HUBUNGAN ANTARA CAREER CALLING DENGAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING PADA PENDETA GEREJA TORAJA DI TORAJA
OLEH
ESLIANTI WILANDARI NOMARSA PATMA
80 2012 080
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
1
2
HUBUNGAN ANTARA CAREER CALLING DENGAN
PSYCHOLOGICALWELL-BEING PADA PENDETA GEREJA TORAJA DI
TORAJA
Eslianti Wilandari Nomarsa Patma
Christiana Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara career calling dan
psychological well-being pada Pendeta Gereja Toraja di Toraja. Jumlah partisipan dalam
penelitian ini adalah 150 orang dengan pengambilan data menggunakan tehnik snowball
sampling. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional. Alat ukur yang
digunakan adalah Calling and Vocation Questionnaire (CVQ) dan Ryff’s Psychological
Well-Being Scale (RPWB). Analisis data menggunakan Pearson Product Moment dengan
SPSS 16.0 for windows. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif signifikan
antara career calling dan psychological well-being dengan hasil r = 0.431 dengan nilai
signifikansi sebesar 0.000 (p <0,05) yang artinya semakin tinggi career calling maka
semakin tinggi pula psychological well-being. Career calling memberikan sumbangan
terhadap psychological well-being sebesar 18.6% (r2=0.186) di mana 81.4% dipengaruhi
oleh faktor lain. Tingkat kategorisasi career calling berada pada kategori sangat tinggi
(mean 55.89) dan psychological well-being berada pada kategori tinggi (mean 89.98).
Kata kunci: career calling, pendeta gereja toraja, psychological well-being
ii
Abstract
This study aims to inventigate the relationship between career calling and psychological
well-being in the Priest of Toraja Church in Toraja. The sample in this study was 150
people with decision-compaction using snowball sampling. This research is a quantitative
correlation. Measuring instrument used in this study refers to Calling and Vocation
Questionnaire (CVQ) and Ryff's Psychological Well-Being Scale (RPWB). Data analysis
using Pearson Product Moment with SPSS 16.0 for Windows. The results showed a
significant positive correlation between career calling and psychological well-being with
the result r = 0.431 and significance value of 0.000 (p <0.05), it means the higher of the
career calling then will also higher of psychological well-being. The main result shows
that career calling influence psychological well-being with 18.6%(r2=.0186) of
contribution, which 81.4% are explained by other factors.Categorization level of career
calling is very high (mean 55.89) and psychological well-being in high(mean 89.98).
Keywords: career calling, priest of toraja church, psychological well-being
1
PENDAHULUAN
Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Buddha dan Khonghucu (Penetapan Presiden RI Nomor 1 tahun 1965) beserta
dengan lembaga dan sebutan untuk setiap pemimpin (hamba Tuhan). Setiap agama
memiliki sebutan tersendiri bagi pemimpin agamanya. Dalam agama Kristen, menjadi
pemimpin (seorang pendeta) berarti menjadi pelayan. Menurut Dahlenburg (1999) pendeta
adalah seorang hamba yang diutus Tuhan untuk melayani dan bertanggung jawab dengan
apa yang Tuhan percaya untuk menyampaikan Injil kebenaran kepada semua orang. Oleh
sebab itu, seorang Pendeta juga akan menemukan pengalaman hidup dalam menjalankan
tugas pelayanannya yang memengaruhi kehidupan dan kesejahteraannya. Hal ini senada
dengan yang diungkapkan Ryff (dalam Binarti, 2012) menyebutkan bahwa psychological
well-being (PWB) seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup serta pemaknaan
hidup orang tersebut.
Sebagaimana yang diketahui bahwa PWB merupakan istilah yang menggambarkan
kesehatan psikologis seseorang berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif
(Ryff & Keyes, 1995). PWB juga merujuk pada pandangan Rogers mengenai individu
yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow mengenai aktualisasi
diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep
Allport tentang kematangan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang
mencapai integrasi dibanding putus asa, konsep Neugarten tentang kepuasan hidup, serta
konsep Johada tentang kriteria positif pada individu yang bermental sehat (Ryff, 1989).
Dengan demikian, PWB seseorang dapat ditemukan dan dipengaruhi oleh banyaknya hal
dalam kehidupannya.
2
Dalam kehidupan kependetaan seorang Pendeta, yang juga berlaku dalam
kependetaan Pendeta Gereja Toraja tentunya akan menemukan sejauh mana ia merasa
nyaman, damai dan juga bahagia berdasarkan apa yang diperoleh dari pengalaman hidup di
berbagai tempat tugasnya di mana salah satu wilayah yang menjadi tempat Pengabaran
Injil adalah Toraja yang terletak dibagian Utara Sulawesi Selatan, dengan mayoritas
beragama Kristen dan terdiri dari 2 kabupaten yaitu Tana Toraja (Makale) dan Toraja
Utara (Rantepao) yang mana kekristenan di Toraja pertama kali diperkenalkan oleh
seorang Zendeling (Pekabar Injil) dari Nederlandse Hervormde Kerk (NKH)
bernamaAntonie Arisvan deLoosdrecht (id.wikipedia.org).
Semakin berkembangnya zaman, membuat individu semakin mencari cara untuk
memperoleh kebahagiaan karena kebahagiaan menurut Badburn (dalam Ryff, 1989)
merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin
dicapai oleh setiap manusia. Perolehan kebahagiaan ini didapatkan dari hal positif dan hal
negatif yang akan menentukan arah dan tujuan hidup individu tersebut. Selalu ada usaha
yang harus dilakukan untuk memperoleh tujuan hidup yang artinya semakin dekat dengan
tujuan hidup, semakin dekat pula kebahagiaan yang diperoleh seperti saat bekerja sebagai
seorang Pendeta. Dalam memaknai tugas panggilan, tentu akan berbeda setiap individu.
Hasil wawancara dengan Pendeta Gereja Toraja yang berdomisili di Toraja pada bulan
November dan Desember 2015 mengungkapkan bahwa menjadi seorang pendeta
merupakan suatu tanggung jawab hidup dan panggilan pelayanan menjadi alasan untuk
mengemban tanggung jawab tersebut. Di samping itu, menjadi seorang pendeta
memberikan kebahagiaan, menemukan makna dan arah kehidupan berdasarkan
pengalaman pribadi dan untuk menyusun tujuan hidupnya sebagai bentuk pelayanan.
