BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan proses yang
memerlukan keterlibatan segenap unsur dan lapisan masyarakat,
serta memberikan kekuasaan bagi pemerintah daerah dalam
melakukan pengelolaan keuangan daerah sehingga peran pemerintah
adalah sebagai katalisator dan fasilitator karena pihak pemerintahlah
yang lebih mengetahui sasaran dan tujuan pembangunan yang akan
dicapai. Sebagai katalisator dan fasilitator tentunya membutuhkan
berbagai sarana dan fasilitas pendukung dalam rangka terlaksananya
pembangunan secara berkesinambungan.
Pelaksanaan otomi daerah di Indonesia, mendorong terciptanya
Pengelolaan keuangan yang lebiah tranparan dan akuntabel. Sistem
ini diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan keuangan yang tertip
dan taat pada peraturan dalam rangka sebagai bentuk tanggujawab
pemerintah daerah terhadap masyarakat. Sistem pemerintahan yang
semula tersentralisasi di pemerintah pusat secara bertahap
dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Disahkannya Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerinta Daerah,
1
membawa konsekuensi bagi pemerintah daerah dalam melakukan
manajemen pemerintahan di daerah. Salah satu masalah yang
penting dalam pengelolaan keuangan daerah adalah anggaran.
Anggaran pemerintah daerah mempunyai peran penting dalam rangka
pelaksanaan otonomi. Keberadaan anggaran bagi Pemda merupakan
cerminan program kerja daerah dalam rangka menyelenggarakan
pemerintahan daerah dan pembangunan. Oleh karena itu penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, membawa konsekuensi
bagi pemerintah daerah dalam melakukan manajemen pemerintahan
di daerah. Salah satu masalah yang penting dalam pengelolaan
keuangan daerah adalah anggaran. Anggaran pemerintah daerah
mempunyai peran penting dalam rangka pelaksanaan otonomi.
Keberadaan anggaran bagi Pemda merupakan cerminan program
kerja daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah
dan pembangunan. Oleh karena itu penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus dilakukan secara
cermat dengan pengkajian yang komprehensif dengan melibatkan
semua SKPD.
Dalam persiapan penyusunan anggaran, Pemda perlu
menyiapkan program kerja yang hendak dicapai. Namun demikian,
dalam penyusunan anggaran masih sering ditemui ketidakefisienan
dalam menentukan jumlah anggaran. Reformasi keuangan daerah
menuntut penyusunan anggaran dengan pendekatan/sistem anggaran
2
kinerja, dengan penekanan pertanggungjawaban tidak sekedar pada
input tetapi pada output dan outcome (Halim, 2012).
Anggaran pemerintah daerah diwujudkan dalam bentuk
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD menjadi
landasan dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan di
daerah. Perkembangan porsi dana dalam APBD dari tahun ke tahun
selalu meningkat. Komposisi sumber dana APBD terdiri atas
pendapatan asli daerah dan tranfer dana dari pemerintah pusat
sebagai wujud dana perimbangan. Anggaran yang besar harus
diimbangi dengan perencanaan dan pelaksanaan.
Anggaran belanja rutin merupakan salah satu alternatif yang
dapat merangsang kesinambungan serta konsistensi pembangunan di
daerah secara keseluruhan menuju tercapainya sasaran yang telah
disepakati bersama. Oleh sebab itu, kegiatan rutin yang akan
dilaksanakan merupakan salah satu aspek yang menentukan
keberhasilan pembangunan di daerah.
Bertitik tolak dari hasil pembangunan yang akan dicapai
dengan tetap memperhatikan fasilitas keterbatasan sumber daya yang
ada maka dalam rangka untuk memenuhi tujuan pembangunan baik
secara nasional atau regional perlu mengarahkan dan memanfaatkan
sumber daya yang ada secara berdaya guna dan berhasil guna
dengan disertai pengawasan dan pengendalian yang ketat baik yang
3
dilakukan oleh aparat tingkat atas maupun tingkat daerah serta
jajarannya sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jaya (1999: 11) menyatakan bahwa sumber pembiayaan
pembangunan yang penting untuk diperhatikan adalah penerimaan
daerah sendiri, karena sumber inilah yang merupakan wujud
partisipasi langsung masyarakat suatu daerah dalam mendukung
proses pembangunan. Pengelolaan keuangan daerah sangat besar
pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat
menjadi daerah yang kuat dan berkuasa serta mampu
mengembangkan kebesarannya atau menjadi tidak berdaya
tergantung pada cara mengelola keuangannya. Dalam hal ini
pengelolaan keuangan daerah mengandung beberapa kepengurusan
di mana kepengurusan umum atau yang sering disebut pengurusan
administrasi dan kepengurusan khusus atau juga sering disebut
pengurusan bendaharawan.
Pengurusan umum erat hubungannya dengan penyelenggaraan
tugas daerah di segala bidang yang membawa akibat pada
pengeluaran dan yang mendatangkan penerimaan guna menutup
pengeluaran rutin itu sendiri. Oleh karena itu, semakin banyak dan
beratnya tugas daerah dengan kemungkinan keadaan keuangan yang
terbatas, maka perlu adanya efisiensi terhadap rencana-rencana yang
akan dijalankan pada masa yang akan datang.
4
Sampai saat ini berbagai kebijakan telah diambil oleh
pemerintah untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan
daerah di bidang keuangan daerah, karena aspek keuangan daerah
menjadi sesuatu yang penting, sebab untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan pembangunan daerah dibutuhkan dana atau biaya
yang cukup besar sehingga kepada daerah diberi hak untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam arti menggali dan
mengelola pendapatan asli daerah guna membiayai pengeluaran-
pengeluaran pemerintah daerah.
Mardiasmo (1999:11) menyatakan bahwa perubahan pola
pengawasan yang mendasar adalah dengan diberinya keleluasaan
kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri maka diperlukan peningkatan peran DPRD dan
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan-perubahan
tersebut juga memberikan dampak lain pada unit-unit kerja di
pemerintah daerah seperti tuntutan kepada pegawai/ aparatur
pemerintah untuk lebih terbuka, transparan dan bertanggungjawab
atas keputusan yang dibuat.
Sehubungan dengan latar belakang tersebut di atas maka yang
menjadi permasalahan adalah sistem pengelolaan keuangan daerah
di Kabupaten Indramayu ini sangat luas maka dalam penelitian ini
akan dibatasi khusus pada analisis sistem pengelolaan Pendapatan
5
Daerah dan Pengeluaran Rutin Kabupaten Indramayu dengan tidak
mengurangi obyek penelitian yang lainnya.
