II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Peternakan
Saragih (2001) menyatakan, pengertian pertanian dalam arti luas adalah
seluruh mata rantai proses pemanenan energi surya secara langsung dan tidak
langsung melalui proses fotosintesa dan proses pendukung lainnya untuk
kehidupan manusia yang mencakup aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan
kemasyarakatan dan mencakup bidang tanaman pangan, holtikultura,
peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan.
Pada GBHN 1999-2004 yang ditetapkan oleh MPR dalam Tap. MPR No.
IVlMPRl1999 dijelaskan bahwa pembangunan lebih difokuskan pada agribisnis
rakyat yang dapat menimbulkan inisiatif dunia usaha untuk membangun
agribisnis dan membangun infrastruktur agribisnis nasional. Selain itu, salah satu
misi pembangunanpertanian menuju terwujudnya pertanian yang modern, i
tangguh, dan efisien menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera adalah
memberdayakan masyarakat pertanian menuju wiraswasta agribisnis yang
mandiri, maju dan sejahtera sesuai dengan kebijaksanaan operasional yang
telah dirumuskan yakni pembangunan agribisnis dengan membangun
keunggulan komparatif sesuai dengan kompetisi dan produk unggulan setiap
daerah.
Menurut Mubyarto (1982), pembangunan pertanian merupakan suatu
proses perubahan fisik, ekonomi, sosial dan budaya yang dilakukan oleh
manusia secara berkesinambungan untuk mendapatkan hasil dari usaha
pertanian tanaman pangan, perkebunan besar, perkebunan ra kyat , kehutanan,
perikanan, dan peternakan.
12
13
Menurut Saragih (2001), bahwa membangun pertanian saja hanya
menempatkan perekonomian Indonesia terlena menikmati keunggulan
komparatif seperti selama 30 tahun terakhir. Sedangkan membangun agribisnis
adalah membangun keunggulan bersaing diatas keunggulan komparatif yakni
melalui transformasi pembangunan kepada pembangunan yang digerakan olah
modal dan selanjutnya digerakan oleh inovasi.
Dalam kegiatan berproduksi dibidang pertanian, sering kali kita
mendengar adanya kesenjangan antara produktifitas yang seharusnya bisa
dilakukan dengan produktifitas yang dilakukan oleh petani. Dalam mempelajari
aspek tersebut secara mikro, Soekartawi (2002) menyatakan peranan hubungan
input (faktor produksi atau korbanan produksi) dan output (hasil atau produksi)
mendapat perhatian utama. Peranan input bukan saja dilihat dari segi macamnya
atau tersedianya dalam waktu yang tepat; tetapi dapat juga ditinjau dari segi
efisiensi penggunaan faktor produksi tersebut.
Efisiensi ekonomi dalam berproduksi dapat dicapai melalui kemitraan
karena masing-masing pihak yang bermitra menawarkan sisi keunggulan
masing-masil'lg. Lebih jauh Sumardjo dkk (2004) menyatakan:
Kemitraan bisnis memang bermanfaat dalam meningkatkan akses usaha
kecil ke pasar, modal dan teknologi serta mencegah terjadinya diseconomies of
scale sehingga mutu juga menjadi terjaga. Hal seperti ini dapat terjadi karena
adanya komitmen kedua belah pihak untuk bermitra. Pengusaha menengah
sampai dengan skala besar memiliki komitmen atau tanggung jawab moral dalam
membimbing dan mengembangkan pengusaha kecil supaya dapat
mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handa! untuk
meraih keuntungan bersama. Mereka yang bermitra perJu menyadari kekuatan
14
dan kelemahan masing-masing untuk saling mengisi, saling melengkapi, saling
memperkuat, serta tidak saling mengekploitasi. Dalam kondisi ini akan tercipta
rasa saling percaya antar kedua belah pihak sehingga usahanya akan semakin
berkembang.