Senada dengan yang diungkapkan Ryff (dalam Rahayu, 2008) bahwa pengalaman hidup
3
tertentu dapat memengaruhi kondisi PWB seorang individu yang mencakup berbagai
bidang kehidupan dalam berbagai periode kehidupan.
PWB seorang Pendeta dapat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti tuntutan kerja,
lingkungan, dukungan sosial dan religiusitas. Selain itu, agama juga turut mengambil peran
dalam penentuan PWB seseorang (Pinquart & Sorenson, 2000). Selain itu, penelitian yang
dilakukan Puspita (2012) menunjukkan bahwa dukungan sosial dan pemaknaan pekerjaan
sebagai sebuah panggilan pada perawat berkorelasi positif dengan semangat kerja dan
dedikasi serta banyaknya waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan tanpa merasa terbebani.
Hal ini menunjukkan bahwa salah satu faktor yang dapat memengaruhi PWB seseorang
adalah karena panggilan (calling) dalam pekerjaan.
Selama reformasi Protestan pada abad 16 dan 17, persepsi mengenai calling
diperluas dan banyak pemimpin agama seperti Martin Luther dan John Calvin berpendapat
bahwa setiap pekerjaan memiliki signifikansi dengan spiritualitas (Wells, 2012). Hunter et
al. (2010) mendefinisikan calling sebagai (1) suatu panggilan dari Tuhan untuk mengejar
jenis pekerjaan tertentu, (2) bekerja yang dimotivasi oleh pencarian pemenuhan dan
keinginan untuk memengaruhi masyarakat dan (3) adanya gairah, bakat, arah dari Tuhan di
dalam hati seseorang (dalam Wells, 2012). Selain itu, Bandura, Elangovan et al. (dalam
Praskova, A., Creed, P.A., & Hood, M., 2015) mengemukakan bahwa career calling
melibatkan pengembangan dan pencapaian berdasarkan nilai pribadi, berorientasi pada
pada tujuan dan tindakan, adanya motivasi diri dan proses adaptif yang diperlukan dalam
pencapaian tersebut. Senada dengan hal ini, ditemukan bahwa sebagai seorang Pendeta
perlu pengembangan dan pencapaian yang dilakukan dalam menjalani pekerjaan tersebut.
Konsep career calling memiliki sejarah yang panjang dalam konteks budaya Barat.
Menurut Colozzi dan Colozzi (dalam Praskova A., et al, 2015), career calling dikonsepkan
4
sebagai permintaan pribadi dari Tuhan bagi seseorang untuk memenuhi tugas atau peran
tertentu. Kemudian Hall dan Chandler, Weis, et al. dikembangkan lagi dengan
menambahkan penekanan pada pencarian secara aktif untuk pengembangan diri dan
pekerjaan (dalam Praskova A., et al, 2015). Di zaman modern ini, career calling diartikan
sebagai sebuah peluang untuk menciptakan pekerjaan sosial yang berguna untuk semua
lingkungan sosialnya (Wrzesniewski, 2010).
Jabatan kependetaan bukanlah jabatan pribadi yang dimiliki pendeta melainkan
suatu jabatan yang dipercayakan kepadanya oleh Tuhan (Deta, 2011). Jabatan kependetaan
akan membawa dirinya hidup dengan standar tingkah laku yang diharapkan masyarakat
(Ananda, 2009) karena setiap individu memiliki cara dan alasan dalam menentukan
pekerjaan mereka diantaranya karena pelayanan, panggilan, bahkan tuntutan orang
terdekat. Sebagai hamba Tuhan, jabatan yang dimiliki Pendeta adalah panggilan dalam
hidupnya yang didapat dari berbagai kejadian dan rutinitas yang dijalani karena tuntutan
pekerjaan misalnya pelayanaan di berbagai daerah kerja dikarenakan mutasi/perpindahan
tempat tugas dengan kondisi daerah yang ditempati juga tidak selalu sama, pertukaran
mimbar, pengalaman saat akan bertemu dengan orang-orang dalam Jemaat, pergumulan
dalam Jemaat dan juga dalam keluarga.
Rassieur (dalam Ananda, 2009), menemukan bahwa Pendeta memilik beban yang
sangat besar dalam melayani Jemaat dan lebih dari 3.500 Pendeta yang ditelitinya
menyatakan bahwa Pendeta mengalami stres yang menimbulkan tekanan dan pertentangan
antara realita yang terjadi dalam pelayanan dengan idealisme mereka ketika masuk dalam
profesi tersebut. Sionhanjaya (2013) mengungkapkan bahwa dalam perjalanan tugas dan
tanggung jawab sebagai seorang hamba Tuhan, ada berbagai tantangan dan tekanan yang
dialami oleh seorang hamba Tuhan. Selain itu, Dr. W. A. Criswell (2012) menulis sebuah
5
artikel yang berjudul The Pastor Facing Discouragement and Failure (Pendeta yang
Sedang Menghadapi Keputusasaan dan Kegagalan) mengungkapkan beberapa masalah
yang dialami oleh hamba Tuhan misalnya saat akan mengevaluasi di dalam dirinya
mengenai penampilannya (saat berkhotbah) di atas mimbar; apa yang ia hayati sebagai
keberhasilan dan apa yang ia hayati menjadi kekurangannya. Ketika hamba Tuhan sedang
berkhotbah di depan mimbar, ia akan melihat respon yang ditunjukkan oleh jemaat
sebagai pendengar. Apabila ada jemaat yang tidur, ribut sendiri atau tidak memperhatikan,
hamba Tuhan akan melakukan introspeksi mengenai performanya ketika telah berkhotbah
dan apa yang menjadi keberhasilan dan kekurangannya (dalam Sionhanjaya, 2013).
