BAB II
KAJIAN PUSTAKA, DEFINISI KONSEP, LANDASAN TEORI,
METODE PENELITIAN, KERANGKA BERPIKIR DAN
SISTEMATIKA PENULISAN
2.1 KajianPustaka
Kajian Pustaka yang digunakan antara lain : Berbakti Kepada Leluhur
Dan Upacara Nuntun Dewa Hyang tulisan Drs. Kt Wiana,tahun 1998. isinya
bahwa leluhur yang telah distanakan di Sanggah Kemulan memiliki hubungan
dengan keluarga yang masih hidup, karenanya bentuk fisik Sanggah Kernulan
adalah rasa bakti keluarga kepada leluhur. Peranan dan Fungsi Keluarga Dalarn
Pelaksanaan Yadnya di Bali oleh Kt. Wiana, Tahun 1983, Isinya bahwa keluarga
wajib melakukan piodalan alit, madia dan utarna di Sanggah Kernulan sebagai
wujud bhakti kepada leluhur, sehingga tetap ada hubungan antara leluhur dengan
keluarga. Upacara Piodalan Alit Di Sanggah Kemulan oleh Dra.I.A.Suwarsi,
Tahun 2002, Upakara Yadnya oleh IGA.Mas Putra, Tahun 1979, keduanya
banyak menguraikan bentuk banten/upakara yang dihaturkan di Sanggah Kern
ulan, tatkala piodalan alit, madia dan utarna. Bhagavadgita oleh IB.Mantra
Tahun 1989, menceritrakan atau menguraikan hubungan kelahiran Sri Kresna
yang berulangulang kepada Arjuna, dalam kaitannya dengan leluhur yang lahir
kembali pada keluarga. Sedangkan Sarasarnuscaya oleh Nyoman Kadjeng, tahun
1989 banyak menguraikan keberadaan manusia di dunia dalam hubungannya
10
dengan Ida Sang Hyang Widhi atau Sang Prajapati dalam kekuasaannya
menciptakan, memelihara dan melebur ciptaannya, serta buku lain yang
mendukung tulisan mi. Tulisan ini berjudul Makna Filosofis Sanggah Kemulan
Sebagai Tempat Pemujaan Leluhur Desa Pakraman Mengwi Kabupaten Badung.
2.2 Definisi Konsep
2.2.1 Sanggah Kemulan
Sanggah Kernulan menurut Kamus Bali diartikan kuil keluarga yang
beruang tiga tempat pemujaan arwah leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi (Dinas
Pendas.Bali,1991:606). Sanggah Kemulan adalah tempat pemujaan leluhur yang
terdapat disetiap keluarga Hindu, bentuk Sanggah Kemulan adalah beragam
menurut situasi dan kondisi keluarga, fungsinya sebagai tempat pemujaan leluhur
dan bermakna persatuan dan pendidikan spiritual agar keluarga dapat bersatu,
dapat menghayati dan meyakini kehadiran roh leluhur sebagai bagian dan
kehidupan keluarga. (Wiana, 1983:16). Sanggah Kemulan dapat dibuat permanen
dengan menggunakan kayu, batu, bata atau beton namun dapat juga dibuat
sederhana dan kayu dadap yang disebut turus lumbung. San ggah Kemulan dapat
dibangun di areal pemerajan agung, sanggah gede atau menyendiri pada keluarga
baru, biasanya dibangun pada arab kaja kangin dan areal pekarangan rumah.
(Bendesa, 1999:12). Di beberapa daerah di Bali seperti di Kabupaten Tabanan
sanggah kemulan dibangun mengikuti arah pemeson pekarangan atau arah gunung
karena dianggap utama mandala, untuk wilayah Buleleng dan sekitarnya(Gde
Windia, 2000:23).
11
Menurut Kt.Wiana (1989:10) dalam bukunya Palinggih di Pemerajan mengatakan bahwa latar belakang timbulnya pemujaan Sanggah Kemulan adalah karena kehidupan beragama masyarakat Bali yang astithi bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi atas kemahakuasaannya, sedangkan kemampuan manusia terbatas, oleh karena itu manusia yang serba terbatas tidak mungkin mampu menjangkau kemahakuasaan yang tiada terbatas itu sedangkan upaya untuk mendekatkan din pada kemahakuasaan bertujuan agar manusia dapat mendayagunakan kepercayaan dimaksud guna meningkatkan kualitas hidup.
Gede Sutaba dalam Bali Purbakala (1989:66) Sanggah Kemulan berfungsi
sebagai tempat penyatuan antara anggota keluarga yang masih hidup dengan para
leluhur yang sudah tidak lagi ada di dunia nyata. Bentuk Sanggah Kemulan sangat
terikat oleh ketentuan desa kala patra menyesuaikan keadan ekonomi keluarga
dan wangsa dapat dibuat permanen dan juga sederhana. Oleh S.Radakrisnan
(1989:41) dalam bukunya Upanisad-Upanisad Utama I, mengatakan pemujaan
terhadap area, patung atau bentuk tertentu adalah penyucian diri secara nyata
dengan cara memasuki apa yang ada di alam nyata dengan memunculkan
kesadaran diri bahwa badan adalah jiwa dapat menempati ruang dan waktu.
Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat dikembangkan lagi oleh
beberapa ahli masing-masing dengan pendekatannya sendiri-sendiri.
Koentjaraningrat, berpendapat konsep religi dipecah menjadi lima komponen yang mempunyai peranan sendiri-sendiri, tetapi berkaitan erat satu dengan lain. Kelima komponen itu adalah : Emosi keagamaan yang menyebabkan bahwa manusia mempunyai sikap yang serba religi, merupakan satu getaran yang menggerakan jiwa manusia. Sistem keyakinan dalam satu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dan alam gaib, tentang terjadinya alam dan dunia, tentang terwujudnya ciri-ciri kekuatan sakti, rokh nenek moyang, roh alam, dewa dewa. Sistem ritus dan upacara berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, rokh nenek moyang. Dalam ritus dan upacara religi biasa dipergunakan bermacam-macam sarana dan
12
peralatan seperti : tempat atau gedung pemujaan, patung dewa, patung orang suci. Umatnya atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara itu.(1980:81).
Pandangan Blumer (dalam Suprayo dan Tobroni, 2001: 105) bercermin
dan tiga premis yang dirumuskan sebagai berikut ; 1). Bahwa manusia bertindak
terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada suatu itu bagi mereka;
2). Makna tersebut berasal dan interaksi sosial seseorang dengan orang lain; 3).
Makna-makna tersebut disempurnakan pada proses interaksi sosial secara
langsung
Mircea Eliade mengemukakan simbol merupakan satu cara untuk dapat sampai pada pengenalan akan sesuatu yang transenden, setiap tindakan regilius dan setiap pemujaan mengarah pada suatu realitas yang metaempiris, karena inti keagamaan tidak dapat diekspresikan, maka semua upaya semata-mata merupakan perkiraan-perkiraan dan karena itu bersifat simbolik. Sebagai salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda yang ada, makhluk-makhluk gaib dalam pikiran dan para pemeluk agama yang bersangkutan, simbolisme mempunyai potensi besar. (2002:13).
Titib dengan teori simbol juga dapat digunakan di dalam membahas
makna filosofis sanggah kemulan sebagai pemujaan Dewa Fitara atau rokh
leluhur dalam Agama Hindu di Bali. Sebab sistem pemujaan dalam Agama Hindu
banyak mempergunakan simbol-simbol. Karena keterbatasan kemampuan
manusia untuk menghubungkan din dengan k!a Sang Hyang Widhi, maka simbol
dipakai sebagai perantara. (2000:24).
13
Bukti-bukti sejarah mengenai bentuk pemujaan (Sanggah Kemulan) yang
dilakukan oleh R.P.Soejono dalam Disertasinya Sistim-Sistim Penguburan Pada
Masa Akhir Prasejarah di Bali dijelaskan bahwa:
Secara langsung dianalisa dan wujud sarkofagus dan isinya adalah konsep regilius roh, dan bentuk, isi serta orientasi sarkofagus dapat ditarik kesimpulan tentang alam pikiran berkenaan dengan kepercayaan akan adanya suatu kehidupan sesudah kematian. Kehidupan itu berlangsung di suatu tempat yang hams dicapai oleh rokh dengan selamat. Kesejahteraan roh yang berada di alam kehidupan barn mi akan memberikan kebahagian serta kesejahteraan pada orang-orang yang masih hidup. Oleh karena itu seluruh kompleks alam pikiran yang berhubungan dengan dunia kematian mi berintikan pemujaan kepada rokh yang meninggal atau dalam bentuk luasnya berupa pemujaan terhadap arwah leluhur.
Orang yang dikubur dalam sarkofagus dianggap pula akan mengalami kelahiran kembali dalam alam kehidupan baru. Anggapan mi ditampakan oleh sarkofagus yang bidang-bidang atas dan bawahnya dipahat dalam bentuk genitalia wanita yang stilistis serta simetris. Mengandung arti kelahiran kembali, maka genitalia mi juga menjadi lambang penolakan terhadap bahaya dan merupakan lambang kesuburan atau kesejahtraan.
Melihat dan letak sarkofagus ialah sedemikian rupa dimana kepala berada diarah puncak gunung. Orientasi ke arah puncak gunung atau pegunungan dijumpai pada sarkofagus di seluruh Bali. mi memberikan petunjuk, bahwa para pendukung sarkofagus menganggap puncak gunung atau pegunungan sebagai tempat berkumpul arwah orang-orang yang meninggal atau sebagai alam arwah. Gunung-gunung yang pada jaman perundagian sebagai alam arwah di Bali adalah puncak-puncak Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung Payung, Gunung Sanghyang dan beberapa puncak gunung lainnya. (1977.266-267).
Berpegang pada konsep religi tersebut di atas digunakan untuk membahas
permasalahan Makna FilosojIs Sanggah Kern ulan Sebagai Tempat Pernujaan
Leluhur Desa Pakraman Mengwi Kabupaten Badung.
2.2.2 Leluhur
Untuk mengetahui lebih jauh pengertian leluhur diperlukan kajian pustaka
secara menyeluruh meliputi pengidentifikasian penemuan secara sistematis dan
analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan
14
penelitian. Berangkat dan pengertian tersebut di atas, maka penelitian mengenai
Makna Filosojis Sanggah Kemulan Sebagai Tempat Pemujaan leluhur Desa
Pakraman Mengwi yang telah dikenal masyarakat sejak dahulu dan masa
bercocok tanam kemudian berkembang pada masa perundagian, berkembang terus
hingga jaman moderen tahun 2008 ini dapat diuraikan menurut pendapat pada
fakar dalam beberapa buku berikut ini.
Menurut Linus, dalam buku Fungsi Dewa Pitra Pratistha (1986 :12), mengartikan Leluhur secara umum diartikan adalah nenek moyang atau roh nenek moyang yang dianggap berjasa besar terhadap generasi keturunannya. Leluhur dalam pandangan Hindu adalah roh nenek moyang yang telah disucikan, telah melalui proses penyucian upacara agama sudah distanakan di Sanggah Kemulan dan San ggah Paibon. Leluhur dalam pengertian di sini sudah mengabdikan dirinya kepadapara dewa dan berkewajiban melindungi keluarga. Tinjauan dan Segi Arkeologi, menguraikan pemujaan terhadap roth leluhur pada jaman pra Hindu tetap dilaksanakan, kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, pada saat mi salah sath bentuknya di Bali dikenal sebagai upacara penyucian terhadap roth leluhur yang dinamakan Atma Wedana. Atma Wedana adalah upacara pemujaan terhadap roth leluhur yang telah suci dilaksanakan pada suatu tempat pemujaan di lingkungan keluarga yang disebut Sanggah Kemulan (Pemerajan). Dijelaskan bahwa pada jaman neolothik megalithik nenek moyang bangsa Indonesia mempunyai suatu kepercayaan tentang adanya suatu kehidupan yang baru, setelah kematian. Mereka percaya bahwa roth orang yang meninggal itu dapat mengganggu ketenteraman hidup yang sebaliknya dapat dibuatkan perlindungannya terutama yang ada hubungannya dengan pertanian. Agar roth itu tidak mengganggu mereka yang masih hidup, maka rokhnya dipuja dalam bentuk suatu upacara.(Idem,1 9983:8).
Dalam Simposium Internasional Kajian Budaya Austronesia I Mengenang Seabad Wafat Van Der Tuuk yang berjudul Pirata dan Pitara Kebudayaan Bali menguraikan perlunya upacara memukur bertujuan untuk penyucian Pitara sehingga Pitara dapat meningkat dan alam bawah menuju alam tengah/swah. Dengan melaksanakan upacara memukur tersebut Pitara menjadi suci sehingga, dapat meninggalkan alarn bawah menuju alam swah atau alam Dewa. Dengan demikian Pitara disebut sidha dewata atau berhasil menempati alam dewa dan kemudian disebut Dewa Pitara. Oleh karena itu Dewa Pitara adalah Pitara yang telah suci yang telah setara dengan Dewa sehingga disebut Dewata atau Bhatara. (Idem, 1994:33).
15
Menurut Swami Siwananda (1998:107) dalam buku Intisari Ajaran Hindu mengatakan bahwa pemujaan leluhur, guru dewa dan para dewa merupakan pencerminan dan rasa bhakti, hormat dan cinta kasih kepada Tuhan, dan kerinduan yang sangat mendalam untuk dipersatukan. Manfaat pemujaan kepada Tuhan adalah memurnikan hati, membangkitkan getaran-getaran selaras, kemantapan pikiran, memurnikan dan mempertinggi perasaan, menyelaraskan kelima selubung (dosa) dan akhirnya membawa pada penyatuan, persekutuan atau realisasi Tuhan.
Menurut Mariasusai Dhavamony (1995:79) dalam bukunya Fenomenologi Agama menjelaskan bahwa pemujaan leluhur sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Pemujaan leluhur secara langsung ataupun tidak langsung dan orang-orang yang menggantikan kedudukan leluhur atau kepala rumah tangga terluar, dengan roh dan dewa serta pemindahan kepada mereka khususnya tindakan dan sikap regilius yang biasanya diasosiasikan dengan pemujaan roh atau dewa.
Menurut Maswinara (1999:1) dalam bukunya Dewa Dewi Hindu
dijelaskan bahwa kepercayaan kepada para dewa dan dewi telah memenuhi
kebutuhan praktis dalam kehidupan jutaan umat Hindu. Emile Durkheim
(2003:434) dalam The Elementary Form of the Religious Lfe yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjelaskan bahwa adalah satu sistem
ritus, pesta dan ragam upacara yang mempunyai karakteristik yang selalu diulang-
ulang secara periodik. Pemujaan memenuhi keinginan penganutnya secara
periodik untuk mempererat dan memperkuat ikatan antara mereka dan dengan
yang disaknalkan.
Wiana (1998:25), bahwa penyucian roh leluhur adalah upaya untuk
melepaskan ikatan jasmani panca mahabhuta dan suksma sarira (citta, triguna,
dasendriya dan panca tan matra), sehingga Atma hanya memiliki badan astral
disebut Antah Karana Sarira, dengan demikian leluhur adalah Sang Atma yang
16
sudah berupa suksma sarira dapat menyatu dengan leluhur pendahulunya (Dewa
Hyang).
Pemujaan Leluhur di Sanggah Kemulan mengandung makna filosofis
berarti menstanakan Dewa Pitara adalah roh leluhur yang telah mencapai alam
kedewaan untuk dipuja pretisentana/keturunannya. Tradisi demikian merupakan
ajaran Agama Hindu yang diterima secara turun-temurun oleh masyarakat Bali.
Pemujaan Dewa Pitara mi bertujuan untuk membantu manusia menuju
bersatunya Atma dengan Paramatma. Lebih jauh Kt.Wiana (1989:6) dalam
Keputusan Seminar XV Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu
dalam makalah Upacara Nuntun Dewa Hyang juga dijelaskan bahwa adanya
penyucian terhadap rokh leluhur dan mengenal adanya pemujaan berjenjang
sebelum Iangsung memuja Ida Sang Hyang Widhi keluarga terlebih dahulu
melakukan pemujaan kepada rokh leluhur yang telah mencapai alam dewata.
Rokh yang telah mencapai alam dewata itu disebut Dewa Pitara. Dewa Pitara
artinya pitara yang telah mencapai alam dewa. Jadi tujuan ritual dan pada upacara
penyucian rokh leluhur ialah agar leluhur itu dapat diajak kembali ketempat
tinggal bersama keluarga yang masih hidup, ditempatkan di hulu pekarangan
rumah (Pemerajan/Sanggah Kemulan) untuk dipuja dan dimohonkan
perlindungannya. Jikalau rokh itu masih dibelenggu oleh stula sarira dan suksma
sarira maka rokh itu belum dapat dipuja di sanggah kemulan/pemerajan, tetapi
jika sudah dilakukan upacara memukur dan sudah melakukan upacara
ngelinggihang Dewa Hyang, maka sudah dapat diyakini sebagai Dewa atau
17
dewata. Kenyataan mi sudah terjadi pada masyarakat Desa Pakraman Mengwi
Badung.
Menurut Purwita (1988:23) Pemujaan rokh suci leluhur di Bali bukanlah pengaruh Hindu dan India, konsepsi religi yang berwujud pemujaan leluhur adalah unsur ash Nusantara khususnya Bali. Konsep pemujaan leluhur itu kemudian dinuansai oleh pengaruh Hindu, dengan kedatangan Mpu Kuturan dan pemerintahan Erlangga dan Jawa Timur, menjadi tonggak pemersatu adanya sekta-sekta di Bali. Idem (1990:4-5) dalam bukunya Upacara Ngaben menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan dalam satu keseluruhan upacara pitra yadnya yaitu atiwa-tiwa, mamukur dan ngalinggihang dewa pitara. Dijelaskan bahwa atiwatiwa adalah upacara dan tata cara merawat jenazah seperti : memandikan, menggulung, memberi ramuan-ramuan dan sebagainya disebut ngeringkes sampai jenazah dikuburkan makingsan karena ngaben belum dilaksanakan. Ngaben adalah upacara penyucian roh pase pertama dan peleburan jenazah untuk dikembalikan ke Panca mahabhuta-agung. Pada upacara mi terjadi pemisahan purusa dan prakerti orang yang diabenkan dan dikembalikan ke sumbernya masing-masin. Mamukur adalah upacara penyucian rokh pase kedua untuk dapat mencapai swah-loka. Upacara mi disebut upacara maligya dan Ngalinggihang Dewa Pitara adalah atma pratistha.
Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra. III. 192 dijelaskan sebagai berikut:
Akrodhah caucaparah Satatam brahmacarinah Nyasta castra mahabhagah Fitrah purwa dewatah
Terjemahannya:
Rokh leluhur adalah dewa-dewa yang pertama, bebas dan kemarahan Hati-hati terhadap kesuciannya, selalujujur, tidak suka bertengkar dan Kayaakankebajikan(Pudja, 1978: 188).
Pudja (1984:39) dalam bukunya yang berjudul Sradha menjelaskan juga
bahwa tentang adanya berbagai tingkat rokh leluhur dan rokh suci lainnya yang
setingkat dengan Dewa-Dewa ciptaan Tuhan. Preta pada hakekatnya calon
18
Pitara. Preta mi dipandung masih terlalu dekat dengan manusia dan karena itu
digambarkan sebagai hal yang sama dengan rokh-rokh lainnya yang sering
menganggu. Upacara Fitrayadnya juga disebut Pretakrtyani mempercepat
peningkatan keduduknan preta menjadi pitara dan menduduki alam kedewataan
(alam dewa-dewa).
Radhakrisnan (1989:3 1) dalam bukunya upanisad-upanisad Utama Jilid I menjelaskan bahwa Pitara atau ayah atau arwah leluhur, juga dipuja seperti pemuja dewata. Raja dan rokh-rokh leluhur, yang memerintah orang-orang mati adalah Yama dewata yang termasuk dalam jaman Indo-Iran. Beliau bisa disamakan dengan Yima dan Avesta, yaitu keturunan pertama dan manusia sebagai pemuda yang meninggalkan dunia mi dan masuk di kerajaan orang-orang mati, dia menjadi rajanya. Perjalanan arwah dan badan kasar dan telah bermukim dalam bentuk keberadaan yang lain, kemudian kembali kë bentuk manusia dan juga tentang kepastian keadaannya yang akan datang, dalam hal pengertian karma yang mengikutinya.
Singgih Wikarman (1999:4) dalam bukunya Ngaben Sederhana
menyebutkan bahwa Upacara Pitra Yadnya adalah persembahan suci kepada
leluhur, upacara menghormati leluhur dalam tradisi Hindu disebut Saradha.
Leluhur dimaksud ibu bapak, kakek, buyut dan lain-lain yang merupakan garis
keturunan lurus keatas yang menurunkan kita. Utang kepada leluhur disebut Pitra
Rna, utang mi harus dibayar dengan cara melaksanakan Pitra Yadnya, seperti
melaksanakan upacara penguburan (mekingsan di ibu pertiwz) ngaben, memukur
dan sebagainya
2.2.3 Keluarga Hindu
Keluarga Hindu diartikan adalah keluarga yang terdiri dan ayah, ibu, anak
dan anggota keluarga lainnya yang tinggal dalam satu rumah tangga, termasuk
leluhur yang disungsaung di Sanggah Kemulan. Karena itu pengertian keluarga
19
Hindu adalah mencakup anggota keluarga sekala dan niskala para leluhur. Untuk
mendapatkan pengertian yang jelas tentang Keluarga Hindu, perlu masukan
berbagai konsep keluarga, sehingga didapatkan pengertian yang baku.
Joachim Wach (1984 : 152) dalam Ilmu Perbadingan Agama menjelaskan bahwa keluarga adalah merupakan satu kesatuan yang utuh menyangkut kehidupan nyata dan kehidupan alam gaib, karena itu dalam keluarga nyata juga dilakukan pemujaan terhadap rokh sebagai rasa hormat yang mendalam yang dikembangkan menuju titiknya yang tertinggi dan merupakan sebuah pikiran yang kompleks yang tersusun dan rasa cinta, persatuan, kagum dan takut akan kutukan. Karena itu keluarga merupakan suatu kesadaran keberadaan kita dan Tuhan dan penyatuan din kita dalam kecintaan beliau.
Pemujaan terhadap Dewa Pitara di Desa Pakraman Mengwi dilakukan di
sanggah kemulan atau di Pura Paibon yang bentuk bangunannya disebutpelinggih
rong Tiga. Pelinggih mi diyakini sebagai stana : Bapanta, Ibunta dan Raganta.
Apabila yang meninggal adalah laki-laki maka ditempatkan pada sisi kanan dan
rong telu, disebut Bapanta, apabila perempuan maka ditempatkan pada sisi kin,
disebut Ibunta, keduanya agar dapat menyatu dengan para leluhur pendahulunya
yang disebut Raganta. Keyakinan seperti mi adalah warisan leluhur, karena itu
bentuk-bentuk pelinggih yang ada adalah juga simbol-simbol yang diyakini
memiliki kekuatan gaib dan. dianggap suci karena itu disucikan dan disunggung
serta dilakukan pemujaan disebut upacara piodalan, agar terjajalin penyatuan
antara ibunta, bapanta dan raganta dengan anggota keluarga yang sesungguhnya.
Dalam mendalami ajaran Hindu pemahaman seperti mi sudah memasyarakat,
lebih-lebih pada masyarakat Desa Pakraman Mengwi bahwa pengenalan akan
adanya simbol-simbol untuk pemujaan sudah merupakan warisan nenek moyang.
20
Simbol tersebut dipakai untuk mengacu pada banyak ha! sehingga mempunyai
makna yang sangat luas. Pengertian leluhur yang disebut Dewa Pitara yang
disungsung di Sanggah Kern ulan juga dikemukakan oleh berbagai ilmuwan
diantaranya oleh : Paul Tillich sebagaimana dikutip oleh Wach (1984:5 1) dalam
bukunya Ilmu Perbandingan Agama dikatakan bahwa dewa-dewa adalah juga
wujud roh leluhur dalam hubungan yang terjalin sangat erat, terjalin hubungan
yang melampaui hubungan biasanya, antara manusia dengan manusia.
Dalam Isa Upanisad, Gde Pudja (1976:29) memberi uraian manusia setelah mati rohnya disebut Preta, pitara atau pitra. Pitra mi dikaitkan dengan Yadnya menjadi Pitra Yadnya yang artinya merupakan suatu pembayaran hutang atau persembahan kepada leluhur. Rokh dalam tingkatan sebagai Pitara meskipun sudah disucikan tetapi belum lepas kaitannya dengan dunia manusia. Pitara inilah yang dibuatkan lambang dalam bentuk arca tidak beratribut dewa dan mendapatkan sebutan betara-betari. Sedangkan tingkatan rokh sebagai dewata karena kedudukannya suci setara dengan para dewa.
Hardiati Soekatno (1993:123) dalam Disentrasinya yang berjudul Arca
Tidak Beratribut Dewa Di Bali Sebuah Kajian Ikonografis dan Fungsional
mengatakan bahwa kecuali memuja dewa-dewa pantheon Hindu maupun Buddha,
berdasarkan prasasti diketahui bahwa masyarakat Bali juga mengenal pemujaan
roh yang desebut bhatara, seperti bhatara Da Tonta, Bhatara Mandul, Bhatara
Bukit Hurnitang. Para bhatara mi diyakini sebagai jelmaan manusia sakti atau
manusia yang memiliki pengaruh besar pada kehidupan lampau, sampai sekarang
masih disucikan keberadaannya terutama oleh keturunannya.
Titib dalam leon Simbol menyebutkan Ida Sang Hyang Widhi dalam
agama Hindu disebut dengan berbagai nama disebut Brahman merupakan asal
mula segalanya konsep mi sebagai parameter way of life berpusat pada Brahman
21
sebagai realitas ultimate, dan Atman sebagai inner dalam manusia (2001:1 1).
Oleh Paul Tillich (2002:4) dalam Teologi Kebudayaan menjelaskan bahwa kritik
keyakinan ilmiah dan teologi mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia
dengan Tuhan yang eksis, sehingga agama merupakan aspek jiwa manusia.
Bahwa dalam Isa Upanisad sloka 1 memberi ide dasar akan budaya idaman
tersebut, Selengkapnya dipetikan seperti berikut:
Isawasyam idarn sarwam yatkinca yagatmyanjagat, Tena tyaktena bhunjitha ma gradhan kasya swid dharnam.
Terjemahan:
Sesunguhnya apa yang ada di dunia mi, yang berjiwa ataupun tidak berjiwa, Dikendalikan oleh Isa (Yang Maha Esa), oleh karena itu orang hendaknya menerima apa yang perlu dan diperuntukan baginya tidak menginginkan milik yang lain (Pudja, 1976:2 1).
Berdasarkan konsep teologi yang telah dijabarkan di atas, satu sama lain
pada hakekatnya mempunyai arti yang sama yaitu ilmu tentang Tuhan Yang Maha
Esa dan konteksnya adalah aspek-aspek ajarannya. Dengan demikian konsep
tersebut sangat berguna dalam penelitian in Karena dalam pendekatan makna
filosofis bertujuan untuk mencari pembenaran dan suatu ajaran agama atau bentuk
peninggalan seperti San ggah Kern ulan yang diyakini sebagai peninggalan
budaya agama. Dalam hal mi mencari pembenaran tekstual (normatif) dengan
kontekstual (kenyataan) seperti pemujaan terhadap leluhur atau Dewa Pitara di
Sanggah Kemulan.
22
Pengertian keluarga secara umum adalah kumpulan beberapa orang, di
dalamnya terdapat suami, istri, anak-anak dan pembantu serta anggota keluarga
lainnya. Dalam kehidupan nyata keluarga besar adalah juga termasuk mertua,
menantu, kakek nenek dan anggota keluarga lainnya yang menjadi bagian dan
keluarga besar. Keluarga besar dipimpin oleh seorang kepala keluarga, biasanya
adalah laki-laki. Kepala keluarga bertanggung-jawab atas kelangsungan hidup
anggota keluarga secara lahir dan bathin. Kepala keluarga bertanggung jawab
dalam hubungan keluar dengan keluarga lainnya. Sedangkan hubungan ke dalam
biasanya diserahkan kepada sang istri.
Dalam penelitian mengenai keluarga Hindu di Desa Pakraman Mengwi
Badung, keluarga dimaksud adalah keluarga kecil dan keluarga besar yang sudah
memiliki San ggah Kern ulan dan dapat melaksanakan aktivitas agama dengan
berorientasi pada ajaran agama, budaya Bali dan ketentuan desa kala patra.
Keluarga yang menjadi sorotan di sini adalah keluarga besar, yang bertempat
tinggal dalam wilayah desa dan menjadi bagian dan masyarakat desa yang disebut
krarna desa ngarep.
2.3 LandasanTeori
Untuk menggali pengertian San ggah Kern ulan secara luas, akan
digunakan beberapa teori para ilmuwan yang sudah terkenal di samping itu perlu
juga dipahami beberapa teori pendukung untuk melengkapi pengertian mengenai
Sanggah Kernulan. Kajian pendidikan terhadap makna filsafat Sanggah Kernulan
sebagai tempat pemujaan leluhur Desa Fakraman Mengwi dikaji yaitu melalui
23
analisis bentuk, fungsi dan makna agama dan budaya, serta perkembangan
ekonomi masyarakat dalam hubungannya dengan perkembangan jaman dewasa
ini. Sehubangan dengan maksud di atas penelitian mi mencoba menggunakan tiga
teori diantaranya:
2.3.1 Teori Rilegi
Teori rilegi adalah sebuah review karya Marie Jean Guyau yang
menjelaskan bahwa relegi timbul dan dua sumber: 1. Kebutuhan intelektual untuk
mengerti dunia di sekeliling kita; 2. Kebutuhan praktis akan sosialbilitas (dalam
Imam Muhni, 2003:46). Oleh Durkheim, teori ini ditegaskan lagi bahwa
sebenarnya antara relegi dan kebutuhan sosial manusia sangat berkaitan, dalam
kehidupan sosial, praktik rilegi dapat dilakukan manusia karena kebutuhan
mendasar akan kedamaian, perlindungan dan kejernihan pikiran. Dan segi budaya,
bahwa aspek rilegi dapat divisualisasikan ke dalam berbagai bentuk budaya, seni
dan kreativitas keilmuan. Dalam perjalanan menyatukan rilegi dan budaya
awalnya memang tidak menemukan bentuk dewa-dewa dan manusia baru
menghubungkan dengan ide aktivitas sosial, namun setelah melalui pendalaman
yang berkelanjutan, manusia dapat menemukan bentuk dewa-dewa yang membuat
pikirannya sangat sangat tertarik untuk memuja dan mencintai serta melayani
dengan sepenuh hati. Bagi kelompok-kelompok masyarakat yang cara hidupnya
masih sederhana, memang religi masih ditingkat keyakinan dalam pikiran sebagai
surnber inspirasi dan aktivitas sosial, rilegi dalam masyarakat seperti ini
merupakan cermin kehidupan berdampak mengendalikan egoisme, mendorong
manusia untuk berkurban dan menolong sesama tanpa pamrih. Lebih lanjut
24
menurut Durkeim, bahwa rilegi dapat memimpin hidup dan dapat berkomunikasi
dengan dewanya, dalam arti melakukan pemujaan bukan hanya dapat melihat
kebenaraan, melainkan hidup menjadi lebih kuat. Ia merasakan ada kedamaian
batin dan kegembiraan rohaniah. Durkheim mengutarakan dengan gigih bahwa
kehadiran rilegi merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan
suatu masyarakat. Dijelaskan pula bahwa sinergi kerja antara hewan dengan
manusia, tentang roh dan dewa-dewa adalah terkiasifikasi dalam upacara-upacara
rilegi. Penjelasan dan teori mi dapat dilihat pada kehidupan masyarakat Desa
Fakrarnan Mengwi, bahwa tradisi membangun sanggah kernulan sebagai
penyungsungan leluhur masih sebatas pemujaan, memohon perlindungan agar
hidup menjadi lebih baik, lebih sejahtera. Bentuk permohonan seperti mi masih di
tingkat pemikiran dan ucapan belum dalam bentuk tindakan. Bila sudah dalam
bentuk tindakan, maka keberadaan sanggah kern ulan di tiap-tiap keluarga adalah
bagian dan kehidupannya, sehingga segala aktivitas hidup keluarga menjadi
bagian dan kehidupan leluhur, keduanya menyatu dalam satu kesatuan kehidupan
nyata.
Pendapat di atas, dipertegas oleh Smith bahwa agama dibentuk oleh
serangkaian tindakan dan konsep yaitu tampilan yang tepat dipandang dapat
menjaga dewa-dewa, keberadaan agama tidaklah ditunjukan untuk memelihara
jiwa akan tetapi untuk menjaga kelestarian kesejahteraan masyarakat. Agama
kuno tidak lain dan bagian dan tatanan sosial yang lebih besar mengidentikkan
dewa dan manusia (dalam Turner, 2003:80). Teori tersebut menjelaskan bahwa
ada satu hal yang selalu ada dalam segala macam gagasan dan penilaku manusia
25
yaitu perasaan atau hati nurani bahwa hal-hal yang berkaitan dengan agama itu
bersifat keramat. Berbeda dengan hal-hal yang tidak bersangkutan dengan agama,
yaitu yang bersifat biasa. Dengan demikian rilegi itu adalah suatu sistem berkaitan
dan keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat. (Koentjaraningrat,
1980:94). Teori mi dapat bersifat permanen karena : manusia mulai sadar akan
adanya konsep roh, manusia mengakui adanya berbagai gejala yang tak dapat
dijelaskan dengan akal pikiran sehat. Bahwa keinginan manusia untuk
menghadapi berbagai krisis yang senantiasa dialami di dalam dan di luar
hidupnya, adanya kejadian-kejadian luar biasa, adanya getaran emosi berupa rasa
kesatuan yang timbul dalam jiwa, manusia menenima suatu firman dan Tuhan.
Teori mi dipakai untuk menganalisa permasalahan mengenai bentuk dan makna
filsafat San ggah Kern ulan sebagai pemujaan leluhur atau Dewa Pitara. Teori
nilegi yang dikemukakan oleh Durkheim, Tylor dan Koentjaraningrat mempunyai
bahasan yang sangat mendalam tentang pengakuan terhadap adanya rokh maupun
dewa, adanya upacara regili serta da upaya untuk menjadikan bagian dan
kehidupan nyata. Dalarn memandang agama sebagai suatu sistem kepercayaan
dan praktek yang berhubungan dengan sesuatu yang suci (sacral), yang
mempersatukan pemeluknya menjadi komonitas moral yang tunggal.
2.3.2 Teori Fungsional
Oleh Pursen, kata fungsi selalu menunjukan kepada pengaruh terhadap
sesuatu yang lain, sehingga kata fungsional tidak berdiri sendiri, tetapi justru
dalam suatu hubungan dengan benda atau kejadian tertentu sehingga memperoleh
arti dan makna. Pemikiran fungsional menyangkut hubungan, pertautan atau relasi
26
antara suatu benda dengan pengguna benda itu, antara manusia dengan benda atau
antara manyusia dengan kelompok manusia lain. Teori fIingsional menyadarkan
bahwa alam pikiran manusia selalu mengandung aspek fungsional, apabila cara
berfikir mi dapat memperlancar perbuatan dan pola kehidupan manusia, maka
teori mi dapat berkelanjutan. Sebagaimana dijelaskan oleh Robert. K.Merton
bahwa hampir semua penganut Teori Fungsional mi cenderung untuk
memusatkan perhatian kepada fungsi dan suatu fakta sosial yang lain. Fungsi
adalah akibat-akibat yang dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian
dalam satu sistem. Oleh Malinowski mengemukakan bahwa gejala budaya harus
dipahami melalui bentuk dan sekaligus fungsinya; bahwa fungsi berarti
pemenuhan kebutuhan, baik yang biologis, kemasyarakatan, maupun simbolik
(dalam Sedyawati, 1985:49).
Teori fungsional sebagaimana dikutip oleh Ishomuddin (2002:134-135) dalam bukunya Sosial Agama bahwa teori memandang sumbangan agama terhadap masyarakat dan kebudayaan berdasarkan atas karakteristik penting, yakni transendensi pengalaman sehari-harinya dalam lingkungan alam. Mengapa manusia membutuhkan sesuatu yang transendens, yaitu pengalaman sesuatu yang berada di luar dunia empiris. Teori fungsional memandang kebutuhan demikian itu sebagai basil dan tiga karakteristik dasar eksistensi manusia yaitu 1). Hidup dalam kondisi ketidak pastian, hal yang sangat penting bagi keamanan dan kesejahteraan manusia berada diluar jangkauan, 2). Kesangupan manusia untuk mengendalikan dan untuk mempengaruhi kondisi hidup, walaupun kesanggupan tersebut kian meningkat, namun pada dasarnya terbatas, 3). Manusia harus hidup bermasyarakat dan suatu masyarakat merupakan suatu alokasi yang teratur dan berbagai fungsi, fasilitas dan ganjaran. Lebih lanjut dikatakan bahwa Teori fungsional menyatakan manusia tidak saja membutuhkan jawaban masalah makna dan sudut orientasi kognitif terhadap dunia, tetapi juga melaksanakan kebutuhan dan masuk kedalam hubungan-hubunganya. Inilah aspek penting dan sebagian besar agama yaitu menawarkan ritus dan liturgay, yang mungkin manusia memasuki hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau kekuatan-kekuatan suci
27
lainnya dan yang memungkinkan mereka bertindak memberikan tanggapan dan merasakan keterlibatannya dalam hubungan-hubungan tersebut.