Efisiesi ekonomi dapat dicapai melalui kemitraan karena masing-masing
pihak yang bermitra menawarkan sisi keunggulan masing-masing. Melalui
kemitraan dapat dihindari kecendrungan monopoli. Monopoli menyebabkan
distorsi dalam pasar, sedangkan kemitraan memperkuat mekanisme pasar,
sekaligus menghilangkan persaingan yang tidak sehat dan saling mematikan.
Hakekat kemitraan dengan demikian tidak sarna bahkan berlawanan dengan sifat
kartel atau kerjasama lain untuk menguasai pasar yang menjurus kearah
monopoli dan oligopoli atau manopsoni dan oligopsoni (Kartasasmita, 1995).
Krisis ekonomi yang te~adi dalam beberapa tahun belakangan
menyebabkan turunnya nilai rupiah, sehingga mengakibatkan harga sarana
produksi naik terutama pakan dan obat-obatan, kareria sebagian besar bahan
dasar pakan dan obat-obatan tersebut masih diimpor dari luar negeri. Dengan
tingginya harga input banyak petani peternak yang gulung tikar karena tidak
mampu merrlbiayai proses produksi.
Pembangunan ekonomi lokal adalah suatu upaya untuk menciptakan
suasana berkembangnya potensi masyarakat, peningkatan akses masyarakat
terhadap sumberdaya ekonomi, mencegah te~adinya persaingan yang tidak
berimbang serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan. Oleh karena itu,
pengembangan kemitraan antara usaha besar dan UKM dalam konteks
pengambangan ekof!omi lokal diharapkan dapat /11Anciptakan perekonomian
yang kuat karena berbasis sumberdaya lokal, perekonomian yang harmonis
15
karena usaha besar dan UKM tumbuh bersama-sama serta memihak pada
masyarakat karena potensi masyarakat (pedesaan) menjadi sumberdaya
perekonomian nasional (Haeruman, 2001).
Sesuai dengan pengertian dari pernyataan-pernyataan tersebut diatas,
maka pembangunan kemitraan juga harus meliputi pembangunan kepada semua
subsektor perekonomian dan mata usaha/bisnis yang ada. Pembangunan
dimaksud menekankan pada pentingnya kemitraan dalam tataran alih teknologi,
manajemen, pemasaran dan pengembangan sumberdaya manusia. Dalam
pembangunan dimaksud, subsektor peternakan di Provinsi Riau merupakan
salah satu subsektor yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah
dalam usaha pencapaian pemenuhan akan kebutuhan protein hewani.
2.2. Kemitraan Peternakan Ayam Broiler
Pads dasarnya pembangunan peternakan dengan model kemitraan ini
memiliki tujuan yang diantaranya adalah penihgkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani, meningkatkan prod u ksi dan ekspor komoditi non migas,
serta mempercepat alih teknologi budidaya manajemen peternakan dari inti ke
plasma.
Menurut Sa'id (2001), ada beberapa sisi positif yang dapat diperoleh dari
kemitraan, yaitu:
1. Kemitraan dibentuk atas dasar saling membutuhkan. Industri membutuhkan
pasokan bahan baku yang berkesinambungan dari petani. Dilain pihak,
petani membutuhkan jaminan pemasaran hasil produksinya. Dengan
demikian, kedua belah pihak memiliki ikatan yang juat atas saling
memputuhkan.
16
2. Kemitraan yang terbentuk didasarkan pada prinsip saling menguntungkan,
yakni perusahaan memiliki komitmen untuk membeli hasil produksi petani
sesuai dengan harga pasar dan dibayar dengan tunai. Dilain pihak, para
petani memiliki komitmen utnuk bersedia memasok hasil dan mengatur siklus
produksinya, sehingga pasokan ke perusahaan dapat berkesinambungan.
3. Kemitraan yang dibentuk didasarkan pada prinsip tumbuh dan berkembang
bersama, sehingga industri menyediakan kredit kepada petani tanpa bunga
dan tanpa agunan dengan masa tenggang selama satu tahun, dan
4. Kemitraan yang terbentuk didasarkan pada prinsip saling percaya, yakni
ketika petani memasok produksinya, langsung dibayar tunai oleh perusahaan
tanpa memotong sisa hutangnya. Dilain pihak, para petani membayar
hutangnya pada saat jatuh tempo dan dapat meminjam kembali.