Dalam Himpunan Keputusan Sidang Majelis Sinode XXIII Gereja Toraja (Juli
2011) mengenai pelayan dan kepemimpinan ditemukan beberapa hal diantaranya jumlah
tenaga pelayan yang cukup besar namun menjadi kelemahan keteladanan dan komitmen
pelayan gerejawi masih banyak dipertanyakan, kurang terbuka untuk mengembangkan diri,
kurangnya semangat meningkatkan pengetahuan, wawasan, keterampilan. Hal-hal ini
terkait pula dengan kesejahteraan psikologis yang dimiliki seorang Pendeta Gereja Toraja.
Di samping itu, hasil wawancara dengan beberapa Pendeta pada bulan Desember 2015 dan
Maret 2016 menunjukkan bahwa menjadi seorang Pendeta tidaklah mudah, Pendeta juga
terkadang berada dalam dilema antara tuntutan dan tanggung jawabnya, akan hal yang
diprioritaskan dalam kehidupannya yang tidak lepas dari apa yang ingin ditunjukkan dalam
gambaran idealis mengenai diri di tengah-tengah umat, akan melakukan penyesuaian diri
dengan kehidupan Jemaat dan lingkungan tempat tinggalnya yang tentunya membutuhkan
waktu dan proses, relasi dengan rekan kerja dan jemaat yang tidak selalu berjalan mulus,
bagaimana dalam pelayanannya terkadang mengalami gejolak beban yang dijalani seperti
menjaga sikap dan citra diri positif, tutur kata di tengah Jemaat dan lingkungan. Namun,
6
penguatan dari orang terdekat dan dari dalam diri akan kembali membantu menjalani
pekerjaannya dan selalu berfikir positif, mampu melihat masa lalu sebagai bagian dari
dalam diri, perlu menyelesaikan permasalahan sesegera mungkin dengan
mempertimbangan segala hal. Dari berbagai pengalaman tersebut yang kemudian dijadikan
sebagai bahan evaluasi diri sebagai bagian dari pembentukan diri. Hal ini senada dengan
yang dikemukakan Keyes et al. (2000) bahwa PWB mengacu pada persepsi dan evaluasi
individual mengenai kualitas hidupnya (dalam Mardiah, 2010). Dengan demikian, sebagai
seorang Pendeta juga tidak lepas dari persoalan kependetaannya dalam jemaat yang
memengaruhi kehidupan dan kesejahteraannya. Untuk itulah perlu adanya keseimbangan
dalam menjalankan tugas pelayanan untuk pemenuhan kesejahteraan psikologisnya.
Berdasarkan fenomena yang ada di atas, penulis menemukan bahwa meskipun
masih ada Pendeta yang belum merasakan kesejahteraan psikologis secara penuh namun
sebagai seorang Pendeta, panggilan dalam pekerjaan menjadi motivasi dan semangat
dalam pekerjaan karena setiap individu menginginkan kesejahteraan psikologis dalam
kehidupannya.. Hipotesis yang diajukan peneliti adalah terdapat hubungan positif
signifikan antara career calling dan PWB pada Pendeta Gereja Toraja di Toraja.
7
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Well-Being
Definisi Psychological Well-Being
Psychological Well-Being merupakan salah satu pandangan dalam psikologi positif
dengan pandangan bahwa kesehatan mental individu mengarah pada adanya
kesejahteraan. Pengertian PWB yang digagas oleh Ryff (1989) merupakan suatu
pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, bukan hanya sekedar bebas dari
tekanan atau permasalahan mental saja tetapi juga lebih dari itu sebagai suatu keadaan
ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki
tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi
yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan dan terus bertumbuh secara personal.
Dimensi-dimensi Psychological Well-Being
Terdapat 6 dimensi yang memengaruhi PWB menurut Ryff (1989) diantaranya:
a. Penerimaan Diri (self-acceptance)
Penerimaan diri diartikan sebagai sikap positif terhadap diri sendiri yaitu
mengenali dan menerima berbagai aspek dalam dirinya baik yang positif maupun
yang negatif serta memiliki perasaan positif terhadap kehidupan masa lalunya.
b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others)
Hubungan positif dengan orang lain diartikan sebagai kemampuan individu untuk
mengelola hubungannya dengan orang lain secara emosional, adanya rasa
kepercayaan satu sama lain yang membuat individu tersebut merasa nyaman yang
ditimbulkan dari adanya kedekatan yang berarti dengan orang yang tepat sebagai
kualitas hubungan dengan orang lain.
8
c. Otonomi (autonomy)
Otonomi diartikan sebagai kemampuan individu dalam mengambil keputusan
sendiri dan mandiri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bersikap
dengan cara yang benar, berperilaku sesuai dengan standar an nilai individu dan
mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadi.
d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Penguasa lingkungan diartikan sebagai adanya kemampuan untuk memilih atau
menciptakan lingkungan yang sesuai, suatu perasaan yang kompeten dan
penguasaan dalam mengatur lingkungan, memiliki minat yang kuat akan hal-hal
diluar dirinya, berpartisipasi dalam berbagai aktivitas serta mampu
mengendalikannya.
e. Tujuan hidup (purpose in life)
Tujuan hidup diartikan sebagai tujuan yang hendak dicapai dalam hidup yang
memiliki keterarahan, keyakinan dan pandangan tertentu yang dapat memberikan
arah dalam hidupnya, memiliki perasaan menyatu dan seimbang.Perubahan tujuan
dalam hidup merupakan bagian dari rentang kehidupan seperti menjadi produktif
dan kreatif.Individu yang berfungsi positif memiliki tujuan, niat dan arah dalam
tujuan hidup, yang berkontribusi pada perasaan bahwa hidup ini bermakna.
f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
Perkembangan diri diartikan sebagai kemampuan untuk melalui tahap-tahap
perkembangan, adanya keterbukaan pada pengalaman baru, menyadari potensi
yang ada dalam dirinya dan melakukan perbaikan dalam hidupnya setiap waktu.
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi PWB antara lain status sosial ekonomi,
dukungan sosial, usia, religiusitas, budaya, kepribadian dan juga jenis kelamin. Selain
9
itu, dalam penelitian Wardani (2014) memperoleh hasil bahwa career calling
berkorelasi positif terhadap PWB petugas Lembaga Permasyarakatan Klas I Semarang.
