CASE REPORT
Dengue Haemorrhagic Fever
Oleh :
Dionisius Panji W. 1301 1209 0087
Karthika 1301 1209 3025
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2010
Nama : By G, perempuanUmur : 8 bulanNama ibu : Ny. AUmur : 33 tahunAlamat : CibereumPekerjaan ibu : IRTTanggal masuk RS : 10 Mei 2010
Alloanamnesa dari ibu pasien ( 11 Mei 20 10 )
Keluhan utama: Panas badan
Sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien menderita panas badan yang mendadak tinggi, terus menerus, siang sama dengan malam. Keluhan disertai menggigil, gelisah dan kemerahan di muka. Pada badan pasien juga terdapat bercak-bercak merah di kedua belah tungkai. Sejak 1 minggu yang lalu, pasien juga menderita batuk yang berdahak serta pilek dan disertai penurunan berat badan. Keringat malam, dan munculnya benjolan pada leher pasien disangkal. Perdarahan dari hidung, gusi dan dari tempat lain disangkal. Keluhan juga tidak disertai mual muntah, sesak nafas, kejang ataupun penurunan kesadaran. . Buang air besar dan buang air kecil dikatakan tidak ada kelainan. Ibu pasien berusaha mengobati demam pasien dengan memberikan parasetamol, akan tetapi panas badan hanya menurun sesaat setelah minum obat. Lalu pasien dibawa oleh ibunya ke Puskesmas dan dianjurkan oleh dokter agar dilakukan pemeriksaan darah di laboratorium terdekat dan pada hasil laboratorium darah terdapat penurunan trombosit. Kemudian pasien dirujuk dan segera dibawa ke RSHS.
Linkungan rumah pasien dikatakan banyak nyamuk pada pagi maupun sore hari. 2 bulan yang lalu, rumah pasien pernah diasapi yang dikatakan untuk mengusir nyamuk. Pasien juga sering tidur siang dari jam 2 sampai 5 sore.Tetangga pasien ada yang dirawat di rumah sakit dan dikatakan menderita penyakit demam berdarah. Keluhan yang sama pada anggota keluarga yang lain disangkal. Ibu pasien tidak sering menguras bak air.Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat pengobatan lama juga disangkal.
Penyakit yang pernah dialami:Cacar air (-) Campak (-)
TBC (-) Batuk (-)
Difteri (-) Tetanus (-)
Diare (-) DHF (-)
Demam tifoid (-) Kuning (-)
Sakit tenggorokan (-) Bengek (-)
Riwayat Nutrisi:
0- 6 bulan : ASI eksklusif6- samapi sekarang : ASI + PASI ( bubur nestle)
Riwayat Imunisasi:
BCG 1 kaliDPT 3 kaliPolio 4 kaliHep B 3 kaliCampak belum dilakukan
Riwayat PerkembanganTengkurup - 6 bulanDuduk - 7 bulanBerdiri - 8 bulan
PEMERIKSAAN FISIK:
Keadaan umum: Compos mentis, tampak sakit sedangTinggi badan: 64cmBerat badan: 6 kgStatus gizi : BB/U : 0 < sd < -2
PB/ U : -1 < sd < -2 BB/TB : 0 < sd < -1 BMI/U : -1 < sd < -2
Tanda vital: Tekanan darah: Nadi : 120 x/menit, regular, equal, isi cukupRespirasi : 42x/menit, abdomino-thoracalSuhu : 36.3°C
Kepala: Muka : Facial flushing (-)Mata : Konjunktiva tidak anemis
Sklera tidak ikterikHidung : Pernafasan cuping hidung (-), epistaksis (-)Mulut : tidak sianosis, pendarahan gusi (-)Tonsil : Sulit dinilaiPharynx : sulit dinilaiTelinga: Sekret (-)
Leher:KGB : tidak terabaTrakea : tidak terdeviasi
Thorax:Bentuk dan gerak simetrisICS ka=kiTF sulit dinilai VF sulit dinilaiVBS ka=kiWheezing -/- Crackles -/-
Cor: Bunyi jantung : S1 , S2 murni, reguler, S3 (-), S4 (-), murmur (-)
Abdomen:Datar, lembutHepar dan lien tidak terabaBising usus (+), normal
Ekstremitas:Capillary refill : < 2 detikSianosis (-)Edema (-)Rumple Leed (+)
Usul Pemeriksaan Penunjang- Lab darah rutin ( Hb, Ht, Lk, Tr, diff count)- Foto toraks- Ig G, Ig M
DD/- Demam dengue- Demam Berdarah Dengue gr II- Demam Chikungunya
Diagnosis- Demam Berdarah Dengue gr II
PenatalaksanaanUMUM
- Tirah baring- Banyak minum 1- 2 l air/ hari- Monitor gejala klinis dan tanda vital setiap 6 jam- Pemerikasaan Hb, Ht dan Tr setiap 6 jam- Monitor ketat volume input dan output- Perhatikan kalau ada tanda tanda syok
KHUSUS- Infus RL 6 ml/ kgbb/ jam- Paracetamol bila suhu >38˚C
Prognosis- Quo ad vitam : ad bonam- Quo ad fuctionam : ad bonam
Indikasi Rawat pada Pasien DHF
Takikardi
Peningkatan capillary refill >2 detik
Kulit dingin belang atau pucat
Penurunan Nadi Perifer
Perubahan status mental
Oliguri
Peningkatan tiba-tiba hematokrit atau peningkatan hematokrit secara kontinu
meskipun dengan pemberian cairan
Penyempitan tekanan nadi (<20 mmHg)
Hipotensi
Indikasi Pulang
Tidak ada demam selama sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan terapi
antidemam
Kembalinya nafsu makan
Perbaikan klinis yang dapat terlihat
Keluaran urin baik
Hematokrit stabil
Melewati sedikitnya 2 hari setelah pemulihan syok
Tidak ada distress pernapasan dari efusi pleura atau asites
Jumlah trombosit > 50.000/mm3
Pembahasan
I.Definisi
Demam dengue(dengue fever) adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak
dan remaja atau orang dewasa dengan tanda-tanda klinis berupa demam, nyeri otot,
dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, dengan/tanpa ruam, dan limfadenopati,
demam bifasik, sakit kepala yang hebat, nyeri pada pergerakan bola mata, gangguan rasa
mengecap, trombositopenia ringan dan petekie spontan.
