran yang pada intinya terbagi atas tiga jenis, yakni hisab urfi, hisab taqribi,
dan hisab haqiqi.
(1) Hisab Urfi. “Urfi” berarti kebiasaan atau kelaziman (Farid Ruskanda, 1995:17). Hisab Urfi adalah hisab yang
melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah sederhana. Hisab urfi ini telah dipergunakan sejak zaman
khalifah kedua, Umar bin Khattab r.a (tahun 17 H). Pada system hisab ini, perhitungan bulan qomariah ditentukan
berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga umur bulan dalam setahun qomariah barvariatif diantara 29 dan 30
hari.
Pada system hisab urfi ini, bulan yang bernomor ganjil dimulai dari bulan Muharram berjumlah 30 hari, sedangkan
bulan yang bernomor genap dimulai dari bulan Shafar berjumlah 29 hari. Tetapi khusus bulan Dzulhijjah (bulan ke-
12) pada tahun kabisat berjumlah 30 hari. Dalam hisab urfi juga mempunyai siklus 30 tahun (1 daur) yang di
dalamnya terdapat 11 tahun yang disebut tahun kabisat (panjang) memiliki 355 hari pertahunnya dan 19 tahun
yang disebut tahun basithah (pendek) memilik 354 hari pertahunnya. Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke-2,
5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke-29 dari keseluruhan selama 1 daur (30 tahun). Dengan demikian, kalau dirata-
rata periode umur bulan (bulan sinodis/lunasi) menurut hisab urfi adalah (11 X 355 hari) + (19 X 354 hari) : (12 X 30
tahun) = 29 hari 12 jam 44 menit (menurut hitungan astronomis: 29 hari 12 jam 44 menit 2,88 detik ). Walau
terlihat sudah cukup teliti, namun yang menjadi masalah adalah aturan 29 dan 30 hari serta aturan kabisat yang
tidak menunjukan posisi bulan yang sebenarnya dan sifatnya hanya pendekatan saja. Oleh sebab itulah, maka
system hisab urfi ini tidak dapat dijadikan acuan untuk penentuan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah
misalnya bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
(2) Hisab Taqribi. Dalam bahasa arab, “Taqrobu” berarti pendekatan atau aprokmasi. Hisab taqribi adalah sistem
hisab yang sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis, namun masih menggunakan rumus-
rumus sederhana sehingga hasilnya kurang teliti. System hisab ini merupakan warisan dari para Ilmuan Falaq Islam
masa lalu dan hingga sekarang system hisab ini menjadi acuan pembelajaran hisab di berbagai pesantren di
Indonesia.
Hasil hisab Taqribi akan mudah dikenali pada saat penentuan ijtima dan tinggi hilal menjelang tanggal satu bulan
qomariah, yaitu terlihatnya selisih yang cukup besar apabila dibandingkan dengan perhitungan astronomis
modern.
Beberapa kitab ilmu falaq yang berkembang di Indonesia yang termasuk kategori hisab taqribi ini adalah Sullam
An-Nayiroin, Ittifadzatilal-Banin, Fathul Ar-rufdiul mannan, Al-qiwaid Al-falaqiyah dan lain sebagainya.
(3) Hisab Haqiqi, yaitu perhitungan posisi benda-benda langit serta memperhatikan hal-hal yang terkait di
dalamnya. Hisab haqiqi sering juga disebut Hisab yang sebenarnya, yaitu hisab yang ditentukan berdasarkan waktu
peredaran bulan mengelilingi bumi yang sebenarnya. Tidak seperti hisab urfi, umur bulan dengan hisab ini tidak
dapat dipatokkan, bahkan bisa terjadi umur/jumlah hari pada suatu bulan ganjil dan bulan genap adalah 29 atau
30 hari secara berurutan. System hisab haqiqi ini sudah mulai menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan
matematis serta rumus-rumus terbaru dilengkapi dengan data-data astronomis terbaru sehingga memiliki tingkat
ketelitian yang amat akurat.
Pada zaman ini, hisab haqiqi-lah hisab yang banyak diterima dan dipakai oleh kaum Muslimin, tidak hanya untuk
menghisab Hilal tetapi juga menghisab hal-hal lainnya seperti menghisab jadwal shalat 5 waktu. Hisab Haqiqi dapat
dibagi menjadi 2 macam yakni hisab wujudul hilal dan hisab imkanurr rukyah.
a) Hisab Wujudul Hilal. Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan
menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal
2
ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari
tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian
(altitude) Bulan saat Matahari terbenam. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau
memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar
penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum. Hisab Wujudul
Hilal ini sebenarnya merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai Rukyat Bil Ilmi, yaitu meru’yat
dengan menggunakan ilmu sebagai alat untuk melihat hilal. Tidak peduli apakah langit sedang mendung
atau badai sekalipun, selama perhitungan di atas kertas mengatakan sudah terjadi hilal (bulan berada di
atas ufuk saat matahari terbenam), pergantian bulan dianggap telah terjadi.
b) Hisab Imkanur Rukyat. Awal bulan qamariah, menurut sistem hisab imkanurr-rukyat, dimulai pada saat
terbenam Matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah memenuhi syarat untuk
memungkinkan dapat dilihat. Dengan demikian, untuk menetapkan masuknya awal bulan qamariah
menurut aliran ini terlebih dahulu ditetapkan suatu kaidah mengenai posisi hilal (Bulan) di atas ufuk yang
memungkinkan untuk dapat dilihat. Awal bulan baru itu ditetapkan berdasarkan posisi hilal dengan segala
persyaratan yang telah ditetapkan, sehingga pada saat atau beberapa saat setelah terbenam Matahari
sesudah ijtima’ orang mungkin dapat melihat hilal tersebut.
Sebenarnya selain dari jenis-jenis hisab seperti yang disebutkan diatas, ada juga apa yang disebut sebagai
“perhitungan melalui purnama”. Metode hisab ini berpatokan pada posisi sempurna bulan purnama. Untuk
mengecek posisi bulan purnama ini secara akurat, maka dapat langsung dilihat lewat situs-situs seperti
www.moonconnection.com, www.fullmoon.info, dan www.moonphases.info, serta
http://www.icoproject.org/icop/shw32.html. Setelah wujud purnama mencapai tingkat 100% , maka kemudian
dihitung mundur sebanyak 15 hari kebelakang untuk menentukan hilal. Yang menjadi masalah disini adalah
mengapa harus dihitung 15 hari ke belakang, padahal umur bulan purnama tidak mutlak 15 hari? Hal ini bisa
diibaratkan seperti seorang ibu yang melahirkan anak dalam keadaan langsung beranjak dewasa, sehingga untuk
menentukan umur anak tsb dalam keadaan masih bayi kita akan mengalami kesulitan! Apakah untuk menentukan
umur anak itu kita akan mematok dengan menghitung mundur misal sebanyak 15 tahun kebelakang? Jelas tidak
bukan?
Maka dari itu, pakar astronomi LAPAN, Prof. Thomas Djamaluddin mengatakan bahwa awal bulan mestinya
didasarkan pada fenomena yang ada batas awalnya. Hilal ada batas awalnya, karena hari sebelumnya tidak
tampak, kemudian tampak sebagai tanda awal bulan. Tampak bisa dalam arti fisik, terlihat, atau tampak
berdasarkan kriteria visibilitasnya. Purnama sulit menentukan batas awalnya. Dari segi ketampakan, bulan tanggal
14 dan 15 hampir sama bentuknya, sama-sama bulat. Secara teoritik, rata-rata purnama terjadi pada 14,76 hari
setelah ijtimak (bulan baru). Artinya, purnama bisa terlihat pada malam ke-14 atau ke-15, sehingga tidak
memberikan kepastian ketika ditelusur mundur.
Hal senada diungkapkan peneliti pada Obsevatorium Bosscha, Moedji Raharto. Ia menegaskan, purnama tak
menunjukkan apa pun kecuali posisi bulan tersebut. Pada saat itu, bujur ekliptika bulan dan matahari sudah
mencapai 180 derajat. Kondisi itu pun tak bisa dijadikan landasan menentukan awal bulan Hijriah. Pasalnya, dalam
perumusan kalender Hijriah, posisi hilal bisa lebih tua dari waktu konjungsi. "Bisa 20 hingga 26 jam bahkan ada
yang mencapai 48 jam," kata Moedji.
Artinya, bulan purnama bisa jatuh pada waktu yang berbeda-beda. Purnama mungkin berlangsung pada 13, 14,
atau 15 di bulan Qomariyah. Karena itu, Moedji mengajak semua pihak bersikap arif dan mengembalikan definisi
hilal pada teknis serta mekanisme yang berlaku dalam astronomi. Langkah ini diyakini bisa menghindari sikap
saling klaim dan saling menyalahkan satu sama lain. "Kita kembali ke definisi hilal," katanya.
Penjelasan yang bagus mengenai ini diberikan pula oleh sdr Ahmad Nugraha lewat tulisannya di
http://edukasi.kompasiana.com/2011/09/19/masalah-kalender-purnama/.
*) Sedangkan rukyat pada umumnya dikenal hanya 2 macam, yaitu:
(1) Bil Qalbi. Pergantian bulan terjadi hanya dengan meyakini dalam hati bahwa saat itu sudah terjadi hilal. Tidak
perlu menengok ke langit atau menghitung di atas kertas, yang penting percaya. Sebagian menyebut ru’yat ini
sebagai melihat dengan mata batin.
(2) Bil Fi’li. Kelompok terakhir menafsirkan hadits secara harfiah, bahwa hilal harus dilihat dengan mata secara
langsung. Ini pun masih menimbulkan tanda tanya, apakah harus dengan mata telanjang? Sebagian berpendapat
bahwa hilal harus dilihat dengan mata langsung dan tidak boleh menggunakan alat yang memantulkan cahaya.
Sedangkan sebagian yang lain memperbolehkan.
3
Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan, manakah diantara metode-metode tsb yang paling dapat diandalkan
untuk melihat hilal? Kalau melihat kelemahan dari masing-masing metode, maka metode hisab haqiqi wujudul
hilal lebih dapat diandalkan. Perkembangan perhitungan hisab modern saat ini membuktikan tingkat kesalahan
perhitungannya sangat kecil. Kesalahannya hanya 2 detik dalam 4.000 tahun, dan akurasinya pun selalu diamati
oleh para observer setiap bulan melalui alat canggih. Sehingga banyak orang saat ini yang bisa memprediksikan
waktu terjadinya gerhana matahari dan bulan secara tepat. Inilah bukti kemajuan bidang astronomi. Sedangkan
bila dengan menggunakan metode rukyat, maka ada beberapa kelemahan yang sangat mengganggu yang dapat
terjadi, yaitu:
- Hilal sangat sulit dilihat, sebab hanya muncul sebentar saja dan bentuknya sangat tipis dan redup. Bila
dalam mengamati hilal Anda berkedip sedikit saja, maka hilal bisa saja hilang dalam pandangan Anda.