Artinya bahwa setiap pekerjaan membutuhkan panggilan kerja terlebih pada Pendeta di
mana kependetaan yang dimiliki terkait dengan kehidupan Jemaat, terkait dengan tugas
pelayanan kependetaan seperti yang telah dikemukakan di atas dalam Pasal 13.
B. Career Calling
Definisi Career Calling
Career Calling didefinisikan sebagai panggilan akan pekerjaan yang melibatkan aspek
tertentu yang akanmemunculkan rasa kompetensi, adanya penguatan perasaan,
berlangsung lama dan lebih spesifik (Dobrow & Tosti-Kharas, dalam Praskova A., et
al, 2015), pencarian diri dan kenikmatan (Dobrow & Chandler, Novak, dalam Praskova
A.,et al, 2015). Dalam penelitian ini menggunakan definisi dari Dik & Duffy (dalam
Dumulecu, D., Opre A., & Ramona, B. 2015) yang mendefinisikan bahwa panggilan
dalam karir sebagai makna pribadi yang dialami individu di luar dirinya, untuk
pendekatan tertentu dalam kehidupannya dengan berorientasi pada tindakan, perasaan
akan tujuan tersebut atau kebermaknaan dengan memegang nilai-nilai dan tujuan
sebagai sumber utama motivasi.
Aspek-Aspek Career Calling
Menurut Dik, Duffy dan Eldridge (dalam Dumulescu et al, 2015), Career Calling
terdiri dari:
a. Transcendent Summons
Transcendent Summons diartikan sebagai makna pribadi terkait pengakuan pilihan
karir sebagai bagian dari kehidupannya yang sesuai dengan nilai dan identitas yang
dimilikinya yaitu penting untuk dirinya, bermanfaat dan menghasilkan kepuasan.
10
b. Purposeful Work
Purposeful Work diartikan sebagai keterlibatan aktif yang mencerminkan orientasi
tindakan dalam mengejar calling terkait kepentingan, kompetensi, pemenuhan yang
didorong dari dalam diri.
c. Prosocial Orientation
Prosocial Orientation diartikan sebagai keterlibatan dalam tujuan sosial dengan
memberikan kontribusi kepada masyarakat dan rasa kepuasan karena memberikan
bantuan terhadap orang lain.
C. Pendeta Gereja Toraja
Gereja Toraja (disingkat GT) adalah satu kelompok gereja Protestan di Indonesia yang
bermula di Toraja, Sulawesi Selatan (id.m.wikipedia.org). Pendeta Gereja Toraja
adalah seorang hamba Tuhan yang melayani dan bertanggung jawab menyampaikan
Kabar Baik kepada Jemaat dalam lingkup Gereja Toraja. Dalam pasal 30 ayat 2 tentang
Jabatan Khusus Pendeta dalam Tata Gereja, Gereja Toraja yang dapat memangku
jabatan pendeta adalah:
Anggota sidi
Telah menyelesaikan pendidikan Teologi minimal pada jenjang S-1 pada perguruan
teologi yang diakui oleh Gereja Toraja.
Telah menyelesaikan pendidikan kependetaan yang diselenggarakan oleh Badan
Pekerja Sinode Gereja Toraja.
Telah melaksanakan pelayanan dengan baik sebagai proponen dalam satu atau
beberapa jemaat sekurang-kurangnya satu tahun.
Ajarannya telah diperiksa oleh panitia yang dibentuk oleh Badan Pekerja Sinode.
Memegang teguh ajaran dan menunjukkan kelakuan yang sesuai dengan Firman
11
Allah dan Pengakuan Iman Gereja Toraja.
Memahami dan menaati Tata Gereja Gereja Toraja.
Mampu dan bersedia bekerja sama dengan orang lain.
Istri atau suami dapat menjadi panutan dalam kehidupan sehari-hari.
Istri atau suami tidak menjadi anggota gereja yang berbeda ajaran.
Hubungan antara Career Calling dengan Psychological Well-Being Pada Pendeta
Gereja Toraja Di Toraja
Penelitian Dik dan Duffy (dalam Wardani, 2014), mengemukakan bahwa seseorang
yang telah memasuki dunia kerja lebih mampu menemukan career calling untuk kepuasan
hidupnya dibanding dengan individu yang masih duduk dibangku pendidikan. Kepuasan
hidup sendiri dari berbagai hal dalam kehidupannya. Sebagai individu, seorang Pendeta
memiliki banyak peran. Di samping menjadi hamba Tuhan, Pendeta juga memiliki
kehidupan keluarga sendiri. Dik dan Duffy (2009) mengemukakan bahwa panggilan
seseorang dalam pekerjaannya dipengaruhi oleh faktor keyakinan kepada Tuhan,
kebutuhan sosial, pengaruh budaya, atau dorongan dari dalam diri (dalam Adams, 2012).
Dalam peran sebagai seorang Pendeta, mereka dituntut untuk menjadi pelayanan di
tengah-tengah Jemaat yang harus siap memberikan kehidupan dalam pelayanan Kabar
Baik serta terkadang melibatkan kehidupan pribadi, berada di antara pilihan-pilihan yang
membuat mereka dilema. Saat mereka menerima dan menjalankan tugas pelayanan
tersebut, mereka harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Saat mereka
menerima sebagai bagian dari makna dan tujuan hidup, maka mereka merasa puas atas
pencapaiannya. Pekerjaan dianggap sebagai bagian yang tidak terpisah dari kehidupan
individu (Bellah et al. & Wrzesniewski et al, dalam Praskova et al, 2015). Keyakinanlah
12
yang memberikan individu suatu perasaan tentang makna dan tujuan hidup yang membuat
mereka terbuka akan pengalaman-pengalaman. Ditambahkan lagi oleh Hall dan Chandler
(dalam Praskova et al, 2015) bahwa disamping rasa yang kuat akan tujuan hidupnya,
individu perlu memiliki dorongan internal yang didasarkan pada nilai-nilai dan identitas
yang ada padanya, memiliki motivasi menjalani pekerjaannya, self-exploring, adaptif dan
percaya diri terhadap pekerjaannya. Makna pribadi tentang karir memberikan pengaruh
terhadap kehidupan seseorang sesuai nilai dan identitasnya yang bermanfaat dan
menghasilkan kepuasan. Sebagai seorang Pendeta Gereja Toraja dengan lingkungan
kependetaannya, perlu penyesuaian dan penguasaan lingkungan dengan menciptakan
lingkungan yang sesuai dengan kondisi. Selain itu, perlu penguasaan diri, penerimaan akan
potensi dalam diri, semangat pengembangan diri.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasional.