Demam berdarah dengue (dengue haemorrhagic fever) adalah penyakit yang
terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang
biasanya memburuk setelah dua hari pertama.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah penyakit demam
berdarah dengue yang disertai renjatan.
II. Epidemiologi
Demam dengue atau demam berdarah dengue adalah penyakit viral arthropod-
borne yang paling sering, dapat mengenai berbagai dekade kehidupan. Penyakit ini
tersebar di seluruh dunia dengan interval epidemik 3-5 tahun. 50-100 juta kasus demam
dengue dan 250-500 ribu kasus demam berdarah dengue terjadi tiap tahunnya.
Di Indonesia, hampir semua propinsi pernah mengalami wabah. Wabah terakhir
terjadi tahun 1996-1997. Di RSHS, bulan Januari sampai pertengahan Februari 2001,
tercatat 112 kasus demam berdarah dengue ataupun demam dengue, dan 27 kasus dengue
shock syndrome.
III. Etiologi
Virus dengue adalah golongan arthropod borne virus grup B, yang termasuk kelas
flavivirus, famili flaviviridae. Memiliki RNA rantai tunggal, nukleokapsid akosashedral
dan lipid envelope. Ukuran diameter virion 50 nm. Virus dengue memiliki 4 serotipe,
Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.
Virus dengue memiliki struktur protein : core (C), membran-associated (M),
envelope (E), dan nonstructural protein.
Transmisi virus dengue dapat melalui vektor, transovarial dan vertikal. Transmisi
virus melalui vektor,ditularkan oleh gigitan banyak spesies nyamuk aedes, diantaranya,
Aedes aegypti, Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris complex.
Spesies-spesies tersebut termasuk antropofilik, hidup dekat dengan manusia, sering
dalam ruangan, pada daerah tropis dan subtropis, biasanya betina (multiple biters).
IV. Derajat Penyakit
Menurut WHO, 1997, derajat penyakit oleh virus dengue dibagi menjadi :
Derajat I : Terdapat demam mendadak selama 2-7 hari disertai gejala klinis
lain dengan manifestasi perdarahan teringan, yaitu uji tourniquet
positif.
Derajat II : Terdapat demam dengan disertai perdarahan spontan, pada
umumnya di kulit dan/atau perdarahan di tempat lain.
Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan nadi cepat
dan lembut, tekanan nadi menurun (<20 mmHg) atau hipotensi
dengan kulit dingin, lembab, dan gelisah.
Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi tidak teraba dan tensi yang tidak dapat
diukur.
V. Patofisiologi
Patofisiologi utama yang terjadi pada penyakit ini adalah adanya kebocoran
plasma dan gangguan hemostasis. Kebocoran plasma dikarenakan pelepasan zat
anafilaktosin, histamin, serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang berakibat
ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plasma
sehingga terjadi hipotensi, peningkatan hematokrit, efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
bahkan sampai syok hipovolemik. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai
dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya pada saat syok. Pada pasien dengan
syok berat, volume plasma dapat menurun sampai lebih dari 30%.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan
ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu rongga peritoneum, pleura dan
perikardium. Syok hipovolemik terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, dan bila tidak
segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
Sementara kelainan hemostasis ditandai dengan adanya vaskulopati, trombopati dan
koagulopati. Trombositopenia dihubungkan dengan mningkatnya megakariosit muda
dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan
meningkatnya destruksi trombosit. Penghancuran trombosit ini terjadi di sistem
retikuloendotelial. Sementara fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan
proses imunologis trbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah.
Secara ringkas dapat diterangkan sebagai berikut :
a. Permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga menyebabkan volume plasma
menurun sehingga terjadilah syok.
b. Trombositopenia dan diatesis hemoragika menyebabkan perdarahan.