- Hilal berada dalam kondisi yang susah untuk diamati, misal:
a) Bulan terbenam lebih dahulu dari matahari (hilal masih/sudah berada dibawah ufuk, alias hilal
negatif). Dalam keadaan ini, hilal mustahil terlihat, dan setiap kesaksian akan tertolak.
b) Terjadinya konjungsi ketika terbenamnya matahari dalam keadaan tertutup (kasyifah), maka
dipastikan hilal tidak akan terlihat karena kekontrasan cahaya Matahari.
c) Banyaknya penghalang di udara.
- Hilal sering terjadi dalam keadaan cuaca yang kurang bersahabat, sehingga sangat mengganggu
pandangan mata untuk melihatnya.
- Secara teori, hilal hanya dapat dilihat dalam ketinggian tertentu.
a) Kriteria imkan rukyat yang dipakai di Indonesia mengacu kepada kriteria penentuan awal bulan
(kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk
penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip bahwa awal bulan
(kalender) Hijriyah terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas
cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak. Hampir semua ormas
Islam termasuk NU akhirnya bisa menerima kriteria MABIMS ini.
b) Kriteria rukyat hilal ICOP (Islamic Crescent’s Observation Project) yang dikembangkan oleh ilmuwan
Yordania, Mohamad Syaukat Audah (yang lebih dikenal dengan sebutan Mohamad Odeh)
mensyaratkan hilal dapat diamati jika memiliki jarak sudut minimal 6,4 derajat dan ketinggian
minimal 6 derajat untuk diamati dengan mata telanjang atau ketinggian minimal 4 derajat untuk
diamati dengan alat bantu.
c) Pada tahun 1932 dan 1936 Andre Danjon, direktur Observatorium Starsbourg dari Prancis,
melaporkan hasil pengamatan hilal di majalah astronomi. Dari 75 bukti pengamatan hilal yang
dikumpulkan dari berbagai pengamat di seluruh Eropa diperoleh syarat batas penampakan hilal yang
kini dikenal sebagai limit Danjon. Danjon dalam laporannya itu menganalisis hubungan jarak sudut
(jarak di langit dalam ukuran sudut pandang -- dinyatakan dalam derajat) Matahari-Bulan dan
besarnya lengkungan sabit pada hilal. Dari 75 data itu diketahui bahwa makin dekat jarak sudut
Matahari-Bulan, lengkungan sabit yang bisa teramati makin kecil. Data-data itu menunjukkan bahwa
hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Dengan limit
itu, astronom akan menolak laporan pengamatan hilal dengan mata telanjang bila jarak sudut
Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Bahkan menurut Bradley E. Schaefer dari USA pada tahun
1991 mengatakan bahwa dengan teleskop pun hilal tetap tidak mungkin teramati bila jarak sudut
Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat.
d) Imkanur Ru’yah dengan kriteria (1) irtifa minimal 5 derajat, (2) sudut elongasi minimal 8 derajat.
Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan Istambul oleh beberapa ahli hisab pada saat terjadinya
konferensi kalender Islam di Turki pada tahun 1978. Konferensi ini dihadiri juga oleh Indonesia dan
Malaysia.
e) Imkanur Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Derek
McNally pada tahun 1983.
f) Imkanurr Ru’yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7.5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Louay
F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S. Al-Dargazelli pada tahun 1998. Kriteria ini dikenal
dengan nama kriteria Fatoohi.
g) Mohammad Ilyas, seorang Muslim yang kini mengepalai International Islamic Calendar Program di
Malaysia, telah mengumpulkan banyak bukti pengamatan di seluruh dunia untuk menentukan kriteria
hilal agar bisa teramati. Secara ringkas, kriteria yang dihasilkan dari banyak data pengamatannya
terbagi dalam tiga kelompok, tergantung aspek apa yang ditinjau. Dilihat dari ketinggian hilal di atas
ufuk, tidak ada hilal yang teramati pada ketinggian kurang dari 4 derajat. Untuk hilal yang sangat
dekat dengan Matahari (pada jarak mendatar sekitar 5 derajat) hilal harus lebih tinggi dari 10
derajat. Ditinjau dari umur hilal (selang waktu sejak saat ijtimak sampai saat pengamatan), tidak
4
ada hilal yang lebih muda dari 16 jam, kecuali pada saat tertentu rekor termuda yang tercatat
adalah 13,5 jam. Dan dilihat dari sudut pandang beda waktu terbenam antara Matahari dan Bulan,
hilal tidak mungkin teramati bila beda waktu terbenamnya kurang dari 40 menit.
h) Dan lain-lain, diantaranya kriteria Maunder (elongasi 11 derajat) , Fotheringham (elongasi 12
derajat)
- Adanya faktor psikis (kejiwaan/mental) dalam merukyat.
Sumber: Wikipedia
Ket: Nampak pada gambar diatas seperempat bulan sabit terakhir di atas cakrawala bumi. Bulan adalah satu-
satunya satelit alami Bumi, dan merupakan satelit alami terbesar ke-5 di Tata Surya. Bulan tidak mempunyai
sumber cahaya sendiri dan cahaya Bulan sebenarnya berasal dari pantulan cahaya Matahari. Jarak rata-rata Bumi-
Bulan dari pusat ke pusat adalah 384.403 km, sekitar 30 kali diameter Bumi. Diameter Bulan adalah 3.474 km,
sedikit lebih kecil dari seperempat diameter Bumi. Ini berarti volume Bulan hanya sekitar 2 persen volume Bumi dan
tarikan gravitasi di permukaannya sekitar 17 persen daripada tarikan gravitasi Bumi. Bulan beredar mengelilingi
Bumi sekali setiap 27,3 hari (periode orbit), dan variasi periodik dalam sistem Bumi-Bulan-Matahari
bertanggungjawab atas terjadinya fase-fase Bulan yang berulang setiap 29,5 hari (periode sinodik).
Banyak ulama yang tetap ngotot untuk melihat hilal dengan mata telanjang berdasarkan hadits berikut:
Berpuasalah kalian jika melihat hilal dan berbukalah kalian di saat melihat hilal. Dan jika hilal itu tertutup debu
dari penglihatan kalian maka sempurnakanlah bulan Sya’ban itu tiga puluh hari. (HR. Bukhari dan Abu Hurairah)
Hadits diatas jelas menunjukkan bahwa pada waktu itu ilmu perhitungan (falak/hisab) untuk menentukan
penampakan hilal belum begitu maju. Ini sangat kelihatan dari kalimat terakhir yang mengatakan “Dan jika hilal itu
tertutup debu…” Artinya jika mata kita terganggu oleh hanya adanya debu, maka untuk menentukan bulan baru
harus digenapkan menjadi 30 hari.
Hal tsb semakin jelas ketika Rasulullah mengatakan: ”Sesungguhnya umatku adalah umat yang ummi, tidak dapat
membaca, dan tidak dapat berhitung, bulan itu sekian dan sekian (yakni kadang-kadang berumur 29 hari dan
kadang-kadang berumur 30 hari)” (H.R. Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasai)
“Sesungguhya kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini
dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini
(yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Selain itu, dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya illat. Menurut Rasyid Ridha dan
Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Maksudnya adalah dalam hal ini
yang berlaku adalah kaidah ushul fikih yang mengatakan ‘al-hukmu yadûru ma’a ‘illaitihi wujûdan wa ‘adaman’,
dimana saat itu fasilitas yang dimiliki oleh peradaban Islam di Madinah barulah rukyat. Jika ada illat, yaitu
kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Yusuf Al Qaradawi
menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits
dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut sebagai seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab
untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada
orang mengetahui hisab.
5
Maka dari itu, dalam hadits lain dikatakan:
“Sesungguhnya satu bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya (hilal). Dan
jika hilal itu tertutup awan atau mendung dari (penglihatan) kalian, maka perkirakanlah ia.” (HR. Bukhari)
Hadits diatas menyiratkan bahwa pada waktu itu ilmu hisab sudah cukup mumpuni. Ini terlihat dari kalimat
terakhir, maka perkirakanlah ia. Diperkirakan pakai apa? Apakah dengan memakai teleskop? Jelas tidak mungkin,
karena pada saat itu, alat semacam ini belum ada. Apakah pakai insting atau ilmu raba-raba dengan bantuan
paranormal? Jelas mustahil, karena Rasulullah tidak suka dengan hal-hal yang demikian! Maka alasan paling logis
dan memungkinkan adalah dengan memakai perhitungan (hisab).
Jadi untuk melihat bulan baru (hilal) dalam keadaan cuaca yang kurang baik, maka Rasulullah menyuruh kita untuk
memperkirakannya dengan melakukan hisab.
Hal ini semakin jelas ketika Rasulullah bersabda, “Jika kalian melihat Hilal, maka shaumlah kalian. Dan jika kalian
melihat Hilal (Syawwal), maka berbukalah kalian. Jika awan menyelimuti kalian, maka hendaklah kalian
menghitungnya!” <<Bukhari nomor : 1900, Muslim nomor : 1797 (MSV2) dari Ibnu Umar. Redaksi hadits ini adalah
riwayat Bukhari, dan masih ada beberapa sanad lain di kedua kitab tersebut yang muatannya menyebutkan
“faqdiruu lahu”.
Dari pemaparan diatas, kita dapat memetik hikmah bahwa dalam menentukan 1 Syawal kita harus menggunakan
hasil pemikiran dan sumber daya terbaik yang kita miliki.
Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di dunia maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan
Barangsiapa menghendaki kebahagiaan di akhirat maka raihlah dengan ilmu pengetahuan (iptek), dan
barangsiapa menghendaki kebahagiaan kedua-duanya (dunia-akkhirat) maka raihlah dengan ilmu
pengetahuan (iptek).”
Jadi sangatlah mengherankan, jika ada pihak yang menganggap hisab dalam penentuan Hilal adalah bid’ah,
padahal ternyata mereka menggunakan hisab untuk waktu shalat fardhu 5 waktu, ini artinya merekapun mengakui
bahwa penggunaan hisab adalah benar dan boleh. Waktu shalat yang sebelumnya hanya dapat diketahui dengan
cara melihat perubahan posisi matahari (dengan kata lain ru’yah syamsu/melihat matahari), tetapi dengan adanya
ilmu hisab, jadwal shalat bisa dibuat dengan suatu metode hisab tertentu untuk seluruh tempat di dunia yang
selanjutnya bisa digunakan tanpa harus melihat posisi matahari lagi.
Penentuan waktu shalat berdasarkan posisi matahari sungguh sangat merepotkan kita. Hal itu sangat wajar
digunakan pada masa Rasulullah karena pada zaman itu belum ada jam ataupun penunjuk waktu yang lebih
akurat. Dengan kemajuan teknologi dan ilmu hisab saat ini, para ilmuwan bisa mengkalkulasikan posisi matahari
dengan tepat, presisi dan akurasinya. Kemudian, dibuatlah jadwal shalat yang semua itu berdasarkan perhitungan
(hisab).
Rasanya tidak lagi kita temui orang yang hendak shalat terlebih dahulu melihat matahari, kemudian baru azan.
Tidak lagi kita temui perbedaan yang mencolok antara Muhammadiyah, NU, maupun ormas lain. Semua sepakat
menggunakan waktu berdasarkan perhitungan tadi.