Pendekatan kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang
diolah dengan metode statistika (Azwar, 2010).
Identifikasi Variabel-variabel Penelitian
Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Variabel bebas (X, independen) : Career Calling
Variabel terikat (Y, dependen) : Psychological Well-being
Partisipan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rantepao dan Makale, Toraja, Sulawesi Selatan. Partisipan
dalam penelitian ini berjumlah 150 orang (82 laki-laki dan 68 orang perempuan) dengan
13
menggunakan tehnik snowball sampling di mana pengambilan sampel mula-mula dari
beberapa orang kemudian terus bertambah hingga dirasa cukup mewakili populasi.
Pengambilan tehnik ini didasarkan pada jangkauan wilayah tugas yang tidak semuanya
diketahui lokasinya oleh peneliti.
Instrumen/Alat Penelitian
Dalam pengumpulan data penelitian ini, digunakan 2 skala psikologi mencakup skala
psikologi career calling dan skala psychological well-being. Adapun skala yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1. Calling and Vocation Questionnaire (CVQ)dari B.J. Dik., Eldridge, B.M. Steger,
M.F. & Duffy, R. D (2012) yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan partisipan
penelitian. Skala ini terdiri dari 24 aitem dengan 12 aitem favorable dan 12 aitem
unfavorable yang terdiri dari dari 8 butir aitem transcendent summons, 8 butir aitem
purposeful work dan 8 butir aitem prosocial orientation. Pengujian reliabilitas dan
seleksi aitem (daya diskriminasi) pada penelitian ini menggunakan data try out
terpakai. Penentuan aitem-aitem yang memiliki daya diskriminasi menggunakan
ketentuan dari Guilford (2000) yaitu aitem dikatakan memiliki daya diskriminasi yang
tinggi apabila korelasi aitem ≥ 0.2. Daya diskriminasi aitem bergerak dari 0.205- 0.554
dan diperoleh 17 aitem yang memiliki daya diskriminasi dengan reliabilitas (α) sebesar
0.764.
2. Ryff’s Psychological Well-Being Scale (RPWB)dari Ryff (1989) yang dimodifikasi
dan disesuaikan dengan partisipan penelitian. Skala ini terdiri dari 42 aitem dengan 22
aitem favorable dan 20 aitem unfavorable yang terdiri dari 7 butir aitem self
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.764 17
14
acceptance, 8 butir aitem environmental mastery, 7 butir aitem positive relation with
other, 7 butir aitem purpose in life, 7 butir aitem personal growth dan 8 butir aitem
autonomy. Pengujian reliabilitas dan seleksi aitem (daya diskriminasi) pada penelitian
ini menggunakan data try out terpakai. Penentuan aitem-aitem yang memiliki daya
diskriminasi menggunakan ketentuan dari Guilford (2000) yaitu aitem dikatakan valid
apabila korelasi aitem ≥ 0.2. Daya diskriminasi aitem bergerak dari 0.212-0.442 dan
diperoleh 32 aitem yang memiliki daya diskriminasi dengan reliabilitas (α) sebesar
0.816.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.816 32
Kedua skala ini menggunakan skala Likert yang terdiri dari 5 kategori jawaban yaitu SS, S,
N, TS, dan STS dengan masing-masing pilihan jawaban memiliki skor. Untuk aitem
favorable, skor jawaban SS adalah 4, jawaban S adalah 3, jawaban N adalah 2, jawaban TS
adalah 1 dan jawaban STS adalah 0. Untuk aitem unfavorable, skor jawaban diberikan
kebalikan dari skor jawaban aitem favorable. Dalam modifikasi skala telah mendapatkan
pengawasan dan bimbingan dari ahli yang dalam hal ini adalah dosen pembimbing.
Prosedur Penelitian
Sebelum melakukan penyebaran skala, terlebih dahulu peneliti bertemu dengan 2 orang
Pendeta di Salatiga (Pdt. R, Pdt. M), 1 orang tenaga Pengajar Teologi (F), dan 1 aktivis
Gerejawi (L). Tujuan bertemu dengan beberapa orang tersebut adalah untuk membantu
peneliti melihat pernyataan-pernyataan yang tertuang dalam skala sudah dipahami/belum
(uji bahasa). Setelah itu, peneliti melakukan penyebaran skala. Penyebaran pertama 28
Februari 2016 dan memperoleh 7 skala di wilayah terdekat lebih dahulu. Penyebaran
15
selanjutnya tanggal 29 Februari 2016 sebanyak 10 skala, tanggal 1 Maret - 9 Maret 2016
sebanyak 120 skala yang terkumpul. Penyebaran skala ini ada yang langsung dari rumah ke
rumah, menghubungi terlebih dahulu untuk membuat janji pertemuan, mendatangi
langsung di Kantor BPS GT (Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja), ada juga yang dari satu
pertemuan ke pertemuan lainnya. Skala yang terkumpul hingga tanggal 9 Maret sebanyak
137 skala. 13 Skala lainnya terkumpul pada tanggal 17 Maret 2016. Peneliti menyebarkan
skala sebanyak 170 skala. Namun, terdapat beberapa skala yang tidak kembali dan juga
tidak dapat digunakandikarenakan adanya skala yang diisi oleh partisipan yang tidak
memenuhi karakteristik penelitian. Skala yang telah diisi oleh partisipan yang tidak
memenuhi karakteristik dianggap gugur sehingga total skala yang digunakan sebanyak 150
skala. Pada beberapa kesempatan peneliti juga tidak bertemu langsung dengan partisipan,
melainkan peneliti mengumpulkan skala dari sumber kedua (data sekunder).
Tehnik Analisis Data
Teknik analisis data menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dengan
menggunakan SPSS 16.0 for windows. Reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha,
seleksi aitem menggunakan ltem-total Statistic, uji normalitas menggunakan One-Sample
Kolmogorov-Smirnov Test, uji linieritas menggunakan ANOVA, uji korelasi menggunakan
Correlations.