Demam, anoreksia,
muntah
Hipovolemia
Kompleks Ag-Ab-
KomplemenDehidrasiKebocoran
plasma:Hemokonsentrasi, hipoproteinemia,
efusi pleura, asites
Manifestasi perdarahan
Permeabilitas vaskuler naik
Hepatomegali
Asidosis
Derajat
Perdarahan Sluran Cerna
III
Demam Dengue
Meninggal
Anoksia
SyokDIC
IV
trombositopenia
I
Infeksi Virus Dengue
Patofisiologi Infeksi Dengue
VI. Patogenesis
Sampai saat ini patogenesis penyakit Demam Berdarah ini masih belum diketahui
dengan pasti. Berikut adalah beberapa teori yang berlaku saat ini :
1. Teori Virulensi Virus
Teori ini menerangkan bahwa serotipe tertentu virus dengue mempunyai virulensi
yang berbeda untuk menimbulkan penyakit yang lebih berat dibandingkan dengan
serotipe lainnya. Hal ini dibuktikan dengan beberapa penelitian dengan menggunakan
sukarelawan yang sehat untuk digidit oleh nyamuk yang terinfekai. Hasilnya adalah
ada sukarelawan yang sakit ada juga yang tidak. Belum ada keterangan yang jelas
mengapa hal ini terjadi. Teori ini juga menyatakan bahwa timbulnya DBD tidak prlu
dua kali infeksi, namun satu kali saja sudah cukup apabila virus mempunyai virulensi
yang tinggi. Pendapat ini dibuktikan dengan adanya seorang anak dengan infeksi
primer di Jakarta.
Penelitian lain menyebutkan bahwa Den-2 Asia menyebabkan manifestasi klinis
yang lebih berat pada orang Amerika Latin, sedangkan Den-2 lokan tidak. Sementara
penelitian di Indonesia melaporkan bahwa Den-3 biasanya menyebabkan infeksi
dengua yang lebih berat dari yang lain. Penelitian terus dilakukan, namun
keterbatasan dengan belum ditemukannya binatang yang tepat untuk percobaan
laboratorium.
2. Teori Antibodi Dependent Enhanchement (ADE theory)
Teori ini menjelaskan bahwa pada individu yang terinfekasi oleh virus dengue
serotipe tertentu akan timbul kekebalan terhadap serotipe tersebut, namun tidak untuk
serotipe lainnya dan akan terbentuk antibodi “non neutralizing”.
Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, dan sel Kupffer merupakan sel
target pada infeksi primer. Selanjutnya antibodi yang dibentuk pada infeksi primer
berfungsi membawa virus kedalam sel fagosit mononuklear pada infeksi sekunder.
Antibodi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan kompleks imun
pada infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang berlainan akan
cenderung menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Jika kompleks antibodi non
neutralizing dengan virus dengue ditambahkan pada monosit, maka akan terjadi
opsonisasi, internalisasi, dan akhirnya sel terinfeksi, sedangkan virus tetap dapat
hidup dan berkembang biak di dalamnya. Sehingga apabila orang tersebut selanjutnya
terinfeksi oleh serotipe yang berbeda dengan pertama, antibodi tersebut akan
mempermudah terjadinya infeksi dan mempercepat replikasi virus dalam sel
mononuclear sehingga akan meningkatkan “viral load”. Selain itu akan mengaktivasi
sitem komplemen dan kinin, serta melepaskan berbagai mediator (sitokin) yang
mengakibatkan meningkatnya permeabilitas kapiler dan gangguan sisten koagulasi
dan perdarahan.
Teori ini menerangkan tiga mekanisme meningkatnya infeksi. Pertama, virus
beredar di sirkulasi dan diikat oleh antibodi yang berada di permukaan monosit dan
kmudian masuk ke dalamnya. Mekanisme pertama ini disebut mkanisme aferen.
Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun menyebar ke usus , hati,
limpa, sumsum tulang dan akan terjadi viremia. Mekanisme kedua ini disebut
mekanisme eferen. Pada saat itu pula sel monosit yang telah teraktivasi akan
mengadakan interaksi dengan berbagai sistem humoral, seperti sistem komplemen,
yang akan mengeluarkan substansi inflamasi, pengeluaran sitokin dan tromboplastin
yang akan mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor koagulasi.
Mekanisme terakhir ini disebut mekanisme efektor.
3. Teori Imunopatologi
Kedua hipotesis diatas ternyata belum dapat menerangkan semua patofisiologis
yang terjadi pada infeksi virus dengue, khususnya mengenai trombositopenia dan
hemokonsentrasi. Respon imun terhadap infeksi virus dengue telah diteliti pada
manusia, kera dan mencit. Didapatkan bahwa reaksi imun yang terjadi terdiri dari dua
aspek yaitu respon kekebalan atau respon terinfeksi. Pada penelitian dilaporkan
bahwa apabila seseorang terinfeksi satu serotipe virus dengue, maka akan terjadi
kekebalan tubuh terhadap serotipe tersebut Namur tidak pada serotipe yang lain.