Nah, masalahnya mengapa untuk penetapan awal bulan Syawal mereka menolak menggunakan perhitungan?
Untuk penetapan shalat, mereka setuju dengan perhitungan. Padahal dari sisi keakuratan, jelas-jelas yang
menggunakan perhitungan, dengan ilmu dan teknologi, lebih tepat dibandingkan dengan melihat langsung.
Selain itu, jika kita cermati firman Allah dalam Al-Qur’an, maka sudah jelas bahwa Allah memerintahkan umat
Muslim untuk mempelajari ilmu hisab:
((( Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang mengetahui. QS. Yunus (10):5 )))
((( Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan
tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-
tahun dan perhitungan. QS. Al-Israa' (17):12 )))
6
((( Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan
untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. QS. Al-An'am (6):96 )))
((( Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. QS. Ar-Rahmaan (55):5 )))
Nah, dari pemaparan diatas, sudah jelas bahwa untuk saat ini cara terbaik adalah dengan menggunakan metode
hisab haqiqi wujudul hilal.
Namun ada pula yang berpendapat bahwa untuk menyatukan dua kubu yang saling bertentangan antara yang pro
rukyat dan yang pro hisab, maka sebaiknya diambil jalan tengah (jalan untuk mengkompromikan antar 2 kubu tsb),
yaitu dengan menetapkan standar hisab yang memungkinkan hilal dapat dirukyat, misal dengan menetapkan
bahwa untuk menentukan 1 Syawal maka ketinggian hilal harus minimal mencapai 2 derajat. Seperti yang telah
diterangkan sebelumnya, cara ini dikenal dengan istilah hisab imkanur rukyat. Metode seperti inilah yang dijadikan
acuan oleh Pemerintah RI (yang diwakili oleh Menteri Agama) dalam Sidang Isbat. Tetapi pendapat ini tidak
didukung oleh satu hadits pun. Dalam hadits hanya dikatakan dengan kalimat melihat hilal. Ini berarti bahwa
dalam ketinggian berapapun, apakah itu 2 derajat atau kurang, maka bulan baru sudah dianggap telah muncul.
Lagipula penganut sistem ini tidak sadar bahwa bila cara ini ditetapkan sebagai acuan, maka jalan untuk menuju
sistem yang benar-benar tepat akan semakin jauh dari kenyataan dan bisa jadi hanya tinggal angan-angan belaka!
Apa yang hendak dituju oleh sistem ini sebenarnya hanya merupakan pembodohan dan penyesatan bagi umat!
Mungkin maksudnya baik, karena ingin menyatukan atau memadukan 2 dalil, tapi yang terjadi sebenarnya bukan
menyatukan tetapi mencampuraduk, sehingga hasilnya justru menjadi lain. Ini bisa diibaratkan lontong dan tempe
dijadikan satu untuk dibuatkan gado-gado. Kalau dalil tidak bisa dijadikan seperti itu, karena nashnya sudah jelas!
Jadi tidak heran rasanya bila beberapa ustadz pernah mengatakan bahwa konsep imkanur rukyah justru berpotensi
mematikan dalil-dalil rukyat!
Selain itu, menurut Prof. Dr. H Syamsul Anwar, MA dalam tulisannya berjudul “Otoritas dan Kaidah Matematis:
Refleksi Atas Perayaan Idul Fitri 1432 H (Tanggapan Atas Kritik Thomas Djamaluddin)” [dapat dilihat di
http://www.dakwatuna.com/2011/09/14341/otoritas-dan-kaidah-matematis-refleksi-atas-perayaan-idul-fitri-
1432-h-tanggapan-atas-kritik-thomas-djamaluddin/]
“bahwa hisab imkanur rukyat, yang sering diklaim sebagai alternatif terbaik, bukannya tanpa masalah. Kriteria
imkanur rukyat sendiri ada banyak pakar yang mengusulkannya. Akan tetapi ini mungkin bisa diatasi dengan para
pakar itu sendiri bersepakat. Tetapi bukan sekedar sepakat, melainkan berdasarkan hasil riset yang komprehensif.
Akan tetapi terlepas dari soal kriteria itu, hisab imkanur rukyat yang ada sekarang masih belum dapat menyatukan
penanggalan umat Islam. Sebagai contoh adalah Kalender Hijriah Universal (al-Taqwim al-Hijri al-‘Alami) yang
dibuat oleh Muhammad Audah (Odeh). Kalender ini didasarkan kepada kriteria imkanur rukyat Audah sendiri
sebagai hasil analisis statistik terhadap 737 hasil rukyat akurat dan teruji. Namun problemnya kalender ini masih
harus membelah dunia menjadi dua zona tanggal yang pada masing-masingnya berlaku tanggal berbeda pada
tahun tertentu. Akibatnya kalender ini tidak dapat menyatukan jatuhnya hari Arafah antara Mekah dan kawasan
dunia lainnya. Audah adalah pendukung rukyat bersemangat. Baginya tidak mungkin memulai awal bulan baru di
dunia Islam tanpa terjadinya imkanur rukyat di salah satu tempat di kawasan dunia Islam yang terbentang dari
Maroko hingga Indonesia. Namun kalendernya sendiri dalam sejumlah kasus menjadikan dunia Islam masuk bulan
baru padahal imkanur rukyat dengan teropong hanya terjadi pada kawasan sangat kecil di barat Portugal atau di
bagian barat Inggris. Dari 20 tahun jadwal tanggal dalam Kalender Hijriah Universal Audah ini (sejak 1431 H s/d
1450 H) terdapat 9 kali (45 %) terjadinya perbedaan jatuhnya hari Arafah sehingga menimbulkan masalah kapan
melaksanakan puasa Arafah.
Pendapat bahwa hari Arafah hanya penamaan hari 9 Zulhijjah, sama dengan hari Nahar (10 Zulhijjah) dan hari
Tasyrik (11-13 Zulhijjah), dan hari Arafah di Arafah adalah hari wukuf, tetapi tidak harus sama untuk seluruh dunia
sehingga puasa Arafah boleh beda harinya dengan hari wukuf di Arafah, pendapat tersebut bukanlah suatu
penjelasan ilmiah. Pendapat ini hanya penjelasan sementara yang sifatnya lebih politis, bukan syar’i, yang hanya
dapat dipegangi sementara waktu saat kalender umat Islam masih kucar kacir. Pendapat ini hanya untuk
menenangkan masyarakat yang tanggal 9 Zulhijahnya jatuh berbeda dengan hari Arafah di Mekah. Apabila
dikatakan bahwa mereka yang berpuasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah di tempatnya sementara di Mekah sudah
Idul Adha (10 Zulhijah) tidak sah puasanya, maka akan timbul kebingungan di tengah masyarakat yang tidak tahu
apa-apa tentang problem penanggalan Islam. Akan tetapi secara ilmiah dan berdasarkan sistem penanggalan yang
valid, hari Arafah harus jatuh sama di seluruh dunia, dan kalender yang menjatuhkannya berbeda adalah kalender
yang tidak valid.
Itulah mengapa dikatakan bahwa penyatuan penanggalan Islam harus bersifat global. Siapa pun yang membuat
suatu rancangan kalender Islam, maka kaidah kalender itu harus bersifat global dengan prinsip satu hari satu
7
tanggal di seluruh dunia, sehingga penanggalan tersebut benar-benar menjadi suatu sistem penandaan hari yang
akurat di dalam aliran waktu di masa lalu, kini dan akan datang. Kalau dikatakan bahwa perbedaan jatuhnya hari
Arafah (9 Zulhijah) itu adalah suatu konsekuensi yang tidak terelakkan, maka ini dapat dikatakan sebagai suatu
konsekuensi yang buruk. Konsekuensi buruk ini tentu timbul dari anteseden yang buruk pula, yaitu rukyat atau
hisab imkanur rukyat yang selalu membelah bumi dan kurve yang membelah bumi itu dijadikan batas tanggal.”
Akan halnya imkanur rukyat 2 derajat sebagaimana diamalkan di Kemenag adalah kaidah kalender yang sama
sekali tidak ada dasar syar’inya apalagi dasar astronomis. Semua astronom tentu sangat mengetahui hal ini.
Parameter 2 derajat jelas hanya merupakan ilusi bagi mereka, karena secara teori hal tsb tak mungkin bisa dilihat
dengan peralatan apapun, apalagi dengan mata telanjang. Apa ini tidak berarti bahwa kita hidup dalam ilusi atau di
bawah bayang-bayang kepalsuan. Mengapa kita tidak realistis saja? Mengapa kita tidak mengambil sistem yang
lebih sederhana, tidak berbiaya tinggi, tetapi dapat memberikan kepastian jadwal tanggal jauh ke depan sehingga
memudahkan kehidupan kita?
Sebagian masyarakat juga sering beranggapan, jika Arab Saudi sudah memasuki hari raya, maka di Indonesia juga
harus berhari raya. Alasannya, waktu di Indonesia lebih dulu empat jam dibandingkan Arab Saudi. Hal ini
sebenarnya merupakan pencampuradukkan dua sistem penanggalan yang berbeda, yaitu penanggalan Masehi
yang menggunakan pergerakan matahari dan penanggalan hijriyah yang berdasarkan pergerakan bulan.
Dalam penanggalan Masehi, waktu Indonesia selalu lebih cepat dibandingkan Arab Saudi karena posisi Indonesia
yang berada di timur Arab Saudi. Sedangkan dalam penanggalan hijriah, waktu di Indonesia belum tentu lebih dulu
dibanding Arab Saudi. Kondisi ini disebabkan karena garis awal bulan selalu berubah setiap bulannya dan
bentuknya miring, sehingga ketinggian hilal bisa saja berbeda antar satu tempat dengan tempat lainnya walaupun
tempat tersebut memiliki jarak yang boleh dikata tidak terlampau jauh. Hal ini pernah terjadi pada zaman
Mu’awiyah sekitar abad ke-7, dimana pada saat itu Syam (Suriah) lebih dulu satu hari memasuki Ramadhan
dibandingkan Madinah.
Selain anggapan-anggapan diatas, ada juga yang berpandangan bahwa kita harus mengikuti Pemerintah karena
Pemerintah adalah Ulil Amri. Sekarang saya tanya, apakah jika Pemerintah berlaku zalim dan sewenang-wenang,
kita juga masih akan menurutinya? Apakah bila Pemerintah melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) kita juga
masih mau mengakuinya? Apakah jika Pemerintah menghalalkan makan babi, masihkah kita umat Islam bersedia
untuk membenarkan tindakan tsb? Apakah bila Pemerintah membenarkan wanita Muslimah untuk tidak
mengenakan jilbab, masihkah kita turut mengikutinya? Apakah jika Pemerintah menerapkan sistem kapitalisme
yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam, masihkah kita mau mendukung kebijakan tsb?
Selain itu, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan ulil amri?
Diantara kita masih banyak yang berpandangan bahwa dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal kita harus
mengikuti Pemerintah karena Pemerintah adalah Ulil Amri Minkum. Benarkah demikian?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu apakah sebenarnya yang dimaksud
dengan ulil amri minkum?