16
HASIL PENELITIAN
ANALISIS DESKRIPTIF
Tabel 1.1 Statistik deskriptif skala career calling dan psychological well-being pada
Pendeta Gereja Toraja
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation Variance
CC 150 45 67 55.89 4.781 22.861
PWB 150 60 118 89.98 10.465 109.510
Valid N (listwise) 150
Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh data minimun pada variabel career calling
sebesar 45 dan data maksimum sebesar 67 dengan mean 55.89 dan standar deviasi 4.781.
Untuk variabel PWB, data minimum sebesar 60 dan maksimum sebesar 118 dengan mean
89.98 dan standar deviasi 10.465. Untuk variabel career calling memiliki total 17 aitem
dan PWB 32 aitem dengan masing-masing terdiri dari 5 alternatif jawaban dan skor yang
bergerak dari 0-4. Kategorisasi dibuat menjadi 5 kategori yaitu, Sangat Tinggi, Tinggi,
Sedang, Rendah dan Sangat Rendah. Adapun total skor terendah untuk career calling
adalah 0 dan tertinggi adalah 68 dan untuk PWB, skor terendah adalah 0 dan tertinggi 128
dengan interval sebagai berikut:
17
Tabel 1.2 Kategorisasi Skor skala Career Calling
No. Interval Kategori Mean F Presentase
1. 54.4 ≤ x ≤ 68 Sangat Tinggi
55.89
99 66%
2. 40.8 ≤ x ≤ 54.4 Tinggi 51 34%
3. 27.2 ≤ x ≤ 40.8 Sedang 0 0%
4. 13.6 ≤ x ≤ 27.2 Rendah 0 0%
5. x ≤ 13.6 Sangat Rendah 0 0%
TOTAL 150 100%
x = career calling
Berdasarkan hasil di atas, dapat diketahui bahwa terdapat 99 Pendeta (66%) yang memiliki
career calling sangat tinggi dan 51 Pendeta (34%) berada pada kategori tinggi.
Tabel 1.3 Kategorisasi Skor skala Psychological Well-Being
No. Interval Kategori Mean F Presentase
1. 102.4 ≤ x ≤ 128 Sangat Tinggi
89.98
17 11%
2. 76.8 ≤ x ≤ 102.4 Tinggi 118 79%
3. 51.2 ≤ x ≤ 76.8 Sedang 15 10%
4. 25.6 ≤ x ≤ 51.2 Rendah 0 0%
5. x ≤ 25.6 Sangat Rendah 0 0%
TOTAL 150 100%
x = psychological well-being
Berdasarkan hasil di atas dapat diketahui bahwa terdapat 17 Pendeta (11%) yang memiliki
PWB yang sangat tinggi, 118 Pendeta (79%) berada pada kategori tinggi dan 15 Pendeta
(10%) berada pada kategori sedang.
UJI ASUMSI
Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov Test yang menunjukkan skala
career calling (K-S-Z = 1.279, p = 0.076, p > 0.05) dan PWB (K-S-Z = 0.863, p = 0.446,
p > 0.05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel career calling dan PWB
memiliki sebaran data yang berdistribusi normal. Tabel 2.1 menunjukkan data uji
normalitas.
18
Tabel 2.1 Uji Normalitas Alat Ukur
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
CC PWB
N 150 150
Normal Parametersa Mean 55.89 89.98
Std. Deviation 4.781 10.465
Most Extreme Differences Absolute .104 .070
Positive .104 .070
Negative -.062 -.063
Kolmogorov-Smirnov Z 1.279 .863
Asymp. Sig. (2-tailed) .076 .446
a. Test distribution is Normal.
Uji Linieritas
Uji linieritas menggunakan uji ANOVA yang menunjukkan data career calling dan PWB
linier dengan nilai signifikansi deviation from linearity sebesar 0.563 (p > 0.05). Uji
linieritas juga menunjukkan bahwa variabel career calling dan PWB memperoleh nilai
Fhitung pada deviation from linearity sebesar 0.923 dan linearity sebesar 33.459.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa variabel career calling
dan PWB bersifat linier. Tabel 2.2 menunjukkan data hasil uji linieritas.
Tabel 2.2 Uji Linieritas Alat Ukur
ANOVA Table
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
PWB * CC Between Groups (Combined) 4794.080 22 217.913 2.402 .001
Linearity 3035.733 1 3035.733 33.459 .000
Deviation from Linearity 1758.347 21 83.731 .923 .563
Within Groups 11522.860 127 90.731
Total 16316.940 149
19
UJI KORELASI
Berdasarkan uji asumsi yang telah dilakukan sebelumnya, dapat diketahui bahwa data
berdistribusi normal dengan nilai sig. (p> 0.05) dan kedua variabel penelitian linier (p>
0.05), maka uji korelasi yang dilakukan menggunakan Pearson Correlation Product
Moment. Berdasarkan hasil uji korelasi antara kedua variabel dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan positif signifikan antara kedua variabel. Tabel 3. menunjukkan hasil uji
korelasi.
Tabel 3. Uji korelasi dengan Pearson Correlation Product Moment
Correlations
CC PWB
CC Pearson Correlation 1 .431**
Sig. (1-tailed) .000
N 150 150
PWB Pearson Correlation .431** 1
Sig. (1-tailed) .000
N 150 150
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
PEMBAHASAN
Hasil uji korelasi menunjukkan adanya korelasi positif signifikan antara career
calling dan PWB pada Pendeta Gereja Toraja di mana r = 0.431, r2
= 0.186, dengan nilai
signifikansi 0.000 (p <0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi career calling,
maka semakin tinggi PWB pada pendeta Gereja Toraja.Sebaliknya, semakin rendah career
calling, maka semakin rendah PWB pada pendeta Gereja Toraja. Berdasarkan hasil analisis
deskriptif, data menunjukkan bahwa rata-rata partisipan penelitian memiliki career calling
yang sangat tinggi dan PWB yang tinggi. Hasil wawancara pada 5 orang Pendeta
mengemukakan bahwa meskipun sejak awal tidak terpikir untuk menjadi seorang Pendeta,
20
namun kependetaan saat ini merupakan panggilan dan hidup yang dalam perjalanannya
menemukan adanya berbagai kesulitan seperti untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan, pengembangan potensi diri, dedikasi akan tanggung jawab ataupun
permasalahan dengan jemaat/majelis/rekan kerja.