4. Faktor Host
Selain faktor virus dan lingkungan, faktor pejamu juga diduga mempunyai peran
yang penting. Menurut kasus yang dilaporkan, faktor yang dianggap berhubungan
dengan infeksi virus dengue yang berat misalnya :
a. Usia : anak > dewasa
b. Sex : perempuan > laki-laki
c. Gizi : status gizi baik > status gizi buruk
VII. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi Klinis dari infeksi virus dengue adalah sebagai berikut :
Manifestasi Klinik dari Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut :
a. Biasanya ditandai oleh 4 manifestasi klinik utama yaitu demam tinggi, fenomena
perdarahan, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi
b. Trombositopenia ringan sampai nyata bersamaan dengan hemokonsentrasi adalah
gejala laboratoris yang spesifik
c. Perbedaan utama dengan demam dengue adalah adanya kebocoran plasma yang
ditandai dengan peningkatan hematokrit, efusi paru atau hipoproteinemia.
Infeksi Virus Dengue
Demam Berdarah Dengue
DSSDengan perdarahan
Sindroma virus
Tanpa Syok
Simptomatis
Demam Berdarah Dengue
Asimptomatis
Sindroma Demam Dengue
Demam Dengue
Tanpa Perdarahan
d. DBD pada anak biasanya ditandai dengan adanya kenaikan suhu mendadak,
disertai facial flush dan tanda lain yang menyerupai DD (anoreksia, muntah, sakit
kepala, serta nyeri tulang/otot). Selain itu nyeri epigastrium, ketegangan pada
kosta kanan dan nyeri abdomen menyeluruh juga sering diketemukan.
e. Suhu biasanya > 39ºC
f. Fenomena perdarahan yang sering terjadi adalah uji torniquet (+), petekia,
ekimosis pada ekstremitas dan palatum. Selain itu epistaksis dan perdarahan gusi
juga sering terjadi.
g. Hepar biasanya teraba pada fase demam, lebih sering diketemukan pada kasus
DBD dengan syok.
h. Pada akhir fase demam, kewaspadaan akan terjadi perburukan harus dipikirkan,
antara lain gangguan sirkulasi yang ditandai oleh keringat banyak, gelisah, akral
teraba dingin, perubahan nilai tekanan nadi/darah
i. Trombositopenia dan hemokonsentrasi sering ditemukan saat penurunan suhu dan
terjadinya renjata.
Kriteria Diagnostik
Dalam menegakkan penyakit ini harus diperhatikan adanya :
Berdasarkan kriteria WHO
1. Gejala Klinis :
a. Demam tinggi mendadak 2-7 hari
b. Manifestasi perdarahan : uji tornniquet (+) atau adanya perdarahan
spontan seperti petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, dan melena.
2. Hepatomegali
3. Tanpa atau dengan adanya gejala syok :
a. Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba
b. Tekanan nadi < 20 mmHg
c. penurunan tekanan darah
d. Kulit teraba dingin dan lembab, terutama daerah akral (ujung hidung, jari
dan kaki)
e. Sianosis di daerah sekitar mulut
4. Laboratorium
a. Trombositopenia (< 100.000/mm3)
b. Hemokonsentrasi (Ht ≥ 20%
Diagnosa klinis ditegakkan bila didapatkan > 2 gejala klinis dengan trombositopenia dan
hemokonsetrasi.
Selain menurut WHO, kriteria diagnostik yang biasa dipergunakan adalah :
Tanda dini DBD : demam tinggi, facial flushing, tidak ada tanda ISPA, tidak
tampak lokal infeksi, uji torniquet (+), trombositopenia, hematokrit meningkat.
Tanda fase syok : Hari sakit ke 4-5, suhu turun, nadi cepat tanpa demam, tekanan
nadi turun/hipotensi, leukopenia (< 5000/mm3)
Untuk membedakan antara Demam Dengue dan Chikungunya dengan Demam
Berdarah Dengue dapat digunakan indikator sebagai berikut :
Demam Dengue
Keadaan klinis dari Demam Dengue biasanya tergantung umur pasien. Pada bayi dan
balita bisa berupa penyakit demam yang tidak jelas atau disebut juga sindroma virus,
sering timbul dengan ruam makulopapular. Pada anak yang lebih tua dan dewsa bisa
terjadi suatu sindroma demam sedang atau penyakit yang tidak klasik ditandai dengan
demam tinggi yang mendadak, kadang dengan dua puncak (Saddle back), sakit kepala
yang hebat, nyeri di belakang mata, nyeri otot, tulang dan sendi, nausea atau vomitus, dan
ruam. Leukopenia dan trombositopenia bisa terjadi. Dapat juga disertai dengan
perdarahan gusi, epistaksis, prdarahan saluran cerna, hematuria, dan menorrhagia. Hal
yang bisa membedakan dengan Demam Berdarah Dengue adalah tidak adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang ditandai dengan hemokonsentrasi.