Menurut Abu al-’Ala’ al-Mubarakfuri dalam Tuhfadzu al-Ahwadzi: Syarah Sunan at-Tirmidzi (Dar al-Fikr, Beirut,
III/207) bahwa secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai konotasi yang sama, yaitu al-
hakim (penguasa). Jika wali adalah bentuk mufrad (tunggal) maka uli adalah jamak (plural). Namun demikian,
kata uli bukan jamak dari kata wali. Al-Quran menggunakan frasa ulil amri dengan konotasi dzawi al-amr, yaitu
orang-orang yang mempunyai (memegang) urusan, sebagaimana juga dikatakan Imam al-Bukhari dan Abu
Ubaidah. Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitu al-
hakim (penguasa). Karena itu, frasa ulil amri bisa disebut musytarak (mempunyai banyak konotasi). Sedangkan
kata minkum berarti diantara kalian. Maka dari itu tidak mengherankan kalau Syeikh Rasyid Ridha mengatakan:
Ulil-amri adalah Ahlul hilli wal-Aqdi yaitu orang-orang yang mendapat kepercayaan ummat. Mereka itu bisa terdiri
dari tokoh masyarakat, ulama, panglima perang, dan para pemimpin kemaslatan umum seperti pemimpin
perdagangan, perindustrian, pertanian. Termasuk juga para pemimpin buruh, partai, para pemimpin redaksi surat
kabar dan para pelopor kemerdekaan.
Hal ini jelas tergambar pada saat Umar bin Khattab yang merupakan salah satu tokoh masyarakat terpercaya pada
saat itu yang kata-katanya sangat bisa dijadikan pegangan tsb mengatakan, "Tatkala Nabi saw. mengucilkan para
istrinya, aku masuk ke dalam mesjid, tiba-tiba kulihat orang-orang (para sahabat) melempar-lempar batu kerikil ke
tanah seraya mengatakan Rasulullah telah menalak istri-istrinya, lalu aku berdiri tegak di pintu mesjid dan
kuserukan dengan sekuat suaraku bahwa Nabi tidak menalak istri-istrinya, kemudian turunlah ayat ini, 'Dan jika
8
datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan dan ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Padahal
seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin
menyelidiki duduk perkaranya akan dapat mengetahuinya dari mereka.' Maka saya termasuk diantara orang-orang
yang menyelidiki duduk perkaranya itu."
Apa yang dikatakan Umar (ra) diatas berkenaan dengan turunnya QS. An-Nisaa’ (4) ayat 83 berikut:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-
orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil
saja (di antaramu).”
Selain itu, di dalam Al-Qur’an terdapat sebuah ayat yang sangat sering dikutip oleh para politisi Partai Islam
terutama di musim kampanye menjelang Pemilu. Namun yang kita sayangkan ialah umumnya mereka mengutip
ayat tersebut secara tidak lengkap alias sepotong saja. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
ر ذلك اآلخر واليـوم بالله تـؤمنون كنتم إن والرسول الله إىل فـردوه شيء يف تـنازعتم فإن منكم األمر ويل وأ الرسول وأطيعوا الله أطيعوا آمنوا الذين أيـها يا تأويال وأحسن خيـ
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS. An-Nisa [4] : 59)
Mengapa ayat ini begitu populer dikumandangkan para jurkam di musim kampanye? Karena di dalamnya
terkandung perintah Allah agar ummat taat kepada Ulil Amri Minkum. Sedangkan para politisi partai tadi meyakini
jika diri mereka terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin sosial berarti mereka dengan segera akan
diperlakukan sebagai bagian dari Ulil Amri Minkum. Dan hal itu akan menyebabkan mereka memiliki keistimewaan
untuk ditaati oleh para konstituen. Mana ada manusia yang tidak suka dirinya mendapatkan ketaatan ummat?
Itulah sebabnya ayat ini sering dikutip di musim kampanye. Namun sayang, mereka umumnya hanya mengutip
sebagian saja yaitu:
منكم األمر وأويل الرسول وأطيعوا الله أطيعوا آمنوا الذين أيـها يا
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-
Nisa [4] : 59)
Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bagian sesudahnya
jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah
yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang baik. Bagian itulah yang menjadikan kita memahami
siapa yang sebenarnya pantas dijadikan Ulil Amri Minkum dan siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan
menentukan apakah fulan-fulan yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.
Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:
ر ذلك اآلخر واليـوم بالله تـؤمنون كنتم إن والرسول الله إىل فـردوه شيء يف تـنازعتم فإن تأويال وأحسن خيـ
”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4] : 59)
Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang baik ialah komitmen untuk selalu mengembalikan
segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di
antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan
Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:
موا ال آمنوا الذين أيـها يا ه يدي بـني تـقدقوا ورسوله الله واتـالل ه إنيع الل عليم مس
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Hujurat [49] : 1)
Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu di
masa paceklik mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta
9
mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat
suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk
menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan berkata: ”Wanita itu
benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali...!” Subhanallah, demikianlah
komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan RasulNya dalam segenap perkara yang
diperselisihkan.
Untuk lebih jelasnya, mari kita simak asbabun nuzul dari QS. An-Nisaa’ (4) ayat 59 berikut:
Bukhari dan lain-lain meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, "Diturunkan ayat ini pada Abdullah bin Hudzafah bin
Qais, yakni ketika ia dikirim oleh Nabi saw. dalam suatu ekspedisi. Berita itu diceritakannya secara ringkas. Dan
kata Daud, ini berarti mengada-ada terhadap Ibnu Abbas, karena disebutkan bahwa Abdullah bin Huzafah tampil
di hadapan tentaranya dalam keadaan marah, maka dinyalakannya api lalu disuruhnya mereka menceburkan diri
ke dalam api itu. Sebagian mereka menolak, sedangkan sebagian lagi bermaksud hendak menceburkan dirinya."
Katanya, "Sekiranya ayat itu turun sebelum peristiwa, maka kenapa kepatuhan itu hanya khusus terhadap
Abdullah bin Hudzafah dan tidak kepada yang lain-lainnya? Dan jika itu turun sesudahnya, maka yang dapat
diucapkan pada mereka ialah, 'Taat itu hanyalah pada barang yang ma’ruf. Dalam pada itu Hafizh Ibnu Hajar
menjawab bahwa yang dimaksud di dalam kisahnya dengan, "Jika kamu berselisih pendapat dalam sesuatu hal,"
bahwa mereka memang berselisih dalam menghadapi perintah itu dengan kepatuhan, atau menolaknya karena
takut pada api. Maka wajarlah bila waktu itu diturunkan pedoman yang dapat memberi petunjuk bagi mereka apa
yang harus diperbuat ketika berselisih pendapat itu yaitu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul. Dan Ibnu
Jarir mengetengahkan bahwa ayat tersebut diturunkan mengenai kisah yang terjadi di antara Ammar bin Yasir
dengan Khalid bin Walid yang ketika itu menjadi amir atau panglima tentara. Tanpa setahu Khalid, Ammar
melindungi seorang laki-laki hingga mereka pun bertengkar.
Kisah diatas memberi penerangan kepada kita, bagaimana seharusnya seorang amir (pemimpin) dan yang
dipimpinnya bersikap dalam keadaan berbeda pendapat; yang intinya adalah bahwa kita harus mengacu kepada
apa yang difirmankan Allah lewat Al-Qur’an dan apa yang dikatakan Rasulullah Muhammad saw.
Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem dan semangat hidup yang diberlakukan di negara kita
(Indonesia) ialah mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada selain Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya).
Sebagai contoh, dalam sidang isbat kemarin (19 Juli 2012), perwakilan dari 2 ormas Islam (Front Pembela Islam dan
An-Najat Al-Islamiyah) menyatakan bahwa rekan mereka telah melihat hilal di Cakung, namun kesaksiannya ditolak
karena dianggap mengada-ada, dengan alasan tidak mungkin ada orang yang bisa melihat hilal dengan ketinggian
dibawah 2 derajat diatas ufuk! Kata ulama NU dan para ahli astronomi: MUSTAHIL!!!
Sebenarnya apa yang dikatakan ulama NU tsb telah menelan ludah mereka sendiri. Mengapa? Karena metode
imkanur ru’yat ala MABIMS yang mereka usung adalah metode NGAWUR! Mengapa saya katakan ngawur? Karena
metode ini mengatakan bahwa awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika pada saat matahari terbenam, ketinggian
(altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°. Dua derajat?
Perlu rekan-rekan ketahui bahwa tak ada satupun ahli astronomi, termasuk Prof. Thomas Djamaluddin yang
mengatakan bahwa ketinggian 2 derajat adalah ketinggian dimana mata manusia dapat melihat hilal, walaupun
dengan alat bantu seperti teleskop sekalipun. Mereka mengatakannya dengan kata: MUSTAHIL!!.
Saya pribadi juga masih tidak percaya jika orang di Cakung tsb dapat melihat hilal. Ini karena menurut berita yang
saya dapat, mereka melihatnya sebelum maghrib, sekitar pukul 17.53 WIB. Tapi tidak sepantasnya kita langsung
menolak kesaksian mereka tanpa mencari tahu lebih jauh apa yang mereka lakukan. Sebab jangan sampai misalnya
jam yang mereka setel salah. Mengenai dua derajat, secara teori memang mustahil mata manusia dapat melihat
hilal dengan ketinggian tsb. Tapi lupakah kita, bahwa bagi Allah, TIDAK ADA YANG MUSTAHIL!!.
Firman Allah:
“Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah!", lalu
jadilah dia.” {QS. 3:47}
“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata
kepadanya: "Jadilah!", maka jadilah ia.” {QS. 40:68}
Memvonis hilal dua derajat dibawah ufuk tidak bisa dilihat, adalah suatu penghinaan besar pada Kemampuan
Allah untuk memberikan ilmuNya secara khusus berupa hidayah kepada yang Allah menginginkannya dengan
10
menghapus segala hambatan, baik hambatan keterbatasan pandangan mata, hambatan bias sinar matahari,
maupun hambatan atmosfir lainnya.
Jadi seharusnya Menteri Agama, paling tidak menelpon para saksi tsb untuk mencari tahu bagaimana proses
mereka melihat hilal! Nabi Muhammad saja, pernah mendengar langsung kesaksian seorang badui sebelum
memutuskan apakah telah masuk waktu Ramadhan atau tidak.