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah merupakan
kebijaksanaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disusun
berdasarkan ketentuan Perundang-undangan yang berlaku, serta
berbagai pertimbangan lainnya dengan maksud agar penyusunan,
pemantauan, pengendalian dan evaluasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah mudah dilakukan. Pada sisi yang lain Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dapat pula menjadi sarana bagi
pihak tertentu untuk melihat atau mengetahui kemampuan daerah
baik dari sisi pendapatan maupun sisi belanja.
Munandar (1999:10) menyatakan bahwa anggaran
mempunyai tiga kegunaan pokok yaitu sebagai pedoman kerja,
sebagai alat pengkoordinasian kerja serta sebagai alat pengawasan
kerja. Dengan melihat kegunaan pokok dari anggaran tersebut maka
pertumbuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dapat
berfungsi sebagai: pertama fungsi perencanaan, dalam perencanaan
APBD adalah penentuan tujuan yang akan dicapai sesuai dengan
kebijaksanaan yang telah disepakati misalnya target penerimaan yang
akan dicapai, jumlah investasi yang akan ditambah, rencana
pengeluaran yang akan dibiayai. Kedua, fungsi koordinasi anggaran
berfungsi sebagai alat mengkoordinasikan rencana dan tindakan
berbagai unit atau segmen yang ada dalam organisasi, agar dapat
6
bekerja secara selaras ke arah tercapainya tujuan yang diharapkan.
Ketiga, fungsi komunikasi jika yang dikehendaki dapat berfungsi
secara efisien maka saluran komunikasi terhadap berbagai unit dalam
penyampaian informasi yang berhubungan dengan tujuan, strategi,
kebijaksanaan, pelaksanaan dan penyimpangan yang timbul dapat
teratasi. Keempat, fungsi motivasi anggaran berfungsi pula sebagai
alat untuk memotivasi para pelaksana dalam melaksanakan tugas-
tugas yang diberikan untuk mencapai tujuan. Kelima, fungsi
pengendalian dan evaluasi, anggaran dapat berfungsi sebagai alat-
alat pengendalian yang pada dasarnya dapat membandingkan antara
rencana dengan pelaksanaan sehingga dapat ditentukan
penyimpangan yang timbul dan penyimpangan tersebut sebagai dasar
evaluasi atau penilaian prestasi dan sekaligus merupakan umpan
balik pada masa yang akan datang.
Perkembangan APBD terutama di sisi pendapatan daerah
dapat menjadi dasar perencanaan jangka pendek (satu tahun) dengan
asumsi bahwa perkembangan yang akan terjadi pada satu tahun ke
depan relatif sama. Pendapatan asli daerah merupakan pencerminan
dari potensi ekonomi daerah, untuk itu tidak berlebihan apabila
pemerintah pusat menjadikan PAD sebagai kriteria utama dalam
pemberian otonomi kepada daerah.
Berbagai penelitian mengenai aspek yang berhubungan
dengan pengelolaan keuangan daerah telah sering dilakukan oleh
7
para peneliti sebelumnya antara lain seperti Insukindro, dkk, (1994:
27) melakukan penelitian di beberapa daerah kabupaten/kota yaitu:
Padang, Lampung Tengah, Banyumas, Semarang, Yogyakarta,
Kediri, Sumenep, Bandung, Barito Kuala dan Sidrap, untuk mengkaji
peranan dan pengelolaan keuangan daerah dan usaha peningkatan
PAD.
Odedokun, MO (1996: 269-297) dalam penelitiannya
mengenai kebijakan finansial dan efisiensi pemanfaatan sumber daya
di negara-negara berkembang, mencoba menghitung belanja
pemerintahan, tingkat inflasi, suku bunga dan lain-lain.
Kuncoro (1995:17) memfokuskan pengamatannya pada
kenyataan rendahnya PAD sehingga ketergantungan keuangan
pemerintah daerah sangat tinggi terhadap pemerintah pusat. Untuk
mengurangi subdisi pemerintah pusat Kuncoro mengajurkan diberikan
otonomi keuangan daerah yang relatif luas sehingga daerah mampu
menggali sumber-sumber keuangannya sendiri dan
memanfaatkannya secara optimal.
Benyamin (1995: 83) faktor-faktor lain yang sangat
menentukan keberhasilan pembangunan daerah adalah tersedianya
keuangan yang memadai baik yang bersumber dari subsidi pusat atau
daerah tingkat I maupun yang digali dari Pendapatan Daerah Sendiri
(PDS) seperti pajak daerah, perusahaan daerah, retribusi daerah dan
pendapatan asli daerah lainnya yang sah.
8
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka peneliti
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana mendiskripsikan Pendapatan dan pengelolaan
keuangan daerah terhadap kinerja pembangunan Kabupaten
pegunungan Bintang?
2. Bagaimana pengaruh Pendapatan dan pengelolaan keuangan
daerah terhadap kinerja pembangunan Kabupaten Pegunungan
Bintang?
3. Apakah Pendapatan dan pengelolaan keuangan daerah sangat
berpengaruh terhadap kinerja pembangunan Kabupaten
Pegunungan Bintang?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mendiskripsikan sistem Pendapatan dan pengelolaan
keuangan daerah terhadap kinerja pembangunan Kabupaten
pegunungan Bintang
2. Untuk mengetahui sistem pendapatan pengelolaan keuangan
daerah terhadap kinerja pembangunan Kabupaten Pegunungan
Bintang
3. Untuk menganalisis dan mengetahui Siatem Pendapatan dan
9
pengelolaan keuangan daerah yang berpengaruh terhadap kinerja
pembangunan Kabupaten Pegunungan Bintang.
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapakan penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, sebagai bahan kontribusi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan sistem
Pendapatan dan pengelolaan keuangan daerah yang tepat guna
meningkatkan pembangunan;
2. Bagi dinas keuangan atau kabak keuangan Kabupaten
Pegunungan Bintang, dengan adanya kajian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemipikiran, saran dan rekomendasi
sebagai bahan pertimbangan kepada Dinas keuangan atau kabak
keuangan Kabupaten Pegunungan Bintang;
3. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan reffrensi untuk
penelitian selanjudnya.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS
2.1 Landasan Teori
Salah satu masalah dalam pembangunan daerah adalah
rendahnya dana yang bersumber dari daerah sendiri sehingga proses
otonomi khususnya di bidang keuangan daerah masih memiliki
ketergantungan yang tinggi kepada pemerintah pusat, maka otonomi
secara benar sulit untuk diketahui. Selama ini bantuan pemerintah
pusat kepada daerah-daerah dalam bentuk subsidi masih sangat
besar hal ini dapat dimengerti sebab pendapatan asli daerah masih
sangat rendah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu
sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan
di daerah, maka perlu ditingkatkan penerimaannya agar pemerintah
daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan
secara berdayaguna dan berhasilguna serta perlu pula upaya yang
sungguh-sungguh dari pemerintah daerah untuk meminimalkan
ketergantungan kepada pemerintah pusat mengingat daerah memiliki
potensi dan kemampuan untuk mencapai sumber-sumber penerimaan
yang dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan pembangunan di
daerah.