Pasien didiagnosis menderita Demam Dengue jika mempunyai episode demam
dengan sekurang-kurangnya gejala berikut :
a. Sakit kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, atralgia, rash, manifestasi perdarahan,
atau leukopenia
b. Ditunjang laboratorium laboratorium serologis IgM-IgG, atau adanya kasus lain
yang terbukti demam dengue di sekitarnya.
c. Terbukti secara laboratorium
Sementara untuk membedakan dengan Demam Chikungunya, menurut sebuah penelitian
adalah :
Gejala Demam Dengue Klasik (Dewasa)
Demam Chikungunya
DBD pada anak
Demam ++++ ++++ ++++Uji Torniquet ++ +++ ++++Petekia/ekimosis + ++ ++Ruam petekia 0 0 +Hepatomegali 0 +++ ++++Ruam Makulopapular
++ ++ +
Mialgia/atralgia +++ ++ +Limfadenopati ++ ++ ++Leukopenia ++++ ++++ ++Trombositopenia ++ + ++++Syok 0 0 ++Perdarahan saluran cerna
+ 0 +
Derajat Penyakit DBD
Derajat I
Panas diikutii dengan gejala tambahan yang tidak spesifik. Manifestasi
perdarahan hanya ditunjukkan dengan uji tourniquet positif.
Derajat II
Manifestasi klinik pada derajat I dengan manifestasi perdarahan spontan di bawah
kulit seperti petekie, hematom, dan perdarahan dari lain tempat.
Derajat III
Manifestasi klinik pada derajat II ditambah dengan ditemukan manifestasi
kegagalan system sirkulasi berupa nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan
nadi (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi dengan kulit yang lembab dingin dan
penderita gelisah.
Derajat IV
Manifestasi klinik pada derajat III ditambah dengan ditemukan manifestasi
renjatan yang berat dengan ditandai tensi tak terukur dan nadi tak teraba.
Manifestasi yang tidak biasa/Komplikasi
Gangguan pada SSP seperti kejang, spastisitas, penurunan kesadaran dan parese
sementara.
Terapi cairan yang brlebih dapat menybabkan efusi, asites, dll.
Kerusakan hati pada pasien DBD. Hal ini mungkin terjadi karena kegagalan sirkulasi
yang berat.
Pada pasien dengan keadaan G6PD dan hemoglobinopati dapat menyebabkan gagal
ginjal akut dan sindroma hemolitik uremia. Mekanisme terjadinya belum diketahui.
VIII. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis definitif infeksi virus Dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium
dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan
tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien.
Diagnosis serologis
Dikenal 5 jenis uji serologik yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi
virus dengue, yaitu :
1. Uji hambatan hemaglutinasi (Haemagglutination Inhibition Test = HI Test)
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF Test)
3. Uji neutralisasi (Neutralization Test = NT Test)
4. IgM Elisa (Mac Elisa)
5. IgG Elisa
Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase
konvalesen terhadap titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih).
1. Uji hambatan hemaglutinasi (Haemagglutination Inhibition Test = HI Test)
Di antara uji serologis yang tersebut di atas, uji HI adalah uji serologis yang paling
sering dipakai dan dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini.
a. Uji HI ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan dalam tubuh sampai lama sekali (> 48 tahun), maka uji ini
baik dipergunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer serum
akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap
sebagai presumptive positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru
terjadi (recent dengue infection).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF Test)
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh
karena selain cara pemeriksaan agak ruwet prosedurnya juga memerlukan tenaga
pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen
fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2 sampai 3 tahun).
3. Uji neutralisasi (Neutralization Test = NT Test)
Uji neutralisasi (NT) adalah uji serologis yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut plaque reduction
neutralization test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi.
Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI
antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (>48
tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu cukup lama sehingga tidak
dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (Mac Elisa) & IgG Elisa
Mac elisa pada tahun terakhir ini merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai.
Mac Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa. Sesuai namanya, tes tersebut akan
mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien.
Hal-hal yang pelu diperhatikan pada uji Mac Elisa, yaitu :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang
kemudian diikuti dengan IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan
diagnosis yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal seperti ini
pemeriksaan perlu diulang
d. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif
e. Perlu dijelaskan di sini bahwa IgM dapat bertahan di dalam darah sampai 2-3
bulan setelah adanya infeksi. Untuk memperjelas hasil uji IgM dapat pula
dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas maka uji IgM tidak
boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnositik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji Mac Elisa mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan
uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang
sama denga uji HI.
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG Elisa yang sebanding dengan uji HI hanya sedikit
lebih spesifik. Beberapa merek dagang kit uji untuk infeksi dengue seperti IgM/IgG
dengue blot, dengue rapid IgM/IgG, IgM Elisa, IgG Elisa, yang telah beredar di pasaran.
Isolasi virus
Ada beberpa cara isolasi dikembangkan, yaitu :
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCMK2) dan nyamuk A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratoraksik/intraserebral pada larva
IX. Penatalaksanaan
1. Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan
Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keinginan makan dan minum masih
baik. Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan obat
panas paracetamol 10-15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika symptom panas masih
nyata di atas 38,5° C. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai resiko
terjadinya penyulit perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang berobat
jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari
kedua tanpa menunjukkan penyulit lainnya.
Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan
konvulsi sebaiknya kasus ini dianjurkan untuk dirawat inap.
Kasus DBD derajat I dan II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini
mempunyai resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut,
penderita ini disarankan diinfus cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5,
3. Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit yang
biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hemtokrit meningkat lebih dari 20% dari
harga normal merupakan indicator adanya kebocoran plasma dan sebaiknya penderita
dirawat di ruang observasu di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.