Selain itu, setiap individu memiliki tujuan dalam hidupnya dan seorang Pendeta
juga tentunya memiliki hal itu seperti ditemukan melalui wawancara, bahwa rencana masa
depan terwujud bukan hanya ketika menjadi seorang Pendeta tetapi banyak lahan karena
rencana masa depan itu luas dan kependetaan itu sendiri dimaknai sebagai hidup dan
mulia. Artinya, kependetaan tidak hanya dijadikan sebagai jabatan kependetaan tetapi lebih
dari itu yakni kependetaan adalah panggilan akan tugas yang mulia. Dalam penelitian
sebelumnya dikemukakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara career calling dan
PWB didukung dengan dukungan sosial dan dedikasi terhadap pekerjaan pada karyawan
(Puspita, 2012). Artinya dengan partisipan yang berbeda tetap menunjukkan adanya
hubungan antara kedua variabel. Selain itu, perlunya menjalin hubungan dengan jemaat
dan orang di sekitar yang memengaruhi cara individu berinteraksi, pengembangan potensi
dalam diri yang akan memengaruhi pelayanan dan evaluasi diri dikarenakan pertemuan
dengan orang-orang yang berbeda-beda pemahaman sehingga dengan demikian, kehidupan
di sekitar memberikan kontribusi dalam menjalani kehidupan dan panggilan pelayanan.
Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan
adanya hubungan positif antara keduanya seperti mengakui pekerjaan sebagai bagian dari
hidup, terkait dengan kepentingan dan pemenuhan dari dalam diri serta adanya kepuasaan
karena melibatkan diri dalam kehidupan orang banyak. Senada dengan penelitian Susanti
(2012) menemukan bahwa perasaan bahagia yang dimiliki dapat menumbuhkan tujuan
dalam hidup. Career calling ini dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan
21
kependetaan seorang pendeta. Hal ini diperoleh dari wawancara dan observasi bahwa
pendeta mendapatkan makna kependetaannya saat dia merasakan dampak yang
ditimbulkan. Dampak ini dapat berupa hal positif maupun hal negatif, namun dengan
memaknai kependetaan sebagai bagian dari hidup dapat meningkatkan semangat dan juga
dedikasi akan tugas panggilan tersebut.
Selain itu, faktor usia juga dapat memengaruhi PWB seorang Pendeta. Sionhanjaya
(2013) mengungkapkan bahwa seiring dengan pertambahan usia, maka seseorang memiliki
prinsip hidup yang semakin kokoh guna menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dari hasil
kajian penelitian ini menunjukkan bahwa apabila seorang Pendeta memiliki career calling
yang tinggi akan menyebabkan PWB yang juga tinggi. Selain itu, dalam penelitian ini
ditemukan bahwa jenis kelamin tidak memengaruhi career calling maupun PWB pada
Pendeta (nilai signifikansi sebesar 0.125 untuk career calling dan 0.249 untuk PWB).
Berdasarkan fakta lapangan, hal ini juga dimungkinkan karena perempuan saat ini sudah
terbuka terkhusus dalam Pendeta Gereja Toraja diperoleh hasil wawancara dengan 3 orang
Pendeta perempuan dan menunjukkan bahwa keterbukaan mereka saat ini didasarkan pada
keinginan untuk setara dengan laki-laki dan keterbukaan akan pengalaman yang diperoleh
karena dengan demikian, apa yang dikerjakan dalam kependetaan tidak memiliki batasan
untuk pengembangan diri dan Jemaat.
Ditemukan pula bahwa career calling memberikan sumbangan sebesar 18.6%,
artinya 81.4% PWB Pendeta masih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti religiusitas.
Ellison (1991) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara ketaatan beragama
(religiosity) dengan PWB (dalam Ladesang, 2012).Sebagaimana menjadi seorang Pendeta
tidak lepas dari perannya dalam kehidupan berjemaat dan akan ketaatannya dalam
beragama. Selain itu, faktor kedua bisa juga karena kepribadian seperti hasil penelitian
22
yang dilakukan oleh Schumutte dan Ryff (1997) mengenai hubungan antara lima tipe
kepribadian (the big five traits) dengan dimensi-dimensi PWB dan hasilnya menunjukkan
bahwa masing-masing kepribadian memiliki pengaruh terhadap dimensi-dimensi PWB
(dalam Ladesang, 2012). Ketiga, dapat dimungkinkan karena faktor kecerdasan emosional
(emotional inteligence). Hasil penelitian Gros dan John (2003), menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan individual dalam pengalaman dan ekspresi emosi yang berdampak
secara berbeda terhadap kebahagiaan (dalam Hutapea, 2011). Selain itu, faktor lainnya bisa
dikarenakan kepuasan hidup maupun gaya hidup. Kepuasan seseorang akan kehidupannya
juga dapat membawanya mencapai kesejahteraan psikologis. Dengan demikian, masih
terdapat banyak faktor yang dapat memengaruhi PWB seseorang. Di samping itu,
penelitian ini menjawab bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara kedua variabel
pada Pendeta Gereja Toraja.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, tujuan dari penelitian
ini telah dibuktikan dengan kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara
career calling dan PWB pada Pendeta Gereja Toraja dengan nilai koefisien korelasi (r)
0.431 dengan nilai signifikansi sebesar 0.000. Career calling partisipan berada pada
kategori sangat tinggi dengan mean 55.89 dan PWB berada pada kategori tinggi dengan
mean 89.98. Hasil ini menunjukkan career calling memiliki kontribusi terhadap PWB
Pendeta Gereja Toraja di Toraja. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi
career calling maka semakin tinggi pula PWB yang dimiliki Pendeta Gereja Toraja.