11
2.2 Pembahasan Penelitian Yang Relevan
2.2.1 Pengertian Kinerja adalah
Menurut kamus umum bahasa Indonesia, kinerja adalah hasil
yang dicapai dari yang telah dilakukan, dikerjakan seseorang dalam
melaksanakan kerja atau tugas. Kinerja merupakan prestasi kerja atau
performance, yaitu hasil kerja selama periode tertentu dibanding
dengan berbagai kemungkinan.
Performance adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk
sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi
pada suatu periode, sering dengan referensi pada sejumlah standar
seperti biaya-biaya masa lalu atau diproyekkan, suatu dasar efisiensi,
pertanggung jawaban atau akuntabilitas manajemen dan
semacamnya (Aliminsyah dan Padji, 2003:206-207). Dalam hal ini
kinerja bisa dikatakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai karyawan dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Simamora (2003:45) kinerja adalah ukuran
keberhasilan organisasi dalam mencapai misinya. Sedangkan Shadily
(1992:425), mengatakan kinerja atau performance adalah berdaya
guna prestasi atau hasil. Wahyudi Kumorotomo (1996) juga
memberikan batasan pada konsep kinerja organisasi publik
12
setidaknya berkaitan erat dengan efisiensi, efektifitas, keadilan dan
daya tanggap.
Hal ini berarti bahwa performance adalah sebuah tindakan yang
dapat dilihat, diamati serta dimungkinkan untuk mencapai hal-hal yang
diharapkan (tujuan). Kinerja juga dapat dikatakan kombinasi dari
kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil
kerjanya yang diperoleh selama periode waktu tertentu. Untuk
mengetahui ukuran kinerja organisasi maka dilakukan penilaian
kinerja. Penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi seberapa baik
pegawai atau karyawan melakukan pekerjaan mereka jika
dibandingkan dengan standart dan kemudian mengkomunikasikan
informasi tersebut kepada pegawaiata karyawan yang lainnya.
2.2.2 Pembangunan
Menurut Rogers adalah suatu proses perubahan sosial
dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang
dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk
bertambah besarnya kebebasan, keadilan dan kualitas lainnya
yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih
besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka.
Menurut Inayatullah, Pengertian Pembangunan ialah
perubahan menuju pola-pola masyarakat yang memungkinkan
realisasi yang lebih baik dari nilai-nilai kemanusiaan yang
13
memungkinkan suatu masyarakat mempunyai kontrol yang lebih
besar terhadap lingkungan dan terhadap tujuan politiknya, dan
yang memungkinkan pada warganya memperoleh kontrol yang
lebih terhadap diri mereka sendiri.
Shoemaker mengungkapkan PengertianPembangunan merupakan
suatu jenis perubahan sosial dimana ide-ide baru yang
diperkenalkan kepada suatu sistem sosial untuk menghasilkan
pendapatan perkapita dan tingkat kehidupan yang lebih tinggi
melalui metode produksi yang lebih modernisasi pada tingkat
sistem sosial. Pendapat Kleinjans mengenai definisi dari Pengertian
Pembangunan yaitu suatu proses pencapaian pengetahuan dan
ketrampilan baru, perluasan wawasan manusia, tumbuhnya suatu
kesadaran baru, meningkatnya semangat kemanusiaan dan
suntikan kepercayaan diri. Dari pengertian pembangunan yang
diungkapkan para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa
Pengertian Pembangunan adalah suatu proses perubahan ke arah
yang lebih baik dalam lingkungan masyarakat.
Adapun Tujuan Pembangunan terbagi atas 2 bagian, yaitu :
a. Tujuan Umum Pembangun adalah suatu proyeksi terjauh dari
harapan-harapan dan ide-ide manusia, komponen-komponen
dari yang terbaik atau masyarakat ideal terbaik yang dapat
dibayangkan.
14
b. Tujuan Khusus Pembangunan ialah tujuan jangka pendek,
pada tujuan jangka pendek biasanya yang dipilih sebagai
tingkat pencapaian sasaran dari suatu program tertentu.
Pada hakekatnya, pengertian pembangunan secara umum
adalah proses perubahan yang terus menerus untuk menuju
keadaan yang lebih baik berdasarkan norma-norma tertentu.
Mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi
yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah
pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan
orang lain, daerah yang satu dengan daerah lainnya, Negara satu
dengan Negara lain. Namun secara umum ada suatu kesepakatan
bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan
perubahan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan
sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan
perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu
bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa (nation building)”.
Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian
yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke
arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara
terencana”.
15
Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang
mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi,
infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan,
dan budaya (Alexander 1994).
Portes (1976) mendefinisiskan pembangunan sebagai transformasi
ekonomi, sosial dan budaya. Sama halnya dengan Portes,
Menurut Deddy T. Tikson (2005) bahwa pembangunan nasional
dapat pula diartikan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan
budaya secara sengaja melalui kebijakan dan strategi menuju arah
yang diinginkan.
Sedangkan dalam pengertian ekonomi murni, pembangunan
adalah suatu usaha proses yang menyebabkan pendapatan
perkapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang. (Sukirno,
1995:13).
Dengan demikian, proses pembangunan terjadi di semua
aspek kehidupan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik,
yang berlangsung pada level makro (nasional) dan mikro. Makna
penting dari pembangunan adalah adanya kemajuan atau
perbaikan (progress), pertumbuhan dan diversifikasi.
Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas,
pembangunan adalah semua proses perubahan yang dilakukan
melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana (Riyadi dan
Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).
16
2.3. Pengertian Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah (PAD) merupakan semua penerimaan
yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilahnya sendiri
yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Halim, 2004:96).
Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting,
karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah
dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah.
Pengertian pendapatan asli daerah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa“Pendapatan asli
daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh
daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”
Menurut Herlina Rahman (2005:38) Pendapatan asli daerah
Merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak
daerah ,hasil distribusi hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dalam
menggali pendanaan dalam pelaksanaan otoda sebagai perwujudan
asas desentralisasi.
Menurut Warsito (2001:128) Pendapatan Asli Daerah
“Pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang bersumber
17
dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri
dari: pajak daerah, restribusi daerah, laba dari badan usaha milik
daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah”.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan
daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi
Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk
memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan
dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudan asas
desentralisasi. (Penjelasan UU No.33 Tahun 2004)
2.3.1. Sumber Sumber Pendapatan
a. Pendapatan Asli Daerah.