Penderita DBD yang gelisah denga ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri
perut dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita
dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit
untuk memperoleh cairan pengganti segera.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama seperti yang
digunakan pada kasus diare denga dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi
tetesan harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan dalam waktu 2-3 jam
pertama dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran
plasma terjadi.
Pemeriksaan hematokrit secara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data
vital dianjurkan setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar meperoleh jumlah
cairan pengganti yang cukup dan cegah pemberian transfuse beruang. Petunjuk
pemberian cairan jumlah tetsan harus jelas.
Perhitungan secara kasar sebagai berikut:
(ml/jam) = (tetesan/menit) x 3
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang
cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48
jam) pemberian cairan yangf berlebihan akan menyebabkan kegagalan faalk pernafasan
(efusi pleura dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan
edema.
Jenis Cairan
1. Kristaloid
Ringer laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Asetat
5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali)
5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
2. Koloidal
Plasma expander denga berat molekul rendah (Dekstran 40)
Plasma
Kebutuhan cairan
Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg BB per hari
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan beraty
badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi
yang terjadi. Pada anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan
ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari table
berikut.
Kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
>20 1500 + 20 x kg ( di atas 20 kg)
3. Penatalaksanaan DBD derajat III & IV
“Dengue Shock Syndrome” (sindrom renjatan dengue) termasuk kasus kegawatan
yang membutuhkan penanganan secara cepat. Dan perlu memperoleh cairan pengganti
secara cepat. Biasanya dijumpai kelainan asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam
hal ini perlu dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah
mendorong terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan
renjatan yang sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan garam isotonic
(Ringer Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan ringer laktat atau 5% Dekstrose dalam
larutan ringer asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam.
Pada kasus yang sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau
2x). Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal
(dekstran) dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma)
dapat diberikan dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam.
Selanjutnya pemberian cairan infuse dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai
dengan plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-
tanda vital yang ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan central venous
pressure dan kateter urinal penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat
berat dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran
plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak.
Pada kasus bayi dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam
faali (5% dekstrose ½ NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5%
dekstrose di dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi di bawah 1
tahun, jika kadar natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit
turun sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal. Produksi urin baik merupakan
indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal
dan produksi urin yang cukup merupakan tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi
membutuhkan cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dan pembuluh darah
membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya. Jika pemberian airan berkelebihan dapat
terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema paru. Dalam hal ini hematokrit
yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diinterpretasikan sebagai perdarahan dalam
organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urin cukup
dengan tanda-tanda vital yang baik.
Koreksi elektrolit dan kelainan metabolik
Pada kasus yang berat hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai; oleh karena
itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara teratur terutama
pada kasus dengan renjatan yang berulang. Kadar kalium dalam serum kasus yang berat
biasanya rendah, terutama kasus yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak.
Kadang-kadang terjadi hipoglikemia.
Obat penenang
Pada beberapa kasus obat penenang memang dibutuhkan terutama pada kasus yang
sangat gelisah. Obat yang hepatotoksik sebaiknya dihindarkan, chloral hidrat oral atau
rectal dianjurkan dengan dosis 12,5-50 mg/kg (tetapi janga lebih 1 jam) digunakan
sebagai satu macam obat hipnotik.
Terapi oksigen
Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen
Transfusi darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena
diindikasikan untuk memperoleh transfuse darah. Darah segar sangat berguna untuk
mengganti volume massa sel darah merah agar menjadi normal.
Kelainan Ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular telah
benar-0benar terpenuhi dengan baik/ Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam
sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furasemid
1mg/kgBB dapat diberikan., Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar
ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya
syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan central venous pressure
(CVP) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutrnya.
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperature harus dicatat setiap 15-30 menit
atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil
Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,
jumlah dan tetesan untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis
Kriteria memulangkan pasien
Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perbaikan secara klinis
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit >50.000/µl
Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan efusi pleura atau asidosis)
Penatalaksanan penderita DBD dengan penyulit
1. Sepsis
Patogenesis sepsis masih belum jelas benar. Diagnosis sepsis ditegakkan dengan
ditemukannya dua atau lebih dari manifestasi respon inflamasi sistemik dan
kecurigaan terdapatnya infeksi.
Penderita yang termasuk rentan terhadap sepsis : usia lanjut, malnutrisi,
imunodefisisensi, kanker, penyakit kronik, trauma, luka baker, diabetes mellitus,
prosedur invasive, pemakaian imunosupresan dan transplantasi.
Penatalaksanaan sepsis mempunyai tujuan utama menghilangkan sumber infeksi,
memperbaiki dan mengembalikan perfusi, memperbaiki dan mempertahankan fungsi
ventrikel dan upaya suportif lain. Penanganan renjatan septic dapat dibagi 3 kategori
yaitu; (1) Baku, (2) controversial, (3) masa depan (emerging).
Pengobatan Baku
a. Resusitasi cairan
Cairan yang dapat digunakan adalah kristaloid atau koloid, namun kristaloid
memerlukan jumlah cairan yang lebih banyak (2-3x) daripada koloid dalam
memberikan efek hemodinamik dan dapat menyebabkan edema perifer.