23
SARAN
Adapun saran yang dapat diberikan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian sebagai
berikut:
1. Bagi Pendeta Gereja Toraja
a. Untuk meningkatkan PWB Pendeta terutama terkait peningkatkan pengevaluasian
diri dan penyesuaian lingkungan guna pengembangan diri dalam pelayanan dan
pencapaian kesejahteraan psikologis.
b. Pendeta diharapkan semakin menjaga hubungan dengan orang lain dalam
kehidupan sehari-hari dan berjemaat sehingga tercipta hubungan yang lebih
harmonis karena dengan demikian segala aktivitas yang dilakukan dapat berjalan
dengan lebih baik.
2. Bagi Peneliti selanjutnya
a. Peneliti selanjutnya diharapkan mempertimbangkan untuk memperluas partisipan
sehingga tidak hanya bagi para Pendeta Gereja Toraja melainkan pada Pendeta
lainnya.
b. Peneliti juga dapat memperbaiki alat ukur dan mengontrol variabel-variabel
sekunder seperti penggunaan bahasa yang mudah dipahami partisipan.
c. Peneliti selanjutnya perlu untuk mengembangkan penelitian ini dengan penggalian
data yang lebih mendalam dengan menggunakan metode kualitatif sehingga
peneliti dapat melihat gambaran dari variabel yang ada.
d. Apabila akan menggunakan topik dan partisipan yang sama, dapat melakukan
perbandingan bagi Pendeta aktif, pensiun/emiritus, cuti maupun disiplin Gerejawi
atau dari segi usia, masa kerja, tempat tugas.
24
e. Peneliti selanjutnya juga dapat melakukan penelitian dengan variabel lain yang
memengaruhi PWB sehingga mendapatkan bukti lain mengenai faktor yang
memengaruhi PWB.
f. Peneliti selanjutnya dapat melakukan uji coba terlebih dahulu pada partisipan
yang bukan partisipan penelitian kemudian menyebarkan skala sehingga skala
yang nantinya digunakan merupakan skala/alat ukur yang sudah lebih baik.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adams, C. M. (2012). Calling and career counseling with college students: finding
meaning in work and life. Journal of College Counseling15 (1), 65–80.
Ananda, W. K. (2009). Coping with stress pelayanan pada pendeta Gereja Kristen Jawa di
Salatiga. Skripsi. Fakultas Psikologi UKSW. Salatiga.
Azwar. (2010). Metode penelitian.Yogyakarta: Pustaka Belajar
Binarti, Annisa. (2012). Hubungan antara parental attachment, peer attachment, dan
psychological well-being pada mahasiswa tahun pertama di Universitas Indonesia.
Skripsi. Universitas Indonesia. Jakarta
Dahlenburg, G.D. (1999) Siapakah pendeta itu? Jakarta: BPK Gunung Mulia
Deta, Sriyanti Umbu. (2011). Kependetaan di era globalisasi: studisosio-teologis
pemahaman pendeta Klasis Wewewa terhadap panggilan di era globalisasi.
Skripsi.FakultasTeologi UKSW. Salatiga.
Dik, B.J., Eldridge, B, M., Steger, M.F., & Duffy, R. D. (2012). Development and
validation of the calling and vocation questionnaire (CVQ) and brief calling scale
(BCS). Journal of Career Assesment, 20, 242-263.
Dumulecu, D., Opre A., & Ramona, B.(2015). Is your career meaningful?" exploring
career calling on a romanian students sample. Journal of Social and Behavioral
Sciences, 187, 553-558.
Gereja Toraja. (Juli 2011). Himpunan Keputusan Sidang Majelis Sinode XXIII Gereja
Toraja. Tallunglipu. Toraja Utara
Guilford. (2000). Psychometric methods. California: McGraw-Hill Book Company, Inc
Hutapea, Bonar. (2011). Emotional intelegence dan psychological well-being pada
manusia lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaan di Jakarta. Insan. 13
(2), 64 - 73.
Ladesang, Fadli. (2012, Oct 19). Psychological well being-positive psychology.
Retrieved from http://ladesang.blogspot.co.id/2012/10/apa-tujuan-hidum-mu-
sobat-psychological.html.
Mardiah, D. (2010). Hubungan antara stres dengan psychological well-being pada isteri
karyawan perkebunan kelapa sawit. USU.
Penetapan Presiden Republik Indonesia. (1965). Pencegahan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama.Retrieved
fromhttp://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_1965_1.pdf.
26
Praskova, A., Creed, P.A., & Hood, M. (2015). The development and initial validation of a
career calling scale for emerging adults. Journal of Career Assesment, 23, 91-
106.doi: 10.1177/1069072714523089.
Pinquart, M & Sorensen, S. (2000). Influences of socioeconomic status, social network and
competence on subjective well-being in later life: a meta-analysis. Psychology and
Aging, 15 (2), 187-224.
Puspita, M.D. (2012). Hubungan antara dukungan social dan makna kerja sebagai
panggilan (calling) dengan keterikatan kerja. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya, 1, 1-17.
Rahayu, M. A. (2008). Psychological well-being pada istri kedua dalam pernikahan
poligami (studi kasus pada dewasa muda). Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi UI.
1-162.
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of
psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57 (6),
1069-1081.
Ryff, C. D. & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited.
Journal of Personality and Social Psychology, 69 (4), 719-727.
Sionhanjaya, Felicia. (2013). Studi deskriptif mengenai psychological well-being pada
rohaniawan kristen (hamba Tuhan) perkumpulan Gereja “X” di Bandung. Skripsi.
Fakultas Psikologi: Universitas Maranatha Bandung.
Susanti. (2012). Hubungan harga diri dan psychological well-being pada wanita lajang
ditinjau dari bidang pekerjaan. Jurnal Ilmiah, 1 (1). Fakultas Psikologi:
Universitas Surabaya
Gereja Toraja. (2013). Tata gereja dan peraturan-peraturan khusus Gereja Toraja (Edisi
1). Rantepao: SULO
Wardani, A.A (2014).Hubungan career calling dan psychological well-being pada petugas
di lembaga pemasyarakatan klas 1 Semarang. Jurnal Psikologi: UNDIP.
Wells, Cara. (2012). Career calling and work motivation in traditional and non-traditional
college students. Honors Theses. University of Southern Mississippi.
Wrzesniewski, A. (2010). Handbook of Positive Organizational Scholarship: Callings.
Oxford: Oxford University Press.