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) mutlak harus
dilakukan oleh Pemerintah Daerah agar mampu untuk
membiayai kebutuhannya sendiri, sehingga ketergantungan
Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat semakin
berkurang dan pada akhirnya daerah dapat mandiri. Dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada
bab V (lima) nomor 1 (satu) disebutkan bahwa pendapatan asli
daerah bersumber dari:
1. Pajak Daerah
18
Menurut UU No 28 tahun 2009 Pajak Daerah, yang
selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Berdasarkan UU nomor 28 tahun 2009
pajak kabupaten/kota dibagi menjadi beberapa sebagai
berikut, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral bukan
Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak
Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan, dan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan. Seperti halnya dengan pajak pada
umumnya, pajak daerah mempunyai peranan ganda yaitu:
a) Sebagai sumber pendapatan daerah (budegtary)
b) Sebagai alat pengatur (regulatory)
2. Retribusi Daerah
Pemerintah pusat kembali mengeluarkan regulasi tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, melalui Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2009. Dengan UU ini dicabut UU Nomor 18
Tahun 1997, sebagaimana sudah diubah dengan UU Nomor
34 Tahun 2000. Berlakunya UU pajak dan retribusi daerah
19
yang baru di satu sisi memberikan keuntungan daerah
dengan adanya sumber-sumber pendapatan baru, namun
disisi lain ada beberapa sumber pendapatan asli daerah
yang harus dihapus karena tidak boleh lagi dipungut oleh
daerah, terutama berasal dari retribusi daerah. Menurut UU
Nomor 28 Tahun 2009 secara keseluruhan terdapat 30 jenis
retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang
dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi
jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan
tertentu.
a) Retribusi Jasa Umum yaitu pelayanan yang disediakan
atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
b) Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa usaha yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
c) Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan daerah
sebagai pembayarann atas pemberian izin tertentu yang
khusus diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
20
3. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang
dipisahkan
Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan
merupakan penerimaan daerah yang berasal dari
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Undang-
undang nomor 33 tahun 2004 mengklasifikasikan jenis hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci
menurut menurut objek pendapatan yang mencakup bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
daerah/BUMD, bagian laba atas penyertaan modal pada
perusahaan milik negara/BUMN dan bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik swasta maupun
kelompok masyarakat.
4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan
Pendapatan Asli Daerah yang sah, disediakan untuk
menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk
dalam jenis pajak dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan. Pendapatan ini juga merupakan
penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik
pemerintah daerah. Undang-undang nomor 33 tahun 2004
mengklasifikasikan yang termasuk dalam pendapatan asli
daerah yang sah meliputi:
21
a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan.
b) Jasa giro.
c) Pendapatan bunga.
d) Keuntungan adalah nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing.
e) Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat
dari penjualan, pengadaaan barang ataupun jasa oleh
pemerintah.
b. Pendapatan Transfer
Pengertianpendapatan transfer ke daerah adalah dana
dimana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari
DanaPerimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
Transfer ke Daerah ditetapkan dalam APBN, Peraturan Presiden
dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang selanjutnya
dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang
ditandatangani oleh Direktur JenderalPerimbangan Keuangan
selaku Kuasa Pengguna Anggaran atas Nama Menteri Keuangan
selakuPengguna Anggaran untuk tiap jenis Transfer ke Daerah
dengan dilampiri rincian alokasi per daerah. Jenis-jenis transfer ke
daerah, antara lain :
1. Dana perimbangana.
22
a. Dana bagi hasil
b. Dana alokasi umum
c. Dana alokasi khusus
2. Dana otonomi khusus dan penyesuaiana.
a. Transfer dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat
b. Transfer dana otonomi khusus Nanggroe Aceh Darusallam
Di penulisan ini saya melihat dari sisi pendapatan asli daerah
tersebut dengan jumlahtransfer yang diberikan pemerintah pusat
kepada daerah tersebut. Di dalam otonomi daerah seharusnya
daerah tersebut mampu mendanai apa saja yang dibutuhkan
daerah tersebut, karena keberhasilan dari otonomi daerah ini dapat
dilihat dimana pendapatan asli daerah lebih besar dibandingkan
transfer yang diberikan pemerintah. Namun, kenyataan yang ada
semua daerahmasih mendapatkan transfer pemerintah, disini
pemerintah memiliki alasan tersendiri dari kebijakan ini. Menurut
pemerintah tujuan dari kebijakan transfer daerah, antara lain :
1. Mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah serta
antar daerah.
2. Mendukung prioritas pembangunan nasional yang menjadi
urusan daerah.
3. Meningkatkan kualitas pelayanan publik.
4. Meningkatkan penerimaan daerah.
23
5. Memperluas pembangunan infrastruktur daerah.
Seberapa besar biaya yang di transfer oleh pemerintah ke daerah
berbeda-beda besaran dananya. Hal ini dikarenakan kemampuan
daerah tersebut tersendiri. Jikalau, daerah tersebut sudah mampu
mendongkrak pendapatan asli daerahnya maka, biaya transfer
yang diberikan dibawah dari pendapatan asli tersebut disini dapat
dikatakan daerah tersebut berhasil menjalankan otonomi daerah
karena mampu menjalankan dan menggali potensi yang ada di
daerahnya tersebut.
2.4. Pengertian Pengelolaan Keuangan Menurut Para Ahli
Menurut kamus besar Indonesia, Pengelolaan artinya
penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien. Pengelolaan
keuangan adalah sumber daya yang diterima yang akan
dipergunakan untuk penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan
keuangan dimaksudkan sebagai suatu pengelolaan terhadap
fungsi-fungsi keuangan.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, keuangan merupakan
potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam kajian pengelolaan pendidikan. Setiap lembaga
pendidikan selalu berhubungan dengan masalah keuangan, yang
berkisar pada: uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP),
24
uang kesejahteraan personel dan gaji serta keuangan yang
berhubungan langsung dengan penyelenggaraan lembaga
pendidikan seperti perbaikan sarana prasarana dan sebagainya.
E. Mulyasa (2002) menjelaskan bahwa tugas pengelolaan
keuangan dapat dibagi kedalam tiga fase, yaitu:
a. Financial Planning
Financial planning merupakan kegiatan mengkoordinir semua
sumber daya yang tersedia untuk mencapai sasaran yang
diinginkan secara sistematis tanpa menyebabkan efek samping
yang merugikan.
b. Implementation
kegiatan berdasarkan rencana yang telah dibuat dan
kemungkinan terjadi penyesuaian jika diperlukan.
c. Evaluation
Merupakan proses evaluasi terhadap pencapaian sasaran.