Penggunaan teori fungsional untuk menganalisa masalah fungsi sanggah
kern ulan sebagai tempat pemujaan leluhur (Dewa Pitara) adalah keberangkatan
dan fungsi agama ditinjau dan kajian filosofis. Pemujaan terhadap leluhur tidak
dapat berdiri sendiri karena memerlukan dukungan sosial, ekonomi dan tingkat
pendidikan keluarga.
2.3.3 Teori Simbol
Ada tiga prinsip dasar yang dikembangkan Teori Simbol Sunyoto yaitu
1). Individu dapat menyikapi suatu atau apa saja yang ada di lingkungannya
berdasarkan makna sesuatu tersebut bagi dirinya, 2). Makna tersebut diberikan
simbul berdasar interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain dan 3). Makna
tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretative
yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya (2000:28).
Menurut Underhill, simbol adalah gambaran penting yang membantu jiwa
dalam melakukan pemujaan untuk memahami realitas spritual (dalam Wach,
1984:93). Sedangkan menurut F. Bevan mengatakan penelitian kita terhadap
simbol-simbol agama menunjukan bahwa simbol-simbol yang digunakan oleh
manusia untuk rnengungkapkan pikiran mengenai Tuhan, sebagian diambil dan
dunia materi yang dapat didekati dan sebagian diambil dan kebiasaan hidup
seperti rasa emosi yang berlebihan, perbuatan-perbuatan di luar kebiasaan dan
nilai karakteristik manusia itu sendiri. (dalam Wach, 1984:93).
Titib, mengatakan simbol berasal dan bahasa Greek, “sum-ballo” yang mengandung arti saya bersatu bersamanya atau penyatuan bersama, dijelaskan
28
bahwa dalam bahasa Sansekerta kata simbol adalah “pratika” yang mengandung arti yang datang kedepan atau yang mendekati. Sebagaimana pendapat Swami Siwananda menambahkan bahwa simbollpratima atau merupakan pengganti bahwa gambar atau arca pada sebuah pura, walaupaun terbuat dan batu, kayu, kertas atau logam sangat berharga bagi penyembah (2001:64).
Dalam Agama Hindu banyak dijumpai adanya simbol-simbol dalam
hubungannya dengan pemujaan para dewa atau Ida Sang Hyang Widhi. Untuk
memahami simbol-simbol keagamaan, Mircea Eliade menyatakan bahwa kunci
pertama untuk memahami simbol-simbol keagamaan adalah bagaimana agar
dunia berbicara dapat mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran din manusia
melalui simbol-simbol dan bukan dalam bahasa obyektif. Simbol keagamaan
mampu mengungkapkan suatu moralitas dan sesuatu yang tidak nyata atau suatu
struktur dunia yang tidak nampak ke dalam pengalaman langsung.
Clifford Geertz mengatakan tentang simbol adalah sebuah sistem simbol
yang berperan membangun perasaan dan motivasi yang berpengaruh, meliputi dan
abadi dalam din manusia, dengan jalan merumuskan konsepsi-konsepsi tentang
suatu tatanan umum keberadaan dan membungkus konsepsi-konsepsi itu dengan
suatu pancaran faktualitas sehingga perasaan dan motivasi itu terlihat secara unik
realitas (dalam BeIlah, 2000:17).
Yuda Tri Guna memberikan makna simbol adalah bagian dan dunia makna yang berfungsi designator, Simbol tidak memiliki kenyataan fisik atau substansial, tetapi hanya memiliki fungsional. Lebih lanjut dijelaskan secara ontologi pengertian simbol dalam perspektif pertama berkaitan dengan yang permanen, dalam arti yang disatukan adalah yang ada dalam manusia saja. Sedangkan dalam persepektif kedua bahwa simbol merujuk kepada hal yang trasenden yang mengatasi objektivitas bahwa jika berbicara tentang simbol senantiasa berhubungan dengan adanya dialog manusia dengan yang lain. Dengan demikian simbol tidak saja berdimensi horizontal (irnanen), tetapi juga
29
berdimensi vertikal (transenden). Ada empat peringkat simbol, yaitu (1) Simbol kontruksi yang berbentuk kepercayaan dan biasanya merupakan inti dan agama; (2) Simbol evaluasi berupa penilaian moral yang sarat dengan nilai, norma dan aturan; (3) Simbol kognisi berupa pengetahuan yang dimanfaatkan manusia untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas dan keteraturan agar manusia lebih memahami lingkungannya ; (4) Simbol ekspresi berupa pengungkapan perasaan (2000:3 5).
Penggunaan teori simbol di atas adalah untuk menganalisa masalah makna
filosojis Sanggah Kern ulan sebagai tempat pernujaan leluhur masyarakat Desa
Pakrarnan Mengwi, dimana sanggah kernulan adalah juga simbol leluhur
(Bapanta, Ibunta dan Raganta) sebagai bagian dan kehidupan keluarga Hindu.
2.4 Metoda Penelitian
Metoda penelitian adalah cara atau metode yang digunakan peneliti dalam
rangka menggali data, menganalisa dan menyusun ke dalam bentuk tulisan.
Tulisan dimaksud hanus memenuhi persyaratan yaitu sistematis dan deskriptif.
2.4.1 Metoda Pengumpulan Data
Sehubungan dengan penelitian Makna filosofis Sanggah Kernulan Sebagai
Pernujaan Leluhur Desa Pakrarnan Mengwi maka pengumpulan data yang
digunakan adalah:
1) Observasi. .
Observasi menurut Marsuki (1977:58), Observasi diartikan melakukan
pengamatan dan pencatatan langsung terhadap gej ala atau fenomena yang
diselidiki. Observasi bertumpu pada mekanisme pengamatan Iangsung dan
tidak langsung. Oleh Riyanto (1996:77) Observasi dapat dilakukan penelitian
secara langsung dan dapat pula secara tidak langsung karena kejadiannya
30
sudah lewat. Oleh Sutrisno Hadi (1987:14) Observasi yang bertumpu pada
tujuan yang jelas akan menghasilkan data yang lebih akurat dan terencana. Di
Desa Pakraman Mengwi, observasi dilakukan terhadap bentuk Sanggah
Kemulan keluarga inti, keluarga barn, tata ruang desa dan lingkungan desa
serta keberadaan Pun Agung Mengwi sebagai padma bhuwana Desa
Pakraman Mengwi.
2) Wawancara
Wawancara dilakukan guna mendapatkan keterangan atau informasi
secara lisan dan seseorang responden, dengan bercakap-cakap berhadapan
muka dengan orang itu (Koentjaraningrat, 1977:162). Dengan demikian
wawancara adalah percakapan Iangsung antara pewawancara dengan yang
diwawancarai. Dalam penelitian wawancara dilakukan dengan Bendesa adat,
klian adat, warga desa, para ilmuwan dan fakar agama di Desa Pakraman
Mengwi. Wawancara dilakukan guna mendapatkan keterangan yang
sesungguhnya dan keadaan sebelum diketahui sampai sekarang, sehingga
informasi yang diberikan lebih lengkap dan jelas.
Mencermati uraian di atas, dapatlah digambarkan bahwa observasi dan
wawancara yang dilakukan adalah pengamatan langsung pada lokasi penelitian,
yaitu di Desa Fakrarnan Mengwi, dengan melihat-lihat bentuk sanggah kemulan,
lokasi Sanggah Kern ulan dan keadaan desa dan mengadakan wawancara dengan
tokoh masyarakat, krarna desa dan informan lainnya maka sudah tergambar
dalam ingatan mengenai bentuk dan keberadaan Sanggah Kernulan yang diteliti.
31
3) Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan atau dokumentasi kepustakaan dilakukan bertujuan
untuk mendapatkan berbagai pengetahuan pustaka, buku cerita yang ada di
perpustakaan. Menurut lB. Netra, (1974:79) dikatakan bahwa pencatatan data
adalah cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan
segala macam dokumen, dengan pencatatan yang sistematis. Dalam
pelaksanaan penelitian, penulis pengumpulan berbagai buku yang
berhubungan dengan Sanggah Kernulan, Bentuk-Bentuk Pemujaan dan buku
pengetahuan Agama Hindu, brosur yang berhubungann dengan Desa
Pakraman Men gwi dan berbagai Ilmu Pengetahuan lainnya yang di dapatkan
dan berbagai perpustakaan.
2.4.2 Metode Anaalisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis Makna Filosofis Sanggah
Kernulan Sebagai Bentuk Pemujaan Leluhur Desa Fakrarnan Mengwi adalah
analisis deskripsi. Metode analisis deskriptif diartikan sebagai cara analisis data
penelitian dengan jalan menganalisa data penelitian dengan jalan mereduksi atau
menguji kebenaran data, mendiskripsikan data, menyusun secara sistematis
menurut kerangka yang telah ditentukan, mulai dan bab pendahuluan sampai bab
penutup, menetapkan metode yang digunakan, melakukan pembahasan hasil
penelitian hingga diperoleh kesimpulan. Kesimpulan mengenai Makna Filosofis
Sanggah Kemulan itu adalah sebagai tempat pemujaan leluhur yang disebut Dewa
Pitara yang merupakan bagian dan kehidupan keluarga Hindu, disucikan dan
dihormati serta untuk dilestarikan.
32
2.5 Kerangka Berpikir
Bagannya dapat digambarkan sebagai berikut
Keterangan Gambar:
Untuk memahami kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi yang tiada
terbatas, maka pengetahuan dapat mengambil jalan yang berjenjang melalui
pemujaan leluhur di Sanggah Kemulan di tiap-tiap keluarga. Sanggah Kemulan
difungsikan sebagai tempat memuja leluhur bermakna persatuan karena secara
sekala anggota keluarga nampak bersatu memuja leluhur di Sanggah Kemulan
dan secara niskala, para leluhur dapat menyatu dengan pendahulunya (Ibunta dan
Bapanta menyatu dengan Raganta). Juga bermakna pendidikan karena kegiatan
dharma wacana, dharma tula dan dharma santhi dapat dilakukan di tempat mi.
Semua tindakan agama dimaksud sebagai wujud bakti dan kesetiaan (sradha).
33
Ida Sang Hyang Widhi
Sradha Sanggah Kemulan Pemuja Leluhur
Upacara Agama
Keluarga Hindu
Bagi keluarga Hindu tradisi seperti mi memberikan pendidikan moral yang
sangat berarti bagi kehidupan dunia, karena hidup tidak boleh lepas dan petunjuk
Leluhur, Ida Bhatara atau Ida Sang Hyang Widhi. Cara berbakti seperti ini
adalah sudah tradisi budaya masyarakat Bali, dengan menyertakan upakara
(banten) berarti sudah lengkap sradha pemujaan secara sekala niskala.
Di dalam lingkungan keluarga Hindu, leluhur juga distanakan di Pura
Paibon/Dadia. Di pura mi masyarakat penyungsungnya lebih banyak, lebih jelas
untuk diketahui bahwa kedudukan leluhur disejajarkan dengan Ida Bhatara, para
dewa, untuk menuju Ida Sang Hyang Widhi, beliau yang maha kuasa. Bentuk
upakara/banten yang digunakan lebih lengkap, waktu pelaksanaannya lebih lama,
biasanya dipuput oleh Ida Pedanda.
2.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan telah menggunakan metode yang baku, isinya
terbagi ke dalam bab mencakup : Bab I Pendahuluan dengan sub bab : Latar
Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan
Penelitian, Signifikansi Penelitian. Bab II Kajian Pustaka, Definisi Konsep,
Landasan Teori, Metode Penelitian, Kerangka Berpikir dan Sistematika Penulisan.
Dengan sub bab Kajian Pustaka, Definisi Konsep, Landasan Teori, Metode
Penelitian, Kerangka Berpikir dan Sistematika Penulisan. Bab III Nilai-Nilai
Pendidikan Agama Hindu Sanggah Kemulan, Sebagai Tempat Pemujaan Leluhur
Bagi Keluarga, dengan sub bab meliputi : Nilai Pendidikan Agama, Nilai
Pendidikan Nasional dan Nilai Budaya. Bab IV. Makna Filosofis Sanggah
34
Kemulan Desa Pakraman Mengwi, dengan sub bab mencakup Desa Pakraman
Mengwi, San ggah Kemulan Bermakna Persatuan dan Sanggah Kern ulan
Berrnakna Pendidikan Agama Hindu. Bab V. Penutup berisikan Kesimpulan dan
Saran, dilengkapi Daftar Pustaka dan Daftar Informan.
35
BAB III
IDENTIFIKASI DAERAH PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Lingkungan Alam Desa Pakraman Mengwi
Desa Pakraman Mengwi terletak di Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung Propinsi Bali. Desa Pakaraman Mengwi mi dapat dicapai melalui jalur
darat jurusan Denpasar Singaraja, dan Kota Denpasar berjarak kurang lebih 20
km. Desa Pakraman Mengwi termasuk wilayah yang beriklim tropis dimana
curah hujannya kurang lebih 18,76 mni/tahun. Desa mi terletak di ketinggian 500
m dan permukaan laut, luas desa mencapai 378 km. Desa Pakraman Mengwi
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut
a. Di sebelah Utara: Desa Werdi Bhuwana
b. Di sebelah Timur: Desa Gulingan
c. Di sebelah Selatan : Desa Mengwitani
d. Di sebelah Barat: Desa Abiantuwung
Adapun wilayah palemahan Desa adalah sebagai berikut : di bagian Utara
merupakan tanah persawahan, termasuk subak Tinjak Menjangan, di bagian
Timur dibatasi dengan tukad Yeh Taep, di bagian Selatan merupakan tanah
persawahan yang terdiri dan subak Ujung Kiod, di bagian Barat dibatasi dengan
Tukad Yeh Dan gin Carik Padang.
Desa Pakraman Mengwi terdiri dan 11 banjar adat yaitu : Banjar Batu,
Banjar Gambang, Banjar Pande, Banjar Serangan, Banjar Munggu, Banjar
Pandean, Banjar Peregai, Banjar Lebah Pangkung, Banjar Alang Kajeng, Banjar
36
Pengiasan, Banjar Delod Bale Agung. Kesebelas banjar tersebut tergabung dalam
Desa Pakraman Mengwi. Lingkungan alam desa ini sebenarnya adalah desa
pedalaman, dikelilingi sawah dan ladang yang subur, namun karena dulu adalah
pusat kerajaan dan sekarang menjadi pusat kota Kecamatan Mengwi, maka
modernisasi lingkungan desa berubah menjadi kota, dimana pusat-pusat pertokoan
dan pasar serta tempat keramaian merata di wilayah desa.
Munculnya desa adat atau desa pakraman di Bali sebagai lembaga sosial
riligius Hindu atau lembaga sosial keagamaan Hindu di tingkat desa yang
fungsinya untuk menata, mengatur dan membina kehidupan sosia desa, terutama
di dalam menegakkan ajaran-ajaran Hindu yang meliputi : tattwa, susila dan
upacara agama atau Upakara Yadnya (Surpha, 1993:47).
Jadi desa pakraman merupakan lembaga adat dan sekaligus lembaga
keagamaan Hindu di tingkat desa, yang fungsinya menegakkan adat istiadat dan
Upacara keagamaan. Pemimpin Desa Pakraman adalah Guru artinya orang yang
dituakan karena kemampuannya memimpin, keturunan dan karena petunjuk Ida
Sang Hyang Widhi dalam upacara Nyanjan, mapinton di Pura Baleagung yang
diselenggarakan krama desa guna mendapatkan pemimpin yang sejati. Pemimpin
desa Pakraman yang disebut Bendesa Adat memegang teguh Awig-Awig Desa,
perarem dan peswara dalam melaksanakan pemerintahan. Awig-awig desa harus
mengkaper tiga aspek dasar kepemilikan desa meliputi : parhyangan, pawongan
dan palemahan desa. Di desa Pakraman Mengwi prinsip dasar yang dipegang
teguh dalam menata masyarakat desa mencakup : Kerukunan artinya kehidupan
yang rukun dalam warga, di dalam banjar ataupun antar banjar dalam satu desa,
37
istilah yang digunakan adalah saling asah, saling asih saling asuh, salunglung
sabayantaka. Keselarasan artinya kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang
antara kebutuhan material dan spiritual, kehidupan briuk sapanggul. Kepatutun
artinya prinsip demokrasi dalam mencapai musyawarah mufakat adanya paras
paros, ngawe sukaning wong len. (Monografi Desa, 2000 :8).
Dengan pedoman di atas, Bendesa adat dapat mengatur wilayabnya
utamanya tradisi beragama untuk dapat tumbuh subur dan bertahan sepanjang
masa di tengah-tengah perkembangan zaman. Pengurus desa adat didukung oleh
krama desa sebagai bala-bala desa, dimana tugas utamanya yaitu memimpin dan
mengurus kekayaan desa, sekeha-sekeha desa dan potensi desa serta melestarikan
budaya Bali. Lingkungan alam Desa Mengwi memang asri, rindang dan terkesan
desa maju, karena penataan tata ruang yang demikian teratur dengan Pun Agung
Mengwi sebagai pusat pemerintahan.
Dalam menata Desa Pakraman ada prajuru desa, dimana tugas Prajuru
Desa Adat menurut Perda Propinsi Bali Nomor. 06 tahun 1986. Bab VI pasal 11
adalah sebagai berikut:
a. Melaksanakan awig-awig Desa Adat. b. Mengatur upacara keagamaan bagi Desa Adat sesuai dengan sastra
agama. c. Mengusahakan perdamain dan penyelesaian terhadap sengketa adat. d. Mengembangkan kebudayaan daerah dengan upaya melestarikan
kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya khasana Kebudayaan Nasional.
e. Membina dan mengkoordinasikan masyarakat hukum adat mulai dan keluarga berdasarkan adat istiadat yang berlaku pada setiap Desa Adat, guna meningkatkan kesadaran sosial dan semangat gotong royong.