Berikut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
���� ا����� إ�� أ را�� ��ء �� ��� إ(� إ�� ( أن أ'&#د $�ل ا�#"ل رأ�ت إ��� ��ل و���م دا أن� أ'&#د �� ن "ل �� $�ل �-م $�ل �� ر�ول +,+� ا����س � أذ� 0دا ��و+وا أن
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat
hilal. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada illah selain Allah dan bersaksi bahwa
sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai
Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh
Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Lalu bagaimana dengan nasehat agar kaum Muslimin lebih mengutamakan PERSATUAN daripada kesaksian
Rukyatul Hilal? Seperti yang dikatakan ustadz Abu Muhammad Waskito (yang lebih dikenal dengan panggilan Abi
Syakir) bahwa Bantahannya sebagai berikut: (a). Dalam Surat Ali Imran dikatakan, “Wa’tashimu bi hablillahi
jami’an, wa laa tafarraquu.” Dalam ayat ini berpegang teguh kepada kebenaran DIDAHULUKAN daripada
persatuan. Hikmahnya, apa artinya bersatu kalau ingkar terhadap Syariat Islam?; (b). Ibnu Mas’ud menjelaskan
pengertian Al Jamaah, “Ittifaqu bil haqqi walau kunta wahid” (sepakat dengan kebenaran walau engkau hanya
seorang diri). Kita harus berpegang dengan kebenaran, meskipun seorang diri; (c). Dalam Sunnah disebutkan sabda
Nabi Saw, “Innamat tha’atu fil ma’ruf” (bahwa ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf saja). Mengingkari
kesaksian melihat hilal tanpa dasar yang benar dan jelas adalah maksiyat serius, harus ditolak, kita tak boleh
mematuhinya; (d). Persatuan yang dikehendaki oleh Islam adalah persatuan yang Syar’i, bukan persatuan yang
membuang kaidah Sunnah Rasululullah Saw; (e). Bersatu di atas kebathilan justru sangat dilarang dalam Islam,
seperti disebut dalam Surat Al Maa’idah, “Wa laa ta’awanuu ‘alal itsmi wal ‘udwan”(jangan kalian bekerjasama di
atas dosa dan permusuhan).
Bila demikian keadaannya, berarti Pemerintah dan sebagian ulama tidak layak disebut sebagai Ulil Amri
Minkum yang sebenarnya. Mereka lebih pantas dijuluki sebagai Mulkan Jabbriyyan sebagaimana Nabi shollallahu
’alaih wa sallam sebutkan dalam hadits beliau. Mulkan Jabbriyyan artinya para penguasa yang memaksakan
kehendaknya seraya tentunya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Mereka biasanya memiliki rasa ego
serta sifat iri dan dengki yang luar biasa, sehingga enggan untuk mengakui kebenaran yang sebenarnya telah
terpampang jelas dihadapannya. Adapun masyarakat luas yang mentaati mereka berarti telah menjadikan para
pemimpin tersebut sebagai para Thoghut, yaitu fihak selain Allah yang memiliki sedikit otoritas namun berlaku
melampaui batas sehingga menuntut ketaatan ummat sebagaimana layaknya mentaati Allah. Na’udzubillahi min
dzaalika.
Keadaan ini mengingatkan kita akan peringatan Allah mengenai kaum munafik yang mengaku beriman namun
tidak kunjung meninggalkan ketaatan kepada Thoghut. Padahal Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk
meninggalkan para Thoghut bila benar imannya.
بعيدا ضالال يضلهم أن الشيطان ويريد به يكفروا أن أمروا وقد الطاغوت إىل يـتحاكموا أن يريدون قـبلك من أنزل وما إليك أنزل مبا آمنوا أنـهم يـزعمون الذين إىل تـر أمل
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 60)
Sungguh dalam kelak nanti di neraka penyesalan mereka yang telah mentaati para pembesar dan pemimpin yang
tidak menjadikan Allah dan RasulNya sebagai tempat kembali dalam menyelesaikan segenap perkara kehidupan.
بيال فأضلونا وكبـراءنا سادتـنا أطعنا إنا ربـنا وقالوا الرسوال وأطعنا الله أطعنا ليتـنا يا يـقولون النار يف وجوههم تـقلب يـوم نا السم ربـهم العذاب من ضعفني آ كبريا لعنا والعنـ
”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata
kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami
telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan
11
(yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan
kutukan yang besar". (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68)
Selain itu, ada pula sikap lucu yang ditunjukkan oleh sebagian masyarakat dengan mengatakan bahwa “Saya tidak
puasa hari Selasa, karena saya yakin hari itu sudah menandakan tanggal 1 Syawal, dimana HARAM hukumnya
berpuasa saat hilal sudah terlihat! Namun saya akan Shalat Ied keesokan harinya (hari Rabu) karena sangat sulit
untuk menemukan tempat Shalat Ied pada hari Selasa!” Menurut saya, sikap seperti ini tidak ada landasan
hukumnya dan menunjukkan ketidakkonsistenan! Para Nabi tidak pernah menunjukkan sikap seperti ini! Mereka
sangat teguh dan konsisten menegakkan hukum-hukum Allah walaupun nyawa adalah taruhannya! Jadi menurut
saya, jika memang Anda sangat sulit untuk menemukan tempat Shalat Ied pada saat itu, maka sebaiknya tidak
usah ikut shalat keesokan harinya! Toh, Shalat Ied hukumnya adalah sunnah, bukan wajib!
Mengenai haram hukumnya berpuasa pada 1 Syawal, ada sisi menarik mengenai hal ini. Dari sumber yang saya
peroleh dari tulisan sdr Joko Sulistya di http://kesehatan.kompasiana.com/alternatif/2011/09/04/memperkirakan-
pergerakan-bulan-dalam-perjam/ bahwa bila dalam sebulan dihitung rata-rata adalah 30 hari, maka rata-rata
minimal pergerakan bulan dalam sehari adalah sekitar 12 derajat, atau 0,5 derajat dalam sejam (12 derajat di bagi
24 jam). Nah sekarang anggap saja tgl 29 Agustus kemarin hilal cuman berada pada ketinggian 0,5 derajat diatas
ufuk yang terdeteksi pada pukul 18.00. Ini berarti keesokan harinya (tgl 30 Agustus) dalam 12 jam kedepan, jarak
lengkung bulan-matahari (elongasi) akan bertambah 6 derajat. Selanjutnya, jika kita teruskan contoh ini hingga 24
jam setelah pukul 18:00 tanggal 29 Agustus, yaitu jam 18:00 tanggal 30 Agustus, jarak lengkung matahari-bulan
sudah bertambah 12 derajat dan posisi bulan sendiri saat matahari terbenam itu ada di arah barat (bukan timur),
maka ketinggian hilal sudah sekitar 12,5 derajat di atas ufuk [bulan dan matahari saat itu diandaikan berada pada
sudut azimuth yang sama (anggaplah tepat di BARAT, azimuth = 270 derajat, karena sudah sore hari)].
Sekarang, mari kita lihat dari data astronomis sebenarnya, berapa ketinggian hilal di Jakarta pada tgl 30 Agustus
kemarin? Ternyata berdasarkan data dari software accurate times versi 5.3.2 karya Mohammad Odeh
ketinggiannya sudah mencapai angka sekitar 14,6 derajat, yang bila dikurangi dengan pergerakan rata-rata bulan
dalam sehari (12 derajat), maka kita akan memperoleh angka 2,6 derajat (14,6 – 12).
Ini berarti bahwa pada tgl 30 Agustus 2011 bila didasarkan pada kesepakatan MABIMS sudah memasuki bulan baru
(Syawal), karena hilal telah mewujud sehari sebelumnya (29 Agustus 2011) dengan ketinggian 2,6 derajat. Lantas
mengapa ada yang tidak sepakat bahwa kita sudah harus berlebaran tgl 30 Agustus, padahal haram hukumnya
berpuasa pada tanggal 1 Syawal?
Okay, mungkin sekarang kita bisa berdalih bahwa itu hanya perhitungan kasar (sederhana) dan ketinggian
sebenarnya adalah dibawah 2 derajat! Sekarang saya tanya, sewaktu Anda menghitung 2 derajat misalnya, Anda
mulai dari angka berapa menghitungnya? Mulai dari angka nol bukan? Lantas mengapa Anda seakan tidak mau
mengakui angka nol tsb, padahal secara nalar ilmiah jelas angka nol tidak bisa diabaikan? Jika kita mengukur tinggi
benda-benda, termasuk tinggi badan kita, kita pasti memulainya dari nol! Apakah misalnya jika tinggi badan saya
adalah 165 cm, Anda hanya mengakui bahwa yang termasuk badan saya adalah 65 cm keatas, sedangkan sisanya
(0-64 cm) Anda tidak mau mengakui bahwa itu juga termasuk badan saya? he… he… he… (lucu bukan?)
Anggapan kurang tepat lainnya, adalah dengan mengatakan: “Saya ikut yang 29 hari saja! Toh, Rasulullah saw
menurut riwayat dari Ibnu Mas’ud Ra, berpuasa lebih banyak 29 hari, bukan 30 hari!”. (Dalam hadis-hadis Nabi
saw, antara lain bersumber dari Abu Hurairah dan Aisyah, dinyatakan bahwa Nabi saw lebih banyak puasa
Ramadan 29 hari daripada puasa 30 hari. Menurut penyelidikan Ibnu Hajar, dari 9 kali Ramadan yang dialami Nabi
saw, hanya dua kali saja beliau puasa Ramadan 30 hari. Selebihnya, yakni tujuh kali, beliau puasa Ramadan 29
hari.)
Anggapan ini menunjukkan sikap masa bodoh dan cenderung tidak mau ambil pusing! Padahal dalam Al-Qur’an
Allah berkali-kali menyuruh kita untuk memberdayakan akal kita, bukan menerima apa adanya! Jadi dalam hal ini
kita harus tahu, apa itu hilal, apa itu hisab, apa itu rukyat, dan manakah diantara metode-metode tsb yang paling
dapat diandalkan untuk digunakan!
Dalam Al-Qur’an dikatakan:
Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. {QS. 10:100}
Walau demikian saya juga kurang sependapat dengan Muhammadiyah jika hanya mengandalkan metode hisab dan
mengabaikan sepenuhnya metode rukyat. Sebab bisa saja dalam melakukan perhitungan kita melakukan
kesalahan, apalagi jika alat yang digunakan antar satu orang dengan yang lain berbeda-beda. Misal, jika yang satu
menggunakan kalkulator, sedangkan yang lainnya menggunakan computer atau software. Selama yang
mengerjakannya adalah manusia, maka kesalahan bisa saja terjadi, hanya Allah swt sajalah yang merupakan satu-
satunya Dzat Yang Maha Sempurna yang tak mungkin melakukan kesalahan.
12
Maka dari itu, saya berpendapat bahwa metode yang paling tepat untuk menentukan 1 Syawal adalah dengan
mengedepankan metode hisab haqiqi wujudul hilal tanpa mengabaikan metode rukyat. Metode rukyat disini
adalah sebagai pembantu untuk lebih memastikan keakuratan dari hasil perhitungan hisab haqiqi wujudul hilal.
Metode seperti inilah yang dipakai Pemerintah Malaysia kemarin dalam menentukan 1 Syawal, yang akhirnya
diikuti oleh Singapura. Keputusan ini berarti membatalkan kesepakatan mereka dengan Indonesia. Sementara
Brunei berlebaran tgl 31 Agustus karena sudah terlanjur puasa pada tanggal 2 Agustus. Sebagaimana kita ketahui,
bahwa posisi ketinggian hilal di Asia Tenggara (termasuk Indonesia dan Malaysia) rata-rata kurang dari 2 derajat.