2.4.1 Tugas Pengelola Keuangan
Dalam pelaksanaannya, manajemen keuangan menganut asas
pemisahan tugas antara fungsi Otorisator, Ordonator, dan
Bendaharawan. Otorisator adalah pejabat yang diberi wewenang
untuk mengambil tindakan yang mengakibatkan penerimaan dan
pengeluaran anggaran. Ordonator adalah pejabat yang berwenang
melakukan pengujian dan memerintahkan pembayaran atas segala
25
tindakan yang dilakukan berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan.
Bendaharawan adalah pejabat yang berwenang melakukan
penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang serta diwajibkan
membuat perhitungan dan pertanggungjawaban. Kepala sekolah
sebagai manajer, berfungsi sebagai otorisator dan dilimpahi fungsi
ordonator untuk memerintahkan pembayaran. Namun, tidak
dibenarkan melaksanakan fungsi bendaharawan karena berkewajiban
melakukan pengawasan ke dalam. Sedangkan bendaharawan, di
samping mempunyai fungsi-fungsi bendaharawan, juga dilimpahi
fungsi ordonator untuk menguji hak atas pembayaran. Pengelola
keuangan sekolah berkewajiban untuk menentukan keuangan
sekolah, cara mendapatkan dana untuk infrastruktur sekolah serta
penggunaan dana tersebut untuk membiayai kebutuhan sekolah.
Tugas pengelola keuangan antara lain:
1. Manajemen untuk perencanaan perkiraan
2. Manajemen memusatkan perhatian pada keputusan investasi dan
pembiayaannya
3. Manajemen kerjasama dengan pihak lain
4. Penggunaan keuangan dan mencari sumber dananya
Seorang manajer keuangan harus mempunyai pikiran yang kreatif dan
dinamis. Hal ini penting karena pengelolaan yang dilakukan oleh
26
seorang manajer keuangan berhubungan dengan masalah keuangan
yang sangat penting dalam penyelenggaraan kegiatan apapun itu.
2.5 Keuangan Daerah
Menurut Mamesah (1995:45) “keuangan daerah adalah
semua hak dan kewajiban yang dapat dimulai dengan uang,
demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang
yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum
dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta
pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan”.
Dari uraian di atas dapat dipetik kata kunci dari keuangan daerah
adalah hak dan kewajiban. Hak merupakan hak daerah untuk
mencari sumber pendapatan daerah berupa memungut pajak
daerah, retribusi daerah atau sumber-sumber penerimaan lain yang
sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Sedangk an
kewajiban adalah kewajiban daerah untuk mengeluarkan uang
dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintahan di
daerah.
Reformasi keuangan daerah dapat dikatakan merupakan
peluang terbesar sekaligus ancaman yang diperoleh pemerintah
daerah dan DPRD, untuk menunjukkan kemampuan menggali dan
mengelola anggaran daerah tanpa terlalu banyak campur tangan
dari pemerintah pusat.
27
Kemampuan keuangan daerah adalah kemampuan
keuangan daerah dalam membiayai urusan-urusan rumah
tangganya, khususnya yang berasal dari pendapatan asli daerah.
Pendapatan asli daerah sampai saat ini merupakan sektor yang
sangat diharapkan dan diandalkan oleh pemerintah daerah.
Indikator keuangan daerah yang berhasil menurut Davey
(1988:43-46) adalah :
1. Daya Pajak (Tax Effort), adalah rasio antara penerimaan pajak
dengan kapasitas atau kemempuan bayar pajak di suatu daerah,
dengan formula :
2. Efektivitas (Efectivity), mengukur hubungan antara hasil pungut
suatu pajak dengan potensi pajak itu sendiri, dengan formula :
28
3. Efisiensi (Efficiency), mengukur bagian dari hasil pajak yang
digunakan untuk menutup biaya pemungutan pajak yang
bersangkutan, atau :
4. Elastisitas (Elasticity), dimaksudkan untuk mengetahui tingkat
kepekaan perubahan suatu jenis penerimaan jika terjadi
perubahan pada jumlah PDRB dan jumlah penduduk, dengan
formula :
“Masalah keuangan daerah menyangkut upaya mendapatkan
uang maupaun membelanjakannya” (Davey, 1988:9). Beban
pembelanjaan bagi pelayanan dan investasi regional yang
meningkat, kecenderungan para perencana ekonomi untuk
peningkatan tabungan dan pengurangan konsumsi, serta tuntutan
otonomi daerah, kesemuanya memperkuat pemusatan perhatian
terhadap terhadap perbaikan sistem perpajakan dan retribusi
regional sebagai masalah pokoknya.
Mengenai sumber pendapatan daerah diatur dalam pasal 79 Bab
VIII Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang berbunyi :
Sumber pendapatan daerah terdiri atas :
a. Pendapatan Asli Daerah, yaitu : hasil pajak daerah, hasil
retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil
29
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah.
b. dana perimbangan,
c. pinjaman daerah,
d. lain-lain
Menurut Kaho (1997:28) sumber pendapatan asli daerah
yang sampai saat ini memegang peranan yang sangat potensial
dan dominan hampir diseluruh daerah di Indonesia adalah sektor
pajak daerah dan retribusi daerah.
2.6 Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggung jawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam peraturan menteri
ini meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum
dan struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD,
penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki
DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas,
penatausahaan keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah,
pertanggung jawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan
pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan
pengelolaan keuangan.
30
Pengelolaaan keuangan daerah dimulai dengan perencanaan
/penyusunan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). APBD
disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan
dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD
sebagaimana berpedoman kepada RKPD dalam rangka mewujudkan
pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.
APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan,
alokasi, distribusi, dan stabilisasi. APBD, perubahan APBD, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan
dengan peraturan daerah. APBD yang disusun oleh pemerintah
daerah telah mengalami perubahan dari yang bersifat incramental
menjadi anggaran berbasis kinerja sesuai dengan tuntutan reformasi.
Anggaran berbasis kinerja dikenal dalam pengelolaan keuangan
daerah sejak diterbitkannya PP nomor 105 tahun 2000 yang dalam
pasal 8 dinyatakan bahwa APBD disusun dengan pendekatan kinerja.