38
f. Mewakili desa adat dan bertindak atas nama dan untuk desa adat atau dalam segala perbuatan hukum di dalam dan di luar masyarakat dalam segala perbuatan hukum di dalam dan diluar peradilan.
g. Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan harta pusaka Desa Adat (Surpha, 1993:56).
Mengingat demikian berat tugas-tugas yang dipikul prajuru desa, maka
Desa Adat selalu berusaha untuk memiliki prajuru desa yang disegani disamping
itu perlu diperhatikan kecakapan dalam bidang adat istiadat dan pengetahuan di
bidang upacara keagamaanfupacara Panca Yadnya serta berkepribadian yang
dapat diteladani oleh warganya.
Budaya Bali yang berpegang pada unsur Tn Hita Karana, Desa Pakraman
Men gwi menata masyarakatnya berlandaskan konsep dualisma, yaitu konsepsi
akan adanya dua hal yang berlawanan yang mempunyai arti penting berkaitan
dengan kepercayaan orang Bali. Konsep dualisma tersebut terwujud dalam tata
arah yaitu : kaja-kelod (utara-selatan), yang berkaitan dengan gunung laut,
luanteben, sekala-niskala, suci tidak suci dan sebagainya. Segala sesuatu yang
dikategorikan suci dan bernilai sakral akan menepati letak bagian kaje (utara),
luanan, seperti letak San ggah Kemulan di tiap-tiap keluarga, diartikan mengarah
ke gunung seperti Gunung Agung dengan Pura Besakih. Sebaliknya sesuatu yang
dikategorikan nista, leteh atau tidak suci akan menepati letak bagian kelod
(selatan) dan mengarah kelaut, seperti : letak kuburan, letak kandang, tempat
pembuangan sampah dan sebagainya. Dalam pandangan orang Bali, arah gunung
disebut kaje dan arah laut disebut kelod. Dengan demikian, untuk orang Bali kaje
39
berarti utara, sedang pengecualian untuk orang Bali utara (Buleleng) kaje itu
berarti gunung.
Mengingat penelitian berlokasi di Desa Paicrarnan Mengwi dan yang
menjadi pokok pembahasan adalah makna Filosofis Sanggah Kemulan menurut
hukum Tri Hita Karana. Karena ajaran Tri Hita Karana merupakan landasan
filosofis dan lahirnya Desa Adat di Bali. Bahwa dengan dibakukannya lokasi
Sanggah Kemulan di hulu pekarangan, menandakan sebagai tempat suci, disebut
utama mandala, sedangkan rumah tinggal disebut madya mandala dan tempat
pembuangan sampah atau teba disebut nista mandala. Pembanguan tata ruang
pekarangan seperti ini betul-betul dijiwai oleh agama Hindu.
Dari segi arsitektur tradisional Bali, relief Sanggah Kemulan
menggunakan khas Bali seperti bunga-bungan, wayang-wayangan yang
menggambarkan para dewa (dewata nawa sanga) serta hiasan lainnya, namun
juga sudah menerima pengaruh budaya china seperti adanya ukiran barong sae,
keta mesir semua ini membuat suasana menjadi semakin harmonis dan religius.
Jadi ajaran Agarna Hindu betul-betul mendasari tata kehidupan warga
Desa Pakraman Mengwi. Penerapan ajaran Tri Hita Karana dalam kehidupan
Umat Hindu menyangkut : hubungan antara manusia dengan Ida Sang Hyang
Widhi yang diwujudkan dalam pelaksanaan upacara Dewa Yadnya, hubungan
manusia dengan alam lingkungan diwujudkan dalam pelaksanaan upacara Bhuta
Yadnya, hubungan manusia dengan sesamanya manusia atau masyarakat,
diwujudkan dalam pelaksanaan upacara Rsi Yadnya, Manusa Yadnya dan Pitra
Yadnya. Perwujudan dan pada unsur-unsur Tn Hita Karana dijumpai dalam
40
bentuk Parhyangan, Palemahan dan Pawongan. Apabila ketiga perwujudan unsur
Tn Hita Karana terlaksana dengan baik akan terciptanya suasana kehidupan
masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera. Dengan menerapkan ajaran ini
secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujud kehidupan yang meliputi
pembangunan manusia seutuhnya, yang astithi bhakti terhadap Ida Sang Hyang
Widhi, cinta kepada Iingkungan dan damai dengan sesamanya.
3.2 Keadaan Penduduk Desa Pakraman Mengwi
Penduduk desa adat yang lebih dikenal dengan Pawongan Desa bahwa
Masyarakat Desa Pakraman Mengwi adalah masyarakat heterogen, baik
menyangkut pekerjaan yang ditekuni maupun agama yang dianut. Pekerjaan yang
ditekuni oleh sebagian besar masyarakat sebagai petani dan buruh swasta.
Sedangkan sebagian kecil sebagai pegawai negeri, selebihnya adalah pedagang,
peternak, montir dan wiraswasta. Agama yang dianut masyarakat sebagian besar
Agama Hindu, selebihnya Islam, Kristen dan Budha namun sampai saat ini tidak
pernah terjadi konflik agama. Jumlah penduduk sampai tahun 2006 adalah 7.224
orang didata menurut jenjang pendidikan : tidak tamat SD: 567, Tamat SD. 632,
Tamat SLTP 882, SLTA 4679, Sarjana 414, Magister 50. Jumlah penduduk
rñenurut agama : Islam 20, Kristen 16, Hindu 7.194, sisanya adalah Budha,
tempat suci yang ada adalah pura, kahyangan tiga dan pura peletan. Golongan
penduduk yang paling banyak jumlahnya adalah penduduk yang berumur 45-54
tahun yang paling sedikit adalah umur antara 55-59 tahun. Tingkat pendidikan
penduduk yang paling banyak adalah tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
41
selanjutnya tidak tamat sekolah dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,
Sekolah Dasar, Sarjana, dan Pasca Sarjana (S2) ini semua menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan masyarakat termasuk sedang, karena 750 orang bependidikan
di jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama hingga jenjang sarjana.
Dari data lapangan diketahui keberadaan agama yang dianut masyarakat
Desa pakraman Mengwi yang terbanyak adalah Agama Hindu hampir 100%.
Umat Hindu di sini telah memiliki 49 buah pura.
Susunan Desa Fakraman Mengwi terdiri dan : Bendesa Adat artinya Kelihan Desa Adat, Penyarikan artinya Sekretaris, Petegen artinya Bendahara!Juru Raksa, Kesinoman artinya Seksi Penggerak Masa, dibantu oleh kelihan banjar adat serta masyarakat desa. Mengenai warga desa dijelaskan dalam eka ilikita Desa sebagai berikut : “Sane kasinanggehang Icrama Desa Adat Mengwi inggih punika sapa sira ugi sane jenek utawi ngawit jenek ring wewidangan Desa Adat Mengwi, sampun maduwe paumahan saha nginutin polah palih makrama tur satinut ring awig-awig lan perarem Desa Adat muah Banjar Adat. “(1993 : 4).
Terjemahannya:
Yang disebut warga Desa Adat Mengwi yaitu orang yang tinggal atau yang mulai tinggal di Desa Adat Mengwi, sudah memiliki tempat tinggal/rumah dan telah mengikuti kewajiban sebagai warga desa dan tunduk pada awig-awig desa dan keputusan Desa Adat maupun Banjar adat, setiap krama desa yang memiliki tempat tinggal di desa adat Mengwi di kenakan ayah ngarep.
Parhyangan Desa dalam pembahasan ini adalah bagian dan : hubungan
manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi, yang ditandai dengan pemujaan,
pelaksanaan upacara agama dan melestarikan stana beliau. Salah satu bentuk
stana beliau yang menjadi kajian tulisan adalah adanya Sanggah Kemulan di tiap-
tiap keluarga. Karena Sanggah Kemulan adalah tempat memuja leluhur dalam
berbagai aspeknya maka pengertiannya tidak dapat dipisahkan dengan konsepsi
ke Tuhanan dalam Agama Hindu itu sendiri.
42
Sanggah Kemulan adalah tempat pemujaan leluhur mulai ditingkat
keluarga kecil sampai lingkungan keluarga besar. Tempat pemujaan keluarga
yang disebut sanggah kemulan, dapat dikembangkan menjadi pura dadia, pura
panti, kawitan sampai kahyangan tiga desa. Pura pemujaan untuk masyarakat
desa disebut Khayangan Tiga yang teridri dan Pura: Desa, Puseh, dan Dalem.
Fungsi pokoknya adalah tempat pemujaan Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan
Siwa). Pura untuk pemujaan bagi kelompok-kelompok seprofesi seperti : Pura
Melanting tempat pemujaan kelompok pedagang, Pura Ulun Suwi tempat
pemujaan petani, Pura Alas Arum tempat pemujaan para petani lahan kering.
Pura tempat pemujaan umat dan seluruh wilayah desa, kecamatan dan bahkan
pulau Bali disebut Pura Khayangan Jagat karena penyiwinya dan semua desa,
semua keluarga dan semua profesi, seperti Pura Taman Ayun.
Dari keseluruhan pura-pura yang disungsung masyarakat Desa Pakraman
Mengwi di atas dapat dikelompokan sebagai pura menyungsungan jagat seperti
pura Taman Ayun, pura penyungsungan knama desa disebut Kahyangan Tiga dan
pura keluarga disebut San ggah Kemulan. Pada Sanggah Kemulan akan
dibicarakan lebih mendalam, menyangkut fungsi dan maknanya bagi keluarga dan
masyarakat desa. Demikian unsur-unsur Tn Hita Karana Desa Pakiaman
Mengwi.
Adanya San ggah Kemulan bermakna persatuan bagi keluarga Hindu Desa
Pakraman Mengwi, karena dapat mempersatukan anggota keluarga baik keluarga
kecil maupun keluarga besar. Menurut Agama Hindu yang disebut keluarga kecil
terdiri dan bapak, ibu dan anak. Keluarga ini sudah memiliki rumah tinggal
43
sendiri, memiliki Sanggah Kemulan sebagai tempat pemujaan leluhur. Keluarga
ini lokasinya bisa jauh dan keluarga inti atau dapat juga berdekatan dengan
keluarga inti. Yang jelas sudah berdiri sendiri, menyangkut kebutuhan hidup
duniawi dan hubungannya dengan para leluhur. Pada keluarga ini keberadaan San
ggah Kemulan biasanya dibuat sederhana, sesuai dengan kemampuan ekonomi
keluarga. Namun sangat terikat dalam satu ikatan persatuan dengan keluarga
besarnya Sanggah Kemimitan.
Hasil penelitian menunjukkan keluarga kecil yang disebut keluarga baru,
biasanya berkembang mulai awal sehingga segala sesuatu yang berhubungan
dengan kebutuhan hidup dimulai dan nol. Di Desa Pakraman Mengwi, sebagian
besar keluarga kecil berlokasi jauh dan keluarga inti, karena lokasi karangdesa
yang ditempati keluarga inti sudah tidak memungkinkan membangun keluarga
baru, sebab penataan lokasi desa sudah demikian adanya, sehingga kebanyakan
membangun rumab tangga baru di luar wilayah Desa Pakraman Mengwi seperti
di Denpasar, Tabanan dan tempat Iainnya. Keluarga kecil masih terikat hubungan
niskala dengan Sanggah Kemulan keluarga besar. Di beberapa banjar keluarga
kecil dapat juga masih berada di wilayah Desa Pakraman Mengwi, misanya
menempati sawah atau tegalan, sehingga hubungannya dengan keluarga inti masih
dekat baik secara sekala maupun secara niskala dengan leluhurnya. Kedekatan
hubungan keluarga kecil dengan keluarga inti, terutama ketika ada piodalan di
San ggah Kemulan keluarga besar atau ketika keluarga kecil tertimpa musibah
seperti sakit, tidak berhasil dalam ekonomi dan masalah lain yang dipandang ada
hubungan niskala dengan keluarga besar, sehingga jalan pemecahannya selalu
44
bermuara pada Sanggah Kernulan seperti memohon ampunan kepada leluhur atau
mohon obat untuk kesembuhan karena sakit yang tidak kunjung sembuh, temiasuk
memohon rejeki agar hidup di perantauan menjadi sukses dan sejahtera.
Keberadaan keluarga kecil biasanya berbeda dengan keluarga induk atau
keluarga besar. Keluarga besar memiliki San ggah Kernulan sudah megah, karena
menempati rumah warisan leluhur, anggota keluarga tinggal memperbaiki atau
memperindah agar terkesan megah, bersih dan lebih religius. Bentuk Sanggah
Kern u/an pada keluarga ini cukup luas bisa mencapai satu are lebih, karena tata
ruang pekarangan cukup luas. Keberadaan San ggah Kemulan pada keluarga
besar sudah rnenggunakan sifat siku-siku asta kosala kosali, karenanya sudah
sesuai dengan ajaran tattwa, susila dan upacara agarna. Sanggah Kern ulan
Keluatrga besar disungsung oleh lebih dan dua keluarga dalam satu areal
pekarangan desa. Secara sekala kedekatan anggota keluarga kecil dengan
keluarga besar sudah dapat diamati dengan seksama, namun secara niskala atau
menurut pandangan agama, sulit untuk diamati, namun haruslah diyakini bahwa
keberadaan keluarga kecil adalah bagian dan leluhur keluarga besar. Karena itu
keberadaan Sanggah Kern u/an pada keluarga Hindu adalah bermakna persatuan
secara niskala.
Kata keluarga dalam bahasa Indonesia berasal dan kata kawula dan warga
artinya keturunan, warga atau keluarga dekat berarti ada ikatan keturunan. Tetapi
ada juga mengartikan keluarga berasal dan kata kaula yang artinya hamba dan
kata hamba berarti mengabdi dan warga artinya ikatan keturunan jadi keluarga
adalah pengabdi pada keturunan atau leluhur. Kenyataan dalam keluarga Hindu,
45
bahwa anggota keluarga bapak, ibu dan anak-anak adalah pengabdi ke dalam
hubungan intern dan ekstern, kemudian antara semua anggota keluarga (sekala)
juga menjadi pengabdi pada leluhur. Karena sesuatu yang di luar pemikiran
manusia, dapat dipecahkan oleh leluhur melalui metenung, metuun atau
mepenunasan kepada orang pintar atau balian. Kiranya pengertian ini benar
menurut pandangan agama sebab keberadaan manusia di dunia ini sesungguhnya
adalah pengabdi atau pelayan Ida Sang Hyang Widhi.
Tumbuh dan berkembangnya suatu keluarga adalah karena persatuan dan
kesatuan idea dan tindakan orang tua (suami istri) sehingga lahir anak. Kelahiran
anak inilah yang nantinya membuat keluarga menjadi bertambah besar dan
bertambah banyak. Bahwa bayi yang lahir menurut pandangan Hindu adalah
reinkarnasi dan leluhur disebutkan Ia anak pekakne atau kompiyangne ane
numadi, keto ngenah di baas pipise, kepercayaan seperti ini sudah terun-temurun
hingga sekarang masih diyakini, karena itu kelahiran bayi dalam satu keluarga
juga adalah bermakna persatuan dan generasi terdahulu kepada generasi
penerusnya yang sekarang. Berdasarkan kepercayaan in maka orang tua si bayi
tidak berani memperlakukan si bayi ceroboh atau memaki-maki karena cacat atau
kurang sempurna, sebab diyakini yang lahir adalah leluhurnya. Lebih-lebih kalau
leluhur mereka adalah orang berjasa, pintar dan ditakuti sehingga bertambahlah
rasa sayang dan hormat pada si bayi.
Dalam kehidupan masyarakat Desa Pakraman Mengwi pemahaman
keluarga perlu mendapat pembahasan yang khusus karena sifat-sifatnya yang
amat menyendiri dan keluarga lainnya. Dalam kaitannya dengan pengertian
46
Sanggah Kemulan sebagai pemersatu keluarga Hindu secara lebih mendalam
terlebih dahulu sebagai suatu bahan perbandingan akan coba mengetengahkan
beberapa batasan keluarga yang dikemukakan oleh para sarjana. Pendapat mana
nampaknya dapat memberikan kesepakatan pemahaman tentang definisinya yang
pasti mengenai pengertian keluarga.
Menurut B.M.Mac Iver dan Page telah memberikan definisi tentang
pengertian keluarga yang dikatakan sebagai suatu kelompok yang dibatasi oleh
adanya hubungan, hubungan dalam hal ini amat luas. Selanjutnya E.W. Burgers
dan H.I.Locks dalam The Family memberikan definisi tentang keluarga yang
dikatakan sebagai suatu kelompok orang-orang yang mempunyai hubungan
perkawinan, darah keturunan, adopsi dan lain-lainnya untuk budaya mereka.
Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, pelaksanaan upacara yadnya mulai dan
bayi lahir, dewasa dan meninggal adalah tanda keabsahan keanggotaan keluarga.
Selama upacara dimaksud belum dilaksanakan dianggap belum sah sebagai
anggota keluarga secara sekala dan niskala. Pengesahan anggota keluarga Hindu
harus mendapatkan dewa saksi di Sanggah Kemulan, ini pertanda adanya
persatuan antara yang lahir dengan leluhur. Tata cara upacara agama seperti ini
dapat berlaku bagi anggota keluarga yang berasal dan luar keluarga, karena
nyentana atau adopsi. Hubungan sosial kemasyarakatan yang menunjukan
keluarga Hindu adalah terbuka bagi semua, sebagai bukti bahwa nilai persatuan
dan kesatuan sebagai makhluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi harus mendapatkan
tempat pada keluarga Hindu. Bahwa filsafat agama mengajarkan kelahiran
manusia di dunia ini adalah diciptakan berdasarkan yadnya yang artinya cinta
47
kasih dan keihiasan, kemudian berkembang untuk mendapatkan kelayakan dan
dapat mencapai kenikmatan sebagai tujuan hidup. Karena itu setiap orang berhak
mendapatkan hidup layak, dapat mencapai cita-cita, dengan jalan selalu astithi
bhakti bekerja dengan tulus ikhlas.
Berkaca dan uraian di atas, jelas bahwa makna Sanggah Kemulan pada
keluarga Hindu adalah persatuan keluarga sebagai anggota masyarakat, secara
sekala niskala. Secara sekala dapat mempersatukan anggota keluarga, dan mana
asalnya dengan segala identitasnya secara niskala menyatukan hubungan dengan
leluhur, sebab dalam membahas leluhur keluarga, lebih mengedepankan kasta.