Dasar pemikiran Kemitraan adalah setiap pelaku usaha mempunyai
potensi, kemampuan dan keistimewaan masing-masing dengan perbedaan
ukuran, jenis, sifat dan tempat usahanya. Dari pelaku usaha yang mempunyai
kelebihan dan kekurangan diharapkan dapat saling menutupi kekurangan
masing-masing dengan kondisi yang demikian akan timbul suatu kebutuhan
untuk bekerjasama dan menjalin hubungan ke~asama model kemitraan .
Berdasarkan arahan Departemen Pertanian (1985), maka Model Inti
Rakyat dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tujuan pembangunan dengan model inti rakyat yaitu membangun
masyarakat tani yang berwiraswasta, sejahtera dan selaras dengan
lingkungan yang dilaksanakan di suatu wilayah.
2. Model inti rakyat dilaksanakan dalam rangka membangun dan membina
usaha pertanian rakyat dengan teknologi baru agar mampu memperoleh
17
pendapatan yang layak, dan keluar dan kemiskinan terkait dengan tujuan
untuk mampu berfungsi sebagai pusat pengembangan ekonomi yang
selanjutnya akan berperan sebagai penunjang dan pendorong
pengembangan wilayah.
3. Atas dasar disain tata ruang yang dihasilkan oleh studi kelayakan dibangun
juga tempat pemukiman dengan pengaturan terciptanya lingkungan
kehidupan yang serasi.
Dalam pelaksanaan kemitraan Wie (1992) mengungkapkan adanya
empat model hubungan kemitraan yang terjadi. Pertama, model dagang yaitu
suatu model hubungan kemitraan yang hanya terbatas pada hubungan dagang
antara penjual dan pembeli saja. Kedua, model vendor yaitu suatu hubungan
kemitraan yang mengharuskan pihak-pihak yang bermitra untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku operasional perusahaan inti. Ketiga, model subkontrak,
terjadi apabila produk-produk yang dihasilkan oleh pihak yang bermitra masih
merupakan sistim produksi perusahaan inti sehingga untuk model kemitraan ini
anggota kemitraan harus dapat memenuhi persyaratan inti dalam melaksanakan
proses produksinya terutama mengenai skala produksi dan penggunaan
teknologi. Keempat, model pembinaan yang diarahkan untuk mendorong pihak
pihak yang memiliki potensi untuk berproduksi. Pada umumnya produk yang
dihasilkan merupakan komoditi untuk ekspor.
Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian Repu'blik Indonesia
No.472/KpsITN.330/6/1996. Model umum kemitraan antara pengusaha dengan
psternak peserta kemitraan dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu;
a) Pola Inti Rakyat: yaitu perusahaan yang meiakukan fungsi perencanaan,
bimbingan dan pelayanan sarana produksi, kredit, pengolahan hasil dan
18
pemasaran hasil bagi usahatani yang dibimbingnya (plasma), sambil
mengusahakan usahatani yang dimilikinya dan dikelolanya sendiri (inti).
b) Perusahaan pengelola: yaitu perusahaan yang melakukan fungsi
perencanaan, bimbingan dan pelayanan sarana produksi, kredit, pengolahan
dan pemasaran hasil bagi usahatani yang dibimbingnya, tetapi tidak
menyelenggarakan usahatani sendiri.
c) Perusahaan penghela: yaitu perusahaan yang melakukan fungsi
perencanaan, bimbingan dan menampung hasil tanpa melayani kredit sarana
produksi dan juga tidak mengusahakan usahataninya sendiri.