Hal ini berarti bahwa secara teori, hilal sangat tidak memungkinkan untuk dilihat. Namun seperti yang diberitakan,
Pihak Kerajaan Malaysia melalui Datuk Syed Danial Syed Ahmad menyampaikan pengumuman yang disiarkan
langsung melalui Radio Televisyen Malaysia (RTM) bahwa berdasarkan hisab dan rukyah yang dipantau dari 30
lokasi di seluruh negara, Kerajaan Malaysia menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Selasa tanggal
30 Agustus 2011.
Sekarang, mari kita buktikan bahwa metode hisab haqiqi wujudul hilal lebih dapat diandalkan dibanding metode-
metode yang lain, utamanya terhadap metode rukyat. Sebagaimana kita ketahui bahwa menurut metode ini,
tanggal 1 Syawal 1432 Hijriyah kemarin jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, sedangkan berdasarkan metode
rukyat ala sebagian besar ulama yang akhirnya menjadi patokan Pemerintah dalam mengambil keputusan
menyatakan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011.
Seperti yang telah diketahui, bahwa bila menggunakan metode rukyat tsb maka hilal haruslah dilihat dengan mata
telanjang atau menggunakan teleskop! Nah, yang menjadi pertanyaan apakah memang tidak ada yang sama sekali
melihat hilal pada waktu itu? Rupanya ada! Berikut berita yang saya kutip dari voa-islam:
“Tim rukyat Kementerian Agama (Kemenag) di Pantai Kartini Jepara melihat hilal pada Senin sore, yang berarti
Selasa sudah masuk 1 Syawal. Namun Pemerintah dalam sidang itsbatnya memutuskan Idul Fitri 1 Syawal jatuh
pada hari Rabu.
Tim Rukyat di Cakung, Jakarta Timur juga telah melihat hilal antara jam 17.57 sampai 18.02 WIB dengan tinggi
hilal haqiqi 04'03'26,06", dilihat oleh tiga orang saksi: H Maulana Latif SPdI, Nabil Ss dan Rian Apriano. Ketiga saksi
tersebut diambil sumpahnya oleh KH Maulana Yusuf (Rois Syuriah PWNU DKI, didampingi Ketua Front Pembela
Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab, dan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Itqon, KH Mahfud Assirun.
Selain Tim Rukyat Kemenag Jepara, tim rukyat ormas yang menyatakan telah melihat hilal Senin Sore, di
antaranya: Tim Rukyat Jama'ah Anshorut Tauhid, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jum'iyat An-Najat, dan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Tim pemantauan hilal di Pantai Kartini, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Senin petang, memberikan kesaksian di
bawah sumpah bahwa mereka bisa melihat hilal secara kasat mata. Tim pemantauan terdiri dari Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Jepara, Kudus, dan Pati, perwakilan dari Nahdlatul Ulama (NU), dan Badan Hisab
dan Rukyat dari Jepara, Kudus, dan Pati, sejumlah tokoh Islam, MUI Jepara, dan Muspida Jepara.
“Posisi hilal diketahui oleh Saiful Mujab dengan mata telanjang tanpa bantuan alat, sedangkan peserta lain yang
menggunakan alat tidak melihat hilal,” kata Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Jepara Sholikin di
Jepara, Senin (29/8;2011).
Saiful Mujab melihat hilal berada di sebelah kiri matahari pada pukul 17.39 selama 5 detik.
Untuk memastikan kesaksian Saiful yang merupakan tim rukyat dari akademisi dan juga dosen Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus itu, lanjut dia, berulang kali ditanyakan kebenarannya melihat hilal, mengingat
alat yang disiapkan maupun dengan mata telanjang sejumlah peserta yang lain tidak melihat.”
Untuk lebih jelasnya lagi mengenai ini, silakan lihat:
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/08/30/15975/rois-suriah-pwnu-jakarta-lebaran-hari-selasa-
haram-puasa-ini/.
Kejadian serupa pernah terjadi pada Idul Fitri 1427 H. Saat itu ormas Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal 1427
H bertepatan dengan 23 Oktober 2006, satu hari sebelum tanggal merah. Sementara itu, PBNU memutuskan 1
Syawal 24 Oktober 2006, bersesuaian dengan tanggal merah dan keputusan pemerintah. Keputusan PBNU itu
disampaikan oleh Ketua Lajnah Falakiyyah PBNU KH Ahmad Ghazalie Masroeri saat jumpa pers di Kantor PBNU
Kramat, Jakarta Pusat, pada hari Kamis tanggal 19 Oktober 2006. Beberapa hari sebelumnya, Ketua Pengurus
Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur, Sholeh Hayat, mengatakan bila mengacu pada hasil hisab, Lebaran kemungkinan
besar jatuh 23 Oktober 2006 (Republika online edisi Senin, 16 Oktober 2006).
13
Faktanya, di berbagai wilayah NU, banyak warga NU yang berlebaran pada hari yang sama dengan warga
Muhammadiyah, yaitu 23 Oktober 2006, karena mereka meyakini telah melihat hilal.
(sumber: http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/di-balik-permainan-dalam-penentuan-idul-fitri.htm).
Perlu diketahui disini bahwa Tim Rukyat di Cakung selain melihat hilal secara langsung, juga menghitungnya
dengan berbagai metode hisab, diantaranya adalah hisab taqribi! Walaupun metode hisab taqribi sudah tidak
dapat diandalkan, namun ternyata menurut perhitungan astronomis modern pun menunjukan bahwa kesaksian
Tim Rukyat Cakung dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sebab ketinggian hilal telah menunjukkan angka
sekitar 1,2 derajat di atas ufuk. Walaupun secara teori, dengan ketinggian tsb hilal mustahil untuk dilihat, namun
secara realita ilmiah dan logika jelas menunjukkan bahwa hilal telah mewujud.
Hasil pantauan Tim Rukyat itu sesuai dengan pantauan Tim Rukyat di negara-negara Arab. Arab Saudi memastikan
Hari Raya Idul Fitri atau 1 Syawal 1432 Hijriah jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011, karena pada Senin,
(29/8/2011), hilal sudah terlihat.
Setelah Arab Saudi mengumumkan jatuhnya 1 Syawal 1432 Hijriah, negara-negara yang lain pun mengikutinya,
diantaranya: Mesir, Uni Emirat Arab, dan Qatar.
Sebagaimana yang diberitakan, bahwa di Arab Saudi ada warga yang melaporkan kepada Panel Hilal (komite
pemantau bulan) telah melihat hilal pada 29 Agustus atau hari ke-29 Ramadan. Setelah mengkonfirmasi kebenaran
laporan warga yang melihat hilal itu, Panel Hilal pun memutuskan puasa Ramadan berakhir pada Senin (29/8) dan
Idul Fitri jatuh pada Selasa (30/8).
Para ulama Islam terkenal di Arab Saudi membela kesaksian dari orang-orang yang melihat bulan dan menyatakan
Idul Fitri dirayakan di waktu yang tepat.
Seorang mufti (ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada
umat) Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Al-Asheikh dalam khotbah Jumatnya di Masjid Imam Turki bin Abdullah
menggambarkan orang-orang yang meragukan melihat bulan sebagai 'orang yang termotivasi dan menyimpang
dengan mulut kotor'.
"Ada lidah busuk yang meragukan agama kita yang harus dibungkam. Kami secara ketat mengikuti Sunnah Nabi
tentang puasa dan menandai Idul Fitri," katanya.
Mufti mengatakan syariah sangat jelas dalam prosedur melihat bulan. Dia menambahkan umat Muslim tidak boleh
menafikan Sunnah karena adanya pendapat palsu.
Bulan terlihat sangat jelas pada hari berikutnya di berbagai daerah pada Selasa malam. Hal ini mendukung
pernyataan mereka yang mengatakan telah melihat bulan pada Senin malam.
Sejumlah warga di daerah Al-Ais barat mengatakan mereka mampu melihat bulan pada Senin malam selama
setengah jam. Kesaksian mereka ini bertentangan dengan klaim para astronom yang mengatakan bulan tidak
mungkin dapat terlihat pada Senin (29/8) malam.
Perlu diketahui bahwa posisi ketinggian hilal antara Indonesia dengan Arab Saudi pada waktu itu hampir sama.
Ketinggian hilal di Makkah pada Senin (29/8/2011) petang, sesaat sebelum matahari terbenam baru mencapai 44
menit derajat alias kurang dari satu derajat. Padahal, syarat penampakan hilal jauh lebih tinggi dari ketinggian hilal
di Makkah kemarin. Namun dengan tegasnya para ulama Arab Saudi yang diikuti oleh Pemerintahnya tidak
sedikitpun meragukan kesaksian warganya yang telah melihat hilal. Mereka berpegang teguh dengan sunnah yang
telah digariskan oleh Rasulullah saw.
“Sahabat Abdullah bin Abbas berkata: Seorang Badwi datang kepada Rasulullah saw lalu berkata: sungguh saya
telah melihat hilal (hilal ramadhan). Maka Rasulullah saw bertanya : Apakah engkau mengakui bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah? Badwi menjawab: ya. Rasulullah saw bertanya lagi: Apakah engkau mengakui bahwa
Muhammad itu Rasulullah? Badwi menjawab: ya. Lalu Rasulullah bersabda: Hai Bilal, beritahulah orang-orang
supaya mereka berpuasa.” (H.R Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
“Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal lalu saya memberitahukan kepada
Rasulullah saw bahwa saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar
supaya berpuasa” (H.R Abu Dawud, Daru Qutni dan Ibn Hibban)
Selain itu dikisahkan pula:
“Bahwa suatu rombongan (terdiri dari para pedagang yang berkendaraan onta yang mengarungi padang pasir)
datang kepada Rasulullah saw seraya mereka memberikan kesaksian bahwa mereka kemarin telah melihat hilal,
14
maka Rasulullah saw memerintahkan orang-orang untuk berbuka (beridul fitri) dan pada hari berikutnya supaya
mereka pergi ke tempat shalat (untuk bershalat Id).” (H.R. Ahmad bin Hambal, Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: “Shumuu li ru’yatihi wa ufthiruu li ru’yatihi” (shaumlah kalian dengan
melihat hilal, dan berbukalah -saat awal Syawal- dengan melihatnya juga). [HR. Bukhari, Muslim].
Dari hadits-hadits tadi telah jelas menyiratkan bahwa dalam menentukan bulan baru termasuk 1 Syawal, Islam
tidak mengenal sistem demokrasi, dimana suara terbanyak yang harus jadi acuan seperti sidang isbat kemarin!
Untuk menentukan bulan baru tidak dibutuhkan kesaksian banyak orang, namun cukup SATU ORANG atau
BEBERAPA ORANG SAJA! Asal orang tsb bersedia bersumpah, maka kesaksiannya dianggap SAH!!