Kenyataan ini berkembang di Bali secara umum dan di Desa Fakraman Mengwi
secara khusus. Sanggah Kemulan bagi masyarakat-desa Pakraman Mengwi adalah
juga berfungsi sebagai pembinaan penduduk. Karena penduduk sebagai bagian
dan anggota keluarga, dapat dilihat dan keluarga mana mereka berasal. Sedangkan
secara keturunan asal keluarga dapat dilihat dan silsilah, apakah dan keluarga
terpandang atau dan kebanyakan. Dengan demikian maka bentuk Sanggah
Kemulan yang ada di masing-masing keluarga adalah cermin dan asal mula
keluarganya. Pendidikan dan tingkat ekonomi keluarga sangat mewamai
keberadaan penduduk masyarakat di sini. Pada kias penduduk yang berada atau
kelas kaya dapat dengan jelas dilihat bentuk Sanggah Kemulan dan demikian juga
pada tingkat ekonomi keluarga miskin. Karena San ggah Kemulan sebagai tempat
pemujaan leluhur berbau agama dan ekonomis.
Dalam Manawa Dharmasastra bahwa pendidikan agama itu merupakan
sinar, cahaya, raja atau penggerak dan pada rumah tangga dalam memimpin tugas
48
dan kewajiban rumah tangga terutama sekali dalam melakukan yadnya dan
kegiatan sosial kemasyarakatan. Dalam Dharma Sastra pendidikan agama dan
formal dalam keluarga harus dipimpin oleh suami/kepala keluarga dengan
melakukan Sarira Samskara. Tugas ini harus dapat dilaksanakan untuk dapat
diikuti anggota keluarga. Sarira Samskara maksudnya untuk menyucikan din lahir
dan bathin, contoh prilaku seperti ini bertujuan untuk meningkatkan pendidikan
agama bagi keluarga dan mencapai kesejahteraan sosial. Sebab pendidikan moral
besar kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan sosial. Penyucian ini harus
dilakukan semasih hidup dan ini sangat penting artinya dalam masyarakat Hindu,
penyucian ini dilakukan sejak manusia mulai diciptakan sampai akhir hayat.
Makna agama dalam Sanggah Kemulan juga dapat diperoleh dalam
kegiatan belajar mengajar secara informal. Bagi golongan Brahmana ada disebut
mejaya-jaya, bagi Ksatria ada disebut upacara tarpana yaitu persembahan
makanan dan air suci atau susu sebagai persembahan bagi leluhur, upacara kurban
untuk para dewa, upacara bali adalah korban untuk bhuta dan Bagi golongan
Waesya upacara athiti bhakti yaitu penerimaan tamu dengan ramah tamah,
melayani dan menyuguhkan makanan untuk sesama. Demikian besar manfaat
yadnya bagi keluarga dalam memfungsikan San ggah Kemulan, sebagaimana
disebutkan dalam Manawa Dharmasastra, sebagai berikut:
Panca tanya maha yajnan Na hapayati saktitah Sa grhepi wasatityam Sunadosaina lpiyate.
49
Artinya:
Ia yang tidak mengabaikan yajnya besar ini, selama ia mampu untuk melakukannya, ia tidak dinodai oleh dosa, yang dilakukannya, ia selalu hidup dan bekerja sebagai mana seorang kepala rumah tangga.
Ahutam ca hutam caiwa Tat ha prabhutam ewaca Brahnyam hutam pracitam Capanca yajnyan pracaksate.
Artinya:
Mereka menanamkan korban suci ini dengan sebutan ahuta, huta, prahuta, Bramahutan, dan Prasita.
Yoro hoto-huto homah Prahuto bhantiho balih Brahnyam hutam dwijeGryarca pracitam pirt tarpanam.
Artinya:
Ahuta adalah pengucapan do’a dan mantra Weda, Huta persembahan homa, Prabhuta adalah upacara bali yang diaturkan di atas tanah kepada para bhuta. Brahmahuta yaitu menerima tamu Brahmana secara hormat
seolah-olah menghaturkan apa yang ada dalam tubuh. Prasita adalah
persembahan tarpana kepada para pitara.
Swadyaya nityayuktah Syddai we cai weha harmani Dai wa karmananiyukto hi Bibhartimdam caracaram.
50
Artinya:
Hendaknya setiap orang setiap harinya dapat mengucapkan mantra-mantra suci weda dan juga melakukan upacara pada para dewa karena ia yang rajin dalam melakukan upacara kurban pada hakekatnya membantu kehidupan yang bergerak maupun yang tidak bergerak. (Pudja dan Rai Südharta, 1998:128-129)
Apa yang diuraikan di atas pada hakekatnya juga kita jumpai di Bali di
Desa Paicraman Mengwi dalam praktek atau pelaksanaan Panca Yadnya. namun
istilabnya berbeda-beda. Kemungkinan apa yang kita jumpai dalam Manawa
Dharma Sastra itu dipraktekan dalam keluarga Hindu di India. Sedangkan
rekonstruksinya di Bali sudah banyak mendapat pengaruh unsur kebudayaan ash
Indonesia. Pelaksanaan panca yadnya yang dianggap mutlak di dalam
keluargakeluarga Hindu diuraikan pula dalam Bhagawadgita III, sebagai berikut:
Yajnarthat karmano nyatra Loko yam karma ban dhanah Tadhartam karma kauntya Mukta asngah samacara.
Artinya:
Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai yadnya dan untuk yadnya, dunia ini juga terikat oleh hukum karma oleh karenanya oh Arjuna lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan din dan semua ikatan yadnya adalah melakukan pekerjaan tanpa mengikatkan dir dengan ikhlas untuk Tuhan.
Dewan bhawayata nena Te dewa bhawayantu vah Faras param bhawayantah Srayah param awap ayatah.
51
Artinya:
Dengan yadnya kamu memelihara para dewa dan dengan ini pula dewa
memelihara dirimu, jadi dengan saling memelihara satu sama lain, kamu
akan mencapai kebahagiaan yang tinggi.
latan bhoga hiwo dewa Dasyante yajnya bhawitah Tair dattan apradayai bhyo Yo bhuntete btena ewa sah.
Artinya:
Dipelihara dengan yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan.
Ta yang menikmati pemberia-pemberian ini tanpa memberikan balasan
kepadaNya adalah pencuri.
Yajnya sista sinah santo Mucyante sarwakil bhi asih Bhunj ate te twaghna papa Ye paconti atma karamat.
Artinya:
Orang yang utama makan sisa dan yadnya, mereka itu terlepas dan segala dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri. (Kadjeng, 1988:167).
Mencermati uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa di dalam hidup ini,
sudah tentu ada dualisme kehidupan, senang dan susah, kelahiran dan kematian,
datang dan pergi silih berganti, karena itu selama masih hidup berbuatlah
52
kebajikan (dharma) kepada keluarga dan kepada leluhur, karena itulah yang
menjadi bekal menuju akhirat.
3.3 Sejarah Desa Mengwi
Dalam Monografi Desa (1988:10), disebutkan alkisah Desa Mengwi
muncul karena latar belakang sejarah berdasar suinber pendukung : Babad
Mengwi, Babad Sira Arya Batan Jeruk, Babad Sira Arya Sentong dan pendapat
sesepuh yang kiranya dapat dipercaya. Nama Mengwi dikaitkan dengan nama
Kerajaan Mengi yang muncul sekitar abad ke 16 raja waktu itu disebutkan I Gusti
Agung Putu juga disebut I Gusti Agung Sakti terakhir beliau diabhiseka disebut
Cokorda Agung Blambangan Sakti bersama Ki Patih Kedua, awalnya menempati
Desa Kapal. Diceritrakan pada masa itu timbul kesalah pahaman antara I Gusti
Agung Putu dengan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng yang berkuasa di wilayah desa
Kekeran, perselisihan ini menimbulkan perang, mengakibatkan kekalahan I Gusti
Agung Putu. Beliau pingsan di desa Gelagah Puwun ditimbun daun liligundi
ditemukan oleh Ki Kedua, selanjutnya diserahkan kepada Raja Tabanan untuk
menjalani hukuman. Setibanya di Tabanan diterima oleh Gusti Urat Mara dan
Gusti Gede Bebalang selanjutnya dipenjarakan di Desa Marga Tabanan.
Pada suatu hari atas ijin I Gusti Gede Bebalang, I Gusti Agung Putu
diberikan melakukan tapa di Pucak Mangu, dalam tapa, beliau mendapatkan
anugrah dan Ida Bhatara bahwa .dirinya akan menjadi raja besar meliputi daerah
yang sangat luas. Sekembalinya beliau dan tempat bertapa, maka segera hal ikwal
anugrah yang diproleh dan tapa tersebut disampaikan kepada I Gusti Gede
53
Bebalang. Dengan perasaan senang dan kepercayaan yang tinggi akhirnya I Gusti
Gede Bebalang menyerahkan sebidang hutan kepada I Gusti Agung Putu untuk
dijadikan pun dengan pengikut I Gusti Celuk (putra I Gusti Gede Bebalang)
disertakan 200 orang pengiring dan 40 orang prajuriti pilihan, tempat ini disebut
Bala Ayu (sekarang bemama Belayu). Selama berada di Belayu I Gusti Agung
Putu berganti nama menjadi I Gusti Agung Sakti. Kira-kira tahun 1589 saka (1617
Masehi) dan Belayu I Gusti Agung Sakti mengembangkan wilayah kekuasaan
sampai ke desa Kapal, tempat kelahirannya dahulu.
Berkat kebijaksanaan I Gusti Agung Sakti wilayahnya terus berkembang
hingga pun Belayu dipindahkan keselatan yakni ke Desa Ganter dan Bekak mulai
saat itu wilayah ini di sebut Metengah, selanjutnya disebut Kawiapura. Di
Kawiapura beliau diabhiseka sebagai raja besar bergelar I Gusti Agung Bhima
Sakti karena berhasil mengalahkan musuh-musuhnya.
Pada tahun 1556 saka, Purl Kawiapura di Bekak dipindahkan lagi
kesebelah timur disebut Purl Men gwi sampai sekarang. Di sini beliau dinobatkan
kembali dengan gelar Cokorda Sakti Belambangan yang seterusnya dikenal
dengan Abiseka Bhatara Sakti Belambangan. Bersama dengan pemindahan Purl
juga didirikan sebuah pura yang berlokasi di timur purl yang diberi nama Pura
Taman Ayun. Pendirian Pura Taman Ayun ini dicatat yakni pada Anggara Kliwon
Medangsia, sasih Kartika, candra sangkala Sad bhuta yakca desa (tahun 1556
Caka).
Secara etimologi kata Mengwi terdiri dan kata Menga dan We, kata Menga
berarti terbuka dan We berarti air. Maka Men ga-we berarti air yang terbuka atau
54
terbukanya kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat, kenyataan ini
terungkap dan keadaan seputar Pura Taman Ayun yang dikelilingi telaga.
Mencermati sejarah Mengwi di atas, dapatlah dimengerti bahwa nama
Mengwi berasal dan Daerah yang dikelilingi air, pengarian atau identik dengan
kesuburan. Karena Raja Mengwi di jaman itu I Gusti Agung Blambangan,
mengetahui betul bahwa daerah Mengwi sekarang adalah daerah subur, dapat
berkembang dengan pesat menjadi daerah maju, sehingga Pun Mengwi menjadi
berjaya dengan permandian Taman Ayun yang terkenal. Keadaan ini masih
menyisakan bukti sejarah bahwa masyarakat Desa Pakraman Mengwi memiliki
Sanggah Kemulan yang megah, artistik dan disucikan sebagai penyungsungan
leluhur. Keberadaan Sanggah Kernulan di keluarga ini dapat terlihat secara
sepintas lalu, ketika melewati daerah kecamatan Mengwi, dan jurusan Denpasar
menuju Singaraja demikian sebaliknya. Bahwa daerah ini sudah tertata rapi,
keadaan tata ruang perumahan dan tempat suci. Dengan demikian maka tidak
salah disebutkan bahwa wilayah kerajaan Mengwi di jaman dahulu masih terasa
kejayaannya hingga sekarang.
55
BAB IV
BENTUK DAN MAKNA FILOSOFIS
SANGGAH KEMULAN SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN LELUHUR
DI DESA PAKRAMAN MENGWI
4.1 Bentuk Bangunan Sanggah Kemulan Pada Rumah Tangga Di Desa
Pakraman Mengwi
Bangunan Sanggah Kemulan pada rumah tangga Desa Pakraman Mengwi
utamanya pada keluarga inti, bentuk fisiknya megah, lengkap dan artistik. Megah
dalam arti bangunan dibuat permanen menggunakan batu bata, paras, batu dan
kayu diukir, dan diprada sehingga terkesan megah. Utamanya pada bangunan
rong telu, lebih megah diantara bangunan lainnya. Karena bangunan ini adalah
bangunan inti dan Sanggah Kernulan, sedangkan bangunan lainnya adalah
melengkapi. Bangunan San ggah Kernulan di sini adalah Lengkap dalam arti pada
sisi kanan dan kin bangunan Sanggah Kemulan Rong Telu, terdapat juga
bangunan lain diantaranya pelinggih Taksu rong siki, Ngrurah Agung, Tugu,
Penyawangan Ida Bhatara Kawitan dan Padmasana. Jumlah bangunan pada San
ggah Kern ulan seperti demikian dapat dilihat pada San ggah Kern ulan Muwed
atau San ggah Gde. Sanggah Kernulan pada masyarakat di sini adalah Artistik
artinya bentuk fisik bangunan dibuat seindah mungkin, menggunakan seni
tradisional Bali, dipadukan seni modern, sehingga terkesan artistik. Bentuknya
yang artistik dapat dilihat pada pelinggih utama, sedangkan pada bangunan Bale
56
Gong dan bangunan lainnya sudah banyak yang dipermak, dimana lantainya
sudah menggunakan keramik atau batu marmer sehingga terkesan modern. Semua
pelinggih di atas ada dalam satu areal disebut Jeroan. Bangunan Sanggah
Kemulan seperti ini dilengapi dengan candi bentar juga diukir namun tidak
memiliki jabaan.
Secara umum bentuk bangunan Sanggah Kemulan rumah tangga Hindu di
Desa Pakrarnan Mengwi megah karena dibangun menggunakan sifat siku-siku
ulun teben, letaknya di kaja kangin, lokasi bangunan lebih tinggi dan bangunan
lainnya, keadaan ini mencerminkan hulu atau gunung, karena itu disebut tempat
pemujaan leluhur yang disucikan dan diagungkan keluarga.
Pada keluarga yang baru membangun rumah tinggal, bangunan Sanggah
Kemulan dibuat sederhana dan turus lumbung menggunakan pohon dadap ataupun
dibuat permanen dan batu atau paras, namun bangunan yang ada hanya Sanggah
Kemulan rong telu dan bangunan Taksu saja. Kalaupun ada yang dibuat indah
diukir atau diprada jumlah bangunannya sudah tentu terbatas hanya pada Sanggah
Kernulan dan Tugu, tidak selengkap pada Sanggah Kemulan inti yang disebut
Sanggah Gede. Pada keluarga ini tidak terdapat bangunan seperti Penyungsungan
Bhatara Kawitan, Menjangan saluwang dan lainnya karena sifatnya
penyawangan dan penyungsungnya hanyalah satu keluarga kecil. Berbeda jauh
dengan bentuk bangunan San ggah Kern ulan pada keluarga besar, terdapat
bangunan San ggah Kawitan dan lainnya, mengingatkan akan kawitan mereka dan
jaman dahulu. Pada keluarga yang diteljtj ada dan keturunan Pasek, Bendesa Mas,
Gusti Agung Mengwi dan Brahmana Kemenuh dan Keniten.
57
Letak bangunan Sanggah Kemulan pada masyarakat desa Pakraman
Mengwi baik pada keluarga besar maupun keluarga kecil, adanya di hulu kaja kan
gin dan pekarangan rumah mereka, lokasi ini dianggap paling suci (Utama
Mandala),
4.1.1 Bentuk Fisik Bangunan Sanggah Kemulan Di Desa Pakraman Mengwi
Bentuk fisik bangunan Sanggah Kemulan pada keluarga inti, memiliki
luas sekitar satu are, dilengkapi dengan penyengker dan menggunakan candi
bentar. Bangunan Sanggah Kemulan rong telu dibikin paling megah, karena
dianggap utama mandala atau tempat yang paling disucikan. Dasar bangunan
adalah batu bata yang diukir disebut bataran, diatasnya adalah bangunan dan kayu
nangka, jati atau cempaka yang dibuat sedemikian rupa diukir dan diprada,
atapnya adalah dan ijuk atau dan genteng. Pada keluarga Ksatria (Gusti Agung
Mengwi dan Keluarga Brahmana) kebanyakan menggunakan atap ijuk.
Sedangkan pada masyarakat biasa ada menggunakan genteng atau ijuk. Bentuk
pisik bangunan San ggah Kemulan adalah yang paling megah. San ggah Kemulan
secara keseluruhan dibangunan di kaja kan gin pekarangan rumah tinggal. Bentuk
fisik bangunan terdiri dan bangunan utama yaitu San ggah Kemulan rong telu,
letaknya di deretan timur, di sebelah kirinya agak ke selatan adalah bangunan
Penyungsungan leluhur rong dua, di pojok kaja kangin adalah padmasana
sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi. Di deretan sebelah utara, ada bangunan
Menjangan Saluwang, tempat penyungsungan Bhatara Kawitan Majapahit, ada
bangunan Taksu rong siki dan Tugu rong siki. Di deretan barat ada bale pemiyos
tempat Ida Fedanda mepuja dan di deretan selatan ada bale gong, temp at gong
58
dan penyimpenan, benda pusaka atau sarana upacara. Semua bangunan adanya
di Jeroan, Sanggah Kemulan tidak memiliki jaba tengah dan jaba sisi. Bentuk
bangunan seperti ini dapat dilihat pada keluarga inti yang disebut Sanggah Gde,
namun berbeda bentuk dan jumlah bangunannya pada keluarga kecil. Pada
keluarga ini hanya memiliki bangunan Sanggah Kemulan dan Taksu saja.
4.1.2 Tempat Pelinggih Sanggah Kemulan Di Desa Pakraman Mengwi
Bangunan Sanggah Kemulan, ditempatkan pada arah timur laut (Ersanya)
dan pekarangan!rumah tinggal, tempat ini diyakini sebagai hulu karena itu disebut
utama mandala. Lokasi ini biasanya paling tinggi batarannya jika dibandingkan
dengan bangunan lain. Sanggah Kemulan diyakini paling utama dan suci, karena
stana dan para leluhur yang dimuliakan.
Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa bangunan Sanggah
Kemulan masyarakat di sini, diyakini sebagai tempat pelinggihan leluhur/Ida
Bhatara Kawitan. Pengertian ini jelas diketahui pada bangunan Rong telu,
diebutkan pada bangunan ini di sebelah kanan adalah pelinggihan Bapanta, di
sebelah kin adalah pelinggihan Ibunta dan di tengah adalah Raganta. Felinggihan
ini menyatu menjadi satu dengan para leluhurnya terdahulu, sebagai tern
patipelinggih Bhatara Kawitan yang telah disucikan setelah melewati upacara
memukur. Sang Atma yang telah diupacarai pada tingkatan ini, telah menyatu
dengan para leluhurnya dahulu, sehingga disebut Bhatara Kawitan yang berfungsi
menyelamatkan preti sentana/keturunannya dan memberikan jalan kepada
keturunannya dalam perjalanannya ke masa depan.
59
Selain pelinggih Rong telu, yang dapat memperkuat alasan bahwa
Sanggah Kemulan adalah penyungsungan Leluhur adalah adanya bangunan rong
dua, pada deretan di timur sejajar dengan bangunan rong telu. juga tempat
penyungsungan leluhur rong dua yang hanya melewati upacara ngaben saja, di
sebelah kanan adalah untuk leluhur laki-laki dan di sebelah kin adalah perempuan.
Biasanya keluarga mengenal penyungsungan ini, pada leluhur yang diketahui
ketika masih hidup atau masih dapat diketahui identitasnya, namun belum
diupacarai sampai tin gkat memukur. Jauh ke depan bangunan Menjangan
Saluwang yang letaknya di deretan utara juga mengingatkan keturunan pada
leluhur di jaman dahulu, ada yang mempercayainya sebagai keturunan dan raja-
raja Majapahit di Jawa yang datang ke Bali menyebarkan agama Hindu.
4.2 Makna Sanggah Kemulan Sebagai Tempat Pemujaan Leluhur Di Desa
Pakraman Mengwi
4.2.1 Sebagai Pemersatu Keluarga
Makna pemersatu keluarga artirya bahwa keberadaan Sanggah Kemulan
pada keluarga inti di Desa Pakraman Mengwi adalah media pemersatu keluarga
besar, karena San ggah Kemulan dapat digunakan sebagai media pertemuan di
kala upacara atau piodalan dan upacara agama Iainnya. Kegiatan upacara agama
sebagai wujud pemersatu keluarga, dapat dilihat bahwa anggota keluarga tidak
dapat lepas dan ikatannya dengan leluhur yang distanakan di Sanggah Kemulan.
Jauh atau dekat tempat tinggal keluarga, akan selalu merasa terpanggil untuk
datang ngaturang sembah kepada leluhur tatkala piodalan di Sanggah Kemulan.
60
Sebab hubungan niskala dan sekala dalam pandangan Hindu hams tetap terjalin
demi tercapainya hidup jagadhita untuk mencapai moksha. Lebih-lebih pada
keluarga ilmuwan, Sanggah Kemulan dapat disosialisaikan sebagai media
Dharma Gita, Dharma Wacana, Dharma Tula dan Dharma Santhi. Pengertian
dan masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut:
Dharma Gita adalah tradisi menyanyikan lagu suci agama, seperti
mewargasari, mewirama dan bentuk geguritan lain. Dharma Gita sangat
dirasakan manfaatnya ketika piodalan di Sanggah Kemulan karena sangat
mendukung suasana kesucian dan keheningan serta sudah mendarah daging di hati
keluarga Hindu. Pada keluarga Hindu di Desa Pakraman Mengwi tradisi Dharma
Gita sudah berjalan sejak dahulu hingga kini. Tradisi seperti ini sudah menjadi
kebutuhan keluarga, menjadi mutlak diperlukan.
Dharma Wacana adalah metode pembelajaran Agama Hindu diterapkan
untuk mendesknipsikan pelajaran agama Hindu oleh para kepala
keluargalilmuwan, pendarma wacana kepada para pengikut, sisya upanayana,
pemedek, tujuannya agar pada sisya, anggota keluarga dapat mengerti secara lebih
mendalam tentang agama yang dibicarakan. Dharma Wacana adalah metode
pembelajaran sejarah, ada yang berbicara yang lain mendengar. (Parmajaya,
2000:37). Dalam beberapa kesempatan, terutama ketika piodalan, Dharma
Wacana lebih dapat dirasakan manfaatnya bagi keluarga dalam menambah
pengetahuan beragama dan bermasyarakat.
Dharma Tula adalah tradisi bertimbang terima dalam hal pengetahuan
agama dan kemasyarakatan, berdiskusi tentang agama dan cara mengatasi
61
kesulitan hidup menjadi masalah mendasar yang dibicarakan. Dharma tula lebih
mengutamakan persamaan pandangan mengenai tattwa, susila dan upacara
agama, bukan berdebat mencari benar salah. Karena tradisi beragama untuk
mendapatkan kedamaian atau anandam (Sura, 1999:12). Dalam kehidupan
beragama di Desa Pakraman Mengwi, tradisi Dharma Tula telah sering
dilaksanakan, bertujuan untuk menyamakan persepsi keluarga dalam mencapai
kedamaian dan keutuhan bersaudara.
Dharma Shanti artinya tradisi beragama Hindu yang dilaksanakan untuk
mendapatkan kedamaian secara sekala niskala. Secara sekala dilakukan dengan
menikmati lungsuran, hidangan ramah tamah dan apa yang telah dipersembahkan
kepada leluhur, keluarga dapat menikmati anugrah yang diberikan. Secara niskala,
tirtha dan amertha yang diberikan Jero Mangku dapat menyegarkan pikiran untuk
mencapai kedamaian. Tradisi ini juga telah biasa dilakukan di Desa Pakraman
Mengivi bahkan telah menjadi bagian dan kegiatan upacara agama. Inilah
pentingnya tradisi beragama dengan menyertakan upakara agama, sehingga dapat
dinikmati langsung lungsuran sebagai anugrah leluhur. Hal demikian sesuai
dengan petunjuk l3hagavadgita, bahwa manusia semestinya menghaturkan segala
sesuatunya terlebih dahulu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atau para leluhur,
baru kemudian menikmatinya, sehingga tidak disebut memakan dosa.
Media pembelajaran seperti di atas diajarkan guna mendalami ajaran
agama secara informal, bahwa belajar itu dapat dilakukan dimana saja, utamanya
di tempat-tempat suci seperti San ggah Kemulan, pura dan tempat suci lainnya.
Tradisi di atas, telah diteliti pada keluarga Ida Ayu Santun (56) Banjar Lebah
62
Pangkung Mengwi bahwa di setiap purnama dan han piodalan Ida Bhatara
keluarganya selalu mengadakan kegiatan di atas, guna mendalami makna agama
dan makna persaudaraan dan mengingatkan din untuk selalu astithi bakti kepada
leluhur. (Wawancara, 17 April 2008). Hal yang sama juga telah dilaksanakan pada
keluarga I Wayan Gendra (48) bahwa disaat purnama dan piodalan di San ggah
Kemulan juga melaksanakan kegiatan di atas untuk memohon anugrah Leluhur
dalam menjalani kehidupan ke masa depan. (Wawancara, 2 April 2008). Kegiatan
Dharma Gita yang paling mendasar adalah menyanyikan warga sari dan
membaca Bhagavadgita serta buku agama lainnya.
Dalam pemahaman lain, juga dapat diajarkan melalui pemahaman ajaran
Tn Kaya Parisudha dalam kehidupan sehari-hari. Bahwa nilai-nilai Tn Kaya
Parisudha adalah ada pada din sendiri, mulai dan Manahcika yaitu cara berpikir
yang suci, dengan selalu memikirkan kebesaran Ida Sang Hyang Widhi, selalu
bersyukur atas anugrahnya, tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, tidak
mengingkari karmapahala karena karmaphala adalah hukum absolut dan Ida
Sang Hyang Widhi, keluarga Hindu diharapkan dapat tetap pada cara berpikir
yang benar. Sebab cara berpikir atau pola pikir seseorang akan mencerminkan
kepribadian yang luhur dan suci. Sedangkan makna dalam Wacika atau cara
berkata yang benar dan santun dapat terucapkan dalam tata bahasa yang manis,
sopan sehingga orang menjadi senang mendengarnya, tidak mencaci maki, tidak
berkata kotor, tidak ingkar janji. Melalui ucapan seseorang akan mendapatkan
teman sejati dan kebahagiaan karena ucapan yang benar menghasilkan karma
wasana, namun melalui ucapan seseorang juga mendapatkan halangan, karena
63
ucapan yang mencaci maki orang, ucapan kotor dan menimbulkan permusuhan
akan menyebabkan menderita serta kematian. Sedangkan perbuatan benar yang
disëbut kayika yaitu perbuatan jujur, berpenghasilan dan bermanfaat bagi
masyarakat luas, menghasilkan kesejahteraan bersama. Ajaran ini sangat
bermanfaat bagi perjalanan hidup ke depan, karena dapat mengantarkan hidup
menjadi panjang umur dan selalu damai. Hal demikian dapat dicontoh oleh kepala
keluarga untuk anak-anak mereka dan selanjutnya dapat ditirukan oleh keluarga
lainnya, sehingga menjadilah keluarga yang damai, sejahtera.
Secara umum tujuan pendidikan agama adalah membentuk manusia
Pancasila sejati, asthiti bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, memiliki moral, etika
dan spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu. Untuk dapat mencapai tujuan
dimaksud, maka peranan Sanggah Kemulan sebagai media pendidikan keluarga
haruslah diberdayakan optimal. Bahwa bermula dan astithi bhakti kepada leluhur,
akan menyebar kepada keluarga dan masyarakat luas. Dalam skup nasional,
pendidikan Agama Hindu sesungguhnya lebib menekankan bahwa umat
hendaknya asthiti bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, memiliki pengetahuan,
keterampilan sehingga menjadi berguna bagi keluarga, bangsa dan negara. Nilai
pendidikan agama juga dapat menambah wawasan terhadap dunia luar, guna
dapat mengikuti perkembangan jaman, seperti mengenal teknologi dan informasi
global sehingga pengetahuan yang dimiliki menjadi bagian dan perkembangan
jaman.
4.2.2 Sebagai Upasaksi Upacara Perkawinan
64
Dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, terutama di Desa Pakraman
Mengwi, keberadaan Sanggah Kemulan adalah sebagai dewa saksi dalam upacara
perkawinan keluarga. Karena perkawinan baru dianggap sah setelah mendapat
upasaksi para leluhur di Sanggah Kemulan. Hal ini erat kaitannya dengan
keturunan yang akan menjadi pawaris keluarga. Bahwa kedudukan pengantin laki-
laki Sang Kapurusa sangat menentukan dalam kelanjutan keluarga. Dimana para
leluhur kepurusa akan nitisang bulu, lahir kembali pada keluarga yang baru.
Karena itu perlu mendapat upasaksi di Sanggah Kernulan. Selebihnya harus
mendapatkan manusa saksi yaitu saksi masyarakat dan butha saksi setelah
melakukan rnekala—kalaan. Dengan demikian keberadaan San ggah Kern ulan di
masing-masing keluarga memiliki makna yang hakiki untuk kehidupan dunia
nyatalsekala dan dunia para leluhur/niskala.
Di dalam Manawa Dharmasastra disebutkan bahwa Sanggah kernulan
atau tempat suci keluarga adalah berfungsi sebagai Api Grihaspatya artinya
adalah sinar, cahaya atau raja dan suatu rumah tangga dalam memimpin tugas dan
kewajiban hidup terutama sekali dalam melakukan yadnya. Kepala keluarga
secara sekala adalah manusia, namun secara niskala adalah leluhur, Merajan atau
Sanggah Kernulan itu sendiri. Karena para leluhur yang distanakan di Sanggah
Kernulan memiliki peranan yang sangat penting di dalam mengarahkan hati
nurani anggota keluarga dalam mencapai cita-cita. Bahagia atau malapetaka dan
keluarga banyak ditentukan oleh keberadaan leluhur yang disungsung di San ggah
Kernulan. Pernah ada ceritra Pak Nama (66) bahwa keluarganya yang tinggal di
Sulawesi ditimpa sakit bertahun-tahun tidak dapat disembuhkan dokter, namun
65
yang sakit juga tidak mau mati, ketika ada pawisik balian untuk nunas tirtha di
Sanggah Kernulan Gde, dan dapat dilakukan, tak berselang berapa han si sakit
sembuh secara berangsur-angsur. Ini terbukti bahwa peranan leluhur di San ggah
Kern ulan Gde utamanya, adalah sangat berperan. Oleh karena demikian keluarga
yang tinggaljauh hendaknya sekali waktu ketikapiodalan di Sanggah Kernulan
sedapat mungkin dapat pulang ngaturang sernbah bhakti, mohon maaf, mohon
perlindungan agar perjalanan hidup ke depan mejadi selamat dan mencapai
sukses. (Wawancara, 18 April 2008).
Lebih jauh dalam kitab Dharrnasastra tugas kepala keluarga adalah
melakukan Sarira Sarnskara, tugas ini harus dilaksanakan selama hidup. Sarira
Sarnskara maksudnya untuk menyucikan din lahir dan bathin. Penyucian ini harus
dilakukan semasih hidup atau sebelum kematian dan ini adalah termasuk
pendalaman pendidikan agama dan juga pendidikan formal lain yang dianggap
sangat penting dalam keluarga Hindu. Penyucian ini dilakukan sejak manusia
mulai diciptakan sampai pada kematiannya. Di antara Sarira Samskara itu ada
sebelas yang sangat penting dan paling utama untuk dilakukan keluarga
diantaranya:
Wiwaha Samskara (upacara perkawinan) Adalah merupakan tingkatan
hidup Grihastha asrama bagi seseorang yang telah menjalani hidup berumah
tangga, karena perkawinan ini merupakan titik timbulnya keluarga baru. Sudah
tentu membangun Sanggah Kemulan yang barn sehingga dengan demikian kita
akan menjumpai kehidupan yang barn. Dalam hal in keluarga merupakan pioner
66
dalam membangun Sanggah Kemulan, baik adanya dalain lingkungan keluarga
besar maupun keluarga kecil.
Bhagawan Naradha selanjutnya menyebutkan bahwa suami dilarang
menimbulkan percekcokan dalam rumah tangganya agar jangan sampai diketahui
umum atau raja. Dalam kitab Maha Nirwanatantra disebutkan tentang
nasehatnasehat yang harus diberikan oleh seorang suami kepada istri demikian
pula sikap dan tingkah laku yang harus dilakukan oleh seorang suami terhadap
istrinya. Dikatakan suami jangan sekali-sekali melakukan hukuman kepada istri
atau melakukan hal-hal yang tidak baik kepada istri tetapi sebaliknya harus
melindungi. Bhagawan Bisma menjelaskan dalam Mahaberata bahwa suami
menjauhkan din dan perpecahan dalam rurnah tangga, ia harus mengendalikan
napsunya atau mengekang din sendiri. Di dalam kitab Brihadaranyaka
Upananisad dan Yadnya Walicya Srnrti kita menjumpai pula perumpamaan
dimana suami istri itu adalah laksana kulit kerang yang tidakbisa dipisahkan dan
yang satu dengan yang lain. Dalam hal inilah istri itu adalah merupakan belahan
dan badan sang suami. Sehingga bagaimana cara sang suami menyayangi dirinya
sendiri demikian jugalah caranya menyayangi istrinya. Dalam hal inilah
kerukunan rumah tangga dalam masyarakat Hindu dapat terjamin. Dalam
Kekawin Nitisastra VIII.3. kita dapatkan penjelasan tentang kewajiban (ayah)
sebagai berikut:
Ring rat pitra ngaranya panca widha sangmatulung uripi kalaning bhaya.
Muang sang nilya mawah bhinajana taman walesi saha naning hurip
nira.
67
Lawan sang pangupa dhyayan bapa ngaranya sira sang anang kaskara
kita.
Tan waktan sang ametwaken ri kita panca widha bapa ngaranya
kawuruhi. (Tern Penulis, 2002:12)
Artinya:
-Orang yang boleh kita sebut bapak di dunia ini ada lima macamnya yaitu
orang yang menyelamatkan jiwa kita ketika mendapat bahaya maut. –
Orang yang selalu memberikan makan minurn selama hidup kita tanpa
mengharapkan balasan.
Orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada kita dan orang yang
menyucikan din kita. - Dan sudah tentu orang yang menyebabkan kita
lahir, ingatlah pada kelima mereka itu.
Apa yang diutarakan oleh Kekawin Nitisastra tersebut merupakan suatu
perincian yang tegas dan kongkrit tentang tugas seorang ayah kepada anaknya.
Seorang suami harus selalu menjaga kesuciannya dan puas pada istrinya.
Kewajiban suami terhadap istrinya demi kesucian keluarga diuraikan dalam
Manawa Dharrna Sastra Bab. 111,45 dan 60 sebagai berikut:
45).
Rtu kalabhigamisyat Swadarani ratah sada Farwawarjan wraceainab Tad urato rati kamyaya.
Artinya:
68
Hendaknya suami menggauli istrinya pada waktu-waktu tertentu dan merasa selalu puas pada istrinya seorang, ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan anak hubungan kelamin pada han apa saja kecuali han purwani.
60).
Samtosto bharyarya bharta bhrtra tat haiwaca Yasnnan newa kula nityam Kalianse tatra wai dhrwam
Artinya:
Pada keluarga pada suami berbahagia dengan istrinya dan demikian sang istri terhadap suaminya kebahagiaan pasti kekal. (Gde Pudja dan Rai Sudharta, 1998:124).
Menurut uraian ini kebahagiaan yang kekal akan dapat terjamin bila dalam
keluarga itu terdapat keserasian dimana baik suami mapun istri masing-masing
bagian dengan keadaannya. Suami dalam melaksanakan kewajiban disamping
harus menyayangi istrinya juga menganggap istrinya itu sebagai sahabat hidup
terdekat dalam keluarga bagaikan dagang dengan pembelinya. Dalam kitab
Sarasamuscaya 168 menyebutkan sebagai berikut:
168).
Sarthah prawasato mitram bharya mitram grhe samtah aturasya bhisan mitram danam mitram marisyatah hyang rincining mitram ngaranya, nyeng adagang wanUe banyaga yeki mitraning wwang manglapuran, apasah apadohan, kunang mitra sang grahasta striniraika yapwan wwang alar walyan mamimemi mitranika, kwang ikang wang meh matya danapunya mitranika.