Penerapan anggaran berbasis kinerja pada instansi pemerintah di
Indonesia dicanangkan melalui pemberlakuan UU nomor 17 tahun
2003 tentang keuangan negara dan diterapkan secara bertahap mulai
tahun anggaran 2005
Dilihat dari aspek masyarakat (customer) dengan adanya
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik maka dapat meningkatnya tuntutan masyarakat akan pemerintah
yang baik, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk
31
bekerja secara lebih efisien dan efektif terutama dalam menyediakan
layanan prima bagi seluruh masyarakat. Dilihat dari sisi pengelolaan
keuangan daerah khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka
kontribusi terhadap APBD meningkat tiap tahun anggaran hal ini
didukung pula dengan tingkat efektivitas dari penerimaan daerah
secara keseluruhan sehingga adanya kemauan dari masyarakat untuk
membayar kewajibannya kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk
pajak dan retribusi.
Aspek sumber daya manusia (SDM) adanya kemampuan
aparat pengelola walaupun belum memadai dalam jumlah sesuai
dengan kebutuhan tiap unit/satuan kerja daerah tetapi dalam
pengelolaan keuangan daerah dapat memberikan pelayanan yang
sebaik mungkin kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari
kontribusi penerimaan daerah sendiri serta tingkat efektivitas dan
efisiensi yang semakin meningkat tiap tahun anggaran namun
demikian perlu ada pembenahan dalam arti daerah harus
memanfaatkan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah pasal 76 yaitu daerah mempunyai kewenangan untuk
melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan
pensiun, gaji, tunjangan dan kesejahteraan pegawai serta pendidikan
dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah
32
yang ditetapkan dengan peraturan daerah berdasarkan peraturan
perundang- undangan.
Tabel 2.1
Daftar Pendapatan dan Belanja Daerah
TH PENDAPATAN BELANJA INVESTASI PAD
1998 684.693.138.800 635.544.286.41
2
171.626.292.7
44
238.874.98.368
1999 946.237.558.845 856.417.023.04
9
174.030.719.7
44
318.566.664.137
2000 1.081.631.444.95
2
857.278.417.43
9
180.090.719.7
44
474.210.348.836
2001 1.934.153.330.98
1
1.508.024.897.1
86
195.090.719.7
44
830.974.154.504
2002 2.389.761.795.41
0
2.133.152.473.3
44
205.677.956.0
00
1.241.644.887.32
42003 2.452.412.559.38
5
2.615.886.015.8
34
241.225.529.0
00
1.467.004.576.81
52004 2.883.599.878.22
8
2.572.554.358.9
08
517.360.895.1
11
1.865.391.191.28
52005 3.526.839.400.15
9
2.936.310.814.6
79
903.490.336.6
23
2.490.643.743.64
4Sumber Data : APBD Kabupaten pegunungan Bintang
Dilihat dari tabel di atas menunjukkan bahwa Pemerrintah
Kabupaten Pegunungan Bintang telah berupaya menginvestasikan
sebagian dari PADnya untuk untuk menambah penerimaan dari usaha
daerah guna mensejahterakan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
33
agar dapat mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik secara
regional maupun nasional, sebagai langkah awal perlu meningkatkan
efisiensi dan produktivitas, dan melakukan perubahan yang struktural
untuk memperkuat kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam
perekonomian nasional Perubahan struktural adalah perubahan dari
ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi modern yang
berorientasi pada pasar. Untuk mendukung perubahan struktural dari
ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi moderen
diperlukan pengalokasian sumber daya, penguatan,
kelembagaan ,penguatan teknologi dan pembangunan sumber daya
manusia.
Langkah-langkah yang perlu diambil dalam mewujudkan
kebijakan tersebut adalah sebagai berikut (Sumodiningrat, 1999) :
a. Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset
produksi, yang paling mendasar adalah akses pada dana.
b. Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi
rakyat.
c. Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka
kualitas sumber daya manusia, disertai dengan upaya
peningkatan gizi.
d. Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada
penguatan industri rakyat yang terkait dengan industri besar.
Industri rakyat yang berkembang menjadi industri-industri kecil
34
dan menengah yang kuat harus menjadi tulang punggung industri
nasional.
e. Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga
kerja mandiri sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya
berkembang menjadi wirausaha kecil dan menengah yang kuat
dan saling menunjang.
f. Pemerataan pembangunan antar daerah. Ekonomi rakyat tersebut
tersebar di seluruh penjuru tanah air, oleh karena itu pemerataan
pembangunan daerah diharapkan mempengaruhi peningkatan
pembangunan ekonomi rakyat.
Sejalan dengan upaya untuk memantapkan kemandirian
Pemerintah Daerah yang dinamis dan bertanggung jawab, serta
mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah dalam lingkup
yang lebih nyata, maka diperlukan upaya-upaya untuk
meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan profesionalisme sumber
daya manusia dan lembaga-lembaga publik di daerah dalam
mengelola sumber daya daerah. Upaya-upaya untuk
meningkatkan pengelolaan sumber daya daerah haru
sdilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari
aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi
yang diberikan kepada daerah akan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Dari aspek perencanaan, Daerah sangat membutuhkan
35
aparat daerah (baik eksekutif maupun legislatif) yang berkualitas
tinggi, bervisi strategik dan mampu berpikir strategik, serta memiliki
moral yang baik sehingga dapat mengelola pembangunan daerah
dengan baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada di daerah
sangat dibutuhkan agar perencanaan pembangunan daerah benar-
benar mencerminkan kebutuhan daerah dan berkaitan langsung
dengan permasalahan yang dihadapi daerah. Dari Aspek
pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan
sistem manajemen yang mampu Mendukung operasionalisasi
pembangunan daerah. Sala satu aspek dari pemerintahan daerah
yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan
keuangan daerah dan anggaran daerah.
Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi
Pemerintah Daerah. Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki
posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan
efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk
menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu
pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi
pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber
pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat
untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua
aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses
36
penyusunan dan pelaksanaan APBD hendaknya difokuskan pada
upaya untuk mendukun pelaksanaan program dan aktivitas yang
menjadi preferensi daerah yang bersangkutan. Untuk Memperlancar
pelaksanaan program dan aktivitas yang telah direncanakan dan
mempermudah pengendalian, pemerintah daerah dapat membentuk
pusat-pusat Pertanggung jawaban (responsibility centers) sebagai
unit pelaksana.
Untuk memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public
money) telah dilakukan sebagaimana mestinya (sesuai konsep value
for money), perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah
daerah. Evaluasi dapat dilakukan oleh pihak internal yang dapat
dilakukan oleh internal auditor maupun oleh eksternal auditor,
misalnya auditor independen. Untuk menciptakan transparansi dan
akuntabilitas publik, pemerintah daerah perlu membuat Laporan
Keuangan yang disampaikan kepada publik. Pengawasan dari
semua lapisan masyarakat dan khususnya dari DPRD mutlak
diperlukan agar otonomi yang diberikan kepada daerah tidak
“kebablasan” dan dapat mencapai tujuannya.