Lantas, mengapa Pemerintah RI dan sebagian ulama serta para pakar astronomi tidak mempercayai keterangan
para saksi yang melihat hilal? Alasannya macam-macam serta terkesan dibuat-buat dan mengada-ada. Ada yang
mengatakan bahwa dengan ketinggian hilal yang sangat rendah, hilal tidak mungkin dapat terlihat (kalau sudah
berpendapat demikian, buat apa dikirimkan Tim Rukyat untuk melihat hilal???). Ada yang mengatakan bahwa
kemungkinan besar mata orang yang melihat hilal terkecoh oleh gejala alam. Ada yang mengatakan bahwa mereka
tidak disumpah oleh hakim. Ada yang mengatakan bahwa kesaksian mereka berbeda dengan kebanyakan yang
lain. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa orang-orang yang melihat hilal tsb adalah orang-orang tua yang
pandangannya sudah mulai kabur. Mereka lupa bahwa ada Tuhan yang dapat memberi mukjizat yang dapat
membantah semua teori mereka sekaligus menjadikan hal ini menjadi jelas tanpa perlu untuk diperdebatkan.
Firman Allah:
“Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah!", lalu
jadilah dia.” {QS. 3:47}
“Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata
kepadanya: "Jadilah!", maka jadilah ia.” {QS. 40:68}
Dalam hal ini patut pula disimak pernyataan ustadz Ibnu Dawam dalam artikelnya [Dasar-dasar Penetapan awal
dan akhir Ramadhan menurut Al Qur’an dan Hadits. (Jawaban terhadap Imkan ru’yah Prof.Dr.T. Djamaluddin)]
bahwa memvonis hilal dua derajat dibawah ufuk tidak bisa dilihat, adalah suatu penghinaan besar terhadap
Ilmu Pengetahuan, termasuk ilmu astronomi itu sendiri, yang sekaligus juga menghina pada Kemampuan Allah
untuk memberikan ilmuNya secara khusus berupa hidayah kepada yang Allah menginginkannya dengan
menghapus segala hambatan, baik hambatan keterbatasan pandangan mata, hambatan bias sinar matahari,
maupun hambatan atmosfir lainnya.
Apa yang dikatakan Pak Ibnu Dawam memang sangat beralasan, karena sesungguhnya hilal benar-benar terlihat
jelas di Chili pada tgl 29 Agustus 2011 (lihat gambar dibawah). Sayang sekali kita belum menganut system rukyatul
global, sehingga kita berbeda dengan kebanyakan negara yang lain.
Sumber: http://www.makkahcalendar.org/en/photoGallery.php
Ket: This Photograph was taken on 29-08-2011, at 23:55 UTC (29-08-2011, 19:55 local standard time) by Gonzalo
Contreras from the City of Viña del Mar, Chile.
The approximate location of the site was 33.00'51" S and 71.33'24" W.
The Limiting Horizon was 110.92° and Intermediate Horizon was 30° S 70° W.
15
Dari keterangan diatas, maka jelaslah sudah bahwa metode yang tepat dalam menentukan 1 Syawal yaitu dengan
menggunakan metode hisab haqiqi wujudul hilal yang dibantu oleh rukyat (apakah dengan menggunakan mata
telanjang atau dengan bantuan alat semacam teleskop, teropong, atau CCD Imaging) untuk lebih memastikan
keakuratan dari hasil perhitungan hisab haqiqi wujudul hilal tsb. Sehingga tidak heran rasanya jika dalam
Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan
sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Seperti pula yang dijelaskan Muhammad Burhanuddin dalam blognya (http://alvinburhani.wordpress.com) bahwa:
“Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal
Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan
terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender
yang terstruktur dengan baik. Hal ini disebabkan karena umat Islam terlalu berpegang teguh kepada rukyat.
Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda
memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak
mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi
lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60
derajat adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau
terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika
yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur
tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik
tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku
untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang
saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Untuk lebih jelasnya mengenai ini, silakan download artikel berjudul “Permasalahan Rukyat” di link
http://www.muhammadiyah.or.id/muhfile/download/kalender_islam_falak/Apa%20Permasalahan%20Rukyat.pdf.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang
pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras
diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia
internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat.
Perintah rukyat yang diturunkan oleh nabi di hadapan masyarakat Islam Madinah merupakan sebentuk perintah
yang lahir sebagai respon atas realitas sosial masyarakat Madinah saat itu. Kebetulan yang dihadapi Rasulullah
pada saat itu adalah masyarakat Madinah, maka rukyat dalam pengertian saat itu adalah melihat dengan mata
telanjang, karena lebih cocok bagi masyarakat madinah yang berbasis agraris, dan bagi masyarakat petani,
fenomena alam merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupannya. (Dr. Susiknan Azhari M.A. dalam
bukunya Hisab dan Rukyat, Wacana Untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan)
Penentuan awal bulan hijriyah sudah masuk ke domain aktivitas ta’aqquli (yang bisa diketahui dengan akal),
sehingga otomatis rukyat bukanlah ibadah. Dalam ranah pemikiran hadits ada klasifikasi al-sunnah al-
tasyri’iyah dan al-sunnah ghairu tasyriiyah. Tidak semua yang datang harus terus diikuti sepanjang masa dan di
semua tempat. Bahkan di antara sunnah tersebut ada yang hanya khusus untuk nabi sendiri. Istilahnya itu ada
sunnah yang ta’abudi dan sunnah yang ta’aqquli.”
Menurut Ketua Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar yang disampaikan di acara Konsolidasi
Nasional Muhammadiyah, penggunaan metode hisab wujudul hilal sudah tepat, karena hanya dengan metode
tersebut, penyatuan kalender Hijriyah secara Internasional dapat dilakukan. “Penggunaan metode rukyat pada
akhirnya membelah dunia menjadi dua wilayah waktu, dan tidak dapat dilakukan pada wilayah dunia bagian utara
atau selatan, yang selama enam bulan matahari dapat bersinar tanpa henti,” jelasnya, Rabu (28/09/2011).
Penggunaan metode hisab imkanur rukyat yang ditawarkan pemerintah menurut Syamsul Anwar, banyak memiliki
kelemahan, diantara kelemahan tersebut adalah kebimbangan dalam memutuskan ketika ada kesaksian bahwa
hilal dapat disaksikan ketika di bawah 2 derajat, dan sebaliknya apabila dalam situasi ketinggian hilal sudah dua
derajat atau lebih tapi tidak satupun saksi yang dapat melihat, hal tersebut dapat menjadi masalah.
Lebih lanjut menurut Syamsul Anwar, apabila menggunakan metode penentuan awal bulan Hijriyah yang
ditawarkan pemerintah, maka dalam 18 tahun mendatang untuk Idul Adha, akan terjadi 10 kali perbedaan dengan
Arab Saudi. “Akan lebih banyak perbedaan lagi dalam penetapan Idul Adha dengan Arab Saudi selama 18 tahun
16
mendatang, yakni 14 kali apabila menggunakan metode imkanur rukyat 4 derajat yang ditawarkan Thomas
Djamaluddin,” jelasnya. Sedangkan dengan metode hisab wujudul hilal yang diterapkan Muhammadiyah menurut
Syamsul Anwar, kemungkinan perbedaan selama 18 tahun mendatang mengenai penetapan Idul Adha dengan
Arab Saudi adalah empat kali, sehingga lebih mendekati .
Apa yang dikatakan Pak Syamsul Anwar dan sdr Burhanuddin diatas semakin menjernihkan permasalahan kita
bahwa penggunaan metode hisab haqiqi wujudul hilal dalam pembuatan kalender Islam dan penentuan hari-hari
besar keagamaan sangat penting untuk dilakukan dan harus selalu dikedepankan. Walau demikian, saya tidak
sepenuhnya sependapat dengan mereka yang seakan sepenuhnya ingin mengabaikan metode rukyat. Metode
rukyat tetap dapat digunakan sebagai pembantu setelah penentuan lokasi visibilitas hilal pertama telah dilakukan
oleh metode hisab haqiqi wujudul hilal.
Sekarang yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah penerapan metode HHWHDR (Hisab Haqiqi Wujudul Hilal
Dibantu Rukyat) sebaiknya diwujudkan dalam skala lokal (wilayah tertentu saja, mis: Indonesia saja) atau global
(seluruh negara dunia, utamanya negeri yang mayoritas Muslim)? Nah, disinilah pentingnya arti persatuan itu!
Persatuan umat Islam di seluruh dunia tentunya akan menjadi rahmat dan berkat bagi semesta alam! Seandainya
Rasulullah saw masih hidup tentunya beliau akan sangat senang jika hal ini bisa terwujud!
Dalam Al-Qur’an menyiratkan bahwa Allah menghendaki agar kita (umat Islam) untuk bersatu:
“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan
yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka
perselisihkan itu.” {QS. 10:19}
Ayat diatas jelas menyiratkan bahwa sebaiknya kita bersatu. Bila ada perselisihan yang terjadi diantara kita, maka
berusahalah untuk mencari pemecahannya dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah.
Dalam ayat lain dikatakan:
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu”. {QS. 22:78}
Walaupun Allah menjadikan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku {QS. 49:13}, namun Dia tidak pernah
memanggil kita dengan sebutan Arab, Melayu, Afrika, atau yang lainnya dalam keadaan awalnya. Dia hanya
menyebut kita dengan satu nama; MUSLIM. Ini jelas menyiratkan bahwa Allah menghendaki agar kita umat
Muslim untuk bersatu dalam segala hal yang telah digariskan oleh-Nya.
Namun ada pendapat yang mendukung rukyat lokal disebabkan karena mazhab Syafi’i hanya membolehkan terjadi
perbedaan awal dan akhir ramadhan sejauh ± 24 farsakh atau ± 120 km. Hal ini berdasarkan pada kisah Abdullah
bin Abbas dimasa kekhalifahan Muawiyyah:
Ada seorang Madinah bernama Kuraib, ia pergi ke Syam disuruh oleh seorang wanita bernama Ummul Fadl untuk
menemui Muawiyyah di Syam (Sepeninggal Nabi saw dan khulafaur Rasyidin, pusat pemerintahan berpindah ke
Syam). Waktu Kuraib berada di Syam terjadilah rukyatul hilal awal Ramadhan dan oleh khalifah malam itu
diberlakukan sebagai awal Ramadhan, malam itu adalah malam jum’at. Sedangkan di Madinah permulaan
Ramadhan jatuh pada malam sabtu, jadi berbeda satu hari. Saat itu belum ada alat penghubung yang cepat, yang
ada hanya kuda dan unta yang jika menghubungkan berita antara Syam dan Madinah membutuhkan waktu
berhari-hari. Pada akhir Ramadhan Kuraib sudah berada di Madinah dan bertemu dengan Abdullah bin Abbas
seorang ’alim besar yang tidak asing lagi dikalangan para ’ulama. Kuraib menceritakan tentang awal Shaum
Ramadhan di Syam yang seharusnya setelah genap 30 hari dari permulaan puasa di Syam hari Jum’at tersebut
semua orang harus beridul fitri, termasuk orang-orang Madinah. Lalu Abdullah bin Abbas bertanya : “Kapan kamu
melihat hilal?” Kuraib menjawab: “Malam Jum’at”. Abdullah bertanya lagi: “Kamu melihat sendiri?” Kuraib
menjawab: “Ya, dan orang-orang banyak melihatnya, mereka melakukan puasa dan juga Muawiyyah berpuasa”.