Dari tiga bentuk hubungan kemitraan antara inti dan plasma, satu
diantaranya yang telah banyak dikembangkan di Indonesia adalah kemitraan
dengan Pol a Inti Rakyat (PIR). PIR di Indonesia sebelumnya banyak
dikembangkan pada sektor perkebunan, dan komoditi yang menjadi primadona
untuk dikembangkan dengan Pola Inti Rakyat ini adalah karet dankelapa sawit.
Bila dilihat dari segi pelaku model kemitraan maka jenis kemitraan dapat
dibedakan menjadi dua tipe yaitu kemitraan vertikal dan kemitraan horizontal
Suharno (1999). Kemitraan vertikal terjadi apabila para peserta kemitraan
merupakan integrasi dari hulu hingga hilir, sedangkan kemitraan horizontal terjadi
apabila pelakunya melakukan usaha sejenis. Sumardjo (2001) juga menyatakan
bahwa kemitraan dapat bersifat horizontal atau vertikal berdasarkan posisi dalam
struktur produksi. Kemitraan horizontal adalah kerjasama antara peternak besar
dengan peternak kecil dalam rangka meningkatkan produksi untuk memenuhi
pasar, atau kerjasama antara peternak kecil yang membentuk koperasi dengan
tujuan mempero!eh bahsn baku lebih murah, sehingga level kelJntungan
peternak meningkat. Kemitraan vertikal meliputi beberapa lembaga yang
19
berhubungan secara vertikal dan memberikan sumbangan dalam proses
produksi.
Inti selain membangun usahanya juga memberikan sumbangsih agar
usaha plasma juga dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan. Model
PIR pad a ayam ras secara resmi dimulai sejak terbitnya SK Menteri Pertanian
No. 406/KPTS/5/1984. Konsep PIR diilhami dengan adanya model kemitraan
Miranti-Mirama yang diperkenalkan pertama oleh Gabungan Perusahaan
Perunggasan IndonesialGAPPI (Suharno, 1999).
Hafsah (2001) menyatakan, kemitraan adalah jalinan ke~asama dari dua
atau lebih pelaku usaha yang saling menguntungkan. Kemitraan seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang No.9 Tahun 1995 adalah ke~asama antara
usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai
pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau
usaha besar. Kemitraan didasarkan atss prinsip saling memperkuat. Beberapa
aspek kerjasama adalah permodalan, manajemen, teknologi dan pemasaran.
Dari beberapa pengertian yang ada tersebut, pengusaha besar
mempunyai tanggung jawab moral untuk membimbing dan membina pengusaha
kecil mitranya agar mampu menjadi mitra yang handal untuk meraih keuntungan
dan kesejahteraan bersama. Mereka harus menyadari kekurangan masing
masing dan mampu saling mengisi serta melengkapi kekurangan tersebut.
Sumardjo (2001) menyatakan, dalam sistem agribisnis terdapat lima
bentuk kemitraan antara petani dengan pengusaha besar. Kelima jenis kemitraan
tersebut adalah:
20
1. Pola inti plasma.
Pola ini merupakan pola hubungan kemitraan antara petani/kelompok tani
atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra
usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan
teknis dan manajemen serta menampung, mengolah dan memasarkan hasil
produksi. Perusahaan inti tetap memproduksi kebutuhan perusahaannya,
sedangkan kelompok mitra usaha memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai
dengan persyaratan yang telah disepakati.
2. Pola subkontrak.
Pol a ini merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan
kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Sentuk kemitraan
semacam ini biasanya ditandai dengan adanya kesepakatan tentang kontrak
bersama yang diantaranya mencakup volume, harga, mutu dan waktu. Pola
kemitraan ini dalam banyak kasus ditemukan sangat bermanfaat dan kondusif
bagi terciptanya alih teknologi, modal keterampilan dan produktifitas, serta
terjaminya pemasaran produk pada kelompok mitra.
3. Pola dagang umum.
Pola kemitraan dagang umum merupakan pola hubungan usaha dalam
pemasaran hasil antara pihak perusahaan pemasar dengan pihak kelompok
pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar. Pada
dasarnya pola kemitraan ini adalah hubungan jual-beli sehingga memerlukan
struktur pendanaan yang kuat dari pihak yang bermitra. baik perusahaan
besar maupun usaha kedl.