2.6.1. Pengelolaan Keuangan Daerah yang berorientasi pada
Kepentingan Publik.
Secara garis besar, pengelolaan (manajemen) keuangan
daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen
37
penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua
komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu
pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan
UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 Menyebabkan
perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan
tersebut antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform
atau reformasi anggaran.
Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari
traditional budget ke performance budget. Secara garis besar
terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan
mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah: (a) Anggaran
tradisional atau anggaran konvensional; dan (b) Pendekatan baru
yang sering dikenal dengan pendekatan New Public Management.
2.6.2. Anggaran Tradisional
Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling
banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua
ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan
anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan (b)
struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. Ciri lain
yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut
adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e)
38
tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur
anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu
mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap
kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam
memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh
karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-
satunya tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan
hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan
tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money. Konsep
ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan
pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan
tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini,
seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran
yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-
aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan.
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran
tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain (Mardiasmo,
2002):
a. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran
tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
b. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar
pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh
39
efektivitasnya.
c. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut
menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan
sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber
daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk
apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan
tercapai.
d. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan
nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut
berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan,
dan persaingan antar departemen.
e. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan
pengeluaran modal/investasi.
f. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan
tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek
modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang
tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
g. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi
yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan
anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget
padding atau budgetary slack.
h. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal
memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang
40
sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan
’manipulasi anggaran.’
2.6.3 Tujuan pengelolaan keuangan daerah.
Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur
keuangan daerah itu sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan
keuangan daerah menurut (Devas, dkk. 1987; 279-280) adalah
sebagai berikut
a. Tanggung jawab (accountability) Pemerintah daerah harus
mempertanggung jawabkan keuangannya kepada lembaga
atau orang yang berkepentingan yang sah, lembaga atau
orang itu termasuk pemerintah pusat, DPRD, Kepala Daerah
dan masyarakat umum. Adapun unsur-unsur penting dalam
tanggung jawab adalah mencakup keabsahan yaitu setiap
transaksi keuangan harus berpangkal pada wewenang
hukum tertentu dan pengawasan yaitu tata cara yang efektif
untuk menjaga kekayaan uang dan barang serta mencegah
terjadinya penghamburan dan penyelewengan dan
memastikan semua pendapatan yang sah benar-benar
terpungut jelas sumbernya dan tepat penggunaannya.
b. Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah
harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu
melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik
41
jangka pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka
panjang pada waktu yang telah ditentukan.
c. Kejujuran. Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan
daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai
yang betul-betul jujur dan dapat dipercaya.
d. Hasil guna (efectiveness) dan daya guna (efficiency)
Merupakan tata cara mengurus keuangan daerah harus
sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat
direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
pemerintah daerah dengan biaya yang serendah-rendahnya
dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.
e. Pengendalian. Para aparat pengelola keuangan daerah,
DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan
pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai.
2.6.4 Dasar hukum keuangan daerah.
Dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai suatu
perwujudan dari rencana kerja keuangan akan dilaksanakan oleh
pemerintah daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan
selain berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum yang
berlandaskan pula pada :
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah;
42
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah;
c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000
tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi
sebagai daerah otonom;
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun
2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggung jawabkan
Keuangan Daerah;
e. Permendagri Nomor 5 Tahun 1997 tentang pelaksanaan tuntutan
perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi keuangan dan barang
daerah;
2.6.5. Prinsip-prinsip Penyusunan Anggaran Daerah.
Menurut Menteri Negara Otonomi Daerah Republik
Indonesia dan PAU-SE (Universitas Gadjah Mada) terdiri dari :
a. Keadilan anggaran.
Keadilan merupakan salah satu misi utama yang diemban
pemerintah daerah dalam melakukan berbagai kebijakan,
khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran
daerah. Pelayanan umum akan meningkat dan kesempatan kerja
juga akan makin bertambah apabila fungsi alokasi dan distribusi
dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik
43
melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta
retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal tersebut
mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan
pengeluaran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati
hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi
maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan
retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai
rasional yang transparan dalam menentukan tingkat pelayanan
bagi masyarakat daerah;
b. Efisiensi dan efektivitas anggaran
Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah
bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat
menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang
maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum,
kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini
adalah keterbatasan daerah untuk mengembangkan instrumen
teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja,
bukan pendekatan incremental yang sangat lemah landasan
pertimbangannya. Oleh karenanya, dalam penyusunan anggaran
harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas
kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas.
Berkenan dengan itu, maka penetapan standar kinerja proyek
44
dan kegiatan serta harga satuannya akan merupakan faktor
penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran;
c. Anggaran berimbang dan defisit
Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang
adalah untuk menghindari terjadinya hutang pengeluaran akibat
rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas
penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan
dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan
pengeluaran, maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah
yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai dengan
prinsip defisit anggaran. Penerapan prinsip ini agar alokasi
belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan
penerimaan daerah yang realistis, baik berasal dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD), dana perimbangan keuangan, maupun
pinjaman daerah. Di sisi lain, kelebihan target penerimaan tidak
harus selalu dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan
anggaran dalam pasal cadangan atas pengeluaran tidak
tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak
yang harus segera dilaksanakan;
d. Disiplin anggaran
Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara
konsisten. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah
rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan
45
pemerintahan dan pembangunan daerah untuk 1 (satu) tahun
anggaran tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah,
sedangkan pencatatan atas penggunaan anggaran daerah
sesuai dengan prinsip akuntansi keuangan daerah Indonesia.
Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang
belum/tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD/perubahan
APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan
belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan APBD
dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal
pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran
yang tersedia pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi
pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melaksanakan
kegiatan/proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah
ditetapkan. Di samping itu pula, harus dihindari kemungkinan
terjadinya duplikasi anggaran baik antar Unit Kerja antara
Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan serta harus
diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut
dalam satu indikator kinerja. Pengalokasian anggaran harus
didasarkan atas skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama
untuk program yang ditujukan pada upaya peningkatan
pelayanan masyarakat. Dengan demikian, akan dapat dihindari
pengalokasian anggaran pada proyek-proyek yang tidak efisien;
e. Transparansi dan akuntabilitas anggaran dan akuntabilitas
46
Dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan
anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud
pertanggung jawaban pemerintah daerah kepada masyarakat,
maka dalam proses pengembangan wacana publik di daerah
sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran
daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk
mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran.
Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan
informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu untuk
kepentingan masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah
pusat, dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan
pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan
dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan
pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara
terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis
maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat maupun
pihak-pihak yang bersifat independen yang memerlukan.