69
Artinya:
Demikian perincian yang dinamakan temannya, yaitu seorang pedagang temannya pembeli, dan juragan. Sahabat bagi seorang pengembara perpisahan dan perjauhan, sahabat bagi seorang perumah tangga, istrinya itulah, sedangkan orang yang sakit dokter dan pembuatan obat-obatan, adapun orang yang hampir akan mati ama! kebakikan temannya. (Kadjeng, 1988 : 127).
Jadinya seorang suami dalam keluarga baru akan berhasil memimpin
rumah tangganya apabila betul-betul mendudukan istrinya pada tempat yang tepat
dan terhormat. Seorang suami tidak akan mampu melaksanakan segala
kewajibannya sebagai kepala rumah tangga sebelum dia mampu melakukan
kewajibannya terhadap istrinya sesuai dengan dharma. Dengan kata lain seorang
suami sebagai kepala keluarga harus mampu menjadikan istrinya sebagai potensi
yang terbesar dalam menunjang tugas-tugasnya sebagi kepala rumah tangga atau
keluarga. Tugas suami menentukan garis kebijaksanaan keluarga sedangkan istri
adalah penjabar dan garis kebijaksanaan keluarga. Betapapun baiknya garis
kebijaksanaan yang digariskan oleh suami kalau dalam penjabarannya nanti tidak
mendapat perhatian yang baik dan tepat maka garis kebijaksanaan itu akan kandas
ditengah jalan tidak mencapai sasaranya. Disinilah letak permasalahannya bahwa
suami adalah membangkitkan potensi istri sebagai paktor pendorong dai
pelengkap dan tugas-tugas suami sebagai kepala keluarga.
Konsep suami istri sebagai suatu kesatuan yang terdapat dalam uraian
kitab Brahrna Aranyaka Upanisad sebagai berikut : Sesunguhnya dia tidak
berkeadaan tenang, ketika dia berkeadaan sendirian itu, dia tidak mempunyai
70
kesenangan. Dia menginginkan ada yang kedua. Dia berkeinginan sebagai
keadaan seorang wanita dan seorang pria yang berpelukan erat-erat. Lalu dia
membuat dirinya terbagi dan seorang menjadi dua bagian. Demikianlah lalu
muncul seoran suami (pati) dan seorang istri (patni). Oleh karena itu dia berkata,
seperti yang diucapkan oleh yadnya walkya. “Din saya mi (swa)” adalah bagaikan
bagian setengahnya (dan suatu yang utuh). Oleh karena itu lalu ruang dan alam mi
terisi oleh sang istri. Dan hasil persebadanan itu munculah makhluk manusia.
Dari pengertian di atas, dapat juga dijumpai dalam Brhad Aranyaka itu
bahwa purusa tidak dapat menciptakan segala sesuatu tanpa ada predana yang
disimbulkan istri. Dan ilustrasi mi dapat kami pakai dasar analogi bahwa tidak
akan dapat berbuat apa-apa dalam keluarga kalau dia tidak beristri dan mengajak
istrinya bekerja sama untuk melaksanakan segala kewajibannya. mi adalah
konsepsional daripada hubungan suami istri untuk mewujudkan cita-cita
keluarganya.
Dalam kenyataannya di masyarakat Desa Pakraman Mengwi penghargaan
suami terhadap istrinya mengalami pasang surut. Dalam rapat-rapat keluarga yang
bersifat menentukan suatu pelaksanaan yadnya. Sebagaimana kita makiumi sistim
musyawarah keluarga di Bali umumnya selalu dua tahap yaitu tahap imporsel
dimana diadakannya pendekatan-pendekatan pribadi terhadap hal-hal yang ingin
diwujudkan dalam suatu keluarga besar (keluarga suatu sanggah kernulan). Dan
kalau diyakini oleh pemuka-pemuka keluarga barulah diadakannya perternuan
yang bersifat formal. Suami yang baik yang mendudukkan istrinya pada posisi
yang tepat dan terhormat akan selalu bermusyawarah dengan istrinya lebih-Iebih
71
menyangkut hal yang sangat penting seperti pelaksanaan yadnya. Pendapat atau
pandangan suami yang disampaikan dalam rapat pormal sesungguhnya sudah
termasuk pendapat sang istri. Selanjutnya kasih sayang dan tanggung jawab
seorang ayah terhadap anak diuraikan dalam Kekawin Nitisastra Sargah II, 5 bans
3 sebagi berikut:
Kunang ikang asak gusawe tuhaneng bapa yatui tan kadi welasing bapa welas nika ring bapa apan yadya pindaridra ikang bapa amrih juga ya pawehannya ryanaknya.
Artinya:
Adapun si anak sesungguhnya membuat si bapa dipanggil orang tua, namun demikian cinta si anak terhadap si bapa tidaklah seperti kasih sayang si bapa terhadap si anak, meskipun bagaimapun miskinnya si bapa ia berusaha juga sekuat-kuatnya untuk dapat memberikan sesuatu kepada anaknya.
Cinta kasih sang ayah terhadap anaknya adalah cinta kasih sayang yang
berdasarkan keikhlasan bukan ada suatu pamrih. Dan orang yang bahagia
hidupnya karena tingginya kesadaran orang tua kepada anaknya adalah
kebahagian yang paling sempurna kebahagiaan si anak pun akan menj adikan
orang tuanya bahagia. Karena letak kebahagiaan itu pada pertemuan cinta kasih
antara orang tua dan anaknya. Perlindungan dan jaminan hidup yang didapati dan
ayah oleh seorang anak adalah perlindungan dan jaminan yang utama. Meskipun
demikian Sri Ramakrisna menganjurkan agar dalam Grehasta Asrama harus juga
dapat membebaskan din dan ikatan. Kewajiban dan tugas keluarga adalah
melaksanakan panca yadnya, kepada keluarga yang tidak melaksanakan panca
72
yadnya selam hidupnya ia diikat oleh belenggu dosa. Kewajiban kepala keluarga
ini secara tegas dinyatakan dalam Manawa Dharma Sastra 111,69 sebagai berikut:
Tasam krasena sarwasan Niskrtyasthas maharsibhih Panca klrpta mahayajyah Pratyaham grha medhinam
Artinya:
Untuk menembus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu para maha Rsi telah menggariskan untuk para keluarga agar setiap harinya melakukan Panca Yadnya.
Yang dimaksud lima alat yang menimbulkan dosa itu di jelaskan dalam
Sloka 68 dalam Bab yang -sama sebagai berikut : Seorang keluarga mempunyai
lima macam tempat penyemblihan yaitu tempat masak, batu pengasah, sapu,
lesung dan tempayan tempat air dengan pemakaian mana ia diikat oleh belenggu
dosa rasa bhakti kepada leluhur.
Masyàrakat Desa Pakraman Mengwi selalu astithi bakti kepada leluhur
atas jasanya menjadikan dirinya seperti sekarang mi. Karena itu Sanggah
Kemulan yang ada dibuat sedemikian indah agar menyenangkan hati dan
disucikan agar memiliki nilai magis. Seperti yang dituturkan oleh Jro Mangku
Langkir (58) bahwa bangunan Sanggah Kemulan adalah penyungsungan leluhur
adalah juga penyungsungan Ida Sang Hyang Widhi. Karena itu kesejahteraan
keluarga banyak ditentukan oleh bentuk bangunan Sanggah Kemulan sebagai
pemujaan leluhur. Sedangkan bentuk samskara lainnya adalah Garbhadhana
Samskara (sembahyang pembenihan pertama) : Bentuk prilaku mi merupakan
73
samskara Garbhadana yang pertama kali dialami oleh manusia sejak semula
diciptakan. Kebiasaan mi sebenarnya tidak tampak lagi dalam masyarakat namun
prilaku mi sudah terjadi. Seperti halnya ketika kita mengawinkan binatang di
mana waktu pengawinan diadakan upacara kecil, misalnya dibawah binatang itu
diletakkan sapu lidi, batu kerikil atau lain-lainnya agar binatang beranak banyak.
Pursawana Samskara yaitu samskara untuk memohon anak laki. Upacara
Samskara mi biasanya dilakukan setelah umur kandungan itu tiga bulan.
Pentingnya upacara mi dalam masyarakat itu seperti apa yang dijelaskan dalam
kitab Grihya Sutra adalah karena arti penting anak laki-laki dalam keluarga
Hindu. Bahwa anak Laki-laki yang disebut Purusha adalah penyelamat keturunan.
Yata Karma Samskara upacara kelahiran bayi atau medapetan. Upacara
semacam mi dilakukan setelah upacara mi ketiga atau kelima. Di Bali kita jumpai
lepas puser sang bayi (lepas aon). Upacara mi dilakukan ialah agar sang bayi
dimaksudkan mendapatkan keselamatan.
Namadeya Samskara yaitu upacara pemberian nama. Upacara mi
dilakukan pada han kesepuluh atau kedelapan belas setelah lahirnya sang bayi.
Pemberian nama menurut kepercayaan agama Hindu hams diberikan sesuai
dengan norma atau namanya harus betul-betul menyenangkan diambil dan
katakata yang mempunyai arti baik. Di Bali kita jumpai pada upacara telu
bulanan, biasanya baru diberikan nama secara ritual. Tradisi mi diawali dengan
menyebutkan nama panggilan terlebih dahulu karena erat hubungannya dengan
pembuatan akta kelahiran. Sehingga anak yang baru lahir sudah diberi nama
secara sekala.
74
Nishkrama Samskara atau upacara pemujaan kepada Dewa Surya.
Upacara mi dilakukan pada anak sudah mencapai umur tiga bulan setelah anak itu
lahir. Upacara mi dimaksudkan sebagai suatu persembahyangan kepada Hyang
Surya dan upacara mi dipandang sebagai han yang pertama kalinya berhubungan
dengan kekuatan-kekuatan alam, atau kontak dengan dunia luar karena justru
setelah lewat umur tiga bulan, baru boleh di bawa keluar halaman.
Anna Frassana Samskara yaitu upacara pemberian makanan. Upacara mi
biasanya diberikan pada waktu anak telah berumur enam bulan. Di Bali upacara
mi namanya “maoton” dinamakan “annaprasana” karena pada han itu anak itu
barn boleh dikasi makan nasi atau bubur.
Shukakarma Samskara yaitu upacara potong rambut. Upacara yang
biasanya dilakukan pada waktu itu telah berumur satu oton. Rambut dipotong
hingga habis, sehingga nantinya keluar rambut baru.
Upanayana Samskara yaitu upacara mulai bersekolah. Tentang umur
berapa anak itu menerima upacara upanayana kita mendapat keterangan yang
berbeda. Sesuai umur dan kemampuan berpikir anak. Ada anak cerdas dapat
mulai sekolah pada umur lima tahun sedangkan pada anak yang normal baru
bersekolah pada umur enam tahun.
Sawitri Samskara. Yaitu upacara yang harus dilakukan dalam waktu tiga
bulan setelah memasuki sekolah atau upanayana atau sebelum mereka
menamatkan pelajaran. Biasanya upacara mi dipandang sebagai bagian dan
upacara Brahmacari Asrama. Sesudah upacara mi terdapat pula upacara dewasa
yang pada umunya dilakukan sangat sedikit sekali sekarang. Antyesti Samskara
75
yaitu upacara kematian dimana upacara mi dipandang sebagai penutup perjalanan
hidup manusia.
Dan keterangan-keterangan di atas maka nyatalah bahwa hidup dalam
masyarakat Hindu penuh dengan samskara yang tiada henti-hentinya hams
diperhatikan oleh orang tua mereka. Dengan keterangan mi maka dapatlah kita
pahami pula betapa berat tugas yang dibebankan kepada kaum Grihastha
masyarakat Hindu. Apa yang disampaikan oleh kitab Grihya Sutra tersebut adalah
memimpin keluarga untuk dapat melakukan Sarira Samskara atau pembersihan
din dan inilah sesungguhnya yadnya.
Masyarakat awam yang hanya mengetahui agama dan sudut
praktekpraktek ritual saja kata yadnya itu selalu di identikan dengan upakara
semata-mata. Demikian pula kenyataannya di Bali umunya para keluarga Hindu
menganggap kewajiban agamanya hanya ditilik dan sudut ritual saja. Yadnya yang
paling dikenal dalam masyarakat hanyalah terbatas pada panca yadnya, yang
meliputi:
1. Dewa Yadnya, adalah yadnya utama yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi.
2. Rsi Yadnya, mengajar dan membaca kitab suci sebagai yadnya pada Rsi dan Maharsi.
3. Pin-a Yadnya, adalah yadnya pada leluhur. 4. Manusa Yadnya, memberi pertolongan atau makanan kepada orangorang
yang memerlukan bantuan. 5. Bhuta Yadnya, memelihara hewan dan segala isi alam. (GA.Mas Putra,
1989:32).
Dalam Bhagawadgita lii, 14 ada disebutkan sebagai berikut:
Annad bhavanti bhutani Varja nyad annasambhavah
76
Yajnyad bhavanti prajanyo Yajnyad karmasamudbhawah
Artinya:
Dan makanan, makhluk menjelma, Dan hujan Iahirnya makanan dan Dan yadnya muncullah hujan dan Yadnya lahir dan pekerjaan. (Mantra, 1989:124).
Kesadaran untuk mensukseskan pelaksanaan yadnya sudah diyakini
sebagai kewajiban hidup, memang sudah disadari keluarga Hindu. Namun
pengertian pada panca yadnya itu masih terbatas pada pelaksanaan upacaranya
saja. Keluarga Hindu akan merasa sukses dalam hidupnya apabila dia sudah dapat
secara lengkap melakukan upacara-upacara yadnya itu. Sedangkan kalau kita tilik
arti seloka-seloka Bhagawad Gita dan kitab Hindu lainnya yang menyangkut soal
yadnya, maka pengertian yadnya jauh lebih dalam dan pada itu kalau kita
renungkan dalam-dalam. Yadnya yang menjadi kewajiban setiap keluarga
disamping ia berarti upacara penyucian atau Sarira Samskara ia juga berarti suatu
kewajiban untuk mewujudkan kebahagiaan keluarga dalam arti yang
seluasluasnya. Dengan demikian dalam melaksanakan panca yadnya berarti pula
berkewaj iban untuk meningkatkan kesej ahteraan ekonomi, pendidikna,
kesehatan, moral, hubungan yang harmonis dan pada keluarga. Demikian pula
mewujudkan hubungan yang harmonis dengan keluarga lain dalam lingkungan
masyarakat merupakan tanggung jawab bersama keluarga. Dengan kata lain kita
berkewajiban untuk mewujudkan kehidupan yang bahagia lahir batin.
Di Desa Pakrarnan Mengwi hampir 80 persen dan jumlah penduduk
memiliki Sanggah Kernulan yang megah, karena kemegahan diyakini
77
memberikan pengaruh kesejahteraan bagi keluarga. Kesejabteraan yang dicapai
memberikan rasa bakti yang sungguh-sungguh kepada leluhur, basil wawancara
dengan : Men Dewi (48) Br. Serangan Mengwi, mengatakan bahwa bangunan San
ggah Kern ulan adalah pelinggihan Bhatara Taksu artinya apabila bangunan
Sanggah Kernulan dibuat megah dan disucikan maka Bhatara Taksu memberikan
penghidupan pada keluarga yaitu pekerjaan yang ditekuni akan rnebuah
menciptakan keluarga sejabtera, rukun dan damai. (Wawancara, 17 April 2008).
Demikian juga dalam wawancara dengan Ida Ayu Santun (56) di Br. Lebah
Pangkung, dikatakan bahwa melalui bentuk Bangunan Sanggah Kemulan yang
megah, artistik dan suci maka bhakti keluarga terhadap leluhur akan membuahkan
hasil, berupa kedamaian hati, kesejahteraan dan kelanggengan hidup. mi berarti
sudah ada pertemuan antara kehidupan sekala dan niskala. Oleh karena itu perlu
dijaga kesucian dan bhakti di Sanggah Kernulan. (Wawancara, tanggal 17 April
2008).
Dalarn kenyataan yang ditemukan di masyarakat Desa Pakraman Merigwi
di Banjar Batu pada keluaga I Gusti Ngurah Suraja (70) bahwa keluarganya yang
tinggal di Jakarta, mengalami musibah penyakit yang menahun tidak kunjung
sembuh, sudah berobat ke dokter dan berbagai rumah sakit di Jakarta, namun
belum juga sembuh. Setelah mendapat pawisik untuk datang ke Bali (Jero Batan
Ancak Mengwi) menyampaikan maaf yang mendalam dana disertakan astithi
bhakti keluarga kepada leluhur akhirnya memberikan dampak yang nyata,
berangsur-angsur si sakit sembuh dan kehidupan keluarga menjadi rukun.
Kenyataan demikian memberikan bukti bahwa kehidupan dunia nyata banyak
78
dipengaruhi oleh kehidupan leluhur di dunia tidak nyata, ratio manusia tidak dapat
menyangkal bahwa sesuatu yang aneh dan ajaib terjadi karena pengaruh dunia
tidak nyata. Seperti halnya kita mohon rejeki untuk mendapatkan kerja, dengan
besungguh-sungguh memohon petunjuk dan perlindungan leluhur di Sanggah
Kernulan jalan akan terbuka dan keberhasilan menyertainya. Demikian juga
dalam mengatasi penyakit yang luar biasa, tidak dapat disembuhkan oleh dokter
dengan yadnya dan astithi bakti yang bersungguh-sungguh akan ditemukan jalan
keluarnya yang terbaik.
4.2.3 Pelestarian Budaya Bali
San ggah Kern ulan keluarga Hindu sesungguhnya memiliki corak budaya
Bali yang khas, karena bentuk yang unik dan letaknya pada arah kaja kangin.
Dalam keberadaannya keluarga Hindu memiliki tugas memelihara San ggah Kern
ulan untuk dapat diwariskan kepada generasi keturunannya. Bahwa pelestarian
budaya semacarn mi memegang peranan sangat utama dalam kelangsungan hidup
keluarga Hindu dengan budaya Bali dalam perjalanan ke depan. Masyarakat Desa
Pakraman Mengwi dapat memperindah dengan memadukan budaya luar seperti
budaya China dan budaya Eropa yang modern. Hal demikian akan nampak jelas,
terutama pada Merajan Agung pada keluarga raja dan masyarakat kaya, dimana
keberadaan Sanggah Kemulan sudah demikian megah dan terkesan modern.