21
4. Pola keagenan.
Merupakan bentuk kemitraan dengan peran pihak perusahaan atau besar
mitra memberi hak khusus untuk memasarkan barang atau jasa usaha
perusahaan atau usaha kecil mitra usaha. Perusahaan besar/menengah
bertanggung jawab atas mutu dan volume prod uk, sedangkan usaha kecil
mitranya berkewajiban memasarkan produk atau jasa tersebut. Diantara
pihak-pihak yang bermitra terdapat kesepakatan tentang target-target yang
harus dicapai dan besarnya fee atau komisi.
5. Kerjasama operasional agribisnis.
Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis merupakan pol a hubungan
bisnis, dimana kelompok mitra menyediakan Ishan, sar-ana dan tenaga.
Sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen
dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan
suatu komoditi pertanian. Disamping itu, perusahaari mitra juga sering
berperan sebagai penjamin pasar prod uk, diantaranya juga mengolah produk
tersebut dan dikemas lebih lanjut untuk dipasarkan.
Model inti rakyat merupakan suatu bentuk kerja sama yang saling
menguntungkan antara perusahaan besar dengan usaha ternak kecil
disekitarnya. PIR dilaksanakan dengan azas bahwa golon9an yang kuat wajib
membantu golongan lemah didalam usahanya untuk mencapai tujuan masing
masing. Menurut Saragih (2001), untuk meningkatkan dayasaing produk
perunggasan nasional perlu dikembangkan kemitraan melalui integritas vertikal.
Melihat kondisi struktur peternakan nasional masih didominasi oleh peternakan
rakyat berskala kec:!.
22
Pemerintah sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan
industri budidaya ayam ras pedaging. Menurut Rahardi (2003), kebijakan
pemerintah dalam subsektor peternakan juga turut menentukan suksesnya
kegiatan peternakan. Pemberian fasilitas kredit dan izin usaha, misalnya,
merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah untuk pengembangan
peternakan.
Pad a tahun 1981 pemerintah mengeluarkan Keppres No.50/1981 yang
mengatur skala produksi untuk memacu pertumbuhan produksi ayam ras
pedaging dan memperluas peluang berusaha bagi peternak-peternak skala
keluarga, yakni maksimum 5.000 ekor untuk ayam petelur dan 750 ekor per
minggu untuk ayam ras pedaging. Kebijaksanaan ini diperkuat dengan
diperkenalkan model Pola Inti Rakyat (PIR) Unggas melalui SK Mentan
No.TN.330/Kpts/5/1984.
Pada tahun 1990 pemerintah mengeluarkan Keppres No.22/1990 sebagc:ii
pengganti Keppres No.50/1981. Dalam kebijaksanaan baru diatas, peternakan
skala kecil dikembangkan untuk melakukan kerjasama sistem kemitraan dengan
perusahaan besar (Deptan, 1996). Dengan adanya Keppres No.22/1990
tersebut diharapkan pertumbuhan produksi ayam ras pedaging dapat lebih
dipercepat tanpa mengabaikan proses pemerataan kesempatan berusaha bagi
peternak besar maupun peternak skala keeil. lsi Keppres No.22/1990 tersebut
diantaranya adalah membagi peternakan ayam ras menjadi dua kategori, yakni
peternakan rakyat dan perusahaan petemakan. Peternakan rakyat adalah usaha
peternakan yang menguasai maksimum 10.000 ekcr untuk s,am petelur dan
15.000 L!!1tl!k ayam ras pedag!ng, sedcmgkan perusanaan petemakan skala
usahanya berada diatas angka tersebut.