Lalu Abdullah bin Abbas berkata : “ Tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka kami akan
menyempurnakan bilangan puasa 30 hari atau 29 hari bila kami melihat hilal.” Lalu Kuraib bertanya: “Apa tidak
cukup rukyatnya dan puasanya Muawiyyah kita pakai sebagai pedoman?” Abdullah bin Abbas menjawab: “Tidak...
demikian itulah Rasulullah saw memerintahkan kepada kita.”
Ibnu Abbas tidak menerima ru’yat yang dilakukan oleh penduduk Syam, karena penduduk Madinah tidak melihat
hilal pada hari yang sama (malam Jum’at). Ijtihad ini menyalahi makna yang shahih dari hadits yang diriwayatkan
dari sekelompok orang Anshar, yang menyatakan:
“Hilal Syawal tertutup oleh mendung/awan atas (penglihatan) kami, sehingga kamipun berpuasa pada pagi
harinya. Lalu datanglah satu rombongan (kafilah) pada petang hari (menjelang maghrib), kemudian mereka
bersaksi di hadapan Rasulullah SAW bahwa mereka telah melihat hilal (bulan sabit) pada hari sebelumnya. Maka
17
Nabi saw memerintahkan mereka (penduduk Madinah) untuk langsung berbuka dan melaksanakan shalat ldul
Fitri keesokan harinya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa`i, dan Ibnu Majah. Lihat Nailul Authar, jilid IV, hal
211).
Dengan demikian, Rasulullah SAW telah memerintahkan kaum muslimin Madinah untuk berbuka pada hari yang
mereka anggap masih bulan Ramadhan, disebabkan adanya rukyatul hilal untuk bulan Syawal yang berhasil
dilakukan oleh orang selain mereka, di luar kota Madinah. Rombongan itu melihat hilal satu hari sebelum mereka
sampai di kota Madinah.
Selain itu, alasan-alasan lain untuk mendukung rukyatul global adalah:
1. Bahwa saat ini dunia telah memiliki sistem komunikasi yang canggih dan cepat.
Menurut saya, dengan system komunikasi yang super cepat dan canggih seperti saat ini, metode rukyatul
global dapat dilakukan dengan mudah, walau tentu saja hal ini hanya dilakukan terbatas untuk keperluan
penentuan waktu Puasa Ramadhan, Idul Fitri, serta Puasa Arafah dan Idul Adha (Idul Qurban); sebab jika
dilakukan untuk segala hal, maka seluruhnya akan kacau balau, termasuk penentuan waktu shalat.
Akan tetapi khusus untuk Puasa Arafah dan Idul Adha, maka pelaksanaannya tidak boleh seperti Puasa
Ramadhan dan Idul Fitri, dimana seluruh negeri mengikuti negeri yang terlebih dahulu melihat hilal, namun
harus mengikuti wujudul hilal yang berada di kota Makkah, tempat Ka’bah berada, sebab pelaksanaan Puasa
Arafah dan Idul Adha ini terkait erat dengan pelaksanaan ibadah haji yang berpusat di tempat tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Shiddiq Al-Jawi dalam tulisannya berjudul “Penentuan Idul Adha
Wajib Berdasarkan Rukyatul Hilal Penduduk Makkah” (dapat pula dilihat di http://hizbut-tahrir.or.id)
mengatakan bahwa:
“Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul
Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri.
Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang
sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu
berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh
madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha.
Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan
Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia. Karena itu, kaum
Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara
mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian,
dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah
dan berkata :
“Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika
kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan
manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz
II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam
Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji,
telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan
perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji
berdasarkan ru’yat.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di
Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat
penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk
negeri-negeri Islam lainnya. Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik
haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun
kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia
18
wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di
Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari
pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.
Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An
Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm,
2000], hal. 875, hadits no 1709).
Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9
Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji.”
Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari
yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah
haji pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu
satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.”
Hal ini juga tersirat dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 189:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”
Dalam ayat diatas, Allah seakan sengaja menampakkan bahwa munculnya hilal (bulan sabit) adalah tanda
permulaan dimulainya ibadah haji. Ibadat haji berada dimana? Ibadat haji berpusat di Ka’bah, Makkah. Jadi,
dalam melihat hilal untuk penentuan awal bulan Dzulhijjah, maka kita harus berpedoman terhadap hilal yang
berada di Makkah, tempat Ka’bah berada; sebab pelaksanaan Puasa Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) serta Idul
Qurban (tanggal 10 Dzulhijjah) berkaitan erat dengan ritual ibadah haji. Lagipula, saya belum melihat satu
hadits pun yang mengatakan bahwa jika kita melihat hilal pada akhir bulan Dzulqa’dah dimanapun kita
berada, maka keesokan harinya kita boleh mulai berhaji. Ini berbeda dengan penentuan awal dan akhir
Ramadhan, dimana hadits yang menyiratkan tentang hal itu ada.
Berkiblat ke Ka’bah dalam beribadah dan suatu urusan sebenarnya juga merupakan anjuran dari Allah swt.
Firman Allah:
Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka
(umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah:
"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan
yang lurus". {QS. 2:142}
Allah telah menjadikan Ka'bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia,
dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu,
bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. {QS. 5:97}
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di
Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda
yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. {QS. 3:96-97}
2. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja menerima persaksian orang-orang yang melihat Hilal tanpa
menanyakan di mana mereka melihat Hilal. Berikut ini hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas pula :
��� ا���� إ�� أ �ا� ��ء ��� هللا ��� إ- إ�� - أن أ+*'( )�ل ا�'&ل رأ$# إ"� ! �ل و (ا أن أ+*'( هللا ر�2ل 01/ 3� )�ل هللا" ن &ل $� )�ل 7(ا $2126ا أن ا���س !� أذ
Seorang Arab Badui pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata, “Sesungguhnya
aku telah melihat Hilal.” Rasulullah bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah?” Orang Arab Badui menjawab,
“Ya.” Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkanlah kepada manusia supaya mereka shaum esok hari!” <<
19
Hadits Riwayat Abu Dawud (No:1993MSV2), At-Tirmidzi (No:627MSV2), An-Nasa’i (No:2085), Ibnu Majah
(No:1642(MSV2), muatan ini adalah versi At-Tirmidzi>>
Hadits lainnya adalah:
“Bahwa suatu rombongan (terdiri dari para pedagang yang berkendaraan onta yang mengarungi padang
pasir) datang kepada Rasulullah saw seraya mereka memberikan kesaksian bahwa mereka kemarin telah
melihat hilal, maka Rasulullah saw memerintahkan orang-orang untuk berbuka (beridul fitri) dan pada hari
berikutnya supaya mereka pergi ke tempat shalat (untuk bershalat Id).” (H.R. Ahmad bin Hambal, Abu
Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah)
3. Imam Syafi’i membolehkan berbeda mathla’ berdasarkan dari hasil ijtihad Abdullah bin Abbas, sehingga
beliau berijtihad bahwa setiap daerah yang berjarak 16 farsakh (120 km) dapat melakukan rukyatul hilal
sendiri. Nah, jika kita konsisten menganut pendapat Imam Syafi’i, maka Indonesia yang jarak ujung barat dan
ujung timur sekitar 5.200 km, maka akan ada 43 titik melakukan rukyatul hilal. Dan setiap titik boleh berbeda
dalam penentuannya. Namun teknologi komunikasi sekarang sudah sangat maju. Hanya dalam hitungan
menit, informasi bahwa hilal telah terlihat bisa diakses oleh seluruh penduduk dunia.
4. Arah waktu terjauh di bumi maksimum adalah hanya 12 jam bukan lebih dari 24 jam sehingga jika ada
muslim melihat hilal kemudian dia menginformasikan kepada kaum muslimin yang lain yang notabene sudah
malam hari, namun masih dalam satu waktu.
Jadi umat Islam sudah saatnya bersatu dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan, serta pelaksanaan Puasa
Arafah dan Idul Qurban!!
Dalam hal ini patut pula dikutip pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Sayyid Sabiq rahimahullah :
- أ"::� إ�:::� :ا�;/'::2ر ذھ8 .ا�/A::::::��@ ::::::::::�?<&ف :::::��ة
هللا �::::::�� ا���:::::2ل � ::::::2ل ا��::::::::&د �/�::::@ �::::� ا�6:::::2م و�8 ،�:::::::( أھC ا�':::&ل رأى !/:::::::::<� �::::::�� ��:::::� وا!A:::::�وا ،��ؤ$<:::::::::� �::212ا ” و
.“ ��ؤ$<:::::::::�
�م ?�Aب وھ2 @:::::::�/;� I1-ا J::::/! رآه �� رؤ$:::I ذ�:::O P::�ن N1:�ن أي !:::::� �1'::'� �:::::3�/�.
Jumhur berpendapat : Tidak ada perbedaan mathla, maka penduduk negeri apa saja yang telah melihat Hilal,
maka seluruh negeri wajib shaum sebagaimana hadits Rasulullah, “Shaumlah kalian karena melihat Hilal (awal
Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat Hilal (awal Syawwal)”. Ucapan tersebut adalah umum untuk
semua umat, maka barangsiapa di antara mereka yang telah melihat Hilal di tempat mana saja, maka itu adalah
ru’yah bagi mereka semua (Fiqhu as-Sunnah Juz 1 halaman 436 (MSV2)).
Perbedaan penentuan 1 Syawal (akhir Ramadhan) sebenarnya merupakan fakta baru yang terjadi di kalangan umat
Islam. Pada masa rasul dan khalifah setelahnya tidak ditemukan fenomena seperti ini. Perbedaan ini terjadi ketika
daulah khilafah Islamiyah runtuh pada tahun 1924 dan kaum muslimin terkotak-kotak dalam batas-batas teritorial
serta menjadi sekitar 50-an negeri-negeri kecil.
Saya sepakat dengan sdr Adi Wijaya dalam tulisannya di Tribun Timur (2-9-2011) yang berjudul “Idulfitri
Semestinya Tidak Berbeda”. Beliau mengatakan bahwa “Yang dijadikan asas pemersatu bukan lagi ikatan ukhuwah
Islamiyah yang berlandaskan akidah Islam yang benar, namun yang dijadikan landasan bersatu adalah ikatan
kebangsaan yang berdasarkan pada batas-batas teritorial semu.
Dari fakta inilah semakin terlihat urgensi persatuan diantara umat Islam seluruh dunia. Umat Islam yang saat ini
tercerai berai hanya bisa disatukan jika memiliki institusi politik (negara) yang menyatukan mereka. Institusi politik
inilah yang disebut sebagai Khilafah Islamiyah.”
Namun harus diakui bahwa untuk membangkitkan system Khilafah Ismiyah bukanlah hal yang mudah. Untuk itu,
hal yang paling logis saat ini adalah bersatunya negara-negara yang tergabung dalam OKI [Organisasi Kerja Sama
Islam] (dahulu Organisasi Konferensi Islam) untuk menetapkan kriteria penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan,
serta bulan Dzulhijjah untuk pelaksanaan Puasa Arafah dan Idul Adha seperti yang telah dijelaskan diatas.
Akhir kata, semoga dengan adanya tulisan ini perbedaan penetapan 1 Syawal dan Idul Adha tak akan terulang lagi!
Insya Allah!
Salam Ukhuwah!