2.9 Proses penyusunan APBD.
Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kabupaten Pegunungan Bintang yang diawali dengan proses
penentuan perencanaan plafond APBD sesuai siklus anggaran
dimulai dari :
47
a. proses penentuan penerimaan daerah;
b. proses penentuan belanja rutin;
c. proses penentuan belanja pembangunan;
Selanjutnya hasil rencana anggaran yang telah disusun secara
terpadu diajukan kepada Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan
dan kemudian disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dalam bentuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah guna dibahas dan disetujui DPRD, sehingga
penetapannya dapat dituangkan di dalam peraturan daerah.
2.9.1 Proses Penyusunan APBD Tahap Bulan Uraian Instansi
1. Tahap ke satu September Pengajuan Dukda dan Dupda Dinas
instansi daerah
2. Tahap ke dua Oktober Minggu I dan II Penelitian dan pembahasan
Dukda dan Dupda Bappeda bagian keuangan, bagian penyusunan
program dinas instansi daerah
3. Tahap ke tiga Oktober Minggu III dan IV Pengolahan Dukda dan
Dupda dan penyesuaian skala prioritas Bappeda, bagian
keuangan, bagian penyusunan program
4. Tahap ke empat Nopember Minggu I dan II Dukda dan Dupda
yang telah dibahas diajukan kepada kepala daerah, disusun dalam
bentuk pra APBD untuk disampaikan kepada DPRD.
48
5. Tahap ke lima Nopember Minggu III dan IV Penyampaian nota
keuangan dan rancangan Perda tentang penetapan APBD
Pembahasan Persetujuan Penetapan Eksekutif DPRD dan Kepala
Daerah
6. Tahap ke enam Desember Minggu III dan IV Pengesahan Perda
tentang APBD dan persiapan pelaksanaan APBD Pejabat yang
berwenang
Sumber : Bagian Keuangan, Laporan Proses Penyusunan APBD
Kabupaten Pegunungan Bintang tahun ( 2011-2015).
Kemampuan aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan
otonomi daerah khususnya di bidang pengelolaan keuangan daerah
dapat dianalisis dari kinerja aparatur pemerintah daerah. Kinerja
diartikan sebagai bentuk prestasi atau hasil dari perilaku pekerja
tertentu yang merupakan fungsi dari kemampuan (ability) dukungan
(support) dan usaha (effort), untuk mengukur seberapa besar kinerja
aparatur pemerintah daerah yang dapat diukur dengan kriteria
efektivitas, dan efisiensi.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
1.1 Rencana penelitian
Penelitian ini dirancang secara deskriptif yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, mengolah
dan menyajikan dan kemudian data opservasi agar pihak lain
dapat dengan mudah memperolah gambaran mengenai sifat
(karakteristik) objek dari data tersebut sesuai dengan tujuan
penelitian yang teah di uraikan pada bagian awal, penelitian ini
berusaha menjawab bagaimana sistem pengelolaan keuangan
daerah terhadap pembangunan kabupaten pegunungan bintang.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Pemerintah Daerah Kota Oksibil
Kabupaten Pegunungan Bintang tepatnya di Dinas Pendapatan,
50
Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) dan secara
khususnya di Kantor DP2KA Kota Oksibil , yang beralamat di Jalan
Okpol Kota Oksibil. Penelitian ini akan dilaksanakan Tahun 2016.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Beberapa teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada
penelitian ini adalah:
1. Observasi lapangan dimaksudkan untuk mengumpulkan data dari
sumbernya yakni bagian program dan keuangan Dinas
Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD)
Kota Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang yang dijadikan
sebagai objek penelitian.
2. Studi Pustaka bertujuan sebagai pijakan untuk membuat teori-teori
yang diperoleh dari literatur, peraturan perundang-undangan
pengelolaan keuangan daerah dan bahan lainnya yang penting
berhubungan dengan laporan keuangan daerah.
3. Dokumentasi berupa pencatatan atau penyalinan data terhadap
aspek-aspek yang berkaitan dengan data sekunder yang relevan,
sehingga dapat diperoleh data yang berhubungan dengan pokok
bahasan.
3.4 Tekhnik Analisis Data
51
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kuantitatif dekrptif, yaitu :
1. Mengolah data dengan menggunakan alat analisis rasio dan
hasilnya tersebut dijelaskan/digambarkan mengenai bagaimana
analisis kinerja keuangan dalam pengelolaan Anggaran
Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Oksibil
selama 5 tahun anggaran terakhir yaitu Tahun 2011 sampai
dengan Tahun 2015. Alat rasio keuangan yang digunakan adalah
analisis rasio yang dikembangkan berdasarkan data keuangan
yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah (Halim,
2004: 128) yaitu alat analisis rasio kemandirian, rasio efesiensi,
rasio efektifitas, rasio aktivitas, dan debt service coverage ratio.
Rasio-rasio sebagai berikut:
3.4.1 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian tingkat ketergantunagan daerah terhadap
pemerintah pusat. Semakin tinggi rasio kemmandirian maka
semakin rendah tingkat ketergantunangan daerah terhadap
bantuan dari pemerintah pusat.
52
Daerah Asli PendapatanPinjaman dan insi
Pusat/PropPemerintah Bantuan
Rasio Kemandiria
n =
X 100%
a.
Rasio efektifitas harus kurang dari atau (1) atau di bawa 100%
3.4.2 Rasio Efisiensi
Rasio efektiifitas yang harus dicapai minimal satu (1) atau 100%. Semakain
tinggi nilaai, semakin tinggi pulah efektifitas pengelolaan keuangan daerah.
3.4.3 Rasio Aktivitas
3.4.4 Rasio DSCR (Debt Service Coverage Ratio).
53
Realisasi penerimaan asli Daerah PADTarget Penerimaan
Pendapatan Asli DaerahPAD
Rasio Efektititas =
X 100%
b.
Biaya yang dikeluarkan untuk memungut PADRealisasi pemerimaan
pandapatan Asli Daerah
Rasio Efisiensi
X 100%
c.
Total Belanja Adm Umum (BAU)Total Belanja
PR Adm X 100%
d. =
(PAD+ BD Bagiaan Daerah+ BAU)- BWTotal (Pokok Ansuran+Bunga+Biaya
Pinjaman
DSCR =
X 100%
e.
2. Mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam
mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telali
dicapai dari periodesatu ke periode berikutnya.
3. Melakukan interprestasi terhadap hasil analisis rasio, guna
kemandirian daerah dalam pembiayaan pemerintah dan
pembangunan;
4. Melihat sistem pengelolaan keuangan daerah dalam rangka
akuntabilitas sistem keuangan melalui deskripsi hasil analisis.
54