23
Lahimya Kepres No.22190 membangkitkan kegairahan usaha peternakan
ayam ras. Perkembangan usaha ayam ras tampak sangat pesat. Pada sektor
budidaya terjadi pergeseran struktur usaha ayam ras. Kalau semula usaha ayam
ras hanya dikelola oleh para petemak, maka setelah Keppres tersebut
memunculkan perusahaan peternakan dalam hal kemitraan usaha. Suhamo
(1996) mengatakan, Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia/GAPPI
pad a tahun 1994 menyusun konsep ke~asama kemitraan antara pengusaha
yang bertindak sebagai inti dengan petemak sebagai plasma. Bentuk kemitraan
inidisebut Miranti-Mirama (mitra usaha inti - mitra usaha plasma).
Munculnya model kemitraan PIR Perunggasan di Kota Pekanbaru,
menurut Dinas Petemakan Tingkat I dimulai pada awal April 1998. Bertindak
sebagai pihak inti adalah PT Charoen Pokphand. Setelah itu baru menyusul
kemitraan yang dikembangkan oleh PT Indojaya Agrinusa atau lebih dikenal
dengan nama Confeed, Makmur Jaya dan RTI.
INTI
Memiliki - Modal - Teknologi - Manajemen - Pasar - Informasi
1----+/:: KERJASAMA I/<e-"----I
SASARAN
PLASMA
Memiliki - Lahan - Tenaga Kerja - Kandang - Peralatan
- Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan peternak - Pemerataan pendapatan - Peningkatan produksi dan komoditi non migas - Mempercepat teknolcgi budidaya dan manajemen
petemakan dari inti ke plasma - Menciptakan kemampuan petemak plasma untuk mandiri I
Gambar 1. Konsep Pengembangan Model Inti Rakyat
24
Dinas Peternakan Provinsi Riau (1999) menerangkan bahwa model
kemitraan PIR merupakan anjuran pemerintah lewat Direktorat Jendral
Peternakan. Model PIR bersifat kerjasama yang saling menguntungkan antara
inti (perusahaan) dengan plasma (peternak) dimana perusahaan selaku inti
memberikan bantuan kepada peternak (kredit jangka pendek) berupa DOC,
pakan, obat-obatan (variabel cost), bimbingan teknis serta adanya jaminan
pemasaran dan harga jual. Sedangkan peternak menyediakan kandang dan
keperluan lain berupa sarana dan prasarana yang diperlukan dan pengelolaan
usahaltenaga kerja.
Hal ini didasarkan atas keputusan Menteri Pertanian No : 472/KPTSfTN
330/6/96 pasal 8; perusahaan peternakan dan perusahaan dibidang peternakan
yang melakukan kemitraan dengan petemakan ayam ras menjamin mutu ayam
pedaging dan telur, harga dan pemasarannya sedemikian rupa sehingga
peternakan rakyat memperoleh pendapatan yang wajar.
Hal yang sarna disampaikan oleh Muchtar (1996) pada penelitian yang
dilakukan pada PIR Ophir di Pasaman pada tahun 1987. Dari penelitian ini
diketahui pendapatan petani model PIR naik sebesar 443% bila dibandingkan
dengan pendapatan petani non PIR.
Menurut Mulva (2002), dalam penelitiannya dibidang model PIR yang ada
di Riau membuktikan bahwa pendapatan petemak ayam broiler model PIR
dengan skala usaha 5.000 ekor per periode pemeliharaan mendapatkan
pendapatan bersih Rp2.017.048. Dengan melihat pendapatan per ekor dalam
peme!iharaan se!ama satu periode pemeliharaan peternak mendapatkan upah
Rp403 lekor Iperiode Sehingga dapat dikatakan bahwa PIR merupakan model
untuk mewujudkan perpaduan usaha dengan sasaran perbaikan keadaan sosial
25
ekonomi peserta dan didukung oleh suatu sistim pengelolaan usaha dengan
memadukan berbagai kegiatan produksi, pengelolaan dan pemasaran dengan
menggunakan perusahaan besar sebagai inti dalam suatu sistim kerja sama
yang saling menguntungkan.