Dalam penelitian terdapat pada Pun Agung Mengwi, pada keluarga kaya dan pada
keluarga maju. Keluarga mi memang memiliki segalanya, fasilitas yang memadai
dan sumber daya manusia yang tinggi, sehingga dapat menerima budaya baru
79
yang modern. Keadaan demikian tidak lepas dalam hubungannya dengan karma
wasana dan kehidupan mereka di kelahiran dahulu dan pada masa kini.
Dalam wawancara dengan Ida Bagus Anom (58) dan Jro Mangku Langkir
(58) bahwa fungsi dan makna Sanggah Kernulan yang terkesan agung, megah dan
sakral sebagai rasa bakti kepada leluhur yang disucikan, karena leluhur akan
memberikan jalan terbáik bagi preti sentana untuk mencapai kemakmuran dan
kebahagiaan. (Tanggal 2 April 2008). Kenyataan yang didapatkan adalah benar
bahwa keluarga yang memiliki Sanggah Kernulan tergolong megah, indah dan
suci, hidupnya sejahtera dan maju, berbeda dengan keluarga dimana Sanggah
Kern ulannya rusak atau sederhana, kehidupan ekonominya masih morat-marit.
Bagi masyarakat di desa Pakrarnan Mengwi dimana tingkat keberhasilan
ekonomi masyarakat tinggi, maka dibuatlah San ggah Kern ulan demikian megah,
indah dan suci lebih-lebih karena wilayah Desa Mengwi adalah pusat
pemerintahan kerajaan di jaman dahulu. Peninggalan seperti mi masih dapat
dirasakan sampai sekarang. Berdasarkan tata ruang daerah Bali, bahwa wilayah
Desa Pakraman Mengwi berbentuk Padma Bhuwana, dimana pusat pemerintahan
adalah Purl Agung Men gwi adanya di tengah kota berdekatan dengan
Permandian Tarnan Ayun, dikelilingi rumah penduduk para pepatih raja/andel-
andel purl seperti jero kaleran Keluarga Gusti Agung Jagra, di timur adalah Griya
Gde, di selatan adalah Keluarga Pasek Pesandakan dan di Barat adalah Jero Gede
kerluarga Dewa Agung Putu, semuanya memiliki rakyat (pengabih) sebagai abdi
setia. Dengan demikian kedudukan Purl Agung Mengwi menjadi aman. Bentuk
pemerintahan seperti mi mengingatkan kita pada sistem pemerintahan raja-raja di
80
jaman dahulu yang masih dapat diwarisi sampai sekarang, seperti tata ruang
pemerintahan Gubernur Bali, yang dikelilingi Kodam, Polda, Kantor
Pemerintahan dan perumahan masyarakat. Konsep demikian berawal dan
keberadaan Dewata Nawa Sanga yang mengelilingi Pulau Bali, bahwa Pura
Besakih stana Ida Bhatara Siwa adalah pusat kekuatan dikelilingi Sad Kahyangan
stana para dewa yang adanya di seluruh wilayah Kabupaten di Bali.
Konsep pemerintahan seperti in menyebabkan Pulau Bali menjadi dikenal
masyarakat dunia karena memiliki konsep penyatuan sekala niskala. Dengan
penerapan konsep demikian Budaya Bali akan menjadi tetap aman, kehidupan
masyarakatnya menjadi dinamis, religius dan tetap menjadi idaman para
wisatawan. Kejayaan kerajaan Mengwi di jaman raja I Gusti Agung Blambangan,
mengantarkan konsep tata ruang Desa Pakraman Mengwi seperti apa yang
diwariskan sekarang ini.
Oleh Pemerintah Kabupaten Badung, telab diusahakan pelestarian budaya
Bali agar keberadaan Sanggah Kemulan di masing-masing keluarga dapat tetap
dipertahankan bentuk dan fungsinya, sehingga dapat dimaknai sebagai media
pendidikan agama, pemersatu keluarga dan perdamaian dunia. Konsep mi
mencerminkan konsep dasar Tn Hita Karana yang artinya jalinan kehidupan yang
harmonis antara Manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi atau leluhur yang
disungsung di Sanggah Kemulan, jalinan kerukunan dan kebersamaan dengan
sesama manusaia dalam kehidupan bermasyarakat dan jalinan keharmonisan
dengan pelestarian lingkungan sebagai penopang kehidupan bersama.
81
Keharmonisan hidup dalam budaya Hindu lebih mengutamakan
keharmonisan hubungan antara dunia sekala dengan dunia niskala, konsep
penyatuan antara Kawula lan Gusti, konsep ulu teben sehingga mencerminkan
kehidupan yang damai, beradab dan sejahtera. Konsep demikian harus didukung
oleh masyarakat Desa Paknaman Mengwi yang dewasa mi sudah beragam agama,
budaya dan etnis, untuk dapat saling menghargai, saling menjaga dan hidup dalam
kebersamaan untuk mencapai kesejahteraan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
82
Berdasarkan uraian di atas maka dalam bab mi akan diuraikan simpulan
dan saran sebagai berikut:
6.1 Simpulan
1. Bangunan Sanggah Kemulan pada keluarga Hindu Desa Pakraman
Mengwi, dapat dilihat pada keluarga besar dan kecil. Pada keluarga
besar bentuk bangunan SanggahKemulan sudah demikian megah,
dibangun pada arah kaja kangin, bersama dengan pelinggih
pesimpangan lainnya, disungsung oleh keluarga besar baik yang
bertempat tinggal dekat maupun bagi mereka yang bertempat tinggal
jauh. Bentuk Sanggah Kemulan pada keluarga kecil, dibuat sederhana,
karena keluarga kecil terikat pada Sanggah Kemulan keluarga besar.
Bangunan Sanggah Kemulan adalah berbentuk rong tiga, dimana pada
rong paling kin disebut pelinggih ibunta, paling kanan disebut bapanta
dan di tengah disebut raganta.
2. Sanggah Kemulan masyarakat Desa Pakraman Mengwi, pada intinya
berfungsi sbagai stana pemujaan leluhur keluarga, karena hanya anggota
keluarga yang telah meninggal dan telah diupacarai pada tingkatan
ngaben dan memukur yang dapat distanakan di pelinggih Sanggah
Kemulan, bersama-sama dengan para leluhur pendahulunya, selanjutnya
untuk dipuja dan disucikan oleh keturunannya.
3. Sanggah Kernulan Desa Pakraman Mengwi memiliki makna persatuan
sekala niskala. Secara sekala dapat dipersatukan keluarga besar dan
keluarga kecil yang tempat tinggalnya berjauhan tatkala ada piodalan.
83
Secara niskala Sanggah Kemulan juga dapat menyatukan hubungan
antara leluhur yang telah meninggal dan telah disucikan dengan preti
sentana yang masih hidup, untuk dapat saling menjaga, saling
melindungi dan saling membahagiakan. Selebihnya juga berfungsi
sebagai upasaksi dalam upacara perkawinan dan juga sebagai pelestarian
budaya Bali. Melalui media Sanggah Kern ulan dapat dilakukan
penyucikan din, selalu astithi bhakti kehadapan leluhur, Ida Sang Hyang
Widhi, agar hidup sehat dan sejahtera serta berguna bagi masyarakat
luas.
6.2 Saran-Saran
1. Bentuk bangunan San ggah Kemulan masyarakat Desa Pakraman Mengwi
yang sudah megah, indah dan religius, hendaknya tetap dipertahankan,
agar nilai kesuciannya dapat lebih dirasakan keluarga.
2. Sanggah Kernulan sebagai media penyatuan keluarga harus juga tetap
dipertahankan, karen menyatu dalam keluarga jauh lebih erat sebab
dirahrnati leluhur (secara niskala,), sedangkan bagi generasi penerus agar
tetap menjaga kesucian sanggah kemulan sebagai media pendidikan
agama agar hidup lebih berarti bagi masyarakat.
3. Adanya Sanggah Kemulan di masing-masing keluarga, utamanya bagi
keluarga kecil, dapat dimanfaatkan untuk mendekatkan din kepada leluhur
dan Ida Sang Hyang Widhi, sebagai bentuk pengamalan ajaran agama.
Dengan berbakti kepada leluhur sebagai sat guru niscaya jalan hidup
84
menjadi terang sehingga gangguan dan hambatan dapat dilalui dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bajrayasa, Gde, 1981 .Acara I. Denpasar : Departemen Agama Bali.
85
Desa Pakraman Mengwi, 2006. Monografi Desa Mengwi. Badung : Desa
Pakraman Mengwi.
Depdiknas. 2003. Undang-Undang Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Geria, Wayan, 1996. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Bali,
Denpasar :Upada Sastra.
Hadi, Sutrisno. 1982. Metodologi Research. Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM.
Jingga, 1965. Upadesa. Denpasar: PHDI. Pusat.
Koentjaraningrat. 1975. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Dian
Rakyat.
1978. Antropologi Sosial. Jakarta: Gramedia.
1979. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
.l980. Kebudayaan Mentaliteit Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Linus. Kt. 1986. Fungsi Dewa Pitra Pratista. Denpasar: Fak.Sastra.
1994. Kajian Budaya Austronesia I. Denpasar: Fak Sastra.
Mariasusay,D.1995.Fenomenalogi Agama. Jakarta: Kanisius.
Maswinara, Wayan. 1999. Dewa Dewi Hindu. Denpasar: Upada Sastra.
Mantra, TB. 1989.Tata Susila Hindu Dharma. Jakarta: PHDI. Pusat, Jakarta.
Bhagavadgita. 1989. Jakarta: Dep. Agama R.I. ‘
Meichati, Siti. 1979. Penantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: FKIP. Yogyakarta.
Mudana, Dkk. 2006. Agama Hindu SLTA. Denpasar : Ganesha.
Netra, lB. 1975. Metodologi .Penelitian. Singaraja : FKIP. Singaraja.
Parisadha Hindu Pusat. 1982/1983. Kep. Seminar Kesehatan Tapsir Aspek-Aspek
Agama Hindu. Denpasar :Dep. Agama Prop. Bali.
86
Puja, Gde. 1985. Fengantar Agama Hindu.I, II, III. Jakarta: Mayasari.
1982. Theologi Hindu. Jakarta Mayasari. 1/
1985. Sarassamuscaya. Jakarta : Dep. Agama R.I. .Z
1976. Isa Upanisad. Jakarta: Mayasari.
Puja, Gde, dan Tjok. Rai S. 1988/1989. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Dep.
Agama.
Puniatmadja, lB. Oka. 1976. Panca Sradha. Jakarta: Dep. Agama R.I.
Purwita, lB. 1979. Dewa Yadnya. Denpasar: Penda. Tk. I. Bali.
1988. Upacara Ngaben di Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Putra, IGA. 1981. Cudamani. Denpasar. IHD.
Putra, IGA.Mas. 1979. Upakara Yadnya. Denpasar: IHD.
Pudok Bali. Transkrip BabadMengwi. Denpasar: Pusdok Bali.
Radhakrisnan, 1989. Upanisad-Upanisad Utama L Surabaya: Paramitha.
Singgih, Kt. Wikarman, 1999. Ngaben Sederhana di Bali. Denpasar: Upada
Sastra.
Sura, Gde. 1979. Pengantar Tattwa Darsana. Denpasar: IHD.
Surpha, Wayan. 1993. Awig-Awig Desa Adat Bali. Denpasar Pararnitha.
Soekatno, Hardiati. 1993, Arca Tidak Beratribut Dewa Di Bali. Jakarta: Fak
Sastra Universitas Indonesia.
Soekamto, M. Noor. Dkk.1979. Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Dalam
Penelitian. Jakarta: Fak. Hukum UI.
Soekmono, 1974. Sejarah Kebudayaan Indonesia I, Jakarta: Per. Press.
87
Soerjono.R.P. 1977. Sistem Penguburan Pada Masa Akhir Prasejarah Di Bali.
Jakarta: Gramedia.
Sutaba, Gde,1989. Bali Purbakala. Denpasar. Upada sastra.
Suprayoga dan Tabroni, 2001. Metodologi Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Titib.M.2000. Simbol Dalam Hindu. Denpasar. Paramitha.
Warna, Wayan.1993. Kamus Kawi Bali. Denpasar : Dinas Pengajaran Propinsi
Bali.
Warna, Wayan. Dkk. 1988. Kekawin Ramayana. Denpasar: Dinas Pengajaran
Propinsi Bali.
Wesnawa, lB. 1984. Perdamaian Dipandang Dan Ajaran Agama Hindu.
Denpasar: IHD.
1989. Pelinggih Di Pemerajan. Denpasar : Upada Sastra.
Wa4€’ 1998. Upacara Nuntun Dewa Hyang. Surabaya: Paramitha.
J.Winkel, 1996. Metodologi Pendidikan, Dasar, Menengah dan Tinggi. Jakarta:
Jembatan.
Wiratmadja, IGK. Adia. Etika/Tatasusila Hindu. Denpasar: IHD.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : I Wayan Gendra, S.Pd.
88
Jenis Kelamin : Laki — laki
Umur : 48 tahun
Pekerjaan : Tokoh Masyarakat, Kepala SD.3 Mengwi
Alamat : Br, Batu Mengwi, Kecamatan Mengwi,
Kabupaten Badung.
Tanggal Wawancara 2 April 2008
Hasil Wawancara : Sanggah Kemulan adalah stana leluhur untuk dipuja
oleh preti sentana, agar mudah melakukan hubungan
bathin dan spiritual, guna mendapatkan kehidupan
yang sejahtera, aman dan bahagian
2. Nama : TB. Anom.
Jenis Kelamin : Laki — laki
Umur : 58 tahun
Pekerjaan : Guru Agama Hindu
Alamat : Br. Batu Mengwi, Kabupaten Badung.
Tanggal Wawancara : 12 April 2008
Hasil Wawancara : Sanggah Kemulan yang juga disebut Kemulan Agung,
adalah tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi,
para dewata dan para leluhur, yang dipuja oleh
angggota keluargalkeluarga besar guna memohon
perlindungan dan limpahan amertha kehidupan.
3. Nama : I Ketut Sumarjaya, S.Sos.
Jenis Kelamin : Laki-Laki
89
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Sekretaris Desa Mengwi
Alamat : Br, Peregae Mengwi, Kabupaten Badung.
Tanggal Wawancara : 12 April 2008
Hasil Wawancara : Sanggah Kemulan di Desa Mengwi, memang adanya
di setiap keluarga, namun pada keluarga besar ada
Merajan Agung di sana terdapat juga pelinggih
Padmasana dan pelinggih lainnya yang dipuja
sebagai para dewata dan bhatara-bhatari.
4. Nama : Ida Ayu Santun
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 56 tahun
Pekerjaan : Serati
Alamat : Br, Lebah Pangkung Mengwi, Kabupaten Badung.
Tanggal Wawancara : 17 April 2008
Hasil Wawanacara : Untuk pemujaan di Sanggah Kemulan, bisa dengan
upacara ageng alit, sesuai dengan piodalan yang
diselenggarakan. Dapat pula digunakan sebagai
tempat meditasi untuk mendekatkan din kepada
leluhur, para deweata dan Ida Sang Hyang Widhi,
guna mendapatkan keselamatan dan kerahajengan.
5. Nama : Ni Ketut Murni (Men Dewi)
Jenis Kelamin : Perempuan
90
Umur : 48 tahun
Pekerjaan : Tukang Banten
Alamat : Br, Serangan Mengwi, Kabupaten Badung.
Tanggal Wawancara : 17 April 2008
Hasil Wawancara : Sanggah Kernulan pada keluarga besar, memang
dilengkapi dengan pelinggih dewa dan padmasana,
karena upacara yang disajikan adalah besar berbeda
dengan Sanggah kernulan pada keluarga kecil, hanya
ada bangunan Sanggah Kernulan, pelinggih taksu dan
tugu saja, sehingga upakara yang disajikan juga boleh
kecil.
6. Nama : JroMangku Langkir
Jenis Kelamin : Laki — laki
Umur : 58 tahun
Pekerjaan : Pemangku desa
Alamat : Br, Gambang, Kecamatan Mengwi,
Kabupaten Badung.
Tanggal Wawancara : 2 April 2008
Hasil Wawancara : Sanggah Kernulan adalah stana leluhur untuk dipuja
oleh preti sentana, pemujaan di sanggah kemulan,
pura desa dan kahyangan jagat, harus dengan hati
suci dan menggunakan sarana banten.
91
Karena kelengkapan upacara akan memberikan
pahala yang optimal.
7. Nama : Drs. Ketut Bagiartha, M.Si.
Jenis Kelamin : Laki — laki
Umur : 56 tahun
Pekerjaan : Dosen Agama Hindu
Alamat : Br. Lebah Pangkung Mengwi, Kabupaten Badung.
Tanggal Wawancara : 12 April 2008
Hash Wawancara : Sanggah Kemulan atau Merajan Agung memang
penyungsungan leluhur, namun juga distanakan para
dewata-dewati yang ngeyangyangin keluarga,
bersama-sama juga disungsung Idd Bhatara Taksu
dan Ida Sang Hyang Widhi. Sanggah kemulan
Agung seperti mi dibuat meriah, menurut status
keluarga, terutama di Fun Agung Men gwi.
8. Nama : Drs. Gst.Ngr. Dwaja, SH.MH.
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 62 tahun
Pekerjaan : Praktisi Hukum
Alamat : Br. Tengah, Desa Kapal, Kec. Mengwi. Kabupaten
Badung.
Tanggal Wawancara : 18 April 2008
92
Hasil Wawancara : Sanggah Kemulan Bagi keluarga besar dapat dibuat
seindah mungkin, agar terkesan megah, karenanya
dapat difungsikan sebagai media pendidikan dan
persatuan keluarga, dalam membahas berbagai
masalah kemasyarakatan, sosial dan kuhum serta
masalah agama yang terpenting. Melaksanakan
yadnya memang harus ikhlas dan suci, karena dapat
mempengaruhi daya pikir, mencapai kejernihan
melihat yang benar dan yang salah, serta menetapkan
yang benar untuk dimenangkan.
9. Nama : Dra. Ida Ayu Sri Sutari, M.Si
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 56 tahun
Pekerjaan : Dosen STISIP. Margarana Tabanan
Alamat : Br. Tengah Desa Kapal. Kec. Mengwi, Kabupaten
Badung.
Tanggal Wawancara : 18 April 2008
Hasil Wawanacara : Sanggah Kemulan, masyarakat di sini yang disebut
San ggah Gede memang dibangun megah, mengingat
penyungsungnya adalah keluarga besar, namun pada
keluarga kecil bisa dibangun sederhana yang penting
nilai kesucian dapat tetap dipertahankan. Keluarga
kita sudah mengenal, nista mandala, madya mandala
93