Tahap pertama dapat diberikan 10-20 ml/kg BB/ cairan kristaloid atau koloid dalam
30 menit. Diharapkan tekanan darah dapat mencapai lebih dari 90 mmHg dan
sebaiknya pemantauan dilakukan dengan tekanan vena sentral (CVP). Apabila
tekanan vena sentral sudah mencapai 12-15 mmHg tetepai keadaan belum membaik
maka pemberian cairan harus dhati-hati karena dapat terjadi edema paru. Pada saat
ini dipertimbangkan untuk memasang kateter arteri pulmonalis.
b. Oksigenasi dan Bantuan Ventilasi
Oksigen harus diberikan pada penderita sepsis terutama renjatan septic. Bila
renjatan septic menetap selama 24-48 jam perlu dipertimbangkan intubasi
endotrakeal dan ventilasi mekanik.
c. Antibiotika
Semua sumber infeksi harus dihilangkan. Pemilihan antibiotik tidak perlu
menunggu hasil biakan kuman dan pada awalnya diberikan antibiotik spectrum
luas. Pemilihan antibiotika ditentukan oleh lokasi dan hasil yang terbaik secara
empiric dari dugaan kuman penyebab (best guess). Bila sumber infeksi tak jelas,
semua dugaaan bakteri yang dapat menimbulkan sepsis harus dilenyapkan: bakteri
gram negatif, gram positif, anaerob dan pada hal tertentu dipikirkan pula jamur
sistemik.
d. Vasoaktif dan Inotropik
Vasoaktif dan inotropik diberikan pada renjatan septic setelah resusitasi cairan
adekuat. Noradrenalin (Norepinefrin) dosis 0,1 – 2,0 µg/kg BB/mm dan dopamine
dosis 2-30 µg/kgBB/mm dapat diberikan dan perlu dipertimbangkan ditambah
dengan dobutamin dosis 2-20 µg/kgBB/mm.
e. Nutrisi
Dukungan nutrisi diperlukan pada penderita sepsis karena mempunyai kebutuhan
kaori dan protein yang tinggi. Saat ini masih terjadi perdebatan mengenai kapan
dimulainya nutrisi enteral, komposisi dan jumlah yang diberikan.
f. Bantuan Suportif lainnya
Transfusi darah harus dipertimbangkan pada Hb ,8,0 g/dl dan diusahakan
dipertahankan antara 8,0-10,0 g/dl. Belum didapatkan bukti bahwa Hb>10 g/dl akan
memperbaiki konsumsi oksigen pada penderita dengan renjatan septic.
Koreksi gangguan asam asa dan regulasi gula darah perlu dipertimbangkan
terutama bila terdapat gangguan asam basa yang berat dan hiperglikemia/ hipoglikemia.
Pemberian profilaksis terhadap stress ulcer dengan antagonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton diindikasikan pada penderita dengan resiko tinggi seperti
dalam ventilator dan tidak dapat diberikan nutrisi secara enteral. Heparin biasa dan
heparin dosis rendah dapat diberikan bila tidak terdapat kontra indikasi untuk pencegahan
terjadinya trombosis dalam vena.
Pengobatan Kontroversial
1. Kortikosteroid
2. Nalokson
3. Anti Inflamasi Non Steroid
Pengobatan Masa Depan (emerging)
a. Anti Trombin III
b. Imunoglobulin
c. Anti endotoksin
d. Anti Tumor Necrosis Factor (TNF)
e. Antagonis Reseptor Interleukin-1
f. Anti Nitric Oxide (NO)
2. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
Yang penting adalah mengatasi proses yang memicu terjadinya DIC
seperti: Infeksi syok, asidosis dan hipoksia. Jika hasil pemeriksaan darah
menunjukkan kekurangan komponen darah dan factor-faktor pembekuan darah
maka untuk mengatasi masalah penderita diinfus dengan komponen trombosit.
Apabila penderita menunjukkan gejala trombositopenia berat, diberikan
cryopresipitat. Apabila penderita menunjukkan hiperfibrinogenemia dan atau
fresh frozen plasma untuk mengganti factor-faktor koagulasi dan inhibitor natural
lainnya.
Pada beberapa penderita pengobatan primer pada penyakitnya tidak
memadai/tidak tuntas atau pengobatn pengganti tidak efektif untuk mencegah
perdarahan, DIC dapat diobati dengan heparin, dan dapat ditambah dengan factor
pembekuan dan trombosit. Heparin biasanya dipakai berkelanjutan dengan dosis
rendah 5-10 µ/kgBB/jam
3. Ensefalopati
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila
syok telah teratasi, selanjutnya cairan diganti dengan cairan yang tidak
mengandung H2CO3 dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat
ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan NaCl 0,9%:glukosa 5%=3:1. Untuk
mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi sebaiknya tidak diberikan
bila terdapat perdarahan saluran cerna. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah
diusahakan > 60 mg, mencegah terjadinya peningkatan intrakranial dengan
mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretic), koreksi asidosis dan
elektrolit. Perawatan jalan napas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk
mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada
ensefalopati DBD mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk pencegahan
dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari) +
kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Apabila obat-obat tersebut sudah menunjukkan
tanda resisten maka obat ini dapat diganti dengan obat yang masih sensitive
dengan kuman infeksi sekunder seperti cefotaxime, ceftriaxone, ampisilin +
clavulanat, amoksisilin + klavulanat, dan kadang-kadang dapat dikombinasikan
dengan aminoglikosid. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak
diperlukan (nisalnya antacid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi
obat dalam hati.
Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang
tepat. Bilaperlu dilakukan transfuse tukar. Pada masa penyembuhan dapat
diberikan asam amino rantai pendek.
X. Pencegahan
Upaya pencegahan difokuskan kepada upaya pemberantasan vektor utama
virus Dengue, yaitu nyamuk Aedes aegypti.
1. Upaya pemberantasan vektor pada saat epidemi
Tujuan pemberantasan vektor selama epidemi adalah membunuh vektor
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya sehingga dapat menekan
kepadatan nyamuk dan memutuskan rantai penularan virus. Sasarannya
adalah nyamuk dewsa, dan di Indonesia dilakukan dengan upaya
penyemprotran udara.
2. Upaya pemberantasan vektor pada periode di antara epidemi
Tujuan pengendalian adalah menekan sumber vektor, untuk mencapai
tujuan ini dibutuhkan motivasi, pendidikan kesehatan, legalisasi dukungan
masyarakat, serta peran aktif dan masyarakat sendiri. Di Indonesia populer
dengan “3M”, yaitu:
Menghilangkan tempat genangan air
Menutup rapat tempat air minum agar nyamuk betina Aedes
aegypti tidak dapat masuk
Membersihkan dan mengganti air mandi atau air minum
seminggu sekali
3. Upaya pemberantasan larva vektor penyakit DBD
a. Metode kimiawi : Temphos atau methoprene
b. Metode biologik : mempergunakan organisme lain, yaitu:
Baccilus thuringiensis.
Ikan omnivora clorisficus dan tilapia nilotica.
Ikan laut lorvivarius, kuhlia-taeniurus, cattapulhi.
Jamur Coelomonyces
Larva Toxorhyncites spp.
Nematoda dari grup mermithid
c. Metode autocidal : perangkap nyamuk
d. Metode perbaikan lingkungan: promosi kesehatan masyarakat dengan
menganjurkan hidup bersih
4. Penyemprotan udara sebagai upaya pemberantasan vektor nyamuk DBD
Penyemprotan udara adalah suatu tindakan sementara,s ebagai upaya
pemberantasan dalam kurun waktu singkat dengan pengasapan pestisida,
aerosol dan mists yang dilakukan dengan lata yang dapat dibawa atau
diangkut dengan kendaraan yang memuat generataor atau disemprotkan
dari pesawat udara. Metode ini dirancang tidak menimbulkan efek
samping, tetapi membuat sejumlah kecil zat pestisida yang memiliki berat
jenis tinggi, dengan aliran angina ke bawah, udara menjadi jenuh dan
masuk menyebar ke dinding gesung serya dapat mencapai nyamuk yang
sednag hinggap atau terbang.
5. Upaya pemberantasan vektor dalam kurun waktu yang lama
a. Organisasi
Penggalakan pemberantasan dilaksanakan dengan peran aktif
masyarakat, didukung oleh pemerintah. Organisasi yang berperan
adalah organisasi pemerintahan, organisasi pemuda, kesehatan,
ekonomi, keagamaan, yang semuanya dikoordinasikan oleh
pemerintah dibantu oleh Dinas Kesehatan.
b. Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat, juga lingkungan sekolah
diberikan dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan akhirnya
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hidup sehat di lingkungan
yang bersih, dengan focus gerakan pemberantasan sarang nyamuk.
XI. Kesimpulan
Demam Berdarah Dengue adalah salah satu masalah kesehatan yang penting di
dunia, terutama di negara-negara endemis, salah satunya Indonesia. Penyelidikan dan
penelitian masih dilakukan untuk mengenali virus Dengue beserta patofisiologi dan
patogenesis penyakit yang dapat ditimbulkannya. Karena virus ini ditularkan dengan
vektor, maka pengetahuan mengenai vektor menjadi sangat penting.
Manifestasi klinis penyakit harus diketahui, sehingga dapat terdeteksi secara dini
dibantu dengan pemeriksaan penunjang sehingga diagnosis dapat ditegakkan dengan
sempurna. Setelah diagnosis tegak, penatalaksanaan yang tepat dapat diberikan untuk
menyelamatkan nyawa, juga meningkatkan kesembuhan dan mengurangi komplikasi dan
kecacatan.
Namun, upaya pencegahan tetap merupakan upaya yang terbaik. Di samping
mudah, murah, dapat dilakukan oleh semua orang juga memiliki efek yang besar untuk
mengurangi tingkat kesakitan dan kematian yang ditimbulkan oleh virus Dengue. Di
sinilah upaya dari seluruh komponen masyarakat dan pemerintah sebaiknya difokuskan.
Recommended