2.3. Keuntungan Peternak dalam Kemitraan
Salah satu perusahaan peternakan yang bergerak dalam model
kemitraan melalui PIR adalah perusahaan PT Charoen Pokphand yang
beroperasi di Pekanbaru sejak bulan April tahun 1998. Kemitraan dengan PIR
tersebut bersifat kerjasama yang saling menguntungkan antara inti (perusahaan )
dengan plasma (peternak). Pihak perusahaan selaku inti memberikan bantuan
berupa kredit jangka pendek yaitu anak ayam umur sehari (DOC), pakan dan
obat-obatan. Selain itu juga memberikan kredit jangka panjang berupa tempat
makanan, tempat minuman dan pemanas gas. Selain itu perusahan ini juga i
menjamin pemasaran hasil produksi dengan harga garansi dan bimbingan teknis
secara kontinyu serta pelatihan bagi peternak (Dinas Peternakan,1999).
Munculnya sejumlah peternakan komersil yang menjalin hubungan kerjasama
dengan peternak dalam status hubungan inti-plasma, cukup menimbulkan
harapan, sebgai titik awal yang baik dari pelaksanaan konsep pengembangan
industri peternakan rakyat.
Pemerintah sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan
industri budidaya ayam ras pedaging. Menurut Taryoto (1993) perhatian tersebut
dilakukan oleh pemerintah karena teknologi, sifat dan manfaat daging ayam yang
sangat besar antara lain:
26
1. Daging ayam ras mudah diterima dan dikonsumsi oleh seluruh lapisan
masyarakat.
2. Daging ayam ras mempunyai protein yang relatif lebih murah jika
dibandingkan dengan daging lainnya.
3. Budidaya ayam ras tidak memerlukan lahan yang luas.
4. Teknologi ayam ras mudah dikuasai.
5. Waktu produksi ayam ras relatif pendek (hanya 5-8 minggu).
Menurut Saragih (2001), agribisnis ayam ras pedaging menghadapi
prospek yang cerah dimasa yang akan datang, hal ini di dorong oleh faktor
jumlah penduduk yang besar, konsumsi daging broiler yang masih rendah, dan
kemungkinan pertumbuhan ekonomi nasional yang positif.
Menurut PT Charoen Pokphand (1999) tujuan pelaksanaan kemitraan
yaitu: 1) membantu menciptakan keadilan dan pemerataan pendapatan bagi
peternak (plasma), 2) menciptakan lapangan pekerjaan, 3) menciptakan harga
jual ayam yang ideal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein
hewani, dan 4) alih teknologi dibidang peternakan bagi para peternak (plasma).
Disamping sapronak dibutuhkan faktor produksi lain yang mendukung
usaha peternakan. Menurut Soekartawi (2002), faktor produksi adalah semua
korbanan yang diberikan pada usahatani ag~r mampu menghasilkan dengan
b;aik. F;aktor produksi ini sangat mempengaruhibesar kecilnya hasil yang akan
diperoleh. Faktor produksi lahan, modal, tenaga kerja dan aspek manajemen
merupakan faktor yang penting dalam usaha peternakan.
Salah satu usaha meningkatkan pendapatan petani adalah dengan
penerapan teknologi. Penerapan teknologi yang berubah dan beikembang
merupakan syarat pokok dalam pembangunan pertanian (Mosher, 1983).
27
Mubyarto (1982), pada umumnya petani mengadakan perhitungan
perhitungan ekonomi dalam keuangan menyangkut input (biaya) yang
dibutuhkan dan output (penerimaan) yang akan diperoleh nantinya, namun
perhitungan-perhitungan yang dilakukan hanyalah perhitungan yang sederhana.
Pendapatan kotor usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam
jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual, antara lain
meliputi: (1) yang dijual, (2) yang dikomsumsi dirumah tangga petani, (3) yang
digunakan dalam usahatani seperti bibit dan sebagainya, (4) yang digunakan
untuk pembayaran, dan (5) yang akan disimpan atau digudangkan sampai akhir
tahun. Sedangkan pendapatan bersih usahatani adalah selisih antara
pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani. Pengeluaran
total usahatani itu sendiri (Total Farm Expense) adalah nilai semua masukan
yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi, tetapi tidak termasuk
tenaga ke~a keluarga petani (Hernanto, 1979).
Besarnya penerimaan dari proses produksi dapat ditentukan dengan
mengalikan produk yang dihasilkan dengan harga produk tersebut. Secara umum
semakin besar produksi yang dihasilkan, akan menyebabkan semakin besar pula
penerimaan atau sebaliknya (Bishop dan Toussaint, 1979).
Menurut Suharjo dan Patong (1979), dalam usaha peternakan faktor yang
mempengaruhi pendapatan peternak ialah :
- Tingkat produksi yang dapat diukur dengan produktivitas skala usaha,
- Tingkat kombinasi cabang usahatani,
- Mutu hasil dan harga,
- Efisiensi tenaga ksrja c<Jn kemampuan pstar.i aalam mengelola panerimaan
maupun pengeluaran usahataninya.
28
Pengelolaan usaha peternakan atau manajemen adalah pengorganisa
sian/pengkoordiniran faktor produksi yang dikuasai sebaik-baiknya dan mampu
memberikan produksi peternakan sebagaimana yang diharapkan. Mosher (1983)
juga menjelaskan tujuan pengelolaan usaha adalah mencapai selisih palifl~ tinq9j
antara nilai hasil dan biaya usahatani secara keseluruhan.
Menurut Soekartawi (2002), pendapatan bersih usaha adalah selisih
antara penerimaan dan pengeluaran total. Penerimaan suatu usaha adalah
sebagai produk total suatu usaha dalam produk tertentu baik yang dijual maupun
yang tidak dijual. Penerimaan dihitung dengan mengalikan produk total dengan
harga yang berlaku. Sedangkan pengeluaran total suatu usaha adalah nilai
semua masukan yang habis dipakai atau dikeluarkan dalam proses produksi.
Pendapatan bersih dari suatu usaha mengukur imbalan yang diperoleh dari
penggunaan faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan.
Untuk mendapatkan keuntungan dari usaha ternak ayam ras pedaging
yang penting adalah kecepatan pertumbuhan, dan efisiensi penggunaan ransum
yang tinggi. Jadi jelaslah bahwa pertumbuhan pada ayam ras pedaging
merupakan salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dari peternak,
karena pemeliharaan pada saat pertumbuhan akan dapat menentukan hasil
produksinya kelak (Heuser, 1955).
Winter dan Funk (1962), menyatakan bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi keuntungan dalam petemakan ayam diantaranya adalah biaya
dan pengelolaan ransum, efisiensi tenaga ke~a, biaya pemasaran, harga DOC,
tingkat kematian dan besarnya skala usaha.
Hasii penelitian yang dilaporkan oleh Isbandi (1988), menunjukan bahwa
usaha ayam ras pedaging menguntungkan pad a skala lebih dari 750 ekor per
29
periode. Faktor sosial tidak berpengaruh pad a tingkat pendapatan peternak,
sedangkan faktor ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan peternak
adalah berat ayam, harga jual, jumlah ayam te~ual dan biaya pengeluaran ayam
ras pedaging.
Sigit (1990), mengatakan bahwa analisa "Break Even" adalah suatu cara
atau teknik untuk mengetahui kaitan antara volume produksi, volume penjualan,
harga jual, biaya produksi, biaya lainnya yang variabel atau yang tetap serta laba
rugi. Kegunaan-kegunaannya antara lain adalah :
1. Sebagai dasar untuk merencanakan kegiatan operasional dalam usaha
mencapai laba tertentu.
2. Sebagai dasar untuk mengendalikan kegiatan operasi yang sedang be~alan,
yaitu untuk pencocokan antara realisasi dengan angka-angka dalam
perhitungan BE atau dalam gambar (Chart) BE.
3. Sebagai bah an pertimbangan dalam harga jual setelah diketahui hasil
perhitungan menurut analisa BE dan laba yang ditargetkan.
4. Sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.